BAB I
PENDAHULUAN
Transfusi darah merupakan pemberian darah atau komponen darah dari satu individu
(donor) ke individu lainnya (resipien).1 Transfusi darah diperlukan saat tubuh kehilangan
banyak darah, misalnya pada kecelakaan, trauma atau operasi pembedahan yang besar,
menangani pasien anemia berat, pasien dengan kelainan darah bawaan, dan pasien yang
mengalami penyakit liver ataupun penyakit lainnya yang mengakibatkan tubuh pasien
tidak dapat memproduksi darah atau komponen darah.
Pemikiran dasar pada tranfusi darah adalah cairan intravaskuler dapat diganti atau
disegarkan dalam cairan pengganti yang sesuai dari luar tubuh. Pada tahun 1901, Landsteiner
menemukan golongan darah sistem ABO dan kemudian sistem antigen Rh (rhesus)
ditemukan oleh Levine dan Stetson di tahun 1939. Kedua sistem ini menjadi dasar penting
bagi tranfusi darah modern. Meskipun kemudian sistem berbagai sistem antigen lain seperti
Duffy, Kell dan lain-lain, tetapi sistem-sistem tersebut kurang berpengaruh. Tata cara tranfusi
darah semakin berkembang dengan digunakannya antikoagulan pada tahun 1914 oleh Hustin
(Belgia), Agote (Argentina), dan Lewisohn (1915). Sekitar tahun 1937 dimulailah sistem
pengorganisasian bank darah yang terus berkembang sampai kini.
Transfusi dilakukan dengan tujuan memperbaiki keadaan umum pasien tetapi
tindakan ini tidak lepas dari kemungkinan bahaya dan berbagai komplikasi. Transfusi darah
harus dilakukan dengan indikasi yang jelas sehingga manfaat yang ada jauh lebih besar
dibandingkan risiko yang mungkin terjadi.1 Pemberian komponen-komponen darah yang
diperlukan saja lebih dibenarkan dibandingkan dengan pemberian darah lengkap (whole
blood).
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang definisi transfusi
darah, macam bentuk sediaan darah serta komponen darah, indikasi pemberian transfusi
darah, dan reaksi transfusi darah.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DARAH
1. Darah sebagai organ
Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah dimasukkan sebagai
suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam sistem kardiovaskuler, tersusun dari :
a) Komponen korpuskuler atau seluler
Komponen korpuskuler yaitu materi biologis yang hidup dan bersifat multiantigenik,
terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan keping trombosit, yang kesemuanya
dihasilkan dari sel induk yang senantiasa hidup dalam sumsum tulang. Ketiga jenis sel
darah ini memiliki masa hidup terbatas dan akan mati jika masa hidupnya berakhir.
Agar fungsi organ darah tidak ikut mati, maka secara berkala pada waktu-waktu
tertentu, ketiga butiran darah tersebut akan diganti, diperbarui dengan sel sejenis yang
baru.
b) Komponen cairan
Komponen cair yang juga disebut plasma, menempati lebih dari 50 volume % organ
darah, dengan bagian terbesar dari plasma (90%) adalah air, bagian kecilnya terdiri dari
protein plasma dan elektrolit. Protein plasma yang penting diantaranya adalah albumin,
berbagai fraksi globulin serta protein untuk faktor pembekuan dan untuk fibrinolisis.2
2. Peran penting darah
a. Sebagai organ transportasi, khususnya oksigen (O2), yang dibawa dari paru-paru dan
diedarkan ke seluruh tubuh dan kemudian mengangkut sisa pembakaran (CO2) dari
jaringan untuk dibuang keluar melalui paru-paru. Fungsi pertukaran O2 dan CO2 ini
dilakukan oleh hemoglobin, yang terkandung dalam sel darah merah. Protein plasma ikut
berfungsi sebagai sarana transportasi dengan mengikat berbagai materi yang bebas dalam
plasma, untuk metabolism organ-organ tubuh.
b. Sebagai orgam pertahanan tubuh (imunologik), khususnya dalam menahan invasi
berbagai jenis mikroba pathogen dan antigen asing. Tranfusi darah adalah salah satu
rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam sirkulasi darah resipien sebagai
2
upaya pengobatan.Mekanisme pertahanan ini dilakukan oleh leukosit (granulosit dan
limfosit) serta protein plasma khusus (immunoglobulin).
c. Peranan darah dalam menghentikan perdarahan (mekanisme homeostasis) sebagai upaya
untuk mempertahankan volume darah apabila terjadi kerusakan pada pembuluh darah.
