KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah
melimpahkan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah yang berjudul “Pluralisme
Agama dan Budaya” dengan tepat waktu.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk lebih mengkaji dan memperdalam pengetahuan kita
tentang kemajemukan dan keberagaman agama, sebab-sebab munculnya pluralisme agama, dan
beberapa bentuk pluralisme agama islam di Indonesia, termasuk di dalamnya organisasi Islam
yang ikut mewarnai kemajemukan agama Islam di Indonesia.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Suyadi yang telah memberikan kesempatan bagi
kami untuk mengkaji materi ini. Semoga kesediaan tersebut mendapat berkah dan balasan yang
berlipat ganda dari Allah SWT. Amin. Terimakasih juga kami ucapkan kepada pihak-pihak
yang telah membantu demi terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca yang budiman sangat
diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Jikalau di dalam makalah ini terdapat
kebenaran dan kegunaan, semua itu berasal dari Allah Subhanahu Wata’ala. Sebaliknya, jika
terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan, semua itu karena kekurangan dan keterbatasan
kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita.
Yogyakarta, 23 Februari 2013
Penyusun
PLURALISME
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa
kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain.
Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial
yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu
pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.
Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan
keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis,
kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar
Istilah pluralisme merupakan sebuah istilah yang banyak didengar dewasa ini. Banyak ilmuwan
dan Pemikir yang membahas dan memasarkan istilah ini kepada masyarakat. Menurut mereka
paham ini sangat cocok di kembangkan di Indonesia, dikarenakan kondisi masyarakatnya yang
plural (sangat beragam dalam segala hal terutama agamanya). Menurut Adnin Armas, Paham
ini mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Kebenaran adalah milik bersama. Dalam
setiap agama terdapat kebenaran. Banyak jalan menuju kebenaran. Oleh sebab itu, Islam
bukanlah satu-satunya jalan yang sah menuju kepada kebenaran.
Karena bukan Islam jalan satu-satunya kebenaran, maka paham ini menjamin apapun
agamanya pasti akan membawanya menuju Tuhan yang berakhir mendapatkan syurganya.
Yang menyebabkan seseorang masuk syurga bukan apa agamanya tapi apa kebaikan yang telah
dia perbuat. Semakin banyak seseorang berbuat baik maka akan semakin besar peluang dia
mendapatkan syurga, tak peduli apapun agamanya. Diantara orang yang mempunyai pemikiran
seperti itu adalah Prof. Dr. Munir Mulkhan, dia menyatakan : “Jika semua agama memang
benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri, terdiri banyak pintu
dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat
memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan
dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari
sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.
Sementara itu MUI mempunyai pendapat lain mengenai paham ini. Melalui fatwanya yang
dikeluarkan dalam MUNAS ke 7 tahun 2005, MUI telah dengan tegas menyatakan bahwa
Pluralisme merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan melarang
kepada segenap umat Islam untuk mengikuti apalagi mengamalkan paham ini. Argumentasi
MUI melarang paham ini adalah ayat-ayat al Qur’an, seperti “barang siapa yang mencari agama
selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu), dan dia diakhirat
termasuk orang-orang yang merugi” . Dan “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah
hanyalah Islam”. Dan “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku”.
Selain ayat al Qur’an argumentasi lainnya adalah Hadits Rosulullah saw. Imam Muslim (w 262
H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan hadits Rosulullah saw : “Demi zat yang
menguasai jiwa Muhamad, tidak ada seorangpun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar
tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang
aku bawa, kecuali ia mati akan menjadi penghuni neraka.”. Begitu juga Nabi mengirimkan surat-
surat Dakwah kepada orang-orang non muslim, antara lain kaisar Heraklius, Raja Romawi yang
beragama Nasrani, al-najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang
beragama Majusi, dimana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam (Hadits Riwayat Ibnu
Sa’ad dalam al-Thabaqat al-Kubra dan imam al Bukhari dalam Shahih al Bukhari).
PLURALISME AGAMA
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan
penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-
lainan pula:
Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-
satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun
dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar. Sebagai
penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim
kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih.
Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.
Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk
mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar
agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama. Dan sebagai sinonim untuk
toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai
pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda.
Pandangan Islam Terhadap Pluralisme
Hubungan islam dan pluralisme memiliki dasar argumentasi yang kuat. Menurut Nurcholish
Majid hal itu berangkat dari semangat humanitas dan universalitas Islam. Yang dimaksud
dengan semangat humanitas adalah Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah) atau dengan
kata lain cita-cita Islam sejalan dengan cita-cita manusia pada umumnya. Dan misi Nabi
Muhammad adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, jadi bukan semata-mata
untuk menguntungkan komunitas islam saja. Sedangkan pengertian universalitas islam dapat
dilacak dari term al-islam yang berarti sikap pasrah pada Tuhan . dengan pengertian tersebut,
semua agama yang benar pasti bersifat al-islam. Tafsir al-islam seperti ini bermuara pada
konsep kesatuan kenabian dan kerasulan, yang kemusiaan dalam urutannya membawa kepada
konsep kesatuan umat yang beriman.
Islam secara tegas memandang pliralisme sebagai suatu keniscayaan dan bahkan secara positif
menyikapinya. Bukti normatif lain yang ditunjukan Nurcholish adalah terdapatnya gagasan ahl
al-kitab dalam al-quran, yaitu konsep
Pandangan Pluralisme menurut Islam.
Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah
mutlak untuk dijalankan(Pluralitas). Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama
adalah sama (pluralisme), artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah
Tuhan yang kalian sembah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menentang paham pluralisme dalam
agama Islam. Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan
oleh kalangan Muslim itu sendiri. Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah
dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya
diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan
sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada.
Di Indonesia, salah satu kelompok Islam yang mendukung pluralisme agama adalah Jaringan
Islam Liberal. Di halaman utama situsnya terulis: "Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih, Tuhan
Penyayang, Tuhan segala agama."
Hakikat Pluralisme
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama,
kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah
keinginan untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu
munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta
penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan
mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap
agamanya yang paling benar.
Inilah hakikat ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di Dunia Islam melalui
berbagai cara dan media. Dari ide ini kemudian muncul gagasan lain yang menjadi ikutannya
seperti dialog lintas agama, doa bersama dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide pluralisme
didukung oleh kebijakan Pemerintah yang harus mengacu pada HAM dan asas demokrasi.
Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga negara untuk beragama, pindah
agama (murtad), bahkan mendirikan agama baru.
Di Balik Gagasan Pluralisme
Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejumlah
faktor. Dua di antaranya adalah: Pertama, adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama
bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan
keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan.
Menurut kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering memicu terjadinya
kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antarpemeluk agama. Karena itu, menurut mereka,
diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif dan berpotensi
memicu konflik.
Kedua, faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di
dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia,
pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang
digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.
Karena itu, jika ditinjau dari aspek sejarah, faktor pertama bolehlah diakui sebagai alasan awal
munculnya gagasan pluralisme agama. Namun selanjutnya, faktor dominan yang memicu
maraknya isu pluralisme agama adalah niat Barat untuk makin mengokohkan dominasi
Kapitalismenya, khususnya atas Dunia Islam.
Pluralisme Basis Relativisme
Kebenaran dogma menjadi salah satu perbincangan dalam masalah pluralisme agama. Truth
claim terhadap dogma agama yang dipeluk para penganut agama-agama seakan mengusik
kaum pluralis, sehingga kaum pluralis menganjurkan kepada pemeluk agama untuk menganut
paham ini. Tetapi kaum pluralis sendiri memaknai pluralisme masih dalam perdebatan.
Pluralisme yang ada di Indonesia memiliki beberapa tipe, pada satu sisi mengandung nilai-nilai
toleransi, pada sisi yang lain mengandung nilai relativisme bahkan, sampai pada tingkat
nihilisme. Doktrin relativisme beramula dari Protagoras sorang sofis yang berprinsip bahwa
manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things). Doktrin relativisme
hanya mengandalkan akal manusia maknanya agama hanyalah tradisi. Agama tidak layak
dijadikan patokan/standarisasi nilai-nilai kebenaran yang absolute. Kaum relativis berkeyakinan
yang absolute hanya Tuhan, jadi kebenaran agama hasil tafsiran manusia adalah relative dan
tidak absolut.
