BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menikah dan memiliki keturunan adalah suatu fase yang dijalani
oleh manusia dalam siklus kehidupannya. Keberadaan anak dianggap
mampu menyatukan dan menjaga keutuhan pernikahan. Gagal
mendapatkan anak sangat berlawanan dengan naluri dasar manusia, yang
dapat menjadi sumber dari perasaan berdosa, duka cita, bahkan perceraian
(Kuswondo, 2002).
Infertilitas adalah kondisi yang dialami oleh pasangan suami istri
yang telah menikah minimal 1 tahun, melakukan hubungan senggama
teratur tanpa kontrasepsi, namun tidak berhasil memperoleh kehamilan
(Prabudi, 2007). Infertilitas merupakan masalah global dalam sudut
pandang kesehatan reproduksi (Prabudi, 2007). Insiden infertilitas
beragam dan terbagi menurut penyebab infertilitas itu sendiri. Hampir
15% dari pasangan di seluruh dunia merupakan pasangan infertil (Prabudi,
2007). WHO (1995) melaporkan bahwa di dunia terdapat 8 % pasangan
suami istri mengalami masalah infertilitas selama reproduksinya. Angka
infertilitas pasangan suami istri di Indonesia yang mengalami kesulitan
mendapatkan anak adalah sekitar 10%. Kondisi ini makin lama makin
banyak ditemukan di Indonesia. Diperkirakan perempuan Indonesia yang
mengalami kesulitan untuk hamil adalah 15% di usia 30-34 tahun, 30 % di
usia 35-39 tahun dan 64 % ketika mereka mencapai usia 40-44 tahun
(Hestiantoro, 2009).
Banyak faktor yang terkait dengan kesulitan untuk hamil tersebut,
faktor tersebut 40% terkait dengan faktor istri, 40% terkait dengan faktor
suami, 10% terkait dengan faktor gabungan suami istri, dan sisanya
terkait dengan faktor- faktor lain yang sering kali sulit untuk ditemukan
penyebabnya atau disebut dengan istilah infertilitas idiopatik
(Hestiantoro, 2009).
1
Pemeriksaan dan pengobatan masalah infertilitas merupakan hal
yang sangat kompleks. Dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai
disiplin ilmu. Dalam hal ini, selain ahli ginekologi dilibatkan pula ahli
endokrinologi reproduksi, andrologi biologi, radiologi, psikologi, dan lain-
lain. Oleh karena sifatnya yang multi kompleks, maka pada pelaksanaan
pemeriksaan dan pengobatan infertilitas ini membutuhkan tahapan waktu
yang relatif lama dan bermacam cara pengobatan tergantung penyebabnya.
Penanganan infertilitas harus dilakukan dengan cepat dan tepat, sebab
keterlambatan penanganan dapat semakin memperburuk prognosis
infertilitas pasangan suami istri (Bansal, 2004; Speroff, 2005; Hansotia,
2002).
Berdasarkan beberapa masalah di atas, penulis tertarik untuk
menulis referat tentang infertilitas.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari referat ini adalah apakah definisi, klasifikasi,
penyebab, pemeriksaan, penatalaksanaan dan teknologi khusus dalam
menangani masalah infertilitas.
C. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah sebagai tugas kepaniteraan klinik
stase obstetri dan ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta di RSUD dr. Harjono Ponorogo.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Infertilitas adalah ketidakmampuan untuk hamil dan melahirkan
anak setelah sekurang-kurangnya satu tahun melakukan hubungan seksual
secara teratur tanpa perlindungan (Bobak et al, 2004). Menurut Olds et al
(1988), definisi infertilitas adalah ketidakmampuan pasangan suami istri
untuk menghasilkan seorang anak yang hidup sebagai kegagalan dari
mengandung atau kegagalan untuk mengandung bayi yang dapat hidup.
B. Klasifikasi
Jenis infertilitas ada dua, yaitu
1. Infertilitas primer
Infertilitas primer yaitu jika istri belum pernah hamil walaupun
bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama
12 bulan.
2. Infertilitas sekunder
Infertilitas sekunder yaitu jika istri pernah hamil, akan tetapi
kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan
dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan
(Wiknjosastro et al, 2005).
C. Insiden
Insiden fertilitas berkisar antara 10-15% dari pasangan usia subur.
Insidensi infertilitas meningkat sejak 40 tahun terakhir. Sumapraja, dalam
penelitiannya mendapatkan insiden infertilitas sebesar 20% dari pasangan
usia subur sedangkan Southan menyebutkan insiden infertilitas sebesar 10-
25% dari pasangan usia subur (Prabudi, 2007).
3
D. Penyebab Infertilitas
Secara garis besar penyebab infertilitas dapat dibagi menjadi
(Hestiantoro, 2009):
1. Faktor istri (40%)
a. Kondisi vagina, mulut rahim dan rahim
b. Kondisi ovarium dan rongga peritoneum
c. Kondisi saluran telur atau tuba Fallopii
2. Faktor suami (40%)
a. Kelainan organ genitalia pria
b. Faal dan morfologi sel spermatozoa
3. Faktor gabungan istri dan suami ( 10%)
a. Frekuensi senggama
b. Antibodi anti sperma
4. Faktor idiopatik (10%)
E. Pemeriksaan Pasangan Infertil
Setiap pasangan infertil harus diperlakukan sebagai satu kesatuan.
