PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH
KANTOR AKUNTAN PUBLIK DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi : Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan
No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017)
TESIS
OLEH
MUHAMMAD ISNAYANDA NIM. 157005148/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH KANTOR AKUNTAN PUBLIK DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi : Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
MUHAMMAD ISNAYANDA NIM. 157005148/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
Telah diuji pada
Universitas Sumatera Utara
Tanggal : 13 Februari 2018 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., MS. Anggota : 1. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., MS. 2. Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum. 3. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. 4. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Universitas Sumatera Utara
Kasus tindak pidana korupsi merupakan permasalahan besar di Indonesia
yang menimbulkan kerugian negara yang sangat besar dan berpengaruh kepada turunnya kualitas kehidupan masyarakat mengganggu stabilitas ekonomi. Dalam kasus tindak pidana korupsi (selanjutnya disebut “Tipikor”), adapun pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, antara lain : Kepolisian RI, Kejaksaan RI dan KPK. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang tersebut di atas, kepada setiap penyelidik dan penyidik untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tipikor, maka Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan KPK sama-sama mempunyai kewenangan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tipikor. Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut “UU Tipikor”). Unsur pasal yang paling utama dalam UU Tipikor tersebut adalah “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Dengan demikian, Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) sangat dibutuhkan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus tindak pidana korupsi.
Mengenai siapa instansi atau pihak mana yang berwenang dalam menentukan kerugian keuangan negara yang tidak diatur secara eksplisit tersebut dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 32 UU Tipikor yang hanya menyebutkan, bahwa : “Kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”. Frase Penjelasan Pasal 32 UU Tipikor jelas menunjukkan pada perlunya badan atau akuntan yang berwenang menentukan kerugian keuangan negara. Namun, pada praktiknya, ketidaktegasan mengenai “instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk” dapat menimbulkan multi tafsir. Unsur pasal “instansi yang berwenang” dapat diterjemahkan sebagai instansi yang berwenang atau memiliki kapasitas dalam bidang akuntansi atau menghitung kerugian keuangan negara atau dapat pula ditafsirkan sebagai institusi yang berwenang dalam penanganan perkara korupsi. Sedangkan, “akuntan publik yang ditunjuk” merupakan akuntan yang ditunjuk oleh instansi yang berwenang tadi, atau dengan kata lain akuntan publik tersebut bertindak untuk dan atas nama instansi yang berwenang menentukan kerugian keuangan negara.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Sifat penelitian adalah preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Data sekunder dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan. Selanjutnya, data-data tersebut dianalisa dengan menggunakan metode analisa kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Sebaiknya Penyidik Pid.Sus Kejaksaan Tinggi Sumut sebelum melaksanakan penyelidikan dan penyidikan perkara tipikor, sebaiknya terlebih dahulu menyusun rencana tindaklanjut dan
Universitas Sumatera Utara
rencana strategi terutama dalam menjalin hubungan dengan pihak BPK Provinsi Sumatera Utara dan BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Utara untuk membantu melakukan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN); Sebaiknya Kantor Akuntan Publik/Akuntan Publik yang melakukan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) terlebih dahulu melakukan audit kepatuhan terhadap dirinya sendiri; dan Sebaiknya Penyidik Kejaksaan Tinggi Sumut, BPK dan BPKP agar lebih menjalin hubungan yang erat untuk lebih memudahkan dilakukannya Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN). Kata Kunci : Penghitungan Kerugian Keuangan Negara; Kantor Akuntan
Publik/Akuntan Publik; Perkara Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
The case of corruption is a major problem in Indonesia that causes a huge loss of state and affects the decline in the quality of people's lives to disrupt economic stability. In the case of corruption (hereinafter called "Corruption"), as for the authorities to conduct an investigation under the applicable law, among others: the Indonesian Police, the Attorney General's Office and the Corruption Eradication Commission. Based on the authority given by the law mentioned above, to every investigator and investigator to conduct a corruption investigation and investigation, the Police of the Republic of Indonesia, the Attorney General of Indonesia and the Corruption Eradication Commission have the authority to conduct investigation and investigation of Corruption. In the eradication of corruption, the government has promulgated Law no. 31 of 1999 on the Eradication of Corruption as amended by Act No. 20 of 2001 on Amendment to Law no. 31 Year 1999 on the Eradication of Corruption (hereinafter referred to as "Corruption Act"). The most important element of the article in the Corruption Act is "it can harm the state's finances or the state's economy". Thus, the calculation of State Financial Losses (PKKN) is needed in conducting investigations and investigations in cases of corruption.
Regarding who the agency or party is authorized in determining the state financial losses that are not explicitly regulated can be seen in the Elucidation of Article 32 of the Corruption Law which only states that: "The financial loss of the state is a loss that can already be calculated in number based on the findings of the authorized institution or designated public accountant ". Phrases Explanation Article 32 of the Corruption Act clearly indicates the need for an authorized body or accountant to determine the state financial loss. However, in practice, indecision concerning "authorized agencies or appointed public accountants" can lead to multiple interpretations. Elements of the article "authorized agencies" may be translated as authorized institutions or have capacity in the field of accounting or calculate the financial losses of the state or may also be interpreted as the institution authorized in handling cases of corruption. Whereas, the "designated public accountant" is an accountant appointed by the competent authority, or in other words the public accountant acts for and on behalf of the authorized institution determining the state financial loss.
This research is normative juridical research. The nature of the study is prescriptive. The approach used is the statute approach. The type of data used is secondary data derived from primary, secondary, and tertiary legal materials. Secondary data were collected by literature study technique. Furthermore, the data are analyzed by using qualitative analysis method.
The result of the research shows that: The Highest Prosecutor should investigate and investigate corruption cases should first develop a follow-up plan and strategic plan especially in establishing the relationship with the BPK of North Sumatera Province and BPKP North Sumatra Provincial Representative to assist in the calculation State Financial Losses (PKKN); Public Accountant Firm / Public Accountant who perform the State Financial Losses Calculation (PKKN) should first
Universitas Sumatera Utara
conduct self-compliance audit; and Better Investigators of the High Prosecutor's Office of North Sumatra, BPK and BPKP to establish closer relationships to facilitate the calculation of State Financial Losses (PKKN). Keywords : Calculation of State Financial Losses; Public Accountant Office /
Public Accountant; Case of Corruption.
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulilah, Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis serta Nabi Muhammad SAW
atas doa serta syafaatnya, penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta
kemudahan dalam mengerjakan penelitian ini sebagai tugas akhir untuk
menyelesaikan studi Magister Hukum di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Pada penulisan penelitian ini, penulis dengan ketulusan hati, mengucapkan
terima kasih sebesaar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Program Magister (S2) dan
Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., MS., sebagai Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan dorongan, arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis
untuk secepatnya menyelesaikan studi di kampus.
4. Bapak Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Doktor
(S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga
sebagai Dosen Pembimbing III yang memberikan kemudahan dan fokus
Universitas Sumatera Utara
dalam memilih metode penelitian, sehingga penelitian ini menjadi sangat
bermanfaat kepada penulis.
5. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., MS., sebagai Dosen Pembimbing II yang
juga memberikan masukan yang baik dalam penulisan penelitian ini demi
kemajuan penulis.
6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Penguji I yang
dengan tekun memberikan masukan dan kritikan yang membangun dan juga
sebagai panutan penulis untuk segera memasuki jenjang pendidikan yang
lebih tinggi agar dapat menjadi ahli hukum.
7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program
Magister (S2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan
sebagai Dosen Penguji II dan teman seperjuangan semasa kuliah di Fakultas
Hukum yang telah memberikan arahan-arahan dan petunjuk-petunjuk serta
motivasi dan dorongan kepada penulis untuk penyempurnaan penelitian yang
penulis lakukan.
8. Para Dosen dan Tata Usaha Program Studi Magister dan Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama
penulis menjalani studi.
9. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayahanda Alm DJ. Batubara dan
Ibunda Alm R. Nasution yang telah mendidik dan menanamkan budi pekerti
luhur kepada penulis untuk menyongsong masa depan.
Universitas Sumatera Utara
10. Terima kasih penulis kepada istri saya Sri Sulandari dan anakku Gadiza
Callysta Yanda, yang memberikan kesempatan kepada penulis dengan
mengorbankan waktu liburan yang digunakan agar penulis dapat belajar
menyelesaikan studi.
11. Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku : Hasrul Benny
Harahap, S.H., M.Hum., Feridinanta Ginting, S.H., Julisman, S.H., MH.,
yang sudah membantu selama penyelesaian penelitian ini, dan pihak-pihak
yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu, penulis ucapkan
terima kasih.
12. Terakhir ucapan terima kasih kepada Para Pegawai Sekretariat Program
Magister dan Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Fitri Idayanti Lintang, Isniar Handayani, Suganti, Yani, Juli, Hendra,
Herman, dan Hilman, yang telah memberikan bantuan selama ini kepada
penulis selama menyelesaikan studi.
Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua
pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu
hukum di Indonesia.-
Wassalamualaikum wr. wb. Medan, 13 Februari 2018 Hormat Saya, Penulis,
NIM. 157005148/HK MUHAMMAD ISNAYANDA
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI
NAMA : MUHAMMAD. ISNAYANDA
TMPT /TGL LAHIR : MEDAN / 19 NOVEMBER 1973
ALAMAT : JALAN BIAWAK NO. 146 MEDAN
PANGKAT : JAKSA MADYA
GOLONGAN : IV.A
NIP : 197311191999031003
JABATAN : JAKSA FUNGSIONAL SATUAN TUGAS
KHUSUS PENANGANAN DAN
PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA
KORUPSI PADA KEJAKSAAN TINGGI
SUMATERA UTARA
INSTANSI : KEJAKSAAN TINGGI SUMATERA UTARA
AGAMA : ISLAM
NAMA AYAH : DJ. BATUBARA
NAMA IBU : R. NASUTION
ISTERI : SRI SULANDARI
ANAK : GADIZA CALLYSTA YANDA
SUKU / BANGSA : BATAK / INDONESIA
E-MAIL : [email protected]
II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
1. PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH UMUM
a. SD : SD NEGERI 060854 MEDAN (1985)
b. SMP : SMP NEGERI 10 MEDAN (1988)
c. SMA : SMA NEGERI 9 MEDAN (1991)
2. PENDIDIKAN TINGGI
Universitas Sumatera Utara
a. S1 : SARJANA HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (1997)
b. S2 : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM,
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA, MEDAN (2018)
III. RIWAYAT PENDIDIKAN JAKSA
1. DIKLAT TENAGA ADMINISTRASI KEJAKSAAN DI PUSDIKLAT
KEJAKSAAN RI TAHUN 1999;
2. PRA-JABATAN DI PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA
TAHUN 1999;
3. PPJ DI PUSDIKLAT KEJAKSAAN RI TAHUN 2002;
IV. RIWAYAT KEPANGKATAN DAN GOLONGAN
1. YUANA WIRA TU, GOLONGAN III/A TAHUN 1999;
2. AJUN JAKSA MADYA, GOLONGAN III/A TAHUN 1999;
3. AJUN JAKSA, GOLONGAN III/B TAHUN 2002;
4. JAKSA PRATAMA, GOLONGAN III/C TAHUN 2007;
5. JAKSA MUDA, GOLONGAN III/D TAHUN 2010;
6. JAKSA MADYA, GOLONGAN IV/A TAHUN 2015.
IV. RIWAYAT PENUGASAN
1. CPNS DI KEJAKSAAN NEGERI KABANJAHE TAHUN 1999;
2. PNS DI KEJAKSAAN NEGERI KABANJAHE TAHUN 2000;
3. KASUBSI EKONOMI DAN MONETER PADA SEKSI INTELEJEN
KEJAKSAAN NEGERI KABANJAHE TAHUN 2004;
4. JAKSA FUNGSIONAL PADA KEJAKSAAN NEGERI STABAT
TAHUN 2004;
5. KASUBSI PENUNTUTAN PADA SEKSI TINDAK PIDANA UMUM
KEJAKSAAN NEGERI LUBUK PAKAM TAHUN 2006;
Universitas Sumatera Utara
6. PJ. KASI PIDUM PADA KEJAKSAAN NEGERI DUMAI TAHUN
2006;
7. KASI PIDUM PADA KEJAKSAAN NEGERI DUMAI TAHUN 2007;
8. KASI INTELEJEN PADA KEJAKSAAN PANDEGLANG TAHUN
2011;
9. KASI PIDANA UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI PEMATANG
SIANTAR TAHUN 2012;
10. KASI INTELEJEN PADA KEJAKSAAN NEGERI BLITAR TAHUN
2014;
11. JAKSA FUNGSIONAL PADA KEJAKSAAN NEGERI BINJAI
TAHUN 2014;
12. JAKSA FUNGSIONAL SATUAN TUGAS KHUSUS PENANGANAN
DAN PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
PADA KEJAKSAAN TINGGI SUMATERA UTARA TAHUN 2015.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii
PERNYATAAN .................................................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................. vi
ABSTRACT ............................................................................................................ viii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... x
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................. xiii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xx
BAB I : PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 12
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 13
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 13
E. Keaslian Penelitian .................................................................. 14
F. Kerangka Teori dan Konsep .................................................... 16
1. Kerangka Teori ................................................................. 16
2. Kerangka Konsep .............................................................. 27
G. Metode Penelitian .................................................................... 30
1. Jenis Penelitian .................................................................. 31
2. Sifat Penelitian ................................................................... 32
3. Pendekatan Penelitian ........................................................ 32
4. Sumber Data ...................................................................... 33
5. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 36
6. Analisis Data ...................................................................... 36
Universitas Sumatera Utara
BAB II : PENGATURAN PENGHITUNGAN KERUGIAN
KEUANGAN NEGARA DALAM PERKARA TIPIKOR
OLEH AKUNTAN PUBLIK ....................................................... 38
A. Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Yang
Harus Dipenuhi Dalam Perkara Tipikor .................................. 38
1. Unsur Kerugian Keuangan Negara Sebelum Putusan
Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016,
tertanggal 25 Januari 2017 ................................................. 50
2. Unsur Kerugian Keuangan Negara Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016,
tertanggal 25 Januari 2017 ................................................. 55
3. Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Harus Nyata
dan Pasti Jumlahnya .......................................................... 57
B. Kewenangan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara
Dalam Perkara Tipikor ............................................................. 62
1. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI .............................. 63
2. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) 65
3. Akuntan Publik .................................................................. 69
C. Kewenangan Akuntan Publik Dalam Melakukan
Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Perkara
Tipikor Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.
31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012 ......................... 71
D. Pengaturan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam
Perkara Tipikor Oleh Akuntan Publik ..................................... 74
BAB III : PROSEDUR DAN METODE PENGHITUNGAN
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH KANTOR
AKUNTAN PUBLIK DALAM PERKARA TIPIKOR ............. 82
A. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara ............... 82
Universitas Sumatera Utara
1. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh
Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK) .............................. 84
2. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
............................................................................................ 99
3. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh
Instansi Lainnya, Termasuk Kantor Akuntan Publik ......... 102
B. Metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negara ................. 104
1. Kerugian Total (Total Loss) ............................................... 106
2. Kerugian Total Dengan Penyesuaian ................................. 107
3. Kerugian Bersih (Net Loss) ................................................ 108
4. Harga Wajar ....................................................................... 110
5. Harga Pokok ...................................................................... 115
6. Biaya Kesempatan (Opportunity Cost) .............................. 116
7. Bunga (Interest) ................................................................. 117
C. Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Putusan
Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No.
93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn. .............................................. 118
D. Prosedur dan Metode Penghitungan Kerugian Keuangan
Negara Oleh Kantor Akuntan Publik Dalam Perkara Tipikor . 136
BAB IV : KENDALA PENYIDIK TIPIKOR DALAM MENENTUKAN
DAN MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
DENGAN MENGGUNAKAN KANTOR AKUNTAN
PUBLIK SEBAGAI AUDITOR INVESTIGATIF DALAM
PUTUSAN PENGADILAN TIPIKOR PADA PENGADILAN
NEGERI MEDAN NO. 93/PID.SUS-TPK/2016/PN.MDN. ....... 145
A. Kendala Penyidik Tipikor Dalam Menentukan Kerugian
Keuangan Negara Dalam Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas
dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013 ......................... 145
Universitas Sumatera Utara
B. Kendala Penyidik Tipikor Dalam Menghitung Kerugian
Keuangan Negara Dalam Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas
dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013 ......................... 147
C. Kendala Penuntut Umum Dalam Menentukan dan
Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Putusan
Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No.
93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn. ............................................... 149
1. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-
XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017 Telah Menyatakan
Unsur “Dapat” Dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU
Tipikor Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat ... 149
2. Pembayaran Uang Sewa Mobil Kepada CV. Surya
Pratama Telah Sesuai Dengan Prestasi Terhadap Mobil
Yang Diterima dan Digunakan PT. Bank Sumut dari CV.
Surya Pratama .................................................................... 151
3. Pembayaran Uang Sewa Mobil Yang Dibayarkan Pada
Bulan November 2014 s.d. Desember 2014 Merupakan
Pembayaran Yang Legal .................................................... 152
4. Pembayaran Biaya-Biaya Lain Kepada CV. Surya
Pratama Telah Sesuai Dengan Ketentuan Yang Berlaku ... 156
5. Laporan Hasil Audit Investigatif Kantor Akuntan Publik
Tarmizi Achmad Merupakan Penghitungan Kerugian
Keuangan Negara (PKKN) Yang Cacat Hukum ............... 161
BAB V : KESIMPULAN & SARAN .......................................................... 167
A. Kesimpulan ............................................................................... 167
B. Saran ......................................................................................... 169
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 170
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Penelitian Terdahulu ................................................................................ 15
Tabel 2. Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi dan Pasal Yang Digunakan .............. 40
Tabel 3. Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tipikor dan Pasal Yang
Digunakan ................................................................................................ 40
Tabel 4. Laporan Hasil Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara oleh
Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad & Rekan ................................. 119
Tabel 5. Uraian Perhitungan Biaya Yang Tidak Perlu Menurut Laporan Hasil
Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara ........................................ 157
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa tujuan bernegara adalah
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial”. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menentukan secara tegas dan jelas
bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum. Tujuan dari negara yang
menganut sistem negara hukum adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang adil
dan makmur bagi warga negaranya, yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum
(equality before the law). Oleh karenanya, setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.1
1 Supriadi, Etika dan Tanggungjawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm. 127.
Menurut M. Scheltema mengatakan bahwa : “Setiap negara hukum
terdiri dari 4 (empat) asas utama, yaitu : asas kepastian hukum; asas persamaan; asas
Universitas Sumatera Utara
demokrasi; dan asas bahwa pemerintah dibentuk untuk melakukan pelayanan
terhadap masyarakat”.2
Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga memerlukan penanganan yang
luar biasa. Itulah sebabnya membuat tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana
yang luar biasa (an extraordinary crime).
3 Selain itu, upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus-menerus dan
berkesinambungan, serta perlu didukung oleh berbagai sumber daya, baik sumber
daya manusia, maupun sumber daya lainnya. Sumber daya tersebut, seperti
peningkatan kapasitas kelembagaan, serta peningkatan penegakan hukum guna
menumbuhkan kesadaran dan sikap tindak masyarakat yang anti korupsi.4 Kasus
tindak pidana korupsi merupakan permasalahan besar di Indonesia yang
menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat besar dan berpengaruh kepada
turunnya kualitas kehidupan masyarakat mengganggu stabilitas ekonomi. Kasus
tindak pidana korupsi di Indonesia sudah banyak terjadi, dan kasus yang muncul
tersebut tidaklah sedikit.5
Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI
adalah lembaga penegak hukum yang berperan dalam pemberantasan korupsi, kolusi,
2 Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 142.
3 Kejahatan luar biasa (extraordinary crime) wajib diterapkan penegakan hukum luar biasa (extraordinary law). Lihat : Harian Kompas, “Extraordinary Crime – Extraordinary Law”, diterbitkan Selasa, 05 Mei 2015.
4 Nurdjana, dkk (Ed.), Korupsi & Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 20.
5 Chandra Ayu Astuti dan Anis Chariri, “Penentuan Kerugian Keuangan Negara Yang Dilakukan Oleh BPK Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 4, No. 3, 2015, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
dan nepotisme. Kerjasama antar penegak hukum tersebut merupakan suatu hal yang
sangat penting dan fundamental bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Kondisi
ini relevan karena korupsi yang terjadi telah menyebar ke seluruh penjuru ke tanah
air dan sangat besar memang sehingga tidak mungkin dilawan sendirian. Korupsi
idealnya harus diberantas secara bersama-sama.6
6 Tama S. Langkun, dkk., Naskah Akademik dan Rancangan Revisi Kesepakatan Bersama Antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cet. Ke-1, (Jakarta : Indonesia Corruption Watch & Eropa Union (EU) – UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime), 2013), hlm. 5.
Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah telah
mengundangkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut “UU Tipikor”). unsur
pasal yang paling utama dalam UU Tipikor tersebut adalah “dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara”. Dengan demikian, Perhitungan
Kerugian Keuangan Negara (PKKN) sangat dibutuhkan dalam melakukan
penyelidikan dan penyidikan dalam kasus tindak pidana korupsi.
Meskipun dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor mengatur mengenai
unsur kerugian keuangan negara sebagai delik korupsi, namun regulasi ini tidak
menyebutkan secara eksplisit mengenai siapa instansi atau pihak mana yang
berwenang dalam menentukan kerugian keuangan negara. Pasal 2 ayat (1) UU
Tipikor menyatakan bahwa tindak pidana korupsi, meliputi :
Universitas Sumatera Utara
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Miliar Rupiah)”. Sedangkan, menurut Pasal 3 UU Tipikor, menyatakan tindak pidana korupsi,
meliputi :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Miliar Rupiah)”. Mengenai siapa instansi atau pihak mana yang berwenang dalam menentukan
kerugian keuangan negara yang tidak diatur secara eksplisit tersebut dapat dilihat
dalam Penjelasan Pasal 32 UU Tipikor yang hanya menyebutkan, bahwa : “Kerugian
keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan
hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”.7
Frase Penjelasan Pasal 32 UU Tipikor jelas menunjukkan pada perlunya
badan atau akuntan yang berwenang menentukan kerugian keuangan negara. Namun,
pada praktiknya, ketidaktegasan mengenai “instansi yang berwenang atau akuntan
publik yang ditunjuk” dapat menimbulkan multi tafsir. Unsur pasal “instansi yang
berwenang” dapat diterjemahkan sebagai instansi yang berwenang atau memiliki
7 Emerson Yuntho, dkk, Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara Dalam Delik Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Indonesian Corruption Watch bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Semarang, Maret 2014), hlm. 57.
Universitas Sumatera Utara
kapasitas dalam bidang akuntansi atau menghitung kerugian keuangan negara atau
dapat pula ditafsirkan sebagai institusi yang berwenang dalam penanganan perkara
korupsi.8 Sedangkan, “akuntan publik yang ditunjuk” merupakan akuntan yang
ditunjuk oleh instansi yang berwenang tadi, atau dengan kata lain akuntan publik
tersebut bertindak untuk dan atas nama instansi yang berwenang menentukan
kerugian keuangan negara.9
Pengertian kerugian keuangan negara menurut Pasal 1 ayat (22) Undang-
Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU
Perbendaharaan Negara) adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja
maupun lalai. Berangkat dari pengertian kerugian keuangan negara menurut Pasal 2
ayat (1) UU Tipikor dan Pasal 1 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat dua jenis kerugian keuangan negara yaitu kerugian
negara yang sifatnya nyata atau “tangible” dan pasti jumlahnya serta kerugian
keuangan negara yang sifatnya dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. Kata “dapat merugikan keuangan negara” memiliki arti bahwa suatu
tindakan yang berpotensi dapat merugikan keuangan negara sudah termasuk ke
dalam tindakan korupsi. Artinya, segala tindakan persiapan yang dapat merugikan
keuangan negara nantinya sudah termasuk ke dalam tindak pidana korupsi.
8 Ibid. 9 Pasal 6 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2007 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara, menyatakan bahwa : “SPKN ini berlaku bagi : a. Badan Pemeriksa Keuangan; b. Akuntan Publik atau pihak lainnya yang melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara, untuk dan atas nama Badan Pemeriksa Keuangan”.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun belum ada kerugian keuangan negara yang riil terjadi, akan tetapi telah
terdapat potensi kerugian negara yang timbul.
Unsur kata “dapat” di dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sebelum
frase “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, telah dianulir
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25
Januari 2017. Di dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi RI berpendapat
bahwa10
10 Pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017. Selanjutnya dipertimbangkan bahwa : “Pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor membuat delik kedua pasal tersebut menjadi delik formil sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 003/PUU-IV/2006, tertanggal 25 Juli 2006. Hal tersebut yang seringkali disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan yang diambil bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya; Menimbang, bahwa kriminalisasi kebijakan sering terjadi karena terdapat perbedaan pemaknaan kata “Dapat” dalam unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh Aparat Penegak Hukum, untuk itu, pencantuman kata “Dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945; Menimbang, bahwa selain itu, kata “Dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa), oleh karenanya bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945; Menimbang, bahwa penerapan unsur “Merugikan Keuangan Negara” dengan menggunakan konsepsi actual loss lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional seperti dalam UU Administrasi Pemerintahan; Menimbang, bahwa dengan demikian unsur “Yang Dapat Merugikan Keuangan Negara Atau Perekonomian Negara” menjadi “Yang Merugikan Keuangan Negara Atau Perekonomian Negara”, oleh karena itu dibutuhkan hasil audit kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti (actual loss), bukan yang dibuat-buat sehingga mengakibatkan kriminalisasi bagi Terdakwa”.
:
“Kata ‘dapat’ dalam ketentuan korupsi seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor inkonstitusional, Mahkamah berpendapat kata ‘dapat’ dalam ketentuan tersebut menimbulkan banyak penafsiran yang hanya mengarah pada indikasi ‘potensi kehilangan’ (potential loss), sehingga bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, penghitungan kerugian keuangan negara menjadi wajib
dilaksanakan terlebih dahulu dalam penyelidikan sebelum menentukan tersangka
dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh penegak hukum.
Perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus tindak pidana korupsi
berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut UU BPK), dilakukan oleh lembaga yang
berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara, dalam hal ini
adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).11 Kerugian negara sendiri adalah
kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya
sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai.12
Selain BPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga
berwenang untuk menetapkan mengenai adanya kerugian negara. Ini terkait dengan
fungsi BPKP yaitu melaksanakan pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan.
Kewenangan badan ini dituangkan dalam Surat Keputusan Presiden RI No. 31 Tahun
1983 yang pada intinya menyatakan bahwa BPKP memiliki kewenangan menghitung
kerugian Negara. Namun dalam perkembangannya, kewenangan BPKP dalam
11 Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, menyatakan bahwa : “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, yang dilakukan oleh Bendahara, Pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.
12 Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang menyatakan bahwa : “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Lihat juga : Theodorus M. Tuanakkota, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Salemba Empat, 2009), hlm. 89, yang menyatakan bahwa : “Sedangkan pengertian kerugian keuangan atau kekayaan Negara yang dimaksud dalam Buku Petunjuk ini adalah suatu kerugian Negara yang tidak hanya bersifat riil yaitu benar-benar telah terjadi namun juga yang bersifat potensial yaitu yang belum terjadi seperti adanya pendapatan Negara yang akan diterima dan lain sebagainya”.
Universitas Sumatera Utara
menghitung kerugian keuangan negara mulai banyak dipersoalkan, khususnya dalam
kaitannya dengan penanganan perkara korupsi. Bahkan tidak sedikit yang berujung
pada gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).13
Kewenangan BPKP untuk menghitung kerugian keuangan negara, menurut
Dian Puji Simatupang, sebagai ahli hukum anggaran negara dan keuangan publik
dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyatakan bahwa : “BPKP sudah tidak
lagi berwenang memeriksa dan menghitung kerugian negara pasca diterbitkannya
Keputusan Presiden RI No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen”.
14
13 Emerson Yuntho, dkk, Op.cit., hlm. 58. Lihat juga : Putusan Mahkamah Agung RI No. 75 PK/TUN/2015, tertanggal 13 Oktober 2015 Jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 263 K/TUN/2014, tertanggal 21 Juli 2014 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 167/B/2013/PT.TUN.JKT., tertanggal 28 Januari 2014 Jo. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 231/G/2012/PTUN-JKT., tertanggal 01 Mei 2013 an. Para Penggugat Ir. Indar Atmanto, dkk., melawan BPKP RI, dkk., yang tingkat pertama telah menyatakan tidak sah Surat Deputi Kepala Bidang Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Bidang Investigasi No. SR-1024/D6/01/2012 tanggal 9 November 2012, perihal : Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Atas Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Penggunaan Jaringan Frekwensi Radio 2,1 GHZ/Generasi Tiga (3G) oleh PT. Indosat, Tbk., dan PT. Indosat Mega Media (IM2) beserta lampiran yang berupa Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara tanggal 31 Oktober 2012 yang dibuat oleh Tim BPKP. Namun, terhadap putusan tersebut telah dibatalkan pada tingkat Judex Juris di Mahkamah Agung RI.
Belum lagi, selesai pertentangan mengenai siapa yang berhak
menghitung kerugian keuangan negara antara BPK dan BPKP, sekarang muncul
Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012
yang menegaskan bahwa Penyidik Tindak Pidana Korupsi berhak melakukan
koordinasi dengan lembaga apapun, termasuk BPK dan BPKP, atau lembaga lain
14 Website Hukumonline.com, “Kerugian Negara Kasus Bukopin Dihitung Akuntan Publik Dikhawatirkan, Hasil Penghitungan Kerugian Negara dari Kantor Akuntan Publik Dipertanyakan di Pengadilan”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/t50d66933c7b71/kerugian-negara-kasus-bukopin-dihitung-akuntan-publik., diakses pada hari Jumat tanggal 14 Oktober 2016.
Universitas Sumatera Utara
yang mempunyai kemampuan menentukan kerugian negara. Penilaiannya
bergantung sepenuhnya kepada Majelis Hakim.15
1. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI);
Berdasarkan putusan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi RI mencoba
memperluas penafsiran instansi yang berwenang dalam menghitung kerugian negara,
yaitu :
2. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP-RI);
3. Instansi Lainnya, misalnya mengundang Ahli atau dengan meminta bahan
dari Inspektorat Jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama
dengan itu dari masing-masing Instansi Pemerintah;
4. Pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan) yang dapat menunjukkan
kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau
dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya.
Tidak hanya menggunakan BPK dan BPKP, ternyata pihak Kejaksaan Agung
RI pernah memakai jasa Kantor Akuntan Publik dalam melakukan penghitungan
kerugian negara terhadap penanganan perkara korupsi. Hal ini terjadi dalam
penanganan perkara dugaan korupsi pencairan kredit di Bank Bukopin. Saat itu
Kejaksaan Agung RI menunjuk Kantor Akuntan Publik Nursehan dan Sinarharja
15 Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012, hlm. 53, pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa : “... oleh sebab itu menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang Ahli atau dengan meminta bahan dari Inspektorat Jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditangani...”.
Universitas Sumatera Utara
untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi
fasilitas kredit PT. Bank Bukopin, Tbk. Berdasarkan pemeriksaan Kantor Akuntan
Publik Nursehan dan Sinarharja, kerugian keuangan negara mencapai Rp.
59.584.529.500,- (Lima Puluh Sembilan Miliar Lima Ratus Delapan Puluh Empat
Juta Lima Ratus Dua Puluh Sembilan Ribu Lima Ratus Rupiah) yang dituangkan
dalam Surat Kantor Akuntan Publik Nursehan dan Sinarharja No.
110/NNS/Sket/XII/12, tertanggal 13 dan 17 Desember 2012. Hal ini dilakukan
karena BPK dan BPKP tidak mau menghitung kerugian keuangan negara.16
Selain, perkara tersebut di atas Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara
(selanjutnya disebut Kejati Sumut) juga pernah melakukan penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana korupsi terhadap PT. Bank Sumut dalam perkara dugaan
“Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Sewa Mobil Kendaraan Dinas Operasional
Kantor PT. Bank Sumut Tahun 2013” yang audit kerugian keuangan negaranya
dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad. Menurut Laporan Hasil
Audit Investigatif yang dibuat dan dituangkan dalam Surat Kantor Akuntan Publik
(KAP) Tarmizi Achmad No. 055/KAP-TA/PKKN/VI/2016, tertanggal 20 Juni 2016
perihal Penyampaian Laporan Hasil Audit Investigatif Perhitungan Kerugian
16 Majalah Tempo, “Kejaksaan Periksa Komisaris Utama Bukopin”, diterbitkan Senin, 15 September 2008. Lihat juga : Website Hukumonline, “Tersangka Korupsi Bukopin Diperiksa Sebagai Saksi”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt511b94a4b779b/tersangka-korupsi-bukopin-diperiksa-sebagai-saksi., diakses pada hari Kamis, tanggal 13 April 2017, bahwa : “Kasus ini bermula ketika Bukopin memberikan bantuan kredit kepada PT Agung Lestari Pratama sebesar Rp69,8 miliar pada tahun 2004. Fasilitas kredit itu diberikan untuk pendanaan drying center atau alat pengering gabah sebanyak 45 unit pada Bulog Divre Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Fasilitas kredit tersebut diduga tidak diberikan sesuai prosedur. Penyidik juga menduga fasilitas kredit tidak digunakan sebagaimana mestinya karena ada perbedaan spesifikasi merek dan jenis mesin. Mesin yang seharusnya dibeli dengan merek Global Gea buatan Taiwan, diganti dengan merek Sincui yang ditempeli merek Global Gea”.
Universitas Sumatera Utara
Keuangan Negara Atas Dugaan Korupsi Dana Pengadaan “Sewa Menyewa
Kendaraan Operasional PT. Bank Sumut Tahun Anggaran 2013 dan 2014”, kerugian
keuangan negara adalah sebesar Rp. 11.918.799.459,- (Sebelas Miliar Sembilan
Ratus Delapan Belas Juta Tujuh Ratus Sembilan Puluh Sembilan Ribu Empat Ratus
Lima Puluh Sembilan Rupiah). Namun, di dalam Laporan Hasil Audit Investigatif,
tertanggal 30 Agustus 2016, kerugian keuangan negara dalam perkara dimaksud
adalah sebesar Rp. 10.820.655.831,- (Sepuluh Miliar Delapan Ratus Dua Puluh Juta
Enam Ratus Lima Puluh Lima Ribu Delapan Ratus Tiga Puluh Satu Rupiah).17
Dalam praktik sering terjadi perbedaan mengenai besarnya kerugian
keuangan negara mengingat adanya beberapa cara atau metode dalam menghitung
kerugian keuangan negara. Dilihat dari beberapa definisi kerugian keuangan negara
menurut undang-undang, kerugian negara tidak hanya menyangkut berkurangnya
uang atau aset negara tetapi juga berkaitan dengan timbulnya kewajiban negara yang
seharusnya tidak ada. Pada praktiknya, penentuan kerugian keuangan negara lebih
menekankan kepada kerugian tangible dan tidak membahas kerugian yang sifatnya
potensi kerugian di masa mendatang.
18
17 Bandingkan Surat Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad No. 055/KAP-TA/PKKN/VI/2016, tertanggal 20 Juni 2016 perihal Penyampaian Laporan Hasil Audit Investigatif Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Atas Dugaan Korupsi Dana Pengadaan “Sewa Menyewa Kendaraan Operasional PT. Bank Sumut Tahun Anggaran 2013 dan 2014” dengan Laporan Hasil Audit Investigatif, tertanggal 30 Agustus 2016. Lihat : Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017 an. Terdakwa M. Yahya dan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No. 94/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 94/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017 an. Terdakwa M. Jefri Sitindaon.
18 Chandra Ayu Astuti dan Anis Chariri, “Penentuan Kerugian Keuangan Negara Yang Dilakukan oleh BPK Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 4, No. 3, 2015, hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
Masih menurut Dian Puji Simatupang, berpendapat bahwa Kantor Akuntan
Publik tidak berwenang menghitung kerugian keuangan negara. Sesuai Pasal 10 ayat
(1) UU BPK, lembaga yang berwenang adalah BPK. BPK berwenang memeriksa,
menetapkan, dan menilai kerugian negara. BPKP sudah tidak lagi berwenang
memeriksa dan menghitung kerugian negara pasca diterbitkannya Keputusan
Presiden RI No. 103 Tahun 2001. Selanjutnya, Kantor Akuntan Publik
dimungkinkan menghitung kerugian negara asalkan BPK memberi mandat sesuai
UU BPK.19
B.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penelitian berjudul :
“Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh Kantor Akuntan Publik
Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi : Putusan Pengadilan Tipikor
Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal
16 Februari 2017)”, layak untuk dikaji lebih lanjut.
Rumusan Masalah
Sesuai uraian latar belakang tersebut di atas, timbul permasalahan yang dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan penghitungan kerugian keuangan negara dalam
perkara tindak pidana korupsi yang dihitung oleh Akuntan Publik?
2. Bagaimana prosedur dan metode penghitungan kerugian keuangan negara
oleh Kantor Akuntan Publik dalam perkara tindak pidana korupsi?