Agama (Tuhan) memiliki keabsolutan kebenaran dan dan jika agama memasuki akal manusia,
maka wahyu tersebut akan menjadi pemikiran keagamaan, maka pemikiran tersebut
(representasi manusia tentang agama) adalah relatif sebab manusia sifatnya relatif.
"Disamping itu, ternyata kita juga menyaksikan bagaimana penafsiran atas sebuah agama
(baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian upaya mempersamakan dan
mempersatukan dibawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontradiktif. Pada gilirannya
agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sehari-hari."
Padahal dalam agama Islam keabsolutan itu bisa sampai tingkat manusia, sebab manusia di
bekali wahyu, akal, rasul atau khabar shadiq. Dan akidah adalah bagian dari khabar shadiq yang
diriwayatkan rasulullah kepada sahabat-sahabatnya dan turun kepada ulama-ulama. Bisa kita
bayangkan jika di dunia ini semua relatif, maka hadis nabi yang menganjurkan untuk mencegah
kemungkaran tidak akan berlaku lagi, sebab semua relatif, baik dan buruk standarnya akal
manusia.
Pluralisme berkaitan erat dengan relativisme kebenaran, sedangkan relativisme memandang,
bahwa semua keyakinan keagamaan, idiologi, dan pemikiran filosofis, sama-sama mengandung
kebenaran dan memiliki posisi yang sederajat. Jadi tidak ada kebenaran yang mutlak yang dapat
ditemukan dalam suatu agama karena memiliki kapasitas yang sama.
Pluralis-relativisme adalah gagasan yang menekankan, bahwa perbedaan dan kemajemukan
adalah prinsip yang tertinggi. Pemahaman pluralisme mengharuskan manusia menghormati
semua bentuk keanekaragaman dan perbedaan, dengan menerima hal tersebut adalah bentuk
dari menerima realitas yang sebenarnya. Dalam sikap seorang pluralis bukan hanya berhenti
pada pluralitas, tetapi menurut Nurcholish Madjid dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban
menyatakan bahwa sikap menerima pluralitas dengan sikap menerima pluralisme.
"….kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak
Tuhan. Jika dalam Kitab Suci disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai-(Q., 49:13), maka pluralitas itu
meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu system nilai yang memandang secara positif-opimis
terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan itu...."
Maka dalam konteks ini Nurcholish Madjid mengajak umat Islam menerapkan prinsip kenisbian
kedalam. Prinsip untuk melepas klaim kemutlakan kebenaran, sehingga persaudaraan dapat
dibangun antar umat manusia. Melalui semangat persaudaraan diharapkan dapat mengubah
perbedaan-perbedaan sehingga dapat menjadi sumber positif dalam berlomba-lomba menuju
kebaikan. Kemudian, melalui persaudaraan sikap saling menghormati akan tumbuh sehingga
menghargai perbedaan antar umat dalam kehidupan masyarakat akan terwujud, sebab
perbedaan antar umat beragama adalah hanya terletak pada ritual keagamaan dalam
mengekspresikan patuh dan tunduk kepada Allah Yang Maha Pencipta.
Hal ini juga sesuai dengan pernyataan dari Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua PP
Muhammadiyah, menyatakan, ”sekali pemahaman akan wahyu memasuki akal manusia, siapa
pun manusia itu, ia akan memasuki wilayah kenisbian. Tidak boleh diklaim sebagai suatu
kebenaran. Akal manusia tidak akan sampai mengetahui hakekat kebenaran. Sehingga,
konsekwensinya juga tidak bisa mengetahui hakekat kebatilan. Akhirnya tidak boleh
mengatakan bahwa apa yang diyakini oleh seseorang benar atau batil. Begitu juga keyakinan
Ahmadiyah tidak bisa dikatakan sesat atau batil.