Fungsi ini dilakukan oleh mekanisme fibrinolisis, khususnya jika terjadi aktifitas
homeostasis yang berlebihan.3
Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen darah
korpuskuler maupun non korpuskuler akibat kelainan bawaan ataupun karena penyakit yang
didapat, yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme homeostasis tubuh dalam waktu singkat
maka diperlukan penggantian dengan tranfusi darah, khususnya dari komponen yang
diperlukan.3
B. TRANSFUSI DARAH
Tranfusi darah adalah suatu rangkain proses pemindahan darah donor ke dalam
sirkulasi dari resipien sebagai upaya pengobatan. Bahkan sebagai upaya untuk
menyelamatkan kehidupan. Berdasarkan asal darah yang diberikan tranfusi dikenal 1.
Homologous tranfusi (berasal dari darah orang lain), 2. Autologous tranfusi (berasal dari diri
sendiri).4
Tujuan tranfusi darah adalah :
a. Mengembalikan dan mempertahankan volume yang normal peredaran darah
b. Menggantikan kekurangan komponen seluler atau kimia darah
c. Meningkatkan oksigenasi jaringan
d. Memperbaiki fungsi homeostasis
e. Tindakan terapi khusus
Tranfusi darah dalam klinik
Darah dan berbagai komponen- komponen darah, dengan kemajuan teknologi
kedokteran, dapat dipisah- pisahkan dengan suatu proses dan ditransfusikan secara terpisah
sesuai kebutuhan.3 Darah dapat pula disimpan dalam bentuk komponen- komponen darah
yaitu: eritrosit, leukosit, trombosit, plasma dan factor- factor pembekuan darah dengan proses
tertentu yaitu dengan Refrigerated Centrifuge.
3
Pemberian komponen-komponen darah yang diperlukan saja lebih dibenarkan
dibandingkan dengan pemberian darah lengkap (whole blood). Dasar pemikiran penggunaan
komponen darah: (1)lebih efisien, ekonomis, memperkecil reaksi transfusi, (2)lebih rasional,
karena (a)darah terdiri dari komponen seluler maupun plasma yang fungsinya sangat
beragam, serta merupakan materi biologis yang bersifat multiantigenik, sehingga
pemberiannya harus memenuhi syarat- syarat variasi antigen minimal dan kompatibilitas
yang baik, (b) transfusi selain merupakan live saving therapy tetapi juga replacement therapy
sehingga darah yang diberikan haruslah safety blood. Kelebihan terapi komponen
dibandingkan dengan terapi darah lengkap: (1)disediakan dalam bentuk konsentrat sehingga
mengurangi volume transfusi, (2)resiko reaksi imunologik lebih kecil, (3)pengawetan,
(4)penularan penyakit lebih kecil, (5)aggregasi trombosit dan leukosit dapat dihindari,
(6)pasien akan memerlukan komponen yang diperlukan saja, (7)masalah logistik lebih
mudah, (8)pengawasan mutu lebih sederhana.
Indikasi t ranfusi darah
Konsensus telah menetapkan suatu ketentuan tentang transfusi darah:
1. Pasien sehat dengan nilai hematokrit kurang dari 30% membutuhkan transfusi darah
perioperatif
2. Pasien yang menderita anemia akut (seperti kehilangan darah intraoperatif) dengan kadar
hematokrit kurang dari 21% membutuhkan transfusi darah segera
3. Pasien yang menderita anemia kronik (seperti saat gagal ginjal) dapat mentoleransi
konsentrasi hemoglobin kurang dari 7 g/dL1
Selain ketentuan transfusi seperti di atas, terdapat guideline lain yang direkomendasikan dari
American Society of Anesthesiologists, yaitu:
1. Transfusi jarang diindikasikan saat konsentrasi hemoglobin lebih besar daripada 10 g/dL
dan hampir selalu diindikasikan saat nilai Hb 6 g/dL, terutama pada kondisi anemia yang
akut.
2. Pada pasien dengan kadar Hb 6-10 g/dL, transfusi darah bergantung pada risiko
komplikasi akibat oksigenasi yang tidak adekuat.
3. Pemberian transfusi darah perlu mempertimbangkan fisiologi tubuh dan oksigenasi
jaringan.
4
4. Jika tersedia, pemberian transfusi darah autolog prabedah, intrabedah dan pascabedah
pada hemodilusi normovolemik akkut dan kehilangan darah yang mengakibatkan
hipotensi dapat memberikan manfaat pada pasien
5. Indikasi transfusi sel darah merah autolog lebih banyak dibandingkan dengan sel darah
merah alogenik karena risiko yang lebih rendah1
Indikasi transfusi darah mengikuti rule of thumb bahwa administrasi dari 1 unit PRC akan
meningkatkan nilai hematokrit seesar 3% - 5%:
1. Kehilangan darah lebih dari 20% volum darah (> 100 ml)
2. Kadar hemoglobin kurang dari 8 g/dL
3. Kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dL dengan penyakit mayor (misalnya emfisema,
penyakit jantung iskemik)
4. Kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dL setelah transfusi dengan darah autolog
5. Kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dL dan pasien yang bergantung pada ventilator.1
Prosedur pelaksanaan tranfusi darah
Banyak laporan mengenai kesalahan tatalaksana tranfusi, misalnya kesalahan pemberian
darahmilik pasien lain. Untuk menghindari berbagai kesalahan, maka perlu diperhatikan :
a. Identitas pasien harus dicocokan secara lisan maupun tulisan
b. Identitas dan jumlah darah dalam kemasan dicocokkan dengan formulir permintaan
darah
c. Tekanan darah, frekuensi denyut jantung dan suhu harus diperiksa sebelumnya, serta
diulang secra rutin.
d. Observasi ketat, terutama pada 15menit pertama setelah tranfusi darah dimulai.