19 Website Hukumonline.com, “Kerugian Negara Kasus Bukopin Dihitung Akuntan Publik Dikhawatirkan, Hasil Penghitungan Kerugian Negara dari Kantor Akuntan Publik Dipertanyakan di Pengadilan”, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
3. Bagaimana kendala yang dihadapi Penyidik Tindak Pidana Korupsi dalam
menentukan dan menghitung kerugian keuangan negara dengan
menggunakan Kantor Akuntan Publik sebagai auditor investigatif dalam
Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-
TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penelitian ini sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan penghitungan kerugian
keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi yang dihitung oleh
Akuntan Publik.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis prosedur dan metode penghitungan
kerugian keuangan negara oleh Kantor Akuntan Publik dalam perkara tindak
pidana korupsi.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala yang dihadapi Penyidik Tindak
Pidana Korupsi dalam menentukan dan menghitung kerugian keuangan
negara dengan menggunakan Kantor Akuntan Publik sebagai auditor
investigatif dalam Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri
Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017.
D. Manfaat Penelitian
Adapun penelitian bermanfaat secara teoretis dan praktis, sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Secara Teoretis
a. Bagi akademisi, dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk melakukan
penelitian selanjutnya;
b. Bagi pendidikan, dapat memperkaya khasanah kepustakaan.
2. Secara Praktis
a. Bagi Penulis, sebagai salah satu syarat dan tugas akhir untuk memperoleh
Gelar Magister Hukum dalam mengikuti Program Studi Magister Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
b. Bagi Akuntan Publik, dapat memperoleh pengetahuan dalam melakukan
penghitungan kerugian keuangan negara agar tidak melakukan
penghitungan di luar prosedur penghitungan kerugian keuangan negara
yang berlaku;
c. Bagi Penegak Hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, terdiri
dari : Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan KPK RI sebagai lembaga negara
yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
korupsi agar mengetahui bagaimana menggunakan Akuntan Publik dalam
menghitung kerugian keuangan negara sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan, khususnya
Perpustakaan USU, maupun Perpustakaan Cabang USU di Fakultas Hukum USU,
Universitas Sumatera Utara
bahwa penelitian ini yang berjudul : “Penghitungan Kerugian Keuangan Negara
Oleh Kantor Akuntan Publik Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi :
Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-
TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017)”, belum pernah dilakukan.
Namun, ada beberapa penelitian yang membahas tentang kerugian keuangan negara,
akan tetapi, bukan yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Rumusan
masalah pada penelitian tersebut juga berbeda dari penelitian ini, antara lain :
Tabel 1 Penelitian Terdahulu
NO. JUDUL PENELITIAN PERMASALAHAN NAMA MAHASISWA
1. FUNGSI DAN PERANAN AUDITOR BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM POLDA SUMUT Tesis diterbitkan 21 April 2009
- Kedudukan hukum hasil audit dikaitkan pada formil sistem pembuktian;
- Hubungan kerja antara BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Utara dengan institusi Polri Polda Sumut dalam menyelidik tipikor;
- Kendala dan pelaksanaan fungsi dan peranan audit investigatif BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Utara dalam pengungkapan tindak pidana korupsi di wilayah hukum Polda Sumut.
BUDIMAN BUTAR-BUTAR
077005034/HK
2.
KEWENANGAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Tesis diterbitkan 05 November 2009
- Kewenangan Polri, Jaksa, dan KPK
dalam pemberantasan tipikor; - Hambatan yuridis yang dihadapi
Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di Polda Sumut.
RUMIDA SIANTURI
077005105/HK
Sumber : Database Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Cabang Universitas Sumatera Utara di Fakultas Hukum USU, diakses hari Kamis, tanggal 13 April 2017.
Universitas Sumatera Utara
Penulisan penelitian ini memiliki judul, rumusan masalah, dan tujuan
penelitian yang berbeda. Begitu juga dengan kajiannya, yaitu mengenai
penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik
(KAP) dalam perkara tindak pidana korupsi, baik itu mengenai rumusan masalah
maupun kajiannya tidak ada yang sama dengan penelitian terdahulu. Oleh karena itu,
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik berupa isi maupun
contoh-contoh kasus yang dipaparkan.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teori
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro, bahwa untuk memberikan
landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan
pemikiran teoritis.20
Unsur untuk dikatakan bahwa adanya perbuatan pidana korupsi adalah
didasarkan pada adanya kesalahan berupa kesengajaan (dolus, opzet, dan intention)
yang diwarnai dengan sifat melawan hukum. Kemudian sifat melawan hukum
tersebut dimanifestasikan dalam suatu tindak pidana. Kesalahan berupa kealpaan
atau culpa yang diartikan sebagai akibat kurang kehati-hatian secara tidak sengaja
terjadinya sesuatu hal. Dalam bahasa Belanda asas tiada pidana tanpa kesalahan
dikenal dengan istilah “Geen Straf Zonder Schuld”. Asas ini tidak dijumpai di dalam
20 Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 37.
Universitas Sumatera Utara
KUHP sebagaimana halnya asas legalitas, karena asas ini adalah asas yang ada
dalam bentuk hukum tidak tertulis.21 Terhadap hal tersebut, apabila diabstraksikan
dalam konteks grand theory berdasarkan teori Friedrich Carl von Savigny, akan
tergambar bahwa asas geen straf zonder schuld sebagai hukum yang hidup dan
berkembang di dalam masyarakat dan diakui sebagai hukum.22 Hal ini sesuai dengan
suatu teori hukum pidana yang menyatakan bahwa hukum pidana lahir karena suatu
proses rasional yang terjadi dalam masyarakat, hukum pidana merupakan suatu
usaha yang rasional untuk mengkodefikasikan “kehendak masyarakat”.23
Asas diartikan sebagai “a principle is the broad reason which lies at the base
of rule of law”.
24
21 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta : Liberty, 1980), hlm. 3. 22 Menurut Friedrich Carl von Savigny, hukum yang baik itu berasal dari “jiwa masyarakat”
atau dikenal dengan sebutan “volksgeist”. Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (“das rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke”). Dengan demikian, hukum itu lahir dari jiwa masyarakat yang mengakomodasi masyarakat. Lihat : Friedrich Carl von Savigny dalam Agung Yuriandi, “Perbandingan Teori Hukum Roscoe Pound & Carl von Savigny Dipandang dari Perspektif Politik Hukum”, makalah Program Studi Magister Ilmu Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008, hlm. 2.
23 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Jakarta : Putra A. Bardin, 1996), hlm. 63.
24 George Whitecross Paton, A Text Book of Jurisprudence, Ed. Ke-2, (Oxford : At The Clarendon Press, 1951), hlm. 176. Bandingkan juga : Bellefroid dalam Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta : Liberty, 1988), hlm. 32, bahwa pengertian asas hukum ada norma dasar yang dijabarkan dalam hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengedepanan hukum positif dalam suatu masyarakat.
Ada dua hal yang terkandung dalam makna asas tersebut, yaitu :
Pertama, asas merupakan pemikiran, pertimbangan, sebab yang luas atau umum,
abstrak (the board reason); Kedua, asas merupakan hal yang mendasari adanya
norma hukum (the base of rule of law). Oleh karenanya, asas hukum tidak sama
dengan norma hukum, walaupun adakalanya norma hukum itu sekaligus merupakan
asas hukum. Asas legalitas yang dianut oleh KUHAP pada dasarnya merupakan
Universitas Sumatera Utara
pengejawantah dari teori hukum positif yang dikemukakan oleh John Austin dengan
aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai a command of the
law giver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu
perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang
kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat
tertutup (closed logical system), teori John Austin ini juga dijadikan sebagai grand
theory dalam menganalisis objek penelitian.25
Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan
pada penilaian baik-buruk.
26 Mengenai keadilan (justice) ini seorang Guru Besar
dalam bidang filosofis moral dari Glasgow University pada tahun 1750, sekaligus
pula sebagai ahli teori hukum, “Bapak Ekonomi Modern”, yakni Adam Smith
mengatakan bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian (the end
of justice is to secure from injury).27
“Ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun
Dalam teori analisis ekonomi terhadap hukum digunakan teori Posner yang
menyatakan bahwa :
25 Ibid. 26 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung : Mandar Maju,
2002), hlm. 55. 27 R.L. Meek, D.D. Raphael, dan P.G. Stein dalam Bismar Nasution, “Pengkajian Ulang
Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, Pidato diucapkan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara di Gelanggang Mahasiswa USU, pada hari Sabtu, tanggal 17 April 2004, hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam hukum perbankan”.28
Dengan kata lain, pendekatan ekonomi terhadap hukum memfokuskan
pemikiran tentang bagaimana hukum-hukum yang ada agar dapat membantu
meningkatkan efisiensi ekonomi, baik pada awal pembentukan hukum melalui badan
legislatif, melalui pendekatan hukum adat, hukum kontrak, dan hukum pidana.
Dengan demikian, secara langsung maupun tidak langsung, hukum
berpengaruh dalam setiap aktivitas ekonomi, karena hukum merupakan payung yang
melindungi para pelaku usaha. Peranan hukum dalam aktivitas ekonomi terlihat,
contohnya dalam menentukan kerugian keuangan negara yang mengakibatkan
terganggunya perekonomian negara sesuai unsur Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU
Tipikor. Dalam hal ini hukum berfungsi mencegah negara mengalami kerugian yang
besar namun tidak terlepas dari pengendalian pelaksanaan pembangunan oleh
pemerintah.
29
Selain itu, dalam menentukan adanya kerugian keuangan negara, harus ada
asas kesalahan yang merupakan asas yang diterapkan dalam pertanggungjawaban
pidana. Artinya pidana hanya dijatuhkan terhadap mereka yang benar-benar telah
melakukan kesalahan dalam suatu tindak pidana. Adapun mengenai pengertian
“kesalahan” ini, Mezger mengatakan bahwa : “Kesalahan adalah keseluruhan syarat
yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana”.
30
28 Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan Teori Hukum : Teori Analisa Ekonomi”, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009.
29 Ibid. 30 Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung : Sinar Baru, 1983), hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kesalahan itu
mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan
itu, brarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Dilihat dari sudut
dogmatis normatif akan tergambar bahwa masalah pokok dari hukum pidana, yaitu31
a. “Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana;
:
b. Syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/memper-
tanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu;
c. Sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang itu”.
Selanjutnya, ketika membahas delik-delik ekonomi, Mardjono Reksodiputro
dengan mengikuti pembahasan Lawrence M. Friedman tentang “Criminal Law in a
Changing World” menunjukkan kepada perubahan dalam nilai-nilai masyarakat
tentang sistem ekonomi yang dianutnya ke arah pengaturan dan pengendalian,
sehingga menyebabkan sejumlah perbuatan menjadi dinilai sebagai tercela atau perlu
dipidana. Secara umum perbuatan ini dinamakan “tindak pidana ekonomi (economic
crimes)”.32
31 Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa ketiga masalah pokok itu biasa disebut secara singkat dengan istilah masalah tindak pidana, masalah kesalahan, dan masalah pidana. Lihat : Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 111.
32 Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminolog) Universitas Indonesia, 1997), hlm. 1.
Dengan delik-delik baru ini, menurut pendapatnya, kepentingan-
kepentingan baru yang tidak dikenal dalam delik-delik lama perlu dilindungi, dan
dalam penuntutan terhadap delik-delik baru ini asas dan konsep lama dalam hukum
pidana.
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan antara delik kesengajaan dan kelalaian di dalam hukum pidana,
semata-mata diperlukan dalam pemidanaan dan bukan penghapusan kesalahan. Oleh
karena itu, pada hakikatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan terhadap individu
yang dianggap bersalah dalam terjadinya suatu tindak pidana.
Ajaran kesalahan ini diperluas dalam ajaran penyertaan, sehingga bukan saja
pertanggungjawaban pidana dimintakan kepada mereka yang nyata-nyata berbuat,
akan tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh, ikut serta, dan mereka yang
menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana. Bahkan juga terhadap
mereka yang ikut membantu terjadnya suatu tindak pidana. Kecuali yang membantu,
mereka yang menyuruh, ikut serta dan menggerakkan diklasifikasi sama dengan
seorang pelaku. Dengan demikian ancaman pidananya sama dengan mereka yang
nyata-nyata berbuat. Misalnya, apabila sudah menyangkut tindak pidana ekonomi
seperti korupsi, terhadap mereka yang membantu, dianggap, sehingga ancaman
pidananya adalah sama dengan mereka yang melakukan tindak pidana korupsi.
Demikian juga mereka yang mencoba melakukan tindak pidana korupsi dianggap
telah melakukan tindak pidana korupsi, sehingga tanggungjawabnya adalah sama
seperti apabila telah selesai melakukan.
Prinsip adanya dolus dan culpa perlu dilakukan adanya bukti berdasarkan
kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku (liability on fault or
negligence atau fault liability). Prinsip ini apabila dikaitkan dengan pelaku kejahatan
korupsi tentunya sulit untuk dibuktikan. Oleh karenanya perlu penerapan asas hukum
yang meminta pertanggungjawaban pelaku tanpa membuktikan adanya unsur
Universitas Sumatera Utara
kesalahan atau adanya pertanggungjawaban ketat (strict liability) tanpa harus
dibuktikan ada atau tidak adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana.33
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pihak yang melakukan penghitungan
kerugian keuangan negara adalah BPK RI, BPKP RI, dan Akuntan Publik yang
bertindak untuk dan atas nama BPK RI sesuai Pasal 6 Peraturan Badan Pemeriksa
Keuangan RI No. 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Jadi, Akuntan Publik dapat melakukan penghitungan kerugian keuangan negara
terhadap suatu perkara tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan penyelidikan
dan penyidikan oleh penegak hukum. Namun, harus bertindak untuk dan atas nama
Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam asas strict liability adalah perlu
adanya kehati-hatian terhadap keseimbangan antara kepentingan individu dengan
kepentingan masyarakat. Hal ini dikarenakan pertanggungjawaban pidana
mengalami perubahan paradigma dari konsepsi kesalahan yang diperluas menjadi
konsepsi ketiadaan kesalahan sama sekali. Konsep ini telah diakomodir dalam UU
Tipikor, yakni dianutnya asas beban pembuktian terbalik. Namun, tidak dibarengi
dengan sistem hukum acara pidana yang menganut asas sistem pembuktian stelsel
negative dengan adanya bukti permulaan untuk dilakukannya penyidikan dan
penuntutan.
33 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 105, menyatakan bahwa : “Dilihat dari sejarah perkembangannya prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kepada unsur kesalahan (liability on fault or negligence fault liability) merupakan reaksi terhadap prinsip atau teori pertanggungjawaban mutlak no fault liability atau absolut/strict liability yang dilakukan pada zaman masyarakat primitif. Pada masa itu berlaku suatu rumus (formula) : “a man acts at his peril”, yang berarti bahwa perbuatan apapun yang dilakukan seseorang, bila merugikan orang lain, akan menyebabkan dia dipersalahkan telah melanggar hukum”.
Universitas Sumatera Utara
BPK RI, artinya Akuntan Publik tersebut harus ditunjuk oleh BPK RI untuk
melakukan penghitungan kerugian keuangan negara.34
Hasil audit kerugian keuangan negara, biasanya dituangkan dalam Laporan
Hasil Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara. Laporan ini sebagai penerapan
pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti. Untuk penerapan jenis
Kantor Akuntan Publik dapat dipakai untuk menghitung kerugian keuangan
negara hanya atas dasar permintaan dari Badan Pemeriksa Keuangan RI, yang hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh KAP dimaksud hanya sebagai bahan pedoman
bagi BPK RI untuk menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara,
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan BPK No. 1 Tahun 2007, sehingga KAP
“secara langsung” tidak berwenang untuk melakukan ataupun menyampaikan hasil
audit tentang adanya kerugian keuangan negara.
Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mendapatkan
kewenangan untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara adalah
berdasarkan Pasal 1 angka 1 Jo. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun
2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Ketentuan tersebut telah memerintahkan
BPK RI sebagai satu-satunya Lembaga Negara yang bertugas memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta menetapkan kerugian negara
yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai yang
dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain
yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
34 Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012 yang dipakai oleh Penuntut Umum sebagai landasan untuk menunjuk Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk melakukan Penghitungan Kerugian Negara.
Universitas Sumatera Utara
pidana tambahan ini memang dibutuhkan kemampuan reformasi banyak pihak,
karena berkaitan dengan kemampuan para penegak hukum dalam menghitung
kerugian keuangan negara. Secara jujur harus diakui bahwa kemampuan Jaksa
Penuntut Umum dan para hakim untuk menghitung kerugian keuangan negara yang
timbul dalam perkara korupsi tertentu sangatlah diragukan. Dengan demikian untuk
penghitungan kerugian keuangan negara tersebut, maka para penegak hukum,
terpaksa bergantung kepada penghitungan dari para ahli, maupun meminta bantuan
dari Badan Pemeriksa Keuangan RI.35
Sebelum sebuah perkara tindak pidana korupsi dilimpahkan ke Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri setempat, di dalam penanganan
perkara tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan RI, maka terlebih dahulu akan
dilakukan tahap penyelidikan, tahap penyidikan, dan tahap penuntutan. Hal ini tentu
saja tidak dapat dipisahkan dari tahapan-tahapan penanganan perkara, sebagaimana
diatur dalam ketentuan Peraturan Jaksa Agung RI No. PERJA-039/A/JA/10/2010
Apabila penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh BPK
RI atau Akuntan Publik yang bertindak untuk dan atas nama BPK RI sebagai ahli
tersebut bersifat kabur, maka akan sulit bagi para hakim untuk menjatuhkan pidana
tambahan dalam bentuk uang pengganti. Itulah sebabnya sebagian besar perkara
korupsi yang diadili sangat jarang disertai dengan penjatuhan pidana tambahan uang
pengganti.
35 Ahmad Gunaryo, Kumpulan Karya Ilmiah Yang Berjudul Wajah Hukum di Era Reformasi, Dalam Rangka Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 84.
Universitas Sumatera Utara
tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana
Khusus.
Sumber penyidikan tindak pidana korupsi terdiri dari36
a. “Adanya laporan atau pengaduan dari masyarakat;
:
b. Pelimpahan instansi auditor BPK/BPKP/Inspektorat;
c. Berdasarkan temuan di lapangan”.
Tim penyidikan ditunjuk atas dasar Surat Perintah Penyidikan yang
diterbitkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri atau pejabat teknis setingkat dibawahnya
atas nama dan sepengetahuan Kepala Kejaksaan Negeri dengan mengutamakan Jaksa
yang tergabung dalam tim penyelidikan. Tim penyidikan sekurang-kurangnya terdiri
dari Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus selaku koordinator tim merangkap anggota
tim dan 3 (tiga) orang Jaksa selaku anggota tim.
Setelah dimulainya penyidikan, penyidik harus memberitahukan telah
dimulainya penyidikan kepada Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri setempat.
Demikian juga hal tersebut harus dilakukan penyidik dari Kejaksaan, dalam hal ini
penyidik tetap harus menyampaikan SPDP tersebut ke Jaksa Penuntut Umum
Kejaksaan Negeri setempat melalui nota dinas. Setelah penerimaan SPDP, maka
Kepala Kejaksaan Negeri menerbitkan Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut
Umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara pidana atau biasa disebut
P-16 kemudian diikuti dengan surat perintah penunjukan petugas pelaksana
administrasi penanganan perkara tindak pidana.
36 Peraturan Jaksa Agung RI No. PERJA-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus
Universitas Sumatera Utara
Maksud penerimaan berkas perkara Tahap I adalah penerimaan berkas
perkara hasil penyidikan dari penyidik, jadi berkas perkara tersebut dikirim oleh
penyidik apabila penyidikan yang telah dilakukan dinyatakan telah selesai. Dari
ketentuan pasal di atas disebutkan bahwa penyidik wajib segera menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum. Setelah pemberkasan yang
dilakukan penyidik selesai maka penyidik mengirimkan berkas perkara tersebut
kepada Kejaksaan Negeri setempat. Setelah menerima berkas perkara dari Penyidik,
Jaksa Penuntut umum wajib segera mempelajari dan meneliti berkas perkara yang
telah diserahkan oleh penyidik. Jaksa Penuntut Umum meneliti kelengkapan secara
formil maupun materiil berkas perkara penyidikan dilakukan paling lama 14 hari.
Dalam waktu 7 (tujuh) hari Jaksa Penuntut Umum harus menentukan apakah berkas
perkara tersebut sudah lengkap atau belum lengkap. Apabila penuntut umum
berpendapat kelengkapan formil/materiil berkasnya belum lengkap maka penuntut
umum menerbitkan P-18 (pemberitahuan hasil penyidikan belum lengkap) dan
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik. Penerbitan P-18 juga disertai
dengan petunjuk-petunjuk untuk dilengkapi oleh Penyidik yang biasa disebut dengan
P-19.
Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk
dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan
petunjuk dari penuntut umum. Dalam waktu 14 (empat belas) hari penyidik harus
menyelesaikan penyidikan tambahan itu sesuai dengan petunjuk-petunjuk penuntut
Universitas Sumatera Utara
umum. Apabila berkas perkara telah lengkap secara formil maupun materiil maka
Jaksa Penuntut Umum menerbitkan P-21 dan harus segera membuat surat dakwaan.
Jangka waktu penyidikan dibatasi selama 4 (empat) bulan, namun dalam
prakteknya berlarut-larut bahkan sampai 1 (satu) tahun dan bahkan lebih. Dalam
waktu 4 (empat) bulan itu, penyidikan selesai atau belum selesai akan diadakan
ekspose di Kejaksaan Tinggi sebagai atasan Kejaksaan Negeri tersebut. Jika belum
selesai dalam waktu yang ditentukan, maka setiap 30 (tiga puluh) hari akan terus
dimintakan laporan perkembangan penyidikan.
Dalam upaya penyelesaian tindak pidana korupsi di daerah, Kejaksaan
seringkali menghadapi hambatan baik dari dalam maupun luar Kejaksaan. Hambatan
tersebut ada seiring dengan situasi dan kondisi Kejaksaan dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi di masing-masing daerah.
2. Kerangka Konsep
Penelitian berjudul : “Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh
Kantor Akuntan Publik Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi :
Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-
TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017)”, mempunyai beberapa
variabel. Variabel tersebut merupakan konsep yang perlu diuraikan pengertian-
pengertiannya guna membantu memberikan pemahaman dalam penelitian ini.
Adapun konsep-konsep tersebut, antara lain :
Universitas Sumatera Utara
a. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.37 Keuangan Negara, meliputi38
1) “Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
:
2) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3) Penerimaan Negara; 4) Pengeluaran Negara; 5) Penerimaan Daerah; 6) Pengeluaran Daerah; 7) Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
8) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
9) Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah”.
b. Penghitungan kerugian keuangan negara adalah audit investigatif terhadap
suatu perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh penegak
hukum. Hasil audit investigatif tersebut akan dituangkan dalam Laporan
Hasil Audit Investigatif Penghitungan Kerugian Keuangan Negara.
c. Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah badan usaha yang didirikan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mendapatkan izin
usaha berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan
Publik.39 KAP dapat berbentuk usaha40
37 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 38 Pasal 2 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 39 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik.
:
Universitas Sumatera Utara
1) “Perseorangan. KAP berbentuk usaha perseorangan hanya dapat didirikan dan dikelola oleh 1 (satu) orang Akuntan Publik berkewarganegaraan Indonesia;41
2) Persekutuan perdata;
3) Firma; 4) Bentuk usaha lain yang sesuai dengan karakteristik profesi Akuntan
Publik, yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. KAP berbentuk usaha persekutuan perdata, firma, dan bentuk usaha lain hanya dapat didirikan dan dikelola jika paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari seluruh Rekan merupakan Akuntan Publik”.42
d. Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh izin untuk
memberikan jasa asurans,43 yang meliputi : jasa audit atas informasi
keuangan historis; jasa reviu atas informasi keuangan historis; dan jasa
asurans lainnya.44 Jasa asurans adalah jasa Akuntan Publik yang bertujuan
untuk memberikan keyakinan bagi pengguna atas hasil evaluasi atau
pengukuran informasi keuangan dan non keuangan berdasarkan suatu
kriteria.45
e. Perkara Tindak Pidana Korupsi adalah perkara yang melanggar ketentuan UU
Tipikor yang perkaranya termasuk perkara pidana khusus dalam bidang
tindak pidana korupsi. Perkara tersebut dapat berupa perkara, baik dalam
tahap penyelidikan, tahap penyidikan, maupun tahap penuntutan.
f. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI adalah lembaga negara yang bertugas
untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
40 Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akutan Publik. 41 Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akutan Publik. 42 Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akutan Publik. 43 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akutan Publik. 44 Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akutan Publik. 45 Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akutan Publik.
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.46
g. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI adalah suatu
Lembaga Pemerintah Non Departemen yang ada di bawah dan bertanggung
jawab langsung kepada Presiden.
47 BPKP mempunyai tugas pokok, yaitu48
1) “Mempersiapkan perumusan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pembangunan;
:
2) Menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan;
3) Menyelenggarakan pengawasan pembangunan”.
h. Metode penghitungan kerugian keuangan negara adalah Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara (SPKN). SPKN adalah patokan untuk melakukan
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.49
G. Metode Penelitian
Menurut Peter Mahmud, “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum
guna menjawab isu hukum yang dihadapi”.50
46 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. 47 Pasal 1 Keputusan Presiden RI No. 31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan. 48 Pasal 2 Keputusan Presiden RI No. 31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan. 49 Pasal 1 angka 1 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2007 tentang
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. 50 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2011), hlm. 35.
Metode penelitian hukum adalah
sebagai cara kerja ilmuwan yang salah satunya ditandai dengan penggunaan metode.
Secara harfiah mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh
Universitas Sumatera Utara
menjadi penyelidikan atau penelitian langsung menurut suatu rencana tertentu.51
Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan
sebuah penelitian.52
1.
Sepanjang menyangkut analisis hukum, maka penelitian ini menggunakan
metode penelitian yuridis normatif yang didukung oleh data sekunder. Dengan
demikian objek penelitian adalah norma hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah
hukum dibuat dan ditetapkan oleh Pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-
undangan dan penghitungan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana
korupsi. Penelitian hukum juga dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap
fakta-fakta hukum untuk selanjutnya digunakan dalam menjawab permasalahan-
permasalahan.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif dalam penelitian ini merupakan penelitian terhadap UU Tipikor, UU
BPK, terhadap UU Akuntan Publik. Dipilihnya tipe penelitian yuridis normatif
karena penelitian ini menginginkan untuk mendapatkan hal-hal yang bersifat teoritis
: azas, konsepsi, doktrin, serta kaedah hukum yang berhubungan dengan sistem
hukum pidana khususnya tindak pidana korupsi.
51 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayu Publishing, 2006), hlm. 26.
52 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 57.
Universitas Sumatera Utara
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif,
praktis, dan preskriptif.53 “Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-
konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum
menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam
melaksanakan aktivitas hukum”.54
3.
Penelitian yang dikaji dalam hal ini merupakan
penelitian yang bersifat preskriptif, yang dimaksudkan untuk memberikan
argumentasi-argumentasi hukum atas hasil penelitian yang telah dilakukan.
Pendekatan Penelitian
Keterkaitan penelitian hukum normatif dengan pendekatan yang digunakan
dalam penulisan hukum, menurut Peter Mahmud, adalah sebagai berikut55
a. “Pendekatan kasus (case approach);
:
b. Pendekatan perundang-undangan (statute approach); c. Pendekatan historis (historical approach); d. Pendekatan perbandingan (comparative approach); e. Pendekatan konseptual (conceptual approach)”. Penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan peraturan
perundang-undangan (statute approach). Pendekatan tersebut berkaitan dengan
pendekatan dilakukan dengan menggunakan teori hukum murni yang berupaya
membatasi pengertian hukum pada bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum
53 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 1.
54 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 22. 55 Ibid., hlm. 93.
Universitas Sumatera Utara
itu mengabaikan atau memungkiri pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan
karena pendekatan seperti ini menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu
yang berlainan metodologi (sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu
hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok
bahasannya.56
4.
Sumber Data
Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan
dan bersumber dari data sekunder, maka sumber bahan hukum yang digunakan dapat
dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :
1) UUD 1945 dan Amandemen;
2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1964 tentang Hukum Pidana atau lazim
disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau
lazim disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
4) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
56 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, (Bandung : Nusamedia & Nuansa, Cet. III, 2007).
Universitas Sumatera Utara
5) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
6) Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
7) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan;
8) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik;
9) Keputusan Presiden RI No. 31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan;
10) Keputusan Presiden RI No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Pemerintah Non-Departemen;
11) Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI No. 1 Tahun 2007
tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara;
12) Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi RI yang berkaitan dengan
penelitian ini, antara lain :
a) Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 003/PUU-IV/2006, tertanggal
25 Juli 2006;
b) Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23
Oktober 2012;
c) Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal
25 Januari 2017.
13) Putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini, antara
lain :
Universitas Sumatera Utara
a) Putusan Mahkamah Agung RI No. 75 PK/TUN/2015, tertanggal 13
Oktober 2015 Jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 263
K/TUN/2014, tertanggal 21 Juli 2014 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara Jakarta No. 167/B/2013/PT.TUN.JKT., tertanggal
28 Januari 2014 Jo. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
No. 231/G/2012/PTUN-JKT., tertanggal 01 Mei 2013 an. Para
Penggugat Ir. Indar Atmanto, dkk., melawan BPKP RI, dkk.;
b) Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri
Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari
2017 an. Terdakwa M. Yahya dan Putusan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No. 94/Pid.Sus-
TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 94/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn.,
tertanggal 16 Februari 2017 an. Terdakwa M. Jefri Sitindaon.
b. Bahan Hukum Sekunder, digunakan untuk membantu memahami peraturan
perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan penghitungan kerugian
keuangan negara yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam
perkara tindak pidana korupsi. Analisis bahan hukum primer dibantu oleh
bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti : Buku-
buku; Jurnal-jurnal; Majalah-majalah; Artikel-artikel; dan berbagai tulisan
lainnya.
c. Bahan Hukum Tertier, dipergunakan untuk berbagai hal dalam penjelasan
makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer.
Universitas Sumatera Utara
Bahan hukum sekunder berupa kamus-kamus hukum, kamus Bahasa
Indonesia. Seperti yang lazim digunakan adalah Black’s Law Dictionary, dan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
5. Teknik Pengumpulan Data
Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi
kepustakaan (library research) dengan alat pengumpulan data berupa studi dokumen
dari berbagai sumber yang dipandang relevan.57
6.
Putusan Mahkamah Agung RI
didapat dari website resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia, begitu juga
dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi RI didapat dari website resminya.
Selanjutnya bahan hukum yang ada dikolaborasi dengan buku-buku yang didapat
dari perpustakaan. Dipilih mana yang hukum dan mana yang bukan hukum. Setelah
didapat pengelompokan sumber bahan hukum selanjutnya dianalisis. Perpustakaan
yang digunakan adalah Perpustakaan Universitas Sumatera Utara.
Analisis Data
Analisa data yang akan dilakukan secara kualitatif diharapkan akan dapat
memudahkan dalam menganalisa permasalahan yang diajukan, menafsirkan dan
kemudian menarik kesimpulan. Analisa kualitatif dilakukan terhadap paradigma
hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan
57 Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber bahan hukum lainnya. Lihat : Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Ed. Ke-2, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, Januari 2008), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data
yang dikumpulkan. Sehubungan data yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat
dasar yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Metode analisis data digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil
penelitian yang sudah terkumpul dimana pada penelitian ini digunakan metode
normatif kualitatif. Normatif, karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-
peraturan yang ada sebagai normatif hukum positif. Sedangkan kualitatif,
dimaksudkan analisis data yang bertolak pada usaha penemuan asas-asas dan
informasi-informasi dalam penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan
Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam perkara tindak pidana korupsi.
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduktif
sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dirumuskan.58
58 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 26.
Logika
deduktif maksudnya disini adalah menjelaskan sanksi tindakan dari segi manfaat dan
tujuan yang hendak dicapai.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
PENGATURAN PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM PERKARA TIPIKOR OLEH AKUNTAN PUBLIK
Dalam bab ini akan menguraikan mengenai pengaturan Penghitungan
Kerugian Keuangan Negara (PKKN) dalam perkara tipikor oleh Akuntan Publik.
Namun, sebelum sampai kepada pembahasan tersebut, maka perlu diuraikan pula
mengapa kerugian keuangan negara penting dalam perkara tipikor. Selanjutnya siapa
yang berhak untuk menghitungan kerugian keuangan negara. Barulah setelah itu,
barulah dibahas mengenai pengaturan PKKN dalam perkara tipikor oleh Akuntan
Publik.
A. Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Yang Harus Dipenuhi Dalam Perkara Tipikor
Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang memuat kata-kata,“Yang Dapat Merugikan
Keuangan Negara Atau Perekonornian Negara”. Unsur ini penting untuk
menentukan dapat tidaknya pelaku korupsi dipidana. Secara normatif, jika semua
unsur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 terbukti, maka pelaku dapat dijatuhi pidana penjara
maupun uang pengganti. Sedangkan, jika salah satu unsur tidak terbukti, maka dapat
berdampak pada bebasnya pelaku korupsi dari jeratan hukum (baik karena
dihentikan penyidikan atau dibebaskan oleh hakim pengadilan).59
59 Menurut van Hattum ajaran “wederrechtelijkheid” dalam arti formil, merupakan suatu perbuatan dapat dipandang sebagai bersifat “wederrechtelijkheid” apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur di dalam rumusan suatu delik undang-undang. Lihat : P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. Ke-3, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 351.
Universitas Sumatera Utara
Sejumlah perkara korupsi kakap yang ditangani oleh Kejaksaan seperti
“Pengadaan Access Fee Sisminbakum di Kementerian Hukum dan HAM RI”,
“Pengadaan Kapal Tanker Pertamina (VLCC)”, dan korupsi di PT Texmaco
dihentikan penyidikannnya (SP3) karena tidak ditemukan unsur merugikan negara.
Meski sudah banyak koruptor yang dijerat UU Tipikor dan dijebloskan ke penjara
karena terbukti merugikan keuangan negara, namun dalam praktiknya, penerapan
unsur “merugikan keuangan negara” dalam UU Tipikor terhadap proses penanganan
perkara tindak pidana korupsi, seringkali menimbulkan permasalahan.60
1. Merugikan keuangan negara (memperkaya diri sendiri atau menyalahgunakan
kewenangan sehingga merugikan keuangan negara);
UU Tipikor telah mengklasifikasi korupsi dalam 7 (tujuh) jenis, yaitu :
2. Suap;
3. Gratifikasi;
4. Penggelapan dalam jabatan;
5. Pemerasan;
6. Perbuatan curang; dan
7. Konflik kepentingan.
Kesemua jenis korupsi tersebut diuraikan sangat detail dalam UU Tipikor
sebagai rumusan delik (tindak pidana), yaitu perbuatan yang oleh hukum diancam
dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah
dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Rumusan tindak
pidana menunjukan apa yang harus dibuktikan dalam penyidikan menurut hukum.
60 Emerson Yuntho, dkk., Op.cit., hlm. 17.
Universitas Sumatera Utara
Berikut adalah pasal-pasal yang mendefinisikan tindak pidana korupsi dalam UU
Tipikor :
Tabel 2 Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi dan Pasal Yang Digunakan
No. Klasifikasi Tindak Pidana
Korupsi Pasal Yang Digunakan
1. Merugikan Keuangan Negara Pasal 2 dan Pasal 3
2. Suap Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, b, c dan d, Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 13
3. Gratifikasi Pasal 12 B Jo. Pasal 12 C
4. Penggelapan Dalam Jabatan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, dan c
5. Pemerasan Pasal 12 huruf e, g, dan f
6. Perbuatan Curang Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, dan d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h
7. Konflik Kepentingan Dalam Pengadaan
Pasal 12 huruf l
Sumber : Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
UU Tipikor tidak hanya mengatur rumusan tindak pidana korupsi, tetapi juga
mengatur jenis tindak pidana “turunan”, yakni perbuatan atau tindakan tertentu yang
bukan jenis tindak pidana korupsi, namun bisa dijerat dengan UU Tipikor. Perbuatan
tersebut bisa dikenakan Pasal-pasal dalam UU Tipikor karena berhubungan dengan
penanganan tindak pidana korupsi. Berikut klasifikasinya :
Tabel 3 Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tipikor dan Pasal Yang Digunakan
No. Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tipikor Pasal Yang Digunakan
1. Merintangi proses pemeriskaan perkara tipikor Pasal 21
2. Tidak memberikan keterangan dan memberikan keterangan yang tidak benar
Pasal 22 Jo. Pasal 28
Universitas Sumatera Utara
3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening Tersangka
Pasal 22 Jo. Pasal 29
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
Pasal 22 Jo. Pasal 35
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
Pasal 22 Jo. Pasal 36
6. Saksi yang membuka identitas pelapor Pasal 24 Jo. Pasal 31 Sumber : Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dari sekian banyak ketentuan yang mengatur tindak pidana korupsi dalam
UU Tipikor, ketentuan yang mengatur tentang “merugikan keuangan Negara”, hanya
terdapat pada pasal yaitu Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Selebihnya, tindak pidana yang
dikategorikan sebagai korupsi tidak memerlukan penghitungan kerugian keuangan
negara.
Adapun unsur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, adalah sebagai berikut :
1. Setiap orang;
2. Secara melawan hukum;
3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Adapun unsur Pasal 3 UU Tipikor, adalah sebagai berikut :
1. Setiap orang;
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
Universitas Sumatera Utara
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau karena kedudukan;
4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, sama-sama harus membuktikan
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Namun, ada beberapa pasal
yang tidak mengaitkan korupsi dengan keuangan negara, misalnya penyuapan.