Itu berarti, kalau istri saja yang diperiksa sedangkan suaminya tidak mau
diperiksa, maka pasangan itu tidak diperiksa.
Adapun syarat-syarat pemeriksaan pasangan infertil adalah sebagai
berikut:
1. Istri yang berumur antara 20-30 tahun baru akan diperiksa setelah
berusaha untuk mendapat anak selama 12 bulan. Pemeriksaan dapat
dilakukan lebih dini apabila:
a. Pernah mengalami keguguran berulang
b. Diketahui mengidap kelainan endokrin
c. Pernah mengalami peradangan rongga panggul atau rongga perut
d. Pernah mengalami bedah ginekologik
2. Istri yang berumur antara 31-35 tahun dapat diperiksa pada
kesempatan pertama pasangan itu datang ke dokter.
4
3. Istri pasangan infertil yang berumur antara 36- 40 tahun hanya
dilakukan pemeriksaan infertilitas kalau belum mempunyai anak dari
perkawinan tersebut
4. Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada pasangan infertil yang
salah satu anggota pasangannya mengidap penyakit yang dapat
membahayakan kesehatan istri atau anaknya
(Wiknjosastro et al, 2005).
Tatalaksana pemeriksaan infertilitas yang terkait dengan
faktor istri:
1. Tahap pertama (Fase I) (Bansal, 2004; Adiyono et al, 2005; Hadibroto,
2005).
a. Pemeriksaan riwayat infertilitas (anamnesis)
Anamnesis masih merupakan cara terbaik untuk mencari
penyebab infertilitas pada wanita. Faktor-faktor penting yang
berkaitan dengan infertilitas yang harus ditanyakan pada pasien
adalah mengenai usia, riwayat kehamilan, panjang siklus haid,
riwayat penyakit sebelumnya, riwayat operasi, frekuensi koitus,
dan waktu koitus. Perlu juga diketahui pola hidup dari pasien
mengenai konsumsi alkohol, merokok, dan stress.
b. Pemeriksaan fisik
Disini perlu diperiksa Indeks Massa Tubuh (IMT),
pemeriksaan kelenjar tiroid, hirsutisme, akne, sebagai pertanda
hiperandrogenisme. Adanya galaktorea merupakan pertanda dari
hiperprolaktinemia. Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan pelvik
untuk mengetahui apakah ada kelainan di vagina, serviks, dan
uterus.
c. Penilaian ovulasi
Cara sederhana untuk mengetahui ovulasi adalah dengan
mengukur suhu badan basal (SBB). SBB juga dapat digunakan
untuk menentukan kemungkinan hari ovulasi. Cara lain yang dapat
5
digunakan untuk penilaian ovulasi adalah dengan pemeriksaan
USG transvaginal dan pemeriksaan hormon progesteron darah.
Pada pemeriksaan USG transvaginal dapat dilihat pertumbuhan
folikel. Bila diameter mencapai 18-25 mm, berarti menunjukkan
folikel matur dan akan terjadi ovulasi.
d. Uji pasca senggama (UPS)
Merupakan cara pemeriksaan yang sederhana tapi dapat
memberi informasi tentang interaksi antara sperma dengan getah
serviks. UPS dilakukan 2-3 hari sebelum perkiraan ovulasi dimana
“ spin barkeit” dari getah serviks mencapai 5 cm atau lebih.
Pengambilan getah serviksdari kanalis endo-serviks dilakukan
setelah 2-12 jam senggama. Pemeriksaan dilakukan di bawah
mikroskop. UPS dikatakan (+) bila ditemukan paling sedikit 5
sperma per lapang pandang besar (LPB). UPS dapat memberikan
gambaran tentang kualitas sperma, fungsi getah serviks,dan
keramahan getah serviks terhadap sperma.
2. Tahap kedua (Fase II) (Tulandi, 1999)
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan HSG untuk mencari
patensi tuba. Uji ini dilakukan pada paruh pertama siklus haid,
dimana sebelum tindakan dilakukan, pasien dianjurkan tidak
senggama paling sedikit dua hari sebelumnya. HSG dilakukan oleh
ahli radiologi dengan menyuntikkan larutan radioopaque melalui
kanalis servikalis ke uterus dan tuba fallopi.
3. Tahap ketiga (Fase III) (Adiyono et al, 2005; Hadibroto, 2005)
Akhir-akhir ini laparoskopi dianggap cara terbaik untuk
menilai fungsi tuba fallopi. Kedua tuba dapat dilihat secara
langsung dan potensinya dapat diuji dengan menyuntikkan larutan
metilen blue atau indigokarmir dan dengan melihat pelimpahannya
ke dalam rongga peritoneum. Dengan laparoskopi dapat sekaligus
melihat kelainan yang mungkin terdapat dalam rongga peritoneal,
seperti endometritis, perlengketan pelviks, dan patologi ovarium,
6
Tatalaksana pemeriksaan infertilitas yang terkait dengan
faktor suami adalah:
1. Anamnesis.
Hal yang perlu diperhatikan pada pria adalah:
a. Merokok
Kondisi merokok seringkali terkait dengan penurunan
kemampuan renang sel spermatozoa
b. Riwayat infeksi kelenjar parotis
Kondisi ini sering terkait dengan kejadian orchitis yang dapat
menyebabkan infertilitas
c. Kesulitan ereksi
Kondisi ini terkait dengan stres psikis atau kelainan metabolik
kronik seperti diabetes melitus atau hipertensi
(Hestiantoro, 2009)
2. Pemeriksaan fisik
a. Payudara
Payudara pria harus normal, jika terlihat membesar atau
ginekomastia, mungkin ada peningkatan kadar hormon estrogen pada
pria.