Menurut Syamsul Hidayat Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, pernyataan Ahmad
Syafii Maarif akan sangat menyiksa manusia dan menjadikan kekacauan kehidupan manusia,
sebab tidak ada kejelasan antara benar dan salah, ma`ruf dan mungkar, tauhid dan syirik,
kesesatan dan petunjuk. Padahal banyak ayat-ayat al-Quran dan al-Sunnah yang menjelasankan
tentang kriteria al-Haq dan al-Bathil, tauhid dan syirik, baik dan buruk. Kemudian Syamsul
Hidayat mengatakan Kesadaran akan relativitas akal, justru agar akal tunduk kepada mutlak
kebenaran wahyu yang disajikan secara jelas oleh Al-Quran dan Sunnah kepada akal manusia.
Artinya relativitas akal tetap disertai dengan kapasitas untuk mencapai kebenaran dan
kebatilan secara pasti, serta tunduk kepada ketentuan wahyu. Jika umat Islam sudah tidak lagi
percaya kepada kriteria tauhid, syirik, atau umat agama yang lain tidak percaya terhadap baik,
buruk, benar salah, petunjuk dan kesesatan dan lain sebagainya yang disebutkan dalam al-
Quran dan al-Sunnah atau dalam agama selain Islam di kitabnya masing-masing yang dianggap
menjadi panduan ajaran agama, padahal dua kitab al-Quran dan al-Sunnah sebagai pedoman
umat Islam, kemudian tidak dianggap benar, kalau begitu apalagi yang bisa dijadikan
pedoman?
Kaum pluralis yakin bahwa agama-agama adalah bentuk jalan menuju Tuhan. Menurut Budhy
Munawar Rachman, jalan menuju Tuhan itu adalah satu, tetapi jalurnya banyak, atau jalur
menuju keselamatan adalah memang banyak dan Tuhan memanivestasikan dalam bentuk yang
beraneka ragam dan bukan hanya pada satu jalan. Beliau juga mengutip ayat al Quran surat Al-
Hujurat [49]:10. menurut beliau ayat ini menerangkan tentang perintah Allah untuk saling
kompromi, saling take and give, dan tak ada yang boleh mengklaim sebagai yang paling benar.
Pluralisme, masih menurut Budhy Munawar Rachman, tidak dapat dipahami hanya dengan
mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam tetapi pluralisme harus disikapi
dengan teologia religionum (teologi agama-agama) dengan tujuan memasuki dialog
antaragama. Kemudian Budhy Munawar Rachman dalam bukunya Islam Pluralis Wacana
Kesetaraan Kaum Beriman menjelaskan, bahwa pendekatan terhadap agama-agama adalah
melalui tiga jalur yaitu dengan sikap eksklusif, inklusif dan paralelis.
Argumentasi pluralisme memakai Al-Hujurat [49]:10 untuk persatuan persaudaraan lintas
agama adalah penafsiran yang penuh hawa nafsu. Padahal dalam Ali `imran ayat 19 sangat
jelas, bahwa jalan menuju Allah hanyalah Islam. Bagi yang tidak melaksanakan keislaman
berarti kafir. Islam secara teologis bersifat eksklusif sedangkan dalam bermuamalat,
bersosialisasi dengan masyarakat adalah inklusif. Tidak ada larangan untuk menjalin hubungan
dengan masyarakat selama tidak merugikan. Sebab nabi juga bersosialisasi dengan masyarakat
non muslim.
Makna pluralis dan pluralisme kaum pluralis selalu meyamakan. Senada pengkaburan tersebut
Alwi Shihab juga berpendapat, Berbicara pluralisme artinya bukan satu, tetapi plural, banyak.