Seorang pejabat yang menerima suap dari seseorang tidak dapat dikatakan
merugikan keuangan negara. Meski hanya dua pasal, namun pasal tersebut seringkali
digunakan atau menjadi favorit aparat penegak hukum untuk menjerat para pelaku
korupsi yang secara keseluruhan diduga telah menimbulkan kerugian negara.
Salah satu unsur yang mendasar dalam tindak pidana korupsi adalah adanya
kerugian keuangan negara. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada saat
ini belum memiliki kesamaan tentang pengertian keuangan negara.61
Pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara menyatakan penyertaan negara merupakan kekayaan negara
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara mendefinisikan keuangan negara adalah,“semua hak dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut”.
61 Emerson Yuntho, dkk., “Studi Atas Unsur Merugikan Keuangan Negara Dalam Delik Tindak Pidana Korupsi”, penelitian disusun bersama ICW-YLBHI-LBH Semarang, lokasi penelitian di Jakarta dan Semarang, Juli-November 2014, hlm. 6.
Universitas Sumatera Utara
yang dipisahkan. Arti pasal ini adalah, pada saat kekayaan negara telah dipisahkan,
maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk di ranah hukum publik tetapi masuk di
ranah hukum privat.
UU Keuangan Negara memposisikan BUMN Persero dalam tataran hukum
publik. Pada sisi lain, Pasal 11 UU BUMN menyebutkan pengelolaan BUMN
Persero dilakukan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas sebagaimana telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan
pelaksanaannya. Berarti, sesuai dengan asas lex specialis derograt lex generalis yang
berlaku bagi BUMN Persero adalah UUPT sepanjang tidak diatur lain di dalam UU
BUMN sebagai aturan yang khusus mengatur tentang BUMN.62
62 Pasal 34 UU BUMN, menyatakan bahwa : “Bagi Persero Terbuka berlaku ketentuan Undang-Undang ini dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal”. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka bagi BUMN Persero berlaku UU BUMN namun jika ada hal-hal yang belum diatur dalam UU BUMN, jadi pengaturannya berdasarkan UU PT.
Dalam hal terjadi kerugian pada BUMN Persero, para penegak hukum dan
aparat negara, berpegang pada Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara yang
menyatakan kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah dan penjelasan umum UU Tipikor yang menyatakan
bahwa “Penyertaan Negara yang dipisahkan merupakan kekayaan negara” sifatnya
tetap berada di wilayah hukum publik.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian “keuangan negara” dalam UU Tipikor juga berbeda dengan
konsep keuangan negara dalam UU Keuangan Negara dan konsep kekayaan negara
yang dipisahkan dalam UU BUMN.63
1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga negara baik di tingkat pusat maupun di daerah;
Dalam bagian Penjelasan Umum UU Tipikor
disebutkan, keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,
yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala keruian
keuangan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
2. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum
dan Perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ke tiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan “Perekonomian Negara” adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan,
ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan
Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat,
kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
63 Maksud dari “kekayaan negara yang dipisahkan” dalam UU BUMN, mengartikan bahwa pengurusan, pengelolaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). BUMN Persero tidak diurus berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara, tetapi pengelolaan keuangan perseroan terbatas (bisnis). Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) adalah prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan etika bisnis. Lihat : Pasal 1 angka 1 Jo. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri BUMN RI No. PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara.
Universitas Sumatera Utara
Sejumlah uraian di atas menunjukkan tidak seragamnya pengertian keuangan
negara pada UU BUMN, UU Keuangan Negara, maupun UU Tipikor. Perbedaan
pemaknaan aturan perundang-undangan tersebut dapat menimbulkan kesulitan.
Kesulitan tersebut ada dalam upaya menetapkan berapa kerugian keuangan negara
akibat tindak pidana korupsi, dan berapa besar jumlah uang pengganti yang akan
dibebankan kepada terpidana, disamping kesulitan mengenai pembuktian di
persidangan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ketua Komisi Hukum Nasional, J.E. Sahetapy dalam “Diskusi Publik
Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” menyatakan64
Sementara pihak yang menginginkan penyempitan definisi keuangan negara
terutama bagi BUMN, menggunakan ketentuan UU BUMN Pasal 1 ayat (1) yang
:
“Perlu kejelasannya definisi yuridis keuangan negara. Menurutnya, pengertian keuangan negara masih tersebar dalam beberapa undang-undang, diantaranya UU Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960, serta munculnya pasal piutang perusahaan negara dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tata cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah”. Pihak yang pro perluasan definisi keuangan negara akan berpegang pada
ketentuan UU Tipikor. Apabila terjadi kerugian pada BUMN dan Persero, penegak
hukum dan aparat negara menggunakan ketentuan Pasal 2 huruf g UU Keuangan
Negara dan Penjelasan Umum UU Tipikor. Esensinya, penyertaan negara yang
dipisahkan merupakan kekayaan negara yang menurut sifatnya berada dalam ranah
hukum publik. Karenanya, apabila terjadi kerugian negara, maka ketentuan UU
Tipikor dapat diberlakukan pada pengurus BUMN.
64 Emerson Yuntho, dkk., Op.cit., hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
menyatakan penyertaan negara merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Ketika
kekayaan negara telah dipisahkan, maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke
dalam ranah hukum publik, namun masuk ranah hukum privat.
Pada sisi lain, muncul upaya untuk mengajukan judicial review tentang
definisi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara. Permohonan uji materi itu
diajukan oleh Forum Hukum BUMN dan Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas
Indonesia. Pada intinya, Pemohon menyatakan bahwa kekayaan BUMN tidak masuk
lingkup Keuangan Negara sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara. Pasal
yang diminta untuk uji materiil adalah pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara.
Adapun pasal 2 huruf g dan i berbunyi :
“Keuangan Negara sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 1 meliputi (huruf g) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah dan (huruf i) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah”. Definisi keuangan negara adalah, semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik uang maupun barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Permohonan uji materiil tentang keuangan negara ini ditolak oleh BPK.
Hasan Basri, Wakil Ketua BPK menyatakan jika permohonan uji materi dikabulkan,
tidak hanya keuangan negara dalam kondisi yang membahayakan, tapi ada empat
kerugian yang akan muncul. Pertama, keuangan daerah, pendapatan dan belanja
daerah, serta kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dalam BUMD juga menjadi
bukan bagian dari keuangan negara. Kedua, semua dana APBN dalam bentuk Dana
Universitas Sumatera Utara
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH)
yang sudah disalurkan ke kas daerah dan sudah masuk dalam sistem APBN juga
bukan bagian dari keuangan negara.
Ketiga, lembaga yang sumber keuangannya bukan dari APBN, seperti Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),
juga menjadi bukan bagian dari keuangan negara. Keempat, semua lembaga yang
dibentuk dengan undang-undang dan dinyatakan kekayaannya adalah aset negara
yang dipisahkan seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), SKK Migas, dengan
sendirinya bukan lagi merupakan bagian dari keuangan negara.65
Permasalahan keuangan negara tersebut dituangkan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi RI No. 62/PUU-XI/2013. Putusan akhirnya, Mahkamah
memutuskan menolak seluruh permohonan Forum Hukum BUMN, walaupun ada
satu hakim yang berbeda pendapat atas putusan tersebut. Pembuktian unsur kerugian
keuangan negara dalam kasus korupsi di BUMN menjadi problema tersendiri. Jika
kerugian BUMN yang dianggap kerugian negara menggunakan penilaian kerugian
negara sebagaimana yang diatur dalam UU Perbendaharaan Negara, maka akan
menyebabkan banyaknya pengurus BUMN menjadi terdakwa korupsi. Padahal tidak
semua kerugian BUMN disebabkan oleh perilaku korupsi, namun bisa juga
disebabkan oleh miss management ataupun murni business loss.
66
65 Harian Ekonomi Neraca, “Uji Materi UU Keuangan Negara Tak Tepat”, diterbitkan pada hari Jumat, 25 Oktober 2013.
66 Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 62/PUU-XI/2013, tertanggal 03 Februari 2014, hlm. 235-242.
Universitas Sumatera Utara
Bagaimana BUMN akan mampu menjadi pendorong ekonomi nasional
apabila dihantui oleh ketidakjelasan mengenai kerugian Negara. Setidaknya ada 3
(tiga) syarat, agar hukum dapat berperanan mendorong jalannya perekonomian
bangsa, yaitu hukum harus dapat menciptakan “predictability”, “stability” dan
“fairness”.67
Dengan demikian apabila membandingkan ketentuan UU Keuangan Negara
dengan UU BUMN dan UUPT apabila undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya ditafsirkan mendatangkan ketidakpastian bagi BUMN.
Ketidakpastian tersebut disebabkan oleh pertentangan antar peraturan, sehingga
mengakibatkan kesenjangan antara aturan dan penerapannya. Memunculkan
kekhawatiran dalam pengambilan kebijakan perusahaan, karena tidak dapat
diprediksi mengenai akibat hukum yang diambil dalam menjalankan perusahaan.
68
Selain Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 62/PUU-XI/2013 yang diajukan
oleh Forum Hukum BUMN,dkk., ternyata terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi RI
No. 48/PUU-XI/2013 tertanggal 18 September 2014 sebagai putusan untuk
menjawab permasalahan konstitusional yaitu apakah cakupan pengertian keuangan
negara pada Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang No. 17 Tahun 2003
melampaui apa yang dimaksud oleh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan mengambat
67 Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International Law and Policy, dalam Erman Rajagukguk, “Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara”, Makalah disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta, 26 Juli 2006, hlm. 15-16.
68 Menurut Erman Rajagukguk mengenai “kekayaan negara yang dipisahkan” dalam BUMN secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh Negara, bukan harta kekayaan BUMN itu”. Lihat : Ibidi., hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
badan hukum penyelenggara perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsinya
menciptakan ketidak-pastian hukum. Menurut Mahkamah, sebagai berikut69
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 48/PUU-XI/2013
tertanggal 18 September 2014 tersebut, telah terang dan jelas bahwa BHMN PT
:
“Menurut Mahkamah, adanya ketentuan Pasal 2 huruf g dan huruf i UU 17/2003 bertujuan agar negara dapat mengawasi bahwa pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Pasal 23 UUD 1945. Konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa BHMN PT atau badan lain yang menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah atau menggunakan kekayaan negara haruslah tetap dapat diawasi sebagai konsekuensi dari bentuk pengelolaan keuangan negara yang baik dan akuntabel; Mahkamah dapat memahami bahwa paradigma pengelolaan keuangan negara dalam BHMN PT harus dibedakan dengan pengelolaan kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian atau lembaga, walaupun demikian pengelolaan keuangan negara dalam BHMN PT yang merupakan kepanjangan tangan negara harus diatur sesuai dengan paradigma pengelolaan keuangan dalam BHMN PT penyelenggaraan pendidikan tinggi. Bagaimana pengaturan yang terbaik menjadi ranah pembentuk Undang-Undang. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 pada pokoknya menjamin mengenai hak memajukan diri warga negara, namun demikian penyelenggara pendidikan yang berbentuk BHMN PT sebagai kepanjangan tangan negara merupakan badan yang melaksanakan fungsi negara, bukanlah warga negara yang melakukan fungsi memajukan diri seperti Pasal 28C ayat (2) tersebut. Dengan demikian, fungsi negara dalam BHMN PT badan pendidikan tidak termasuk dalam fungsi pengembangan diri yang dimaksud oleh pasal tersebut; Bahwa selain itu, mengenai otonomi penyelenggaraan pendidikan tinggi telah dijelaskan dalam pertimbangan Mahkamah di atas. Pada pokoknya Undang-Undang menjamin adanya otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan, namun tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab negara dalam mengendalikan operasionalnya dengan membuat batasan-batasan tertentu. Hal ini tidak berarti menghambat lembaga pendidikan tersebut. Dengan demikian menurut Mahkamah norma a quo tidak bertentangan dengan terhadap Pasal 28C ayat (2) UUD 1945”.
69 Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 48/PUU-XI/2013 tertanggal 18 September 2014, hlm. 229-230.
Universitas Sumatera Utara
pendidikan seperti Universitas Sumatera Utara dan Universitas Indonesia merupakan
perpanjang-tanganan Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang
diamanatkan dalam UUD 1945. Oleh karena itu, kekayaan negara yang dipisahkan
menurut Putusan MK tersebut merupakan termasuk ke dalam keuangan negara.
Berdasarkan berbagai polemik di atas, maka unsur kerugian keuangan negara
merupakan unsur paling pokok yang harus dipenuhi dalam melakukan penyelidikan
dan penyidikan perkara tipikor bagi penegak hukum. Selanjutnya, mengenai unsur
“yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” pada Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga pernah diajukan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi RI.
UU Tipikor yang menjadi landasan bagi upaya pencegahan dan
pemberantasan tipikor mengalami perubahan mendasar. Perubahan pertama terjadi
pada 24 Juli 2006, ketika Mahkamah Konstitusi RI melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi RI No. 003/PUU-IV/2006 menyatakan norma Penjelasan Pasal 2 ayat (1)
UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi sehingga menjadi unsur “Secara
Melawan Hukum” dalam arti formil, bukan arti materiil lagi.
1. Unsur Kerugian Keuangan Negara Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017
Selanjutnya, perubahan kedua terjadi pada 25 Januari 2007, kembali
Mahkamah Konstitusi RI melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-
XIV/2006 yang menyatakan frase kata “dapat” dalam unsur Pasal 2 ayat (1) dan
Universitas Sumatera Utara
Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi.70 Menurut Mahkamah
Konstitusi RI, kata “Dapat” dalam ketentuan korupsi seperti diatur dalam Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor inskonstitusional, Mahkamah berpendapat kata
“Dapat” dalam ketentuan tersebut menimbulkan banyaknya penafsiran yang hanya
mengarah pada indikasi “potensi kehilangan” (“potential loss”), sehingga
bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.71
Masih menurut Mahkamah Konstitusi RI, dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017, menilai
pencantuman kata “Dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor membuat
delik kedua pasal tersebut menjadi delik formil sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi
RI No. 003/PUU-IV/2006, tertanggal 25 Juli 2006. Hal tersebut seringkali
disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan
keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan yang diambil bersifat
mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya.
72
Selanjutnya, menurut Mahkamah Konstitusi RI, menyampaikan kriminalisasi
kebijakan sering terjadi karena terdapat perbedaan pemaknaan kata “Dapat” dalam
70 Adapun amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017, hlm. 116-117, menyatakan bahwa : “1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; 2) Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 3) Menolak permohonan Para Pemohon untuk selain dan selebihnya; 4) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya”.
71 Ibid., hlm. 112-113. 72 Ibid., hlm. 113.
Universitas Sumatera Utara
unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh Aparat Penegak
Hukum. Pencantuman kata “Dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan jaminan bahwa setiap
orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.73
Selain itu, kata “Dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga
bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip
hukum harus tertulis (“lex scripta”), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (“lex
stricta”), dan tidak multitafsir (“lex certa”), oleh karenanya bertentangan dengan
prinsip negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
74
73 Ibid., hlm. 113. 74 Ibid., hlm. 113-114.
Penerapan unsur “Merugikan Keuangan Negara” dengan menggunakan
konsepsi “actual loss” lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian
dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan
internasional seperti dalam UU Administrasi Pemerintahan. Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi RI tersebut di atas, maka unsur “Yang Dapat Merugikan
Keuangan Negara Atau Perekonomian Negara” demi hukum telah diubah menjadi
“Yang Merugikan Keuangan Negara Atau Perekonomian Negara”. Dengan
demikian, dibutuhkan hasil audit kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti
(actual loss), bukan yang dibuat-buat sehingga mengakibatkan kriminalisasi bagi
terdakwa.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Tumpah H. Panggabean sebagai ahli hukum terkait delik formil
dalam perkara tipikor, menyatakan bahwa75
Menurut Komariah Emong sebagai ahli hukum terkait delik formil dalam
perkara tipikor, menyatakan bahwa
:
“Kerugian negara tidak dipersyaratkan sudah timbul karena pada hakekatnya kerugian tersebut adalah akibat dari perbuatan memperkaya secara melawan hukum tersebut, cukup menurut akal orang pada umumnya bahwa dari suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian negara tanpa menyebut jumlah kerugian negara tersebut. Menjadi rancu apabila dihubungkan dengan ‘unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi’ karena darimana diperoleh pertambahan kekayaan tersebut kalau belum terjadi kerugian negara?”.
76
Sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-
XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017, dalam praktik di tingkat penyelidikan dan
penyidikan, bahkan dalam peradilan tipikor sering seseorang ditahan dan dihukum
karena melakukan perbuatan melawan hukum Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU
Tipikor, sekalipun kerugian keuangan negara riil tidak terbukti.
:
“Unsur ‘dapat merugikan keuangan negara’ seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara. Jadi, ada atau tidaknya kerugian negara secara riil menjadi tidak penting”.
77
Sebagai contoh penerapan unsur “Dapat Merugikan Keuangan Negara”
sebagaimana Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dalam Putusan Pengadilan
Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 12/Pid.Sus-K/2013/PN.Mdn., An.
75 Tumpak H. Panggabean dalam Laporan Hasil Penelitian Indonesian Corruption Watch Tahun 2014. Lihat juga : Fatkhurohman, “Pergeseran Delik Korupsi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016”, Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 1, Maret 2017, hlm. 12.
76 Komariah Emong dalam Laporan Hasil Penelitian Indonesian Corruption Watch Tahun 2014. Lihat juga : Ibid.
77 Harian Kompas, “Putusan MK Dalam Penegakan Hukum Korupsi”, diterbitkan pada hari Kamis, 02 Februari 2017.
Universitas Sumatera Utara
Terdakwa “R.A”. Dalam putusan tersebut pada halaman 46, Majelis Hakim
Pengadilan Tipikor menyatakan bahwa78 :
“
1. Pengadaan sarana dan prasarana Rp. 275.000.000,-
Menimbang, bahwa dengan adanya kata “dapat” tidak mewajibkan adanya syarat kerugian Negara, akan tetapi sudah cukup apabila ada potensi untuk timbulnya kerugian Negara;
Menimbang, bahwa dana sebesar Rp. 400.000.000,- yang dimohonkan oleh Terdakwa bersama dengan “N” kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebagaimana Surat No. DL.630/SPPN-AS/11/30.IV/09, tanggal 30 April 2009 yang rencana penggunaannya adalah sebagai berikut :
2. Pelatihan & Pengembangan Pengelolaan Teknologi Pasca Panen Hasil Pertanian Rp. 50.000.000,-
3. Peningkatan Kompetensi Siswa Dalam Pengelolaan Komoditi Sawit dan Karet
Menimbang, bahwa disamping Keterangan Ahli dari BPKP tersebut, BPKP juga telah melakukan perhitungan kerugian keuangan Negara terhadap
Rp. 75.000.000,-
Jumlah Rp. 400.000.000,-
Menimbang, bahwa dana sebesar Rp. 400.000.000,- yang telah ditransfer ke rekening bersama milik Terdakwa dan “N” atas nama sekolah SPP-SPMA Negeri Asahan yaitu Nomor : 105.02.04.004458-8 ternyata telah diambil oleh Terdakwa bersama dengan “N” dan dana yang telah diambil dari tabungan Nomor Rekening : 105.02.04.004458-8 tersebut tidak digunakan untuk keperluan Sekolah SPP-SPMA Negeri Asahan, melainkan untuk kepentingan pribadi Terdakwa bersama dengan “N”;
Menimbang, bahwa berdasarkan Keterangan Ahli dari BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Utara di Medan yaitu Darwin Napitupulu, dalam persidangan membenarkan perbuatan Terdakwa bersama dengan “N” adalah perbuatan yang merugikan keuangan Negara dalam penggunaan Dana Bantuan Hibah sebesar Rp. 400.000.000,-
Menimbang, bahwa apabila Dana Bantuan Hibah tersebut ternyata tidak bisa digunakan atau tidak digunakan sama sekali, maka Terdakwa semestinya mengembalikan ke Kas Daerah, akan tetapi oleh Terdakwa bersama dengan “N” ternyata tidak dikembalikan kekas daerah, melainkan digunakan sendiri untuk keperluan sendiri. Perbuatan tersebutlah yang menurut ahli sebagai perbuatan yang merugikan keuangan Negara ;
78 Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 12/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn., tertanggal 03 Juni 2013, hlm. 46-47.
Universitas Sumatera Utara
pengelolaan dana bantuan hibah sebesar Rp.400.000.000,- kepada SPP-SPMA Negeri Asahan, dimana hasil dari perhitungan kerugian keuangan Negara dituangkan dalam Laporan Hasil Audit Investigasi Nomor : SR-2509/PW02/5/2012 tanggal 23 Mei 2012 dengan kesimpulan bahwa akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan Terdakwa bersama dengan “N” telah mengakibatkan Negara dirugikan yaitu sebesar Rp.400.000.000 (empat ratus juta rupiah)”. Berdasarkan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pada
Pengadilan Negeri Medan tersebut bahwasanya dengan adanya kata “dapat” dalam
unsur “Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara” pada Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, tidak mewajibkan adanya syarat kerugian Negara,
namun cukup apabila ada potensi timbulnya kerugian Negara.
Dengan kata lain, sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.
25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017, penyidik dalam melakukan
penyidikan tipikor tidak perlu mempersiapkan Laporan Hasil Audit Penghitungan
Kerugian Keuangan Negara (PKKN).
2. Unsur Kerugian Keuangan Negara Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017
Jika, unsur delik “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara” dikeluarkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, hal ini
memberikan tantangan baru bagi peran dan tugas kewenangan Kepolisian,
Kejaksaan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas
korupsi. Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016
yang telah membatalkan frasa “dapat”, dalam kalimat “dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara” yang tercantum Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU
Universitas Sumatera Utara
Tipikor, maka delik yang semula merupakan delik formil telah berubah menjadi
delik materiil. Karena makna kerugian negara tidak lagi bersifat potential loss
melainkan harus merupakan kerugian yang nyata (actual loss).
Dalam salah satu pertimbangan putusannya, Mahkamah Konstitusi RI
berpandangan bahwa penerapan unsur kerugian negara dengan menggunakan
konsepsi actual loss lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian
dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi antar instrumen hukum. Jika,
pertimbangan putusan ini merupakan upaya untuk menegakkan hukum materiil
karena mengedepankan kerugian yang bersifat nyata, maka menjadi suatu
pertanyaan, apakah pertimbangan putusan ini merupakan wujud keadilan substantif
yang selama ini didengung-dengungkan oleh Mahkamah Konstitusi RI dengan
bersandar kepada hukum progresif untuk melakukan terobosan-terobosan hukum
dalam mencapai kemanfaatan dan keadilan hukum.79 Jika benar demikian, maka
luaran pikiran ini tentunya bertujuan untuk mencegah dan memberantas korupsi yang
merupakan musuh bersama (common enemy) oleh siapapun dan sampai kapanpun.80
Menurut HM Prasetyo, mengungkapkan bahwa dalam sejumlah perkara
korupsi sering kali jumlah kerugian keuangan negara dapat terus bertambah seiring
dengan pengembangan kasus. Penegak hukum dipastikan akan sulit menjadikan
79 La Ode Maulidin, “Analisis Putusan MK Dalam Menyelesaikan Perselisihan Hasil Pemilukada Ditinjau Dari Perspektif Teori Hukum Progresif (Kajian Terhadap Putusan MK Atas Sengketa Hasil Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur dan Putusan MK Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Tangerang Selatan Tahun 2010”, Jurnal Konstitusi Widyagama, Vol. IV, No. 1, Juni 2011, hlm. 67.
80 Bambang Soesatyo, Presiden Dalam Pusaran Politik Sengkuni, (Jakarta : RM Books, Wahana Semesta Intermedia, tanpa tahun), hlm. 151.
Universitas Sumatera Utara
seseorang menjadi tersangka jika kerugian negara tak boleh lagi bersifat potensi atau
taksiran keuangan negara yang belum riil.81
3.
Jadi, setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-
XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017, maka penyelidikan dan penyidikan perkara
tipikor harus menggunakan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) yang
nyata dan pasti jumlahnya. Dengan kata lain, sebelum perkara tipikor masuk ke
dalam tingkat penyidikan, maka penyidik wajib mempersiapkan Laporan Audit
Investigatif Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) dalam perkara yang
sedang ditanganinya.
Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Harus Nyata dan Pasti Jumlahnya
Adapun definisi kerugian negara yang terdapat dalam beberapa undang-
undang, antara lain sebagai berikut :
a. Pasal 1 angka 15 UU BPK, menyatakan bahwa : “Kerugian Negara/Daerah
adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun
lalai”.
b. Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara, menyatakan bahwa :
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan
barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan
hukum baik sengaja maupun lalai”.
81 Harian Kompas, “Koruptor Makin Sulit Diproses Hukum”, diterbitkan pada hari Kamis, 26 Januari 2017.
Universitas Sumatera Utara
c. Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor, menyatakan bahwa : “Yang
dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah
kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan
instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”.
Adapun kasus yang diangkat dalam penelitian ini sebagai contoh adalah
perkara dugaan “Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas
dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013”. Kasus tersebut telah diputus
sebagaimana dimaksud Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan
No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan telah
menjatuhkan putusan, dengan menyatakan Terdakwa “M.Y” telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Korupsi Secara Bersama-
Sama” sebagaimana dakwaan subsidair penuntut umum dan menghukumnya dengan
hukuman penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dan pidana denda sebesar
Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.82
82 Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017, hlm. 335-365.
Dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pada
Pengadilan Negeri Medan dalam Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan
Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017,
khusus pembahasan mengenai unsur “Dapat Merugikan Keuangan Negara atau
Perekonomian Negara”, adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
“Menimbang, bahwa Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, menyebutkan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah. b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) / Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Yayasan, Badan Hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Menimbang, bahwa kata “dapat” dalam unsur yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara tersebut bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu elemen unsur telah terpenuhi, maka unsur tersebut telah terpenuhi pula, dan didalam Penjelasan Pasal 3 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001, menyebutkan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur - unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “merugikan” adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, dengan demikian yang dimaksud dengan “merugikan keuangan negara” adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara (R. Wiyono, SH, Pembahasan Undang - Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, 2005, halaman 32) …dst”.
Begitu juga dengan Majelis Hakim Tinggi Pada Pengadilan Tinggi Medan
telah membatalkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan
Negeri Medan dan mengadili sendiri dengan menghukum Terdakwa “M.Y”. Majelis
Hakim Tinggi telah menyatakan Terdakwa “M.Y” terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Korupsi Secara Bersama-Sama”
sebagaimana dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum. Selanjutnya, menjatuhkan
pidana kepada Terdakwa “M.Y” dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan
Universitas Sumatera Utara
denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan
kurungan penjara.83
83 Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 6/Pid.Sus-TPK/2017/PT.MDN., tertanggal 02 Juni 2017, hlm. 232-264.
Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-
TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017 sesungguhnya telah salah
menerapkan hukum. Kesalahan penerapan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara
(PKKN) tersebut dikarenakan masih menggunakan unsur “Dapat” dalam kerugian
keuangan negara yang seyogyanya telah dieliminir berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017.
Adapun sifat Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut ”UU Mahkamah Konstitusi”) adalah final. Final dalam Penjelasan Pasal 10
ayat (1) tersebut, yakni putusan tersebut langsung memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Jadi, jika penegak
hukum mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi, maka penegak hukum tersebut
mengabaikan hukum. Sebab Pasal 57 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat
dalam Berita Negara, sehingga artinya adalah setiap putusan tersebut setelah
diberitakan di dalam Berita Negara, setiap warga negara termasuk penegak hukum
wajib mengetahuinya. Karenanya pula wajib diterapkan dalam penegakan hukum.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian kerugian negara berdasarkan perspektif hukum administrasi
negara, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara,
yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya
sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Dari pengertian
tersebut, kerugian negara terdiri atas unsur:
a. Pelaku yang dapat dimintakan pertanggungjawaban;
b. Berkurangnya uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti
jumlahnya;
c. Perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai; dan
d. Hubungan sebab – akibat antara perbuatan melawan hukum dan
berkurangnya uang, surat berharga dan barang.
Menurut pernyataan dari Ahli Hukum Keuangan Negara, Siswo Sujanto,
dalam hukum administrasi keuangan negara kerugian secara subtansi merupakan
ekspresi atau perwujudan terjadinya selisih kurang antara fisik dengan buku. Atas
dasar pemikiran tersebut kerugian negara memiliki sifat nyata dan merupakan
sesuatu yang benar-benar dapat dihitung dengan cara membandingkan antara jumlah
yang seharusnya dengan kenyataan.84
Hal ini sejalan dengan surat Gouvernements Secretaris tertanggal 30 Agustus
1933 No. 2498/B yang menyatakan bahwa
85
84 Siswo Sujanto, “Tinjauan Kerugian Negara Dari Sudut Undang-Undang Keuangan Negara Dalam Penyelesaian Kasus Korupsi”, Makalah disampaikan dalam acara “In House Training tentang Keuangan Negara dan Kerugian Negara pada BUMN/BUMD” yang diselenggarakan oleh BPK RI di Jakarta, tanggal 17 Desember 2008.
:
85 Litbang Keuangan BPK, “Kerugian Negara atau Kerugian Keuangan Negara? (Undang-Undang No. 1 Tahun 2004)”, https://cermatkeuangan.blogspot.co.id/2016/01/kerugian-negara-atau-kerugian-keuangan.html., diakses pada hari Senin, tanggal 22 Januari 2018.
Universitas Sumatera Utara
“Dalam masalah kerugian negara, pertama-tama perlu diteliti dan dikumpulkan bahan bukti untuk menetapkan besarnya kerugian yang diderita oleh negara. Selanjutnya, dalam penelitian dimaksud perlu diperhatikan bahwa tidak diperkenankan melakukan tuntutan ganti rugi untuk jumlah yang lebih besar dari pada kerugian sesungguhnya yang diderita oleh Negara”. Surat ini menekankan bahwa besaran kerugian negara tidak boleh ditentukan
secara perkiraan atau penaksiran. Hal ini sesuai dengan sifat kerugian negara yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 angka 22 UU
Perbendaharaan Negara. Pada prinsipnya, penentuan besaran kerugian keuangan
negara dilakukan hanya dengan membandingkan kekayaan yang menjadi hak negara
dengan kekayaan yang ada dan berkurang akibat perbuatan melawan hukum.86
B.
Kewenangan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Perkara Tipikor
Di Indonesia dikenal adanya auditor pemerintahan. Auditor pemerintahan
adalah auditor yang bekerja pada sektor pemerintahan yang bertugas melakukan
audit atas pertanggungjawaban keuangan dari organisasi pemerintahan. Menurut
Suradi, Auditor yang bekerja pada sektor pemerintahan dibagi menjadi 2 (dua)
kelompok, yaitu87
1. “Pengawasan Eksternal Pemerintah
:
Auditor Eksternal Pemerintah adalah Badan pemeriksa Keuangan Negara (BPK), berdasarkan Pasal 23 E ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dinyatakan bahwa untuk memeriksa pengelolan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
86 Ibid. 87 Suradi, Korupsi Dalam Sektor Pemerintahan dan Swasta, (Yogyakarta : Gava Media,
2006), hlm. 116.
Universitas Sumatera Utara
2. Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP)
Struktur pengawasan intern pemerntah pada saat ini terdiri atas : Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jendral, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintahan Nondepartemen, dan Satuan Pengawasan Intern pada setiap Badan Usaha Milik Negara”.
Kutipan dari Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945, memberi kesan bahwa hanya
Badan pemeriksa Keuangan Negara (BPK) yang melaksanakan audit. Selain itu,
kesan tersebut juga terjadi karena pada sektor publik istilah pemeriksaan digunakan
untuk eksternal audit. Sedangkan, istilah pengawasan digunakan untuk internal
audit. Oleh karena itu, sering ada pernyataan mengenai BPK melakukan
pemeriksaan, sedangkan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) melakukan
pengawasan saja. Hal tersebut yang kemudian menimbulkan kontroversi ketika
membahas kewenangan untuk melakukan audit investigatif khususnya menghitung
kerugian negara. Berikut ini adalah penjelasan mengenai kewenangan khususnya
untuk menghitung kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berdasarkan hukum positif
di Indonesia.
1. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI
Dalam hal kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghitung
kerugian keuangan negara dalam kasus tindak pidana korupsi telah di atur dalam
Pasal 10 UU BPK, yaitu :
(1) “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
(2) Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
(3) Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau: a. penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh
Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
b. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
c. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya”.
Selanjutnya, kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk
memberikan keterangan ahli mengenai kerugian negara atau daerah diatur dalam
Pasal 11 huruf c UU BPK, yaitu: “BPK dapat memberikan: Keterangan ahli dalam
proses peradilan mengenai kerugian negara atau daerah”. Alat bukti keterangan ahli
ditempatkan dalam urutan kedua sebagaimana yang disistematisasikan dalam Pasal
184 KUHAP. Hal ini menunjukan bahwa alat bukti tersebut berpengaruh penting
dalam pembuktian yang dimana penyidik, penuntut, maupun hakim belum jelas atau
terang memandang suatu tindakan pidana.88
88 Nila Amania, “Kewenangan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Jurnal Syariati, Vol. II, No. 2, November 2016, hlm. 314. Lihat juga : Budiman Butar-Butar, “Fungsi dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut)”, Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hlm. 59-69.
Universitas Sumatera Utara
Keterangan ahli dari BPK berbeda dengan keterangan oleh ahli selaku
pribadi. Keterangan ahli dari BPK, pihak yang memberikan keterangan ahli adalah
BPK sebagai lembaga, bukan pribadi (anggota, karyawan, auditor dan seterusnya).89
2.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Sesuai dengan Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54 Keputusan Presiden RI No.
103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mempunyai tugas melaksanakan
tugas Pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) menyelenggarakan fungsi90
a. “Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan;
:
b. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan;
c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPKP; d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan
pengawasan keuangan dan pembangunan; e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan rumah tangga”.
Jadi, ranah pengawasan pelaksanaan pemerintahan yang menjadi tugas dan
wewenang BPKP hanya pada kegiatan lintas sektoral dan kebendaharaan umum
89 Theodorus M. Tuanakkota, Op.cit., hlm. 195. 90 Nila Amania, Loc.cit., hlm. 315.
Universitas Sumatera Utara
Negara terlepas dari berdasarkan penugasan dari Presiden. Demikian juga mengenai
kewenangan dalam menghitung kerugian negara, BPKP tidak memiliki kewenangan
tersebut kecuali berdasarkan penugasan khusus dari Presiden. Apalagi
mempertimbangkan Pasal 10 ayat (1) UU BPK yang telah jelas disebutkan : “BPK
menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh
bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.
Kemudian pada tahun 2007, telah dibuat Nota Kesepahaman antara
Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI, dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) No. : KEP-1093/K/D6/2007 tentang Kerjasama Dalam
Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang Berindikasi
Tindak Pidana Korupsi Termasuk Dana Nonbudgeter, pada Pasal 5 ayat (4)
disebutkan “Dalam setiap penyelidikan dan/atau penyidikan baik yang dilakukan
oleh Kejaksaan maupun POLRI, BPKP menugaskan auditor profesional untuk
melakukan audit investigatif atau penghitungan kerugian keuangan negara sesuai
dengan permintaan”, dan pada Pasal 6 ayat (3) disebutkan “Instansi penyidik
menetapkan pelanggaran hukum, sedangkan BPKP menetapkan ada/tidaknya
indikasi kerugian keuangan negara, sehingga dapat ditetapkan status kasus yang
berindikasi tindak pidana korupsi atau bukan tindak pidana korupsi”.91
Berdasarkan nota kesepahaman antara Kejaksaan Republik Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Dan Badan Pengawasan Keuangan Dan
91 Ibid., hlm. 316.
Universitas Sumatera Utara
Pembangunan (BPKP) tersebut yang kemudian menjadi dasar hukum BPKP untuk
menghitung kerugian keuangan negara.92
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selalu memberikan
kontribusi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia dalam rangka mewujudkan
Good Governance dan Good Corporate Governance. Dalam usaha pemberantasan
korupsi, BPKP telah bekerja sama dengan aparat penegak hukum. BPKP telah
melakukan audit investigatif, penghitungan kerugian keuangan negara, serta
pemberian keterangan ahli.
93
Berdasarkan kewenangannya menurut hukum positif di Indonesia, dapat
disimpulkan bahwa BPKP adalah lembaga audit pemerintah yang ada selain BPK.
Dimana BPK sebagai auditor eksternal pemerintah dan BPKP sebagai bagian dari
aparat pengawasan intersn pemerintah. Kedua lembaga ini memiliki kompetensi
yang berbeda atas tindak lanjut kerugian negara melalui audit investigatif dalam
kaitannya dengan unsur pidana. Berdasarkan kewenangannnya yang diamanatkan
dari Pasal 23 E UUD 1945, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan Undang-
Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK-lah yang
dapat melakukan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi
kerugian negara atau daerah.
94
Berbeda dengan BPKP yang memperoleh kewenangannya berdasarkan
Keputusan Presiden RI No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
92 Ibid. 93 Ibid. 94 Ibid., hlm. 316-317.
Universitas Sumatera Utara
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen, yang hanya merupakan bagian dari sistem pengendalian intern
pemerintah dalam kaitannya dengan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas
dan fungsi instansi pemerintah yang bersifat prefentif.95
Permasalahaan menyangkut kuantitas sumber daya manusia yang dimiliki
oleh BPK yang tidak sebanding dengan luasnya lingkup pemeriksaan BPK atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, serta mengingat masih tingginya
kasus tindak pidana korupsi di Indonesia yang membutuhkan auditor untuk
menghitung kerugian negara, akan menimbulkan permasalahan baru apabila pihak
penyelidik dan penyidik hanya mengandalkan BPK saja sebagai pihak yang
berwenang menghitung kerugian negara.
