17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di bagian
THT. Keluhan pasien yang datang dapat berupa sumbatan pada hidung yang makin lama
semakin berat. Kemudian pasien juga mengeluhkan adanya gangguan penciuman dan
sakit kepala.
Polip Hidung adalah suatu pertumbuhan dari selaput lendir hidung yang bersifat jinak.
Polip nasi atau polip hidung adalah kelainan selaput permukaan hidung berupa massa
lunak yang bertangkai berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan dengan
permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Kelainan pada
hidung biasanya timbul karena manifestasi dari penyakit yang lain dan tidak berdiri
sendiri, penyakit ini sering dihubungkan dengan asma, rhinitis alergika, dan sinusitis, di
luar negeri sendiri penyakit ini sering dihubungkan dengan seringnya penggunaan aspirin.
Untuk mengetahui massa di rongga hidung merupakan polip atau bukan selain perlu
dikuasai anatomi hidung juga perlu dikuasai cara pemeriksaan yang dapat menyingkirkan
kemungkinan diagnosa lain.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 DEFINISI
Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung. Kebanyakan
polip berwarna putih bening atau keabu – abuan, mengkilat, lunak karena banyak
mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah lama dapat berubah menjadi
kekuning – kuningan atau kemerah – merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa).
Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat
bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah
belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.
2.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.2.1 ANATOMI
2.2.1.1 Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke
bawah :
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
17
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars
transversa dan M. Nasalis pars allaris. Kerja otot – otot tersebut
menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi
eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks
sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada
bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
- Superior : os frontal, os nasal, os maksila
- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis,
kartilago alaris mayor dan kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior
menjadi fleksibel.
17
2.2.1.1.1 Perdarahan :
1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang
dari A. Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A.
Maksilaris interna, cabang dari A. Karotis interna).
3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
17
2.2.1.1.2 Persarafan :
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
2.2.1.2 Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media. Batas – batas kavum nasi :
- Posterior : berhubungan dengan nasofaring
- Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus
sfenoidale dan sebagian os vomer
- Dasar : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir
horisontal, bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada
bagian atap. Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum
durum.
- Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan
(dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi
17
dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian
dari septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars
membranosa = kolumna = kolumela.
- Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os
etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid. Konka nasalis
suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.
Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah.
Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus
sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang – kadang
konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini.
2.2.1.2.1 Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah
A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A.
Etmoidale anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena
tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama –
sama arteri.
17
2.2.1.2.2 Persarafan :
1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N.
Trigeminus yaitu N. Etmoidalis anterior.
2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion
pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina
kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi N.
Sfenopalatinus.
2.2.1.3 Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir
ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong
ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan
banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat – obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
17
2.2.2 Fisiologi hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi,
udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti
udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian
lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran
dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan
demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
17
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh
gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk
aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
17
2.3 ETIOLOGI
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi
pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui
dengan pasti tetapi ada keragu – raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal
seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan
lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam
rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang
(neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip
biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak – anak. Pada anak – anak, polip
mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.
Terdapat 3 faktor penting yang berperan di dalam terjadinya polip, yaitu :
1. Peradangan lama dan berulang pada selaput permukaan hidung dan sinus
2. Gangguan keseimbangan Vasomotor
3. Peningkatan tekanan cairan antar ruang sel dan bengkak selaput permukaan
hidung
Dengan adanya faktor alergi dan radang kronis yang berulang-ulang, maka terjadilah
perubahan pada mukosa hidung, perubahan pembuluh darah, dan juga pembuluh limfe.
Keadaan ini akan berkembang terjadinya hambatan balik cairan interstitial. Cairan yang
terkumpul selanjutnya akan menimbulkan semacam bendungan yang bersifat pasif. Dari
keadaan ini, berkembang menjadi pembengkakan di mukosa hidung. Makin lama proses ini
berlangsung, penonjolan mukosa hidung akan bertambah panjang, sampai pada akhirnya
terbentuk tangkai, maka terbentuklah polip.
17
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka.
2.4 PATOFISIOLOGI
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di
daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga
mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab
makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk
tangkai, sehingga terbentuk polip.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering
adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama
dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi
ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip.
Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terrus membesar di
antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang
berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada
rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak
adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam
kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus medial.
Polip biasanya tumbuh di daerah dimana selaput lendir membengkak akibat
penimbunan cairan, seperti daerah di sekitar lubang sinus pada rongga hidung. Ketika baru
terbentuk, sebuah polip tampak seperti air mata dan jika telah matang, bentuknya menyerupai
buah anggur yang berwarna keabu-abuan.