Sebaiknya 1 unit darah diberikan dalam waktu 1-2 jam tergantung status kardiovaskuler
dan dianjurkan tidak lebih dari 4 jam mengingat kemungkinan proliferasi bakteri pada
suhu kamar.1
Antigen eritrosit dan antibodi golongan darah
Sejak ditemukan sistem ABO oleh Landsteiner, sampai saat ini terdapat 25 sistem
golongan darah dan lebih dari 250 antigen goleongan darah yang telah diidentifikasi menurut
International Society of Blood Transfusion. Sistem golongan darah terdiri dari satu atau lebih
5
antigen yang ditentukan baik oleh gen tunggal atau dari dua atau lebih gen homolog yang
berkaitan erat.1,5
Makna klinis golongan darah dalam transfusi darah adalah bahwa individu yang tidak
mempunyai antigen golongan darah tertentu akan menghasilkan antibodi yang bereaksi
dengan antigen tersebut yang kemungkinan akan menyebabkan reaksi transfusi. Sistem
golongan darah yang penting secara klinis yaitu ABO dan rhesus (Rh).1,5
Sistem ABO
Sistem ini terdiri atas tiga gen alel: A, B, O. Gen A dan B mengendalikan sintesis enzim
spesifik yang bertanggung jawab unuk penambahan residu karbohidrat tunggal pada
glikoprotein atau glikolipid antigenik dasar dengan gula terminal L-fruktosa pada eritrosit,
yang dikenal substansi H. Gen O adalah gen amorf dan tidak mentransformasikan substansi
H. Antibodi alamiah terhadap antigen A dan/atau B ditemukan dalam plasma individu yang
eritrositnya tidak mempunyai antigen tersebut.
Fenotipe Genotipe Antigen Antibodi Alamiah
O OO OAnti A
Anti B
A AA/AO A Anti B
B BB/BO B Anti A
AB AB AB Tidak ada
Sistem Rh
Lokus golongan darah Rh tersusun atas dua gen struktural yang saling terkait (RhD dan
RhCE) yang mengkode protein membran yang membawa antigen D, Cc, dan Ee. Antibodi Rh
jarang timbul secara alamiah, dihasilkan dari transfusi atau kehamilan sebelumnya. Anti-D
bertanggung jawab untuk sebagian besar gangguan klinis yang terkait dengan sistem Rh.
Karena itu penggolongan subyek dalam sistem Rh dibagi menjadi Rh D positif dan Rh D
negatif.1,4
Anti Rh (D) Kontrol Rh Tipe Rh
6
Positif Negatif D+
Negatif Negatif D – (d)
Positif PositifHarus diulang atau diperiksan dengan
Rh (D) typing (Saline tube test)
Uji Kompatibilitas
Tujuan dari uji kompatibilitas adalah untuk memprediksi dan mencegah reaksi
antigen-antibodi setelah transfusi darah.5 Skrining golongan darah ABO-Rh, crossmatch dan
antibodi kerap kali digunakan untuk uji kompatibilitas.1
Pemeriksaan golongan darah dan tipe Rh penting sekali dilakukan untuk mencegah
terjadinya reaksi serius akibat transfusi darah ABO yang inkompatibel dengan darah resipien.
Reaksi ini terjadi akibat kandungan antibodi dalam darah (misalnya anti-A dan anti-B) yang
mengaktivasi komplemen dan menyebabkan hemolisis intravaskular.1,4
Donor Resipien
O O, A, B, AB
A A, AB
B B, AB
AB AB
Tabel Golongan darah donor dan resipien
Uji crossmatch dilakukan sebelum transfusi dengan menggunakan tabung tertentu, di
mana sel darah merah donor dicampurkan dengan serum darah resipien untuk mendeteksi
adanya reaksi transfusi potensial yang mungkin terjadi. Hasil uji crossmatch dapat dilihat
setelah 45 sampai 60 menit dan dibagi menjadi 3 fase: fase segera, fase inkubasi, dan fase
antiglobulin. Fase pertama dilakukan pada suhu ruangan dengan tujuan untuk mendeteksi
inkompatibilitas ABO. Fase ini berlangsung sekitar 1 hingga 5 menit. Fase kedua termasuk
inkubasi reaksi fase pertama pada suhu 37⁰C pada albumin atau larutan low-ionic strength
salt. Penggunaan albumin dan larutan low-ionic strength salt bertujuan untuk mendeteksi
incomplete antibody atau antibodi yang menempel pada antigen spesifik (pada sensitisasi)
tetapi tidak mampu menyebabkan aglutinasi pada suspense sel darah merah. Fase ini turut
mendeteksi antibodi Rh. Inkubasi berlangsung selama 30-45 menit pada larutan albumin dan
10-20 menit pada larutan low-ionic strength salt. Fase ketiga adalah crossmatch, uji
7
antiglobulin indirek, dengan memberikan antiglobulin sera pada tabung uji yang telah
diinkubasi. Dengan penambahan antiglobulin ini, antibody anti-manusia yang terdapat pada
sera menjadi menempel pada antiodi globulin pada sel darah merah, menyebabkan aglutinasi.
