POLITIK IDENTITAS MAHASISWA ISTAMFUNDAMENTALIS
Muhammad Syafiqe-mail : syafi q_muh@yahoo. comProgram Studi Psikologi Universitas lt{egeri Surabaya
AbstractTulisan ini mengkaji tentang politik identitas mahasiswa lslam fundamentalis. Politik identitas
dalam tulisan ini diartikan sebagai strategi yang ditempuh oleh sekelompok orang untuk
membentuk dan menegaskan identitasnya yang otentik di tengah berbagai serangan yang
mengancam musnahnya identitas tersebut. Sementara mahasiswa lslam fundamentalis meruiuk
pada kelompok-kelompok aktivis dakwah di kampus perguruan tinggi. Sesuai dengan strategi
berbagai gerakan fundamentalis lain, para aktivis dakwah membentuk dan menegaskan
identitasnya melalui strategi pemisahan simbolik dan kognitif tapi tidak secara fisik. Namun
strategi pemisahan initidak lepas dari ambivalensi karena sekalipun beriuang untuk memurnikan
identitaslslammelaluipembentukan kelompokeksklusif,paraaktivisdakwahjugaberambisiuntukmengajak sebanyak mungkin mahasiiwa lslam bergabung dalam kelompoknya sehingga harus
tetap me njali n pe rgau lan secara Iu as.
Key word s: Politik tdentitas, mahasiswa lslam, fundamentalisme .
Fundamentalisme agama selama ini lebihbanyak dikaji dari pendekatan teologi sehinggalebih sering digarnbarkan sebagai ekspresi darisuatu gaya beragama yang kaku (rigid)disebabkan pola pemahaman terhadap kitab suciyang bersifat skriptural. Atas alasan itu pulafundalnentalisme disamakan denganskripturalisme, suatu keyakinan mutlak secara
harafiah terhadap kitab suci agama. Penjelasanteologis atas fundamentalisme ini tanpa disadarisering berujung pada stereotip tertentu. Merekayang disebut fundamentalis cenderung diangapsebagai orang-orang kolot, berpikiran sempit,meremehkan realitas, dan tidak memilikikedalaman dalam penghayatan keagamaannya.
Pada kenyataannya, sebagai sebuahfenomena sosial, fundamentalisme bukanlahsekedar persoalan teologis. Agama merupakanpengalaman nyata manusia yang melibatkanaspek kognitif, afektif, dan instrumental. Karenaitu, ilmuwan sosial memandang agama secara
fenomenal, yakni sebagai pengalaman manusiawi,dan bukannya nomenal yang berarti sekedar isiajaran-ajarannya. Cara pandang terhadap agama
semacam ini mungkinkan adanya kajian historis,
analisa konteks sosial, dan berbagai motif yangbersifat internal dari kemunculanfundamental isme agama.
Istilah fundamentalisme serrdirisebenarnya baru tnuncul pada abad ke-20 dan
secara spesifili digunakan untuk menyebutkepercayaan beberapa sekte Protestan ArnerikaSerikat khususnya yang menentang teori evolusiDarwin. Istilah ini bahkan baru masuk dalam The
Oxford English Dictionary pada tahun 1960-an.
Dalam kamus besar itu, fundamentalismediartikan sebagai reaksi terhadap modernism6.Dengan keterangan tambahan, fundamentalismeadalah aliran yang berpegang teguh padafundamen agama Kristen melalui penafsiranterhadap kitab suci agama itu secara rigid dan
literalis.Istilah fundamentalisme secara ideologis,
teologis, dan historis memang berhubungan erat
dengan Kekristenan. Karena muncul dalamkonteks historis dan religius yang spesifik itu,penggunaan istilah fundamentalisme terhadap
berbagai gerakan religius lain menjadikontroversial. Banyak dari orang-orang yang
disebut fundamentalis menentang penyebutan itu
46
dengan alasan konteks historis mallpun religiusyang berbeda. Upaya mendefinisikan istilah iniakhirnya tidak mudah karena tidak ada satupengertian pun yang dapat diterima bersama.
Namun, Anthony Giddens masih melihatadanya kemungkinan memaknai istilah ini secara
objektif dengan melihatnya sebagai fenomenasosial. Ia menawarkan definisi fundamentalismeberdasarkan konteks perubahan berbagai dimensikehidupan manusia akibat globalisasi.Fundamentalisme menurut Giddens merupakanfenomena baru yang muncul sebagai tanggapanterhadap pengaruh globalisasi. Menurutnya,fundamentalisme adalah tradisi yang terkepung.Suatu tradisi yang dipertahankan secaratradisional-dengan rnengacu pada kebenaranritual-di dunia yang dilanda globalisasi yangmenuntut penalaran (200I ).
Dengan mengacu pada pandangan ini,meskipun awalnya lahir dari konteks religius,fundamentalisme dalam perkembanganselanjutnya tidak dapat disarnakan denganfanatisme atau otoritarianisme keagamaan.Fundamentalisme saat ini sama sekali tidakberkaitan dengan keyakinan agama. Tapibagaimana kebenaran dari kepercayaan itudipertahankan atau dinyatakan. Fundamental isme
bukanlah apa yang dipercaya orang, tetapibagaimana mereka percaya dan bagaimanamereka membenarkan kepercayaan itu. BagiGiddens, ini adalah persolan tradisi. Karena itu, iatidak hanya memandang fundarnentalismesebagai fenomena agama. Tentara Merah Chinadapat disebut fundamentalis karena kepercayaandan kesetiaan mereka terhadap Buku Merah Kecilberisi ajaran Mao Zedong (Mao's Little Red Book).