96
BPKP dan BPK berada dalam kedudukan yang istimewa. Mereka
mempunyai pandangan yang mendalam (insight) dan menyeluruh tentang seluruh
lembaga pemerintahan. BPK sebagai eksternal auditor, BPKP sebagai internal
auditor. Dalam kedudukan yang berbeda, BPK dan BPKP merupakan ujung tombak
penemuan kasus dengan indikasi tindak pidana korupsi.
97
Dalam audit investigatif dan menghitung kerugian keuangan negara, BPKP
mempunyai peran terbesar sampai saat ini. BPK juga berperan dan terus
meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya. Ada peluang bagi BPK dan BPKP
untuk bekerja sama dalam mengembangkan audit investigasi dan perhitungan
kerugian keuangan negara. Kerja sama ini merupakan perpaduan yang kuat antara
95 Ibid., hlm. 317. 96 Ibid. 97 Theodorus M. Tuanakotta, Op.cit., hlm. 225.
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan dan pengalaman dalam khazanah pemberantasan korupsi serta
wewenang.98
3.
Akuntan Publik
Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor, mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang
sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang
atau akuntan publik yang ditunjuk.
Mengenai akuntan publik yang ditunjuk ini, harus mengacu kepada UU
Akuntan Publik. Berdasarkan Pasal 13 UU Akuntan Publik telah mengatur tentang
pendirian dan pengelolaan Kantor Akuntan Publik, sebagai berikut :
(1) “KAP yang berbentuk usaha perserorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a hanya didirikan dan dikelola oleh 1 (satu) orang Akuntan Publik berkewarganegaraan Indonesia;
(2)
(3) KAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dipimpin oleh Akuntan Publik yang berkewarganegaraan Indonesia yang merupakan Rekan pada KAP yang bersangkutan dan berdomisili sesuai domisili KAP;
KAP yang berbentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, hanya dapat didirikan dan dikelola jika paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari seluruh Rekan merupakan Akuntan Publik;
(4) Dalam hal terdapat Rekan yang berkewarganegaraan asing pada KAP, jumlah Rekan yang bekewarganegaraan asing pada KAP paling banyak 1/5 (satu per lima) dari seluruh Rekan pada KAP”.
Apabila Pasal 13 UU Akuntan Publik dikaitkan dengan Kantor Akuntan
Publik yang melakukan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN), maka
demi hukum KAP yang berbentuk usaha seperti KAP hanya dapat dikelola jika
98 Adami Chazawi disitasi Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, (Jakarta : Solusi Publishing, 2010), hlm. 71.
Universitas Sumatera Utara
paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari seluruh Rekan merupakan Akuntan Publik.
Dengan kata lain KAP diperbolehkan menurut UU Akuntan Publik untuk
mempekerjakan Rekan yang bukan Akuntan Publik sebanyak 1/3 dari seluruh rekan
yang Akuntan Publik.
Terhadap 1/3 dari seluruh rekan yang bukan Akuntan Publik tersebut pun,
berdasarkan UU Akuntan Publik ternyata juga telah diatur di dalam Pasal 14 yang
disebut Rekan Non Akuntan Publik, yang mengatur tentang :
(1) “
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dengan syarat sebagai berikut :
Setiap orang yang akan menjadi Rekan Non-Akuntan Publik pada KAP wajib mendaftar kepada Menteri.
a. Berpendidikan paling renah Sarja Strata 1 (S-1) atau yang setara; b. Berpengalaman kerja paling sedikit 5 (lima) tahun di bidang keahlian
yang mendukung profesi Akuntan Publik; c. Berdomisili di wilayah Negara Republik Indonesia; d. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; e. Telah mengikuti pelatihan etika profesi Akuntan Publik yang
diselenggarakan Asosiasi Profesi Akuntan Publik; dan f. Tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling 5 (lima) tahun atau lebih.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara menjadi Rekan Non-Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri”.
Berdasarkan Pasal 15 UU Akuntan Publik telah mengatur tentang larangan
terhadap Rekan Non-Akuntan Publik, yaitu :
“a. Menjadi Rekan pada 2 (dua) KAP atau lebih; Rekan Non-Akuntan Publik dilarang :
b. Merangkap sebagai : 1. Pejabat Negara; 2. Pimpinan atau Pegawai pada Lembaga Pemerintahan, Lembaga
Negara, atau Lembaga lainnya yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan; atau
3. Jabatan lain yang mengakibatkan benturan kepentingan.
Universitas Sumatera Utara
c. Menandatangani dan menerbitkan Laporan Hasil Pemberian Jasa melalui KAP
”;
Pasal 57 ayat (2) UU Akuntan Publik, yang menyatakan bahwa :
“Setiap orang yang bukan Akuntan Publik, tetapi menjalankan profesi Akuntan Publik dan bertindak seolah-olah sebagai Akuntan Publik sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah)”; Berdasarkan uraian yuridis tersebut di atas, maka Rekan Akuntan Publik dan
Rekan Non-Akuntan Publik pada Kantor Akuntan Publik wajib kepadanya
mendapatkan izin kepada Menteri Keuangan RI. Izin tersebut diajukan dengan
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam UU Akuntan Publik. Baik, Rekan
Akuntan Publik ataupun Rekan Non – Akuntan Publik pada Kantor Akuntan Publik
wajib mempunyai izin tersebut, jika tidak mempunyai izin tapi tetap melakukan
Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) dalam perkara tipikor, maka
penghitungannya menjadi cacat hukum.
Namun, apabila akuntan tersebut menghitung PKKN hanya menggunakan
keahliannya akan tetapi tidak menggunakan Kantor Akuntan Publik, maka PKKN
yang dilakukannya dapat dibenarkan. Sebab berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012, mempunyai norma
hukum bahwasanya siapapun dapat melakukan PKKN terhadap perkara tipikor
dengan syarat dirinya mempunyai keahlian di bidang audit investigatif.
Universitas Sumatera Utara
C. Kewenangan Akuntan Publik Dalam Melakukan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Perkara Tipikor Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012
Selain dari BPK RI dan BPKP, ternyata terdapat Putusan Mahkamah
Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012 yang dipakai oleh Penyidik dan Penuntut Umum
sebagai landasan untuk menunjuk Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk melakukan
Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN). Penunjukan KAP oleh Penyidik
ataupun Jaksa Penuntut Umum untuk menghitung adanya kerugian keuangan negara
adalah tidak beralasan hukum sama sekali karena Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut ternyata tidak memberikan kewenangan kepada KAP untuk melakukan
Perhitungan Kerugian Keuangan Negara sebab isi dari pertimbangan Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut adalah KPK tidak hanya bisa berkordinasi dengan
BPK dan BPKP namun dapat juga berkordinasi dengan Auditor lain. Akan tetapi,
landasan hukum Akuntan Publik dapat melakukan PKKN adalah Penjelasan Pasal 32
ayat (1) UU Tipikor.
Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak menunjukkan
adanya kewenangan yang diberikan kepada Penyidik dalam hal ini Jaksa Penuntut
Umum selain dari KPK untuk berkoordinasi dengan KAP. Walaupun atas terbitnya
suatu Putusan Mahkamah Konstitusi yang sifat dari putusan tersebut melahirkan
norma baru, akan tetapi harus ditindaklanjuti dengan terbitnya peraturan perundang-
undangan oleh badan legislatif.
Kantor Akuntan Publik dapat dipakai untuk menghitung kerugian keuangan
negara hanya atas dasar permintaan dari Badan Pemeriksa Keuangan RI, yang hasil
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaannya hanya digunakan sebagai bahan pedoman bagi BPK untuk
menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan BPK RI No. 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara. Sehingga KAP secara langsung tidak berwenang untuk melakukan ataupun
menyampaikan hasil audit tentang adanya kerugian keuangan negara.
Beranjak dari ketentuan di atas, maka apabila Penyidik dan Jaksa Penuntut
Umum menggunakan Laporan Hasil Audit Investigatif oleh KAP dijadikan dasar
untuk Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN), maka Kantor Akuntan
Publik dimaksud harus tunduk pada Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang
Akuntan Publik (selanjutnya disebut UU Akuntan Publik) sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya.
Akuntan Publik digunakan dalam melakukan Penghitungan Kerugian
Keuangan Negara (PKKN) sebab berdasarkan Pertimbangan Hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012,
menyatakan bahwa99
99 Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012, hlm. 53.
:
“Menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya”.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Mahkamah Agung RI dalam Putusan Mahkamah Agung RI No.
236PK/PID.SUS/2014, tertanggal 12 Mei 2015, mengenai penggunaan jasa akuntan
publik dalam melakukan PKKN terhadap perkara tipikor, Majelis Hakim Agung
Pada Mahkamah Agung RI berpendapat bahwa100
D.
:
“Eksistensi akuntan publik sebagai auditor resmi untuk melakukan audit investigasi terhadap perkara korupsi yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara dalam sistem hukum nasional dan dalam praktik peradilan sudah diakui. Bahwa dari segi legalitas maupun otoritas lembaga akuntan publik dalam melaksanakan tugas sudah diterima dalam praktik”. Dengan demikian, berdasarkan Akuntan Publik dapat melakukan audit
investigatif untuk melakukan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN)
atas dasar adanya permintaan dari penyidik. Dalam hal, BPK atau BPKP tidak mau
menghitung kerugian keuangan negara terhadap perkara tipikor, maka penyidik
dapat menggunakan jasa akuntan publik.
Pengaturan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Perkara Tipikor Oleh Akuntan Publik
Dari sudut sifat isi keterangan yang diberikan oleh ahli di persidangan, maka
menurut Adami Chazawi, ahli dapat dibedakan antara :
1. “Ahli yang menerangkan tentang hasil pemeriksaan sesuatu yang dilakukannya berdasarkan keahlian khusus. Misalnya seorang dokter ahli forensik yang memberikan keterangan ahli di sidang pengadilan tentang penyebab kematian seseorang setelah dokter tersebut melakukan bedah mayat, atau seorang akuntan memberikan keterangan di sidang pengadilan tentang hasil audit yang dilakukannya atas keuangan suatu instansi pemerintah.
2. Ahli yang menerangkan semata-mata tentang keahlian khusus mengenai sesuatu hal yang berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu”.
100 Putusan Mahkamah Agung RI No. 236PK/PID.SUS/2014, tertanggal 12 Mei 2015, hlm. 51.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Pasal 1 angka 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan
yang diberikan seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan. Namun dalam KUHAP sendiri tidak memberikan pengaturan lebih
lanjut mengenai kriteria dan kualifikasi tertentu sebaga ahli yang dapat di dengarkan
keterangannya di persidangan.
Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor disebutkan, yang dimaksud
dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian negara
yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang
berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Dalam UU Tipikor juga tidak
dijelaskan secara lebih lanjut mengenai instansi yang berwenang dan tidak ada
kriteria dan kualifikasi akuntan publik yang dapat ditunjuk untuk menghitung
kerugian keuangan negara. Namun, terhadap hal ini, maka akuntan yang ditunjuk
tersebut harus mengikuti syarat-syarat yang ditentukan dalam UU Akuntan Publik.
Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU BPK telah diatur bahwa BPK menilai
dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara,
pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan
pengelolaan keuangan negara. namun dalam kasus tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh pegawai negeri selain bendahara.
Belum adanya pengaturan yang jelas mengenai pihak yang berwenang
menghitung kerugian keuangan negara tersebut yang menjadi penyebab munculnya
Universitas Sumatera Utara
banyak penafsiran dan perbedaan pendapat dalam persidangan mengenai pihak yang
berwenang menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus tindak pidana
korupsi. Mengenai perbedaan pendapat di dalam persidangan tidak lepas dari posisi
masing-masing pihak yang berperkara. Menurut pandangan M. Trapman, bahwa
masing-masing pihak dalam suatu persidangan pidana, yaitu Jaksa penuntut Umum,
Pembela atau Penasehat Hukum, Terdakwa, dan Hakim mempunyai fungsi yang
sama karena masing-masing pihak berusaha101
1. “Mencari kebenaran dengan menyelidiki secara jujur fakta perbuatan terdakwa, maksud dan akibatnya, sebagaimana dituduhkan dalam surat dakwaan;
:
2. Menilai apakah fakta itu memenuhi unsur pidana untuk menghukum terdakwa sebagaimana disyaratkan dalam undang-undang
3. Menilai hukuman yang seadil-adilnya yang patut dijatuhkan kepada terdakwa.
Meskipun mempunyai fungsi yang sama, namun karena berada dalam posisi yang berbeda, sewajarnya mereka mempunyai pendirian yang berbeda pula”.
1. Jaksa
Meskipun selaku Pejabat Umum (Openbaar Ambtenaar) mempunyai posisi
yang objektif. Namun, sebagai akibat dari accusatoir pada proses peradilan pidana
dimana jaksa dan terdakwa saling berhadapan dalam kedudukan yang sejajar
(Alsheilijkwaardige partijen tegenover elkander), maka jaksa sebagai penuntut
umum dengan sendirinya mempunyai pendirian yang subjektif.102
Karena bukan pejabat umum, maka dengan sendirinya mempunyai posisi
yang subjektif. Akan tetapi, pada dasarnya pembela/penasihat hukum berfungsi
2. Pembela/Penasihat Hukum
101 M. Trapman dalam Theodorus M. Tuanakotta, Op.cit., hlm. 213. 102 Nila Amania, Op.cit., hlm. 319.
Universitas Sumatera Utara
mengemukakan pendirian mengenai perbuatan-perbuatan tertuduh yang ditinjau dari
sudut hukumnya (naar de juridische betekenis), baik formil maupun materiil.
Dengan demikian, pendiriannya bersifat objektif.103
Seperti pembelanya, mempunyai posisi subjektif. Dalam menghadapi
tuntutan atau dakwaan jaksa, pendiriannya juga subjektif.
3. Terdakwa
104
Selaku Pejabat Umum dengan sendirinya mempunyai posisi yang objektif
karena menjalankan fungsi mengadili terhadap masing-masing pendirian subjektif
dari kedua belah pihak yang berseberangan. Kedua belah pihak ini adalah Jaksa
Penuntut Umum dan Terdakwa/penasihat Hukumnya. Oleh karenanya, hakim wajib
atau setidak-tidaknya diharapkan memegang teguh pendirian yang tidak memihak
dengan menerapkan pendirian yang objektif.
4. Hakim
105
Penasihat hukum biasanya tidak menghadirkan ahli yang menghitung
kerugian negara. Strategi penasihat hukum adalah menyerang dan melemahkan
keterangan ahli yang diajukan penuntut umum. Seringkali hal ini tidak ditujukan
pada keterangan ahli itu sendiri, melainkan pada kredibilitas ahli yang dihadirkan
penuntut umum. Hal yang ingin dicapai penasihat hukum (dan terdakwa) adalah
“tidak ada kerugian negara” atau “adanya kerugian negara yang tidak dapat
dibuktikan dengan sah dan meyakinkan”.
106
103 Ibid. 104 Ibid. 105 Ibid., hlm. 319-320. 106 Ibid., hlm. 320.
Universitas Sumatera Utara
Mengingat masih tingginya jumlah kasus tindak pidana korupsi yang ada di
Indonesia dan dalam rangka mendukung percepatan pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia, sudah saatnya para pihak untuk tidak mempermasalahkan
mengenai kewenangan ahli yang ditunjuk dari penuntut umum untuk menghitung
kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi.107
Agar tidak merugikan para pencari keadilan (subyek hukum sebagai obyek
pemeriksaan), sudah seharusnya penuntut umum selektif dalam menentukan ahli
yang berkompeten dalam menghitung kerugian keuangan negara. Pihak yang
ditunjuk sebagai ahli yang menghitung dan menetapkan jumlah kerugian keuangan
negara harus bisa dituntut untuk profesional dan proporsional, disamping harus
memiliki integritas moral yang tinggi. Parameter-parameter yang digunakan harus
jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dari berbagai sisi dan sudut pandang, logis
serta transparan, tidak berdasarkan kepentingan tertentu, kecuali hukum. Hal ini
penting mengingat hukum acara pidana sebagai landasan suatu pembuktian bertujuan
untuk mencari kebenaran materiil dalam rangka mewujudkan ketertiban dan keadilan
berdasarkan kepada kepastian dan kemanfaatan hukum.
108
Menghadapi fenomena yang demikian, diperlukan suatu pengaturan
mengenai kriteria dan kualifikasi ahli di persidangan khususnya ahli dalam
menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus tindak pidana korupsi, serta
pengaturan mengenai langkah-langkah untuk memperkuat metode dan konsep dalam
penentuan kerugian keuangan negara pada suatu tindak pidana korupsi, yang dapat
107 Ibid. 108 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dibakukan dan diterima secara luas sebagai referensi, terutama oleh pihak-pihak
yang terkait dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.109
Berdasarkan kewenangannya menurut hukum positif di Indonesia, BPKP
adalah lembaga pengawas yang ada selain BPK. Dimana BPK sebagai auditor
eksternal pemerintah dan BPKP sebagai bagian dari aparat pengawasan internal
pemerintah. Kedua lembaga ini memiliki kompetensi yang berbeda atas tindak lanjut
kerugian negara melalui audit investigatif dalam kaitannya dengan unsur pidana.
Berdasarkan kewenangannya yang diamanatkan dari Pasal 23 E UUD 1945, Undang-
Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan, BPK-lah yang dapat melakukan pemeriksaan investigatif guna
mengungkap adanya indikasi kerugian negara atau daerah.
110
Berbeda dengan BPKP yang memperoleh kewenangannya berdasarkan
Keputusan Presiden RI No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen, yang hanya merupakan bagian dari sistem pengendalian internal
pemerintah dalam kaitannya dengan pengawasan internal atas penyelenggaraan tugas
dan fungsi instansi pemerintah yang bersifat preventif atau pencegahan.
111
Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah
kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan
109 Ibid. 110 Ibid., hlm. 321. 111 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
instansi yang berwenang, atau akuntan publik yang ditunjuk. Dalam undang-undang
ini juga tidak dijelaskan secara lebih lanjut mengenai instansi yang berwenang dan
tidak ada kriteria dan kualifikasi akuntan publik yang dapat ditunjuk untuk
menghitung kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.112
Dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK, telah diatur bahwa BPK menilai dan/atau
menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan
hukum, baik yang dilakukan secara sengaja maupun karena kelalaian yang dilakukan
oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara, namun dalam kasus tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil selain bendahara.
113
Belum adanya pengaturan yang jelas mengenai pihak yang berwenang
menghitung kerugian keuangan negara menjadi penyebab munculnya banyak
penafsiran dan perbedaan pendapat dalam persidangan mengenai pihak yang
berwenang menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus tipikor.
114
Selain itu pun, dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun
2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, ternyata mengacu kepada
Standar Audit Pemerintah (SAP) Tahun 1995.
115
112 Ibid. 113 Ibid., hlm. 321-322. 114 Ibid., hlm. 322. 115 Harry Azhar Azis, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara : Peraturan Badan Pemeriksa
Keuangan RI No. 1 Tahun 2017, (Jakarta : BPK RI, 2017), hlm. ii.
Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara (SPKN) adalah standar profesional yang diterbitkan Badan Pemeriksa
Keuangan RI yang digunakan oleh akuntan dalam melakukan pemeriksaan atas
entitas pemerintah yang mengelola keuangan negara. SPKN tersebut merupakan
Universitas Sumatera Utara
standar profesional yang digunakan untuk memperoleh mutu tertinggi dalam
pemeriksaan sesuai standar profesional yang telah ditetapkan. Sedangkan, Standar
Pemeriksaan Akuntan Publik (SPAP) adalah standar profesional yang diterbitkan
oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dalam melakukan pemeriksaan atas
entitas swasta (di luar “keuangan negara”).
Kedua standar profesional tersebut digunakan oleh akuntan publik sebagai
pedoman dalam melakukan pemeriksaan. Jika sedang mengaudit entitas swasta (non-
keuangan negara), maka standar profesional yang digunakan adalah SPAP.
Sedangkan jika dapat proyek memeriksa entitas pemerintah, maka standar yang
digunakan dalam pemeriksaan menggunakan SPKN.
Dalam hal ini, bahwa sektor publik dalam pengelolaan keuangannya
menggunakan dualisme standar yaitu Standar Audit Pemerintah (SAP) dan Standar
Audit Keuangan (SAK). Untuk pengelolaan sektor publik terkait dengan kekayaan
negara yang tidak dipisahkan menggunakan SAP yang telah disempurnakan dengan
SPKN. Sedangkan, kekayaan negara yang dipisahkan yaitu terkait dengan
pengelolaan BUMN/D/Pihak Lain menggunakan SAK. Namun, dalam hal ini SPKN
tetap dapat digunakan untuk semua komponen keuangan negara, baik pemeriksaan
atas pengelolaan kekayaan oleh pemerintah, maupun BUMN/D.116
Dengan demikian, bagi akuntan publik sebelum melakukan pemeriksaan
harus dilihat dulu objeknya apa, apakah instansi pemerintahan ataukah BUMN/D
Persero. Jika, objek pemeriksaan adalah instansi pemerintahan yang menyangkut
116 Maylia Pramono Sari, “Analisis Perbandingan SPAP, IAS, dan SPKN”, Jurnal Dinamika Akuntansi, Vol. 2, No. 1, Maret 2010, hlm. 72.
Universitas Sumatera Utara
pengelolaan keuangan negara, maka digunakanlah Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara (SPKN). Sedangkan, jika objek pemeriksaannya adalah BUMN/D Persero,
maka akuntan publik menggunakan Standar Pemeriksaan Akuntan Publik (SPAP)
atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK).
Universitas Sumatera Utara
BAB III
PROSEDUR DAN METODE PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH AKUNTAN PUBLIK DALAM PERKARA TIPIKOR
Dalam pembahasan kali ini, akan diuraikan mengenai prosedur dan metode
PKKN oleh Akuntan Publik dalam perkara tipikor. Namun, sebelum sampai kepada
pembahasan utama, sebaiknya terlebih dahulu mengetahui prosedur PKKN oleh
BPK, BPKP, dan Akuntan Publik. Selanjutnya, mengenai metode PKKN oleh BPK,
BPKP, dan Akuntan Publik tersebut.
A. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara
Suatu hal yang harus dipahami dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah
adanya pembagian tugas dan wewenang bagi suatu lembaga negara. Sehingga tugas
dan wewenang tersebut dapat secara baik dilaksanakan, serta adanya hambatan-
hambatan dalam pelaksanaan tugas tersebut seperti kurangnya tingkat kemampuan
sumber daya sehingga dibutuhkan pihak lain untuk mengurusnya. Demikian juga
halnya di bidang penyidikan korupsi, maka Penyidik tentunya mengalami hambatan
dalam hal mengaudit catatan, angka-angka yang akan disidiknya tentang suatu tindak
pidana korupsi, maka berdasarkan keadaan tersebut Penyidik membutuhkan instansi
yang memiliki kompetensi terhadap pengelolaan dan pengolahan angka-angka
tersebut. Adapun instansi yang berkompeten untuk melakukan Penghitungan
Kerugian Keuangan Negara (PKKN) adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI,
Universitas Sumatera Utara
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan instansi lainnya,
termasuk di dalamnya Akuntan Publik.
Langkah-langkah dalam menghitung kerugian keuangan negara pada
dasarnya tidak dapat dipolakan secara seragam. Hal ini disebabkan sangat
beragamnya modus operandi kasus-kasus penyimpangan/tindak pidana korupsi yang
terjadi. Namun demikian, dalam menghitung kerugian keuangan negara atas kasus
penyimpangan yang diaudit, auditor dapat menempuh hal-hal sebagai berikut117
1. “Mengidentifikasi Penyimpangan Yang Terjadi
:
a. Dalam tahap ini auditor mengidentifikasikan jenis penyimpangan yang terjadi misalnya kontrak/pembayaran fiktif, mark-up/ kemahalan harga, volume barang lebih kecil dari yang seharusnya, kualitas barang lebih rendah, harga jual terlalu rendah dan sebagainya.
b. Menelaah dasar hukum kegiatan yang diaudit (undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, standar akuntansi keuangan, dan peraturan perundang-undangan lainnya).
c. Meneliti apakah kasus yang diaudit masuk kategori keuangan negara. d. Menentukan penyebab kerugiannya (unsur melawan hukum,
penyalahgunaan jabatan, kelalaian dan sebagainya, apakah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi atau tidak).
e. Mengidentifikasi waktu dan lokasi terjadinya penyimpangan dan atau perbuatan melawan hukum.
2. Mengidentifikasi Transaksi a. Mengidentifikasi jenis transaksi, misalnya: masalah pengadaan
barang/jasa, tanah, ruislag, penyaluran kredit, dan sebagainya. b. Menentukan jenis kerugiannya (misalnya hilang/kurang diterimanya
suatu hak, timbul/bertambahnya kewajiban, pengeluaran lebih besar, penerimaan diterima lebih kecil/tidak diterima, dan sebagainya).
3. Mengidentifikasi, Mengumpulkan, Verifikasi, dan Analisis Bukti Mengidentifikasi, mendapatkan, memverifikasi, dan menganalisis bukti-bukti yang berhubungan dengan perhitungan kerugian keuangan negara atas kasus penyimpangan yang diaudit.
4. Menghitung Jumlah Kerugian Keuangan Negara
117 Budiman Slamet, “Metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negra Dalam Audit Investigatif”, Makalah disampaikan pada Widyaiswara Madya Pada Pusdiklatwas BPKP di Bogor, 2013, hlm. 10-11.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan bukti-bukti yang telah diidentifikasi, dikumpulkan, diverifikasi, dan dianalisis, kemudian dihitung jumlah kerugian keuangan negara yang terjadi”.
1. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI
Berdasarkan UU BPK, standar pemeriksaan merupakan patokan untuk
melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Standar
pemeriksaan terdiri dari standar umum, standar pelaksanaan, dan standar pelaporan
pemeriksaan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. Dalam
melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK telah menyusun standar pemeriksaan
pertama kali pada tahun 1995 yang disebut Standar Audit Pemerintah (SAP). Seiring
dengan perubahan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bidang
pemeriksaan, pada tahun 2007, BPK menyusun standar pemeriksaan dengan nama
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) sebagaimana dimaksud Peraturan
Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara.118
Setelah hampir sepuluh tahun digunakan sebagai standar pemeriksaan, SPKN
2007 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan standar audit internasional,
nasional, maupun tuntutan kebutuhan saat ini. Oleh karena itu, SPKN 2007 perlu
disempurnakan. Perkembangan standar pemeriksaan internasional saat ini mengarah
kepada perubahan dari berbasis pengaturan detail (rule-based standards) ke
pengaturan berbasis prinsip (principle-based standards).
119
118 Harry Azhar Azis, Op.cit., hlm. ii. 119 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan pada tingkat organisasi badan pemeriksa sedunia, INTOSAI
telah menerbitkan International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI)
untuk menjadi referensi pengembangan standar bagi anggota INTOSAI. Khusus
untuk pemeriksaan keuangan, INTOSAI mengadopsi keseluruhan International
Standards on Auditing (ISA) yang diterbitkan oleh International Federation of
Accountants (IFAC). Seiring dengan perkembangan standar internasional tersebut,
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) Tahun 2001 yang diberlakukan dalam
SPKN 2007, juga mengalami perubahan dengan mengadopsi ISA.120
Penyusunan SPKN ini telah melalui proses baku pengembangan standar
sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang maupun kelaziman proses
penyusunan standar dalam dunia profesi. SPKN ini akan selalu dipantau
Pada awal 2017, saat BPK genap berusia 70 tahun, BPK berhasil
menyelesaikan penyempurnaan SPKN 2007 yang selanjutnya ditetapkan menjadi
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017. Sejak diundangkannya
Peraturan BPK ini, SPKN mengikat BPK maupun Pihak Lain yang melakukan
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan SPKN ini,
diharapkan hasil pemeriksaan keuangan negara dapat lebih berkualitas. Hasil
pemeriksaan yang berkualitas akan bermanfaat bagi pengelolaan keuangan negara
yang lebih baik, akuntabel, transparan, ekonomis, efisien, dan efektif. Dengan
demikian akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
120 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
perkembangannya dan akan dimutakhirkan sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan yang ada.121
Keberhasilan suatu standar pemeriksaan bukanlah pada penyusunannya,
tetapi sejauh mana kesuksesan dalam penerapannya. Oleh karenanya, tugas saat ini
adalah berupaya agar SPKN yang telah ditetapkan dapat diterapkan dengan baik.
122
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) dinyatakan dalam bentuk
Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP).
123 SPKN adalah patokan untuk melakukan
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.124 PSP adalah
standar pemeriksaan yang diberi judul, nomor, dan tanggal efektif.125
Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP) terdiri dari
SPKN terdiri
dari Kerangka Konseptual Pemeriksaan dan PSP.
126
a. “PSP Nomor 100 tentang Standar Umum;
:
b. PSP Nomor 200 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan; dan
c. PSP Nomor 300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan”.
PSP Nomor 100, PSP Nomor 200, dan PSP Nomor 300 merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun
2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.127
121 Ibid. 122 Ibid. 123 Pasal 2 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara. 124 Pasal 1 angka 2 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. 125 Pasal 1 angka 3 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. 126 Pasal 3 ayat (3) Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Universitas Sumatera Utara
SPKN berlaku untuk semua pemeriksaan yang dilaksanakan terhadap entitas,
program, kegiatan, serta fungsi berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang memiliki tingkat keyakinan memadai.128
SPKN ini berlaku bagi129
a. “BPK;
:
b. Akuntan Publik atau pihak lainnya yang melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, untuk dan atas nama BPK;
c. Akuntan Publik yang melakukan pemeriksaan keuangan negara berdasarkan ketentuan undang-undang; dan
d. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang melakukan audit kinerja dan audit dengan tujuan tertentu”.
BPK membentuk Komite yang bertugas mengevaluasi penerapan dan
mengembangkan SPKN. Pembentukan Komite ditetapkan dengan Keputusan BPK.
Komite tersebut terdiri dari Dewan Konsultatif dan Panitia Kerja yang dibantu oleh
Sekretariat. Panitia kerja melibatkan pihak di luar BPK sebagai narasumber.130 Hasil
evaluasi atas penerapan dan/atau hasil pengembangan SPKN dilaporkan secara
periodik kepada BPK paling sedikit satu kali setiap tahun.131
Pada saat Peraturan BPK ini mulai berlaku, pemeriksaan yang masih
berlangsung dilaksanakan berdasarkan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan No. 1
127 Pasal 3 ayat (4), (5), dan (6) Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
128 Pasal 4 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
129 Pasal 5 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
130 Pasal 6 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
131 Pasal 7 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.132 Pada saat Peraturan
BPK ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Badan
Pemeriksa Keuangan No. 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Peraturan ini.133 Pada saat Peraturan BPK ini mulai berlaku,
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan No. 1 Tahun 2007 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.134
Unsur-unsur pemeriksaan keuangan negara, meliputi
Oleh
karenanya, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 mulai
berlaku pada tanggal diundangkannya.
135
a. “Hubungan tiga pihak, yang terdiri atas:
:
1) pemeriksa keuangan negara, 2) pihak yang bertanggung jawab, dan 3) pengguna LHP;
b. Hal pokok (subject matter) dan informasi hal pokok (subject matter information);
c. Kriteria pemeriksaan; d. Bukti pemeriksaan; e. Laporan hasil pemeriksaan; dan f. Pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan”. Pemeriksaan keuangan negara melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu : pemeriksa
keuangan negara; pihak yang bertanggung jawab; dan pengguna LHP.136
132 Pasal 8 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
133 Pasal 9 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
134 Pasal 10 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
135 Lampiran I Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara : Kerangka Konseptuan Pemeriksaan, hlm. 10.
136 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
1) Pemeriksa Keuangan Negara
BPK adalah lembaga negara yang memiliki tugas dan wewenang untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK dapat
menugaskan Pemeriksa BPK dan/atau tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar
BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK. Pemeriksa BPK adalah Pelaksana BPK
yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara untuk dan atas nama BPK. Tenaga ahli dan/atau pemeriksa di luar BPK dapat
sebagai orang-perorangan maupun lembaga dari luar BPK.137
Pemeriksaan keuangan negara juga dapat dilaksanakan oleh akuntan publik
berdasarkan ketentuan undang-undang. Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh
akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, pemeriksaan dilaksanakan
dengan berdasarkan pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dan SPKN.
Pedoman penggunaan SPKN oleh akuntan publik akan diatur BPK dalam suatu
ketentuan. Laporan yang dihasilkan oleh akuntan publik tersebut wajib disampaikan
kepada BPK untuk dievaluasi. Pelaksanaan evaluasi mengikuti tata cara yang
ditetapkan BPK. Hasil pemeriksaan akuntan publik dan evaluasi tersebut selanjutnya
disampaikan oleh BPK kepada lembaga perwakilan, sehingga dapat ditindaklanjuti
sesuai dengan kewenangannya.
138
2) Pihak Yang Bertanggung Jawab
Pihak yang bertanggung jawab adalah pihak yang diperiksa, yang
bertanggung jawab atas informasi hal pokok dan/atau bertanggung jawab mengelola
137 Ibid., hlm. 10-11. 138 Ibid., hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
hal pokok, dan/atau bertanggung jawab menindaklanjuti hasil pemeriksaan antara
lain Presiden, Menteri, dan Kepala Daerah.139
3) Pengguna LHP
Pengguna LHP adalah lembaga perwakilan, pemerintah, serta pihak lain yang
mempunyai kepentingan terhadap LHP.140
a. Lembaga Perwakilan
Lembaga perwakilan yang dimaksud yaitu DPR, DPD, dan DPRD.
Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan
melakukan pembahasan sesuai kewenangannya. Lembaga perwakilan
dapat meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti
hasil pemeriksaan dan atau meminta BPK melakukan pemeriksaan
lanjutan. Lembaga perwakilan dapat meminta Pemerintah untuk
melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan.141
b. Pemerintah
Yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.142
c. Pihak lain yang berkepentingan
139 Ibid., hlm. 11. 140 Ibid. 141 Ibid. 142 Ibid., hlm. 12.
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud pihak lain yang berkepentingan antara lain
masyarakat, instansi penegak hukum, dan lembaga yang mempunyai
kepentingan terhadap LHP.143
Hal Pokok (subject matter) dan Informasi Hal Pokok (Subject Matter
Information). Hal pokok adalah hal-hal yang diperiksa dan/atau hal-hal yang menjadi
perhatian dalam suatu penugasan pemeriksaan, yang dapat berupa informasi, kondisi,
atau aktivitas yang dapat diukur/dievaluasi berdasarkan kriteria tertentu. Informasi
hal pokok adalah hasil evaluasi atau hasil pengukuran hal pokok terhadap kriteria.
Hal pokok dan informasi hal pokok memiliki bentuk yang beragam dan karakteristik
yang berbeda tergantung tujuan pemeriksaannya. Hal pokok dan informasi hal pokok
dapat berupa, tetapi tidak terbatas pada, sebagai berikut
144
a. kinerja atau kondisi keuangan (sebagai contoh: posisi keuangan, kinerja
keuangan, dan arus kas historis atau prospektif), dalam hal ini informasi
hal pokok dapat berupa pengakuan, pengukuran, penyajian, dan
pengungkapan yang tercermin dalam laporan keuangan;
:
b. kinerja atau kondisi nonkeuangan (sebagai contoh: kinerja suatu entitas),
dalam hal ini informasi hal pokok mungkin merupakan indikator utama
efisiensi dan efektivitas;
c. karakteristik fisik (sebagai contoh: kapasitas suatu fasilitas), dalam hal ini
informasi hal pokok dapat berupa dokumen tentang spesifikasi;
143 Ibid., hlm. 12. 144 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
d. sistem dan proses (sebagai contoh: pengendalian internal atau sistem
teknologi informasi atau entitas), dalam hal ini informasi hal pokok dapat
berupa asersi tentang efektivitas;
e. perilaku (sebagai contoh: praktik tata kelola korporasi, kepatuhan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, sumber daya
manusia), dalam hal ini informasi hal pokok dapat berupa suatu
pernyataan kepatuhan atau suatu pernyataan efektivitas.
Hal pokok memiliki karakteristik yang berbeda-beda, yang mencakup sampai
sejauh mana informasi atas hal pokok tersebut bersifat kualitatif atau kuantitatif,
objektif atau subjektif, historis atau prospektif, dan terkait dengan suatu titik waktu
atau melingkupi periode tertentu. Karakteristik tersebut akan mempengaruhi145
a. tingkat ketepatan dalam mengukur dan mengevaluasi hal pokok tersebut
berdasarkan kriteria; dan
:
b. tingkat kemampuan bukti yang tersedia untuk memberikan keyakinan.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) menyajikan karakteristik tertentu dan
mempertimbangkan dampak dari karakteristik tersebut yang relevan dengan
pengguna LHP.146
Penentuan hal pokok dapat dikatakan tepat, jika
147
a. dapat diidentifikasi dan memungkinkan evaluasi dan pengukuran yang
konsisten terhadap kriteria yang telah diidentifikasi; dan
:
145 Ibid., hlm. 13. 146 Ibid. 147 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b. memungkinkan untuk diterapkan prosedur dalam memperoleh bukti yang
cukup dan tepat serta mendukung kesimpulan guna memberikan
keyakinan yang memadai.