b. Penis
Perlu diperhatikan letak uretra yang dapat terkait dengan
abnormalitas seperti hipospadia.
c. Skrotum
Skrotum harus diraba untuk menilai kemungkinan skrotum terisi
banyak cairan, terdapat hernia skrotalis atau terdapat varikokel.
Jumlah testis, volume testis dan turunnya testis ke dalam skrotum
juga perlu diperhatikan (Hestiantoro, 2009).
7
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan dasar yang wajib dikerjakan pada pasangan suami
istri dengan masalah infertilitas adalah pemeriksaan analisis sperma.
Sebelum dilakukan analisis sperma, dilakukan tahap pra analisis yang
dapat mempengaruhi hasil analisis sperma, yaitu sebagai berikut
(Kuswondo, 2002):
a. Sediaan diambil setelah abstinensia sedikitnya 48 jam dan tidak
lebih dari 7 hari
b. Oleh karena variasi yang besar dalam produksi semen dapat terjadi
pada seseorang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan dua sediaan.
Waktu antara kedua pemeriksaan tersebut tidak boleh kurang dari 7
hari atau kurang dari 3 bulan
c. Sebaiknya sediaan dikeluarkan dalam kamar yang tenang dekat
laboratorium. Jika tidak, maka sediaan harus diantar ke
laboratorium dalam waktu satu jam setelah dikeluarkan dan jika
motilitas sperma sangat rendah (< 25% bergerak maju terus),
sediaan kedua harus diperiksa secepatnya.
d. Sediaan sebaiknya diperoleh dengan cara masturbasi dan
ditampung dalam botol kaca atau plastik bermulut lebar.
e. Gunakan kondom dengan bahan plastik khusus (Mylex) atau
penyimpan cairan khusus (HDC corporation, Mountian view,
calif). Kondom biasa sebaiknya tidak digunakan untuk menampung
semen karena mengandung spermatisid.
f. Coitus interuptus tidak dapat dipakai untuk mendapatkan siapan
karena ada kemungkinan bagian pertama ejakulat yang
mengandung sperma paling banyak akan hilang. Selain itu juga
akan terjadi kontaminasi seluler dan bakteri pada siapan serta dapat
terjadi pula pengaruh kurang baik terhadap motilitas sperma
sebagai akibat PH cairan vagina yang asam.
g. Siapan yang tidak lengkap sebaiknya tidak diperiksa, terutama jika
bagian pertama ejakulat hilang.
8
h. Siapan harus dilindungi terhadap suhu yang ekstrim selama
pengangkutan ke laboratorium (suhu antara 20-400 C)
i. Botol harus diberi label dengan nama penderita, tanggal
pengumpulan, dan lamanya abstinensia
Analisis sperma meliputi pemeriksaan makroskopis dan
mikroskopis (Kuswondo, 2002)
a. Pemeriksaan Makroskopis
1) Warna
Warna normal adalah putih/agak keruh. Kadang-kadang
ditemukan juga warna kekuningan atau merah. Warna
kekuningan mungkin disebabkan karena radang saluran
kencing atau abstinensia terlalu lama. Warna merah biasanya
oleh karena tercemar sel eritrosit ( hemospermi)
2) Volume
Cairan semen yang ditampung diukur dan diukur dengan
gelas ukur, dan dikatakan normospermi bila volumeya normal,
yaitu 2-6 ml, dengan harga rata-rata 2-3,5 ml. Aspermi bila
tidak keluar sperma pada waktu ejakulasi. Hiperspermi bila
volume lebih dari 6 ml. Hipospermi bila volume kurang dari 1
ml, hal ini dapat disebabkan oleh:
a) Tercecer pada waktu memasukkan semen ke dalam botol
b) Keadaan patologis, antara lain penyumbatan kedua duktus
ejakulatorius dan kelainan kongenital misalnya agenesis
vesikula seminalis. Hiperspermi biasanya diikuti oleh
konsentrasi sperma yang rendah dan hiperseprmi dapat
disebabkan oleh abstinensia yang lama dan produksi
kelenjar asesoris yang berlebihan.
3) Bau
Spermatozoa mempunyai bau khas yang mungkin
disebabkan oleh proses oksidasi dari spermia yang diproduksi
9
oleh prostat. Semen dapat berbau busuk atau amis bila terjadi
infeksi.
4) PH
Cara untuk mengetahui keasaman semen digunakan kertas
PH atau lakmus, biasanya sifatnya sedikit alkalis. Semen yang
terlalu lama akan berubah PHnya. Pada infeksi akut kelenjar
prostat, Phnya berubah menjadi di atas 8 atau menjadi 7,2
misalnya pada infeksi kronis organ-organ tadi. WHO memakai
kriteria yang normal yang lazim, yaitu7,2-7,8.
