RAMADHANITA MUSTIKA SARI
NIM. 09.2.00.1.09.01.0020
JARING PENGAMAN PENCEGAHAN KONFLIK:
KASUS MASYARAKAT OKU TIMUR
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Magister di Bidang Kajian Islam
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
1
KATA PENGANTAR
Persoalan konflik merupakan problem besar yang mengarah
kepada kehancuran dan disintegrasi bangsa. Hal tersebut nampak dari
berbagai kasus yang terjadi di Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan
sebagai salah satu wilayah rentan konflik, namun tetap aman dan tidak
terprovokasi dengan berbagai persoalan konflik di provinsi-provinsi
tetangga. Asumsi dasar yang dikembangkan karena adanya jaring
pengaman pencegahan konflik, asumsi itu perlu dikaji lebih mendalam.
Asumsi yang berkembang bahwa masyarakat OKU Timur
memiliki jaring pengaman agama yang berpijak pada nilai-nilai sebiduk sehaluan yang menjadi motto kabupaten tersebut. Namun demikian,
asumsi tersebut perlu dikaji tingkat efektifitasnya. Tinjuan ini juga
terkait dengan masih adanya informasi yang berhubungan dengan
ketimpangan pemberlakuan terhadap suku atas suku lain, termasuk
ketidakadilan dalam menerima bantuan dana keagamaan satu agama
dengan agama lain, Selain itu juga, penerimaan intervensi terhadap
tradisi dan keyakinan keagamaan, yang dapat menimbulkan gesekan-
gesekan, sekalipun di tempat ini belum pernah berkembang menjadi
konflik kekerasan. Kekerasan sosial, sebagai akibat dari kesenjangan
sosial maupun sikap budaya. Adanya kesenjangan kesejahteraan sosial
penduduk dalam bidang ekonomi antara penduduk pendatang yang
dominan kaya dengan penduduk primbumi yang pada umumnya
tergolong miskin, yakni antara orang Bali yang secara ekonomi lebih
sukses dibandingkan orang Komering dan orang Jawa. Yang sebagian
menyebut sebagai salah satu bentuk benih-benih konflik. Dari hal-hal
tersebut maka penelitian yang berjudul Jaring Pengaman Pencegahan Konflik: Masyarakat Oku Timur menarik untuk dikaji.
Secara umum dapat diuraikan isi buku yang ada di hadapan
pembaca ini dibagi ke dalam lima bab. BAB I Pendahuluan. Bab ini
memuat latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan manfaat
penelitian, riset terdahulu, metodologi penelitian, dan diakhiri dengan
sistematika pembahasan. BAB II merupakan landasan teori dalam
penelitian ini, yang mengkaji mengenai karakteristik konflik, teoritisasi
penyebab konflik, dan pendekatan dalam upaya pencegahan konflik.
Untuk kemudian dikaji lebih lanjut mengenai teorisasi jaring pengaman
pencegahan konflik. BAB III membahas kebijakan pemerintah dalam
upaya mencegah konflik. Sedangkan, BAB IV mengkaji mengenai peran
2
dan fungsi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam
pencegahan konflik. BAB V merupakan penutup, yang terdiri dari
kesimpulan dan implementasi penelitian.
Selesainnya buku ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan kepada semua
pihak yang telah membantu proses penulisan hingga selesainya buku ini.
Pertama penulis mengucapkan terima kasih kepada DR. Sudarnoto
Abdul Hakim, MA selaku pembimbing, melalui bimbingan dan
arahannya yang telaten dan teliti penulis menuntaskan buku ini.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. DR.
Azyumardi Azra, MA Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Prof. DR. Suwito, MA, DR. Fuad Jabali, dan DR.
Yusuf Rahman yang telah memberikan ide, masukan, dan juga saran
yang membangun dan sangat berguna.
Penulis mengucapkan banyak terima kepada Pak Heri Junaidi,
Ibu Syefriyeni, Pak Idzam Fautanu, Pak Jhon Supriyanto, Pak
Syarifuddin, Pak Maryuzi, Pak Kusnadi, Pak Abdul Hadi\\ serta bapak-
bapak yang ada di IMPASS (Ikatan Mahasiswa Sumatera Selatan), juga
kepada dosen-dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang
atas bantuan, doa dan motivasinya yang sangat membantu proses
penyelesaian studi S2 di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bupati
OKU Timur serta segenap jajarannya, juga kepada Tri Kartika Sari dan
Yan Safari. Terima kasih banyak atas semua bantuannya selama proses
pengumpulan data di Kabupaten OKU Timur.
Lebih lanjut penulis persembahkan karya ini kepada ayahanda
Mustopa Usman, dan Ibunda Sofiah Suhaimi, juga yunda Agusliana,
kanda Agustiansyah, serta Adinda Ari Kurniawan yang terus
mensupport baik baik materil maupun non materil. Terima kasih banyak
atas pengorbanan yang telah diberikan selama ini.
Kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu
persatu, yang telah memberikan saran, kritik, dan bantuan hingga
selesainya penulisan buku ini diucapkan terima kasih. Semoga Allah
SWT membalasnya sebagai amal ibadah. Semoga bermanfa’at. Amin.
Jakarta, Mei 2011
Penulis,
Ramadhanita Mustika Sari
3
TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA
A. Huruf Konsonan
q = ق z = ز ' = أ
k = ك s = س b = ب
l = ل sh = ش t = ت
m = م {s = ص th = ث
n = ن }d = ض j = ج
w = و {t = ط }h = ح
h = ه {z = ظ kh = خ
= ء ‘ = ع d = د
y = ي gh = غ dh = ذ
f = ف r = ر
B. Huruf Vokal
Vokal Tunggal: a = ´ ; i = ; u =
Vokal Panjang: a< = ا ; i> = ي ; ū = و
Vokal Rangkap: ay = ا ي ; aw = ا و
4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ─ v
TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA ─ ix
DAFTAR ISI ─ x
BAB I
PENDAHULUAN ─ 1
BAB II
PENCEGAHAN KONFLIK DALAM PERSPEKTIF ─ 14
A. Karakteristik Konflik ─ 14
B. Teoritisasi Penyebab Konflik ─ 27
C. Pendekatan dalam Upaya Pencegahan Konflik ─ 33
D. Jaring Pengaman Pencegahan Konflik ─ 42
BAB III
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM UPAYA
MENCEGAH KONFLIK ─ 45
A. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Keadilan dan
Kesejahteraan Umat ─ 45
B. Perbaikan di Bidang Sosial Ekonomi ─ 60
BAB IV
PERAN DAN FUNGSI FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
(FKUB) DALAM PENCEGAHAN KONFLIK ─ 68
A. Dinamika Kehidupan Umat Beragama di
Kabupaten OKU Timur ─ 68
B. Wewenang dan Tanggung Jawab FKUB ─ 81
C. Agenda Kegiatan FKUB dalam Menciptakan
Kerukunan Umat Beragama ─ 84
5
D. Kerjasama Pemerintah Kabupaten OKU Timur
dengan Pemuka Agama, serta Masyarakat OKU Timur
dalam Upaya Mencegah Konflik ─ 88
BAB V
PENUTUP ─ 99
A. Kesimpulan ─ 99
B. Implementasi Penelitian ─ 100
DAFTAR PUSTAKA ─ 101
INDEKS ─ 113
GLOSARI ─ 115
BIODATA DIRI ─ 118
6
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Persoalan konflik merupakan problem besar yang mengarah
kepada kehancuran dan disintegrasi bangsa. Hal tersebut nampak dari
berbagai kasus yang terjadi diberbagai provinsi yang ada di Indonesia,
misalnya konflik yang terjadi di Aceh (1976-2005),1 Papua (1965-
2000),2 Poso (1998-2001),
3 Tasikmalaya (1996),
4 Sampit
5 (Kalimantan
Tengah) tahun 1997-2001, Sambas (Kalimantan Barat) tahun 1999-
2001,6 Ambon (1999-2002)
7.
Provinsi Sumatera Selatan sebagai salah satu wilayah rentan
konflik,8 namun tetap aman dan tidak terprovokasi dengan berbagai
1Untuk lebih jelasnya lihat Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds.
Disintegrasi Pasca Orde Baru: Konflik Lokal dan Dinamika Internasional (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2007), 92-93. 2Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds. Disintegrasi Pasca Orde Baru:
Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, 100-117. 3Endang Kironosasi, dkk., ‚Deskripsi Penelitian Wilayah Poso,‚ dalam
Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rusmin Tumanggor, eds. (Jakarta: Lemlit & PM UIN Syahid Bekerjasama dengan
Balitbangsos Depsos RI, 2004), 129-176.
4Toriq Hadad, Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam (Jakarta: ISAI,
1998), 9-28. 5Syamir Salam dan Badri Yatim, ‚Deskripsi Penelitian Wilayah Sampit,‚
dalam Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rusmin Tumanggor, eds., 85-126.
6Lihat Stanley, eds. Konflik Etnis di Sambas (Jakarta: IAIS, 2000), 120-124.
Lihat juga Hamdani Anwar dan Amsal Bakhtiar, ’’Deskripsi Penelitian Wilayah
Sambas,‚ dalam Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rusmin Tumanggor, eds., 35-80.
7Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds. Disintegrasi Pasca Orde Baru:
Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, 157-174. Untuk mengetahui lebih jelas
bagaimana deskripsi wilayah Ambon, Lihat Imam Soeyoeti, ‛Deskripsi Penelitian
Wilayah Ambon,‚ dalam Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rusmin Tumanggor, eds., 177-220. Lihat juga
Eriyanto, Media dan Konflik Ambon: Media, Berita dan Kerusuhan Komunal di Ambon 1999-2002 (Jakarta: Penerbit Kantor Berita Radio 68 H, 2003), dalam kata
pengantar. 8Sumatera Selatan mempunyai 22 suku, antara lain suku Komering,
Palembang, Pasemah, Semendo, Ranau, Ogan, Kisam, Lematang, Renjang, Rawas,
7
persoalan konflik di provinsi-provinsi tetangga. Berdasarkan hasil studi
terdahulu diketahui wilayah Sumatera Selatan yang memiliki
masyarakat multikultural, multi-etnik dan multi-religius adalah
Kabupaten OKU Timur. Indikator yang menjadi dasar adalah Pertama,
Kabupaten ini memiliki penduduk yang berjumlah 620.862 jiwa, dengan
mayoritas penduduk beragama Islam (588.213 jiwa), mayoritas kedua
beragama Hindu (12.901 jiwa), sisanya Kristen (11.745 jiwa) Katolik
(7.157 jiwa), Budha (846 jiwa).9 Kedua, penduduk di Kabupaten OKU
Timur terdiri dari berbagai suku dan etnis. Berdasarkan data dari
Pemerintah Kabupaten OKU Timur suku yang berada di wilayah
tersebut meliputi suku Bali (24%), suku komering (22%), suku Jawa
(19%), suku Padang (14%), Suku Batak (12%), suku Palembang (9%).
Sedangkan etnis yang berada di wilayah dikenal dengan sebiduk sehaluan tersebut terdiri dari etnis Basemah yang berasal dari
Kabupaten Lahat (termasuk Kabupaten Empat Lawang) dan Kota Pagar
Alam, Kisam (Kabupaten OKU Selatan), Kedurang (Kabupaten
Bengkulu Selatan), Padang Guci dan Kinal (Kabupaten Kaur). Pasemah
(Besemah) bersama-sama dengan Rejang, Empat Lawang, Kikim dan
Kisam serta beberapa daerah yang terletak antara Lampung dan
Palembang iliran, Etnis India, Etnis China, dan Etnis Arab.10
Berdasarkan data tersebut memperlihatkan bahwa wilayah OKU
Timur yang rentan terhadap konflik, namun tetap aman di tengah-tengah
wilayah lain di Indonesia yang bergejolak. Asumsi yang berkembang
bahwa masyarakat OKU Timur memiliki jaring pengaman agama yang
berpijak pada nilai-nilai sebiduk sehaluan yang menjadi motto
kabupaten tersebut. Namun demikian, asumsi tersebut perlu dikaji
tingkat efektifitasnya. Tinjuan ini juga terkait dengan masih adanya
informasi yang berhubungan dengan ketimpangan pemberlakuan
terhadap suku atas suku lain, termasuk ketidakadilan dalam menerima
bantuan dana keagamaan satu agama dengan agama lain, Selain itu juga,
penerimaan intervensi terhadap tradisi dan keyakinan keagamaan, yang
dapat menimbulkan gesekan-gesekan, sekalipun di tempat ini belum
pernah berkembang menjadi konflik kekerasan. Kekerasan sosial,
sebagai akibat dari kesenjangan sosial maupun sikap budaya. Adanya
Kubu. Selain itu juga ada etnis Cina, India, Arab, dan Melayu. Sumber: Depdikbud
Ditjen. Kebudayaan, Peta Suku Bangsa di Pulau Sumatera, Direktorat Jarahnita Subdit
Lingkungan Budaya, 1989, 34. 9Sumber: Arsip Departemen Agama Kabupaten OKU Timur, 2010.
10Sumber: www. bappedaokutimurkab.go.id di akses tanggal 10 Januari
2010.
8
kesenjangan kesejahteraan sosial penduduk dalam bidang ekonomi
antara penduduk pendatang yang dominan kaya dengan penduduk
primbumi yang pada umumnya tergolong miskin, yakni antara orang
Bali yang secara ekonomi lebih sukses dibandingkan orang Komering
dan orang Jawa. Yang sebagian menyebut sebagai salah satu bentuk
benih-benih konflik.11
Dari hal-hal tersebut maka penelitian yang
berjudul Jaring Pengaman Pencegahan Konflik: Masyarakat Oku Timur layak untuk diteliti.
Studi ini bermula dari keinginan memperoleh jawaban mengenai
upaya untuk mencegah terjadinya konflik di daerah yang memiliki
keragaman baik suku maupun agama, yang bila tidak disikapi secara
bijak dapat memunculkan konflik komunal Sehubungan dengan itu,
permasalahan yang ada dalam judul tersebut diidentifikasi sebagai
berikut.
Untuk mengamankan masyarakat pluralis yang rentan terjadinya
konflik dengan menggunakan jaring pengaman masyarakat dapat dikaji
dari berbagai aspek, yakni Pertama, aspek ekonomi, dengan melakukan
upaya-upaya yang dapat mensejahterakan masyarakat, seperti
pemberdayaan masyarakat berbasis keadilan dan kesejahteraan umat,
dengan memberlakukan JPS (Jaring Pengaman Sosial), memberikan
bantuan bagi keluarga yang kurang mampu, mengadakan pelatihan-
pelatihan kepada masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan sehingga
ia mempunyai keterampilan yang dapat menghasilkan uang. Kedua,
aspek normatif (dokrin agama), yakni upaya memberikan kesadaran dan
pemahaman yang baik mengenai pentingnya untuk hidup damai dan
rukun, salah satu caranya dengan mengadakan kegiatan pengajian yang
materinya seputar pentingnya menciptakan dan memelihara kerukunan
dan keharmonisan hidup beragama (pengajian agama berbasis
pluralitas), peran serta dan kearifan pemuka agama untuk tidak
melakukan dakwah standar ganda dalam masyarakat majemuk. Ketiga,
aspek politik dan hukum, yakni dengan memberlakukan sangsi yang
tegas dan mengamankan siapa saja yang berbuat sesuatu hal yang dapat
menyebabkan terjadinya konflik.
Artinya, untuk mencegah agar tidak terjadinya konflik yang
perlu diperhatikan, yakni bagaimana kondisi sosial masyarakat itu,
seperti keadaan ekonomi, situasi politik, sosial budaya, dll. Disinilah
dituntut sejauh mana peran pemerintah dalam menyelesaikan masalah-
11
Berdasarkan observasi dan pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti
dalam studi pendahuluan di Kabupaten OKU Timur, Bulan Januari 2010.
9
masalah yang ada. Disamping itu, pemerintah juga perlu bekerja sama
dengan semua pihak yang terkait, antara lain dengan pemuka agama,
agamawan dan para cendikiawan teologis. Dalam hal ini juga, banyak
sudut pandang dan ilmu yang dapat dipakai dalam mengkaji masalah
tersebut, antara lain: ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu sosiologi, ilmu
psikologi, dll.
Melihat begitu kompleksnya masalah yang dihadapi dalam upaya
mencegah agar konflik komunal tidak terjadi, diperlukan ilmu
pengetahuan yang kompeten dan dapat diharapkan sanggup
memecahkan masalah ini dengan wajar. Teknologi, teologi, ilmu
ekonomi, ilmu politik, ilmu antropologi budaya, ilmu hukum harus bisa
disinerjikan dan dikolaborasikan dengan efektif. Karena teologi saja
misalnya, tidak dapat diharapkan mampu memecahkan persoalan,
apalagi teologi yang masih berpegang pada pola tradisional dan biasanya
kurang menguasai pengetahuan sosiologis. Munculnya usaha
pengembangan ke arah teoritis dan praktis dalam teologi seperti teologi
sosial, teologi bisnis, dewasa ini sesungguhnya merupakan jawaban dari
kesempitan makna teologi yang sampai sekarang ini dianut oleh
mayoritas muslim di Indonesia. Dari teknologi pun juga belum cukup,
karena teknik pembangunan dari sarana-sarana fisik adalah lain dari
teknik menangani masalah sosial. Masyarakat tidak dapat digerakkan
dalam pembangunan ini dengan hanya ditawari teknologi-teknologi
canggih melainkan perlu teknik-teknik penyadaran akan perlunya
kehidupan yang lebih baik. Untuk itu butuh juga ilmu-ilmu, misalnya
psikologi atau sosiologi umum.
Penelitian yang berjudul Jaring Pengaman Pencegahan Konflik: Masyarakat Oku Timur ini memfokuskan diri pada upaya pencegahan
konflik melalui pendekatan sosial umat beragama, yakni mencegah
terjadinya konflik dengan mengkaji masalah-masalah yang terjadi antar
umat beragama ditinjau dari sosial kemasyarakatan, dengan
menggunakan jaring pengaman pencegahan konflik, dengan studi kasus
pada masyarakat Kabupaten OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan.
Unsur-unsur yang ada dalam jaring pengaman ini adalah: Pertama, peran
pemerintah Kabupaten OKU Timur dan pemuka agama dalam jaring
pengaman pencegahan konflik. Kedua, fungsi Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) dalam upaya pencegahan konflik. Ketiga, kegiatan
sosial kemasyarakatan sebagai wujud dari adanya keharmonisan di
Kabupaten OKU Timur, yakni gotong royong; kerja sama dalam bidang
sosial, ekonomi, dan politik; serta bakti sosial.
10
Sesuai dengan pembatasan yang telah ditentukan, maka rumusan
masalah penelitian ini, yakni apakah jaring pengaman pencegahan
konflik dapat menjadi salah satu strategi yang efektif untuk mencegah
terjadinya konflik pada masyarakat Kabupaten OKU Timur Sumatera
Selatan ? Dari rumusan masalah ini kemudian muncul pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana peran dan kerjasama pemerintah Kabupaten OKU Timur
dengan pemuka agama dalam jaring pengaman pencegahan konflik
pada masyarakat Kabupaten OKU Timur?
b. Bagaimana fungsi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kabupaten OKU Timur dalam upaya pencegahan konflik di
Kabupaten OKU Timur?
c. Bagaimana fungsi kegiatan sosial kemasyarakatan (gotong royong,
kerja sama dan bakti sosial) dalam upaya pencegahan konflik di
Kabupaten OKU Timur?
Tujuan diadakan penelitian ini, yaitu untuk mengkaji bagaimana
peran dan kerjasama pemerintah Kabupaten OKU Timur dengan pemuka
agama dalam jaring pengaman pencegahan konflik pada masyarakat
Kabupaten OKU Timur; memaparkan bagaimana fungsi Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten OKU Timur dalam
upaya pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur; serta untuk
memperoleh gambaran bagaimana fungsi kegiatan sosial
kemasyarakatan (gotong royong, kerja sama dan bakti sosial) dalam
upaya pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur.
Manfaat penelitian ini adalah dapat menjadi salah satu strategi
dalam meminimalisir dan mencegah terjadinya konflik umat beragama
di Indonesia umumnya, dan di Kabupaten OKU Timur Sumatera Selatan
khususnya. Serta diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi
pemerintah dalam membuat kebijakan mengenai kerukunan umat
beragama.
Kajian Teoritis
Dalam rangka penelitian tentang jaring pengaman pencegahan
konflik lebih dahulu perlu dilakukan tinjauan dan kajian pustaka yang
dipandang relevan dengan pokok bahasan. Sepanjang pengetahuan
peneliti, sampai saat ini sudah ada karya ilmiah yang ditulis mengenai
konflik, baik resolusi konflik maupun upaya pencegahan konflik, antara
lain: Arifin Assegaf dalam penelitiannya ‛Memahami Sumber Konflik
Antar Iman‛, menyatakan bahwa sikap inklusif dalam beragama dapat
11
menjadi salah satu upaya untuk mencegah konflik.12
Sedangkan menurut
Mark Juergensmeyer dalam penelitian yang berjudul Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, bahwa cara efektif
untuk mencegah terjadinya konflik melalui pendekatan yang lebih
menekankan peran sentral agama bagi tegaknya tatanan publik dan
terpeliharanya rasa aman masyarakat, yang hanya akan terwujud
manakala tidak mencampuradukkan agama dengan politik. 13
Hal senada
juga diungkapkan oleh Reynal Querol.14
Menurut Frances Stewart dalam penelitiannya yang berjudul ‛Sebab-Sebab Dasar Sosial Ekonomi dan Konflik Politik, dengan
Kekerasan‛ menyatakan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya
ketidakrelasian antar pemeluk agama yang disebabkan oleh monopoli
kekuasaan politik satu kelompok atau kelompok lainnya yang
menimbulkan kesenjangan-kesenjangan sosial. Oleh karenanya,
perbaikan di bidang sosial ekonomi dan sosial politik dapat menjadi
salah satu langkah problem solving dalam resolusi konflik.15
Hal senada
juga diungkapkan oleh Leo Suryadinata.16
Sedangkan menurut Marc
12
Arifin Assegaf, ‚Memahami Sumber Konflik Antar Iman,‛ dalam
Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Th. Sumartana, eds.
(Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2001), 34-37. 13
Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God: the Global Rise of Religious Violence, 326.
14Reynal Querol dalam analisisnya mengenai etnisitas, sistem politik dan
perang sipil menyatakan bahwa perbedaan agama menjadi faktor yang sangat kuat
dalam memunculkan konflik yang dahsyat dibandingkan konflik perebutan sumber-
sumber ekonomi, ataupun perbedaan bahasa. Menurut Reynal Querol faktor agama
menjadi lebih berpotensi menimbulkan konflik dibandingkan faktor sosial lainnya, hal
ini dikarenakan: Pertama, faktor eksklusifitas agama itu sendiri. Agama dapat
dijadikan sebagai identitas yang secara mutlak akan membedakan seseorang dengan
lainnya. Kedua, perbedaan agama yang didukung oleh perbedaan peradaban cenderung
memberikan perbedaan pemahaman dalam melihat fenomena realitas, hubungan sosial,
dll. Meskipun kelompok memiliki perbedaan bahasa, namun mereka cenderung
memiliki cara pandang dan pemahaman yang sama dalam melihat dunia jika seseorang
tersebut memiliki kesamaan peradaban. Hal ini akan menjadi lebih sulit bagi mereka
yang berbeda agama. Kajian selengkapnya lihat Reynal Querol, M. Ethnicity, Political System and Civil Wars (Bellaterra-Barcelona, Spain, Institute d’analisis Economic
(IAE), 2004), 2. 15
Frances Stewart, ‛Sebab-Sebab Dasar Sosial Ekonomi, Konflik Politik,
dengan Kekerasan,‛ dalam Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Helene Bouvier, eds., 186-209.
16Leo Suryadinata, ‛Aksi Anti Cina di Asia Tenggara: Upaya Mencari
Penyebab dan Pemecahan,‛ dalam Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Helene Bouvier, eds., 173-209.
12
Gaborieau dalam penelitiannya ‛Konflik Hindu-Muslim di India dalam
Perspektif Sejarah‛ menegaskan bahwa terjadinya konfik antar agama
lebih disebabkan oleh masalah politik, seperti dianalogikan kasus India
yang sejak kerusuhan Gujarattaun pada tahun 2002.17
Penelitian Imtiyaz Yusuf dan Lars Peter Schmidt yang berjudul
Understanding Conflict and Approaching Peace in Southern Thailand,
menyimpulkan bahwa penyebab konflik yang diisukan dengan SARA
(Suku Agama Ras) lebih disebabkan pada persaingan ekonomi.
Terutama adanya kecemburuan komunitas pribumi terhadap kemajuan
komunitas minoritas pendatang. Kasus Kalimantan (2000), Thailand dan
di Asia Tenggara menjadi salah satu contoh konflik lokal bernuansa
kecemburuan sosial ekonomi yang dikembangkan menjadi SARA. Oleh
karena itu untuk mencegah agar konflik seperti ini tidak terjadi yang
perlu diperhatikan, yakni meningkatkan kesejahteraan ekonomi
penduduk.18
Hal senada juga dinyatakan oleh Jeremy Black dalam
bukunya War and the New Disorder in the 21st Century .19
Karya M. Arfah Shiddiq dalam disertasinya yang berjudul ‛Konflik dan Konformitas antara Islam dan Kristen (Studi tentang
Hubungan antar Umat Beragama di Indonesia 1966-1992)‛. Disertasi ini
membahas mengenai faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara
umat Islam dan Kristen di Indonesia dalam kurun waktu 1966-1992
adalah faktor doktrinal, konflik historis politis, isu Kristenisasi (kasus
Indonesia). Akan tetapi, jika di analisis secara mendalam faktor-faktor
tersebut, ternyata kesenjangan sosial-ekonomi dan perebutan kekuasaan
merupakan pemicu terjadinya konflik yang disertai kekerasan.
Disamping itu, menurut M. Arfah Shiddiq agama juga dapat dipandang
sebagai faktor konformitas, dalam melihat konformitas antara Islam dan
Kristen, ada beberapa faktor yang dapat dijadikan acuan, yaitu adannya
titik temu antara ajaran Islam dan Kristen, budaya sebagai faktor
konformitas, dan urgensi dialog antar umat beragama dalam konteks
17
Menurut Marc Gaborieau dalam kasus ini terlihat jelas bahwa konflik agama
memang dapat membantu meningkatkan prospek meraih kemenangan dalam pemilihan
umum bagi nasionalis Hindu yang berkuasa di India. Kajian lebih lanjut lihat Marc
Gaborieau, ‛Konflik Hindu-Islam di India dalam Perspektif Sejarah,‛ dalam Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik,
Helene Bouvier, eds., 21-30. 18
Imtiyaz Yusuf dan Lars Peter Schmidt, Understanding Conflict and Approaching Peace in Southern Thailand (Bangkok: Konrand Adenaver Stiftung,
2006), 191.
19
Jeremy Black, War and the New Disorder in the 21st Century (New York-
London: Continuum, 2004), ix-xiv.
13
pluralitas bangsa. Disertasi ini hanya membahas konflik yang terjadi
antara umat agama Islam dan Kristen, serta resolusi konflik yang lebih
memfokuskan pada pendekatan normatif agama, padahal banyak konflik
yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan masalah sosial umat
beragama, seperti kesenjangan sosial-ekonomi dan perebutan kekuasaan
(masalah politik). 20
Heri Junaidi21
dalam penelitiannya yang berjudul ‛Analisis
Kerukunan antar Agama di Wilayah Kabupaten OKU Timur Provinsi
Sumatera Selatan Melalui Nilai-Nilai Bahasa Wong Kito Galo‛,
membahas mengenai bagaimana nilai-nilai bahasa Wong Kito Galo
menjadi dasar bahasa kerukunan yang perlu dilestarikan dan dihargai
secara berkesinambungan khususnya di Kabupaten OKU Timur yang
memiliki kemajemukan baik agama maupun budaya. Hal ini merupakan
salah satu upaya untuk mencegah terjadinya konflik. Dalam penelitian
ini hanya memfokuskan pada kajian nilai-nilai yang terkandung dalam
bahasa Wong Kito Galo sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya
konflik antar umat beragama di Kabupaten OKU Timur.
Zubaedi dalam penelitiannya yang berjudul ‛Integrasi Kelompok
Etnis dan Agama Berbeda pada Masyarakat Transmigran di Desa
Sumber Agung Argamakmur Bengkulu Utara Provinsi Sumatera
Selatan‛, membahas mengenai integrasi yang terjadi dalam beberapa
aspek kehidupan di Desa Sumber Agung, yaitu dalam hal urusan
pemukiman atau tempat tinggal, penggunaan bahasa, kebudayaan,
pergaulan dan tatanan sosial yang lain. Integrasi etnis dan agama yang
berbeda tidak selalu menimbulkan gesekan-gesekan yang berujung pada
konflik etnis dan agama, tetapi sebaliknya di daerah ini integrasi etnis
dan agama yang berbeda membawa banyak manfaat, antara lain
terpeliharanya keharmonisan antar masyarakat dan kedamaian di desa
tersebut, meningkatkan pemahaman masyararakat tentang kebebasan
beragama, sehingga dapat mencegah terjadinya gesekan yang dapat
menimbulkan konflik antar umat beragama, terjadinya akulturasi budaya
20
M. Arfah Shiddiq, ‚Konflik dan Konformitas antara Islam dan Kristen
(Studi Tentang Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia 1966-1992).‛ Disertasi
PascaSarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000. 21
Heri Junaidi, ‛Analisis Kerukunan antar Agama di Wilayah Kabupaten
OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan Melalui Nilai-Nilai Bahasa Wong Kito Galo,‛
Disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian Kompetitif Kehidupan Keagamaan
‚Internalisasi Nilai-Nilai Keagamaan dalam Rangka Memperkuat Wawasan
Kebangsaan‛, yang diselenggarakan oleh Badan Litbang Departemen Agama RI, di
Hotel Horison, Bekasi, Jawa Barat, tanggal 6-7 Oktober 2009.
14
dan inkulturasi budaya, meningkatnya pembangunan dan kemakmuran
di desa Sumber Agung karena terjalinnya kerja sama yang baik antara
pemerintah setempat, tokoh masyarakat dan pemuka agama dengan
masyarakat. Penelitian ini hanya menjelaskan mengenai upaya
mencegah terjadinya konflik melalui integrasi etnis dan agama yang
berbeda.22
Faizah dalam tesisnya yang berjudul ‛Konsep Dakwah dalam
Mencegah Konflik antar Umat Beragama‛,23
yang membahas mengenai
konsep dakwah dalam mencegah konflik antar umat beragama, yang
lebih memfokuskan pembahasan mengenai konsep dakwah dari segi
materi dan metode dakwah yang dapat mencegah konflik antar umat
beragama. Dalam tesisnya, Faizah lebih memfokuskan penelitiannya
pada upaya pencegahan konflik melalui pendekatan normatif agama,
yakni bagaimana mencari konsep dan format dakwah yang tidak
menimbulkan terjadinya konflik.
Kajian ini lebih memfokuskan pembahasan mengenai
pencegahan konflik dengan menggunakan pendekatan sosial umat
beragama, dengan mengkaji bagaimana kerja sama, serta bahu membahu
dari semua pihak yang ada di Kabupaten OKU Timur (termasuk di
dalamnya pemerintah Kabupaten OKU Timur, pemuka agama,
agamawan dan para cendikiawan teologis) yang dijadikan alat dalam
upaya mencegah agar tidak terjadinya konflik di daerah ini.
Objek Kajian
Penelitian ini pada dasarnya merupakan studi lapangan (field research) dengan menggunakan dua macam sumber data, yaitu sumber
primer dan sumber sekunder. Sumber primer yang dimaksud adalah
sumber data yang diambil langsung dari sumbernya,24
yakni data
mengenai jaring pengaman pencegahan konflik masyarakat Kabupaten
OKU Timur, baik berupa hasil observasi, hasil wawancara, arsip ataupun
dokumen-dokumen hasil kegiatan yang berkaitan dengan upaya
22
Zubaedi,‛Integrasi Kelompok Etnis dan Agama Berbeda pada Masyarakat
Transmigran di Desa Sumber Agung Argamakmur Bengkulu Utara Provinsi Sumatera
Selatan,‛ Disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian Kompetitif Kehidupan
Keagamaan ‚Internalisasi Nilai-Nilai Keagamaan dalam Rangka Memperkuat
Wawasan Kebangsaan‛, yang diselenggarakan oleh Badan Litbang Departemen Agama
RI, di Hotel Horison, Bekasi, Jawa Barat, tanggal 6-7 Oktober 2009. 23
Faizah, ‛Konsep Dakwah Dalam Mencegah Konflik Antar Umat Beragama.‛
Tesis PascaSarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004. 24
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek
(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 114.
15
pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur. Sedangkan sumber
sekunder studi ini adalah data berupa monografi kelembagaan agama,
hasil penelitian dan dialog, studi kasus, artikel-artikel dalam majalah
dan surat kabar yang berkaitan dengan penelitian ini.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui
berbagai teknik pengumpulan data, yaitu: observasi,25
wawancara,26
dan
dokumentasi. Wawancara ditujukan kepada orang-orang yang dianggap
memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai upaya pencegahan
konflik di Kabupaten OKU Timur serta terlibat langsung di dalamnya,
seperti Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur 2010-2015 (Kholid
Mawardi), Kabid Kesatuan Bangsa (Marwan), Ketua FKUB Kabupaten
OKU Timur (Nurkarsiarto), serta pemuka agama (Islam, Hindu, Kristen
Protestan, Khatolik, dan Budha).27
Wawancara ini dilakukan selama dua
hari, yakni tanggal 9-10 Februari 2011.28
Sedangkan metode dokumentasi29
digunakan untuk mendapatkan
data yang berkenaan dengan upaya pencegahan konflik umat beragama
yang ditulis dalam jurnal penelitian, hasil penelitian, opini media dan
tabloid. Metode ini juga digunakan untuk mengumpulkan data mengenai
Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten OKU Timur (struktur
organisasi dan dokumen-dokumen hasil kegiatan yang telah dilakukan),
serta arsip kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat, seperti gotong
royong, kerja sama, dan kegiatan bakti sosial, yang berkaitan dengan
upaya pencegahan terjadinya konflik di Kabupaten OKU Timur. Dengan
digunakannya metode ini diharapkan dapat diketahui seberapa besar
manfaat dan peran strategis dari adanya FKUB (Forum Kerukunan Umat
Beragama) Kabupaten OKU Timur, serta terlaksananya kegiatan sosial
25
Consule G. Sevilla, eds. Pengantar Metode Penelitian (Jakarta: Penerbit UI
Press, 1993), 198-203. 26
Untuk lebih jelas mengenai pengertian wawancara lihat Masri Singarimbun
dan Sofian Effendi, eds. Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1995), 192-215. 27
Dalam hal ini digunakan purposive random sampling, yaitu mengambil
responden dengan tingkat kesempatan yang sama dan dilakukan secara acak. Hal
tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa: perwakilan pemuka agama memiliki
pengetahuan dan pengertian yang sama tentang jaring pengaman pencegahan konflik;
diambil satu perwakilan dari setiap agama yang dianggap mewakili, dalam hal ini,
perwakilan agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik
(Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto). 28
Wawancara dilakukan selama dua hari agar didapatkan data yang failed,
karena bila jaraknya berjauhan ditakutkan perubahan situasi dan kondisi
mempengaruhi responden. 29
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek
(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 149.
16
kemasyarakatan tersebut dalam mencegah terjadinya konflik di
Kabupaten OKU Timur.