Berdasarkan latar belakang pemikiran ini,penulis mencoba meneropong bagaimana strategigerakan mahasiswa Islaln di katnpus perguruantinggi di lndonesia dalam ffIerespon berbagaiperubahan sosial yang mengancam identitasmereka. Menyebut para mahasiswa Islam inisebagai fundamentalis tentu saja akanmengundang kontroversi. Namun, denganberlandaskan pada pemahaman fundarnentalismesebagai sebuah reaksi terhadap perubahan budayasecara global, penulis berusaha mendekatio'fundamentalisme" sebagai sebuah fenomenasosial dan bukannya label keagamaan yangdipenuhi stereotip negatif.
Dalam kerangka ini pula penulis rnengikuti
h'luhanmad Syafiq: Politik ldentitas Mahasiswa Islam Fundamentalis (46 - 54)
penggolongan gerakan mahasiswa Islanr kampussebagaimana hasil pengamatan Azra (dalamFuaduddin & Bisri, 2002) .la menyebutkan tigapola keberagamaan mahasiswa Islam di kampus-kampus perguruan tingi umum (PTU) diIndonesia: pertama, mahasiswa yang mengikutimainstream keberagamaan masyarakat muslim.Mereka ini mrupakan kelompok mayoritas dikamupus. Pada umumnya mereka melaksanakanajaran agama seadanya dan selayaknyasebagaimana yang mereka terima dari orang tuadan lingkungan keagamaan yang biasa. Sebagiandari mereka bahkan tidak peduli atat concernterhadap agama. Kelompok ini dapat disebutsebagai "cotnnlon" muslitn, yaitu muslilx yangmelaksanakan ajaran agama tetapi tidak terlalubersemangat.
Kelornpok kedua adalah mahasiswa Islamyang merasa perlu mengembangkan diri, dalamkonteks keagamaan untuk treningkatkanpemahaman mereka tentang Islam, dan dalamkonteks akadem is untuk meningkatkanketerampilan organisasi dan keterampilan ilmiah.Mahasiswa yang memiliki kecenderun-ean inimemilih untuk bergabung dalam organisasirnahasiswa Islam seperti Himpunan MahasiswaIslam (HMI), Pergerakan Mahasiswa IslamIndonesia (PMII), dan Ikatan MahasiwaMuhammadiyah (IMM). Dorongan untukmemasuki berbagai organisasi ini semakin besar
ketika diketahu bahwa banyak mantan aggota atau
alumni dari organisasi iniyang cukup menojoldanterkemuka baik dalam lingkungan kampusmaupun setelah mereka kelttar. Dengan demikianorgan isasi mahasiswa islam tidak hanyamenjanjikan peningkatan kemampnanberorganisasi tetapi juga rnobilitas akadernik dan
mobilitas sosial politik ketika selesai kuliah.Kelompok ketiga adalah mahasiswa yang
lebih berorientasi ke Islam, yang pada masa
reformasi lalu sering disebut sebagai "kelompokhijau". Kemunculan kelompok ini pada awalnyaditandai dengan pembentukan kelompok-kelompok kecil pengajian keislaman padapertengahan dasawarsa 1980-an lalu dan populerdi indonesia dengan sebutan usrah. Kelompokinilah yang rnenurut Liddle (1997) sebagai
kelompok mahasiswa fundamentalis.Kemunculan kelompok-kelompok mahasiswaaktivis masjid ini selain akibat kebijakanpenerapan asas tunggal bagi partai dan ormas
47
JURNAL PSIKOLOGLTEAN &TERAPAI'I,Vol. 1, No. 1, Agustus 2010
termasuk juga tidak lepas dari pengaruhpergolakan politik Islam di tingkat intrnasional,terutama revolusi lslam di Iran (lihat Azra, dalamFuaduddin & Bisri, 2002). Gerakan mahasiswa diIndonesia juga mendapat pengaruh dariintelektual atau agamawan dari Timur Tengah,termasuk juga para sarjana asal Indonesia yanglulus dari sekolah-sekolah di Timur-Tengah.Kedatangan para ideolog gerakan dari kawasantersebut dan menyebarnya berbagai buku dantulisannya di Indonesia menjadi pendorong yangefektifbangkitnya gerakan Islam (Sukur, 2003).
PEMBAHASAN
Fundamentalisme sebagai Persoalan Identitas
Persoalan tentang identitas merupakantema penting dalam gerakan fundamentalismeagama. Analisa-analisa teoritis yang pernahdilakukan untuk menjelaskan gerakanfundamentalisme agama ini-tidak hanyafundamentalisme Islam-seringkali berujungpada konsep tentang krisis identitas (Monroe &Keidie, 1997: 20). Fundamentalisme dalamanalisis semacam ini dipandang sebagai fenornenayang muncul pada suatu masa krisis. Sumber darikrisis ini pada mulanya berasal dari perubahankondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya yangmenekan. Namun, krisis tersebut pada kondisitertentu dirasakan sebagai krisis identitas olehmereka yang merasa terancam sebagai sebuahmasyarakat. Rasa terancam itu muncul ketikakeberadaan mereka sebagai masyarakat ditekanoleh berbagai kondisi krisis multidimenasi itusampai pada tingkat di mana kennikan(distinctivness) mereka terancam musnah karenadesakan homogenitas (Marty & Appleby, dalamMonroe & Keidie, 1997).