5) Viskositas
Viskositas semen diukur setelah mengalami likuefaksi betul
(15-20 menit setelah ejakulasi). Pengukuran dapat dilakukan
dengan 2 cara, yaitu:
a) Dengan pipet pastur: Semen diisap ke dalam pipet tersebut,
pada waktu pipet diangkat maka akan tertinggal semen
berbentuk benang pada ujung pipet. Panjang benang diukur,
normal panjangnya 3-5 cm.
b) Menggunakan pipet yang sudah mengalami standarisasi
(Elliaon). Pipet dalam posisi tegak, lalu diukur waktu yang
diperlukan setetes semen untuk lepas dari ujung pipet tadi.
Angka normal adalah 1-2 detik.
6) Likuefaksi
Semen normal pada suhu ruangan akan mengalami
likuefaksi dalam waktu 60 menit, walau pada umumnya sudah
terjadi dalam 15 menit. Pada beberapa kasus, likuefaksi
lengkap tidak terjadi dalam 60 menit. Hal ini bisa terjadi bila
mengandung granula seperti jelly (badan gelatin yang tidak
mencair), tetapi tidak memiliki makna secara klinis. Bila hal
ini ditemukan akan sangat mengganggu dalam analisis semen,
sehingga perlu dibantu dengan pencampuran enzimatis.
10
b. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis meliputi:
1) Jumlah spermatozoa per ml
Konsentrasi sperma ialah jumlah spermatozoa per ml
sperma. Jumlah spermatozoa total ialah jumlah seluruh
spermatozoa dalam ejakulat. Berikut ini adalah klasifikasinya:
a) Normal: jumlah spermatozoa di atas 60 juta/ml
b) Subfertil: 20-60 juta /ml
c) Steril: 20 juta atau kurang/ml
Namun, WHO menganggap jumlah sperma 20 juta/ml atau
lebih masih dianggap normal.
2) Jumlah spermatozoa motil per ml/persentase spermatozoa motil
Motilitas sperma dipengaruhi oleh adanya perubahan PH,
infeksi, morfologi, pematangan, dan gangguan hormonal.
Namun, secara garis besar WHO dan beberapa ahli berpendapat
motilitas dianggap normal bila 50% atau lebih bergerak maju
atau 25% atau lebih bergerak maju dengan cepat dalam waktu
60 menit setelah ditampung.
Motilitas sperma juga dapat dilihat dari gerakan maju
spermatozoa dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Grade 0 (none) bila tidak ada spermatozoa yang bergerak
b) Grade 1 (poor) bila terlihat gerakan maju spermatozoa yang
lemah
c) Grade 2 (good) bila terlihat gerak maju yang cukup baik
dari spermatozoa, termasuk yang bergerak zig zag dan
berputar-putar
d) Grade 3 (excellent) bila ada gerakan maju dari spermatozoa
yang seperti roket.
Sebagai patokan nilai normal hasil pengamatan sperma
di atas, WHO telah mendapatkan nilai normal hasil
pemeriksaan.
11
Di bawah ini terdaftar kriteria semen normal yang
umum dipakai menurut W
3) Kecepatan
Semen yang tidak diencerkan diteteskan ke dalam titik
hitung, tentukan waktu yang dibutuhkan satu spermatozoa
untuk menempuh jarak 1/20 mm, pada keadaan normal
dibutuhkan 1-1,4 detik, ini disebut normokinetik.
4) Morfologi
12
Kriteria Jumlah
Volume 2 ml atau lebih
PH 7,2-7,8
Jumlah sperma/ml 20 juta sperma/ml atau lebih
Jumlah sperma
total/ejakulat
40 juta sperma/ejakulat atau lebih
Motilitas 50% atau lebih bergerak maju atau 25%
lebih bergerak maju dengan cepat dalam
waktu 60 menit setelah ditampung
Morfologi 50% atau lebih bermorfologi normal
Viabilitas 50% atau lebih hidup, yaitu tidak terwarna
dengan pewarnaan supravital
Sel leukosit Kurang dari 1 juta/ml
Seng (total) 2,4 mikromol atau lebih setiap ejakulat
Asam sitrat (total) 52 mikromol (10 mg) atau lebih setiap
ejakulat
Fruktosa (total) 13 mikromol atau lebih setiap ejakulat
Uji MAR Perlekatan pada kurang dari 10% sperma
Uji butir imun Perlekatan butir imun pada kurang dari
10% sperma
Morfologi spermatozoa yang normal ditentukan oleh
bentuk kepala, leher, tanpa adanya sitoplasmik “droplets” dan
bentuk ekor. Semen yang normal mengandung setidaknya
48%-50% spermatozoa normal.
5) Komponen seluler lain dari semen (leukosit dan eritrosit)
Leukosit sangat sering dijumpai dalam spesimen semen,
sebagian besar adalah neutrofil. Jumlah leukosit yang tinggi
( lebih dari 106/ml) pria, menandakan leukospermia.