Ada dua jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini,
yaitu Pertama, pendekatan sosiologi-politik.30
Pendekatan ini dipakai
karena ilmu sosial (sosiologi) mencoba memahami, menelaah, meneliti,
mencari persamaan dan perbedaan antara masyarakat yang satu dengan
yang lain. Ilmu sosial juga mencoba memahami perilaku individu dalam
masyarakat dan sebaliknya perilaku masyarakat sebagai kumpulan
individu dengan kelompok masyarakat lainnya.31
Sedangkan ilmu politik
mengkaji mengenai hak dan wewenang, kekuasaan, proses pembuatan
keputusan dalam masyarakat, serta konflik yang terjadi sebagai akibat
dari distribusi dan alokasi barang dan jasa yang dianggap mempunyai
nilai oleh masyarakat menjadi tak seimbang.32
Ilmu politik juga
mencakup studi mengenai berbagai permasalahan manusia, tentang
perlengkapan yang dikembangkan untuk memecahkan masalah tersebut,
serta ide dan faktor yang mempengaruhi keputusan manusia untuk
mengatasi semua permasalahan itu.33
Dari kedua ilmu ini kemudian
melahirkan hubungan antara ilmu sosial (sosiologi) dan ilmu politik,
yang menghasilkan cabang ilmu sosiologi politik, dengan tokoh
30
Ilmu politik menaruh perhatian pada kekuasaan, karakteristik-karakteristik
dan kegiatan-kegiatan pemerintah, serta aktivitas-aktivitas politik dalam lingkungan
masyarakat yang berbeda-beda. Para sosiolog telah banyak belajar dari para ahli
politik. Namun para sosiolog biasanya lebih tertarik pada bagaimana institusi-institusi
seperti keluarga dan sistem pendidikan mempengaruhi sikap politik dan jalannya
pemungutan suara. Untuk lebih jelasnya lihat Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik: Suatu Pemikiran dan Penerapan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007), 16.
31Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan
Struktural (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 139-145. 32
Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2003), 3. 33
Penjelasan ini memperlihatkan bahwa politik merupakan suatu bidang studi
khusus tentang cara-cara manusia memecahkan permasalahan-permasalahan bersama
dengan manusia yang lain. Dalam hal ini ilmu politik mencakup studi mengenai
permasalahan manusia, mengenai perlengkapan yang dikembangkan manusia untuk
memecahkan permasalahan tersebut, mengenai factor-faktor yang mempengaruhi
keputusan manusia, dan terutama mengenai ide yang mempengaruhi manusia untuk
mengatasi semua permasalahan tersebut. Dengan demikian ilmu politik tidak sama
dengan studi mengenai pemerintahan, melainkan fungsi pemerintahan dalam
masyarakat. Menurut anggapan umum, titik sentral studi politik adalah kekuasaan
dalam konteks masyarakat. Bahasan lebih lanjut lihat Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik: Suatu Pemikiran dan Penerapan, 18.
17
utamanya Maurice Duverger yang membicarakan tentang basis-basis
sosial dari kekuasaan dalam masyarakat.34
Pendekatan sosiologi-politik digunakan dalam penelitian ini
dengan asumsi bahwa nilai-nilai politis yang ada di Kabupaten OKU
Timur dan telah dilakukan oleh pihak yang berwenang (seperti
pemerintah Kabupaten OKU Timur, serta pemuka agama) tidak bisa
lepas dalam kehidupan sosial umat beragama di daerah ini, yang turut
mempengaruhi, mewarnai dan membentuk hubungan yang harmonis
antar umat beragama di Kabupaten OKU Timur. Dengan pendekatan ini
juga diharapkan dapat ditembus rahasia nilai-nilai yang terkandung
dalam politisasi pemerintah Kabupaten OKU Timur dalam upaya
mencegah terjadinya konflik di daerah ini.
Kedua, pendekatan fenomenologis. Menurut Suharsimi Arikunto,
pendekatan fenomenologis dapat menjadi salah satu pendekatan dalam
penelitian kualitatif karena kebenaran sesuatu itu dapat diperoleh
dengan cara menangkap fenomena atau gejala yang memancar dari objek
yang diteliti, sehingga dapat dipahami mengapa seseorang melakukan
suatu tindakan.35
34
Kunci dari pandangan Duverger ini terletak pada konsepnya tentang politik.
Menurut Duverger politik adalah masalah kekuasaan. Jadi, ilmu politik atau sosiologi
politik adalah ilmu kekuasaan, yakni ilmu yang mempelajari tentang seluruh jaringan
hubungan yang telah mempunyai model atau pola (atau struktur) yang mengandung
sifat otoritas. Kekuasaan dalam arti hubungan yang mengandung otoritas
mempengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun komunitas-
komuitas yang lebih kecil. Ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan,
yakni bisa sebagai penyebab konflik atau perpecahan dan bisa juga sebagai benih
integrasi. Kekuasaan dapat memainkan peranan sebagai penyebab konflik dan alat
untuk menindas, bilamana orang melihat politik sebagai arena pertarungan atau medan
pertempuran. Dalam hal ini kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasil merebut
dan mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya di dalam
masyarakat. Disamping itu, ada pihak lain yang menentang dan ingin merebut
kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Sejalan dengan itu, Duverger menyebut ini
sebagai aspek antagonisme atau konflik dari kekuasaan atau politik. Aspek kedua,
muncul bilamana orang menganggap bahwa politik adalah suatu upaya untuk
menegakkan ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini kekuasaaan dilihat sebagai
pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan
berbagai kelompok kepentingan. Disini kekuasaan memainkan peranan integratif,
memihak dan melindungi kepentingan bersama vis-a-vis kepentingan golongan atau
kelompok. Kedua aspek kekuasaan itu selalu muncul dalam kehidupan politik. Kajian
selengkapnya mengenai hal ini lihat Maurice Duverger, The Study Of Politics (New
York: Crowell, 1972). 35
Untuk lebih jelasnya lihat Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, 8-19.
18
Digunakan pendekatan fenomenilogis dalam studi ini untuk
mengkaji fenomena-fenomena mengenai bagaimana jaring pengaman
pencegahan konflik di Kabupaten OKU Timur. Mengapa masyarakat
tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan konflik, apakah
karena kesadaran atau ada hal lain yang turut mempengaruhinya.
Dengan pendekatan ini diharapkan fenomena-fenomena yang nampak di
Kabupaten OKU Timur berkenaan dengan upaya yang telah dilakukan
masyarakat serta seluruh elemen yang ada (termasuk di dalamnya
pemerintah Kabupaten OKU Timur, serta pemuka agama) dalam
mencegah agar tidak terjadi konflik di daerah ini.
Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan
analisis interaksionisme simbolik36
untuk melihat berbagai fenomena
yang ada pada skala mikro dan lingkungan sepesifik. Yakni dengan
melakukan deskriptif terhadap konteks sosial. Setelah itu, diberi
interpretasi yang relevan dengan referensi teoritis dan data yang telah
terkumpul untuk melihat hubungan signifikannya. Lalu diambil
kesimpulan mengenai jaring pengaman pencegahan konflik masyarakat
Kabupaten OKU Timur Provinsi Sumatera Selatan. Oleh karena itu,
analisis atas lingkungan sosial politik, sosial kultural, sosial ekonomi
dan sosial keagamaan yang ada saat itu akan menjadi pelengkap penting
studi ini.
36
Istilah interaksionisme simbolik merupakan sumbangan orisinal Berbert
Blumer melalui artikel Man and Society (1969). Sebenarnya teori ini tidak spesifik
melakukan analisis konflik. Interaksionisme simbolis membahas interpretasi aktor
terhadap simbol-simbol, termasuk bahasa, yang dibawa oleh aktor lain dalam proses
interaksi sosial. Simbol bisa dimaknai secara variatif oleh masing-masing aktor dalam
interaksi sosial. Lihat Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2009), 61. Lihat juga Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2002), 148.
19
BAB II
PENCEGAHAN KONFLIK DALAM PERSPEKTIF
Bab ini mengkaji mengenai: karakteristik konflik (ciri-ciri
konflik); faktor penyebab konflik yang terdiri dari faktor struktural
(keadaan/kondisi negara, keamanan dalam negeri, etnisitas suatu
wilayah); faktor politik (sistem politik, ideologi politik yang berlaku,
dinamika politik antarkelompok, perilaku elite, distribusi kekuasaan dan
wewenang yang tidak merata); faktor budaya dan persepsi (diskriminasi
budaya terhadap kaum minoritas, persepsi terhadap kelompok tertentu).
Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai teori yang dipakai dalam
pencegahan konflik, yakni conflict management (mengelola konflik
dengan cara mengatasi perbedaan seproduktif mungkin untuk
mengurangi eskalasi konflik kekerasan); dan democratic conflict governance (suatu dinamisasi hubungan antara berbagai aktor dan
lembaga dalam tata kelola unsur konflik dalam suatu ruang politik yang
inklusif).
A. Karakteristik Konflik
Para pemikir besar dalam ilmu sosial telah banyak mencurahkan
pemikirannya tentang konflik, seperti Darwin, Maltus, Machiavelli,
Hobbes, Herbert Spencer dan Karl Marx.37
Mereka membagi konflik ke
dalam empat kategori, yaitu: Pertama, persaingan atau pertentangan
antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain. Kedua, keadaan
37
Mereka menganalisis konflik sebagai sesuatu yang menyatu (embedded)
dalam diri manusia. Maka eksistensi konflik dalam peradaban manusia adalah untuk
mempertahankan hidup terhadap lingkungannya. Apalagi, konflik selalu membicarakan
pertentangan, baik dalam bidang ekonomi, politik dan sosial budaya, di mana manusia
saling berinteraksi sosial. Farrington dan Chertok (1993) melakukan pemetaan
pemikiran Machiavelli dan Hobbes dalam melihat kecenderungan konflik sebagai
elemen dasar dari sifat manusia. Darwin dan Maltus membahas konflik dari sudut
pandang kompetisi untuk mendapatkan sumber daya. Herbert Spencer menyatakan,
konflik adalah proses alamiah yang memberikan kontribusi pada perubahan sosial.
William Graham Summer mengungkapkan, kompetisi untuk bertahan hidup
mempunyai pengaruh positif pada kemajuan sosial. Farrington dan Chertok membahas
Marxian Theory, yang memandang konflik adalah struktur dasar kondisi masyarakat
dan konflik yang merupakan bagian lazim dalam setiap hubungan manusia. Pemikiran
Marx dalam melihat eksistensi manusia, merupakan sebuah kontradiksi, baik dalam
pikiran dan tindakan manusia, melalui proses dialektika: tesis, anti tesis, dan sintesis.
Dikutip dari Hasrullah, Dendam Konflik Poso (periode 1998-2001) (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2009), 39.
14
20
atau perilaku yang bertentangan (misalnya pertentangan pendapat,
kepentingan, ataupun pertentangan antar individu).38
Ketiga,
perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang
bertentangan. Dan Keempat, bahwa konflik adalah perseteruan.39
Pemahaman tersebut memperlihatkan bahwa pengertian konflik adalah
terjadinya pertentangan dalam hubungan kemanusiaan antara satu pihak
dengan pihak lain, ataupun antara kelompok dengan kelompok lain, yang
timbul akibat adanya perbedaan kepentingan dalam mencapai suatu
tujuan.
Pengertian konflik di atas sesuai dengan pendapatnya Pruit dan
Rubin, yang menyatakan bahwa konflik berarti persepsi mengenai
perbedaan kepentingan, atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-
pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan.40
Jika memahami
konflik pada dimensi ini, maka unsur-unsur yang ada di dalam konflik
adalah persepsi, aspirasi, dan aktor yang terlibat di dalamnya. Artinya
dalam dunia sosial yang ditemukan persepsi, maka akan ditemukan pula
aspirasi dan aktor.
Menurut jenisnya konflik terbagi dua, yakni: konflik vertikal
(konflik antara elite dengan rakyatnya); dan konflik horizontal, yakni
konfllik yang terjadi dikalangan massa (rakyat) sendiri.41
Selain jenis
konflik, dikenal pula istilah tipe konflik yang akan menggambarkan
persoalan sikap, perilaku, dan situasi yang ada. Tipe-tipe konflik terdiri
38
Hal ini senada dengan pendapatnya Otomar J. Bartos dan Paul Wehr yang
mendefinisikan konflik sebagai situasi pada saat para aktor menggunakan perilaku
konflik melawan satu sama lain untuk menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau
mengekspresikan naluri permusuhan. Dalam definisi itu sebenarnya Bartos dan Wehr
memasukkan unsur perilaku konflik sebagai unsur pemicu konflik. Kajian lebih lanjut
lihat Otomar J. Bartos dan Paul Wehr, Using Conflict Theory (New York: Cambridge
University Press, 2003), 13. 39
Pengertian yang sama juga terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
yang mengartikan konflik sebagai perbedaan, pertentangan dan perselisihan. Lihat
Badudu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar
Harapan, 2001), 711. Lihat juga Departemen Agama RI, Manajemen Konflik Umat Beragama (Jakarta: Puslitbang Depag RI, 2004), 28-29. Bandingkan dengan D.G Pruitt
& Rubin, Teori Konflik Sosial (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 31. 40
G. Dean Pruitt dan Sung Hee Kim, Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement (New York: McGraw-Hill, 2004), 10.
41Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer (Jakarta:
Kencana, 2009), 92-94.
21
dari tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik di
permukaan. 42
Ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam
menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering
muncul. Pertama, pandangan primordialis.43
Kelompok ini menganggap,
perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan
juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan
kepentingan etnis maupun agama.44
Kedua, pandangan kaum
instrumentalis. Menurut kelompok ini suku, agama dan identitas lainnya
dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk
mencapai tujuan yang diinginkan, baik dalam bentuk materil maupun
non-materil.45
Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa
identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan
kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga
membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas
merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling
mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah
anugrah dan perbedaan adalah berkah.46
Lederach menjelaskan bagaimana konflik dalam perspektif
konstruksi sosial.47
Ada tujuh asumsi yang dituliskannya, yaitu:
42
Simon Fisher, eds. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action
diterjemahkan oleh S.N. Kartika Sari, et.al., Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak (Jakarta: Penerbit The British Council, 2001), 5.
43Antony Giddens, Human Society A Reader (Cambridge: Polity Press, 1992),
162. Harold R. Isaacs, ‚Basic Group Identity: The Idol of the Trible,‛ dalam Ethnicity, Theory and Experience, ed. Nathan Glazer and Daniel P. Moyniham (Cambridge:
Harvard University Press, 1975), 29-52. 44
Lihat Vanhanen, ‚Ethnic Conflicts Explained by Ethnic Neotism,‛ Research in Biopolitics, Vol. 7, Stamford CT: JAI Press, 1999.
45Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk
mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan "Islam"
misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mendukung
kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis,
selama setiap orang mau mengalah dari pilihan yang dikehendaki elite, selama itu pula
benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Kajian lebih
lanjut lihat Paul R. Brass, Ethnicity and Nationalism: Theory and Comparison (New
York: Sage Publication, 1991), 10. 46
Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan (Jakarta: PT. Dunia Pustaka
Jaya, 1995), 37-40. 47
John Paul Lederach adalah salah seorang sosiolog perdamaian yang
mengembangkan perspektif konstruksi sosial. Lederach memusatkan analisis
konfliknya pada dinamika bahasa dalam struktur hubungan sosial. Untuk lebih jelasnya
22
Pertama, konflik sosial dipahami sebagai hal yang alamiah, suatu
pengalaman-pengalaman umum yang hadir di setiap hubungan dan
budaya. Kedua, konflik dipahami sebagai kejadian konstruktif
kebudayaan secara sosial. Konflik tidak hanya terjadi pada seseorang,
tetapi orang merupakan peserta aktif dalam menciptakan situasi dan
interaksi yang mereka ambil pengalaman sebagai konflik. Ketiga,
konflik muncul melalui proses interaktif yang melandaskan pada
pencarian dan penciptaan makna bersama. Keempat, proses interaktif
disempurnakan melalui dan diakarkan dalam persepsi manusia,
interpretasi ekspresi, dan niatan-niatan, yang semuanya tumbuh dari dan
berputar kembali ke kesadaran umum mereka (common sense). Kelima,
pemaknaan muncul sebagaimana manusia meletakkan diri mereka
sendiri dan sesuatu yang sosial seperti situasi, kejadian, dan tindakan di
dalam pengetahuan terkumpul mereka. Keenam, kebudayaan berakar di
dalam pengetahuan bersama dan skema-skema dan digunakan oleh
sekelompok orang untuk merasakan, menafsirkan, mengekspresikan, dan
merespons kenyataan sosial di sekitar mereka. Ketujuh, pemahaman
hubungan konflik sosial dan budaya tidak hanya satu pertanyaan sensitif
dari kesadaran, tetapi lebih jauh petualangan yang dalam dari penemuan
dan penggalian arkeologis dari pengetahuan umum bersama dari
sekelompok orang.48
Menurut Novri Susan, konflik bisa muncul pada skala yang
berbeda seperti konflik antar orang (interpersonal conflict), konflik
antarkelompok (intergroup conflict), konflik antar kelompok dengan
negara (vertical conflict), dan konflik antarnegara (interstate conflict).49
Pemahaman tersebut juga seiring dengan teori orientasi kepentingan
lihat John Paul Lederach, Preparing for Peace Conflict Transformation Across Culture (Syracus, NY: Syracus University Press, 1996), 9-10.
48Selanjutnya Lederach menyatakan bahwa pandangan konstruksionis
mengusulkan bahwa manusia bertindak pada basis suatu pemaknaan yang ada pada
mereka. Pemaknaan diciptakan melalui pengetahuan bersama dan terakumulasi.
Konflik sosial politik pun didorong oleh proses pemaknaan aktor-aktor yang terlibat
dalam konflik. Sehingga dalam menganalisis konflik, bahasa dalam struktur hubungan
sosial menjadi sangat penting. Analisis inilah yang kemudian menciptakan segitiga
negoisasi kepemimpinan yang banyak dipakai dalam menciptakan resolusi konflik
damai. John Paul Lederach, Preparing for Peace Conflict Transformation Across Culture , 11.
49Untuk lebih jelas mengenai bahasan ini lihat Novri Susan, Sosiologi Konflik
& Isu-Isu Konflik Kontemporer, 5-6.
23
Dahrendorf.50
Menurutnya, kepentingan adalah sesuatu yang berskala
luas, yang akan mempengaruhi tindakan seseorang. Dalam konteks ini,
terdapat dua jenis kepentingan: (1) kepentingan tersembunyi, yaitu
harapan peran yang tidak disadari oleh yang lain, dan (2) kepentingan
nyata, yaitu kepentingan tersembunyi yang telah disadari orang lain.
Sedangkan secara teoritis dapat diproposisikan, apabila dalam satu
wilayah terdapat kehidupan lintas etnis dan agama di mana masing-
masing mempunyai norma, nilai dan hukum yang berbeda di antara satu
sama lainnya dalam menata kehidupan sosial dan kebudayaannya, maka
keutuhan dan persatuan dapat terjelma dalam wilayah tersebut manakala
mereka secara sadar dan rela dapat melatenkan atau memodifikasi
norma, nilai dan hukum tersebut yang nyata-nyata mengundang
pertentangan etnis, agama serta pelapisan masyarakat. Disamping itu
dapat menampilkan sisi-sisi yang sesuai berbagai norma dan hukum
yang ada.
Sebaliknya jika dinamika relatif aman, namun masing-masing
etnis, agama dan pelapisan masyarakat memaksakan perbedaan itu
kepada satu sama lainnya di wilayah interaksi antar variasi tersebut,
inilah yang menjadi sumber keretakan, konflik dan berwujud dengan
kerusuhan sosial.51
Hal tersebut ditegaskan Simon Fisher yang
menyatakan bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak (individu
ataupun kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering
bersifat kreatif.52
Ahmad Syafi’i Ma’arif juga mengatakan hal yang
senada, yakni bahwa konflik akan senantiasa menjadi bagian yang
melekat terhadap keberlangsung peradaban.53
Akan tetapi, konflik
menjadi menarik untuk dikaji saat ia diterapkan dalam praksis agama.
Sebabnya tidak lain karena agama justru didesain, bahkan diklaim
sebagai jalan menuju kedamaian. Kegagalan agama, seharusnya tidak
50
Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society (London:
Routledge & Kegan Paul, 1959), 173-179. 51
Rumin Tumanggor, eds. Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air (Jakarta: Lemlit & PM UIN Syahid
Bekerjasama dengan Balitbangsos Depsos RI, 2004), 5-6. 52
Ahad Soedijar, Bencana Sosial Sampit (Jakarta: Badan Litbang Sosial
Depsos RI, 2002), 3. 53
Ahmad Syafi’i Ma’arif, ‚Situasi dan Kekuatan Konflik dalam Sejarah
Indonesia Kontemporer,‛ HARMONI: Jurnal Multikultural dan Multireligius, Volume
1, No. 1, Januari-Maret 2002, 14-24. Lihat juga Frans Magnis-Suseno, ‚Konflik dan
Harmoni: Pengelolaannya dalam Wawasan Indonesia,‛ Prisma, no. 2, 1985, 90.
24
ditimpakan langsung kepada agama itu sendiri, tetapi pada proses
keberagamaan pemeluknya.
Memaknai konflik dari konstruk agama, maka penilaian dasar
dari etimologi bahwa agama tidak lain terstruktur dari kata a yang
berarti tidak dan gama yang bermakna kacau. Jadi agama berjati-makna
tidak kacau, dan itulah sebabnya orang yang beragama adalah orang
yang meraih dan mempraktikan hidup tidak kacau, apalagi
mengacaukan. Tetapi di dalam kenyataan, sejarah membuktikan bahwa
manusia yang memeluk suatu agama tidak menjamin menjadi sebagai
komunitas pembawa rahmat damai bagi seru sekalian alam. Bahkan, di
antara sesama pemeluk agama, antara satu sekte dengan sekte lainnya,
sampai yang berbeda agama, terbukti selalu dan potensil menciptakan
konflik.54
Ada formula ironi-sosiologis yang menyatakan, di mana ada
agama, di situ ada konflik.55
Oleh karena itu, agama dianggap
mengandung potensi bawaan konflik. Terutama karena doktrin dasar
dari agama adalah klaim keselamatan eskatologis,56
yang mudah rentan
kualitas humanitas relasinya.57
54
Bahasan lebih lanjut lihat Abdul Qodir Shaleh, Agama Kekerasan
(Yogyakarta: Prismasophie, 2003), 79. 55
Analisis sosio-historis menjelaskannya secara benderang, tentang hal
tersebut. Pertama, agama diturunkan atau diciptakan di saat kekacauan; baik yang
berkaitan dengan kerisuhan relasi sosial maupun nilai, sedang terjadi. Agama datang
untuk menyelesaikan masalah, begitu misi hakikinya. Dalam konteks tersebut, misal
munculnya dogma bahwa saat agama Kristen lahir, tugasnya adalah menyelamatkan
umat manusia dan dunia dengan cara menggenapkan agama Yahudi. Hal yang sama
juga terjadi saat Islam turun, klaimnya bertajuk untuk melengkapi dan melanjutkan
misi Isa. Tugas kerasulan Muhammad adalah untuk menjadikan seantero manusia di
jagat ini berakhlak mulia. Ironisnya, pada saat pelahiran agama-agama tersebut telah
dengan sendirinya menegasikan agama yang sudah ada. Sebagai resikonya adalah
pemberangusan oleh penguasa agama (dan umumnya didukung pemerintah) terhadap
agama baru tersebut. Pemertahanan diri dari agama baru dan perlawanan dengan
sendirinya dilakukan. Kedua-duanya jelas mengatasnamakan Tuhan dan demi
kesucian-Nya. Kedua, ketika sebuah agama tersebut tercipta, yang bertikai, selain
dengan agama lain (antar agama) adalah antara sesama penganutnya (intern agama).
Konflik justru terjadi dengan alasan demi membela agama yang bersangkutan. Fakta
tersebut sangat mencolok baik di dalam tradisi kristiani maupun islami. Konflik dari
dan di dalam komunitas agama lantas menjadi laten dan poten. Lihat Muhammad
Legenhausen, Islam and Religious Pluralism (London: Alhoda Publishers dan Printers,
1999), 136. 56
Realitas kajian yang menjadi nilai bahwa ‚hanya yang melalui dia (Isa Al
Masih) yang akan sampai ke pada Tuhan dan selamat di dunia dan akhirat‛ di dalam
agama Kristen. Yesus Kristus itu Tuhan, karena Ia mempunyai segala kuasa, baik di
surga maupun di atas bumi (Matius 28: 18). Yesus itu nabi, karena Ia mengajarkan
25
Agama dianggap sebagai salah satu sumber konflik sebagaimana
juga paham hidup yang lain seperti komunisme, kapitalisme, ataupun
nasionalisme.58
Kemudian konflik Irak-Iran yang merupakan cermin
konflik nasionalisme.59
Begitu juga di Indonesia, berbagai kerusuhan
terjadi silih berganti, antara lain di Tasikmalaya (1996),60
Poso (1998-
2001),61
dan Ambon (1999-2002),62
menunjukkan bahwa bila konflik
telah terjadi, tidak ada yang bisa membedung agresifitas pemeluk
agama. Pada kasus ini juga memperlihatkan bahwa konflik yang terjadi
di berbagai daerah di Indonesia mengandung sentimen agama, apapun
alasannya, menyerang atau mempertahankan diri dari serangan.63
Dan
masih banyak lagi konflik yang terjadi di berbagai daerah dibelahan
jalan keselamatan bagi manusia (Kitab Ulangan, 18: 15-18 dan Kisah para Rasul, 3:
22). Yesus Kristus adalah raja abadi, sebab kerajaan-Nya itu kekal adanya, jauh
berbeda dengan kerajaan duniawi yang binasa kelak, karena ia abadi untuk selamanya
(Injil Lukas, 1: 32-33). Dikutip dari Fritzjof Shuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 1994), 3-7.
57Yang tidak selalu mendapatkan jalan perjumpaan sosiologis antara umat
beragama. Hal ini terjadi hampir di semua wilayah konflik dunia, termasuk dan
terutama di Indonesia. Terutama bila nuansa politis (baca kepentingan pribadi atau
kelompok) memanfaatkannya. Masalahnya karena beragama itu bersyarat, yakni harus
beriman. Di sinilah sesungguhnya sumber yang jadi pemicu terciptanya social ill di
atas. Itulah sebabnya secara sosiologis, dapat dimaklumi bila iman (faith) yang menjadi
dasar dan ruh seseorang beragama, yakni di dalam merumuskan dirinya dan orang-
orang di luar dirinya, senantiasa jadi terminologi rawan. Sebab, iman berkarakter
muskil abstrak dan logikanya unik. Selain itu, iman acapkali menafikan kemajemukan.
Lihat Yusnar Yusuf MS, Prasangka Ber-agama: Implikasi Konflik Sosial di Ambon Atas Relasi Keberagamaan di Indonesia (Jakarta: Penamadani, 2004), 125-130.
58M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Perangi Teroris Bukan Islam
(Jakarta: Penerbit Center for Moderate Moslem, 2004), 12-27. Lihat juga Donald
Eugene Smith, Religion, Politics, and Social Change in the Third World (New York:
The Free Press, 1971), 223. 59
Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, Perang Iran-Perang Irak (Jakarta: Penerbit
Sinar Harapan, 1981), 56-62.
60
Toriq Hadad, Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam (Jakarta: ISAI,
1998), 9-28. 61
Endang Kironosasi, dkk., ‚Deskripsi Penelitian Wilayah Poso,‚ dalam
Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Rumin Tumanggor, eds., 129-176.
62Kusuma Espe, Provokator Paradigma Kritis di Tengah Konflik: Penyadaran
Masyarakat Pasca Pertikaian antar Komunitas di Ambon (Jakarta: Awan Indah, 2004),
16-18. 63
Departemen Agama RI, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Proyek Peningkatan
Kerukunan Umat Beragama, 2004), 116.
26
dunia, bagaimana sebetulnya teoritisasi penyebab konflik, akan dibahas
lebih lanjut pada sub bab berikut ini.
B. Teoritisasi Penyebab Konflik
Michael Brown dalam bukunya Nationalism and Ethnic Conflict mengungkap bahwa para peneliti yang meneliti konflik di dalam suatu
negara mengidentifikasikan ada empat faktor yang menyebabkan
terjadinya konflik, yakni64
: Pertama, faktor struktural. Dalam cakupan
bahasan faktor struktural menekankan terdapat tiga faktor pokok utama
yang dapat menyebabkan terjadinya konflik, yakni keadaan/kondisi
negara, keamanan dalam negeri, dan etnisitas suatu wilayah.65
Kedua,
64
M.E. Brown, et.al., Nationalism and Ethnic Conflict (Cambridge: The MIT
Press, 1997), 5-12. 65
Contoh kasus konflik di Poso yang diakibatkan faktor struktural yakni:
Pertama, Horizontal Inequalities, sebuah kombinasi dari ketidaksamaan antara dua
kelompok agama yang dominan Muslim dan Nasrani dalam kebijakan Islamisasi
selama beberapa dekade terakhir dari rezim Orde Baru, yang menyebabkan timbulnya
ketidakpuasan sosial ekonomi. Ketidaksamaan horizontal antarkelompok telah menjadi
dasar dari sumber-sumber konflik etnik dan agama. Kedua, Dynamics of Migration,
akibat dinamika transmigrasi resmi yang dilakukan oleh pemerintah baik dari Jawa dan
Bali, maupun transmigrasi secara spontan yang berasal dari suku Bugis Sulawesi
Selatan, telah menambah terciptanya dimensi ketidakpuasan dan ketegangan antara
pendatang dengan penduduk setempat. Ketiga, Natural Resources Contestation,
kompetisi dalam sumber-sumber alam, terutama lahan, seperti yang telah diprediksikan
para ahli sebagai sumber utama dalam ketegangan atau konflik di Sulawesi Tengah.
Perebutan sumber lahan, mengundang kontroversi dalam dua sisi, yaitu: (1) penduduk
pendatang merujuk pada pemilikan lahan berdasarkan pemerintahan, mengklaim
legitimasi pada konsep hukum barat dalam hak-hak kekayaan, (2) sementara pribumi
atau penduduk asli bersandar pada konsep hukum adat istiadat dan hak-hak tradisional.
Keempat, Weak Legal Institutions, lemahnya institusi hukum telah menyebabkan
terjadinya kekerasan. Kurang efektifnya institusi-institusi hukum pada episode
kekerasan dan penegakan hukum (apakah itu besar atau kecil) telah berperan
meningkatkan kekerasan, seperti yang terjadi di Poso, di mana dua perkelahian yang
memicu fase konflik yang pertama dan kedua yang mengarah kepada vigilantisme yang
telah memunculkan kekerasan. Kelima, Transparency and Accountability of
Governance, transparasi dan akuntabilitas sangat dibutuhkan dalam menciptakan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Oleh sebab itu publik sangat mengharapkan
agar pemerintah mampu menyediakan akses informasi sebagai respon pada krisis yang
telah menjadi faktor signifikan dalam konflik di Sulawesi Tengah. Kompetisi pada
posisi yang menguntungkan pada pemerintah, telah melahirkan kekerasan.
Ketidaksukaan Kristen karena meningkatnya marginalisasi mereka yang menyebabkan
konflik menjadi laten. Kecurigaan terhadap praktik korupsi dan nepotisme pekerjaan,
serta kurangnya transparasi telah meningkatkan ketegangan. Lihat M.E. Brown, et.al.,
Nationalism and Ethnic Conflict, 5-6. Bandingkan dengan Hasrullah, Dendam Konflik Poso (periode 1998-2001) (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 42-43.
27
faktor politik. Biasanya faktor politik seringkali menjadi pemicu
ketegangan antar-etnik. Terjadinya ketegangan etnis terkait dengan
sistem politik, ideologi politik yang berlaku, dinamika politik
antarkelompok, dan juga perilaku elite.66
Ketiga, faktor sosial ekonomi.
Sumber potensial dari faktor sosial ekonomi yang dapat memunculkan
konflik, yakni: permasalahan ekonomi dalam negeri, sistem ekonomi
yang diskriminan dan dampak modernisasi ekonomi. Keempat, faktor
budaya atau persepsi. Terdapat dua faktor yang dianggap sebagai
sumber dari munculnya konflik, yaitu diskriminasi budaya terhadap
kaum minoritas dan persepsi terhadap kelompok tertentu.67
Sedangkan
66
Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen
politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi
kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme
sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan
bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi
masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia
sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah
terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya kerusuhan maupun konflik
antar kelompok atau golongan.
Sumber: http://www.perspektifbaru.com/wawancara/399 Di akses tanggal 11 Maret
2011. 67
Contoh kasus pertikaian berkepanjangan antara suku Madura dengan warga
suku Melayu di Sambas dapat dilihat bahwa interaksi dua suku yang berbeda budaya
dan perilaku sosialnya tersebut sangat rawan menimbulkan konflik. Suku Madura
berasal dari daerah yang gersang, kering dan tak ada hasil daerah yang dapat
diandalkan. Latar belakang daerah yang demikian menyebabkan orang Madura dikenal
sebagai suku yang keras, berani dan tekun dalam berusaha. Kebudayaan mereka
berorientasi keluar, menggarap lahan yang tidak terbatas pada pulau Madura saja,
tetapi daerah manapun yang dapat dijadikan sandaran hidup. Mereka juga merantau,
karena desakan daerah yang miskin dan sempit. Hal inilah yang menjadikan orang
Madura sangat mandiri dan berani menghadapi segala rintangan apapun. Namun, sifat
keberanian yang kadang berlebihan ditambah dengan rendahnya tingkat pendidikan,
pada umumnya menyebabkan tindakan dan perilaku sering kurang mengenakkan
masyarakat setempat. Orang Madura seperti inilah hidup di lingkungan suku Melayu
yang ramah, toleran dan tenggang rasa. Bahasan lebih lanjut lihat M.E. Brown, et.al.,
Nationalism and Ethnic Conflict (Cambridge: The MIT Press, 1997). Lihat juga Edi
Petebang dan Eri Sutrisno, Konflik Etnik di Sambas, 115-120.
Sedangkan menurut A.B. Tangdililing ada perbedaan adat istiadat (budaya)
antara Melayu dan Madura konteks di Sambas merupakan kejadian unik, disebabkan
yang lebih dominan adalah perselisihan karakter dan adat istiadat, karena dari segi
agama, kedua suku itu sama-sama menganut agama Islam yang taat. Bedanya Melayu
cenderung lebih inklusif, sedangkan sikap keberagamaan suku Madura cenderung lebih
eksklusif. Dalam keadaan demikian, kesalahpahaman mudah muncul dan itu
merupakan salah satu potensi konflik. Diantara potensi konflik yang dapat menjadi
pemicu permusuhan yakni, Pertama, Suku Melayu dan Madura, menyandang adat
28
konflik antarkelompok baik yang ada dalam kelompok itu sendiri
maupun dalam lingkungan masyarakat terjadi karena, ketika salah satu
kelompok berusaha memaksakan nilai (value) yang mereka miliki pada
kelompok lain. Dalam cakupan bahasan konflik antarkelompok, Walter
G. Stephan dan Cookie White Stephan yang dikutip oleh Hasrullah
menawarkan tiga teori tentang penyebab konflik antarkelompok,
yakni68
: Pertama, Realistic Group Conflict Theory. Teori ini mempunyai
premis didasari oleh kompetisi untuk memperebutkan resources (land,
money, natural resources) atau pun value, belief dan norms. Teori
realistik ini digunakan untuk memprediksi konsekuensi psikologis, di
mana realitas konflik kelompok memicu meningkatnya kohesivitas dan
etnosentrisme antarkelompok. Perubahan ini biasanya diiringi dengan
kekerasan terhadap kelompok lain. Konflik juga dapat terjadi ketika
kemampuan untuk memelihara kesetaraan antarkelompok menjadi
timpang, yang dapat dipicu oleh ketidakseimbangan mendapatkan
peluang kerja, tingkat ekonomi, kemakmuran antarkelompok tersebut.
Kedua, Relative Deprivation Theory. Premis dalam teori ini berbeda
dengan premis teori sebelumnya yang menekankan pada perbedaan
nyata antarkelompok. Relative Deprivation Theory, cenderung
memfokuskan diri pada persepsi, menjadi kelompok yang kurang
beruntung. Misalnya, persepsi merasa tertindas dapat memicu
munculnya konflik, meskipun pada persepsi yang dirasakan belum tentu
kebenarannya. Konsep teori ini cenderung mempunyai kaitan dengan
teori pertukaran sosial (social exhange theory) karena dalam cakupan
bahasannya, konflik muncul dari perasaan dalam suatu kelompok yang
merasa kurang beruntung ditinjau dari segi input dan output-nya, jika
dibandingkan kelompok lain. Faktor perasaan inilah yang kemudian
memunculkan kekecewaan, sehingga menimbulkan konflik. Ketiga,
Basic Psychological Need Theory. Teori ini menekankan adanya
pertikaian dalam pemenuhan kebutuhan dasar psikis. Isu yang
dimunculkan dalam teori ini yaitu konflik muncul karena terjadi
istiadat yang berbeda. Kedua, Terdapat ketidakserasian pandangan hidup dan perilaku
antara keduanya. Ketiga, Kecembuan ekonomi antara Melayu yang merasa penduduk
asli dan Madura sebagai penduduk pendatang, karena Madura lebih sejahtera
dibandingkan dengan Melayu. Keempat, Suku Melayu merasa tanah mereka diambil
oleh orang-orang Madura. Lihat A.B. Tangdililing, ‚Aspek Sosiologis-Antropologis
Etnik di Kalimantan Barat‛, dalam Edi Petebang dan Eri Sutrisno, Konflik Etnik di Sambas, 131-136.