Dan banyak itu artinya berbeda, karena tidak ada yang sama. Maka kita harus bisa menghargai
pendapat orang lain, kemudian juga beliau berpendapat bahwa pluralisme itu respect terhadap
pendapat orang lain dan tidak memaksakan kehendak kelompok yang berbeda dengan kita tapi
yang seharusnya adalah saling interaksi dengan baik saling menghormati khususnya idiologi
agar terciptanya afinitas (daya gabung/hubungan erat)[xvi] akan tetapi kalimat ini sangat
kontradiksi dengan kalimat berikutnya. Alwi Shihab diakhir tulisannya menulis. "....nilai-nilai
pluralisme dalam Islam itu sangat kental, maka kita harus mengembangkan nilai-nili pluralisme
ini untuk menghormati pendapat orang lain dan tidak memaksakan pendapat
kita...."sebetulnya pada kalimat "maka kita harus mengembangkan nilai-nilai pluralisme" adalah
merupakan kalimat untuk memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Kemudian juga Alwi
Shihab juga menulis "Mari kita kembangkan budaya ini, dan saya kira dari dulu dan akan
berlanjut terus, bahwa salah satu nilai penting dalam NU adalah inklusifisme" kalimat ini
sebenarnya bentuk kalimat yang tidak toleran terhadap orang-orang yang mempertahankan
eksklusifisme, padahal dalam Islam tidak terdapat istilah tersebut. Teology Islam adalah
eksklusif sekaligus inklusif dalam kehidupan sosial.
2. Pluralisme Berbasis Nihilisme
Tipe pluralisme basis nihilisme adalah bahwa jika semua agama adalah sama benar maka logika
terbaliknya adalah tidak ada kebenaran dalam semua agama. Sehingga Ludwig Feuerbach
menunjukkan esensi agama terletak pada manusia sehingga Feuerbach memaknai agama
hanyalah gambaran akan keinginan manusia yang tak terbatas, yang dibentuk oleh manusia
tentang dirinya sendiri dan tidak lebih dari proyeksi hakikat manusia.
Agama itu hanya merupakan perwujudan cita- cita: “Ilusi religius yang terdiri dari suatu objek
bersifat imanen pada pikiran kita menjadi lahiriah, mewujudkannya, mempersonifikasikannya.
”Atribut- atribut Ilahi merupakan perwujudan dari predikat- predikat manusiawi, yang tidak
sesuai dengan individu manusia sebagai individu, Allah yang kekal, itulah akal budi manusia
dengan coraknya yang bersifat mutlak yang sekali lagi merupakan hasil proyeksi manusia.
Agama merupakan kesadaran yang tidak terhingga.
Jadi Tuhan tidak lebih daripada manusia: dengan kata lain, ia adalah proyeksi luar dari hakikat
batin manusia sendiri. Bisa juga dikatakan bahwa Tuhan ada dalam tiap manusia, dan manusia
adalah bentuk luar dari Tuhan. Tuhan bukan lagi Zat Yang Mahakuasa tapi merupakan akal
kolektif manusia. Sarana komunikasi Tuhan bukan memlalui wahyu melainkan dalam bahasa
nasional. Manusia tidak butuh dengan Tuhan (Zat Yang Mahakuasa) sebab manusia dapat
menyelesaikan masalah dunia tanpa dengan Tuhan. Jika demikian berarti manusia tidak butuh
agama, sebab manusia adalah proyeksi atau gambaran Tuhan itu sendiri. Jika manusia adalah
Tuhan apa fungsi agama bagi manusia? Sehingga demikian manusia tidak butuh agama. Dan
agama-agama yang ada hanyalah aturan-aturan yang tidak bermakna.
Selain Feuerbach dengan ateisme antropologisnya maka Karl Marx dengan ateisme sosio-politis
bahwa agama itu candu bagi masyarakat (religion is the opium of the people). Pendapat Marx
ini adalah menerangkan bahwa dengan adanya agama maka struktur masyarakat tidak sehat.
Agama menurut Marx adalah hanya khayalan membuat manusia terlena. Agama bagaikan
eskapisme untuk keluar dari dunia nyata ke dunia khayalan. Agama singkatnya adalah sesuatu
yang tidak riil.