Leukospermia bisa disebabkan oleh infeksi pada sistem duktus
ekskretorius pria, terutama di kelenjar asesorius, yang harus
diselidiki dengan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan analisis
bakteriologis semen dan cairan prostat setelah tindakan masase
prostat dan USG. Pada cairan prostat yang didapat dengan
masase prostat, jumlah leukosit tak sampai melebihi 15 per LP
dengan pembesaran tinggi (LBP). Jumlah sel 15-40/LBP
disebut zona perbatasan dan bila jumlahnya lebih dari 40 maka
kemungkinan besar terdapat inflamasi prostat.
Jenis sel bulat lain yang kadang ditemukan adalah sel-sel
imatur dari segi spermatogenesis dan sel epitel dari uretra dan
vesica urinaria, sedangkan untuk eritrosit dalam keadaan
normal tidak ditemukan pada pemeriksaan semen (Kuswondo,
2002)
3. Nomenklatur untuk beberapa variabel semen
Tabel Nomenklatur Variabel Semen
Nomenklatur Jumlah
spermatozo
a
Spermatozo
a motil (%)
Morfologi
spermatozo
a normal
Normozoospermia =20 juta =50 =50
Oligozoospermia < 20 juta =50 =50
Ekstrim Oligozoospermia < 5 juta = 50 = 50
Astenozoozpermia = 20 juta < 50 = 50
13
Teratozoospermia = 20 juta = 50 < 50
Oligoastenozoospermia < 20 juta < 50 = 50
Oligoastenoteratozoosper
mia
< 20 juta < 50 = 50
Oligoteratozoospermia = 20 juta = 50 < 50
Astenoteratozoospermia = 20 juta < 50 < 50
Polizoospermia >250 juta = 50 = 50
Azoospermia - -
Nekrozoospermia Tak viabel
Aspermia Tak ada
spermatozo
a
4. Klasifikasi analisis semen
Di Indonesia, penggolongan tingkat fertilitas pria menganut kriteria
Farris (1949), berdasarkan jumlah spermatozoa motil per ejakulat
adalah sebagai berikut:
a. Golongan sangat fertil: lebih dari 185x106 spermatozoa per ejakulat
b. Golongan relatif fertil: 80x106-185x106 spermatozoa motil per
ejakulat
c. Golongan subfertil: 1-80x106 spermatozoa motil per ejakulat
(Kuswondo, 2002).
F. Metode Penanganan Pasangan Infertil
1. Terapi pada wanita
Induksi ovulasi adalah pemberian berbagai jenis obat untuk
mempengaruhi keadaan hormonal sehingga dapat menyebabkan
keadaan hiperstimulasi ovarium yang terkontrol untuk memacu
kesinambungan perkembangan folikel dari sekumpulan folikel
primordial sehingga bisa mencapai ovulasi (Sugono, 2008).
Macam obat induksi ovulasi adalah:
14
a. Obat yang dapat meningkatkan FSH endogen.
Macamnya yaitu CC (Clomiphen citrate) dan Aromatase
inhibitor.
CC merupakan turunan dari triphenylethylene
golongan nonsteroid dengan efek agonis dan
antagonis estrogen.CC diberikan secara oral
dimulai pada hari ke-3 siklus haid selama 5 hari.
Dosis dimulai dengan pemberian awal 50 mg per
hari selama 5 hari dan dapat ditingkatkan 50 mg
setiap siklus sampai tercapai ovulasi. Dosis
maksimal 150–200 mg, Monitoring setelah
pemberian adalah suhu basal badan dan kadar LH
urin. Kadar lonjakan LH biasanya terjadi setelah 5–
12 hari setelah pemberian terapi terakhir. Dengan
pemeriksaan USG transvaginal secara serial dapat
diukur jumlah dan besar folikel, sehingga dapat
diperkirakan apakah terjadi ovulasi.
Aromatase adalah anggota keluarga besar
kompleks enzym yang mengandung hemoprotein
cytochrom P450. Ia mempercepat proses akhir
pembentukan estrogen (E), yaitu proses
hidroksilasi androstenedion (A) menjadi estron
dan testosteron (T) menjadi estradiol. Salah satu
obat dari aromatase inhibitor yang sering
digunakan adalah letrozole. Dosis pemberian
adalah 2,5 mg perhari mulai hari ke-3 siklus haid
selama 5 hari.
b. Hormon GnRH yang menyebabkan perangsangan sentral untuk
sekresi FSH dan LH dari pituitari.
c. Hormon FSH dan LH eksogen yang merangsang ovarium
secara langsung
15
Indikasi lain pemberian obat induksi ovulasi adalah
infertilitas yang tak terjelaskan (unexplained infertility). Hal
ini merupakan terapi empirik, dan bila tidak berhasil
dilanjutkan dengan inseminasi atau invitro fertilisation (IVF)
(Sugono, 2008).
2. Terapi pada pria (Hestiantoro, 2009)
Terapi infertilitas pada pria dapat didasarkan atas 2 tata cara, yaitu
hanya berdasarkan analisis semen rutin dan berdasarkan etiologi
kausatif (Arsyad, 1992).
a. Terapi berdasarkan hasil analisis semen rutin
1) Kelainan volume semen
a) Hipospermia
Volume semen disebut hiposperma jika kurang dari 1,5 ml,
yang disebabkan antara lain karena Stres, Retrograde
ejaculation, dan frekuensi senggama.Untuk stres maka
pengobatan diarahkan untuk menghilangkan stres ; retrograde
ejaculation dapat diberi terapi obat atau terapi khusus berupa
pencucian sperma dari urine. Untuk endokrinopati dapat
diberikan testosteron, sedangkan bila koitus terlalu sering,
dapat dikurangi frekuensinya. Jika tidak jelas penyebabnya
dapat dilakukan AIH.
b) Hiperspermia
Hiperspermia adalah jika volume semen lebih dari 6 ml.