Dalam konteks po litik identitas,fundamentalisme dapat dipandang sebagaigerakan sosial. Hal ini didasarkan pada logikayang inheren dalam politik identitas. Logika ituadalah bagaimana masyarakat yang skupnyasemakin rnenyempit terlempar dalam perebutanlegitimasi untuk memperoleh solidaritas dari yanglain. Perebutan legitimasi ini akhirnya mendorongmunculnya kebutuhan untuk menemukan basiskebersamaan dalam kepentingan dan perjuangan.Kecenderungan ini tampak jelas pada peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada tahun 1990-an yangdampaknya dapat disebutkan antara lainmunculnya para nasionalis yang memecah belahYugoslavia, kecenderungan disintegrasi dinegara-negara bekas jajahan, termasuk jugafundamentalisme agama yang belakangan inisemakin merebak.
Istilah politik identitas untuk menyebutgerakan fundamentalisme yang pernah digunakancenderung bernada negatif. Azra(1 999) menunjukgerakan politik identitas atau juga disebut politikrepresentasi (politic of Representation) sebagaisuatu berttuk tanggapan dari kelornpok budayayang tak berdaya menghadapi serbuan globalisasi.Politik identitas ini menurutnya merupakansumber terjadinya totalisasi yang berujung padakekerasan. Berbagai tindakan kekerasan atasnama agama yang terjadi di Tanah Air belakanganini danggap oleh Azra sebagai konsekuensi daripolitik identitas.
Politik identitas dalam hal ini dipandangsebagai bentuk pelarian dari berbagai tuntutanhidup dalam dunia global. Dan merupakan reaksi-reaksi psikologis atas rasa tidak aman disebabkansemakin pudarnya landasan dan ikatan-ikatanprimordial. Merujuk pada Erich Fromm (1991),ikatan-ikatan sekunder (misalnya, kelas sosial,ras, etnis, agama) sebagai pengganti dari ikatanprimer (ketergantungan pada ibu) merupakankebutuhan eksistensial manusia. Pudarnya ikatan-ikatan ini akan berdampak pada alienasi dan rasatidak aman (insecuriry). Fundamentalisme dalamhal ini lebih dipandang sebagai konsekuensinegatif dari gerakan politik identitas yangmencoba rnendefinisikan identitas secaraeksklusif berdasarkan agama.
Fundamentalisme dan Mahasiswa
Kualitas dari masing-masing usiamerupakan hal penting bagi identitas pribadi danpersepsi diri seseorang. E,rikson menunjukkanbahwa usia muda atau juga disebut remajamenghadapi persoalan menyangkut pembentukanidentitas dirinya terkait dengan peran-peran baruyang dituntut masyarakat seiring dengan peralihanusianya dari anak-anak menuju dewasa (dalamHall&Lindzey,1993).
Tugas perkembangan remaja menurutnyaadalah untuk memecahkan konflik identitas diriuntuk menjadi orang dewasa yang unik dan untuk
48
mencari peran penting dalam kehidupannya. Pada
saat muda inilah terjadi berbagai krisis identitasyang disebabkan oleh perubahan radikal dalamperspektif (Hall & Lindzey, 1993: 150). Dalamrangka mengatasi krisis identitas inilah kaummuda atau remaja cenderung lebih sukaberpartisipasi dalam gerakan-gerakan yangmengubah atau memperbarui struktul sosial yangtelah mapan. Gerakan-gerakan ini diperlukanuntuk menegaskan identitas mereka.
Mahasiswa sebagai kelornpok elit darikaum muda memiliki kelebihan-kelebihan darikaum muda lainnya karena melalui masapenrbentukan pribadi-pribadi di lembagapendidikan. Pendidikan inilah yang membuatmahasiswa lebih peka terhadap kondisi sosialyang terjadi di masyarakat. Sehingga lebih sadardiri akan posisinya atau peran yang dituntutmasyarakat terhadap mereka. Karena itupencarian identitas dan upaya untuk nterumuskankehadiran diri dalam masyarakat lebih kerasdilakukan oleh kaum muda terpel{ar sepertimahasiswa,
Terdapat sebuah pola yang secaramengejutkan tetap konsisten selama hampir limapuluh tahun di Mesir, yaitu kelompok-kelompokaktivis dakwah mempunyai daya tarik bagi kelasmenengah profesional urban khususnya parasarjana (dalam Eickelman & Piscatori, 1998:i 39).Ini didukung hasil penelitian Burgat di Aljazairyang menunjukkan bahwa kebanyakan daripengikut gerakan fundamentalisme terdapat didaerah perkotaan yang teldili atas mahasiswasebagai intinya, pernuda lain sebagai massanya,dan kemudian golongan menengah baru perkotaanyang muncul akibat urbanisasi.
Zainah Anwar (1990: 2) menunjukkanbahwa kaum muda merupakan angota gerakanIslam yang paling aktif di Malaysia. Kaum Inudaitu adalah siswa sekolah lanjutan tingkat atas,
mahasiswa, sarjana, dan profesional muda.Mereka adalah tulang punggung gerakankebangkitan Islam di Malaysia.
Gerakan kebangkitan Islam Indomesia jugatidak lepas dari dinamika gerakan mahasiswa dikarnpus. William Liddle mengamati munculnyakecenderungan menuju kesalehan ekstrirn padamahasiswa-mahasiswa Islam Indonesia.Fenomena ini terjadi mulai awal tahun 1970-andan terpusat di masjid-masjid kampus berbagaiuniversitas negeri terkernuka yang disebutnya
Muhammad Syafiq: Politik ldentitos Mohasiswa lslam Fundamentalis (46 - 54)
sebagai sentra fundamental isme.Menarik diamati bahwa hampir semua
gerakan kebangkitan lslam di negeri-negeri Islanradalah fenomena masyarakat perkotaan danterdidik. Kenyataan empiris juga menunjukkanbahwa gerakan aktivis dakwah memperolehpengikut terbanyak pada kalangan muda, terutamamahasiswa. Beberapa pengamat menunjuk latarbelakang sosiologis dan ekonomi berpengaruhbesar pada orientasi mahasiswa untuk bergabungdalarn gerakan Islarn. Berbagai kondisi sosiologisseperti alienasi, status sosial yang belum mantap,dan masa depan yang tak pasti mendorong paramahasiswa itu untuk bergabung dalanr gerakanIslam untuk rnencari rasa arnan dan terlindurrgdalarn sebuah komunitas (Meuleman dalarn Ali,1998:24).