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung
tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat
terlihat adanya massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah
digerakkan.
Pembagian polip nasi :
- Grade 0 : Tidak ada polip
- Grade 1 : Polip terbatas pada meatus media
17
- Grade 2 : Polip sudah keluar dari meatus media, tampak di rongga hidung tapi
belum menyebabkan obstruksi total
- Grade 3 : Polip sudah menyebabkan obstruksi total
Semua jenis imunoglobulin dapat ditemui pada polip nasi, tapi peningkatan IgE
merupakan jenis yang paling tinggi ditemukan bahkan apabila dibandingkan dengan tonsil
dan serum sekalipun. Kadar IgG, IgA, IgM terdapat dalam jumlah bervariasi, dimana
peningkatan jumlah memperlihatkan adanya infeksi pada saluran napas.
Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin
merupakan mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000
konsentrasi serum. Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip adalah
Gamma Interferon (IFN-γ) dan Tumour Growth Factor β (TGF-β). IFN-γ menyebabkan
migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya bertanggungjawab atas
kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF-β yang umumnya tidak ditemukan
dalam mukosa normal merupakan faktor paling kuat dalam menarik fibroblas dan meransang
sintesis matrik ekstraseluler. Peningkatan mediator ini pada akhirnya akan merusak mukosa
rinosinusal yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap natrium sehingga
mencetuskan terjadinya edema submukosa pada polip nasi.
Fenomena bernouli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui celah yang
sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya, sehingga jaringan yang
lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga menyebabkan polip, fenomena ini
dapat menjelaskan mengapa polip banyak terjadi pada area yang sempit di kompleks
osteomatal.
Patogenesis polip pada awalnya ditemukan bengkak selaput permukaan yang
kebanyakan terdapat pada meatus medius, kemudian stroma akan terisi oleh cairan
interseluler sehingga selaput permukaan yang sembab menjadi berbenjol-benjol. Bila proses
terus membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai
sehingga terjadi Polip.
Polip sering ditemukan pada penderita:
a. Asma Bronkiale, 20-50% penderita asma mengalami polip
b. Cystic Fibrosis - Polyps terjadi sekitar 6-48% pada penderita CF
c. Rinitis Alergi
d. Allergic fungal sinusitis - Terjadi sekitar 85%
e. Rinosinusitis kronik
17
f. Primary ciliary dyskinesia
g. Aspirin intolerance - Terjadi sekitar 8-26% pada penderita polip
h. Alcohol intolerance – Terjadi sekitar 50% pada penderita polip
i. Churg-Strauss syndrome – Terjadi sekitar 50 % pada penderita Churg-Strauss
syndrome
j. Young syndrome (chronic sinusitis, nasal polyposis, azoospermia)
k. Nonallergic rhinitis with eosinophilia syndrome (NARES) – Terjadi sekitar 20 %
pada penderita NARES
2.5 HISTOPATOLOGI
Epitel normal dari kavum nasi adalah epitel kolumnar bertingkat semu bersilia. Epitel
permukaan dari sinus lebih tipis, memiliki sel goblet dan silia yang lebih sedikit bila
dibandingkan dengan kavum nasi.
Berdasarkan histologisnya terdapat 4 tipe dari polip nasi :
1. Eosinofilik edematous
Tipe ini merupakan jenis yang paling banyak ditemui yang meliputi kira-kira 85%
kasus. Tipe ini ditandai dengan adanya stroma yang edema, peningkatan sel goblet
dalam jumlah normal, jumlah eosinofil yang meningkat tinggi, sel mast dalam stroma,
dan penebalan membran basement.
2. Polip inflamasi kronik
Tipe ini hanya terdapat kurang dari 10% kasus polip nasi. Tipe ini ditandai dengan
tidak ditemukannya edema stroma dan penurunan jumlah dari sel goblet. Penebalan
dari membran basement tidak nyata. Tanda dari respon inflamasi mungkin dapat
ditemukan walaupun yang dominan adalah limfosit. Stroma terdiri atas fibroblas.
3. Polip dengan hiperplasia dari glandula seromusinous
Tipe ini hanya terdapat kurang dari 5% dari seluruh kasus. Gambaran utama dari tipe
ini adalah adanya glandula dan duktus dalam jumlah yang banyak.
4. Polip dengan atipia stromal
Tipe ini merupakan jenis yang jarang ditemui dan dapat mengalami misdiagnosis
dengan neoplasma. Sel stroma abnormal atau menunjukkan gambaran atipikal, tetapi
tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai suatu neoplasma.