Fase antiglobulin ini mendeteksi incomplete antibody pada seluruh sistem klasifikasi darah,
termasuk sistem Rh, Kell, Kidd, dan Duffy.1
Transfusi Emergensi
Pada situasi-situasi tertentu, dibutuhkan transfusi darah segera sebelum uji
kompatibilitas terlaksana (ABO-Rh, skrining antibodi dan crossmatch). Apabila golongan
darah pasien tidak diketahui, crossmatch singkat yang membutuhkan waktu kurang dari 5
menit dapat menentukan kompatibilitas ABO. Jika golongan darah resipien dan status Rh
tidak diketahui secara pasti dan transfusi harus segera dilakukan, maka dapat diberikan darah
golongan darah O Rh negatif (donor universal).5
Type-specific, Partially Crossmatched Blood
Saat menggunakan darah tanpa uji crossmatch, paling tidak harus dilakukan pemeriksaan
ABO-Rh dan crossmatch fase segera. Uji crossmatch yang tidak lengkap memiliki tujian
untuk mencegah terjadinya reaksi hemolitik berat akibat golongan darah ABO. Uji dilakukan
dengan menambahkan serum pasien ke sel darah merah donor pada temperatur kamar,
disentrifugasi dan melihat apakah terdapat aglutinasi makroskopik. Uji ini berlangsung
selama 1 sampai 5 menit.1
Type-specific, Uncrossmatched Blood
Pada teknik ini, tetap dilakukan pemeriksaan golongan ABO-Rh, tanja uji crossmatch.
Penggunaan darah tanpa uji crossmatch aman pada orang yang sebelumnya tidak pernah
ditransfusi, meskipun tida menutup kemungkinan terjadinya suatu reaksi transfusi yang serius
(sekitar 1 dari 1000 kasus). Sebaliknya, pada orang yang memiliki riwayat pernah terpajan
dengan antigen sel darah merah asing, transfusi tanpa pemeriksaan crossmatch dapat
berakibat buruk. 1
Type O-Rh Negative, Uncrossmatched Blood
Golongan darah O tidak memiliki antigen A dan B dan tentu saja tidak dapat terjadi hemolisis
oleh antibodi anti-A atau anti-B pada darah resipien. Oleh karena itu, pasien dengan golongan
8
darah O disebut dengan donor universal. Pendonor dapat mendonorkan darah mereka pada
suatu transfusi darurat di mana tidak dapat dilakukan uji kompatibilitas.1
PRODUK DARAH
1. Whole Blood
Produk darah ini berisi sel darah merah, leukosit, trombosit, dan plasma. Whole blood
digunakan untuk meningkatkan jumah sel darah merah dan volum plasma dalam waktu yang
bersamaan. Transfusi darah lengkap diindikasikan pada pasien anemia kronik yang
normovolemik. Transfusi 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/dL atau
hematokrit 3-4%. Pada anak-anak, darah lengkap 8 mL/kg akan meningkatkan Hb sekitar 1
g/dL.
2. Packed Red Cell
Packed red cell diperoleh dari pemisahan atau pengeluaran plasma secara tertutup atau septic
berisi eritrosit, trombosit, leukosit dan sedikit plasma, dengan nilai hematokrit 60-70%.
Volume tergantung kantong darah yang dipakai yaitu 150-300 ml.1 Lama simpan darah 24
jam dengan sistem terbuka.
Packed red cell merupakan komponen yang terdiri dari eritrosit yang telah dipekatkan dengan
memisahkan komponen-komponen yang lain. Packed red cell banyak dipakai dalam
pengobatan anemia terutama talasemia, anemia aplastik, leukemia dan anemia karena
keganasan lainnya. Pemberian transfusi bertujuan untuk memperbaiki oksigenasi jaringan dan
alat-alat tubuh. Biasanya tercapai bila kadar Hb sudah di atas 8 g%.
Untuk menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl diperlukan PRC 4 ml/kgBB atau 1 unit dapat
menaikkan kadar hematokrit 3-5 %. Diberikan selama 2 sampai 4 jam dengan kecepatan 1-2
mL/menit, dengan golongan darah ABO dan Rh yang diketahui.
