PERLAWANAN TERSAMAR ORGANISASI PETANI
(Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani)
HERU PURWANDARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER TULISAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perlawanan Tersamar Organisasi
Petani: Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tesis ini dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2006
Heru Purwandari
NIM: A152030071
ABSTRAK
HERU PURWANDARI. Perlawanan Tersamar Organisasi Petani: Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani. Dibawah bimbingan LALA M. KOLOPAKING, sebagai ketua komisi dan FREDIAN TONNY sebagai anggota.
Terbentuknya organisasi petani seringkali merupakan wujud respon petani
terhadap kondisi ekonomi, sosial dan politik yang dihadapi. Disadari bahwa pilihan paradigma pembangunan sebuah rezim pemerintah pada faktanya turut menyumbang hambatan struktural pengorganisasian petani di tingkat komunitas. Namun demikian adakalanya muncul organisasi petani yang tetap bertahan dalam tekanan struktural yang ada. Respon atas masalah tersebut dikembangkan melalui pengorganisasian dengan menerapkan karakter organisasi yang unik sesuai dengan konteks sosio-ekonomi dan politik dan karakter pemerintah. Untuk memahami karakter organisasi petani dan strategi yang dikembangkan dalam menghadapi permasalahan sosial, ekonomi dan politik diperlukan rumusan pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian diarahkan pada pertama, bagaimana, mengapa dan dalam kondisi apakah organisasi petani terbentuk; kedua , karakter pengorganisasian petani; dan ketiga, karakter perlawanan petani.
Tujuan studi ini adalah memahami perkembangan gerakan rakyat yang diartikulasikan melalui pembentukan organisasi. Konteks gerakan sosial tampak menonjol dalam penelitian ini. Melalui gambaran tersebut, dapat dipahami proses dinamika petani pada komunitasnya ketika dihadapkan pada kepentingan supra lokal, bahkan kepentingan global. Pemahaman karakter organisasi petani menjadi dasar menganalisis karakter perlawanan petani dalam merespon situasi/permasalahan yang ada.
Gambaran realitas sosial dianalisis dengan menggunakan teori kritis dalam ranah interpretatif-kritis. Dalam paradigma kritis, pilihan ini merupakan pilihan metodologis. Dengan dukungan teoritis, secara kritis realitas sosial ditarik pada satu kesimpulan yang berupaya memahami makna dibalik realitas/fenomena sosial. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan tiga alur kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data.
Petani sebagai entitas sosial dihadapkan pada tekanan struktural yang menghambat gerakan transformasi sosial. Ketertindasan petani yang dialami dalam bidang sosio -ekonomi dan politik memberikan peluang terbentuknya organisasi. Kompleksitas masalah yang dihadapi petani dalam fase tertentu sampai pada upaya pengorganisasian petani. Dalam hal ini konteks sosio -ekonomi dan politik bersifat sebagai kendala berorganisasi disatu sisi, dan tampak mendominasi alasan pembentukan organisasi petani disisi lain. Aspek penting pembentukan organisasi terkait erat dengan upaya memperkuat posisi dan kedudukan petani. Menilik permasalahan yang muncul, wajar ketika respon diwujudkan dalam pilihan karakter organisasi. Tidak heran ketika pendekatan yang dikembangkan oleh organisasi petani adalah strategi pengembangan komunitas (CD). Permasalahan petani yang lebih banyak meliputi permasalahan ekonomi menuntut bentuk organisasi yang dapat mengakomodir kebutuhan tersebut. Muatan respon atas pola relasi yang eksploitatif harus dikompromikan dengan kebutuhan yang bersifat praktis. Ciri organisasi produksi yang lebih
mengarah pada production center oriented merupakan respon organisasi atas permasalahan nyata petani. Pilihan strategi diatas sejatinya dimaksudkan untuk menghindari resistensi dari pemerintah.
Production-center development telah menjadi paradigma pembangunan selama 30 tahun terakhir. Kritik terhadap paradigma di atas lahir dalam bentuk pendekatan CD. Sayangnya CD menciptakan ketergantungan pada struktur elit dan program, adanya dominasi elit serta upaya mengintegrasikan petani menuju kapitalis yang tinggi. Disamping itu, CD bersifat mempertahankan kestabilan komunitas dan menghindari adanya perubahan sosial dan gerakan sosial. Melihat kenyataan demikian, organisasi petani yang dijadikan studi kasus mengembangkan paradigma baru pengembangan komunitas yang lebih berparadigma people-center development. Upaya ini dilakukan dengan cara membangun kemandirian dan kedaulatan petani. Dalam prakteknya, pilihan paradigma people-center development dilakukan dengan strategi community development. Perbedaan CD awal dengan CD sebagai strategi yang mengarah pada people-center development terletak pada dampak yang dihasilkan. CD sebagai strategi tidak menciptakan ketergantungan melainkan berupaya memperjuangkan akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang ada.
Gambaran di atas sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa petani berupaya mencari cara-cara tertentu untuk dapat mencapai tujuan organisasi. Perlawanan terhadap paradigma yang berkembang dilakukan dengan menggunakan taktik tersamar. Perlawanan tersamar ini mengindikasikan strategi terselubung yang digunakan petani untuk mencapai agenda organisasi. Perlawanan tersamar merupakan model gabungan antara mempertahankan kemapanan sosial dan upaya melakukan dekonstruksi sosial. Melawan dilakukan di bawah payung slogan-slogan pembangunan pemerintah sambil mendefinisikan kembali slogan tersebut kedalam pengertian paradigma yang lebih berorientasi pada people-center oriented
Key words: Perlawanan Tersamar, Gerakan Sosial Petani, Organisasi Petani, People-Center Oriented
ABSTRACT HERU PURWANDARI. A Disguised Resistence of Farmer Organization: Understanding Farmer Social Movement. Under the advisory of: LALA M. KOLOPAKING, as the head of commision and FREDIAN TONNY, as a member.
The establishment of farmer organization usually represents farmer’s response to the economic, social and politic al condition they faced. It is known that the government regime’s development paradigm, in fact, contributes to set a structural barrier in organizing the farmers at a community level. However, sometimes there are farmer organizations that still exist amidst the structural pressures. The response to that problem is developed through organizing, by applying a unique organization character that conforms to socio-economic and political context of the state. In order to understand such character as well as the strategy of farmer organization, a research question is needed. The research question is directed to; first how, why and in what condition that the farmer organization is established; second farmer organization character; and third farmer resistance character.
The aim of th is study is to understand the development of people movement that is articulated trough the formation of organization. Social movement context is clearly emphasized in this research. From such description, it can be understood farmer dynamics in their community when they are faced supra local interest or even global interest. An understanding toward farmer organization character serves as a basis in analy zing the character of farmer’s resistance in response to the situation/problems.
The social reality is analyzed using critical theory in the interpretative-critical domain. In the critical paradigm, this choice is a methodological choice. With this theoretical support, social reality is concluded within an effort to understand the meaning behind the social reality or social phenomenon itself. Data is analyzed using three-way activity, i.e.: data reduction, presentation, and conclusion or data verification.
Farmer as a social entity is faced to a structural pressure that obstructs the social transformation movement. Farmer oppression in the socio economic and politic al condition gives an opportunity to form an organization. The complexity of farmers’ problems –at a certain level- is reaching a stage where farmer organizing is needed. In that case, socio economic and political context hindered the organizing effort in one side, but on the other side it also dominated the reason of the farmer’s organization formation. The important aspect of the organization formation is the effort to strengthen farmers’ position and status. Referring to the problems, it is only natural that the farmers’ response is manifested in the choice of organization’s character. Therefore, it is no wonder that the farmer is approaching with a community development (CD) strategy. Farmer problem that mostly is economic one, demand a form of organization that is able to accommodate such need. A respond to exploitative relation is loaded with a compromise to practical needs. The character of production organization that is directed to the production center orientation is a response to the real problems.
The above strategy is chosen, basically, to prevent a resistance from the government.
Production oriented development have become the development ideology for the last 30 years. A critique toward this paradigm is community development (CD) approach. Unfortunately, CD creates dependency to the elite structure and program, elite domination and effort to integrate farmer to high capitalistic condition. Besides that problem, CD maintains community stability and avoid s social change and movement. Looking to this fact, farmer organization that became a case study develops a new paradigm for the community development, which more adhere to the people center development. This effort is manifested by establishing a self govern, farmer authority. In practic e, the choice of people center development paradigm is manifested in community development strategy. The difference between the earlier CD with the CD as the strategy that oriented to the people center development lies on the result. CD as the strategy is not resulting dependency, but achieving an access and control to the resources.
The explanation above intents to show that farmer is achieving certain ways to reach organization goals. A resistance to a dominating paradigm is done through a hidden tactic. This disguised resistance indicates a hidden strategy that is used by the farmers to reach organization agenda. The disguised resistance is a model of alliance between maintaining social existence and the effort to a social deconstruction. Resistance has been done under the government development propaganda while doing the redefinition of the propaganda into a more oriented people center paradigm.
Key words: Disguised Resistance, Farmer Social Movement, Farmer Organization, People-Center Oriented
PERLAWANAN TERSAMAR ORGANISASI PETANI (Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani)
HERU PURWANDARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2006
Judul Tesis : Perlawanan Tersamar Organisasi Petani: Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani Nama : Heru Purwandari NIM : A152030071 Program Studi : Sosiologi Pedesaan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS. Ir. Fredian Tonny, MS. Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. MT. Felix Sitorus, MS. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian: 21 Desember 2005 Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bantul, 24 Mei 1979 sebagai putri pertama dari
keluarga Bapak Ngadiman dan Ibu Muji Kartini. Kehidupan penulis semasa kecil dihabiskan di Bogor bersama orang tua dan tiga orang adik. Pendidikan sarjana ditempuh pada program studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Ju rusan Sosial Ekonomi Pertanian - IPB dan tamat pada tahun 2000. Atas dukungan Pusat Kajian Agraria (PKA-IPB), pada tahun 2003 melanjutkan pendidikan magister sains pada program studi Sosiologi Pedesaan dan di semester ke-3 memperoleh beasiswa BPPS dari DIKTI.
Ketertarikan penulis pada dunia riset mengantarkannya pada aktivitas penelitian. Persinggungan dengan kerja riset telah dimulai sejak penulis masih berada di bangku kuliah. Sejak tahun 2002 penulis tercatat sebagai peneliti pada Pusat Kajian Agraria-IPB dan telah melakukan penelitian yang terkait dengan tema-tema agraria. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan diantaranya adalah Analisis Kebijakan Pertanahan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional, Pengkajian Pemberdayaan Ketahanan Pangan Masyarakat, Negotiating Land Rights and Natural Resource Regulations for Local People:The Role & Effectiveness of Federations, The Importance of Agrarian Issues in Addresing the Climate Change: The Case Study of Peat Land Rehabilitation in Jambi, dan lain-lain.
Keinginan selalu memperbarui ilmu pengetahuan membawa penulis pada kegiatan mengajar dan asisten pada beberapa mata kuliah. Semasa tingkat ke dua kuliah S1 penulis menjadi asisten Sosiologi Umum selama dua semester. Kemudian pada tahun 2002-2005 mengajar mata kuliah Ekologi Pertanian dan Kepemimpinan dalam Bisnis pada program D3 Sosek-Pertanian serta Sosiologi Agraria pada program studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM).
Perkenalan dengan dunia gerakan dimulai ketika penulis melakukan penelitian panjang tentang organisasi petani bersama PKA-IPB dan sejak saat itu memfokuskan perhatian pada gerakan sosial masyarakat petani dalam kerangka agenda pembaruan desa dan agraria. Harapan kedepan tentang agenda pembaruan adalah memberikan kerja yang bermakna sebagai sumbangsih bagi tercapainya transformasi sosial. Semoga penulis mampu mengabdikan diri sebagai seorang intelektual organik.
PRAKATA
Hanya karena ijin Allah SWT tesis ini selesai pada waktunya. Alhamdulillahirobbil’alamiin. Tesis ini mengambil tema gerakan petani dengan judul Perlawanan Tersamar Organisasi Petani: Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani. Disadari oleh penulis bahwa tesis ini diselesaikan dalam masa-masa paling sulit kehidupan penulis. Hanya kesabaran yang menjadi kunci selesainya tesis ini.
Terimakasih disampaikan kepada dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing penulis hingga sampai pada tahap akhir penulisan tesis. Dr Lala M. Kolopaking atas kepercayaan serta arahan bagi perbaikan dan penyempurnaan kerangka analisis dan Ir. Fredian Tonny, MS atas diskusi-diskusi yang selalu baru dan berarti dalam pengembangan tesis.
Terimakasih juga disampaikan kepada Pusat Kajian Agraria (PKA-IPB) yang memberi kesempatan penulis untuk terlibat dalam penelitian organisasi petani sekaligus dukungan ketersediaan dana penelitian lapang. Kerja keras ini tidak akan terwujud tanpa motivasi dan dorongan pihak -pihak yang memiliki ketertarikan terhadap isu gerakan petani dimana masing-masing menyumbang hal yang berbeda bagi tesis ini, diantaranya adalah: 1. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc sebagai dosen penguji. Terimakasih atas
kesediaan waktu dan masukan yang sangat berharga bagi kesempurnaan tesis 2. Dr. Satyawan Sunito atas diskusi intensif yang selalu membuka wawasan
penulis melihat sisi lain dari gerakan petani di Indonesia 3. Peneliti senior dan yunior di Pusat Kajian Agraria-IPB atas pengalaman yang
berharga dalam mengembangkan sebuah penelitian, juga Pak Januar atas dukungan teknisnya
4. Rekan SPD-IPB angkatan 2003 atas kebersamaan sepanjang perkuliahan (Rokhani, Taya Toru, Witrianto, Jean, Purnomo, Jeter, Rita, Agustina, Pardamean, dan Sofyan)
5. Kawan-kawan di Salatiga, petani maupun aktivis organisasi 6. Kawan-kawan LAPERA (Mas Himawan, Kang Tukir, Ilyus, dll) atas
dukungannya Dari sudut hati yang paling dalam, dengan penuh cinta kasih penulis
menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua atas dukungan moril, pengorb anan, dan pengertian atas keterlambatan tesis ini serta adik -adikku (Lisa, Alit, Wahyu) yang selalu membuat penulis merasa berarti. Juga Mas Adi dan keluarga, terimakasih untuk pengertiannya.
Semoga tesis ini berguna bagi kerja pembaruan.
Bogor, Januari 2006
Heru Purwandari
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................xiv
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xv
PENDAHULUAN Latar Belakang .............................................................................................1 Rumusan Masalah ........................................................................................5 Tujuan Penelitian .........................................................................................5 Kegunaan Penelitian ....................................................................................5
TINJAUAN TEORITIS Tinjauan Pustaka ..........................................................................................7
Petani: Sebuah Entitas Sosial Khas .....................................................7 Gerakan Sosial: Sejarah, Perkembangan dan Mekanisme ............... 10 Perlawanan Petani ............................................................................ 16 Organisasi Petani: Respon Petani atas Kondisi Sosio -Ekonomi Politik ............................................................................................... 21
Hipotesis Pengarah .................................................................................... 32 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 33
PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian ..................................................................................... 36 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 37 Unit Analisis dan Teknik Penentuan Subyek Penelitian ........................... 38 Teknik Pengambilan Data ......................................................................... 39 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...................................................... 41 Sistematika Penulisan ................................................................................ 42
KENDALA STRUKTURAL PETANI DALAM BERORGANISASI Konteks Ekonomi-Politik Sebagai Kendala Berorganisasi........................ 46
Perjalanan Era Politik Soeharto hingga Neoliberalisme ................... 48 Kebijakan dalam Konteks Global ..................................................... 54
Konteks Ekonomi-Politik Sebagai Peluang Berorganisasi ....................... 56 Faktor Religi dan Kemunculan Sikap Progresif ................................ 58 Era Politik Reformasi Hingga Politik Kerakyatan ............................ 60
Konteks Ekonomi dan Politik Melahirk an Pilihan Bentuk Organisasi ...... 62 SPPQT Sebagai Organisasi Produksi dengan Ciri Production-Center Development ...................................................................................... 66 Apa dan Mengapa Organisasi Produksi ............................................. 67
Ikhtisar ........................................................................................................ 72
xi
KARAKTERISTIK ORGANISASI PRODUKSI SPPQT Sebagai Organisasi Rakyat ........................................................... 76
Selayang Pandang Organisasi Petani “SPPQT” ................................ 77 Kajian Embrio Organisasi ................................................................. 81 Pola Pengorganisasian yang Dikembangkan ..................................... 83 Keterkaitan Antar Aras Organisasi ................................................... 88
Kegiatan Organisasi .................................................................................. 91 Pilihan Kegiatan Sebagai Upaya Mencapai Tujuan .......................... 92 Penguatan Kapasitas Organisasi: Pertarungan antar Orientasi Kepentingan ...................................................................................... 98 Jaringan Antar Aktor .......................................................................101
Ikhtisar .....................................................................................................104
PEOPLE-CENTER ORIENTED: PILIHAN GERAKAN Mainstream Umum Paradigma Pembangunan Pertanian ........................108
Production-Center Oriented dan Dampaknya ................................110 Strategi Organisasi Petani .......................................................................112 Adopsi Atas Production-Center Oriented .......................................114 Momentum Strategi Community Development ................................116 Community Development untuk Kemandirian ................................118 Dari Production ke People-Center Oriented ..........................................119 Production dan People-Center Oriented : Sebuah Perbandingan ... 120 Ikhtisar .....................................................................................................124
PERLAWANAN TERSAMAR ORGANISASI PETANI Gerakan Transformasi Petani................................................................... 127 Mempertanyakan Secara Kritis Paradigma Pembangunan Pertanian ..........................................................................................132 People-Center Oriented Sebagai Agenda Utama Organisasi .........133 Agenda Besar Organisasi: Gerakan dan Mekanisme Pencapaian ...........136 Organisasi Petani Sebagai Perlawanan Petani ........................................138
Tipe Musuh dan Pilihan Model Perlawanan ................................... 139 Karakter Perlawanan Model People-Center Oriented ...................141
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan .............................................................................................146 Implikasi Kebijakan ................................................................................149
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................151
LAMPIRAN .................................................................................................... 155
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Matriks Tipe Gerakan Sosial ........................................................................ 14
2. Matriks Tipe Gerakan Sosial Menurut Aliran Neo-Marxian Perancis ......... 16
3. Perbedaan Ciri Organisasi Anggota Serikat Sebelum dan Sesudah
Tahun 1998 ................................................................................................... 75
4. Pilihan Penelusuran Paguyuban dan Kelompok Petani ............................... 77
5. Sebaran Anggota SPPQT Berdasarkan Kawasan ......................................... 86
6. Perbedaan Ciri Organisasi Tiap Aras ........................................................... 89
7. Perbandingan Community Organization dan Community Development .... 122
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Matriks Kebutuhan Data ............................................................................ 156
2. Panduan Pertanyaan Wawancara Paguyuban ............................................. 157
3. Kuesioner Terbuka ..................................................................................... 159
4. Peta Lokasi SPPQT di Salatiga, Jawa Tengah ........................................... 162
5. Peta Persebaran Anggota Organisasi Petani ............................................... 163
6. Kerangka Kerja SPPQT Sampai Tahun 2004 ............................................ 164
7. Kegiatan SPPQT per Divisi dan Capaian Target Tahun 2004 ................... 168
8. Partisipasi dalam Teori dan Praktek Pembangunan ................................... 176
9. Pengalaman dalam Proses Pengumpulan Data di Lapangan ...................... 177
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pemikiran dalam Pendekatan Masalah ........................................ 34
2. Tahapan Proses Pembentukan dan Pilihan Strategi Pendekatan .................. 65
3. Alur Perkembangan Embrio SPPQT ............................................................ 83
4. Perkembangan Sejarah SPPQT .................................................................. 105
5. Revolusi Hijau dalam Kerangka Paradigma Developmentalisme ............. 111
6. Momentum Community Organizing dan Community Development .......... 116
7. Pertarungan Paradigma Pembangunan Pertanian dalam
Merespon Permasalahan Petani .................................................................. 125
8. Perbedaan Tipe Perlawanan Sebelum 1998 dan Setelah 1998 ................... 139
DAFTAR SINGKATAN
AD Anggaran Dasar ADB Asian Development Bank APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ART Anggaran Rumah Tangga Aswaja Ahlussunah wal Jamaah BPD Badan Perwakilan Desa BTI Barisan Tani Indonesia BUMN Badan Usaha Milik Negara CD Community Development CO Community Organization Depdiknas Departemen Pendidikan Nasional DPD Dewan Perwakilan Daerah FGD Focus Group Discussion GDP Gross Development Product GNP Gross National Product GNRHL Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan HAM Hak Asasi Manusia HGU Hak Guna Usaha HKTI Himpunan Kerukunan Tani Indonesia IMF International Monetery Fund IOF Integrated Organic Farming IPB Institut Pertanian Bogor JSTS Jaringan Studi Transformasi sosial KCK Koperasi Candak Kulak KK kepala Keluarga KPA Konsorsium Pembaruan Agraria KTH Kelompok Tani Hutan KTNA Kelompok Tani Nelayan Andalan KUB Kelompok Usaha Bersama KUD Koperasi Unit Desa LBH Lembaga Bantuan Hukum LSM Lembaga Swadaya Masyarakat NADIKA Nadwah Dirosah Islam Kemasyarakatan NGO Non Government Organization NU Nahdlatul Ulama Perdes Peraturan Desa PERTANU Persatuan Tani Nahdlatul Ulama
xvi
PHBM Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PKA Pusat Kajian Agraria PKI Partai Komunis Indonesia PKK Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga Poktan Kelompok Tani PPL Petugas Penyuluh Lapang PRA Participatory Rural Appraisal SDA Sumberdaya Alam SK Surat Keputusan SP Strategic Planning SPPQT Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah TKI Tenaga Kerja Indonesia TKW Tenaga Kerja Wanita TNC’s Trans-national Corporations TNMM Taman Nasional Merapi-Merbabu UU Undang-Undang UUPA Undang Undang Pokok Agraria WAD Woman And Development WID Woman In Development WTO World Trade Organization YDM Yayasan Desaku Maju
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Posisi tawar petani terhadap pemerintah atau swasta akan lebih kuat ketika
kelembagaan dibangun di tingkat komunitas. Berangkat dari pernyataan di atas,
pengorganisasian petani menjadi sebuah keharusan untuk mengantarkan petani
pada posisi yang lebih setara. Kajian historis tentang petani dan organisasi
menunjukkan bahwa keduanya tidak dengan mudah dicari keterkaitan analisis.
Penelitian memfokuskan pada keterkaitan diantara dua konsep tersebut. Peluang
keterhubungan dapat muncul ketika petani menghadapi kondisi yang memicu
proses pengorganisasian petani.
Berbagai tulisan yang melukiskan sejarah gerakan sosial pedesaan,
khususnya gerakan petani, telah berupaya mencari penjelasan rasional tentang
latar belakang munculnya gerakan petani. Mengapa petani pedesaan yang jauh
tinggal di wilayah pedalaman dan hidup bersahaja menjadi kelas sosial yang
sangat gigih dan tak henti-hentinya melakukan gerakan perlawanan terhadap
sistem kekuasaan (Bahari, 2002). Beberapa studi yang pernah dilakukan oleh
Scott (1993) dan Popkin (1986) di pedesaan Asia mengenai gerakan petani di
masa kolonial, menunjukkan tiga faktor utama yang menimbulkan kemarahan
kaum petani pedesaan, yaitu perubahan struktur agraria, meningkatnya eksploitasi,
dan kemerosotan status sosial.
Sebagai respon atas permasalahan struktural, masing-masing komunitas
mengembangkan strategi yang berbeda. Perkembangan terbaru menunjukkan
salah satu strategi yang dikembangkan adalah pembentukan organisasi petani.
Dalam kajian organisasi petani, perbedaan bentuk dan strategi organisasi terkait
dengan konteks struktur masyarakat dan permasalahan yang dihadapi. Sisi lain
yang perlu dilihat adalah berbagai kebijakan pemerintah dalam hal ekonomi dan
politik yang berakibat pada marjinalisasi petani. Faktor ini dapat menjadi
penyebab terbentuknya organisasi petani sebagai respon atas permasalahan
struktural. Britt (2003) menyumbang penjelasan bahwa pergerakan kelompok
lokal banyak dilatarbelakangi oleh karakteristik struktur masyarakat dan
2
permasalahan struktural yang terjadi di tingkat komunitas yang kemudian memicu
gerakan petani yang terpola sesuai karakteristik masyarakat yang bersangkutan.
Namun demikian, dari penelusuran lebih lanjut diperoleh fakta bahwa
dibentuknya organisasi petani tidak hanya dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi
semata. Terdapat faktor lain yang menjadi sesuatu yang penting bagi petani. Hasil
penelitian Kartodirdjo (1984) tentang pemberontakan petani Banten menunjukkan
bahwa ekonomi bukan satu-satunya pemicu gerakan sosial di kalangan petani.
Tulisan tersebut memperlihatkan bahwa perebutan kekuasaan dan perebutan
pengaruh atas masyarakat lebih menjadi penyebab gerakan sosial di Banten.
Dengan demikian aspek ekonomi, sosial, dan politik erat mempengaruhi
tumbuhnya organisas i. Bahkan dalam beberapa hal tumbuhnya organisasi petani
tidak lepas dari tujuan petani dalam mencapai kemandirian atas tiga aspek
tersebut. Keterkaitan upaya mencapai kemandirian ekonomi dengan kemandirian
dalam hal pengelolaan sumber-sumber agraria dapat ditunjukkan melalui
pembentukan organisasi tani. Kemandirian yang ingin dicapai terutama dalam
kaitannya dengan perubahan tata cara produksi. Hal tersebut sekaligus digunakan
untuk menghindari peran kapitalisme dalam proses produksi pertanian. Dengan
demikian, upaya pencapaian kemandirian petani akan terkait dengan proses
devolusi dimana peran petani lokal menjadi penting. Di negara berkembang,
pengelolaan sumberdaya alam sedang mengalami perubahan dari pengelolaan
oleh pemerintah otoritarian menjadi pengelolaan dan pengambilan keputusan oleh
masyarakat lokal. Sayangnya, proses tersebut belum diimbangi oleh konsep yang
matang tentang kelembagaan yang mendukung proses devolusi. Penjelasan ini
mendukung pernyataan bahwa kelembagaan di tingkat petani memainkan peran
penting dalam upaya mendukung kemandirian petani dalam berproduksi.
Penelusuran awal menghasilkan gambaran tentang fenomena
pengorganisasian petani yang dilakukan secara spesifik, tergantung permasalahan
yang dihadapi. Penelitian Pusat Kajian Agraria (PKA-IPB) menunjukkan dua tipe
organisasi yang dilatarbelakangi oleh persoalan konflik agraria dan persoalan
produksi. Tipe pertama menunjuk pada organisasi yang dibentuk sebagai respon
atas terjadinya konflik lahan. Sedangkan tipe kedua memperlihatkan organisasi
dengan dasar keinginan meningkatkan produksi dan gerakan pemberdayaan petani
3
untuk mencapai kemandirian. Kajian atas dua tipe organisasi di atas dipandang
penting terkait dengan keunikan karakteristik organisasi tersebut dan bagaimana
strategi masing-masing organisasi dalam mencapai tujuan organisasi yakni
menguatkan posisi tawar terhadap stakeholder lain.
Berdasarkan sudut pandang di atas, menjadi penting untuk menelusuri
perjalanan panjang kebijakan pemerintah Indonesia. Analisis politik dan kebijakan
menunjukkan bahwa selama 32 tahun terakhir, negara menggunakan topdown
approach dalam merespon persoalan-persoalan pembangunan, termasuk bidang
pertanian. Program pembangunan pertanian yang dikembangkan menghasilkan
strategi besar (grand strategy) yang menjauhkan petani dari persoalan nyata.
Revolusi hijau, misalnya hanya merespon sebagian kecil masalah petani sehingga
mewujud pada upaya melayani kepentingan elit tertentu tanpa melihat konteks
permasalahan petani. Kondisi demikian menyebabkan petani harus dihadapkan
pada tekanan permasalahan sebagai efek revolusi hijau diantaranya: persoalan
ekologis, akses terhadap sumberdaya, kesenjangan, kesetaraan peran laki-laki dan
perempuan, dan lain-lain.
Upaya menjawab permasalahan tersebut dilakukan dengan
mengembangkan bentuk pendekatan pembangunan yang melibatkan partisipasi
petani. Program yang dikembangkan lebih berbasis lokal dimana penanggung
jawab program bersama petani menganalisis kebutuhan-kebutuhan petani di
tingkat lokal. Konsep yang kemudian muncul adalah pemberdayaan dan
partisipasi yang didisain bagi keterlibatan petani. Paradigma ini lebih dikenal
sebagai CD dengan ciri bottom up approach.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan pendekatan model CD yang
berkembang tidak betul-betul menyentuh akar permasalahan petani. Kajian CD
tidak menganalisis lebih lanjut ketergantungan yang dialami petani terhadap
faktor luar. Sejauh ini, CD tidak lebih dari upaya mengukuhkan proses integrasi
petani kedalam formasi kapitalis. Pernyataan tersebut didukung oleh Hickey dan
Mohan bahwa CD masa kolonial maupun post-kolonial dimaksudkan untuk
menjaga kestabilan komunitas pedesaan dan digunakan untuk menghambat
gerakan petani, dalam upaya mempertahankan hegemoni negara (Hickey &
4
Mohan, 2005). Implikasi dari tidak tersentuhnya akar persoalan petani1 adalah
persoalan tidak pernah diselesaikan dengan tuntas. Hal ini membutuhkan respon
tersendiri dari petani. Upaya merespon permasalahan dapat dimulai dengan
membangun kemandirian petani. Penelitian ini memaparkan usaha membangun
bentuk-bentuk kemandirian petani dalam hal ekonomi, tata cara produksi dan
pengelolaan sumber-sumber agraria. Kemandirian tingkat lokal menduduki peran
penting terutama jika dikaitkan dengan keinginan menghindari intervensi kapitalis
sekaligus memutus relasi kekuasaan dominan.
Perkembangan terbaru menunjukkan respon mulai diwujudkan dalam
bentuk organisasi petani. Kemandirian petani dapat didekati melalui pembentukan
organisasi sebagai sebuah kelembagaan. Berangkat dari pernyataan di atas,
tampaknya pengorganisasian petani dalam berbagai bentuk menjadi sebuah
keharusan untuk mengantarkan petani pada posisi yang lebih setara dalam sebuah
struktur sosial. Dengan demikian, dalam upaya memperkuat posisi petani,
pembentukan organisasi petani menjadi penting d ikaji.
Tipe organisasi yang dibangun merupakan respon terhadap pendekatan
pengorganisasian komunitas desa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah.
Pemerintah menciptakan bangunan organisasi dengan menerapkan prinsip -prinsip
topdown yang tidak berpihak pada petani. Disamping itu, organisasi petani dapat
dikatakan merupakan perlawanan atas paradigma pembangunan pertanian yang
selama ini dipilih pemerintah. Keterhubungan antara permasalahan petani dan
pilihan tipe organisasi didekati dengan cara melihat karakter organisasi yang
dibangun pada masa reformasi. Secara sengaja, penelitian ini akan difokuskan
pada organisasi yang dibangun atas dasar motivasi ekonomi dan produksi untuk
memperoleh gambaran karakter perlawanan organisasi tersebut. Menarik
mengkaji tipe organisasi produksi yang menggunakan pendekatan CD yang
dipahami dalam kerangka perlawanan petani.
1 Selain permasalahan petani tidak tersentuh, pekerja yang berada di bawah paradigma community development seringkali tidak menganggap sesuatu sebagai masalah. Implikasinya, banyak dimensi persoalan petani yang menjadi laten dan sewaktu-waktu bisa manifest.
5
Rumusan Masalah
Kemunculan organisasi petani dapat menjadi bagian dari kajian teori
gerakan petani. Gerakan petani ini tidak selalu dimanifestasikan sebagai
organisasi. Berdasarkan latar belakang yang ditangkap di atas, dipandang perlu
untuk melihat persoalan benturan sosial dalam kaitan pengembangan organisasi
tani.
Pertanyaan umum penelitian dalam hal ini d iarahkan pada bagaimana
respon petani atas permasalahan sosio -ekonomi dan politik yang dihadapi sebagai
implikasi paradigma pembangunan pertanian. Sedangkan, secara khusus
pertanyaan penelitian yang ada sebagai berikut:
1. Bagaimana, mengapa dan dalam kondisi apakah organisasi petani terbentuk
sebagai respon atas permasalahan ekonomi dan politik?
2. Karakter pengorganisasian petani bagaimana yang berpeluang memberikan
solusi atas permasalahan yang ada?
3. Bagaimana karakter perlawanan petani apabila dikaitkan dengan watak
negara dan aktor global?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan studi tentang bentuk-
bentuk respon petani atas permasalahan sosio-ekonomi dan politik yang dihadapi.
Analisis sejarah dimaksudkan untuk memahami konteks ekonomi dan politik
dibalik pembentukan organisasi yang menjadi kendala petani berorganisasi,
disamping sebagai pendorong pembentukan organisasi petani. Melalui gambaran
tersebut, dapat dipahami proses dinamika petani pada komunitasnya ketika
dihadapkan pada kepentingan supra lokal, bahkan kepentingan global.
Pemahaman karakter organisasi petani menjadi dasar menganalisis karakter
perlawanan petani dalam merespon situasi/permasalahan yang ada.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk memberikan kesadaran tentang masalah-
masalah yang muncul dibalik “kesuksesan” pembangunan pada masa orde baru.
Bentuk-bentuk pendekatan pemerintah terhadap komunitas ditinjau secara kritis.
6
Ditinjau dari sisi praxis, penelitian ini menjadi penting untuk melihat sejauh mana
organisasi petani memainkan perannya dalam membangun kesejahteraan anggota
dan komunitasnya. Dalam konteks pemberdayaan lokal, studi ini memberi warna
lain bagi pemegang kebijakan bahwa inisiatif lokal harus dibangun dan diberikan
keleluasaan berkembang, sekaligus memberi kontribusi bagi terbentuknya
pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan.
7
TINJAUAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Petani: Sebuah Entitas Sosial Khas
Sosiologi pedesaan mencoba memberikan pemahaman mengenai unsur-
unsur dalam struktur sosial masyarakat pedesaan dengan ciri-ciri spesifiknya yang
meliputi ciri sosial, politik, kultural, dan ekonomis. Secara lugas ini berarti bahwa
pedesaan dengan ciri geografis dan kultural yang lebih dekat pada ciri pertanian
memberikan perhatian yang khusus terhadap posisi petani sehingga dianggap
perlu untuk memahami lebih lanjut tentang petani dalam kajian politik pedesaan.
Fokus kajian sosiologi pedesaan mencoba memberikan gambaran tentang
bagaimana unsur-unsur dalam sebuah struktur sosial memberi andil terhadap
gambaran umum petani pedesaan. Hal tersebut dimaksudkan agar gambaran utuh
mengenai kondisi yang dialami petani dapat terbaca sehingga tidak menghasilkan
penafsiran yang keliru.
Ketika pemahaman tersebut berusaha dimunculkan, maka perhatian
pertama diarahkan pada pendefinisian petani sesuai dengan konteks pedesaan
Indonesia yang memiliki ciri-ciri khusus baik dari sisi geografis, kultural,
ekonomi, politik, dan sebagainya. Beberapa diangkat dari definisi para ahli
sosiologi yang menggambarkan bagaimana petani memandang kehidupan serta
bagaimana pola-pola relasi yang dikembangkan agar bertahan dalam
kehidupannya.
Petani dalam Dimensi Struktur Sosial
Scott (1994) mengemukakan tesis bahwa petani merupakan golongan
komunitas kecil yang memiliki prinsip ‘safety first’ yang merupakan konsekuensi
dari ketergantungan ekologis yang dikembangkan petani. Prinsip ini kemudian
mempengaruhi pengaturan teknis, sosial dan moral dalam tatanan agraris pra-
kapitalis. Dalam menjalankan kehidupan ekonominya, petani subsisten akan
merasa lebih dekat dengan pola subsistennya jika memiliki sarana subsisten yaitu
sawah meskipun dalam jumlah yang terbatas. Kecenderungan menyukai
kestabilan jangka panjang mempengaruhi sikap petani dalam merespon
8
perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian dimana petani tidak akan betah
bekerja di sektor tersebut.
Kondisi demikian berangkat dari posisi petani yang masih terikat dalam
tatanan nilai-nilai feodalistik. Nilai-nilai ini lebih mendahulukan sikap nrimo
terhadap berbagai kondisi, bahkan ketika dihadapkan pada pertentangan politik.
Sikap nrimo tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan keberadaan mereka.
Petani kemudian membentuk kekuatan internal antar sesamanya sebagai perekat
menghadapi berbagai tantangan. Sistem ekonomi dikembangkan hanya dalam
lingkungan intern, misalnya biaya-biaya sosial yang dikeluarkan dalam bentuk
hajatan, bantuan untuk tetangga yang kesulitan, dan lain-lain.
Perdebatan tentang pertautan petani dalam relasi antar subyek membawa
kembali pada sudut pandang sosiologi. Kajian sosiologis menempatkan petani
sebagai bagian dari struktur masyarakat yang lebih besar. Sumbangan Scott
(1993) tentang relasi sosial yang dibangun petani dengan aktor lain melahirkan
prinsip “safety first” untuk menyelamatkan diri dari kekuatan lain.
Kritik Popkin (1986) terhadap Scott menyatakan bahwa petani memiliki
apek-aspek rasionalitas untuk menunjang kelangsungan kehidupan mereka.
Selama masih ada tingkat-tingkat ekonomi ganda, keinginan untuk maju dari satu
tingkat ke tingkat selanjutnya, dan keinginan untuk menghindari kejatuhan, para
petani akan selalu terlibat baik dalam asuransi maupun dalam perjudian yakni
investasi yang aman atau penuh resiko. Meskipun secara teoritis paparan Popkin
merupakan kritik atas tesis Scott, namun prakteknya, masih terdapat prinsip
‘mencari aman’ yang muncul dalam investasi yang dijalankan dimana petani
cenderung akan memilih investasi pribadi untuk kesejahteraan masa depan
melalui anak dan tabungan daripada berinvestasi, dan mengandalkan resiprositas
dan asuransi masa depan yang berasal dari desa.
Pemaparan tentang definisi petani membawa diskusi pada bagaimana
keterkaitan komunitas kecil tersebut dalam keterhubungannya dengan sistem
masyarakat lain dalam hal sosial, ekonomi, dan politik. Dari beberapa definisi
serta gambaran kondisi petani, ada beberapa benang merah yang dapat menjadi
arahan untuk memahami petani secara lebih lanjut terkait dengan sosial, politik,
budaya dan juga ekonomi. Pembedaan antara peisan dan farmer menarik dikaji
9
dalam konteks Indonesia tanpa melupakan ciri-ciri petani secara umum.
Pembedaan tersebut terletak pada beberapa hal diantaranya adalah orientasi
produksi; strategi hidup; nilai-nilai hidup yang dianut; sistem ekonomi; integrasi
dengan struktur sosial diatasnya baik dalam ekonomi maupun politik; dan pola
adaptasi ekologis menghasilkan struktur pertanian yang tidak seragam.
Lain halnya dengan Pearse (1968) yang melahirkan respon aktif petani
untuk mempertahankan keterlibatan dengan dunia luar. Keterhubungan petani
dengan struktur ekonomi yang lebih besar berimplikasi pada adaptasi yang
bermuara pada perubahan karakter petani. Keterlibatan petani dengan kapitalisme
mendorong petani melakukan perubahan orientasi ekonomi yang cenderung
mengedepankan aspek rasionalitas. Terkait dengan hal tersebut kemudian muncul
konsep depeasantisasi dimana petani terintegrasi kedalam sistem ekonomi
kapitalis sehingga ada perubahan pola kultural dan struktural.
Pendekatan dimensi perubahan sosial dalam meninjau perkembangan
karakter dan orientasi petani dalam tatanan sosial yang lebih kompleks
diungkapkan oleh Migdal (1974). Migdal melakukan pendekatan kajian tersebut
dari dimensi perubahan sosial. Perubahan sosial dan ekonomi diintegrasikan
kedalam teori tentang partisipasi petani dalam politik dan revolusi. Tulisan
Migdal memaparkan dengan gamblang karakter dari keterlibatan petani dalam
ruang politik. Inisiatif keterlibatan petani dalam arena politik lebih banyak
diinisiasi oleh non-petani. Dengan demikian keterlibatan petani dalam arena yang
lebih besar belum berasal dari inisiatif lokal.
Gambaran tersebut didukung oleh tulisan Friedmann (1992) tentang
peasant dalam konteks sistem ekonomi global. Tulisan tersebut memudahkan
melihat keterkaitan petani dengan sistem ekonomi dunia. Ketika petani
terintegrasi dalam ekonomi, pada saat itu ciri-ciri kehidupan petani dalam
berbagai segi akan mengadaptasikan diri sedemikian rupa sehingga perubahan-
perubahan yang muncul akan terkait dengan sistem ekonomi dan juga budaya.
Keterlibatan petani dengan kapitalisme memberikan pengaruh kepada petani
terutama dalam hal perubahan orientasi produksi, penyesuaian strategi hidup yang
dilakukan serta berubahnya nilai-nilai hidup yang dianut.
10
Meski secara gamblang dipaparkan perjalanan petani hingga sampai pada
keterkaitan dengan sistem ekonomi global, namun petani tetap menjadi entitas
yang termarjinalkan. Fenomena demikian sesungguhnya menunjukkan bahwa
petani masih berada dalam kerangka kungkungan struktural. Kondisi demikian
didefinisikan oleh Soetomo (1997) sebagai kekalahan petani.2 Kesadaran bahwa
kemiskinan petani tercipta akibat tekanan struktural mulai menguat sejak
konstelasi politik berubah dari represif menjadi terbuka. Periode ini ditandai sejak
turunnya Soeharto pada tahun 1998. Iklim reformasi membuka celah terbentuknya
organisasi petani dengan dukungan perubahan orientasi yang lebih mengarah pada
political community.
Gerakan Sosial: Sejarah, Perkembangan dan Mekanisme
Harper (1989) memahami gerakan sosial sebagai kolektifitas-kolektifitas
yang tidak konvensional dengan berbagai tingkatan organisasi yang berusaha
mendorong maupun mencegah perubahan. Asal perubahan dikemukakan oleh
Sztompka (1994) berasal dari bawah. Sebagai gerakan manifes dari bawah,
gerakan sosial ini dicirikan oleh bersatunya orang-orang untuk mengorganisir diri
dalam tujuannya membuat perubahan dalam masyarakat. Dalam perubahan sosia l,
gerakan sosial bisa menjadi penyebab, efek maupun mediator yang mempengaruhi
jalannya perubahan sosial.
Gerakan sosial mencakup komponen bertindak bersama dengan tujuan
perubahan pada masyarakat walau dengan derajat organisasi formal yang rendah
sebaliknya unsur spontanitasnya amat tinggi atau cenderung non-institusional
(Sztompka,1994)3. Dalam kerangka Hayami dan Kikuchi (1987), tindakan
kolektif ini diperlukan untuk merubah pranata atau institusi. Namun perubahan
2 Soetomo (1997) mengungkapkan bahwa kekalahan petani disebabkan oleh dua faktor; pertama, faktor alam (natural resource). Dalam hal ini mengemuka sebuah diskusi tentang perbedaan karakter yang tercipta yang muncul akibat perbedaan konteks ekologis, antara dataran tinggi dan dataran rendah. Jika dikaitkan dengan pengorganisasian, jelas terdapat hubungan antara keduanya. Kedua, faktor struktural. Terbentuknya kemiskinan struktural dipandang sebagai akibat yang dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: a) petani kecil merupakan kelompok marjinal karena keikutsertaannya dalam sistem sosial telah meletakkan mereka sebagai elemen yang dibuat bergantung tak berdaya sepenuhnya; b) pilihan-pilihan petani ditentukan oleh pihak-pihak diluar petani; c) petani terasing dari jaringan-jaringan informasi aktua l mengingat keterbatasan kemampuan kognitif mereka, sistem transportasi yang belum sempurna, dan perbedaan kultur serta posisi inferior. 3 Dalam hal ini Sztompka berbeda dengan Harper (1989), dimana menurut Harper istilah social movement terkait dengan derajat formalitas yang tinggi.
11
pranata menurut mereka tidak harus melalui transformasi mendadak dan
menyeluruh, melainkan bisa melalui penyesuaian yang terus-menerus. Definisi
gerakan sosial menggambarkan bahwa gerakan massa dalam berbagai variasi
bentuk mengisyaratkan adanya keinginan perubahan. Hoffer (1988)
mengemukakan pentingnya orang-orang yang termarjinalkan dalam
mengungkapkan ide perubahan sosial4.
Potret Gerakan Sosial
Kajian Fauzi (2005) tentang gerakan rakyat di beberapa Negara Dunia
Ketiga berhasil memotret bentuk-bentuk karakter perlawanan. Perlawanan dimulai
dengan konfrontasi terhadap dominasi pemerintah, pengusaha, atau penguasa.
Strategi yang dikembangkan adalah mobilisasi rakyat, bahkan kasus Indonesia
menunjukkan gerakan rakyat dilakukan dengan cara mengkonstruksi kembali
identitas etnis. Buku tersebut memprofilkan dinamika ringkas masing-masing
gerakan, terutama dalam 3 (tiga) pokok utama yang membingkai gerakan masing-
masing, yakni (i) tafsir atas situasi yang dimusuhi, (ii) kesempatan politik yang
memungkinkan para aktor gerakan menetapkan pilihan -pilihan strategis; dan (iii)
pilihan jenis aksi kolektif yang diandalkan para pelaku gerakan (Fauzi, 2005: 7-8).
Selain Fauzi (2005), tulisan Fakih (2000) juga mencoba menggambarkan
perlawanan terhadap pemerintah dengan melihat keterkaitan antara arus besar
model pembangunan dengan tumbuhnya gerakan sosial. Meski kajian keduanya
menyandarkan pada kasus LSM - bukan organisasi petani - sebagai sumbangan
pemikiran tentunya patut dipertimbangkan. Hanya, perlu merujuk pada kasus
organisasi petani yang berpola gerak an rakyat. Fakih menggambarkan bahwa arus
besar paradigma developmentalism turut membentuk karakter gerakan sosial
(Fakih, 2000). Developmentalism menjadi landasan gerakan sosial. Hanya saja
pada era 1970-an gerakan sosial berangkat dari upaya mencari alternatif/metode
mengimplementasikan aspek metodologis dan teknis pembangunan tanpa
pertanyaan kritik atas dasar filosofis pembangunan itu sendiri. Diskursus gerakan
sosial dalam konteks pembangunan diramaikan oleh tulisan Korten (2001) yang 4 Peranan kaum tersingkir dan kaum yang termarjinalkan dapat ditingkatkan terutama karena pemahaman mereka terhadap kekinian dalam pandangan Hoffer sangat kurang sehingga berani menghancurkan tatanan hidup yang telah mapan. Disamping itu, kenyataan bahwa didapati tidak ada/terbatas peluang untuk maju dengan struktur yang ada menambah derajat motivasi gerakan.
12
menggarisbawahi masalah pembangunan yang dalam perspektif dialektis
menunjukkan saling keterkaitan antara persoalan eksploitasi, dominasi dan
penindasan politik. Masih dalam tulisan Korten, gerakan sosial diposisikan dalam
upaya perjuangan transformasi yang menyangkut tiga persoalan dasar yakni
masalah keadilan, kesinambungan sumber daya alam, dan partisipasi. Dengan
demikian gerakan sosial menjadi prasyarat untuk melakukan transformasi hingga
mencapai alternatif pembangunan berorientasi rakyat (people-centered
development)
Kontinuum Gerakan Petani: Dari Protes ke Mobilisasi ke Organisasi
Hollnsteiner (1979) mengemukakan bahwa organisasi berangkat dari basic
needs dan basic interest. Dalam perkembangannya, pola pendekatan gerakan yang
dikembangkan akan menyesuaikan dengan kebutuhan yang dirasakan. Ketika
analisis pembentukan organisasi berangkat dari dua hal yakni basic needs dan
basic interest di atas dikaitkan dengan tulisan tentang ciri petani, tidak salah
ketika Dobrowolski (1958 dalam Shanin, 1971) mengatakan bahwa
kecenderungan manusia untuk mempertahankan eksistensinya dapat dikaitkan
dengan dua hal yaitu: human relationship dan existence of natural environment.
Ciri umum kontinuum perkembangan aksi kolektif petani yang dimulai
dari protes-mobilisasi-organisasi merupakan suatu pola adaptasi atas kebutuhan
yang ingin dicapai dan kondisi politik pada masa perlawanan. Penelusuran historis
menemukan bahwa protes, mobilisasi dan organisasi identik dengan konstelasi
politik dalam kurun waktu tertentu yang dicirikan oleh tipe penguasa. Wolf (1985)
bahkan menerangkan gerakan-gerakan protes dalam bentuk yang sederhana
dikalangan petani seringkali berpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang
lebih adil dan lebih samarata dibandingkan dengan tatanan sosial yang sekarang
bersifat hirarkis. Mitos-mitos tentang kelahiran kejayaan suatu peradaban menuju
pada pembentukan tatanan baru seringkali dapat memobilisasi kaum tani untuk
beberapa waktu menimbulkan sebuah huru hara.
Tinjauan atas berbagai literatur menunjukkan respon permasalahan petani
diwujudkan dalam tipe perlawanan yang beragam. Dalam terminologi gerakan
sosial, organisasi dipandang sebagai stadium lanjut dari aksi protes dan
mobilisasi. Gerakan protes sebagai tahap awal perlawanan lahir atas
13
ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada. Teori gerakan sosial melihat fenomena
ini sebagai respon psikologis atas kondisi tertentu. Perkembangan lanjut garis
kontinuum sampai pada upaya mobilisasi petani. Mobilisasi ini dibangun oleh
kalangan menengah pada kurun waktu 1980-an hingga 1990-an ketika petani
mulai dilibatkan dalam aksi. Keterlibatan tersebut menunjukkan satu ciri
mobilisasi dimana petani tidak memiliki inisiatif dalam membangun gerakan.
Pada kontinuum akhir, perkembangan gerakan petani bergulir pada
pendekatan baru yang melibatkan petani dalam manajemen langsung. Dalam hal
ini petani kemudian ditempatkan dalam suatu bentuk organisasi yang lebih
tersistematis dengan inisiatif yang berangkat dari orang luar maupun petani itu
sendiri. Organisasi petani dalam konteks ini merujuk pada sebuah kondisi dimana
sifat perlawanan yang muncul dimanifestasikan dalam bentuknya yang lebih
tersistematisasi. Sistematisasi gerakan diperlukan terkait dengan lawan yang
mempunyai karakter sistematis. Muara gerakan dalam bentuk organisasi
merupakan wujud adaptasi atas kebutuhan yang ingin dicapai dan situasi politik
yang dihadapi.
Pemahaman terhadap upaya mobilisasi petani pada kurun waktu tertentu
diilhami oleh sebuah dinamika yang muncul di kalangan menengah. Untuk
merespon masalah yang dihadapi, pada era ini petani telah tersadarkan namun
belum mengambil peran penting dalam manajemen gerakan. Inisiatif tindakan
aksi-demonstrasi lebih banyak muncul dari NGO. Tipe organisasi yang berangkat
dari sudut pandang kepentingan pemerintah (organisasi lokal maupun nasional
bentukan pemerintah) turut memperkuat aspek mobilisasi massa. Era mobilisasi
secara teoritis didefinisikan sebagai gerakan radikal yang didukung oleh orang-
orang diluar petani.
