A. Kontemplasi
Perjuangan isu disabilitas masih mengalami timbul tenggelam dalam agenda
setting kebijakan pemerintah baik pusat dan daerah. Telah banyak peraturan baik
tingkat pusat dan daerah yang mengatur pemenuhan hak disabilitas, akan tetapi
implementasi di lapangan terlihat sekedar menggugurkan kewajiban para
penyelenggara pelayanan publik. Efekivitas dan dampak dari pemenuhan hak belum
optimal dirasakan kelompok disabilitas.
Bahwa saat ini ada sekitar
3.000 disabilitas di Kota
Surakarta1. Setiap hari mereka
akan bersinggungan dengan
pelayanan publik, dari jalan
raya, pelayanan perkantoran,
pendidikan, layanan kesehatan
dan hampir semua bentuk
pelayanan publik barang, jasa dan administrasi. Meskipun angka Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) Kota Surakarta mengalami fluktuatif, akan tetapi hal ini
layak tetap mendapatkan prioritas dalam rencana pembangunan Pemkot Surakarta
untuk memenuhi hak kesetaraan bagi mereka bukan sekedar menggugurkan kewajiban
pemerintah.
Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang mendeklarasikan sebagai kota
ramah difable. Salah satu implementasinya adalah memberi ruang pada proses
perencanaan. Selain itu Kota Surakarta menjadi pusat rehabilitas difabel.
Sayangnya aksesbilitas kaum difabel dalam menikmati kesetaraan masih jauh
dari harapan.
1 Harian Solopos, 20 Agustus 2013
Vol. I / September 2013
2
B. Analisis Konteks : Kebijakan dan Komitmen Daerah
Keberadaan Perda No. 2/2008 tentang Kesetaraan Difabel adalah jaminan atas hak bagi kelompok disabilitas di Kota Surakarta. Dalam implementasinya, telah ada petunjuk pelaksanaan yang dituangkan dalam Perwali No 9/2013.
Pelayanan publik di Kota Surakarta dengan segudang penghargaan yang telah diraihnya ternyata belum dirasakan memuaskan bagi kaum disabilitas. Tahun 2013 kali ini, Kota Surakarta juga tengah mengejar penghargaan kota ramah difabel Internasional. Akan tetapi masih ada hal-hal kecil yang masih ada kurang optimal.
Isu disabilitas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Pemerintah Kota Surakarta dalam analisis isu-isu strategis tidak mengemban kebutuhan disabilitas. Dalam Analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities and Threats) bidang fisik sarana dan prasarana dalam RPJMD Kota Surakarta Tahun 2010-2015 tidak menyebutkan secara gambalang mengenai pemerataan dan terpenuhinya aksesbilitas fisik bagi kaum disabilitas pada bangunan-bangunan umum. Namun, Pemerintah Kota Surakarta cenderung memprioritaskan analisis pertumbuhan ekonomi dan branding image dari sisi tata ruang kota demi menarik minat investor dan wisatawan.
Dari sisi anggaran, juga nihil anggaran bagi difabel dalam program prioritas Musyawarah Rencana Pembangunan Kota (Musrenbangkot) 2013, menjadi salah satu indikator hal tersebut.
Perda Kota Surakarta No 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel telah mengamanatkan bahwa penyandang disabilitas berhak memperoleh kesempatan yang setara dalam pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintah daerah, rehabilitasi dan pembangunan fasilitas layanan umum. Pelayanan hak difabel yang pertama adalah aksesibilitas fisik.
Aksesibilitas fisik sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 11 huruf a Perda No 2 Tahun 2008 meliputi pelayanan yang terkait dengan perencanaan dan peruntukan pembangunan kawasan kota serta fasilitas publik.
Tidak perlu jauh-jauh kita melihat fakta di lapangan mencari contoh pro disabilitas dalam aksesibilitas pada bangunan umum atau jalan umum serta angkutan umum. Kondisi bangunan unit pelayanan publik di salah satu kompleks Balai Kota Surakarta ternyata sangat jauh dari potret ramah disabilitas. Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menjadi cerminan dari ketidakberdayaan Pemkot Surakarta memenuhi hak disabilitas untuk mendapatkan kesetaraan dalam menikmati fasilitas layanan publik.
3
C. Hasil Kajian : Kualitas dan Kepuasan Survei CLeM (Community Led Monitoring) PATTIRO Surakarta pada tiga
bidang layanan dasar, di unit layanan administrasi kependudukan kepuasan
masyarakat paling rendah dibanding dua bidang layanan lainnya menyangkut
ketersediaan sarana pelayanan bagi kelompok berkebutuhan khusus.