68Dikutip dari Hasrullah, Dendam Konflik Poso (periode 1998-2001), 43-44.
29
pembohongan kebutuhan psikis seperti: rasa aman, identitas, pengakuan,
dan partisipasi. Konflik yang dilandasi oleh kebutuhan psikis cenderung
bertahan cukup lama sehingga kebutuhan tersebut dapat terpenuhi. Yang
jelas, ketiga teori yang ditawarkan di atas menggunakan analisis
psikologi sosial dalam memetakan fenomena konflik antarkelompok.
George Ritzer yang dikutip oleh Ahmad Soedijar,69
mengatakan
bahwa yang menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, antara lain
masalah distribusi kekuasaan dan wewenang secara proporsional tidak
merata tanpa kecuali, lemahnya penegakan hukum, adanya kesenjangan
sosial-ekonomi yang melebar, tindakan sewenang-wenang satu
kelompok terhadap kelompok lain. Satu sisi konflik juga dapat terjadi,
bilamana salah satu pihak merasakan ketidakadilan terhadap diri,
kelompok atau suku mereka. Ketidakadilan itu dapat disebabkan oleh
posisi yang dominan dari kelompok atau suku lainnya di bidang politik,
ekonomi, pelayanan, pendidikan dan lainnya. Selain daripada itu, setiap
kelompok atau suku mempunyai harapan dan nilai-nilai yang dijunjung
tinggi oleh kelompok tersebut, karenanya mereka berkeinginan untuk
mencapai harapan dan cita dan menjunjung nilai tersebut. Setiap
kelompok akan berupaya secara terus menerus untuk mendapatkan
sesuatu melebihi apa yang telah dicapai oleh pihak lain. Bagi kelompok
ini kelebihan yang diperoleh akan memberikan posisi tertentu, ataupun
dapat mengangkat gengsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Perebutan kedudukan dan gengsi tersebut merupakan benih-benih
konflik yang bila tidak disikapi secara bijak dapat menimbulkan konflik
komunal.70
Menurut Aripinsyah terjadinya konflik dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, yakni terkait dengan stratifikasi sosial dan ekonomi.71
69
Ahad Soedijar, Bencana Sosial Sampit (Jakarta: Badan Litbang Sosial
Depsos RI, 2002), 5-6. Lihat juga Achmad Habib, Konflik antaretnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa (Yogyakarta: LKiS, 2009), 26.
70Chaider S. Bamualim, eds. Communal Conflict in Contempory Indonesia
(Jakarta: The Konrad Adenauer Foundation Bekerja Sama dengan Center for
Languanges and Cultures UIN Syarif Hidayatullah, 2002), viii-xiii. 71
Faktor-faktor itu pada awalnya hanyalah pertentangan kelas sosial dilihat
dari perspektif penguasa ekonomi dan kedudukan sosial yang tidak seimbang antara
sesama komponen masyarakat. Namun, persoalan ini dapat saja berubah menjadi
pertentangan agama ketika ditemukan adanya garis linier yang dapat ditarik untuk
memisahkan kelas tersebut berdasarkan agama yang dianut. Misalnya, ketika
mayoritas penduduk pendatang menguasai beberapa sektor penting ekonomi, maka
kecemburuan sosial yang muncul pertama kali adalah antara penduduk pendatang dan
penduduk setempat. Tetapi, ketika penduduk pendatang tersebut mayoritas beragama
30
Faktor pemicu konflik adalah stratifikasi sosial: pelapisan sosial
kehidupan dalam masyarakat seperti perbedaan status sosial dan
ekonomi antar pemeluk agama maupun para pemimpinnya, yang antara
lain dapat melahirkan kecemburuan sosial. Stratifikasi sosial ini
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi faktor-faktor lainnya,
antara lain faktor kepentingan ekonomi dan politik,72
faktor
faham/penafsiran agama,73
mobilitas kegiatan dakwah/umat,74
keyakinan agama.75
Sedangkan Mills tidak sepakat dengan pendapat
yang menyatakan bila penyebab konflik hanya terdiri dari dimensi
ekonomi, tetapi dia lebih sepakat terhadap pandangan Weber tentang
terbaginya stratifikasi sosial ke dalam tiga dimensi, yakni ekonomi,
prestise, dan politik. Karena Mills melihat hubungan konflik, yang
tertentu dan penduduk setempat beragama lainnya, maka yang terjadi berikutnya
adalah manipulasi pertentangan antara kelompok agama. Padahal sebenarnya,
pertentangan tersebut semata-mata pertentangan ekonomi, pendapatan masyarakat
yang tidak seimbang, lapangan kerja yang selektif. Pada akhirnya, yang terlihat secara
nyata adalah pertentangan religiusitas, agama versus agama. Lihat Aripinsyah,
Hubungan Antar Agama: Wacana Pluralisme, Eksklusivisme, dan Inklusivisme (Jakarta: IAIN Press, 2002), 59-60.
72Kepentingan-kepentingan nyata setiap kelompok masyarakat termasuk para
pemeluk agama dan para pemimpin setiap kelompok agama yang sama dalam
memperebutkan sumber-sumber kehidupan ekonomi dan politik sebagai kebutuhan
sosial yang penting. Termasuk perebutan aset kekuasaan politik, seperti menjadi
anggota DPR, birokrasi pemerintah, dan sebagainya. Kepentingan ini dipengaruhi oleh
tingkat stratifikasi sosial dari masing-masing kelompok umat maupun pemimpinnya. 73
Perbedaan pemahaman atau penafsiran terhadap ajaran agama dapat
melahirkan sikap fanatisme berlebihan terhadap mazhab atau faham keagamaan yang
dianut oleh setiap kelompok agama di lingkungan intern agama yang sama, baik pada
level umat/jamaah maupun pemimpinnya. Perbedaan paham ini juga terkait dengan
kondisi sratifikasi sosial dan kepentingan ekonomi serta politik antar kelompok
maupun pemimpin agama di lingkungan intern agama yang sama. 74
Yakni usaha-usaha mempertahankan atau memperluas jumlah jamaah yang
menjadi pengikut paham maupun gerakan dakwah yang dilakukan oleh setiap
kelompok agama di lingkungan umat beragama yang sama, termasuk dalam
melakukan mobilitas sosial kelompok terutama para elit pemimpinnya. Kualitas dan
kuantitas maupun jenis mobilitas ini dipengaruhi oleh faktor stratifikasi sosial,
kepentingan ekonomi dan politik, serta paham keagamaan pada setiap kelompok
keagamaan. 75
Yakni kepercayaan yang mendasar dan dianggap mutlak yang terkait dengan
komitmen utama keberagamaan yang bersifat sakral dan fundamental bagi setiap
pemeluk agama.
31
mengandalkan hubungan dominasi, sangat dipengaruhi oleh ekonomi
dan politik.76
Penyebab konflik ditinjau dari sifatnya terbagi dua, yakni dapat
bersifat terbuka dan dapat pula bersifat tertutup (laten).77
Konflik
terbuka biasanya merupakan lanjutan dari konflik tertutup atau terbuka
yang terjadi sebelumnya, pada tempat yang sama ataupun di tempat lain,
tetapi belum memperoleh penyelesaian secara tuntas.78
Karena itulah,
perlu diwaspadai, benih-benih konflik yang akan muncul kembali pada
tempat atau waktu yang lain. Sedangkan konflik tertutup (laten) adalah
rasa tidak senang yang terpendam oleh seseorang, kelompok ataupun
suku tertentu kepada pihak lain.79
Meskipun tidak mengemuka dalam
masyarakat, konflik ini dapat meledak menjadi konflik terbuka, bila saja
rasa tidak senang itu terus berlanjut dan faktor-faktor penyebabnya
semakin berkembang, baik kualitatif maupun kuantitatif dikalangan
masyarakat yang terlihat dalam konflik tersebut.80
76
Charles W. Mills adalah salah satu sosiolog yang mengkaji konflik dengan
menggunakan analisis dari aliran kritis dalam risetnya tentang struktur kekuasaan di
Amerika. Mills melalukan riset terhadap struktur kekuasaan Amerika yang dari
penelitian itu diperoleh suatu hubungan dominatif, yaitu struktur sosial dikuasai elite
dan rakyat adalah pihak di bawah kontrol politisnya. Hubungan dominatif itu muncul
karena elite-elite berusaha memperoleh dukungan politis rakyat demi kepentingan
mobilitas vertikal mereka secara ekonomi dan politik. Elite-elite itu adaalh militer,
politisi, dan para pengusaha (ekonomi). Mills menemukan bahwa mereka, para elite
kekuasaan, mempunyai kecenderungan untuk kaya, baik diperoleh melalui investasi
atau duduk dalam posisi eksekutif. Satu hal yang penting lagi, mereka yang termasuk
dalam elite kekuasaan sering kali pindah dari satu bidang yang posisinya tinggi dalam
bidang yang lain. Kasus Amerika, Mills memberi contoh jenderal Eisenhower yang
kemudian menjadi Presiden Eisenhower. Ada contoh lain yang diungkapkan Mill,
seperti seorang laksamana yang juga seorang banker, direktur, dan menjadi pemimpin
perusahaan ekonomi terkemuka. Untuk lebih jelas mengenai kajian ini lihat Charles W.
Mills, The Power Elites (New York: Oxford University Press, 1956), 30-35. 77
Helene Bouvier, eds. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005), dalam kata pengantar. 78
Hajriyanto Y. Thohari, ‚Pluralisme Etnik: Sebuah Potensi Konflik‛ dalam Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan, Syaiful Arifin, eds. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), 130. 79
M.Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius, 16-
17. 80
Samir Salam dan Badri Yatim, ‛Deskripsi Penelitian Wilayah Sampit,‛
dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini, W.A.L. Stokhof, eds. (Leiden & Jakarta:
INIS & PBB, 2003), 102.
32
Marck Ross mengemumukan enam teori mengenai berbagai
penyebab konflik, yakni Pertama. Teori Hubungan Masyarakat.
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus
terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang
berbeda dalam suatu masyarakat. Kedua. Teori Negoisasi Prinsip.
Berasumsi bahwa konflik yang terjadi disebabkan oleh posisi-posisi
yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-
pihak yang mengalami konflik. Ketiga. Teori Kebutuhan Manusia.
Berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh
kebutuhan manusia, baik berupa kebutuhan fisik, mental dan sosial yang
tidak terpenuhi atau dihalangi. Keempat. Teori Identitas. Konflik
disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada
hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak
terselesaikan. Kelima. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya. Teori ini
berasumsi bahwa konflik itu disebabkan oleh ketidakcocokan dalam
cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Keenam.
Teori Transformasi Konflik. Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
masalah-masalah yang berkaitan dengan ketidaksetaraan dan
ketidakadilan yang muncul sebagai problem sosial, budaya, dan
ekonomi. 81
C. Pendekatan dalam Upaya Pencegahan Konflik
Salah satu kajian penting untuk mencegah terjadinya konflik,
yakni pengelolaan konflik (conflict management). Namun istilah
pengelolaan konflik masih terus diperdebatkan.82
Karena dalam kajian
konflik dan perdamaian kontemporer conflict management yang
bertujuan mencegah konflik, malah menghasilkan bentuk-bentuk
kekerasan, baik langsung dan struktural. Terutama sekali pada bentuk
kekerasan langsung. Menurut Rubenstein conflict management
81
Marck Ross dalam makalahnya yang berjudul ‛Creating the Conditions for
Peacemaking: Theories of Practice in Ethnic Conflict Resolution‛. Dikutip dari Simon
Fisher, eds. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action diterjemahkan
oleh S.N. Kartika Sari, et.al., Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak, 8-9.
82Novri Susan mengkritik istilah dan teknik pengelolaan konflik karena hanya
tepat dimanfaatkan oleh organisasi yang tidak mengutamakan dialog, namun
menggunakan wewenang. Istilah conflict management (pengelolaan konflik) kemudian
perlu diganti dengan democratic conflict governance. Conflict governance tidak
mengakui beberapa model pengelolaan konflik yang berpotensi menciptakan
ketidakadilan, seperti executive dispute resolution dan extra legal approach. Lihat
Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer, 166-167.
33
bertujuan memoderasi atau memberadabkan efek-efek konflik tanpa
perlu menangani akar konflik dan sebab-sebabnya.83
Teori conflict management menjelaskan bahwa semua konflik tidak perlu diselesaikan,
tetapi mempelajari bagaimana mengelola berbagai konflik, dapat
mengurangi eskalasi konflik kekerasan. Seperti pendapat Carpenter dan
Kennedy yang menyatakan bahwa tantangan pada manajer konflik
adalah bukan menghapus konflik melainkan mengatasi perbedaan
seproduktif mungkin.84
Secara mendasar baik Rubenstein maupun
Carpenter telah menyatakan secara eksplisit bahwa istilah conflict management adalah upaya pencegahan konflik dari kekerasan tanpa
harus mencapai pemecahan masalah.
Otomar J. Bartos dan Paul Wehr berpendapat bahwa conflict management adalah masalah bagaimana menjadi orang yang ahli.
Kemudian melihat pada aspek perilaku konflik untuk meningkatkan
keahlian pengelolaan konflik. Mereka mengategorikan perilaku konflik
ke dalam dua posisi berlawanan, yaitu perilaku nonkoersif dan perilaku
koersif. Perilaku nonkoersif termasuk di dalamnya adalah kerja sama
murni, menjanjikan hadiah, dan persuasi. Sedangkan perilaku koersif
adalah ancaman koersi, nonkekerasan dan kekerasan koersi.85
Hal ini
memperjelas mengenai definisi terbatas dari conflict management sebagai praktek strategi konflik yang setiap pihak berkonflik harus ahli
dalam konflik. Conflict management adalah proses setiap pihak,
termasuk pihak ketiga untuk menggunakan keahlian dan pengetahuan
mereka untuk menciptakan strategi konflik yang tepat.86
Dimensi lain conflict management adalah bagaimana suatu
wewenang ditegakkan oleh pihak berkonflik atau pihak ketiga.
Pendekatan ini melihat conflict management mampu menekan
kemunculan kekerasan dalam konflik dengan menggunakan seperangkat
83
E. Richard Rubenstein, Conflict Resolution and Power Politics; Global Conflict After the Cold War. Two Lectures. [Working Paper printed edition] (USA:
Institute for Conflict Analysis and Resolution George Mason University, 1996), 1. 84
L. Swan Carpenter dan WJD. Kennedy, Managing Public Disputes: A Pratical Guide to Handling Conflict and Reaching Agreements (London: Jossey Bass
Publisher, 1988), 4. 85
Otomar J. Bartos dan Paul Wehr, Using Conflict Theory (New York:
Cambridge University Press, 2003), 175. 86
Kajian lebih lanjut mengenai hal ini lihat L. Swan Carpenter dan WJD.
Kennedy, Managing Public Disputes: A Pratical Guide to Handling Conflict and Reaching Agreements (London: Jossey Bass Publisher, 1988), 4. Bandingkan dengan
Otomar J. Bartos dan Paul Wehr, Using Conflict Theory (New York: Cambridge
University Press, 2003), 175.
34
kekuasaan dan kekuatan. Seperti pendapat Hugh Miall bahwa conflict management adalah seni intervensi yang tepat guna mencapai
pembuatan politik yang stabil, terutama oleh mereka yang mempunyai
kekuasaan dan sumber daya yang besar untuk menciptakan tekanan
terhadap para pihak berkonflik agar tetap dalam kondisi stabil.87
Cukup
jelas di sini adalah conflict management menciptakan pola hubungan
berbasis pada kekuasaan. Menurut Hopmann, negoisasi yang berlandas
pada hubungan kekuasaan dicirikan oleh pendekatan bargaining.
Pendekatan ini berlawanan dengan pendekatan negoisasi berbasis
pemecahan masalah. Hopmann menyatakan bahwa negoisasi berdasar
pada pendekatan bargaining dicirikan oleh dominasi kekuasaan seperti
ancaman dan tekanan politis.88
Pada dimensi ini, pendekatan bargaining
adalah satu ciri utama conflict management yang mungkin membuka
kesempatan kelompok-kelompok dominan untuk menentukan bentuk
resolusi konflik.
Walaupun demikian, beberapa ilmuan sosial meredefinisi conflict management sebagai konsep yang tidak hanya bertujuan mencegah
kekerasan dalam konflik melalui praktik pengelolaan tetapi juga
mentransformasi konflik. Hal ini berarti conflict management bukan
hanya sekedar conflict containment, tapi tentang bagaimana
mengkonstruksi pemecahan masalah dan menangani akar-akar konflik.
Hamad beragumentasi bahwa istilah management89 tidak hanya tentang
to manage atau to cope with tetapi juga to administer. Oleh karenanya
87
Hugh Miall, Conflict Transformation: A Multidimensional Task. [Berghof Handbook of Conflict Transformation], 2004, 3. Diakses 1 Desember 2010 dari
http://www.berghop-handbook.net/uploads/download/boege_handbook.pdf. 88
P. Terrence Hopmann, Two Paradigms of Negotiation: Bargaining and Problem Solving (United Kingdom: Sage Publication, 1995), 26.
89Manajemen adalah istilah dalam tradisi ekonomi positivis yang memberi
kekuasaan besar terhadap pimpinan puncak untuk mengontrol proses organisasi
mereka. Tujuan utama dari manajemen dalam ekonomi positivis adalah mengontrol
dan menstabilkan proses organisasi sehingga tercapai blue-print organisasi. Dalam
pengertian ini, pendekatan top-down dan keputusan berdasar pada posisi adalah inti
dari conflict management. Kemudian hal ini bisa dikatakan bahwa conflict management tidak lagi mampu mengklaim dalam konteks demokrasi akan mereduksi
dan mentransformasi konflik kekerasan menjadi perdamaian. Conflict management adalah istilah dari positivis dalam kajian konflik dan perdamaian. Oleh karena itu,
perlu mencari jalan keluar dengan cara mengubah terminologi, metodologi, dan
teorinya. Weymes, eds., A Challenge to Traditional Management Theory, 2004, 5.
Diakses 27 November 2009 dari
www.emeraldinsigt.com/researchregister.
35
ia menyatakan bahwa conflict management adalah satu disiplin dan
istilah yang dapat dimanfaatkan juga untuk mentransformasi konflik.90
Menurut Moore, ada beberapa bentuk dan proses pengelolaan
konflik yaitu91
: Pertama, avoidance: pihak-pihak berkonflik saling
menghindari dan mengharap konflik bisa terselesaikan dengan
sendirinya. Kedua, informal problem solving: pihak-pihak berkonflik
setuju dengan pemecahan masalah yang diperoleh secara informal.
Ketiga, negotiation, ketika konflik masih terus berlanjut, maka para
pihak berkonflik perlu melakukan negoisasi. Artinya, mencari jalan
keluar dan pemecahan masalah secara formal. Hasil negoisasi bersifat
prosedural yang mengikat semua pihak yang terlibat dalam negoisasi.
Keempat, mediation: munculnya pihak ketiga yang diterima oleh kedua
pihak dipandang bisa membantu para pihak berkonflik dalam
penyelesaian konflik damai. Kelima, executive dispute resolution
approach: kemunculan pihak lain yang memberi suatu bentuk
penyelesaian konflik. Keenam, arbitration: suatu proses tanpa paksaan
dari pihak berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang dipandang netral
atau imparsial. Ketujuh, judicial approach: terjadinya intervensi yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga berwenang dalam memberi kepastian
hukum. Kedelapan, legislative approach: intervensi melalui musyawarah
politik dari lembaga perwakilan rakyat, kasus-kasus konflik kebijakan
sering menggunakan pendekatan ini. Kesembilan, extra legal approach:
penanganan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan legal
dan mungkin tidak dimiliki oleh pihak lawan. Salah satu pihak bisa
memanfaatkan kekuatannya untuk menciptakan nonviolent action dan
violence. Model ini terjadi pada kasus ekspansi Amerika Serikat
terhadap Irak.
Meretas kajian konflik dengan berbagai penyebabnya
menumbuhkan berbagai upaya untuk mengelola konflik serta
mencarikan resolusi penyelesaiannya,92
yaitu: Pertama, bila konflik
disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan
permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat,
90
Ahmad Azem Hamad, ‚The Reconceptualisation of Conflict Management‛,
Interdisciplinary Journal, Vol 7, July 2007, 10-16. Diakses 3 November 2009 dari
http://www.peacestudiesjournal.org.uk. 91
W. Chistoper Moore, Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict (USA: Jossey-Bass, 2003), 6-12.
92Simon Fisher, eds. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action
diterjemahkan oleh S.N. Kartika Sari, et.al., Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak, 8-9.
36
maka upaya yang harus dilakukan ialah meningkatkan komunikasi dan
saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik,
serta mengusahakan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling
menerima keragaman. Kedua, bila konflik yang terjadi disebabkan oleh
posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang
konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik, maka diperlukan
adanya suatu strategi untuk membantu pihak-pihak yang mengalamai
konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah
dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi
berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu
yang sudah tetap, serta melancarkan proses pencapaian kesepakatan
yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak. Ketiga, bila
konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan manusia, baik
berupa kebutuhan fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau
dihalangi, maka upaya yang harus dikerjakan yakni membantu pihak-
pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan
mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan
menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu,
serta mengusahakan agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai
kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak. Keempat, teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang
terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan
di masa lalu yang tidak terselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai teori
ini adalah melalui fasilitas lokakarya dan dialog antar pihak-pihak yang
mengalami konflik; mereka diharapkaan dapat mengindetifikasi
ancaman dan ketakutan yang dirasakan, untuk kemudian membangun
empati dan rekonsiliasi, serta meraih kesepakatan bersama yang
mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak. Kelima, bila konflik
itu disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di
antara berbagai budaya yang berbeda, maka diperlukan upaya untuk
menambah pengetahuan semua pihak yang mengalami konflik mengenai
budaya pihak lain, mengurangi stereotip negatif yang dimiliki, serta
meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya. Keenam, teori ini
berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah yang
berkaitan dengan ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul
sebagai problem sosial, budaya, dan ekonomi. Sasaran yang ingin
dicapai teori ini adalah mengubah berbagai struktur serta kerangka kerja
yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk
kesenjangan ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka
panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik, mengembangkan
37
berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan,
keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.
Salah satu aspek pendekatan dalam pencegahan konflik yakni
pendekatan dokrin agama. Strategi yang dapat dilakukan, yakni:
Pertama, dalam dakwah (pemberian pelayanan, penyuluhan dan
pendidikan agama) lebih diarahkan pada penghayatan dan pemahaman
substansi agama, serta fungsinya dalam kehidupan pribadi maupun
kehidupan sosial. Kedua, para pemimpin agama tidak memusatkan
perhatiannya hanya untuk memperbanyak umat secara kuantitatif, tetapi
lebih berkonsentrasi pada peningkatan kualitas hidup umatnya.93
Peningkatan kuantitatif seringkali menimbulkan konflik, karena terjadi
pencaplokan secara tidak wajar terhadap umat agama lain.94
Selain itu, pengkajian agama berbasis pluralitas juga dapat
menjadi salah satu upaya dalam pendekatan dokrin agama. Pluralisme
dan kemajemukan yang dikemas dalam budaya dan agama juga
disinyalkan dalam nash. Isyarat adanya keimanan, amal saleh
duniawiyah dan keimanan ukhrawiyah serta isyarat lainnya
menunjukkan bahwa inti ajaran agama adalah keberagaman dalam
keber-agama-an, dan keberagaman dalam kerukunan, serta toleransi.
Seperti dijelaskan dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 62,95
surat al-
Maidah ayat 69,96
dan surat al-Hajj ayat 1797
. Ketiga ayat ini satu sama
lain saling mendukung, yang pada dasarnya memiliki penafsiran secara
substansial sama, walaupun tampak ada perbedaan. Bahwa kehidupan
pluralitas dan saling menghargai sesama merupakan pengakuan
93
Zakaria J. Ngelow, ‚Spritualitas Manusia Baru: Suatu Pandangan Kristen
Mengenai Sumber Daya Manusia,‛ dalam Jimly Asshiddiqie, eds. Sumber Daya Manusia untuk Indonesia Masa Depan (Bandung: Mizan, 1997), 45.
94George B. Grose dan Benjamin J. Hubbard, eds. Tiga Agama Satu Tuhan:
Sebuah Dialog (Bandung: Mizan,1998), 298-304. 95
‛Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabi>n, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman
kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari
Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka
bersedih hati‛. (QS. al-Baqarah: 62) 96
‛Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi>n dan
orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati‛. (QS. al-
Maidah: 69) 97
‛Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-
orang Shabi>n, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik,
Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu‛. (QS. al-Hajj: 17)
38
Alquran.98
Karena itulah, pluralisme tidak semata menunjuk pada
kenyataan adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah
keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut, yakni
dengan usaha memahami persamaan dan perbedaan. Oleh sebab itu,
pluralisme harus dapat terpahami oleh masyarakat sebagai sesuatu yang
tidak bisa dihindari dalam pergaulan manusia.99
Dalam hal ini,
pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme, karena
kosmopolitanisme menunjuk pada realitas dimana aneka ragam agama,
ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.100
Pluralisme juga tidak bisa disamakan dengan relativisme. Karena
seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut
kebenaran atau nilai-nilai tertentu oleh pandangan hidup, serta kerangka
berfikir seseorang atau masyarakat, sebagai konsekuensi dari paham
relativisme agama, dokrin agama apapun harus dinyatakan benar. Hanya
saja kebenarannya relatif, kebenaran agama-agama walaupun berbeda
dan bertentangan satu sama lainnya, tetapi harus diterima. Sehingga
kaum relativis tidak akan mengenal apalagi menerima suatu kebenaran
universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Walaupun,
tidak dapat dipungkiri bahwa paham pluralisme terdapat unsur
relativisme, yakni unsur tidak mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran kepada pihak lain.
Tetapi, paling tidak seorang pluralis akan menghindari sikap
absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain, dan
berusaha merendahkan selainnya, karena hal tersebut bertentangan
dengan prinsip pluralisme. Capaian-capaian demikian ini dikaji dalam
ruang sosiologis.101
Pluralisme dapat dimaknai sebagai sebuah paham atau gagasan
yang menggambarkan berbagai kemungkinan. Hal tersebut, menurut
98
Aloys Budi Purnomo, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2003), 58-59. 99
Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Dokrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2003), 231-232.
100Contohnya di kota New York, kota metropolitan yang di dalamnya terdapat
komunitas Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama
sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini, namun interaksi positif
antar penduduk, terutama di bidang agama begitu baik. Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 2001), 41.
101M. Quraish Shihab, ‚Agama antara Absolusitas dan Relativitas Ajaran
Agama,‛ dalam Agama dan Pluralitas Bangsa (Jakarta: P3M, 1991), 42-47.
39
Michael Walzer yang dikutip Supiyan Ramli,102
mengatakan bahwa
substansi atau hakekat pluralisme, yaitu: Pertama, menerima perbedaan
untuk hidup damai. Kedua, menjadikan keseragaman menuju perbedaan.
Artinya, membiarkan segala kelompok berbeda dan eksis dalam dunia.
Tidak perlu ada penyeragaman. Ketiga, membangun moral stoisisme,
yaitu menerima bahwa orang lain mempunyai hak, kendatipun dalam
prakteknya haknya kurang menarik simpati orang lain. Keempat, mengekspresikan keterbukaan terhadap yang lain; ingin tahu;
menghargai; ingin mendengarkan dan belajar dari orang lain. Kelima,
dukungan yang antusias terhadap perbedaan serta menekankan aspek
otonomi.
Dengan menganalisis dinamika konflik, seorang analis konflik
bisa menemukan langkah multidisipliner yang bisa digunakan untuk
mengintervensi konflik. Menurut Moore dalam bukunya Mediation Process, menyatakan bahwa intervensi berarti masuk ke dalam sistem
hubungan yang sedang berlangsung, melakukan kontak di antara dua
pihak atau beberapa pihak, untuk membantu mereka. Pada saat
intervensi berlangsung sistem hubungan tersebut berjalan secara
independen dari intervenor. Ada beberapa bentuk dan tingkatan intervensi konfllik. Pertama,
peace making (menciptakan perdamaian) yang biasa muncul dalam
bentuk intervensi militer. Dinamika konflik biasanya berada pada
puncak eskalasi yang ditandai oleh reproduksi aksi kekerasan, mobilisasi
massa, dan tidak adanya komitmen menghentikan konflik kekerasan.
Kedua, peace keeping (menjaga perdamaian) yang juga muncul dalam
bentuk intervensi militer agar pihak yang sudah tidak bertikai tidak
kembali melakukan aksi kekerasan. Pada tingkatan ini pihak bertikai
tidak melakukan aksi kekerasan bukan dilandasi oleh pemecahan
masalah, namun akibat melemahnya atau habisnya sumber daya
bertempur. Ketiga, conflict management (pengelolaan konflik) yang
mulai menciptakan berbagai usaha pemecahan masalah dengan
melibatkan berbagai pihak untuk mencari pemecahan masalah. Beberapa
tindakan pengelolaan konflik ini bisa dalam bentuk negoisasi, mediasi,
penyelesaian jalur hukum (judicial settlement), arbitrasi, dan workshop
pemecahan masalah. Keempat, peace building (pembangunan
perdamaian) yang merupakan proses peningkatan kesejahteraan,
pembangunan infrastruktur, dan rekonsiliasi seluruh pihak bertikai.
102
Supiyan Ramli, Menggagas Pluralisme dalam Islam (Jambi: Penerbit
Sultan Thaha Press, 2008), 181.
40
Semua proses ini merupakan bagian dari conflict transformation
(transformasi konflik), yaitu suatu proses menanggulangi berbagai
masalah dalam konflik, sumber-sumber konflik, dan kosekuensi negatif
konflik. Tranformasi konflik sendiri merupakan proses jangka
panjang.103
Menurut Soetomo sebagai masalah sosial yang didiagnosa dari
adanya konflik nilai yang sering juga berkaitan dengan konflik
kepentingan, maka rekomendasi untuk pemecahan masalah menurut
perspektif ini juga didasarkan pada pola pikir yang dilatarbelakangi
anggapan adanya suatu kehidupan sosial yang di dalamnya terdapat
berbagai variasi nilai dan kepentingan. Ada beberapa usaha yang dapat
dijalankan untuk melakukan antisipasi terhadap masalah tersebut,
yakni104
: Pertama, Katup Penyelamat, ialah suatu mekanisme khusus
yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan
konflik sosial. Katup penyelamat membiarkan luapan permusuhan
tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur. Banyak orang melihat
cara ini dapat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan
permusuhan. Tanpa sarana tersebut hubungan-hubungan diantara pihak-
pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Kedua, Simbiose
Mutualistik, dalam arti mengusahakan suasana atau iklim sedemikian
rupa, sehingga diantara kelompok-kelompok yang potensial terlibat
konflik merasa dapat saling mengambil keuntungan dari kehadiran
masing-masing. Ketiga, Nilai Koordinatif, dalam pengertian ada suatu
nilai inti yang mampu mengkoordinasikan setiap nilai yang ada dalam
masyarakat. Dengan demikian nilai-nilai yang ada berkedudukan
subordinasi terhadap nilai koordinatif ini. Keempat, Transformasi
Struktural, dalam pengertian ditransformasikan suatu struktur sosial
baru yang diperhitungkan dapat menghilangkan perbedaan posisi yang
mengakibatkan konflik nilai dan konflik kepentingan.
Dalam perspektif yang hampir sama, Hamka Haq memberikan
solusi dalam upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir
terjadinya konflik, yakni105
: Pertama, teori yang mengatakan bahwa
konflik terjadi karena masalah ekonomi. Jadi, bila kesejahteraan
masyarakat dapat terpenuhi, maka tidak akan terjadi ketegangan-
ketegangan yang berujung pada konflik sosial dalam masyarakat. Teori
103
W. Christoper Moor, Mediation Process: Pratical Strategies for Resolving Conflict (USA: Jossey-Bass, 2003), 46-50.
104Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, 40-41.
105Hamka Haq eds., Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama dari Wacana
ke Aksi Nyata (Jakarta: Titahandalusia Press, 2002), xi-xiii.
41
ini mengatakan bahwa untuk mensejahterakan masyarakat, hal yang
harus dilakukan antara lain, memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan menciptakan kesempatan kerja yang banyak, dengan berlandaskan
pada keadilan.106
Kedua, teori yang mengatakan bahwa konflik dapat
dicegah bila struktur pemerintahannya berperan (teori strukturalis)
dalam mengamankan masyarakat. Pihak penguasa sebagai struktur
tertinggi dapat menerapkan peraturan-peraturan yang mengintegrasikan
masyarakat, seperti yang terjadi di masa Orde Baru.107
Disamping itu
juga, harus ada peran serta dari pemuka agama dan tokoh masyarakat
dalam mengamankan.108
Ketiga, teori yang mengatakan bahwa untuk
mencegah konflik diperlukan suatu lembaga yang mengurus dan
berwenang mengatur, serta menyelesaikan masalah-masalah yang
berkenaan dengan kerukunan antar umat beragama, yang independent,
serta tidak memihak. Lembaga yang dimaksud yakni FKUB (Forum
Kerukunan Umat Beragama).
Menurut Nader dan Todd bahwa penyelesaian konflik dapat
dilakukan dengan beberapa cara berikut109
: Pertama, bersabar (lumping),
yaitu suatu tindakan yang merujuk pada sikap untuk mengabaikan
konflik begitu saja atau dengan kata lain isu-isu dalam konflik itu
mudah untuk diabaikan, meskipun hubungan dengan orang yang terlibat
konflik itu karena orang tersebut informasi atau akses. Kedua,
penghindaran (aviodance), yaitu suatu tindakan yang dilakukan untuk
mengakhiri hubungannya dengan cara meninggalkannya. Keputusan
untuk meninggalkan konflik itu didasarkan pada perhitungan bahwa
konflik yang terjadi atau yang dibuat tidak memiliki kekuatan secara
sosial, ekonomi, dan emosional. Ketiga, kekerasan/paksaan (coersion),
yaitu suatu tindakan yang diambil untuk mengatasi konflik jika
dipandang bahwa dampak yang ditimbulkan cukup membahayakan.
Keempat, negosiasi (negotiation), ialah tindakan yang menyangkut
pandangan bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan oleh orang-
orang yang berkonflik secara bersama-sama tanpa melibatkan pihak
106
M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1993), 113. 107
Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, eds. Disintegrasi Pasca Orde Baru: Konflik Lokal dan Dinamika Internasional (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007),
99. 108
M. Ridwan Lubis, ‚Kerjasama Umat Beragama dari Wacana ke Aksi
Nyata,‛ dalam Jaringan Kerjasama antar Umat Beragama dari Wacana ke Aksi Nyata,
Hamka Haq eds., 71. 109
Laura Nader dan Harry F. Todd, The Disputing Process Law in Ten Societies (Columbia: Columbia University Press, 1978), 4-6.
42
ketiga. Kelompok tindakan mencari pencapaian solusi dalam term satu
aturan, tetapi membuat aturan yang dapat mengorganisasikan
hubungannya dengan pihak lain.110
Kelima, konsiliasi (conciliation),
yaitu tindakan untuk membawa semua yang berkonflik ke meja
perundingan. Konsiliator tidak perlu memainkan secara aktif satu
bagian dari tahap negoisasi meskipun ia mungkin bisa melakukannya
dalam batas diminta oleh yang berkonflik. Konsiliator sering
menawarkan kontekstual bagi adanya negoisasi dan bertindak sebagai
penengah. Keenam, mediasi (mediation), hal ini menyangkut pihak
ketiga yang ikut menangani/membantu menyelesaikan konflik agar
tercapai persetujuan.111
Pihak ketiga ini bisa dipilih oleh pihak-pihak
110
Adapun teknik perundingan yang sering dipakai, yakni: Pertama,
keterwakilan kelompok. Dalam perundingan semua anggota kelompok yang berunding
dengan gigih membela dan memperjuangkan posisinya dengan argumentasi yang
menurutnya benar. Kedua, penyelesaian masalah bersama. Seorang pimpinan tidak
boleh menganggap kalah bila forum menyepakati salah satu solusi dari kelompok lain,
atau mengambil keputusan menurut konsep yang ditawarkan oleh kelompok lain.