Mekanisme Gerakan Sosial
Menurut Harper (1989), paling tid ak terdapat empat dimensi yang dapat
dipergunakan untuk membedakan macam gerakan sosial. Dimensi pertama,
meliputi gerakan umum yang berkembang dari sentimen luas dalam masyarakat,
namun tidak terakumulasi serta memiliki tujuan yang tidak jelas dan gerakan
spesifik, memiliki tujuan, ideologi dan organisasi yang terfokus. Dimensi kedua,
terkait dengan gerakan sosial radikal yang bertujuan menciptakan perubahan
14
fundamental pada sistem, d ikonfrontasikan dengan reforma yang bertujuan
menghasilkan perubahan ringan dalam sistem. Dimensi ketiga, perbedaan gerakan
sosial instrumental bertujuan untuk mengubah struktur sementara dan ekspresif
bertujuan untuk mengubah karakter dan perilaku individu. Dimensi keempat,
gerakan sosial sayap kanan adalah gerakan yang konservatif bertujuan untuk
mengembalikan jaman keemasan di masa lalu dan sebaliknya dengan gerakan
sosial sayap kiri.
Dimensi kedua dan ketiga tersebut dapat dibuat tipologi gerakan sosial
seperti Tabel 1. di bawah ini.
Tabel 1. Matriks Tipe Gerakan Sosial
Dimensi Instrumental Ekspresif
Reforma, permutasi dari pengaturan sosial yang ada reformatif alternatif
Radikal , perubahan signifikan dari pengaturan sosial yang ada transformatif redemtif
Sumber: Harper, 1989:128
Dalam pandangan Harper (1989), terdapat tiga pendekatan yang dapat
digunakan untuk menjawab pertanyaan: bagaimana dan mengapa muncul
gerakan sosial dan kondisi apakah yang dapat merangsang gerakan sosial?.
Pendekatan pertama adalah penjelasan psikologis, dengan fokus pada karakteristik
agregat dari individu-individu yang terlibat dalam gerakan sosial. Model
penjelasan ini dibagi menjadi dua, yaitu penjelasan irasionalitas dan rasionalitas
partisipan gerakan sosial. Dalam pandangan penjelasan irasionalitas, partisipan
gerakan sosial adalah orang-orang yang mencari kompensasi terhadap rasa
frustrasi dalam kehidupan mereka. Sedangkan penjelasan psikologis yang lebih
kontemporer menyatakan bahwa, keikutsertaan dalam gerakan sosial dilandasi
oleh perhitungan rasional keterlibatan partisipan dalam gerakan sosial.
Selanjutnya dalam penjelasan psikologi sosial, munculnya gerakan sosial
terkait dengan kondisi-kondisi sosial serta disposisi psikologis. Dua penjelasan
paling populer dalam pandangan Harper adalah penjelasan deprivasi relatif5 atau
5 Penjelasan deprivasi relatif ini menjelaskan mengapa orang-orang yang terlibat dalam gerakan sosial bukan berasal dar i mereka yang paling terdeprivasi secara obyektif. Sedangkan dalam teori ketegangan status, motivasi para partisipan dalam gerakan sosial dilandasi oleh ancaman statusnya dalam masyarakat. Status sekelompok orang mulai terancam manakala kelompok yang semula terpinggirkan mulai memperoleh posisi penting dalam masyarakat.Gerakan sosial yang dilandasi oleh ketegangan status merupakan gerakan yang hendak mencegah dan mengembalikan arah sejarah masa lampau yang lebih menguntungkan partisipan
15
teori ketegangan status. Penjelasan struktural mengenai gerakan sosial lebih
menekankan upaya-upaya untuk menjelaskan perkembangan gerakan sosial,
dihubungkan dengan struktur yang lebih luas dimana gerakan tersebut
berkembang. Terdapat tiga pendekatan dalam penjelasan struktural; pertama,
penjelasan kaitan perilaku kolektif dan gerakan sosial, yang melahirkan “Value-
Added” Theory yang dikembangkan oleh Smelser. Kedua, The Resource
Mobilization Perspective. Ketiga, tradisi Marxian yang melahirkan penjelasan
aliran Peranc is tentang gerakan sosial yaitu penjelasan Neo-Marxian oleh penulis
seperti Alain Touraine dan Manuel Castells.
Berbeda dengan penjelasan perilaku kolektif (Social Movement and
Collective Behavior) yang menyatakan bahwa gerakan sosial berasal dari perilaku
massa yang spontan, pendekatan struktural berkeyakinan bahwa gerakan sosial
merupakan kelanjutan dari organisasi-organisasi yang berupaya untuk
memproduksi reforma sosial dan berupaya untuk memperoleh pengaruh terhadap
struktur masyarakat yang telah mapan. Kritik terhadap pemikiran di atas
dikemukakan oleh aliran pemikiran neo-Marxian Perancis 6.
Merujuk pandangan bahwa organisasi petani merupakan sebuah upaya
memperkuat basis sebagai jawaban atas hegemoni pusat, organisasi berbasis lokal
kemudian menjadi respon atas pola pendekatan pemerintah dan implikasi yang
ditimbulkannya. Organisasi petani juga menjadi wadah aspirasi mensikapi
permasalahan struktural yang muncul di tingkat petani. Harper (1989) meninjau
gerakan sosial demikian dengan menggunakan pendekatan struktural yang
menekankan upaya-upaya untuk menjelaskan perkembangan gerakan sosial
dihubungkan dengan struktur yang lebih luas dimana gerakan tersebut
berkembang. Pendekatan struktural menyarankan perlunya aspek ekonomi, politik
dan ideologi dalam memandang fenomena dalam masyarakat.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Hannigan dalam Harper (1989), terdapat
dua dimensi yang membentuk karakter gerakan sosial, yaitu: (1) derajat kesadaran
6 Dalam pemikiran Neo-Marxian Perancis, dengan tokoh Touraine dan Castells, berargumen bahwa konsepsi Marx tentang basis dan superstruktur tidak memadai lagi untuk menjelaskan keadaan masyarakat industri maju. Mereka kemudian mengusulkan bahwa masyarakat harus dipandang sebagai kompleks yang saling berinteraksi pada tiga tingkat, yaitu ekonomi, politik dan ideologi, dimana kontradiksi berkembang di dalam maupun antar level. Dalam pandangan pemikir Neo-Marxian, gerakan sosial dapat tumbuh dari protes-protes moral yang spontan sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur-struktur yang telah mapan. Yang membuat pemikiran Neo-Marxian Perancis ini lebih dekat dengan penjelasan perilaku kolektif adalah penekanannya pada asal gerakan sosial yang non institusional.
16
bahwa diperlukan perubahan anti-institusional, dan (2) derajat tumbuhnya
kesadaran akan identitas kelompok diantara partisipan. Dengan menggunakan dua
dimensi tersebut, Hannigan membuat sebuah matriks tentang tipe gerakan sosial
seperti terlihat pada Tabel 2. di bawah ini.
Tabel 2. Matriks Tipe Gerakan Sosial Menurut Aliran Neo -Marxian Perancis
Kesadaran Identitas Kelompok Tinggi Rendah
Tinggi Gerakan Pembebasan Sosial
Gerakan Revolusioner Kesadaran Anti- Institusional
Rendah Gerakan Kultural Gerakan reforma profesional
Sumber: Harper, 1989:141
Perlawanan Petani
Dalam konteks sosiologi agraria, struktur agraria dipahami sebagai pola
hubungan antar subyek agraria dan antara subyek agraria dengan obyek agraria
(Sitorus, 2002). Relasi agraria yang muncul melibatkan tiga aktor yakni
pemerintah, komunitas, dan swasta yang masing-masing memiliki kepentingan
yang berbeda terhadap sumber-sumber agraria (SSA). Salah satu faktor yang
menimbulkan “kemarahan” petani yakni perubahan struktur agraria yang lebih
disebabkan karena pengelolaan agraria cenderung berubah dari pengelolaan
subsisten/primitif menuju sistem pengelolaan yang berorientasi kapitalis.
Perubahan tersebut berimplikasi pada pola-pola pengelolaan agraria yang
dilakukan oleh para pengguna agraria atau subyek agraria. Dalam hubungan
agraria, subyek agraria yang dimaksud dikenakan pada tiga stakeholders yaitu:
komunitas, pemerintah dan swasta. Hubungan ketiga subyek dengan sumber
agraria memunculkan suatu pola hubungan produksi yang bentuk dan derajat
eksploitasinya terhadap komunitas tergantung dari tingkat dominasi dari salah
satu stakeholder. Hubungan demikian menghasilkan berbagai model pemanfaatan
agraria yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing
subyek agraria.
Pada berbagai komunitas, petani selalu dihadapkan pada permasalahan-
permasalahan struktural yang menggiring petani pada benturan dengan aktor-aktor
eksternal. Komunitas yang akan dikaji adalah komunitas masyarakat lahan kering
17
yang tinggal di lahan upland dengan ciri permasalahan struktural yang sama.
Petani di kawasan Salatiga menghadapi persoalan struktural terutama ketika
petani mengalami masalah dengan pasar atau ketergantungan terhadap input
pertanian yang harganya makin tinggi.
Sebagai upaya menghadapi permasalahan struktural, petani
mengembangkan pengorganisasian terkait dengan tipe permasalahan yang akan
direspon. Mengapa respon atas permasalahan struktural menjadi demikian
penting? Fakta empiris menunjukkan bahwa permasalahan struktural akan
melahirkan kemiskinan yang berangkat dari hubungan petani dengan
kelembagaan supra lokal. Dari banyak kasus juga diperoleh fenomena bahwa
hubungan agraria yang terbentuk antara petani dan pemerintah/swasta cenderung
menciptakan ketergantungan. Sebagai contoh, mengapa di Salatiga muncul
organisasi yang berbasis produksi sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi
ketergantungan petani terhadap pasar dan harga input-input pertanian yang relatif
tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa dimensi hubungan agraria menyumbang
peran yang besar terhadap terbentuknya organisasi petani.
State of the Art Gerakan Perlawanan Petani
Berbagai literatur menjelaskan permasalahan yang dihadapi kaum tani
seringkali direspon melalui perlawanan kaum tani dalam konteks gerakan sosial.
(Suhartono, 1995; Kartodirdjo, 1984; Scott, 1993; Pelzer, 1991). Kajian tersebut
berpijak pada teori gerakan sosial yang menempatkan petani sebagai pihak yang
melawan ketidakadilan yang terjadi. Suhartono (1995) menggambarkan bentuk-
bentuk protes petani melalui gerakan perkecuan atau bandit yang dari sisi
masyarakat yang termarjinalkan dianggap sebagai tindakan heroik yang
membantu masyarakat. Karakteristik utama pola perlawanan tipe ini adalah kecu
bergerak sendiri dan daerah jangkauannya masih bersifat lokal. Secara spasial,
skala operasional perbanditan lebih bersifat terbatas dan lokal, dan tidak tampak
adanya jaringan (Suhartono, 1995). Alasan dibalik perlawanan petani
dikemukakan melalui tulisan Scott (1993) sebagai respon atas tercerabutnya
prinsip subsistensi yang selama ini menjadi sandaran kehidupan petani. Hubungan
patron-klien yang memudar turut memicu perlawanan petani dan konflik vertikal.
18
Rangkaian kajian gerakan petani diramaikan oleh tulisan Kartodirdjo
(1984) tentang pemberontakan petani di Banten. Berbagai gerakan petani di
hampir semua karesidenan di Jawa memperlihatkan karakteristik yang sama.
Pemberontakan -pemberontakan itu bersifat tradisional, lokal atau regional, dan
berumur pendek7. Pada dasarnya, pemberontakan petani mengantarkan
pembahasan pada bangkitnya petani melawan tirani kekuasaan yang
membelenggu ruang gerak petani. Pemberontakan juga dimaksudkan untuk
mempertahankan nilai-nilai tradisional yang mulai diintervensi oleh nilai-nilai
kapitalisme. Dalam konteks agraria, tulisan Pelzer (1991) tentang sengketa antara
petani dan perkebunan melahirkan bentuk perlawanan yang tidak kalah menarik
dan turut menyumbang deretan perlawanan kaum tani di masa kolonialisme.
Memasuki era baru, perlawanan petani banyak dipicu oleh ketimpangan
struktur agraria yang dihasilkan oleh perbedaan kepentingan para stakeholders
terhadap sumber-sumber agraria yang ada. Tindakan represif pemerintah orde
baru menyumbang deretan kasus perlawanan petani. Meski literatur dan fakta
menunjukkan perlawanan petani pernah menjadi alat yang ampuh dalam melawan
pemerintah, namun dalam banyak hal tidak ditemukan sifat perlawanan petani
yang terorganisir dengan baik.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa kasus perlawanan petani yang
muncul menunjukkan bahwa perlawanan petani tidak serta merta terkait dengan
pengorganisasian petani. Perlawanan petani hanya sebagai simbol protes terhadap
kondisi yang ada tanpa disertai pembentukan organisasi petani sebagai basis
massa. Organisasi petani dalam bentuk yang nyata baru muncul pada periode
1952-1959 ketika muncul Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berafiliasi dengan
partai sejenis yaitu pemuda rakyat, SOBSI, Gerwani, Lekra, dan HSI untuk
bersama-sama membangun Partai Komunis Indonesia (PKI) (Mortimer,1974).
Barisan Tani Indonesia sebagai organisasi petani, seperti halnya organisasi lain
7 Sebagai gerakan sosial, pemberontakan-pemberontakan itu semuanya tidak menunjukkan ciri-ciri modern seperti organisasi, ideologi-ideologi modern, dan agitasi yang meliputi seluruh negeri. Pemberontakan lebih bersifat lokal dan tak mempunyai hubungan satu sama lain. Implikasi atas hal tersebut adalah tidak disusunnya rencana-rencana yang realistis seandainya pemberontakan berhasil. Ketidakmampuan membangun organisasi juga dipengaruhi oleh tidak terciptanya hubungan antara pemimpin agama yang saat itu menjadi pemimpin gerakan petani.
19
merupakan alat kepentingan partai yang saat itu sangat diperlukan. Dalam hal ini
kegiatan yang ada dalam BTI diarahkan pada kepentingan partai.
Gambaran organisasi petani dilanjutkan pada kurun waktu 1980-an. Pada
masa orde baru, gerakan dan organisasi petani mengalami tantangan yang keras
terkait dengan arah politik pemerintah yang bertujuan mempertahankan status
quo. Rezim orde baru melakukan pendiktean terhadap partai politik sekaligus
melakukan penggembosan terhadap kekuatan dan kemandirian organisasi massa.
Aturan tidak tertulis menyatakan bahwa semua organisasi massa harus berada di
bawah pengawasan pemerintah. Khusus untuk petani, semua organisasi dipaksa
digabung dalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sebagai upaya
pemerintah menghegemoni kekuatan petani (Firmansyah, dkk. 1999).
Pertengahan tahun 1980 mulai bangkit gerakan petani yang ditujukan pada
perlawanan. Petani mulai berkenalan dengan organisasi mahasiswa dan mulai
melakukan kegiatan aksi dan demonstrasi. Ciri gerakan pada masa ini lebih pada
kegiatan memobilisasi petani untuk aksi-aksi tertentu yang bersifat insidental
dengan tipe kegiatan demonstrasi. Fenomena tersebut berlanjut pada sekitar tahun
1997-an, kondisi politik dan moneter Indonesia turut menyumbang lahirnya
pengorganisasian di tingkat petani yang juga dipicu oleh konstelasi politik dan
kondisi moneter di Indonesia. Karakteristik organisasi pada era ini masih spontan
dan sporadis tanpa pengorganisasian yang jelas. Aksi dan demonstrasi baru
dilakukan ketika muncul permasalahan yang dihadapi petani.
Petani mengembangkan perlawanan dalam berbagai bentuk dan sesuai
dengan karakternya sebagai petani. Scott (1993) menyatakan bahwa petani dapat
melakukan perlawanan sehari-hari atas kekuasaan yang lebih besar.
Dilatarbelakangi adanya suatu konsep dasar tentang peningkatan bargaining
position ketika dihadapkan pada relasi sosial yang lebih kompleks yang menekan
petani, maka perlu ada suatu perlawanan. Definisi Scott tentang perlawanan
merujuk pada “perlawanan (resistence) penduduk desa dari kelas yang lebih
rendah adalah tiap (semua) tindakan oleh (para) anggota kelas itu dengan maksud
untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak,
penghormatan) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas
(misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk
20
mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan
hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan” (Scott, 1993).
Penjelasan definisi tersebut sampai pada pemahaman bahwa 1) tidak ada
keharusan bagi perlawanan untuk mengambil bentuk aksi bersama. 2) tujuan-
tujuan dibentuk kedalam definisi itu. 3) definisi tentang perlawanan yang relatif
longgar yang dikemukakan Scott membawa pada pengakuan terhadap bentuk
perlawanan simbolis atau ideologis (misalnya gosip, fitnah, penolakan terhadap
kategori-kategori yang dipaksakan, penarikan kembali sikap hormat) sebagai
bagian yang terpisahkan dari perlawanan berdasarkan kelas.
Berbagai literatur tentang bentuk perlawanan yang dilancarkan petani
tentang perlawanan dalam definisi Scott misalnya dikemukakan oleh (Heryanto,
2000) tentang perlawanan dalam kepatuhan sebagai protes petani dalam merespon
doktrin ideologi stabilitas kesatuan negara jaman Soeharto, atau tulisan
Samandawai (2001) tentang Mikung, sebuah komunitas yang menarik diri dari
program-program pembangunan dengan cara mendorong kemandirian di tingkat
komunitasnya.
Perdebatan tentang definisi perlawanan ini sampai pada upaya membuat
satu garis batas yang jelas antara perlawanan yang bersifat politis dengan
perlawanan sehari-hari. Apabila kedua perspektif ini digabungkan, akan tampak
sebuah dikotomi antara perlawanan sesungguhnya di satu pihak dan “tanda-tanda
kegiatan” yang bersifat insidental, bahkan epifenomenal. Perlawanan yang
sesungguhnya, bersifat 1) terorganisasi, sistematis, dan kooperatif. 2) berprinsip
atau tanpa pamrih, 3) mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan/atau 4)
mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi itu
sendiri. Dengan penjelasan di atas, ada kecenderungan untuk menegaskan bahwa
perlawanan yang bersifat politis harus diwujudkan dalam bentuk yang lebih
sistematis.
Masih dalam buku yang sama, Scott (1993) kemudian memaparkan tanda-
tanda sebuah organisasi yang bersifat insidental yaitu: 1) tidak terorganisasi, tidak
sistematis dan individual, 2) bersifat untung-untungan dan ‘berpamrih’ (nafsu
akan kemudahan), 3) tidak mempunyai akibat -akibat revolusioner, dan/atau 4)
dalam maksud dan logikanya mengandung arti penyesuaian dengan sistem
21
dominasi yang ada. Ciri perlawanan tipe ini ketika dikonfrontasikan dengan tipe
perlawanan yang bersifat politis seolah -olah memperlihatkan kenyataan bahwa
tipe perlawanan yang bersifat epifenomenal - tipe perlawanan kedua - tidak
mempunyai arti apa-apa dalam kerangka gerakan.
Satu alternatif pemikiran kemudian dikemukakan tentang bagaimana
memandang bentuk perlawanan yang muncul dari sebuah organisasi yang relatif
lebih baik namun tidak dilakukan secara radikal. Organisasi sebagai ciri
perlawanan yang bersifat politis (menurut Scott) masih memerlukan sudut
pandang lain ketika secara kontekstual petani yang terlibat dalam persoalan
struktural perlu menerapkan strategi lain agar perlawanan yang dikembangkan
oleh komunitas yang bersangkutan menjadi tidak tampak. Perlawanan
tersembunyi dalam konteks Indonesia menjadi penting terkait dengan doktrin
pembangunan yang masih mengedepankan ideologi pembangunan dengan segala
doktrin modernis/developmentalis -nya. Dengan kata lain, perlawanan insidental
bahkan bersifat epifenomenal dalam terminologi yang dikemukakan Scott,
menemukan bentuknya yang lain dalam konteks gerakan di Indonesia.
Organisasi Petani: Respon Petani atas Kondisi Sosio -Ekonomi Politik
Organisasi Petani: Konflik dan Produksi sebagai Basis
Dewasa ini konflik pertanahan menjadi isu yang marak menyangkut
persoalan akses sumberdaya agraria antar subyek agraria. Konflik tersebut tidak
saja dipicu oleh ketimpangan akses tetapi juga karena terusiknya masyarakat
petani dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Apa yang dikemukakan Scott
tentang perlawanan petani tampaknya menjadi signifikan dalam menerangkan
kasus perlawanan petani. Thesis yang diungkapkan oleh Scott menyatakan bahwa
ketika batas subsistensi petani dilanggar maka diperkirakan muncul gerakan
perlawanan untuk merebut kembali apa yang diambil.
Peningkatan konflik pertanahan dari waktu ke waktu menunjukkan
perkembangan data yang cukup signifikan. Data KPA menunjukkan angka 1.920
kasus sengketa tanah yang melibatkan 1.284.557 KK dengan luas tanah yang
disengketakan sekitar 10.512.938,41 ha. Berdasarkan fakta dan pertimbangan
urgensi masalah tersebut di atas, penyelesaian konflik agraria memungkinkan
dibentuknya kelembagaan yang menyangkut perjuangan masyarakat sekitar
22
perkebunan. Berbagai literatur menunjukkan bahwa petani melakukan
pengorganisasian dilatarbelakangi oleh berbagai sebab diantaranya adalah sosial,
ekonomi, politik, dan kekuasaan yang cenderung memarjinalkan keberadaan
dirinya.
Sebuah fenomena menarik ketika petani yang biasanya sulit diorganisir,
pada tahun-tahun 1990-an ‘mendadak’ melakukan upaya-upaya menata diri dalam
bentuk organisasi. Selain alasan konstelasi politik yang menguat kearah reformasi
- untuk organisasi petani yang berangkat dari kasus tanah - tampaknya
transformasi agraria menjadi motivasi utama melakukan pengorganisasian.
Transformasi agraria selalu menyangkut perubahan organisasi sosial produksi,
yaitu perubahan hubungan sosial didalam proses produksi, misalnya dari
hubungan klien-patron menjadi hubungan buruh-majikan. Perubahan demikian
menyangkut perubahan didalam sistem dan struktur penguasaan faktor-faktor
produksi, seperti tanah, tenaga kerja, dan modal. Transformasi agraria dapat
mengakibatkan petani menjadi termarjinalkan, terdesak ke kawasan yang tidak
subur atau miskin sumberdaya. Sebagian besar sumberdayanya jatuh ketangan
subyek agraria lain, negara atau melalui negara ke tangan swasta.
Dari tiga tipe struktur agraria (Wiradi, 2000) konteks Indonesia seharusnya
mengarah pada tipe populis/neo-populis dimana sumber-sumber agraria dikuasai
oleh keluarga/rumah tangga pengguna. Perjuangan gerakan rakyat untuk sampai
pada struktur agraria yang populis mengarahkan pada tindakan pengorganisasian.
Kesadaran tumbuhnya organisasi itu disadari maupun tidak merupakan suatu
proses panjang menuju terwujudnya reforma agraria dimana konsep tanah untuk
penggarap (land to the tiller) benar-benar diperjuangkan dan penghapusan
ketimpangan pemilikan lahan dan peningkatan akses petani terhadap lahan.
Seperti yang diungkapkan oleh Suhendar (2002) bahwa upaya perwujudan land
reform by leverage memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1. adanya organisasi petani yang kuat. Land reform by leverage dilakukan atas
dorongan dan tekanan organisasi petani. Untuk melakukan tekanan
dibutuhkan organisasi petani yang kuat, baik ditingkat lokal tempat kebijakan
operasional diputuskan maupun ditingkat nasional.
23
2. pemerintah terdesentralisasi. Dalam sistem pemerintahan sentralistik, proses
pengambilan keputusan dilakukan secara terpusat sehingga keberagaman
lokal tidak terakomodasi.
3. adanya political representatif dari petani.
Secara ideal, keberadaan organisasi yang kuat dapat terbentuk dari
terciptanya jaringan antara petani dengan lembaga lain di luar petani terutama
pembuat kebijakan, sehingga gerakan petani yang muncul dapat mempengaruhi
pengambilan kebijakan pada aras pemerintah. Namun satu hal yang juga tidak
boleh terlupakan adalah bagaimana organisasi yang lebih besar tersebut membuat
basis perjuangan melalui pembentukan organisasi-organisasi tani lokal yang
merupakan subyek agraria yang terkait erat dengan sumberdaya lahan.
Alasan lain menyangkut pembentukan organisasi diluar konflik lahan
adalah alasan peningkatan pendapatan. Dengan demikian produksi menjadi basis
terbentuknya organisasi petani. Aspek produksi menjadi kajian yang menarik
karena dalam sebuah struktur sosial yang sudah mapan, beberapa literatur
menunjukkan bahwa organisasi sulit terbentuk karena faktor keamanan telah
dicapai dalam struktur masyarakat tersebut. Dalam hal ini petani memiliki prinsip
kapitalis murni sehingga kegiatan produksi menjadi prioritas penting. Rasionalitas
petani yang diungkapkan Popkin menunjukkan bahwa petani cenderung berusaha
memanfaatkan waktunya semaksimal mungkin untuk meningkatkan produksi
(Popkin, 1986). Berangkat dari alasan demikian, maka organisasi tani dianggap
menjadi sebuah kegiatan yang dapat menghabiskan waktu.
Jika demikian halnya, maka ada anggapan bahwa petani yang tingkat
subsistensinya telah stabil, dia merupakan kapitalis-kapitalis kecil yang berusaha
memanfaatkan setiap detik waktunya untuk meningkatkan surplus hingga tidak
ada peluang untuk menata diri dalam bentuk kegiatan. Namun dari fakta yang
ditemukan di lapang, tampak bahwa organisasi menjadi bagian dalam komunitas
petani berciri demikian. Bahkan organisasi petani yang dilatarbelakangi oleh
produksi digambarkan sebagai organisasi yang solid dan sistematis.
Mengapa organisasi dengan tipe seperti ini relatif lebih solid? Beberapa
pandangan mengemukakan bahwa organisasi ini memfokuskan diri pada ikatan
sosial, komunikasi, dan struktur organisasi (Bebbington dan Carol dalam Britt
24
2003). Namun demikian ada bantahan terhadap pandangan di atas dimana
organisasi yang menggunakan pendekatan sektoral dengan menggunakan isu-isu
ekonomi jika dikaitkan dengan perlawanan petani tidak akan sampai pada upaya
gerakan merebut sumberdaya. Pendekatan yang biasa dilakukan meliputi kegiatan
yang bersifat ekonomis, seperti menumbuhkan kelompok usaha simpan pinjam,
usaha bersama produksi, usaha pengadaan pupuk, pertanian organik, dll
menyebabkan isu-isu besar seperti masalah petani yang tidak bertanah, berlahan
sempit atau tidak meratanya penguasaan akses atas tanah, dsb tidak tersentuh.
Menelaah berbagai akar masalah sebagai motivasi terbentuknya organisasi
petani, benang merah yang muncul adalah terbentuknya organisasi petani sebagai
strategi perlawanan. Perlawanan yang muncul menemukan perbedaan bentuk
ketika dihadapkan dengan konteks masalah dan konteks pemahaman konsep
perlawanan. Untuk itulah kemudian muncul tipe organisasi yang menerapkan
advokasi dalam pola-pola gerakan yang cenderung bersifat radikal. Disisi lain
muncul organisasi yang melakukan politik perlawanan dengan strategi yang lebih
halus untuk menghindari resistensi yang kuat dari elit birokrasi. Jika dilihat dalam
sudut pandang reforma agraria, kedua strategi ini sesungguhnya bermuara pada
terciptanya transformasi masyarakat dalam upaya mencapai keadilan agraria.
Perbedaan hanya pada prioritas pilihan masalah yang harus diselesaikan terlebih
dahulu. Komunitas satu melihat bahwa persoalan land tenure dapat menjadi pintu
masuk untuk dapat mencapai keadilan agraria. Sedangkan yang lain melihat
bahwa persoalan land tenancy menjadi sebuah persoalan mendesak untuk segera
diselesaikan. Sekali lagi ini hanya masalah prioritas, terkait konteks masalah dan
pemahaman akan ideologi perlawanan yang dianut komunitas yang bersangkutan.
Dalam beberapa hal, strategi tersebut harus dapat saling melengkapi karena naif
ketika melihat persoalan petani hanya dari satu sudut pandang. Diyakini dalam
berbagai literatur (Koentjaraningrat, 1984; Tjondronegoro, 1984; Scott, 1993;
Wolf, 1985; Fauzi, 1999; dll) bahwa petani sebagai sebuah entitas sosial
mengalami berbagai persoalan yang multidimensional.
Organisasi Komunitas
Intervensi pemerintah dalam mentransfer program-program pembangunan
disalurkan melalui organisasi formal. Organisasi ini berfungsi sebagai
25
perpanjangan tangan pemerintah. Sebagai turunan dari paradigma
modernis/developmentalis, organisasi ini diarahkan untuk mendukung
terintegrasinya komunitas kedalam sistem kapitalis/pasar dominan. Dalam
paradigma modernisasi, organisasi bentukan pemerintah merupakan bentuk lanjut
dari konsep modernisasi yang paternalistik dan topdown di era 1950 hingga 1960.
Respon atas karakter pembangunan yang bersifat topdown dilakukan melalui
pendekatan CD.
Kontinuum lanjut dari CD dikemukakan oleh Hollnsteiner (1979) sebagai
Community Organization (CO). Konsep CD tipe petani muncul dalam kondisi
politik yang relatif bebas di tahun 1998. Berbeda dengan CD tipe pemerintah, CD
petani lebih mengarahkan pada upaya memperjuangkan prasyarat sendiri untuk
dapat membangun kemandirian. Ditilik dari ciri tersebut, maka CO bisa
dikategorikan sebagai sebuah upaya perlawanan yang mengadopsi desain CD.
Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, perlu dilihat bangunan organisasi dan
karakter yang muncul. Dengan demikian dalam penelitian ini akan dikaji tentang
penyebab dan kemunculan, tujuan, strategi & aktivitas, jaringan yang dibangun
serta implikasi terhadap persoalan yang dihadapi. CD gaya petani menghasilkan
kemandirian petani yang berbasis pada kebutuhan dan permasalahan nyata yang
dirasakan petani. Dalam perkembangannya, model CD diwujudkan dalam bentuk
organisasi rakyat dengan mengembangkan pemberdayaan, empowerment,
partisipasi, dan lain -lain.
Sebagai kritik atas production-centered development, patut disayangkan
bahwa CD belum mencapai hasil yang maksimal. Konsep partisipasi masih
merujuk pada proses integrasi komunitas untuk melayani golongan tertentu.
Cooke dan Kothari (2002) mengemukakan partisipasi sebagai tirani baru dalam
mengkooptasi komunitas dan masih tetap menciptakan ketergantungan pada
struktur pasar global. Sebuah alternatif melibatkan komunitas secara sungguh-
sungguh harus dibangun hingga bermuara pada kemandirian. Hal ini berangkat
dari sebuah fenomena dimana komunitas sebagai satu unit lokal selalu menjadi
sasaran berbagai proyek dan ideologi global. Dengan demikian, sebagai satu
komunitas yang sudah terjalin dengan dunia global, karakter perlawanan yang
dikemukakan Scott (1993) tidak mencukupi untuk menjelaskan fenomena yang
26
terjadi pada organisasi petani di Salatiga. Tipe perlawanan dalam kajian Scott
terbatas pada aksi boikot, komunitas menolak tunduk pada struktur sosial yang
lebih mapan, serta tidak memberikan alternatif solusi atas persoalan yang terjadi.
Dalam kerangka gerakan dan pembangunan, pengorganisasian petani
menjadi bagian dari proses penguatan petani. Pengorganisasian petani dalam
konteks pembangunan menunjukkan CO merupakan tipe pengorganisasian yang
merupakan perkembangan lebih lanjut dari pengorganisasian berciri CD,
Hollnsteiner (1979). Dalam kerangka CO, organisasi petani lebih dipandang
sebagai paradigma baru dalam mengorganisir petani. Hal ini terkait dengan
ketidakpuasan atas bentuk organisasi pada masa orde baru yang menghasilkan
organisasi yang lebih berciri topdown dan hanya memenuhi kebutuhan
stakeholder tertentu. Organisasi komunitas melakukan pendekatan memobilisasi
orang untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk paksaan, menganalisis dan
mengembangkan strategi untuk mengurangi prinsip-prinsip top down dari
pemerintah. Dalam prosesnya, anggota organisasi tipe ini tumbuh dalam bentuk
yang lebih efisien, memiliki kesadaran pribadi dan memiliki kapasitas untuk
menolong kehidupan di masa depan.
Sejak masa orde baru, konsep organisasi petani dimaknai pemerintah
dalam konteks pembangunan. Kepentingan yang diusung adalah menggulirkan
agenda pembangunan secara topdown. Dengan begitu, hingga tahun 1990-an
organisasi petani di tingkat lokal merupakan perpanjangan tangan pemerintah.
Campur tangan pemerintah memunculkan kegagalan ketika ditingkat lokal kurang
terjadi penjalinan fungsi antara bentuk-bentuk organisasi formal dengan lembaga
tradisional.
Pandangan lain mencoba mengemukakan bahwa lembaga ditingkat lokal
yang berangkat dari kebutuhan komunitas dapat menjadi alat bagi petani untuk
mencapai tujuan tertentu dalam hubungannya dengan aktor luar. Hasil penelitian
Firmansyah dkk (1999) membuktikan bahwa organisasi yang dibentuk oleh petani
dapat secara efektif dan efisien membangun kekuatan petani di tingkat lokal.
Keberhasilan dibuktikan melalui makin banyaknya organisasi petani yang tumbuh
dan berhasil mencapai tujuan organisasinya. Organisasi yang tumbuh dibangun
dengan berbagai isu awal pembentukan organisasi tergantung tipe akar masalah
27
yang dihadapi petani. Strategi perlawanan yang muncul akan menemukan
perbedaan bentuk ketika dihadapkan dengan konteks masalah dan ideologi aktivis
(melahirkan pilihan radikal atau halus). Perbedaan pilihan pintu masuk, dalam
konteks tujuan besar reforma agraria bermuara pada terciptanya transformasi
masyarakat dalam upaya mencapai keadilan agraria.
Merujuk posisi organisasi dalam perkembangan gerakan, organisasi
merupakan perkembangan lanjut dari gerakan sosial. Dalam terminologi gerakan,
organisasi/terbentuknya organisasi merupakan satu fase tersendiri setelah sebuah
komunitas terlebih dahulu mengalami fase protes dan mobilisasi. Tahapan
tersebut berangkat dari karakter petani pada masa tersebut. Dalam kerangka
gerakan, pengorganisasian petani juga sebagai bagian dari proses penguatan
struktural organisasi. Kecenderungannya, dalam gerakan, sebuah aksi kolektif
menjadi organisasi berangkat dari tipe masalah yang menyangkut kasus
tanah/konflik. Isu yang dibangun berimplikasi pada ciri aksi yang dipilih yakni
bersifat spontan dan sporadis dan terkadang primordial.
Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa pembentukan organisasi
petani mengalami hambatan terutama ketika dikaitkan dengan sifat dan karakter
petani. Wolf (1985) mengemukakan ciri dan karakter petani dari sudut pandang
antropologis lebih memperlihatkan satu tatanan petani yang terikat dengan ekologi
dan tidak melakukan usaha dalam skala ekonomi. Meski secara sosial mereka
terkait dengan tatanan sosial yang lebih kompleks namun masih bekerja secara
sendiri-sendiri sehingga sulit diorganisir. Hal ini senada dengan Scott (1994) yang
menganalogikan petani sebagai sekarung kentang yang berada dalam satu karung
namun satu sama lain terpisah. Dalam hal ini sangat berbeda dengan karakter
buruh industri yang terbuka dan lebih terbiasa dengan organisasi dan
pengorganisasian.
Organisasi Vis a Vis Institusi
Terminologi institusi dan organisasi seringkali dapat saling dipertukarkan
tanpa merubah makna dan definisi diantara keduanya (Uphoff, 1986). Hal tersebut
mengacu pada definisi bahwa institusi merupakan kompleks norma dan perilaku
yang terdapat dalam nilai-nilai kolektif. Dalam hal ini penjelasan bahwa institusi
28
dapat berada dalam organisasi mengacu pada pokok pikiran bahwa institusi
sebagai norma akan melekat pada bangun organisasi.
Esman dan Uphoff’s (1984) memberikan perhatian pada pentingnya
organisasi lokal sebagai variabel pokok dalam pembangunan pedesaan. Hal ini
menunjukkan bahwa organisasi dibangun atas dasar kebutuhan dan kepentingan
tertentu tergantung kesepakatan diantara pendirinya. Sebagai organisasi lokal,
anggota dapat mengambil tugas dengan sifat yang multidimensi, khusus, maupun
tugas yang menyangkut kebutuhan anggota.
Perkembangan organisasi dibahas oleh Selznick dalam Etzioni (1985),
perhatian yang mendalam terhadap masalah intern akan menyebabkan organisasi
lebih banyak memikirkan dirinya sendiri sehingga tidak lagi melayani tujuannya
semula. Kondisi ini memungkinkan organisasi melakukan penggantian,
penambahan, dan perluasan ruang lingkup tujuan. Kecenderungan mencari tujuan
baru dilakukan apabila tujuan telah tercapai atau tidak tercapai. Hal demikian
menunjukkan kebutuhan yang sangat mendalam untuk tetap mempertahankan
eksistensi organisasi yang telah dibentuk.
Tipe ideal organisasi digambarkan dalam buku Etzioni (1985) dimana
pembentukan organisasi akan terkait dengan tujuan kelompok dalam mendirikan
organisasi. Etzioni menerangkan bahwa organisasi sebagai unit sosial (atau
pengelompokkan manusia) yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan
penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu akan
mengembangkan strategi dalam memenuhi tujuan yang ditetapkan.
State of the art pembahasan teoritis tentang organisasi dimulai sejak
lahirnya teori klasik administrasi atau aliran manajemen ilmiah (scientific
management). Aliran ini lebih menekankan bahwa manusia berorganisasi
dilandasi oleh alasan ekonomi. Pendekatan ekonomis menghasilkan karakter
organisasi yang cenderung formal dan kaku dengan definisi pembagian kerja yang
tegas. Dari aliran ini muncul ciri khas organisasi formal yang merupakan cetak
biru pembentukan organisasi (Etzioni, 1985).
Aliran di atas oleh sebagian orang dianggap terlalu kaku sehingga muncul
kritik yang melahirkan aliran baru yaitu aliran hubungan manusia. Ide aliran
hubungan manusia lebih menekankan kepada elemen emosional, tidak berencana
29
serta non-rasional dalam perilaku organisasi. Aliran ini mementingkan rasa
persahabatan dan pengelompokkan peker ja bagi kemajuan organisasi. Aliran ini
dalam perkembangannya melahirkan konsep organisasi informal. Ciri informal
tersebut terkadang dipandang sebagai apa yang tersirat di balik struktur organisasi
yang formal; selain itu tidak jarang dipandang juga sebag ai bagaimana hakekat
kehidupan organisasi sebenarnya yang justru sangat berbeda dengan cetak biru
maupun bagan-bagan yang telah tersedia.
Dua aliran di atas menyajikan sebuah realitas dikotomis antara tipe
organisasi formal dan informal. Pada prakteknya, di tingkat komunitas lokal
dikotomi demikian tidak ditemukan karena dalam banyak hal seringkali formal
dan informal selalu menjadi bagian dari sebuah organisasi. Dalam kerangka
teoritis, telaah terhadap dua karakter melahirkan tradisi ketiga yakni organisas i
yang merupakan gabungan antara organisasi formal dan informal dengan konsep
organisasi yang lebih lengkap dan terpadu.
Etzioni (1985) memberikan definisi organisasi sebagai unit sosial (atau
pengelompokkan manusia) yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan oleh anggota organisasi. Sampai saat ini ditemukan fakta bahwa
organisasi menjadi wadah komunitas dalam upaya mengelola kegiatan hingga
sampai pada tujuan yang telah ditetapkan.
Terkait dengan arah penelitian yang bersifat eksploratif, penelitian ini
bertujuan menemukan pola-pola pembentukan organisasi petani. Penelitian
Firmansyah dkk (1999) menemukan bahwa karakteristik organisasi yang selama
ini muncul adalah 1) dibangun atas dasar kebersamaan, 2) ketergantungan pada
peran aktivis/kyai/tokoh, 3) gerakan lebih terorganisir sebagai respon atas
penguasa atau lawan yang terorganisir.
Karakter demikian tidak pelak lagi mempunyai dua implikasi;
melemahkan atau justru memperkuat organisasi. Untuk lebih mendalam ketika
melihat keberadaan organisasi, perlu penjelasan lebih lanjut tentang karakter
organisasi. Organisasi yang dibentuk dari konflik tanah biasanya menggunakan
isu kasus dengan ciri organisasi hanya cukup untuk bertahan hidup, bersifat
sporadis, memiliki daerah cakupan terbatas serta belum terorganisir. Sedangkan
organisasi yang dibentuk dari produksi atau peningkatan pendapatan berciri
30
membangun kemandirian, melepaskan diri dari struktur pemerintah, dan
menggunakan isu ekonomi dalam berorganisasi.
Namun demikian, apapun bentuk atau tipe organisasi, yang jelas
keberhasilan organisasi tidak lepas dari bentuk-bentuk strategi organisasi yang
dapat dianalisis berdasarkan karakter dan jaringan yang dibentuk oleh organisasi.
Setiap bentuk strategi organisasi harus diarahkan bagi penguatan hak atas tanah
dan pengelolaan sumber-sumber agraria. Pada akhirnya karakteristik yang
terbangun akan mengarah pada upaya penguatan kedudukan petani.
Dengan mempelajari penyebab timbulnya organisasi berbasis konflik,
tampak bahwa organisasi tipe ini menunjukkan sebuah sifat organisasi yang
belum terstruktur karena muncul tergantung tipe persoalan pada saat itu. Seperti
yang diungkapkan dalam penelitian yang sama bahwa salah satu kelemahan
mendasar gerakan petani pada dekade 1980-an adalah terletak dalam kenyataan
bahwa gerakan -gerakan tersebut belum terorganisir dengan baik sehingga mudah
ditumpas dan dikalahkan. Kondisi ini yang memicu aktivis melakukan
pengorganisasian secara intensif sehingga lahirlah serikat petani di berbagai
daerah. Meski kesiapan berorganisasi telah dipupuk sejak periode 1980-an,
kenyataan masih menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga persoalan besar yang
masih dihadapi petani terkait dengan pengorganisasian, diantaranya (Firmansyah,
1999): pertama, persoalan daya tahan. Daya tahan petani dalam aktivitas gerakan
relatif terbatas, menyangkut ketersediaan sarana ekonomi dalam mendukung
kegiatan. Kedua, ketergantungan pada tokoh. Peralihan peran tokoh mengalami
pergeseran dari dekade 1980-an dengan gerakan petani pada masa kolonial.
Kepemimpinan pada dekade 1980-an dipegang oleh kaum muda, sedangkan pada
masa kolonial tokoh dipegang oleh kaum elit. Namun demikian fenomena tetap
menunjukkan bahwa ketika tokoh menghilang, petani serta merta kehilangan
semangat melanjutkan perjuangan. Ketiga, persoalan kemampuan berorganisasi
dan manajemen gerakan.
Persoalan di atas makin rumit jika tidak segera disikapi dengan penataan
manajemen organisasi. Pada beberapa bentuk organisasi diluar tipe konflik,
manajemen lebih diarahkan pada peningkatan kapasitas organisasi. Dengan
demikian karakter organisasi yang muncul menjadi berbeda dimana organisasi
31
tipe ini lebih fokus pada penataan perkembangan kegiatan dan aktivitas anggota.
Pengorganisasian pada organisasi yang tumbuh dari persoalan non-konflik
dikerangkai oleh paradigma bahwa perjuangan kemandirian petani harus pula
didukung oleh sistem organisasi yang baik, tidak sekedar menyandarkan pada
gerakan perlawanan yang frontal/keras. Dalam pandangan organisasi yang tumbuh
dari persoalan non-konflik, perjuangan petani tetap mengarah pada reforma
agraria dengan dua jalan yang berbeda.
Menjadi penting untuk kemudian melihat sejauh mana organisasi yang
memiliki manajemen organisasi yang lebih solid mampu mendefinisikan gerakan
dalam setiap langkah-langkah berorganisasi. Dalam hal ini manajemen dan
karakter organisasi yang dibangun tidak dipahami sebatas peningkatan kapasitas,
tetapi lebih dari itu merupakan strategi menciptakan perlawanan. Dengan
demikian pemaknaan bangunan organisasi petani tidak dipandang secara sempit.
Pilihan atas pendekatan CD dalam membangun sebuah organisasi terkait dengan
pilihan yang dianggap sesuai dengan konteks masalah. Dalam kepentingan
tersebut, pendamping (biasanya NGO atau orang maju dalam komunitasnya)
cenderung memilih organisasi yang telah ada.
Pengalaman pengorganisasian petani masa orde baru memperlihatkan
konsep organisasi petani dimaknai oleh pemerintah dalam konteks pembangunan.
Pembentukan organisasi petani pada masa ini lebih untuk menghubungkan
kepentingan pemerintah dengan komunitas lokal. Dengan demikian organisasi di
tingkat lokal seringkali hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam
menggulirkan agenda-agenda pembangunan yang bersifat top down. Dalam
pembahasan yang agak berbeda, organisasi seringkali diarahkan pada sebuah
organisasi bentukan pemerintah untuk merespon program-program pembangunan
dari atas (Israel, 1990; Cernea, 1988). Program pembangunan yang
diintroduksikan ke tingkat desa membawa serta ideologi baru tentang peran
masyarakat lokal dalam proyek pembangunan. Alasan ini yang mendorong
pemerintah membentuk organisasi petani untuk memfasilitasi pembangunan di
tingkat desa.
Israel (1990) dalam tulisannya tentang program irigasi bank dunia
memaparkan kelembagaan irigasi yang dibangun oleh pemerintah. Dalam
32
pemaparannya, Israel mengemukakan bahwa organisasi di tingkat komunitas
diperlukan pemerintah untuk mensosialisasikan proyek pembangunan. Senada
dengan tulisan Cernea (1988) yang membahas terbentuknya organisasi di tingkat
petani namun dengan pendekatan topdown . Dengan begitu, sampai tahun 1990-an
organisasi petani yang ada merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam
berbagai bidang misalnya pertanian dengan kelompok tani-nya, demikian juga
kehutanan dengan KTH-nya.
Tulisan Tjondronegoro (1984) kemudian menunjukkan bahwa
pembangunan dengan pendekatan dari atas hanya menegasikan keberadaan
lembaga lokal. Ketika program masuk ke masyarakat, muncul organisasi bentukan
pemerintah. Seperti yang dikemukakan di awal bahwa organisasi dengan ciri
demikian tidak cukup efektif memenuhi kebutuhan di tingkat lokal. Organisasi
bentukan lebih berorientasi pada kekuasaan dan pemerintah sehingga gagal
menjadi bagian dari masyarakat. Penelitian Tjondronegoro (1984) berhasil
menunjukkan bahwa di tingkat lokal ada relung sodality yang terbangun di tingkat
dukuh. Sodality inilah yang kemudian menjadi solusi atas ketidakberhasilan
pembangunan melalui organisasi melalui pendekatan alternatif kelembagaan.
Pandangan lain mencoba mengemukakan bahwa lembaga di tingkat lokal
dan berangkat dari kebutuhan komunitas itu sendiri dapat menjadi alat bagi petani
untuk mencapai tujuan tertentu dalam hubungannya dengan aktor luar. Hasil
penelitian Firmansyah dkk (1999) membuktikan bahwa organisasi yang dibentuk
oleh petani dapat leb ih efektif dan efisien dalam membangun kekuatan petani di
tingkat lokal. Keberhasilan dibuktikan melalui makin banyaknya organisasi petani
yang tumbuh dan berhasil mencapai tujuan organisasinya.
Hipotesis Pengarah
Untuk sampai pada analisis tentang organisasi petani, penelitian ini
menggunakan hipotesis pengarah yang sekaligus digunakan sebagai pedoman
peneliti menggali fakta-fakta lapang yang sesuai dengan pertanyaan penelitian
yang diajukan dalam penelitian ini.
1. Perlawanan petani dan organisasi petani mengusung ide kedaulatan petani
sebagai respon marjinalisasi masyarakat petani.
33
2. Konteks ekonomi dan politik akan menyumbang pada bentuk organisasi yang
dibangun, sekaligus pola-pola perlawanan yang dikembangkan oleh organisasi
yang bersangkutan.
3. Karakter perlawanan mempunyai watak, dan moda aksi yang terkait dengan
konteks permasalahan dan paradigma pembangunan skala nasional dan global.
Kerangka Pemikiran
Analisis perlawanan petani dalam pandangan Harper (1989) dapat
dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu bagaimana, mengapa, dan
dalam kondisi apakah sebuah organisasi8 bisa muncul. Konteks sosial yang
memicu perlawanan harus dilihat secara holistik. Komunitas harus dipandang
sebagai kompleks yang saling berinteraksi pada tiga tingkat, yaitu ekonomi,
politik dan ideologi dimana kontradiksi berkembang di dalam maupun antar aras.
Jalinan aspek ekonomi, politik, dan ideologi harus dipahami sebagai basis
pijakan menganalisis konteks sosial dibangunnya perlawanan melalui
pembentukan organisasi petani. Alternatif memindahkan pola perlawanan - akibat
pengaruh konteks sosial komunitas - dari radikal menuju perlawanan halus dan
lebih berciri CD perlu melihat konfigurasi kekuasaan negara atas faktor ekonomi
dan politik sebagai dasar analisis. Dengan kata lain, perlawanan petani yang
berangkat dari persoalan spesifik melahirkan pendekatan organisasi yang khas
pula. Pilihan atas bangunan organisasi pada akhirnya menjadi strategi lanjut dari
organisasi untuk mengembangkan perlawanan.
Sebagai organisasi yang mempunyai tujuan memperkuat posisi petani dan
memperjuangkan kedaulatan petani, karakter perlawanan harus mengarah pada
perlawanan yang berkelanjutan. Dengan demikian dalam penelitian ini akan dikaji
tentang penyebab dan kemunculan, tujuan, strategi & aktivitas, jaringan yang
dibangun serta implikasi terhadap persoalan yang dihadapi. Pendekatan
pengembangan komunitas gaya petani menghasilkan kemandirian petani yang
berbasis pada kebutuhan dan permasalahan nyata yang dirasakan petani. Dalam
hal ini organisasi sebagai bentuk perlawanan yang bersifat politis masih
8 Organisasi dapat didefinisikan sebagai manifestasi perlawanan petani. Melalui organisasi petani dapat melawan tekanan struktural yang muncul. Organisasi juga bisa dianggap sebagai perkembangan lanjut strategi perlawanan yang dikembangkan petani.
