KATA PENGANTAR
Puji, puja dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena rahmat dan karunia-
Nya yang diberikan, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan referat ini dalam
memenuhi kewajiban tugas pada Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Pasar
Rebo, Jakarta Pusat.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Jusi Susilawati, sp.PD yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar lebih banyak tentang Hipertiroid
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini.
Saya menyadari dalam penyusunan presentasi kasus ini banyak terdapat kekurangan,
maka saya dengan lapang dada menerima koreksi, kritikan dan saran yang membangun demi
terciptanya hasil yang lebih baik. Saya berharap presentasi kasus ini dapat memberikan
sumbangan pikiran dan pengetahuan bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, Maret 2012
Penulis
1
ANATOMI KELENJAR TIROID
Kelenjar tiroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir
bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara branchial pouch pertama
dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah
bawah mengalami decencus dan akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk
sebagai duktus tiroglosus, yang berawal dari foramen sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus ini
akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada beberapa keadaan masih menetap, atau terjadi
kelenjar disepanjang jalan ini, yaitu antara letak kelenjar yang seharusnya dengan basis lidah.
Dengan demikian sebagai kegagalan desensus atau menutupnya duktus akan ada kemungkinan
terbentuk kelenjar tiroid yang abnormal , persistensi duktus tiroglosus, tiroid lingual, tiroid servikal,
sedangkan desensus yang terlalu jauh akan memberikan tiroid substernal. Branchial pouch keempat
pun ikut membentuk bagian kelenjar tiroid dan merupakan asal sel-sel parafolikuler atau sel C yang
memproduksi kalsitonin.
2
Gambar 1 : anatomi kelenjar tiroid
Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh ismus
sehingga bentukya menyerupai kupu-kupu atau huruf H, dan menutupi cincin trakea 2 dan 3. Pada
usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada
fasia pretrakea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya
kelenjar kearah kranial. Sifat inilah yang digunakan di klinik untuk menentukan apakah suatu
bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid atau tidak. Pengaliran darah ke kelenjar
berasal dari a. Tiroidea superior dan a. Tiroidea inferior. Ternyata setiap folikel tiroid diselubungi
oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus
perifolikular. Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini kearah nodus prefaring yang tepat berada diatas ismus serta ke
kelenjar getah bening pretrakealis, sebagian lagi bermuara di kelenjar getah bening brakiosefalikus.
Hubungan getah bening ini penting untuk menduga penyebaran keganasan yang berasal dari tiroid.
Gambar 2 : anatomi kelenjar tiroid
FISIOLOGIS KELENJAR TIROID
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid, yang mengendalikan kecepatan metabolisme tubuh.
Hormon tiroid mempengaruhi kecepatan metabolisme tubuh melalui 2 cara :
1. Merangsang hampir setiap jaringan tubuh untuk menghasilkan protein.
2. Meningkatkan jumlah oksigen yang digunakan oleh sel.
Jika sel-sel bekerja lebih keras, maka organ tubuh akan bekerja lebih cepat. Untuk menghasilkan
hormon tiroid, kelenjar tiroid memerlukan iodium yaitu elemen yang terdapat di dalam makanan
dan air. Iodium diserap oleh usus halus bagian atas dan lambung, dan kira-kira sepertiga hingga
setengahnya ditangkap oleh kelenjar tiroid, sedangkan sisanya dikeluarkan lewat air kemih. Hormon
tiroid dibentuk melalui penyatuan satu atau dua molekul iodium ke sebuah glikoprotein besar yang
3
disebut tiroglobulin yang dibuat di kelenjar tiroid dan mengandung asam amino tirosin. Kompleks
yang mengandung iodium ini disebut iodotirosin. Dua iodotirosin kemudian menyatu untuk
membentuk dua jenis hormon tiroid dalam darah yaitu :
1. Tiroksin (T4), merupakan bentuk yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid, hanya memiliki efek
yang ringan terhadap kecepatan metabolisme tubuh.