Sebab pengambilan keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan manfaat dan
mud}aratnya. Karena seorang pimpinan atau perwakilan kelompok tidak perlu merasa
kalah atas kelompok lain. Ketiga, kekuatan bersaing. Dalam proses perundingan
biasanya berlangsung cukup ulet. Unsur-unsur yang terkait berkompetisi membuat
lawan berfikir untuk. Pemerintah mungkin menjanjikan bahwa ia akan merehabilitas
seluruh sarana ibadah jika semua unsur menerima persetujuan damai. Namun,
pemerintah harus tetap objektif, tidak berada dalam salah satu kekuatan kelompok
yang terlibat konflik. Pernyataannya tidak boleh menyinggung kelompok lain.
Keempat, membagi perbedaa. Ini dapat menjadi cara yang berguna jika hasil
perundingan kedua kelompok berakhir dengan win-win. Masing-masing menyadari dan
melakukan instrospeksi dengan memikirkan kepentingan yang lebih besar dibanding
kepentingan kelompoknya. Tidak ada siapa yang salah dan disalahkan dalam proses
perundingan. Kesadaran demikian akan memunculkan kepuasan kelompok masing-
masing. Kelima, penawaran rendah. Tawaran atau konsesi yang rendah sering
digunakan untuk menurunkan kelompok lain. Pemerintah atau aparat tidak boleh
membiarkan penawaran jenis ini menurunkan harapan atau tujuan; atau tidak boleh
berhenti karena menilai posisi kelompok yang lain tak dapat disahkan, selanjutnya
proses komunikasi harus tetap berlanjut. Jelasnya, situasi yang berbeda membutuhkan
taktik dan strategi yang berbeda pula. Pemerintah atau pimpinan harus menyadari
pilihan yang memungkinkan dan berusaha untuk memahami kebijaksanaan di balik
pilihan tersebut. Lihat Departemen Agama, Manajemen Konflik Umat Beragama
(Jakarta: Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2004), 162-164. 111
Pihak ketiga yang dimaksud bisa pemerintah, aparat keamanan atau
kekuatan kelompok tertentu yang tidak terlibat konflik. Ia berfungsi sebagai penengah
(mediator), karena itu dibutuhkan sikap netral memungkinkan seorang yang netral
untuk mencapai suatu persetujuan yang menguntungkan kedua belah pihak dan
organisasi secara keseluruhan. Memakai penengah sedini mungkin ke dalam proses
43
yang berkonflik atau perwakilan dari luar. Pihak-pihak yang berkonflik
itu menyerahkan penyelesaian konflik kepada pihak ketiga tersebut.
Ketujuh, arbitrase, kedua belah pihak yang berkonflik setuju pada
keterlibatan pihak ketiga yang memiliki otoritas hukum dan mereka
sebelumnya harus setuju untuk menerima keputusannya.112
Kedelapan,
peradilan, hal ini pada intervensi pihak ketiga yang berwenang untuk
campur tangan dalam penyelesaian konflik, apakah pihak-pihak yang
berkonflik itu menginginkan atau tidak. Dapat dipahami bahwa dasar-
dasar penanganan konflik itu dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
penyelesaian konflik yang dilakukan sendiri-sendiri, dengan perwakilan,
dan meminta keterlibatan pihak ketiga.
Menciptakan konflik konstruktif, yaitu konflik tanpa kekerasan
dan menghasilkan pemecahan masalah, memerlukan mekanisme politik
demokratis. Conflict management mendapat kritik karena konsepnya
yang melibatkan kekuasaan dan kekerasan. Sehingga democratic conflict governance dapat menjadi alternatif dalam melembagakan mekanisme
tata kelola konflik yang memungkinkan konflik produktif. Perlu diakui
bahwa democratic conflict governance merupakan pendekatan baru
dalam tata kelola konflik dan hanya ideal dalam masyarakat demokrasi
yang rasional dan budaya nirkekerasan.113
D. Jaring Pengaman Pencegahan Konflik
Dalam kajian mengenai jaring pengaman pencegahan konflik
digunakan teori democratic conflict governance.114
Dalam pengertian
memungkinkan terjadinya penyelesaian konflik sebelum perselisihan kelompok terjadi,
yang dapat mengarah kepada hasil yang tak berguna. 112
Suatu pilihan untuk pertengahan adalah arbritase, dimana kedua kelompok
terkait oleh keputusan arbritase. Beberapa unsur membentuk komite resmi dari
bertujuan untuk menyelesaikan perbedaan di antara kelompok-kelompok. Komite ini
mempunyai wewenang menyerahkan pengambilan keputusan kepada salah satu
kelompok netral, untuk memberikan penyelesaian yang baik dan dapat disetujui
bersama, atau meminta pihak yang terlibat untuk mengumpulkan informasi yang lebih
banyak sebelum keputusan dicapai. Keuntungan cara pendekatan ini adalah bahwa
pihak yang tidak setuju tidak perlu berkompromi untuk menyelesaikan masalah. Sekali
keputusan diambil, kedua kelompok dapat kembali bekerjasama. 113
Kajian lebih lanjut mengenai hal ini lihat Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer, 127-135.
114Sebelum masuk pada teori democratic conflict governance, perlu
dimengerti secara singkat penggunaan istilah governance. Menurut Rodinelli
governance mempunyai pengertian yang berkaitan dengan pelayanan publik oleh
pemerintah. Demikian pula dengan Debiel dan Terlinden mengategorikan governance
dalam masyarakat pasca konflik ke dalam tiga dimensi, yaitu governance keamanan,
44
yang sama Novri Susan menyebutnya dengan istilah conflict governance.
115 Democratic conflict governance dapat ditelusuri melalui
konsep deliberative democracy (demokrasi deliberatif)116
. Demokrasi
deliberatif adalah konsep inisial dari democratic conflict governance.
Substansi demokrasi deliberatif adalah inclusive policital arena yang
memfasilitasi adanya ruang untuk dialog dan musyawarah untuk
mencapai persepsi bersama atau konsensus. Sehingga dapat
menegosiasikan kebutuhan atau kepentingan mereka dan menciptakan
kebijakan berdasar pada kebijakan bersama.117
governance administratif politik, dan governance sosial ekonomi. Secara umum,
governance adalah seperangkat praktik politik yang mendasarkan pada aturan dan
proses politik dalam menciptakan dan melaksanakan suatu kebijakan, menyediakan
pelayanan publik, dan menjalankan administrasi publik. Walaupun demikian, ada
batasan jelas antara pengertian governance ini, yang idealisasinya disebut good
governance, dan conflict governance sebagai wacana tata kelola konflik. Sebenarnya
conflict governance melihat pada proses politik dari dinamika konflik tanpa
memasukkan isu administrasi dan pelayanan publik seperti good governance. Conflict governance berfokus pada ada atau tidaknya proses deliberatif dalam relasi konflik.
Kajian lebih lanjut lihat A. Dennis Rondinelli, Restoring Governance ini Post-Conflict Countries of International Assistance, 15-16. Diakses 10 Agusutus 2010 dari
http//:unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/UN/UNPAN026575.pdf
Lihat juga Tobias Debiel dan Ulf Terliden, Promoting Good Governance in Post-Conflict Societies [Discution Paper], Diakses 20 Januari 2010 dari www.oecd.org/data-
oecd/47/26/34481761.pdf. 115
Kajian lebih lanjut mengenai hal ini lihat Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer, 125-135. Sebagai perbandingan lihat juga L. Swan
Carpenter dan WJD. Kennedy. Managing Public Disputes: A Pratical Guide to Handling Conflict and Reaching Agreements (London: Jossey Bass Publisher, 1988),
39. Lihat juga O Ramsbotham, T. Woodhouse, dan Hugh. Miall, Contemporary Conflict Resolution: The Prevention, Management, and Transformation of Deadly Conflict (New York: Polity, 2006), 56.
116Menurut Habermas deliberative democracy adalah proses praktik
argumentasi rasional dan diskursif melalui suatu komunikasi politik antara negara,
masyarakat sipil, dan pasar. Untuk lebih jelasnya lihat Jurgen Habermas, On the Pragmatics of Communacation (Massachusetts: The MIT Press, 1998), 20.
117Walaupun demikian, sebagai konsep ideal, demokrasi deliberatif
menghadapi berbagai kenyataan sosial yang dapat menciptakan dinamika konflik.
Seperti perbedaan tafsir kenyataan mengenai kebutuhan dasar manusia akan
menciptakan preferensi dan prioritas kebijakan berbeda. Suatu perbedaan mengenai
kenyataan sosial dari kebutuhan dasar manusia diperjuangkan oleh setiap kelompok
kepentingan dengan memanfaatkan sumber konflik seperti identitas, jaringan politik,
dan uang. Pada tingkat ini, suatu perbedaan tafsir kenyataan dan kekuasaan kelompok-
kelompok kepentingan adalah fondasi dari dinamika konflik. Anthony Giddens
menyebut dinamika ini sebagai dialectic of control in social system. Pihak-pihak
berkonflik dengan kekuasaan mereka memiliki kemampuan transformatif yang mana
45
Jaring pengaman pencegahan konflik118
dapat diartikan sebagai
sebuah ikatan yang saling mempengaruhi serta adanya kerja sama dari
pemerintah, pemuka agama, agamawan, dan para cendikiawan teologis
yang bertujuan untuk mencegah agar tidak terjadinya konflik komunal,
strategi yang dilakukan antara lain dengan mendorong pembentukan
majelis agama-agama,119
membentuk wadah kerukunan antar umat
beragama,120
mengembangkan kesepahaman di antara para pemimpin
mereka menjadi mampu menegoisasikan dan menciptakan suatu gerakan sosial untuk
memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dinamika konflik terjadi sebagai akibat dari
dialektika kenyataan dan kekuasaan. Perbedaan tafsir kenyataan dan kekuasaan yang
termanifestasikan dalam sikap politik dan praktik sosial, perlu dikelola (governed) oleh
pelembagaan politik yang menyediakan arena yang melibatkan semua pihak kompeten
(berkepentingan), serta norma dan nilai demokratis. Melalui dua faktor inilah politik
deliberatif dapat diciptakan sehingga praktik negoisasi berbasis pada pemecahan
masalah bisa berjalan.
Lihat Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer, 132. David Held, Models of Democracy (Cambridge: Polity Press,
2006), 34. Bandingkan dengan Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber (Jakarta: UIP,
1986), 11. 118
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jaring adalah ikatan yang saling
berhubungan dan tidak bisa dilepaskan satu sama lainnya. Pengertian pengaman, yakni
orang yang mengamankan (negeri/kota); alat untuk menghindari/mencegah terjadinya
kecelakaan. Sedangkan pencegahan adalah upaya untuk mencegah sesuatu agar tidak
terjadi. Konflik yaitu pertentangan faham, pertikaian, persengketaan, perselisihan.
Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 404, 414, 728, 731.
119Untuk umat Islam ada MUI (Majelis Ulama Indonesia) berdiri tahun 1975,
untuk umat Kristen Protestan ada PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) yang
berdiri tahun 1950, sedangkan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) ditujukan untuk
umat Khatolik, untuk umat yang beragama Hindu didirikan PHDI (Parisada Hindu
Dharma Indonesia) pada tahun 1959, untuk umat yang beragama Budha ada WALUBI
(Perwakilan Umat Budha Indonesia) berdiri tahun 1978, dan untuk umat yang
beragama Khonghucu ada MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)
yang berdiri tahun 1955. Lihat Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Beragama Depag RI, 2009), 34-40. 120
Wadah yang dimaksud bernama Wadah Musyawarah Antar Umat
Beragama (WMAUB) terbentuk tahun 1980 di Jakarta. Keberadaan wadah ini
didasarkan atas Surat Keputusan Menteri Agama No. 35 Tahun 1980 yang menyatakan
terbentuknya ‛Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama‛ yang telah disepakati oleh
wakil-wakil Majelis Agama dalam pertemuan tingkat puncak pada tanggal 30 Juni
1980 di Jakarta. Untuk penjelasan lebih rinci lihat Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, 40-42.
Lihat juga J.A. Ferdinandus, ‚Pola Ideal Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama,‛
46
dan tokoh agama melalui berbagai pertemuan dan kontrak
antarpribadi,121
serta mengembangkan perangkat peraturan yang
berfungsi mencegah kemungkinan timbulnya penggunaan agama sebagai
sistem acuan hingga ke tingkat konflik.122
Jaring pengaman ini mempunyai arti penting, sebab pemicu
ketegangan sosial dapat bersumber dari berbagai interaksi sosial yang
ada dalam masyarakat. Interaksi sosial tidak jarang menimbulkan
sumber konflik. Isu agama,123
isu etnis, adat-istiadat dan batas wilayah
teritorial sering menjadi benih yang akan menimbulkan konflik.124
Dalam melakukan intervensi mencegah konflik agar tidak
menghebat menjadi kekerasan, mekanisme tradisional dan modern
keduanya memiliki peran penting. Dalam banyak situasi sudah ada
dalam Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama dari Wacana ke Aksi Nyata, Hamka
Haq eds., 88. 121
Misalnya bila terjadi konflik, baik didalam maupun antar umat beragama
yang menyebabkan jatuhnya korban, maka pemerintah turun tangan ikut
menyelesaikan atau mencari jalan keluar (problem solving) terhadap konflik tersebut.
Salah satu strategi yang dapat dilakukan, yakni pemerintah memanggil para tokoh
yang bertikai untuk bermusyawarah guna mencari solusi terhadap konflik yang sedang
berlangsung. Kemudian, hasil musyawarah tersebut dijadikan pedoman selanjutnya
dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, khususnya bagi yang sedang bertikai. Lihat
Achmad Syahid & Zainudin Daulay, eds., Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup
Umat Beragama Depag RI, 2002), 76. 122
Lihat Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, 48-55.
123Agama dapat menjadi wahana yang sangat efektif untuk memobolisasi
massa. Namun keefektifan agama sebagai penyebab suatu konflik tergantung pada
kondisi yang dialami sebuah masyarakat. Agama akan mudah menjadi wahana
mobilisasi guna mencapai tujuan negatif, seperti penyebab konflik, apabila masyarakat
mengalami ketidakberdayaan ekonomi dan politik yang tinggi. Sebaliknya, agama akan
sulit dijadikan penyebab konflik apabila keberdayaan ekonomi dan politik masyarakat
tinggi. Loekman Soetrisno, Konflik Sosial: Study Kasus di Indonesia (Yogyakarta:
Tajidu Press, 2003), 39-40. 124
Persoalan keragaman baik agama maupun etnis timbul jika masing-masing
kelompok mengembangkan batas-batasannya sendiri sehingga menimbulkan isolasi.
Isolasi yang eksklusif secara teoritis memang dimungkinkan, tetapi secara praktis
sebenarnya tidak bisa terjadi. Sebab setiap daerah tempat tinggal, betapapun kaya dan
luasnya, pastilah memiliki keterbatasan sumber daya untuk menopang kelangsungan
hidup. Dan pula setiap kelompok agama maupun etnik yang mengisolasi diri cepat atau
lambat cenderung gagal untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Untuk lebih
jelasnya lihat Hajriyanto Y. Thohari, ‚Pluralisme Etnik: Sebuah Potensi Konflik‛,
dalam Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan, Syaiful Arifin, eds. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), 132.
47
mekanisme yang seharusnya berguna untuk mengatasi konflik. Strategi
menggunakan jaring pengaman pencegahan konflik, yakni dengan
merajut benang-benang paralel ini bersama, usaha yang dapat dilakukan
antara lain dengan Pertama, membentuk sekelompok orang dari berbagai
bagian masyarakat, yang dapat meliputi, misalnya perwakilan-
perwakilan seluruh etnis atau kelompok-kelompok marga, pemerintah
lokal, kekuatan-kekuatan keamanan, pemimpin agama dan para
pemimpin masyarakat. Kedua, mengirim sesepuh dari marga, suku atau
kelompok tradisional lainnya sebagai utusan. Ketiga, mengundang
tokoh-tokoh agama untuk melakukan intervensi, dengan tujuan
menyediakan ruang untuk dialog. Keempat, memanfaatkan ritual yang
ada bertujuan untuk membawa orang bersama-sama dengan cara
menekankan nilai-nilai dan visi-visi yang dibagi bersama. Kelima,
memanfaatkan struktur-struktur atau kelompok-kelompok yang ada dan
yang dihormati (contoh: kelompok wanita, dewan pengurus sekolah,
komite pembangunan masyarakat), sebagaimana adanya atau
dimodifikasi untuk pencegahan konflik. Keenam, menggunakan
publikasi secara hati-hati untuk menyoroti kebutuhan tindakan darurat.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa cara kerja Jaring Pengaman
Pencegahan Konflik, yakni dengan mengadakan jaringan hubungan kerja
sama antara pemerintah yang berwenang dengan berbagai organisasi
keagamaan, maupun masyarakat secara periodik.
48
BAB III
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM UPAYA
MENCEGAH KONFLIK
Bab ini membahas mengenai peran pemerintah Kabupaten OKU
Timur dalam mencegah konflik, strategi yang dilakukan yakni:
pemberdayaan masyarakat berbasis keadilan dan kesejahteraan umat,
serta melakukan perbaikan di bidang sosial ekonomi. Di antara upaya
yang telah dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur, yaitu:
membangun sarana dan prasarana (infrastruktur), serta melakukan
upaya-upaya untuk memberdayakan dan mensejahterakan kehidupan
ekonomi masyarakat. Dengan asumsi bahwa benih-benih konflik yang
muncul di Kabupaten ini terkait dengan masalah ekonomi.125
A. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Keadilan dan Kesejahteraan
Umat
Dalam konteks Kabupaten OKU Timur, kesejahteraan sosial
dapat dimaknai terpenuhinya kebutuhan seseorang, kelompok atau
masyarakat dalam hal materi, spritual maupun sosial.126
Itu berarti
125
Benih-benih konflik yang muncul di Kabupaten OKU Timur, antara lain
kekerasan sosial, sebagai akibat dari kesenjangan sosial maupun sikap budaya. Adanya
kesenjangan kesejahteraan sosial penduduk dalam bidang ekonomi antara penduduk
pendatang yang dominan kaya dengan penduduk primbumi yang pada umumnya
tergolong miskin, yakni antara orang Bali yang secara ekonomi lebih sukses
dibandingkan orang Komering dan orang Jawa. Hasil wawancara dengan Wakil Bupati
Kabupaten OKU Timur; Kabid Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten
OKU Timur; pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan),
Khatolik (Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-
10 Februari 2011. 126
Hal ini sesuai dengan pengertian kesejahteraan sosial, menurut Midgley
dalam Isbandi Rukminto Adi, yakni suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia
yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik, ketika
kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat
dimaksimalisasikan. Sedangkan dalam UU No 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan
Sosial Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup
layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Lihat Isbandi Rukminto Adi, Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial: Dasar-Dasar Pemikiran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 16.
43
49
bahwa kesejahteraan masyarakat akan meningkat, apabila masyarakat
diberdayakan untuk dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan dan kapasitasnya. Hal ini dapat dilakukan melalui proses
pemberdayaan masyarakat. Konsep pemberdayaan masyarakat
memegang peranan penting dalam proses implementasi program
pemberdayaan yang nantinya akan dilakukan oleh pihak pemerintah
Kabupaten OKU Timur. Hakekat sebuah program pemberdayaan dengan
pendekatan partisipatif adalah untuk mengentaskan kemiskinan secara
keseluruhan. Karena metode pemberdayaan tersebut memiliki sejumlah
muatan indikator yang cukup mendukung dan dilengkapi dengan sudut
pandang yang terarah. Dari keseluruhan proses tersebut diarahkan untuk
mendukung tercapainya bangunan konstruksi kemandirian yang
berkelanjutan dari masyarakat setempat.127
Bila ditinjau dari proses
pemberdayaan masyarakat, maka tidak hanya berbicara mengenai
peningkatan kemampuan atau kapasitas dari masyarakat, tetapi penting
juga melihat aset-aset yang ada di masyarakat tersebut, karena bila terus
dikembangkan atau dimaksimalkan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.128
127
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9
Februari 2011. Lihat juga Owin Jamasy, Keadilan, Pemberdayaan & Penanggulangan Kemiskinan (Jakarta: Blantika, 2004), 24. Harry Hikmat Kusnaka Adimihardja,
Participatory Research Appraisal dalam Pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat: Modul Latihan (Bandung: Humaniora, 2001), 9. Bandingkan dengan Isbandi Rukminto
Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas: Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
UI, 2003), 54. 128
Ada beberapa aset komunitas yang perlu untuk dipahami dalam proses
pemberdayaan masyarakat Kabupaten OKU Timur, yaitu: Pertama, Modal Manusia.
Modal ini mewakili unsur pengetahuan, perspektif, mentalitas, keahlian, pendidikan,
kemampuan kerja, dan kesehatan masyarakat yang berguna untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat. Kedua, Modal Fisik. Modal ini mewakili unsur bangunan
(seperti: perumahan, pasar, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya) dan infrastruktur
dasar (seperti jalan, jembatan, jaringan air minum, jaringan telepon, dan sebagainya)
yang merupakan sarana yang membantu masyarakat untuk meningkatkan kualitas
hidupnya. Ketiga, Modal Finansial. Modal ini mewakili unsur sumber-sumber
keuangan yang ada di masyarakat (seperti penghasilan, tabungan, pendanaan reguler,
pinjaman modal usaha, sertifikat surat berharga, saham, dan sebagainya) yang dapat
dimanfaatkan untuk menunjang derajat kehidupan masyarakat. Keempat, Modal
Teknologi. Modal ini mewakili sistem atau peranti lunak (software) yang melengkapi
modal fisik (seperti teknologi pengairan sawah, teknologi penyaringan air, teknologi
pangan, teknologi cetak jarak jauh dan berbagai teknologi lainnya) yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kelima, Modal Lingkungan.
Modal ini mewakili sumber daya alam dan sumber daya hayati yang melingkupi suatu
50
Misalnya, untuk meningkatkan aset manusia diperlukan aset
fisik, seperti sekolah atau rumah sakit sebagai sarana untuk
mengembangkan pengetahuan, keahlian, pendidikan, maupun kesehatan
masyarakat. Hal ini menjadi salah satu prioritas pemerintah Kabupaten
OKU Timur. Demikian juga dengan aset fiskal atau aset keuangan
sangat mendukung masyarakat untuk meningkatkan perekonomiannya.
Aset sosial sebagai sarana untuk mengembangkan ikatan sosial atau
jaringan sosial dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Selain
itu, modal atau aset natural dan teknologi sangat penting dalam
membantu masyarakat untuk mengembangkan sumber daya alam yang
dimiliki dengan dibantu oleh penguasaan teknologi yang dapat
meningkatkan penggunaan sumber daya alam yang ada di masyarakat
seperti penggunaan teknologi untuk pengembangan pertanian
masyarakat, agar nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.129
Contoh kasus, di Kabupaten OKU Timur penduduknya
mayoritas hidup dari pertanian, tapi, modal atau aset fisik belum
memadai, seperti jalan raya atau jembatan, sehingga masyarakat
kesulitan untuk memasarkan hasil pertaniannya. Pembangunan jalan
raya ataupun jembatan sulit direalisasikan mengingat dana yang
dikeluarkan sangat besar. Tetapi melalui pemberdayaan masyarakat
dimana ada peran dari berbagai pihak atau stakeholder yang dapat
membantu dalam proses pemberdayaan masyarakat.130
Dengan adanya
kerjasama itu, maka pembangunan infrastruktur berupa jalan raya
ataupun jembatan menjadi lebih efektif dan efisien.131
masyarakat. Keenam, Modal Sosial. Modal ini mewakili sumber daya sosial (seperti
jaringan sosial, kepercayaan masyarakat, ikatan sosial, dan sebagainya) yang
bermanfaat untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya. Aset-aset
yang ada itu tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling melengkapi satu dengan yang
lainnya. Sumber: Arsip Bapeda Kabupaten OKU Timur, 2010. Didukung juga dengan
hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9 Februari
2011. Lihat juga Isbandi Rukminto Adi, Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), 285-313. 129
Salah satu program pemberdayaan yang terkenal di Indonesia saat ini, yaitu
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri belum sepenuhnya
mengembangkan aset-aset yang ada di masyarakat. 130
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9
Februari 2011. 131
Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010. Data ini juga didukung oleh
hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9 Februari
2011.
51
Pemerintah Kabupaten OKU Timur juga mendorong
terbentuknya Kelompok Pemberdayaan Masyarakat (KPM) yang
menjalankan fungsi utama peningkatan kesejahteraan. Hal ini terlihat
dari usaha pemerintah Kabupaten untuk menjamin kesejahteraan dan
memberikan perlindungan kepada anggota kelompok tani yang ada di
daerah ini, dengan membentuk badah usaha yang dinamakan Koperasi
Unit Desa (KUD). Badan usaha ini sesuai dengan karakteristik
masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan
gotong-royong seperti di Kabupaten OKU Timur. Karena koperasi
merupakan wadah bagi perekonomian rakyat. Dengan demikian,
diharapkan akan menumbuh-kembangkan pembangunan pertanian dan
pedesaan, serta pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) atau
dengan meminjam istilah Umar Chapra IKM (Industri Kecil dan
Menengah).132
Memang, untuk membangun usaha tersebut, pasti
menghadapi kendala, terutama kaitannya dengan masalah permodalan
dan pemasaran. Untuk itulah diperlukan kerjasama dari semua pihak
yang ada di daerah ini.133
Pemerintah Kabupaten OKU Timur menyusun langkah-langkah
utama dan pendukung, agar visi yang dicitakan-citakan dapat
terwujud.134
Langkah-langkah ini merupakan penjabaran lebih rinci dan
kongkrit dari misi yang telah digariskan.135
Semua langkah ini terkait
satu sama lain dan bersifat saling melengkapi. Dari langkah manapun
132
Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge (USA: The Islamic
Foundation, 1995), 256. 133
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas, Tanggal 9 Februari 2011. Lihat juga Loekman
Soetrisno, ‚Pembangunan Manusia Indonesia sebagai Pendukung Masyarakat
Industrial Pancasila,‛ dalam Sumber Daya Manusia untuk Indonesia Masa Depan,
Jimmly Asshiddiqie, eds. (Bandung: Mizan, 1997), 141-148. 134
Hal ini sesuai dengan visi Kabupaten OKU Timur, yakni terwujudnya
Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur yang unggul dan berdaya saing global berbasis
pada pemanfaatan potensi sumber daya alam. Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur,
2010. 135
Misi Kabupaten OKU Timur, yaitu: Pertama, meningkatkan mutu sumber
daya manusia dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi
daerah dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada
mekanisme pasar; Kedua, meningkatkan profesionalisme aparatur dan penataan
kelembagaan pemerintah daerah ramping struktur dan karya fungsi (rasional, efektif,
efisien, realitas, dan professional) dan menjamin tegaknya hukum; Ketiga,
meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana dasar wilayah/infrastruktur yang
berorientasi pada pemerataan; Keempat, meningkatkan pendayagunaan potensi sumber
daya melalui pembangunan berkelanjutan. Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.
52
dimulai upaya pemecahan masalah yang ada, maka pada akhirnya akan
bertemu dan membutuhkan dukungan dari sisi yang lain. Langkah-
langkah yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten OKU Timur,136
yaitu: Pertama, pemberdayaan masyarakat desa, yakni: dengan
peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan, pengembangan
lembaga ekonomi perdesaan, peningkatan partisipasi masyarakat dalam
membangun desa, peningkatan kapasitas aparatur pemerintah desa,
peningkatan peran serta perempuan di perdesaan, pengembangan
data/informasi perdesaan. Selain itu, pemerintah Kabupaten OKU Timur
juga berupaya meningkatan perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi
sosial, dengan pemberdayaan fakir miskin, Komunikasi Adat Terpencil
(KAT) dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya,
meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial,
pembinaan anak terlantar, pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan
sosial. Pemerintah juga berupaya melakukan pemberdayaan dan
perlindungan terhadap kualitas hidup perempuan dan anak. Untuk
mewujudkan hal ini, strategi yang dilakukan yakni dengan program
keserasian kebijakan peningkatan kualitas anak dan perempuan,
penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak, peningkatan
kualitas hidup dan perlindungan perempuan, peningkatan peran serta dan
kesetaraan gender dalam pembangunan, program penguatan
kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak.
Kedua, pengembangan pendidikan. Dalam bidang pendidikan,
arah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Oku Timur,
yaitu: perluasan akses pendidikan gratis untuk masyarakat miskin, yakni
dengan kebijakan memperluas akses pendidikan bagi anak usia sekolah.
Diantara upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur,
yakni terus menggalakkan program pendidikan anak usia dini, program
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, program pendidikan
menengah, program pendidikan non formal, program pendidikan luar
sekolah, program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan,
program pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan,
program manajemen pelayanan pendidikan. Selain itu pemerintah
Kabupaten OKU Timur juga terus berupaya membangun sarana dan
prasarana pendidikan, seperti pengadaan gedung sekolah dan
136
Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010. Data ini juga didukung oleh
hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9 Februari
2011.
53
penambahan tenaga pengajar/guru.137
Hal ini bertujuan agar
pengembangan pendidikan yang semakin bermutu dan menyebar ke
seluruh daerah/kecamatan.
Ketiga, peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Dalam
bidang pelayanan kesehatan, strategi yang dilakukan oleh pemerintah
Kabupaten OKU Timur, yakni diarahkan kepada pelayanan kesehatan
penduduk, pelayanan kesehatan terhadap tenaga produktif, dan usaha
preventif kesehatan. Upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU
Timur dalam pelayanan kesehatan meliputi pelayanan kesehatan kepada
seluruh lapisan masyarakat dan diupayakan agar dapat menjangkau
seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat pedesaan dengan
golongan ekonomi lemah, sehingga diharapkan mereka dapat pula
menikmati pelayanan kesehatan yang jauh lebih baik. Untuk itulah
pemerintah Kabupaten OKU Timur terus membangun sarana dan
prasarana, baik bangunan rumah sakit maupun tenaga medis. Rumah
sakit yang ada di Kabupaten OKU Timur hingga tahun 2010 berjumlah
3 unit, yakni 1 rumah sakit umum, 2 rumah sakit swasta. Sedangkan
jumlah puskesmas sebanyak 17 buah, puskesmas pembantu 24 buah dan
rumah bersalin berjumlah 36 buah. Tenaga medis/kesehatan yang ada di
Kabupaten Oku Timur selama tahun 2010 adalah dokter umum
berjumlah 22 orang, dokter gigi berjumlah 2 orang, bidan berjumlah 121
orang, perawat gigi berjumlah 13 orang, dan perawat umum berjumlah
92 orang ditambah lagi dengan bidan desa sebanyak 161 orang.138
Keempat, peningkatan sarana prasarana infrastruktur daerah.
Salah satu pembangunan infrastruktur yang menjadi perhatian
pemerintah Kabupaten OKU Timur yakni infrastruktur berupa jalan
raya. Tahun 2010 panjang jalan di Kabupaten OKU Timur mencapai
1948.84 km dengan jangkuan terhadap luas wilayah hanya 0.51 km2 dari
total wilayah Kabupaten OKU Timur. 21,68 km merupakan jalan
nasional yang menjangkau bagian selatan Kabupaten OKU Timur
melalui ibu kota Kabupaten Martapura. 279.40 km merupakan jalan
137
Jumlah sekolah dasar yang ada baik Sekolah Dasar (SD) negeri maupun
swasta di Kabupaten OKU Timur berjumlah 425 unit sekolah. Sedangkan jumlah
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) adalah sekolah negeri berjumlah 41 unit
yang tersebar diseluruh kecamatan dan sekolah swasta berjumlah 37 unit, dengan
jumlah ruang belajaar 553 buah untuk negeri dan 535 buah untuk swasta. Sedangkan
Sekolah Menengah Umum (SMU) yang ada di Kabupaten OKU Timur, yaitu
berjumlah 15 unit SMU negeri dan 19 unit SMU swasta, dengan jumlah ruang belajar
sebanyak 132 buah untuk negeri dan 120 buah untuk swasta. Sumber: Arsip Bappeda
OKU Timur, 2010. 138
Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.
54
provinsi, 563 km jalan Kabupaten dan 1084.91 km adalah jalan desa.
Berdasarkan kondisi, dari panjang total jalan tersebut, 42.42 % atau
1.170,49 km merupakan jalan dengan kondisi jalan tanah sedangkan
jalan dengan kondisi beraspal hanya 21,23% atau 585,76 km. Selain itu,
terdapat 178 unit jembatan dengan panjang 2.219,85 km dan 2 terminal
yang berklasifikasi b dan 1 terminal berklasifikasi c. Jembatan timbang
sebanyak 1 unit, 7 unit SPBU dengan jumlah bus antar kota antar
provinsi yang melayani OKU Timur sebanyak 40 unit.139
Selain itu
pemerintah Kabupaten OKU Timur juga melakukan pembangunan dan
perbaikan jalan penghubung antar wilayah, strategi yang dilakukan
yakni dengan program pembangunan jalan dan jembatan, pembangunan
saluran drainase (gorong-gorong), pembangunan turap,
rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan, rehabilitasi/pemeliharaan
turap, inspeksi kondisi jalan dan jembatan, tanggap darurat jalan dan
jembatan, pembangunan sistem informasi/database jalan dan jembatan.
Pemerintah Kabupaten OKU Timur juga melakukan
pembangunan infrastruktur perhubungan, teknologi dan informasi di
seluruh wilayah, yakni dengan pembangunan fasiltas, sarana prasarana
perhubungan, rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana dan fasilitas
LLAJ, peningkatan pelayanan angkutan, pembangunan sarana dan
prasarana perhubungan, pengendalian dan pengamanan lalu lintas,
peningkatan kelayakan pengoperasian kendaraan bermotor. Selain itu
pemerintah juga mengupayakan peningkatan akses jaringan informasi
dan komunikasi, antara lain dengan: program pengembangan
komunikasi, informasi dan media massa, pengkajian dan penelitian
bidang informasi dan komunikasi, fasilitasi peningkatan sumber daya
manusia bidang komunikasi dan informasi, kerjasama informasi dan
mass media. Pemerintah Kabupaten OKU Timur juga mengupayakan
pembangunan perumahan yang layak huni serta meningkatan kualitas
pemukiman kumuh, yakni dengan melakukan program: pengembangan
perumahan, lingkungan sehat perumahan, pemberdayaan komunitas
perumahan, perbaikan perumahan akibat bencana alam/sosial,
peningkatan kesiagaan dan pencegahan bahaya kebakaran, serta
pengelolaan areal pemakaman.
Kelima, peningkatan investasi dan percepatan pembangunan
ekonomi. Untuk meningkatkan dan mendorong investor dalam rangka
berinvestasi di Kabupaten OKU Timur guna mendorong percepatan
pertumbuhan investasi dan perekonomian masyarakat, strategi yang
139
Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.
55
dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur yaitu: (1) pengembangan
sumber daya energi terbarukan dan pengelolaan yang berwawasan
lingkungan; peningkatan akses jaringan listrik kepada seluruh
masyarakat; pengembangan energi alternatif dan peningkatan akses
terhadap penelitian bidang energi alternatif dengan upaya meningkatkan
anggaran untuk pengembangan sektor pertambangan; pembangunan
jaringan listrik baru untuk wilayah yang belum teraliri listrik;
meningkatkan kerjasama dengan lembaga penelitian dalam
mengembangkan energi alternatif. Untuk mewujudkan hal ini
pemerintah Kabupaten OKU Timur menetapkan kebijakan antara lain:
program pembinaan dan pengawasan bidang pertambangan; melakukan
pengawasan dan penertiban kegiatan rakyat yang berpotensi merusak
hutan; program pembinaan dan pengembangan bidang ketenagalistrikan;
program geologi, SDM dan pertambangan umum; pembinaan dan
pengembangan minyak dan gas; serta melakukan pengembangan energi
alternatif. (2) penguatan kemitraan antara industri menengah, industri
kecil dan koperasi; peningkatan pembinaan terhadap Usaha Kecil
Menengah dan Koperasi; peningkatan industri pengolahan sektor
pertanian. Kebijakan yang dilakukan yakni: meningkatkan kemitraan
antar usaha kecil, menengah dan koperasi; meningkatkan pembinaan
kepada usaha kecil, menengah dan koperasi; meningkatkan pembinaan
terhadap industri mengolah hasil pertanian. Untuk mewujudkan hal ini
strategi yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur adalah:
penciptaan usaha kecil menengah dan koperasi; pengembangan
kewirausahaan dan keunggulan kompetitif usaha kecil menengah;
melakukan pengembangan sistem pendukung usaha bagi usaha mikro
kecil menengah; peningkatan kualitas kelembagaan koperasi;
peningkatan promosi dan kerjasama investasi; peningkatan iklim
investas dan realisasi investasi; penyiapan potensi sumber daya, sarana
dan prasarana daerah; peningkatan kapasitas IPTEK sistem produksi;
pengembangan industri kecil dan menengah; peningkatan kemampuan
teknologi industri; penataan struktur industri; serta pengembangan
sentra-sentra industri potensial. (3) peningkatan penataan sektor
perdagangan dan pasar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD), dengan arah kebijakan pengembangan potensi ekonomi daerah
dengan membangun fasilitas perdagangan. Untuk mewujudkan hal ini
strategi yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur, yakni:
dengan terus berupaya untuk meningkatkan perlindungan terhadap
konsumen dan pengamanan perdagangan, peningkatan kerjasama
perdagangan internasional, peningkatan dan pengembangan ekspor,
56
peningkatan efisiensi perdagangan dalam negeri, serta melakukan
pembinaan pedagang kaki lima dan asongan.