34
Gambar 1. Kerangka Pemikiran dalam Pendekatan Masalah
EKONOMI Pola pertanian konvensional menuju pertanian alternatif
Penguatan, pengakuan serta perlindungan yang adil atas hak petani terhadap akses keadilan dan kesempatan
Karakter perlawanan • Pendekatan CD • Pendekatan transformasi
gerakan rakyat • Memindahan perlawanan
radikal menjadi halus • Menjalin hubungan
dengan pemerintah sebagai langkah taktis
Organisasi mengalami kontinum perkembangan, fokus pada isu advokasi hak atas tanah
Organisasi yang dibentuk dari produksi atau income generating, berciri: • Menggunakan isu
ekonomi • Mensistematisasi
gerakan rakyat • Melepaskan diri dari
struktur pemerintah • Membangun
kemandirian
Dipicu krisis
moneter
Dipengaruhi konteks politik negara/global POLITIK
• Tekanan struktural
• Akses terhadap input pertanian
• Peningkatan eksploitasi
• Kemerosotan status sosial
• Pola pengelolaan sumber-sumber agraria
• Ketergantungan pada kekuatan eksternal (pasar, input pertanian mahal)
Dimensi masalah petani secara umum
Dipengaruhi ideologi aktivis
Terkait konteks sosio-ekonomi dan politik
(permasalahan) petani
Memperkuat posisi petani menghadapi
dominasi negara dalam berbagai kebijakan baik
ekonomi dan politik dalam bentuk akses dan
kontrol
PERLAWANAN TERSAMAR
Melawan di bawah payung slogan-slogan pembangunan pemerintah sambil mendefinisikan kembali slogan tersebut kedalam pengertian paradigma yang lebih berorientasi kearah struktur partisipatif
Production Center Development
People Center Development
35
memerlukan sudut pandang lain untuk memahami secara utuh. Ketika petani
terlibat dalam persoalan struktural maka perlu diterapkan strategi lain agar
perlawanan yang dikembangkan oleh komunitas yang bersangkutan tidak tampak
dan tidak menimbulkan penolakan dari pihak yang dilawan. Penyamaran ini,
dalam konteks Indonesia menjadi penting terkait ideologi pembangunan dengan
segala doktrin modernis/developmentalis-nya.
Jika dikaitkan dengan pemaparan Korten (2001) dapat dikemukakan
bahwa organisasi mengarah pada paradigma people-centered development dan
merujuk pada upaya transformasi pembangunan. Dalam sumbangan pemikiran
Korten, organisasi dengan karakter demikian dapat dikategorikan kedalam
organisasi rakyat generasi keempat yang bicara tentang konsep atau ideologi
strategi alternatif pembangunan dan melihat bahwa masalah dasar pembangunan
tidak lagi berskala lokal/nasional, tetapi global. (Gambar 1.)
PENDEKATAN LAPANG
Strategi Penelitian
Penelitian tentang karakteristik organisasi petani dalam tesis ini
sebelumnya telah didahului oleh penelitian untuk menentukan klasifikasi
organisasi petani yang ada di Jawa. Penelitian yang difasilitasi oleh lembaga
penelitian internasional tersebut menghasilkan dua tipologi besar organisasi petani
yaitu organisasi berbasis konflik (conflict based organizations) dan organisasi
berbasis produksi (production based organization). Tipologi pertama merujuk tipe
organisasi yang terbentuk karena anggota dihadapkan pada isu konflik agraria
sebagai isu awal pembentukan. Karakter yang menonjol untuk tipe ini adalah
pembentukan seringkali dibidani oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sehingga
kegiatan lebih banyak diarahkan pada advokasi dan pendekatan hukum. Embrio
organisasi tipe ini telah ada sejak kasus agraria muncul, jauh sebelum reformasi.
Namun demikian, pendekatan pengorganisasian secara lebih tersistematisir baru
terinspirasi pada era reformasi.
Tipologi kedua memperlihatkan tipe organisasi yang terbentuk karena isu
produksi dimana ide awal pembentukan lebih pada pengelolaan pertanian dan isu
peningkatan kesejahteraan. Tipe organisasi ini biasanya dibidani oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak pada isu produksi. Embrio organisasi
tipe produksi biasanya telah ada dalam bentuk kelompok PKK, karang taruna,
atau kelompok tani bentukan pemerintah. Pendekatan pengorganisasian yang
dikembangkan cenderung mengadopsi model-model CD meskipun dalam hal ini
menjadi jauh lebih maju terutama dengan diterapkannya pendekatan CO yang
lebih berbasis lokal.
Teori yang dibangun dalam memahami fenomena organisasi petani
berangkat dari kesadaran bahwa realitas yang ada harus dipahami secara kritis.
Pada ranah metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kritis dengan
menggunakan teknik interpretatif -kritis tanpa mengabaikan makna-makna dibalik
respon petani atas permasalahan struktural yang dialami. Fenomena keberadaan
organisasi petani diinterpretasikan secara kritis dari realitas sosial yang ada.
Secara ontologi, teori ini berangkat dari sebuah paradigma kritis, suatu tradisi
37
paradigma dalam ilmu sosial yang ingin memperlihatkan upaya membuka
kebenaran.
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan meminjam
pendekatan kuantitatif untuk mendapatkan pemahaman utuh tentang organisasi
petani setelah sebelumnya dilakukan pemilihan secara purposive terhadap
organisasi tani sekunder yang akan diteliti. Metode kualitatif dilakukan untuk
memperoleh data-data yang terkait dengan mengapa dan bagaimana respon petani
terhadap permasalahan struktural. Untuk memperoleh data kualitatif digunakan
panduan pertanyaan yang diarahkan pada sejarah munculnya organisasi serta
bagaimana keberlanjutan organisasi tersebut. Metode kuantitatif dipergunakan
dengan meminjam penggunaan kuesioner terbuka (yang sesungguhnya
menampilkan wawancara terstruktur) dengan data yang diperoleh merupakan data
kualitatif. Dengan demikian, kuesioner yang berisi pertanyaan terbuka tetap dalam
tujuan menangkap data-data kualitatif.
Kualitatif sebagai sebuah metode penelitian yang didalamnya menerapkan
perangkat interpretatif atas realitas sosial bermuara pada dapat digunakannya
seperangkat metode untuk menerangkan makna. Dalam hal, ini kualitatif sebagai
upaya interpretasi atas realitas sosial melibatkan alur proses yang didalamnya
melibatkan kegiatan ontologi (pilihan teori), epistemologi (pilihan atas metode)
dan metodologi (pilihan atas analisis). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
metode penelitian kualitatif mendasarkan pada sebuah aktivitas interpretatif
dengan multi-metode
Strategi yang digunakan adalah studi kasus dimana tipe organisasi yaitu
production based organization menjadi subyek penelitian. Studi kasus dilakukan
dengan alasan penelitian tentang organisasi petani memerlukan gambaran utuh
dalam menangkap fenomena organisasi petani yang telah banyak tumbuh di
Indonesia. Yin (1996) mengemukakan bahwa studi kasus adalah studi aras mikro
yang bersifat multi-metode dengan titik berat pada metode-metode non-survei.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Dari hasil penelitian sebelumnya, ditetapkan bahwa penelitian ini
difokuskan pada sebuah organisasi petani yang dibangun atas permasalahan
38
ekonomi-produksi. Dengan pertimbangan tersebut dipilih organisasi petani di
Salatiga, Jawa Tengah. Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah (SPPQT)
merupakan organisasi yang beranggotakan paguyuban petani di tiap kawasan yang
masing-masingnya beranggotakan kelompok tani lokal. SPPQT mewakili sebuah
bentuk organisasi yang dibangun atas permasalahan ekonomi yang dialami oleh
anggotanya. Dengan kata lain, organisasi ini merupakan sebuah organisasi petani
berbasis produksi. Fokus penelitian ini diarahkan pada karakteristik serikat,
paguyuban dan kelompok tani yang menjadi anggota paguyuban. Serikat,
paguyuban dan kelompok tani menjadi studi kasus sebagai media menangkap
karakter organisasi petani yang berada di tingkat basis/lokal.
Sebagai bagian dari sebuah proyek, penelitian ini dilakukan secara
bertahap dari tahun 2002 hingga 2005. Dalam periode waktu tersebut, total waktu
efektif yang digunakan untuk melakukan penelitian lapang sekitar tiga bulan.
Penelitian tahap akhir dilakukan pada bulan Januari sampai Pebruari 2005. Dalam
proses penulisan tesis, peneliti merasa perlu kembali terjun ke lapang guna
melakukan pendalaman dan triangulasi hasil studi yang dilakukan pada tanggal 16
Agustus hingga 3 September 2005.
Unit Analisis dan Teknik Penentuan Subyek Penelitian
Organisasi tani sebagai unit analisis dipilih berdasarkan kriteria ada
tidaknya kegiatan produksi atau ekonomi dalam organisasi tersebut. Pilihan
organisasi atas dasar basis pembentukan menjadi penting karena unit analisis
penelitian ini adalah organisasi. Dengan demikian pemilihan secara purposive atas
tipe organisasi menjadi dasar validitas data.
Pilihan unit analisis penelitian ini membutuhkan kejelian untuk
menangkap karakter perlawanan yang ditampilkan. Penggalian informasi,
dinamika dan karakter organisasi secara utuh mengharuskan peneliti melakukan
pengamatan di tiga aras organisasi sekaligus. Terkait dengan hal tersebut, serikat,
paguyuban dan kelompok tani menjadi subyek tineliti dalam waktu yang relatif
berurutan. Paguyuban yang menjadi subyek tineliti sebanyak 4 paguyuban yang
masing-masingnya diambil tiga kelompok tani yang mewakili kekhas -an karakter
setelah sebelumnya didiskusikan dengan SPPQT.
39
Teknik Pengambilan Data
Sebagai sebuah penelitian dengan metode kualitatif, teknik pengambilan
data dapat dilakukan dengan menerapkan berbagai cara. Penelitian kualitatif
merupak an suatu metode berganda dalam fokus, yang melibatkan suatu
pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahannya (Salim,
2001). Ini berarti metode kualitatif bekerja secara emic dalam upaya memahami,
memberi tafsiran pada realitas sosial yang terlihat dan disampaikan oleh subyek
tineliti. Realitas sosial yang ingin ditangkap pada dasarnya merupakan bagian dari
pertanyaan penelitian yang ingin dijawab. Dengan demikian, untuk mendapatkan
jawaban atas masalah yang diteliti, penelitian ini menggunakan secara inheren
strategi yang merupakan multi-metode yang dikerangkai oleh satu fokus yaitu
masalah penelitian.
Permasalahan yang kompleks dalam hal pengakuan, penguatan dan
perlindungan memunculkan sebuah keinginan untuk menggali lebih lanjut kaitan
antara keberadaan organisasi petani dengan perjuangan menegakkan kesetaraan.
Disamping itu, penggalian tentang organisasi petani akan lebih bermakna ketika
diarahkan pada upaya pengelolaan sumber-sumber agraria yang suatu saat
berbenturan dengan pemerintah sehingga memaksa petani membangun organisasi
dalam bentuk yang lebih kokoh agar dapat melakukan serangkaian kegiatan
advokasi atas hak -haknya di masa depan.
Data-data primer diperoleh dengan menggunakan instrumen penelitian
yang terdiri dari panduan pertanyaan dan kuesioner singkat. Data tersebut
diperoleh melalui wawancara mendalam atau interview yang dilakukan terhadap
informan kunci dan responden. Perkiraan kebutuhan data yang dianggap penting
untuk membangun kerangka teori dan menjawab masalah yang diajukan, disusun
dengan menggunakan panduan pertanyaan. Panduan pertanyaan digunakan untuk
memperoleh data kualitatif tanpa bermaksud mengarahkan tineliti untuk
menjawab dengan jawaban tertentu. Dengan demikian pertanyaan yang ada
bersifat pertanyaan terbuka (Lihat Lampiran 1 dan 2.).
Keperluan atas data-data primer diperoleh dari kuesioner singkat yang
disusun berdasarkan kebutuhan data. Penggunaan kuesioner penting terutama
40
untuk memudahkan peneliti menganalisis berdasarkan kategori data. Data akan
lebih cepat ditangkap ketika pertanyaan dimunculkan secara lebih sistematis.
Untuk data sekunder, peneliti mengambil laporan-laporan kegiatan
organisasi petani sekaligus untuk melakukan cross-cek data tersebut dengan data
lapang. Data-data sekunder diperoleh dari jurnal kegiatan organisasi. Jurnal
tersebut memperlihatkan kegiatan -kegiatan organisasi yang terkait dengan tujuan
pembentukan organisasi petani yakni memperkuat kedudukan petani. Data
sekunder juga diperoleh dari media-media komunikasi yang dikeluarkan oleh
organisasi. Pada organisasi yang berciri sistematis, media menjadi sarana yang
tepat dalam mempublikasikan kegiatan-kegiatan organisasi sekaligus sebagai
sarana mensosialisasikan eksistensi sebuah organisasi. Kegiatan organisasi
tergambar dalam media sehingga memudahkan penelusuran perkembangan
organisasi.
Sebagai sebuah penelitian kualititatif, penelitian ini menggunakan metode
berganda yang melibatkan suatu pendekatan interpretatif dan wajar terhadap
setiap pokok permasalahannya. Untuk mendapatk an pemahaman yang lebih
mendalam mengenai fenomena yang sedang diteliti, diterapkan triangulasi sebagai
alternatif terhadap pembuktian untuk menambah kekuatan, keluasan dan
kedalaman suatu penelitian. Sebagai sebuah penelitian studi kasus, penelitian ini
memadukan metode pengamatan berperanserta, wawancara mendalam, Focus
Group Discussion (FGD) dan studi analisis data dokumen. Berbagai teknik dan
strategi pengambilan data sekaligus dipergunakan untuk lebih mengarahkan dan
mempertajam pokok-pokok informasi yang ingin diperoleh dalam penelitian ini.
Data awal bagi penulisan tesis ini sesungguhnya telah diperoleh dari
rangkaian kegiatan penelitian PKA-IPB. Namun demikian, ada beberapa hal yang
menjadi fokus kajian dari tesis ini yang belum tercakup dalam penelitian tersebut.
Atas pertimbangan tersebut maka penulis memutuskan untuk kembali melakukan
penelitian ditengah proses penulisan tesis. Turun lapang kedua lebih
memfokuskan pada kelengkapan data terkait dengan hasil analisis sementara yang
dilakukan penulis. Dalam kepentingan tersebut, penelitian diarahkan pada aspek
filosofis dari bangunan organisasi. Wawancara diarahkan pada pendiri dan
inisiator organisasi untuk memperoleh gambaran arah organisasi.
41
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Ilmu sosial yang bermuara pada output pencarian makna memperbolehkan
ilmuwannya menggunakan berbagai metode baik kualitatif maupun kuantitatif
(Salim, 2001) agar makna atas segalanya dapat saling mendukung. Penelitian ini,
meskipun menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, namun data dianalisis
secara kualitatif. Penggunaan kuesioner terbuka memungkinkan digunakannya
pertanyaan terbuka sehingga jawaban diperoleh dalam bentuk kualitatif.
Gambaran realitas sosial dianalisis dengan menggunakan teori kritis dalam
ranah interpretatif-kritis. Dengan dukungan teoritis, secara kritis realitas sosial
ditarik pada satu kesimpulan yang berupaya memahami makna dibalik
realitas/fenomena sosial. Analisis kritis juga dikembangkan dengan melibatkan
proses dialogis-komunikatif. Proses dialo gis-komunikatif mutlak diperlukan
dalam paradigma kritis karena secara filosofis realitas sosial tidak hakiki
melainkan hasil interpretasi individu yang bersifat relatif -subyektif terkait dengan
pengalaman individu.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan tiga alur kegiatan
yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data
(Miles dan Huberman, 1992: 15-21). Tiga alur tersebut dilakukan selama peneliti
masih berada di lapang sehingga jika ada bagian -bagian yang masih belum
lengkap dapat dilakukan pencarian data kembali. Reduksi data merupakan
kegiatan pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan,
dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis lapangan.
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memungkinkan
penarikan kesimpulan.
Data yang diperoleh dari realitas sosial dipahami secara mendalam untuk
mendapatkan gambaran yang mendekati persepsi subyek tineliti. Dalam hal ini,
kesamaan persepsi atas sebuah realitas sosial dapat saja terjalin antara peneliti-
subyek tineliti, namun peneliti akan menggunakan kerangka teoritis untuk
menginterpretasikan realitas sosial kedalam sebuah pemahaman yang lebih jauh
dapat menggambarkan posisi sosial atas sebuah realitas . Ini merupakan refleksi
lebih lanjut, tidak hanya sekedar menafsir, menginterpretasi dan memaknai,
melainkan sebuah upaya melihat realitas dari sudut pandang kritis,
42
mempertanyakan dan membangun dasar teoritis yang kuat untuk membangun
jawaban atas pertanyaan kritis.
Penelitian ini relatif tidak memiliki tingkat kesulitan dalam
mengumpulkan data dan menganalisis realitas empiris. Hal tersebut didukung oleh
keberadaan SPPQT sebagai organisasi formal, bersifat terbuka sehingga
pendekatan relatif mudah dilakukan. Kendala yang mengemuka justru ketika
harus melakukan wawancara di empat paguyuban yang letaknya berjauhan,
terlebih ketika harus menentukan studi kasus kelompok tani dari masing-masing
paguyuban. Terkait dengan organisasi sebagai unit analisis, diakui ada bias dalam
proses pengumpulan informasi dimana wawancara banyak diarahkan pada
pengurus organisasi. Hal ini tidak dapat dihindari karena pertanyaan yang disusun
mengarah pada sejarah, tujuan dan perkembangan organisasi yang lebih banyak
diketahui pengurus dibanding anggota organisasi. Kegiatan FGD yang dilakukan
kurang dapat merangsang anggota organisasi untuk bicara dan mengungkapkan
pengetahuan tentang organisasi. Dengan demikian proses FGD lebih banyak
didominasi oleh pengurus organisasi.
Menempatkan realitas empiris dalam kerangka teoritis memerlukan
curahan waktu dan pikiran lebih mengingat sifat unik organisasi (Lampiran 7).
Informasi tentang organisasi yang dikumpulkan sebagian besar berada pada ranah
pembangunan, namun setelah melakukan diskusi lebih lanjut dan melakukan
kegiatan turun lapang tahap dua, diperoleh gambaran bahwa kegiatan tersebut
hanya sebatas strategi dan langkah taktis untuk membungkus gerakan. Dibutuhkan
waktu sekitar enam bulan untuk memahami posisi SPPQT dalam ranah gerakan
sosial petani.
Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri atas delapan bab dalam usahanya menggambarkan karakter
perlawanan petani. Masing-masing bab mewakili fokus pembahasan yang berbeda
sehingga mempermudah pemahaman pembaca. Bab I (pendahuluan) berisi
pemaparan mengenai mengapa perlawanan petani menarik untuk dikaji. Pilihan
fokus penelitian didasarkan atas fakta bahwa keterpurukan petani disebabkan
ketidakberpihakan kebijakan pemerintah. Konteks sosial politik dan ekonomi
43
menjadi arena percaturan yang melahirkan gagasan perlawanan petani. Dalam
perkembangan baru tampak bahwa perlawanan petani diwujudkan dalam bentuk
organisasi petani. Bab ini menggambarkan kearah mana alur penelitian ini akan
dibawa melalui rumusan pertanyaan penelitian. Bab II (tinjauan teoritis) sarat
dengan pendekatan teori tentang aspek yang akan dikaji dalam tesis. Berbicara
tentang perlawanan petani tentunya tidak akan lepas dari uraian tentang siapa
sesungguhnya petani dan bagaimana karakternya. Gerakan sosial menjadi bagian
dari basis ide kesadaran kolektif. Perlawanan petani terjadi sebagai respon atas
kondisi yang dihadapi. Terkait dengan hal tersebut, pengorganisasian petani dapat
dianggap sebagai strategi dalam melawan struktur yang ada. Secara khusus bab II
juga memaparkan kerangka pemikiran sebagai panduan analisis tesis. Bab III
(pendekatan lapang) merupakan pendekatan yang dikembangkan untuk bisa
menjawab pertanyaan penelitian. Bab ini berisi strategi penelitian, lokasi dan
waktu penelitian, unit analisis, teknik pengambilan data, dan teknik pengolahan
dan analisis data. Strategi analisis dilakukan dengan menggunakan kerangka
gerakan sosial dalam pendekatan neo-Marxian. Fakta yang diperoleh dengan cara
dialogis diinterpretasi secara kritis.
Bab IV (kendala struktural petani dalam berorganisasi) mengemukakan
sesuatu yang menjadi kendala struktural petani dalam berorganisasi. Disisi lain,
kendala tersebut dapat dilihat sebagai sesuatu yang mendorong lahirnya
pengorganisasian petani. Persoalan mendasar yang paling bersentuhan dengan
petani adalah ekonomi dan politik. Perkembangan kebijakan yang terkait dengan
dua hal tersebut menciptakan keterpurukan petani. Bab ini berbicara tentang
mekanisme faktor tersebut dalam sumbangannya melahirkan organisasi.
Disamping itu, terdapat gambaran tentang perkembangan faktor sosio -ekonomi
politik yang menghambat pengorganisasian petani sehingga organisasi petani
relatif baru muncul pada masa reformasi. Bab V (karakteristik organisasi
produksi) bicara tentang karakter organisasi komunitas yang menggunakan
strategi CD. Didalamnya terdapat gambaran perkembangan internal organisasi
produksi. Pola pengorganisasian organisasi tipe ini diperlihatkan untuk
memperoleh pemahaman tentang keterkaitan organisasi antar aras. Pilihan
kegiatan yang dikembangkan tampak berbeda dengan organisasi yang berangkat
44
dari kasus agraria. Organisasi produksi mempunyai tanggung jawab dalam hal
peningkatan kesejahteraan anggota melalui pendekatan ekonomi. Dengan
demikian dinamika organisasi mengarah pada kegiatan yang berorientasi
persoalan ekonomi dan produksi sebagai basis organisasi ini.
Bab VI (people-center oriented : pilihan gerakan) berisi state of the art
organisasi yang dibangun atas dasar kebutuhan ekonomi produksi namun berujung
pada perlawanan. Bab ini berusaha memaparkan bahwa paradigma yang
dikembangkan oleh organisasi petani adalah people-center oriented . Pilihan atas
paradigma yang diusung lebih mendekatkan pada upaya mencapai kedaulatan
petani. Didalamnya juga diperlihatkan perbandingan antara production-center
oriented dengan people-center oriented. Perbedaan diantara keduanya
menyebabkan petani lebih memilih pendekatan kedua dalam berorganisasi.
Perbedaan antara CO dengan CD yang dipaparkan dalam bab ini merujuk pada
tulisan Hollnsteiner (1979). Untuk lebih memahami perbedaan diantara keduanya,
dikemukakan contoh dalam konteks lain.
Bab VII (perlawanan tersamar organisasi petani) mengarahkan pada hasil
analisis tiga bab terdahulu yang menceritakan tentang kendala struktural
berorganisasi, karakter organisasi produksi dan pilihan paradigma petani.
Organisasi petani dengan cita-cita menggapai kedaulatan petani harus mempunyai
strategi yang tepat ketika berhadapan dengan aktor yang lebih kuat. Bab ini berisi
kritikan atas paradigma pembangunan pertanian yang berorientasi production-
center development. Sebagai organisasi produksi, perlawanan tersamar
mengindikasikan cara-cara petani menampilkan model baru pemberdayaan petani
namun dengan menerapkan mainstream lama agar terhindar dari resistensi
pemerintah. Sebuah istilah yang mungkin mendekati tepat dengan realitas sosial
yang muncul adalah upaya memindahkan jalur perlawanan dari pola radikal ke
pola yang lebih halus. Dalam kerangka ini, terjadi pemindahan strategi
perlawanan yang kemudian menghasilkan perlawanan tersamar organisasi petani.
Tersamarkan oleh jargon pembangunan yang diusung namun disadari maupun
tidak, bermuara pada efektifitas perlawanan terhadap kekuatan struktural.
KENDALA STRUKTURAL PETANI DALAM BERORGANISASI
Pembentukan organisasi petani tidak dengan mudah dikemukakan
terutama jika dikaitkan dengan karakter petani. Berbagai literatur (Scott: 1994,
Popkin: 1986, Shanin: 1971) tentang petani menghasilkan gambaran yang hampir
senada. Sebagai satu entitas sosial, petani digambarkan memiliki sifat tertutup dan
sulit untuk sampai pada pengorganisasian. Tulisan Scott mengantarkan kajian
pada bentuk perlawanan sehari-hari yang tidak terorganisir (Scott,1993). Namun
demikian, penting dikaji sebuah fase dimana perubahan orientasi petani dapat
terjadi karena dorongan-dorongan tertentu. Worsley (1982) mengemukakan
melalui konsep depeasantisasi.
Petani menghadapi tekanan yang demikian kuat sehingga mencoba bangkit
dan keluar dari ciri moralitas petani-nya Scott. Tekanan tersebut oleh tulisan lain
(Smith and Buttel, Johnson, Shanin; 1971) didefinisikan lahir dari sebuah proses
modernisasi dan industrialisasi. Kedua proses tersebut mengintegrasikan petani
kedalam sistem ekonomi berciri kapitalis. Gejala depeasantisasi mulai tampak
ketika pertanian mengarah pada intensifikasi dan diversifikasi tanaman dengan
tujuan meningkatkan produksi. Pada masa itu, petani sudah masuk pada lingkaran
kekuatan global dan terintegrasi kedalam sistem ekonomi kapitalis. Analisis
tentang fenomena tersebut dapat berangkat dari konteks dimensi hubungan agraria
sebagai landasan analisis dalam kajian organisasi petani.
Lahirnya perlawanan, secara empiris dapat dihubungkan dengan
persoalan-persoalan yang dihadapi petani. Persoalan yang tampak dan
mengemuka pada petani Salatiga terutama terkait dengan struktur agraria yang
timpang, sewa lahan mahal, ketimpangan struktur kerja dan posisi buruh, upah
buruh yang tidak adil, dan maraknya tengkulak. Persoalan kesejahteraan dan
kemiskinan dapat ditelusuri dari kondisi struktur agraria pada komunitas. Ini tentu
saja akan menyangkut tidak hanya persoalan kepemilikan melainkan juga relasi
sosial yang terjalin antara stakeholder yang ada. Tampak bahwa pendekatan
struktur kepemilikan lahan menjadi penting dan harus mendapat porsi perhatian
yang luas dan menjadi sandaran pokok mengurai permasalahan yang dihadapi
petani. Hal tersebut terkait dengan struktur kepemilikan lahan di Jawa yang di
46
dalamnya terdapat kepemilikan perhutani maupun swasta dalam bentuk HGU
yang meminggirkan kepemilikan masyarakat.
Kajian tentang permasalahan petani didasarkan pada dua pijakan besar
yaitu permasalahan yang menyangkut aspek kultural dan permasalahan yang
menyangkut aspek struktural. Dalam konteks dimensi agraria, dua permasalahan
ini kemudian berakibat pada kemiskinan yang berakar dari tekanan yang terjadi
atas petani. Pearse (1968) melengkapinya dengan uraian bahwa persoalan yang
paling berat menimpa petani adalah persoalan struktural 1 . Soetomo (1997)
meninjau implikasi atas permasalahan ini pada bermuaranya kekalahan manusia
petani yang selalu terjadi sepanjang sejarah kehidupan petani.
Telah dikemukakan di awal bahwa bentuk organisasi memperlihatkan pola
gerakan yang dianut embrio organisasi sebelum organisasi SPPQT diformalkan.
Penelusuran sejarah terbentuknya organisasi membawa pada upaya menyingkap
persoalan-persoalan kontekstual yang dihadapi petani. Paling tidak, ada dua faktor
yang terkait erat dalam mengilhami terbentuknya SPPQT. Kondisi ekonomi dan
politik yang secara signifikan berpengaruh pada menguatnya keinginan
membentuk organisasi di tingkat lokal sekaligus menjadi kendala terbentuknya
organisasi.
Konteks Ekonomi dan Politik Sebagai Kendala Berorganisasi
Jauh sebelum penelitian ini dilakukan, petani telah dihadapkan pada
konteks relasi dengan supra lokal. Sayangnya relasi tersebut menciptakan pola
hubungan yang tidak seimbang yang mengakibatkan petani selalu mengalami
kekalahan. Hegemoni kekuatan orang luar terhadap petani diungkapkan pula oleh
Shanin (1971) sebagai salah satu tipe umum karakteristik petani. Menurut Shanin,
posisi petani adalah posisi paling bawah (underdog ) yang selalu di bawah bayang-
bayang kekuatan yang selalu ada di luar diri petani itu sendiri. Sering dikatakan
bahwa petani merupakan “perpanjangan tangan” dari pusat-pusat kekuatan sosio -
1 Dikatakan oleh Pearse bahwa: satu, petani kecil merupakan kelompok marjinal karena keikutsertaannya dalam sistem sosial telah meletakkan mereka sebagai elemen yang dibuat bergantung tak berdaya sepenuhnya (a dependent powerless element). Dua, pilihan-pilihan petani ditentukan oleh pihak-pihak di luar petani. Tiga, petani terasing dari jaringan-jaringan informasi aktual mengingat keterbatasan kemampuan kognitif mereka, sistem transportasi yang belum sempurna, dan perbedaan kultur serta posisi inferior dalam pasar.
47
politik. Kekuatan sosio -politik tadi membentuk jaringan bersama dengan kondisi
budaya dan ekonomi untuk melakukan subordinasi dan eksploitasi yang menekan
masyarakat petani. Melihat demikian, rasanya tidak berlebihan ketika petani
beserta pihak yang peduli terhadap petani mencoba melepaskan belenggu
ketertindasan. Alternatif kemudian jatuh pada dibangunnya sebuah kekuatan
konsolidasi internal dalam bentuk organisasi petani.
Menilik perjalanan panjang sejarah kebijakan yang menyangkut petani,
tampak bahwa respon terhadap kondisi yang ada dipengaruhi oleh tidak adanya
keberpihakan kebijakan terhadap petani. Penelusuran periode kesejarahan paling
tidak membuktikan hal tersebut. Tonggak pergerakan atau perlawanan kaum tani
dimulai dengan pemberontakan petani di Cianjur Tahun 1845, Banten Tahun 1850,
Cilegon Tahun 1888, serta beberapa daerah lain. Pemberontakan pertama di
Banten dan Cilegon dipelopori oleh para kyai dan jaringan tarekatnya. Gerakan ini
dilatarbelakangi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang telah
meminggirkan kepentingan rakyat miskin pada masa itu.
Karakter perlawanan masih terkesan sekterian (aliran islam) pemimpinnya
adalah para guru atau ustadz. Situasi yang mempengaruhi gerakan petani dalam
konteks ini adalah mulai terancamnya tradisi budaya islam. Pada masa ini terjadi
pengaruh pola pendidikan barat yang mengancam pesantren atau pondokan-
pondokan yang mengajarkan ajaran islam.
Pasca kolonialisasi, pemerintahan Bung Karno menentukan sikap politik.
Pengamanan aset-aset negara pasca perang dingin, ternyata mempengaruhi sikap
politik pemimpin nasional untuk melakukan pengamanan harta pampasan perang.
Kebijakan menasionalisasi perusahaan asing yang ada di Indonesia dilakukan
dengan cara menguasai perusahaan perkebunan, pertambangan dan kilang-kilang
minyak (Tauchid, 1952).
Pergerakan politik mewarnai gerakan petani, untuk merebut obyek-obyek
landreform yang ditetapkan oleh negara. Kelompok petani menjadi kekuatan basis
bagi organisasi politik dengan cara gerakan petani sebagai ormas-ormas berafiliasi
dengan organ induknya. Keberpihakan Soekarno tidak sampai disitu. Sekitar
tahun 1960 lahir UUPA yang merupakan produk kebijakan yang mampu
48
mengakomodir kebutuhan petani. Tanah sebagai obyek landreform dibagikan
kepada petani.
Stigma PKI muncul sebagai konsekuensi atas aksi sepihak yang dilakukan
BTI yang merupakan underbouw PKI. Peristiwa ini memunculkan trauma di
kalangan petani. Pembatasan ruang gerak terjadi di setiap organisasi non-bentukan
pemerintah. Pada masa itu, gerakan rakyat mengalami kekalahan. Kekuasaan
mengatur dan mengelola sumber-sumber agraria berada di tangan pemerintah
Orde Baru.
Perjalanan Era Politik Soeharto Hingga Neoliberalisme
Politik ekonomi negara pada rezim Soekarno berkuasa, lebih bercorak
sosialis populis dengan menasionalisasi aset-aset Belanda (perusahaan asing)
menjadi milik negara dan produk kebijakan UUPA No. 5/1960 tentang pembagian
tanah untuk rakyat miskin.
Warisan sistem feodalisme dan kolonialisme melahirkan konsentrasi tanah
pertanian pada golongan petani kaya. Benih pertanian, pestisida, dan pupuk kimia
diproduksi dengan subsidi sekaligus dimonopoli oleh pemerintah. Pemerintah
memberikan paket kredit subsidi keuangan dan kredit ketahanan pangan.
Pemerintah mengembangkan dan mengontrol sistem irigasi dengan mengandalkan
pinjaman luar negeri. Pemerintah juga menentukan dan mengatur harga sebagai
bagian dari alat kontrol politis pemerintah.
Jaringan revolusi hijau dan isu ketahanan pangan menerapkan program
dengan didasarkan pada asumsi terjadinya kelangkaan bahan pangan. Sebagai
akibat dari pola-pola yang bias pemerintah, pola pertanian tradisional berubah
menjadi pola pertanian modern yang sangat bias jender dan telah meminggirkan
peran perempuan dalam bidang pertanian. Kontrol pemerintah juga terlihat dalam
pembatasan organisasi petani. Hanya organisasi petani nasional (resmi) yang
didukung oleh pemerintah dan menjadi alat kekuatan politik pemerintah. Demi
menjaga kewibawaan kekuasaan pemerintahan orde baru, pemerintah mengatur
dan mendominasi pendidikan petani melalui perluasan wilayah kerja buruh dan
sistem perusahaan dalam proses produksi maupun distribusinya.
Pasar bebas (perusahaan pertanian), yang tidak mengenal batas-batas
negara menjadi trend perdagangan internasional. Penguasaan bisnis pertanian
49
dipegang oleh negara dengan kepemilikan modal kuat. Kebijakan pengelolaan
tanah oleh pengusaha pertanian (corporate) menyingkirkan petani gurem dari alat
produksi mereka. Implikasinya adalah petani menjadi buruh di lahannya sendiri.
Pemerintah memotong dan menghentikan semua bentuk subsidi pertanian
bagi petani. Hal ini dilakukan untuk melindungi mekanisme pasar bebas dan
dikuatkan dengan produk kebijakan dan undang-undang yang menjamin investasi
asing untuk memonopoli bidang pertanian. Privatisasi perusahaan publik (milik
negara) dilakukan dengan menggunakan pinjaman dana luar negeri.
Periode revolusi hijau (1965-an sampai 1980-an)
Organisasi petani sebagai sebuah fenomena pedesaan membawa kembali
pada penelusuran historis tentang program intensifikasi pertanian pada awal
Tahun 1980 yang kemudian dikenal sebagai revolusi hijau. Kelompok petani yang
dibentuk pada masa itu merupakan perpanjangan pemerintah dalam
kepentingannya mentransfer teknologi pertanian secara efisien. Sejak masa itulah
kelompok petani menjadi rumah tangga dalam lingkaran pembangunan pertanian.
Dari penjelasan demikian, tidak mengherankan bila organisasi petani tumbuh
sebagai bagian dari program pemerintah dalam konteks pembangunan pertanian
pedesaan. Hal ini berarti organisasi petani menjadi tidak mandiri dalam
mengembangkan kapasitas dan aktivitasnya.
Karakter organisasi demikian biasanya berada di bawah pengawasan salah
satu departemen pemerintah. Hal ini berarti organisasi petani menjadi tidak
mandiri dalam mengembangkan kapasitas dan aktivitasnya. Sebagai contoh adalah
Kelompok Tani Hutan (KTH) yang merupakan inisiatif dan diorganisir oleh
Perum Perhutani atau kelompok tani yang merupakan inis iatif dan diorganisir oleh
departemen pertanian. Kebijakan massa mengambang pada pemerintah orde baru
- pemaksaan terhadap aktivitas politik di aras dusun - mengharuskan organisasi
petani tidak keluar dari aktivitas ekonomi semata.
Pada masa orde baru yang dicirikan oleh karakter sentralistik, kekuasaan
berada di tangan pemerintah. Organisasi-organisasi kemasyarakatan harus
mendapat ijin resmi dari pemerintah, termasuk organisasi tani. Bahwa organisasi
tani dianggap sebagai organisasi illegal terancam dibubarkan atau dikategorikan
sebagai tindakan subversif. Sentralistik juga terjadi dalam hal pertanian. Kontrol
50
atas kestabilan harga dan distribusi hasil produksi pertanian serta penyediaan
sarana produksi pertanian menjadi agenda penting pemerintah. Tidak heran karena
pada masa itu pemerintah menjadi perpanjangan kaum kapitalis. Proyek atas nama
pembangunan dilakukan dengan menggusur tanah rakyat. Pembangunan waduk,
irigasi atau dam-dam yang diperoleh dari bantuan luar negeri makin
mengukuhkan jebakan kapitalisme.
Paket sarana pertanian yang ditawarkan (meliputi bibit, pupuk dan
pestisida) seringkali menjadi alat eksploitasi terhadap petani terutama ketika pada
tahun 1970/1980-an, pemerintah mencanangkan revolusi hijau. Program inmas-
bimas merupakan wujud kebijakan dengan capaian peningkatan produksi
swasembada beras. Dalam prakteknya, pemerintah mewajibkan petani
menggunakan bibit dan pupuk kimia dari pemerintah.
Dampak dari kebijakan yang tidak tepat adalah tingginya tingkat
ketergantungan petani kepada pemerintah dalam memenuhi seluruh sarana
produksi pertanian. Implikasinya adalah monopoli pemerintah terhadap sektor
pertanian, diantaranya harga pupuk pertanian dan distribusi yang ditentukan
pemerintah. Dampak lainnya adalah kerusakan lahan pertanian akibat asupan
kimia yang cukup tinggi dari pupuk yang digunakan oleh petani. Sawah menjadi
rakus pupuk dan penggunaan kebutuhan pupuk terus meningkat.
Kepemilikan lahan pertanian rata-rata petani di Indonesia adalah kurang
dari 0,25 ha sawah. Hasil produksi luas an lahan tersebut sangat jauh dari
mencukupi. Kondisi makin buruk ketika keberadaan pupuk kimia menambah
sulitnya peningkatan hasil produksi pertanian. Sejak tradisi pertanian di pedesaan
petani terusik oleh desakan relasi kepentingan internasional, berakibat pada porak-
poranda-nya institusi pertanian. Fenomena ini menciptakan model ketergantungan
yang mutlak karena mata rantai ekosistem di pertanian telah rusak oleh kebijakan
yang mengacu pada produktifitas semata (swasembada pangan).
Akibat lain yang terkait dengan pola relasi internal dalam komunitas
adalah terjadinya polarisasi antar kelas sosial. Penguasaan modal dan kapital
terakumulasi pada golongan petani kaya sehingga tercipta kesenjangan sosial yang
tajam antara petani kaya dan petani miskin. Memudarnya kepercayaan antar
elemen dalam komunitas lebih disebabkan program revolusi hijau diintroduksikan
51
melalui golongan elit atau melalui agen pembangunan. Tidak dipergunakannya
relung sodality (Tjondronegoro, 1984) sebagai satuan kelembagaan yang
berbasis kan hubungan kepentingan menyebabkan program tidak bersifat
berkelanjutan.
Dampak lain adalah hilangnya kemampuan petani untuk mengolah lahan
pertaniannya. Petani tidak lagi memiliki otoritas produksi karena diharuskan
merujuk peraturan yang ada. Akibatnya, pengetahuan lokal perlahan hilang. Peran
perempuan dalam proses produksi mulai tergilas dengan penggunaan teknologi
modern. Teknologi revolusi hijau yang bias jender menyebabkan perempuan
kehilangan kemampuan beradaptasi dengan teknologi baru.
Disadari ataupun tidak, revolusi hijau telah memulai deretan masalah yang
dihadapi petani. Persoalan tidak hanya menyangkut masalah teknis produksi.
Persoalan yang dihadapi petani juga diakibatkan oleh instrumen politik, terutama
ketika pemerintah menjadi kaki tangan kaum imperialis-kapitalis melalui investasi
sekaligus membuka kran bagi kaum investor. Program pembangunan kemudian
diarahkan pada industri pemodal, dan bukan pada industri lokal. Jadi
sesungguhnya sejak masa Soeharto sampai saat ini, kebijakan pemerintah,
terutama karakter ekonomi-politiknya tetap tidak berpihak pada rakyat/petani. Jika
ini tetap terjadi, maka persoalan ini harus direspon dengan penataan struktur
agraria dengan solusi yang ditawarkan adalah reforma agraria. Pasca 1998
persoalan juga mengarah pada tidak berubahnya persoalan ekonomi dan politik.
Program revolusi hijau yang didisain pemerintah berimplikasi pada
orientasi tujuan peningkatan produksi melalui intensifikasi pertanian. Strategi
yang diterapkan adalah teknologisasi, perkreditan rakyat, koperasi dan rehabilitasi
pengairan yang bertujuan untuk peningkatan produksi pangan. Program yang
hanya berorientasi produksi di atas dilakukan tanpa terlebih dahulu merubah
struktur sosial yang ada. Implikasi dari pilihan tersebut adalah dominasi elit lokal
desa dan tersubordinasinya golongan kecil di desa. Banyak literatur menunjukkan
bahwa dampak revolusi hijau meluas pada aspek distribusi input produksi,
dampak lingkungan, dan persoalan jender mainstream.
Segera tampak bahwa revolusi hijau hanya menjadi awal proses
peminggiran sektor pertanian. Revolusi hijau menjadi media berjalannya proses
52
ketergantungan secara ekonomi, teknologi, budaya, pengetahuan, sekaligus politik.
Modernisasi pertanian melalui tangan revolusi hijau telah mencabut secara paksa
formasi sosial non-kapitalis yang selama ini bertahan di masyarakat pedesaan.
Selanjutnya, proses ini berkembang kearah ketergantungan petani pada sistem
kapitalis global yang diwakilkan pada negara dan pemerintah lokal melalui
investasi dan orientas i pertumbuhan.
Periode 1980-an sampai neo -liberal
Paham globalisasi dimulai dari berkembangnya paham merkantilisme
yang menunjukkan gerakan ekspansi negara besar terhadap negara kecil. Paham
merkantilisme mengedepankan prinsip “mengekspor sebanyak-banyaknya dan
mengimpor sesedikit-sedikitnya”. Dari sinilah dikenal balance of trade dimana
negara harus mengejar surplus perdagangan dengan memaksimalkan ekspor ke
berbagai negara sehingga mendatangkan keuntungan besar. Kaum merkantilis
juga menerapkan pola proteksi atas produk-produk pertanian yang ada di
negaranya. Dalam perkembangan selanjutnya, paham merkantilisme melakukan
penyesuaian-penyesuaian dengan konteks dunia pada saat itu sehingga jalur
politik negara berubah menjadi paham perdagangan bebas (free trade) yang
merupakan upaya meningkatkan pasar dalam negeri dengan sasaran negara Dunia
Ketiga. Paham free trade membawa implikasi pada terciptanya mekanisme
globalisasi di negara maju dengan cara menerapkan model pembangunan
berorientasi ekspor. Prinsip utama globalisasi yang diterapkan adalah keinginan
untuk mengintegrasikan dan menggabungkan seluruh aktivitas ekonomi dari
semua negara ke dalam suatu model tunggal pembangunan yang diseragamkan
(sebuah sistem yang tersentralisasi). Prinsip kedua adalah kepentingan utamanya
terletak pada pencapaian pertumbuhan ekonomi korporasi yang senantiasa melaju
pesat. Negara berkembang sebagai sasaran pasar bagi negara maju untuk
kemudian mengikuti berbagai kebijakan politik yang diambil oleh tatanan
ekonomi dunia sehingga berpengaruh di tingkat petani. Dalam prinsip globalisasi,
kebijakan negara berkembang sebagai refleksi kebijakan negara maju dalam
sektor perdagangan dan ekonomi
Untuk mempengaruhi kebijakan politik pemerintah negara berkembang,
peran aktor sangat signifikan dalam permainan globalisasi, diantaranya adalah:
53
1. TNC’s yakni perusahaan multinasional besar yang membentuk dewan
perserikatan perdagangan global yakni WTO
2. WTO (World Trade Organizations)
3. Lembaga keuangan global IMF dan Bank Dunia yang menetapkan
aturan seputar investasi
Keberadaan tiga aktor di atas sangat berpengaruh terhadap mekanisme
globalisasi yang berkembang terutama terkait dengan implikasinya dalam
perubahan kebijakan yang memihak kepentingan perusahaan transnasional. Hal
tersebut tidak hanya akan memarjinalkan mayoritas rakyat miskin namun juga
akan berhadapan dengan kepentingan dan nasib petani kecil, nelayan, pedagang
sektor informal, dan masyarakat adat, khususnya dalam hal perebutan sumber
daya alam terutama tanah, hutan, dan laut.
Segera tampak bahwa paradigma pembangunan pemerintah tidak berpihak
pada penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Penguasaan tanah
sebagai alat produksi oleh petani tidak pernah menjadi prioritas sehingga
penguasaan atas tanah garap petani diabaikan dan belum dianggap sebagai faktor
utama dalam ketersediaan pangan oleh negara. Sementara konsolidasi lahan yang
dilakukan oleh perusahaan besar lebih mengarah pada kepentingan perkebunan
(monokultur). Proyek-proyek agribisnis, hak pengelolaan hutan, industri-industri
besar, pabrik-pabrik multinasional dan Trans-National Corporations (TNC’s)
yang menempatkan rakyat sebagai buruh justru difasilitasi negara. Disisi lain
tindak kekerasan yang dilakukan oleh alat negara terhadap petani yang mencoba
memperjuangkan hak-hak atas tanah mereka makin mencuat.
Beberapa dampak kebijakan pemerintah yang merugikan petani
diantaranya (Setiawan, 2003) adalah: pertama, penghapusan subsidi ekspor.
Pemerintah mengurangi subsidi untuk ekspor produk pertanian. Sementara negara
maju justru melakukan subsidi ekspor melalui subsidi domestik negaranya. Kedua,
penghapusan subsidi domestik bagi petani sehingga harga pupuk mahal. Dilain
pihak negara maju justru meningkatkan subsidi untuk petaninya. Ketiga, akses
pasar melalui tarif impor. Pajak impor di negara berkembang sangat kecil jika
dibandingkan dengan negara maju yang mencapai 300%. Seluruh kesepakatan
WTO tidak bisa ditawar oleh negara miskin seperti Indonesia. Apalagi secara
54
beruntun IMF dan World Bank menawarkan hutang dengan syarat pemerintah
Indonesia harus menurunkan pajak impor gula, beras, gandum dan bawang putih.
Semua dilakukan oleh kartel-kartel perusahaan swasta (BUMN yang sudah
diprivatisasi), diposisikan untuk mengisi jalur-jalur perdagangan. Liberalisasi
pengadaan pangan menyebabkan produk lokal petani kesulitan bersaing dengan
produk impor. Petani yang tidak bisa bertahan akan gulung tikar menjadi buruh di
tanahnya sendiri atau menjadi TKI/TKW ke luar negeri.
Tekanan WTO mempengaruhi kebijakan politik pemerintahan seh ingga
kebijakan yang dihasilkan justru memfasilitasi kepentingan perusahaan-
perusahaan besar yang berada di negara-negara maju. Pendekatan pada akses
pasar internasional merupakan slogan penanaman investasi asing.
Kebijakan dalam Konteks Global
Sejarah menunjukkan bahwa peta politik sebuah negara akan ditentukan
oleh konstelasi politik internasional. Posisi satu negara terhadap negara lain
seringkali terkait dengan kemampuan negara yang bersangkutan dalam
membuktikan kekuatan negaranya. Implikasinya adalah akan muncul negara
dengan tingkat dominasi yang berbeda. Sebab itulah kemudian lahir stratifikasi
negara di dunia.
Indonesia sebagai salah satu negara di dunia tentu tidak lepas dari
percaturan politik internasional. Sayangnya, sebagai negara berkembang
Indonesia lebih sering menempati posisi sebagai negara yang terkena imbas
politik bangsa lain yang lebih maju. Dalam wacana isu global, Indonesia
kemudian hanya menjadi penonton bagi pertarungan kebijakan antar negara maju.
Indonesia terseret dalam arus kebijakan yang justru memarjinalkan bangsanya.
Perjanjian demi perjanjian hanya menciptakan efek ketergantungan bagi
penduduk negeri. Perjanjian tersebut memang diciptakan untuk mendominasi
negara berkembang.
Proses globalisasi ditandai dengan pesatnya paham kapitalisme dalam
konteks imperialisme gaya baru yang ditandai dengan intervensi politik negara
maju terhadap negara berkembang untuk memicu pemerintah menyediakan
kebutuhan pangan dengan harga murah yang hal tersebut hanya bisa dilakukan
melalui mekanis me impor. Didukung oleh konsep ketahanan pangan yang
55
pemahamannya baru sampai pada tataran ketersediaan pangan tanpa
memperhatikan mutu dan kualitas pangan, kebijakan ini seolah-olah menjadi
sebuah pemicu untuk lebih memberi ruang bagi mekanisme pasar bebas karena
basis ketahanan pangan hanya dipahami sebagai ketersediaan dan keterjangkauan
pangan oleh semua lapisan masyarakat. Konsep dari kedaulatan pangan sendiri
tidak dijadikan sebagai mainstreaming untuk menghalangi membanjirnya pangan
impor.
Praktek liberalisme diilhami oleh sebuah harapan meniadakan peran
negara. Ideologi yang dijunjung adalah persaingan bebas dengan paham
memperjuangkan hak -hak atas pemilikan dan kebebasan individual. Fakih dalam
Khudori (2004) menyatakan bahwa golongan liberal mempercayakan pada
mekanisme pasar (power of market) untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial
ketimbang paket-paket regulasi atau intervensi pasar oleh negara. Ketika negara
disetir oleh paham ini baik langsung maupun tidak langsung dapat diprediksikan
berakibat bagi keterpurukan petani.
Kapitalisme dan globalisasi ekonomi menjadi alat ampuh di kalangan
LSM untuk membangkitkan kesadaran petani. Analisis sosial yang menjadi pintu
masuk penyadaran petani dibawa kedalam kepentingan menganalisis kebijakan
ekonomi global dan persoalan yang dihadapi petani. Nilai-nilai yang ditanamkan
pada petani adalah kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah merupakan
perpanjangan tangan kaum kapitalis yang akan mengeksploitasi rakyat.
Relasi sosial yang mengemuka antara negara, modal dan kaum tani
diungkapkan oleh Fauzi (1998) terbukti menghegemoni kekuatan petani terlebih
ketika Indonesia turut dalam arus kapitalisme global. Sejak tahun 1969 Indonesia
turut menyumbang keterpurukan di tingkat petani melalui dibukanya pintu bagi
modal asing. Sejak saat itu negara mulai mengokohkan dirinya sebagai alat
kapitalis. Terbukti bahwa grand strategy yang diterapkan dalam bidang pertanian
(revolusi hijau) justru membawa kehancuran bagi petani kecil dan buruh tani.
Kondisi demikian diperparah oleh berbagai kebijakan yang lebih berorientasi pada
pemodal. Melalui strategi revolusi hijau petani diperkenalkan dengan teknik-
teknik pertanian baru untuk menggantikan pertanian tradisional. Lalu lintas
56
ekonomi berorientasi pada pemodal yang kemudian berimplikasi pada hancurnya
tata sosial-ekonomi seraya memperkuat kekuatan unsur-unsur ekonomi kapitalis.
Kondisi di atas merupakan implikasi dari pilihan paradigma pembangunan
pemerintah orde baru yang berorientasi pada modernisasi. Pendekatan yang
bersifat topdown direspon dengan lahirnya pendekatan yang berbasis partisipasi
dan pemberdayaan masyarakat. Namun, persoalan masih tetap dirasakan petani
karena pendekatan yang dilakukan bias pada kepentingan kapitalis. Fokus
pendekatan CD kurang dapat melihat akar permasalahan yang dihadapi. Meskipun
paradigma yang dikembangkan telah berubah dari production oriented ke people
oriented, namun banyak permasalahan yang terlewatkan dari pendekatan ini.