2. Tiroksin dirubah di dalam hati dan organ lainnya ke dalam bentuk aktif, yaitu triiodotironin
(T3).
T3 dan T4 berbeda dalam jumlah total molekul iodium yang terkandung (tiga untuk T3 dan empat
untuk T4 ). Sebagian besar (90%) hormon tiroid yang dilepaskan ke dalam darah adalah T4, tetapi T3
secara fisiologis lebih bermakna. Baik T3 maupun T4 dibawa ke sel-sel sasaran mereka oleh suatu
protein plasma.
Pembentukan dan Sekresi Hormon Tiroid
Ada 7 tahap, yaitu:
1. Trapping
Proses ini terjadi melalui aktivitas pompa iodida yang terdapat pada bagian basal sel folikel.
Dimana dalam keadaan basal, sel tetap berhubungan dengan pompa Na/K tetapi belum
dalam keadaan aktif. Pompa iodida ini bersifat energy dependent dan membutuhkan ATP.
Daya pemekatan konsentrasi iodida oleh pompa ini dapat mencapai 20-100 kali kadar dalam
serum darah. Pompa Na/K yang menjadi perantara dalam transport aktif iodida ini
dirangsang oleh TSH.
2. Oksidasi
Sebelum iodida dapat digunakan dalam sintesis hormon, iodida tersebut harus dioksidasi
terlebih dahulu menjadi bentuk aktif oleh suatu enzim peroksidase. Bentuk aktif ini adalah
iodium. Iodium ini kemudian akan bergabung dengan residu tirosin membentuk
monoiodotirosin yang telah ada dan terikat pada molekul tiroglobulin (proses iodinasi).
Iodinasi tiroglobulin ini dipengaruhi oleh kadar iodium dalam plasma. Sehingga makin tinggi
kadar iodium intrasel maka akan makin banyak pula iodium yang terikat sebaliknya makin
sedikit iodium di intra sel, iodium yang terikat akan berkurang sehingga pembentukan T3
akan lebih banyak daripada T4.4
3. Coupling
Dalam molekul tiroglobulin, monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT) yang terbentuk
dari proses iodinasi akan saling bergandengan (coupling) sehingga akan membentuk
triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4). Komponen tiroglobulin beserta tirosin dan iodium ini
disintesis dalam koloid melalui iodinasi dan kondensasi molekul tirosin yang terikat pada
ikatan di dalam tiroglobulin. Tiroglobulin dibentuk oleh sel-sel tiroid dan dikeluarkan ke
dalam koloid melalui proses eksositosis granula.
4. Penimbunan (storage)
Produk yang telah terbentuk melalui proses coupling tersebut kemudian akan disimpan di
dalam koloid. Tiroglobulin (dimana di dalamnya mengandung T3 dan T4), baru akan
dikeluarkan apabila ada stimulasi TSH.
5. Deiodinasi
Proses coupling yang terjadi juga menyisakan ikatan iodotirosin. Residu ini kemudian akan
mengalami deiodinasi menjadi tiroglobulin dan residu tirosin serta iodida. Deiodinasi ini
dimaksudkan untuk lebih menghemat pemakaian iodium.
6. Proteolisis
TSH yang diproduksi oleh hipofisis anterior akan merangsang pembentukan vesikel yang di
dalamnya mengandung tiroglobulin. Atas pengaruh TSH, lisosom akan mendekati tetes
koloid dan mengaktifkan enzim protease yang menyebabkan pelepasan T3 dan T4 serta
deiodinasi MIT dan DIT.
7. Pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid (releasing)
Proses ini dipengaruhi TSH. Hormon tiroid ini melewati membran basal dan kemudian
ditangkap oleh protein pembawa yang telah tersedia di sirkulasi darah yaitu Thyroid Binding
Protein (TBP) dan Thyroid Binding Pre Albumin (TBPA). Hanya 0,35% dari T4 total dan 0,25%
dari T3 total yang berada dalam keadaan bebas. Ikatan T3 dengan TBP kurang kuat daripada
ikatan T4 dengan TBP. Pada keadaan normal kadar T3 dan T4 total menggambarkan kadar
hormon bebas. Namun dalam keadaan tertentu jumlah protein pengikat bisa berubah. Pada
seorang lansia yang mendapatkan kortikosteroid untuk terapi suatu penyakit kronik 5
cenderung mengalami penurunan kadar T3 dan T4 bebas karena jumlah protein pembawa
yang meningkat. Sebaliknya pada seorang lansia yang menderita pemyakit ginjal dan hati
yang kronik maka kadar protein binding akan berkurang sehingga kadar T3 dan T4 bebas
akan meningkat.
Gambar 3 : fisiologi hormon tiroid
Efek Primer Hormon Tiroid
Sel-sel sasaran untuk hormon tiroid adalah hampir semua sel di dalam tubuh. Efek primer hormon
tiroid adalah:
6
1. Merangsang laju metabolik sel-sel sasaran dengan meningkatkan metabolisme protein,
lemak, dan karbohidrat.
2. Merangsang kecepatan pompa natrium-kalium di sel sasaran. Kedua fungsi bertujuan untuk
meningkatkan penggunaan energi oleh sel, terjadi peningkatan laju metabolisme basal,
pembakaran kalori, dan peningkatan produksi panas oleh setiap sel.
3. Meningkatkan responsivitas sel-sel sasaran terhadap katekolamin sehingga meningkatkan
frekuensi jantung.
4. meningkatkan responsivitas emosi.
5. Meningkatkan kecepatan depolarisasi otot rangka, yang meningkatkan kecepatan kontraksi
otot rangka.
6. Hormon tiroid penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal semua sel tubuh dan
dibutuhkan untuk fungsi hormon pertumbuhan.
Gambar 4 : Pengaruh hormon tiroid terhadap tubuh
Pengaturan Faal Tiroid
Ada 3 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
1. TRH (Thyrotrophin Releasing Hormone)
7
Hormon ini merupakan tripeptida, yang telah dapat disintesis, dan dibuat di hipotalamus.
TRH menstimulasi keluarnya prolaktin, kadang-kadang juga Follicle Stimulating Hormone
(FSH) dan Luteinizing Hormone (LH).
2. TSH ( Thyroid Stimulating Hormone)
TSH yang masuk dalam sirkulasi akan mengikat reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-
Reseptor-TSH-R) dan terjadilah efek hormonal sebagai kenaikan trapping, peningkatan
iodinasi, coupling, proteolisis sehingga hasilnya adalah produksi hormon meningkat.
3. Umpan balik sekresi hormon
Kedua hormon ini mempunyai efek umpan balik di tingkat hipofisis. T3 selain berefek pada
hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipofisis
terhadap rangsangan TRH.
Tubuh memiliki mekanisme yang rumit untuk menyesuaikan kadar hormon tiroid.
Hipotalamus menghasilkan Thyrotropin-Releasing Hormone, yang menyebabkan kelenjar
hipofisa mengeluarkan TSH. TSH merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon
tiroid dalam darah mencapai kadar tertentu, maka kelenjar hipofisa menghasilkan TSH
dalam jumlah yang lebih sedikit, jika kadar hormon tiroid dalam darah berkurang, maka
kelenjar hipofisa mengeluarkan lebih banyak TSH.
EVALUASI KELENJAR TIROID
Pada pasien yang mengalami pembesaran kelenjar tiroid (goiter), pemeriksaan kelenjar
sangatlah penting dan dapat ditunjang dengan memilih tes fungsi tiroid yang optimal, seorang ahli
bedah harus mengetahui metode yang sistematis untuk melakukan pemeriksaan, yang harus
diperhatikan pada pemeriksaan adalah besar, konsistensi, penampang, perlengketan pada trakea
dari kelenjar tiroid, serta melakukan palpasi pada KGB daerah servikal.