Keenam, pengembangan daerah pertumbuhan baru dan daerah
tertinggal. Meningkatkan pertumbuhan daerah-daerah baru khususnya
wilayah cepat tumbuh, wilayah perbatasan dan wilayah tertinggal adalah
sebagai berikut: peningkatan pembangunan di wilayah Kota Terpadu
Mandiri, peningkatan program pembangunan di daerah pesisir komering,
peningkatan jumlah transmigasi lokal. Kebijakan yang dilakukan yakni:
pembangunan fasilitas di KTM (Kota Terpadu Mandiri), meningkatkan
anggaran pembangunan di wilayah pesisir komering, meningkatkan
jumlah daerah transmigasi dan jumlah transmigran. Sedangkan upaya
yang dilakukan untuk mewujudkan hal ini yakni dengan melakukan
pengembangan wilayah transmigasi, program transmigrasi lokal,
program transmigrasi regional.
Ketujuh, pembangunan keagamaan dan budaya. Arah kebijakan
pemerintah Kabupaten OKU Timur dalam peningkatan dan
pengembangan kualitas kehidupan beragama bagi masyarakat adalah
sebagai berikut: peningkatan kesadaran dan kerukunan antar umat
beragama, serta meningkatan kecintaan terhadap budaya daerah;
mengembangkan daya tarik wisata untuk mendukung perekonomian
daerah. Kebijakan yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur,
yakni: meningkatkan pembinaan terhadap lembaga keagamaan dan
lembaga adat; meningkatkan pengembangan pariwisata dengan
meningkatkan fasilitas penunjang kepariwisataan. Hal ini diwujudkan
dengan cara: pengelolaan nilai budaya, pengelolaan kekayaan budaya,
pengelolaan keragaman budaya, pengembangan kerjasama pengelolaan
kekayaan budaya, pengembangan pemasaran pariwisata, pengembangan
destinasi pariwisata, dan pengembangan kemitraan.
Kedelapan, pembangunan keamanan dan ketertiban. Untuk
meningkatkan stabilitas keamanan dan ketentraman masyarakat dalam
rangka mendorong terciptanya pertumbuhan perekonomian daerah dan
masyarakat arah kebijakan yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU
Timur yaitu: memantapkan peran pemerintah sebagai fasilitator dan
mediator yang kredibel dan adil dalam menjaga dan memelihara
keamanan dan ketertiban dalam masyarakat; memelihara ketentraman
dan ketertiban masyarakat yang sejalan dengan pengembangan
keamanan swakarsa dan perlindungan terhadap masyarakat; penegakan
hukum dan penciptaan ketertiban dan keamanan. Kebijakan yang
dilakukan, yakni: meningkatkan peran pemerintah dalam menjalin
komunikasi antar kelompok masyarakat, membangun kemitraan antar
57
aparat keamanan dan masyarakat, meningkatkan pemahaman
masyarakat terhadap hak asasi manusia. Agar hal ini dapat terwujud
strategi yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur, yaitu:
peningkatan keamanan dan kenyamanan lingkungan, pemeliharaan
kantrantibnas (keamanan, ketentraman serta ketertiban nasional) dan
pencegahan tindak kriminal, pengembangan wawasan kebangsaan,
kemitraan pengembangan wawasan kebangsaan, pemberdayaan
masyarakat untuk menjaga ketertiban dan keamanan, Peningkatan
Pemberantasan Penyakit Masyarakat (PEKAT), program pendidikan
politik masyarakat, serta pencegahan dini penanggulangan bencana
alam.
Pemerintah Kabupaten ini juga terus berupaya untuk
mewujudkan pembangunan dan pengembangan wilayah Kabupaten
OKU Timur yaitu: Pertama, Kota Terpadu Mandiri (KTM). Strategi
yang dilakukan, yakni: pembangunan infrastruktur pendukung seperti
jalan penghubung dan jembatan menuju dan di areal KTM;
pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan; pembangunan pusat-
pusat perekonomian dan perdagangan; pembangunan perumahan khusus
bagi peserta transmigasi lokal; serta bantuan bagi usaha pertanian,
perkebunan dan peternakan. Kedua, kawasan agropolitan. Strategi yang
dilakukan, yakni: mengembangkan daerah pertanian sebagai daerah
pertumbuhan baru yang didukung dengan fasilitas dan sarana prasarana
yang mendukung usaha bidang pertanian. Ketiga, kawasan minapolitan.
Strategi yang dilakukan yakni, mengembangkan daerah pertanian
khususnya perikanan budidaya sebagai daerah pertumbuhan baru yang
didukung dengan fasilitas dan sarana prasarana yang mendukung usaha
bidang perikanan. Keempat, kawasan khusus OMIBA. Strategi yang
dilakukan yakni, kawasan khusus dimana kepemilikan wilayah adalah
militer yang dapat dikembangkan sebagai usaha produktif dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mengurangi
angka pengangguran. Kebijakan pembangunan di Kabupaten OKU
Timur tidak hanya berorentasi pada pembangunan ekonomi, namun juga
memperhatikan aspek pembangunan sosial, yakni melalui pembangunan
fundamental sosial-budaya masyarakat. Salah satu strateginya yakni,
pemerintah bekerja sama dengan pihak terkait mengadakan pelatihan-
pelatihan dan penyuluhan secara rutin di berbagai daerah yang ada di
Kabupaten OKU Timur. Hal ini bertujuan agar tumbuh dalam
masyarakat kepribadian yang tangguh dalam menghadapi beragam
tantangan, adanya kultur masyarakat yang berdisiplin dan beretos kerja
tinggi, memiliki rasa saling percaya antar warga yang berbeda latar
58
belakang, juga memiliki religiusitas dan spiritualitas yang tinggi.140
Untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat berbasis keadilan dan
kesejahteraan umat diperlukan peran serta dan kerjasama pemerintah
Kabupaten OKU Timur dengan seluruh masyarakat yang ada di daerah
ini.141
B. Perbaikan di Bidang Sosial Ekonomi
Penyebaran penduduk Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur di
16 Kecamatan yang ada ternyata tidak merata.142
Hal ini disebabkan
karena sebagian besar penduduk lebih memilih tinggal di kecamatan
yang potensial secara ekonomi dan memiliki fasilitas umum dan sosial
yang lebih lengkap dibandingkan kecamatan lainnya yang masih
tertinggal. Kecamatan Belitang 1 misalnya, mempunyai jumlah
penduduk terbesar yaitu 63.070 jiwa, disusul Kecamatan Madang Suku 1
dengan penduduk sebesar 60.832 jiwa dan Kecamatan Buay Madang
Timur dengan penduduk sebesar 57.916 jiwa. Sedangkan jumlah
penduduk terkecil berada di Kecamatan Jayapura yaitu hanya sebanyak
6.564 jiwa.143
Sebagian tanah petuanan di Kabupaten OKU Timur dihuni oleh
pendatang baik dari luar maupun dari dalam kabupaten itu.144
Hal ini
dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik, apalagi bila tidak
ditemukan alternatif jalan penyelesaian. Misalnya, dalam hal hubungan
penduduk pendatang transmigran dari Bali yang dominan beragama
Hindu dan penduduk pribumi yang dominan beragama Islam yang
140
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. 141
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas, Tanggal 9 Februari 2011. 142
Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur merupakan satu dari 14
Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sumatera Selatan, dengan luas wilayah 3 370
km2. Dilihat dari sisi geografisnya Kabupaten ini terletak antara 103o40’ Bujur Timur
sampai dengan 104o33’ Bujur Timur dan antara 3
o45’ sampai dengan 4
o55’ Lintang
Selatan. Luas wilayah Pemerintahan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur yang
beribu kota Martapura meliputi 20 kecamatan, 3 kelurahaan, 202 desa dan 9 desa
persiapan. Daratan sekecil itu dihuni oleh 604.857 jiwa, yang menyebar di 16
kecamatan dan 211 desa/kelurahan. Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.
143Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.
144Hasil wawancara dengan Wakil Bupati OKU Timur, Tanggal 9 Februari
2011. Kajian lebih lanjut mengenai masalah-masalah sosial lihat Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, 37.
59
bersuku Komering ataupun keturunan Jawa. Masalah konflik atau paling
tidak terhambatnya proses integrasi antara transmigran dengan
penduduk penduduk asli sering kali juga didasari oleh perbedaan atau
pertentangan nilai inti, sedangkan perbedaan nilai yang menyangkut
unsur budaya fisik juga dapat menyulut terjadinya konflik yang bersifat
destruktif atau fungsional negatif terhadap integrasi sosial. Apalagi
kalau kemudian didasari bahwa diantara kedua belah pihak terdapat juga
pertentangan kepentingan sehingga masing-masing pihak berposisi
sebagai kelompok kepentingan terhadap yang lain. Masalah lain yang
muncul adalah penyerobotan tanah orang lain makin bertambah,
mengingat batas-batas tanah yang tidak jelas. Berkaitan dengan lahan
pemukiman yang makin bertambah di satu pihak dan makin
berkurangnya lahan untuk pertanian dan perkebunan perlu diwaspadai
pertumbuhan desa-desa, ibu kota kabupaten. Kota kabupaten baru pada
umumnya merupakan perkembangan dari daerah yang baru berkembang,
sehingga tanah perkebunan dan pertanian akan tergusur oleh bangunan
perkantoran dan perumahan. Perkembangan Kabupaten OKU Timur
mengarah pada masyarakat hetrogen dan pluralistik dari segi agama dan
etnis. Kondisi demikian menjadi rawan untuk terjadinya kerusuhan
sosial yang berujung pada konflik komunal.145
Untuk itu berbagai usaha diupayakan, salah satu contohnya
dalam hal ini pemerintah Kabupaten OKU Timur bekerjasama dengan
Kemnakertrans RI berkomitmen untuk terus menumbuhkan kembali dan
berusaha agar pembangunan transmigrasi dapat mempercepat proses
pembangunan daerah dan dilaksanakan dengan secepat-cepatnya serta
sebaik-baiknya. Salah satu contoh upaya itu, yakni pembangunan dan
pengembangan permukiman transmigrasi Kota Terpadu Mandiri (KTM)
berbasis kawasan. Permukiman transmigrasi Kota Terpadu Mandiri
(KTM) yang dicanangkan pada tanggal 17 Januari 2007 oleh
Kemnakertrans RI terletak di Belitang Kabupaten OKU Timur, dengan
wilayah seluas 120 hektar yang tersebar di sembilan kecamatan, 142
desa, dengan luas wilayah 117.140,9 ha. Kemnakertrans RI juga
memberikan bantuan satu paket medical kit, dua unit power tresher, dua
paket buku perpustakaan, delapan set peralatan pembuat kue, 20 unit
mesin jahit, dan dua set peralatan olahraga, serta bibit karet untuk lahan
usaha bagi 25 KK transmigransi lokal.146
145
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas, Tanggal 9 Februari 2011. 146
Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.
60
Dengan demikian pemberdayaan masyarakat transmigrasi tidak
lagi bersifat eksklusif bagi transmigran, melainkan inklusif, dengan
melibatkan penduduk setempat dan sekitarnya yang juga sebagai
penerima manfaat keberadaan KTM ini. Oleh karena itu, penanganan
KTM akan melibatkan berbagai sektor, misalnya sektor kehutanan,
pertanian, pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, perindustrian,
koperasi dan usaha kecil menengah, pertanahan dan sebagainya, dalam
suatu program terpadu secara bersama-sama. Satu kesatuan terpadu dan
model pembangunan transmigrasi merupakan upaya semua pihak dalam
lintas-sektoral dan lintas-struktural yang menyatu dalam koordinasi
yang produktif. Pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi
dengan skema KTM ini diharapkan menjadi alat untuk mempercepat
pembangunan daerah yang sebelumnya berorientasi perdesaan, untuk
kemudian terintegrasi dengan terwujudnya pusat pertumbuhan baru.
Dengan tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru di KTM ini,
dipastikan akan menggerakkan ekonomi lokal dan daerah. Melalui
proses pembangunan dan pengembangan, serta penataan kembali
kawasan-kawasan transmigrasi yang relatif belum berkembang melalui
skema KTM, dapat menjadi daya tarik bagi masyarakat luas, termasuk
dunia usaha, untuk bermukim, berusaha dan menanamkan modalnya di
kawasan transmigrasi.147
Program transmigrasi yang dikemas dengan skema KTM di
kawasan transmigrasi akan mengintegrasikan semua entitas kehidupan
dalam kawasan KTM secara hirarkis dengan memposisikan sebagai
Kawasan Perkotaan Baru (KPB) yang terletak di Satuan Permukiman
(SP) Utama dalam Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) Utama. Pusat
KTM juga dilengkapi berbagai fungsi perkotaan, yang secara sekaligus
diarahkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang tidak
jauh berbeda dengan masyarakat perkotaan, misalnya kebutuhan dasar
pendidikan, kesehatan, mental spiritual maupun pengembangan usaha
ekonomi. Dengan diresmikannya Gedung Badan Pengelola Gedung
Pusat Bisnis Taman dan Tugu, serta sarana pendidikan di Pusat Kota
Terpadu Mandiri (KTM) Belitang Kabupaten OKU Timur, diharapkan
kesejahteraan masyarakat lebih cepat tercapai. Salah satu tujuan
pembangunan KTM Belitang adalah mempercepat pembangunan
berbagai sektor, yaitu industri, perdagangan barang dan jasa, pendidikan
dan kesehatan serta menciptakan sentra-sentra bisnis dan argo industri.
147
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9
Februari 2011.
61
Sehingga mampu menarik investor swasta untuk
menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi transmigran dan penduduk
sekitar. Dengan mengembangkan potensi dan membuka peluang usaha,
kesempatan kerja akan meningkat sehingga KTM Belitang akan menjadi
embrio kota masa depan dengan sarana dan prasarana memadai.148
Berbagai usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten
OKU Timur tersebut diharapkan mampu mengejar ketertinggalan
dengan daerah lain, bahkan bakal menjadi salah satu Kabupaten hasil
pengembangan daerah terbaik di Indonesia. Terbukti dengan
keberhasilan Kabupaten yang dikenal dengan slogan ‛sebiduk sehaluan‛
yang memiliki luas wilayah 3.370 km2 itu menjadi Kabupaten
percontohan tingkat nasional yang patut dibanggakan.149
Kabupaten ini
juga dikenal sebagai lumbung pangan nasional, yang telah mengoleksi
29 jenis penghargaan.150
Selain itu juga pemerintah Kabupaten OKU Timur terus
berupaya untuk memaksimalkan semua potensi yang ada di berbagai
sektor,151
antara lain: Pertama, sektor pertanian dan perkebunan.
Sebanyak 218.619 ha atau 64.61 % penggunaan lahan di Kabupaten
OKU Timur digunakan sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Kondisi
ini juga ditunjang dengan adanya irigasi Perjaya yang menjangkau
wilayah yang luas sampai ke wilayah Provinsi Lampung. Selain
pertanian, penduduk juga bekerja di kebun. Produksi perkebunan rakyat
pada tahun 2010, yakni: 4.577,52 ton karet yang dihasilkan oleh 20.753
ha kebun karet di OKU Timur; perkebunan sawit rakyat menghasilkan
4.470,14 ton tandan buah segar (TBS) dari 1.201 ha kebun sawit; jumlah
produksi lada rakyat mencapai 1.829,46 ton yang dihasilkan dari
148
Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.
149Sumber:
Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.
150Penghargaan dan tanda jasa yang pernah diterima Bupati Kabupaten OKU
Timur dari tahun 2007-2009, antara lain: piagam penghargaan bakti koperasi dan
usaha menengah, atas jasa darma bakti dalam mewujudkan kegiatan dan usaha kecil
menengah (2007); Sumsel Bussiness Award 2006, kategori supporting for good
acceleration; piagam penghargaan atas keberhasilan dalam mewujudkan keteladanan
kota Martapura Provinsi Sumatra Selatan (2007); penghargaan, kategori mewujudkan
tertib administrasi kependudukan (SIAK); piagam penghargaan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara yang telah menyampaikan Laporan Akuntabilitasi
Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) tahun 2006-2008; penghargaan peningkatan
produksi beras nasional dari Presiden RI (2009); Piala Adipura sebagai Kabupaten
terbersih (dan termuda) dari Presiden RI; penghargaan Wana Lestari Kabupaten, kota
dan pelaku usaha peduli pembangunan kehutanan dari Menteri Kehutanan RI (2009).
Sumbert: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.
\\
151Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.
62
2.110,59 ha kebun lada; perkebunan kelapa rakyat menghasilkan
2.753,43 ton dengan luas kebun kelapa sekitar 2.375,95 ha; perkebunan
kopi rakyat seluas 1.703,01 ha dengan hasil produksi 1.338,89 ton.
Sementara itu perusahaan perkebunan kelapa sawit dan tebu di
Kabupaten OKU Timur dikelola oleh tujuh perusahaan perkebunan
dengan lokasi di Kecamatan Martapura, Kecamatan Buay Madang dan
Kecamatan Cempaka dengan luas areal yang telah dimanfaatkan
mencapai 10.727 ha, sedangkan yang belum dimanfaatkan seluas 33.502
ha.
Kedua, pertambangan. Kabupaten OKU Timur memiliki empat
macam barang tambang yang sudah dieksploitasi, diantaranya adalah
pasir, tanah liat, andesit/batu sungai/batu pecah dan batu koral. Pada
tahun 2010 hasil produksi yang paling banyak ditambang adalah pasir,
yaitu sebanyak 60.000 ton diikuti oleh batu koral sebesar 37.500 ton.
Selain itu Kabupaten OKU Timur mempunyai potensi di barang
tambang yang lain, yaitu batubara dan marmer. Diperkirakan pada tahun
2010 Kabupaten ini mempunyai cadangan batubara sebanyak 207,705
juta ton dan marmer sebesar 14,6 juta ton. Cadangan batubara terbanyak
berada di kecamatan Madang Suku III yang diperkirakan sebanyak 77
juta ton, diikuti kecamatan Buay Madang, kecamatan Buay Pemuka
Peliung dan Kecamatan Jayapura masing-masing diperkirakan sebanyak
50 juta ton.
Ketiga, pariwisata. Sektor pariwisata juga mendapatkan
perhatian pemerintah Kabupaten OKU Timur. Salah satu potensi wisata
buatan di Kabupaten OKU Timur adalah bendung perjaya Kecamatan
Martapura. Bendung yang dibangun tahun 1991 ini, selain berfungsi
sebagai sarana irigasi juga potensial untuk dijadikan dijadikan objek
wisata alam sebagai sumber pendapatan daearah dan hiburan rakyat.
Selain itu juga terdapat wisata alam Banau Datuk yang terletak sekitar
40 km dari Ibukota Kabupaten, Martapura. Terletak di desa Surabaya
dan Desa Mendayun Kecamatan Madang Suku I. Sebagai kawasan
pertanian, Pemerintah Kabupaten OKU Timur berupaya agar kawasan-
kawasan pertanian tersebut dapat dikembangkan sebagai kawasan
pariwisata yang lazim dikenal dengan agrowisata. Salah satu tempat
unggulan agrobisnis adalah lahan persawahan yang ada di daerah
Belitang dan pertanian duku di Rasuan yang selama ini dikenal dengan
duku Palembang sebagai buah duku terbaik yang telah dikenal sebagai
varietas nasional. Komoditas ini sudah merambah hingga Jakarta dan
Bandung.
63
Keempat, perdagangan. Sampai dengan tahun 2010, di
Kabupaten OKU Timur terdapat 136 unit usaha industri perdagangan
kecil. Dimana terdapat penambahan jumlah yang sebelumnya hanya 79
unit usaha. Adapun serapan tenaga kerja mencapai 522 orang dengan
nilai produksi mencapai Rp. 2.040.000.000,00. pada bidang industri
perdagangan terdapat 38 unit usaha dengan serapan tenaga kerja
sebanyak 190 orang. Pasar tradisional di Kabupaten OKU Timur
sebanyak 39 unit dengan pasar lokal sebanyak 5 unit. Terdapat 510
orang pengusaha kecil, 95 orang pengusaha sedang, dan 5 orang
pengusaha besar. Badan usaha berbentuk perseroan terbatas sebanyak 8
unit, persekutuan komanditer 148 unit dan 704 unit usaha perseorangan.
Dengan serapan tenaga kerja sebesar 17%.
Pemerintah Kabupaten OKU Timur terus berusaha untuk
mewujudkan peningkatan taraf hidup masyarakat yang maksimal
sebagai indikator kesejahteraan, dengan menyediakan peluang kerja bagi
masyarakat berusia produktif. Terbukanya peluang usaha menengah
kecil berbentuk plasma-plasma usaha, menumbuhkan jiwa
kewirausahaan dan munculnya sistem, serta sarana pendidikan yang
mendukung bidang kewirausahaan berskala besar. Pemerintah kabupaten
ini juga berupaya mewujudkan kebijakan mikro ekonomi yang
mendukung tumbuh-kembangnya dunia usaha dengan memperbaiki
regulasi mikro dan makro ekonomi secara komprehensif, misalnya
pemberian modal usaha melalui pinjaman yang lebih berpihak dengan
mengedepankan prinsip keadilan, tanpa memandang SARA (Suku,
Agama dan Ras). Hal itu diperkuat dengan pengembangan potensi lokal
sebagai bentuk pemberdayaan riil di setiap daerah di Kabupaten OKU
Timur, karena potensi dan kekayaan yang beragam.152
Menurut Wakil Bupati OKU Timur, permasalahan yang dihadapi
di dalam kehidupan bermasyarakat memang demikian kompleks,
sehingga memerlukan pendekatan multidimensional dan multijalur. Tak
cukup hanya dipecahkan dari sudut ekonomi saja, karena perkembangan
ekonomi yang tidak diikuti dengan penguatan institusi politik dan
budaya juga akan menyebabkan kegoncangan sosial tersendiri.153
152
Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010. Didukung juga dengan hasil
wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9 Februari 2011. 153
Salah satu konsep mengenai upaya pencegahan konflik dengan
menggunakan pendekatan politik ekonomi, yakni Jaring Pengaman Sosial, yaitu sebuah
program pemerintah yang bertujuan untuk membantu masyarakat mengatasi krisis
tahun 1998 yang melanda negara Indonesia. Perdebatan mengenai hal ini telah banyak
dikaji di berbagai literatur. Teori ini menjelaskan mengenai nilai transformasi
64
Persoalan yang ada di Kabupaten OKU Timur juga tak dapat didekati
hanya dari aspek politik dan keamanan belaka, dengan keyakinan bahwa
stabilitas politik dan keamanan akan memperlancar seluruh agenda
pembangunan lainnya. Karena penekanan yang berlebihan pada aspek
politik keamanan seringkali mengorbankan kebebasan warga dan daya
kreasi publik, sehingga stabilitas politik yang muncul hanya bersifat
semu dan artifisial, sementara itu ketidakpuasan serta semangat
perlawanan akan bergejolak di bawah permukaan. Proses pembangunan
dalam wujud apapun, harus berpusat pada manusia dan warga
masyarakat sebagai subyek utama. Manusia secara individual dan
kolektif menjadi penggerak pembangunan, karena itu mereka harus
menemukenali permasalahan yang dihadapi dan mencari jalan keluar
bagi setiap persoalan itu. Lingkungan yang kondusif tidak berguna,
apabila warga masyarakat yang menghuninya tak mampu memanfaatkan
perubahan yang terjadi di sekitarnya untuk mengangkat derajat mereka.
Kebijakan dan program yang digencarkan oleh pemerintah Kabupaten
OKU Timur juga tidak banyak manfaat, apabila masyarakat tidak
berinisiatif untuk mengentaskan keadaan mereka yang terpuruk.
Pembangunan manusia dari segala aspek, yakni aspek fisikal,
intelektual, dan spiritual menjadi kata kunci, agar perubahan sosial
dalam berbagai dimensi ekonomi, politik, dan sosial- budaya dapat
terpenuhi. Karena ini, kebijakan dalam bidang sosial-budaya mendapat
pelayanan sosial dalam memperbaiki kesetaraan, dan juga dengan metode untuk
memperluas efisiensi. Cara yang dilakukan dengan menganalisa peran Jaring Pengaman
Sosial (JPS) dalam konteks reformasi politik-ekonomi, metode distribusi, dan
implikasinya. Berbagai peneliti memverifikasi bahwa dalam situasi ekonomi normal,
bantuan sosial tidak dapat mengurangi kemiskinan secara efektif, sebaliknya malah
menunjukkan in-efisiensi program jaminan sosial untuk mengurangi kemiskinan.
Karena menimbulkan ketergantungan, sehingga Jaring Pengaman Sosial (JPS) menjadi
tidak efektif dan efesien. Kajian mengenai Jaring Pengaman Sosial, antara lain terdapat
dalam karya Mulyadi Sumarto, ‚Jaring Pengaman Sosial dan Transisi Ekonomi di
Indonesia: Paradoks Pelayanan Sosial,‛ JOAAG, Vol. 2, No. 1, Yogyakarta: CPPS
GMU, 2007, 56. Lihat juga C. Graham, Safety Nets, Politics, and the Poor: Transition to Market Economies. Washington DC: The Brooking Institution, 1994. P.R. Gregory
dan R. Stuart, Comparative Economic System. Boston: Houghton Mifflin Company,
1999. J. Le Grand, C. Propper & R. Robinson, The Economics of Social Problems, 49-
50. D. M. Dinitto, & T.R. Dye, Social Welfare Politics and Public Policy (New Jersey:
Prentice Hall, 1987), 71. Bandingkan J. Midgley, Social Welfare in Global Context (Thousand Oaks: Sage Publications, 1997), 82.
65
perhatian serius bagi pemerintah Kabupaten OKU Timur sebagai sarana
membentuk manusia dan masyarakat yang berdaya.154
154
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati OKU Timur, Tanggal 9 Februari
2011.
66
BAB IV
PERAN DAN FUNGSI FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
DALAM PENCEGAHAN KONFLIK
Bab ini mengkaji mengenai peran dan fungsi Forum Kerukunan
Umat Beragama (untuk selanjutnya disingkat FKUB) dalam upaya
mencegah terjadinya konflik di masyarakat Kabupaten OKU Timur.
Pembahasan dalam bab ini yakni: dinamika kehidupan umat beragama di
Kabupaten OKU Timur, wewenang dan tanggung jawab FKUB, agenda
kegiatan FKUB dalam pencegahan konflik. Selain itu juga dibahas
mengenai upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten OKU Timur
bekerjasama dengan pemuka agama, antara lain: mengadakan jaringan
hubungan dan kerja sama dengan pemerintah dan berbagai organisasi
keagamaan ataupun masyarakat secara periodik, mengadakan upaya
sosialisasi konsep-konsep kerukunan. Hal ini dilakukan melalui berbagai
pertemuan, dialog, kunjungan, ucapan selamat, himbauan, seruan dan
sebagainya.155
A. Dinamika Kehidupan Umat Beragama di Kabupaten OKU Timur
Wilayah Ogan Komering Ulu (OKU) Timur meliputi 20
kecamatan dan 184 Kelurahan dengan luas wilayah 4.467,58 km2.
Ibukota Kabupaten OKU Timur adalah Martapura. Penyebaran
penduduk di wilayah ini dominan di wilayah perdesaan dengan tingkat
pendidikan yang belum merata, pertumbuhan penduduk tinggi, etnisitas
yang majemuk, sarana dan prasarana sosial terbatas.156
Sehubungan
155
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Data ini juga
didukung dengan arsip FKUB Kabupaten OKU Timur periode 2006-2009. Penjelasan
lebih rinci mengenai bagaimana jaringan kerjasama antar umat beragama dapat dilihat
karya Hamka Haq, Jaringan Kerjasama antar Umat Beragama: dari Wacana ke Aksi Nyata (Jakarta: Penerbit Titahandalusia Press, 2002), 79-83.
156Kecamatan Buay Madang Timur ditempati penduduk terbesar di Kabupaten
OKU Timur yaitu 52.637 jiwa, begitu pula Kecamatan Belitang dan Kecamatan
Martapura dengan penduduk 49.585 jiwa dan 47.352 jiwa. Sedangkan Kecamatan
Jayapura mempunya penduduk paling sedikit yaitu 11.446 jiwa. Penyebaran penduduk
di wilayah Kabupaten OKU Timur menurut data tahun 2010 relatif tidak merata di
61
67
dengan hal tersebut, salah satu hal yang menarik adalah keanekaragaman
budaya yaitu adat istiadat dan suku bangsa yang berada di Kabupaten
OKU Timur. Masyarakat yang ada di kabupaten ini terdiri dari suku
bangsa Komering, suku bangsa ini adalah suku bangsa penduduk
asli/lama. Perkembangan selanjutnya karena pengembangan wilayah
transmigrasi dan mobilitas penduduk (urbanisasi) terdapat suku bangsa
lainnya seperti Jawa, Bali serta Tionghoa. Penduduk suku bangsa
asli/lama tersebar di masing-masing wilayah kecamatan, sedangkan
penduduk suku bangsa Jawa-Bali menyebar di kawasan-kawasan
transmigrasi dengan mata pencaharian sebagai petani, sedangkan
penduduk Tionghoa menyebar di kawasan perkotaan dengan mata
pencaharian sebagai pedagang.157
Penduduk dari berbagai suku bangsa
ini mempunyai keanekaragaman bahasa yang berbeda, namun antara
mereka hidup dengan rukun dan damai. Selain itu mayoritas penduduk
sebagai penganut agama Islam. Mobilitas penduduk Kabupaten OKU
Timur tinggi, sehingga mereka banyak berkomunikasi antar etnis dan
kontak sosial budaya pun terjadi. Kebudayaan yang masih dilakukan
sampai saat ini di Kabupaten OKU Timur di antaranya ruwahan, maulid
dan selamatan.
Berdasarkan observasi di lapangan, benih-benih konflik yang
muncul dalam kehidupan bermasyarakat di Kabupaten OKU Timur,
antara lain Pertama, adanya kesenjangan kesejahteraan sosial penduduk
dalam bidang ekonomi antara penduduk pendatang yang dominan kaya
dengan penduduk pribumi yang pada umumnya tergolong miskin.
Kedua, kekerasan sosial, sebagai akibat dari kesenjangan sosial maupun
sikap budaya. Ketiga, adakalanya terjadi intervensi terhadap tradisi dan
keyakinan keagamaan, yang bisa menimbulkan gesekan-gesekan,
sekalipun di tempat ini belum pernah berkembang menjadi konflik
kekerasan. Keempat, penggunaan idiom atau simbol-simbol secara tidak
tepat di Indonesia telah menjadi identitas kelompok agama tertentu.158
setiap wilayah kecamatan. Jumlah penduduk dengan kepadatan tertinggi terdapat di
Kecamatan Martapura mencapai 463 jiwa/Km2, disusul oleh Kecamatan Belitang
Mulya dengan kepadatan 424 jiwa/Km2. Kepadatan penduduk terendah adalah
Kecamatan Jayapura yaitu 49 jiwa/Km2. Sumber: Arsip Bappeda OKU Timur, 2010.
157Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9
Februari 2011. 158
Selain itu, permasalahan sosial lainnya yang ada di wilayah Kabupaten
OKU Timur yakni dibukanya agro-industri seperti perkebunan besar kelapa sawit dan
karet, yang berpengaruh terhadap pola penggunaan lahan, serta polusi industri yang
mengakibatkan banyak konflik kepentingan penggunaan lahan yang mengakibatkan
68
Sedangkan potensi kerukunan di Kabupaten OKU Timur, yaitu:
keterlibatan pemuda dan tokoh masyarakat, serta pemuka agama dalam
Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat); mudahnya
komunikasi yang akrab antar pemuka agama; koordinasi yang baik
antara aparat pemerintah dan pemuka agama; kepekaan yang positif dari
pemuka agama untuk mengantisipasi secara dini kemungkinan
munculnya gangguan kerukunan umat beragama, serta adanya Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten OKU Timur yang
mempunyai peran strategis dalam memelihara kerukunan umat
beragama di daerah ini.
Menurut Wakil Bupati OKU Timur, bila dikaji lebih lanjut
mengenai sejarah terjadinya konflik di berbagai daerah di Indonesia.
Peristiwa konflik yang terjadi di Indonesia yang menyebabkan
kerusuhan yang memakan korban nyawa di berbagai daerah. Oleh
pengamat sosial, kerusuhan itu dikaitkan dengan terjadinya kesenjangan
sosial dan ekonomi yang melanda tanah air. Tetapi ada sebagian lagi
yang berpendapat dan mengaitkan kerusuhan tersebut bukan hanya
sebagai akibat kesenjangan sosial semata, melainkan juga erat kaitannya
dengan masalah SARA (Suku Agama dan Ras). Berbagai analisis yang
kritis dilontarkan oleh para ahli sosiologi dan para biroktat, pemuka
agama, dan tokoh masyarakat di media massa, penyebab-penyebab dari
prahara yang melanda Tanah Air lengkap dengan solusi-solusinya.
Namun, kerusuhan demi kerusuhan seolah tidak pernah menunjukkan
tanda-tanda surut, bahkan beberapa daerah menunjukkan indikasi
peningkatan konflik. Masalah ini perlu dikritisi dan dicermati secara
hati-hati. Bagi daerah-daerah yang secara teritorial aman dan tentram,
perlu mengambil pelajaran dari fenomena konflik dari kerusuhan yang
terjadi di daerah-daerah lain. Antisipasi dini perlu dilakukan oleh
pemimpin-pemimpin, tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama.
Interaksi yang berpotensi menjadi sumber konflik perlu ditelaah dan
diatur oleh pemimpin di daerah guna memelihara agar kerukunan tetap
terjaga dan mencegah terjadinya konflik.159
munculnya masalah kepentingan serta kesehatan masyarakat sekitarnya. Hasil
wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9 Februari 2011. 159
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9
Februari 2011. Lihat juga Bidawi Zubir, ‚Tantangan dan Harmoni dalam Pluralisme:
Sebuah Sketsa Pengalaman Lapangan‛ dalam Islam Humanis, Islam dan Persoalan Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum dan Masyarakat Marginal, M. Tuwah ed. (Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2001), 47-48.
69
Ia juga mengatakan bahwa agama dapat menjadi wahana yang
sangat efektif untuk memobilisasi massa. Namun keefektifan agama
sebagai penyebab suatu konflik tergantung pada kondisi yang dialami
sebuah masyarakat. Agama akan mudah menjadi wahana mobilisasi
guna mencapai tujuan negatif, seperti penyebab konflik, apabila
masyarakat mengalami ketidakberdayaan ekonomi dan politik yang
tinggi. Sebaliknya, agama akan sulit dijadikan penyebab konflik apabila
keberdayaan ekonomi dan politik masyarakat tinggi.160
Karena sejatinya
tak ada agama satu pun, baik itu Islam, Kristen Protestan, Kristen
Katolik, Hindu, dan Budha yang mengajarkan pengikutnya untuk
menyakiti orang lain, apalagi membunuh manusia. Tapi, agama hadir di
dunia dengan membawa misi suci yakni cinta damai terhadap sesama.