Kriteria pemeriksaan adalah tolok ukur yang digunakan dalam memeriksa
dan menilai hal pokok, dalam hal ini informasi yang diungkapkan dalam pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk tolok ukur penyajian dan
pengungkapan yang relevan. Setiap pemeriksaan menggunakan kriteria pemeriksaan
yang sesuai dengan konteks pemeriksaannya. Kriteria pemeriksaan yang digunakan
bergantung pada sejumlah faktor, antara lain tujuan dan jenis pemeriksaan. Kriteria
pemeriksaan yang digunakan harus tersedia bagi pengguna LHP sehingga pengguna
memahami proses evaluasi dan pengukuran suatu hal pokok.148
Kriteria pemeriksaan yang sesuai menggambarkan karakteristik sebagai
berikut
149
a. Relevan, memberikan kontribusi kepada kesimpulan guna membantu
pengambilan keputusan oleh pengguna;
:
b. Lengkap, faktor-faktor relevan yang dapat memengaruhi kesimpulan
tidak ada yang diabaikan;
c. Andal, memungkinkan pengevaluasian dan pengukuran yang konsisten
terhadap hal pokok oleh pemeriksa lain yang mempunyai kualifikasi yang
sama;
148 Ibid. 149 Ibid., hlm. 13-14.
Universitas Sumatera Utara
d. Netral, memberikan kontribusi kepada kesimpulan yang bebas dari
keberpihakan; dan
e. Dapat dipahami, mudah dipahami oleh pengguna sehingga pembuatan
kesimpulan menjadi jelas, komprehensif, dan tidak rentan terhadap
penafsiran yang berbeda-beda.
Kriteria pemeriksaan dapat bersumber dari ketentuan peraturan perundang-
undangan, standar yang diterbitkan organisasi profesi tertentu, kontrak, kebijakan
dan prosedur yang ditetapkan oleh entitas yang diperiksa, atau kriteria yang
dikomunikasikan oleh Pemeriksa kepada pihak yang bertanggung jawab.150
Bukti pemeriksaan adalah informasi yang digunakan oleh Pemeriksa dalam
menentukan kesesuaian hal pokok dengan kriteria pemeriksaan. Pemeriksa
mempertimbangkan kecukupan dan ketepatan bukti yang diperoleh.
151
Kecukupan bukti pemeriksaan merupakan ukuran kuantitas bukti
pemeriksaan, yang dipengaruhi oleh penilaian Pemeriksa atas risiko pemeriksaan dan
kualitas bukti pemeriksaan. Ketepatan bukti pemeriksaan merupakan ukuran kualitas
bukti pemeriksaan yaitu relevan, valid, dan andal untuk mendukung hasil
pemeriksaan.
152
Kecukupan dan ketepatan bukti pemeriksaan saling berhubungan satu sama
lain. Kuantitas bukti yang lebih banyak belum tentu dapat mengompensasi kualitas
bukti yang buruk.
153
150 Ibid., hlm. 14. 151 Ibid. 152 Ibid. 153 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Bentuk bukti pemeriksaan bermacam-macam, seperti catatan transaksi
elektronis/fisik, komunikasi tertulis atau elektronis dengan pihak di luar entitas yang
diperiksa, hasil observasi Pemeriksa, maupun keterangan lisan/tertulis dari pihak
yang diperiksa. Metode yang digunakan dalam pemerolehan bukti bisa termasuk
inspeksi, observasi, permintaan keterangan, konfirmasi, rekalkulasi, prosedur
analitis, dan/atau teknik lainnya.154
Pemeriksa mempertimbangkan hubungan antara biaya pemerolehan bukti
dengan kegunaan informasi yang diperoleh. Kesulitan atau biaya yang timbul untuk
memperoleh bukti tidak boleh dijadikan alasan untuk menghilangkan suatu prosedur
pengumpulan bukti ketika prosedur alternatif tidak tersedia. Pemeriksa menggunakan
pertimbangan profesionalnya dan menerapkan skeptisisme profesional dalam
mengevaluasi kuantitas dan kualitas bukti, yaitu kecukupan dan ketepatan bukti,
untuk mendukung LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan).
155
Pemeriksa membuat LHP berupa laporan tertulis yang berisi suatu
kesimpulan yang diperoleh tentang informasi hal pokok. LHP berisi hasil analisis
atas pengujian bukti yang diperoleh saat pelaksanaan pemeriksaan. Struktur dan
format LHP ditetapkan lebih lanjut dalam standar pelaporan. LHP digunakan oleh
pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan atas pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara.
156
LHP yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan dinyatakan terbuka
untuk umum, kecuali yang memuat rahasia negara dan/atau mengandung unsur
154 Ibid. 155 Ibid., hlm. 14-15. 156 Ibid., hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
pidana yang diproses hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. LHP yang terbuka untuk umum berarti dapat diperoleh
dan/atau diakses oleh masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.157
LHP ditindaklanjuti oleh pejabat pengelola keuangan negara selaku pihak
yang bertanggung jawab sesuai kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-
undangan. BPK memantau secara periodik pelaksanaan tindak lanjut atas LHP dan
menyampaikan hasil pemantauannya kepada lembaga perwakilan, dan pihak yang
bertanggung jawab. Pemeriksa mempertimbangkan tindak lanjut hasil pemeriksaan
sebelumnya yang berhubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan.
158
Pemeriksa harus menyusun dokumentasi pemeriksaan yang memadai secara
tepat waktu pada seluruh tahapan pemeriksaan dan memberikan pemahaman yang
jelas atas prosedur pemeriksaan yang dilakukan, pertimbangan profesional, bukti
yang diperoleh, dan kesimpulan yang dibuat.
159
157 Ibid. 158 Ibid. 159 Lampiran II Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar
Pemeriksaan keuangan Negara : Pernyataan Standar Pemeriksaan 100, hlm. 32.
Pemeriksa harus menyusun
dokumentasi pemeriksaan guna memberikan informasi yang jelas dan memadai.
Melalui dokumentasi tersebut, Pemeriksa lain yang tidak memiliki latar belakang
pengetahuan atas pemeriksaan tersebut dapat memahami sifat, waktu, lingkup, dan
hasil dari prosedur pemeriksaan yang dilaksanakan, bukti yang diperoleh dalam
mendukung temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksaan, serta alasan dibalik
semua hal signifikan yang dibutuhkan dalam mengambil pertimbangan profesional
dan kesimpulan terkait. BPK harus mengembangkan sistem dokumentasi
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan yang efisien dan efektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.160
Dalam pemeriksaan keuangan, Standar Pemeriksaan ini memberlakukan
standar audit yang dimuat dalam SPAP yang ditetapkan oleh asosiasi profesi akuntan
publik, sepanjang tidak diatur lain dalam Standar Pemeriksaan ini. Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah yang melaksanakan audit kinerja dan audit dengan
tujuan tertentu, dan akuntan publik yang memeriksa keuangan negara berdasarkan
ketentuan undang-undang wajib melaksanakan seluruh ketentuan yang relevan dalam
Standar Pemeriksaan ini.
161
Pemeriksa harus merancang dan melaksanakan prosedur pemeriksaan yang
tepat untuk memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat. Pemeriksa harus
menerapkan prosedur yang telah dirancang untuk memperoleh bukti pemeriksaan
yang cukup dan layak atas risiko kecurangan yang telah teridentifikasi. Pemeriksa
harus menentukan respons keseluruhan jika ditemukan indikasi awal
kecurangan/indikasi kecurangan di dalam pemeriksaan. Pemeriksa harus
mempertimbangkan kecukupan dan ketepatan bukti dalam mengidentifikasikan
sumber-sumber data potensial yang berasal dari entitas yang diperiksa, hasil analisis
Pemeriksa, atau pihak-pihak lain. Pemeriksa harus melakukan pendalaman jika
dalam pemerolehan bukti, Pemeriksa menduga bahwa dokumen tidak otentik atau isi
dokumen telah dimodifikasi tetapi tidak diinformasikan kepada Pemeriksa.
162
160 Ibid. 161 Ibid. 162 Lampiran III Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara : Pernyataan Standar Pemeriksaan 200, hlm. 46
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksa harus memodifikasi prosedur pemeriksaan yang diperlukan
apabila bukti pemeriksaan yang diperoleh dari satu sumber bertentangan atau tidak
konsisten dengan bukti yang diperoleh dari sumber lain atau Pemeriksa memiliki
keraguan atas keandalan informasi yang akan digunakan sebagai bukti pemeriksaan.
Pemeriksa dapat memperoleh bukti dengan menggunakan uji petik pemeriksaan
untuk memberikan dasar yang memadai bagi Pemeriksa untuk menarik kesimpulan.
Sepanjang proses pemeriksaan, Pemeriksa harus me-review kecukupan dan ketepatan
bukti dan menghubungkannya dengan tujuan pemeriksaan serta meresponsnya
dengan menganalisis kebutuhan untuk memodifikasi prosedur pemeriksaan.163
Pemeriksa harus mengembangkan temuan pemeriksaan apabila menemukan
ketidaksesuaian antara kondisi dan kriteria. Pemeriksa harus mempertimbangkan
unsur temuan yang terdiri dari kondisi, kriteria, akibat, dan sebab dalam
mengembangkan temuan pemeriksaan. Namun unsur yang dibutuhkan untuk sebuah
temuan pemeriksaan bergantung pada tujuan pemeriksaan.
164
Pemeriksa dapat membuat temuan pemeriksaan untuk memenuhi tujuan
pemeriksaan dalam rangka menarik kesimpulan dan/atau rekomendasi. Apabila
menemukan indikasi awal kecurangan, Pemeriksa harus menindaklanjuti indikasi
awal kecurangan tersebut sesuai dengan ketentuan.
165
Pemeriksa harus menyusun LHP secara tertulis untuk mengomunikasikan
hasil pemeriksaannya. Pemeriksa harus menyusun LHP secara tepat waktu, lengkap,
163 Ibid., hlm. 46-47. 164 Ibid., hlm. 47. 165 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
akurat, objektif, meyakinkan, jelas, dan ringkas.166 LHP harus memenuhi unsur
laporan sesuai dengan jenis pemeriksaannya. Unsur LHP, antara lain167
a. Pernyataan bahwa pemeriksaan dilaksanakan sesuai dengan standar
pemeriksaan;
:
b. Tujuan, lingkup, metodologi;
c. Kesimpulan;
d. Temuan pemeriksaan;
e. Rekomendasi pemeriksaan;
f. Tanggapan pihak yang bertanggungjawab; dan
g. Penandatanganan LHP.
BPK harus menyerahkan LHP tepat waktu kepada lembaga perwakilan, pihak
yang bertanggung jawab, dan pihak lain yang diberi wewenang untuk menerima
LHP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal yang
diperiksa merupakan informasi rahasia maka pendistribusian LHP tersebut dapat
dibatasi. Informasi yang diperoleh melalui PDTT dalam bentuk pemeriksaan
investigatif merupakan informasi rahasia.168
166 Lampiran IV Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara : Pernyataan Standar Pemeriksaan 300, hlm. 59.
167 Ibid. 168 Ibid., hlm. 61.
Universitas Sumatera Utara
2. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Hubungan kerja antara instansi penyidik dengan Auditor BPKP dituangkan
dalam berbagai kesepakatan.169 Sesuai Surat Edaran Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) No. SE-853/D/VII/1995, tertanggal 16 Juni 1995 tentang
Bantuan Pemeriksaan/Bantuan Tenaga Pemeriksaan BPKP kepada instansi penyidik,
ditetapkan bahwa apabila permintaan bantuan dari instansi penyidik, berupa170
a. “Permintaan bantuan menghitung jumlah kerugian keuangan negara
:
Pelaksanaan dan hasilnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab instansi penyidik, baik dalam hal penerbitan surat tugas maupun penyusunan laporannya. Petugas BPKP yang diperbantukan cukup menyerahkan secara tetulis hasil perhitungannya dengan sebuah nota/surat pengantar kepada instansi penyidik. Petugas BPKP juga menembuskan nota/surat pengantar tersebut kepada atasan di BPKP yang memberi penugasan perbantuan, sebagai tanggung jawab telah berakhirnya penugasan. Sedangkan atasan yang bersangkutan tidak perlu meneruskan tembusan tersebut ke instansi manapun.
b. Permintaan bantuan untuk melakukan pemeriksaan
Pelaksanaan dan hasilnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPKP, baik dalam hal penerbitan surat tugas maupun dalam penyusunan laporan hasil pemeriksaannya. Oleh karena itu, sebelum memenuhi permintaan instansi penyidik, harus diteliti dengan seksama dan harus dipertimbangkan apakah objek yang akan diperiksa tersebut benar-benar masih dalam kewenangan BPKP untuk memeriksanya. Jika berada di luar kewenangan BPKP, kepada instansi penyidik agar dimintakan perlakuan yang sama sebagaimana dijelaskan di atas”.
169 Budiman Butar-Butar, Op.cit., hlm. 106. 170 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Deputi Bidang Investigasi, Petunjuk
Pelaksanaan Pemeriksaan Khusus Kasus Penyimpangan Yang Berindikasi Merugikan Keuangan/Kekayaan Negara dan/atau Perekonomian Negara, (Jakarta : BPKP Deputi Bidang Investigasi, 2001), hlm. 47.
Universitas Sumatera Utara
Agar pelaksanaan tugas tersebut di atas dapat berjalan lebih efisien dan
terarah, Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Khusus/Kepala Perwakilan
BPKP, terlebih dahulu meminta data kepada instansi penyidik, berupa171
a. “Resume permasalahan;
:
b. Kasus posisi dan modus operandi beserta uraiannya;
c. Bukti pendukung untuk menghitung kerugian keuangan negara”.
Di samping itu, petugas pemeriksa BPKP harus mempunyai kebebasan penuh
untuk menentukan alat/barang bukti yang perlu diperiksa dan tidak membatasi diri
hanya pada alat/barang bukti yang diperoleh dari pihak instansi penyidik.
Adapun prosedur pemeriksaan kerugian keuangan negara terhadap perkara
tipikor yang sedang ditangani penyidik yang dilakukan oleh BPKP, adalah sebagai
berikut : Penyidik yang menerima laporan dan/atau mengetahui tentang adanya suatu
perbuatan yang diduga korupsi, melakukan serangkaian tindakan penyelidikan
dengan mencari dan mengumpulkan fakta-fakta dan bukti-bukti tentang korupsi
tersebut. Setelah mendapat dan memperoleh fakta/bukti tentang dugaan perbuatan
merugikanf keuangan atau perekonomian negara, maka penyidik meminta bantuan
kepada Auditor BPKP untuk melakukan audit investigatif untuk mengetahui apakah
terdapat kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Pihak BPKP setelah menerima surat dari penyidik meminta kepada penyidik
untuk melakukan ekspose/paparan tentang kasus dan bukti/fakta yang sudah
diperoleh. Setelah menerima penjelasan dan gambaran kasus didukung fakta/bukti
yang diperoleh penyidik, maka Tim Auditor BPKP datang ke tempat instansi
171 Loc.cit., hlm. 107.
Universitas Sumatera Utara
penyidik yang meminta melakukan audit atas fakta-fakta/bukti yang ada, dan melihat
ke lokasi/TKP apabila diperlukan.
Setelah melakukan audit, maka auditor mengkaji dan kemudian membuat
Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) dan perhitungan kerugian keuangan negara
dan menyerahkan kepada penyidik yang bersangkutan. Penyidik akan mempelajari
hasil laporan auditor dan apabila hasil audit menyimpulkan terdapat kerugian
keuangan negara, maka perbuatan tersebut masuk kategori pidana korupsi, dan
penyidik akan meningktkan tahap penyelidikan menjadi penyidikan, dan akan
ditetapkan siapa orang yang bertanggung jawab atas kerugian negara tersebut atua
dengan kata lain menetapkan tersangkanya.
Apabila hasil audit dari auditor menyatakan tidak terdapat kerugian keuangan
negara, berarti perbuatan tersebut bukanlah tindak pidana korupsi. Laporan hasil
audit tersebut akan berfungsi sebagai alat bukti surat dan berfungsi sebagai salah satu
dari 5 (lima) alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP dan peranannya
sangat menentukan dalam pengungkapan tindak pidana korupsi. Apabila hasil audit
belum ada, maka suatu kasus tidak bisa disimpulkan perbuatan tersebut merupakan
tindak pidana korupsi dan juga tidak bisa ditetapkan seseorang sebagai tersangkanya.
Setelah penyidik menerima Laporan Hasil Audit Investigatif (LHAI) dari
Auditor BPKP, kemudian penyidik meminta keterangan sebagai ahli dari auditor
yang bersangkutan untuk memperkuat dan menjelaskan temuannya atau hasil
auditnya. Keterangan tersebut dibuatkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Ahli dan
Universitas Sumatera Utara
berfungsi sebagai salah satu dari alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP yaitu sebagai
alat bukti keterangan ahli.
Sehingga dari Auditor BPKP tersebut akan diperoleh 2 (dua) alat bukti
ditambah dengan keterangan saksi yang tentunya pasti ada. Dengan adanya 3 (tiga)
alat bukti sudah dapat menggiring seseorang menjadi tersangka untuk disidangkan di
Pengadilan, karena menurut Pasal 183 KUHAP bahwa dengan adanya 2 (dua) alat
bukti ditambah keyakinan hakim, barulah dapat menjatuhkan pidana kepada
seseorang.
3. Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh Instansi Lainnya, Termasuk Kantor Akuntan Publik
Prosedur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) oleh instansi
lainnya, termasuk Kantor Akuntan Publik harus mengikuti prosedur yang telah
ditentukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebab berdasarkan Pasal 5
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar
Pemeriksa Keuangan Negara, menyatakan bahwa :
“SPKN berlaku bagi : a. BPK; b. akuntan publik atau pihak lainnya yang melakukan pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, untuk dan atas nama BPK;
c. akuntan publik yang melakukan pemeriksaan keuangan negara berdasarkan ketentuan undang-undang; dan
d. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang melakukan audit kinerja dan audit dengan tujuan tertentu”.
Jadi, demi hukum bagi Kantor Akuntan Publik yang akan melakukan
pemeriksaan kerugian keuangan negara terhadap perkara tipikor atas permintaan
Universitas Sumatera Utara
penyidik, haruslah menggunakan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)
sesuai Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara. Akutan Publik atau pihak lainnya yang melakukan
pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, harus
melakukan PKKN untuk dan atas nama BPK.172
Berdasarkan perspektif metode PKKN yang dikeluarkan oleh BPK
sebagaimana dimaksud Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017
tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), maka SPKN tersebut dibuat
berdasarkan Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP).
Dengan demikian, KAP tidak dapat
melakukan PKKN tanpa bertindak berdasarkan permintaan dari BPK.
173 Penilaian berdasarkan SAP
adalah penilaian pemerintah terhadap pengelolaan keuangan negara oleh instansi
pemerintahan (government judgement). Berbeda dengan prinsip pemeriksaan
keuangan berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang
penilaiannya merupakan penilaian bisnis (busines judgement).174
B.
Metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negara
Dalam melakukan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN)
terlebih dahulu harus diketahui apakah kasus yang dihitung kerugian keuangan
negaranya masih masuk dalam ruang lingkup Keuangan Negara, atau tidak. Menurut
172 Pasal 5 huruf b Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksa Keuangan Negara.
173 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah yang membagi 2 (dua) sistem standar akuntansi, yaitu Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) dan Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD).
174 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 15 Revisi 2009.
Universitas Sumatera Utara
UU Keuangan Negara, ruang lingkup keuangan negara adalah semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa
uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.175
Berdasarkan perspektif akuntansi keuangan, pada dasarnya kerugian
keuangan negara terjadi jika prestasi yang diterima oleh negara lebih kecil dari uang
yang dibayarkan oleh negara. Sama halnya dengan prisip akuntansi, prestasi yang
diterima sebagai sisi debit. Sedangkan, uang yang dikeluarkan negara sebagai kredit.
Antara debit dan kredit harus sama (balance). Jika terdapat sisi debit lebih kecil
daripada sisi kredit alias tidak balance, maka timbullah yang disebut kerugian
keuangan negara. Bagaimana jika sisi debit lebih besar dari sisi kredit dalam arti
prestasi yang diperoleh negara lebih besar daripada uang yang dibayarkan. Apakah
pihak rekanan/penyedia barang & jasa dapat menuntut pembayaran lebih. Jawabnya
tentu saja tidak karena yang menjadi dasar perikatan adalah kontrak awal antara
negara dan rekanan/penyedia barang/jasa. Sebaliknya, jika prestasi yang diterima
negara lebih kecil daripada uang yang dibayarkan, negara berhak meminta
pengembalian uang dari rekanan/penyedia barang/jasa.
176
Adapun tujuan dari sebuah kegiatan audit investigatif atau audit dalam
rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) adalah untuk menentukan
ada atau tidaknya penyimpangan dan kerugian yang ditimbulkan dari penyimpangan
175 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 176 Official Blog Inspektorat Kota Bekasi, “Menghitung Kerugian Keuangan Negara”,
https://inspektoratbekasikota.wordpress.com/2016/04/30/menghitung-kerugian-keuangan-negara/., diakses pada hari Kamis, tanggal 01 Februari 2018.
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Dapat dikatakan bila terdapat kerugian keuangan hampir dipastikan terdapat
penyimpangan. Namun, ada juga kondisi dimana terdapat penyimpangan namun
tidak ditemukan kerugian keuangan negara. Misalnya, pada kasus pengadaan
barang/jasa di atas Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) menurut Perpres
Pengadaan barang/Jasa, pengadaan tersebut harus dilakukan dengan metode
pelelangan umum, namun pihak SKPD melakukannya secara swakelola.
Penyimpangan telah terjadi namun setelah dilakukan audit investigatif ternyata
barang tersebut telah sesuai spesifikasi dan tidak terjadi kemahalan harga sehingga
tidak terjadi kerugian keuangan negara.
Pada saat melakukan audit investigatif PKKN atas kasus tipikor, auditor
memerlukan metode penghitungan yang tepat untuk dapat menghitung jumlah
kerugian keuangan negara yang terjadi. Penggunaan metode untuk menghitung
kerugian keuangan negara yang ditentukan berdasarkan bukti-bukti audit yang
mendukung pengungkapan kronologi fakta dan terjadinya pengeluaran negara.
Metode penghitungan kerugian keuangan tidak dapat disamaratakan antara kasus
satu dengan kasus yang lain. Dalam artian metode PKKN sangat bergantung dengan
sifat kasusnya, judgement auditor itu sendiri dan kriteria yang digunakan. Sehingga
tidak heran jika ada suatu kasus tipikor yang sama, beberapa pemeriksa memiliki
hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) yang berbeda-beda.
Metode untuk menghitung kerugian keuangan negara pada dasarnya sangat
beragamnya sesuai dengan modus operandi kasus penyimpangan/tindak pidana
korupsi. Theodorus M. Tuanakotta dalam bukunya “Menghitung Kerugian Keuangan
Universitas Sumatera Utara
Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” membahas beberapa pola penghitungan
kerugian negara. Masing-masing pola penghitungan diberi nama yang umum untuk
memudahkan penyebutan dalam pembahasan selanjutnya :
1. Kerugian Total (Total Loss)
Jumlah kerugian total dihitung dari seluruh jumlah uang yang dibayarkan/
dikeluarkan oleh negara karena negara tidak mendapatkan imbalan/prestasi senilai
jumlah pengeluaran uang tersebut. Metode penghitungan kerugian total (total loss)
dipergunakan untuk menghitung kerugian keuangan negara pada kasus kegiatan
fiktif dan barang/jasa yang sama sekali tidak dapat digunakan.
Dalam metode ini, seluruh jumlah yang dibayarkan dinyatakan sebagai
kerugian keuangan negara. Sebagai contoh pejabat tinggi di suatu Kementerian
menyetujui pembelian komponen (suku cadang) mesin dan alat berat dari negara
lain. Mesin dan alat berat tersebut, baik dalam keadaan terpasang (built up) maupun
dalam keadaan terurai, tidak lagi diproduksi di negara pengekspor. Tidak ada pabrik
lain di dunia yang memproduksi mesin dan alat berat maupun suku cadangnya yang
dapat digunakan sebagai pengganti komponen yang diimpor.177
Tindak pidana ini melibatkan beberapa pejabat tinggi Indonesia, baik dalam
negeri maupun luar negeri. Jumlah pengeluaran untuk pembelian ini mencapai
triliunan rupiah. Seluruh pengeluaran ini merupakan kerugian keuangan negara. Tim
Pembela mencoba menggunakan argumen bahwa komponen (baca : barang
rongsokan) tersebut masih mempunyai nilai sebagai besi tua. Argumen ini ditolak,
177 Theodorus M. Tuanakotta, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
karena biaya untuk membesituakan suku cadang tersebut dan mengangkutnya ke
pabrik baja terdekat sangat mahal (Biaya ini disebut salvaging cost).178
Metode ini juga diterapkan dalam penerimaan negara yang tidak disetorkan,
baik sebagian maupun seluruhnya. Bagian yang tidak disetorkan ini merupakan
kerugian total.
179 Beberapa kondisi ketika metode total loss dapat diterapkan180
a. “Pengadaan barang/jasa fiktif;
:
b. Kegiatan fiktif;
c. Honor fiktif/tidak dibayarkan;
d. Barang/jasa yang diterima tidak sesuai spesifikasi kontrak sehingga tidak
dapat digunakan atau dimanfaatkan”.
2. Kerugian Total Dengan Penyesuaian
Metode penghitungan kerugian keuangan negara ini adalah (Total Loss +
Penyesuaian). Penyesuaian ini diperlukan kalau barang yang dibeli harus
dimusnahkan dan pemusnahannya memakan biaya. Zat kimia yang akan
dimusnahkan harus ditangani dengan cara-cara tertentu dengan mengeluarkan biaya
yang mahal. Kerugian keuangan negara bukan saja berupa pengeluaran untuk
pengadaan barang tersebut, tetapi juga biaya untuk memusnahkan atau
menyingkirkannya.181
178 Ibid. 179 Ibid. 180 Official Blog Inspektorat Kota Bekasi, Op.cit. 181 Theodorus M. Tuanakotta, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
3. Kerugian Bersih (Net Loss)
Metode net loss (kerugian bersih) dipergunakan apabila dalam kasus
pengadaan barang/jasa terjadi kekurangan volume pekerjaan. Dalam kasus ini
rekanan hanya berhak menerima pembayaran sebesar prestasi yang dia berikan
kepada negara. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden RI No. 70 Tahun
2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden RI No. 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 89 ayat 4, yang berbunyi :
“Pembayaran bulanan/termin untuk Pekerjaan Konstruksi, dilakukan senilai
pekerjaan yang telah terpasang, termasuk peralatan dan/atau bahan yang
menjadi bagian dari hasil pekerjaan yang akan diserahterimakan, sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam Kontrak”.
Pajak-pajak yang telah disetorkan ke kas negara harus dikurangkan terlebih
dahulu. Baru kemudian pembayaran netto yang diterima rekanan (setelah dikurangi
pajak) disandingkan dengan nilai realisasi terpasang yang dihitung berdasarkan
penghitungan volume pekerjaan terpasang oleh ahli teknis bangunan. Auditor tidak
dapat menghitung sendiri volume pekerjaan terpasang karena auditor tidak
mempunyai kompetensi di bidang teknik bangunan/konstruksi. Sebagai solusinya,
auditor bisa meminta bantuan ahli teknik misalnya dari Dinas Pekerjaan Umum atau
Universitas yang independen. Kalau melihat skema penghitungan kerugian keuangan
negara tadi seolah-olah auditor tidak mempertimbangkan besaran keuntungan yang
berhak diterima oleh rekanan. Jawabannya adalah jika dalam proses pengadaan
Universitas Sumatera Utara
sudah terdapat penyimpangan, maka judgement auditor menyatakan bahwa rekanan
tersebut tidak berhak atas keuntungan.
Metode penghitungan kerugian keuangan negara ini, seperti dalam metode
Kerugian Total, dengan penyesuaian ke bawah. Contohnya dalam kerugian total di
atas dapat dikembangkan lebih lanjut dengan argumen yang dikemukakan tim
pembela, yaitu “barang rongsokan itu masih ada nilainya”. Dengan demikian,
kerugian keuangan negara hanyalah sejumlah kerugian bersih, yaitu kerugian total
dikurangi dikurangi nilai bersih barang rongsokan tersebut. Nilai bersih ini
merupakan selisih yang bisa diperoleh (harga besi tua) dikurangi salvaging cost.
Dalam contoh komponen mesin dan alat berat, salvaging cost dapat ditaksir,
misalnya oleh ahli dari PT Krakatau Steel.182
Pertanyaannya : kapan metode Kerugian Total digunakan, dan kapan metode
Kerugian Bersih diterapkan. Ada dua pandangan yang dapat digunakan oleh majelis
hakim sebagai bahan pertimbangan.
183
Pertama, pandangan yang bersifat teknis akuntansi. Berapa besarnya
salvaging cost. Apakah salvaging cost dapat dihitung cukup seksama (akurat)
sehingga tidak menimbulkan tambahan kerugian negara di kemudian hari.
184
Kedua, pandangan yang bersifat hukum. Seberapa besar kadar kejahatannya
(tindak pidana). Pada salah satu dari 15 sampel KPK, majelis hakim terakhir
menerapkan penghitungan Kerugian Bersih. Tidak seluruh premi yang dibayarkan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dianggap sebagai kerugian negara. Unsur yang
182 Ibid. 183 Ibid. 184 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
ditetapkan sebagai kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut adalah seluruh
premi yang dibayarkan KPU dikurangi klaim-klaim asuransi yang diterima KPU.185
4.
Harga Wajar
Metode harga wajar dipergunakan apabila dalam kasus pengadaan barang/
jasa terjadi mark-up (kemahalan harga) harga atau terdapat kemahalan harga
barang/jasa. Kasus mark-up sangat umum terjadi dalam proses pengadaan
barang/jasa. Mark-up dimaksudkan agar rekanan memperoleh keuntungan yang
lebih besar. Indikasi adanya mark-up biasanya sudah terlihat sejak proses
perencanaan pengadaan yaitu dalam pembuatan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
Agar nilai kontraknya tinggi biasanya HPS sudah disetting sedemikian rupa
agar diperoleh harga kontrak yang telah direncanakan. Biasanya mark-up akan
diikuti penyimpangan dalam proses pelelangan yaitu terdapat pengaturan siapa yang
akan menjadi pemenang lelang. Pengaturan pemenang lelang dimaksudkan agar
rekanan yang telah disetting dari awal dapat keluar sebagai pemenang dan pemenang
tersebut memperoleh keuntungan yang lebih tinggi karena harga-harga telah
dinaikkan.
Negara seringkali dirugikan karena transaksi dibuat tidak dengan harga
wajar, baik dalam transaksi pembelian (pengadaan barang) maupun transaksi
pelepasan dan pemanfaatan barang. Dalam metode ini kuncinya adalah penentuan
harga wajar. Harga wajar menjadi pembanding untuk “harga realisasi”. Kerugian
185 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
keuangan negara di mana transaksinya tidak wajar berupa selisih antara harga wajar
dengan harga realisasi. Hal itu dapat dijelaskan, sebagai berikut186
a) “Dalam pengadaan barang, kerugian ini merupakan selisih antara harga yang dibayarkan dengan harga yang wajar.
:
b) Dalam pelepasan aset berupa penjulan tunai, kerugian ini merupakan selisih antara harga wajar dengan harga yang diterima.
c) Dalam pelepasan aset berupa tukar guling (ruilslag), kerugian ini merupakan selisih antara harga wajar dengan harga pertukaran (exchange value). Metode ini juga digunakan untuk semua pertukaran barang dengan barang lain atau pertukaran barang dengan jasa”.
Gagasan penghitungan harga wajar sederhana, tetapi penerapannya tidak
selalu mudah. Kesulitan dalam menerapkan harga wajar tercermin dari pertanyaan
berikut187
a) “Apa yang dimaksud dengan harga wajar;
:
b) Pendekatan untuk menentukan harga wajar adalah menggunakan harga
pembanding. Harga apa yang dapat dipakai sebagai pembanding;
c) Bagaimana memperoleh harga pembanding”.
Dalam sistem hukum di Amerika Serikat, untuk menentukan harga wajar
digunakan kriteria arm’s length transactions. Apabila kriteria arm’s length
transactions terpenuhi, maka harga yang terjadi adalah harga wajar. Namun apabila
arm’s length transactions kriteria tidak terpenuhi, maka harga yang terjadi tidak
wajar. Oleh karena itu, dalam tahap merumuskan perbuatan melawan hukumnya,
penyidik akan menguji sifat transaksi tersebut.188
186 Ibid. 187 Ibid. 188 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Kalau penyidik dapat membuktikan bahwa harga yang terjadi bukan harga
wajar, maka akuntan forensik akan menyelidiki berapa harga wajarnya. Pendekatan
yang digunakan adalah mencari harga atau harga-harga yang dapat dijadikan sebagai
pembanding. Harga pembanding ini harus sama atau mendekati harga wajar tersebut
(is a proxy to the fair price).189
Untuk itu, harga-harga yang dijadikan pembanding harus memenuhi kriteria
arm’s length transactions untuk barang yang serupa dengan kondisi-kondisi lain
yang serupa. Frasa “untuk barang yang serupa dengan kondisi-kondisi lain yang
serupa” justru digunakan tim pembela sebagai argumen bahwa tidak ada barang yang
serupa dengan kondisi yang serupa. Argumen ini dikenal sebagai “apples-to-apples
comparison”.
190
Ada beberapa cara untuk memperoleh harga pembanding. Dalam pengadaan
barang yang diikuti oleh peserta tender yang bukan “orang dalam”, harga
penawarannya dapat digunakan sebagai harga pembanding. Penggunaan harga
pembanding yang berasal dari peserta tender yang kalah meskipun harganya
kompetitif, dalam penentuan besarnya kerugian keuangan negara dalam tindak
pidana korupsi, diterima oleh pengadilan (termasuk Mahkamah Agung), seperti
terlihat dalam putusan-putusan mereka.
191
189 Ibid. 190 Ibid. 191 Ibid.
Peraturan Presiden RI No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 66 ayat (8) menyatakan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
“HPS disusun dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead
yang dianggap wajar. Dalam Penjelasannya disebutkan contoh keuntungan
dan biaya Overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi maksimal 15%
(lima belas perseratus)”.
Memang gampang-gampang susah untuk menentukan adanya mark-up
karena dapat menimbulkan perdebatan. Misalnya jika harga dalam kontrak ternyata
diketahui lebih tinggi 40% dari harga pasar wajar, belum serta merta dapat
dikatakan mark-up karena mark-up sangat debatable. Untuk menentukan mark-up
harus didapatkan bukti-bukti yang cukup. Perlu diingat adalah HPS bukan sebagai
dasar untuk menentukan besaran kerugian negara.
Bagaimana menghitung kerugian keuangan negara dari kasus mark-up.
Caranya adalah dengan membandingkan harga dalam kontrak dengan harga pasar
yang wajar. Harga pasar yang wajar dapat diperoleh dengan harga barang sejenis
pada tahun yang sama dan dalam kondisi-kondisi yang sama. Ketika sulit untuk
mencari harga barang tersebut di pasaran, maka bisa digunakan harga yang
dikeluarkan oleh instansi pemerintah seperti Badan Pusat Statistik, Dinas Pekerjaan
Umum dan sumber lain yang kompeten.
Kalau ada catatan harga pasar dari barang yang diperdagangkan, maka
catatan ini dapat dijadikan sebagai referensi atau acuan. Barang yang bersangkutan
bisa diperdagangkan di pasar domestik maupun internasional, sehingga ada catatan
Universitas Sumatera Utara
untuk pasar yang berbeda. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan
catatan harga pasar adalah sebagai berikut192
a) “Harga yang terbentuk seyogianya berasal dari transaksi barang yang sama atau serupa. Kapasitas mesin, pabrik, kapal, dan sebagainya perlu diperhatikan, karena perbedaan kapasitas menyebabkan perbedaan harga. Ahli dalam komoditas yang bersangkutan dapat menghitung atau menaksir perbedaan harga (price differential) yang wajar. Alternatifnya adalah penggunaan rentang harga tertingggi dan terendah.
:
b) Tanggal atau tanggal-tanggal transaksi harus berdekatan dengan tanggal transaksi yang disidik. Kalau harga sangat berfluktuasi, makin jauh tanggal-tanggal transaksi yang disidik, harga pembanding tidak mencerminkan harga wajar.keadaannya berbeda jika pasar bergerak ke satu arah, misalnya harga sedang naik atau harga sedang turun. Kalau harga sedang naik, maka harga wajarnya adalah sekurang-kurangnya sebesar harga pembanding. Sebaliknya kalau harga sedang turun, harga wajarnya adalah setimggi sebesar harga pembanding.
c) Kalau ada cacatan harga pasar domestik, harga pasar regional, dan harga pasar internasional, perlu diketahui persamaan dan perbedaan struktur pasar dan keterkaitan (linkage) antara pasar yang berbeda. Ketiga pasar di atas merupakan pendekatan apples-to-apples comparasion”.