Pendekatan CD sebagai turunan dari teori modernisasi hanya menjadi bagian dari
proses pengintegrasian petani kedalam struktur ekonomi kapitalis.
Permasalahan terus bergulir hingga masa reformasi. Pada masa ini,
orientasi pemerintah tetap berpihak pada pemodal besar. Pembangunan dimaknai
sebagai pertumbuhan dengan variab el GNP dan GDP. Orientasi ini diwujudkan
melalui pendekatan pembangunan yang masih bersifat paternalistik. Negara
dengan berbagai cara berusaha menancapkan kukunya dalam komunitas. Meski
pada masa ini pemerintahan bergulir kearah otonomi, namun hegemoni pusat
masih dirasakan. Bagi petani, hegemoni negara dirasakan terutama dalam bentuk
pencabutan subsidi atas kebutuhan yang menampung hajat hidup orang banyak.
Petani sangat tergantung pada keberadaan sarana produksi pertanian.
Meningkatnya harga saprotan pada masa reformasi dapat dilihat sebagai awal
keterpurukan petani. Permasalahan demikian jika ditarik pada skala global tidak
lepas dari peran negara yang menginduk pada paradigma liberal dan neoliberal.
Perusahaan saprotan yang dikuasai perusahaan asing berimplikasi pada
ketidakberdayaan pemerintah menolong petani.
Konteks Ekonomi-Politik Sebagai Peluang Berorganisasi
Keterpurukan ekonomi Indonesia menjadi tonggak sejarah penting dalam
berorganisasi. Menggeliatnya organisasi massa rakyat dapat dihubungkan dengan
krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Tampak dalam perjalanan sejarah bangsa,
persoalan akses atas sumberdaya makin mengemuka ketika rakyat sulit mencari
57
alternatif lain untuk hidup. Perjuangan akses dapat pula ditinjau sebagai
kelanjutan perjuangan memperoleh keadilan.
Krisis ekonomi yang terjadi diyakini sebagai impak dari pilihan
pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Orientasi pemerintah pada proyek
berskala besar makin memperburuk kondisi perekonomian bangsa. Dari sisi
gerakan, krisis ekonomi pada tahun 1998 berakibat positif. Paling tidak, kondisi
masa tersebut memicu tumbuhnya organisasi tani terutama yang berbasis pada
pertanian. Krisis ekonomi yang berdampak pada makin mahalnya kebutuhan
pokok termasuk harga sarana produksi pertanian memicu petani mencari alternatif
cara-cara produksi. Manifestasi dari alasan ini adalah dilaksanakannya kegiatan
produksi pupuk organik.
Persoalan politik menempati peran yang juga penting dalam kaitannya
dengan pembentukan organisasi petani. Gerakan dalam bentuk organisasi petani
yang relatif lebih mandiri merupakan fenomena baru. Hal ini dipengaruhi oleh
kondisi politik di era reformasi yang membuka pintu kebebasan petani dalam hal
ekonomi dan juga ruang politik. Reformasi politik pada tahun 1998 membawa
momentum formasi pada banyak organisasi petani di berbagai aras. Era ini juga
membawa serta berbagai implikasi struktural dalam kancah perpolitikan di
Indonesia.
Pilihan bentuk organisasi Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah
(SPPQT) terkait dengan bentuk embrio organisasi sebelum berdiri. Konteks sosial,
ekonomi dan politik pada masa itu menyumbang peran penting bagi lahirnya
organisasi. Organisasi yang terbentuk merupakan respon atas permasalahan petani
dalam hal ekonomi dan politik. Muara dari respon petani adalah menciptakan
perlawanan dalam bentuk kemandirian petani di tingkat komunitas. Kemandirian
yang dimaksud meliputi berbagai aspek terutama dalam kaitannya dengan upaya
mengembangkan potensi yang ada di desa agar terbangun hak pengelolaan potensi
desa yang otonom.
Kemandirian di tingkat desa dapat dibangun dengan cara mengatur
indigenous autonomy melalui kebersamaan. Mekanisme gotong royong misalnya,
dapat menghasilkan komitmen yang bersifat tidak eksploitatif. Komitmen
dibangun untuk bisa memperoleh akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam
58
tanpa harus memiliki. Medianya dapat melalui Peraturan Desa (perdes). Perdes
dapat dijadikan sebagai landasan pengaturan dan pengelolaan tanah dalam satu
wilayah yang dikuasai oleh desa. Dalam hal ini, yang harus digali adalah:
1. cara pengelolaannya diarahkan pada dukungan terhadap daya dukung alam
2. bagaimana perhitungan bagi hasil antara sektor swasta tingkat desa dengan
penduduk desa
3. pengelolaan sumber daya alam diarahkan pada upaya menghindari eksploitasi
terhadap sumberdaya alam.
Tiga cara tersebut akan bermuara pada keberdayaan desa. Dengan demikian
konsep kewilayahan dibangun atas dasar upaya pengelolaan dan kontrol atas
sumberdaya.
Faktor Religi dan Kemunculan Sikap Progresif
Penelusuran latar belakang pendirian SPPQT dan embrio organisasi
“memaksa” peneliti menelusuri riwayat hidup aktor yang menjadi inisiator
organisasi. Peneliti memandang penting untuk menelusuri latar belakang ideologi
individu yang erat dengan proses pembentukan organisasi. Penelusuran tersebut
sampai pada melihat keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi
yang membesarkan aktor yang bersangkutan. Ide-ide progresif yang dimiliki oleh
aktor tersebut sebagian besar lahir dari persentuhannya dengan tokoh NU.
NU Sebagai Basis Sosial
NU telah memiliki basis sosial yang terhimpun dalam wadah organisasi
dan gerakan lokal jauh sebelum secara politik NU eksis. Basis sosial NU adalah
komunitas ahlussunah wal jama’ah (aswaja), pondok pesantren, kelompok
tahlilan, dan kelompok khaul (Irsyam, 1999). Basis sosial yang terbentuk lebih
pada upaya mempertahankan identitas sosial kaum NU. Basis sosial yang
terbentuk mengembangkan dinamika internalnya berupa gerakan yang ruang
lingkupnya masih lokal. Struktur sosial dalam basis sosial ini yang kemudian
menjadi dasar menyusun struktur formal organisasi NU.
Penyelaman NU tidak dapat dilakukan hanya dengan pendekatan NU
sebagai organisasi melainkan harus dilihat NU sebagai gerakan basis sosial. NU
sebagai sebuah gerakan melahirkan konsekuensi yang menjadi sebuah paradigma
gerakan dimana ulama memainkan peran sentral dalam tiga perspektif yaitu;
59
pertama, dalam kehidupan sosial ulama menjadi acuan, kedua, ulama menjadi
satu-satunya kekuatan yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan
dalam kehidupan berorganisasi, ketiga, dalam gerakan, ulama menjadi imam yang
harus dipatuhi dengan taat (Irsyam, 1999).
Dengan demikian, visi misi NU sebagai sebuah gerakan menjadi penting
untuk memaknai NU dari sisi gerakan. NU memilih jalur kultural dalam upaya
melakukan transformasi sosial. Sebagai basis kultural berangkat dari persepsi
bahwa sosialisasi dan institusionalisasi ajaran islam dilakukan melalui upaya-
upaya yang menekankan pada perubahan kesadaran dan tingkah laku
umat/masyarakat tanpa keterlibatan negara dan tanpa perubahan sistem nasional
menjadi sistem yang islami. Dalam perspektif gerakan, gerakan islam kultural
yang menjadi bagian aktivitas NU dilakukan melalui aktivitas non-politik, seperti
melalui organisasi massa, aktivitas dakwah, lembaga sosial, dan sebagainya.
Pilihan islam kultural dan gerakan kultural dikemudian hari meneguhkan
gerakan kerakyatan NU. Peran yang dimainkan kemudian adalah gagasan tentang
civil society yang melakukan kontrol terhadap negara (Rumadi, 2004). Tradisi
islam kultural yang dibangun melahirkan politik kerakyatan, bukan politik atas
nama kekuasaan yang selama ini muncul sebagai akibat NU membuat parpol.
Dalam konstelasi kehidupan bernegara NU menggabungkan kekuatan tradisi
dengan modernisasi. Kedua elemen tersebut dipergunakan untuk mengiringi
proses transformasi sosial. Tradisi yang mengakar kuat dalam tubuh NU adalah
pandangan bahwa kyai sebagai simbol kebenaran hakiki. Pandangan ini
dikemudian hari melahirkan sikap kurang kritis di kalangan NU.
Perkembangan NU selanjutnya banyak diwarnai oleh Gus Dur. Pemikiran
progresif banyak muncul dari sosok ini, melalui berbagai forum kajian yang
mengangkat tema-tema keagamaan, hukum, demokrasi dan ketatanegaraan, HAM,
politik, dan sosial kemasyarakatan.
NU dan lahirnya kaum muda progresif
Basis gerakan yang dibangun SPPQT adalah basis kultural. Pemikiran Gus
Dur sebagai tokoh progresif banyak diadopsi di kalangan kampus dan golongan
menengah keatas. Kaum muda NU yang berada di luar jalur struktural NU lebih
mudah menyerap ide-ide progresif yang ditawarkan dan banyak melakukan
60
kajian-kajian untuk merespon sikap kolot NU senior. Wujud respon tersebut
adalah dibentuknya Jaringan Studi Transformasi Sosial (JSTS) pada Tahun 1989.
JSTS ini dibangun oleh seorang kyai yang dikalangan kyai NU merupakan tokoh
yang mempunyai pemikiran -pemikiran progresif.
Geliat kaum muda NU diilhami oleh pernyataan Gus Dur yang
menyatakan bahwa politik ekonomi Indonesia adalah politik kerakyatan dan
kebangsaan. Gagasan transformasi Gus Dur direspon NU muda yang berada diluar
sistem NU. Mereka memilih berkiprah di luar sistem yang ada karena NU masih
terkooptasi oleh senior NU.
Kaum muda NU juga mencoba membangun gerakan berangkat dari
romantisme NU masa lalu yang memiliki sikap kritis terhadap fenomena sosial
yang ada. Pada masa lalu, NU membangun PERTANU sebagai media
pengorganisasian ditingkat grassroot. NU juga banyak melakukan kajian dalam
bidang perburuhan dan petani. Melihat sejarah demikian, kaum muda NU
mempertanyakan NU jaman PKI yang lebih memiliki pandangan terhadap
persoalan sosial. Kondisi masa kini dilihat sebagai keterpurukan ideologis karena
NU mengalami kemandekkan pemikiran dan perhatian terhadap petani dan kaum
marjinal.
Menilik kembali pertautan antara NU dengan inisiator organisasi akan
segera tampak bahwa latar belakang kegiatan kemahasiswaan membentuk
kepribadian inisiator. Dalam perkembangannya, persentuhan inisiator organisasi
dengan tokoh NU progresif berhasil membawa inisiator kedalam arus
pengorganisasian rakyat di tingkat basis. Bentuk organisasi yang dipilih berbasis
ekonomi mengingat permasalahan ekonomi menjadi permasalahan umum di
kalangan masyarakat.
Era Politik Reformasi Hingga Politik Kerakyatan
Seringkali dikatakan bahwa tahun 1998 menjadi titik balik konstelasi
politik di Indonesia. Tahun tersebut menjadi pembeda antara politik sebelumnya
dan politik di tahun 1998. Tekanan politik pemerintah orde baru menciptakan
suasana represif dari rezim pemerintah orde baru sehingga membatasi kekuatan
petani. Berbeda dengan politik tahun 1998 dimana peluang masyarakat tingkat
grass root makin terbuka dalam menciptakan keberdayaan.
61
Iklim politik Tahun 1998 memberi nuansa yang cukup kondusif bagi
terciptanya organisasi petani. Pada masa itu, gerakan LSM mendapat ruang yang
cukup besar dalam memobilisasi petani untuk sampai pada gerakan. Beberapa
fenomena yang cukup penting pada masa itu adalah: Pertama, LSM mendapat
ruang cukup untuk aktif di pedesaan tidak hanya terbatas pada aktivitas
pemberdayaan komunitas, tapi juga mendukung perjuangan petani dalam
memperjuangkan hak tanah. Keterbukaan politik bagi kemandirian organisasi
petani membawa keuntungan dalam hal motivasi berpolitik seperti dalam hal
aktivitas ekonomi. Kedua, Fenomena aktivitas petani setelah tahun 1998 tidak
hanya tampak dalam hal perjuangan akses petani terhadap lahan, melainkan juga
pada beberapa kasus organisasi petani yang tidak terkait dengan konflik tanah.
Iklim politik demikian menjadi media bagi komunitas untuk membangun
gerakan di tingkat lokal. Kemunculan gerakan di tingkat lokal disambut oleh LSM
dengan meleburkan diri kedalam cita-cita komunitas lokal. Bahkan seringkali
LSM yang mengambil partisipasi aktif meng-inisiasi kelembagaan di tingkat lokal.
Kasus SPPQT menunjukkan bahwa LSM menjadi ujung tombak in isiatif lebih
tersistematisasinya sebuah kelembagaan ditingkat petani. Perbedaan orientasi
gerakan yang berhaluan produksi dan peningkatan pendapatan dengan organisasi
radikal sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang LSM yang membantu
membidani lahirnya organisasi petani.
Organisasi petani sebagai sebuah gerakan sosial merupakan media
perlawanan yang diarahkan pada rezim negara yang orientasi ekonomi dan
politik -nya tidak pernah berpihak pada rakyat. Ketika negara/pemerintah menjadi
kaki tangan lembag a-lembaga internasional, maka kendali dipegang oleh lembaga
dunia seperti IMF, ADB, dan World Bank. Perlawanan petani diarahkan pada
gerak pemerintah dalam menerapkan kebijakan privatisasi dan deregulasi. Sejak
tahun 1998, peran pemerintah tetap berlangsung dan tetap memposisikan petani
dalam golongan marjinal. Apabila dilihat periodisasi kemunculan yang baru
terjadi pada tahun 1998, lebih disebabkan bahwa sebelum tahun 1998 organisasi
massa rakyat ditolak oleh pemerintah. Penolakan lebih disebabkan karena
pemerintah alergi terhadap bangunan organisasi petani meski organisasi yang ada
dilakukan dengan pendekatan yang mengadopsi cara-cara pemerintah.
62
Perjalanan politik kemudian sampai pada gerakan politik kerakyatan. Pada
masa ini hak dan kedaulatan petani atas penguasaan sumber-sumber agraria
menjadi kekuatan utama dalam gerakan petani. Kepemilikan tanah dibagi untuk
petani-petani kecil melalui redistribusi tanah yang penting sebagai alat produksi.
Setiap petani berhak memiliki tanah bagi keberlanjutan proses produksi dan
kehidupannya.
Kelompok perempuan dalam organisasi tani memiliki bagian dalam
bidang pertanian dan berperan besar dalam produksi bahan pangan terutama untuk
kepentingan ketersediaan pangan bagi keluarganya. Kedaulatan pangan
didasarkan pada asumsi bahwa bahan pangan merupakan salah satu bentuk hak
dasar yang mesti dipenuhi oleh manusia. Harga bahan makanan dan produk
makanan ditentukan oleh para petani guna menciptakan akses pangan sebagai
pemenuhan kebutuhan dasar. Benih lokal dikelola bersama petani dan menjadi
milik komunal melalui mekanisme yang demokratis. Petani mengembangkan
usaha dan kelompok mandiri bersama. Perlindungan tanaman dan pupuk organik
yang diproduksi sendiri oleh petani dilakukan melalui kerjasama antar mereka.
Ketersediaan air difasilitasi melalui sistem irigasi yang dikelola secara komunal.
Petani membentuk organisasi tani yang demokratis dan mandiri sebagai
alat untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan bersama. Organisasi
petani membuat pelatihan -pelatihan partis ipatoris untuk penguatan kapasitas para
kader tani. Terbentuknya serikat-serikat dan organisasi petani yang bersifat
komunal akan mampu menjadi basis gerakan tani. Serikat dan organisasi petani
menjadi jaringan permanen yang berpotensi mencegah pelanggaran hak asasi
manusia terutama yang mengatasnamakan kepentingan perusahaan bermodal
besar yang cenderung monopolistik.
Konteks Ekonomi dan Politik Melahirkan Pilihan Bentuk Organisasi
Fakta menunjukkan bahwa petani selalu mengalami kondisi tidak menentu
terkait dengan pola hubungan dengan lembaga supra lokal. Beberapa kajian
menunjukkan bahwa respon yang dibentuk tidak lepas dari peran aktor luar yang
telah terlebih dahulu bersentuhan dengan permasalahan yang sama. Aktor luar
63
dapat muncul dalam bentuk petani yang visinya lebih maju ataupun lembaga lain,
misalnya LSM.
Di awal diperkenalkan bahwa respon struktural menjadi basis perubahan
orientasi. Kasus petani di Salatiga menunjukkan fenomena dimana petani yang
menjadi anggota SPPQT mengalami tekanan struktural yang menyebabkan
mereka dan generasinya tidak cukup akses dalam berbagai bidang. Organisasi
yang ada tidak mampu menjawab persoalan yang dihadapi petani. Organisasi
bentukan pemerintah kemudian tidak mendapat kedudukan di mata petani.
Pertanyaan tentang pemihakan pemerintah terhadap aspek pemberdayaan petani
menjadi point penting dalam hal kepercayaan petani terhadap pemerintah. Solusi
yang selama ini diberikan pemerintah melalui pendirian organisasi tidak cukup
mampu melepaskan belitan petani terhadap heg emoni kekuasaan pemerintah.
Organisasi yang ada hanya menjadi syarat bahwa mainstream pembangunan sudah
dilaksanakan pada setiap komunitas sampai tingkat desa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan yang dialami petani akan
senantiasa terkait dengan konteks sosial ekonomi pada komunitas yang
bersangkutan. Masalah yang paling sering dihadapi di tingkat komunitas terkait
dengan persoalan teknis produksi yang harus dengan cepat disikapi oleh petani
dan organisasinya. Sebagian besar petani anggota serikat tinggal di lahan kering
sehingga mengalami keterbatasan sumber-sumber ekonomi yang bisa
meningkatkan tingkat kesejahteraan anggotanya. Persoalan lain yang juga
dominan mempengaruhi perkembangan komunitas adalah rendahnya posisi tawar
petani terhadap berbagai pihak yang berhubungan dengan petani baik langsung
maupun tidak langsung. Distribusi informasi pada komunitas petani belum
dikemas dengan baik sehingga seringkali informasi penting tidak tersebarluaskan.
Apabila dikaitkan dengan hak petani selaku manusia, maka hakekat
kebutuhan manusia adalah memperoleh hak untuk aman ketika mengelola
sumber-sumber penghidupannya. Mereka juga harus memiliki kebebasan untuk
memperoleh haknya mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi, politik dan budaya.
Untuk maksud tersebut, manusia petani harus memiliki kebebasan untuk
mengekspresikan dirinya, membangun dan terlibat secara aktif dalam bidang
sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Namun hal tersebut menjadi kontradiktif
64
ketika melihat fenomena yang menimpa petani dimana mereka hanya menjadi
bagian kecil dari masyarakat yang bercirikan kelompok yang lemah dan
dilemahkan oleh struktur yang ada. Dengan demikian, pengorganisasian menjadi
kepentingan bersama untuk menciptakan; 1) kesetaraan hak, akses dan kontrol
terhadap kesetaraan distribusi, 2) membangun kesadaran sosial ditingkat petani
sehingga petani bisa mengartikulasikan kebutuhannya, 3) berupaya meningkatkan
aktivitas produksi untuk memenuhi kebutuhan tanpa merusak alam, dan 4)
meningkatkan kemampuan petani untuk dapat mandiri dalam memecahkan
masalah di tingkat mereka.
Tekanan struktural yang dialami petani tidak hanya terkait persoalan
teknik produksi, namun juga menyentuh akar kehidupan petani terutama terkait
dengan hak atas tanah. Bagi komunitas di salah satu kelompok anggota SPPQT,
persoalan hak tanah menjadi bahasan utama bahkan memunculkan peluang
terjadinya konflik. Potensi konflik terbesar yang terjadi antara organisasi petani
tersebut menyangkut penetapan kawasan pertanian dan pemukiman rakyat
menjadi taman nasional dengan kategori zona inti. Penetapan zona inti di daerah
pemukiman berimplikasi pada dipindahkannya permukiman dari lokasi awal
menuju lokasi yang berada di luar kawasan taman nasional. Implikasi proses
tersebut adalah berkurangnya akses warga terhadap sumberdaya alam.
Dalam konteks disain awal organisasi, isu Taman Nasional Merapi-
Merbabu (TNMM) merupakan warna baru. Pengorganisasian di Kawasan
Merbabu secara umum dikategorikan dalam kaitannya dengan pencarian solusi
atas persoalan teknis produksi sekaligus pemasaran hasil-hasil komoditas yang
dihasilkan oleh petani dikawasan tersebut. Namun demikian petani dan organisasi
tidak menafikkan respon tertentu ketika muncul permasalahan baru yang
menghantam petani. Dalam hal ini, penataan awal organisasi yang lebih
memfokuskan diri pada pertanian secara teknis mengalami penyesuaian ketika
muncul konflik dengan pemerintah dalam kaitannya dengan taman nasional.
Situasi subordinat yang dialami petani sepanjang sejarah hidupnya
menyebabkan petani mengalami kekalahan demi kekalahan. Pandangan modernis
memberikan solusi bahwa petani harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup.
Wujud dari semua itu adalah petani menjadi bagian dari pendidikan non-formal
65
yang berorientasi pada penyadaran. Namun Soetomo (1998) memberikan
peringatan bahwa pendidikan pun bukan berarti tidak menjadi masalah bagi petani.
Pendidikan yang hanya menghasilkan transfer ilmu pengetahuan tidak akan
mencapai hasil yang diharapkan. Bagi petani yang lama tertindas, model
pendidikan yang mencerahkan, menggunakan metode dialogis dan menghasilkan
pendidikan yang mengungkap penyadaran, Freire (1984) menjadi satu kebutuhan
khusus.
Sebagai upaya keluar dari bentuk-bentuk pembodohan, petani melakukan
respon dengan cara mengorganisir diri. Pilihan berorganisasi muncul untuk
mengimbangi kekuatan musuh yang terstruktur. Dengan demikian, melawan harus
dilakukan dalam satu ikatan. Sekaligus sebagai pembuktian bahwa petani dapat
menciptakan model-model pemberdayaan komunitas yang mencerdaskan. Proses
demikian tidak serta merta. Dalam pembentukan SPPQT pun, nuansa politik
menentukan tahapan proses pembentukan organisasi dan pilihan strategi
perlawanan. Gambar 2. di bawah ini menunjukkan proses tersebut.
Perkembangan di atas menunjukkan bahwa perbedaan ciri
pengorganisasian komunitas melahirkan strategi pendekatan yang berbeda.
Masing-masing strategi merujuk pada tujuan organisasi dan persoalan mendasar
yang dihadapi pada tiap fase. Pilihan strategi berkembang dari CD sampai pada
pendekatan people-center oriented. Pada masanya, masing-masing strategi
tersebut tepat diterapkan.
1980-an 1995-an 1998-an 1999-an
YDM Kelompok Progresif
Nadika SPPQT
CD Radikal Kajian People-center oriented
Gambar 2. Tahapan Proses Pembentukan dan Pilihan Strategi Pendekatan
66
SPPQT Sebagai Organisasi Produksi dengan Ciri Production-Center
Development
Persoalan praktis yang dihadapi petani membutuhkan respon cepat dari
organisasi. Hal ini disadari oleh serikat petani sekaligus direspon dengan
mengembangkan kegiatan yang menjawab kebutuhan jangka pendek.
Pertimbangan bahwa kebutuhan petani tidak cukup hanya dengan
pengorganisasian menyebabkan serikat mencari cara lain yang lebih menjawab
kebutuhan petani. Permasalahan produksi yang banyak dihadapi diantaranya
adalah persoalan teknis pertanian, harga input pertanian yang mahal, pemasaran
hasil-hasil pertanian yang sulit, jaringan tengkulak yang menghambat, dan
sebagainya. Sebagai sebuah organisasi yang memperjuangkan kedaulatan petani,
SPPQT memilih mengembangkan usaha-usaha organisasi untuk mencapai tujuan
tersebut, diantaranya adalah: melakukan pengorganisasian masyarakat petani,
memperkuat dan membangun jaringan organisasi petani, mengembangkan
gerakan konservasi kawasan, mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan,
mengembangkan ekonomi komunitas petani, mengembangkan pendidikan bagi
generasi muda petani, membangun sistem perlindungan kesehatan bagi keluarga
petani, mengembangkan media dan jaringan komunikasi petani, mengembangkan
data dasar komunitas, mengembangkan pembaruan tata ruang desa, serta
melakukan advokasi kebijakan pertanahan dan usaha lain yang relevan.
Pilihan atas usaha di atas terkait dengan hasil analisis permasalahan yang
dihadapi petani yang meliputi dua faktor yakni ekonomi dan politik. Persoalan-
persoalan kebijakan yang tidak berpihak pada petani memaksa organisasi mencari
bentuk organisasi yang bisa mengakomodir setiap permasalahan. Sebagai
organisasi komunitas, SPPQT tampak memfokuskan pada kegiatan
pengorganisasian sebelum melakukan kerja pengembangan komunitas.
Tampaknya hal inilah yang membedakan SPPQT dengan organisasi lain. SPPQT
menerapkan proses pengorganisasian komunitas sebelum mengagendakan
kegiatan pengembangan organisasi. Meski demikian ciri sebuah organisasi
produksi melekat pada karakter SPPQT karena SPPQT menempatkan persoalan
ekonomi dalam prioritas kerja organisasi.
67
Sebagai organisasi yang berciri ekonomi produksi dengan tujuan utama
peningkatan kesejahteraan, SPPQT dan anggotanya menerapkan strategi yang
lebih mengarah pada pemberdayaan petani dan fokus pada aktivitas ekonomi.
Karakter SPPQT secara umum adalah: 1) berupaya memutus ketergantungan pada
pemerintah dalam hal penyediaan sarana produksi pertanian dengan cara
melakukan kegiatan pertanian organik. Kegiatan tersebut dimaksudkan juga bagi
kerja membangun kemandirian petani, 2) struktur organisasi dibentuk secara rapi
dan sistematis dimaksudkan untuk memudahkan jalur koordinasi, 3) memperkuat
struktur organisasi supaya memiliki posisi tawar dan kekuatan tawar dihadapan
pengambil keputusan, dan 4) kemandirian petani yang menjadi tujuan pokok
organisasi diwujudkan dalam bentuk melakukan pembinaan berjenjang pada satu
tingkat di bawahnya.
Merujuk permasalahan yang dihadapi petani, organisasi dengan
pendekatan program dalam prakteknya lebih dapat diterima oleh anggota.
Pertimbangan agar organisasi dapat diterima memerlukan strategi tersendiri bagi
penggerak organisasi. Petani dan organisasi yang sulit mencari pertautan teoritis
menunjukkan bukti dalam hal ini. Pengorganisasian petani harus dapat
menunjukkan keuntungan yang dapat diterima oleh petani, tidak sekedar berjuang
untuk sesuatu yang abstrak dan tidak dipahami petani.
Melihat sejarah pembentukan SPPQT, tidak dapat dipungkiri bahwa
bentuk organisasi produksi yang diambil mengacu pada persoalan yang
menyangkut pembangunan pertanian. Strategi production-center development
dalam hal ini menjadi tepat terkait dengan konteks masalah yang dihadapi.
Sebagai sebuah organis asi yang memilih strategi awal production-center
development, pada tahap awal SPPQT menerapkan pola yang cenderung berbasis
teknologi pertanian.
Apa dan Mengapa Organisasi Produksi
Dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan petani, muncul pilihan
bangunan organisasi petani dengan cara yang berbeda. Aktivis NGO yang
membidani SPPQT memandang bahwa cara radikal yang selama ini
dikembangkan kurang mengena dalam konteks permasalahan petani Salatiga.
Petani Salatiga tidak dihadapkan pada permasalahan konflik tanah sehingga lebih
68
memilih pola organisasi yang lebih halus tanpa menghancurkan struktur sosial
yang telah mapan2. Sebagai bentuk baru, perlawanan ini terkait dengan tipe NGO
yang berada di balik pembentukan SPPQT. Ideologi aktivis dan NGO akan
menyumbang pada bangunan organisasi yang dipilih. Menanggapi kondisi
demikian, komunitas petani di Salatiga melakukan pendekatan lain yang lebih
berorientasi kebutuhan dan masalah. Upaya yang dibangun adalah membentuk
organisasi yang lebih bisa meneropong berbagai persoalan petani baik yang
tersembunyi maupun yang tampak. Organisasi yang dikembangkan lebih berbasis
kebutuhan dan permasalahan nyata di tingkat petani. Tampak dari model
pengorganisasian yang menggunakan pendekatan kawasan. Pilihan ini digunakan
karena kepentingan petani akan lebih terakomodir ketika pengorganisasian
menggunakan konsep kawasan dengan tujuan mempertimbangkan kesamaan
faktor-faktor ekologis. Dari sudut konsolidasi, pendekatan kawasan dipandang
lebih efisien dibanding pendekatan administratif. Permasalahan yang dihadapi
mudah dicarikan solusi karena komunitas memiliki kesamaan aspek masalah
terkait dengan kesamaan faktor geografis dan ekologis. Dalam konteks
perlawanan terhadap globalisasi, gerakan rakyat berupaya memberdayakan
masyarakat lokal melalui kontrol komunitas yang demokratis atas sumberdaya
lokal.
Penelusuran mundur menghasilkan gambaran awal terbentuknya SPPQT.
Embrio SPPQT berasal dari sebuah yayasan yaitu Yayasan Desaku Maju (YDM).
YDM mengembangkan pola CD. Karakter CD yang dikembangkan masih
konservatif dengan menerapkan pola CD lama. Pendekatan yang diterapkan
berorientasi pada pemberdayaan. Faktor ideologis sebagai latar belakang pilihan
strategi melahirkan dua strategi yaitu advokasi dengan saluran gerakan politik,
dan pemberdayaan ekonomi.
Bentuk organisasi CD yang dipilih sebagai basis karakter organisasi petani
di Salatiga lebih banyak merupakan pilihan ideologi di tingkat aktivis disamping
konteks masalah yang dihadapi. Pilihan tersebut didasarkan pada latar belakang
2 Meskipun CD petani dimaknai sebagai CD yang melahirkan dekonstruksi sosial, namun dilakukan tanpa merubah struktur sosial yang ada. Dekonstruksi disini diartikan sebagai membangun upaya kemandirian untuk melawan konstruksi berbentuk integrasi pre-kapitalis menuju kapitalis.
69
kegiatan aktivis sebelum terlibat dalam organisasi petani. Aktivitas kelompok
aktivis sebelumnya lebih banyak memposisikan pada isu-isu produksi dan upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Gaya pendekatan ini tampaknya
diterapkan pada organisasi baru sehingga ciri organisasi SPPQT lebih merujuk
pada CD sebagai jalan mengatasi permasalahan nyata di tingkat petani. Warna
gerakan organisasi sedikit banyak juga dipengaruhi sebuah LSM internasional.
Salah satu LSM internasional yang berfungsi sebagai lembaga penyandang dana
dari organisasi petani ini memfokuskan kegiatan pada usaha-usaha pertanian
organik. Meski isu yang dibangun LSM internasional ini lebih kepada keamanan
pangan, namun isu tersebut didefinisikan lebih lanjut oleh petani sebagai jalan
menuju kedaulatan pangan. Interpretasi ini merupakan pemahaman lebih lanjut
atas kondisi struktur sosial yang merugikan posisi petani. Gerakan ini yang
kemudian melahirkan karakter khas organisasi yaitu organisasi produksi dengan
orientasi membangun kedaulatan petani.
Kegiatan yang dikembangkan oleh organisasi SPPQT bermuara pada
membangun kemandirian. Kegiatan dengan ciri ekonomi produksi diawali dengan
melepaskan diri dari ketergantungan produksi yang diciptakan orde baru. Upaya
ini kemudian muncul melalui kegiatan pertanian organik. Pertanian organik
dibangun atas ide menghindarkan diri dari pengaruh kebijakan supra lokal.
Pertanian organik merupakan langkah awal untuk mencapai kedaulatan pangan.
Ide bahwa ketersediaan pangan anggota komunitas harus bisa dicukupi secara
silang merupakan bentuk perwujudan kemandirian tingkat lokal. Sistem pertanian
berbasis masyarakat berskala kecil, terdiversifikasi dan mandiri dibangun dalam
komunitas ini. Gerakan ini bermuara pada gerakan kedaulatan pangan sebagai
lawan terhadap ketahanan pangan yang hanya berorientasi pada pasar tanpa
mempertimbangkan siapa produsen. Gerakan ini didukung oleh upaya petani
menciptakan jalur pemasaran sendiri atas komoditas pertanian yang dihasilkannya.
Sebagai upaya melepas ketergantungan terhadap tengkulak, pilihan ini juga dapat
dikategorikan sebagai strategi menuju kemandirian. Jalinan ekonomi internal
anggota dipadukan melalui berdirinya gardu tani sebagai wadah/media ekonomi
anggota.
70
Implikasi strategi CD tampak dari pilihan kegiatan yang dikembangkan
SPPQT. Organisasi ini mengembangkan program Integrated Organic Farming
(IOF) yang diharapkan tidak sebatas menjadi program, melainkan menjadi
ideologi organisasi. IOF dimaknai sebagai satu pola pertanian yang melihat
persoalan petani secara lebih holistik. Dengan demikian, capaiannya adalah
pengembangan petani dan menghindari jebakan pengembangan pertanian . IOF
diarahkan pada muara akses dan kontrol terhadap SDA yang dilakukan dengan
usaha bersama. Hubungan yang dibangun melalui pertanian organik yang
terintegrasi adalah aspek keadilan, dan terciptanya hubungan yang sejajar. Tidak
ada hubungan buruh-majikan yang merupakan bagian dari cara-cara eksploitasi.
Dengan demikian, IOF akan bisa berjalan jika persoalan awal yang disorot adalah
struktur kepemilikan tanah. IOF berusaha menjawab persoalan ketimpangan
struktur lahan dan nilai tukar yang seringkali menjadi momok yang menakutkan.
Indikator keberhasilan pertanian organik adalah jika petani tidak menjual hasil
pertaniannya.
IOF yang dimaksud jelas untuk menghindari pola-pola pertanian organik
murni. Jika pertanian organik dipahami sebagai teknologi organik semata, maka
kegiatan menjadi berorientasi pada hasil dan mengejar pada terlaksananya
program tanpa mempertimbangkan aspek keterhubungan. Misalnya penyediaan
pupuk kandang dipasok dari desa lain. Bukan ini sesungguhnya makna organik
yang ingin dibangun. Juga ketika organik hanya difokuskan pada bagaimana
program harus terlaksana. Sebidang lahan kemudian disewa oleh petani, dan
petani yang bersangkutan menyewa tenaga petani lain. Model ini adalah bentuk
kegagalan jiwa organik yang sesungguhnya.
Bidang pendidikan menunjukkan fenomena yang tak kalah menarik.
Beberapa paguyuban membangun sekolah alternatif di komunitasnya. Sekolah
alternatif yang dibangun masih menggunakan kurikulum Depdiknas namun
dengan metode pengajaran yang berbeda, lebih mengarahkan pada tujuan
pendidikan kritis, humanisasi, dan kebebasan. Pilihan ini didasarkan pada
keprihatinan akan model pendidikan konvensional yang menciptakan
dehumanisasi, Freire (1984). Pendidikan yang ada selama ini lebih berorientasi
pada birokrasi dan kekuasaan, tanpa memperhatikan esensi dari pendidikan itu
71
sendiri. Kapitalisme pendidikan juga menjadi alasan tersendiri dikembangkannya
sekolah alternatif di Salatiga. Pandangan terhadap kesetaraan jender diperlihatkan
melalui proses pelatihan jender yang diberikan baik pada perempuan maupun laki-
laki. Banyak pelatihan jender yang hanya diperuntukkan bagi perempuan. Padahal,
pemahaman akan kesetaraan jender harus dibangun pada komunitas perempuan
dan terlebih lagi laki-laki.
Perbedaan mendasar dalam merespon kasus agraria diperlihatkan oleh
organisasi di Salatiga. Perlawanan dilakukan dengan cara mengajukan draf
akademis untuk menolak penetapan Taman Nasional Merapi-Merbabu (TNMM).
Serikat dalam hal ini menjadi ujung tombak perjuangan di tingkat nasional.
Perlawanan dilakukan dengan cara beradu konsep dengan pembuat kebijakan
tentang wilayah konservasi. Dukungan konseptual diperoleh dari hasil PRA yang
memperlihatkan kondisi sekitar kawasan Merapi-Merbabu. Aksi yang dilakukan
lebih mengarah pada pembentukan opini publik.
Pendekatan jaringan dilakukan sebagai upaya mendapatkan akses
informasi dari luar. Keterbukaan menjadi ciri khas organisasi tipe ini. Upaya
membangun jejaring dengan berbagai pihak dianggap sebagai investasi modal
sosial dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Sebagai organisasi yang
memiliki tujuan akhir menciptakan mainstream baru, perlu menggandeng
stakeholder lain dalam mencapai agenda besar organisasi. Untuk melancarkan
bangunan jaringan, beberapa paguyuban membuat akte yayasan. Status sebagai
yayasan memudahkan terbinanya hubungan dengan dunia luar. Aspek formalitas
ini secara umum membedakan organisasi ini dengan tipe organisasi yang
berangkat dari isu konflik.
Peningkatan kapasitas manusia sekaligus upaya akses teknologi salah
satunya dilakukan dengan menggandeng satu provider internet. Hasilnya adalah
jaringan internet telah menjangkau beberapa wilayah komunitas. Langkah ini
sekaligus berguna untuk membuka saluran informasi dan komunikasi antar
anggota maupun dengan dunia luar. Keterlibatan anggota organisasi dalam
konstelasi politik lokal menunjukkan geliatnya pada tahun-tahun terakhir. Hal ini
dibuktikan melalui keterlibatan anggota organisasi menjadi anggota BPD atau
72
DPD. Dalam hal ini tumbuh kesadaran politik yang berangkat dari masalah
produksi.
Perkembangan selanjutnya mengalami penyesuaian ketika organisasi
dihadapkan pada kasus konflik agraria di dua paguyuban anggota. Pendekatan CD
kemudian dirasa perlu untuk ditambah dengan strategi lain sebagai upaya akses
dan kontrol. Akses dan kontrol sebagai muara tidak cukup diraih dengan pilihan
salah satu model melainkan CD maupun advokasi harus dilakukan. Penguatan
terhadap organisasi merupakan prasyarat. Implikasinya adalah terbentuknya
kelompok tani, paguyuban, jakertani, dan serikat yang semuanya harus
dikembangkan. Dalam upaya memperjuangkan akses dan kontrol,
mempertanyakan proses advokasi tanpa terlebih dahulu melakukan penataan
organisasi, yang terjadi adalah kooptasi.
Ikhtisar
Faktor yang menyebabkan ketertindasan petani adalah ekonomi dan politik.
Dua faktor ini dalam sejarahnya menciptakan deretan permasalahan yang harus
diselesaikan oleh petani. Disisi lain, keberadaan dua faktor ini ternyata mampu
memunculkan motivasi petani untuk membangun aksi kolektif dan
mengakumulasikan energi kolektif melalui pembentukan organisasi.
Permasalahan petani yang lebih banyak meliputi ekonomi menuntut bentuk
organisasi yang dapat mengakomodir kebutuhan tersebut. Muatan respon atas pola
relasi yang eksploitatif harus dikompromikan dengan kebutuhan yang bersifat
praktis. Ciri organisasi produksi yang lebih mengarah pada paradigma production-
center oriented merupakan respon organisasi atas permasalahan nyata petani.
Alasan organisasi mengembangkan strategi CD menyangkut pertimbangan
karakter petani dan juga karakter musuh. Bacaan awal terhadap bentuk musuh
menghasilkan analisis bahwa organisasi petani harus dibangun dalam bentuk yang
terorganisir dengan baik. Alasan pilihan tersebut disandarkan pada dua hal, yaitu:
pertama, yang paling penting dalam organisasi adalah memperkuat daya resistensi
petani, bukan dengan cara-cara seperti reklaiming. Kedua , pilihan radikal lebih
rawan perlawanan/resistensi dari pemerintah. Pertimbangan atas dua alasan di atas
kemudian menghasilkan organisasi dengan ciri yang terstruktur.
73
Peranan faktor ekonomi dan politik sebagai pendorong gerakan
pengorganisasian menarik untuk dipahami terutama dalam hal pengaruhnya
terhadap kehidupan petani. Penelusuran periodisasi konteks ekonomi berhasil
menunjukkan bahwa pada setiap fase, petani tidak pernah didudukkan dalam
tempat yang benar dalam struktur masyarakat. Revolusi hijau merupakan
kebijakan pertanian yang dampaknya paling nyata dirasakan petani, terutama bagi
petani miskin dan buruh tani. Terciptanya kesenjangan makin menempatkan dua
golongan petani ini kedalam struktur paling bawah dalam kelas sosial. Gambaran
bahwa revolusi hijau membatasi akses masyarakat miskin makin tampak ketika
paket-paket teknologi pertanian yang ditawarkan hanya dimungkinkan
menjangkau golongan petani kaya. Petani menjadi sandaran kebijakan
pembangunan sekaligus korban pembangunan yang dikembangkan. Itulah
sebabnya mengapa ketika krisis ekonomi muncul pada tahun 1998, petani sebagai
golongan masyarakat yang paling marjinal berupaya “menarik keuntungan” dari
keterpurukan bangsa.
Keterkaitan dengan konteks ekonomi global dapat dilihat dalam kasus
pemberlakuan kebijakan pasar bebas dan globalisasi. Pemerintah tanpa
perhitungan terseret dalam arus kapitalisme sehingga persaingan global makin
menyudutkan langkah petani. Relasi sosial yang mengemuka antara negara, modal
dan kaum tani diungkapkan oleh Fauzi (1998) terbukti menghegemoni kekuatan
petani terlebih ketika Indonesia turut dalam arus kapitalisme global.
Pengalaman pengorganisasian petani juga menunjukkan bahwa konteks
politik turut memicu lahirnya organisasi. Reformasi politik pada tahun 1998
membawa momentum formasi pada banyak organisasi petani di berbagai aras. Era
ini juga membawa serta berbagai implikasi struktural dalam kancah perpolitikan
di Indonesia. Perjalanan politik masa ke masa menunjukkan perjalanan yang
hampir senada dengan perjalanan ekonomi. Pada masa Soeharto, pemerintah
melakukan tekanan yang sangat kuat terhadap munculnya organisasi rakyat.
Tindakan ini menghambat perjuangan tingkat grass root yang seringkali
dilakukan dengan organisasi. Banyak organisasi yang dibentuk di tingkat lokal
dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap negara. Gerakan yang relatif tidak
mendapat hambatan dari pemerintah adalah gerakan yang bersifat kultural. Dalam
74
sejarah organisasi SPPQT, gerakan kultural ini ternyata sampai pada gerakan yang
mensikapi persoalan struktural yang dialami petani.
Peran organisasi kultural yang dimaksud di atas adalah gerakan NU. NU
yang dalam perkembangannya menunjukkan bentuk transformasi gerakan
memberi ruang yang cukup kepada kadernya untuk mengembangkan
pengorganisasian. Hal ini tidak lepas dari peran NU senior dengan pemikiran-
pemikiran yang progresif. Persentuhan inisiator organisasi dengan tokoh NU
progresif melahirkan kelompok tani sebagai embrio SPPQT.
Kelanjutan gerakan rakyat mendapat ruang yang lebih luas ketika suasana
gerakan kerakyatan mulai menguat. Bisa dikatakan bahwa tahun 1998 merupakan
titik balik gerakan rakyat di Indonesia. Perjuangan petani pasca 1998 tidak lagi
dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Ideologi perlawanan terhadap
perangkat keras dan perangkat lunak yang merugikan petani mulai
ditransformasikan ke tingkat petani. Maka mulailah ditemukan organisasi
rakyat/organisasi komunitas di pelosok pedesaan. Sebagai wadah memenuhi
kebutuhan kolektif, organisasi kemudian berkembang dan menjadi multifungsi
sesuai kebutuhan anggotanya.
Mengingat pentingnya menempatkan kebutuhan anggota sebagai dasar
bangunan organisasi, SPPQT memilih kegiatan yang dapat menjawab kebutuhan
anggota. Alasan ini mendorong pilihan pola organisasi yang lebih halus tanpa
menghancurkan struktur sosial yang telah mapan. Pilihan ini tid ak lepas dari
sejarah terbentuknya SPPQT serta embrio kelompok tani. SPPQT hendak
memaknai organisasi dalam kerangka pengembangan petani, tidak sekedar
pengembangan pertanian. Pemaknaan ini diimplementasikan dalam bentuk
organisasi produksi meski dalam perkembangannya, SPPQT juga menempuh
cara-cara advokasi untuk merespon persoalan agraria. Keduanya merupakan
strategi untuk sampai pada akses dan kontrol atas sumberdaya.
75
KARAKTERISTIK ORGANISASI PRODUKSI
Organisasi petani yang relatif tersistematis baru muncul di era reformasi. 1
Tumbuhnya organisasi di Salatiga berangkat dari fakta tentang permasalahan
seputar isu produksi dan pemberdayaan. Dalam hal ini serikat memiliki peran
yang besar dalam menumbuhkan terbentuknya organisasi. Peran tersebut terutama
dalam hal pembentukan, penyediaan fasilitas, pembinaan, dan membangun
jaringan. Embrio kelompok anggota SPPQT telah ada sebelumnya dalam bentuk
kelompok-kelompok tani bentukan pemerintah maupun organisasi lokal
komunitas setempat.
Model pendekatan diwadahi dalam kegiatan -kegiatan yang
mengartikulasikan kebutuhan petani baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Pendekatan ini dianggap sebagai bagian dari pembagian kerja organisasi.
Pembagian kerja manajemen organisasi menjadi modal untuk lebih mengarahkan
petani pada tujuan strategis. Disamping itu, seluruh kegiatan diarahkan pada
pencapaian kemandirian petani. Kemandirian ini merupakan ciri organisasi yang
berasal dari komunitas dan muncul setelah tahun 1998. Tentunya berbeda dengan
ciri organisasi sebelum tahun 1998. Perbedaan ciri organisasi sebelum 1998 dan
sesudah 1998 ditampilkan dalam Tabel 3. di bawah ini:
Tabel 3. Perbedaan Ciri Organisasi Anggota Serikat Sebelum dan Sesudah Tahun 1998
No Analisis Pembeda Organisasi
Sebelum 1998 Sesudah 1998
1. Inisiatif Pemerintah/komunitas lokal
Komunitas lokal dibantu oleh Serikat
2. Cakupan kegiatan Keagamaan, sosial kemasyarakatan
Pertanian, dan upaya menjawab permasalahan petani
3. Tujuan organisasi Membangun kebersamaan
Membangun kemandirian
4. Respon atas Permasalahan sosial Permasalahan petani secara umum
5. Model pendekatan pembentukan
Bentukan pemerintah, bagian dari pemerintahan
Inisiatif lokal yang didorong serikat
1 Dari penelitian awal terungkap bahwa banyak gerakan yang dimulai jauh sebelum era reformasi namun belum sampai pada pengorganisasian. Organisasi petani pertama kali tumbuh adalah BTI.
76
Serikat merupakan aras paling atas dalam susunan organisasi SPPQT.
Bangunan organisasi yang dikembangkan oleh paguyuban dan kelompok tani
didisain atas prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh SPPQT. Pada masa-masa
awal pembentukan, SPPQT menerapkan pendekatan bantuan ala pemerintah
berupa “iming-iming” dalam bentuk kredit. Tentangan muncul dari petani karena
model tersebut dianggap hanya akan melemahkan bangunan organisasi. Struktur
organisasi ditata untuk memudahkan pembagian kerja dalam mendukung
manajemen organisasi. Pola pengorganisasian demikian mengadopsi model
organisasi formal yang mempunyai struktur vertikal dan horizontal. Secara
keorganisasian, permasalahan petani direspon dengan membentuk divisi yang
sesuai yaitu pengorganisasian, pemberdayaan, kelembagaan, IOF, pendidikan,
ekonomi, dan infodotkom. Divisi IOF, pendidikan, dan advokasi hampir selalu
dapat ditemukan di setiap organisasi.
Persepsi pemerintah terhadap bangunan organisasi dalam hal ini memberi
warna pada perkembangan organisasi. Paguyuban dan kelompok petani dipandang
dalam persepsi yang berbeda oleh pemerintah. Pengakuan pemerintah sebatas
pada kelompok tani sedangkan paguyuban dianggap berada di luar struktur
sehingga dianggap sebagai musuh pemerintah desa. Gejala ini menunjukkan
bahwa pola pengorganisasian “ala petani” tidak pernah mendapat pengakuan dari
pemerintah desa, demikian pula dari pemerintah supra desa. Terbukti bahwa
kegiatan beberapa dinas terkait seringkali menjadikan kelompok tani sebagai
sasaran kegiatan, tanpa mengindahkan keberadaan paguyuban, yang nota bene
“atasan” kelompok tani.
SPPQT Sebagai Organisasi Rakyat
SPPQT merupakan organisasi dengan isu produksi terkait dengan masalah
teknis produksi sebagai latar belakang pembentukannya. Khusus untuk organisasi
petani yang berada di bawah koordinasi SPPQT, peran serikat dalam
pembentukan paguyuban sangat besar. Beberapa dibuktikan oleh pengakuan
pengurus dan anggota paguyuban bahwa serikat memiliki peran terutama dalam
hal manajemen organisasi, pemberian dana pembentukan, pendampingan, dan
aspek manajemen organisasi. Meskipun demikian tidak sepenuhnya dapat
77
dikatakan bahwa terbentuknya paguyuban dan kelompok adalah atas prakarsa
SPPQT. Karena dalam beberapa kasus pembentukan organisasi petani telah
didahului oleh embrio organisasi informal.
Pilihan organisasi sebagai studi kasus diarahkan pada organisasi yang
terdapat di daerah upland dengan fokus isu pada pengelolaan sumberdaya alam
dan penguatan hak atas tanah. Pilihan atas kelompok tani yang menjadi subyek
penelitian didiskusikan dengan paguyuban. Dari pertimbangan tersebut, dipilih
empat paguyuban dan 12 kelompok tani seperti yang tercantum pada Tabel 4. di
bawah ini:
Tabel 4. Pilihan Penelusuran Paguyuban dan Kelompok Petani
No. Organisasi Petani Sekunder (SLO) - Paguyuban
Organisasi Lokal (LO) - Kelompok Tani
1 Paguyuban Petani Gunung Payung Temanggung
1. Gunung Payung I 2. Sumber Rejeki 3. Manunggal Makmur
2 Paguyuban Petani Gedong Songo Semarang
1. Ngudi Rahardjo 2. Al-Kahfi 3. Putri Maju dan Putri Tunggal
3 Paguyuban Petani Otek Makmur Boyolali
1. Sumber Pangan 2. Putri Mandiri 3. Subur dan Sumber Rejeki
4 Paguyuban Candi Laras Merbabu Semarang
1. Argo Kusumo 2. Kuncup Pendhing 3. Bekti Pertiwi
Disain organisasi diharapkan menjawab kebutuhan dan permasalahan
petani. Organisasi juga menjadi wadah perjuangan petani untuk menciptakan
peluang kerja serta meningkatkan kapasitas petani melalui pendidikan dan
pelatihan. Keberadaan organisasi/paguyuban dengan demikian menjadi strategi
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani anggota. Dalam beberapa hal,
pengorganisasian model apapun harus tetap menjunjung semangat mengeluarkan
petani dari pembodohan dan pemarjinalan.