Dale Eickelman (dalam Masud, dalamMeuleman [ed.], 2001: 233) juga menunjukkanbahwa aspek utama yang berperan penting dalammembangkitkan kesadaran identitas religiusadalah pendidikan. la r.nenyatakan bahwapendidikan massa, terutama perguruan tinggi,yang telah banyak berkembang dalam masyarakatIslam turut mendorong munculnya pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang diri (sef) danmasyarakat, termasuk di dalamnya pertanyaan
tentang tempat dan peran agarra dalammasyarakat tersebut. Karena itulah gerakandakwah lslarn mendapat respon yang sangat besardarimahasiswa.
potiiit< Id en titas Ma h asiswa IslamFundamentalis
Dalam konteks globalisasi,fundamentalisme Islarn halus dipertimbangkansebagai reaksi atas kecenderungan penyeragaman
secara global. Fundarnentalisrle dalam hal inidapat dilihat sebagai gerakan kembali pada
identitas budaya. dan agama sendili sebagaipenolakan terhadap penyeragaman global.
Karena ilu politik idenlitas unrurrrnyajugadigunakan untuk menyebut semua aktifitas politisyang dibangun atas dasar pengalamanketidakadilan dari anggota kelompok sosial
tedentu. Dalam hal ini, politik identitas tidaksemata-mata berkaitan dengan ideologi dan
afiliasi politik. Lebih dari itu, politik identitasberkaitan dengan gerakan pembebasan yangdilakukan oleh kelompok nrasyarakat tertentu
49
JURNAL PStKOLOG|:TEORI & TERAPAN, Vol. 1, No' 1, AEustus 201 0
yan g terp inggirkan (m ar gin al i z e d) dalam konteks
masyarakatyang lebih luas (Heyes, 2002).Anggota-anggota kelomPok Yang
terpinggirkan ini berupaya untuk menegaskan
atau menyatakan kembali cara-cara pemahaman
baru atas perbedaan (distinctivness) mereka untuk
menentang karakterisasi rnasyarakat dominan
yang cenderung opresif dengan tujuan untuk
memproleh hak penentuan sendiri (self-de t errninat ion) y anglebih besar. Mereka berupaya
untuk membentuk pemahaman baru atas diri dan
komunitasnya, seringkali rnelalui penutnbuhan
kesadaran (c on s c iusne s s -r ais i ng). Dal am pro ses
consciousness raising, mereka rnulai rnengakui
kesamaan pengalaman yang pada akhirnya akan
membentuk kesadaran bersalna' Melaluikesadaran bersama inilah mereka membangungerakan perlawanan yang bertujuan untukmengubah kehidupan mereka atau mengakhiripenindasan yang mereka alami.
Politik identitas anggota gerakankebangkitan Islam didasari oleh ingatan akan
pengalaman hidup yang membangkitkankesadaran (consciousness raising) danobjektivikasi: bagaimana seharusnya menjadi
seorang muslim dalam masyarakat sepertisekarang? Persoalan ini akan mengantarkanseseorang pada berbagai pilihan pijakan identitasyang tersedia di masyarakat tempatnya hidup.
Persoalannya, apa yang menyebabkan proses
objektivikasi atau kebangkitan kesadaran inimuncul dan mengapa komunitas berdasarkan
agamamenjadi pilihan.
Pembentukan ldentitas
Tawaran berbeda Yang ditamPilkankornunitas dakwah kampus tampaknya membuatmahasiswa baru tertarik. Ketertarikan ini lnulanyacenderung bersifat afektif dan bukannyakesadaran. Komunitas dakwah memberiperasaaan aman dalam interaksi sosial sehari-harikarena memberi dukungan emosional dan rasa
kekeluargaan. Terutama karena nilai sosial yang
berkernbang di kalangan anggota kornunitasdakwah adalah saling memberi penghargaan sattt
sama lain berdasarkan solidaritas keagamaan.
Berbeda dengan ukuran penghargaan sosial dalam
masyarakat umum yang umumnya lebih banyakbersandar pada faktor-faktor yang bersifatnraterialistik.
50
Namun, tampaknya daya tarik yang bersifatafektif pada para aktivis dakwah itu hanyalahpintu masuk menuju pada pemahaman yang lebih
menetap. Dayatarikyang bersifat afektif ini hanyamuncul pada awal-awal menempuh kuliah.Selanjutnya, pemahaman dan kesadaran tentang
kewajiban sebagai seorang muslim dalam dunia
sekarang ini tampak mendominasi seiring denganjangka waktu bergabung dalam komunitasdakwah. Dengan kata lain, proses objektivikasiyang terjadi pada level pemikiran itu muncul
melalui interaksi secara intensif dengan anggota
komunitas dakwah lain yang lebih senior dalam
rangka pengkaderan"Seperti disebutkan Eickelman dan Piscatori
(1998:141), objektivikasi Islarn berartimemandang kepercayaan dan praktek Islamsemakin dilihat sebagai sebuah sistem Qnanhai)yang dibedakan dari sistem-sistem agama atau
non-agama lain. Hal yang sama juga berkembangdalam pandangan para aktivis dakwah. Menjadiaktivis dakwah berarti harus hidup dalam tuntunan
agama baik dalam pemikiran maupun perilaku.