Itulah pluralitas agama di era globalisasi yang menjadi karakteristik dari
bangsa Indonesia yang heterogen. Sehingga tak bisa dipungkiri,
pluralitas agama ini memiliki potensi dan peran sangat besar dalam
proses integrasi dan pembangunan Kabupaten OKU Timur. Realitas ini
didasarkan pada ajaran agama yang mewajibkan umatnya untuk
mencintai sesama dan hidup rukun. Tak terkecuali, Islam dalam al-
Qur’a>n surat al-Hujura>t: 10 yang mengajarkan: ‚Sesungguhnya orang-
orang beriman itu tidak lain adalah bersaudara. Maka, damaikanlah
antara dua saudaramu, dan bertakwalah pada Allah supaya kamu
dirahmati‛.161
Bahwa pada beberapa tahun terakhir ini, ketika bangsa Indonesia
mengalami masa transisi dari Orde Baru ke era Reformasi dengan
berbagai isu dan kecenderungan global, khususnya mengenai
demokratisasi, HAM, dan ekonomi global, kondisi ini dapat dijadikan
peluang oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk
menimbulkan kerusakan dan berakhir pada konflik komunal. Hal inilah
yang menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik di berbagai daerah di
Indonesia, seperti kasus di Maluku, Poso, Aceh. Selain itu, faktor
penyebab konflik juga, bisa bernuansa agama, etnis, politis, sosial,
160
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9
Februari 2011. Lihat juga Loekman Soetrisno, Konflik Sosial: Study Kasus di Indonesia (Yogyakarta: Tajidu Press, 2003), 39-40.
161Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011.
70
budaya, atau kombinasi dari berbagai nuansa tersebut.162
Untuk
mencegah agar konflik yang terjadi di berbagai daerah itu tidak
merambat ke Kabupaten OKU Timur, maka pemerintah kabupaten ini
segera membentuk suatu forum yang diharapkan dapat berperan aktif
dalam upaya pemeliharaan kerukunan, forum itu bernama Forum
Kerukunan Umat Beragama atau disingkat FKUB,163
yang akan dibahas
lebih lanjut pada sub bab berikutnya.
Selain membentuk FKUB, pemerintah Kabupaten OKU Timur
juga menghimbau dan mengajak para pemuka agama, baik pemuka
agama Islam, Kristen, Khatolik, Hindu dan Budha untuk dialog dan
memahami benar pentingnya perdamaian. Salah tema dialog yang
efektif dalam memelihara kerukunan dan mencegah terjadinya konflik,
yakni membahas mengenai pluralisme agama (pemahaman yang
memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan
menerimanya sebagai sebuah kenyataan dan berbuat sebaik mungkin
berdasarkan kenyataan itu). Itulah pluralitas agama di era globalisasi
yang menjadi karakteristik dari bangsa Indonesia yang heterogen.
Sehingga tak bisa dipungkiri, pluralitas agama ini memiliki potensi dan
peran sangat besar dalam proses integrasi dan pembangunan Kabupaten
OKU Timur. Realitas ini didasarkan pada ajaran agama yang
mewajibkan umatnya untuk mencintai sesama dan hidup rukun. Di
samping itu, pluralitas agama ini juga mengandung potensi terjadinya
konflik, disintegrasi bangsa, ketika melihat masing-masing agama
memiliki klaim kebenaran absolut dan muatan emosi keagamaan yang
menjadi dasar interaksi primer. Konflik atas dasar perbedaan agama bisa
disebabkan, baik oleh ajaran agama itu sendiri, kualitas moral-spiritual
penganutnya, maupun latar belakang budaya, seperti kultur patriarkal
atau ikatan primordial yang masih kuat. Secara struktural perbedaan
agama tersebut berkaitan erat dengan rasa in-security dalam bidang
sosial, ekonomi, politik, dan budaya.164
162
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9
Februari 2011. Lihat J.A. Ferdinandus, ‚Pola Ideal Jaringan Kerjasama Antar Umat
Beragama,‛ dalam Jaringan Kerjasama antar Umat Beragama: dari Wacana ke Aksi Nyata, Hamka Haq eds., 88.
163Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. 164
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
71
Pemuka agama dan tokoh masyarakat disebut dengan istilah
fungsionaris agama, dan intelektual; fungsionaris agama boleh jadi
termasuk intelektual, dan sebaliknya tidak semua intelektual merupakan
fungsionaris agama. Seorang intelektual boleh jadi sangat qualified dan
kapabel dalam hal-hal agama, namun tidak disebut dan diakui
masyarakat luas sebagai fungsionaris agama, karena tidak sepenuhnya
menjalankan fungsi-fungsi fungsionaris agama.165
Dalam perkembangan selanjutnya, semakin banyak dialog yang
justru dilakukan para intelektual, juga melibatkan fungsionaris dan
wakil-wakil berbagai agama. Dialog yang berlangsung itu dapat dilihat
dalam kerangka Kimball, yang mengambil beberapa bentuk distingtif
tetapi saling berkaitan,166
yakni: Pertama, dialog parlementer,167
dialog
kelembagaan,168
dialog teologis,169
dialog dalam masyarakat,170
dialog
kerohanian171
.
Islam (Faturrahman), Tanggal 9-10 Februari 2011. Lihat juga Azyumardi Azra,
Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 10. 165
Yang dimaksud dengan fungsionaris adalah orang yang menjalankan fungsi-
fungsi kepemimpinan agama; memimpin dan mengarahkan para pemeluk agama,
seringkali bukan hanya dalam urusan agama (sakral) seperti keimanan (teologi), ibadat,
ritual, dan sebagainya, tetapi juga dalam urusan-urusan yang lebih bersifat keduniaan
(profan). Secara individual dan kolektif mereka dikenal dengan julukan (yang sekaligus
menunjukkan fungsinya) ulama, ustad, mubalig, pastur, pendeta, bikhsu, pedanda.
Untuk lebih jelasnya lihat Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 56-58.
166A. Charles Kimball, ‚Muslim-Christian Dialogue,‛ dalam J.L. Esposito,
eds., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 3 (New York:
Oxford University Press, 1995), 204. Lihat juga Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 62-65.
167Yakni dialog yang melibatkan ratusan peserta, misalnya World’s
Parliament of Religions pada tahun 1893 di Chicago, World Conference on Religion
and Peace (WCRP) dan the World Congress of Faiths (WCF) pada dasawarsa 1980-an
dan 1990-an. Dalam pertemuan-pertemuan ini, ratusan para peserta cenderung
memusatkan diri dalam penciptaan dan pengembangan kerjasama yang lebih baik di
antara berbagai kelompok agama, dan sekaligus mengggalang perdamaian di antara
para pemeluk agama. 168
Yakni dialog di antara wakil-wakil institusional berbagai organisasi agama,
yang bertujuan untuk membicarakan dan memecahkan masalah mendesak yang
dihadapi umat agama yang berbeda, serta untuk mengembangkan dan menciptakan
komunikasi di antara wakil-wakil kelembagaan dari organisasi berbagai agama. Dialog
kelembagaan ini melibatkan majelis-majelis agama yang diakui pemerintah, yakni
MUI, PGI, KWI, Parisadha Hindu Dharma, dan Walubi. 169
Dialog jenis ini mencakup pertemuan-pertemuan baik regular maupun tidak
untuk membahas persoalan-persoalan teologis dan filosofis, seperti makna tradisi
keagamaan seseorang dalam konteks pluralisme keagamaan. Dialog teologi ini pada
72
Manfaat dialog, antara lain terkikisnya kesalahpahaman yang
bersumber dari adanya perbedaan bahasa dari masing-masing agama,
dialog juga dimaksudkan untuk mencari respons yang sama terhadap
semua tantangan yang dihadapi oleh agama, yakni bahwa tantangan
yang dihadapi oleh salah satu agama pada dasarnya tantangan yang
dihadapi oleh semua agama, dan tantangan yang dihadapi oleh agama,
juga tantangan yang dihadapi manusia sebagai manusia.172
Dialog antar pemuka agama menurut Romo Pius harus
senantiasa dimulai dan dilandasi oleh kejujuran dan ketulusan.
Ketulusan untuk mengakui dan menyadari keterbatasan diri dalam
pemahaman tentang Tuhan dan kebenaran-Nya. Dan jika ketulusan itu
telah ada, maka akan lahir pula ketulusan untuk mengerti dari pihak lain
agar pemahaman tentang Tuhan dan kebenaran serta kekuasaan-Nya
dapat lebih diperkaya. Tetapi harus jelas bahwa yang pertama sekali
haruslah ada ketulusan untuk mengakui keterbatasan diri sendiri untuk
memahami kebesaran-Nya. Bila ada perasaan sempurna itu terdapat
dalam pemahaman kebenaran Tuhan, jangan-jangan bukan kebenaran
Tuhan itu sendiri yang dianggap sempurna melainkan kebenaran diri
sendiri. Dilandasi dengan ketulusan dan kejujuran, tantangan
selanjutnya di antara sesama pemuka agama dalam melaksanakan
peranannya di tengah-tengah umat adalah keterbukaan. Keterbukaan
agar orang dapat mengetahui, mencari informasi yang jujur,
mempelajaari apa yang ingin dipelajari. Keterbukaan untuk berdialog
dan berdiskusi guna menyelesaikan konflik-konflik pandangan untuk
umumnnya diselenggarakan kalangan intelektual atau organisasi-organisasi yang
dibentuk untuk juga mengembangkan dialog antaragama, seperti Interfidei,
Paramadina, MADIA, dll. 170
Dialog dalam kategori ini pada umumnya berkonsentrasi pada penyelesaian
hal-hal praktis dan aktual dalam kehidupan yang menjadi perhatian bersama. Misalnya
hubungan yang lebih patut antara agama dan negara, hak-hak minoritas agama,
kemiskinan, masalah-masalah yang muncul dari perkawinan antaragama, pendekatan
yang lebih pantas dalam penyebaran agama, atau nilai-nilai agama dalam pendidikan.
Dialog semacam ini biasanya diselenggarakan oleh organisasi-organisasi dialog dan
LSM lainnya. 171
Dialog seperti ini bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam
kehidupan spiritual di antara berbagai agama. Bentuk dialog spiritual yang mungkin
lebih acceptable adalah melalui aspek esoteris agama, seperti ditawarkan misalnya oleh
Schuon (1975), Schimmel & Falaturi (1979), dan Sayyed Hossein Nasr dalam berbagai
bukunya. 172
Departemen Agama, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Puslitbag Depag RI,
2004), 119.
73
mencegah terjadinya konflik yang lebih luas lagi. Keterbukaan yang
dilembagakan dalam arti mewujudkan kontrol sosial yang nyata, agar
konflik dalam membentuk apapun pun dapat dengan mudah diatasi. Juga
termasuk konflik-konflik yang kemungkinan timbul akibat begitu
heterogennya masyarakat Kabupaten OKU Timur khususnya, dan
Indonesia pada umumnya. Sebelum dicapainya nilai-nilai sikap ideal
yang dimaksud, sudah barang tentu masing-masing pemuka agama harus
kredibel di mata umatnya. Apakah kata-kata kita dapat dipegang dan
dijadikan panutan umat. Apakah kita hanya mampu berbicara yang
luhur-luhur saja dari nilai agama kita tanpa membawakan contoh dan
teladan yang benar. Menurut Romo Pius selama ini karena suasana
dialogis belum terlembagakan dengan baik, respon yang diberikan oleh
agama dalam menghadapi tantangan eksternal, masih bersifat
monolitikeksial, yakni hanya mengandalkan agamanya masing-masing
dan menolak kehadiran agama lain, jika kelompok lain mau melibatkan,
tetap dalam format monolitik. Sekilas kecenderungan monolitik-eklesial
ini mengisyaratkan semangant untuk melakukan perubahan seperti yang
dikehendaki oleh ketentuan normatif ajaran agama. Jika dicermati lebih
mendalam, kecenderungan ini sebenarnya akan menggiring agama ke
dalam persaingan, sektarian, eksklusivitas, dan instrumentalis. Padahal
dengan semakin maju perkembangan teknologi informasi dan
transfortasi, yang telah meruntuhkan batas-batas budaya, bahasa, etnis,
geografis, ideologi, dengan sendirinya perjumpaan dialog dan kerjasama
antar umat beragama tidak mungkin bisa dihindari.173
Dalam konteks ini mengembangkan suasana dialog memang
tidak mudah. Salah satu cara yang dapat dilakukan dengan metode
fenomenologi dan perennialistik. Fenomenologi seperti dijelaskan oleh
Hidayat dan Nafis merupakan cara memahami agama yang ada dengan
sikap apresiatif tanpa semangat penaklukan atau pengkafiran. Dialog
agama dengan metode fenomenologis itu, meskipun masih terasa aspek
dakwahnya, cukup positif karena disamping akan melahirkan kompetisi
di bidang intelektual, juga metode ini tidak berpretensi melakukan
falsifikasi terhadap keyakinan orang dalam rangka membenarkan
agamanya sendiri. Dengan metode ini mengajak untuk menjadi
173
Hasil wawancara dengan Romo Pius (pemuka agama Khatolik), Tanggal 10
Februari 2011. Lihat juga Departemen Agama, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama (Jakarta:
Puslitbag Depag RI, 2004), 119-120. Bandingkan dengan Hamka Haq, Jaringan Kerjasama antar Umat Beragama: dari Wacana ke Aksi Nyata (Jakarta: Penerbit
Titahandalusia Press, 2002), 81-82.
74
pemerhati dan pendengar yang baik, sehingga bisa memahami dan
menghargai sikap keberagamaan orang lain tanpa membuang keimanan
kita. Menurut Swidler, yang ingin ditekankan melalui dialog secara
fenomenologis ini adalah saling belajar terhadap pengalaman
keberagamaan orang lain.174
Selanjutnya agar diperoleh pemahaman yang lebih mendalam
terhadap agama lain, dialog tidak boleh berhenti hanya pada pemahaman
secara fenomenologis, karena hasil paling jauh yang diperoleh adalah
ditemukan adanya struktur-struktur yang sama dalam setiap agama,
yang diekspresikan ke dalam berbagai cara. Oleh karena itu dialog perlu
dikembangkan lagi melalui metode perennialistik yang bisa
mengarahkan pada usaha pencarian kemungkinan adanya apa yang
disebut trancendent unity of religious. Metode ini tidak mempunyai
pretensi menegaskan sama terhadap keragaman agama-agama secara
eksoterik seperti bahasa, simbol-simbol, dan tradisi keagamaan. Tanpa
menolak itu semua, metode perennial ingin memberikan suatu insight
bahwa dibalik adanya perbedaan eksoterik, sesungguhnya dalam semua
agama terdapat pesan tentang kesatuan transedental, yakni kepasrahan
kepada realitas yang mutlak, yaitu Tuhan, terlepas bagaimana yang
mutlak itu dikontruksi ke dalam bahasa para pemeluknya. 175
Ulama176
memperlihatkan karakteristik-karakteristik tertentu
sebagai sebuah kelompok sosial. Mereka lebih daripada sekedar suatu
kelompok kerja. Meskipun garis pembatas antara ulama dan pedagang
atau petani, misalnya, tidak selalu jelas karena banyak pula ulama yang
menjadi pedagang atau petani untuk mendapatkan nafkah, tetapi karena
pengetahuan dan fungsi khusus yang mereka miliki, mereka sebagai
suatu kelompok jelas berbeda dengan kelompok-kelompok sosial
174
Dikutip dari Departemen Agama, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama (Jakarta:
Puslitbag Depag RI, 2004), 120-121. 175
Dikutip dari Departemen Agama, Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama, 120-121.
176Istilah ulama, bentuk jamak dari kata benda (fa>’il) bahasa Arab ’a>lim,
berasal dari kata kerja ’alima yang berarti mengetahui atau berpengetahuan tentang.
Sedangkan ’a>lim adalah seorang yang memiliki atribut ’ilm (pengetahuan) sebagai
suatu kekuatan yang berakar kuat dalam ilmu pengetahuan seseorang yang sangat
terpelajar dalam ilmu pengetahuan dan literatur. Singkatnya seorang yang pakar dalam
ilmu-ilmu agama yang mempunyai hak-hak istimewa untuk disebut ulama. Untuk lebih
jelas mengenai hal ini lihat E.W. Lane, Arabic-English Lexicon, Vol II (Cambridge:
Cambridge UP, 1984), 2138. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic,
edisi ke-3 (Ithaca:1976), 635.
75
lainnya. Ulama dengan demikian membentuk suatu kelompok sosial
yang dapat tumpang tindih dengan kelompok-kelompok sosial lainnya
dari segi kerja. Dalam pengertian ini, cukup beralasan menyatakan
bahwa ulama lebih merupakan suatu kelompok fungsional daripada
kelompok kerja. Lebih jauh, berkat kedalaman ilmu dan fungsi khas
yang mereka pegang, ulama jelas termasuk ke dalam kelompok
cendekiawan, yang memainkan peran sebagai elit kultural dalam
masyarakat Muslim. Sebagai suatu kelompok elit kultural dan kelompok
nonpolitis, ulama secara strategis menduduki posisi sebagai kelompok
mediator, yang menjembatani jurang pemisah antara umara>’ (penguasa)
dan ummah (rakyat jelata).177
Peran kaum intelektual sebagai agen perubahan sosial, yakni:
menata kehidupan sosial terutama nilai/norma yang diajarkan oleh
agama; membimbing masyarakat melalui aktivitas intelektual mereka
untuk mendapatkan pemahaman yang benar; menauladani perilaku yang
benar sebagai perbuatah dakwah untuk masyarakat dimanapun berada;
menjadi pembela utama dan penolong masyarakat dalam melepaskan
beban penderitaan mereka, terutama penderitaan yang ditimbulkan oleh
segala bentuk arogansi manusia; menyediakan diri sebagai tempat
konsultasi/komunikasi untuk menggalang keikutsertaan masyarakat
dalam menyelesaikan proyek-proyek kemanusiaan (sosial dan
spiritual).178
Sedangkan untuk mengarahkan umat beragama di
Kabupaten OKU Timur agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, serta mampu menciptakan
keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan pribadi dan
dalam hubungannya dengan masyarakat dan lingkungannya, maka
pemerintah kabupaten ini menetapkan tiga sasaran kerukunan hidup
umat beragama, yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar
umat beragama, serta kerukunan umat beragama dengan pemerintah.
Menurut Nurkasiarto perspektif dimensi agama, ajaran agama
mengandung klaim kebenaran yang bersifat universal. Hal ini
memungkinkan terjadi ambiguitas dalam interpretasi menurut tingkat
pemahaman, penghayatan, dan moralitas-spiritualitas penganutnya.
Fenomena ini tampak dalam penggunaan konsep-konsep atau simbol-
177
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam
(Jakarta: Paramadina, 1999), 168. 178
Hal ini sejalan dengan pendapatnya Sayyid Naquib al-Attas dalam bukunya
Intellectuals in Developing Siciaties yang menyebutkan bahwa tidak adanya kaum
intelektual sama dengan tidak adanya pemimpin yang mampu: meletakkan
permasalahan, mendefenisikannya, menganalisisnya, dan memecahkannya.
76
simbol agama untuk orientasi tertentu ketika melibatkan emosi
keagamaan penganutnya. Untuk itu, menghindari konflik atau
mewujudkan kerukunan umat beragama di Kabupaten OKU Timur
merupakan nilai universal. Dengan nilai ini, semua manusia melalui
agamanya diharapkan dapat hidup berdampingan secara damai, saling
menghormati, saling toleransi, dan bekerjasama dalam menangani
persoalan kemanusiaan. Di antara usaha untuk menghindari konflik atau
mewujudkan kerukunan umat beragama itu, tentunya ada upaya untuk
saling mengenal di antara agama-agama melalui dialog antar umat
beragama. Hal ini merupakan salah satu tujuan dibentuknya FKUB
Kabupaten OKU Timur, yakni memfasilitasi dan menyelenggarkan
dialog dengan ormas/ tokoh lintas agama.179
Ia juga menyatakan bahwa perlunya setiap umat beragama yang
ada di Kabupaten OKU Timur menyadari betapa pentingnya kerukunan
antar umat beragama dibina dan pupuk agar tidak terjadi perpecahan
dikalangan masyarakat Indonesia. Pemerintah selalu menumbuhkan
pemahaman untuk mengetahui arti pentingnya kerukunan mulai dengan
mendidik anak-anak mulai dari sekolah yang paling rendah hingga
perguruan tinggi, sehingga perrpecahan tidak terjadi.180
Kholid Mawardhi menyatakan persoalan pokok dalam
menghadapi politisasi konflik adalah mempersiapkan upaya-upaya yang
mampu menghadapi ancaman tersebut, seperti mendorong pembentukan
majelis agama-agama,181
Selain membentuk organisasi kemasyarakatan
keagamaan, seperti MUI, PGI, KWI, PHDI, WALUBI. Pemerintah juga
membentuk Wadah Musyawarah antar Umat Beragama (WMAUB),
keberadaan WMAUB ini berdasarkan atas Surat Keputusan Menteri
179
Hasil wawancara dengan Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9
Februari 2011. Data ini juga didukung dengan arsip FKUB Kabupaten OKU Timur,
2010. 180
Hasil wawancara dengan Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9
Februari 2011. Data ini juga didukung dengan arsip FKUB Kabupaten OKU Timur,
2010. 181
Untuk umat Islam ada MUI (Majelis Ulama Indonesia) berdiri tahun 1975,
untuk umat Kristen Protestan ada PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) yang
berdiri tahun 1950, sedangkan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) ditujukan untuk
umat Khatolik, untuk umat yang beragama Hindu didirikan PHDI (Parisada Hindu
Dharma Indonesia) pada tahun 1959, untuk umat yang beragama Budha ada WALUBI
(Perwakilan Umat Budha Indonesia) berdiri tahun 1978, dan untuk umat yang
beragama Khonghucu ada MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)
yang berdiri tahun 1955. Lihat Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Beragama Depag RI, 2009), 34-40.
77
Agama Nomor 35 Tahun 1980 yang menyatakan terbentuknya Wadah
Musyawarah Antar Umat Beragama yang telah disepakati oleh wakil-
wakil Majelis Agama dalam pertemuan tingkat puncak pada tanggal 30
Juni 1980 di Jakarta.182
Wadah ini merupakan forum komunikasi dan
komunikasi antar pemimpin-pemimpin agama. Bentuknya adalah
pertemuan-pertemuan yang diadakan sewaktu-waktu, sesuai dengan
keperluan, baik atas undangan Menteri Agama maupun atas permintaan
salah satu atau lebih majelis agama. Pertemuan-pertemuan tersebut
terdiri atas: pertemuan antara sesama wakil-wakil majelis agama, dan
pertemuan antara wakil-wakil majelis agama dengan pemerintah. Badan
atau wadah musyawarah ini hanya dibentuk di tingkat pusat, namun
untuk dibeberapa daerah seperti Kabupaten OKU Timur wadah ini
dinamakan FKUB (Forum kerukanan Umat Beragama). Pemerintah
Kabupaten OKU Timur juga terus berupaya mengembangkan
kesepahaman di antara para pemimpin dan tokoh agama melalui
berbagai pertemuan dan kontak antarpribadi. Misalnya bila terjadi
konflik, baik didalam maupun antar umat beragama yang menyebabkan
jatuhnya korban, maka pemerintah turun tangan ikut menyelesaikan
atau mencari jalan keluar terhadap konflik tersebut. Salah satu strategi
yang dapat dilakukan, yakni pemerintah memanggil para tokoh yang
bertikai untuk bermusyawarah guna mencari solusi terhadap konflik
yang sedang berlangsung. Kemudian, hasil musyawarah tersebut
dijadikan pedoman selanjutnya dalam menjalankan kegiatan sehari-hari,
khususnya bagi yang sedang bertikai.183
Selain itu juga pemerintah Kabupaten OKU Timur
mengembangkan perangkat peraturan yang berfungsi mencegah
kemungkinan timbulnya penggunaan agama sebagai sistem acuan
hingga ke tingkat konflik, di antaranya: Pertama, kebijakan mengenai
organisasi kemasyarakatan keagamaan. Yang mencakup keberadaan
organisasi kemasyarakatan; pembentukan organisasi kemasyarakatan;
pembinaan dan bimbingan; sanksi hukum; keberadaan, fungsi dan tujuan
182
Untuk penjelasan lebih rinci lihat Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, 40-42.
183Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Lihat juga
Achmad Syahid & Zainudin Daulay eds., Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup
Umat Beragama Depag RI, 2002), 50.
78
organisasi kemasyarakatan keagamaan; pengumpulan dana organisasi.
Kedua, penyiaran agama dan tenaga keagamaan. Perangkat peraturan
yang dikembangkan dalam penyiaran agama meliputi: pedoman
penyiaran agama, tata cara penyiaran agama, penyelenggaraan hari-hari
besar keagamaan, bimbingan pelaksanaan dakwah, masalah perbedaan
pendapat keagamaan. Sedangkan perangkat peraturan yang
dikembangkan dalam tenaga keagamaan mencakup: bantuan tenaga
keagamaan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Kabupaten OKU
Timur, pendataan tenaga asing, rekomendasi bagi tenaga asing yang
melakukan kegiatan keagamaan di Kabupaten OKU Timur, rekomendasi
bagi tenaga asing, rekomendasi bagi tenaga asing di bidang keagamaan
yang mengajukan naturalisasi. Ketiga, pedoman pendirian dan
penggunaan rumah ibadah. Yakni kebijakan mengenai prosedur
pendirian rumah ibadah, izin sementara pemanfaatan bangunan gedung,
penggunaan rumah ibadah, pedoman penggunaan pengeras suara di
rumah ibadah, serta pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum. Keempat, hubungan antaragama dalam
bidang pendidikan, perkawinan, penguburan jenazah dan upacara hari-
hari besar keagamaan. Kelima, pengamanan terhadap barang cetakan.
Yaitu kebijakan mengenai pelarangan terhadap peredaran barang
cetakan, impor buku-buku agama, pengawasan terhadap mushaf
Alquran. Keenam, penodaan dan penghinaan agama. Yang mencakup
pembekuan aliran kepercayaan atau kerohanian, tugas dan wewenang
kejaksaan agung, instansi yang membekukan aliran, serta sanksi pidana
penodaan.184
B. Wewenang dan Tanggung Jawab FKUB
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
melalui peraturan No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka menengah nasional 2005-2009 tetapkan bahwa peningkatan
kerukunan intern dan antarumat beragama merupakan salah satu dari
arah kebijakan pembangunan kehidupan beragama, dengan fokus pada
upaya: pertama, memberdayakan masyarakat, kelompok-kelompok
agama, serta pemuka agama untuk menyelesaikan sendiri masalah
184
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9
Februari 2011. Mengenai perangkat peraturan yang menjadi rujukan Pemerintah
Kabupaten OKU Timur lihat Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, 27-94.
79
kerukunan uamt beragama (KUB); dan kedua, memberikan rambu-
rambu dalam pengelolaan kerukunan umat beragama.185
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, pada saat ini telah
dibentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di 306
kabupaten/kota dan di seluruh provinsi di Indonesia. Sedangkan terkait
masalah yang kedua, pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan
dan peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan antarumat
beragama, baik yang berhubungan dengan hak dan kebebasan beragama,
penyebarluasan ajarana agama, dan interaksi sosial di antara mereka.186
Pemerintah pusat pada tanggal 21 Maret 2006, menerbitkan
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM),
sebagai pengganti SKB dua menteri. Yang dalam PBM itu, diatur
tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah dalam: (1)
pemeliharaan kerukunan umat beragama, (2) pemberdayaan forum
kerukunan umat beragama, dan (3) pendirian rumah ibadat.187
Untuk
menindaklanjuti Pemerintah Kabupaten OKU Timur melalui dinas-dinas
terkait kemudian mulai memfasilitasi pertemuan-pertemuan para
pimpinan/tokoh ormas-ormas agama tingkat kabupaten. Pertemuan-
pertemuan itu berlangsung di kantor Pemkab, dilanjutkan di kantor
Dinas Sosial, kantor Kesbang (Kesatuan Bangsa), dan di aula kantor
Kementrian Agama Kabupaten OKU Timur.188
Dalam pertemuan yang
berlangsung pada hari Kamis, tanggal 1 Juni 2006, di aula kantor
Kementrian Agama Kabupaten OKU Timur, para pimpinan/tokoh
ormas-ormas agama di kabupaten ini menyepakati dibentuknya Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten OKU Timur. Dalam
kesempatan itu dibentuk pula susunan keanggotaan dan kepengurusan
FKUB Kabupaten OKU Timur dengan merujuk PBM nomor 9 dan 8
tahun 2006.189
Pemerintah Kabupaten OKU Timur membentuk Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten OKU Timur yang
185
Tim penyusun, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan dalam Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama (Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan
Hidup Beragama, 2009), 10. 186
Tim penyusun, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan dalam Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, 10.
187Sumber: Arsip FKUB Kabupaten OKU Timur, 2010.
188Hasil wawancara dengan Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9
Februari 2011. 189
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9-10
Februari 2011.
80
anggota pengurusnya terdiri dari Lima Majelis Agama yang ada.190
Forum ini dibentuk untuk mencegah agar benih-benih konflik yang ada
dapat diselesaikan sedini mungkin, sebelum menjadi besar dan
munculnya konflik komunal. Pembentukan Forum Kerukunan Umat
Beragama merupakan instrumen daerah dalam melaksanakan
kewajibannya untuk memelihara kerukunan nasional dari segi kehidupan
keagamaan; FKUB merupakan salah atu wadah penting bagi masyarakat
kabupaten OKU Timur dalam rangka upaya penghormatan hak-hak asasi
manusia sekaligus upaya pelaksanaan kewajiban hak asasi manusia;
FKUB merupakan bentuk kemitraan antara pemerintah khususnya
pemerintah daerah dengan masyarakat dalam rangka mewujudkan
kerukunan nasional.
Fungsi wadah musyawarah antar umat beragama bagi para
pemimpin atau pemuka agama, adalah: Pertama, wadah atau forum bagi
pemimpin/pemuka agama untuk membicarakan tanggungjawab bersama
dan kerjasama di antara para warga negara yang menganut berbagai
agama, dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka
meningkatkan persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa. Kedua,
wadah atau forum bagi pemimpin/ pemuka agama untuk membicarakan
kerjasama dengan pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) dan GBHN dan ketentuan
laiinya dari pemerintah khususnya yang menyangkut bidang keagamaan.
Ketiga, wadah musyawarah membicarakan segala sesuatu tentang
tanggungjawab bersama dan kerjasama di antara para warga negara yang
menganut berbagai agama, dan dengan pemerintah, berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka meningkatkan persatuan dan
kesatuan serta keutuhan bangsa dan pelaksanaan P4 dan GBHN dan
ketentuan lainnya dari pemerintah, khususnya yang menyangkut bidang
keagamaan. Keempat, keputusan-keputusan yang diambil oleh Wadah
190
Majelis agama yang sudah terbentuk antara lain: untuk umat Islam ada
MUI (Majelis Ulama Indonesia) berdiri tahun 1975, untuk umat Kristen Protestan ada
PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) yang berdiri tahun 1950, sedangkan
KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) ditujukan untuk umat Khatolik, untuk umat
yang beragama Hindu didirikan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) pada tahun
1959, untuk umat yang beragama Budha ada WALUBI (Perwakilan Umat Budha
Indonesia) berdiri tahun 1978, dan untuk umat yang beragama Khonghucu ada
MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) yang berdiri tahun 1955.
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur, Ketua FKUB
Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9 Februari 2011. Lihat juga Departemen Agama RI,
Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama,
34-40.
81
Musyawarah merupakan kesepakatan yang mempunyai nilai ikatan
moral dan bersifat saran/rekomendasi bagi pemerintah, majelis-majelis
agama dan masyarakat.191
Adapun tugas FKUB Kabupaten OKU Timur adalah: Pertama,
melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; Kedua,
menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; Ketiga,
menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk
rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati; Keempat, melakukan
sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang
keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan
pemberdayaan masyarakat; dan Kelima, memberikan rekomendasi
tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.192
Untuk melaksanakan tugas-tugasnya itu, FKUB Kabupaten OKU
Timur telah menjabarkan rincian program, sebagai berikut: Pertama.
bidang konsolidasi organisasi, yakni: mengadakan kantor berikut isinya;
mengadakan alat-alat kesekretariatan; menyelenggarakan Rapat Kerja
(Raker); menyelenggarakan rapat-rapat internal; menyelenggarakan
kunjungan kerja; audiensi dengan para pejabat pemerintah daerah,
eksekutif, yudikatif, legislatif, dan keamanan. Kedua, bidang sosialisasi,
yaitu: melakukan sosialisasi tentang keberadaan FKUB Kabupaten OKU
Timur di lingkungan aparatur pemerintahan dan ormas/tokoh Agama,
mulai dari tingkat kecamatan, dan kelurahan; melakukan sosialisasi
tentang peraturan-peraturan di bidang keagamaan; melakukan diskusi
tentang kerukunan hidup antar umat beragama; mengikuti diskusi dan
seminar tentang peraturan-peraturan di bidang keagamaan, baik di
tingkat daerah, provinsi, maupun pusat. Ketiga. bidang dialog, yakni:
menyelenggarakan dialog dengan ormas/tokoh Islam; menyelenggarakan
dialog dengan ormas/tokoh non Islam; menyelenggarakan dialog dengan
ormas/tokoh lintas Agama; menyelenggarakan dialog dengan camat &
191
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Dengan
merujuk pada Lampiran Keputusan Menteri Agama No. 35 Tahun 1980, Pedoman
Dasar Wadah Musyawarah antar Umat Beragama, Pasal 1 dan Pasal 6. Dikutip dari
Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, 40-42.
192Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Bupati OKU Timur, Nomor
118/KPTS/II/2006 Tentang Pembentukan Pengurus Forum Kerukunan Umat
Beragama Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur periode 2006-2009.
82
lurah.193
Keempat. bidang aspirasi, yaitu: menampung aspirasi ormas
keagamaan; menampung aspirasi masyarakat; serta menyalurkan
aspirasi ormas keagamaan; menyalurkan aspirasi masyarakat. Kelima.
bidang pendirian rumah ibadat, yakni: meninjau lokasi permohonan
pendirian rumah ibadat, dan merekomendeasikan permohonan rumah
ibadah.194
C. Agenda Kegiatan FKUB dalam Menciptakan Kerukunan Umat
Beragama
Menurut Nurkasiarto komunikasi antar tokoh agama sangat
dibutuhkan terutama dalam merumuskan langkah untuk memperkokoh
kerukunan. Keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di
daerah-daerah dirasakan semakin penting dalam memperkokoh
hubungan antar pemuka agama dan umat beragama sebagai upaya
mencegah timbulnya konflik komunal. Untuk itu wadah komunikasi
antar umat ini agar lebih diperkokoh peranan dan kedudukannya.
Sehingga FKUB dapat segera melaksanakan program-program yang
memantapkan kerukunan, serta ikut berperan menyelesaikan
permasalahan umat beragama. Pada kaitan ini, FKUB memiliki posisi
penting, sebab dengan saling menjalin komunikasi, para pemuka agama
bisa merumuskan langkah-langkah yang dapat mendorong kerukunan
untuk dikembangkan. Selain itu, dapat pula memetakan faktor yang
mungkin menghambat kerukunan untuk diambil kebijakan dalam rangka
menjaga kerukunan beragama.195
Misalnya untuk mengamankan kekondusifan perayaan Natal dan
Tahun Baru tahun 2011, masyarakat dan Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) Kabupaten OKU Timur menjalin kerjasama
193
Dialog dan musyawarah antar pemuka agama dapat menghilangkan sikap
saling curiga, hal itu dikarenakan sikap ini muncul disebabkan kurangnya pemahaman
terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Dialog ini tidak membicarakan dokrin
normatif agama, melainkan hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan sosial
kemasyarakatan. Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur;
Kabid Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka
agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius),
Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. 194
Sumber: Arsip FKUB Kabupaten OKU Timur, Tahun 2010. 195
Hasil wawancara dengan Nurkasiarto (Ketua FKUB Kabupaten OKU
Timur). Hal senada juga dinyatakan oleh Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas;; pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson
Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto),
Tanggal 9-10 Februari 2011.