Pada tipe ini menyatakan bahwa, kebenaran sejatinya tidak ada, sebab dari pemahaman
tentang kebenaran adalah sama benarnya. Karena kebenaran sama benarnya atau bisa jadi
semua kebenaran adalah sama salahnya, itu berarti kebenaran itu tidak ada. Selain itu juga
kaum pluralis menganggap bahwa toleransi jika tidak dibarengi dengan sikap pluralisme itu
bukanlah sikap toleransi sejati. Seorang pluralis sejati memaknai pluralisme dengan kesamaan
dan kesetaraan dalam segala hal, termasuk beragama. Setiap pemeluk agama harus
memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Kaum pluralis juga beranggapan bahwa
umat beragama jika tidak mengaplikasikan pluralisme dalam keagamaanya berarti toleran atau
intoleran terhadap pemeluk agama yang lain.
Kaum pluralis juga berusaha untuk menghilangkan otoritatif teolog, ulama dan lain sebagainya,
sebab mereka beranggapan akal kolektif manusia yang berhak untuk memaknai sesuatu. Hal ini
sesuai dengan pendapat Musdah Mulia disaat di wawancarai oleh Najwa Shihab di Metro TV 21
April 2010. Menurut Musdah Mulia bahwa yang berhak menafsirkan dan mendefinisikan agama
adalah elemen masyarakat dan kesepakatan bersama, kemudian juga Musdah beranggapan
bahwa Islam harus sesuai dengan Pacasila, UUD 1945, Prinsip NKRI dan prinsip-prinsip Bhinneka
Tunggal Ika sebab Islam berada di Indonesia. Dari ungkapan beliau ini jelas bahwa nilai-nilai
agama direduksi menjadi nilai kebangsaan, nilai-nilai agama diganti dengan kesepakatan
bersama.
3. Pluralisme Basis Theosofis
Theosofis merupakan organisasi aliran kebatinan, wadah studi, dan pemahaman mengenai
kebijaksanaan Ilahi yang tersirat di alam raya ini. Menurut Artawijaya yang menulis Gerakan
Theosofi di Indonesia, bahwa antara Freemasonry dan theosofi adalah satu tujuan dan hanya
beda nama. Inti ajaran dari theosofi adalah agama apapun selama menjunjung tinggi
kemanusiaan dan menebarkan kebajikan adalah pada hakekatnya sama. Tidak ada yang lebih
tinggi kedudukannya dari pada kebenaran. Inilah ajaran teosofi dalam memandang agama.
Bahkan dalam lambang theosofi terdapat motto organisasi yang berbunyi, "There is no Relegion
Higher Than Truth", atau dalam bahasa sangsekerta, "Satyan Nasti Paroh Darma" yang berarti
"Tidak ada agama yang lebih tinggi daripada Kebenaran" dari motto organisasi ini bermakna
masing-masing agama tidak bisa mengklaim bahwa agamanyalah yang mutlak benar (absolute
truth claims). Karena menurut mereka kebenaran tidak berbentuk tunggal dan kebenaran
terdapat dalam agama-agama selama menjalankan kebaikan dan kebenaran. Dan inilah yang
menjadi dasar para penggiat pluralisme agama di Indonesia. menurut kaum theosof bahwa
setiap kehidupan dan makhluk di alam ini ada zat Tuhan yang menyatu serta alam dan seisinya
bukanlah diciptkan melaikan terpancar dari zat Tuhan. Jadi dari tiap individu manusia memiliki
zat Tuhan yang bersemayam dalam hati dan jantung manusia.
Gerakan theosofi yang dirumuskan Dr. Anie Besant salah satunya adalah Membentuk suatu inti
persaudaraan universal kemanusiaan, tanpa membeda-bedakan ras (bangsa), kepercayaan,
jenis kelamin, kasta atau warna kulit. Kata-kata ini seakan indah tetapi memiliki tujuan yang
berbeda. Padahal dalam Islam persaudaraan berdasarkan keimanan dan ditegaskan kembali
dalam QS Al-Mujadalah: 22.
Diantara sarjana Muslim Indonesia yang terpengaruh dengan ide-ide Theosofi adalah
Komarudin Hidayat. Disalah satu karyanya beliau menulis:
"Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun masing-
masing tradisi agama memiliki bahasa dan bungkus yang berbeda-beda. Karena perbedaan
bungkus inilah maka kesulitan, kesalahpahaman dan perselisihan antar pemeluk agama
seringkali muncul ke permukaan. Pada tahap ini, agama muncul dengan ragam wajah dan
ragam bahasa sementara kita cenderung melihat perbedaannya ketimbang persamaanya."