Pendirian ini segera rnembuat para aktivis tersebut
mengambil jarak dengan masyarakat pada
umumnya yang mereka pandang sekuler.Pengambilan jarak dengan masyarakat sekuler inimerupakan strategi yang umum diambilkelompok-kelompok aktivis dakwah.
Strategi Identitas
Menurut Antoun (2003: 81), gerakan
kebangktan agama pada umumnya berjuang untukmengejar kemurnian dalant dunia yang'profanmelalui tiga strategi: pengasingan diri, pemisahan,
dan konfrontasi.Strategi yang tampak pada para aktivis
dakwah adalah pemisahan atau separatisme'
Pemisahan ini tidak terjadi secara fisik, tetapi
bersifat sirnbolik dan kognitif. Pada tingkatsimbolis terutama tarnpak pada cara berpakaian
dan penampilan fisik. Misalnya memakai jilbabyang lebar dan pakaian terusan yang panjang
sampai kaki hingga memakai cadar bagiperempLran atau pada aktivis puteranlemanjangkan jenggot. Sedangkan strategipemisahan secara kognitif tampak dari pola
pernikiran yang pada tingkat praksis tarnpak dari
implikasinya pada perilaku sehari-hari seorang
aktivis. Misalnya, tidak berbaur, berjabatan
Muhammad Syafiq: Politik Identitos Mahosiswo lslom Fundomentolis (46- 54)
tangan atau bertatapan mata dengan lawan jenis
dan tidak berpacaran.Strategi pemisahan ini memunculkan isu
tentang ekskulisivisme komunitas dakwah
kampus yang secara kontradiktifditolak oleh para
aktivis sendiri. Eksklus ivitas merupakankonsekuensi tak terhindarkan dari separatisme.
Para aktivis telah menyadali hal ini. Menganut dan
berupaya menerapkan nilai-nilai Islami dalarn
masyarakat sekuler tentu saja membrrat ntereka
berbeda dan tampak terpisah (eksklusif). Namun,para aklivis tnengembangkan pernaharnan bahwa
Lerbeda bukan berarti rnernisahkan diri. Mereka
berbeda karena menganut nilai-nilai Islami tapi
mereka tetap bergaul dengan masyarakat umum
dalarn batas-batas yang diperbolehkan agarn a.
Bergaul dengan masyarakat merupakan
kebutuhan bagi aktivis dakwah mengingat nisiutama mereka adalah berdakwah, yaitr.r
menyebarkan nilai-nilai lslam kepada sebanyak
mungkin orang secara pelsuasif. Pemberian label
eksklusif hanya akan ueurbuat ruang gerak
mereka rnenjadi terbatas. Karena itu, para aktivis
cenderung beranggapan tuduhan eksklusifterhadap mereka sebagai isu atau opini yang
sengaia disebarkan oleh kepentingan ideologis
lain terutama berkaitan dengan politik kampus.
misalnya perebutan posisi-posisi penting dalam
lembaga kemahasiswaan.Berkaitan dengan pendirian para aktivis
dakwah untuk hidup dalam aturan agama yang
membuat perilaku sehari-hari mereka berbeda,
dan kebutuhan untuk berinteraksi dengan
masyarakat umum demi tujuan dakwah, para
aktivis tersebut rnengembangkan pol itikpergaulan yang nrettarik.
Politik ini talnpak dari istilah-istilah yang
mereka munculkan. Misalnya, seorang aktivis
tidak boleh sekedar "steril" tetapi juga harus
"resisten" atau seorang aktivis itu harus "berbaur
tetapi tidak lebur". Steril adalah istilah medis
r:ntuk menunjukkan kondisi yang bebas dari
kurnan. Sedangkan istilah resisten rnenunjukkan
kondisi kebal terhadap kuman meskipun di
kelilingi oleh kuman-kuman penyakit. Seorang
aktiviJdakwah yang steril akan memisahkan dirisecara tegas dalam hal apapun tern.rasuk fisikdengan masyarakat yang dianggapnya tidak
lslami. Sedangkan aktivis yang resisten siap
berinteraksi dengan masyarakat yang tidak Islami
itu nanrun dapat rnenjaga prirrsip-prinsip agama
yang dianutnya. lstilah "berbaur tetapi tidak
iebur" memiliki makna yang sama dengan
resisten.Fenomena politik pergaulan dalam konteks
dakwah semacatn ini menunjukkan bahwa strategi
separatisme hanyalah bersifat sementara dan tidak
kaku. Separatisme hanya diperlukan untuk
membangun basis komunitas yang dapat
diandalkan oleh para aktivis untuk berjuang
menyebarkan prinsip-prinsip yang dianutnya
kepada masyarakat luas. Ini selaras dengan
pendapat Perez (dalam Keamey, dalam Epstein,
iSSS: tfO) yang menyatakan bahwa separatisme
dalarn gerakan-gerakan politik identitas tidak
bersii'at permanerr dan tidak baku (fxefl karena
proses ini bersifat dialektik.Menyangkut komunitas aktivis dakwah
kampus, strategi separatisme lnemang sangat
dipeilukan pada masa-masa awal pembentukan
kelonipok. Separatisme itu diperlukan. untuk
mengukrrhkan perbedaan identilas dengan
nras/arakat luas yang Inengetilinginla ldentitas
Islam yang dikukuhkan komunitas dakwah ini
nantinya minjadi teladan bagi niasyarakat sekuler
yang mereka dakwahi. Tujuan kongkrit dari'dakwah
yang dianut oleh aktivis dakwah kampus
adalah mengajak sebanyak mungkin mahasiswa
untuk bergibung dalarn jamaah nereka dan