Rumus kebutuhan darah (ml) :
Ket :
9
3 x ∆Hb (Hb normal -Hb pasien) x BB
- Hb normal : Hb yang diharapkan atau Hb normal
- Hb pasien : Hb pasien saat ini
Tujuan transfusi PRC adalah untuk menaikkan Hb pasien tanpa menaikkan volume darah
secara nyata. Keuntungan menggunakan PRC dibandingkan dengan darah jenuh adalah:
1. Mengurangi kemungkinan penularan penyakit
2. Mengurangi kemungkinan reaksi imunologis
3. Volume darah yang diberikan lebih sedikit sehingga kemungkinan overload
berkurang
4. Komponen darah lainnya dapat diberikan pada pasien lain.
Indikasi: :
1. Kehilangan darah >20% dan kehilangan volume darah lebih dari 1000 ml.
2. Hemoglobin <8 gr/dl.
3. Hemoglobin <10 gr/dl dengan penyakit-penyakit utama : (misalnya empisema, atau
penyakit jantung iskemik)
4. Hemoglobin <12 gr/dl dan tergantung pada ventilator.
3. Suspensi Trombosit
Suspensi trombosit dapat diperoleh dari 1 unit darah lengkap segar donor tunggal, atau dari
darah donor dengan cara/ melalui tromboferesis. Komponen ini masih mengandung
trombosit, sedikit sel darah merah, leukosit, dan plasma. Komponen ini ditransfusikan dengan
tujuan menghentikan perdarahan karena trombositopenia, atau untuk mencegah perdarahan
yang berlebihan pada pasien dengan trombositopenia yang akan mendapatkan tindakan
invasif.
Indikasi pemberian komponen trombosit ialah :
- Setiap perdarahan spontan atau suatu operasi besar dengan jumlah trombositnya kurang
dari 50.000/uL.
10
- Profilaksis diberikan pada semua kasus dengan jumalh trombosit 5000-10.000/uL yang
berhubungan dengan hipoplasia sumsum tulang akibat kemoterapi, invasi tumor, atau
aplasia primer sumsum tulang.5
Rumus Transfusi Trombosit
Macam sediaan:
Platelet Rich Plasma (plasma kaya trombosit)
Platelet Rich Plasma dibuat dengan cara pemisahan plasma dari darah segar.
Penyimpanan 34°C sebaiknya 24 jam.
Platelet Concentrate (trombosit pekat)
Kandungan utama yaitu trombosit, volume 50 ml dengan suhu simpan 20°±2°C.
Berguna untuk meningkatkan jumlah trombosit. Peningkatan post transfusi pada
dewasa rata-rata 5.000-10.000/ul. Efek samping berupa urtikaria, menggigil, demam,
alloimunisasi Antigen trombosit donor. Dibuat dengan cara melakukan pemusingan
(centrifugasi) lagi pada Platelet Rich Plasma, sehingga diperoleh endapan yang
merupakan platelet concentrate dan kemudian memisahkannya dari plasma yang
diatas yang berupa Platelet Poor Plasma. Masa simpan ± 48-72 jam.
4. Fresh Frozen Plasma (FFP)
FFP adalah bagian cair dari darah lengkap yang dipisahkan kemudian dibekukan dalam
waktu 8 jam setelah pengambilan darah. Hingga sekarang, komponen ini masih diberikan
untuk defisiensi berbagai faktor pembekuan. (bila ada/ tersedia, harus diberikan faktor
pembekuan yang spesifik sesuai dengan defisiensinya).
FFP mengandung semua protein plasma termasuk sebagian besar faktor pembekuan.
Transfusi FFP atas indikasi defisiensi faktor pembekuan, pembalikan terapi warfarin dan
koreksi koagulapati yang berhubungan dengan penyakit liver. 5
Indikasi lain transfusi FFP adalah sebagai cairan pengganti selama penggantian plasma pada
penderita dengan purpura trombotik trombositopenik atau defisiensi antithrombin.4,5 Selain
itu FFP juga dapat digunakan pada pasien yang mendapat transfusi massif dan mengalami
11
BB x 1/13 x 0.3
perdarahan walaupun setelah mendapat transfusi trombosit. Transfusi FFP tidak lagi
dianjurkan untuk penderita dengan hemofilia A atau B yang berat, karena sudah tersedia
konsentrat faktor VIII dan IX yang lebih aman. Plasma beku segar tidak dianjurkan untuk
koreksi hipovolemia atau sebagai terapi pengganti imunoglobulin karena ada alternatif yang
lebih aman, seperti larutan albumin atau imunoglobulin intravena.
5. Cryopresipitate
Komponen utama yang terdapat di dalamnya faktor VIII, faktor pembekuan XIII, faktor Von
Willbrand dan fibrinogen. Penggunaannya ialah untuk menghentikan perdarahan karena
kurangnya faktor VIII di dalam darah penderita hemofili A.