Selayang Pandang Organisasi Petani “SPPQT”
Konteks sosial yang dialami oleh petani yang berada di kawasan ekologis
tertentu tidak terlepas dari belitan persoalan yang menghimpit petani terutama
terkait dengan kepentingan meningkatkan derajat kesejahteraan keluarga petani.
Disadari oleh petani bahwa kelompok petani yang bersifat lokal kurang mampu
78
mengakomodir kepentingan yang bersifat global. Oleh karenanya, ada ide besar
untuk menyatukan perjuangan dalam wadah yang lebih luas. Dengan
pertimbangan tersebut, maka dibentuklah sebuah serikat petani yang merupakan
gabungan beberapa paguyuban petani di tingkat kawasan. Beberapa paguyuban
petani berinisiatif membentuk serikat petani yang kemudian dikenal dengan
Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah (SPPQT).
Pilihan atas nama mengindikasikan harapan yang ingin dicapai. Qoryah
Thayyibah diartikan sebagai desa yang indah, yang berarti organisasi yang
berbasis pada komunitas petani pedesaan. Organisasi ini merupakan sebuah
organisasi non-partisan, mandiri dan tidak berorientasi profit serta berada di
bawah kontrol anggotanya. Latar belakang pembentukan adalah keinginan yang
kuat untuk mengajak petani berjuang bersama-sama keluar dari kemiskinan.
Kemiskinan petani menunjukkan kelemahan atas posisi tawar ketika dihadapkan
dengan kondisi politik, ekonomi, dan struktur sosial. Perjalanan sejarah
menunjukkan petani selalu ditempatkan pada posisi yang marjinal. Suatu
kontradiksi mengingat petani merupakan pilar kehidupan yang seharusnya
mendapat perhatian dan memperoleh akses yang layak. Revolusi hijau sebagai
grand policy bidang pertanian, misalnya justru menimbulkan ketergantungan
petani terhadap sekto r non-pertanian. Disamping itu, petani juga dihadapkan pada
resiko lingkungan sebagai dampak dari kebijakan tersebut. Kondisi menjadi
tambah buruk ketika petani tidak mampu atau tidak memiliki kemampuan untuk
mengorganisir diri. Pada akhirnya, secara ekonomi petani lemah dan akan terus
termarjinalkan dibawah tekanan kapitalis dan negara. Dalam konteks ini penting
dibangun organisasi petani yang bisa menghasilkan kesejahteraan dan
peningkatan posisi tawar dalam tujuan mengakses dan turut melakukan kontrol
atas sumberdaya.
SPPQT merupakan sebuah organisasi petani yang beranggotakan paguyuban
yang menyebar pada kawasan-kawasan di Kendal, Magelang, Sragen, Salatiga,
Semarang, Boyolali, dan Temanggung. Konteks berdirinya kelompok tani di
masing-masing kawasan tidak lepas dari persoalan yang dihadapi oleh petani
setempat. Sebagian besar paguyuban dan kelompok berada pada daerah dataran
tinggi. Daerah dataran tinggi merupakan daerah dengan kondisi ekologi yang unik
79
serta kondisi sosial ekonomi yang khas. Antara keduanya memiliki hubungan
yang erat dimana kondisi sosial ekonomi masyarakat dataran tinggi dibentuk oleh
kondisi ekologis. Keberadaan wilayah dataran tinggi seringkali identik dengan
jauhnya komunitas dari sumber informasi dan akses transportasi. Tidak
mengherankan apabila kondisi sosial ekonomi masyarakat relatif lebih rendah
dibanding masyarakat yang berada di dataran rendah.
Permasalahan utama yang dihadapi petani bergerak diseputar isu-isu
pertanian dari mulai masalah pengadaan sarana produksi dan alat produksi,
masalah teknik budidaya, masalah penanganan pasca panen, masalah pengolahan
hasil dan pemasaran. Beberapa permasalahan tersebut sebagian atau seluruhnya
hampir dapat ditemui di tingkat petani. Diantara masalah-masalah tersebut,
masalah pemasaran merupakan masalah utama. Permasalahan pemasaran selalu
berujung pada masalah harga yang rendah di tingkat petani.
Ketiadaan lembaga pendukung kegiatan pertanian yang kurang menyentuh
lapisan petani, menjadi faktor penyebab timbulnya masalah-masalah tersebut.
Lembaga tersebut dapat berada pada ranah formal maupun informal. Dalam
banyak kasus, kelompok tani difasilitasi oleh lembaga pendukung formal.
Kegiatan yang difasilitasi oleh lembaga formal seringkali hanya memanfaatkan
kelompok yang secara struktural berada di bawah pemerintah seperti kelompok
tani. Keberadaan kelompok tadi didukung oleh kehadiran lembaga-lembaga
seperti; Potugas Penyuluh Lapang (PPL), Dinas Pertanian, perusahaan-perusahaan
dan Pemerintah Daerah. Sangat disayangkan bahwa peran-peran lembaga tadi
dirasa kurang berarti dilihat dari sudut menciptakan inisiatif tingkat lokal karena
petani selama ini hanya menjadi penerima inovasi. Demikian pula ketika petani
dihadapkan pada jalur distribusi yang lebih sering dijegal oleh tengkulak ataupun
free rider baik dalam tingkat harga maupun konsumen.
Secara struktural petani diciptakan menjadi golongan yang tidak mampu
bangkit. Petani menjadi pihak yang lemah dan kurang diperhatikan. Kondisi
demikian diperparah oleh adanya kenyataan bahwa petani memiliki sifat yang cair
sehingga seringkali sulit disatukan dalam perjuangan meningkatkan kesejahteraan.
Masing-masing petani bekerja atas kepentingan sendiri dan sulit ditemukan
bentuk organisasi antar mereka. Kalaupun pernah dibentuk organisasi tani, lebih
80
pada wujud representasi penguasa di tingkat lokal masyarakat desa. Organisasi
tani seperti KTNA, Poktan, dan KTH merupakan organisasi petani yang ada di
tingkat desa. Organisasi ini dalam persepsi petani dikenal dengan organisasi
bentukan pemerintah. Akan tetapi bukan organisasi seperti ini yang dikehendaki
oleh petani. Organisasi tani yang diharapkan petani adalah yang mampu
menampung aspirasi kepentingan petani, mampu melibatkan petani dalam setiap
pengambilan keputusan dan mampu memberi akses seluas-luasnya baik informasi
maupun teknologi. Jadi organisasi tani yang dibutuhkan adalah yang berasal dari
masyarakat petani sendiri dan dalam proses pembentukan melibatkan semua
anggotanya mulai dari awal hingga akhir.
Dengan demikian, tampak bahwa latar belakang pendirian SPPQT
diantaranya adalah: pertama, persoalan yang dihadapi petani yang semakin sempit
dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya tanah dan kepemilikan tanah.
Tercatat rata-rata kepemilikan tanah sekitar 2000 m2 dengan kondisi rusak.
Kedua , kepemilikan sumber daya air menjadi milik pemodal (privatisasi) yang
sebelumnya milik publik. Ketiga, ketergantungan petani terhadap benih, pupuk,
bibit, dan obat-obatan sebagai akibat revolusi hijau. Program ini menimbulkan
pergeseran budaya petani. Keempat, lemahnya kelembagaan ekonomi petani.
Kelima, biaya pendidikan yang mahal bagi anak-anak petani. Keenam, sulitnya
akses kesehatan. Ketujuh, peraturan/kebijakan pemerintah yang tidak memihak
keluarga petani. Kedelapan, tekanan penguasa selama 32 tahun menciptakan
budaya petani, terutama menurunnya tingkat kepercayaan pada kemampuannya,
keengganan berkumpul dengan sesama petani, dan kecenderungan sikap
individual,.
Merujuk persoalan di atas, alat perjuangan SPPQT yang dikembangkan
adalah pengorganisasian, penguatan perempuan (karena kesetaraan jender akan
membangun kemandirian), pengembangan pertanian organik sebagai jawaban dari
sistem yang tidak menempatkan petani sebagai kontrol, pengembangan ekonomi
komunitas karena lembaga ekonomi yang sudah ada yaitu KUD tidak mampu
menjawab kebutuhan petani, advokasi kebijakan dan pendidikan politik, dan
media/data base sebagai dukungan gerakan petani.
81
Terkait dengan keinginan membangun kelompok tani yang lebih berbasis
komunitas, fenomena umum yang terjadi adalah keberadaan lembaga pendukung
yang dianggap penting dan menyentuh lapisan petani adalah organisasi petani.
Keberadaan organisasi tani mutlak dalam peningkatan kesejahteraan kaum tani.
Peranan organisasi tidak saja sebagai alat melawan kekuatan struktural akan tetapi
sebagai media pemberdayaan petani dan proses pembelajaran serta media
penghubung dengan lembaga di luar petani. Latar belakang inilah yang
menyebabkan petani membentuk organisasi yang kemudian dinamakan
paguyuban. Penggunaan istilah paguyuban berasal dar i bahasa Jawa, yaitu
ngguyub yang berarti bersatu. Latar belakang istilah paguyuban didasarkan pada
tradisi masyarakat Jawa yang selalu ingin berkumpul dan bersatu dalam beragam
perbedaan. Dari sisi bahasa, petani tidak merasa sulit memahami makna
paguyuban karena dalam sistem sosial mereka istilah itu sudah lazim
dipergunakan. Sedangkan nama untuk paguyuban, tergantung dari kesepakatan
anggotanya masing-masing dan dipengaruhi pula oleh latar belakang sejarah
wilayah dimana mereka tinggal. Secara umum pemil ihan nama berdasarkan nama
daerah atau tempat di mana mereka tinggal, seperti nama gunung atau nama
tempat keramat.
Kajian Embrio Organisasi
Latar belakang pengorganisasian telah jauh dilakukan sejak tahun 1980-an
melalui organisasi YDM (Yayasan Desaku Maju) yang diinisiasi oleh seorang
tokoh agama (MR-kyai) yang cerdas dalam menangkap fenomena sosial yang
terjadi pada komunitas. Kelompok yang dibangun pada saat itu menjadi sebuah
gerakan dan memfokuskan pada kegiatan semacam KUB (Kelompok Usaha
Bersama). Pola yang dikembangkan YDM pada masa itu adalah dengan
menggunakan pendekatan developmentalis, melalui peningkatan ekonomi
anggota.
Embrio SPPQT dimulai dengan adanya kelompok tani yang memiliki
kegiatan dibidang Koperasi Candak Kulak (KCK) pada tahun 1993. Kelompok
tani ini memfokuskan kegiatan simpan pinjam. Dalam perkembangan selanjutnya,
muncul sebuah kelembagaan keagamaan yaitu Nadwah Dirosah Islam
Kemasyarakatan (NADIKA). Nadika adalah sebuah forum, tempat refleksi
82
bersama antara tokoh pesantren dan tokoh NU di Kabupaten Semarang. Forum ini
melibatkan senior NU yang mulai merespon transformasi. Kegiatan pertama yang
dilakukan adalah dekonstruksi pemikiran keislaman yang dikaitkan dengan
perubahan sosial. Kegiatan ini melibatkan golongan NU senior yang oleh
golongan NU muda dianggap masih konservatif dan hanya fokus pada politik
praktis. NU senior belum memahami konteks sosial sebagai penyebab perubahan
sosial. Berangkat dari pertemuan Nadika, beberapa tokoh senior NU mulai
merespon dengan baik pemikiran kaum muda NU.
Pada tahun 1997-1998, beberapa simpul jaringan berkumpul di rumah
MR, dan mencoba membangun perkumpulan yang kemudian menjadi kelompok
studi keagamaan, filsafat, sosial-ekonomi, dan budaya. Perkumpulan tersebut lahir
karena sistem ekonomi di komunitas tidak berkembang sehingga petani
mengalami kemandekkan perekonomian. Hal tersebut terutama dipengaruhi oleh
adanya intervensi teknologi sehingga persoalan petani bermuara pada kejenuhan
perekonomian sebagai akibat langsung dari kejenuhan sumberdaya akibat revolusi
hijau. Ketergantungan terhadap input pertanian dari luar jelas-jelas merugikan
petani. Diskusi kemudian sampai pada kemungkinan menggulirkan ide kembali ke
alam (back to nature ) melalui pola pertanian organik yang harapannya kedepan
adalah mengembalikan pemberdayaan umat. Jaringan KUB pada saat itu
memfokuskan pada persoalan-persoalan pertanian, misalnya tata niaga, serta
kebijakan politik yang tidak pernah dapat diakses oleh masyarakat.
Perkembangan bergeser pada bentuk organisasi paguyuban. Pada tahun
1998 muncul dukungan dari PT. Remdec yang bergerak di jasa konsultasi. Pada
tahun 1999 Kelompok Tani (Poktan) Berkah Alam melakukan Strategic Planning
Program (SP program) untuk seluruh paguyuban yang telah ada sebelumnya.
Akhirnya SP program yang sesungguhnya diperuntukkan bagi Poktan Berkah
Alam diperuntukkan bagi SP program seluruh paguyuban dan menghasilkan
program serikat. Sebelum organisasi lain menerapkan organik, Berkah Alam telah
terlebih dahulu memusatkan pada kegiatan organik tanpa ada dukungan dana dari
lembaga donor. SP program terselenggara atas dana dari Hivos dan difasilitasi
oleh PT. Remdec serta melibatkan 13 paguyuban yang pada saat itu telah berdiri.
83
Alur sejarah perkembangan embrio SPPQT ditampilkan pada Gambar 3. di bawah
ini:
Dengan demikian gerakan utama yang dikembangkan adalah membangun
kemandirian dan kebersamaan di tingkat internal organisasi. Kemandirian dan
kebersamaan dilakukan dan dibangun atas kepentingan kultural. Kultural dalam
hal ini dimaknai sebagai pengaruh dari sistem yang ada dan telah terinternalisasi
ideologi kapitalisme. Gelombang besar kapitalisme memerlukan respon kultural
agar tidak terseret lebih jauh. Meski demikian, melawan globalisme dan
kapitalisme adalah sesuatu yang tidak mungkin. Tindakan yang paling mungkin
dilakukan adalah menghindari agar tidak terjebak dalam arus globalisme dan
kapitalisme.
Pola Pengorganisasian yang Dikembangkan
Sebagai organisasi rakyat, kerja-kerja pengorganisasian masyarakat petani
merupakan program utama organisasi. Ranah kerja dari divisi ini meliputi dua
pekerjaan yaitu; pertama, program pengorganisasian komunitas petani, dan kedua,
program penguatan petani perempuan. Aspek pengorganisasian komunitas petani
difokuskan pada upaya mendorong kaum petani, termasuk keluarga buruh migran
utamanya yang berbasis di pedesaan untuk membangun dan memperkuat
organisasi petani sebagai wadah perjuangan kepentingan-kepentingan petani.
Sedangkan aspek penguatan petani perempuan ditempatkan secara tersendiri
1980-an 1993-an 1998-an 1999-an
KUB-YDM - Pendekatan
ekonomi - Gaya CD
oleh Bina Desa
- Keterlibatan ulama
Kelompok Candak Kulak
(KCK) - Bina Desa
mundur karena program selesai
- Muncul Paguyuban Berkah Alam
NADIKA - Forum kajian - Simpul jaringan
KUB berkumpul - Pertemuan
terakhir membahas kemungkinan pendirian SPPQT
SPPQT - Menerapkan
strategi CD - Kerjasama
dengan pemerintah sebagai langkah taktis
Gambar 3. Alur Perkembangan Embrio SPPQT
84
dalam struktur program dimaksudkan sebagai bentuk keprihatinan terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan (Laporan Progress Report SPPQT,
2004).
Tujuan strategis yang hendak dicapai dari pola pengorganisasian di atas
adalah meningkatkan soliditas organ isasi paguyuban petani untuk mendukung
gerakan pemberdayaan petani. Dalam agenda pengembangan petani, langkah
pengorganisasian merupakan tahap awal sebelum dikembangkan agenda-agenda
yang menyangkut kegiatan perekonomian komunitas. Organisasi pada dasarnya
merupakan wadah akumulasi energi kolektif dalam mencapai kesepakatan atas
solusi yang akan diambil untuk merespon persoalan di tingkat petani.
Penelusuran perjalanan panjang aksi petani menuju embrio organisasi
massa mendapatkan ruang yang cukup berarti di kalangan aktivis lokal.
Pendekatan organisasi massa yang memberi tekanan besar pada isu konflik agraria
memperlihatkan bentuk pengorganisasian yang relatif cair dan tidak stabil. Sifat
tersebut terkait dengan karakter petani yang tidak memiliki basis kepemilikan
lahan sehingga cenderung tidak memiliki resiko ketika melakukan pendekatan
advokasi yang cenderung radikal. Dengan demikian, organisasi yang dibangun
pun menunjukkan sifat “kiri” dan dibangun atas dasar logika perjuangan secara
“fisik”. Karakter demikian dimanifestasikan dalam bentuk strategi perjuangan
yang cenderung “memilih” bentuk aksi massa, demonstrasi fisik, dan
menggunakan pola-pola yang dianggap radikal oleh pemerintah. Dari sisi politis
strategis, persepsi negatif yang sudah terskemakan pada pandangan pemerintah
menjadi sandungan untuk melangkah ke tahap perjuangan lebih lanjut.
Dalam kerangka organisasi petani yang berhaluan pola-pola pendekatan
radikal, keterlibatan petani terbatas pada contact person sebagai sumber
informasi; contact person adalah orang yang memobilisir petani-petani untuk
aksi-aksi delegasi; dan petani sebagai peserta dari aksi-aksi delegasi. Dengan
demikian kegiatan advokasi petani lebih banyak dikendalikan oleh unsur di luar
petani. Jika ini tidak segera ditindaklanjuti muncul kekhawatiran bahwa aksi akan
tercapai tanpa diiringi perubahan yang mendasar, Fauzi (1998). Dengan demikian,
pada tingkat lokal yang terjadi hanya tingginya intensitas hubungan antara petani
dengan orang luar desa. Petani dalam komunitasnya sendiri justru tidak
85
mengorganisir diri membangun kekuatan nyata yang terorganisir dan menandingi
kekuatan politik lokal.
Karakter demikian tentunya berbeda ketika petani yang menjadi subyek
pengorganisasian tidak lagi memperjuangkan tanah sebagai isu utama perjuangan.
Petani yang mempunyai masalah seputar produksi dan hubungan dengan kekuatan
supra desa memerlukan strategi tersendiri ketika akan dibawa pada bentuk
pengorganisasian. Petani yang memiliki status kepemilikan lahan cenderung lebih
berorientasi pada ekonomi produksi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan.
Meski tampak lebih “mudah” dibanding organisasi konflik, dalam kenyataannya
upaya pengorganisasian dan hal-hal lain yang terlibat didalamnya juga tidak
mudah. Petani yang selalu terbelenggu oleh permasalahan struktural mau tidak
mau harus dihadapkan pada stakeholder yang telah menyebabkan keterpurukan
tersebut.
Target kemandirian dan konsolidasi harus menjadi output utama karena
sejauh ini bentuk organisasi petani yang ditawarkan sangat bias kepentingan elit
birokrasi. Pengorganisasian berbasis rakyat kental dengan ciri sporadis, lokal dan
kecil-kecil. Pendekatan yang sering dilakukan adalah pendekatan administratif
dengan pertimbangan memudahkan proses konsolidasi. Pertimbangan ini
kemudian berimplikasi pada jalur tanggung jawab yang mengarah pada lembaga
birokrasi supra desa. Berbeda dengan pengorganisasian yang dilakukan oleh
SPPQT dimana organisasi dibentuk dengan dua sistem yaitu pendekatan
administrasi dan pendekatan kawasan. Sistem pertama dibentuk sebagai respon
peraturan daerah. Sedangkan pendekatan gugus kawasan dilakukan sebagai respon
atas persoalan yang terkait dengan persoalan ekologi. Pertimbangannya terkait
dengan fokus kepentingan yang dirasakan oleh anggota dan kelompok.
Pendekatan kawasan menjadi penting dalam menumbuhkan kesadaran ekologis
petani. Organisasi yang dibentuk berdasarkan kepentingan ekologis akan
membawa arah perjuangan pada kesadaran pengelolaan sumberdaya alam yang
relatif lebih baik dan mendahulukan prinsip-prinsip konservasi dalam setiap
tindakan manajemen organisasi.
Serikat membangun paguyuban dalam bentuk pendekatan kawasan dengan
tujuan mempersiapkan petani dalam menghadapi isu desentralisasi. Kesiapan ini
86
merupakan potensi dalam kaitannya dengan otonomi daerah sekaligus penanganan
potensi sumber daya alam. Pemahaman potensi SDA dapat menjadi basis
penguatan komunitas. Pendekatan kawasan dianggap tepat karena kegiatan yang
diarahkan pada ekonomi dan produksi memerlukan keseragaman dalam hal pola
produksi. Keseragaman karakter ekologis memudahkan penataan program
masing-masing paguyuban disamping menimbulkan kedekatan emosional antar
petani. Disamping itu, isu yang diangkat juga lebih mengarah pada persoalan
nyata yang dialami. Tiga belas kawasan yang ada beserta paguyuban anggotanya
seperti tercantum pada Tabel 5. di bawah ini:
Tabel 5. Sebaran Anggota SPPQT Berdasarkan Kawasan
No. Kawasan Paguyuban
1 Merapi Merapi, Setyo Tunggal 2 Merbabu I Merbabu 3 Merbabu II Candi Laras Merbabu, Jabal Syarif, Tajuk, Samirono 4 Sumbing Sumbing Inti, Hayatan Thayyibah 5 Gunung Payung Gunung Payung 6 Ungaran Hulu Gedongsongo 7 Ungaran Hilir Bekti Pertiwi 8 Jogosatru Al-Barokah 9 Senjoyo Joko Tingkir, Berkah Alam, Karyo Raharjo, al
Falah, Merdeka, Wijaya Kusuma, Gotong Royong, An Nur, Pasar Pagi, Bestari
10 Penyangga KO RR, Subur, TUM, Otek Makmur 11 KO PSM, Sendang Rejeki, KOB, SSR 12 Rawapening Rapensa, Sodong, Makmur, Baruklinting 13 Pantai Sekucing Wahyu Samudro
Sumber: SPPQT, 2005
Meski secara keseluruhan organisasi yang ada muncul atas kesadaran
anggota, namun dalam skala kecil masih dapat dilihat bahwa pada dasarnya
muncul motivasi yang berbeda terkait dengan pembentukan organisasi tani tingkat
lokal. Salah satu strategi pengorganisasian yang dipergunakan oleh serikat petani
adalah dengan menawarkan program/proyek kepada petani sebagai momentum
awal pendirian organisasi. Biasanya penawaran dilakukan dalam bentuk bantuan
dana PKM yang menjadi agenda kegiatan pertama bagi organisasi yang baru
tumbuh tersebut. Tampak bahwa inisiasi ekonomi dan model pendekatan CD tetap
menjadi pilihan meskipun jika dipandang dari sisi inisiatif lokal, organisasi ini
telah sedikit maju dibandingkan model CD.
87
Disamping itu, sebagai organisasi yang menggunakan pendekatan CD
sebagai strategi perjuangan, organisasi anggota SPPQT juga dibentuk dengan
memanfaatkan kelompok bentukan pemerintah yang sudah ada (misalnya
kelompok religi atau ekonomi). Pengorganisasian yang dilakukan mengadopsi
model organisasi formal yang memiliki struktur organisasi vertikal-horizontal.
Organisasi petani memiliki divisi-divisi yang meskipun seringkali kurang sesuai
dengan konteks permasalahan yang dihadapi petani tetap digunakan sebagai cetak
biru dari SPPQT.
Meskipun organisasi yang berciri CD ini baru muncul setelah situasi
politik memberikan ruang gerak yang bebas, namun ide pengorganisasian
tampaknya telah muncul terlebih dahulu di tingkat lokal. Organisasi berciri CD
dengan cakupan wilayah yang relatif luas baru mendapat pengakuan pada masa
reformasi terkait dengan persepsi pemerintah terhadap keberadaan organisasi
petani. Kemunculan organisasi petani dalam konteks sosial yang “mapan” oleh
pemerintah dianggap keluar dari jalur yang “seharusnya” sehingga harus dibatasi
pertumbuhannya. Makna yang ditangkap dari realitas tersebut adalah
kekhawatiran pemerintah terhadap bentuk perlawanan petani.
Harapan yang ingin dibangun adalah organisasi yang bersifat well
organized agar dapat mengurai persoalan laten misalnya biaya pendidikan mahal,
harga komoditas pertanian murah, dan input pertanian yang mahal. Respon atas
persoalan laten ini penting karena apabila persoalan ini tidak disikapi dengan
segera, maka persoalan akan meruncing menjadi manifes dengan resiko
kebutuhan energi perjuangan lebih besar. Dengan kata lain, organisasi massa
rakyat harus dimaknai sebagai respon atas ketidakadilan yang terjadi pada rakyat.
Tumbuhnya organisasi petani tidak lepas dari dukungan pihak luar sejak
dari masa pembentukan hingga perjalanan organisasi itu sendiri. Kenyataan
lapang menunjukkan bahwa banyak organisasi petani tumbuh didukung oleh
berbagai bantuan yang sengaja dipersiapkan untuk membentuk embrio sebuah
organisasi. Dalam hal ini dukungan aktor dalam pembentukan bisa menjadi
petunjuk tipe organisasi yang dibangun. Banyak kasus menunjukkan bahwa aktor
yang pertama kali bersentuhan dengan organisasi petani, dalam perkembangannya
akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan organisasi petani yang
88
bersangkutan. Apabila diklasifikasi, bentuk dukungan dapat dibedakan: 1)
dukungan dalam pembentukan, 2) dukungan dalam fasilitas, 3) dukungan dalam
pembinaan, dan 4) dukungan dalam membangun jaringan.
Dukungan dalam pembentukan diartikan sebagai bentuk keterlibatan aktor
lain yang turut membidani kelahiran organisasi. Keterlibatan pendamping dalam
hal ini cukup kuat karena sejak semula keberadaan pendamping menjadi semacam
ujung tombak pembentukan sekaligus agen perubahan dalam komunitas.
Apabila pembentukan kelompok dikaitkan dengan jenis inisiasi yang
digunakan, tampak pada beberapa paguyuban dan kelompok pembentukan
didasari oleh program pembangunan yang dibawa serikat. Persepsi anggota
organisasi terhadap model pendekatan ini berbeda. Pandangan positif lebih
menilai bahwa pendekatan ini sah dan dalam beberapa hal masih diperlukan untuk
pengembangan organisasi tani. Pandangan negatif menilai bahwa ketika
organisasi terbentuk karena ada program dari atas, maka keberlanjutan organisasi
tersebut dipertanyakan. Tingkat ketergantungan organisasi tipe ini terhadap
program sangat tinggi. Perdebatan kemudian bergulir pada fakta yang diperoleh
bahwa keberlanjutan organisasi tidak dapat didasarkan hanya pada satu indikator
saja.
Keterkaitan Antar Aras Organisasi
Memahami organisasi petani membawa kita pada upaya pemahaman akan
kohesi sosial, komunikasi, dan struktur organisasi dalam bentuk organisasi petani
dan arti pentingnya bagi keberlangsungan sebuah organisasi tingkat sekunder.
Meskipun secara sekilas akan tampak perbedaan antara satu organisasi dengan
lainnya, namun hal tersebut tidak bisa menjadi pembeda yang kaku. Sulit untuk
mendasarkan pada perbandingan dengan cara demikian. Hampir semua organisasi
dapat diklasifikasikan kedalam salah satu dari tiga kategori yaitu: organisasi
kerjasama, organisasi yang berbentuk proyek pembangunan atau atas instruksi
agen pemerintah, dan NGO (Uphoff, 1986). Organisasi yang berbasis produksi
merepresentasikan perdagangan dan ketertarikan dalam aspek produksi dan telah
sedikit lebih modern dibandingkan organisasi tradisional lain. Organisasi seperti
ini berbasis pada upaya memprioritaskan agen penyebaran pertanian atau
pembangunan.
89
Kasus di lapang menunjukkan bahwa beberapa paguyuban memiliki
‘ketergantungan’ yang tinggi terhadap keberadaan organisasi di bawahnya. Hal ini
dapat dikatakan wajar terutama dalam hal penyediaan dana kegiatan organisasi.
Basis massa berada di bawah kelompok tani, sehingga yang lebih berhak
melakukan penggalangan dana adalah kelompok tani. Dukungan dana untuk
kegiatan organisasi terutama di tingkat paguyuban lebih sering mengandalkan
kekuatan kelompok tani. Dalam beberapa hal, ini bisa dianggap sebagai “balas
jasa” kelompok tani terhadap paguyuban. Balas jasa ini berlaku terutama jika
paguyuban memainkan peran membangun jejaring dengan pihak lain yang
menguntungkan bagi perkembangan kelompok tani.
Namun demikian, gejala ketergantungan paguyuban terhadap kelompok
tidak dapat digeneralisir. Akan tampak berbeda pada paguyuban yang sudah
memiliki stabilitas dalam berorganisasi dan memiliki jaringan yang luas untuk
mendukung program kelompok. Dalam kondisi ini kelompok akan sangat
berkepentingan terhadap paguyuban atas dukungan yang diberikan. Hal ini
menunjukkan bahwa masing-masing aras mempunyai ranah tugas dan tanggung
jawab tertentu. Analisis di atas diperkuat oleh Carroll dalam Britt, 2003 yang
menyatakan perbedaan ciri pada tiap aras organisasi. Tabel 6. di bawah ini
menunjukkan perbedaan orientasi organisasi pada aras yang berbeda.
Tabel 6. Perbedaan Ciri Tiap Aras Organisasi
Perbedaan Aras
Organisasi Cakupan Aras Kompleksitas Fungsi
Kelompok petani lokal-komunitas
village simple praksis
Paguyuban kawasan ekologis yang sama
kecamatan atau kabupaten
relatif belum jelas
kebijakan
SPPQT aktivis serikat- propinsi
multi-dimensional
advokasi/ politik/ ideologi
Dalam struktur pengorganisasian yang memiliki tiga aras (serikat-
paguyuban-kelompok tani), paguyuban berperan penting bagi kelompok terutama
dalam fungsinya sebagai penghubung antara kelompok dengan serikat, membuat
administrasi yang tertib, dan juga membuat jaringan. Pada aras lokal sebagian
90
besar organisasi yang eksis adalah kelompok tani karena mereka lebih
memfokuskan pada kegiatan nyata. Kelompok tani lebih akrab dengan kerangka
kebijakan dan aktivitas pemerintah tingkat lokal. Sebagai konsekuensinya,
program pemerintah seringkali hanya bersinggungan dengan kelompok,
sedangkan paguyuban lebih banyak melakukan kegiatan dalam jalur koordinasi
SPPQT.
Peran paguyuban dalam struktur organisasi sebagai sarana atau wadah
untuk pembelajaran bersama. Jalur komunikasi dilakukan langsung dalam forum
yang di dalamnya terdapat mekanisme pertemuan rutin sebagai ajang berbagi
informasi. Proses pertukaran informasi dilakukan dengan cara musyawarah untuk
mufakat dan melibatkan kepengurusan kelompok dalam bentuk pertemuan.
Hampir sebagian besar paguyuban melakukan pertemuan selapanan sekali (35 hari
sekali), merujuk pada kultur yang biasa dibangun. Dalam pertemuan tersebut,
disamping membicarakan persoalan yang menyangkut kelompok/paguyuban, juga
sebagai media untuk mengumpulkan iuran ru tin.
Mekanisme formal penyaluran kepentingan/aspirasi anggota paguyuban
melalui rapat dewan pleno yang diadakan setiap 3 bulan sekali dan dihadiri oleh
perwakilan ketua kelompok masing-masing. Rapat dewan pleno dilakukan untuk
mengevaluasi program yang telah dilaksanakan sebelumnya untuk pelaksanaan
program selanjutnya.
Perkembangan lebih lanjut memperlihatkan keinginan untuk menerapkan
desentralisasi paguyuban. Paguyuban diharapkan mempunyai peran lebih
dibanding serikat mengingat yang paling dekat dengan kelompok adalah serikat.
Tim penilai desentralisasi melakukan evaluasi terhadap seluruh paguyuban dan
menghasilkan kategorisasi paguyuban yang dianggap telah terdesentralisasi
maupun yang belum. Beberapa kriteria hasil penilaian tentang tingkatan otonomi
di paguyuban sebagai berikut; terdesentralisasi penuh, sedang dalam proses
desentralisasi, paguyuban yang selama ini tidak terdesentralisasi, dan masih
berupa calon paguyuban. Parameter desentralisasi dengan menggunakan alat ukur
diantaranya adalah; pertama, parameter obyektif yaitu persoalan di luar anggota.
Dalam hal ini penting dipertimbangkan aspek kondisi alam, kemiskinan, gerakan
perempuan, kondisi politik, dan struktur pemerintah. Kedua , parameter internal
91
yang menyangkut manajemen (administrasi, pengambilan keputusan, kontrol,
perencanaan, dan pelaksanaan). Makin tinggi parameter obyektif (misalnya
kondisi luar buruk) maka organisasi harus diprioritaskan.
Kegiatan Organisasi
Kesadaran terhadap kebutuhan organisasi berangkat dari keinginan
mencapai kebutuhan di tingkat petani. Organisasi yang dibangun atas dasar basic
needs dan basic interest memiliki kecenderungan untuk mempertahankan
keberadaan dirinya sebagai manusia. Hollnsteiner (1979) dengan gamblang
menggambarkan bahwa “basic needs strategy requires ‘motivational, institutional
and organizing change as much as narrowly defined economic reform’ broad
based participation of people at the local level as a key factor in generating and
articulating the demand for basic needs and for the efficient management of
supportive services”.
Kebutuhan yang paling jelas dirasakan oleh petani terkait dengan
persoalan hidup adalah pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama.
Komunitas sekitar dataran tinggi mengalami persoalan yang khas menyangkut
kondisi geografis. Komoditas yang ditanam biasanya terbatas pada jenis tertentu
yang sesuai dengan iklim. Ketersediaan air yang terbatas menyebabkan tanaman
hanya menghasilkan produksi yang sedikit. Kasus terbentuknya organisasi petani
pada wilayah ini diilhami oleh kuatnya tekanan struktural yang muncul dan
menghantam kehidupan petani. Apabila dikelompokkan motivasi terbentuknya
organisasi petani atas dasar basic needs dan basic interest, maka kebutuhan
mendasar yang dialami oleh petani adalah terkait dengan masalah produksi. Paling
tidak kebutuhan inilah yang pertama kali memunculkan motivasi membangun
organisasi.
Atas dasar alasan tersebut, maka tidak heran bahwa pilihan tipe organisasi
mengedepankan prinsip pemenuhan kebutuhan yang paling dirasakan. Oleh
karenanya, organisasi dengan pendekatan CD menjadi pilihan karena
menyandarkan upaya pencapaian kesejahteraan anggota, penerapan program pada
anggota, dan mengembangkan prinsip pemberdayaan dan kemandirian tingkat
lokal.
92
Pilihan Kegiatan Sebagai Upaya Mencapai Tujuan
Relasi kekuasaan yang terbentuk mau tidak mau menempatkan petani pada
kondisi yang diharuskan mengikuti pola-pola yang telah dikokohkan. Dalam
praktek pertanian, petani mengalami ketergantungan terhadap pertanian
konvensional tanpa bisa keluar dari status quo pemodal. Sarana produksi pertanian
yang disediakan pemerintah makin menjauhkan petani dari kemampuan
menangkap potensi lokal. Artinya, pemerintah justru menambah deretan pekerjaan
rumah bagi perbaikan nasib petani. Dari sudut pandang sosiologis, relasi yang
menciptakan implikasi demikian membawa pengaruh pada posisi superordinat-
subordinat. Ketika hal ini terjadi akan menciptakan sisi ketergantungan petani
terhadap golongan superordinat.
Selain pembentukan organisasi petani dipandang sebagai strategi
penyelamatan dari tekanan struktural, dalam wilayah internal petani, organisasi
merupakan wadah ikatan sosial. Ikatan sosial menjadi penting sebagai sarana
berbagi permasalahan. Petani mengemukakan bahwa motivasi pembentukan
kelompok adalah memupuk rasa persaudaraan diantara mereka. Motivasi ini
terutama ditemukan pada kelompok petani perempuan. Atas dasar motivasi itu
kelompok petani perempuan mengembangkan kegiatan ekonomi sekaligus
berorientasi pada menjalin hubungan kebersamaan diantara anggota. Kegiatan
yang dilakukan biasanya meliputi arisan, tabungan kelompok atau simpan pinjam.
Permasalahan sosial-ekonomi yang dihadapi petani tidak lepas dari
konteks politik yang ada. Permasalahan yang diwarnai oleh kekuasaan politik
supra lokal “memaksa” petani untuk menciptakan kondisi yang bisa meningkatkan
posisi tawar. Dalam situasi demikian, petani tidak hanya berkiprah dalam bidang
produksi melainkan dalam bidang politik. Dalam beberapa kasus, petani sebagai
anggota organisasi produksi memainkan perannya di ruang publik yang lebih luas.
Dinamika politik lokal menjadi media bagi petani untuk memantapkan posisinya
menjadi bagian dari unsur-unsur pengambilan keputusan.
Kegiatan berciri ekonomi produksi
Respon atas persoalan produksi yang sudah sejak lama dialami petani di
wilayah organisasi SPPQT diwujudkan dalam bentuk mengelola sumber-sumber
produksi dengan menggunakan kekuatan sendiri. Bentuk aktivitas yang dapat
93
dikategorikan sebagai kegiatan ekonomi produksi adalah simpan pinjam, gardu
tani, pemasaran produk dan pertanian organik. Untuk itulah, satu divisi yang
selalu ada di setiap paguyuban adalah divisi IOF (Integrated Organic Farming ).
Divisi ini menjadi media petani untuk dapat melakukan kegiatan produksi tanpa
dipengaruhi mekanisme politik. Permasalah an yang cukup menguat di kalangan
petani anggota SPPQT adalah masalah akses terhadap input-input pertanian yang
mahal. Tingginya tingkat harga input pertanian yang sampai ke petani dominan
dipengaruhi konteks geografis dan struktural. Kondisi geografis anggota SPPQT
yang sulit dijangkau makin mempersulit distribusi. Disamping itu, input pertanian
menjadi komoditas politik sehingga tingkat harga sulit dijangkau oleh mekanisme
pasar.
Melalui divisi IOF, peningkatan pemahaman pentingnya memanfaatkan
sumber yang ada di sekitar komunitas menjadi fokus tersendiri, disamping juga
keterampilan yang menyertai penyadaran tersebut. Kegiatan ini kemudian
difokuskan pada pertanian organik melalui praktek pertanian organik di tingkat
komunitas. Petani memanfaatkan modal yang ada di alam untuk mendukung pola
pertanian tersebut. Beberapa keluhan yang muncul sebagai dampak dari
diterapkannya pertanian sistem ini adalah makin berkurangnya produktivitas lahan
per satuan luas. Penyadaran tentang hal ini terus menerus diberikan oleh kader
organisasi bahwa pengurangan produksi pada kurun waktu 2-3 tahun pertama
sebagai akibat tanah yang terlalu jenuh pupuk kimia. Kader kemudian
memberikan contoh kepada petani tentang keberhasilan padi sistem organik yang
di tahun ketiga menghasilkan produksi jauh diatas padi dengan sistem pertanian
konvensional.
Kegiatan lain menyangkut aspek ekonomi produksi adalah kegiatan
pemasaran yang ditangani langsung oleh petani dengan dukungan SPPQT dalam
hal jaringan. Beberapa kelompok telah dapat memas arkan sendiri hasil pertanian
bahkan telah masuk ke supermarket secara rutin. Sebagai bagian dari upaya
menunjukkan eksistensi organisasi petani, model pemasaran demikian menjadi
alat ampuh untuk mensosialisasikan kemandirian petani. Dengan demikian
pengakuan atas eksistensi organisasi tidak saja diperoleh dari internal organisasi
melainkan juga dari pihak eksternal.
94
Ketika petani telah sampai pada kesadaran bahwa mereka bisa
membangun pola-pola yang tidak tergantung kepada pihak luar, sejak saat itu pula
mereka secara tidak langsung berikrar pada terputusnya relasi dengan kekuasaan
struktural di luar komunitasnya. Kemampuan berbudidaya dengan menggunakan
input yang ada di sekitar alam serta memasarkan sendiri hasilnya tanpa melalui
tangan tengkulak berhasil memberikan contoh/gambaran peran petani dalam ajang
pertarungan ekonomi.
Ketergantungan yang tinggi terhadap input-input pertanian mulai
dikurangi oleh petani melalui kegiatan pertanian organik. Pertanian organik yang
berciri model pertanian murah input mendapat tempat pada komunitas petani.
Namun dalam jangka pendek petani memerlukan “subsidi” terkait dengan
menurunnya produktivitas lahan. SPPQT sebagai fasilitator, dalam hal ini harus
memperhatikan kebutuhan jangka pendek petani. Pertanian organik ditahun-tahun
awal memerlukan pengorbanan sehingga diperlukan strategi untuk tetap
mempertahankan berlangsungnya kegiatan pertanian organik. Kekhawatiran yang
muncul adalah; implikasi dari diberlakukannya pertanian organik yang berpeluang
menciptakan kesenjangan antara petani dengan serikat-nya. Hal ini berbahaya
karena pertanian organik di tingkat basis tidak dipahami secara filosofis dari sisi
manfaat dan keuntungan melainkan karena didasari motivasi mengikuti program.
Bagi sebagian petani, capaian yang diharapkan dari pertanian organik
belum memberi nilai tambah dalam ekonomi petani, karena terlalu besar biaya
dan resiko yang harus diterima petani. Seperti pernyataan mereka bahwa bertani
organik membutuhkan waktu minimal tiga tahun untuk berhasil karena harus
mengembalikan kesuburan tanah akibat timbunan bahan kimia. Disisi lain petani
dalam jangka pendek memerlukan hasil untuk menghidupi keluarga. Belum lagi
tingkat penguasaan lahan yang rendah turut mempengaruhi pendapat ini. Alasan
keengganan menerapkan pertanian organik adalah petani membutuhkan agen
perubahan yang berasal dari golongan mereka sendiri. Dalam hal ini bimbingan
dan penyuluhan masih menjadi kebutuhan yang penting bagi petani.
Kegiatan ekonomi lain ditemukan pada kegiatan simpan pinjam dan gard u
tani. Pada beberapa kelompok, kegiatan simpan pinjam menjadi sebuah media
kerukunan antar anggota. Gardu tani analog dengan kegiatan koperasi dimana
95
konsep gardu tani mengadopsi konsep koperasi. Pilihan kata gardu tani
dimaksudkan untuk menghilangkan image sebuah institusi yang dibangun oleh
pemerintah. Kelembagaan yang dibangun oleh pemerintah menimbulkan trauma
tersendiri bagi petani. Itulah sebabnya konsep koperasi diterapkan dengan
menggunakan terminologi yang berbeda.
Pendekatan ekonomi dilakukan untuk mengembangkan permodalan dalam
usaha organisasi petani baik di aras paguyuban maupun kelompok tani. Cara ini
secara umum dapat dilakukan melalui dua mekanisme yaitu pengembangan modal
internal dan pengembangan modal eksternal. Pengembangan modal internal
dilakukan dalam bentuk usaha simpan pinjam, arisan (bagi beberapa kelompok
tertentu), gardu tani, iuran pokok dan wajib, usaha kolektif dan pemasaran produk.
Sedangkan pengembangan modal eksternal menekankan pada pemberi dana baik
dari serikat, maupun lembaga lain seperti dinas pemerintah dan lembaga swasta,
maupun partai politik. Pengembangan modal internal, secara umum lebih banyak
menggunakan mekanisme usaha simpan pinjam dan iuran. Selain itu terdapat juga
pengembangan modal melalui kegiatan usaha kolektif dalam bentuk gotong
royong. Usaha kolektif adalah kegiatan yang melibatkan keseluruhan anggota
organisasi guna menambah pendanaan organisasi. Usaha kolektif yang dilakukan
seperti, mencangkul bersama, memanen bersama, buruh angkut, beternak
kambing dan sapi, menanam tanaman jahe dalam lahan kolektif, dan usaha
penyewaan tenda, pompa air serta penyewaan mesin pipil jagung. Hasil yang
didapat, dari pengembangan modal digunakan sebagai kas organisasi, dan
sebagian diperuntukkan bagi anggota yang terlib at dalam usaha kolektif (kasus
usaha ternak kambing dan sapi). Ada hal yang cukup menarik dalam penggunaan
kas organisasi. Terdapat organisasi di tingkat kelompok yang menggunakan kas
untuk pembangunan fisik dusun dan desa di lingkungan mereka seperti pembuatan
jalan aspal dan pemasangan lampu penerangan jalan. Hal ini dilakukan karena
kelengkapan sarana dan prasarana dirasa kurang.
Kegiatan berciri pendidikan
Pendekatan pendidikan dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas
SDM pengurus maupun anggota dalam bentuk pelatihan manajerial dan pelatihan
pembukuan. Model pendekatan ini lebih mengarah pada perbaikan lembaga
96
(institusi), sedangkan pendekatan pendidikan yang mengarah pada perbaikan
kualitas SDM per individu dilakukan melalui kegiatan pelatihan per tanian
organik, pelatihan pemetaan partisipatif, dan pelatihan jender.
Strategi lain yang dilakukan adalah pelatihan jender. Pelatihan jender
dilakukan untuk memberi penyadaran kepada baik perempuan dan laki-laki dan
pola relasi d iantara keduanya. Kegiatan ini berhasil dalam peningkatan
pengetahuan anggotanya namun tidak berhasil dalam aplikasi. Budaya patriarkhi
yang dominan menciptakan sulitnya kesetaraan jender diwujudkan. Keterlibatan
dan partisipasi perempuan dalam ranah publik baru terwujud dalam bentuk
berorganisasi. Di aras komunitas, gender mainstreaming belum memberikan
warna. Terlihat dari proses penyusunan kebijakan tingkat desa yang menunjukkan
minimnya keterlibatan perempuan. Kondisi ini dipertajam pada ranah domestik
yang lebih menonjolkan peran perempuan pada fungsi reproduksi dibanding
fungsi produksi dan sosial. Hal ini mengakibatkan (bagi anggota organisasi)
terhambatnya akses dan kontrol terhadap informasi. Dalam akses informasi, antara
anggota perempuan dengan laki-laki hampir seimbang, namun dalam hal kontrol
masih didominasi oleh laki-laki.
Satu kegiatan yang menarik dilakukan oleh organisasi SPPQT adalah
sekolah alternatif. Pendirian sekolah ini merupakan hasil refleksi para pemuda tani
setelah mendapat pencerahan melalui pendidikan kritis. Kebutuhan awal yang
dirasakan ketika pendirian sekolah alternatif dibangun adalah respon atas jarak
sekolah yang jauh dari lokasi pemukiman. Kondisi demikian menyebabkan anak-
anak petani banyak yang putus sekolah. Beberapa orang yang mempunyai
pemikiran progresif kemudian mencoba mendirikan sekolah dengan harapan
kualitas yang sama bahkan sedapat mungkin mengungguli sekolah pemerintah.
Pertimbangan pendirian sekolah alternatif juga dipicu oleh mahalnya biaya
pendidikan yang mengusik kesadaran emansipasi.
Sekolah alternatif merupakan bentuk kepedulian terhadap persoalan
komersialisasi dan kapitalisme pendidikan yang marak terjadi. Sekolah dibangun
dengan menggunakan kurikulum depdiknas dan menginduk pada sekolah terbuka
namun didisain dengan pendekatan pengajaran yang progresif. Sekolah ini
97
menciptakan bentuk kemandirian yang merupakan ciri dasar dan semangat yang
dijunjung dalam ideologi pendidikan alternatif ini.
Berbagai metode telah dikembangkan dalam pola pengajaran termasuk
suatu uji coba yang belajar tanpa guru yang diterapkan di kelas tiga. Sedangkan
kelas satu dan kelas dua masih tetap menerapkan pengajaran yang didampingi
oleh guru. Sekolah ini menerapkan sistem pembelajaran yang lebih
mengedepankan aspek pemaknaan terhadap ilmu pengetahuan. Dengan demikian
pembelajaran yang dilakukan adalah terlibat dalam diskusi dan hubungan dialogis
antara murid, guru dan lingkungan. Siswa diajak untuk belajar dengan alam dan
menemukan sendiri pengetahuan. Dalam pola ini dituntut kreatifitas dan daya
inovatif siswa. Pola pendidikan ini dalam sistem Freire (1984) merupakan sebuah
sistem pendidikan yang lebih humanis dan mengedepankan hubungan pendidik
dan peserta didik. Dalam hal ini yang dibangun bukan pengajaran namun
pembelajaran, dimana posisi guru tidak sebagai pengajar melainkan bagian dalam
sistem pendidikan yang juga melakukan pembelajaran bersama dengan murid.
Kegiatan kerciri aksi-advokasi
Beberapa paguyuban dan kelompok memiliki permasalahan terkait dengan
lahan perhutani. Disamping mencari lahan untuk pertanian, petani lokal menolak
tanaman pinus yang ternyata memberi kontribusi cukup tinggi pada berkurangnya
ketersediaan air di musim kemarau. Tanaman pinus ditebang secara selektif untuk
memberi ruang yang cukup bagi tumbuhnya tanaman perintis. Sebagian besar
organisasi lokal menolak bentuk PHBM yang ditawarkan petani karena dirasa
tidak adil bagi petani. Oleh karenanya organisasi lokal mengambil inisiatif untuk
menanam pohon di lahan perhutani. Fenomena paling baru yang terjadi saat ini
adalah organ isasi petani melakukan gerakan protes terhadap penetapan TNMM
berdasarkan SK Menhut No 134 dan 135 Tahun 2004.
Pendekatan aksi-advokasi dilakukan sebagai wujud pendekatan politik.
Kegiatan aksi yang tampak pada paguyuban dan kelompok tani adalah
demonstrasi, penghijauan, pemekaran lahan pertanian, dan pembangunan sarana
fisik. Sedangkan kegiatan yang dikategorikan menggunakan pendekatan advokasi
misalnya talk show gender via media massa, diskusi kampung, dan penolakan SK
tentang penetapan TNMM. Konflik kepentingan yang terjadi seperti dalam kasus
98
PHBM dan isu TNMM. Sasaran advokasi ditujukan bagi anggota paguyuban.
Tujuan advokasi adalah anggota dapat memahami sekaligus terlibat dalam
permasalahan yang terjadi di lingkungan mereka. Penyadaran menjadi kata kunci
dalam pendekatan advokasi.
Pendekatan aksi merupakan kelanjutan dari pendekatan -pendekatan yang
telah dilakukan sebelumnya terkait dengan berbagai masalah dan isu baik
ekonomi, sosial, politik dan lingkungan. Tujuan aksi adalah membentuk opini
publik . Strategi ini tampak dalam aksi demonstrasi menuntut dihentikannya
proyek TNMM yang ditujukan kepada pemerintah daerah maupun pusat. Aksi lain
dilakukan secara nyata dalam hal kegiatan penanaman tanaman keras bagi tanah-
tanah dengan kondisi kritis (terintegrasi dalam program GNRHL Perhutani),
diskusi desa mengenai jatah perempuan dan otonomi desa, penebangan dan
penggarapan lahan Perhutani.
Penguatan Kapasitas Organisasi: Pertarungan antar Orientasi Kepentingan
Paguyuban petani yang berbasis aktivitas peningkatan pendapatan
mempunyai struktur organisasi yang lebih baik dibandingkan organisasi konflik.