Penyebabnya dapat berupa abstinensia seksualis yang terlalu
lama dan hipersekresi vesika seminalis. Hiperspermia dengan
spermiogram normal tidak memerlukan pengobatan spesifik,
cukup dengan menganjurkan peningkatan frekuensi senggama,
tetapi jika disertai dengan spermiogram abnormal dapat
dilakukan terapi dengan split ejaculate atau withdrawal coitus
atau dengan treated sperm invitro(Arsyad, 1992).
16
2) Kelainan jumlah spermatozoa
a) Polizoospermia
Pada polizoospermia, jumlah spermatozoa lebih dari 250
juta/ml. Terapi dapat dengan anjuran meningkatkan frekuensi
koitus atau AIH dengan treated spermatozoa dengan jalan
pengenceran, swim up, sperm washing atau filtrasi.
b) Oligozoospermia
Sampai saat ini masih disepakati bahwa jumlah
spermatozoa kurang dari 20 juta/ml disebut oligozoospermia
dan jika kurang dari 5 juta/ml disebut olgozoospermia berat.
Terapi medikamentosa yaitu :
a) Klomifen sitrat dengan dosis 1 x 50 mg selama 90 hari atau
1 x 50 mg 3 x 25 hari dengan interval antara terapi 5 hari.
b) Tamoxifen, dapat diberikan dengan dosis 2 x 1 tablet
selama 60 hari.
c) Kombinasi HMG dan hCG; HMG (Pergonal®) diberikan
dengan dosis 150 IU 3 x/minggu dan hCG (Profasi®)
dengan dosis 2000 IU 2 x/minggu selama 12-16 minggu.
d) Kombinasi FSH (Metrodin®) dan hCG; dosisFSH 75IU 3
x/minggu dan dosis hCG 2000 IU 2 x/minggu selama 12-16
minggu. Selain medikamentosa, terapi dapat dilakukan
dengan AIH(IBS) dengan atau tanpa treated sperm.
3) Abnormalitas kualitas spermatozoa
Kualitas spermatozoa abnormal jika motilitas baik dan
cukup, tetapi morfologi normal kurang dari 50%. Terapi
gangguan kualitas ini dapat berupa medikamentosa, yaitu :
a) ATP
b) Androgen dosis rendah
c) Phosph6lipid esensial
d) Antibiotika
e) Vitamin E + Vit B
17
f) Pentoksifilin
Atau dilakukan AIH (IBS) dengan atau tanpa sperm treated
yang dapat berupa sperm washing dan sperm swim up. Jika
masih belum memberikan hasil yang diharapkan dapat
dilanjutkan dengan terapi hormonal berupa kombinasi FSH
dengan dosis 75 IU 3 x/minggu ditambah hCG 2000 IU 2 x/
minggu selama 12-16 minggu. Pengobatan ini dapat diteruskan
sampai 4 tahun.
b. Terapi berdasarkan etiologi kausatif
1) Etiologi infertilitas pria yang tak dapat diobati :
a) Klinefelter syndrome
b) Cryptorchidism bilateral
c) Atrofi testis
d) Sertoli cell only syndrome
e) Agenesis vas deferens
2) Etiologi infertilitas pria yang masih dapat diobati :
a) Varikokel
Varikokel merupakan salah satu faktor penyebab
infertilitas pria. Varikokel jarang dikeluhkan dan biasanya
ditemukan secara kebetulan tanpa keluhan yang jelas. Pada
evaluasi kasus infertilitas, 82% varikokel kiri, 2% varikokel
kanan dan 16% bilateral. Meskipun belum dapat dipastikan
sebagai penyebab infertilitas pada pria, tetapi bila pada
infertilitas pria ditemukan adanya varikokel biasanya akan
ditemukan juga hasil analisis semen yang abnormal. Terapi
vasoligasi vena spermatika interna kiri merupakan salah
satu pengobatan yang dapat memperbaiki kualitas dan
kuantitas spermatozoa, atau dengan cara embolisasi.
b) Infeksi kelenjar asesoris
Infeksi kelenjar asesoris yang dapat mempengaruhi
kualitas
18
semen adalah infeksi prostat, vesika seminalis dan
epididimis. Kelainan dapat berupa gangguan proses
pencairan semen, volume yang terlalu sedikit atau banyak
dan morfologi dan motilitas yang abnormal.