Serum T3, T4, TSH dapat diperiksa secara akurat dengan radioimmunoassay, T4 juga dapat
diperiksa dengan metode competitive protein binding. Dengan tes sensitive TSH dapat digunakan
untuk mengetahui keadaan pasien dengan hipertiroid atau hipotiroid, Pengukuran T3RU secara in
vitro dapat secara langsung mengetahui konsentrasi dari tiroksin binding globulin di dalam serum.
Pengukuran serum T4 dan TSH menggunakan tes sensitive tinggi TSH merupakan cara
terbaik dalam menentukan fungsi tiroid, pengukuran T3 biasanya di barengi dengan pemeriksaan
8
T3RU untuk mengkoreksi pertukaran ikatan protein. Sebagai contoh pada pasien yang hamil atau
sedang mengkonsumsi esterogen yang tinggi terdapat peningkatan T4 tetapi T3Runya menurun, jadi
nilai tiroid indexnya normal (T4 x T3RU). Pengukuran kadar T3 dilakukan pada pasien dengan
kecurigaan hipertiroidism.
HIPERTIROID
1. PENGERTIAN
Hipertiroidisme (Tiroktosikosis) merupakan suatu keadaan di mana didapatkan
kelebihan hormon tiroid karena ini berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan
biokimiawi yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan.
Hipertiroidisme dapat didefinisikan sebagai respon jaringan-jaringan terhadap pengaruh
metabolik terhadap hormon tiroid yang berlebihan (Price & Wilson: 337)
Hipertiroidisme (Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar tiroid
bekerja secara berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan di dalam
darah.
Hipertiroidisme adalah kadar TH yang bersirkulasi berlebihan. Gangguan ini dapat terjadi
akibat disfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau hipotalamus. (Elizabeth J. Corwin: 296).
2. KLASIFIKASI
1. Goiter Toksik Difusa (Graves’ Disease)
Kondisi yang disebabkan, oleh adanya gangguan pada sistem kekebalan tubuh
dimana zat antibodi menyerang kelenjar tiroid, sehingga menstimulasi kelenjar
tiroid untuk memproduksi hormon tiroid terus menerus.
9
Graves’ disease lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, gejalanya
dapat timbul pada berbagai usia, terutama pada usia 20 – 40 tahun. Faktor
keturunan juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan pada sistem kekebalan
tubuh, yaitu dimana zat antibodi menyerang sel dalam tubuh itu sendiri.
2. Nodular Thyroid Disease
Pada kondisi ini biasanya ditandai dengan kelenjar tiroid membesar dan tidak
disertai dengan rasa nyeri. Penyebabnya pasti belum diketahui. Tetapi umumnya
timbul seiring dengan bertambahnya usia.
3. Subacute Thyroiditis
Ditandai dengan rasa nyeri, pembesaran kelenjar tiroid dan inflamasi, dan
mengakibatkan produksi hormon tiroid dalam jumlah besar ke dalam darah.
Umumnya gejala menghilang setelah beberapa bulan, tetapi bisa timbul lagi pada
beberapa orang.
d. Postpartum Thyroiditis
Timbul pada 5 – 10% wanita pada 3 – 6 bulan pertama setelah melahirkan dan
terjadi selama 1 -2 bulan. Umumnya kelenjar akan kembali normal secara
perlahan-lahan.
4. ETIOLOGI
Lebih dari 95% kasus hipertiroid disebabkan oleh penyakit graves, suatu penyakit tiroid
autoimun yang antibodinya merangsang sel-sel untuk menghasilkan hormon yang berlebihan.