Jika dicermati kalimat diatas, bahwa Komaruddin Hidayat meyakini bahwa kebenaran dapat
ditemukan pada setiap agama. Keberagaman agama-agama hanyalah bentuk bungkus, kulit luar
dan tradisi yang berbeda dari tiap agama-agama, akan tetapi isi ajaran agama adalah sama.
Kemudian masih dalam buku yang sama, Komaruddin mengatakan, "secara empiris adalah
suatu kemustahilan jika kita mengidealisasikan munculnya kebenaran tunggal yang tampil
dengan format dan bungkus tunggal, lalu di tangkap oleh manusia dengan pemahaman serta
keyakinan yang seragam dan tunggal pula." Di sinilah Komaruddin menyangsikan akan adanya
sebuak kebenaran dalam bentuk tunggal. Keberagaman tersebut merupakan kebenaran. Dan
kebenaran terdapat pada tiap-tiap sesuatu yang tidak tunggal. Dan ini berarti beliau meragukan
kebenaran agama Islam dan kesempurnaan ajaran.
Selain Komaruddin Hidayat adalah Zuhairi Misrawi Intelektual Muda NU dan Ketua Moderate
Muslim Society. Dalam tulisannya di Kompas mengatakan.
Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan
keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi
kekuatan untuk membangun harmoni. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi
sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya, pluralisme dan
sinkretisme sangat tidak identik.
Disini Zuhairi Misrawi mengajak untuk sadar terhadap perbedaan dan keragaman merupakan
fitrah manusia. Disinilah kerancuannya, yaitu Zuhairi sendiri tidak sadar bahwa, yang menjadi
fitrah adalah pluralitas bukan pluralisme. Disinilah terjadi pengkaburan makna antara
pluralisme dan pluralitas. Kemudian Zuhairi juga menulis.Fatwa keagamaan berupa penyesatan
dan pengharaman terhadap kelompok minoritas dalam intra-agama sepanjang tahun 2009 juga
menjadi tantangan serius. Fatwa tersebut dapat digunakan untuk melakukan tindakan hukum
yang dapat dianggap sebagai diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kelompok minoritas.
Fatwa tersebut kerap kali dijadikan sebagai landasan untuk melarang kegiatan dan
memejahijaukan mereka dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan
KUHP Pasal 156a tentang penodaan agama. Di samping itu, kelompok minoritas harus
mendapatkan perlakukan tidak manusiawi oleh sekelompok masyarakat yang tidak
beridentitas, baik penyerangan maupun pengusiran.
Disini tampak jelas bahwa Zuhairi menolak fatwa MUI terhadap Ahmadiyah, Lia Eden atau
aliran-aliran sesat yang lainnya, bahkan Zuhairi mendukung keberadaannya. Sebab pemikiran
Zuhairi lahir dari keyakinannya bahwa tidak ada truth claim. Masing-masing orang bebas
mengekpresikan keyakinannya dalam beragama. Setiap individu memiliki pendapat akan
kebenaran. Hal ini searah dengan ajaran theosofi yang mengajarkan bahwa manusia sejati
adalah kebenaran dan kebenaran menurut theosofi tidak dapat dimonopoli. Setiap orang
mempunyai kebenaran dan kenyataan sendiri.
4. Pluralisme Bukan Toleransi
Jika pluralisme ini dianggap sebagai cara bertoleransi terhadap penganut agama lain, maka
Diana L. Eck membantah pendapat tersebut dalam tulisannya What is Pluralisme," Nieman
Reports God in the Newsroom Issue" bahwa pluralisme tidak hanya bermakna toleransi, tetapi
merupakan pencarian secara aktif guna memahami aneka perbedaan (the encounter of
commitments) alias mengharapkan kesamaan dalam agama-agama. Hal ini juga senada dengan
Syafi`i Anwar, Direktur International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) mengatakan bahwa
"Pluralisme itu mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Selain itu, yang
terpenting, bukan sekadar menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain.