Terapi berupa pemberian antibiotika, dalam hal ini yang
dapat diberikan adalah golongan amoksisilin, doksisiklin
dan erithromisin
yang dapat ditambah dengan roborantia berupa vitamin E,
vitamin C dan vitamin B kompleks.
c) Immunologi
Infeksi kronis alat urogenital dapat menimbulkan tes
immunologi positif pada pemeriksaan semen; yaitu adanya
aglutinasi spontan spermatozoa pada pemeriksaan analisis
semen rutin, MAR test, dan SCMC test. Terapi dapat
berupa pemberian kortikosteroid, yang jika tidak
memuaskan dapat dilakukan AIH/IBS dengan treated
spermatozoa; misalnya dengan filtrasi glass wool, separasi
dengan
percoll, sephadex atau selofan, atau washing/swim up.
d) Gangguan hubungan seksual
Gangguan hubungan seksual dapat berupa frekuensi
tidak teratur, impotensia, ejakulasi dini, ejakulasi retardata,
ejakulasi retrograd, Epispadia/hipospadia
e) Endokrinopati
Ketidakseimbangan pengaturan hormonal pada
sistem reproduksi pria akan menyebabkan terjadinya
gangguan proses spermatogenesis dan/atau spermaogenesis.
Pengobatan hormonal yang tepat dapat mengembalikan
proses spermatogenesis/ spermiogenesis yang normal.
Untuk itu, selain pemeriksaan fisis andrologis diperlukan
19
pemeriksaan kadar hormon (FSH, LH, prolaktin dan
testosteron) dalam darah.
Jika ditemukan kadar FSH dan LH yang tinggi
dengan kadar
testosteron darah yang subnormal, biasanya pengobatan
hormonal
tidak diperlukan karena keadaan ini menunjukkan adanya
gagal testis primer, misalnya Klinefeltersyndrome; terapi
hormon hanya berupa substitusi androgen untuk masalah
potensi seksnya.
Jika kadar FSH tinggi, tapi kadar LH dan
testosteron darah
masih dalam batas normal, keadaan ini biasanya
menunjukkan adanya kekurang-pekaan sel-sel
germinativum (isolated germinal cell failure); jumlah
spermatozoa dapat berkisar dari azoospermia-
oligozoospermia.
Terapi hormonal tidak ada artinya, hanya dapat dicoba
AIH/IBS atau IVF.
Jika kadar FSH, LH dan Testosteron ketiga-tiganya
rendah disertai volume testis yang abnormal dan
konsistensi yang agak kurang padat, keadaan seperti ini
disebut sebagai hipogonadisme atau gagal testis sekunder.
Jika tidak ada hiperprolaktinemia, terapi gonadotropin
(HCB dan HMG) atau testosteron dapat memberikan
harapan baik (Arsyad, 1992).
G. Teknologi Khusus dalam Penanganan Infertilitas
1. Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan adalah peletakan sperma ke vagina wanita.
Sperma tersebut diletakkan di follicle ovarian (intrafollicular
20
insemination), uterus (intrauterine insemination-IUI), cervix
(intracervical insemination-ICI), atau tube fallopian (intratubal) wanita
dengan menggunakan cara buatan dan bukan dengan kopulasi alami
(Speroff, 2005).
Dilihat dari asal sperma yang digunakan, inseminasi buatan dapat
dibagi dua, yaitu (Speroff, 2005):
a. Inseminasi buatan dengan sperma sendiri (sperma suami) atau AIH
(artificial insemination husband)
b. Inseminasi buatan dengan donor sperma (bukan sperma suami)
atau AID (artificial insemination donor)
Dilihat dari tempat peletakkan sperma, inseminasi buatan yang
paling sering
digunakan adalah:
a. ICI (Intracervical Insemination)
Intracervical insemination (ICI) merupakan jenis
inseminasi buatan yang paling sering digunakan terutama pada
AID. Prosedur penggunaan ICI
relatif cepat dan tidak menyakitkan. Sperma yang berasal dari
donor langsung dimasukkan ke dalam serviks sehingga
memungkinkan sperma berjalan menuju uterus dan tuba falopii,
dimana akan terjadi pembuahan.
b. IUI (Intrauterine Insemination)
Intrauterine insemination (IUI) merupakan jenis inseminasi
buatan yang paling sering digunakan pada AIH. Sperma suami
langsung dimasukan ke dalam tuba falopii, sehingga bila sperma
tersebut bertemu dengan ovum, kemungkinan akan terjadi
fertilisasinya sangat tinggi. Prosedur IUI sangat efektif digunakan
oleh pasangan infertil yang tidak mengenal jelas penyebab dari
masalah infertil tersebut, misalnya pada pria yang mengalami
defisiensi sperma atau pada wanita yang mempunyai masalah pada
produksi mukus serviks (Speroff, 2005).
21
2. ART ( Assisted Reproductive Technologies)
ART merupakan teknologi reproduksi yang digunakan untuk
mendapatkan kehamilan di luar cara alamiah yang digunakan dalam
infertilitas. Macam-macam ART adalah sebagai berikut (Speroff,
2005):
a. FIVET (Fertilisasi in vitro embrio transfer) / IVF (In Vitro Fertilization)
Proses fertilisasi ini dilakukan dengan cara mengambil ovum
dari ovarium dengan cara laparoscopy, kemudian sperma
diinseminasikan ke dalam media biak. Setelah terjadi pembuahan
pada masa embrio stadium 2-4 sel, lalu di transfer ke dalam rahim.