Penyebab hipertiroid lainnya yang jarang selain penyakit graves adalah:
1. Toksisitas pada strauma multinudular
2. Adenoma folikular fungsional atau karsinoma (jarang)
3. Edema hipofisis penyekresi-torotropin (hipertiroid hipofisis)
10
4. Tumor sel benih, misal karsinoma (yang kadang dapat menghasilkan bahan mirip-
TSH) atau teratoma (yang mengandung jarian tiroid fungsional)
5. Tiroiditis (baik tipe subkutan maupun hashimato) yang keduanya dapat berhubungan
dengan hipertiroid sementara pada fase awal.
6. PATOFISIOLOGI
Penyebab hipertiroidisme biasanya adalah penyakit graves, goiter toksika. Pada
kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai tiga kali dari
ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-lipatan sel-sel folikel ke
dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat beberapa kali dibandingkan
dengan pembesaran kelenjar. Juga, setiap sel meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa
kali lipat dengan kecepatan 5-15 kali lebih besar daripada normal.
Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu yang
“menyerupai” TSH, Biasanya bahan – bahan ini adalah antibodi immunoglobulin yang
disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), yang berikatan dengan reseptor membran
yang sama dengan reseptor yang mengikat TSH. Bahan – bahan tersebut merangsang aktivasi
cAMP dalam sel, dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme. Karena itu pada pasien
hipertiroidisme kosentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat. Bahan ini
mempunyai efek perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam,
berbeda dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam. Tingginya sekresi hormon tiroid
yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan pembentukan TSH oleh kelenjar
hipofisis anterior.
Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa” mensekresikan hormon hingga diluar
batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretori kelenjar tiroid membesar.
Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin termasuk akibat dari sifat
hormon tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas
normal. Bahkan akibat proses metabolisme yang menyimpang ini, terkadang penderita
hipertiroidisme mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan sinaps saraf yang
mengandung tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya
tremor otot yang halus dengan frekuensi 10-15 kali perdetik, sehingga penderita mengalami
11
gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang takikardi atau diatas normal juga merupakan salah
satu efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler. Eksopthalmus yang terjadi merupakan
reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot
ekstraokuler, akibatnya bola mata terdesak keluar.
7. MANIFESTASI KLINIS
Pada stadium yang ringan sering tanpa keluhan. Demikian pula pada orang usia lanjut,
lebih dari 70 tahun, gejala yang khas juga sering tidak tampak. Tergantung pada
beratnya hipertiroid, maka keluhan bisa ringan sampai berat. Keluhan yang sering
timbul antara lain adalah :
1. Peningkatan frekuensi denyut jantung
2. Peningkatan tonus otot, tremor, iritabilitas, peningkatan kepekaan terhadap
katekolamin
3. Peningkatan laju metabolisme basal, peningkatan pembentukan panas,
intoleran terhadap panas, keringat berlebihan
4. Penurunan berat badan (tampak kurus), peningkatan rasa lapar (nafsu makan
baik)
5. Peningkatan frekuensi buang air besar
6. Gondok (biasanya), yaitu peningkatan ukuran kelenjar tiroid
7. Gangguan reproduksi
8. Tidak tahan panas
9. Cepat letih
10. Tanda bruit
11. Haid sedikit dan tidak tetap
12. Mata melotot (exoptalmus).
12
Gambar 5 : Tanda dan gejala hipertiroid
Gambar 6 : Pembesaran kelenjar tiroid
8. DIAGNOSTIK
1. Gejala dan Tanda
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal
dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal
berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat
sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa
manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien
13
mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila
panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat,
palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi
ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya
terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai
80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan
berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan
mata) dan kegagalan konvergensi. (3) Gambaran klinik klasik dari penyakit
graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan
eksoftalmus. (5)
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves) , menurut the American Thyroid
Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan
NOSPECS) :
Kelas Uraian
0 Tidak ada gejala dan tanda
1 Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
2 Perubahan jaringan lunak orbita
3 Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
4 Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
5 Perubahan pada kornea (keratitis)
6 Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan
awal tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan
tirotoksikosisnya diobati secara adekuat.
Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita.
Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema
periorbita, kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis).
Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel
exophthalmometer.
Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif
terutama pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran
14
menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis,
maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping.
Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).
Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan
kebutaan.
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler
disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang
orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan
proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola
mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat
diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan
otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang
akan menimbulkan kebutaan.
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum
ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare,
berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada
wanita muda gejala utama penyakit graves dapat berupa amenore atau
infertilitas.
Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses
pematangan tulang.
Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang
lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati,
ditandai dengan adanya palpitasi , dyspnea d’effort, tremor, nervous dan
penurunan berat badan. (1,2)
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang
ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan.
Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif
tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid
15
karena tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi iodine radioaktif atau karena
pembedahan. (8)
2. Pemeriksaan laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema
dibawah ini :
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk
menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid
pada tes supresi tiroksin. (1)
9. DIAGNOSTIK BANDING
16
Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga diagnosis kadang-
kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan pada miopati akibat penyakit
Graves, namun harus dibedakan dengan kelainan neurologik primer.
Pada sindrom yang dikenal dengan “ familial dysalbuminemic hyperthyroxinemia “ dapat
ditemukan protein yang menyerupai albumin (albumin-like protein) didalam serum yang
dapat berikatan dengan T4 tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan menyebabkan
peningkatan kadar T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH normal. Disamping tidak
ditemukan adanya gambaran klinis hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH serum yang normal
pada sindrom ini dapat membedakannya dengan penyakit Graves.
Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita laki-laki etnik Asia dapat
terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid disertai hipokalemi.
Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan pemberian
suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan ini dapat disembuhkan dengan pengobatan
tirotoksikosis yang adekuat.
Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan gejala-gejala kelainan
jantung, dapat berupa :
- Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin
- High-output heart failure
Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung sebelumnya, dan
gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan pengobatan terhadap tirotoksikosisnya.
Pada penderita usia tua dapat ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan, struma
yang kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran klinis dari
manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini dikenal dengan
“apathetic hyperthyroidism”. (2)
10. KOMPLIKASI
Komplikasi hipertiroidisme yang dapat mengancam nyawa adalah krisis tirotoksik (thyroid
storm). Hal ini dapat berkembang secara spontan pada pasien hipertiroid yang menjalani
17
terapi, selama pembedahan kelenjar tiroid, atau terjadi pada pasien hipertiroid yang tidak
terdiagnosis. Akibatnya adalah pelepasan HT dalam jumlah yang sangat besar yang
menyebabkan takikardia, agitasi, tremor, hipertermia (sampai 1060F), dan apabila tidak
diobati dapat menyebabkan kematian.
Komplikasi lainnya adalah penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves,
dermopati Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat
antitiroid. Hipertiroid yang terjadi pada anak-anak juga dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan
11. TATALAKSANA
Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit
Graves, yaitu : Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif.
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis,
usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya
serta penyakit lain yang menyertainya. (1,2)
a.Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil dipasarkan
dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan
karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama
dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid
yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara
menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah
struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme
aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer
(hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-
3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera
hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan
18
biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis
tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka waktu
pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat
anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya
dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya
diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis
pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam.
Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1 atau 2 kali sehari.
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat menghambat
konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada
fase akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali
sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan,
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari. (2)
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada beratnya
tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan
metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama.
Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia.
Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU
50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan
klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum
memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai
dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan
pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis. (1)
19
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping, yaitu
agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil),
gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian
terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium
radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk
mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti
Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan
Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai
terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan
diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping,
penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu,
dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi. (1,2)
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat
jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya. (1)
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah
penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan
paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna
menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga
dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan
hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian
evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat diprediksi
pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-
keadaan sebagai berikut :
1. Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2. Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti Tiroid dosis
rendah.
3. Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
20
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3 toksikosis),
karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap
rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai.
Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar
tiroid, dan mata.