17
2.6 GEJALA KLINIS
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung.
Sumbatan ini tidak hilang – timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada
sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini
menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan
keluhan nyeri kepala dan rinore.
Pada anamnesis kasus polip biasanya timbul keluhan utama adalah hidung tersumbat.
sumbatan ini menetap dan tidak hilang timbul. Semakin lama keluhan dirasakan semakin
berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan sukar membuang
ingus. Gejala lain adalah hiposmia (gangguan penciuman). Gejala lainnya dapat timbul jika
teradapat kelainan di organ sekitarnya seperti post nasal drip (cairan yang mengalir di bagian
belakang mulut), suara bindeng, nyeri muka, telinga terasa penuh, snoring (ngorok),
gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
Polip menyebabkan penyumbatan hidung, karena itu penderita seringkali
mengeluhkan adanya penurunan fungsi indera penciuman. Karena indera perasa berhubungan
dengan indera penciuman, maka penderita juga bisa mengalami penurunan fungsi indera
perasa dan penciuman.
Polip hidung juga bisa menyebabkan penyumbatan pada drainase lendir dari sinus ke
hidung. Penyumbatan ini menyebabkan tertimbunnya lendir di dalam sinus. Lendir yang
terlalu lama berada di dalam sinus bisa mengalami infeksi dan akhirnya terjadi sinusitis.
Penderita anak-anak sering bersuara sengau dan bernafas melalui mulutnya.
Secara pemeriksaan mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan selaput
permukaan hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan subselaput permukaan
yang sembab.
Polip menyebabkan penyumbatan hidung, karena itu penderita seringkali
mengeluhkan adanya penurunan fungsi indera penciuman. Karena indera perasa berhubungan
dengan indera penciuman, maka penderita juga bisa mengalami penurunan fungsi indera
perasa dan penciuman. Polip hidung juga bisa menyebabkan penyumbatan pada drainase
lendir dari sinus ke hidung. Penyumbatan ini menyebabkan tertimbunnya lendir di dalam
sinus. Lendir yang terlalu lama berada di dalam sinus bisa mengalami infeksi dan akhirnya
terjadi sinusitis. Penderita anak-anak sering bersuara sengau dan bernafas melalui mulutnya.
Jadi gejala polip ini sangat beragam. Mulai dari pilek yang berlangsung lama, bersin-
bersin, hidung tersumbat yang bersifat menetap, sering mimisan, keluhan akan adanya massa
di hidung, sukar buang ingus, gangguan penciuman, bentuk hidung yang tak lagi simetris,
17
bengek atau bindeng, telinga rasa penuh, mendengkur/gangguan tidur, lendir dan rasa kering
yang terkumpul di tenggorokan, sakit kepala, dll. Kesemua keluhan itu tentu saja amat
mengganggu dan sangat mempengaruhi produktivitas hidup si penderita.
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di
hidung. Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka hidung
yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka polipoid ialah :
Polip :
- Bertangkai
- Mudah digerakkan
- Konsistensi lunak
- Tidak nyeri bila ditekan
- Tidak mudah berdarah
- Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.
17
2.7 DIAGNOSIS BANDING
Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri – cirinya sebagai berikut :
- Tidak bertangkai
- Sukar digerakkan
- Nyeri bila ditekan dengan pinset
- Mudah berdarah
- Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip dan
konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati – hati
pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa menyebabkan
vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan
hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya.
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Naso-endoskopi
Naso-endoskopi memberikan gambaran yang baik dari polip, khususnya polip
berukuran kecil di meatus media. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat
pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksan naso-
endoskopi. Pada kasus polip koanal juga dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari
ostium asesorius sinus maksila. Dengan naso-endoskopi dapat juga dilakukan biopsi
pada layanan rawat jalan tanpa harus ke meja operasi.
2. Pemeriksaan radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi water, AP, caldwell, dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara dan cairan di dalam sinus,
tetapi pemeriksaan ini kurang bermanfaat pada pada kasus polip. Pemeriksaan CT
17
scan sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus
paranasal apakah ada kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada komplek
osteomeatal. CT scan terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diterapi
dengan medikamentosa.
2.9 PENATALAKSANAAN1,2,6
- Terapi polip nasi dapat terbagi atas terapi medikamentosa dan terapi pembedahan.