mengukuhlan identitas seperti mereka Cara
dakwah semacam ini merupakan logika khas
politik identitas. Politik identitas nrengganrbarkan
iuatu pola gerakan tertentu, yakni bagaimana
masyaiakat yang skupnya semakin nlenyetrpitkarena terkotak-kotak oleh konteks identitas yang
spesifik berinang dalatn petebutan legitirrrasi
unluk urem peroleh solidaritas dari 5 ang lain
Politlk identitas pada aktivis dakwah
kampus tidak seperti, rnisalnya, gerakan.politik
ideniitas berdasarkan gender, ras atau etnis yang
seringkali terjebak dalam pe n g- ese n s ial-an
identitas mereka sebagai identitas bawaan yang
tidak bisa berubah dan bersifat menetap ldentitas
kolektif aktivis dakwah katnpus tidak diikat oleh
persamaan biologis seperti gender, etnis
ras. Tetapi diikat oleh Persamaankeyakinan, perasaan, dan pemikilan
kolektif sebagai seorang muslin anggota
oelcelakan karena ittr memiliki peluang terbuka
unt;k berubah. Seorang aktiris bisa berpindah
ataupLlndalam
Identitas
pergetakan atau bahkan keluar sama
komunitas dakwah (amaah)
JURNAL PSIKaLOGI: TEAH & TERAPA\I, l/cl. ?, ldo. i, Agustus 201 A
Karena itu, politik identitas pada kornrtnitasdakwah kampus tidak sampai berujung pada
homogenisasi identitas anggota-anggotanyahingga sampai pada taraf pengisolasian secara
sosial, politik maupun ekonomi. Menurut Kearney(dalam Epstein, 1998) pada komunitas marjinalsemacarn ini, politik identitas tidak bertujuanuntuk memberhalakan perbedaan identitasnyatetapi untuk membangkitkan kekuatan danperlawanan dalam diri orang-orang vang memilikikesamaan pengalaman penindasan dalam jalinanhubungan dengan kondisi masyarakat disekitarnya.
S a I idar it a s s eb agai landas an ldenl il as
Persoalannya, apakah semua aktivisdakwah yang bergabung dalam kotnunitasdakwah kampus dengan jamaah-jarnaah sebagaikomunitas intinya itu disatukan oleh pengalarnanpenindasan yang sama. Apa bentuk penindasanyang dialami dan siapa yang menindas. Di sinilaharti penting proses penyadaran yang disebutobjektivikasi. Objektivikasi agama adalah prosesyang membuat pertanyaan-pertanyaan mendasarrnengemuka dalam kesadaran sebagian besarorang-orang beriman, seperti: "Apa agamasaya?", "Mengapa ia penting bagi hidup saya?","Bagaimana keyakinan saya menuntut tindakansaya?" (Eickehnan & Piscatori, I998).
Melalui objektivikasi seseorang yangberagarna I slam akan terus-menerusmempertanyakan apa artinya rrenjadi muslim.Dalam konteks aktivis dakwah kampus, yangmembantu mendefinisikan arti sebagai seorangmuslirn itu adalah jarnaah-jarnaah dakwah lslam.Sebagai sebuah ideologi pergerakan, jamaah-jarnaah ini merniliki kemampuan untuk memberipenjelasan atas realitas dan memberikan solusi.Ideolo,ei di sini lebih dekat pengertiannya dengandefinisi yang dikutip Richard Antoun dari BruceLawrence yang juga mengutip dari sumber aslinyaPaul Sigrlund. Seperti dikutip Antoun (2003),ideologi adalah "sistem keyakinan yang mampumenjelaskan dunia...dengan membenarkankeputusan, merrgidentifikasi alternatif,dan...menciptakan solidaritas sosial yang intensifdan serba mencakup".
Menurut Antoun (2003), secara ideologisgerakan fundamentalisrne ditentukan menurutpenentangan dan reaksi nereka terhadap ideologi
52
masyarakat sekuler. Di sinilah muncul dikotomiantara ideologi Islam dan ideologi sekuler yangdiyakini oleh para fundamentalis terlibat dalarnpertarungan abadi. Seperti pertarungan bersifatkosmik antara kebaikan dan kejahatan. Dalamkonstruk dunia semacam ini, sejarah memiliki artipenting sebagai alat legitirnasi. Sejarah rnenjadicermin bagi para fundarnentalis untukmendefinsikan kondisiyang dihadapi saat ini.
Salah satu faktor yang mendorong upayamenemukan relevausi antara masa kini denganrnasa lalu adalah pencarian keotentikan (Antoun,2003). Ini adalah jalan yang diarnbil parafundamentalis untuk membedakan diri secara
tajam dengan masyarakat sekuler yang mayoritasdi sekeliling mereka dan mengotentikkan diridengan memanfaatkan keunggulan masa lalu,misalnya secara superfisial tampak melalui gayahidup, bahasa, busana, dan pemakaian simbol-sirnbol identitas lainnya.
Dengan melihat kembali pada sejarah,peftarungan ideologi dipandang sebagai sesuatuyang alamiah dan berlangsung abadi. Denganrnerr.rjuk pada kitab suci dan pengalarran sejarah,parta aktivis mentahbiskan musulr bersama.Secara teologis, musuh abadi urnat Islarn adalahYahudi dan Nasrani. Sedangkan secara ideologis,saat ini musuh utama Islan, adalah kapitalisme,sosialisme dan liberalisme. Dalam tatanan duniasaat ini, posisi urnat Islam lebih lemah dibandingnrusuh-musuhnya.