83
meningkatan pengawasan, serta pihak yang berwenang. Saat ini telah
banyak terjalin kerja sama yang melibatkan umat lintas agama, misalnya
saat pelaksanaan shalat Idul Fitri, unsur dari turut berpartisipasi
menjaga keamaan bersama aparat keamanan. Begitu pula ketika Natal
dan Tahun Baru, para remaja masjid ikut menjaga ketertiban. Tradisi
untuk saling membantu antarumat beragama dalam mendirikan rumah
ibadah, serta berpartisipasi dalam membantu umat lain saat merayakan
hari besar keagamaan juga terus berlanjut. Hal ini merupakan tradisi
yang telah lama mengakar di Kabupaten OKU Timur, yakni saling
membantu dalam kegiatan hari besar agama lain, membantu
membangun rumah ibadah umat agama lain. Kondisi kerukunan seperti
itu, mempunyai dampak yang positif pada aktivitas keseharian warga,
termasuk dalam melaksanakan ibadah.196
Selain itu juga, kegiatan yang difasilitasi oleh FKUB Kabupaten
OKU Timur bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten OKU Timur,
antara lain mengadakan dialog yang dihadiri oleh wakil dari tokoh-tokoh
masyarakat dan pemuka agama, serta perwakilan LSM. Kegiatan
semacam ini tentunya menjadi momen sangat berharga antar pimpinan
umat beragama daerah ini untuk saling memahami satu dengan lainnya
yang diharapkan implementasikan dalam kehidupan sehari-sehari dengan
umatnya masing-masing. Sikap keterbukaan, kebersamaan dan saling
menjunjung tinggi kedamaian menjadi faktor utama menopang fondasi
utama membangun keharmonisan antarumat beragama di daerah ini.
Agar segenap pimpinan tokoh agama di daerah ini tetap menjaga kondisi
faktual saat ini yang cukup kondusif terus berlangsung dengan saling
menjaga prinsip-prinsip kehidupan beragama masing-masing.197
Menurut Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur, forum ini
tentunya diharapkan mampu berperan sebagai fasilitator dan mediator
dalam membangun keharmonisan hubungan umat beragama dan
antaretnis di Kabupaten OKU Timur.198
Selain itu juga memfasilitasi
196
Hasil observasi, dan dokumentasi pada kegiatan Idul Fitri 1431 H
(September 2010), Natal tanggal 25 Desember 2010 dan Tahun Baru 2011. Sumber:
Arsip FKUB Kabupaten OKU Timur periode 2010-2013. 197
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Data ini juga
didukung Arsip kegiatan FKUB Kabupaten OKU Timur periode 2010-2013. 198
Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan pembentukan FKUB, yang
didasarkan pada keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tahun
2006.
84
perselisihan antarumat beragama guna mendapatkan keputusan yang
saling menguntungkan semua pihak. Walaupun FKUB Kabupaten OKU
Timur baru terbentuk. Namun, perannya sudah mulai dirasakan dalam
melakukan mediasi terhadap persoalan-persoalan umat beragama,
maupun antar etnis dan budaya yang ada di Kabupaten OKU Timur,
yang dihuni berbagai kelompok etnis dan agama dengan latar belakang
pendidikan yang beragam. Karena itu, begitu banyak kepentingan yang
saling tarik menarik untuk memperjuangkan kepentingan pribadi atau
kelompoknya masing-masing. Kondisi ini mengharuskan semua warga
yang ada di Kabupaten ini untuk saling hormat menghormati keyakinan,
norma hidup dan adat istiadat yang berbeda satu dengan lainnya.
Sehingga tidak ada yang memaksakan kehendak pribadi atau
kelompoknya mencermati realitas sosial yang tingkat heterogenitasnya
cukup tinggi ini, maka kesadaran dan pemahaman sebagai warga
Kabupaten OKU Timur harus di atas kepentingan pribadi atau kelompok
untuk bersama-sama bergandengan tangan membangun kabupaten ini
dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan.199
Kerukunan antar umat beragam di Kabupaten OKU Timur yang
telah terbina dengan baik, tidak hanya membuat pemeluk agama yang
ada di daerah ini hidup damai saling berdampingan. Tapi juga saling
memberikan dukungan moril, termasuk dengan ikut mengamankan
gereja saat perayaan natal.200
Pemeliharaan kerukunan umat beragama di Kabupaten menjadi
tanggungjawab Bupati, yang dibantu oleh kantor Departemen Agama
Kabupaten. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfasilitasi
terwujudnnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasikan kegiatan
instansi vertikal, menumbuhkembangkan keharmonisan, saling
pengertian, saling menghormati, saling percaya di antara umat
beragama, bahkan menerbitkan IMB rumah ibadah.201
199
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Data ini juga
didukung Arsip kegiatan FKUB Kabupaten OKU Timur periode 2010-2013. 200
Hasil wawancara dengan pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen
(Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha
(Sujayanto), Tanggal 10 Februari 2011. Data ini juga didukung Arsip kegiatan FKUB
Kabupaten OKU Timur periode 2010-2013. 201
Untuk memudahkan hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah dan
sesama instansi pemerintah daerah, termasuk membantu kepala daerah (Bupati) dalam
merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama dibentuklah Dewan
85
FKUB Kabupaten OKU Timur mempunyai visi dan misi untuk
menumbuh-kokohkan kerukunan hidup umat beragama di Kabupaten
OKU Timur. Forum ini bekerja sama dengan Pemerintah setempat,
aparat keamanan dan masyarakat yang telah teruji keberadaannya dalam
meredam kerusuhan. Keberhasilan ini mencerminkan sikap
kebersamaan, keterbukaan dan kejujuran yang didasari wawasan
kebangsaan yang dalam dari para pengurus yang notabennya adalah
wakil dari lima Majelis Agama.
FKUB juga mempunyai peran yang strategis dalam upaya
mencegah agar tidak terjadinya konflik di Kabupaten OKU Timur, yakni
sebagai fasilisator dan juga mitra Pemerintah Kabupaten OKU Timur
dalam memelihara kerukunan dan menyelesaikan masalah-masalah yang
berkaitan dengan sosial keagamaan masyarakat Kabupaten OKU Timur,
seperti masalah pendirian rumah ibadah, isu-isu keagamaan yang dapat
meresahkan masyarakat. Hal ini sesuai dengan wewenang dan
tanggungjawab FKUB.
D. Kerjasama Pemerintah Kabupaten OKU Timur dengan Pemuka
Agama, serta Masyarakat OKU Timur dalam Upaya Mencegah Konflik
Peran pemerintah setempat pun turut mendukung dalam upaya
pencegahan konflik di Kabupaten Oku Timur. Hal ini tampak dari
beberapa kebijakan yang dilakukan oleh Bupati Oku Timur. Begitu
daerah ini dimekarkan menjadi Kabupaten tersendiri, langsung dibentuk
BKSAUA. Pemerintah Daerah/Bupati telah 10 kali melakukan
kunjungan ke Masjid, membagi-bagikan daging korban di 16
Kecamatan, dalam kegiatan Natal Bersama umat Islam ikut dilibatkan.
Selain itu, dalam rangka menghadiri rakor Ikatan Persaudaraan Haji
Indonesia (IPHI) dibiayai oleh pemerintah daerah.202
Penasehat FKUB, untuk Provinsi diketuai oleh wakil Gubernur, wakil ketua oleh
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi, sekretaris oleh kepala badan
kesatuan bangsa. Di Kabupaten ketuanya oleh Wakil Bupati, wakil ketua oleh kepala
kantor wilayah Departemen Agama Kabupaten, sekretaris oleh Kepala Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik Kabupaten, dan anggota oleh pimpinan instansi terkait. Lihat
Departemen Agama RI, Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 Thn. 2006/No.8 Thn. 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama; Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat (Jakarta: LitBang dan Diklat, 2007), 4-5.
202Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
86
Sejatinya tak ada agama satu pun, baik itu Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha yang mengajarkan
pengikutnya untuk menyakiti orang lain, apalagi membunuh manusia.
Tapi, agama hadir di dunia dengan membawa misi suci yakni cinta
damai terhadap sesama. Itulah pluralitas agama di era globalisasi yang
menjadi karakteristik dari bangsa Indonesia yang heterogen. Sehingga
tak bisa dipungkiri, pluralitas agama ini memiliki potensi dan peran
sangat besar dalam proses integrasi dan pembangunan Kabupaten OKU
Timur. Realitas ini didasarkan pada ajaran agama yang mewajibkan
umatnya untuk mencintai sesama dan hidup rukun.
Untuk mencegah terjadinya konflik, pemerintah bekerjasama
dengan pemuka agama melakukan hal-hal yang perlu disosialisasikan,
yakni: (1) tidak boleh menjelek-jelekkan agama lain, juga di dalam
lingkungan umat saudara seagama sendiri. (2), cara-cara penyebaran
agama yang memaksa mendekati orang tanpa diminta dan berbagai
interfensi antarumat beragama perlu dihentikan. (3) bersedia menerima
secara tulus bahwa setiap orang berhak dalam hal mengikuti agama yang
diyakininya tanpa ancaman termasuk kalau ia pindah agama, atas
kesadaran sendiri, bukan intervensi lain dan motif-motif yang dangkal.
Senantiasa menjalin hubungan baik secara pribadi antara sesama umat
beragama untuk dapat mengurangi ketegangan-ketegangan. (4) mengadakan kerjasama yang solid agar lapisan bawah menyadari benar
perlunya hidup rukun, damai, adil dan sejahtera. (5) secara berkala
mengadakan pertemuan-pertemuan keakraban sesama pemuka agama.
(6) mengadakan pelatihan/ pendidikan keterampilan khususnya di
kalangan pemuda dan lebih khusus yang patut sekolah dalam rangka
meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia) dan mengatasi
pengangguran. (7) pemerintah wajib memberikan rasa aman kepada
sesama umat beragama dan wajib memfasilitasi kerukunan hidup umat
beragama.203
Adapun kebijakan yang diperlukan upaya mencegah terjadinya
konflik sosial umat beragama, yaitu: membangun dan menghidupkan
terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu; menciptakan
kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk
bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus;
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Didukung
dengan dokumentasi kegiatan baik arsip pemerintahan Kabupaten Oku Timur, maupun
dokumentasi hasil kegiatan FKUB Kabupaten Oku Timur periode 2006-2009. 203
Hamka Haq, Jaringan Kerjasama antar Umat Beragama: dari Wacana ke Aksi Nyata (Jakarta: Penerbit Titahandalusia Press, 2002), 83-84.
87
membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma
yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa; merumuskan
kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek
kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi
semua pihak, semua wilayah; upaya bersama dan pembinaan integrasi
nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif.204
Sedangkan strategi yang digunakan dalam upaya mencegah
terjadinya konflik sosial umat beragama, antara lain: menanamkan nilai-
nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan,
agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan masyarakat
Kabupaten OKU Timur; menghilangkan kesempatan untuk
berkembangnya primodialisme sempit pada setiap kebijaksanaan dan
kegiatan, agar tidak terjadi KKN; meningkatkan ketahanan rakyat dalam
menghadapi usaha-usaha pemecahbelahan dari anasir luar dan kaki
tangannya; penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan
implementasi butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan
menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa; menumpas setiap
gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi; membentuk
satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam
memerangi separatis; melarang, dengan melengkapi dasar dan aturan
hukum setiap usaha untuk menggunakan kekuatan massa.
Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijaksanaan
dan strategi pertahanan langkah yang ditempuh yakni: Pertama,
menyelesaikan benih-benih konflik vertikal yang bernuansa separatisme
bersenjata, dengan menggunakan pendekatan militer terbatas dan
professional, guna menghindari korban dikalangan masyarakat dengan
memperhatikan aspek ekonomi dan sosial budaya serta keadilan yang
bersandar pada penegakan hukum. Kedua, penyelesaian benih-benih
konflik horizontal yang bernuansa SARA melalui pendekatan hukum
dan HAM. Ketiga, penyelesaian benih-benih konflik akibat peranan
otonomi daerah yang menguatkan faktor perbedaan, disarankan
kepemimpinan daerah harus mampu meredam dan memberlakukan
reward and punishment dari strata pimpinan diatasnya. Keempat, perlu
dibangun dan ditingkatkan institusi inteligen yang handal guna
mengantisipasi segala kegiatan separatisme ataupun kegiatan yang
dapat memunculkan konflik.
204
Sumber: http://www.perspektifbaru.com/wawancara/399 di akses tanggal
11 Maret 2011.
88
Salah satu bentuk kerjasama antarumat beragama, yakni tradisi
gotong royong dalam mendirikan rumah ibadah, serta berpartisipasi
dalam membantu umat lain saat merayakan hari besar keagamaan.
Kondisi kerukunan seperti itu berdampak positif pada aktivitas
keseharian warga, termasuk dalam melaksanakan ibadah. Hal yang
sama tergambar pada aktivitas di sentra-sentra perekonomian, misalnya
di pasar, bank, pertokoan, perkantoran, atau lembaga pendidikan. Begitu
pula pada sarana transportasi umum warga dapat bersama-sama
menggunakannya.205
Kerjasama antar umat beragama di Kabupaten OKU Timur
didukung oleh hubungan kekerabatan, sehingga tidak memandang
agama sebagai dasar hubungan kerja baik sebagai buruh tani atau
karyawan di toko dan industri rumah tangga.206
Demikian pula dalam
hubungan kepemimpinan dalam masyarakat pedesaan mengutamakan
kualitas daripada agama apa yang dianut.207
Dalam hubungan antar umat
beragama di Kabupaten OKU Timur dijumpai hubungan yang secara
umum menggambarkan keakraban. Hubungan antar warga seperti ini
setidak-tidaknya tampak di kecamatan Belitang, Belitang II, Belitang
III, karena penduduk di tiga kecamatan ini, meskipun tergolong
masyarakat heterogen, karena seluruh agama-agama yang diakui di
Indonesia terdapat di daerah tersebut, tetapi dalam hubungan sosial
kemasyarakatan, agama tidak dijadikan sebagai penghalang. Interaksi
sosial antar penganut agama berjalan lancar baik ketika bekerja di
205
Selain itu juga, saling membantu dalam kegiatan hari besar agama lain,
serta membantu membangun rumah ibadah umat agama lain. Hasil wawancara dengan
Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua
FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen
(Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha
(Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Data ini juga didukung dengan hasil
observasi peneliti di Kabupaten OKU Timur. 206
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Disamping
wawancara dilakukan juga observasi lapangan. 207
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Disamping
wawancara dilakukan juga observasi lapangan.
89
sawah, pada gotong royong, kegiatan ekonomi, pendidikan dan lain-lain.
Keharmonisan hubungan warga yang berbeda agama di wilayah
pedesaan disebabkan beberapa faktor. Diantaranya faktor budaya, yaitu
budaya Jawa dan budaya masyarakat desa, faktor kekerabatan,
pemimpin, pendidikan atau dakwah agama. Faktor budaya dapat
berperan penting, karena di daerah ini hampir 70% merupakan penduduk
pendatang dari Jawa, yang dikenal menganut prinsip mementingkan
hidup rukun dan sedapat mungkin menghindari konflik. Faktor ini
makin diperkuat dengan budaya masyarakat desa yang mementingkan
cara hidup kolektif (gotong royong) daripada hidup secara individualis.
Hubungan kekerabatan menjadi penting sebagai media kerukunan,
disebabkan sebagian besar masyarakat masih memandang hubungan
kekerabatan lebih penting daripada memperdulikan perbedaan agama
yang dianut. Oleh karena itulah, meskipun dalam beberapa keluarga
terdapat perbedaan agama antar suami dan istri tetapi warga setempat
tidak memperdulikannya. Kepemimpinan terlihat berperan dalam
menunjang suasana hidup rukun. Di wilayah ini para pemimpin yang
berbeda agama dengan masyarakat yang dipimpinnya tidak membeda-
bedakan pelayanan kepada masyarakat. Dalam arti tidak memberi
keuntungan layanan bagi warga yang seagama atau merugikan warga
yang tidak seagama dengan dirinya. Dengan demikian masyarakat pun
tidak begitu mempersoalkan agama sesesorang pemimpin yang tampil.
Prinsip yang diinginkan masyarakat adalah mampu mengemban
tugasnya serta mampu memberi pelayanan yang baik dan adil kepada
warga.208
Pendidikan dan dakwah agama memegang peran penting dalam
menggalang hubungan antar umat. Di daerah ini terlihat kecenderungan
makin intensif pendidikan dan dakwah agama yang diberikan ternyata
semakin mengurangi potensi konflik antar agama.209
Meskipun di desa-desa yang diteliti tergambar secara umum
suasana kerukunan antar umat beragama, namun bukan berarti tidak ada
208
Hasil observasi dan hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU
Timur; Kabid Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur;
pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo
Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011.
Disamping wawancara dilakukan juga observasi lapangan. 209
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Disamping
wawancara dilakukan juga observasi lapangan.
90
semacam konflik atau ketidakharmonisan. Akan tetapi intrik-intrik
ketidakharmonisan tersebut tampak lebih bersifat sementara, bukan
pertentangan laten yang mengakar dalam masyarakat. Hal ini juga
terjadi biasanya disebabkan intervensi pihak luar yang datang ke daerah
setempat dengan menonjolkan dan mengembangkan kepentingan
kelompoknya. Umumnya permasalahan yang mereka bawa berada
disekitar pendirian gereja.210
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam jaring pengaman
pencegahan konflik di daerah ini, yaitu: Pertama, Adanya sikap toleransi
yang tinggi di antara umat beragama. Kedua, Pola budaya Jawa dan
pola budaya masyarakat desa yang tetap bertahan, pola yang dimaksud
yaitu menganut prinsip mementingkan hidup rukun dan sedapat
mungkin menghindari konflik. Faktor ini makin diperkuat dengan
budaya masyarakat desa yang mementingkan cara hidup kolektif
(gotong royong) daripada hidup secara individualis. Ketiga, Faktor
kepemimpinan yang lebih mengutamakan pelayanan yang baik tanpa
memandang apa suku dan agama yang mereka anut. Keempat, Faktor
pendidikan dan dakwah agama yang damai.
Di Kabupaten OKU Timur kerukunan hidup antar umat
beragama tercipta karena para warga mengutamakan hidup bertetangga
secara harmonis, tidak membedakan agama, saling mengunjungi acara-
acara keluarga seperti perkawinan, dan adanya ikatan keluarga di antara
mereka. Bagi masyarakat yang mempunyai pengalaman hidup dalam
komunitas yang beragam agamanya mereka telah menciptakan institusi-
institusi atau tradisi yang mampu meredam kemungkinan terjadinya
konflik antar agama seperti pada komunitas-komunitas tersebut di
atas.211
Namun, karena sifat setiap agama khususnya Islam dan Kristen
yang dinamis berkembang, bahkan harus dikembangkan melalui misi
atau dakwah, maka pluralistik tersebut di samping implikasinya yang
positif terhadap pembangunan bangsa boleh jadi akan merupakan titik
210
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Disamping
wawancara dilakukan juga observasi lapangan. Data juga didukung dengan observasi di
lapangan. 211
Hasil wawancara dengan Ketua FKUB Kabupaten Oku Timur, Tanggal 10
Februari 2011. Juga hasil observasi di beberapa tempat yang masyarakatnya plural,
seperti di Belitang, Belitang I dan Belitang II.
91
rawan sebagai pemicu terjadinya berbagai konflik,212
terutama apabila
terjadi ketidakharmonisan dalam kehidupan yang plural itu.
Kehidupan bermasyarakat di Kabupaten Oku Timur terjalin
secara rukun. Hubungan antar umat beragama tersebut dalam kehidupan
sehari-hari lebih bercorak hubungan ketetanggaan dan bukan bercorak
hubungan antar umat beragama. Tidak terdapat perbedaan corak
hubungan antara tetangga yang berbeda agama dengan corak hubungan
antar tetangga yang seagama. Hubungan sosial yang menunjukkan
perbedaan agama terbatas pada beberapa pranata sosial yakni: sebagian
pranata sosial pemerintah desa, upacara-upacara keluarga dan upacara
peringatan hari besar agama. Dalam sistem pemerintah desa, hubungan
antar agama dikembangkan dalam struktur kepengurusan LKMD,
dengan diwujudkannya dalam bentuk penempatan seorang tokoh Islam
dan juga tokoh agama lain sebagai pengurus seksi agama. Hubungan
antar umat beragama selain dilembagakan secara formal melalui
pemerintah desa juga berlangsung secara informal. Terdapatnya
sejumlah tokoh Islam dan dari agama lain yang aktif menjadi pejabat
LKMD dan LMD menunjukkan kenyataan tersebut.213
Dalam kehidupan bertetangga, interaksi itu juga terlihat,
misalnya saling mengunjungi upacara keluarga yang menonjol corak
keagamaanya seperti upacara perkawinan, tidak menjadi penghalang
212
Sejarah telah bercerita panjang kepada manusia pemeluk agama-agama
bagaimana ketidakharmonisan kehidupan plural telah menjadi pemicu terjadinya
sejumlah konflik di dunia dua puluh tahun terakhir ini, yang melibatkan orang-orang
Islam dan bukan Islam. Dibeberapa bagian dunia lainnya meningkat dan meluas pula
konflik keagamaan, baik intern umat beragama maupun antar umat beragama. Konflik
intern umat beragama Kristen terjadi antara kaum Protestan dan kaum Khatolik di
Irlandia Utara. Konflik intern umat beragma Islam berlangsung antara Iran dan Irak,
Irak dan Kuwait. Selain itu di Timur Tengah khususnya kawasan pantai Timur Tengah
berkecambuk berbagi konflik dengan warna agama, antar Yahudi melawan Muslim dan
Kristen, antara Kristen lawan Islam, antara Kristen lawan Kristen, dan antara Muslim
lawan Muslim Sunni, Syiah dan Druz di Libanon. Di Asia Selatan konflik dengan
warna keagamaan terjadi antar Hindu lawan Islam, Hindu lawan Khatolik, Hindu
lawan Sikh terutama di Punjab, Hindu lawan Budha yang tercermin dalam
pemberontakan kaum Buddhist Gurkha di India sebelah Timur, dan Khatolik antara
Tamil lawan Sinhala di Srilangka. Dikutip dari Departemen Agama RI, Profil Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2.
213Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Data ini juga
diperkuat dengan observasi.
92
kehadiran mereka yang beragama lain dalam upacara tersebut. Mereka
menyadari upacara tersebut di samping mempunyai nilai keagamaan ada
nilai sosial yang mendorong para tetangga yang berbeda agama ikut
hadir dalam acara tersebut.214
Kenyataan tersebut di atas menunjukkan
bahwa ikatan solidaritas komuniti desa relatif lebih tinggi dibanding
ikatan solidaritas keagamaan. Kiranya hal ini yang menjadi salah satu
faktor pendukung dalam jaring pengaman pencegahan konflik pada
masyarakat Kabupaten Oku Timur.
Salah satu bentuk empati beragama di Kabupaten Oku Timur
dapat dilihat melalui contoh kasus berikut ini: pada hari raya Idul Fitri
1413 H (tahun 2000 Masehi) yang kebetulan bertepatan dengan hari
raya Nyepi bagi umat Hindu. Dalam menyambut kedua hari raya
tersebut dapat dikatakan bertolak belakang. Untuk merayakan hari raya
Idul Fitri umat Islam menyambutnya dengan kegembiraan, misalnya
dengan takbir keliling desa atau kota, saling mengunjungi antara
keluarga dan teman. Sedangkan bagi umat Hindu dalam menyambut hari
raya Nyepi dilakukan dengan menutup pintu, tidak menyalakan api (juga
lisrik) dan tidak memasak.215
Untuk menjaga hubungan harmonis antara pemeluk agama Islam
dan Hindu di kota ini. Umat Islam pun rela takbiran di masjid-masjid
mereka, sehingga pelaksanaan takbiran dan hari raya Nyepi dapat
berlangsung dengan hikmat tanpa menimbulkan masalah. Dari uraian di
atas dapat dilihat bagaimana umat beragama di Kabupaten Oku Timur
begitu menjaga kerukunan antar umat beragama, yang salah satu
polanya, yaitu dengan bersikap toleransi dan hormat menghormati antar
pemeluk agama yang berbeda dalam menjalankan ajaran agamanya,
sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Dalam bidang moral, Islam
menggalakkan kasih sayang, persaudaraan, sikap mendahulukan
kepentingan orang lain, dan memerintahkan untuk saling tolong
menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, serta menganjurkan kepada
penyatuan kalimat dan pemaduan barisan, sebagaimana ia menyerukan
kepada saling mengasihi dan saling toleransi, dedikasi dan pengorbanan,
214
Hasil pengamatan peneliti, didukung juga hasil wawancara dengan Wakil
Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB
Kabupaten OKU Timur; pemuka agama Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson
Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto),
Tanggal 9-10 Februari 2011. 215
Hasil wawancara dengan Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur, Tanggal 9
Februari 2011.
93
menghormati peraturan dan mematuhi pemerintah dalam dalam hal yang
baik.216
Faktor-faktor yang mendukung dalam jaring pengaman
pencegahan konflik di Kabupaten Oku Timur, yakni: adanya ikatan
solidaritas antar warga masyarakat yang lebih kuat dibanding ikatan
solidaritas keagamaan, ikatan hubungan kekerabatan tidak putus akibat
perbedaan agama dan adanya hubungan yang akrab antar tokoh agama.
Sedangkan fungsi kegiatan sosial kemasyarakatan dalam jaring
pengaman pencegahan konflik pada masyarakat Kabupaten Oku Timur,
yaitu: Pertama, masyarakat tidak melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan ajaran agamanya masing-masing, karena tidak ada satu agama
pun yang mengajarkan keburukan. Kedua, setiap warga masyarakat
memiliki sikap empati yang tinggi, ringan tangan membantu warga yang
kesusahan siapapun dia dan apapun agamanya. Ketiga, tidak berbuat dan
bersikap yang dapat melecehkan dan menghina agama atau keyakinan,
karena bila hal ini dilakukan maka orang lain akan bersikap yang sama
ke kita. Keempat, tidak mudah curiga dan selalu percaya kepada orang
lain siapapun dia dan apapun agamanya. Karena hambatan utama dalam
memelihara keharmonisan pergaulan bila hilang sikap saling
mempercayai dan berganti dengan saling berprasangka serta saling
mencurigai. Kelima, Terciptanya suasana keharmonisan antara sesama
umat beragama terutama dalam hal saling pengertian, saling
menghormati dan saling menghargai, sehingga tidak mudah terprovokasi
oleh isu-isu yang tidak bertanggung jawab. Keenam, Ketika ada masalah
sosial yang melibatkan atau membawa nama agama, maka dengan
menjadikan tokoh agama sebagai mitra pemerintah, penyelesaian akan
selalu melibatkan para tokoh agama tersebut, sehingga persoalannya
tidak semakin meruncing.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan
pemuka agama, serta masyarakat Kabupaten OKU Timur dalam upaya
mencegah konflik, dapat dirinci sebagai berikut: (1) Peran serta
masyarakat, pemuka agama serta pemerintah setempat untuk tetap
menjaga kerukunan umat beragama, serta bekerja sama dalam
mencarikan solusi dan jalan penyelesaiannya bila timbul suatu masalah.
(2) Mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang melibatkan
seluruh warga masyarakat tanpa memandang etnik, suku maupun agama
216
Hasil wawancara dengan Perwakilan pemuka agama Islam (Faturrahman),
dan juga dengan perwakilan pemuka agama Hindu (I Wayan Sumitra), Tanggal 10
Februari 2011.
94
yang mereka anut, misalnya kegiatan 17 Agustus dan pertandingan
sepak bola antar warga. (3) Adanya suatu wadah seperti FKUB (Forum
Kerukunan Umat Beragama) yang dapat memfasilitasi silaturahmi di
antara pemuka agama terutama pada tingkat akar rumput, sehingga
masyarakat pada lapisan bawah memperoleh informasi yang benar
tentang bagaimana cara membangun kehidupan yang rukun pada
masyarakat yang majemuk. (4) Terjalinnya komunikasi yang baik antar
umat beragama agar tidak timbul prasangka-prasangka negatif, yang
akhirnya menjadi streotip (prasangka yang diyakini benar walau belum
terbukti kebenarannya). (5) Setiap pemuka agama maupun umat
beragama sama-sama menjaga kode etik dalam pergaulan hidup
beragama baik kode etik yang ditetapkan oleh pemerintah maupun
norma-norma agama. (6) Peran serta pemerintah sebagai sarana untuk
memfasilitasi sarana dan prasarana secara penuh untuk mendukung
upaya kerukunan antar warga masyarakat, misalnya dengan
memfasilitasi adanya kelompok-kelompok diskusi atau dialog beda
agama, membuat suatu forum yang bernama FKUB (Forum Kerukunan
Umat Beragama), membuat Undang-Undang yang mengatur tentang
kerukunan, khususnya kerukunan antar umat beragama. (7) Perlu
komunikasi dan inventarisasi bersama masalah-masalah sensitif
lintas/antar agama. (8) Pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan
dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama, diantaranya:
musyawarah intern masing-masing umat beragama dan musyarawarah
antar umat beragama; dialog; mengeluarkan sejumlah peraturan
(Undang-Undang) menyangkut penyiaran agama, pendirian rumah
ibadah dan bantuan luar negeri. (9) Bila terjadi hal-hal yang menyangkut
perilaku individu atau kelompok suatu agama yang dapat menganggu
kerukunan umat beragama, perlu disalurkan atau dipecahkan bersama
melalui agama masing-masing dan forum bersama antar umat beragama.
(10) Kearifan pemuka agama sangat diharapkan agar melalui khutbah,
ceramah dan sikap keagamaan dapat berperan dalam memberi
pengetahuan dan pengertian kepada umatnya tentang pentingnya
memelihara kerukunan umat beragama.217
217
Dalam era global dan kepentingan membangun masyarakat yang maju,
pluralisme masyarakat tidak dapat dielakkan. Oleh karena untuk menjaga
keharmonisan (kerukunan) masyarakat perlu dikembangkan secara terus menerus
kehidupan yang berwawasan multikultural. Dalam rangka pengembangan wawasan
multikultural perlu diupayakan penyadaran masyarakat untuk tidak terkungkung di
dalam comfort-zone (wilayah nyaman) masing-masing. Selain itu perlu juga
membangun masyarakat yang bersikap dan berwawasan multikultural perlu
95
Pedoman yang dijadikan landasan dalam menunjang kesuksesan
dialog antar pemuka agama di Kabupaten OKU Timur, yakni218
:
Pertama, dasar pijak dialog. Dasar pijak yang sama. Semua pemeluk
agama memiliki kepercayaan yang sama akan satu Tuhan. Pencipta dan
penguasa alam semesta. Bahwa umat beragama yang berbeda-beda
merupakan bagian-bagian dari satu keluarga umat yang sama. Adanya
kepercayaan yang sama bahwa umat manusia dilibatkan oleh Pencipta-
Nya dalam hubungan khusus (relasi adikodrati) dengan-Nya, dan oleh
karena manusia menduduki tempat yang istimewa dan mempunyai arti
tersendiri di dalam universum ini. Lebih lanjut terdapat pengakuan yang
sama bahwa semua agama mempunyai perutusan (misi) yang sama,
yakni menyampaikan kepada manusia ajaran Tuhan dan rencana ilahi-
Nya yang inti sarinya adalah penyelamatan manusia oleh Tuhan. Dalam
hal ini Tuhan adalah causa prima dan agama-agama adalah pembantu
atau peran serta untuk mensukseskan rencana itu. Ini berarti bahwa
semua agama memikul tanggungjawab bersama atas penugasan yang
sama itu. Faktor lain yang sama-sama dihadapi ialah tempat tinggal
yang sama. Yang dimaksud adalah kenyataan bahwa pemeluk berbagai
agama tinggal di satu daerah atau negara yang sama. Demi hidup sosial
manusia sendiri situasi demikian itu perlu dibuat suatu landasan hidup
bersama yang menjamin terbinanya kerukunan dan kedamaian yang
terarahkan kepada bentuk konkret, yakni kerjasama dalam pembangunan
bangsa dan negara yang sama. Di dalamnya pemeluk agama Islam,
Kristen, Khatolik, Hindu dan Budha bersama-sama menyadari tugas
bersama dan tanggungjawab bersama atas terwujudnya masyarakat
dunia yang memungkinkan manusia dapat hidup bersama dengan rukun,
damai, dan sejahtera. Dan menyadari bahwa bahaya terbesar yang
mengancam eksistensi dan kooperasi semua agama adalah bahaya
ateisme. Nasib yang sama ini memerlukan penanganan semua agama
dikembangkan melalui beberapa tahapan atau proses, yakni: menjauhkan masyarakat
untuk tidak berpikiran dan berprilaku konflik; mengajak masyarakat untuk lebih
bersikap toleran; mengembangkan dialog untuk tukar menukar informasi dan
menumbuhkan saling pengertian bersama tentang berbagai hal; menumbuhkan
persaudaraan dan kerja sama sejati (tanpa pamrih). 218
Hasil wawancara dengan Wakil Bupati Kabupaten OKU Timur; Kabid
Kesatuan Bangsa dan Linmas; Ketua FKUB Kabupaten OKU Timur; pemuka agama
Islam (Faturrahman), Kristen (Roberson Pakpahan), Khatolik (Romo Pius), Hindu (I
Wayan Sumitra), dan Budha (Sujayanto), Tanggal 9-10 Februari 2011. Lihat juga P.
Jansen, ‚Kode etik dalam Pergaulan antar Agama‛. Makalah ini dibacakan dalam
dialog antar umat beragama di Malang, Maret 1976, 7-8. Dikutip dari Hendropuspito,
Sosiologi Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1983), 172-181.
96
bersama-sama. Untuk berhasilnya tugas penanggulangan ini maka dialog
antar umat berbagai agama merupakan suatu kewajiban.
Kedua, tujuan dialog. Memahami benar bahwa tujuan yang
hendak dicapai dalam musyawarah pemeluk agama-agama bukanlah
mengadakan peleburan agama-agama menjadi satu agama. Juga bukan
membuat suatu sinkritisme atau semacama agama baru yang memuat
unsur-unsur ajaran agama. Dialog juga tidak dimaksud untuk mendapat
pengakuan dari pihak lain akan supremasi agamanya sendiri sebagai
agama yang paling benar. Juga tidak dibenarkan bila musyawarah antar
umat beragama mau meniadakan perbedaan-perbedaan yang ada dari
ajaran agama masing-masing. Justru melalui musyawarah bersama itu
harus didasari dan diakui adanya perbedaan fundamental ajaran agama
yang tidak boleh dikaburkan ataupun direlativir kebenarannya. Bahkan
perbedaan agama itu harus dihormati dengan rasa toleransi. Dialog juga
tidak boleh dipakai sebagai topeng untuk mencari kelemahan pihak lain
dan menariknya untuk berpindah agama. Tujuan positif yang hendak
dicapai dengan musyawarah itu ialah mencapai saling pengertian dan
saling penghargaan yang lebih baik antar penganut agama, dan
kemudian bersama-sama menjalin hubungan persaudaraan yang jujur
untuk melaksanakan rencana keselamatan yang dikehendaki Tuhan yang
memanggilnya. Agar pelaksanaan rencana ilahi itu berjalan teratur dan
terarah pada sasaran yang ingin dicapai, maka dialog juga dimaksud
untuk menyusun suatu rencana kerja sama dengan isi dan cara yang
disepakati bersama. Maka dialog pada tingkat ini hendaknya tidak
dimulai dari bidang doktriner, akan tetapi bertolak dari bidang karya.
Ketiga, materi dialog. Masalah-masalah yang menjadi tema
dalam dialog antar pemuka agama di Kabupaten OKU Timur antara
lain: masalah da’wah (misi) dan pendidikan religious (agama), toleransi
versus fanatisme, hidup bersama di daerah yang multikultural (baik
agama maupun etnis), kerja sama antarumat beragama, dan kode etik
pergaulan antar umat beragama.
Keempat, kode etik dialogi antar umat beragama. Kode etik yang
dibicarakan dalam musyawarah yang ada di Kabupaten OKU Timur
mengandung isi yang lebih luas daripada prinsip dialog non-keagamaan
umumnya. Dialog yang dimaksud dalam konteks ini juga bukan sekedar
dwiwicara, tetapi juga dialog karya umat beragama. Jadi, kode etik
bukanlah etiket sopan santun dalam bicara dan kerja sama, melainkan
serangkaian etika yang harus diterapkan dan ditaati oleh penganut
agama, di dalam pergaulan antar umat beragama dan di dalam pergaulan
antar agama. Pedoman etik yang telah disepakati bersama di Kabupaten
97
OKU Timur, yaitu: (1) kesaksian yang jujur dan saling menghormati.
Semua pihak tidak menghendaki supaya keyakinannya masing-masing
ditekan atau dihapus. Justru sebaliknya, supaya setiap pihak membawa
kesaksian yang terus terang tentang kepercayaan dihadapan Tuhan dan
sesamanya. Dengan demikian rasa curiga dan takut dapat dihindarikan.