Paguyuban menjadi bagian dari organisasi yang lebih besar yaitu SPPQT. Namun
demikian, paguyuban juga memiliki otoritas untuk mengembangkan struktur
manajemen dan agenda tersendiri untuk memajukan paguyuban. Bahkan ketika
dihadapkan dengan kelompok petani anggota, paguyuban memiliki hak lebih
banyak dibanding SPPQT. Hal tersebut tampak dari model pembinaan berjenjang
yang dilakukan SPPQT, yaitu SPPQT membina paguyuban, sedangkan
paguyuban membina kelompok tani anggotanya. Model pembinaan demikian
didasarkan pada pertimbangan menghindari fokus perhatian yang melebar. Dalam
hal ini kedekatan paguyuban dengan kelompok tani memberi dukungan terhadap
kemandirian paguyuban dalam mendisain arah pengembangan organisasi,
bersama-sama dengan kelompok tani di bawahnya.
Peningkatan kapasitas organisasi basis kemudian didisain oleh kelompok
bersama-sama dengan paguyuban. Dengan demikian fokus paguyuban ditujukan
pada beberapa hal diantaranya adalah (Sunito & Purwandari, 2005); pertama,
penguatan organisasi petani yang bertujuan untuk mencapai penguatan posisi
tawar petani dalam situasi politik untuk mengejar tujuan organisasi. Kegiatan
99
dirinci kedalam beberapa jenis kegiatan, misalnya pelatihan berorganisasi,
manajemen organisasi, atau pelatihan dalam upaya mencari solusi atas berbagai
persoalan. Kedua , membangun jaringan pasar antar petani. Ide ini berangkat dari
kenyataan bahwa petani yang tinggal di daerah dataran tinggi (lahan kering) dapat
melakukan pertukaran (jual-beli) komoditas pertanian dengan petani di dataran
rendah (lahan basah). Komoditas yang dipertukarkan adalah komoditas yang
dapat saling melengkapi. Strategi ini dalam jaringan organisasi SPPQT sedang
dalam upaya dikembangkan. Cara ini sekaligus juga sebagai bagian dari
membebaskan petani dari sistem pemasaran yang eksploitatif.
Ketiga, strategi membebaskan petani dari penyediaan input pertanian yang
memerlukan modal yang intensif. Hal ini terutama terkait dengan
mengembangkan ketersediaan input pertanian - pupuk dan pestisida – yang
berada di bawah kontrol petani dengan menerapkan bahan -bahan alami lokal.
Sejak krisis ekonomi tahun 1997, biaya import sarana produksi pertanian menjadi
sangat tinggi sehingga harga jual sarana produksi pertanian menjadi mahal.
Terdorong oleh kondisi demikian, organisasi petani difasilitasi oleh NGO mencari
upaya untuk menciptakan alternatif pupuk dan obat-obatan murah dengan
memanfaatkan sumberdaya yang ada. Melalui strategi ini, margin keuntungan
petani meningkat karena biaya produksi bisa ditekan lebih rendah, dan harga
pertanian organik cenderung lebih tinggi dibanding hasil pertanian konvensional.
Kondisi ekonomi seperti dikemukakan di atas mendorong petani untuk
mengadopsi sistem pertanian yang lebih banyak bertumpu pada sumber daya lokal
dan pengetahuan lokal. Usaha ini didukung oleh NGO’s yang bergerak di bidang
CD, sebagian besar dengan mengusahakan informasi, pelatihan dan jejaring
dengan organisasi-organisasi yang dapat memberikan dukungan. Namun terdapat
juga NGO’s yang mengkhususkan diri pada sistem pertanian organik dan
berusaha meyakinkan petani tentang potensi sistem pertanian alternatif tersebut.
Dalam hal ini terjadi pertemuan dua kepentingan yang sejalan dan kerjasama yang
sinergis. Paguyuban di bawah SPPQT tidak secara eksplisit menerapkan
pendekatan sistem pertanian alternatif atau pertanian organik, namun giat
mengembangkan elemen-elemen dari pertanian organik dalam rangka
menumbuhkan kemandirian seperti dikemukakan di atas. Paling umum dilakukan
100
adalah membuat pupuk dan insektisida organik. Beberapa kelompok tani
menanam kembali benih-benih padi lokal, yang kini mulai disalurkan ke
konsumen melalui NGO’s di kota.
Keempat, media cetak sebagai alat komunikasi dan advokasi. Sistem
komunikasi yang dikembangkan adalah penerbitan news-letter dan majalah.
Secara umum dapat dikatakan bahwa peranan NGO sangat besar didalam
mengembangkan media cetak yang dimanfaatkan petani untuk saling
berkomunikasi dan sebagai media informasi atas permasalahan yang dihadapi
petani. Organisasi yang mengelola media cetak biasanya dari serikat organisasi
(SPPQT) karena sifat beritanya yang cukup padat. Paguyuban atau kelompok tani
jarang melakukan kegiatan ini kecuali mempunyai sumber daya manusia dan
infrastruktur cukup untuk mengelola media cetak. Nampak adanya pembagian
kerja yang umum dilakukan, dimana NGO pendamping petani dibebani
penerbitan media cetak sebagai corong advokasi permasalahan petani. SPPQT pun
mengembangkan media informasi melalui penerbitan bulletin “Rembug”.
Kemampuan organisasi petani dalam menerbitkan informasi didukung oleh
jaringan luas dan mampu mengembangkan program-program CD, pelatihan dan
advokasi yang didanai oleh lembaga donor dalam maupun luar negeri.
Kelima, sistem komunikasi yang bertujuan untuk mengakomodir
kebutuhan informasi yang dirasakan oleh petani yang secara geografis terpisah. Di
kawasan SPPQT kini tengah dikembangkan sistem komunikasi dan informasi
digital antar kelompok petani. Dengan infrastruktur ini organisasi anggota dapat
saling berkomunikasi, dan informasi dari internet yang diterima di organisasi
pusat dapat didistribusikan ke organisasi anggota. Sistem informasi pasar digital
ini dirancang untuk dapat dimanfaatkan oleh siapapun dan menerima informasi
langsung dari petani yang sedang melakukan negosiasi di pasar, sehingga sistem
informasi ini akan mendapat ciri real-time.
Perkembangan organisasi petani dapat dilihat terutama dari bentuk dan
derajat agregasi yang merefleksikan kebutuhan-kebutuhan diantaranya: 1)
meningkatkan distribusi dan pertukaran informasi, 2) mengembangkan
kemampuan negosiasi dan komunikasi dengan lembaga lain, dan 3)
101
mempromosikan kerjasama pada aras regional dan internasional untuk dapat
memberikan pengaruh pada pengambilan keputusan.
Merujuk pada fokus paguyuban yang dikemukakan di atas, dipahami
bahwa orientasi paguyuban kurang dianggap bersentuhan dengan kepentingan
petani pada tingkat kelompok tani. Dalam hal ini kepentingan organisasi dalam
fokus yang lebih luas tidak dapat dikomunikasikan dengan baik dengan
kelompok. Kondisi demikian menunjukkan perbedaan orientasi antar aras
organisasi. Sejauh ini hal tersebut dapat diterima mengingat ranah tugas dan
tanggung jawab pada masing-masing aras organisasi memang berbeda.
Jaringan Antar Aktor
Uphoff (1986) mengemukakan bahwa tujuan organisasi akan lebih mudah
dicapai dengan cara membangun jaringan dengan institusi lain. Mekanisme
hubungan yang dibangun dengan organisasi di luar petani didasarkan atas asas
saling percaya. Mereka bersedia membangun jaringan karena menganggap petani
memiliki tujuan perjuangan yang murni. Alasan ini tampaknya menjadi dasar
kesediaan NGO atau lembaga lain untuk membantu perjuangan petani.
Pendekatan jaringan dilakukan untuk mendapatkan akses terhadap
informasi di luar SLO, disamping untuk mengembangkan kerjasama dengan
lembaga di luar SLO baik organisasi tani maupun lembaga pemerintah serta
perusahaan swasta. Keberhasilan menjalin hubungan dengan lembaga lain
dicontohkan dengan tambahan kegiatan organisasi seperti pendirian sekolah
alternatif. Pendidikan sekolah alternatif dalam tujuan strategis tidak tercakup
dalam agenda organisasi. Namun karena terdapat jaringan yang dapat bekerja
sama mewujudkan hal ini, maka pendirian sekolah alternatif dapat dijalankan.
Jaringan dapat mempengaruhi organisasi dalam hal perubahan strategi kegiatan
Jejaring yang dikembangkan oleh organisasi petani menguntungkan dalam
beberapa hal, diantaranya adalah: 1) Jejaring yang terbina berdampak pada makin
stabilnya keberadaan organisasi. Support NGO atau SLO yang berada pada aras
supra struktur menjadikan organisasi lokal lebih mudah mencari bentuk organisasi
dan melakukan kegiatan yang dapat mendukung organisasinya. 2) Memudahkan
organisasi lokal melakukan berbagai kegiatan dan melebarkan kegiatan hingga
sampai pada aras yang lebih tinggi. 3) Organisasi tani dapat mendesakkan
102
kepentingan mereka kepada pemerintah, dengan cara terlibat dalam proses
pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan. Bantuan dari berbagai NGO
akan makin meluaskan jaringan organisasi petani. Melebarnya jaringan organisasi
sebagai impak dari berjaringan dengan NGO dikarenakan NGO memiliki jaringan
yang luas. 4) Jaringan dengan organisasi sejenis makin memantapkan arah
perjuangan karena pembelajaran kasus-kasus dapat dilakukan secara bersama-
sama dengan organisasi sejenis (Britt, 2003).
Kerugian dikembangkannya jaringan juga perlu dilihat sebagai alat
instrospeksi diri organisasi. Jejaring mempunyai dampak negatif (Britt, 2003)
terutama dalam hal: 1) Organisasi petani memiliki ketergantungan yang demikian
tinggi kepada organisasi induknya sehingga kedepan ini dikhawatirkan justru
menyebabkan mudahnya petani disetir oleh kepentingan -kepentingan pihak
tertentu yang menjerumuskan perjuangan petani. 2) Jaringan yang dibuat oleh
organisasi belum menyentuh seluruh kepentingan anggota organisasi. Terkadang,
organisasi di tingkat lokal mencari cantolan kepada lembaga lain yang sekiranya
dapat membantu perjuangan mereka. Disatu sisi ini mungkin menguntungkan
dalam perjuangan. Namun di sisi lain hal ini agak membahayakan karena
organisasi lokal yang relatif belum memiliki tingkat kematangan berorganisasi
yang kuat mudah disisipi pengaruh buruk yang mengancam keberlangsungan
perjuangan.
Jejaring dikembangkan secara kontekstual. Pilihan didasarkan pada
kondisi dan situasi lingkungan. Kualitas dan kuantitas jaringan juga berbeda
antara paguyuban dengan kelompok. Bahkan ada kelompok yang jaringannya
justru lebih luas dibandingkan paguyubannya. Hal tersebut didasarkan atas
penjelasan: pertama, paguyuban memberikan kebebasan kepada kelompok untuk
mengakses jaringan lain dengan pertimbangan mendidik kemandirian kelompok.
Kedua , posisi paguyuban kurang menguntungkan dihadapan birokrasi pemerintah.
Alasan yang mengemuka adalah aspek legalitas paguyuban. Paguyuban dianggap
tidak memiliki basis yang jelas dan dianggap sebagai kelompok liar. Berbeda
dengan posisi petani yang dianggap sebagai bentukan pemerintah (departemen
pertanian).
103
Fenomena membangun jejaring dengan berbagai stakeholders merupakan
ciri keterbukaan organisasi yang bergaya CD. Sebagai lembaga yang terbuka,
SPPQT menerapkan prinsip tanpa prasangka. Jejaring dimaknai sebagai modal
sosial (social capital), karena manfaat yang didapat sangat luas dan tidak terbatas
pada dukungan material, melainkan juga dukungan moral. Asas ini harus dipenuhi
dengan pertimbangan bahwa organisasi selalu memerlukan partisipasi semua
pihak, dan bahwa tugas mencerdaskan petani adalah tanggung jawab semua pihak.
Prinsip terbuka berimbas pada tingginya tingkat kepercayaan pihak yang akan
bersentuhan dengan organsiasi.
Persentuhan SPPQT dengan negara/pemerintah merupakan ciri khas
organisasi ini. Pilihan tersebut berangkat dari pertimbangan bahwa negara dalam
ranah-ranah tertentu masih tetap diperlukan oleh organisasi tani dalam
mengembangkan kemandirian dan keberdayaannya. Sebagai contoh, ketika
produksi petani baik dan tengkulak juga sudah berhasil diberantas, apabila tidak
didukung dengan sarana infrastruktur yang baik, petani tetap tidak mendapatkan
harga yang layak atas komoditas pertaniannya. Dalam hal ini tanggung jawab
pemerintah dituntut untuk dapat memberikan hak kepada masyarakat. Secara
strategi, pilihan ini tetap diperlukan dalam kerangka kepentingan taktis.
Sebagai contoh strategi taktis ketika SPPQT memperjuangkan APBD.
Muncul pemikiran bahwa meng-akses APBD merupakan hak masyarakat.
Kerjasama dengan pemerintah tetap perlu dengan alasan tanggung jawab negara
terhadap rakyatnya harus diminta. Upaya memperjuangkan akses dan kontrol
tentunya mau tidak mau akan melibatkan pemerintah. Cara-cara kerjasama
dibangun agar tidak menimbulkan resistensi dari pemerintah.
Ide baru keterlibatan petani dalam konstelasi politik baik lokal maupun
nasional muncul ketika dilihat bahwa perjuangan petani selalu dipatahkan oleh
kekuatan politik yang ada. Apabila ditelaah dari sudut pandang advokasi,
kegagalan ini disebabkan petani tidak memiliki saluran pada struktur politik
sehingga aspirasi petani tidak pernah sampai pada pengambil kebijakan. Bagi
sebagian besar organisasi petani, keterlibatan politik yang paling memungkinkan
adalah menjadi anggota BPD di desa. Badan Perwakilan Desa (BPD) menjadi alat
104
kontrol petani untuk memantau kinerja pemerintah desa sekaligus bisa
memberikan masukan kegiatan yang diperlukan.
Ikhtisar
Sebagai sebuah organisasi yang memperjuangkan kedaulatan petani,
SPPQT dan anggotanya menerapkan strategi yang lebih mengarah pada
pemberdayaan petani dan fokus pada aktivitas ekonomi. Karakter SPPQT secara
umum adalah: pertama, berupaya memutus ketergantungan pada pemerintah
dalam hal penyediaan sarana produksi pertanian dengan cara melakukan kegiatan
pertanian organik yang disamping bertujuan memutus hubungan dengan
pemerintah juga untuk membangun kemandirian petani. Kedua, struktur
organisasi dibentuk secara rapi dan sistematis dimaksudkan untuk memudahkan
jalur koordinasi. Ketiga, memperkuat struktur organisasi supaya memiliki
bargaining position dan bargaining power dihadapan pengambil keputusan.
Keempat, kemandirian petani yang menjadi tujuan pokok organisasi diwujudkan
dalam bentuk melakukan pembinaan berjenjang pada satu tingkat di bawahnya.
Untuk sampai pada karakter di atas, kegiatan organisasi banyak diarahkan
pada kegiatan pertanian dan pengembangan petani. Aspek pertanian menjadi
fokus utama kegiatan pertanian. Tidak mengherankan jika dikaitkan dengan faktor
pendorong terbentuknya organisasi petani yang banyak diilhami oleh persoalan
ekonomi dan politik. Kegiatan pertanian menjadi agenda penting mengingat
petani merupakan keanggotaan terbesar dari organisasi. Bidang-bidang kegiatan
yang dikembangkan oleh organisasi meliputi kegiatan ekonomi produksi, kegiatan
pendidikan, dan kegiatan berciri aksi-advokasi.
Dalam hal ini pilihan strategi yang diambil oleh SPPQT terkait dengan
embrio SPPQT. Dalam banyak hal, SPPQT memperlihatkan bentuk-bentuk
kooperatif dengan pemerintah. Ini agak berbeda dengan asumsi organisasi sebagai
gerakan sosial yang cenderung menghindari kerjasama dengan pemerintah.
(Gambar 4.)
105
1999
SPPQT
1. Karakter NGO 2. Siapa yang mewakili 3. Tipe permasalahan petani
yang direspon 4. Bagaimana mekanisme
membantu petani 1. Karakter NGO 2. Siapa yang mewakili 3. Tipe permasalahan petani
yang direspon 4. Bagaimana mekanisme
membantu petani
1. Karakter NGO 2. Siapa yang mewakili 3. Tipe permasalahan
petani yang direspon 4. Bagaimana mekanisme
membantu petani
Embrio SPPQT Karakter pengorganisasian
Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Kerjasama tingkat tinggi: pembangunan akar rumput
Politik tingkat tinggi: mobilisasi akar rumput
Penguatan akar rumput
Gambar 4. Perkembangan Sejarah SPPQT
106
Embrio SPPQT adalah kelompok simpan pinjam yang telah berdiri sejak
Tahun 1980-an. Merujuk pada tipologi yang dikemukakan Eldridge (1989)
tentang karakter NGO, tampaknya NGO yang mendampingi kelompok simpan
pinjam adalah kelompok yang menerapkan kerja-kerja pengorganisasian sekaligus
pemberdayaan masyarakat. Itulah sebabnya, pilihan bentuk kelompok adalah
kelompok dengan mengembangkan kegiatan ekonomi.
Tampak bahwa Tahun 1999 merupakan waktu dimana terjadi perubahan
bentuk organisasi. Tahun 1999 merupakan tahun dimana bentuk SPPQT lebih
sistematis dan mengambil bentuk organisasi modern. Pertimbangan bentuk
organisasi demikian adalah adaptasi terhadap tujuan organisasi yang mengarah
pada organisasi petani yang kuat dan melakukan akses dan kontrol terhadap
sumberdaya yang ada. Berbeda dengan bentuk embrio SPPQT yang masih berciri
informal. Sejajar dengan analisis yang dikemukakan Eldridge (1989), SPPQT
pada masa ini menunjukkan karakter lembaga dengan tujuan penguatan dan
mobilisasi akar rumput. Namun tujuan tersebut ditempuh dengan pendekatan
pembangunan akar rumput. Dua hal di atas berbeda ranah mengingat penguatan
dan mobilisasi akar rumput berorientasi pada gerakan sedangkan pembangunan
akar rumput lebih berorientasi pada kerjasama.
Dalam perkembangannya, meskipun dominan oleh kegiatan ekonomi,
namun kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak lepas dari kaitan gerakan
perlawanan. Sebagai contoh, kegiatan ekonomi produksi yang dikembangkan
adalah IOF yang dimaknai sebagai proses pertanian yang terintegrasi, tidak
terbatas pada pertanian organik. Petani diharapkan mampu memanfaatkan
sumberdaya lokal yang ada, sekaligus tanggap terhadap persoalan agraria yang
ada. Masalah kepemilikan tanah menjadi fokus perhatian. IOF tidak
mengharapkan petani kaya menyewa lahan dari petani miskin. Kegiatan
pendidikan juga dimaknai sebagai respon terhadap kapitalisasi pendidikan yang
terjadi. Model pembelajaran yang dikembangkan adalah pola pendidikan
pembebasan (Freire, 1984) dimana peserta dibebaskan menggali ilmu dari alam
sekitar yang menjadi laboratorium pendidikan. Kasus TNMM disikapi dengan
membuat draf yang bernuansa akademis sebagai draf tandingan atas status
TNMM.
107
PEOPLE-CENTERED ORIENTED: PILIHAN GERAKAN
Sebagai turunan dari paradigma modernisasi, pendekatan pengorganisasian
pada organisasi yang memilih pendekatan CD menunjukkan karakter yang dekat
dengan ciri-c iri modernisasi yang dibawa oleh teori besarnya. Kesamaan karakter
terutama ditunjukkan melalui jalur-jalur pendekatan yang dipergunakan untuk
memberdayakan masyarakat. Bentuk organisasi dengan menggunakan pendekatan
CD versi baru mengarah pada karakter organisasi dalam bentuk organisasi
komunitas dan sedang dalam proses menuju organisasi politik. Tampak dari
kegiatan yang berbasis lokal sebagai ciri khas organisasi komunitas. Proses
mengarah pada organisasi politik diperlihatkan ketika anggota kelompok
tani/paguyuban melibatkan diri dalam konstelasi politik lokal. Keterlibatan petani
dalam konstelasi politik tingkat lokal dan nasional merupakan perkembangan
lanjut membangun posisi tawar petani.
Bentuk organisasi gaya CD ditinjau dari sudut perlawanan memerlukan
justifikasi tersendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa terminologi CD merupakan
jargon pemerintah orde baru. Meski makna yang muncul pada masa orde baru
lebih mengarah pada upaya “pemaksaan” ideologi, namun CD yang muncul
kemudian memiliki sifat yang berbeda. Pendekatan pemberdayaan petani dalam
mencapai akses dan kontrol dilakukan dengan strategi CD yang sekaligus
digunakan untuk menjaga keberlangsungan perlawanan. Dalam tahap-tahap
tertentu dapat dikatakan bahwa SPPQT belum mencapai separuh dari target awal
perlawanan. Terutama ketika dikaitkan dengan transformasi gerakan yang harus
sampai pada tingkat paguyuban dan kelompok. Program yang dikembangkan
SPPQT belum sampai pada kesadaran bahwa program tersebut berangkat dari
nilai-nilai gerakan tertentu. Tapi bahwa program tersebut dianggap sebagai tahap
awal membangun gerakan patut mendapat perhatian tersendiri.
Apabila disimak, model-model perlawanan telah dapat ditelusuri dari
kegiatan yang dikembangkan organisasi, misalnya pertanian organik atau sekolah
alternatif. Kegiatan tersebut dikembangkan dengan tujuan penyediaan sarana
produksi pertanian secara mandiri. Adapun pengembangan sekolah alternatif
merupakan wujud respon terhadap modernisasi dan kapitalisasi yang berkembang
108
dalam bidang pendidikan. Dua tujuan kegiatan tersebut dimaksudkan untuk
membangun perlawanan melalui kemandirian. Sebagai perlawanan, pilihan ini
dianggap sebagai sabotase dan protes terhadap sistem yang bias elit dan pemilik
modal.
Mainstream Umum Ideologi Pembangunan Pertanian
Sejak dua dasawarsa terakhir Indonesia mengadopsi pembangunan yang
ditawarkan oleh negara barat. Ideologi pembangunan yang diadopsi oleh
Indonesia menawarkan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Perubahan dan
perbaikan nasib sebagai hasil pembangunan menjadi daya tarik pembangunan itu
sendiri. Selama masa pembangunan pemerintah berorientasi pada pertumbuhan
sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan mengindikasikan
pengukuran yang bersifat makro. Indikator keberhasilan dan pengukuran skala
makro inilah yang kemudian menjerumuskan bangsa kedalam kemiskinan absolut
dan persoalan kemiskinan lain.
Pengukuran bersifat makro mendefinisikan pertumbuhan ekonomi dari
sudut pandang kuantitatif. Keberhasilan pertumbuhan diukur dari GNP negara dan
tingkat investasi yang dicapai. Karena ukuran lebih mengarah pada ukuran
kuantitatif maka pertumbuhan ekonomi tampak sebagai sesuatu yang bias
ekonomi. Ukuran makro yang digunakan pemerintah dalam mengukur
keberhasilan pembangunan adalah Gross National Product (GNP) dan Gross
Domestic Product (GDP). GNP dan GDP merupakan ukuran agregat yang tidak
dapat meneropong skala mikro. Itulah sebabnya, pada tingkat mikro,
pembangunan justru menimbulkan efek negatif dari mulai kesenjangan yang
makin lebar antara golongan kaya dan miskin sampai pada persoalan akses orang
miskin terhadap sumberdaya. Pembangunan yang sejatinya dimaksudkan untuk
menciptakan perubahan dan perbaikan justru menciptakan kemiskinan bahkan
menambah jumlah orang miskin.
Sebagai turunan teori modernisasi, pembangunan yang diartikan sebagai
cara mencapai perubahan kearah yang lebih baik menggunakan indikator
keberhasilan yang bias barat. Ekonomi suatu negara dikatakan berhasil jika telah
mencapai tahap pembangunan seperti yang telah lebih dulu dialami Negara Barat.
109
Tahap pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan Rostow diadopsi oleh Indonesia
tanpa kritik. Lima tahapan pembangunan ekonomi menurut Rowtow dalam
Suwarsono dan So (2000) meliputi tahapan masyarakat tradisional hingga tahap
masyarakat dengan konsumsi massa tinggi.
Kenyataannya di negara berkembang, perencanaan ekonomi/pembangunan
biasanya dilakukan dengan cara; perencanaan proyek demi proyek, perencanaan
sektoral yaitu perencanaan kebijaksanaan dan kegiatan usaha untuk
perkembangan suatu sektor kegiatan ekonomi tertentu, perencanaan investasi
menyeluruh sektor publik, perencanaan komprehensif meliputi sektor pemerintah
dan sektor masyarakat (Tjokroamidjojo, 1979). Gambaran tersebut
memperlihatkan bahwa pembangunan lebih mengarah pada pembangunan yang
berorientasi ekonomi. Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai pendorong
pembangunan (agent of change). Dengan demikian dalam paradigma modernisasi,
masyarakat lokal tidak pernah mendapat peran dalam menentukan arah
pembangunan yang sejatinya diperuntukkan bagi mereka.
Pertumbuhan ekonomi saat ini menjadi indikasi keberhasilan
pembangunan di setiap negara. Ukuran kuantitatif yang digunakan memicu upaya
pencapaian tingkat pertumbuhan dengan memaksimalkan setiap sumberdaya yang
ada terutama sumber daya modal. Pertumbuhan ekonomi berada pada level makro
sehingga sulit diterapkan dalam konteks lokal karena ukuran-ukuran yang
digunakan memiliki skala luas. Variabel-variabel yang digunakan untuk
mengukur pertumbuhan ekonomi juga tidak relevan jika diterapkan di tingkat
lokal. Kelemahan dari pertumbuhan ekonomi terletak pada sifatnya yang hanya
menekankan pada ukuran ekonomi tanpa memperhatikan aspek lain yang
sesungguhnya penting untuk mengukur pembangunan terutama di negara
berkembang.
Modernisasi sebagai pilihan paradigma pemerintah menampilkan ciri
production-center development dengan tujuan utama mencapai pertumbuhan dan
hasil yang dapat dihitung secara makro. Pilihan pembangunan model demikian
tidak memperhatikan kondisi mikro dan jelas tidak menempatkan manusia sebagai
subyek pembangunan. Pengalaman program pembangunan yang mengejar
produktivitas dikemukakan oleh banyak ahli sosiologi (Cernea, 1988; Israel,
110
1992; Fakih, 2000). Tidak mengherankan karena kemudi disain pembangunan
lebih banyak dipegang oleh ekonom tanpa mempertimbangkan aspek sosial.
Pembangunan dengan karakter demikian menimbulkan banyak masalah.
Terbukti bahwa tidak terdapat pencapaian hasil yang menggembirakan dalam
upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Lebih jauh, pendekatan pembangunan di
atas menciptakan dekade krisis yang ditunjukkan oleh fakta kemiskinan,
kerusakan lingkungan hidup, dan integrasi sosial. Pembangunan yang berorientasi
pada pertumbuhan menciptakan kekalahan pada satu pihak.
Production-Center Oriented dan Dampaknya
Watak utama pembangunan dengan pertumbuhan sebagai indikator
keberhasilan adalah ukuran-ukuran yang bersifat ekonomi makro. Gambaran
makro ini dianggap sebagai prestasi dan indikator kesuksesan ketika dibandingkan
dengan negara lain di dunia. Kedudukan sebuah negara dalam stratifikasi negara
di dunia ditunjukkan oleh angka pertumbuhan ekonomi. Pengukuran didasarkan
pada akumulasi tingkat pendapatan seluruh lapisan masyarakat. Model
pengukuran demikian seringkali tidak dapat menggambarkan kondisi
sesungguhnya. Padahal negara berkembang memiliki struktur sosial unik, terdiri
dari banyak lapisan sosial yang timbul dari tidak terdistribusikannya pendapatan
secara merata.
Tidak dapat disangkal bahwa masalah pembangunan ditinjau dari
perspektif dialektis menunjukkan saling keterkaitan antara persoalan eksploitasi,
dominasi dan penindasan politik. Meminjam analisis Fakih (2000) tentang
revolusi hijau sebagai contoh pengalaman developmentalisme dan modernisasi di
negara Dunia Ketiga memperlihatkan watak production-center development,
seperti tampak dalam Gambar 5. di bawah ini:
111
Sumber: Fakih, 2000
Gambar 5. Revolusi Hijau dalam Kerangka Paradigma Developmentalisme
Revolusi hijau merupakan suatu keterkaitan hubungan yang sangat
kompleks yang melibatkan banyak aspek seperti: pengetahuan dan teknologi
pertanian; kebijakan politik pemerintah; penanaman modal dan modal
multinasional serta proses eksploitasi kelas. Kebijakan kultural ini sangat
bergantung pada proses kelas utama (fundamental class processs) yang terjadi
dalam suatu formasi sosial di pedesaan negara-negara Dunia Ketiga. Aparat
program revolusi hijau dari tingkat lokal, nasional, dan internasional pada
dasarnya menerima nilai lebih yang diambil dari hasil keringat petani pedesaan
dan sebagai imbalannya mereka mengupayakan berbagai hal untuk
melanggengkan proses kelas di kawasan pedesaan tersebut (Fakih, 2000: 81).
IMF Bank Dunia
Pemerintah
Kapitalis
Buruh
Manajer
Lembaga Keagamaan
Bank Nasional
Pendidikan
Pengaturan Media massa
Keamanan Militer
Hukum
Perwakilan Rakyat
N E G A R A
M A S Y A R A K A T
S I P I L
Perempuan dalam Rumah Tangga
Cacat Anak-anak
112
Analisis di atas memperlihatkan gambaran keterkaitan antara petani
dengan kelas sosial yang bersifat global. Segera tampak bahwa setiap kelas dalam
struktur sosial melakukan penghisapan pada kelas sosial di bawahnya dalam
berbagai bentuk. Petani sebagai kelas sosial paling rendah mengalami akumulasi
eksploitasi dari seluruh rangkaian proses eksploitasi yang terjadi. Tampak dalam
gambar bahwa pemerintah sesungguhnya hanya menjadi agen kapitalisme paling
kuat di sebuah negara.
Pendekatan production-center development untuk menyelesaikan masalah
dilakukan dengan penyuluhan, pemberdayaan dan partisipasi. Strategi di atas
terbukti hanya merespon sebagian kecil dari sekian banyak permasalahan yang
dihadapi petani, disamping melahirkan kondisi ketergantungan struktur elit dan
program, dominasi elit dan integrasi pre-kapitalis menuju kapitalis. Permasalahan
yang terutama direspon dalam hal ini adalah rendahnya tingkat produksi.
Strategi Organisasi Petani
Sejarah telah membuktikan bahwa petani merupakan golongan yang
resisten ketika kepentingannya berhadapan dengan kepentingan stakeholder lain.
Penyebab dan kemunculan organisasi petani pun dalam kenyataannya tidak
terlepas dari konteks masalah dan kepentingan yang dihadapi petani dalam
mempertahankan kehidupannya. Banyak kasus menunjukkan bahwa petani yang
mengorganisir diri tidak lepas dari tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh
anggota. Bagi SPPQT dan anggota-nya, tipologi masalah yang dihadapi
mengantarkan pada pilihan organisasi dengan pendekatan CD.
Persoalan yang dihadapi petani dapat dirinci dari Gambar 7. Secara umum
permasalahan dapat dikelompokkan kedalam beberapa bidang yakni persoalan
produksi, relasi antar aktor, akses, kebijakan, peran perempuan, distribusi
sumberdaya yang tidak merata, dan sebagainya. Ketika program revolusi hijau
digulirkan, persoalan yang direspon terbatas pada persoalan produksi dan pangan.
Solusi atas masalah tersebut tidak mampu membawa petani keluar dari situasi
marjinal.
Mengingat tanggung jawab kesejahteraan anggota berada di tangan
organisasi, maka organisasi sebagai wadah aspirasi kepentingan harus mampu
113
mengakomodir kebutuhan anggota melalui strategi yang dapat mencapai tujuan.
Sebagai organisasi yang didisain berada dalam mainstream gerakan sosial dan
perlawanan petani, perlu dicari bentuk yang sesuai dengan watak rezim yang
berkuasa. Merujuk pada watak rezim yang berkuasa, maka SPPQT memilih
strategi CD dalam berorganisasi. Alasan pilihan organisasi mengambil bentuk CD
dilatarbelakangi oleh beberapa hal, yaitu:
1. sebagian besar organisasi yang tumbuh bersifat konfrontasi. Organisasi
demikian dianggap tidak menjawab masalah, dan tidak membawa pada
kebaikan melainkan mengarah pada kekacauan dan merugikan petani.
2. kondisi psikologis masyarakat belum sepenuhnya ekpresif untuk menuntut
hak-hak mereka. Tradisi yang berkembang dan masih kental melekat dalam
diri petani saat ini adalah diam. Ada perasaan takut apabila mengikuti demo
atau mendesak kebijakan pemerintah. Pilihan CD sebagai cara menjaga stigma
tersebut.
3. kebutuhan saat ini adalah memperkuat/membangun institusi. Sebelum meluas
pada tujuan lebih besar, perlu disadari bahwa komunitas perlu bentuk
organisasi yang berfungsi sebagai penjaga komunitas. Ketika
pengorganisasian berhasil dilakukan, kedepan akan sangat mudah melawan
kebijakan pemerintah. Biaya operasional sedikit karena tinggal menggerakkan
simpul-simpul yang telah dibangun.
4. masalah mayoritas petani adalah pemasaran hasil pertanian. Permasalahan ini
harus segera dicari solusinya jika tidak ingin petani dikungkung para
pedagang/tengkulak. Dengan demikian, persoalan penting dan mendesak
biasanya adalah persoalan praktis.
5. media pengorganisasian telah ada karena petani pada dasarnya dapat
dipastikan sebagai bagian dari organisasi dalam skala luas atau terbatas.
6. pengorganisasian diperlukan untuk menjawab aspek manajemen pertanian.
Selama ini persoalan pemasaran hasil pertanian tidak dapat diselesaikan
karena hasilnya hanya sedikit dan terpencar-pencar. Jawaban atas persoalan
tersebut adalah pengorganisasian kawasan/hamparan.
Pertimbangan pola CD juga terkait dengan gejala yang selama ini terjadi
baik pada petani maupun pada musuh petani. Bacaan awal terhadap bentuk musuh
114
menghasilkan analisis bahwa organisasi petani harus dibangun dalam bentuk yang
terorganisir dengan baik (well organized ). Alasan pilihan tersebut disandarkan
pada dua hal, yaitu: pertama , yang paling penting dalam organisasi adalah
memperkuat daya resistensi petani, bukan dengan cara-cara rad ikal seperti
reklaiming. Kedua, pilihan radikal lebih rawan perlawanan/resistensi dari
pemerintah. Contoh organisasi petani di Garut, tanah hasil reklaiming yang
kemudian ditanami jagung mengakibatkan longsor. Kondisi ini akan berpeluang
menciptakan penolakan berbagai pihak terhadap keberadaan organisasi tani
radikal. Di bawah ini diuraikan strategi pengorganisasian yang dikembangkan
serta momentum yang tepat untuk melakukan kerja-kerja pengorganisasian dan
pemberdayaan masyarakat.
Adopsi Terhadap Production-Center Development
Ide demokratisasi, transformasi sosial, dan keadilan sosial yang
dikembangkan oleh SPPQT dicapai dengan melaksanakan proyek
developmentalisme seperti proyek pengembangan masyarakat (community
development), atau proyek peningkatan pendapatan (income generating). Tapi
bahwa ide transformasi sosial tetap menjadi tujuan utama SPPQT tidak diragukan.
Senada dengan Dag Hammarskjold Foundation dalam Fakih, 2000 mengajukan
apa yang disebut “pembangunan yang lain” (another development). Mereka
percaya bahwa pembangunan harus berorientasi kebutuhan, sanggup
mempertemukan kebutuhan materi dan non-materi manusia; endogenous, berasal
dari “hati” setiap masyarakat; percaya kepada diri sendiri, yang secara tidak
langsung menyatakan bahwa setiap masyarakat intinya mengandalkan kekuatan
dan sumberdayanya sendiri; mempunyai pertimbangan ekologis, pemanfaatan
secara rasional sumberdaya biosphere; dan didasarkan kepada transformasi
struktural secara keseluruhan yang terpadu (Fakih, 2000: 9).
Bagi SPPQT, bungkus developmentalisme dalam melawan ideologi
developmentalisme menjadi semacam strategi dengan pertimbangan organisasi
membutuhkan respon terhadap kebutuhan anggota (misalnya kebutuhan hidup,
makan, dan kebutuhan mendesak lain) yang bersifat mendesak, disamp ing usaha
menghindari resistensi pemerintah. Strategi harus diterapkan mengingat energi
untuk melakukan perlawanan terhadap arus metodologi dan pendekatan terlebih
115
terhadap konsep dan diskursus pembangunan harus dihemat untuk mencapai hasil
yang optimal.
Tujuan organisasi mengarah pada perjuangan akses dan kontrol dengan
kerangka gerakan sosial. Mengingat persoalan utama petani memerlukan strategi
lain, maka organisasi memutuskan menyelesaikan persoalan tersebut terlebih
dahulu. Pilihan strategi yang dilakukan adalah mengadopsi model-model
pembangunan komunitas yang pernah dilakukan oleh pemerintah. Pilihan ini
didasarkan pada keinginan memberikan solusi bagi petani yang memiliki
persoalan. Namun demikian, kerangka gerakan sosial tetap dibangun dalam
strategi ini dengan cara mengembangkan program yang berbasis pada kemampuan
lokal dan menyisipkan gerakan kesadaran relasi sosial yang timpang. Dengan
demikian, meski organisasi mengadopsi pola-pola production-center development
tetapi tetap berada dalam kerangka gerakan.
Model pengadopsian paradigma production-center development tampak
dari kegiatan yang dikembangkan oleh serikat terhadap paguyuban dan kelompok
tani anggota. Kerangka kerja yang dikembangkan SPPQT pada tahun 2004
menunjukkan bahwa SPPQT fokus pada kegiatan yang mengarah pada
terwujudnya masyarakat tani yang kuat yang mampu mengakses dan mengontrol
seluruh sumber dayanya dengan mendasarkan diri pada keadilan, kelestarian
lingkungan dan kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan. Program kerja
yang dilakukan serta indikator keberhasilan tiap program ditunjukkan pada
Lampiran 5 dan 6.
Kegiatan yang dilakukan per divisi diarahkan pada penguatan kapasitas
organisasi, dibuktikan dengan pilihan kegiatan yaitu training, workshop, pelatihan
maupun asistensi yang ditujukan bagi paguyuban maupun kelompok. Hal ini
menunjukkan bahwa organisasi memfokuskan pada upaya mendidik anggota agar
siap menghadapi situasi dan tekanan supra lokal. Kegiatan ekonomi tetap menjadi
prioritas utama dalam kegiatan organisasi secara keseluruhan. Pengenalan
terhadap aspek politik pada anggota mulai dilakukan dengan cara menerapkan
sistem pemilihan umum (pemilu) di paguyuban. Secara lokal anggota terlibat
dalam kegiatan politik.
116
Momentum Strategi Community Development
Pilihan terhadap pendekatan radikal dan CD memerlukan tahapan analisis
yang mendalam. Pemberdayaan dan penguatan basis organisasi petani akan tepat
ketika petani telah terlebih dahulu diorganisir. Strategi yang dipilih dengan cara
community organizing di tingkat komunitas. Proses pengorganisasian ini
menduduki tahap yang penting agar kesadaran kolektif terbangun sehingga proses
transfer filosofis organisasi sebagai sebuah gerakan dapat dilakukan melalui
model pemberdayaan. Model ini akan mengarah pada akses dan kontro l.
Pendekatan model CD menemukan jalan yang efektif ketika persoalan yang
dihadapi petani menyangkut aspek produksi. Dengan demikian organisasi dengan
pendekatan CD haruslah dibangun dalam komunitas yang relatif mapan dan
memiliki kejelasan status lahan. Dengan demikian petani akan lebih mudah
menganalisis kebutuhan sekaligus menentukan solusi, misalnya dengan
mendirikan koperasi atau usaha simpan pinjam.
Ketika komunitas telah dapat menentukan basic needs, maka pengetahuan
tersebut menjadi pijakan pengorganisasian. Bagi sebagian besar organisasi,
persoalan basic needs menjadi sangat penting dan menduduki prioritas dalam
urutan kebutuhan hidupnya. Pilihan model CD akan berimplikasi pada cara dan
strategi petani ketika dihadapkan pada setiap persoalan termasuk persoalan
konflik agraria. Pada persoalan konflik agraria, upaya penyelesaian ditarik ke
bidang pemberdayaan. Solusi atas persoalan diarahkan pada pendekatan ekonomi,
dimana ketika lahan dikuasai negara, harus dilihat dampaknya terhadap
keterbatasan akses masyarakat terhadap sumberdaya.
Menjadi pertanyaan kemudian adalah kapan waktu yang tepat penerapan
strategi CD dan pengorganisasian. Perdebatan metodologis tentang momentum
CD dan pengorganisasian diperlihatkan dalam Gambar 6.
Negara/ Indonesia
CD
Pengembangan ekonomi
Pengorganisasian komunitas
Penguatan basis massa
Ornop masuk
Gambar 6. Momentum community organizing dan community development
117
Gambar di atas menunjukkan bahwa pendekatan pengorganisasian dan CD
bukan merupakan pilihan melainkan keduanya harus dilakukan. Pengorganisasian
komunitas berfungsi sebagai penguatan basis massa. Jika massa sudah memiliki
kekuatan, maka CD dapat diterapkan. Pendekatan yang dilakukan biasanya
dengan menggunakan pengembangan ekonomi. Pengorganisasian massa yang
dilakukan sebelum CD diterapkan menjadi syarat agar kegiatan komunitas
mendapat dukungan dari berbagai pihak yang terlibat dalam komunitas tersebut.
Pengorganisasian komunitas dan CD merupakan dua pendekatan yang saling
melengkapi. Pengorganisasian komunitas lebih mengarah pada penguatan masa
terdidik melalui penguatan basis, sedangkan CD bermuara pada pengembangan
ekonomi.
Rubin dan Rubin (2001) menguraikan bahwa community organizing
(dalam pengertian pengorganisasian komunitas) membawa keterlibatan orang
untuk bersama-sama melawan masalah bersama dan meningkatkan kemampuan
berbicara orang-orang yang bersangkutan tentang keputusan yang akan
mempengaruhi hidupnya. CD terjadi ketika terdapat ikatan yang kuat antar
tetangga, membangun jaringan sosial dan bentuk organisasi pribadi untuk
menyediakan kapasitas jangka panjang untuk menyelesaikan masalah.
Dengan demikian, untuk menyambungkan dua kepentingan yakni
perlawanan dan pemenuhan kebutuhan, analisis harus ditarik pada persoalan basic
needs. Penerapan model advokasi beresiko diterapkan pada organisasi di Salatiga
yang sebagian besar bermasalah dalam hal tata produksi. Ada kecenderungan
bahwa perlawanan yang dilakukan selama ini bias pada komunitas yang berkasus.
Padahal perlawanan juga harus dibangun pada komunitas yang sedang
memperjuangkan akses dan kontrol. Muncul pertanyaan apakah ketika komunitas
tidak mengalami konflik lahan tidak memerlukan perlawanan? Dari sudut
pandang perlawanan, kebersamaan petani dapat dipandang sebagai gerakan karena
muncul di tingkat grass root dan muncul dari kesadaran. Menumbuhkan perasaan
kolektif ini yang banyak menimbulkan kesulitan. Terlebih ketika harus mencari
pembuktian adanya keters ambungan antara kebutuhan praktis/pragmatis dan
penguatan gerakan.
118
Banyak kasus menunjukkan model CD tidak berhasil diterapkan. CD yang
mensyaratkan pencapaian target memerlukan proses kontrol yang bisa
menjangkau semua pengguna CD. Proses kontrol yang dimaksud tidak akan
berhasil tanpa pengorganisasian di tingkat basis. Membangun kekuatan di tingkat
basis dengan demikian menjadi agenda penting. Kekuatan di tingkat basis juga
menjadi tahapan peningkatan capacity building .
Community Development untuk Kemandirian
Basis kekuatan petani terletak pada pemahaman mereka terhadap kondisi
lingkungan yang ada di sekitarnya. Pemahaman kondisi tersebut diarahkan pada
enam (6) aspek yaitu budaya, penegakkan hukum, sosial, politik, ekonomi, dan
lingkungan. Pemahaman terhadap enam elemen ini menjadi penting karena
merupakan basis kegiatan penduduk dan sumber kekuatan komunitas. Upaya
menemukenali enam elemen dilakukan dengan cara musyawarah dan diskusi di
tingkat petani. Strategi tersebut dapat menjadi sumber penguatan wacana di
tingkat petani. Posisi petani akan mudah dikenali oleh petani itu sendiri. Namun
demikian, untuk membawa kesadaran tersebut pada stakeholder lain perlu dialog
berbagai pihak sehingga menghasilkan sebuah keputusan yang menjadi rumusan
bersama. Dalam konteks pemberdayaan, dialog dapat dilakukan antara fasilitator
atau inisiator dengan petani sehingga menyatu menjadi keputusan bersama dan
memiliki ketersambungan pemikiran dengan petani. Proses ini akan berbeda
dengan program pemerintah yang diakui melalui proses usulan dari bawah namun
prosesnya sarat dengan kepentingan. Apabila proses pemahaman dilakukan
bersama antara masyarakat dan inisiator, kesenjangan kepentingan relatif
berkurang.
Proses inisiatif lokal baru akan tumbuh apabila mempergunakan ideologi
gerakan. Selama ini SPPQT masih mengurusi hal yang bersifat persoalan praktis-
pragmatis dengan ujung tombak kegiatan (simpan pinjam, arisan, tabungan
tahunan). Sejauh ini program dengan pendekatan development tetap perlu sebagai
sumber kekuatan tanpa meninggalkan sesuatu yang lebih penting. Unsur penting
perlawanan yang dimaksud adalah membangun kesadaran kritis transformatif.
Perlu ada pemicu dalam menumbuhkan sikap kritis. Bisa melalui pendekatan
119
ekonomi terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan pemahaman gerakan lebih
lanjut.
Integrated Organic Farming (IOF) sebagai ciri kemandirian dan kedaulatan
organisasi didukung dengan kegiatan fasilitasi pengembangan pertanian organik.
Bidang kegiatan yang dikembangkan meliputi workshop revisi manual praktis
pengembangan pertanian organik, pelatihan uji tanah, training pembibitan
tanaman sayuran, tanaman pangan, pembuatan pupuk organik , training pembuatan
pestisida alami, training budidaya ternak (kambing), dan training budidaya ikan.
Program pengembangan ekonomi komunitas petani dilakukan secara terus
menerus untuk membangun penguatan koperasi dengan cara peningkatan
kapasitas pengelola koperasi terutama pada tingkat pelaksananya
Dari Production ke People-Center Oriented
Pembangunan berbasis masyarakat (people-center development)
merupakan antithesa dari pola pembangunan berbasis produksi (production-
centered development) yang berciri topdown. Paradigma kedua menuntut nilai-
nilai, sistem, dan metodenya disesuaikan dengan eksploitasi dan manipulasi
sumberdaya alam untuk menghasilkan produksi bagi masyarakat konsumen
massal. Logika ini menciptakan birokrasi-birokrasi besar yang mengorganisasi
masyarakat kedalam unit-unit produksi yang dikontrol secara terpusat dan bersifat
sentralistik. Paradigma pertama berakar pada ide-ide, nilai-nilai, teknik-teknik
sosial dan teknologi lokal (alternatif). Paradigma ini mengutamakan bentuk-
bentuk kelompok dan organisasi swadaya. Untuk mencapainya, diperlukan
perubahan struktural yang berpusat pada: 1) perubahan pemikiran dan tindakan
kebijakan pemerintah pada penciptaan keadaan yang mendorong/mendukung
usaha-usaha masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri pada tingkat
individual, keluarga dan komunitas, 2) perubahan dan pengembangan struktur dan
proses organisasi masyarakat yang berfungsi menurut kaidah -kaidah sistem yang
mandiri, 3) perubahan dan pengembangan sistem produksi-konsumsi yang
diorganisasi secara teritorial yang berlandaskan pada kaidah -kaidah pemilikan dan
pengendalian lokal. Prinsip ini melahirkan bentuk desentralisasi, partisipasi,
pemberdayaan, pelestarian, jejaring sosial, keswadayaan lokal dan berkelanjutan.
120
Dari sekian banyak masalah yang dihadapi petani, hanya persoalan-
persoalan produksi saja yang direspon. Karena hal tersebut tidak bisa membawa
petani keluar dari belitan permasalahan, maka diperlukan perubahan paradigma
pembangunan pertanian menuju people-center oriented. Perubahan mainstream
dari production menuju people-center oriented inilah yang sedang diupayakan
SPPQT. Tentunya perubahan mainstream ini memerlukan energi kolektif yang
besar mengingat mainstream production-centered development di Indonesia telah
bercokol selama dua dasawarsa terakhir. Disamping memerlukan energi yang
besar tentu juga memerlukan strategi yang cerdas. Dengan demikian people-
center oriented sesungguhnya ingin bermuara pada; membangun kedaulatan
petani, membangun kemandirian melalui pembentukan organisasi petani dan
pilihan kegiatan, dan mengembangkan perlawanan terhadap production-center
development dengan merubah men jadi people-center tapi dengan strategi
pendekatan production-center development. Untuk lebih memberikan
pemahaman, perlu diperlihatkan perbandingan antara dua mainstream tersebut dan
akibatnya bagi petani.
Production dan People-Center Oriented : Sebuah Perbandingan
Literatur tentang CD menghasilkan berbagai perdebatan diantara berbagai
ahli. Fakta yang tampak, program-program pemerintah lebih dekat dengan pola-
pola CD dibandingkan CO. Program-program yang dikembangkan pemerintah
menghasilkan mekanisme ketergantungan di tingkat sasaran program. Seringkali
program pemerintah hanya berupaya mengintegrasikan petani kedalam sistem
pasar yang lebih besar. Tujuan utama CD gaya ini adalah mempertahankan
kestabilan yang telah ada. Kestabilan semu yang harus dibayar mahal dengan
kemandekkan petani dan tetap dalam kondisi terpuruk. Pola -pola yang
dikembangkan selama ini baik oleh LSM maupun pemerintah identik dengan
pembangunan fisik. Yang dikembangkan misalnya kambing etawa, irigasi, dan air
bersih (padahal belum tentu satu kawasan cocok dengan program fisik demikian).
Seringkali prinsip penguatan kapasitas lokal dilupakan dalam proses
pemberdayaan masyarakat. Ketakutan pemerintah adalah penguatan kapasitas
lokal dikhawatirkan mengarah pada perjuangan akses dan kontrol.
121
Berbeda dengan pengorganisasian dan kegiatan yang dibangun dan
dikembangkan oleh komunitas. Perbedaan ini berangkat dari perbedaan tahapan
pendekatan yang dikembangkan. Organisasi melakukan tahapan CD dengan
terlebih dahulu membangun instrumen untuk bermusyawarah tentang masalah
lingkungan, sistem ekonomi, politik, dan sistem sosial yang ada di komunitasnya
melalui pendekatan akses dan kontrol. Gerakan yang ingin dibangun dari tindakan
ini adalah membangun kemandirian untuk mencapai perubahan sosial dan
integrasi terhadap kekuatan politik yang ada. Hal ini tidak menjadi orientasi pada
konsep CD dan partisipasi. Hickey dan Mohan (2005) mengemukakan konsep
partisipasi dalam teori pembangunan seperti pada (Lampiran 8.)