Para aktivis rnerrandan-e rneskipunsebagian besar umat Islam telah lepas daripenjajahan secara fisik, narnun penjajahanterutarna secara budaya dan politik rnasih terjadi.Penjajahan secara budaya dipandang sangatmembahayakan karena berlangsung secara halusdan seringkali tidak disadari. Tujuan daripenjajahan secara budaya maupun politik adalahuntuk menjauhkan umat Islarn dari agama dan
rnernbuat mereka berpecah belah. Kondisi umatIslam semacam inilah yang dipahami dandirrasakan oleh para aktivis dakwah.
Karena itu, pengalaman ketertindasansebagai seorang rnuslim nruncul pada para aktivisdakwah ini sebagai bagian dari rasa solidaritaslslam sedunia. Solidaritas lslarn ini tidak hanyadikobarkan oleh pelistiwa-peritiwa yangmenyakitkan umat Islarn sekarang, tetapi jugacatatan-catatan sej arah ten tan g kekej am an musuhdan penderitaan yang di alami umat Islam. Dalam
Muhammad Syofiq: Politik tdentitos Mahosiswa lslam Fundomentotis (46 - 54)
konteks solidaritas inilah, isu tentang umat lslamdi berbagaiwilayah duniayang sedang dan pernahditindas menjadi pengikat identitas muslimsebagai satu kesatuan umat.
Rasa solidaritas terhadap umat Islam dinegeri-negeli yang tertindas seperti Palestina itumengikat setiap muslim di dunia untukmemperjuangkan perlawanan dan pembebasanurnat Islam dari ketertindasan. Dalam konteksinilah politik identitas berbicara. Identitas yanghidup dan dialami dalarn berbagai gerakan politikidentitas seperti fundamentalisme seringkalimerujuk pada pengalaman bersama kaum muslimakan ketertindasan yang dialami dankernungkinan dicapainya kondisi otentik di ataslandasan identitas bersanra.
Heyes (2002:3) menunjukkan bahwa dalampolitik identitas, istilah keotentikan (aut hen t ic i ty )menggambarkan model atau cara hidup yangsesuai dengan identitas kelompok yangterpinggirkan. Keoterrtikan yang diperjuangkanini nieliputi upaya untuk kenrbali pada masasebelum penindasan, yaitu budaya atau cara hidupsebelumnya yang dirr.rsak oleh otoritas yangmenindas seperti kolonialisme atau irnperialisme.
Literalisme atau skripturalisme yangmenjadi karakteristik umum fundamentalismeagarna, berdasarkan berbagai kecenderungan diatas, karena itu tidak sekedar menunjukkankeyakinan secara harafiah terhadap kitab sLrci.Fokus fundamentalis terhadap kitab suciberhubungan dengan kerinduan akan kepastian dizaman ketika tidak ada lagi standar tetap yangdiikuti. Kitab suci menyediakan panduan sehari-hari yang konstan dalant berperilaku di manarelativisasi nilai-nilai publik dan pluralisasikeyakinan pribadi tersebar luas. Lebih utama lagi,kitab suci amat penting bagi para fundamentaiiskarena karakter numinusnya, yaitu kenrarnpuankitab suci untuk membawa orang beriman untuklebih dekat dengan yang suci hanya denganmembaca atau menyentuhnya, kemampuannyauntuk mengilhami. dan dampak emosional yangdiakibatkannya seperti rasa damai atau semangatyang ntenyala.
Perrekanan terhadap kitab suci ini berjalanseiring dengan upaya rrenghadirkan masa laludalam kehidupan masa kini yang diistilahkan olehAntoun "pentradisian". fni adalah jalan yangdiambil para fundamentalis untuk membedakandiri secara ta.jam dengan masyarakat sekuler yang
mayoritas di sekeliling mereka danmengotentikkan diri dengan memanfaatkankeunggulan masa Ialu, rnisalnya secara superfisialtampak melalui gaya hidup, bahasa, busana, danpemakaian sim bol-simbol identitas lainnya.
Namun, upaya pentradisian ini sama sekalitidak menunjukkan bahwa para fundamentalisberorienlasi tradisional. Fenomena em p irismenunjukkan mereka yang selarna ini dipandangf'undamentaiis justru lebih didominasi olehkalangan terdidik di wilayah perkotaan. Merekaini memiliki akses dan reseptif ter.hadap ber.bagaiinformasi global serta berpikir secara rasional.Mereka tidak anti pengetahuan dan sangat tanggapterhadap kemajuan teknolo,ei. Ini menunjukkanperlawanan fundamentalisme ter.hadapmodernisme tidaklah membabi buta. Terhadappengaruh modernisme dan berbagai kenrajuanyang diraihnya, para fundamentalis melakukanapa yang disebut oleh Antoun sebagai"modernisasi selektif" dan "akulturasiterkendali".
Istilah pertama menunjuk pada prosesditerimanya inovasi teknologi dan keorganisasiansosial tertentu, sedangkan pada saat yang sama,inovasi lain ditolak. Sedangkan istilah keduamenunjukkan proses seorang individu dari suatubudaya ntenerinra praktek dan keyakinan daribudaya Jain, tetapi memadukan praktek dankeyakinan itLr dalarn sistem n ilainya send iri.
PENUTUP
Politik identitas aktivis dakwah didasar.ipengalaman hidup sebe lu m nya yangnrembangkitkan kesadaran (consci ousn es sra is in g) dan objektivikasi. Melalui objektivikasiseseorang yang beragama islam akan terus-menerus mempertanyakan apa artinya menjaditnuslim. Dalam konteks aktivis dakwah karrpus,yang membantu mendefinisikan arti sebagaiseorang muslim itu adalah jamaah-jarraahdakwah Islam.