Cara pemberian ialah dengan menyuntikkan intravena langsung, tidak melalui tetesan infus,
pemberian segera setelah komponen mencair, sebab komponen ini tidak tahan pada suhu
kamar.
Suhu simpan -18°C atau lebih rendah dengan lama simpan 1 tahun, ditransfusikan dalam
waktu 6 jam setelah dicairkan. Efek sampingnya berupa demam dan alergi. Satu kantong (30
ml) mengadung 75-80 unit faktor VIII, 150-200 mg fibrinogen, faktor von wilebrand, dan
faktor XIII.
Indikasi :
- Hemophilia A
- Perdarahan akibat gangguan faktor koagulasi
- Penyakit von willbrand
6. Albumin
Albumin merupakan derivat plasma yang terdiri dari 96% albumin dan 4% globulin serta
beberapa protein lain. Pemberian albumin digunakan untuk meningkatkan volum sirkulasi.
Namun sekarang dengan tersedianya banyak cairan sintetik pengganti volum tubuh,
penggunaan albumin sudah sangat selektif. Selain harganya mahal, albumin berpotensi
menyebabkan banyak kerugian.
12
7. Kompleks faktor IX
Komponen ini disebut juga kompleks protrombin, mengandung faktor pembekuan yang
tergantung vitamin K, yang disintesis di hati, seperti factor VII, IX, X, serta protrombin.
Sebagian ada pula yang mengandung protein C. Komponen ini biasanya digunakan untuk
pengobatan hemofilia B. Kadang diberikan pada hemofilia yang mengandung inhibitor faktor
VIII dan pada beberapa kasus defisiensi factor VII dan X. Dosis yang dianjurkan adalah 80-
100 unit/kgBB setiap 24 jam.
8. Granulosit
Transfusi granulosit diindikasikan pada pasien neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak
respon terhadap antibiotik dan pada pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan hipoplasia.
Dengan adanya granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) dan granulocyte macrophage
colony-stimulating factor (GM-CSF) menurunkan penggunaan transfrusi granulosit.1
9. Imunoglobulin
Komponen ini merupakan konsentrat larutan materi zat anti dari plasma, dan yang baku
diperoleh dari kumpulan sejumlah besar plasma. Komponen yang hiperimun didapat dari
donor dengan titer tinggi terhadap penyakit seperti varisela, rubella, hepatitis B, atau rhesus.
Biasanya diberikan untuk mengatasi imunodefisiensi, pengobatan infeksi virus tertentu, atau
infeksi bakteri yang tidak dapat diatasi hanya dengan antibiotika dan lain-lain. Dosis yang
digunakan adalah 1-3 ml/kgBB.
Transfusi Darah Autologus
Transfusi jenis ini menggunakan darah pasien sendiri, yang dikumpulkan terlebih dahulu,
untuk kemudian ditransfusikan lagi. Hal ini sebagai pilihan jika pasien memiliki zat anti dan
tak ada satu pun golongan darah yang cocok, juga jika pasien berkeberatan menerima donor
orang lain. Meski demikian, tetap saja bisa terdapat efek samping dan reaksi transfusi seperti
terjadinya infeksi.1,5
13
KOMPLIKASI TRANFUSI DARAH
1. Reaksi Hemolitik
a) Reaksi Transfusi Hemolitik Akut
Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir selalu karena ketidakcocokan
golongan darah ABO (antibodi jenis IgM yang beredar) dan sekitar 90%-nya terjadi karena
kesalahan dalam mencatat identifikasi pasien atau unit darah yang akan diberikan.1,5
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah demam dengan atau tanpa menggigil,
mual, sakit punggung atau dada, sesak napas, urine berkurang, hemoglobinuria, dan
hipotensi. Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi renjatan (shock), koagulasi
intravaskuler diseminata (KID), dan/atau gagal ginjal akut yang dapat berakibat kematian.1,5
Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan tindakan sebagai berikut:
- meningkatkan perfusi ginjal,
- mempertahankan volume intravaskuler,
- mencegah timbulnya DIC.5
Managemen pada reaksi transfusi:
- Stop transfusi
- Naikkan tekanan darah dengan koloid, kristaloid, jika perlu tambah vasokonstriktor,
inotropik
- Berikan oksigen 100%
- Diuretika manitol 50mg atau furosemid 10-20mg
- Antihistamin
- Steroid dosis tinggi
- Jika perlu exchange transfusion
- Periksa analisa gas dan pH darah 6
b) Reaksi Transfusi Hemolitik Lambat
Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya disebabkan oleh adanya antibodi yang
beredar yang tidak dapat dideteksi sebelum transfusi dilakukan karena titernya rendah. Reaksi
yang lambat menunjukkan adanya selang waktu untuk meningkatkan produksi antibodi
tersebut. Hemolisis yang terjadi biasanya ekstravaskuler.5
14
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHL adalah demam, pucat, ikterus, dan kadang-
kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak terjadi hal yang perlu dikuatirkan karena hemolisis
berjalan lambat dan terjadi ekstravaskuler, tetapi dapat pula terjadi seperti pada RTHA.