Dan sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan
inheren dengan hak asasi manusia," selain itu juga masih menurut Syafi`i Anwar, Konsep
pluralisme yang tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada penghormatan (respect)
kepada yang lain (the others),
Dalam konsep Islam mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, tetapi tidak sampai pada
tingkat pembenaran terhadap teologinya. Islam tetap mengakui kesalahan teologi agama yang
lain bahkan sampai tingkat mengoreksi, tetapi Islam juga tidak memaksakan mereka untuk
untuk masuk Islam. Islam juga membiarkan agama selain Islam untuk melaksanakan ritual
agamanya, selama tidak mengganggu agama Islam. Ini berarti Islam tidak mentolerir persamaan
agama (lakum dinukum wa liyadin).
KESIMPULAN
Islam tidak memandang pluralitas sebagai sebuah perpecahan yang membawa kepada
bencana. Islam memandang pluralitas sebagai rahmat yang Allah turunkan kepada makhluk-
Nya. Dengan pluralitas, kehidupan menjadi dinamis dan tidak stagnan karena terdapat
kompetisi dari masing-masing elemen untuk berbuat yang terbaik. Hal ini membuat hidup
menjadi tidak membosankan karena selalu ada pembaruan menuju kemajuan.
Pandangan islam yang lebih luwes dalam memaknai pluralitas menjadikan warna-warni dalam
khasanah keilmuan islam.Nurcholis majid selaku tokoh yang sangat konsisten dalam pluralitas
mencoba mengaplikasikan suatu paham dimaa dia menganggap bahwa tidak perlu di indonesia
ini di berlakukan syariat islam karena Pancasila pun sudah memiliki nafas islam.
Dari sisi perkembangan dan perluasan, ekonomi harus tetap ada pada beberapa kelompok
kekuatan ekonomi yang terdapat dalam masyarakat. Sebagaimana yang telah disinggung
seperti dalam masalah-masalah diatas, pluralisme berusaha menyamakan permasalahan agama
dengan perkara-perkara politik, ekonomi dan partai. Sehingga dari situ mereka berkesimpulan
bahwa dalam segala aspek sosial diperlukan pluralitas, oleh karenanya hal itu harus
dimunculkan dan dikembangkan.
ANALISIS
Menurut kami Pluralisme, sebagaimana dalam berbagai fenomena dan pemikiran
memiliki sifat antara komoderatan dan keadilan, keseimbangan dan juga mempunyai sisi yang
ekstrim, baik sisi yang melebih-lebihkan pluralitas atau sisi yang mengurang-ngurangkan
pluralitas. Sifat keadilan dan keseimbangannya lah yang dapat memelihara hubungan antara
kemajemukan, perbedaan, dan pluralitas itu sendiri. Sementara itu perpecahan dan kekacauan
ditimbulkan oleh sikap ekstrim memusuhi yang tidak mengakui dan memiliki faktor pemersatu.
Indoesia sebagai negara yang majemuk,yang sangat beragam di segala aspek
kehidupan.Adanya sikap toleransi dan sikap saling menghormati dalam kehidupan masyarakat
sangat di perlukan,sebagai lem perekat dari unsur-unsur pluralisme.Pada dasarnya pluralitas
terdapat disegala aspek kehidupan,sama halnyadalam pluralitas dalam islam.pluralitas dalam
islam disadari atau tidak itu merupakan khasanah pengetahuan dalam islam, asal tidak ada
“klaim kebenaran”yang dapat memperuncing perbedaan antar golongan.
SARAN
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan
penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain
pula.
Al-Qur’an dalam memberikan pendidikan kesadaran terhadap pluralisme agama
terhadap umat manusia diantaranya tampak dari sikap-sikapnya sebagai berikut:
1. Mengakui eksistensi agama lain.
2. Memberi hak untuk hidup berdampingan saling menghormati pemeluk agama lain.
3. Menghindari kekerasan dan memelihara tempat-tempat beribadah umat beragama lain.
4. Tidak memaksakan kehendak kepada penganut agama lain.
5. Mengakui tentang banyaknya jalan yang dapat ditempuh manusia dan pemerintah
berlomba-lomba dalam kebajikan.