Rasa saling menghormati mencakup juga perhatian yang halus terhadap
hati nurani dan keyakinan pihak lain, simpati kepada kesukaran-
kesukaran dan kekaguman akan kemajuannya. Demikian pula semua
pihak dapat menjauhkan pembandingan kekuatan tradisi masing-masing
yang dapat menimbulkan sakit hati dengan mencari kelemahan pada
tradisi keagamaan lain, atau membandingkan antara cita-cita dari saatu
pihak dengan kenyataannya di pihak lain. (2) prinsip kebebasan
beragama. Prinsip kebebasan tersebut meliputi prinsip kebebasan
perorangan dan kebebasan sosial. Yang pertama cukup jelas, setiap
orang mempunyai kebebasan untuk menganut agama yang disukainya,
bahkan kebebasan untuk berpindah agama. Tetapi kebebasan individual
tanpa adanya kebebasan sosial tidak ada artinya sama sekali. Jika
seseorang benar-benar mendapat kebebasan agama, ia harus dapat
mengartikan itu sebagai kebebasan sosial, tegasnya supaya agama dapat
hidup tanpa tekanan sosial. Dimana secara prinsip ada kebebasan agama
(individual), tetapi tekanan sosial agama mayoritas bermain sesukanya
begitu kuat, maka perkembangan agama secara bebas tidak
dimungkinkan. Bebas dari tekanan sosial, berarti bahwa situasi dan
kondisi sosial memberikan kemungkinan yang sama kepada semua
agama untuk hidup dan berkembang tanpa tekanan. Kebebasan sosial ini
diharapkan dapat dinikmati oleh setiap orang atau kelompok yang
hendak pindah ke agama lain. (3) prinsip acceptance, yakni mau
menerima orang lain seperti adanya. Dengan kata lain tidak menurut
proyeksi yang dibuat sendiri. Jika memproyeksikan penganut agama lain
menurut keinginan kita, maka pergaulan antar golongan beragama tidak
akan dimungkinkan. Jadi untuk konkretnya, seorang yang beragama
Kristen misalnya harus rela menerima seorang penganut Islam menurut
adanya, menerima seorang Hindu seperti adanya. Sebaliknya, seorang
Islam atau seorang Hindu harus rela menerima seorang Kristen seperti
adanya, artinya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan
cara berfikir dan perasaannya. Adalah hal yang tidak mungkin dituntut
untuk menerima seorang Kristen menurut gambaran Islam, atau
menerima seorang Islam menurut gambaran Kristen dan seterusnya. Jadi
dasar pertama dalam pergaulan umumnya dan pergaulan agama
khususnya, yakni terimalah yang lain dalam kelainannya. (4) berfikir
98
positif dan percaya. Orang berfikir secara positif dalam perjumpaan dan
pergaulan dengan penganut agama lain, jika ia sanggup melihat pertama
yang positif dan bukan yang negatif. Hal ini penting karena berfikir
positif itu perlu dijadikan suatu sikap yang terus menerus. Orang yang
biasa berfikir secara negatif akan menemui kesulitan besar untuk bergaul
dengan orang lain, apalagi orang yang beragama lain. Tetapi bila ia
dapat melihat hal-hal yang positif dalam agama itu, maka ia akan
menemukan dasar untuk bergaul dengan penganut-penganut agama itu.
Sedangkan prinsip percaya merupakan dasar pergaulan antar umat
beragama. Karena kesulitan yang paling besar untuk umat beragama di
dalam dialog, ialah tidak adanya kepercayaan yang kolektif yang
kurang disadari. Ketidakpercayaan kolektif ini telah mengendap di
bawah sadar sebagai prasangka (prejudice). Selama prasangka kolektif
ini masih menguasai golongan beragama, maka dialog antar agama
masih sulit dilaksanakan. Dengan kata lain, selama agama yang satu
masih menaruh prasangka terhadap agama yang lain, usaha-usaha ke
arah pergaulan yang bermakna belum mungkin. Sebab garis pembimbing
dalam kode etik pergaulan adalah bahwa agama yang satu percaya
kepada agama yang lain. Untuk memulainya, langkah pertama yang
diambil setiap agama ialah mencari di dalam agamanya sendiri, apakah
prasangka-prasangka itu masih ada di dalam agamanya. Jika demikian
halnya (masih ada), maka langkah berikutnya ialah mengurangi dan
menghilangkan prasangka itu. Bilamana prasangka pada pihak masing-
masing sudah hilang, atau sudah ada rasa saling percaya, maka pintu
untuk dialog sudah terbuka.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa untuk membangun,
mengembangkan dan memelihara kerukunan umat beragama diperlukan
usaha yang sungguh-sungguh dan dibutuhkan kerja sama dari semua
pihak, baik dari umat beragama, pemuka agama, serta pemerintah yang
berwenang.
99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jaring pengaman pencegahan konflik masyarakat Kabupaten
OKU Timur dapat diartikan sebagai sebuah ikatan yang saling
mempengaruhi serta adanya kerja sama dari pemerintah, pemuka agama,
agamawan, dan para cendikiawan teologis yang bertujuan untuk
mencegah agar tidak terjadinya konflik komunal. Strategi yang
dilakukan antara lain dengan mendorong pembentukan majelis agama-
agama, membentuk wadah kerukunan antar umat beragama,
mengembangkan kesepahaman di antara para pemimpin dan tokoh
agama melalui berbagai pertemuan dan kontrak antarpribadi, serta
mengembangkan perangkat peraturan yang berfungsi mencegah
kemungkinan timbulnya penggunaan agama sebagai sistem acuan
hingga ke tingkat konflik.
Jaring pengaman ini mempunyai arti penting, sebab pemicu
ketegangan sosial dapat bersumber dari berbagai interaksi sosial yang
ada dalam masyarakat. Interaksi sosial tidak jarang menimbulkan
sumber konflik. Isu agama, isu etnis, adat-istiadat dan batas wilayah
teritorial sering menjadi benih yang akan menimbulkan konflik. Dalam
melakukan intervensi mencegah konflik agar tidak menghebat menjadi
kekerasan, mekanisme tradisional dan modern keduanya memiliki peran
penting. Dalam banyak situasi sudah ada mekanisme yang seharusnya
berguna untuk mengatasi konflik. Strategi menggunakan jaring
pengaman pencegahan konflik, yakni dengan merajut benang-benang
paralel ini bersama. Jadi, dapat disimpulkan bahwa cara kerja jaring
pengaman pencegahan konflik, yakni dengan mengadakan jaringan
hubungan kerja sama antara pemerintah yang berwenang dengan
berbagai organisasi keagamaan, maupun masyarakat secara periodik.
B. Implementasi Penelitian
Setelah dikaji mengenai berbagai upaya yang dapat dilakukan dalam
mencegah agar benih-benih konflik dapat diredam sehingga tidak
99
100
terjadi konflik komunal. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus
kajiannya adalah efektifitas jaring pengaman pencegahan konflik, yakni
bagaimana kerjasama antara elit penguasa (pemerintah) dan elit agama
(pemuka agam). Oleh karena itu diharapkan penelitian ini dapat menjadi
inspirasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
101
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius.
Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005.
Adi, Isbandi Rukminto. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas: Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI, 2003.
AG, Muhaimin, eds. Damai di Dunia Damai untuk Semua Perspektif Berbagai Agama. Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian
Kerukunan Hidup Umat Beragama, Badan Litbang Agama &
Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2004.
Ali, Muhammad. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajukan, Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Kompas,
2003.
Aripinsyah. Hubungan antar Agama: Wacana Pluralisme, Eksklusifvisme, dan Inklusivisme. Jakarta: IAIN Press, 2002.
Arifin, Syaiful, eds. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta:
Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah The Asia
Foundation Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar (Anggota
IKAPI), 2000.
Asshiddiqie, Jimly, eds. Sumber Daya Manusia untuk Indonesia Masa Depan. Bandung: Mizan, 1997.
Ayoub, Mahmud M. The Crisis of Muslim History: Akar-Akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim. Bandung: Mizan, 2004.
Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam.
Jakarta: Paramadina, 1999.
Bactiar, Wardi. Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parsons. Bandung:
Remaja RosdaKarya, 2006.
Bailey, D. Kenneth. Methods of Social Research. New York: The Free
Press, 1978.
Bamualim, S. Chaider dan Karlina Helmanita, eds. Communal Conflict in Contemporary Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya
IAIN Jakarta and The Konrad Adenover Foundation, 2004.
Bartos, Otomar J. dan Paul Wehr. Using Conflict Theory. New York:
Cambridge University Press, 2003.
102
Basya, M. Hilaly dan David K. Alka. Amerika Perangi Teroris Bukan Islam. Jakarta: Penerbit Center for Moderate Moslem, 2004.
Becker, Howard S. Boy in White: Student Culture in Medical School. Chicago: The University of Chicago Press, 1961.
Becker, Howard S. dan Michal M. McCall, eds. Symbolic Interaction and Cultural Studies. Chicago: The University of Chicago Press,
1990.
Black, Jeremy. War and The New Disorder in The 21st Century. New
York-London: Continum, 2004.
Blumer, Herbert. Symbolic Interaction: Perspective and Method.
Prentice-Hall, Englewood Cliffs, 1969.
Bouvier, Helene, eds. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005.
Brass, Paul R. Ethnicity and Nationalism: Theory and Comparison. New
York: Sage Publication, 1991.
Broder, David S. Berita di Balik Berita. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996.
Brown, M.E. et.al. Nationalism and Ethnic Conflict. Cambridge: The
MIT Press, 1997.
Bukay, David. from Muhammad to Bin Laden: Religious and Ideological Sources of The Homicide Bombers Phenomenon. Transaction
Publishers, th.
al-Bu>thy, Sa’id Ramad}a>n. D}awa>bith al-Mas}lahah fi al-Shari’at al-Islamiyyah. edisi ke 6. Beirut: Mu’assasat al-Risa>lat, 2000.
Carpenter, L. Swan dan WJD. Kennedy. Managing Public Disputes: A Pratical Guide to Handling Conflict and Reaching Agreements.
London: Jossey Bass Publisher, 1988.
Chalid, Pheni. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: CSES, 2005.
Chapra, Umer. Islam and The Economic Challege. USA: The Islamic
Foundation, 1995. Corrigan, John, eds. Jews, Christians, Muslims, a Comparative
Introduction to Monotheistic Religions. Prentice Hall, NJ, 1998.
C. Danforth, John. Onward, Moderate Christian Soldiers. The New York
Times, Wednesday, June 22, 2005.
Dahrendorf, Ralf. Class and Class Conflict in Industrial Society.
London: Routledge & Kegan Paul, 1959.
Debiel, Tobias dan Ulf Terliden. ‚Promoting Good Governance in Post-
Conflict Societies‛. [Discution Paper], http://
103
www.oecd.org/data-oecd/47/26/34481761.pdf. Diakses 20
Januari 2010.
Denhardt, Janet Vinzant dan Robert B. Denhardt. The New Public Service: Serving, not Steering. New York: M.E. Sharpe. Inc,
2007.
Departemen Agama RI. Manajemen Konflik Umat Beragama. Jakarta:
Puslitbang Depag RI, 2004.
______. Alqur’an dan Terjemahannya. Bandung: Penerbit J-ART, 2004.
______. Sosiologi Keagamaan: Suatu Kajian Empirik dalam Memantapkan Nilai-Nilai Kerukunan Umat Beragama. Jakarta:
Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama, 2004.
______. Menelusuri Kearifan Lokal di Bumi Nusantara: Catatan Perjalanan dan Hasil Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antar Pemuka Agama Pusat dan Daerah. Jakarta:
Puslitbang Kerukunan Hidup Beragama, 2005.
______. Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Beragama Depag RI, 2009.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2000.
Dinitto, D. M. dan T.R. Dye. Social Welfare Politics and Public Policy.
New Jersey: Prentice Hall, 1987.
Douglas, Jack D. Introduction to Sociology: Situations and Structures.
New York: Free Press, 1973.
Effendy, Bahtiar dan Soetrisno Hadi, eds. Agama dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: Nuqtah, 2007.
El-Fadl, Khaled Abou. The Great Theft, Wrestling Islam from The Extremist. SanFransisco: HarperSanFrancisco, 2007.
Emiliana, eds. Intergrasi Nasional: Suatu Pendekatan Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1997.
Eriyanto. Media dan Konflik Ambon: Media, Berita dan Kerusuhan Komunal di Ambon 1999-2002. Jakarta: Penerbit Kantor Berita
Radio 68 H, 2003.
Esack, Fariq. Qur’an, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford:
Oneworld, 1997.
Espe, Kusuma. Provokator Paradigma Kritis di Tengah Konflik: Penyadaran Masyarakat Pasca Pertikaian antar Komunitas di Ambon. Jakarta: Awan Indah, 2004.
104
Fisher, Simon. eds. Working with Conflict: Skills and Strategies for Action diterjemahkan oleh S.N. Kartika Sari, et.al. Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak. Jakarta:
Penerbit The British Council, 2001.
al-Ghazali. al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Mulk. terj. Arif D. Iskandar,
Etika Berkuasa Nasehat-nasehat Imam al-Ghazali. Bandung:
Pustaka Hidayat, 1998.
Giddens, Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber. Jakarta:
UIP, 1986.
______. Human Society A Reader. Cambridge: Polity Press, 1992.
Graham, C. Safety Nets, Politics, and the Poor: Transition to Market Economies. Washington DC: The Brooking Institution, 1994.
Grand, J. Le, C. Propper dan R. Robinson. The Economics of Social Problems. Hampshire: Palgrave, 1992.
Gregory, P.R. dan R. Stuart. Comparative Economic System. Boston:
Houghton Mifflin Company, 1999.
Griffin, Em. A. First Look at Communication Theory. New York:
McGraw-Hall, 1997.
Grose, George B. dan Benjamin J. Hubbard, eds. Tiga Agama Satu Tuhan: Sebuah Dialog. Bandung: Mizan,1998.
Habermas, Jurgen. On the Pragmatics of Communacation.
Massachusetts: The MIT Press, 1998.
Habib, Achmad. Konflik antaretnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa. Yogyakarta: LKiS, 2009.
Hadad, Toriq. Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam. Jakarta:
ISAI, 1998.
Hadi, Samsul. Politik Standar Ganda Amerika Serikat Terhadap Bosnia.
Jakarta: Penerbit FoDIS, 1997.
Hadi, Syamsul, eds. Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2007.
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama Bagian II (Pendekatan Budaya Terhadap Agama Yahudi, Kristen Katolik, Protestan, dan Islam). Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1993.
Hamad, Ahmad Azem. ‚The Reconceptualisation of Conflict
Management.‛ Interdisciplinary Journal, Vol 7, July 2007, 10-16.
http://www.peacestudiesjournal.org.uk. Diakses 3 November
2009.
105
Hasrullah. Dendam Konflik Poso (periode 1998-2001). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Haq, Hamka. Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama dari Wacana ke Aksi Nyata. Jakarta: Titahandalusia Press, 2002.
Haq, M. Tirai Kemiskinan Tantangan-Tantangan untuk Dunia Ketiga.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1983.
Held, David. Models of Democracy. Cambridge: Polity Press, 2006.
HD, AP. Budiyono. Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1983.
Hidayat, Komaruddin. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Dokrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah. Jakarta: Penerbit
Paramadina, 2003.
______. Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik.
Jakarta: Paramadina, 1996.
http://www. bappedaokutimurkab.go.id. Diakses Tanggal 12 Januari
2010.
Hopmann, P. Terrence. Two Paradigms of Negotiation: Bargaining and Problem Solving. United Kingdom: Sage Publication, 1995.
ibn Taimiyah, Taqi al-Din Ahmad. al-Siyasah al-Shar’iyyah fi Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah. Riyadh: al-Maktabah al-Salafiyyah wa
Maktabatuha, 1387 H.
Isaacs, Harold R. ‚Basic Group Identity: The Idol of the Trible.‛ dalam
Ethnicity, Theory and Experience, ed. Nathan Glazer and Daniel
P. Moyniham, 29-52. Cambridge: Harvard University Press,
1975.
al-Jama>l, Muhammad ‘Abd al-Mun’im. Masu>’at al-Iqtis}a>di> al-Isla>m. Kairo: Da>r al-Kutta>b al-Mas}ri>, 1986.
al-Jurjani, Al-Sayyid al-Syarif Ali Muhammad Ibn al-Husein. al-Ta’rifat. Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1987fi al-Wilayah al-Diniyah.
Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.th.
Jindan, Khalid Ibrahim. The Islamic Theory of Government According to Ibn Taimiyah. terj. Masrohin, Teori Politik Islam Tela’ah Kritis Ibn Taimiyah tentang Pemerintahan Islam. Surabaya:
Risalah Gusti, 1995.
Jones, Philip. Theory and Method in Sociology: a Guide for the Beginner. Slough: University Tutorial Press, 1985.
Jurnal Dialog Peradaban. Titik Temu. Vol. I No. I, Juli-Desember 2008,
Diterbitkan oleh NCMS, Jakarta.
106
Jurnal Multikultural & Multireligius. ‚Potret Kerukunan Umat
Beragama di Indoensia.‛ dalam Harmoni, vol. IV, No. 15, Juli-
September 2005, Penerbit Puslitbang Kehidupan Beragama
Depag RI, Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka, 1993.
Keller, Suzanne. Penguasa dan Kelompok Elite. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1995.
Kepel, Gilles. Jihad, The Trail of Political Islam. Harvard University
Press, 2002.
Lederach, John Paul. Preparing for Peace Conflict Transformation Across Culture. Syracus, NY: Syracus University Press, 1996.
Legenhausen, Muhammad. Islam and Religion Pluralism. London:
Alhoda Publishers, 1999.
Lewis, Bernard. Islam and The West. New York: Oxford University
Press, 1993.
Maarif, Ahmad Syafi’i. ‚Situasi dan Kekuatan Konflik dalam Sejarah
Indonesia Kontemporer.‛ HARMONI: Jurnal Multikultural dan Multireligius, Volume 1, No. 1, (Januari-Maret 2002), 14-24.
Madjid, Nurcholis. Islam, Dokrin, dan Peradaban. Jakarta: Paramadina,
2000.
Mahmood, Sohail. Islamic Fundamentalism in Pakistan, Egypt and Iran.
Vanguard Books Ltd., 1995.
Mannan, M.A. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana
Bhakti Wakaf, 1993.
Manis, Jerome G. dan Bernard N. Meltzer, eds. Symbolic Interaction: A Reader in Sosial Psychology. Boston: Allyn & Bacon, 1978.
Marsden, George M. Agama dan Budaya Amerika. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996.
Martinuzen, J. State, Society and Market: A Guide to Competing Theories of Development. London: Zed Books Ltd., 1997.
Maudu>di, Sayyed Abu>l Ala’. Islamic Law and Constitution. Lahore:
Islamic Publication (Pvt) Ltd., 1992.
al-Mawardi, Abu Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri al-
Baghdadi. al-Ahkam al-Sulthaniyah Abimanyu, Bambang. Teror Bom di Indoensia. Jakarta: Grafindo, 2005.
Miall, Hugh. Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2000.
107
Miall, Hugh. ‚Conflict Transformation: A Multidimensional Task.‛
[Berghof Handbook of Conflict Transformation], no. 3, 2004,
http://www.berghophandbook.net/uploads/download/boege_handbook.p
df. Diakses 1 Desember 2010.
Midgley, J. Social Welfare in Global Context. Thousand Oaks: Sage
Publications, 1997.
Mills, Charles W. The Power Elites. New York: Oxford University
Press, 1956.
Misrawi, Zuhrawi. Alquran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta: Penerbit Fitrah, 2007.
Moore, W. Chistoper. Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict. USA: Jossey-Bass, 2003.
Moussalli, Ahmad S. The Islamic Quest for Democracry, Pluralism, and Human Rights. Florida: The University Press of Florida, 2003.
Muhammad, Afif. Model Penelitian tentang Pemikiran. Bandung: Puslit
IAIN Sunan Gunung Djati, 2000.
Mulkan, Abdul Munir. Teologi Kebudayaan dan Demokrasi Modernitas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2002.
al-Munawar, Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Ciputat:
PT. Ciputat Press, 2005.
Mutahhari, Murtadha. Society and History, edisi Indonesia, Masyarakat dan Sejarah. Bandung: Mizan, 1986.
Nader, Laura dan Harry F. Todd. The Disputing Process Law in Ten Societies. Columbia: Columbia University Press, 1978.
Nasution., Mustafa Edwin. et al. Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam.
Jakarta: Penerbit Kencana, 2006.
Neuman, W. Lawrence. Sosial Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Allyn and Bacon, 1997.
Nimmo, D. Political Communication and Public Opinion in America.
Santa Monica, Cal: Goodyear Publishing Company, 1978.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES,
1991.
Petebang, Edi dan Eri Sutrisno. Konflik Etnik di Sambas. Jakarta:
Penerbit ISAI, 2000.
Petras, James. Zionism, Militarism and the Decline of US Power. diterjemahkan oleh Epic Mustika Putro. Jakarta: Penerbit Zahra,
2009.
108
Pruitt, G. Dean dan Sung Hee Kim. Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement. New York: McGraw-Hill, 2004.
Purnomo, Aloys Budi. Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2003.
Ramli, Supiyan. Menggagas Pluralisme dalam Islam. Jambi: Penerbit
Sultan Thaha Press, 2008.
Ramsbotham, O, T. Woodhouse, dan H. Miall. Contemporary Conflict Resolution: The Prevention, Management, and Transformation of Deadly Conflict. New York: Polity, 2006.
Richards, Glyn. Toward a Theology of Religions . London: Routledge,
1989.
Ritzer, George. Modern Sociological Theory. New York: The McGraw-
Hill Companies, 2000.
Robson, W.A. Welfare State and Welfare Society: Illusion and Reality. London: George Allen and Unwin Publishers Ltd, 1977.
Rondinelli, A. Dennis. Restoring Governance ini Post-Conflict Countries of International Assistance, 15-16.
http//:unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/UN/UNPAN026
575.pdf. Diakses 10 Agusutus 2010.
Rose, Arnold M. ‚A Summary of Symbolic Interaction Theory.‛ dalam
Theories and Paradigms in Contemporary Sociology, ed. R.
Serge Denisoff, Orel Callahan dan Mark H. Levine. Itasca:
Illinois, F.E. Peacock, 1974.
Rubenstein, E. Richard. Conflict Resolution and Power Politics; Global Conflict After the Cold War. USA: Institute for Conflict
Analysis and Resolution George Mason University, 1996.
Sachedina, Abdulaziz. Beda tapi Setara: Pandangan Islam tentang Non-Islam. Jakarta: Penerbit Serambi, 2001.
Samuel, Hanneman. Indonesia dalam Transisi: Memikirkan Kembali Masyarakat Sipil, Daerah, dan Krisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Santoso, Thomas. Kekerasan Agama Tanpa Agama. Jakarta: Pustaka
Utan Kayu, 2002.
SF, Qamaruddin. Melampaui Dialog Agama. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2002.
Shadily, Hasan. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta, 1993.
Shaleh, Abdul Qodir. Agama Kekerasan. Yogyakarta: Prismasophie,
2003.
109
Shihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.
Bandung: Mizan, 2001.
Shuon, Fritzjof. Mencari Titik Temu Agama-Agama. Jakarta: Penerbit
Pustaka Firdaus, 1994.
Siran, Candra Lekha dan Zoe Nielsan. Exploring Subregional Conflict: Opportunities for Conflict Prevention. London: Lynne Rienner
Publishers, 2004.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1990.
Smith, Donald Eugene. Religion, Politics, and Social Change in the Third World. New York: The Free Press, 1971.
Soedijar, Ahad. Bencana Sosial Sampit. Jakarta: Badan Litbang Sosial
Depsos RI, 2002.
Soeters, Joseph L. Ethnic Conflict and Terrorism: The Original and Dynamics of Civil Wars. London and New York: Routledge
Taylor & Francis Group, 2005.
Soetomo. Masalah Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT. Dunia Pustaka
Jaya, 1995.
Soetrisno, Loekman. Konflik Sosial: Studi Kasus Indonesia.
Yogyakarta: Tajidu Press, 2003.
Stanley, eds. Konflik Etnis di Sambas. Jakarta: IAIS, 2000.
Stokhof, W.A.L., et.al. Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Leiden
& Jakarta: INIS & PBB, 2003.
Sumartana, Th., et.al. Agama dan Negara: Perspektif Islam, Khatolik, Hindu, Budha, Konghucu, Protestan. Yogyakarta: Institut
Dian/Interfidei, 2002.
Sumarto, M. ‚Social Safety Nets and Economic Transition in Indonesia:
Paradox of Social Services.‛ JOAAG, Vol. 2, No. 1,
Yogyakarta: CPPS GMU, 2007.
Supriatno, Tjahya. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Jakarta:
Rineka Cipta, 2000.
Susan, Novri. Sosiologi Konflik & Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2009.
Susanto, Limas. Membongkar Praktek Kekerasan: Menggagas Kultur Nir-Kekerasan. Yogyakarta: PSIF UMM & Sinergi Press, 2002.
Suseno, Frans Magnis. ‚Konflik dan Harmoni: Pengelolaannya dalam
Wawasan Indonesia.‛ Prisma, no. 2, 1985, 90.
Syahid, Achmad dan Zainudin Daulay, eds. Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Proyek
110
Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama
Depag RI, 2002.
Syamsuddin, Hasyim. Neraca Keadilan dalam Sistem Sosial, Ekonomi, dan Supremasi Hukum. Jakarta: Tajdidiyah, 2004.
Syarif, Mujar Ibnu. Hak-hak Politik Minoritas non-Muslim dalam Komunitas Islam. Bandung: Angkasa, 2003.
______. Presiden non-Muslim di Negara Muslim (Tinjauan dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia). Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 2006.
Tamara, Nasir dan Agnes Samsuri. Perang Iran-Perang Irak. Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan, 1981.
Tedeschi, James T. eds. Impression Management Theory and Sosial Psychological Reseach. New York: Academic Press, 1981.
Tibi, Bassam. The Challenge of Fundamentalism Political Islam & The New World Disorder. California: University of California Press,
2002.
Tumanggor, Rusmin, eds. Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air. Jakarta: LEMLIT
dan LPM UIN Syarif Hidayatullah Bekerjasama dengan
Balitbangsos Depsos RI, 2004.
Uchrowi, Zaim. Merajut Damai di Maluku (Telaah Konflik Antarumat 1999-2000). Jakarta: Diterbitkan atas Kerjasama MUI dengan
Yayasan Pustaka Ummat, 2000.
Ul-Hasan, Masud. Reconstruction of Political Thought in Islam. Lahore:
Islamic Publication, 1988.
Vanhanen. ‚Ethnic Conflicts Explained by Ethnic Neotism.‛ Research in Biopolitics, Vol. 7, Stamford CT: JAI Press, 1999.
Wahid, M Hidayat Nur. Mengelola Masa Transisi Menuju Masyarakat Madani. Ciputat: Fikri, 2004.
Wallace dan Wolf. Reading in Contemporary Sociological Theory from Modernity to Post-Modernity. New Jersey: Prentice Hall, 1995.
Weymes, eds. A Challenge to Traditional Management Theory. 2004, 5.
http://www.emeraldinsigt.com/researchregister. Diakses 27
November 2009.
www.bipnewroom info, di akses pada tanggal 4 Mei 2010.
Yusron. Elite Lokal dan Civil Society: Kediri di Tengah Demokratisasi. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2009.
Yusuf, Yusnar. Prasangka Beragama: Implikasi Konflik Sosial di Ambon atas Relasi Keberagamaan di Indonesia. Jakarta: Penamadina,
2004.
111
Zain, Badudu. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit
Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Zubir, Bidawi. ‚Tantangan dan Harmoni dalam Pluralisme: Sebuah
Sketsa Pengalaman Lapangan.‛ dalam M. Tuwah, dkk., eds.,
Islam Humanis, Islam dan Persoalan Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum dan Masyarakat Marginal. Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2001.
112
INDEKS
INDEKS TOKOH
Azra, Azyumardi 74, 85, 88
Bartos, Otomar J. 21, 34
Black, Jeremy 11
Coser, Lewis 4
Fisher, Simon 22, 24, 33, 36
Gaborieau, Marc 1, 11
Haq, Hamka 41, 47
Houtart, Francois 1
Juergensmeyer, Mark 1, 10
Junaidi, Heri 12
Miall, Hugh 35
Mills, Charles W. 32
Querol, Reynal 10
Schmidt, Lars Peter 11
Stewart, Frances 10
Suryadinata, Leo 11
Susan, Novri 21, 23, 33, 44, 45, 46
Wehr, Paul 22, 23, 34
Yusuf, Imtiyaz 11
INDEKS ISTILAH
Agama 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 19
Conflict governance 21, 35, 46, 21, 35, 46, 47
Conflict management 21, 34, 35, 36, 37, 42
Democratic conflict governance 46, 47
Demokrasi deliberatif 47, 48
Forum Kerukunan Umat Beragama 10, 11, 17, 21
Governance 35, 46
Jaring pengaman 5, 7, 8, 10, 11, 16, 17, 20, 21, 46, 47, 48, 49, 50
Konflik 1, 2, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21,
22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 41,
42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50
Pemerintah 26, 28, 32, 44, 45, 46, 48, 49, 50
Pemerintah Kabupaten OKU Timur 10, 15, 16, 19, 20, 51, 52, 55, 56, 57,
58, 59, 60, 61, 68
113
Pemuka agama 5, 9, 15, 16, 49, 50
Pencegahan konflik 10, 11, 15, 16, 17, 21, 34, 35, 42, 50
Pengelolaan konflik 35, 36, 42
Pluralisme 40, 41
Sosiologi 9, 18, 19
INDEKS TEMPAT
Aceh 2
Ambon 2, 27
India 2, 5, 7, 12, 13
Indonesia 2, 3, 7, 9, 11, 13, 14, 22, 25, 27, 29, 31, 32, 33, 34, 39, 40, 43,
44, 47, 48, 49, 50
Kalimantan Barat 2
OKU Timur 6, 7, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17,18, 19, 20, 21, 51, 52, 53,
54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68
Palembang 5, 6, 7
Papua 2
Poso 2, 21, 27, 28, 30
Srilanka 1
Sumatera Selatan 5, 6, 7, 10, 11, 13, 14, 15, 19, 20, 21
INDEKS AL-QUR’AN
al-Anbiya’ ayat 107 1
al-Baqarah ayat 62 39, 40
al-Hajj ayat 11 40
al-Hujura>t: 10 84
al-Maidah ayat 69 40
115
Conflict governance : suatu dinamisasi hubungan antara
berbagai aktor dan lembaga dalam tata
kelola unsur-unsur konflik dalam suatu
ruang politik inklusif yang ditandai oleh
aktivitas mempersuasi,
memusyawarahkan, dan
mengimplementasikan kebijakan
perdamaian yang telah tercapai. Suatu
kebijakan perdamaian adalah hasil dari
musyawarah pihak-pihak terlibat dalam
konflik yang harus diimplementasikan
oleh seluruh pihak terlibat.
Democratic conflict governance
: proses mentransformasi konflik
kekerasan melalui dialog di antara
seluruh pihak, dalam posisi politik yang
sama, dan melembagakan nilai-nilai
kemanusiaan dan demokratis.
Dokumentasi : berasal dari kata dokumen, yang artinya
barang-barang tertulis. Dalam
prakteknya metode ini digunakan untuk
menyelidiki/mengkaji benda-benda
tertulis, seperti buku-buku, majalah,
jurnal penelitian, opini media dan
tabloid.
Forum Kerukunan
Umat Beragama
(FKUB)
: forum yang dibentuk oleh masyarakat
dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam
rangka membangun, memelihara, dan
memberdayakan umat beragama untuk
kerukunan dan kesejahteraan. (PBM,
Pasal 1, ayat 6)
Interaksionisme
simbolik
: salah satu di antara beberapa perspektif
utama yang dikenal dalam berbagai
disiplin ilmu, khususnya ilmu sosiologi,
psikoligi, antropologi dan ilmu
komunikasi. Interaksionisme simbolik
sebenarnya adalah salah satu respon
116
terhadap dominasi fungsionalisme
struktural yang melihat proses makro
sosial.
Maulid : tradisi yang dilakukan untuk
memperingati hari lahirnya nabi
Muhammad.
Pemuka agama : tokoh komunitas umat beragama baik
yang memimpin ormas keagamaan
maupun yang tidak, yang diakui dan
atau dihormati oleh masyarakat
setempat sebagai panutan.
Pencegahan konflik : strategi untuk mencegah timbulnya
konflik yang keras, juga untuk
mengatasi konflik laten (konflik yang
tersembunyi), dengan harapan dapat
mencegah meningkatnya kekerasan.
Pengelolaan konflik : strategi yang bertujuan untuk
membatasi dan menghindari kekerasan
dengan mendorong perubahan perilaku
positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
Penyelesaian konflik : upaya untuk mengakhiri perilaku
kekerasan melalui suatu persetujuan
perdamaian.
Ruwahan : sedekah yang dilakukan guna
mendoakan orang yang telah meninggal.
Biasanya sedekah ini dilakukan pada
bulan Sya’ban atau sebelum datangnya
bulan Ramadhan.
Saluran drainase
(gorong-gorong)
: saluran yang digunakan untuk
mengalirkan air ke sungai ataupun ke
sawah.
Selamatan : sedekah yang dilakukan dengan tujuan
tertentu, misalnya selamatan karena
117
telah lahirnya seorang bayi, selamatan
atas sembuhnya dari sakit yang telah di
derita selama bertahun-tahun, dll.
Transformasi konflik : strategi yang paling menyeluruh dan
luas, yang juga merupakan strategi yang
membutuhkan komitmen yang paling
lama dan paling luas cakupannya,
dengan kata lain transformasi konflik
adalah strategi untuk mengatasi
sumber-sumber konflik sosial dan
politik yang lebih luas dan berusaha
mengubah kekuatan negatif dari
peperangan menjadi kekuatan sosial dan
politik yang positif.
Turap/talud/bronjong : alat yang digunakan untuk mengedam
pinggiran sungai agar tidak longsor.
118
BIODATA DIRI
Ramadhanita Mustika Sari, S.Th.I anak ketiga dari pasangan
Mustopa Usman dan Sofiah Suhaimi dilahirkan di Palembang 25 tahun
silam, yakni pada tanggal 7 Juni 1986 atau bertepatan dengan 28
Ramadhan 1406 H. Pada tahun 1992–1998 cewek yang akrab dipanggil
rama ini sekolah di SD Negeri 173 Palembang. Kemudian tahun 1998-
2001 melanjutkan studi di Sekolah Menengeh Pertama (SMP) Negeri 8
Palembang. Tahun 2001- 2004 sekolah di SMK Negeri I Palembang
dengan mengambil Jurusan Akuntansi. Selesai dari SMK ia melanjut
kuliah di IAIN Raden Fatah Palembang, tepatnya di Jurusan
Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin. Tahun 2008 ia
menyelesaikan skripsi yang berjudul ‛Pola Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama pada Masyarakat Muslim dan Budha di Rama Kasih 6
Kelurahan 5 Ilir Palembang‛, dan memperoleh gelar Sarjana Theologi
Islam (S.Th.I). Setelah itu ia mengabdikan diri di salah satu pondok
pesantren yang ada di Kabupaten OKU Timur. Setahun kemudian
melanjutkan studi di Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Sosiologi Agama.
Selama kuliah cewek yang bercita-cita ingin menjadi seorang
penulis ini aktif diberbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus,
seperti BEMJ Perbandingan Agama (sebagai Bendahara periode 2006-
2007), BEMF Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang (sebagai
Bendahara Umum periode 2007-2008). Di organisasi ekstra ia aktif di
HMI, dan diamanahi sebagai Ketum Kohati Komisariat Fakultas
Ushuluddin pada tahun 2006-2007. Kemudian tahun 2007-2008 ia
menjadi staf bidang kewanitaan di HMI Cabang Palembang. Selain itu,
ia juga tercatat sebagai anggota IRMA Masjid Agung Palembang hingga
saat ini.
Buku yang berjudul ‚Jaring Pengaman Pencegahan Konflik:
Kasus Masyarakat OKU Timur‛ merupakan tulisan pertamanya yang
dibukukan. Berasal dari tesis berjudul ‚Jaring Pengaman Pencegahan
Konflik Masyarakat Kabupaten OKU Timur Provinsi Sumatera
Selatan‛. Penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari
119
pembaca. Bagi yang ingin memberikan kritik dan saran dapat
dialamatkan pada email [email protected]
Top Related