Kriteria yang umum digunakan dalam kasus mark-up adalah Pasal 66 ayat
(8) Peraturan Presiden RI No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa :
“Penyusunan HPS dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggung jawabkan meliputi : a. Harga pasar setempat yaitu harga barang/jasa di lokasi barang / jasa
diproduksi / diserahkan / dilaksanakan, menjelang dilaksanakannya Pengadaan Barang/Jasa;
b. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS);
c. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;
d. daftar biaya/tarif Barang/Jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal;
e. biaya Kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya;
f. inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia;
192 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
g. hasil perbandingan dengan Kontrak sejenis, baikyang dilakukan dengan instansi lain maupunpihak lain;
h. perkiraan perhitungan biaya yang dilakukan oleh konsultan perencana (engineer’s estimate);
i. norma indeks; dan/atau j. informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
5. Harga Pokok
Selain penghitungan berdasarkan pendekatan apples-to-apples comparasion,
ada dua jenis harga pembanding yang ingin dibahas, yaitu penghitungan harga pokok
(HP). Penggunaan HP sebagai harga pembanding sering dikritik. Oleh karena itu,
kita perlu mengetahui kekurangan metode-metode ini dan apakah mereka sama
sekali tidak dapat digunakan.193
HP dikritik karena tidak sama dengan harga jual. Kritikan ini benar. Oleh
karena itu, HP harus disesuaikan (ke atas atau ke bawah) untuk mencerminkan harga
jual. Harga pasar ke atas atau ke bawah tergantung kondisi pasar pada saat terjadinya
transaksi yang diinvestigasi. Harga pasar pada saat itu bisa melebihi HP, yang berarti
HP harus ditambah dengan margin keuntungan. Sebaliknya harga pasar pada saat di
bawah HP, yang berarti HP harus dikurangi dengan margin kerugian.
194
Diskusi ini membawa kepada kritikan berikutnya terhadap metode HP, yaitu
bahwa HP dan margin keuntungan/ kerugian untuk tiap pengusaha berbeda karena
ada keunggulan kompetitif (competitive advantage). Kritikan tidak tepat dalam
193 Ibid. 194 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
konteks harga pembanding. Harga terbaik akan diberikan oleh pengusaha yang
menikmati keunggulan kompetitif, apabila terjadi arm’s length transactions.195
6.
Metode harga pokok dipergunakan untuk menghitung kerugian pokok atau
nilai pokok pada kasus penyimpangan prosedur dalam penyaluran kredit perbankan
pemerintah. Harga pokok pada kredit perbankan artinya adalah pokok uang ketika
uang tersebut cair dari Keuangan Negara. Biasanya penyimpangannya berupa kredit
yang tidak layak cair atau digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya. Bunga
yang sudah disetor atau bahkan dibayarkan tidak mengurangi kerugian keuangan
negara. Namun jika bunga sebenarnya sudah dibayarkan tetapi tidak dimasukkan ke
dalam kas negara, maka bunga tersebut menambah kerugian Keuangan Negara.
Biaya Kesempatan (Opportunity Cost)
Metode harga wajar yang dibahas di atas dapat diterapkan dalam pengadaan
barang, pelepasan barang melalui penjualan, dan pelepasan barang melalui
pertukaran. Dalam transaksi-transaksi tersebut, pertanyaannya adalah berapa harga
wajar. Dalam metode penghitungan biaya kesempatan (opportunity cost),
pertanyaannya adalah: Apa alternatif terbaik dalam suatu keputusan. Misalnya
lembaga Negara harus mengambil keputusan tentang suatu asetnya, pertanyaan
pertama yang harus dijawab adalah : Dengan kondisi yang ada, apa alternatif terbaik.
Apakah menjual asset tersebut, menyewakan, menukarkannya, atau bertahan (dalam
arti, tidak berbuat apa-apa untuk sementara waktu), dan memanfaatkannya
195 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dikemudian hari kalau keadaan sudah berubah (dengan kriteria obyektif yang
ditetapkan).196
Metode opportunity cost ini menarik, karena sekaligus dapat dipakai untuk
menilai apakah pengambil keputusan sudah mempertimbangkan berbagai alternatif,
dan apakah alternative terbaik yang diambil.
197
7.
Bunga (Interest)
Dalam hukum perdata, bunga merupakan unsur penting, dalam pengertian
kerugian (konsten, schaden en interessen). Bunga merupakan unsur kerugian
keuangan Negara yang penting, terutama (tetapi tidak terbatas) transaksi-transaksi
keuangan seperti dalam penempatan aset. Para pelaku transaksi-transaksi keuangan
seperti dalam penempatan aset. Para pelaku transaksi ini umumnya paham dengan
konsep nilai waktu dari uang (time value of money).198
Dalam praktiknya, bunga tidak ditetapkan unsur kerugian keuangan Negara
dalam tindak pidana korupsi. Pidana denda bukanlah bertujuan untuk pemulihan
kerugian akibat tipikor. Sebagai wacana, bunga perlu dimasukkan dalam
penghitungan kerugian keuangan Negara. Pada sengketa perdata, kerugian bunga
dihitung berdasarkan jangka waktu (periode) dan tingkat bunga yang berlaku.
199
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah kerugian
keuangan negara pada suatu kasus tipikor harus dapat dihitung dengan menggunakan
196 Ibid. 197 Ibid. 198 Ibid. 199 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
metode yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Pengalaman auditor dalam
melakukan audit investigatif/PKKN diperlukan dalam menentukan metode yang
tepat untuk menghitung besarnya kerugian keuangan negara. Pemahaman auditor
terhadap jenis kasus yang diaudit dapat membantu dalam mengumpulkan, menelaah
dan mengevaluasi bukti audit yang diperlukan pada saat melaksanakan audit
investigatif/ PKKN. Auditor tidak dapat menghitung jumlah kerugian keuangan
negara apabila bukti yang diperoleh tidak kompeten, cukup dan relevan.
Dalam menghitung kerugian negara seorang auditor harus memahami dahulu
modus operandi kasus tindak pidana tersebut, sehingga metode yang dipakai sebagai
dasar penghitungan dapat diambil dengan tepat. Penyidik pada umumnya tidak dapat
menerima bukti yang hanya berupa fotokopi. Oleh karena itu, auditor harus
mengupayakan memperoleh bukti asli. Namun jika yang ada hanya bukti berupa
fotokopi, maka diusahakan meminta legalisasi dari pejabat yang menandatangani
bukti tersebut beserta pimpinan instansi yang diaudit dan diperkuat bukti-bukti
pendukung lainnya. Di sidang peradilan seringkali auditor sebagai pemberi
keterangan ahli diminta pendapatnya tentang besarnya kerugian keuangan Negara.
Disarankan auditor dapat menjelaskan alasan mengapa menggunakan metode
penghitungan tersebut.
C. Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Putusan Pengadilan
Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn.
Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) dalam Putusan
Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-
Universitas Sumatera Utara
TPK/2016/PN.Mdn., dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad
& Rekan. Kantor Akuntan Publik tersebut melakukan PKKN adalah atas permintaan
pihak Penyidik Pid.Sus Kejaksaan Tinggi Sumut. Selanjutnya, Kantor Akuntan
(KAP) Tarmizi Achmad & Rekan menunjuk seorang auditor bernama Hernold Ferry
Makawimbang untuk menjadi Ketua Tim Auditor dalam melakukan audit
investigatif dalam “Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas dan Operasional Roda-4
(empat) Kantor PT. Bank Sumut Tahun 2013”. Auditor tersebut merupakan rekanan
dari Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Kejaksaan Tinggi Sumut untuk
melakukan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN).
Adapun hasil audit investigatif yang dilakukan oleh auditor dari Kantor
Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad & Rekan, adalah sebagai berikut :
Tabel 4 Laporan Hasil Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara oleh Kantor Akuntan Publik
Tarmizi Achmad & Rekan No. Uraian Perhitungan Biaya-Biaya Yang Tidak Perlu Jumlah (Rp.)
1. Kerugian Keuangan Negara Pengadaan Sewa Mobil Tidak Legal (Tanggal 01 November 2013 s.d. 31 Maret 2014)
a. Realisasi Pembayaran bulan November 2013 1.376.559.113,- b. Realisasi Pembayaran bulan Desember 2013 1.458.304.933,- c. Realisasi Pembayaran bulan Januari 2014 1.467.727.500,- d. Realisasi Pembayaran bulan Februari 2014 1.467.727.500,- e. Realisasi Pembayaran bulan Maret 2014 1.470.515.500,- Jumlah Kerugian Keuangan Negara Pembayaran Illegal 7.233.805.296,-
2. Biaya Perpanjangan STNK, Service Rutin, Sparepart dan Asuransi (Per Unit Hanya Sekali Pembayaran Per Tahun) Dibagi Per Bulan, Dikali 7 bulan (April 2014 s.d. Oktober 2014)
a. Toyota Camry = Rp. 19.454.795,- : 12 bln = Rp. 1.621.232,- Biaya 7 bln = 7 bln x 5 unit x Rp. 1.621.232,-
56.743.120,-
b. Mitsubishi Pajero = Rp. 18.609.440,- : 12 bln = Rp. 1.550.787,- Biaya 7 bln = 7 bln x 12 unit x Rp. 1.550.787,-
130.266.108,-
c. Toyota Innova = Rp. 13.255.470,- : 12 bln = Rp. 1.104.623,- 85.055.971,-
Universitas Sumatera Utara
Biaya 7 bln = 7 bln x 11 unit x Rp. 1.104.623,-
d. Toyota Rush = Rp. 11.595.563,- : 12 bln = Rp. 966.297,- Biaya 7 bln = 7 bln x 29 unit x Rp. 966.297,-
196.158.291,-
e. Toyota Avanza = Rp. 9.644.941,- : 12 bln = Rp. 803.745,- Biaya 7 bln = 7 bln x 237 unit x Rp. 803.745,-
1.333.412.955,-
Jumlah Kerugian Keuangan Negara Biaya Tidak Perlu 1.801.636.445,- 3. Biaya Pajak Penghasilan (PPh 2%) Bulan April 2014 s.d. Oktober 2014
a. April 2014 26.778.636,-
b. Mei 2014 26.690.909,-
c. Juni 2014 26.690.909,-
d. Juli 2014 26.690.909,-
e. Agustus 2014 26.690.909,-
f. September 2014 26.690.909,-
e. Oktober 2014 26.690.909,-
Jumlah Kerugian Keuangan Negara Biaya PPh 2% 186.924.090,- 4. Kerugian Keuangan Negara Pembayaran Sewa Mobil Tidak
Legal (Tanggal 01 November 2014 s.d. 31 Desember 2014)
a. Pembayaran Sewa bulan November 2014 1.059.602.727,- b. Pembayaran Sewa bulan Desember 2014 509.627.455,- Jumlah Kerugian Keuangan Negara Pembayaran Illegal 1.569.230.182,- Jumlah Kerugian Keuangan Negara (1 + 2 + 3 + 4) 10.820.655.831,-
Sumber : Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, hlm. 144, yang bersumber dari Laporan Hasil
Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad, tertanggal 30 Agustus 2016.
Berdasarkan Tabel 4 tersebut di atas, didapati PKKN terhadap “Pengadaan
Sewa Kendaraan Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013” yang dibuat
oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad & Rekan adalah sebesar
Rp.10.820.655.831,- (sepuluh miliar delapan ratus dua puluh juta enam ratus lima
puluh lima ribu delapan ratus tiga puluh satu rupiah). Akan tetapi, setelah Laporan
Hasil Audit Investigatif PKKN tersebut diajukan oleh Penuntut Umum di depan
persidangan dalam Perkara Pidana Khusus Reg. No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn.,
ternyata Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan
Universitas Sumatera Utara
berpendapat lain dan menyatakan bahwa Laporan Audit Investigatif PKKN tersebut
adalah penghitungan yang cacat hukum. Dikarenakan penghitungannya cacat hukum,
maka Majelis Hakim tidak menggunakannya sebagai dasar untuk menjatuhkan
putusan terhadap terdakwa dalam perkara tersebut. Namun, dikarenakan Majelis
Hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan melawan
hukum dalam konteks pidana ataupun menyalahgunakan kewenangan atau sarana
yang ada padanya, maka Majelis Hakim tersebut melakukan PKKN sendiri.
Adapun pertimbangan hukum mengenai Laporan Audit Investigatif PKKN
yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad & Rekan dalam
Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-
TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017, adalah sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa setelah memeriksa dan mendengar pendapat ahli Hernold Ferry Makawimbang, S. Sos. Msi. MH dan mencermati laporan Laporan Hasil Audit Investigasi Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas Pengadaan Sewa Menyewa Kenderaan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013-2014 yang dibuat oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad, menerangkan adanya Kerugian Keuangan Negara sebesar Rp. 10.820.655.831,- (sepuluh miliar delapan ratus dua puluh juta enam ratus lima puluh lima ribu delapan ratus tiga puluh satu rupiah), ...dst;200
Menimbang, bahwa di dalam menentukan besaran kerugian keuangan negara tidak dapat dilakukan dengan melihat satu transaksi akan tetapi dilakukan dengan memperhatikan seluruh transaksi dengan memperhatikan data dan dokumen yang dijadikan dasar perhitungan keuangan negara, oleh karenanya Laporan Hasil Audit dari Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad dan keterangan ahli Hernold Ferry Makawimbang yang menyatakan adanya kerugian keuangan negara sebagaimana tersebut di atas, akan dipertimbangkan apakah di dalam pelaksanaan pengadaan sewa kenderaan dinas operasional ditemukan adanya kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud di dalam laporan hasil audit yang dibuat dan ditanda tangani ahli Hernold Ferry Makawimbang, dengan pertimbangan sebagai berikut
201
200 Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017, hlm. 278-279.
201 Ibid., hlm. 280.
:
Universitas Sumatera Utara
Menimbang, bahwa ahli Hernold Ferry Makawimbang yang menanda tangani Laporan Hasil Audit dari Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad dan memberikan pendapat dipersidangan faktanya bukanlah sebagai Akuntan Publik dan tidak terdaftar di Kementerian Keuangan sebagai Rekan Non Akuntan Publik secara yuridis formil telah menyalahi aturan ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2011, tentang Akuntan Publik.202
Menimbang, bahwa di dalam Laporan Audit disebutkan Pengadaan sewa menyewa kenderaan dinas operasional PT. Bank Sumut, berdasarkan perjanjian atau kontrak yang tidak sah (illegal) sebesar Rp. 7.233.805.296, secara yuridis formil seharusnya kontrak ditandatangani telebih dahulu baru diterbitkan Surat Perintah Kerja (SPK), jika ditelaah ketentuan Pasal 55 ayat (1) huruf c Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah merumuskan : tanda bukti perjanjian terdiri atas Surat Perintah Kerja (SPK) dan berdasarkan fakta dipersidangan diperoleh fakta hukum : bahwa draft kontrak sudah ada akan tetapi belum ditandatangani Direksi PT. Bank Sumut karena tidak ada kesepakatan para Direksi dalam hal penentuan masa waktu kontrak padahal senyatanya Divisi Penyelamatan Kredit Bidang Hukum telah mengajukan surat Nomor : 337/DP-HK/MM/2013, tanggal 3 Desember 2013, yang memberikan pendapat bahwa kontrak hanya bisa dilakukan untuk jangka waktu selama 1 (satu) tahun dan mengingat ketentuan Pasal 60 ayat (1) huruf L Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah merumuskan : kontrak ditandatangani paling lambat 14 (empat belas) hari hari kerja setelah diterbitkannya SPPBJ, dan faktanya setelah CV. Surya Pratama ditetapkan sebagai pemenang lelang Direksi Pemasaran dan Direksi Bisnis dan Syariah tidak menandatangani kontrak, sedangkan kebutuhan kenderaan dinas operasional sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan operasional PT. Bank Sumut dan untuk mencegah resiko bisnis, resiko hukum dan resiko reputasi, pengadaan kenderaan dinas pada bulan Nopember 2013 sampai dengan bulan Maret 2014 dan telah pula dibayarkan tidaklah secara emosional dan secara serta merta dikatakan telah merugikan keuangan negara akan tetapi haruslah secara bijak melihat dan mempertimbangkan serta dihitung berapa jumlah kenderaan yang diterima dan dipergunakan dan berapa yang dibayarkan, apakah telah sesuai pembayarannya.
203
Menimbang, bahwa di dalam Laporan Audit yang dibuat ahli Hernold Ferry Makawimbang pada angka 2 menyebutkan Kerugian keuangan negara dari item-item biaya yang seharusnya tidak dibebankan kepada PT. Bank Sumut seperti : Biaya perpanjangan STNK, Service Rutin, Sparepart dan Asuransi dan Biaya Pajak Penghasilan (PPh 2%) bulan April 2014 s/d
202 Ibid. 203 Ibid., hlm. 280-281.
Universitas Sumatera Utara
Oktober 2014, untuk itu akan dipertimbangkan dengan pertimbangan sebagai berikut204
- Bahwa di dalam Laporan Hasil Audit yang dibuat Hernold Ferry Makawimbang maupun pendapat ahli yang disampaikan di depan persidangan, tidak ada menunjukkan bukti adanya biaya perpanjangan STNK, Service rutin, Sparepart dan asuransi yang dihitung dan dibayar perbulan, sedangkan saksi A de charge yang diajukan Penasihat Hukum Terdakwa yaitu : Mecky Benny Hutahaean, memberikan keterangan : untuk perawatan mobil seperti ganti oli dan lainnya harus ke Sibolga menggunakan uang Kantor Cabang, setelah melakukan perawatan kenderaan, saksi mengajukan surat kepada CV. Surya Pratama untuk mengganti uang yang telah terpakai perawatan kenderaan.
:
- Bahwa mengenai Biaya Pajak Penghasilan (PPh 2%) yang menjadi dasar adanya kerugian keuangan negara adalah tidak relevan hal ini didasarkan atas keterangan saksi : Ismail yang memberikan keterangan : Bahwa ada dilakukan pemungutan pajak sebesar 2% yang dihitung dari sewa total pemotongan pajak langsung dilakukan dengan cara dikurangkan sesuai Nota Pajak, dan setelah Majelis Hakim melihat dan mencermati Advice Nota Debet sebanyak 15 (lima belas) lembar untuk pembayaran periode bulan Nopember 2013 sampai dengan pembayaran periode Desember 2014, ternyata telah dilakukan pemungutan Pajak PPH sebesar 2%.
Menimbang, bahwa pembayaran sewa kenderaan dinas pada bulan Nopember 2014 dan bulan Desember 2014 yang tidak didasarkan kontrak, juga tidaklah secara serta merta dijadikan dasar kerugian negara, oleh karena pada bulan Nopember 2014 dan bulan Desember 2014, faktanya masih ada kenderaan dinas operasional yang dipergunakan PT. Bank Sumut, dengan pertimbangan jika kontrak berakhir per tanggal 31 Oktober 2014, sedangkan kenderaan dinas operasional sangat dibutuhkan dan pada saat itu kenderaan dinas pengganti belum ada, maka kegiatan operasional PT. Bank Sumut akan lumpuh seketika yang akan menimbulkan resiko bagi PT. Bank Sumut, maka diambil kebijakan para Direksi untuk menghentikan kontrak pada bulan Desember 2014 dan mengembalikan secara bertahap kenderaan dinas kepada CV. Surya Pratama, oleh karenanya pembayaran pada bulan Nopember 2014 dan bulan Desember 2014, tidaklah secara nyata merupakan kerugian negara akan tetapi haruslah dipertimbangkan secara arif dan bijaksana dengan menghitung berapa jumlah kenderaan yang diterima dan dipergunakan dan berapa yang dibayarkan, apakah telah sesuai pembayarannya.205
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian fakta hukum tersebut di atas, keterangan ahli yang diajukan Jaksa Penuntut Umum yaitu : Hernold Ferry Makawimbang dan
204 Ibid., hlm. 281. 205 Ibid., hlm. 282.
Laporan Hasil Audit Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad yang menyatakan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp.10.820.655.831,- (sepuluh miliar delapan ratus dua puluh juta enam ratus
Universitas Sumatera Utara
lima puluh lima ribu delapan ratus tiga puluh satu rupiah), tidak dapat dipertahankan dan oleh karenanya haruslah dikesampingkan, selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan ahli A de charge yang Penasihat Hukum Terdakwa yaitu : Konsultan Audit Sudirman, SE. SH. MM.206
Menimbang, bahwa ahli A de charge Sudirman, SE.SH.MM, di depan persidangan memberikan pendapat : bahwa ahli melakukan audit didasarkan atas data Laporan Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad, Klarifikasi pembayaran PT. Bank Sumut (Lampiran 1/1-2, Lampiran 1/2-2 : Perhitungan Pembayaran sesuai SPK, Perjanjian - Audit dan Lampiran 2/1-1 : Rekap Biaya Sewa mulai SPK per Nopember 2013 berdasarkan jumlah kenderaan yang dikirim) dan pengalaman ahli melakukan audit kerugian keuangan negara, bahwa kesimpulan ahli tidak ada kerugian keuangan negara oleh karena pengeluaran PT. Bank Sumut untuk membayar sewa kenderaan telah sesuai dengan kenderaan yang diterima dan telah dipergunakan PT. Bank Sumut”.
207
Pengesampingan keterangan ahli Auditor KAP Tarmizi Achmad & Rekan,
Hernold Ferry Makawimbang tersebut dikarenakan legal standing yang
bersangkutan dalam melakukan Audit Investigatif PKKN tidak memenuhi aturan
yang berlaku, yaitu UU Akuntan Publik. Sebagaimana telah diuraikan dalam
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, pada pokoknya Majelis Hakim
Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan berpendapat Laporan Hasil Audit
dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad dan ahli yang memberikan
keterangan di depan persidangan faktanya bukanlah seorang Akuntan Publik dan
juga tidak terdaftar di Kementerian Keuangan sebagai Rekan Non Akuntan Publik
secara yuridis formil telah menyalahi aturan ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15
UU Akuntan Publik. Dikarenakan Laporan Hasil Audit Investigatif yang dibuat oleh
KAP tersebut tidak dapat dipertahankan, maka oleh karenanya harus
dikesampingkan.
206 Ibid. 207 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pembahasan sebelumnya, bahwasanya seorang akuntan publik haruslah terdaftar dan
memperoleh izin dari Kementerian Keuangan RI, maka ahli yang diajukan oleh
Penuntut Umum dalam perkara tersebut bukanlah seorang akuntan publik yang
terdaftar dan berizin. Selanjutnya, jika dirinya bukanlah seorang akuntan publik,
maka dikenal dengan adanya Rekan Non Akuntan Publik yang bekerja di Kantor
Akuntan Publik berdasarkan UU Akuntan Publik. Akan tetapi, telah terungkap fakta
hukum di depan persidangan bahwasanya ahli tersebut pun bukan pula seorang
Rekan Non Akuntan Publik yang memperoleh izin dan terdaftar di Kementerian
Keuangan RI sesuai perintah UU Akuntan Publik.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 UU Akuntan Publik, Majelis
Hakim Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan mengenyampingkan
Laporan Audit Investigatif PKKN dan keterangan ahli yang disampaikan oleh ahli
yang diajukan oleh Penuntut Umum tersebut. Ternyata Majelis Hakim dalam
pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi
unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam konteks tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP.
Sebelum Majelis Hakim tersebut melakukan PKKN, ternyata untuk
memenuhi unsur Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
sebagaimana dakwaan subsidair penuntut umum. Majelis Hakim terlebih dahulu
menentukan perbuatan terdakwa telah menyalahgunakan wewenang atau sarana yang
ada padanya, dengan pertimbangan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
“Menimbang, bahwa pengertian unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan mengandung pengertian yang sifatnya alternatif, artinya unsur menyalahgunakan kewenangan dialternatifkan dengan menyalahgunakan sarana yang ada pada diri terdakwa karena jabatan atau kedudukannya.208
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “kewenangan” adalah serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan baik. Kewenangan tersebut tercantum dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi, misalnya tercantum dalam Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan lain-lain. Adapun “kesempatan” adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi, peluang tersebut tercantum dalam ketentuan-ketentuan tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan. Sedangkan “sarana” adalah cara kerja atau metode kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.
209
Menimbang, bahwa rumusan HR tanggal 14 Januari 1949, dikaitkan dengan pengertian penyalahgunaan wewenang menurut Jean Rivero dan Waline diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu
210
1. Penyalahgunaan wewenang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.
:
2. Penyalahgunaan wewenang dalam arti bahwa tindakan pejabat adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum akan tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan lainnya.
3. Penyalahgunaan wewenang dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu tetapi menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Menimbang, bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan haruslah dibuktikan dan atau harus terbukti dari rangkaian perbuatan terdakwa yang tidak melakukan atau mengusahakan mekanisme koordinasi kerja yang tidak dipadu dengan baik, sehingga perbuatan materil terdakwa secara yuridis bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian padahal terdakwa memiliki kewenangan untuk itu, serta terlebih dahulu dibuktikan unsur pokok dalam hukum pidana, apakah terdakwa memiliki sengaja untuk melakukan perbuatan, apakah terdakwa menghendaki
208 Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017, hlm. 268.
209 Ibid., hlm. 268-269. 210 Ibid., hlm. 269.
Universitas Sumatera Utara
dan mengetahui perbuatan tersebut dilarang akan tetapi tetap dilakukan terdakwa.211
Menimbang, bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan memiliki kaitan yang sangat erat dengan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana adalah merupakan cara yang ditempuh oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk mencapai tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan sebaliknya unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi merupakan tujuan yang diinginkan si pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya, oleh karenanya apakah terdakwa Drs. M. Yahya selaku Direktur Operasional PT. Bank Sumut, telah melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang ada padanya atas kegiatan sewa kenderaan dinas operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013, untuk itu Majelis Hakim akan mempertimbangkannya dengan melakukan kajian normatif dan kajian yuridis atas fakta-fakta hukum yang diperoleh di depan persidangan.
212
Menimbang, bahwa PT. Bank Sumut didirikan dalam bentuk Perseroan Terbatas, dengan pemegang saham Pemerintah Kabupaten / Kota dan sebagai pemegang saham pengendali atau pemegang saham lebih dari 50% adalah Gubernur Sumatera Utara oleh karenanya status hukum dan keuangan PT. Bank Sumut adalah merupakan keuangan Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II untuk dijadikan penyertaan modal pada PT. Bank Sumut, untuk itu kegiatan pengadaan barang dan jasa di PT. Bank Sumut walaupun telah pula diatur di dalam Peraturan Direksi PT. Bank Sumut Nomor : 003/Dir/Dum-LG/PBS/2011, tanggal 18 Agustus 2011, tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan PT. Bank Sumut, mengingat ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Bab XVII Ketentuan Lain-Lain Pasal 129 ayat (4), Peraturan Presiden RI Nomor : 54 Tahun 2010, pengadaan barang dan jasa tersebut haruslah tetap berpedoman serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Peraturan Presiden RI Nomor : 54 Tahun 2010, tentang Pedoman Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah.
213
Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 51 Peraturan Presiden RI Nomor : 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah secara tegas telah mengatur mengenai ketentuan pembayaran terhadap kontrak yang didasarkan pada tahapan produk / keluaran yang dihasilkan sesuai dengan isi kontrak.
214
211 Ibid. 212 Ibid., hlm. 269-270. 213 Ibid., hlm. 270. 214 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan di dalam pertimbangan unsur secara melawan hukum maupun unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, sebagaimana telah diuraikan di atas, oleh karenanya Majelis Hakim mengambil alih seluruh fakta-fakta hukum di dalam pertimbangan hukum unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.215
Menimbang, bahwa tentang pengadaan Sewa Mobil Dinas Operasional Kantor Pusat, Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Kas PT. Bank Sumut untuk priode tahun 2013, sesuai Memorandum Nomor : 931/Dum-RT/MM/2013, tanggal 16 April 2013, telah ditetapkan Taksasi Biaya total sejumlah Rp. 17.713.200.000,- (tujuh belas miliar tujuh ratus tiga belas juta dua ratus ribu rupiah), dalam pelaksanaanya melanggar Peraturan Direksi PT Bank Sumut Nomor. 006/Dir/DKMR-CQA/PBS/2010 tentang Tata Tertib Dan Tata Cara Menjalankan Pekerjaan Direksi PT Bank Sumut jo Peraturan Direksi PT. Bank Sumut Nomor : 003/Dir/Dum-LG/PBS/2011, tanggal 18 Agustus 2011 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan PT. Bank Sumut, melanggar ketentuan sebagai berikut
216
1. Pasal 16 tentang penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) yaitu penyusunan harga perkiraan sendiri/owner‟s Eistimet (HPS/OE) dengan menggunakan harga penawaran dari salah satu peserta lelang, dan dikalkulasikan tidak berdasarkan data yang dapat dipertanggung jawabkan.
:
2. Pasal 31 tentang prosedur pelelangan umum yaitu pada saat penjelasan lelang (aanwaijzing) telah ditetapkan perubahan masa kotrak dari 1 (satu) tahun menjadi 3 (tiga) tahun tanpa adanya adendum dokumen lelang yang ditandatangani oleh Direksi/Pejabat Pembuat Komitmen/Pejabat yang ditunjuk, demian pula tentang penetapan pemenang lelang yang berlarut-larut.
3. Pasal 41 tentang isi kontrak yaitu tempat dan jangka waktu penyelesaian / penyerahan dengan disertai jadwal waktu penyelesaian / penyerahan yang pasti serta syarat-syarat penyerahan.
4. Pasal 42 tentang penanda tangan kontrak yaitu para pihak menandatangani kontrak selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya surat penetapan pemenang lelang (SP3). Bentuk kontrak dilakukan berupa surat perintah kerja (SPK) tanpa jaminan pelaksanaan padahal nilai pengadaan diatas Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
215 Ibid. 216 Ibid., hlm. 271-272.
Universitas Sumatera Utara
5. Pasal 43 tentang hak dan tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan kontrak.
6. Pasal 45 tentang perubahan, penghentian dan pemutusan kontrak, yaitu pemutusan kontrak disebabkan oleh kelalaian penyedia barang / jasa dan kendaraan telah ditarik oleh pihak lembaga pembiayaan sebelum kontrak berakhir.
Menimbang, bahwa terdakwa Drs. M. Yahya selaku Direksi yang membidangi kegiatan pengadaan barang dan jasa di Lingkungan PT. Bank Sumut, berdasarkan Pasal 3 jo Pasal 4 Peraturan Direkasi PT. Bank Sumut, antara lain mempunyai tugas yaitu “dengan iktikad baik dan penuh tanggungjawab berkewajiban menjalankan tugas mengurus perseroan dengan mematuhi semua peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku, dan mempunyai wewenang mengikat Bank dengan pihak lain dan pihak lain dengan perseroan. Dan lebih lanjut berdasarkan Pasal 25 ayat (5) mengatur : “apabila Direktur Utama tidak berada di tempat atau berhalangan, kewenangan yang bersangkutan dalam menyetujui pengeluaran biaya dapat dilaksanakan oleh Direktur Umum beserta Direktur pemasaran dan Syariah secara bersama-sama.217
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim berkeyakinan bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan telah terbukti dan terpenuhi”.
Menimbang, bahwa di dalam perkara Aquo rangkaian perbuatan
terdakwa yang memberikan persetujuan secara lisan kepada Irwan Pulungan selaku Pemimpin Divisi Umum untuk melakukan pembayaran sewa kenderaan dinas operasional PT. Bank Sumut setiap bulannya terhitung bulan Nopember 2013 sampai dengan bulan Maret 2014, kepada H. Haltatif selaku Direktur CV. Surya Pratama, sedangkan terdakwa telah mengetahui secara pasti bahwa kontrak perjanjian kerjasama sewa kenderaan dinas operasional belum ditandatangani Direksi PT. Bank Sumut dan perbuatan terdakwa yang menyetujui pembayaran atas adanya permintaan persetujuan pembayaran dari Yulius Syah selaku Pemimpin Divisi Umum untuk pembayaran bulan Nopember 2014 dan bulan Desember 2014, sedangkan terdakwa telah mengetahui bahwa kontrak perjanjian kerjasama sewa kenderaan dinas operasional telah berakhir pada tanggal 31 Oktober 2014, seharusnya terdakwa terlebih dahulu memeriksa kebenaran dokumen dengan melakukan koreksi dan klarifikasi, akan tetapi faktanya terdakwa tidak melakukannya dan terdakwa tetap menghendaki untuk dilakukan pembayaran.
218
Setelah unsur menyalahgunakan kewenangan atau sarana yang ada padanya,
maka selanjutnya, Majelis Hakim melakukan PKKN sendiri sebab PKKN yang
217 Ibid., hlm. 272. 218 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
diajukan oleh Penuntut Umum tidak memenuhi legal standing sebagaimana
dipersyaratkan UU Akuntan Publik. Majelis Hakim pun tidak menggunakan PKKN
yang diajukan oleh Ahli A De Charge yang dihadirkan Penasihat Hukum Terdakwa.
Adapun PKKN yang dilakukan oleh Majelis Hakim, adalah sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa setelah majelis Hakim memeriksa dan mendengarkan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli dan melakukan perbandingan bukti surat berupa Laporan Hasil Audit Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad dengan Laporan Hasil Audit Konsultan Audit Sudirman, SE., SH., MM, dan bukti pembayaran berupa Advice Nota Debet, diperoleh fakta hukum : bahwa jika dihitung dari jumlah dan jenis kenderaan yang disewa dikalikan dengan masa waktu sewa kenderaan sesuai dengan masa waktu kontrak dengan fakta masa waktu sewa ditemukan adanya beberapa jenis kenderaan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan masa waktu sewa, akan tetapi tetap dilakukan pembayaran diantaranya219
1) Toyota Camry 2,5 V Tahun 2013, sebanyak 5 unit, jika dilaksanakan sesuai dengan masa waktu kontrak = 5 unit x 12 bulan = 60, faktanya dilaksanakan sesuai dengan masa waktu sewa.
:
2) Mitsubishi Pajero Sport GLS Tahun 2013, sebanyak 12 unit, jika dilaksanakan sesuai dengan masa waktu kontrak = 12 unit x 12 bulan = 144, faktanya yang dilaksanakan 143., ditemukan selisih 1yang tidak dilaksanakan.
3) Toyota Rush GM/T tahun 2013 sebanyak 29 unit, jika dilaksanakan sesuai dengan masa waktu kontrak = 29 unit x 12 bulan = 348, faktanya yang dilaksanakan 333, ditemukan selisih 15 yang tidak dilaksanakan.
4) Toyota Innova EM/T Tahun 2013 sebanyak 11 unit, jika dilaksanakan sesuai dengan masa waktu kontrak = 11 unit x 12 bulan = 132, faktanya yang dilaksanakan 135 ditemukan selisih kelebihan, akan tetapi terhadap kelebihan tersebut tetap dibayarkan.
5) Toyota Avanza EM/T Tahun 2013 sebanyak 237 unit, jika dilaksanakan sesuai dengan masa waktu kontrak = 237 unit x 12 bulan = 2844, faktanya yang dilaksanakan 2784, ditemukan selisih 60 yang tidak dilaksanakan.
Dan selanjutnya setelah dilakukan penghitungan terhadap beberapa jenis kenderaan dinas operasional yang tidak dilaksanakan sebagaimana tersebut diatas. akan tetapi dilakukan pembayaran dan terhadap pembayaran tersebut adalah merupakan kerugian negara sebesar Rp. 368.800.000,- (tiga ratus enam puluh delapan juta delapan ratus ribu rupiah), dengan rincian sebagai berikut220
219 Ibid., hlm. 287. 220 Ibid., hlm. 288.
:
Universitas Sumatera Utara
1) Mitsubishi Pajero Sport GLS Tahun 2013, harga sewa sebesar Rp. 12.100.000,- per unit / per bulan, ditemukan 1 unit/1 bulan x tidak dilaksanakan = 1 x Rp. 12.100.000 = Rp. 12.100.000,-.
2) Toyota Rush GM/T tahun 2013, harga sewa sebesar Rp. 5.500.000,- per unit / per bulan, ditemukan selisih 15 unit/1 bulan, tidak dilaksanakan = 15 x Rp. 5.500.000 = Rp. 82.500.000,-.
3) Toyota Innova EM/T Tahun 2013, harga sewa sebesar Rp. 6.900.000,- per unit / per bulan, ditemukan selisih kelebihan sebanyak 3, akan tetapi terhadap kelebihan tersebut tetap dibayarkan 3 unit/ 1 bulan x Rp. 6.900.000 = Rp. 20.700.000.
4) Toyota Avanza EM/T Tahun 2013, harga sewa sebesar Rp. 4.225.000,- per unit / per bulan, ditemukan selisih 60 unit/ 1 bulan yang tidak dilaksanakan = 60 x Rp. 4.225.000 = Rp. 253.500.000,-.