Hasil survey CLeM (Community Led Monitoring) yang dilakukan oleh
PATTIRO Surakarta bersama komunitas mitranya mendapati hasil temuan bahwa
bidang layanan di administrasi kependudukan 53% pengguna layanannya merasa
belum merasakan pelayanan yang memadai dalam hal penyediaan fasilitas bagi
kelompok khusus. Penyedia layanan jasa administrasi kependudukan di tingkat
kecamatan yang menjadi unit lokasi survei ini turut mengakui bahwa mereka belum
mampu mengimplementasikan layanan khusus seperti amanat pasal 29 Undang-
Undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Kondisi bangunan kantor
Dispendukcapil Kota Surakarta yang
berada di lantai 2 gedung BPMPT
sangat menyulitkan bagi penyandang
disabilitas. Selain Perda dan Perwali
Kota Surakarta tentang kesetaraan
disabilitas, Undang-Undang No 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik yang kemudian juga diturunkan oleh Kota Surakarta dalam Perda Pelayanan
Publik Kota Surakarta No 12 Tahun 2012 memperkuat amanat adanya pelayanan
khusus bagi masyarakat kelompok rentan tak lain adalah disabilitas, lansia,
perempuan hamil dan anak-anak.
Seharusnya telah tersedia dengan baik adanya akses jalan masuk kursi roda
berupa ramp ramp yang dapat digunakan oleh penyandang disabilitas dengan kondisi
infrastruktur ramp yang memang layak dan aman digunakan, baik itu di bangunan
publik lingkup Balai Kota maupun kantor pemerintahan di kecamatan dan kelurahan.
Selain ittu belum adanya petunjuk dengan tulisan Braille masih menyulitkan
penyandang disabilitas mengakses informasi pelayanan, toilet yang sensitif terhadap
para kelompok berkebutuhan khusus nampak belum ada, padahal hal-hal seperti ini
4
juga bagian dari pelayanan publik yang masyarakat butuhkan tanpa adanya
diskriminasi.
Kondisi sarana prasarana yang ada diperparah dengan pelayanan petugas yang
belum pro disabilitas. Keterbatasan kemampuan SDM yang mampu melayani
tunawicara, tunarungu dan akses informasi bagi tuna netra membuat sulit penyandang
disabilitas menyambangi lokasi unit layanan untuk menyelesaikan urusan
kependudukannya seorang diri. Asas kemandirian seperti yang dirumuskan oleh
Perda Kesetaraan Difabel menjadi tidak terpenuhi, karena penyandang disabilitas
menjadi belum mampu melepaskan diri dari lingkungan keluarga dan lingkungan
masyarakat ketika mereka datang ke lokasi pelayanan publik.
D. Analisis Hasil Kajian
Faktor sebab dari temuan di atas, adalah sebagai berikut : 1. Sikap penyelenggara layanan publik yang memahami makna pelayanan
publik hanya masih diperuntukan bagi non-disabilitas. 2. Pelaksanaan pembangunan fisik fasilitas pelayanan publik melupakan
aspirasi dan kebutuhan penyandang disabilitas. Pemerintah kita masih memfokuskan penilaian pada desain arsitektur dan rancang bangun yang layak bagi kepentingan orang normal dengan mengambil sudut pandang orang normal.
3. Masih minimnya pelibatan penyandang disabilitas dalam studi kelayakan proyek dan analisis dampak lingkungan bersama pemerintah dan investor atau pemenang tender proyek.
4. Alokasi anggaran yang masih sangat minim bagi aksesibilitas penyandang disabilitas.
E. Rekomendasi
Melihat dari hal di atas, maka direkomendasikan kepada Pemerintah Kota Surakarta untuk :
1. Ke depan dalam membuat rencana pembangunan gedung pelayanan publik, termasuk salah satu diantaranya kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil agar ditempatkan dalam lantai 1 dan mudah diakses oleh semua kalangan, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus.
2. Pembangunan gedung pelayanan publik tersebut wajib menyediaan pelayanan khusus, yakni loket-loket pelayanan yang hanya digunakan
5
untuk melayani kelompok berkebutuhan khusus, ramah dan memudahkan akses mereka dalam pelayanan publik.
3. Perwali No 9 Tahun 2013 sebagai Petunjuk Pelaksanaan Perda Kesetaraan Difabel harus implementatif. Pasal 3 dalam Perwali tersebut, menyangkut aksesibilitas fisik, pengadaan sarana dan prasarana umum yang menunjang disabilitas harus betul-betul dapat dilaksanakan oleh seluruh penyelenggara pelayanan publik dan tata pemerintahan Kota Surakarta.
4. Pasal 6 Perwali Kesetaraan Difabel juga harus implementatif betul, aksesibilitas fisik menjadi syarat mengajukan IMB terutama bangunan yang diakses oleh publik.
5. Perlu segara melakukan langkah-langkah memaksimalkan aksesibilitas bagi disabilitas perlu dilakukan dalam agenda ke depan, yakni dengan pelibatan kelompok disabilitas perlu untuk dilakukan demi mendengar aspirasi, pengalaman dan kebutuhan mereka. Hal ini telah diamanatkan dalam Pasal 30 dan 31 Perwali Kesetaraan Difabel, bahwa penyandang disabilitas diikutsertakan dalam Musrenbang dan perencanaan pembangunan aksesibilitas fisik.
6. Branding image adalah penting, akan tetapi hal yang terpenting adalah melaksanakan perencanaan yang matang dan berpihak pada semua pihak.
Didukung oleh:
Top Related