Politik identitas pada komunitas dakwahkampus tidak berujung pada lromogenisasiidentitas anggota-anggotanya hingga pada tarafpengisolasian secara sosial-budaya, politikmaupun ekonomi. Politik identitas padakomunitas tersebut lebih bertujuan untukrrenrbangkitkan kekuatan dan perlawanarr dalarrdiri sekumpulan orang yang memiliki kesamaan
t)
JLIRNAL PSIKOLOGI:l EAN & IERAP,\i'j' i/.1 ;,No.1,Agustus2010
pcngalanran PenilldllsanPengalatnan keletlirrtjl:ltn \Lb:rgai 5eurilllg
mnslim muncul pada para aktivis dakwah ini
sebagai bagian dali rasa solidaritas Islarn sedttnia'
Solidaritas Islam initidak hanyn dikobalkan oleh
peristiwa-peritiwa yang menyakitkan unral lslam
sekarang, tetapi juga catatan-catatan sejarah
tentahg keunggulan peradaban Islarn dan janjiTuhan di masa depan. Dalam korlteks inilah
nruncul kerinduan pada tnasa Ialu yang dipandang
oleh para fundamentalis lebih rneuberikeotentikan- Kerinduan pada llasa lalu ini
mendapatkan tempatnya pada keyakinan pada
kitab suci yang cenderung literal. Keyakinau
semacam ini rnerupakan respon atas kottdisi
masyarakat sekuler yang dipandang oleh trereka
tidak lagi rnemiliki pedoman hiclup yang pasti.
Para mahasiswa fundamentalis berupaya
membedakan diri secara jelas dengan masyttakat
sekuler yang mayoritas di sekeliling nlereka tlan
mengotentikkan diri dengan trrert anfaatkan
DAF'TAR PUSTAKA
Antoun, Riclrard, T. (2003). lUlemchani Fundamcnlalisme: Gerakan Islan, K'islen, Yahucli.
Sumbaya: Pustaka EulekaAnwar, Zailrah. (1990). Kebangkilan Islun di Malaysla, jakarta: L'P3ES
Azra, Azyumar.ii.1z00Zy. relonpok "sempalan" di Kalangan PTII: Anatonri Sosio-Historis dalarn-
Fuaduddin & Basri (ed.). binttntika Pemikirun Islarn di Perguruan Tinggi. cet. 2. .lakarta: Logos
Wacana llmu.Eickelman, D, F., & Piscatori, J., (1998), Polilik Muslin't; Wrcona Kekuasattn dan Hegennni clalant
Masyarokcl Islani, Yogyakarta: PT. "fiara Wacana.
Fromrn, Eiich. (1997). Lari Dori Kebebasan,Yogvakarta: Pustaka Pela.iar"
G iddens. Anthony . (2001). Dttrrict Yang Lepus Kenclali. Jakarta: PT Grarlled ia
Hall, Caivin, S., & Lindzey, G. ( 1 993 ).'I'eori-Teori Psikodinanik (Klinis), Yogyakarta: Kanisius
Heyes, Cressiia. e002j. Identitv Polirtcs, [on-line], (h1tp://plato. stanfbr d.edu/entries/identity-
politics/html, diskses 1 3 Mei 200'1)
Kearney, M., C. ( I998). "Don'r Need YoLr": ilethinking Ident;ly Politics and Separatisnr fiom A GRRRLperspective. dalarn Eipstein, J., S. (ed). Yrnllt Cullure; lclcnlitl irt A Poslrnodern l(orld. Oxford'.
Blackwell Publishers. I:lim. 148- l 88.
Liddle, Willianr, R .,(19()7). Is lan, I'olitik Dan Modernislxe, Jakarta: S inar Harapan'
Masud, Muhammaa, r. lzoo L;. netigious Identiry and Mass Education. dalam Meuleman, J. (ed). Islant
in the Era ofGloholizcttion; MuslimA itudc to\liards Moderniry and ldentilv, Jakarta: INIS. .
Meuleman, J. (199S). Sikap Islarn Terhadap Perkembarrgan Kontet.nporer. dalanr Ali, Mukti, (ed.)
Agann Dalant Pergtrtrnrkm Mctsyarakal Dtmia. Yogyaktrta: Tiara Wacana'
Meyer, ihomas, (200q. i'otilik ldenlitas: nnlongon Fntdanrcnlalisme Modern.lon-linel'(www.sosialista.org/1 013 02 24-politik.htrnl, diakses l3 Mei 2004)'
Monroe, K.. R., & Kreidie,-l-.. D. ( l9t7).The Perspective of lslanric Fundallrentalists and the Linrits ofRational Choice'lheot'J. P ol itical Psychologlt. 18' 1, 19-43.
Syukur, Abdul. (2003s. Gerttkan Llsroh di htlonesia: Perisliwa Lantpung 1989. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
54
keunggutan masa laltt, nrisalnya secara superfisialtampak melalui gaya hidup. bahasa, busana, dan
pemakaian sirrbol-simbol identitas laitrnya seperti
ienggot.Namun berdakwalr dalam nrasyarakat
sekuler ini menimbulkan dilenra bagi para aktivisDi satu sisi, jika berinteraksi dengan rnasyarakat
itu mereka khawatir akan terbawa arus yang
rnenjauh clari agama. Di sisi lain, berdakwahbetarti mengajak orang sehingga harusberirrteraksi dan ber3:rul dengatr wrjar serala
rnencoba menyebatkan nilai-nilai Islatn. Diletnaini memunculkan stratcgi yang Inenarik yang
tercennin dalarn istilah "berbaur tetapi tidaklebur"; atau aktivis dakwah yang ideal ihr
"resisten" dan bukannya "steril". Kedua istilah
tersebut menggantbarkan strategi pem isahan
(separatisnre) secara simbolik dan pola pikil tetapi
tidak secara fisik.
Top Related