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian fakta hukum sebagaimana tersebut diatas, rangkaian perbuatan terdakwa yang memberikan persetujuan secara lisan kepada Irwan Pulungan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk melakukan pembayaran kepada H. Haltatif, MBA selaku Direktur CV. Surya Pratama terhitung dari bulan bulan Nopember 2013 sampai dengan bulan Maret 2014, padahal diketahui dan patut diketahui oleh terdakwa permintaan pembayaran yang diajukan H. Haltatif, MBA selaku Direktur CV. Surya Pratama atas penyerahan kenderaan dinas operasional PT. Bank Sumut tidak ada kontrak hanya didasarkan atas Surat Perintah Kerja (SPK) Nomor : 020/PPKSkr/SPK/2013, tanggal 11 Oktober 2013, yang ditandatangani Zulkarnain selaku Pls-PPK, akan tetapi terdakwa menghendaki untuk dilakukan pembayaran dengan cara memberikan izin secara lisan kepada Irwan Pulungan selaku PPK, selanjutnya terdakwa menyetujui pembayaran terhitung dari bulan Nopember 2013 sampai dengan bulan Maret 2014 atas adanya pengajuan Memorandum Nomor : 613/Dum-RT/Mm/2014, tanggal 11 Maret 2014, yang diajukan Irwan Pulungan selaku PPK, seharusnya terdakwa melakukan pemeriksaan dan klarifikasi atas adanya permintaan pembayaran dari H. Haltatif, MBA selaku Direktur CV. Surya Pratama, yaitu berapa jumlah kenderaan yang diserahkan dan apakah sudah sesuai dengan jumlah pembayarannya akan tetapi terdakwa tidak melakukannya serta perbuatan terdakwa yang menyetujui pembayaran pada bulan Nopember 2014 dan bulan Desember 2014 atas pengajuan memorandum dari Yulius Syah selaku PPK, sedangkan terdakwa mengetahui dan juga patut diketahui olehnya bahwa berdasarkan Surat Perjanjian Kerja Nomor : 010 / Dir / PPK-Skr / SPj / 2014, tanggal 04 April 2014, tentang Pengadaan Kendaraan Dinas Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013, adalah berakhir pada tanggal 31 Oktober 2014, seharusnya terdakwa tidak menyetujui pembayaran yang sudah melampaui batas waktu kontrak, oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat bahwa rangkaian perbuatan Terdakwa
Universitas Sumatera Utara
“M.Y” telah terbukti dan memenuhi unsur Dapat merugikan keuangan negara”.221
Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Tipikor
Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tersebut di atas
mengenai perbuatan melawan hukum dalam konteks pidana yang memenuhi unsur
Pasal 3 UU Tipikor, maka menurut Alvi Syahrin persamaan perbuatan melawan
hukum pidana pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yaitu
Berdasarkan Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No.
93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., bahwasanya PKKN yang dilakukan oleh Majelis
Hakim Tipikor adalah sebesar Rp. 368.000.000,- (tiga ratus enam puluh delapan juta
rupiah). Dengan dasar perhitungan bahwa jika dihitung dari jumlah dan jenis
kendaraan yang disewa dikalikan dengan masa waktu sewa kendaraan sesuai dengan
masa waktu kontrak dengan fakta masa waktu sewa ditemukan adanya beberapa
jenis kendaraan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan masa waktu sewa akan tetapi
tetap dilakukan pembayaran.
222
“Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 3 UU 31/1999, tidak disebutkan secara eksplisit sebagaimana dalam rumusan Pasal 2 UU 31/1999, namun demikian perbuatan melawan hukum itu melekat secara in heren dalam unsur perbuatan : menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Unsur melawan hukum pada Pasal 2 UU 31/1999 berdiri sendiri atau disebut bestanddelen, sedangkan unsur melawan hukum dalam Pasal 3 UU 31/1999 yang terbenih atau tersirat (inheren) disebut elemen. Perbedaan lain antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999 yaitu dalam Pasal 2 UU 31/1999 disebutkan unsur “memperkaya diri sendiri” sedangkan Pasal 3 UU 31/1999 disebutkan unsur “menguntungkan diri sendiri”. Unsur “memperkaya diri sendiri” atau “menguntungkan diri
:
221 Ibid., hlm. 288-289. 222 Alvi Syahrin, “Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa”,
http://alviprofdr.blogspot.co.id/2014/06/tindak-pidana-korupsi-dalam-pengadaan.html?m=1., diakses pada hari Senin, tanggal 05 Februari 2018.
Universitas Sumatera Utara
sendiri” pada dasarnya ditujukan pada suatu perbuatan yang menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan negara, atau mengutamakan kepentingan pelaku di atas kepentingan negara, yang perbuatan tersebut dapat berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Berangkat dari pendapat Alvi Syahrin, sebagai ahli hukum pidana dan
lingkungan, maka pertimbangan hukum Majelis Hakim Tipikor yang menyatakan
bahwa perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 UU Tipikor adalah “genus” dan
perbuatan melawan hukum dalam Pasal 3 UU Tipikor adalah “species”-nya adalah
benar. Namun dalam mempertimbangkan fakta hukum yang terungkap di depan
persidangan Majelis Hakim telah salah dalam menerapkan hukum, akan tetapi
Majelis Hakim tetap berkeyakinan bahwasanya terdakwa dalam perkara tersebut
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana
Korupsi Secara Bersama-Sama”. Adapun pertimbangan Majelis Hakim mengenai
perbuatan melawan hukum pidana yang memenuhi unsur Pasal 3 yaitu
menyalahgunakan wewenang atau sarana dan prasarana yang ada padanya terhadap
terdakwa, sebagai berikut :
1. Pasal 16 tentang penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) yaitu penyusunan
harga perkiraan sendiri/owner’s Estimate (HPS/OE) dengan menggunakan
harga penawaran dari salah satu peserta lelang, dan dikalkulasikan tidak
berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam perkara tipikor
tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwasanya dasar penyusunan HPS
didapat dari pemenang lelang;
2. Pasal 31 tentang prosedur pelelangan umum yaitu pada saat penjelasan lelang
(aanwaijzing) telah ditetapkan perubahan masa kotrak dari 1 (satu) tahun
Universitas Sumatera Utara
menjadi 3 (tiga) tahun tanpa adanya adendum dokumen lelang yang
ditandatangani oleh Direksi/Pejabat Pembuat Komitmen/Pejabat yang
ditunjuk, demikian pula tentang penetapan pemenang lelang yang berlarut-
larut.
3. Pasal 42 tentang penandatangan kontrak yaitu para pihak menandatangani
kontrak selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
diterbitkannya Surat Penetapan Pemenang Lelang (SP3). Bentuk kontrak
dilakukan berupa Surat Perintah Kerja (SPK) tanpa jaminan pelaksanaan
padahal nilai pengadaan di atas Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
4. Pasal 45 tentang perubahan, penghentian dan pemutusan kontrak, yaitu
pemutusan kontrak disebabkan oleh kelalaian penyedia barang/jasa dan
kendaraan telah ditarik oleh pihak lembaga pembiayaan sebelum kontrak
berakhir.
5. Pasal 3 jo Pasal 4 Peraturan Direksi PT. Bank Sumut, antara lain mempunyai
tugas yaitu “dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab berkewajiban
menjalankan tugas mengurus perseroan dengan mematuhi semua peraturan
perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku, dan mempunyai wewenang
mengikat Bank dengan pihak lain dan pihak lain dengan perseroan”, akan
tetapi setelah Surat Penetapan Pemenang Pelelangan diterbitkan, 14 (empat
belas) hari sejak ditetapkannya pemenang lelang, Direksi telah lalai dalam
melaksanakan tugasnya untuk membuat dan menandatangani kontrak.
Universitas Sumatera Utara
6. Rangkaian perbuatan terdakwa yang memberikan persetujuan secara lisan
kepada Irwan Pulungan selaku Pemimpin Divisi Umum untuk melakukan
pembayaran sewa kenderaan dinas operasional PT. Bank Sumut setiap
bulannya terhitung bulan Nopember 2013 s.d. Maret 2014, kepada H. Haltatif
selaku Direktur CV. Surya Pratama, sedangkan terdakwa telah mengetahui
secara pasti bahwa kontrak perjanjian kerjasama sewa kenderaan dinas
operasional belum ditandatangani Direksi PT. Bank Sumut. Selain itu,
padahal diketahui dan patut diketahui oleh terdakwa permintaan pembayaran
yang diajukan H. Haltatif, MBA selaku Direktur CV. Surya Pratama atas
penyerahan kenderaan dinas operasional PT. Bank Sumut tidak ada kontrak
hanya didasarkan atas Surat Perintah Kerja (SPK) Nomor :
020/PPKSkr/SPK/2013, tanggal 11 Oktober 2013, yang ditandatangani
Zulkarnain selaku Pls-PPK, akan tetapi terdakwa menghendaki untuk
dilakukan pembayaran dengan cara memberikan izin secara lisan kepada
Irwan Pulungan selaku PPK
7. Perbuatan terdakwa yang menyetujui pembayaran atas adanya permintaan
persetujuan pembayaran dari Yulius Syah selaku Pemimpin Divisi Umum
untuk pembayaran bulan Nopember 2014 dan bulan Desember 2014,
sedangkan terdakwa telah mengetahui bahwa kontrak perjanjian kerjasama
sewa kenderaan dinas operasional telah berakhir pada tanggal 31 Oktober
2014, seharusnya terdakwa terlebih dahulu memeriksa kebenaran dokumen
dengan melakukan koreksi dan klarifikasi, akan tetapi faktanya terdakwa
Universitas Sumatera Utara
tidak melakukannya dan terdakwa tetap menghendaki untuk dilakukan
pembayaran.
8. Terdakwa menyetujui pembayaran terhitung dari bulan Nopember 2013
sampai dengan bulan Maret 2014 atas adanya pengajuan Memorandum
Nomor : 613/Dum-RT/Mm/2014, tanggal 11 Maret 2014, yang diajukan
Irwan Pulungan selaku PPK, seharusnya terdakwa melakukan pemeriksaan
dan klarifikasi atas adanya permintaan pembayaran dari H. Haltatif, MBA
selaku Direktur CV. Surya Pratama, yaitu berapa jumlah kenderaan yang
diserahkan dan apakah sudah sesuai dengan jumlah pembayarannya akan
dilakukan tetapi terdakwa tidak melakukannya.
Menurut penulis, seluruh rangkaian perbuatan terdakwa selaku Direktur
Operasional PT. Bank Sumut sesungguhnya bukanlah merupakan perbuatan
melawan hukum dalam konteks pidana, melainkan hanya “mal-administrasi”. Sebab
prosedur pelaksanaan lelang telah menyalahi prosedur yang telah ditetapkan melalui
Peraturan Direksi PT. Bank Sumut No. 003/Dir/Dum-LG/PBS/2011, tanggal 18
Agustus 2011 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan PT. Bank
Sumut.
Dalam hal hubungan kontrak antara PT. Bank Sumut dengan CV. Surya
Pratama adalah tunduk kepada Pasal 1548 Jo. Pasal 1313 KUH.Perdata. artinya,
perjanjian sewa-menyewa bukan saja tunduk kepada ketentuan tentang sewa
menyewa tetapi sewa menyewa tunduk kepada ketentuan tentang perjanjian pada
umumnya, yaitu syarat-syarat sahnya perjanjian beserta segala akibat-akibat
Universitas Sumatera Utara
perjanjian tersebut. Jika terjadi perselisihan antara PT. Bank Sumut dengan CV.
Surya Pratama, seharusnya diselesaikan melalui jalur keperdataan. Oleh karena itu,
perkara tipikor dalam “Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas dan Operasional Roda-4
(empat) Kantor PT. Bank Sumut Tahun 2013” tidak layak untuk ditarik ke ranah
tipikor.
D. Prosedur dan Metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negara oleh Kantor Akuntan Publik Dalam Perkara Tipikor
Sebagaimana telah dibahas pada sub-bab sebelumnya bahwasanya prosedur
Kantor Akutan Publik dalam melakukan PKKN harus mengikuti standar
pemeriksaan yang ditentukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara.223
223 Pasal 5 Peraturan Badan Pemeriksa Keuagan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Selain itu pula, bagi Akuntan Publik yang bekerja
di dalam suatu wadah disebut Kantor Akuntan Publik juga harus tunduk pula pada
ketentuan UU Akuntan Publik.
Baik Akuntan Publik maupun Kantor Akuntan Publik harus tunduk kepada
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang dikeluarkan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dikarenakan berdasarkan Pasal 23 ayat (5) UUD
1945 telah menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan
Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan
dengan undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan Negara RI telah ditegaskan yang berwenang dalam melakukan,
menghitung, dan mengaudit kerugian negara adalah BPK RI, khusus terdapat pada
Bagian Kesatu Kedudukan Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut : “BPK merupakan
satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan keuangan negara”. Oleh karenanya, untuk dapat
membuktikan adanya kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud UU
Keuangan Negara, namun hanya sebatas untuk menentukan ada atau tidaknya
kerugian negara, maka dibutuhkan Ahli Kerugian Keuangan Negara, akan tetapi
untuk menentukan analisa hukum tentang adanya tindak pidana yang merugikan
keuangan negara atau tidak, tetap harus berdasarkan orang/badan yang diberikan
kewenangan oleh undang-undang.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Jo. Pasal 10 ayat (1) UU BPK, telah
memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sebagai satu-satunya
Lembaga Negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara, serta menetapkan kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan
melawan hukum, baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara,
pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan
pengelolaan keuangan negara. Sehingga, BPK RI mempunyai kewenangan yang
didelegasikan kepada badan tersebut oleh perintah undang-undang.
Mengenai kewenangan BPK RI tersebut, dapat dilihat pada Pasal 6 UU BPK,
yang menyatakan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
(1) “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
(2) Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
(3) Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
(4) Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.
(5) Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 Jo.
Pasal 1 angka 1 Jo. Pasal 2 Jo. Pasal 6 Jo. Pasal 10 ayat (1) UU BPK, telah terang
dan jelas bahwasanya BPK RI secara hukum berwenang untuk melakukan
pemeriksan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lainnya, Bank Indonesia,
Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan
lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Lembaga atau badan lain
disini adalah termasuk di dalamnya lembaga-lembaga yang tidak berada di bawah
Presiden RI, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi RI atau Mahkamah Agung RI.
Dengan kata lain, BPK RI berwenang untuk melakukan Penghitungan Kerugian
Keuangan Negara terhadap lembaga-lembaga yang berada di bawah Presiden RI
Universitas Sumatera Utara
maupun lembaga-lembaga negara yang tidak berada di bawah Presiden RI, seperti
KPK RI, Mahkamah Agung RI, dan bahkan Mahkamah Konstitusi RI sekalipun.
Disamping apa yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut
menurut pendapat dari Yusril Ihza Mahendra, sebagai ahli hukum tata negara,
mengatakan bahwa : “Dengan adanya Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan
No. 15 Tahun 2006 yang terakhir, BPK menjadi satu-satunya lembaga audit negara,
dan selanjutnya jangan ada orang yang dianiaya, kalau salah hukum saja, tetapi
hukumlah dengan adil, kalau tidak bersalah bebaskan jugalah mereka dengan
adil”.224
Kemudian menurut Mardiasmo, selaku pimpinan dari BPKP pada tanggal 21
Februari 2012 juga memberikan statement di Harian Waspada bahwa : “Peran BPKP
hanya sebagai Konsultan Bagaimana Perencanaan Penganggaran bisa lebih baik
untuk mencegah terjadinya masalah dikemudian hari BPKP bukanlah auditor seperti
BPK”.
225
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, telah dapat disimpulkan
bahwasanya orang/badan yang berhak dan berwenang untuk melakukan
penghitungan kerugian keuangan negara adalah seorang auditor dari BPK RI. Namun
ahli dari BPKP RI pun memang juga mempunyai kewenangan untuk melakukan
Penghitungan Kerugian Keuangan Negara, namun harus dengan izin atau permintaan
atau perintah dari Presiden RI atau Menteri Teknis terkait. Jadi, BPK RI adalah satu-
satunya lembaga negara yang berhak dan berwenang menentukan dan menghitung
224 Keterangan ahli pemohon, Yusril Ihza Mahendra dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 13/PUU-XI/2013, tertanggal 10 September 2013, hlm. 28-30.
225 Harian Waspada, diterbitkan pada hari Selasa, tanggal 21 Februari 2012.
Universitas Sumatera Utara
kerugian keuangan negara. Sehingga, BPK RI juga berhak dan berwenang
mengeluarkan standar pemeriksaan terhadap pemeriksaan keuangan negara. Maka
dari itu, baik Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik harus tunduk kepada
Peraturan BPK RI No. 01 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara.
Terhadap keberlakuan UU Akuntan Publik, maka orang yang melakukan
audit investigatif adalah orang yang memiliki kompetensi sebagai Akuntan Publik
berdasarkan UU Akuntan Publik dimaksud. Akuntan Publik adalah seseorang yang
telah memperoleh izin untuk memberikan jasa audit.226 Adapun jasa yang diberikan
akuntan publik, meliputi227
1. “Jasa audit atas informasi keuangan historis;
:
2. Jasa reviu atas informasi keuangan historis; dan
3. Jasa asurans lainnya”.
Jasa-jasa tersebut di atas, hanya dapat diberikan oleh Akuntan Publik. Selain
jasa asurans tersebut, akuntan publik dapat memberikan jasa lainnya yang berkaitan
dengan akuntansi, keuangan, dan manajemen sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.228
226 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. 227 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. 228 Pasal 3 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik.
Izin menjadi Akuntan Publik diberikan oleh Menteri yang
berlaku selama 5 (lima) tahun sejak tanggal ditetapkan dan dapat diperpanjang.
Apabila masa berlaku izin Akuntan Publik telah berakhir dan tidak memperoleh
Universitas Sumatera Utara
perpanjangan izin, yang bersangkutan tidak lagi menjadi Akuntan Publik dan tidak
dapat memberikan jasa asurans.229
Sedangkan metode yang digunakan oleh Kantor Akuntan Publik tersebut
untuk melakukan PKKN adalah tergantung kepada perkara tipikor yang akan
diperiksa kerugian keuangan negaranya. Bagi akuntan publik harus memiliki
sertifikat yang disebut Certificate of Public Accountant (CPA). Untuk mendapatkan
CPA tersebut, maka seorang akuntan harus lulus Ujian CPA ditambah pengalaman
kerja minimal 3 tahun, atau pengalaman sebagai tenaga pengajar akuntansi,
keuangan dan auditing minimal 4 tahun dan terdaftar sebagai Anggota Institut
Akuntan Publik Indonesia (IAPI).
230
Untuk mendapatkan izin menjadi Akuntan Publik, seseorang harus memenuhi
syarat sebagai berikut
231
1. “Memiliki sertifikat tanda lulus ujian profesi akuntan publik yang sah;
:
2. Berpengalaman praktik memberikan jasa; 3. Berdomisili di wilayah negara kesatuan republik indonesia; 4. Memiliki nomor pokok wajib pajak; 5. Tidak pernah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin akuntan
publik; 6. Tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
7. Menjadi anggota asosiasi profesi akuntan publik yang ditetapkan oleh menteri; dan
8. Tidak berada dalam pengampuan”.
229 Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. 230 M. Achsin, “Deteksi Fraud & Audit Investigatif”, Paparan disampaikan pada Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Ma Chung, Malang, pada hari Sabtu, tanggal 19 Maret 2016, hlm. 42.
231 Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik.
Universitas Sumatera Utara
Agar seorang akuntan mendapatkan izin praktik akuntan publik dari
kementerian keuangan, maka dirinya harus memiliki sertifikat CPA dan pengalaman
kerja 1000 jam (yang 500 jam diantaranya sebagai ketua tim) di Kantor Akuntan
Publik.232 Selanjutnya, bagi Kantor Akuntan Publik untuk mendapatkan izin dari
Kementerian Keuangan RI, maka Kantor Akuntan Publik tersebut harus
mempekerjakan Akuntan Publik yang memiliki izin akuntan publik, lalu harus
memenuhi persyaratan administratif lainnya. Barulah Kantor Akuntan Publik
tersebut dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh izin Kantor Akuntan
Publik pada Kementerian Keuangan RI.233
KAP dapat berbentuk usaha : perseorangan; persekutuan perdata; firma;
atau bentuk usaha lain yang sesuai dengan karakteristik profesi Akuntan Publik,
yang diatur dalam UU Akuntan Publik.
234
232 Ibid., hlm. 43. 233 Ibid., hlm. 44. 234 Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik.
KAP yang berbentuk usaha perseorangan
hanya dapat didirikan dan dikelola oleh 1 (satu) orang Akuntan Publik
berkewarganegaraan Indonesia. KAP yang berbentuk usaha hanya dapat didirikan
dan dikelola jika paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari seluruh Rekan merupakan
Akuntan Publik. KAP hanya dapat dipimpin oleh Akuntan Publik yang
berkewarganegaraan Indonesia yang merupakan Rekan pada KAP yang
bersangkutan dan berdomisili sesuai dengan domisili KAP. Dalam hal terdapat
Rekan yang berkewarganegaraan asing pada KAP, jumlah Rekan yang
Universitas Sumatera Utara
berkewarganegaraan asing pada KAP paling banyak 1/5 (satu per lima) dari seluruh
Rekan pada KAP.235
Setiap orang yang akan menjadi Rekan non-Akuntan Publik pada KAP wajib
mendaftar kepada Menteri. Pendaftaran dilakukan secara tertulis dengan syarat
sebagai berikut
236
1. “Berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (S-1) atau yang setara;
:
2. Berpengalaman kerja paling sedikit 5 (lima) tahun di bidang keahlian yang mendukung profesi Akuntan Publik;
3. Berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 4. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; 5. Telah mengikuti pelatihan etika profesi Akuntan Publik yang
diselenggarakan Asosiasi Profesi Akuntan Publik; dan 6. Tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.
Rekan Non-Akuntan Publik dilarang237
1. “Menjadi Rekan pada 2 (dua) KAP atau lebih;
:
2. Merangkap sebagai : pejabat negara; pimpinan atau pegawai pada lembaga pemerintahan, lembaga negara, atau lembaga lainnya yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan; atau jabatan lain yang mengakibatkan benturan kepentingan.
3. Menandatangani dan menerbitkan laporan hasil pemberian jasa melalui KAP”.
Dalam hal Rekan Non-Akuntan Publik menandatangani dan menerbitkan
laporan hasil pemberian jasa melalui KAP, maka dirinya dapat dilaporkan secara
pidana kepada pihak yang berwajib berdasarkan ketentuan pidana UU Akuntan
Publik, Pasal 57 ayat (2), bahwa :
“Setiap orang yang bukan Akuntan Publik, tetapi menjalankan profesi Akuntan Publik dan bertindak seolah-olah sebagai Akuntan Publik
235 Pasal 13 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. 236 Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. 237 Pasal 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik.
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dikaitkan dengan PKKN yang
dilakukan oleh akuntan publik, maka prosedurnya harus tunduk dan menggunakan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) ataupun Standar Pemeriksaan
Akuntan Publik (SPAP) sebagai standar profesional yang diterbitkan oleh Institut
Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dalam melakukan pemeriksaan atas entitas swasta
(di luar “keuangan negara”). Berbeda dengan SPKN yang tunduk kepada Standar
Akuntansi Pemerintah (SAP) menggunakan penilaian government judgement.
Seharusnya akuntan publik yang melakukan PKKN terhadap entitas BUMN/D, maka
harus menggunakan standar profesional berupa PSAK dan SPAP.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
KENDALA PENYIDIK TIPIKOR DALAM MENENTUKAN DAN MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DENGAN
MENGGUNAKAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK SEBAGAI AUDITOR INVESTIGATIF DALAM PUTUSAN PENGADILAN TIPIKOR PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN NO. 93/PID.SUS-TPK/2016/PN.MDN
Pada pembahasan kali ini akan membagi kendala yang dihadapi penyidik
tipikor dalam menentukan dan menghitung kerugian keuangan negara dengan
menggunakan Kantor Akuntan Publik sebagai Auditor Investigatif. Uraian pada bab
ini, akan mengupas putusan pengadilan tipikor yang telah berkekuatan hukum tetap.
A. Kendala Penyidik Tipikor Dalam Menentukan Kerugian Keuangan Negara Dalam Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013
Adapun kendala yang dihadapi Penyidik Pid.Sus Kejaksaan Tinggi Sumut
dalam menentukan kerugian keuangan negara dalam “Pengadaan Sewa Kendaraan
Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013”, yaitu :
1. Penyidik Pid.Sus Kejaksaan Tinggi Sumut telah mengajukan permohonan
audit investigatif kepada BPK Provinsi Sumatera Utara dan BPKP
Perwakilan Provinsi Sumatera Utara, akan tetapi BPK Provinsi Sumatera
Utara dan BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Utara tidak menanggapi
permintaan tersebut, sehingga inilah yang menjadi dasar Penyidik Pid.Sus
untuk meminta audit investigatif PKKN kepada Kantor Akuntan Publik.
2. Persepsi mengenai keuangan negara tidak sama sehingga ruang lingkup
kerugian keuangan negara tidak satu persepsi pula. Perbedaan pemaknaan
Universitas Sumatera Utara
berbagai aturan perundang-undangan dapat menimbulkan kesulitan.
Kesulitan tersebut ada dalam upaya menetapkan kerugian keuangan negara
akibat tindak pidana korupsi, dan berapa besar jumlah uang pengganti yang
akan dibebankan kepada terpidana, disamping kesulitan mengenai
pembuktian di persidangan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam
banyak perkara tipikor, baik penyidik, penuntut umum, bahkan hakim di
pengadilan gagal menyepakati penentuan besarnya kerugian keuangan negara
pada perkara tipikor yang sedang ditangani. Hal ini terjadi akibat tidak
adanya kesatuan cara pandang tentang keuangan negara itu sendiri.
Akibatnya, seringkali muncul perbedaan (disparitas) antara Jaksa Penuntut
Umum (JPU) dengan hakim mengenai besaran kerugian negara yang timbul
dan dikorupsi oleh terdakwa sebagai penentu pidana tambahan berupa uang
pengganti kerugian keuangan negara.238
3. Perbedaan pemahaman soal actual loss dan potensial loss atas unsur kerugian
keuangan negara (delik formil atau delik materil). Pasal 2 ayat (1) dan 3 UU
Tipikor memuat frase yang berbunyi : “Yang Dapat Merugikan Keuangan
Negara atau Perekonomian Negara” sebagai salah satu unsur dapat tidaknya
pelaku korupsi dikenakan pidana. Pada praktikya, terdapat perdebatan akan
pemahaman dan penerapan kata “dapat merugikan”. Kata “dapat merugikan”
bertentangan dengan konsep actual loss dimana kerugian negara harus benar-
benar sudah terjadi. Sedangkan, konsep potential loss memungkinkan bahwa
dengan adanya perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri
238 Emerson Yuntho, dkk., Op.cit., hlm. 21-28.
Universitas Sumatera Utara
walaupun belum terdapat kerugian negara secara pasti, unsur kerugian
keuangan negara sudah dapat diterapkan.239
B. Kendala Penyidik Tipikor Dalam Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013
Adapun kendala yang dihadapi Penyidik Pid.Sus Kejaksaan Tinggi Sumut
dalam menghitung kerugian keuangan negara dalam “Pengadaan Sewa Kendaraan
Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun 2013”, yaitu :
1. Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad & Rekan yang dipakai untuk
menghitung kerugian keuangan negara hanya atas dasar permintaan dari
Badan Pemeriksa Keuangan RI, yang hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh
KAP dimaksud hanya sebagai bahan pedoman bagi BPK untuk menentukan
ada atau tidaknya kerugian keuangan negara, sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan BPK No. 01 Tahun 2007, sehingga KAP secara langsung tidak
berwenang untuk melakukan ataupun menyampaikan hasil audit tentang
adanya kerugian keuangan negara. Namun, oleh Penyidik Pid.Sus Kejaksaan
Tinggi Sumatera Utara, ternyata KAP dimaksud tetap dipakai jasanya untuk
menghitung kerugian keuangan negara.
2. Kantor Akuntan Publik (KAP) yang menunjuk ahli Hernold Ferry
Makawimbang untuk menjadi Ketua Tim Auditor Investigatif ternyata belum
mendapatkan izin dari Kementerian Keuangan RI sebagaimana diamanatkan
UU Akuntan Publik sebagai Rekan Non-Akuntan Publik.
239 Ibid., hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
3. Ahli Hernold Ferry Makawimbang sebagai Rekan Non-Akuntan Publik pada
Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad & Rekan ternyata
menandatangani Laporan Hasil Audit Investigatif Penghitungan Kerugian
Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dana Pengadaan
Sewa Menyewa Kendaraan Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut Tahun
213.
4. Dikarenakan Laporan Hasil Audit Investigatif tidak dapat digunakan karena
telah ditandatangani oleh orang yang tidak berhak sebab tidak memiliki izin
dan tidak terdaftar pada Kementerian Keuangan RI, maka Majelis Hakim
Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan melakukan PKKN sendiri
yang menyebabkan perhitungannya pun menjadi tidak jelas.
5. Metode PKKN bervariasi dan belum ada standarisasi dalam melakukan
PKKN. Menurut Soeharto dalam Emerson Yuntho,dkk., menyatakan bahwa
metode PKKN tidak dapat dibakukan, karena : Pertama, ruang lingkup
kerugian keuangan negara sama luasnya dengan ruang lingkup negara itu
sendiri. Kedua, sampai dengan saat ini belum ada aturan yang mengatur
metode baku untuk menghitung kerugian keuangan negara. Ketiga, upaya
pembakuan standarisasi PKKN dimaksudkan supaya terdapat metode atau
pola penghitungan yang handal, bermutu dan dapat diterima dalam
persidangan di pengadilan. Keempat, ada anggapan pembakuan dan
Universitas Sumatera Utara
standarisasi akan membatasi pemikiran kreatif yang mungkin diperlukan
dalam perkara yang kompleks.240
C. Kendala Penuntut Umum Dalam Menentukan dan Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn.
Adapun kendala Penuntut Umum dalam menentukan dan menghitung
kerugian keuangan negara dalam Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan
Negeri Medan No. 93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., adalah sebagai berikut :
1. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017 Telah Menyatakan Unsur “Dapat” Dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat
Unsur kata “Dapat” sebelum frase “Merugikan Keuangan Atau Merugikan
Keuangan Atau Perekonomian Negara”, demi hukum telah dianulir oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017.
Menurut Mahkamah Konstitusi RI kata “Dapat” dalam ketentuan korupsi seperti
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor inkonstitusional. Mahkamah
berpendapat kata “Dapat” dalam ketentuan tersebut menimbulkan banyaknya
penafsiran yang hanya mengarah pada indikasi “potensi kehilangan” (potential loss),
sehingga bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.241
240 Ibid., hlm. 33. 241 Pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada Putusan Mahkamah
Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017.
Universitas Sumatera Utara
Masih menurut Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017,
menilai pencantuman kata “Dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
membuat delik kedua pasal tersebut menjadi delik formil sesuai Putusan Mahkamah
Konstitusi RI No. 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006, hal tersebut yang
seringkali disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga
merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan yang
diambil bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya.242
Selanjutnya, menurut Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI,
menyampaikan kriminalisasi kebijakan sering terjadi karena terdapat perbedaan
pemaknaan kata “Dapat” dalam unsur merugikan keuangan negara dalam tindak
pidana korupsi oleh Aparat Penegak Hukum, untuk itu, pencantuman kata “Dapat”
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum
dan bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28G ayat
(1) UUD 1945.
243
Selain itu, kata “Dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga
bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip
hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta),
242 Ibid. 243 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dan tidak multitafsir (lex certa), oleh karenanya bertentangan dengan prinsip negara
hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.244
2.
Berdasarkan hal tersebut, sesungguhnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI
No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017 merupakan batu sandungan bagi
penegak hukum tindak pidana korupsi. Sebab sangat sulit penegak hukum untuk
menentukan dan menghitung kerugian keuangan negara. Seringnya, jika ada potensi
saja kerugian keuangan negara, maka perkara tersebut telah dapat ditingkatkan
statusnya dari penyelidikan menjadi penyidikan. Namun, sejak adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari 2017, maka
dalam penyelidikan tindak pidana korupsi, penegak hukum harus sudah
mempersiapkan Laporan Hasil Audit Investigatif untuk menentukan dan menghitung
kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti jumlahnya.
Pembayaran Uang Sewa Mobil Kepada CV. Surya Pratama Telah Sesuai Dengan Prestasi Terhadap Mobil Yang Diterima dan Digunakan PT. Bank Sumut dari CV. Surya Pratama
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwasanya penyerahan
pembayaran yang dilakukan oleh PT. Bank Sumut kepada CV. Surya Pratama dalam
pekerjaan “Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas Operasional Kantor PT. Bank Sumut
Tahun 2013”, telah sesuai dengan prestasi yang telah dilaksanakan oleh CV. Surya
Pratama, karena semua mobil tersebut telah diterima dan digunakan oleh PT. Bank
Sumut untuk melaksanakan dan menunjang kegiatan operasional dan usaha bank,
244 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
yang mana dengan digunakannya mobil tersebut untuk jangka waktu 1 (satu) tahun
telah menghasilkan keuntungan kepada PT. Bank Sumut.
Selain itu juga, terhadap pekerjaan “Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas
Opersasional Kantor PT. Bank Sumut Tahun 2013”, sama sekali bukanlah
pengadaan fiktif, melainkan nyata-nyata mobil sewa tersebut ada dan telah
dipergunakan dengan baik dan terhadap spesifikasi mobil tersebut pun telah sesuai,
baik kuantitas, maupun kualitasnya sebagaimana dimaksud dalam Rencana Kerja
dan Syarat-syarat (RKS) dan Bill of Quantity (BQ) Pengadaan Sewa Kendaraan
Dinas Operasional Kantor PT. Bank Sumut, dan telah diterima dengan baik dan
dipergunakan oleh PT. Bank Sumut. Sehingga sangat layak atas penerimaan dan
penggunaan mobil tersebut, PT. Bank Sumut membayar imbalan berupa uang sewa
kepada CV. Surya Pratama karena PT. Bank Sumut telah menerima hak kenikmatan
sewa mobil milik CV. Surya Pratama sesuai Pasal 1548 KUH.Perdata terdapat harga
yang harus dibayar apabila hak kenikmatan sewa atas suatu barang telah diterima
dan diperoleh.
3. Pembayaran Uang Sewa Mobil Yang Dibayarkan Pada Bulan November 2014 s.d. Desember 2014 Merupakan Pembayaran Yang Legal
Dalam Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang pada intinya menyatakan
bahwa telah terjadi kerugian keuangan negara karena kontrak yang berakhir pada
tanggal 31 Oktober 2014, akan tetapi PT. Bank Sumut masih melakukan pembayaran
untuk jasa sewa mobil tersebut untuk bulan November 2014 s.d. Desember 2014,
merupakan pendapat yang salah dan keliru. Inilah merupakan dasar menentukan
Universitas Sumatera Utara
perbuatan melawan hukum dalam “Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas dan
Operasional Roda 4 (empat) Kantor PT. Bank Sumut Tahun 2013”.
Pembayaran pada bulan November 2014 dan Desember 2014 dilakukan
mempunyai payung hukum yang jelas dan tegas, hal tersebut dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 5 ayat (2) Surat Perjanjian Kerja (Kontrak) No. 010/Dir/PPK-
Skr/SPj/2014 dan No. 032/SUPRA/SK/IV/2014 tertanggal 04 April 2014, yang
menyatakan bahwa pemakaian kendaraan adalah “1 (satu) tahun terhitung sejak
penyerahan kendaraan sesuai dengan Berita Acara Penyerahan”. Dengan demikian,
telah terungkap di depan bersidangan berdasarkan keterangan saksi-saksi, ahli, dan
bukti-bukti surat yang diajukan bahwa faktanya penyerahan mobil yang dilakukan
oleh CV. Surya Pratama selaku rekanan kepada PT. Bank Sumut adalah secara
bertahap tidak sekaligus dan seketika, yaitu yang dimulai penyerahannya pada
tanggal 17 Oktober 2013 s.d. 28 Februari 2014, dengan rincian, sebagai berikut :
1. 17 Oktober 2013 s.d. 31 Oktober 2013 sebanyak = 55 unit;
2. 01 November 2013 s.d. 30 November 2013 sebanyak = 105 unit;
3. 02 Desember 2013 s.d. 31 Desember 2013 sebanyak = 94 unit;
4. 02 Januari 2014 s.d. 28 Januari 2014 sebanyak = 22 unit;
5. 03 Februari 2014 s.d. 28 Februari 2014 sebanyak
Total = 294 unit
= 18 unit;
Oleh karena berdasarkan fakta hukum yang terungkap di depan persidangan
bahwa ternyata pada bulan November 2013 dan Desember 2014 masih ada
penyerahan mobil dari CV. Surya Pratama kepada PT. Bank Sumut, maka
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Surat Perjanjian Kerja (Kontrak) No. 010/Dir/PPK-
Skr/SPj/2014 dan No. 032/SUPRA/SK/IV/2014 tertanggal 04 April 2014, berakhir
sewa mobil tersebut adalah pada bulan November 2014 dan Desember 2014, maka
PT. Bank Sumut telah melakukan pembayaran sesuai dengan apa yang diperjanjikan
di dalam ketentuan Surat Perjanjian (Kontrak) Sewa Menyewa Kendaraan Dinas dan
Operasional PT. Bank Sumut tersebut.
Walaupun jangka waktu Surat Perjanjian (Kontrak), pada Pasal 3 ayat (1)
menyatakan bahwa perjanjian kerjasama berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun
terhitung sejak tanggal 01 November 2013 s.d. 31 Oktober 2014, akan tetapi
perjanjian tersebut tidak dapat dibaca dan diartikan sepotong-sepotong, melainkan
harus dibaca secara holistik dan sistematis sesuai pendapat ahli hukum perdata, Tan
Kamelo, Jaksa Penuntut Umum seharusnya mempertimbangkan Pasal 5 ayat (2)
Kontrak yang menyatakan hitungan jangka waktu sewa sejak mobil diserahkan
karena ketentuan pasal tersebut menjadi satu kesatuan (holistik) di dalam Perjanjian
(Kontrak) Sewa Menyewa Kendaraan Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut
tersebut. Karenanya dalil Jaksa Penuntut Umum yang hanya berdasarkan Pasal 3
ayat (1) dan juga menyampaikan bahwa pembayaran pada bulan November 2014 s.d.