Apabila gejalanya ringan, biasanya tanpa pengobatan. Bila terjadi hipotensi, renjatan, dan
gagal ginjal, penatalaksanaannya sama seperti pada RTHA.5
2. Reaksi Transfusi Non-Hemolitik
a. Demam
Demam merupakan lebih dari 90% gejala reaksi transfusi. Umumnya ringan dan
hilang dengan sendirinya. Dapat terjadi karena antibodi resipien bereaksi dengan leukosit
donor. Demam timbul akibat aktivasi komplemen dan lisisnya sebagian sel dengan
melepaskan pirogen endogen yang kemudian merangsang sintesis prostaglandin dan
pelepasan serotonin dalam hipotalamus. Dapat pula terjadi demam akibat peranan sitokin (IL-
1b dan IL-6). Umumnya reaksi demam tergolong ringan dan akan hilang dengan sendirinya.5
b. Reaksi alergi
Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling sering muncul, yang tidak
disertai gejala lainnya. Bila hal ini terjadi, tidak perlu sampai harus menghentikan transfusi.
Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat adanya bahan terlarut di dalam plasma donor yang
bereaksi dengan antibodi IgE resipien di permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan
menyebabkan pelepasan histamin. Reaksi alergi ini tidak berbahaya, tetapi mengakibatkan
rasa tidak nyaman dan menimbulkan ketakutan pada pasien sehingga dapat menunda
transfusi. Pemberian antihistamin dapat menghentikan reaksi tersebut.1,5
c. Reaksi anafilaktik
Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama bila timbul pada pasien
dengan defisiensi antibodi IgA atau yang mempunyai IgG anti IgA dengan titer tinggi.
Reaksinya terjadi dengan cepat, hanya beberapa menit setelah transfusi dimulai. Aktivasi
komplemen dan mediator kimia lainnya meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi
otot polos terutama pada saluran napas yang dapat berakibat fatal. Gejala dan tanda reaksi
anafilaktik biasanya adalah angioedema, muka merah (flushing), urtikaria, gawat pernapasan,
hipotensi, dan renjatan.
15
Penatalaksanaannya adalah :
- menghentikan transfusi dengan segera,
- tetap infus dengan NaCl 0,9% atau kristaoid,
- berikan antihistamin dan epinefrin.
Pemberian dopamin dan kortikosteroid perlu dipertimbangkan. Apabila terjadi
hipoksia, berikan oksigen dengan kateter hidung atau masker atau bila perlu melalui
intubasi.5
d. Transfusion-Related Acute Lung Injury (TRALI)
TRALI merupakan diagnosis klinis berupa hipoksemia akut dan edema pulmonal
bilateral yang terjadi dalam waktu 6 jam setelah transusi dilakukan. Manifestasi klinis yang
ditemui adalah dispnea, takipnea, demam, takikardia, hipotensi atau hipertensi dan
leukopenia akut sementara. Penyebab terjadinya kondisi ini salah satunya adalah reaksi antara
neutrofil resipien dengan antibodi donor yang mempunyai HLA atau antigen neutrofil
spesifik. Akibatnya terjadi kerusakan pada membran kapiler alveolar. 1
e. GVHD (Graft versus Host disease)
GVHD merupakan reaksi/ efek samping lain yang mungkin terjadi pada pasien
dengan imunosupresif atau pada bayi prematur. Hal ini terjadi oleh karena limfosit donor
bersemai (engrafting) dalam tubuh resipien dan bereaksi dengan antigen penjamu. Reaksi ini
dapat dicegah dengan pemberian komponen SDM yang diradiasi atau dengan leukosit
rendah.5
f. Purpura post transfusi
Pada kasus yang jarang, trombositopenia mungkin terjadi setelah transfusi darah.