Terapi medikamentosa bertujuan untuk mengurangi gejala dan ukuran polip,
menunda selama mungkin perjalanan penyakit, mencegah pembedahan, dan
mencegah kekambuhan setelah prosedur pembedahan. Terapi pembedahan
bertujuan menghilangkan obstruksi hidung dan mencegah kekambuhan. Oleh
karena sifatnya yang rekuren, kadang-kadang terapi pembedahan juga mengalami
kegagalan dimana 7-50% pasien yang menjalani pembedahan akan mengalami
kekambuhan.
- Terapi medikamentosa ditujukan pada polip yang masih kecil yaitu pemberian
kortikosteroid sistemik yang diberikan dalam jangka waktu singkat, dapat juga
diberiksan kortikosteroid hidung atau kombinasi keduanya.
- Penggunaa kortikosteroid pada pasien polip nasi dapat terbagi atas pemberian
topikal dan sistemik.
- Penggunaan kortikosteroid pada pasien polip nasi dapat terbagi atas pemberian
topikal dan sistemik. Obat semprot hidung yang mengandung corticosteroid
kadang bisa memperkecil ukuran polip atau bahkan menghilangkan polip.
- Kortikosteroid sistemik Penggunaan kortikosteroid sistemik jangka pendek
merupakan metode alternatif untuk menginduksi remisi dan mengontrol polip.
Berbeda dengan steroid topikal, steroid sistemik dapat mencapai seluruh bagian
hidung dan sinus, termasuk celah olfaktorius dan meatus media dan memperbaiki
penciuman lebih baik dari steroid topikal. Penggunaan steroid sistemik juga dapat
merupakan pendahuluan dari penggunaan steroid topikal dimana pemberian awal
steroid sistemik bertujuan membuka obstruksi nasal sehingga pemberian steroid
topikal spray selanjutnya menjadi lebih sempurna.
- Antibiotik Polip nasi dapat menyebabkan obstruksi dari sinus yang berakibat
timbulnya infeksi. Pengobatan infeksi dengan antibiotik akan mencegah
perkembangan polip lebih lanjut dan mengurangi perdarahan selama pembedahan.
Pemilihan antibiotik dilakukan berdasarkan kekuatan daya bunuh dan hambat
17
terhadap spesies staphylococcus, streptococcus, dan golongan anaerob yang
merupakan mikroorganisme tersering yang ditemukan pada sinusitis kronik.
- Tindakan pengangkatan polip dapat digunakan menggunakan senar polip dan
anestesi lokal. Untuk polip yang besar dan menyebabkan kelainan pada hidung,
memerlukan jenis operasi yang lebih besar dan anestesi umum.
Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid :
1. Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari, kemudian
dosis diturunkan perlahan – lahan (tappering off).
2. Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc, tiap 5 – 7
hari sekali, sampai polipnya hilang.
3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat untuk rinitis
alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan pengobatn kortikosteroid per
oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil, sehingga lebih aman.
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip (polipektomi) dengan
menggunakan senar polip. Selain itu bila terdapat sinusitis, perlu dilakukan drenase sinus.
Oleh karena itu sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus paranasal untuk melihat
adanya sinusitis yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu, pada pasien polip dengan
keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus dan adanya perdarahan pembuatan foto sinus
paranasal tidak boleh dilupakan. Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan dengan senar
polip setelah pemberian dekongestan dan anestesi lokal. Pada kasus polip yang berulang –
ulang, perlu dilakukan operasi etmoidektomi oleh karena umumnya polip berasal dari sinus
etmoid.
Etmoidektomi ada dua cara, yakni :
1. Intranasal
2. Ekstranasal
2.10 PROGNOSIS1
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu
ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rinitis alergi
adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi. Secara medikamentosa,
dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa dekongestan yang berbentuk tetes hidung
yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala
yang berat dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara
17
desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan.
BAB III
KESIMPULAN
1. Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan sumbatan
pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.
2. Etiologi polip di literatur terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu
pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinitis
alergi.
3. Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya
riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata, adanya
sekret hidung.
4. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak, bertangkai, mudah
digerakkan, tidak ada nteri tekan dan tidak mengecil pada pemberian vasokonstriktor
lokal.
5. Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif maupun operatif, yang
biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari pasien
sendiri.
6. Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan yang
lebih besar untuk rekuren. Sehingga kemungkinan pasien harus menjalani polipektomi
beberapa kali dalam hidupnya.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000
2. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan Kelainan
Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000
3. Judarwanto W. Polip Hidung. Children Allergy Center. September,5 2010. Diunduh
dari http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2010/09/05/polip-hidung/ pada
tanggal 8 oktober 2010.
4. Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 – 114. Penerbit Media
Aesculapius FK-UI 2000
5. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1989
6. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea &
Febiger 14th edition. Philadelphia 1991.