Dari Tabel tersebut segera tampak bahwa paradigma CD menuai banyak
kritik terutama terkait dengan metode dan hasil yang dicapai. Hasil kegiatan CD
tidak menghasilkan keterlibatan petani dalam politik, bahkan hanya menjaga
kestabilan komunitas dan menghindari gerakan sosial. Problem yang muncul
kemudian adalah, ketika petani bicara masalah akses dan kontrol maka
pengorganisasian menjadi prasyarat agar petani lebih baik dan lebih kuat.
Persoalannya kemudian adalah persoalan politik, karena kebutuhan berikutnya
bagi organisasi dan petani secara umum adalah bagaimana membangun kekuatan
politik dalam pengertian sistem demokrasi sehingga petani bisa menentukan
bentuk akses dan kontrol.
Segera tampak perbedaan mendasar antara CD konvensional dengan CD
petani. Keduanya dipisahkan atas nama output dan implikasinya. CD
konvensional menghasilkan output petani yang tidak cerdas dengan hasil yang
hanya diperuntukkan bagi kepentingan program bahkan untuk mempertahankan
kemapanan/status quo. CD demikian menimbulkan ketergantungan di pihak
petani. Prinsip yang dikembangkan pemerintah adalah topdown approach.
Berbeda dengan CD petani yang berupaya menciptakan kemandirian yang
mengarah pada global corporations.
Output yang berbeda dilahirkan atas dasar kepentingan yang berbeda,
terlebih ketika didukung oleh karakter, orientasi, dan latar. Sesuatu yang menjadi
latar belakang bagi mereka yang mengorganir diri untuk menciptakan
keberdayaan akan berbeda dengan sesuatu yang menjadi latar belakang pihak
122
yang mengorganisir kelompok untuk menghasilkan kemapanan. Dalam hal in i,
model CD bisa diadopsi oleh siapa saja, tetapi dengan latar atau dasar filosofis
yang berbeda.
Pandangan tentang perbedaan antara CD dan CO sangat baik diungkapkan
oleh Hollnsteiner (1979). Dalam pandangannya, pendekatan CD menggunakan
prinsip harmoni dan kerjasama melalui kemampuan menolong diri sendiri. Orang
dimotivasi agar dapat meningkatkan kehidupan mereka menjadi modern dengan
memanfaatkan jasa pemerintah atau agen penyuluhan. Ringkasan perbandingan
antara dua pendekatan tersebut dikemukakan dalam Tabel 7. d i bawah ini:
Tabel 7. Perbandingan Community Organization dan Community Development
Community Development (CD)
Community Organizations (CO)
Definisi Sebuah proses yang membawa pada sebuah peningkatan kapasitas penduduk pedesaan untuk mengontrol lingkungannya Kontrol akan berdampak pada distribusi hasil. (Inayatullah in Hollnsteiner, 1979)
Proses memobilisasi orang untuk dapat mengidentifikasi bentuk-bentuk paksaan, menganalisa dan menyelesaikannya serta mengembangkan strategi untuk menghilangkannya. Dalam prosesnya, orang tumbuh dalam percaya diri, memiliki kesadaran dan memiliki kapasitas untuk menentukan masa depan mereka.
Proposisi • Pendekatan dilakukan tanpa melihat struktur sosial yang ada di pedesaan
• Mengorganisasi orang miskin agar dapat berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan kolektif yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka karena mereka sekaligus menjadi obyek dan subyek yang kehilangan kekuatan
• Gabungan antar individu yang lemah dalam ikatan kelompok yang lebih besar
Gaya pendekatan
• Pendekatan dilakukan dengan program pelatihan teknologi tanpa memperhatikan struktur dan kelembagaan yang ada di tingkat lokal
• Menekankan sisi harmoni dan cooperation seolah-olah komunitas berciri homogen
• Bias pada pendekatan top-down • Menekankan pelatihan
kepemimpinan yang tidak proporsional
• Pekerja CD terlalu merefleksikan golongan elit yang memiliki strategi top-down
• Secara umum orang bertindak pada basis ketertarikan mereka
• Orang bergerak dari sesuatu yang simpel, konkret, jangka pendek dan isu personal mengarah pada sesuatu yang lebih kompleks, abstrak, jangka panjang dan isu sistemik yang panjang
• Mempertahankan reaksi dengan jalan memberi kesempatan pada orang untuk menjadi marah dan militan
• Taktik melawan kekuatan dominan harus diperdalam dari pengalaman powerless dan keluar dengan pengalaman powerfull
• Melalui proses pengorganisasian orang membuat sendiri keputusan mereka
Tujuan Pembangunan masih dirasakan sebagai yang dikerjakan untuk orang, bukan oleh mereka bahkan bukan pula dengan mereka
Berupaya mencari/mempertahankan partisipasi dan kekuatan organisasi agar dapat terlihat dalam pengambilan keputusan
Sumber: Hollnsteiner, 1979
123
Berdasarkan Tabel di atas, segera tampak bahwa perbedaan mendasar
antara CD dan CO adalah strategi dan hasil akhir dari diterapkannya dua
pendekatan tersebut. Merujuk pada perbandingan antara keduanya, SPPQT dapat
dikategorikan sebagai organisasi CO yang menggunakan strategi CD dalam
mengembangkan kegiatannya. Sebagai organisasi CO yang menghasilkan model
pemberdayaan yang people-center oriented , memilih menggunakan pendekatan
kooperatif dengan pemerintah merupakan pilihan berat karena dapat dianggap
sebagai lembaga kaki tangan pemerintah. Namun sebagai upaya menjaga
keberlanjutan perjuangan sekaligus menjawab kebutuhan praktis petani, strategi
ini layak menjadi cerminan organisasi lain.
Menarik untuk melihat perbandingan CO dan CD dalam konteks yang
berbeda. Konsep Woman In Development (WID) dengan Woman And
Development (WAD) adalah dua konsep dengan tataran dan pengertian yang
berbeda. WID hanya melibatkan perempuan dalam pembangunan,
mengintegrasikannya dalam proses pembangunan tanpa upaya mengkritisi
keterlibatan tersebut. WID sebagai bagian dari agenda developmentalism justru
melanggengkan penindasan terhadap perempuan. WID sebagai bagian utama
developmentalisme dirancang untuk mendorong keterlibatan kaum perempuan
dalam pembangunan, dan tidak mempersoalkan manifestasi ketidakadilan dan
diskriminasi jender, Fakih (2000). Sedangkan konsep WAD memberi ruang yang
lebih besar kepada perempuan untuk terlibat dalam sektor publik sekaligus
melakukan kritik terhadap filosofis pembangunan yang dikembangkan.
Ikhtisar
Kondisi yang memaksa petani mengorganisir diri telah dibahas dengan
lengkap pada bab 1. Namun demikian, persambungan akan tetap dijumpai dalam
bab ini. Kerangka ideologi pembangunan yang telah berkembang memaksa petani
ditempatkan dalam posisi sebagai obyek pembangunan tanpa dilibatkan dalam
proses perencanaan maupun pengambilan keputusan. Mainstream pembangunan
pertanian menghasilkan paradigma production-center oriented yang menghasilkan
kondisi dimana petani mengalami ketergantungan pada struktur elit dan program,
adanya dominasi elit serta upaya mengintegrasikan petani menuju kapitalis.
124
Pembangunan pertanian dengan paradigma di atas hanya merespon permasalahan
petani secara parsial. Salah satunya adalah ketika revolusi diterapkan di Indonesia.
Program revolusi hijau yang sejatinya dimaksudkan membantu ketersediaan
pangan justru menimbulkan masalah di kalangan masyarakat pedesaan.
Gerakan rakyat kemudian mencoba merespon kondisi tersebut dengan
membangun kelembagaan yang kemudian dikenal dalam bentuk organisasi petani.
Organisasi petani sebagai organisasi yang mengarah pada upaya pemberdayaan
memainkan peran sebagai wadah untuk mencapai cita-cita petani yaitu
kemandirian dan kedaulatan petani atas sumberdayanya. Organisasi sebagai kritik
atas paradigma pembangunan pertanian kemudian menerapkan paradigma baru
yang lebih menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan (Gambar 7.)
tanpa meninggalkan agenda gerakan sosial petani.
Pilihan atas paradigma pembangunan pertanian yang berorientasi people-
center development memaksa orang di luar organisasi untuk memahami alasan di
balik pilihan tersebut. Dari sekian permasalahan yang dihadapi petani, pendekatan
people-center oriented diharapkan menjadi instrumen bagi tercapainya kedaulatan
petani. Paradigma people-center oriented pada prakteknya memerlukan strategi
untuk menghindari resistensi pemerintah. Untuk menghindari hal tersebut,
organisasi mengembangkan kerjasama dengan pemerintah dan mengembangkan
strategi CD sebagai sebuah pendekatan yang dapat diterima di mata pemerintah.
Melalui strategi tersebut terbukti organisasi petani mampu memperjuangkan
kedaulatan petani, membangun kemandirian melalui pembentukan organisasi
petani dan mengembangkan perlawanan terhadap production-center development
dengan mengubah menjadi people-center oriented tapi dengan strategi pendekatan
production-center oriented.
125
“Production-center oriented“
Permasalahan Petani: 1. rendahnya tingkat produksi 2. ketersediaan pangan 3. tekanan struktural 4. akses terhadap input pertanian 5. peningkatan eksploitasi 6. kemerosotan status sosial 7. kemerosotan kualitas lingkungan 8. ketergantungan kapitalisme secara tidak
langsung 9. kemiskinan 10. rendahnya partisipasi perempuan
(tersingkir) 11. ketergantungan terhadap program 12. akses to market 13. akses to land 14. tingkat kesejahteraan 15. ketiadaan kelembagaan 16. rendahnya posisi tawar 17. kebijakan pemerintah yang tidak memihak 18. akumulasi resource pada sekelompok elit
Penyuluhan Pemberdayaan Partisipasi
CD gaya petani “People-center oriented”
REVOLUSI HIJAU
1. Rendahnya tingkat produksi
2. Ketersediaan pangan
1. Ketergantungan pada struktur elit dan program
2. dominas i elit 3. integrasi pre-kapitalis
menuju kapitalis
1. Membangun kedaulatan petani 2 . Kemandirian melalui pembentukan
organisasi petani dan pilihan kegiatan 3. Mengembangkan perlawanan
terhadap production-center dengan mengubah menjadi people-center tapi dengan strategi pendekatan production-center
Rendahnya tingkat produksi
NEGARA
Gambar 7. Pertarungan Paradigma Pembangunan Pertanian dalam Merespon Permasalahan Petani
Gerakan Rakyat
PERLAWANAN TERSAMAR ORGANISASI PETANI
Rubin and Rubin (2001) menggarisbawahi kontinuum lanjut dari
bergabungnya banyak aktor dan banyak organisasi dalam melawan ketidakadilan
dan ketimpangan akan melahirkan agenda gerakan sosial. Konsekuensi lanjut dari
kontinuum tersebut adalah gagasan alternatif yang menggabungkan kepentingan
ekonomi dengan analisis relasi sosial. Dalam hal ini, menjadi penting untuk
melakukan analisis silang antara pendekatan modernisasi dengan kerangka
Marxian yang kental konflik kelas dan penyadaran. Pada satu titik ada peluang
bahwa organisasi komunitas dibangun dengan menggunakan variabel-variabel
pembangunan namun dengan target kedaulatan petani dalam konteks perlawanan
atas ketertindasan/ketimpangan yang menjadi point penting paradigma Marxian.
Pemikiran neo-Marxian dalam hal ini ditempatkan pada posisi mengkaji
faktor-faktor yang saling berkaitan dalam struktur masyarakat. Persoalan yang
dihadapi petani adalah persoalan struktural yang harus dilihat dari integrasi tiga
faktor yakni ekonomi, politik, dan ideologi. Dengan demikian, meminjam
kerangka yang dikemukakan aliran ini, akan tampak bahwa persoalan yang
dihadapi masyarakat bersifat kompleks dan harus direspon dengan strategi yang
integral dan holistik.
Kontekstual masalah memerlukan respon yang tepat di tingkat petani.
Analisis relasi kekuasaan yang tercipta di masyarakat memerlukan pendekatan-
pendekatan yang inovatif. Langkah ini terutama diperlukan untuk menghindari
perlawanan yang lebih kuat dari perangkat keras dan perangkat lunak yang
memarjinalkan petani. Meski dikemukakan bahwa musuh petani pada era setelah
1998 dinilai abstrak, namun kekuatan yang berada dibalik persoalan tersebut
sangat kuat. Kondisi demikian memerlukan pertimbangan khusus tentang cara-
cara perlawanan yang efektif.
Secara teoritis perlawanan dapat dilakukan dengan cara yang halus, tanpa
mengubah struktur yang ada, atau dengan cara dekonstruksi sosial. Perlawanan
yang mempertahankan kemapanan dalam terminologi Scott (1993) dikenal dengan
perlawanan tersembunyi, atau perlawanan dalam kepatuhan menurut Heryanto
(2000). Sedangkan perlawanan dengan cara dekonstruksi dilakukan dengan
127
merombak struktur yang ada. Pola perlawanan yang dikembangkan oleh
organisasi petani SPPQT tidak dilakukan dengan mengubah struktur yang ada,
melainkan mempergunakan struktur yang ada dan menjadi bagian dari sistem
tersebut untuk kemudian memperbaiki sistem dari dalam. Perlawanan dilakukan
terhadap kemapanan yang ada dengan cara memperkuat aliansi dan menjadi
bagian dari agenda negara. Isu pokok yang ditawarkan organisasi menjadikan
gerakan ini tidak eksklusif, namun tetap dalam kerangka perlawanan yang
diarahkan keluar dari mainstream umum yang berkembang.
Kemapanan dalam pengertian SPPQT menjadi dasar landasan agar
komunitas dap at tenang melakukan kegiatan produksi. Pertimbangan tersebut
menghasilkan konsep IOF yang menjadi roh SPPQT. Konsep IOF dipilih agar
petani dapat memanfaatkan potensi alam yang ada untuk mendukung
terintegrasinya sumber-sumber kehidupan. Bahwa IOF kemudian menjadi gerakan
perlawanan menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Gerakan perlawanan yang
dikembangkan SPPQT merupakan basis melakukan dekonstruksi sosial. SPPQT
dalam perkembangannya berupaya menghasilkan terciptanya gerakan baru dalam
upaya pengembangan petani. Strategi alternatif tersebut lahir dalam bentuk
people-center oriented dengan strategi CD.
Menilik agenda dan langkah-langkah organisasi, terbaca bahwa gerakan
perlawanan menjadi isu utama dan dilakukan dengan strategi membungkus
langkah taktis dan strategis melalui kemandirian dan kebersamaan di tingkat
internal organisasi. Perlawanan ditujukan terhadap paradigma pembangunan yang
menjadi mainstream umum sekaligus terhadap ideologi kapitalis. Tanpa sadar,
globalisasi dan kapitalisasi dianggap sebagai budaya dan menafikkan tekanan
struktural yang dilahirkan oleh kedua paham tersebut. Sebagai kekuatan besar,
globalisme dan kapitalisme tidak mungkin dapat dilawan. Strategi yang dapat
dilakukan dengan cara menghindar agar tidak terjebak kedalam jurang globalisme
dan kapitalisme.
Gerakan Transformasi Petani
Pengalaman sejarah memperlihatkan karakter organisasi petani yang
hampir sebagian besar melibatkan aktor luar sebagai pendamping pembentukan
128
atau mempertahankan keberadaan organisasinya. Kondisi tersebut tak dapat
dipungkiri merupakan bagian dari sifat dasar petani. Scott (1993) mengemukakan
bahwa keterlibatan petani dalam sebuah gerakan sosial hanya dapat terjadi melalui
perantara kelas-kelas bukan petani. Perlawanan petani lebih banyak terjadi dalam
bentuk perlawanan sehari-hari yang belum sampai pada gerakan protes. Pola
perlawanan yang dikembangkan tidak bersifat pencegahan melainkan pengobatan
terhadap sebuah kondisi yang sudah terjadi.
Ciri-ciri gerakan sosial seperti dikemukakan Harper (1989) memiliki
organisasi-organisasi segmental yang bersaing untuk mendapatkan loyalitas dari
para pengikutnya, proses penerimaan orang per orang dalam kelompok kecil,
partisipasi dimotivasi oleh komitmen personal yang tinggi, gerakan berusaha
membangun ideologinya sendiri serta gerakan biasanya membutuhkan oposisi
sebagai tekanan eksternal untuk membantu menciptakan solidaritas dalam
gerakan. Kajian teori klasik tentang gerakan sosial petani menunjukkan bahwa
wujud gerakan sosial biasanya dalam bentuk pemberontakan petani yang lahir
akibat tekanan struktural.
Merujuk pada penggunaan teori klasik maupun kontemporer, tampak
bahwa teori tentang petani dan perlawanan petani tidak cukup baik dapat
menerangkan keterhubungannya dengan pembentukan organisasi. Petani sebagai
entitas sosial khas dipengaruhi oleh institusi supra lokal dalam berbagai tingkat;
lembaga swasta, pemerintah, dan aktor global. Hal ini menunjukkan bahwa petani
mengalami keterhubungan dengan dunia luar sekaligus melakukan respon aktif
terhadap aspek sosial, ekonomi maupun politik. Namun keterhubungan tersebut
tidak membawa petani keluar dari situasi marjinal, melainkan lebih sering menjadi
penyebab kekalahan petani dalam relasi sosial tersebut.
Perkembangan menunjukkan bahwa di beberapa tempat telah tumbuh
gerakan perlawanan petani dalam bingkai kerangka gerakan sosial. Dalam
beberapa kajian klasik, disebutkan bahwa perlawanan petani lebih sering
diwujudkan dalam gerakan -gerakan pemberontakan yang tidak tersistematisasi.
Padahal, sebagai respon atas kondisi sosial yang ada, bentuk perlawanan
sebaiknya merujuk pada konteks sosio-ekonomi dan politik di tingkat supra
129
lokal1. Dengan demikian, gerakan sosial atau perlawanan yang akan
dikembangkan harus terlebih dahulu merujuk pada situasi yang muncul.
Gerakan sosial dalam perkembangan lanjut menemukan perubahan
konteks dan karakter akibat gejala baru neoliberalisme (Fauzi, 2005). Kajian
tentang gerakan rakyat pedesaan di Negara Dunia Ketiga telah berubah dalam
konteks, watak maupun moda aksinya. Kehadiran neo-liberalisme mematahkan
potret “klasik” mengenai gerakan atau pemberontakan baik secara teoritik maupun
empirik. Dalam kasus SPPQT, sikap kritis atas sistem kapitalisme global tidak
luput dari fakta empirik implikasi sistem tersebut. Keterpurukan yang dihadapi
komunitas Salatiga akibat persoalan ekonomi dan politik melahirkan gagasan
transformatif melakukan ide-ide perlawanan. Pilihan perlawanan dalam bentuk
organisasi berangkat dari kerangka fikir bahwa musuh utama memiliki jalinan
kekuatan yang kokoh. Gambaran atas siapa musuh dan karakternya memaksa
komunitas mendisain bentuk perlawanan yang sistematis. Kekuatan globalisme-
kapitalisme yang turut mewarnai karakter pemerintah dalam aras lokal maupun
nasional menuntut komunitas memilih strategi perlawanan yang tepat. Tepat
dalam artian sesuai dengan karakter lawan sehingga perlawanan bisa efisien.
Merujuk tulisan Fauzi (2005), karakter gerakan memerlukan syarat-syarat
politik tertentu. Perkembangan konstelasi politik modern dalam kenyataannya
seringkali memerlukan adaptasi pola gerakan. Itulah sebabnya aliran teoritik
klasik tentang pemberontakan petani sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian.
Bacaan syarat politik terhadap tumbuh kembangnya organisasi rakyat disikapi
dengan kritis oleh petani. Jika Eldridge (1988) mengungkapkan tipe NGO dalam
merespon kebijakan pembangunan, maka gerakan sosial baru yang berorientasi
rakyat seyogyanya perlu menampilkan citra baru sebuah gerakan rakyat. Perlu ada
strategi cerdas untuk menyamarkan perlawanan hingga terhindar dari resistensi
pihak musuh.
Sayangnya, tulisan Fauzi (2005) belum sampai membahas contoh gerakan
petani dalam bentuk organisasi yang telah menyesuaikan dengan situasi musuh
dan konstelasi politik yang kemudian berpengaruh terhadap pilihan jenis aksi.
1 Gambaran ini diungkapkan oleh Fauzi (2005) bahwa gerakan rakyat sebaiknya memiliki karakter khas sesuai dengan situasi yang dimusuhi, kesempatan politik yang dihadapi, dan pilihan jenis aksi kolektif yang mereka andalkan.
130
Tulisan tersebut baru sampai membahas bagaimana gerakan rakyat tumbuh dan
berkembang sesuai dengan perkembangan jaman sehingga teori klasik gerakan
petani tidak dapat menjelaskan fenomena tersebut. Dalam perkembangan kajian
gerakan petani, penelitian ini melengkapi kondisi empiris gerakan petani di
Indonesia sehingga melengkapi pemaparan Fauzi. Pada tataran empiris telah
ditemukan strategi organisasi petani dalam menghadapi rezim yang ada dengan
menggunakan strategi perlawanan tersamar.
Dalam literatur yang membahas kajian gerakan sosial, dikemukakan
bahwa kemunculan LSM pada kurun 70-an merupakan bentuk perhatian dalam
usaha pengembangan masyarakat (community development) sebagai kritik
“ketidakmerataan pembangunan” dan pencarian “strategi alternatif” atau
“kebutuhan pokok” yang dapat menguntungkan mayoritas kaum miskin, Eldridge
(1989). Sayangnya, sepak terjang LSM lebih banyak berakar pada kegiatan yang
bersifat sementara. Korten kemudian melengkapi fakta empiris dengan membagi
tipe NGO kedalam empat generasi2. Dalam konteks politik yang memerankan
percaturan global, generasi keempat lebih memiliki peluang menjawab persoalan
global.
Perkembangan gerakan sosial menunjukkan strategi pengorganisasian
petani yang dilakukan melalui tiga tahap yakni community development,
community organization dan political community. Apabila dicermati lebih lanjut,
karakter organisasi yang dibangun dengan menggunakan pendekatan diatas
sesungguhnya merupakan pilihan atas metode yang diterapkan. Dua metode yang
dikenal dalam terminologi perlawanan petani adalah metode radikal (diwujudkan
dalam bentuk politik garis keras) dan metode dengan pendekatan yang lebih halus
dengan cara membangun kemapanan organisasi terlebih dahulu. Pendekatan
sasaran pencapaian tujuan organisasi juga dapat dipahami dari sudut pandang aras
organisasi. Perlawanan dalam setiap aras organisasi harus dilakukan dengan
melihat kebutuhan politik organisasi yang bersangkutan. Makin tinggi aras
2 Generasi pertama merupakan gerakan yang bersifat jangka pendek. Generasi kedua merupakan gerakan untuk membantu mengembangkan swadaya dari masyarakat yang dibantu. Pada generasi kedua ada upaya mengembangkan kesanggupan masyarakat untuk mengatasi sendiri kesulitannya. Generasi keempat menampilkan pertautan dengan konteks politik nasional karena membicarakan konsep atau ideologi atau strategi alternatif pembangunan dengan cara melakukan transformasi pembangunan.
131
organisasi, karakter perlawanan sebaiknya menjadi semakin abstrak. Kegiatan
yang menjadi bagian dari agenda politik sebaiknya diarahkan pada perkembangan
isu strategis yang mengarah dari kegiatan yang bersifat praxis, berkembang kearah
kebijakan, sampai pada pilihan advokasi atau politik.
Pada tataran empiris, penelitian yang dilakukan Firmansyah dkk (1999)
menghasilkan point penting bahwa penyebab gerakan perlawanan dan tumbuhnya
organisasi dapat dijelaskan melalui beberapa faktor:
1. pada dekade 1980-an, intensitas pembangunan yang gencar banyak
mengandung konflik sehingga menempa gagasan dan bentuk pertahanan diri
(perlawanan) yang kemudian memungkinkan petani untuk melakukan
gerakan.
2. pada dekade ini terdapat satu persoalan besar yang selalu memunculkan
situasi tegang yang berlangsung terus menerus, yang bersumber pada situasi
dimana sebagian besar petani mengalami ketersingkiran politik dan hilangnya
hak-hak dasar mereka atas tanah sebagai alat produksi (modal kerja petani).
3. dampak langsung pembangunan dan hegemoni negara mengacaukan berbagai
sendi kehidupan petani.
4. kehadiran aktor-aktor yang terlibat secara langsung dalam pembelaan petani,
sehingga semangat perlawanan tumbuh subur, pulihnya kepercayaan diri
untuk melakukan gerakan karena ada teman
5. semangat untuk menumbuhkan organisasi, sebagai alat perjuangan, sehingga
segala sumber daya dapat dikerahkan secara maksimal untuk mengatasi
berbagai kendala dalam melakukan gerakan perlawanan, yang kadangkala
bersifat teknis seperti dana.
Dengan demikian pada dasarnya organisasi sebagai bagian gerakan sosial
dapat dikatakan sebagai fenomena baru. Berbeda dengan pemberontakan atau
perlawanan petani dalam kajian klasik yang tidak dilakukan melalui strategi yang
tersistematisasi. Pertautan petani dengan konteks politik baik lokal, nasional,
bahkan global memerlukan respon tersendiri di tingkat petani. Gerakan
transformasi petani dengan demikian menuntut pengorganisasian di tingkat basis.
132
Mempertanyakan Secara Kritis Ideologi Pembangunan Pertanian
Perbandingan people-center development dan production-center
development3 memberikan pemahaman bahwa people-center development dalam
perkembangannya menjadi paradigma baru dalam gerakan perlawanan rakyat.
Sejarah panjang pendekatan pembangunan memperlihatkan sampai saat ini
pemerintah masih menerapkan paradigma production-center development. Hal ini
tidak saja berlaku pada pembangunan secara makro melainkan juga pembangunan
pertanian. Production-center development dengan segala sifat dan karakter4 yang
melekat menciptakan ketergantungan petani terhadap program. Implikasi dari
kondisi tersebut adalah sistem pasar diciptakan untuk menciptakan
ketergantungan baru bagi petani.
Orientasi pemerintah yang masih mengarah pada modernisasi tampaknya
menjadi pemicu tetap digunakannya ukuran ekonomi dalam melihat keberhasilan
pembangunan. Kritik terhadap mainstream pembangunan diarahkan pada ukuran-
ukuran ekonomi sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Kajian sosial
menyumbang aspek sosial untuk pengukuran keberhasilan pembangunan. Tulisan
Weede dan Tiefenbach (1981) secara gamblang mengungkapkan bahwa variabel-
variabel sosial dapat digunakan untuk melihat keberhasilan pembangunan
sekaligus sebagai variabel kontrol dalam mengukur pembangunan. Meskipun
Weede dan Tiefenbach (1981) masih menggunakan ukuran ekonomi pada variabel
kontrolnya, namun mereka juga berupaya menunjukkan bahwa variabel sosial
ternyata memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di
seluruh dunia (Gambar 8).
Dalam konteks tersebut, pengembangan komunitas akan lebih baik jika
dilakukan pendekatan sosiologis disamping pendekatan ekologis dan ekonomis.
Keterkaitan diantara ketiganya menunjukkan keterhubungan secara fungsional
karena dipandang sebagai suatu sistem kelembagaan lokal yang berpengaruh
terhadap kehidupan dan perkembangan komunitas. Analisis yang dikemukakan
Weede dan Tiefenbach (1981) menunjukkan bahwa pada aras komunitas, penting
melihat kajian kelembagaan dan modal sosial untuk menciptakan sebuah
3 Penjelasan gamblang terdapat di Bab VI 4 Berorientasi pertumbuhan, mengutamakan komoditas, menggunakan pendekatan yang bias struktur masyarakat, dan lain-lain
133
pembangunan yang lebih bersifat bottom up. Oleh karenanya kelembagaan dan
modal sosial menjadi penting dalam menganalisis pembangunan di aras
komunitas. Ukuran -ukuran variabel sosial yang dimaksud misalnya organisasi
sosial yang terbentuk, hubungan sosial, interaksi sosial, kelembagaan, dan
sebagainya. Jadi sepanjang pembangunan dilakukan pada aras komunitas dan
memperhatikan aspek/variabel sosial, maka pembangunan tersebut akan berhasil.
Segera tampak bahwa aspek sosial menyumbang peranan yang besar
dalam mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Hal ini
mendukung gerakan yang berupaya mempertanyakan ideologi pembangunan.
Bahwa pembangunan yang mengarah pada production-center development sudah
tidak tepat diterapkan dalam konteks negara dimana gerakan rakyat mulai
mengembangkan perlawanan. Persentuhan negara dengan faktor eksternal turut
menyumbang berkembangnya arah transformasi masyarakat dalam dimensi yang
lebih luas.
People-Center Oriented Sebagai Agenda Utama Organisasi
Belajar dari kesenjangan yang besar antara production dan people-center
development, organisasi memandang perlu mengarahkan agendanya pada
pencapaian kegiatan yang lebih mengutamakan anggota. Organisasi sebagai alat
mencapai tujuan yang berciri people-center oriented diperlukan untuk
meningkatkan rasa memiliki anggota terhadap organisasinya. Berdasarkan
pertimbangan di atas, SPPQT mengembangkan simpul-simpul yang dibangun
berdasarkan pendekatan administrasi dan kawasan. Untuk mendukung tujuan di
atas, SPPQT kemudian menerapkan konsep community organizer dimana anggota
yang bertindak sebagai community organizer harus bisa mempengaruhi
masyarakat untuk berjuang di tingkat komunitas.
Organisasi petani mengusung konsep bahwa desa harus menjadi wilayah
otonom. Pengelolaan harus didasarkan atas kepentingan manusia yang mendiami
wilayah desa tersebut. Upaya itu lebih pada harapan untuk menumbuhkan
perasaan memiliki wilayah dalam diri petani. Ketika penguatan di tingkat desa
sudah tercapai, maka apabila akan ditarik ke ranah politik menjadi lebih mudah.
Serikat melakukan tugas dalam hal menganalisis akumulasi persoalan di tingkat
desa untuk dicari solusinya melalui akses politik di tingkat pemerintahan yang
134
lebih luas. Itulah sebabnya dalam rumusan rencana strategi (renstra) perdes
menempati prioritas. Perdes diarahkan pada bagaimana desa terlindungi secara
hukum. Gerakan nyata harus dibangun di tingkat desa. Pilihan ini akan mampu
melibatkan semua pihak yang ada di desa, baik lembaga formal maupun informal
untuk bersama membangun desa. Gambaran bahwa desa dimiliki oleh
komunitasnya harus dibangun sehingga keputusan berada di tangan kelembagaan
lokal.
Dinamika internal menghasilkan perkembangan yang agak berbeda
tentang konsep community organizer. Konsep awal tidak menempatkan
community organizer sebagai staf serikat. Community organizer sejatinya
dimaknai sebagai leader community. Idenya adalah community organizer bekerja
di komunitas dan bekerja bersama komunitas. Beruntung bahwa pada strategic
planning (SP) 2004 posisi community organizer dikoreksi, dan community
organizer dikembalikan ke komunitas. Community organizer harus menjadi
sandaran komunitas, dan harus mengaktualisasikan dirinya di komunitas.
Community organizer bukan kelembagaan melainkan pola pikir. Sebagai
mainstream, keberadaan community organizer berimplikasi bahwa seluruh staf
harus melakukan agenda pengorganisasian.
Sebagai strategi baru dalam perlawanan, CD ala petani harus mempunyai
rumusan pembagian tugas yang jelas. Terutama karena serikat memiliki jenjang
organisasi dari mulai paguyuban hingga kelompok tani. Apabila dilihat struktur
organisasi yang meliputi serikat-paguyuban-kelompok, pembagian tugas dapat
dilakukan sebagai berikut; kebutuhan praktis dipenuhi di tingkat kelompok,
paguyuban mengurusi kebijakan, sedangkan serikat menganalisis persoalan
ideologi/gerakan yang harus dibangun.
Mekanisme mentransformasikan gerakan dapat dilakukan dengan
membawa petani pada diskusi tentang isu. Isu harus ditarik pada ideologi yang
bisa mengarahkan pada gerakan perlawanan. Dalam hal ini paguyuban harus
dewasa dalam membawa diskusi tentang isu. Paguyuban harus bisa merumuskan
bagaimana mentransformasikan gerakan kepada kelompok melalui media tertentu.
Kelompok menjadi saluran untuk membangun gerakan perlawanan yang berbasis
lokalitas. Sebagai contoh kasus busung lapar. Isu ini harus didiskusikan hingga
135
sampai pada pemahaman ideologis. Penyadaran dengan basis isu dan ideologi
akan lebih mengkonkritkan tindakan di tingkat petani. Jika pendekatan ini bisa
dilakukan maka serikat berfungsi sebagai institusi yang memainkan isu. Di tingkat
petani tidak harus setiap saat berkutat dengan isu. Petani harus dib iarkan
mendiskusikan hal-hal konkrit menyangkut persoalan nyata dan tidak harus
berkutat dengan isu ideologis. Pola transformasi ideologi dengan cara demikian
dipandang membuat petani paham terhadap pihak yang harus dilawan sekaligus
strategi yang dapat diterapkan.
Perbedaan mendasar karakter organisasi dalam kerangka CD dan
organisasi dalam kerangka gerakan ditinjau dari beberapa mekanisme
pengorganisasian. Organisasi komunitas mengusung ideologi dasar bahwa
mekanisme organisasi dibangun atas dasar keterlibatan seluruh anggota untuk
berjuang bersama dalam memecahkan masalah terutama meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam membuat keputusan yang menyangkut kehidupan
sosial. Organisasi komunitas terjadi ketika anggota saling memperkuat ikatan satu
sama lain melalui penguatan jaringan sosial dan peningkatan kapasitas dalam
menyelesaikan masalah. Prinsip dasar organisasi komunitas adalah pemberdayaan
kolektif yang sedikit mengadopsi paradigma modernisasi.
Terkait dengan ranah tanggung jawab antar aras organisasi, ada upaya
membagi peran. Dalam tataran ideal, serikat lebih memikul tanggung jawab
membangun opini yang pengejawantahannya dilakukan di tingkat kelompok
dengan membangun kemandirian. Perjuangan serikat saat ini sedang dalam tahap
memacu kemampuan petani berbicara. Upaya ini didasarkan pada pertimbangan
agar gerakan tidak dikooptasi oleh golongan aktivis. Dengan demikian
membentuk kecerdasan emosional petani menjadi agenda yang paling berat bagi
serikat. Masih terkait dengan pembagian kerja, secara ideal serikat diharapkan
mengkaji sesuatu yang bersifat global. Berbeda dengan tingkat paguyuban yang
lebih memfokuskan pada kebijakan di tingkat menengah. Lain halnya pula dengan
petani yang lebih bergerak pada pemenuhan basic needs. Merujuk pada AD/ART
organisasi, jelas bahwa terdapat tingkatan menganalisis kondisi baik lokal maupun
nasional. Pada tingkat serikat, dia harus menganalisis dan memonitor produksi
nasional. Paguyuban harus menganalisis dan memonitor tingkat kecamatan dan
136
kabupaten. Tingkat kelompok tani diharapkan menganalisis tingkat desa,
sedangkan individu menganalisis di tingkat keluarga.
Membangun kesadaran melawan bersama didahului dengan pembacaan
kontekstual. Dalam hal ini peran analisis sosial (ansos) menjadi sangat penting.
Semangat perlawanan akan tumbuh ketika petani dihadapkan pada kenyataan
bahwa ada masalah yang menyangkut ketersediaan bahan pangan mereka. Melalui
ansos dapat ditunjukkan keterhubungan antara kemampuan sumberdaya dalam
menampung kebutuhan hidup manusia. Persoalan sumberdaya menjadi pijakan
analisis yang dianggap tepat. Ansos juga seringkali dilakukan dengan pendekatan
bahwa dalam relasi sosial muncul pihak yang dikategorikan sebagai superordinat
dan subordinat. Analisis bahwa golongan superordinat akan meng-eksploitasi
golongan subordinat sekaligus sumberdaya alamnya menimbulkan respon
tersendiri di kalangan petani. Pendekatan dominasi superordinat terhadap
subordinat dilakukan untuk mengukuhkan keinginan kuat perlawanan. Namun
demikian pertimbangan bahwa masalah produksi menjadi masalah utama
memerlukan pola perlawanan yang menyandarkan kegiatan teknis produksi.
Agenda Besar Organisasi: Gerakan dan Mekanisme Pencapaian
Realitas empiris menunjukkan bahwa petani mengalami kondisi
penindasan, ketimpangan sosial, ketidakberdayaan, dan ketidakadilan yang
membelenggu kemampuan pengelolaan sumber daya yang ada. Fakta yang
tampak adalah tidak adanya keberpihakan terhadap petani yang merupakan
pemegang hak atas pengelolaan dan kontrol sumberdaya lokal, sebagai sumber
penghidupan. Petani terbebani dengan kondisi alam yang tidak bersahabat akibat
penggunaan teknik pertanian yang tidak ramah lingkungan dan sistem sosial yang
cenderung eksploitatif. Dengan demikian perjuangan menjadi kebutuhan terutama
dilihat dari aspek kultural maupun struktural sehingga kedepan dapat tercipta
peradaban baru yang lebih manusiawi dan kepentingan strategis kaum tani dapat
terlindungi dari berbagai bentuk penghisapan. Semangat yang dikembangkan
adalah aksi dan refleksi sesuai dengan semangat dan tuntutan perkembangan
jaman.
137
Tujuan besar organisasi seperti yang tercantum dalam Anggaran Dasar
(AD) adalah mewujudkan masyarakat tani yang mampu mengelola dan
mengontrol segala sumberdaya yang tersedia beserta seluruh potensinya sesuai
dengan prinsip keadilan dan kelestarian lingkungan serta kesetaraan antara laki-
laki dan perempuan. Akses dan kontrol yang diperjuangkan terkait dengan tanah
sebagai alat produksi petani dan upaya penyediaan benih serta memperjuangkan
kedaulatan masyarakat petani. SPPQT memiliki motto “siapa menguasai benih
akan menguasai kehidupan” yang memicu harapan petani untuk terus maju.
Kedaulatan petani menjadi ideologi penting dalam perlawanan ini.
Kedaulatan yang dimaksud mencakup banyak dimensi, baik dalam kaitannya
dengan persoalan produksi maupun partisipasi publik dan penentuan kebijakan.
Kedaulatan petani dilakukan dengan cara membangun gerakan kultural yang
dimaksud untuk melawan globalisasi, ketidakadilan dalam perdagangan, dominasi
kapital oleh negara kaya, penguasaan teknologi demi keuntungan segelintir orang
dan usaha-usaha kerusakan lingkungan yang memutus rantai kehidupan. Upaya
mencapai semua itu dilakukan dengan memperkuat jaringan kerjasama
perdagangan antar organisasi petani berbasis produksi setempat dan menggunakan
teknologi dan budaya setempat dengan mempertimbangkan keadaan geografis.
Langkah tersebut diyakini akan mempercepat tercapainya kedaulatan petani.
Gerakan struktural juga dikembangkan terutama ketika merespon pola relasi yang
berkembang. Kritik terhadap pola relasi yang tidak menguntungkan petani
dilakukan sebagai bagian dari perlawanan. Perangkat keras dan perangkat lunak
yang merugikan petani lebih banyak tercipta dari tidak adanya keberpihakan
terhadap petani.
Menilik karakter kegiatan demikian, pada dasarnya SPPQT menerapkan
pola perlawanan yang sekaligus memberi peluang menjawab persoalan nyata di
tingkat petani. Ide ini sekaligus dapat dikembangkan oleh organisasi berbasis
konflik. Seringkali organisasi petani mandek dalam kegiatannya karena terlalu
sarat dengan pertimbangan ideologis dan muatan perlawanan radikal. Kebutuhan
petani jangka pendek seringkali tidak mendapat porsi perhatian. Itulah sebabnya
banyak organisasi yang tidak berlanjut. Meski diawal karakter embrio organisasi
menampakkan karakter organisasi CD, dalam perkembangannya, organisasi ini
138
lebih memiliki jiwa community organization (CO dalam pengertian organisasi
yang dibangun oleh komunitas)5. Kegiatan yang dibangun berbasis pada ide
bahwa kemandirian petani menjadi modal dasar perlawanan atas status quo dari
pihak supra lokal. Perlawanan ini terselubung dalam jargon-jargon pembangunan
sehingga ada sebuah ruang bagi organisasi petani untuk “lebih bebas”
berkreatifitas dan mengambil inisiatif perlawanan. Pilihan ini memberi warna
tersendiri bagi organisasi petani yang terbiasa dikelola dengan jalur protes dan
mobilisasi massa dalam pendekatan radikal.
Perlawanan yang dikembangkan oleh SPPQT dilakukan dengan
mendobrak kemapanan yang ada. Strategi yang dikembangkan adalah
memperkuat jaringan dengan cara membangun aliansi dalam kepentingan
memperjuangkan agenda terbatas tetapi sedikit demi sedikit mempersiapkan
“tandingan” bagi sistem yang telah ada. Kegiatan organisasi pada dasarnya
menjadi bagian agenda Indonesia yang memperbaiki sistem dari dalam. Isu
pluralisme yang dikembangkan oleh organisasi disinyalir menampilkan kesan
bahwa gerakan yang dikembangkan organisasi bukan gerakan yang ekslusif.
Organisasi Petani Sebagai Perlawanan Petani
Apabila ditelaah kesamaan antara organisasi sebelum kemerdekaan hingga
era 1980-an menunjukkan bahwa gerakan dan organisasi bukan merupakan
sesuatu yang otomatis. Ketiadaan hubungan antara perlawanan petani dengan
pengorganisasian petani menimbulkan pertanyaan besar. Namun penelitian ini
tidak sampai menjelaskan mengapa perlawanan petani pada masa awal tidak
otomatis menimbulkan pengorganisasian. Penelitian ini lebih memfokuskan pada
strategi petani dalam merespon konteks sosio-ekonomi politik yang kompleks
sekaligus menemukan karakter perlawanan petani pasca 1998. Dalam penelitian
ini ditemukan bahwa tipe perlawanan diposisikan dalam kondisi ekonomi sosial
politik masa itu. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, organisasi petani yang
betul-betul berangkat dari tingkat basis menjadi kajian yang menarik karena
menyangkut manajemen petani dalam menghadapi permasalahan struktural.
5 Hollnsteiner (1979) mengemukakan perbedaan antara CD dan CO dengan sangat baik. Kesimpulan yang dikemukakan adalah CO lebih memiliki sifat dekat dengan kebutuhan anggota komunitas.
139
Pentingnya mengkaji kekuatan petani melalui pembentukan organisasi
mulai dirasakan ketika memasuki masa krisis moneter dan terbukanya ruang
politik bagi semua pihak. Pada masa reformasi, terbukti petani belum siap
memanfaatkan moment yang ada sehingga era reformasi dilewatkan tanpa
perjuangan yang berarti. Kesadaran membangun organisasi di tingkat basis
didukung kenyataan bahwa peningkatan posisi tawar akan mampu dicapai jika
dibangun kekuatan ditingkat basis. Dalam periode ini, beberapa organisasi petani
mulai menajamkan fokus pada capacity building dengan mengembangkan
kegiatan yang tidak semata-mata aksi dan demonstrasi. Kegiatan lebih difokuskan
pada peningkatan kapasitas organisasi sebagai wahana perjuangan rakyat dalam
rangka memperkuat kemandirian sesama rakyat marjinal dan membongkar status
quo. Solidaritas organisasi dibangun dalam mendukung gerakan pemberdayaan
petani secara lebih tersistematisasi.
Tipe Musuh dan Pilihan Model Perlawanan
Perbedaan perlawanan sebelum dan sesudah Tahun 1998 dapat dilihat dari
sasaran perlawanan dan siapa yang dianggap musuh. Perlawanan sebelum Tahun
1998 ditujukan pada negara/pemerintah orde baru. Ada keinginan melakukan
perlawanan politis. Perlawanan kemudian dilakukan melalui konsolidasi tingkat
paguyuban dan kelompok tani, dengan menggunakan media pengajian atau
kelompok yang telah berdiri sebelumnya.
Perlawanan Perlawanan terhadap politik
terhadap negara dan akses kontrol
Orde baru Advokasi yang dimulai dari kasus Senjoyo dan Damatex
Gambar 8. Perbedaan Tipe Perlawanan Sebelum 1998 dan Setelah 1998
Membedakan kurun waktu rezim pemerintahan menghasilkan perdebatan
tentang jenis musuh yang harus dilawan petani. Pada masa orde baru, musuh yang
tampak adalah negara. Namun, pasca orde baru keberadaan musuh menjadi
abstrak karena negara bisa dikatakan tidak melakukan tindakan represif. Posisi
negara dalam hal ini perlu dilihat secara kritis. Diskusi demikian mau tidak mau
harus mempertautkan dengan konteks global. Sebagai contoh, selama ini
1998
140
kebijakan pertanian hanya dimaknai sebagai kegiatan teknis produksi. Saat ini
negara berada pada pihak yang berpotensi memarjinalkan petani, sebagai
perpanjangan kapitalisme. Sebagai contoh adalah UU privatisasi air. Produk
hukum tersebut terbit dalam kepentingannya memfasilitasi kepentingan kaum
kapitalis.
“Apabila didefinisikan, maka musuh petani adalah perangkat keras dan perangkat lunak yang menstimulir upaya-upaya kapitalisasi. Perangkat keras dalam bentuk pemerintahan baik nasional maupun lokal bahkan global, sedangkan perangkat lunak meliputi produk hukum dan kebijakan”. (Wawancara dengan informan).
Perbedaan pemahaman terhadap musuh masa lalu dengan masa kini
menghasilkan strategi perlawanan yang berbeda. Pada masa lalu negara tampak
sangat jelas memainkan peran sebagai musuh yang tidak memiliki keberpihakan
terhadap petani. Negara berada pada posisi dengan ideologi yang berseberangan
dengan masyarakat/petani bahkan seringkali bertindak represif. Berbeda dengan
peran masa kini dimana negara tampak mengurangi tindakan kekerasan, bahkan
dalam beberapa hal berupaya mengembangkan pemberdayaan komunitas. Namun
kebijakan yang diterapkan tetap tidak berpihak pada petani. Negara banyak
dikendalikan oleh kepentingan global, demikian juga dalam paradigma
pembangunan pertanian. Karakter musuh terbukti melahirkan respon perlawanan
yang berbeda. Pada masa lalu semua yang berbau pemerintah akan langsung
dilawan. Saat ini strategi yang dikembangkan adalah SPPQT mulai masuk dalam
pembahasan APBD dan masuk dalam ranah politik. SPPQT mulai ambil bagian
dalam proses pengambilan keputusan. Upaya yang saat ini dikembangkan adalah
penguatan pola gerakan sebagai upaya mempengaruhi kebijakan lokal. Cara yang
ditempuh adalah mendudukkan orientasi politik yang didukung dengan proses
format ulang langkah -langkah taktis agar gerakan politik tidak salah.
Organisasi mengambil bentuk CD dalam program dan pendekatannya
sebagai respon atas tipe musuh yang ada. Strategi diarahkan pada akses polit ik
yang diharapkan merembes pada kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi tidak bisa
dipungkiri bahwa kondisi masyarakat memerlukan penyelesaian yang bersifat
praktis/pragmatis. Kebutuhan ini harus segera dipenuhi. Perlu satu langkah agar
perjuangan mencapai posisi tawar politik menguat tanpa mengabaikan keperluan
141
praktis di tingkat petani. Aspek praktis yang harus dijawab segera meliputi bidang
pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Hal ini dimaksudkan agar petani mempunyai
daya tahan berjuang.
Pendekatan dengan menggunakan aspek praktis dan persoalan nyata
menjadi media bagi petani untuk tergabung dalam organisasi. Ketertarikan awal
biasanya dimulai dari pembicaraan yang menyangkut persoalan yang berkaitan
dengan mereka. Organisasi ada baiknya terlebih dulu membicarakan sesuatu yang
bisa dengan segera menjawab persoalan petani ketimbang langsung ditarik pada
aras pendidikan politik terlebih apabila diajak melakukan perlawanan. Posisi
SPPQT saat ini pada tahap menjawab persoalan nyata petani dan belum sampai
pada menjawab/mempertautkan mainstream perlawanan. Kesulitan di tingkat
SPPQT adalah menyambungkan isu. Pertautan ideologi perlawanan belum sampai
di tingkat kelompok tani.
Karakter Perlawanan Model People-Center Oriented
Berbagai literatur yang memaparkan tentang karakter dan sifat petani
sampai pada kesimpulan bahwa organisasi dan petani merupakan sesuatu yang
tidak serta merta tersambungkan (Scott,1993,1994,2000; Wolf,1985;
Shanin,1971). Dalam hal ini diperlukan satu kiat khusus untuk mempertahankan
keberlanjutan sebuah organisasi petani. Beberapa strategi yang bisa dijadikan
pertimbangan menjaga keberlanjutan tersebut adalah awal pembentukan, alternatif
kegiatan, dan strategi mencapai tujuan bersama. Pada kasus SPQQT,
pembentukan organisasi lebih banyak memanfaatkan anggota dari organisasi tipe
lama bentukan pemerintah. Dalam kajian ilmu penyuluhan, orang-orang demikian
dikategorikan sebagai early adopter dan merupakan golongan masyarakat dengan
pemikiran yang lebih maju. Dari sisi manajemen, golongan early adopter sudah
memiliki kultur berorganisasi. Disamping memanfaatkan lembaga bentukan
pemerintah, pembentukan organisasi juga dilakukan melalui organisasi lokal yang
telah mapan, misalnya kelompok pengajian, arisan, gotong royong, ronda, dan
lain-lain yang merupakan ciri khas organisasi lokal setempat.
Strategi lain sebagai upaya mempertahankan keberadaan organisasi adalah
memilih kegiatan yang dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh anggota.
Kegiatan yang dekat dengan tujuan tersebut adalah kegiatan ekonomi produksi.
142
Kegiatan berbasis ekonomi produksi menjadi satu pilihan karena sederhana dan
mudah dipahami dan lebih bersifat berbasis kepentingan. Seperti hal-nya
kelompok petani perempuan, kelompok petani laki-laki pun mengembangkan
kegiatan arisan atau simpan pinjam. Kegiatan ini lebih dianggap sebagai selingan
bagi kegiatan produksi yang lebih banyak menghabiskan curahan waktu.
Ketertarikan terhadap kegiatan pertanian didasarkan pada motivasi bertani sebagai
sumber penghidupan. Karena alasan itulah, SPPQT memfasilitasi kegiatan
anggota organisasi petani dengan teknik-teknik pertanian yang bermanfaat,
misalnya pertanian organik, cara budidaya tanaman tertentu, pembibitan, dan lain-
lain tergantung kebutuhan dan konteks ekologi komunitas yang bersangkutan.
Perlu diingat bahwa pola perlawanan berangkat dari masalah teknologi dan tata
produksi. Perlawanan dengan menyandarkan pada prinsip CD dipilih dengan
pertimbangan petani memerlukan strategi pengorganisasian dan pemberdayaan
yang berkesinambungan.
Strategi alternatif yang layak dipertimbangkan adalah menjadikan kegiatan
organisasi sebagai bagian dari mainstream yang berkembang dalam konstelasi
politik sehingga tidak menimbulkan resistensi yang kuat dari pemerintah. Disini
diperlukan sebuah upaya mengadaptasikan norma-norma yang berkembang dalam
ideologi negara untuk sampai pada tujuan organisasi yang lebih besar. Taktik
“membunglon” diperlukan untuk mengambil hati pemerintah agar tidak
menghalangi perjuangan yang sedang dilakukan. Membunglon disini diartikan
sebagai bentuk adaptasi kultural dan struktural atas keinginan dan kepentingan
politik negara yang cenderung ingin mempertahankan status quo.