Purpura yang timbul merupakan akibat dari terbentuknya alloantibodi trombosit yang
merusak trombosit pasien sendiri. Penurunan kadar trombosit terjadi 5-10 hari setelah
transfusi darah.4,5
16
3. Efek samping lain dan resiko lain transfusi
a. Komplikasi dari transfusi massif
Transfusi massif adalah transfusi sejumlah darah yang telah disimpan, dengan volume darah
yang lebih besar daripada volume darah resipien dalam waktu 24 jam. Pada keadaan ini dapat
terjadi hipotermia bila darah yang digunakan tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia
dan kelainan koagulasi karena terjadi pengenceran dari trombosit dan faktor- faktor
pembekuan. Penggunaan darah simpan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya
beberapa komplikasi diantaranya adalah kelainan jantung, asidosis, kegagalan hemostatik,
acute lung injury.5
b. Penularan penyakit Infeksi
1) Hepatitis
Penularan virus hepatitis merupakan salah satu bahaya/ resiko besar pada transfusi
darah. Diperkirakan 5-10 % resipien transfusi darah menunjukkan kenaikan kadar
enzim transaminase, yang merupakan bukti infeksi virus hepatitis. Sekitar 90%
kejadian hepatitis pasca transfusi disebabkan oleh virus hepatitis non A non B. Meski
sekarang ini sebagian besar hepatitis pasca transfusi ini dapat dicegah melalui seleksi
donor yang baik dan ketat, serta penapisan virus hepatitis B dan C, kasus tertular
masih tetap terjadi. Perkiraan resiko penularan hepatitis B sekitar 1 dari 200.000 dan
hepatitis C lebih besar yaitu sekitar 1:10.000. 1,4
2) AIDS (Acquired Immune Deficiency syndrome)
Penularan retrovirus HIV telah diketahui dapat terjadi melalui transfusi darah, yaitu
dengan rasio 1:670.000, meski telah diupayakan penyaringan donor yang baik dan
ketat.
3) Infeksi CMV
Penularan CMV terutama berbahaya bagi neonatus yang lahir premature atau pasien
dengan imunodefisiensi. Biasanya virus ini menetap di leukosit danor, hingga
penyingkiran leukosit merupakan cara efektif mencegah atau mengurangi
kemungkinan infeksi virus ini. Transfusi sel darah merah rendah leukosit merupakan
hal terbaik mencegah CMV ini.1,5
4) Penyakit infeksi lain yang jarang
Beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga ditularkan melalui transfusi adalah
malaria, toxoplasmosis, HTLV-1, mononucleosis infeksiosa, penyakit chagas
17
(disebabkan oleh trypanosoma cruzi), dan penyakit CJD ( Creutzfeldt Jakob Disease).
Pencemaran oleh bakteri juga mungkin terjadi saat pengumpulan darah yang akan
ditransfusikan. Pasien yang terinfeksi ini dapat mengalami reaksi transfusi akut,
bahkan sampai mungkin renjatan. Keadaan ini perlu ditangani seperti pada RTHA
ditambah dengan pemberian antibiotic yang adekuat.
18
BAB III
KESIMPULAN
Transfusi darah merupakan pemberian darah atau komponen darah dari satu individu
(donor) ke individu lainnya (resipien) yang diberikan secara intravena melalui pembuluh
darah. Darah yang dipindahkan dapat berupa darah lengkap dan komponen darah. Tujuan
transfusi darah adalah meningkatkan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen,
memperbaiki volume darah tubuh,memperbaiki kekebalan,memperbaiki masalah pembekuan.
Transfusi darah merupakan bentuk terapi yang dapat menyelamatkan jiwa. Berbagai
bentuk upaya telah dan hampir dapat dipastikan akan dilaksanakan, agar transfusi menjadi
makin aman, dengan resiko yang makin kecil. Meskipun demikian, transfusi darah belum
dapat menghilangkan secara mutlak resiko dan efek sampingnya. Untuk itulah indikasi
transfusi haruslah ditegakkan dengan sangat hati- hati, karena setiap transfusi yang tanpa
indikasi adalah suatu kontraindikasi. Maka untuk memutuskan apakah seorang pasien
memerlukan transfusi atau tidak, harus mempertimbangkan keadaan pasien menyeluruh. Pada
pemberian transfusi sebaiknya diberikan komponen yang diperlukan secara spesifik untuk
mengurangi resiko terjadinya reaksi transfusi. Indikasi untuk pelaksanaan transfusi didasari
oleh penilaian secara klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Marsaban AHM, Kapuangan C. Transfusi Darah. Dalam: Soenarto RF, Chandra S,
Editors. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: FKUI. 2012. p. 259-73.
2. Ramelan S, Gatot D, Transfusi Darah Pada Bayi dan Anak dalam Pendidikan Kedokteran
berkelanjutan (Continuing Medical Education) Pediatrics Updates, 2005, Jakarta, IDAI
cabang Jakarta, halaman: 21-30.
3. Sudoyo AW, Setiohadi B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Keempat.
Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.
4. Dzieckowski JS, Anderson KC. Transfusion Biology and Therapy. In: Longo DL, Editor.
Harrison’s Hematology and Oncology. New York: The McGraw-Hill; 2010.p.143-51.
5. Butterwoth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Fluid Management & Blood Component
Therapy. In: Butterwoth JF, Mackey DC, Wasnick JD, Editors. Morgan and Mikail’s
Clinical Anesthesiology. 5th Ed. New York: The McGraw-Hill; 2013.p.1169-76.
6. Latief SA, Suryadi KA, Cachlan MR. Transfusi darah dalam pembedahan. Dalam:
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta: FKUI; 2009.p.145.
20