Desember 2014 illegal adalah tidak berdasar hukum dan keliru, sehingga
bertentangan dengan fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan.
Telah terungkap di depan persidangan, bahwa mobil yang diserahkan CV.
Surya Pratama pada bulan November 2013 dan Desember 2013 berakhir masa
sewanya pada bulan November 2014 dan Desember 2014, hal ini dikarenakan
Universitas Sumatera Utara
keterlambatan CV. Surya Pratama dalam memasukkan seluruh unit mobil yang
disewa oleh PT. Bank Sumut sebab dealer Toyota (Auto 2000). Menurut keterangan
Saksi Herry Liu telah menyatakan bahwa Mobil Toyota Avanza E M/T pada waktu
itu tidak ada di wilayah Sumatera Bagian Utara dan Aceh, dan terhadap hal tersebut
telah dibicarakan oleh H. Haltafif kepada Panitia Pelelangan di sewaktu Rapat
Koordinasi telah disampaikan bahwa CV. Surya Pratama mengalami kesulitan untuk
memasukkan mobil, maka dari itulah telah disepakati bahwa mobil akan tetap
dimasukkan sampai unit yang disewa mencapai 294 unit. Dengan dasar tersebut
pihak PT. Bank Sumut telah membuat klausula di dalam Pasal 5 ayat (2) yang
menyatakan bahwa masa sewa terhitung sejak mobil diserahkan oleh CV. Surya
Pratama, sehingga berakhirnya masa selama 1 (satu) tahun tersebut menyesuaikan
dengan penyerahan mobil yang bersangkutan. Dengan kata lain, jangka waktu sewa
terhitung sejak kenikmatan mobil sewa tersebut diterima oleh PT. Bank Sumut.
Dalam prinsip-prinsip perjanjian ada dikenal azas kebebasan berkontrak,
maka pembicaraan antara CV. Surya Pratama yang diwakili oleh H. Haltafif selaku
Direkturnya dan Pelaksana (Pls.) Pemimpin Divisi Umum, Terdakwa “Z” sewaktu
Rapat Koordinasi, dianggap sebagai kesepakatan sesuai asas konsensualitas bahwa
kesepakatan terjadi bukan pada saat dibuat dan ditandatanganinya suatu perjanjian,
melainkan pada saat tercapainya kata sepakat. Sehingga memenuhi Pasal 1320
KUH.Perdata, dan menurut Pasal 1338 KUH.Perdata, klausula-klausula yang
diperjanjikan di dalam Perjanjian (Kontrak) Sewa Menyewa Kendaraan Dinas dan
Operasional PT. Bank Sumut tersebut menjadi undang-undang bagi para pihak yang
Universitas Sumatera Utara
membuatnya. Untuk itu Pasal 5 ayat (2) telah menjadi hukum bagi hubungan antara
CV. Surya Pratama dengan PT. Bank Sumut.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Surat Perjanjian (Kontrak) Kerja Sewa
Kendaraan Dinas dan Operasional PT. Bank Sumut mengikat sah secara hukum,
maka pendapat Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan bahwa pembayaran pada
bulan November 2014 sebesar Rp. 1.059.602.727,- (Satu Miliar Lima Puluh
Sembilan Juta Enam Ratus Dua Ribu Tujuh Ratus Dua Puluh Tujuh Rupiah) dan
pembayaran pada bulan Desember 2014 sebesar Rp. 509.627.455,- (Lima Ratus
Sembilan Juta Enam Ratus Dua Puluh Tujuh Ribu Empat Ratus Lima Puluh Lima
Rupiah) yang telah diterima CV. Surya Pratama melalui Rekening Bank Sumut No.
AC 100-01.04.123516-1, dengan nilai total sebesar Rp. 1.569.230.182,- (Satu Miliar
Lima Ratus Enam Puluh Sembilan Juta Dua Ratus Tiga Puluh Ribu Seratus Delapan
Puluh Dua Rupiah) merupakan pembayaran illegal adalah tidak dapat dibenarkan
menurut hukum karenanya uraian nota tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut salah
dan keliru.
Menurut pendapat ahli hukum perdata bahwa dikenal adanya seni membaca
kontrak (the art of reading contract) bahwasanya kontrak harus dibaca secara
holistik dan sistematis dan dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (2) Surat Perjanjian
Kerja (Kontrak) No. 010/Dir/PPK-Skr/SPj/2014 dan No. 032/SUPRA/SK/IV/2014
tertanggal 04 April 2014 telah menyatakan bahwa jangka waktu sewa terhitung sejak
mobil diterima, dan terhadap mobil yang disewa wajib hukumnya untuk dibayar,
maka pembayaran pada bulan November 2014 dan Desember 2014 sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan para pihak yang membuatnya. Secara hukum pembayaran tersebut
adalah pembayaran yang berdasar hukum.
4. Pembayaran Biaya-Biaya Lain Kepada CV. Surya Pratama Telah Sesuai Dengan Ketentuan Yang Berlaku
Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya menyatakan
bahwa ada biaya-biaya lain yang diperoleh CV. Surya Pratama dengan direkturnya
H. Haltafif ternyata dianggarkan dalam HPS. Padahal terhadap hal tersebut tidak
menjadi kewajiban PT. Bank Sumut untuk menanggungnya, akan tetapi tetap
dibebankan kepada PT. Bank Sumut. Ahli dari Kantor Akuntan Publik (KAP)
Tarmizi Achmad yaitu Hernold Ferry Makawimbang, sebagai orang yang bukan
akuntan publik yang diduga tidak berhak membuat dan menandatangani Laporan
Hasil Audit Investigatif Perhitungan Kerugian Keuangan Negara, tetapi tetap
membuat dan menandatangani laporan audit investigasit tersebut bertindak seolah-
olah sebagai Akuntan Publik, karena diduga yang bersangkutan tidak terdaftar di
Kementerian Keuangan RI sebagai Rekan Non-Akuntan Publik pada Kantor
Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad, dengan menyatakan bahwa biaya-biaya
lain tersebut merupakan kerugian negara.
Adapun uraian perhitungan biaya-biaya yang tidak perlu, menurut Jaksa
Penuntut Umum yang diduga menggunakan Laporan Hasil Audit Investigasit
Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang cacat hukum tersebut, adalah sebagai
berikut :
Tabel 5 Uraian Perhitungan Biaya Yang Tidak Perlu
Universitas Sumatera Utara
Menurut Laporan Hasil Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara
No. Uraian Perhitungan Biaya-Biaya Yang Tidak Perlu Jumlah (Rp.)
1 Biaya Perpanjangan STNK, Service Rutin, Sparepart dan Asuransi (Per Unit Hanya Sekali Pembayaran Per Tahun) Dibagi Per Bulan, Dikali 7 bulan (April 2014 s.d. Oktober 2014)
a. Toyota Camry = Rp. 19.454.795,- : 12 bln = Rp. 1.621.232,- Biaya 7 bln = 7 bln x 5 unit x Rp. 1.621.232,-
56.743.120,-
b. Mitsubishi Pajero = Rp. 18.609.440,- : 12 bln = Rp. 1.550.787,- Biaya 7 bln = 7 bln x 12 unit x Rp. 1.550.787,-
130.266.108,-
c. Toyota Innova = Rp. 13.255.470,- : 12 bln = Rp. 1.104.623,- Biaya 7 bln = 7 bln x 11 unit x Rp. 1.104.623,-
85.055.971,-
d. Toyota Rush = Rp. 11.595.563,- : 12 bln = Rp. 966.297,- Biaya 7 bln = 7 bln x 29 unit x Rp. 966.297,-
196.158.291,-
e. Toyota Avanza = Rp. 9.644.941,- : 12 bln = Rp. 803.745,- Biaya 7 bln = 7 bln x 237 unit x Rp. 803.745,-
1.333.412.955,-
Jumlah Kerugian Keuangan Negara Biaya Tidak Perlu 1.801.636.445,-
2 Biaya Pajak Penghasilan (PPh 2%) Bulan April 2014 s.d. Oktober 2014
a. April 2014 26.778.636,-
b. Mei 2014 26.690.909,-
c. Juni 2014 26.690.909,-
d. Juli 2014 26.690.909,-
e. Agustus 2014 26.690.909,-
f. September 2014 26.690.909,-
e. Oktober 2014 26.690.909,-
Jumlah Kerugian Keuangan Negara Biaya PPh 2% 186.924.090,-
Jumlah Kerugian Keuangan Negara (1 + 2) 1.988.560.535,- Sumber : Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, hlm. 144, yang bersumber dari Laporan Hasil
Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad, tertanggal 30 Agustus 2016.
Perhitungan “Kerugian Keuangan Negara Yang Tidak Perlu” sebesar Rp.
1.801.636.445,- (Satu Miliar Delapan Ratus Satu Juta Enam Ratus Tiga Puluh Enam
Ribu Empat Ratus Empat Puluh Lima Rupiah) merupakan perhitungan yang diambil
Universitas Sumatera Utara
begitu saja bulat-bulat tanpa analisis sama sekali oleh Jaksa Penuntut Umum untuk
memenuhi unsur “Memperkaya Diri Sendiri Atau Orang Lain Atau Suatu
Korporasi”, merupakan pendapat yang salah dan keliru.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan, baik saksi-
saksi maupun bukti-bukti surat yang diajukan, yang menyebutkan bahwasanya PT.
Bank Sumut selaku penyewa hanya bersedia menggunakan mobil sewa dari rekanan
adalah mobil yang siap pakai tanpa memikirkan kerusakan, pengurusan STNK,
Service Rutin, Sparepart, dan Asuransi, telah didukung dengan keterangan Saksi Ad
Charge Mecky Benny Hutahean dan juga Terdakwa sendiri.
Adapun asumsi perhitungan sewa mobil yang telah diadakan oleh dan antara
PT. Bank Sumut dengan CV. Surya Pratama pada tahun 2013 tersebut apabila
dibandingkan dengan harga pasarannya pada saat itu adalah sudah sangat murah,
sebagai contoh : Mobil Toyota Avanza E M/T 2013 (baru) sewanya per bulan per
unit adalah sebesar Rp. 4.200.000,- (Empat Juta Dua Ratus Ribu Rupiah).
Perhitungan tersebut sudah termasuk : PPN, mobil pengganti sementara apabila
mengalami kerusakan; perawatan/perbaikan secara berkala (Service) dan termasuk
penggantian suku cadang kendaraan (Sparepart); pengurusan atau perpanjangan
STNK; serta Asuransi All Risk dan asuransi pertanggungan pihak ketiga (TPL).
Apabila dihitung untuk harga sewa per hari per unit, maka akan didapati angka sewa
sebesar Rp. 140.000,- (Seratus Empat Puluh Ribu Rupiah) per unit per hari.
Sementara harga pasaran sewa mobil Avanza pada tahun 2013 tersebut adalah
sebesar Rp. 225.000,- (Dua Ratus Dua Puluh Lima Ribu Rupiah) itupun mobilnya
Universitas Sumatera Utara
mobil bekas atau mobil yang bukan keluaran/produksi tahun 2013, sebagaimana
mobil-mobil yang telah disewa PT. Bank Sumut dari CV. Surya Pratama.
Seandainya pun benar (quad non), harga sewa mobil dinas operasional
Kantor PT. Bank Sumut telah dimasukkan biaya-biaya yang tidak perlu, maka akan
didapati angka sewa jauh dibawah Rp. 140.000,- (Seratus Empat Puluh Ribu
Rupiah). Pastinya tidak ada rekanan yang mau untuk mengadakan mobil tersebut,
tapi yang aneh kenapa perhitungan perpanjangan STNK, Service Rutin, Sparepart
dna Asuransi per unit mobil sebagaimana hitungan Ahli Hernold Ferry
Makawimbang, harus dibagi 7 (tujuh) bulan sementara jangka waktu sewa terhitung
12 (dua belas) bulan.
Selain itu, terhadap pendapat Jaksa Penuntut Umum tentang Pajak
Penghasilan (PPh 2%) yang menjadi beban PT. Bank Sumut terhitung sejak bulan
April 2014 s.d. Oktober 2014 dengan nilai total sebesar Rp. 186.924.090,- (Seratus
Delapan Puluh Enam Juta Sembilan Ratus Dua Puluh Empat Juta Sembilan Puluh
Rupiah) merupakan dalil yang salah dan keliru. Hal ini disebabkan telah terungkap di
depan persidangan dari keterangan saksi-saksi, yaitu : Saksi Ismail, Saksi Rahmat
Khairul, Saksi Ad Charge Mecky Benny Hutahean dan ditambah dengan keterangan
Saksi M. Jefri Sitindaon, bahwasanya terhadap PPh 2% dari CV. Surya Pratama yang
timbul atas penghasilan dari pekerjaan “Pengadaan Sewa Kendaraan Dinas
Operasional Kantor PT. Bank Sumut Tahun 2013”, tidak pernah dibebankan kepada
PT. Bank Sumut, melainkan menjadi beban dan tanggung jawab CV. Surya Pratama.
PT. Bank Sumut sebagai Wajib Pungut (Wapu) sesuai UU Perpajakan wajib
Universitas Sumatera Utara
hukumnya memungut PPh tersebut dari CV. Surya Pratama untuk tiap-tiap bulannya,
dengan melakukan pemotongan terhadap tagihan yang diajukan kepada PT. Bank
Sumut setelah dipotong PPN 10%.
Pemotongan PPh tersebut pun, menurut fakta-fakta yang terungkap di depan
persidangan, berdasarkan keterangan Saksi Ismail, PT. Bank Sumut tidak
menggunakan anggarannya untuk membayar PPh CV. Surya Pratama, faktanya PT.
Bank Sumut selalu melakukan pemotongan atas tagihan setelah dipotong PPN 10%
dan bukti potong atas PPh CV. Surya Pratama pun telah dijelaskan di depan
persidangan bahwa telah dipotong, maka PT. Bank Sumut melalui Saksi Ismail
membuat Nota Pembayaran atas PPh CV. Surya Pratama untuk dibayarkan dari
tagihan CV. Surya Pratama dimaksud ke Kas Negara. Karenanya tidak terbantahkan
lagi bahwa terhadap PPh CV. Surya Pratama telah dibayarkan oleh PT. Bank Sumut
yang dipotong dari tagihan yang diajukannya, dan untuk itupun telah disetorkan ke
Kas Negara. Oleh karena itu, pendapat Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan
bahwa PPh dibebankan kepada PT. Bank Sumut adalah berupa kesalahan dan
kekeliruan JPU dalam perkara ini karena mengikuti Ahli yang salah dan cacat hukum
tersebut.
Oleh karena perhitungan harga sewa mobil per hari per unit Rp. 140.000,-
(Seratus Empat Puluh Ribu Rupiah) merupakan harga yang sangat pantas dan wajar
dibawah harga pasar pada saat itu. PPh CV. Surya Pratama pun tidak pernah
dibebankan kepada PT. Bank Sumut karena PPh selalu dipotong dari tagihan CV.
Surya Pratama kepada PT. Bank Sumut setelah terlebih dahulu dipotong PPN 10%,
Universitas Sumatera Utara
dan itupun berdasarkan Bukti Potong yang ada telah disetorkan ke Kas Negara, maka
pendapat Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan terdapat biaya-biaya yang tidak
perlu dimasukkan di dalam harga sewa mobil dan PPh CV. Surya Pratama
dibebankan kepada PT. Bank Sumut merupakan pendapat yang sangat salah dan
sangat keliru. Sehingga karenanya telah membuat kesimpulan yang mengada-ada.
5. Laporan Hasil Audit Investigatif Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad Merupakan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) Yang Cacat Hukum
Telah dikemukakan di atas sebelumnya, bahwa untuk dapat membuktikan
adanya kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Namun hanya sebatas untuk menentukan ada
atau tidaknya kerugian negara, maka dibutuhkan Ahli Kerugian Keuangan Negara,
akan tetapi untuk menentukan analisa hukum tentang adanya tindak pidana yang
merugikan keuangan negara atau tidak, tetap harus berdasarkan orang/badan yang
diberikan kewenangan oleh undang-undang.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1 angka 1 Jo. Pasal 10 ayat (1) UU BPK,
telah memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sebagai satu-satunya
Lembaga Negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara serta menetapkan kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan
melawan hukum, baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara,
pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan
pengelolaan keuangan negara.
Universitas Sumatera Utara
Selain dari BPK, ternyata ada Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.
31/PUU-X/2012 yang dipakai oleh Penuntut Umum sebagai landasan untuk
menunjuk Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk melakukan Penghitungan Kerugian
Negara. Penunjukan KAP oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menghitung adanya
kerugian keuangan negara adalah tidak beralasan hukum sama sekali karena Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut ternyata tidak memberikan kewenangan kepada KAP
untuk melakukan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) sebab isi dari
pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah KPK tidak hanya bisa
berkordinasi dengan BPK dan BPKP namun dapat juga berkordinasi dengan Auditor
lain.
Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak menunjukkan
adanya kewenangan yang diberikan kepada Penyidik dalam hal ini Jaksa Penuntut
Umum selain dari KPK untuk berkoordinasi dengan KAP, walaupun atas terbitnya
suatu Putusan Mahkamah Konstitusi yang mana sifat dari putusan tersebut
melahirkan norma baru, akan tetapi harus ditindaklanjuti dengan terbitnya peraturan
perundang-undangan oleh badan legislatif.
Kantor Akuntan Publik dapat dipakai untuk menghitung kerugian keuangan
negara hanya atas dasar permintaan dari Badan Pemeriksa Keuangan RI, yang hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh KAP dimaksud hanya sebagai bahan pedoman
bagi BPK untuk menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara,
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan BPK No. 01 Tahun 2007. Sehingga KAP
Universitas Sumatera Utara
secara langsung tidak berwenang untuk melakukan ataupun menyampaikan hasil
audit tentang adanya kerugian keuangan negara.
Beranjak dari ketentuan di atas, maka apabila Jaksa Penuntut Umum tetap
dengan pendapatnya bahwasanya dalam perkara aquo KAP dijadikan dasar untuk
penghitungan kerugian keuangan negara, maka Kantor Akuntan Publik dimaksud
harus tunduk pada UU Akuntan Publik. Berdasarkan Pasal 13 UU Akuntan Publik
telah mengatur tentang pendirian dan pengelolaan Kantor Akuntan Publik. Apabila
Pasal 13 UU Akuntan Publik dikaitkan dengan Kantor Akuntan Publik Tarmizi
Achmad & Rekan, maka demi hukum KAP yang berbentuk usaha seperti KAP
Tarmizi Achmad & Rekan hanya dapat dikelola jika paling sedikit 2/3 (dua per tiga)
dari seluruh Rekan merupakan Akuntan Publik, dengan kata lain KAP diperbolehkan
menurut UU Akuntan Publik untuk mempekerjakan Rekan yang bukan Akuntan
Publik sebanyak 1/3 dari seluruh rekan yang Akuntan Publik.
Terhadap 1/3 dari seluruh rekan yang bukan Akuntan Publik tersebut pun,
berdasarkan UU Akuntan Publik ternyata juga telah diatur di dalam Pasal 14 yang
disebut Rekan Non Akuntan Publik. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di
depan persidangan, berupa bukti-bukti surat yang diajukan sebagai bukti dalam
perkara aquo, ternyata ada Laporan Hasil Audit Investigatif Penghitungan Kerugian
Keuangan Negara Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dana Pengadaan Sewa
Menyewa Kendaraan Operasional Pada PT. Bank Sumut Tahun Anggaran 2013 dan
2014 oleh Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad & Rekan, yang telah menyatakan
bahwa kerugian keuangan negara adalah sebesar Rp. 10.820.655.831,- (Sepuluh
Universitas Sumatera Utara
Miliar Delapan Ratus Dua Puluh Juta Enam Ratus Lima Puluh Lima Ribu Delapan
Ratus Tiga Puluh Satu Rupiah), yang mana laporannya dibuat dan ditandatangani
oleh Ketua Tim Audit Investigatif Penghitungan Kerugian Keuangan Negara, Ahli
Hernold Ferry Makawimbang, yang juga telah hadir memberikan keterangan sebagai
Ahli di depan persidangan dalam perkara tersebut.
Setelah ditanyakan kepada Ahli Hernold Ferry Makawimbang, telah
terungkap fakta hukum bahwa yang bersangkutan adalah bukan Akuntan Publik
yang memiliki Surat Ijin Akuntan Publik yang sah, selanjutnya Ahli tersebut
mengaku bahwa dirinya adalah salah satu Rekan Non-Akuntan Publik di Kantor
Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad & Rekan. Namun kenyataannya dirinya
tidak terdaftar kepada Menteri Keuangan RI sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
14 ayat (1) UU Akuntan Publik, sehingga legal standing Ahli Hernold Ferry
Makawimbang, tidak patut dan layak untuk melakukan audit investigatif kerugian
keuangan negara dalam perkara tersebut.
Demikian seterusnya berdasarkan Pasal 15 UU Akuntan Publik telah
mengatur tentang larangan terhadap Rekan Non-Akuntan Publik. berangkat dari
Pasal 15 UU Akuntan Publik, telah terungkap fakta hukum bahwa Ahli Hernold
Ferry Makwimbang, adalah bukan orang yang berhak dan berwenang untuk
menandatangani dan menerbitkan Laporan Hasil Pemberian Jasa melalui KAP.
Apabila dilihat dari Laporan Hasil Audit Investigatif Kerugian Keuangan Negara
yang merupakan laporan hasil pemberian jasa melalui Kantor Akuntan Publik (KAP)
Tarmizi Achmad & Rekan, maka akan dapat ditemukan dengan terang dan jelas pada
Universitas Sumatera Utara
halaman 77 di dalam laporan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh Ahli Hernold
Ferry Makawimbang selaku Tim Audit Investigatif Penghitungan Kerugian
Keuangan Negara, maka penandatanganan yang dilakukan oleh Ahli Hernold Ferry
Makawimbang tersebut mengakibatkan laporan hasil audit yang telah dibuat dan
dijadikan bukti di dalam persidangan ini menjadi cacat hukum. Sementara itu,
Tarmizi Achmad hanya menandatangani di bagian mengetahui, artinya laporan hasil
audit investigatif tersebut bukan dibuat oleh Tarmizi Achmad selaku Akuntan Publik
yang berizin dan terdaftar, melainkan dibuat dan ditandatangani oleh orang yang
tidak berhak.
Dengan telah cacatnya laporan hasil audit investigatif kerugian keuangan
negara yang dibuat dan dijadikan bukti di dalam persidangan ini, maka laporan hasil
audit investigatif tersebut demi hukum tidak dapat lagi dijadikan sebagai dasar bagi
Jaksa Penuntut Umum untuk menentukan kerugian keuangan negara dalam perkara
tersebut, karena telah melanggar ketentuan Pasal 15 UU Akuntan Publik. Bagi orang
bertindak seolah-olah sebagai akuntan publik tetapi dirinya bukan akuntan publik,
maka diancam dengan pidana kurungan penjara paling lama 6 (enam) tahun, dan
denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah), hal mana telah
diatur dalam Pasal 57 ayat (2) UU Akuntan Publik.
Berangkat dari tidak berhak dan berwenangnya Akuntan Publik yang
melakukan PKKN dalam perkara tindak pidana korupsi pada “Pengadaan Sewa
Kendaraan Dinas dan Operasional Roda 4 (empat) Kantor PT. Bank Sumut Tahun
2013”, maka hal ini menjadi kendala bagi Penuntut Umum untuk mengajukannya di
Universitas Sumatera Utara
depan persidangan. Tetapi pada kenyataannya, Penuntut Umum tetap mengajukan
yang bersangkutan di depan persidangan, sehingga berakibat bahwasanya Laporan
Audit Investigatif PKKN menjadi cacat hukum dan tidak digunakan oleh Majelis
Hakim sebagai acuan untuk menjatuhkan putusan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN & SARAN
A. Kesimpulan
Adapun benang merah dalam penelitian ini yang dapat dijadikan kesimpulan
adalah sebagai berikut :
1. Pengaturan penghitungan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak
pidana korupsi yang dihitung oleh Akuntan Publik adalah berdasarkan
Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor, menyatakan bahwa : “Yang
dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah
kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan
instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”. Lalu dikuatkan
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23
Oktober 2012 yang kaidah hukumnya membuat norma baru bahwasanya
penyidik dapat melakukan PKKN sendiri asalkan mempunyai kemampuan
dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara. Namun, jika
penyidik menggunakan Kantor Akuntan Publik/Akuntan Publik yang
ditunjuk, maka KAP ataupun Akuntan Publik tersebut harus tunduk pula pada
ketentuan UU Akuntan Publik.
2. Prosedur dan metode penghitungan kerugian keuangan negara oleh Kantor
Akuntan Publik dalam perkara tindak pidana korupsi adalah tunduk pada
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan Keuangan Negara. Namun seharusnya Akuntan Publik yang
melakukan PKKN harus menggunakan penilaian bisnis (business judgement)
berupa Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) ataupun Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bukan SPKN yang mendasarkan pada
penilaian pemerintah (government judgement). Metode yang digunakan
masih belum ada standarisasinya, melainkan masih melihat berdasarkan
perbuatan melawan hukum yang terjadi pada perkara tipikor yang sedang
ditangani.
3. Kendala yang dihadapi Penyidik Tindak Pidana Korupsi dalam menentukan
dan menghitung kerugian keuangan negara dengan menggunakan Kantor
Akuntan Publik sebagai auditor investigatif, yaitu :
a. Kendala dalam menentukan kerugian keuangan negara, antara lain :
1) Penyidik Pid.Sus Kejaksaan Tinggi Sumut telah mengajukan
permohonan audit investigatif kepada BPK Provinsi Sumatera Utara
dan BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Utara, akan tetapi BPK
Provinsi Sumatera Utara dan BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera
Utara tidak menanggapi permintaan tersebut;
2) Persepsi mengenai keuangan negara tidak sama sehingga ruang
lingkup kerugian keuangan negara tidak satu persepsi pula. Perbedaan
pemaknaan berbagai aturan perundang-undangan dapat menimbulkan
kesulitan;
Universitas Sumatera Utara
3) Perbedaan pemahaman soal actual loss dan potensial loss atas unsur
kerugian keuangan negara (delik formil atau delik materil).
b. Kendala dalam menghitung kerugian keuangan negara yaitu terkait
dengan metode PKKN yang bervariasi dan belum ada standarisasi dalam
melakukan PKKN. Dasar SPKN dibuat adalah berdasarkan government
judgement bukan business judgement. Sehingga SPKN tersebut
seyogyanya hanya dapat digunakan memeriksa keuangan negara yang
dikelola berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan, bukan prinsip-prinsip
tata kelola perusahaan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka adapun saran yang dapat
direkomendasikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi Penyidik Pid.Sus Kejaksaan Tinggi Sumut agar sebelum melaksanakan
penyelidikan dan penyidikan perkara tipikor, sebaiknya telah menyusun
rencana tindaklanjut dan rencana strategi terutama dalam menjalin hubungan
dengan pihak BPK Provinsi Sumatera Utara dan BPKP Perwakilan Provinsi
Sumatera Utara untuk memudahkan terjalinnya kerjasama dalam mengajukan
permohonan penghitungan kerugian keuangan negara.
2. Bagi Kantor Akuntan Publik/Akuntan Publik yang menghitung kerugian
keuangan negara agar sebaiknya sebelum melakukan Penghitungan Kerugian
Keuangan Negara (PKKN) terlebih dahulu melakukan audit kepatuhan
Universitas Sumatera Utara
terhadap dirinya sendiri. Sebagai contoh, melakukan uji UU Akuntan Publik
terhadap Akuntan Publik yang melakukan audit investigatif.
3. Bagi Penyidik Kejaksaan Tinggi Sumut, BPK dan BPKP agar lebih menjalin
hubungan yang erat untuk lebih memudahkan dilakukannya Penghitungan
Kerugian Keuangan Negara (PKKN).
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Arief, Barda Nawawi., Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998.
Atmasasmita, Romli., Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme, Jakarta : Putra A. Bardin, 1996. Azis, Harry Azhar., Standar Pemeriksaan Keuangan Negara : Peraturan Badan
Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017, Jakarta : BPK RI, 2017. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Deputi Bidang Investigasi,
Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Khusus Kasus Penyimpangan Yang Berindikasi Merugikan Keuangan/Kekayaan Negara dan/atau Perekonomian Negara, Jakarta : BPKP Deputi Bidang Investigasi, 2001.
Bungin, Burhan., Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta : Kencana, 2009. Effendy, Marwan., Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari
Perspektif Hukum, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005. Gunaryo, Ahmad., Kumpulan Karya Ilmiah Yang Berjudul Wajah Hukum di Era
Reformasi, Dalam Rangka Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.
Hadjon, Philipus M., dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press, 2005. Ibrahim, Johny., Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayu
Publishing, 2006. Kelsen, Hans., Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif,
diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, Bandung : Nusamedia & Nuansa, Cet. Ke-3, 2007.
Kholis, Efi Laila., Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Jakarta :
Solusi Publishing, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. Ke-3, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997.
Langkun, Tama S., dkk., Naskah Akademik dan Rancangan Revisi Kesepakatan
Bersama Antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cet. Ke-1, Jakarta : Indonesian Corruption Watch & Eropa Union (EU) – UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime), 2013.
Marzuki, Peter Mahmud., Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2011. Mertokusumo, Sudikno., Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta : Liberty,
1988. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta : Liberty, 1980. Muhammad, Abdulkadir., Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2004. Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2012. Nurdjana, dkk (Ed.), Korupsi & Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005. Paton, George Whitecross., A Text Book of Jurisprudence, Ed. Ke-2, Oxford : At The
Clarendon Press, 1951. Rasjidi, Lili., dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung : Mandar
Maju, 2002. Reksodiputro, Mardjono., Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Jakarta
: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminolog) Universitas Indonesia, 1997.
Soemitro, Ronny H., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia,
1982. Soesatyo, Bambang., Presiden Dalam Pusaran Politik Sengkuni, Jakarta : RM
Books, Wahana Semesta Intermedia, tanpa tahun. Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Bandung : Sinar Baru, 1983.
Universitas Sumatera Utara
Supriadi, Etika dan Tanggungjawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta : Sinar
Grafika, 2006. Suradi, Korupsi Dalam Sektor Pemerintahan dan Swasta, Yogyakarta : Gava Media,
2006. Tuanakkota, Theodorus M., Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak
Pidana Korupsi, Jakarta : Salemba Empat, 2009. Yuntho, Emerson., dkk, Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara Dalam
Delik Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Indonesian Corruption Watch bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Semarang, Maret 2014.
Zed, Mestika., Metode Penelitian Kepustakaan, Ed. Ke-2, Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia, Januari 2008.
B. Karya Ilmiah & Media Massa
Achsin, M., “Deteksi Fraud & Audit Investigatif”, Paparan disampaikan pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ma Chung, Malang, pada hari Sabtu, tanggal 19 Maret 2016.
Amania, Nila., “Kewenangan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam
Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Jurnal Syariati, Vol. II, No. 2, November 2016.
Astuti, Chandra Ayu., dan Anis Chariri, “Penentuan Kerugian Keuangan Negara
Yang Dilakukan oleh BPK Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 4, No. 3, 2015.
Butar-Butar, Budiman., “Fungsi dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut)”, Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009.
Fatkhurohman, “Pergeseran Delik Korupsi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 25/PUU-XIV/2016”, Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 1, Maret 2017. Maulidin, La Ode., “Analisis Putusan MK Dalam Menyelesaikan Perselisihan Hasil
Pemilukada Ditinjau Dari Perspektif Teori Hukum Progresif (Kajian
Universitas Sumatera Utara
Terhadap Putusan MK Atas Sengketa Hasil Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur dan Putusan MK Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Tangerang Selatan Tahun 2010”, Jurnal Konstitusi Widyagama, Vol. IV, No. 1, Juni 2011.
Nasution, Bismar., “Pengkajian Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan
Ekonomi”, Pidato diucapkan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara di Gelanggang Mahasiswa USU, pada hari Sabtu, tanggal 17 April 2004.
Rajagukguk, Erman., “Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara”, Makalah
disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta, 26 Juli 2006.
Sari, Maylia Pramono., “Analisis Perbandingan SPAP, IAS, dan SPKN”, Jurnal
Dinamika Akuntansi, Vol. 2, No. 1, Maret 2010. Slamet, Budiman., “Metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negra Dalam Audit
Investigatif”, Makalah disampaikan pada Widyaiswara Madya Pada Pusdiklatwas BPKP di Bogor, 2013.
Sujanto, Siswo., “Tinjauan Kerugian Negara Dari Sudut Undang-Undang Keuangan
Negara Dalam Penyelesaian Kasus Korupsi”, Makalah disampaikan dalam acara “In House Training tentang Keuangan Negara dan Kerugian Negara pada BUMN/BUMD” yang diselenggarakan oleh BPK RI di Jakarta, tanggal 17 Desember 2008.
Yuntho, Emerson., dkk., “Studi Atas Unsur Merugikan Keuangan Negara Dalam
Delik Tindak Pidana Korupsi”, penelitian disusun bersama ICW-YLBHI-LBH Semarang, lokasi penelitian di Jakarta dan Semarang, Juli-November 2014.
Yuriandi, Agung., “Perbandingan Teori Hukum Roscoe Pound & Carl von Savigny
Dipandang dari Perspektif Politik Hukum”, makalah Program Studi Magister Ilmu Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008.
C. Media Massa & Internet
Harian Ekonomi Neraca, “Uji Materi UU Keuangan Negara Tak Tepat”, diterbitkan pada hari Jumat, 25 Oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
Harian Kompas, “Extraordinary Crime – Extraordinary Law”, diterbitkan pada hari
Selasa, 05 Mei 2015. Harian Kompas, “Koruptor Makin Sulit Diproses Hukum”, diterbitkan pada hari
Kamis, 26 Januari 2017. Harian Kompas, “Putusan MK Dalam Penegakan Hukum Korupsi”, diterbitkan pada
hari Kamis, 02 Februari 2017. Litbang Keuangan BPK, “Kerugian Negara atau Kerugian Keuangan Negara?
(Undang-Undang No. 1 Tahun 2004)”, https://cermatkeuangan.blogspot.co.id/2016/01/kerugian-negara-atau-kerugian-keuangan.html., diakses pada hari Senin, tanggal 22 Januari 2018.
Majalah Tempo, “Kejaksaan Periksa Komisaris Utama Bukopin”, diterbitkan pada
hari Senin, 15 September 2008. Official Blog Inspektorat Kota Bekasi, “Menghitung Kerugian Keuangan Negara”,
https://inspektoratbekasikota.wordpress.com/2016/04/30/menghitung-kerugian-keuangan-negara/., diakses pada hari Kamis, tanggal 01 Februari 2018.
Syahrin, Alvi., “Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa”,
http://alviprofdr.blogspot.co.id/2014/06/tindak-pidana-korupsi-dalam-pengadaan.html?m=1., diakses pada hari Senin, tanggal 05 Februari 2018.
Website Hukumonline, “Tersangka Korupsi Bukopin Diperiksa Sebagai Saksi”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt511b94a4b779b/tersangka-korupsi-bukopin-diperiksa-sebagai-saksi., diakses pada hari Kamis, tanggal 13 April 2017.
Website Hukumonline.com, “Kerugian Negara Kasus Bukopin Dihitung Akuntan
Publik Dikhawatirkan, Hasil Penghitungan Kerugian Negara dari Kantor Akuntan Publik Dipertanyakan di Pengadilan”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/t50d66933c7b71/kerugian-negara-kasus-bukopin-dihitung-akuntan-publik., diakses pada hari Jumat tanggal 14 Oktober 2016.
D. Peraturan Perundang-Undangan
UUD 1945 dan Amandemen.
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang No. 1 Tahun 1964 tentang Hukum Pidana atau lazim disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau lazim disebut
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Undang-Undang No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. Keputusan Presiden RI No. 31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan. Keputusan Presiden RI No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen.
Peraturan Menteri BUMN RI No. PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara.
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2007 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara.
E. Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 003/PUU-IV/2006, tertanggal 25 Juli 2006; Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 31/PUU-X/2012, tertanggal 23 Oktober 2012;
Universitas Sumatera Utara
Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 13/PUU-XI/2013, tertanggal 10 September 2013.
Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 48/PUU-XI/2013 tertanggal 18 September
2014. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 62/PUU-XI/2013, tertanggal 03 Februari
2014. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, tertanggal 25 Januari
2017. Putusan Mahkamah Agung RI No. 236 PK/PID.SUS/2014, tertanggal 12 Mei 2015. Putusan Mahkamah Agung RI No. 75 PK/TUN/2015, tertanggal 13 Oktober 2015 Jo.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 263 K/TUN/2014, tertanggal 21 Juli 2014 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 167/B/2013/PT.TUN.JKT., tertanggal 28 Januari 2014 Jo. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 231/G/2012/PTUN-JKT., tertanggal 01 Mei 2013.
Putusan Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Medan No.
12/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn., tertanggal 03 Juni 2013. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No.
93/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 6/Pid.Sus-TPK/2017/PT.MDN., tertanggal 02 Juni 2017 An. Terdakwa M. Yahya.
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No.
94/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 94/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn., tertanggal 16 Februari 2017 an. Terdakwa M. Jefri Sitindaon.
Universitas Sumatera Utara
Top Related