Dalam hal ini peranan tuba tidak diperlukan, indikasi FIVET
adalah untuk pasien yang mengalami kerusakan pada saluran telur.
b. GIFT (Gamet intra fallopian transfer)
Proses fertilisasi ini dilakukan dengan cara mengambil ovum
dari ovarium dengan cara laparoscopy, kemudian bersama
spermayang telah diolah (washed sperm) dimasukkan kedalam
tuba pada saat itu juga. Dalam kondisi ini salah satu tuba pasien harus dalam
keadaan normal. Indikasi GIFT ini adalah untuk pasien yang mengalami
endometriosis dan unexplained infertility.
c. ZIFT (Zygote intra fallopian transfer)
Proses fertilisasi dengan cara mengambil ovum dari ovarium
dengan cara laparoscopy, kemudian sperma diinseminasikan
kedalam media biak. Setelah terjadi fertilisasi pada fase zygote,
hasilpembuahan ini dimasukkan kedalam tuba dengan cara
laparoscopy. Proses ini hampir sama dengan FIVET, hanya
perbedaannya jika pada FIVET hasil pembuahannya pada masa
embrio lalu di transferkan ke dalam rahim tetapi pada ZIFT hasil
pembuahan sebelum di transferkannya dalam bentuk zygote dan di
transferkan ke dalam tuba. Indikasi ZIFT ini adalah untuk pasien
yang mengalami oligozoospermia
22
H. Prognosis Infertilitas
Prognosis terjadinya kehamilan tergantung pada umur suami, umur
istri, dan lamanya dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan (frekuensi
senggama dan lamanya perkawinan). Fertilitas maksimal wanita dicapai
pada umur 24 tahun, kemudian menurun perlahan-lahan sampai umur 30
tahun, dan setelah itu menurun dengan cepat (Wiknjosastro et al, 2005).
Fertilitas maksimal pria dicapai pada umur 24-25 tahun. Hampir pada
setiap golongan umur pria proporsi terjadinya kehamilan dalam waktu
kurang dari enam bulan meningkat dengan meningkatnya frekuensi
senggama.
Penyelidikan jumlah bulan yang diperlukan untuk terjadinya
kehamilan tanpa pemakaian kontrasepsi telah dilakukan di Taiwan dan di
Amerika Serikat dengan kesimpulan bahwa 25% akan hamil dalam 1
bulan pertama, 63% dalam 6 bulan pertama, 75% dalam 9 bulan pertama,
80% dalam 12 bulan pertama, dan 90% dalam 18 bulan pertama. Dengan
demikian, makin lama pasangan kawin tanpa hasil, makin turun prognosis
kehamilannya (Wiknjosastro et al, 2005).
Pengelolaan mutakhir terhadap pasangan infertil dapat membawa
kehamilan kepada lebih dari 50% pasangan, walaupun masih selalu ada
10-20% pasangan yang belum diketahui etiologinya. Separuhnya lagi
terpaksa harus hidup tanpa anak, atau memperoleh anak dengan jalan lain,
misalnya dengan inseminasi buatan donor atau mengangkat anak (adopsi).
Jones and Pourmand berkesimpulan bahwa pasangan yang telah
dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 3 tahun kurang dapat
mengharapkan angka kehamilan sebesar 50% , yang lebih dari 5 tahun,
menurun menjadi 30%
(Wiknjosastro et al, 2005).
23
DAFTAR PUSTAKA
Adiyono, W., Praptohardjo U., Moerjon, S. 2005. Laparoskopi dan Histeroskopi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Pp. 231-234.
Arsyad, K.M. 1992. Tatacara Penanganan Infertilitas Pria. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran No. 74, 1992.
Bansal, K. 2004. Practical Approach to Infertility Management. New Delhi: Jaypee Brothers. Pp. 1-37
Bobak, L.M., Lowdermilk, D.L., Jensen M.D., Perry, S.E. 2004. Maternal Nursing 4th ed. St. Louis, Missauri: Mosby Co.
Hadibroto, B.R. 2005. Histeroskopi. Medan: Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU RS HAM-RSPM. Pp.1-16
Hansotia, M., Desai S., Parihar M., 2002. Advance Infertility Management. New Delhi. Federation of Obstetric and Gynecological Societies of India. Pp. 82-85.
Hestiantoro, Andon. 2009. Tatalaksana Pemeriksaan Dalam Infertilitas. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran 170/ vol.36. No 41.Juli-Agustus 2009.
Kuswondo, Gunawan. 2002. Analisis Semen pada Pasangan Infertil. Thesis. Semarang: Bagian/SMF Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro RSUP Dr. Kariadi.
Olds, S.B., London, M.L., Ladewig, P.A. 1988. Maternal Newborn Nursing. Canada: Addison Wesley Publishing.
Speroff, Fritz A.M.2005. Clinical Gynecology Endocrinology and Infertility. 7th Edition. Baltimore Maryland: Williams and Wilkins.pp 2013-56.
Sugono,. 2008. Perbedaan Pengaruh Pemberian Clomiphene Citrate dan Letrozole terhadap Perkembangan Folikel serta Profil Hormonal pada Wanita dengan Unexplained Infertility. Thesis. Semarang: Bagian/SMF Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro RSUP Dr. Kariadi.
Wiknjosastro, Hanifa; Saifuddin, A. Bari dan Trijatmo Rachimhadhi. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
.
24
25