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat untuk
mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi,
tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di
samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit-
menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal
propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.3,4
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja lebih
panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50
mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol.
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang
dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih
jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan
penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal
jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada
keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi
penghambat monoamin oksidase.
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast, potassium
perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid,
tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat
tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi
atau setelah terapi iodium radioaktif.
21
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan ukuran kelenjar
yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT)
mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6
bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan
OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar
antara 25% sampai 90%. Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis,
lama pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan.
Kadar yodium yang tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif
terhadap OAT.
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk memantau respons terapi,
dimana yang paling bermakna adalah pemeriksaan kadar FT4 dan TSH.
d. Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin
Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan cara kombinasi OAT
dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan bahwa angka
kekambuhan renddah yaitu hanya 1,7 % pada kelompok penderita yang mendapat terapi
kombinasi methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol
yang hanya mendapatkan terapi methimazole.
Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut :
Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari selama 6 bulan, selanjutnya 10 mg
perhari ditambah tiroksin 100 μg perhari selama 1 tahun, dan kemudian hanya diberi tiroksin
saja selama 3 tahun. Kelompok kontrol juga diberi methimazole dengan dosis dan cara yang
sama namun tanpa tiroksin. Kadar TSH dan kadar TSH-R Ab ternyata lebih rendah pada
kelompok yang mendapat terapi kombinasi dan sebaliknya pada kelompok kontrol. Hal ini
mengisyaratkan bahwa TSH selama pengobatan dengan OAT akan merangsang pelepasan
molekul antigen tiroid yang bersifat antigenic, yang pada gilirannya akan merangsang
pembentukan antibody terhadap reseptor TSH. Dengan kata lain, dengan mengistirahatkan
kelenjar tiroid melalui pemberian tiroksin eksogen eksogen (yang menekan produksi TSH),
maka reaksi imun intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu dengan mengurangi presentasi
antigen. Pertimbangan lain untuk memberikan kombinasi OAT dan tiroksin adalah agar
22
penyesuaian dosis OAT untuk menghindari hipotiroidisme tidak perlu dilakukan terlalu
sering, terutama bila digunakan OAT dosis tinggi.
e. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang besar.
Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT
(biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan
Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi
vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang
pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat.
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati Graves
yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan ,
dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan
tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah
mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves.
Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan komplikasi
pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.
f. Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang
lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta
dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid
tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti
dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai
respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang
ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi
hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun.
Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian
dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli
ternyata cara pengobatan ini aman , tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat
karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan
dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif.
23
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui. Pada
pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan dulu
bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada
kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi
diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan yodium radioaktif
merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada
kelompok ini seringkali kambuh dengan OAT.
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi
alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam dosis I131
yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang.
Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan / atau
OAT.
Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis
I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium
dalam makanan sehari-hari.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah hipotiroidisme.
Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis; makin besar dosis yang
diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme.
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat jaringan tiroid, didapatkan
angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap
tahun berikutnya.
24
KESIMPULAN
Hipertiroidisme (Tiroktosikosis) merupakan suatu keadaan di mana didapatkan
kelebihan hormon tiroid karena ini berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan
biokimiawi yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan.
Hipertiroidisme dapat didefinisikan sebagai respon jaringan-jaringan terhadap pengaruh
metabolik terhadap hormon tiroid yang berlebihan (Price & Wilson: 337)
Hipertiroidisme (Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar tiroid
bekerja secara berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan di dalam
darah.
Penyebab hipertiroid lainnya yang jarang selain penyakit graves adalah:
1. Toksisitas pada strauma multinudular
2. Adenoma folikular fungsional atau karsinoma (jarang)
3. Edema hipofisis penyekresi-torotropin (hipertiroid hipofisis)
4. Tumor sel benih, misal karsinoma (yang kadang dapat menghasilkan bahan
mirip-TSH) atau teratoma (yang mengandung jarian tiroid fungsional)
5. Tiroiditis (baik tipe subkutan maupun hashimato) yang keduanya dapat
berhubungan dengan hipertiroid sementara pada fase awal.
Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu yang
“menyerupai” TSH, Biasanya bahan – bahan ini adalah antibodi immunoglobulin yang
disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), yang berikatan dengan reseptor membran
yang sama dengan reseptor yang mengikat TSH. Bahan – bahan tersebut merangsang aktivasi
cAMP dalam sel, dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme. Karena itu pada pasien
hipertiroidisme kosentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat. Bahan ini
mempunyai efek perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam,
berbeda dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam. Tingginya sekresi hormon tiroid
25
yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan pembentukan TSH oleh kelenjar
hipofisis anterior.
Keluhan yang sering timbul antara lain adalah :
1. Peningkatan frekuensi denyut jantung
2. Peningkatan tonus otot, tremor, iritabilitas, peningkatan kepekaan terhadap
katekolamin
3. Peningkatan laju metabolisme basal, peningkatan pembentukan panas,
intoleran terhadap panas, keringat berlebihan
4. Penurunan berat badan (tampak kurus), peningkatan rasa lapar (nafsu makan
baik)
5. Peningkatan frekuensi buang air besar
6. Gondok (biasanya), yaitu peningkatan ukuran kelenjar tiroid
7. Gangguan reproduksi
8. Tidak tahan panas
9. Cepat letih
10. Tanda bruit
11. Haid sedikit dan tidak tetap
12. Mata melotot (exoptalmus).
Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat
penyakit Graves, yaitu : Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Ganong, William. Kelenjar Thyroid, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi kedua puluh. Jakarta, McGraw-Hill & EGC. 2003.
2. Guyton, Arthur C. Hormon Thyroid, Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, edisi ketiga. Jakarta, EGC. 1995.
3. Geneser, Finn. Kelenjar Thyroid, Buku Teks Histologi, jilid 2, edisi pertama. Jakarta, Binarupa Aksara.1994.
4. Sadler, T. W. Glandula Thyroidea, Embriologi Kedokteran Langman, edisi ketujuh. Jakarta, EGC. 2000.
5. Sabiston, David C. Glandula Thyroidea, Buku Ajar Ilmu Bedah, jilid 1. Jakarta, EGC. 1995.
6. Sloane, Ethel. Kelenjar Thyroid, Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula, edisi pertama. Jakarta, EGC.2004.
7. Guibson, John. Kelenjar Thyroid, Fisiologi & Anatomi untuk Perawat, edisi kedua. Jakarta, EGC. 2003.
8. Moore, Keith L. and Anne M. R. Agur. Glandula Thyroidea, Anatomi Klinis Dasar. Jakarta, Hipokrates. 2002.
9. Putz, R. and R. Pabst. Neck, Sobotta, Atlas of Human Anatomy, part 1, 12th edition. Los Angeles, Williams & Wilkins. 1999.
10. Kierszenbaum, Abraham L. Endocrine System, Histology and Cell Biology, an Introduction to Pathology, 1st edition. Philadelphia, Mosby, Inc. 2002.
11. Junqueira, L. Carlos, et al. Tiroid, Histologi Dasar, edisi kedelapan. Jakarta, EGC. 1998.
12. Price, Sylvia Anderson, et. al. Gangguan Kelenjar Thyroid, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi keenam. Jakarta, EGC. 2006.
13. Syaifuddin. Kelenjar Thyroid. Struktur dan Komponen Tubuh Manusia, edisi pertama. Jakarta, Widya Medika. 2002.
14. Schwartz, Seymour I., et. al. Tiroid dan Paratiroid, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, edisi keenam. Jakarta, EGC. 2000.
27
15. Thomson, A. D., et. al. Penyakit Kelenjar Endokrin, Catatan Kuliah Patologi, edisi ketiga. Jakarta, EGC.1997
28