Beberapa contoh strategi di atas mendukung keberlangsungan keberadaan
organisasi. Strategi ini cenderung bersifat lokal dan sangat spesifik, dimana
pilihan-pilihan akan kembali pada kontekstual wilayah. Kembali pada konteks
lokal dan potensi kewilayahan akan mendukung eksistensi organisasi di tingkat
basis. Pentingnya menengok konteks lokal dan potensi kewilayahan juga menjadi
satu kebutuhan untuk dapat mengakomodir kebutuhan petani secara nyata. Ditilik
dari skala nasional, ketika sebuah organisasi mendapatkan dukungan dari anggota,
organisasi tersebut dianggap sebagai organisasi yang berbasis lokal sehingga
berwibawa dimata pemerintah. Sama halnya dengan sekolah alternatif yang
143
dikembangkan oleh beberapa paguyuban dibawah SPPQT. Keberadaan sekolah
alternatif ini lebih didasarkan pada kebutuhan pendidikan. Namun dalam
perkembangannya, keberadaan sekolah alternatif ini menjadi alat ampuh
perlawanan kapitalisasi pendidikan yang sedang marak.
Keberadaan SPPQT dan organisasi di bawahnya merupakan sebuah upaya
memindahkan perlawanan pada strategi alternatif dengan tujuan sama yakni
membangun kekuatan di tingkat lokal dengan metode pendekatan yang berbeda.
Bagi kebanyakan organisasi, metode yang dikembangkan adalah pendekatan
radikal sehingga cenderung berbenturan dengan sikap resistensi birokrasi. SPPQT
memindahkan pola perlawanan ke dalam sebuah bentuk lain yang lebih halus,
dengan metode pengembangan organisasi yang lebih sesuai dimata pemerintah
sehingga cenderung mendapat dukungan. Strategi ini bagi SPPQT merupakan
pilihan alternatif dimana petani dipersiapkan untuk mandiri sekaligus membangun
kekuatan perlawanan yang tersamarkan.
Perlawanan dengan mengedepankan prinsip kemandirian meliputi
beberapa ranah, diantaranya adalah pertama , kemandirian organisasi yang
meliputi kesekretariatan/staf, paguyuban, dan kelompok. Kedua, kemandirian
hakiki yang diupayakan dengan cara menghindari lembaga pemberi dana yang
dapat menyebabkan ketergantungan. Ketiga, kemandirian rumah tangga/keluarga
petani dalam hal produksi yang berarti pupuk dan benih dibuat sendiri. Konsep
pemberdayaan yang utuh dilakukan dalam ranah ekonomi dan dianggap telah
mencapai tingkatan yang paling tinggi jika sudah memiliki kontrol terhadap
sumberdaya. Pada saat ini petani belum mampu sampai pada kontrol, bahkan
akses pun belum utuh diperoleh.
Menelusuri kegiatan organisasi dalam kerangka perlawanan, tampak
bahwa perlawanan yang dikembangkan memiliki karakter yang lebih baru. Pilihan
memperjuangkan people-center oriented sebagai paradigma baru yang diusung
didekati dengan cara-cara persuasif. Dengan demikian, perlawanan tidak tampak
sebaagi perlawanan. Taktik ini menguntungkan organisasi karena secara tidak
langsung strategi ini menjaga keberlanjutan SPPQT sebagai organisasi rakyat atau
organisasi komunitas.
144
Dengan demikian, agenda besar yang diusung organisasi adalah
kemandirian dan kedaulatan petani. Pendekatan kegiatan yang diarahkan pada
kemandirian memenuhi kebutuhan penyediaan sarana produksi sendiri dalam
terminologi gerakan merupakan sebuah bentuk perlawanan. Ideologi dasar
perlawanan yang dikembangkan adalah merubah mainstream pembangunan yang
berorientasi production-center development menuju people-center development.
Strategi organisasi yang dikembangkan dengan mengadopsi cara-cara yang biasa
dilakukan pemerintah. Pendekatan kegiatan dan jaringan yang dikembangkan
organisasi mengarah pada paradigma pertama. Paradigma kedua sebagai hasil
akhir perlawanan merupakan antithesa paradigma pertama yang dilakukan dengan
menggunakan strategi CD. Dalam banyak kasus, CD belum betul-betul
melibatkan petani dalam pengambilan keputusan, berbeda dengan CO yang
menempatkan petani sebagai subyek pembangunan.
Perbandingan antara konsep WID dan WAD memperlihatkan bagaimana
integrasi perempuan dalam pembangunan. Paralel dengan pengertian di atas, pola
perlawanan yang dikembangkan oleh organisasi petani tidak dilakukan dengan
mengubah struktur yang ada, melainkan mempergunakan struktur yang ada dan
menjadi bagian dari sistem yang ada untuk kemudian mendorong perbaikan dari
dalam. Strategi CD digunakan untuk mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan setelah terlebih dahulu disesuaikan dengan konteks permasalahan yang
dihadapi petani. CO sebagai wadah perjuangan turut mengarahkan pada upaya
mencapai pembangunan pertanian yang berorientasi komunitas.
Perlawanan tersamar sebagai gagasan alternatif tidak dengan otomatis bisa
diterapkan pada seluruh tipe organisasi. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa
organisasi muncul dilatarbelakangi oleh konteks situasional komunitas.
Implikasinya adalah akan ada perbedaan karakter organisasi yang lahir dari
persoalan yang dihadapi oleh komunitas yang bersangkutan. Perbedaan persoalan
ini yang menyebabkan organisasi memiliki tampilan yang berbeda satu sama lain.
Sebagai sebuah gagasan teoritis, perlawanan tersamar bisa diadopsi melalui tahap
adaptasi dengan terlebih dahulu menyesuaikan dengan konteks masyarakat
dimana organisasi dibangun.
145
Konsep yang lahir dari penelitian ini adalah “perlawanan tersamar”
sebagai sebuah adaptasi terhadap perkembangan tipe musuh. Ketika politik dan
negara tidak bisa dipisahkan, maka akan terjadi adu kekuatan antara berbagai
pihak. Langkah memilih bentuk organisasi yang tersistematisasi dengan demikian
menjadi pilihan tepat mengacu pada karakter lawan. Perlawanan tersamar
merupakan model gabungan antara mempertahankan kemapanan sosial dan upaya
melakukan dekonstruksi sosial. Perlawanan tersamar mengindikasikan pilihan
strategi perlawanan yang disamarkan oleh organisasi untuk mencapai agenda
organisasi. Namun demikian perlawanan tersamar tidak merujuk pada
tersamarnya agenda organisasi, dengan kata lain perlawanan tersamar tidak sejajar
dengan agenda tersembunyi. Pengorganisasian yang diterapkan oleh organisasi
petani berangkat dari prinsip -prinsip perlawanan dalam kerangka gerakan yang
dibungkus dengan pendekatan production-center oriented . Melawan dilakukan di
bawah payung slogan-slogan pembangunan pemerintah sambil mendefinisikan
kembali slogan tersebut kedalam pengertian paradigma yang lebih berorientasi
pada people-center oriented . Model pembentukan organisasi yang menggunakan
jargon-jargon pembangunan sekilas mencerminkan tipe organisasi yang
memenuhi kepentingan pemerintah. Namun bagi organisasi, model perlawanan
demikian merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan konteks politik negara.
People-center oriented yang sedang diperjuangkan merupakan kritik atas
pembangunan yang lebih berorientasi pada production-center development.
Pengorganisasian yang diterapkan oleh organisasi petani berangkat dari prinsip -
prinsip perlawanan dalam kerangka gerakan yang dibungkus dengan pendekatan
production-center oriented. Melawan dilakukan di bawah payung slogan-slogan
pembangunan pemerintah sambil mendefinisikan kembali slogan tersebut kedalam
pengertian paradigma yang lebih berorientasi pada people-center oriented.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
Tinjauan lebih baru tentang pemberontakan/perlawanan petani dalam
kerangka gerakan sosial menghasilkan pemahaman bahwa gerakan sosial dapat
diwujudkan melalui organisasi petani. Pembentukan organisasi petani merupakan
pembuktian bahwa konteks permasalahan petani dan iklim politik mengalami
perkembangan dibandingkan dengan latar belakang pemberontakan dalam teori
klasik. Teori klasik tentang pemberontakan petani tidak dapat menjawab
permasalahan kontemporer. Permasalahan masa kini mempunyai banyak dimensi
yang meliputi ekonomi, politik dan ideologi pembangunan. Dengan demikian
keterkaitan antara tiga ranah yaitu ekonomi, politik, dan ideologi komunitas
menjadi berharga sebagai batu pijakan analisis terhadap bentuk perlawanan
petani. Kajian teoritis menghasilkan sebuah analisis tentang satu realitas sosial
yang ditinjau dalam dua kerangka pendekatan dan menghasilkan satu sudut
pandang baru dalam melihat persoalan petani. Gerakan sosial yang dipilih dengan
memindahkan jalur perlawanan radikal menuju kooperatif menjadi sebuah
alternatif gerakan sosial baru. Konsep perlawanan sehari-hari sebagai senjatanya
orang-orang yang kalah yang dikemukakan Scott (2000) dapat muncul dalam
bentuk lain. Sebuah perlawanan versi petani yang bermula dari sebuah pendekatan
yang “manipulatif” terhadap orientasi pemerintah untuk menerapkan pola-pola
modernis/developmentalis.
Permasalahan ekonomi dan politik yang dihadapi petani bersumber dari
kebijakan yang diterapkan baik oleh pemerintah maupun aktor global. Berbagai
kebijakan yang ada berakibat pada marjinalisasi petani. Kondisi demikian
merupakan implikasi dari pendekatan production-center oriented yang
dikembangkan pemerintah. Pendekatan production-center oriented yang
dikembangkan hanya merespon masalah secara parsial sehingga revolusi hijau
sebagai manifestasi dari keberpihakan pemerintah terhadap paradigma
pembangunan yang bias kepentingan golongan superordinat melahirkan tragedi di
tingkat petani. Kebijakan ekonomi dan politik kemudian diarahkan pada upaya
mensukseskan program revolusi hijau sehingga tidak ada ruang bagi petani untuk
menunjukkan eksistensinya. Sebagai kelanjutan, kemudian dibentuk kelompok di
147
pedesaan yang diupayakan dapat mentransfer ide-ide pemerintah. Organisasi
pedesaan dibawa kedalam kepentingan pemerintah yang bermuara pada
terciptanya ketergantungan massal golongan petani.
Sebagai respon atas pendekatan production-center development di atas,
SPPQT kemudian melakukan kritik dengan mengembangkan pendekatan people-
center oriented. Pendekatan ini dianggap tepat bagi bentuk organisasi yang
berbasis komunitas. Pilihan ideologi yang dibangun oleh SPPQT adalah
membangun kemandirian dan kedaulatan petani. Bagi petani, kemandirian dan
kedaulatan merupakan pondasi untuk sampai pada merebut akses dan kontrol.
Upaya mencapai akses dan kontrol merupakan perjuangan kearah pemberdayaan
petani.
Merujuk persoalan di atas dalam kaitannya dengan upaa petani
memperjuangkan akse dan kontrol, maka dapat dirinci gambaran respon petani
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Tumbuhnya organisasi petani di Salatiga tidak terlepas dari konstelasi politik
pada Tahun 1998 yang memberi peluang pengorganisasian di tingkat basis.
Pada masa reformasi ini kesadaran petani akan posisinya dalam struktur sosial
mulai muncul dan menghasilkan gerakan -gerakan yang berhaluan kerakyatan.
Perjuangan akses dan kontrol mulai diwujudkan dalam bentuk organisasi
petani. Dapat dikatakan bahwa tumbuhnya organisasi petani yang berbasis
produksi di Salatiga merupakan respon atas kondisi ekonomi dan politik yang
tidak berpihak terhadap petani. Sejarah panjang kebijakan ekonomi dan politik
menunjukkan bukti-bukti empiris bahwa petani termarjinalkan. Dalam situasi
keterpurukan dan ketidakpastian, muncul keinginan untuk membangun
kekuatan kolektif melalui ikatan yang berbasis pada kesamaan tujuan.
Kekuatan kolektif difungsikan untuk menghadang kekuatan luar yang
menimbulkan tekanan struktural. Permasalahan struktural sebagai akibat
pemerintah mengintegrasikan petani kedalam masyarakat kapitalis
menghasilkan respon petani melalui pembentukan organisasi petani.
Pengorganisasian dilakukan dengan mengedepankan prinsip pencerdasan dan
pemberdayaan petani. Dalam ranah ini, petani “dipaksa” untuk dapat
berkiprah aktif dalam upaya merebut akses dan kontrol.
148
2. Permasalahan petani di Salatiga dominan dipengaruhi oleh faktor produksi
menyangkut teknis pertanian, ekonomi, kesejahteraan, pemasaran hasil
pertanian, dan lain-lain. Dengan demikian, kegiatan yang dikembangkan
organisasi harus terkait dengan persoalan konkrit yang dihadapi petani.
SPPQT berupaya untuk memfasilitasi kebutuhan anggota dengan
mengarahkan fokus utama pada kegiatan pertanian dan pengembangan petani.
Merujuk hal di atas, Strategi yang dikembangkan adalah community
development (CD) melalui pendekatan produksi dan kesejahteraan komunitas.
3. Disain perlawanan SPPQT dan organisasi yang ada di bawahnya adalah
bentuk perlawanan tersamar melalui strategi kemandirian produksi.
Perlawanan tersamar merupakan proses adaptasi terhadap kemapanan sosial
yang sedang berlangsung. Metode yang dipilih sebagai taktik perlawanan
diarahkan agar sekaligus dapat menjawab persoalan nyata yang dihadapi
petani. Dengan cerdik, petani memanfaatkan pendekatan-pendekatan yang
biasa dilakukan pemerintah. Pilihan tersebut mendapat jalan ketika konteks
masalah yang dihadapi petani adalah persoalan produksi. Dalam pandangan
pembangunan yang lebih baru, persoalan teknis produksi dapat segera
diselesaikan dengan jalur CD. Membungkus mainstream baru (people-center
oriented) dengan menggunakan paradigma lama (production-center oriented )
melalui strategi pengembangan CD tidak menciptakan resistensi yang kuat
dari pemerintah.
Perlawanan tersamar sebagai strategi perlawanan petani di Salatiga tidak
berangkat dari asumsi agenda tersamar. Sebaliknya, agenda SPPQT bersifat
terbuka dan dapat diterima oleh semua pihak. SPPQT menerapkan strategi
perlawanan tersamar dalam tujuannya menghindari menguatnya resistensi
pemerintah. Perlawanan yang dibangun oleh SPPQT tidak dilakukan dengan
menciptakan struktur baru yang paralel dengan sistem yang ada melainkan
mencari cara agar gerakan bisa diterima oleh pemerintah. Hal yang diperjuangkan
yakni akses dan kontrol sejatinya juga diperjuangkan oleh seluruh lapisan
masyarakat. Namun SPPQT membungkusnya dengan sesuatu yang dapat diterima
bagi rezim yang berkuasa. Dapat dikemukakan di sini bahwa SPPQT
mengembangkan perlawanan terhadap kemapanan yang ada dengan upaya
149
mengintegrasikan petani kedalam sistem yang ada tanpa meninggalkan upaya
memperjuangkan kedaulatan petani.
Perlawanan tersamar dipilih sebagai terminologi untuk memperlihatkan
bahwa musuh (pemerintah) sebetulnya mengetahui tindakan petani. Namun
musuh tidak bereaksi karena perlawanan dilakukan dengan pola-pola yang biasa
dilakukan oleh pemerintah. Strategi CD menjadi berbeda ketika ditangani oleh
komunitas. Perbedaan terutama terletak pada hasil akhir dan implikasi yang
ditimbulkan. CD gaya lama lebih sebagai upaya mempertahankan kemapanan dan
menciptakan ketergantungan petani, sedangkan CD gaya petani merupakan upaya
menciptakan kemandirian dan mencapai kedaulatan petani.
Implikasi Kebijakan
Pengalaman pengorganisasian yang dikembangkan SPPQT dapat menjadi
cermin bagi pola-pola pengorganisasian sejenis. Analisis permasalahan yang
dihadapi petani harus menjadi dasar dalam mengembangkan agenda penguatan
komunitas. Sebagai sebuah organisasi informal (dalam arti di luar struktur
pemerintah) ditemui banyak hambatan yang dialami oleh organisasi petani. Meski
demikian, setiap stakeholder dapat menciptakan kondisi bagi tumbuhnya
organisasi rakyat sebagai pondasi bagi terciptanya kemandirian lokal.
Merujuk hasil analisis penelitian, tampak bahwa kesulitan
menyambungkan kepentingan praktis/pragmatis dan ideologis di tingkat
kelompok petani perlu mendapat porsi tersendiri dalam kerangka
pengorganisasian. Seringkali didapati kesulitan ketika memberi pemahaman
bahwa program yang dikembangkan hanya menjadi pintu masuk merespon
kebutuhan jangka pendek. Ada kekhawatiran bahwa petani menanggapi program
hanya sekedar kegiatan sesaat. Dikhawatirkan kegiatan yang sejatinya merupakan
implementasi sebuah gerakan tertentu tidak dimaknai sebagai sebuah gerakan.
Solusi atas masalah itu tampaknya perlu dilakukan dengan membagi peran antar
aras organisasi. Organisasi pada aras yang lebih tinggi harus membiasakan diri
untuk mengemas isu dengan kegiatan yang dapat dengan mudah dilihat
ketersambungan gerakan perlawanannya. Dalam hal ini, kelompok tani dapat
memfokuskan pada kegiatan praktis, paguyuban melihat dari sisi kebijakan,
150
sedangkan serikat petani yang memiliki cakupan tanggung jawab lebih besar
harus dapat memainkan peran -peran membangun kesadaran gerakan.
Kegagalan perjuangan petani melawan tekanan struktural perlu ditinjau
dari kesinambungan makna organisasi di tingkat lokal dengan tingkat nasional
(dalam hal ini biasanya terkait dengan politik). Sejarah telah membuktikan bahwa
organisasi petani pertama di Indonesia yaitu BTI telah mendisain kesinambungan
antar aras organisasi. Petani di tingkat grass root dengan partai sebagai wadah
petani menjadikan organisasi tidak hanya mengurusi hal-hal yang bersifat praksis
melainkan juga memiliki saluran politik yang jelas untuk mendukung kegiatan di
tingkat praksis. Dengan demikian, organisasi tidak hanya menjadi arena
berkumpul melainkan menghasilkan kerja nyata bagi penyelesaian masalah petani.
Organisasi juga harus jeli memotret perkembangan yang terjadi. Gambaran
karakteristik organisasi bermanfaat untuk meneropong dinamika organisasi petani
terutama dalam kepentingannya membantu gerakan pengorganisasian petani.
Sebagai bagian dari upaya kemandirian yang sejati, perlu dilihat ideologi yang
dianut oleh pimpinan organisasi di tingkat aktivis. Pembedaan harus tegas antara
membangun gerakan karena motivasi politik (mencari peluang strategis) ataukah
motivasi keberpihakan pada petani (upaya humanisasi terhadap petani. Dua
motivasi ini akan berimplikasi pada perkembangan lanjut dari sebuah organisasi.
Dari pengalaman pengorganisasian dan gambaran realitas empiris di atas,
tentunya penting bagi berbagai pihak baik pemerintah, perguruan tinggi bahkan
organisasi itu sendiri untuk memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya organisasi.
Bagi perguruan tinggi, perlu difikirkan bagaimana menciptakan program
pengembangan komunitas melalui organisasi. Stigma organisasi sebagai
organisasi kiri tidak boleh menjadi penghalang bentuk-bentuk bantuan. Organisasi
dengan ciri informal ini seringkali “dijauhi” dari berbagai program pemerintah.
Disini perlunya perguruan tinggi sebagai penghubung dengan berbagai pihak.
Bagi pemerintah, organisasi petani layak ditempatkan sebagai tindakan yang
mengurangi “beban” pemerintah. Bahwa kemandirian yang dibangun membantu
pemerintah dalam program membangun. Cara pandang demikian akan
mengurangi res istensi pemerintah terhadap munculnya organisasi sejenis.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, B. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana. Yogyakarta
Bahari, S. 2002. Petani dalam Perspektif Moral Ekonomi dan Politik Ekonomi dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. AKATIGA. Bandung
Britt, Charla Danelle. 2003. Collective Action and Resource Management in Upland Watersheds of Southeast Asia: Farmer Organizing and Secondary Organizations. ICRAF
Cernea, Michael M. 1988. Mengutamakan Manusia dalam Pembangunan: Variabel-variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan. UI Press. Jakarta
Cooke, Bill dan Uma Kothari. 2002. Participation: The New Tyranny. Zed Books. London. New York
Denzin, K. Norman dan Yvonna S. Lincoln. 2003. Collecting and Interpreting Qualitative Materials. Sag e Publication. London
Dobrowolski, Kazimierz. 1958. Peasant Tradisional Culture dalam Teodor Shanin, Peasant and Peasant Societies (Teodor Shanin, ed; 1971). Penguin Books. Australia
Eldridge, Philip. 1989. LSM dan Negara. Prisma No. 7: 1-21
Etzioni, Amitai. 1985. Organisasi-organisasi Modern. UI Press. Jakarta
Fakih, Mansour. 2000. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Fauzy, Noer. 2005. Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Insis t Press. Yogyakarta
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. INSIST, KPA, PUSTAKA PELAJAR. Yogyakarta
Fauzi, Noer. 1998. Dari Aksi Protes Petani Menuju Embrio Organisasi Massa Petani dalam Perlawanan Kaum Tani: Analisis Terhadap Gerakan Petani di Indonesia Sepanjang Orde Baru. Yayasan Sintesa dan Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). Medan
Firmansyah, dkk. 1999. Gerakan dan Pertumbuhan Organisasi Petani di Indonesia: Studi Kasus Gerakan Petani Era 1980-an. YAPPIKA dan Bina Desa. Jakarta
Firth, R. et al. 1960. Tjiri-tjiri dan Alam Hidup Manusia: Suatu Pengantar Anthropologi Budaja. Sumur Bandung. Bandung
Freire, Paulo. 1984. Pendidikan, Pembebasan, Perubahan Sosial. Penerbit PT. Sangkala Pulsar. Jakarta. (Hal. 1-161)
152
Friedmann, J. 1992. Empowerment: the Politics of Alternative Development. Blackwell Publishers. USA
Hannigan, A. 1985. Alain Touraine, Manuel Castells and Social Movement Theory: a Critical Appraisal dalam Harper, C. L. 1989. Exploring Sosial Change. New Jersey: Prentice Hall. Hal 125-143
Harper, C. L. 1989. Exploring Sosial Change. New Jersey: Prentice Hall. Hal 125-143
Hayami, Yujiro dan Masao Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Heryanto, Ariel. 2000. Perlawanan dalam Kepatuhan.: Esai-esai Budaya. Mizan. Bandung
Hickey, Sam and Giles Mohan. 2005. Relocating Participation Within a Radical Politics of Development. Development and Change. Institute of Social Studies. Blackwell Publishing. Oxford. USA
Hoffer, Eric.1988. Gerakan Massa. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Hollnsteiner, Mary Racelis. 1979. Mobilizing the Rural Poor Through Community Organization. Reprinted from Philippine Studies 27 (1979) 387-416. Institute of Philippine Culture
Irsyam, Mahrus. 22 Nopember 1999. Memahami Hakikat Nahdlatul Ulama. Kompas: 11
Israel, Arturo. 1992. Pengembangan Kelembagaan: Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia. LP3ES. Jakarta
Kartodirdjo, S. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya. Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya. Jakarta
Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan. Resist Book. Yogyakarta
Korten, David C. 2001. Menuju Abad ke-21: Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Laporan Progress Report. 2004. Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah. Salatiga
Lincoln, Yvonna S dan Eegon G. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. Sage Publication. London
Migdal, Joel. 1974. Peasants, Politics, and Revolution: Pressure Toward Political and Social Change the Third World. Princeton University Press. London
Miles, Matthew B dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. UI Press. Jakarta
Mortimer, Rex. 1974. Indonesian Communism Under Sukarno. Cornell University. London
153
Pearse, Andrew. 1968. “Metropolis and Peasant: The Expansion of the Urban. Industrial Complex and the Changing Rural Structure dalam Teodor Shanin, Peasant and Peasant Societies (Teodor Shanin, ed; 1971). Penguin Books. Australia
Pelzer, J.K. 1991 Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Popkin. Samuel. 1986. Petani Rasional. Yayasan Padamu Negeri. Jakarta
Rubin and Rubin. 2001. Community Organizing and Development. A Pearson Education Company. Massachusetts
Rumadi. 9 Oktober 2004. Meneguhkan Gerakan Kerakyatan NU. Kompas: 47
Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Soisal: Pemikiran Norman K. Denzin & Egon Guba, dan Penerapannya. Tiara Wacana. Yogyakarta
Samandawai, Sofwan. 2001. Mikung: Bertahan dalam Himpitan (Kajian Masyarakat Marjinal di Tasikmalaya. AKATIGA. Bandung
Scott, James. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Terj. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Scott, James. 1994. Moral Ekonomi Petani. Terj. LP3ES. Jakarta
Scott, James. 2000. Senjatanya Orang-orang yang Kalah: Bentuk-bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Setiawan, Bonnie. 2003. Globalisasi Pertanian: Ancaman atas Kedaulatan Bangsa dan Kesejahteraan Petani. Institute for Global Justice. Jakarta
Shanin, Teodor. 1970. A Russian Peasant Household at the Turn of the Century dalam Peasant and Peasant Societies (Teodor Shanin: ed, 1971). Penguin Books. Australia
Sitorus, MTF. et.al. 2002. Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. AKATIGA. Bandung
Soetomo, Greg. 1997. Kekalahan Manusia Petani: Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian. Pengantar: Dr. Ir. Wiryono. Kanisius. Yogyakarta
Suhartono. 1995. Bandit-bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942. Aditya Media. Yogyakarta
Suhendar, E. 2002. Land Reform by Leverage: Perjuangan Petani Mewujudkan Kebijakan Agraria yang Berkeadilan dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. AKATIGA. Bandung
Sunito, Satyawan and Heru Purwandari. 2005. Farmers Organizations in Indonesia: Their Development and Role in Strengthening Farmer Rights. Progress Report. PKA-IPB. Bogor
Suwarsono dan Alvin Y. So. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. LP3ES. Jakarta
Sztompka, Piotr. 1994. The Sociology of Social Change. Blackwell Publishers
154
Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada. Jakarta
Tauchid, M. 1952. Masalah Tanah: Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia. Penerbit Tjakrawala. Jakarta
Tjokroamidjo, Bintoro. 1979. Perencanaan Pembangunan. PT. Gunung Agung. Jakarta
Tjondronegoro, S.M.P. 1984. Social Organization and Planned Development in Rural Java. Oxford University Press. Singapore
Tjondronegoro, SMP. 1999. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. AKATIGA. Bandung
Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook with Cases. Kumarian Press. Cornell University
Weede, E. and Horst Tiefenbach. 1981. Three Dependency Explanations of Economic Growth: A Critical Evaluation. European Journal of Political Research
Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar Yogyakarta
Wolf, Eric R. 1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Rajawali Press. Jakarta
Worsley, Peter. 1982. The Three World: Culture and World Development. Weidenfeld and Nicolson. London
Yin, Robert K. 1996. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada
L A M P I R A N
Lampiran 1 Matriks Kebutuhan Data
No Kebutuhan Data di Tiap Aras Organisasi
Rincian Pertanyaan Penunjang Menganalisis
Cara pengambilan data
1. Sejarah Organisasi Petani • LSM yang
melatarbelakangi pembentukan SPPQT
- Peran NGO dalam pembentukan organisasi petani
- Mengapa dan bagaimana NGO terlibat
- Dalam bentuk apa keterlibatan tersebut
analisis konteks politik dan ideologi aktivis dalam perannya membangun organisasi petani
Wawancara, mendalam, penelusuran dokumen sejarah pendirian organisasi
2. SPPQT • Bentuk
permasalahan struktural yang dihadapi petani
• Kondisi yang menyebabkan munculnya organisasi petani
- Sejarah SPPQT - Bagaimana peran
/keterlibatan dimainkan
- Kehilangan akses atas sumberdaya yang ada
- Benturan dengan paradigma pertanian yang dominan
- Krisis moneter - Konstelasi politik
nasional
konteks permasalahan sosial dan ekonomi penyebab kemunculan organisasi petani
Penelusuran literatur, wawancara mendalam, kajian historis,
3 . Paguyuban • Karakter
organisasi
- Penyebab dan kemunculan
- Strategi dan aktivitas organisasi
- Jaringan organisasi - Respon atas isu
khusus - Permasalahan petani
justifikasi perlawanan petani dari kegiatan yang dilakukan
Wawancara mendalam dengan pengurus dan anggota organisasi, pengamatan berperan serta
4. Kelompok tani • Karakter
organisasi
- Penyebab dan kemunculan
- Strategi dan aktivitas organisasi
- Jaringan organisasi - Respon atas isu
khusus
justifikasi perlawanan petani dan orientasi paguyuban
Wawancara mendalam dengan pengurus dan anggota organisasi, pengamatan berperan serta
Lampiran 2 Panduan Pertanyaan Wawancara Paguyuban I. Proses Pembentukan & Profil Paguyuban 1. Kapan Paguyuban dibentuk & bagaimana prosesnya:
• Waktu pembentukan • Siapa yang mengambil inisiatif • Siapa yang menjadi anggota/bergabung saat pembentukan • Apakah terdapat kondisi sosial, politik dan ekonomi tertentu atau
khusus sehingga paguyuban didirikan pada saat itu? Motif pembentukan paguyuban
• Bagaimana proses lahirnya paguyuban 2. Tujuan Pembentukan paguyuban
• Tujuan paguyuban pada saat pendirian • Proses sampai pada perumusan tujuan tersebut, apakah diformalkan? • Apakah sejak itu terdapat perubahan-perubahan dalam tujuan:
o Apa perubahan-perubahan tersebut o kapan, o sebab atau faktor-faktor yang melatarbelakangi, o Apakah perubahan telah merubah organisasi dan keanggotaan
3. Apakah terjadi perubahan profil anggota paguyuban sejak didirikan? • Bagaimana ciri anggota paguyuban pada saat didirikan • Apakah sejak berdiri terdapat perubahan dari keanggotaan paguyuban
4. Hubungan antara paguyuban dengan organisasi anggota • Siapa yang berinisiatif membangun kelompok • Karakteristik kelompok seperti apa yang dapat menjadi anggota
paguyuban • Bentuk hubungan paguyuban dengan kelompok (kerjasama, anggota) • Keuntungan yang diperoleh paguyuban maupun kelompok dalam
hubungan yang terbina • Adakah potensi konflik yang kira-kira akan muncul dari pola
hubungan yang ada
II. Jaringan Kelembagaan 1. Institusi/organisasi/kelompok apa saja yang berafiliasi dengan paguyuban
secara formal maupun informal • Alasan (latent maupun manifest) organisasi lain berafiliasi secara
formal • Alasan (latent maupun manifest) organisasi lain berafiliasi secara
informal • Pola hubungan yang dikembangkan dan alasan mengapa pola tersebut
yang dipilih 2. Sejarah pembentukan afiliasi
• Siapa yang berinisiatif • Bagaimana prosedurnya
3. Bentuk ‘sumbangan’ paguyuban terhadap organisasi terafiliasi • ‘sumbangan’ berbentuk materiil • ‘sumbangan’ berbentuk moril
158
III. Partisipasi paguyuban dalam Formulasi Kebijakan Sumberdaya Alam Sekaligus Implementasinya
1. Tingkat efektifitas paguyuban dalam mengembangkan isu pengelolaan sumberdaya alam lokal sekaligus isu kesejahteraan lokal
• Cara yang dilakukan paguyuban untuk menggulirkan isu-isu tersebut di atas
• Cara yang dilakukan paguyuban dalam mempengaruhi kebijakan sumberdaya alam, kebijakan apa yang menjadi fokus paguyuban
• Proses, dan aktor yang dilibatkan dalam membuat kebijakan • Peran paguyuban dalam keseluruhan proses • Menurut paguyuban ybs, apakah cara di atas efektif • Apa kelebihan dan kekurangan strategi yang ditempuh • Mampukah strategi tersebut mempengaruhi formulasi kebijakan yang
ada, melalui mekanisme apa • Respon kelompok terhadap strategi yang diterapkan paguyuban
2. Evaluasi terhadap partisipasi mempengaruhi pembuatan kebijakan di tingkat government
IV. Keuntungan Pembentukan Paguyuban bagi Tujuan Perjuangan 1. Dalam hal peningkatan posisi tawar masyarakat terhadap negara dalam
kaitannya dengan hak -hak terhadap tanah dan sumberdaya agraria • Sejauhmana pembentukan organisasi berpengaruh terhadap proses
pembelajaran masyarakat dalam hal memperjuangkan hak-haknya. • Apakah keberadaan paguyuban mendapat pengakuan dari pemerintah
Lampiran 3 Kuesioner Terbuka Kuesioner No: ________________ A DATA DIRI Kode
1. Nama dan alamat organisasi:
2. Waktu didirikan: Tgl. Bln. Tahun
3. Legal status: formal terdaftar di pemerintah o Informal o Keterangan lain:
4. Bentuk organisasi: 1. jaringan o 2. asosiasi o 3. federasi o 4. lainnya, sebutkan :
5. Jumlah anggota : o Organisasi : ....................... o Dusun : ....................... o Desa : ......................
6. Jumlah anggota: o Perorangan : .................... o Rumah Tangga : ...................
7. Bagaimana ciri anggota paguyuban (dapat lebih dari satu) o Organisasi/Pok tani dalam konflik o Organisasi/Pok tani kegiatan produksi/ekonomi o Organisasi/Pok tani perempuan o Lain-lain Keterangan:.............
8. Bangun Organisasi (Perhatikan struktur horisontal organisasi: apakah tersusun dalam bagian2, devisi & struktur vertikal : hirarki organisasi, pusat, cabang, ranting)
B PROSES PEMBENTUKAN 9. Mengapa organisasi ini didirikan, apa latar belakangnya
10. Apakah ada peran pendampping dalam proses pembentukan
11. Siapa pendamping tersebut
12. Kendala yang dihadapi dalam proses pembentukan
160
C TUJUAN ORGANISASI 13. Apa tujuan pada awal pembentukan organisasi ini?
14. Apakah ada perubahan tujuan semenjak organisasi dibentuk & sebab perubahan: o tidak ada perubahan o ada perubahan* *) Bila ada perubahan maka ke no.11, 12
15. Kapan perubahan tersebut terjadi:
16. Apa perubahan tujuan tersebut:
17. Mengapa terjadi perubahan tu juan:
D KEGIATAN ORGANISASI 18. Apa sajakah kegiatan organisasi saat ini:
o Teknologi produksi o Permodalan / simpan-p injam o Pemasaran produk o Pendidikan & pelatihan
Keterangan:
o kesehatan masyarakat o Pendidikan hukum & politik o Advokasi pepentingan petani o Mempengaruhi kebijakan NRM o Aksi massa untk hak petani o Lain-lain
19. Apakah terjadi perubahan kegiatan, terangkan
20. Mengapa terjadi perubahan kegiatan
21. Apakah ada bentuk kegiatan yang memperbesar partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberd aya alam
22. Apakah ada bentuk kegiatan dalam rangka memperkuat hak masyarakat terhadap tanah dan sumberdaya alam
E STRATEGI ORGANISASI 23. Strategi apa saja yang dikembangkan organisasi untuk mencapai tujuan
24. Perubahan strategi yang terkait dengan perkembangan organisasi
25. Kapan terjadi perubahan strategi tersebut
26. Mengapa terjadi perubahan strategi tersebut
161
F HUBUNGAN PAGUYUBAN DENGAN KELOMPOK TANI 27. Peran paguyuban bagi organisasi anggota:
(Bisa lebih dari satu kotak) o Manajemen o Jejaring o Dana o Legitimasi politik o Teknologi & informasi o Pendampingan hukum o Pendidikan hukum o Advokasi kepentingan petani o Lain-lain o Organisator & Koordinator
Keterangan:
28. Apa kewajiban organisasi anggota bila bergabung didalam paguyuban
29. Apakah kelompok tani mempunyai mekanisme formal untuk menyalurkan aspirasinya
30. Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan di paguyuban
G KERJASAMA & NET-WORKING 31. Apakah organisasi mengembangkan jaringan dengan pihak lain?
Ya Tidak
32. Bagaimana bentuk hubungan dengan pihak -p ihak tersebut
33. Apa pengaruh jaringan terhadap organisasi ini
34. Apa pengaruh jaringan terhadap kegiatan
H DAMPAK KEGIATAN 35. Apakah ada contoh-contoh nyata dari hasil kegiatan?
36. Permasalahan yang dihadapi didalam organisasi sendiri?
37. Permasalahan yang dihadapi dari luar?
Lam
piran 4 Peta Lokasi SPPQT di Salatiga, Jaw
a Tengah
Peta Lokasi SPPQT di Salatiga, Jawa Tengah
Lam
piran 5 Peta Persebaran Anggota O
rganisasi Petani
Peta Persebaran Anggota Organisasi Petani
Keterangan : Anggota SPPQT tersebar di daerah yang diarsir transparan
Lampiran 6 Kerangka Kerja SPPQT Sampai Tahun 2004
KERANGKA KERJA SERIKAT PAGUYUBAN PETANI QARYAH THAYYIBAH
Visi: Terwujudnya masyarakat tani yang kuat yang mampu mengakses dan mengontrol seluruh sumber dayanya dengan mendasarkan diri pada keadilan,
kelestarian lingkungan dan kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan.
GOAL INDIKATOR
MISI (STRATEGIC GOAL): 1. Meningkatnya soliditas
organisasi untuk mendukung gerakan pemberdayaan petani.
2. Berkembangnya ekonomi
komunitas petani dengan mengembangkan pertanian organik sesuai dengan potensi kawasan.
3. Meningkatnya kesadaran
politik dan kemampuan petani untuk mengakses sumber daya yang tersedia.
4. Tersedianya sistem
informasi dan komunikasi berbasis komunitas untuk
Pada akhir tahun 2004: a. Telah tersedia 60 pemimpin paguyuban dan 70 community organizer dengan ciri-ciri, sbb.:
1. Selalu melindungi kepentingan petani. 2. Mampu mengkonsolidasikan anggotanya. 3. Memperjuangkan kepentingan petani/anggotanya. 4. Konsisten dalam melindungi, memperjuangkan dan mengkonsolidasikan petani. 5. Tidak bisa disogok.
b. Buruh migran dari keluarga petani anggota paguyuban telah mulai tertangani secara baik. Pada akhir tahun 2004: a. 6 learning center telah berjalan dengan baik sebagai tempat belajar bagi paguyuban lain, khususnya dalam implementasi
konsep IOF dan pengelolaan gardu tani paguyuban, dan telah berkembang pada 12 paguyuban diluar 6 learning center b. KSP: Qaryah Thayyibah dan gardu tani paguyuban telah berfungsi untuk mendukung gerakan ekonomi petani melalui
pengembangan pertanian organik. c. Konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) model petani telah terumuskan dan konsep konservasi di 3
kawasan sudah mulai ada kejelasan. Pada akhir tahun 2004: a. Paguyuban-paguyuban telah mendesakkan dan bisa mengakses APBD. b. Ada 6 Paguyuban yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan Peraturan Desa (Perdes) dan Anggaran
Pembangunan Desa (APD) di desa sekitar paguyuban masing-masing. c. Meningkatnya kesadaran politik masyarakat petani anggota serikat dalam berpartisipasi pada Pemilu 2004 Pada akhir tahun 2004: a. Sistem informasi dan komunikasi di 6 learning center telah tertata secara baik.
165
menunjang gerakan pemberdayaan petani.
5. Meningkatnya kapasitas dan performance Sekretariat SPPQT sebagai pusat gerakan pemberdayaan petani.
6. Berfungsinya SPPQT
sebagai organisasi pergerakan petani.
b. Telah tersedia hardware yang memadahi untuk mendukung sitem informasi, dokumentasi dan komunikasi. Pada akhir tahun 2004: a. Peningkatan kapasitas staf telah dilakukan secara memadai. b. Sarana dan prasaran yang memadai telah tersedia di sekretariat. c. Tresedia paling tidak 16 staff di sekretariat. d. Standart Operational and Procedure di Sekretariat telah berjalan secara baik. Pada akhir tahun 2004: a. Instrumen utama dan pendukung organisasi telah tersedia secara memadai. b. Sistem monitoring dan evaluasi telah terumuskan dengan baik. c. Suksesi organisasi berjalan secara demokratis.
INDIKATOR OUTPUT (OPERATIONAL GOAL): Akhir Tahun 2004
Meningkatkan kemampuan pengorganisasian masyarakat dan kepemimpinan petani.
a. Telah terlatih pemimpin petani dari 60 Paguyuban, terdiri dari 30 Pimpinan Dewan Pleno dan 30 Pimpinan Dewan Pelaksana/Pengelola Paguyuban.
b. Telah terlatih 70 orang CO Utama, 70 CO Pemula Paguyuban dan 30 CO petani perempuan dari 30 Paguyuban. Memperkuat institusi paguyuban sebagai organisasi gerakan petani.
a. Telah terbentuk Paguyuban baru di Kawasan Merbabu (3), Kawasan Merapi (2), Kawasan Kedung Ombo (1) dan Kawasan Rawapening (1).
b. Telah tertata Paguyuban baru di Kawasan Merbabu (2), Kawasan Sumbing (1), Kawasan Gunung Payung (1), Kawasan Gedong Songo (1), Kawasan Kendali Sodo (1), Kawasan Ungaran (1), Kawasan Rawapening (1), Kota Salatiga (2), Kawasan Gunung Cicak (2), Jogosatru (1), Kawasan Kedung Ombo (2).
c. 6 Paguyuban telah melaksanakan Pekan Pemilihan Umum (Pemilu) Paguyuban; PP Gedong Songo, PP Rawapening Bersatu, PP Al Falah, PP Otek Makmur, PP Sumbing Inti, dan PP Saka Walu.
Memperkuat akses keluarga petani untuk memperoleh pekerjaan di luar negeri secara mudah dan aman.
a. 500 Buruh Migran telah terbekali sebelum berangkat dan setidaknya 300 Keluarga Buruh Migran anggota Paguyuban telah terdampingi dalam pengelolaan Remittance.
b. Lembaga informasi ketenagakerjaan dan lembaga pengelolaan remittance keluarga buruh migran telah berjalan dengan baik.
Pengembangan Integrated Organic Farming (IOF).
a. Konsep IOF telah dikembangkan pada 18 paguyuban diluar 6 learning center. b. Gerakan penanaman padi organik telah berkembang pada 6 paguyuban diluar 3 paguyuban pengelola demplot. c. Gerakan pembibitan kentang secara organik telah berkembang ke 2 paguyuban diluar PP Merbabu. d. Pengembangan Tanaman Obat Keluarga (Toga) telah berkembang pada 6 paguyuban diluar 3 paguyuban pengelola
demplot.
166
Penataan kawasan untuk mendukung gerakan pertanian organik.
a. Konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) model petani telah didesakkan pada penguasa. b. Konsep Konservasi Kawasan Merbabu telah diimplementasikan dan 2 Kawasan lainnya (Rawapening dan Kedung Ombo)
telah terumuskan dan terimplementasikan. Memperkuat KSP: Qaryah Thayyibah untuk mendukung pengembangan Gardu Tani Paguyuban.
a. KSP: Qaryah Thayyibah telah bisa memenuhi kebutuhan permodalannya. b. 22 Gardu Tani telah terlegalisasi dan 7 diantaranya (PP Gedong Songo, Karyo Raharjo, Al Falah, Al Barokah, Otek
Makmur, Joko Tin gkir dan Merbabu) telah tertata managemennya dan 5 Gardu Tani Paguyuban telah berdiri lagi di PP Saka Walu, Sido Dadi, Raga Runting, Merapi, Kartini).
c. Jaringan kerja sama usaha antar gardu tani paguyuban sudah mulai berjalan dan konsep pengembangan usaha untuk kemandirian organisasi SPPQT telah jelas dan telah terimplementasikan dengan baik.
Meningkatkan kesadaran politik petani.
a. Terselenggaranya training (husus) penyadaran Pemilih (Pemilu 2004) bagi seluruh pemilih anggota SPPQT b. Berbagai issue aktual telah direspon oleh Paguyuban dan Sekretariat SPPQT sesuai dengan tingkatannya masing-masing.
Meningkatkan kemampuan petani dalam mengakses sumber daya.
a. 18 Paguyuban di 6 Kawasan telah berhasil memberikan kontribusi pembuatan Peraturan Desa (Perdes) dan Anggaran Pembangunan Desa (APD) di desa tempat kedudukan masing-masing; Kawasan Merbabu (PP Merbabu dan Saka Walu), Kawasan Rawapening (PP Rawapening Bersatu), Kawasan Gedong Songo (PP Gedong Songo) dan Kawasan Kedung Ombo (PP Otek Makmur).
b. Paguyuban-Paguyuban di wilayah Kota Salatiga, Kabupaten Semarang dan Boyolali, dan Magelang telah bersama-sama mendesakkan peningkatan anggaran pertanian tahun 2004 ke Pemda masing-masing.
c. Beberapa Paguyuban di wilayah Kota Salatiga, Kabupaten Semarang dan Boyolali dan Magelang telah memperoleh alokasi anggaran pertanian tahun 2003 dari pemda masing-masing.
d. Telah terimplementasikannya kerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka penanganan dan pengelolaan Merbabu, Rawa Pening dan Kedung Ombo.
Sistem informasi, dokumentasi dan komunikasi yang mudah diakses oleh petani.
a. Konsep jaringan informasi telah terselenggara dengan baik. b. Sumber daya manusia untuk penanganan jaringan informasi, dokumentasi dan komunikasi telah dipersiapkan secara baik,
melalui workshop, training dan pelatihan. c. Participatory Rural Appraisal (PRA) telah teraplikasikan pada 18 paguyuban diluar 6 learning center. d. 5 Jaringan komunikasi radio telah terpasang di beberapa paguyuban sesuai dengan hasil appraisal. e. Majalah Kalawarta telah diterbitkan secara rutin. f. Perpustakaan SPPQT telah dibangun dan dioperasikan dengan baik
167
Peningkatan kapasitas dalam managemen pengelolaan program.
a. Training Managemen Pengelolaan Program dan workshop outcome mapping telah dilaksanakan dengan diikuti oleh seluruh staff dan Dewan Pengurus Serikat.
b. Konsultansi penguatan kelembagaan, pengembangan IOF dan konservasi kawasan, serta pengembangan ekonomi kerakyatan (petani) secara periodik dilakukan dengan pendampingan para konsultan yang sesuai dengan bidangnya masing-masing.
c. Kursus bahasa Inggris dan Akuntansi. d. sistem monitoring dan evaluasi telah diterapkan dengan baik.
Meningkatkan performance Sekretariat sebagai pusat gerakan pemberdayaan petani.
a. Pelayanan Study Wisata Tani dan bentuk pelayanan lainnya dijalankan dengan baik. b. Telah mempunyai sebidang tanah untuk kantor sekretariat sendiri c. SOP Kesekretariatan telah direvisi sesuai dengan keadaan dan telah dijalankan secara baik. d. Audit keuangan dilakukan tepat waktu. e. Monitoring pelaksanaan program dijalankan secara periodik oleh Dewan Pengurus Serikat. f. Evaluasi dan penyusunan program tahun berikutnya dilakukan secara terbuka dengan melibatkan seluruh paguyuban,
semua stakeholders dan strategic partners. g. Pelaporan dilakukan tepat waktu.
Memperkokoh organisasi SPP-QT sebagai organisasi gerakan kaum tani.
a. Atribut organisasi telah dilengkapi: Mars, hymne, bendera, KTA, Papan Nama, dll. b. Instrumen Akreditasi Anggota Serikat telah dijalankan dengan baik c. Perayaan Ulang Tahun Serikat IV berlangsung meriah.
Sumber: Laporan Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah
168
Lampiran 7 Kegiatan SPPQT per Divisi dan Capaian Target Tahun 2004
No. Program Kegiatan Penjabaran Capaian
DIVISI PENGORGANISASIAN A Program
Pengorganisasian Komunitas Petani
Training dan Workshop
Kegiatan ini difokuskan pada peningkatan kesadaran, pemahaman dan ketrampilan pada aspek pengorganisasian masyarakat, kepemimpinan, managemen organisasi, perbaikan buku panduan pengorganisasian masyarakat dan perumusan manual pembentukan bakortani kawasan
Output: training dan workshop melebihi dari yang direncanakan Hasil: 1) secara kualitas terjadi peningkatan kesadaran, kemampuan dan ketrampilan alumni peserta didik yang diindikasikan dari berkembangnya praktek-praktek pengorganisasian masyarakat. 2) peningkatan keterlibatan petani perempuan dalam ruang-ruang organisasi.
Asistensi dan Fasilitasi
Asistensi Pembentukan dan Penguatan Organisasi Paguyuban
Sampai tahun 2004, terdapat peningkatan hasil yang cukup signifikan, diindikasikan dengan peningkatan jumlah anggota dari 36 paguyuban menjadi 38 paguyuban
Asistensi dan Fasilitasi Pemilu Paguyuban
Dilakukan pemilu di 2 paguyuban yaitu Paguyuban Rawa Pening dan Sumbing Inti
Asistensi dan Pembentukan Bakortani Kawasan
Dibentuk Bakor Tani Kawasan Merbabu.
B Program Penguatan Perempuan
Training, Diskusi Kelompok, Diskusi Publik, Talk Show dan Riset
Peringatan Migran Day (Hari Buruh Migran)
Berhasil mengundang 150 keluarga buruh migran dengan bahasan “Mendorong Pengelolaan Remittance untuk Mengembangkan Usaha Produktif bagi Keluarga Buruh Migran”.
Riset Kerjasama dengan SP, Jakarta
Dihasilkan pemahaman dan juga perilaku untuk lebih “berhati-hati”/mencegah terhadap virus HIV/Aids.
Asistensi dan Fasilitasi
Pengorganisasian Petani Perempuan Telah terbentuk 8 kelompok perempuan.
171
Asistensi Paguyuban dalam Penyelenggaraan Diskusi Kampung
Fokus pada penguatan paguyuban dalam penyelenggaraan diskusi kampung pendidikan politik untuk perempuan.
Pertemuan Kader Perempuan Berhasil ditumbuhkan kader perempuan sebanyak 45 orang yang tersebar d masing-masing paguyuban
DIVISI PEMBERDAYAAN A Program konservasi
kawasan Training dan Worshop
Kegiatan ini difokuskan pada perumusan instrumen riset aksi kerusakan ekologi kawasan dan pendidikan action research
Focus Discusion Group ( FGD) Konservasi di paguyuban Merbabu, anggota SPPQT.
Asistensi dan Fasilitasi
- Focus Group Discusion Pengumpulan Data Ekologi Kawasan
- Asistensi Pendalaman SPHoOR (Sistem Pengelolaan Hutan oleh Organisasi Rakyat)
- Asistensi Pengembangan Tanaman Obat Keluarga
- FGD di 8 kawasan dan menghasilkan data dasar ekologi - Sosialisasi di 3 kawasan yang paling rusak
Konsultansi - Melakukan loby untuk persoalan penetapan kawasan TNMM
- Penguatan pengorganisasian di kawasan Merapi dan Merbabu yang terkena penetapan taman nasional tersebut
B Program Pengembangan Pertanian Organik Terpadu (Iof)
Training dan Workshop
- Workshop Revisi Manual Praktis Pengembangan Pertanian Organik
- Pelatihan Uji Tanah - Training Pembibitan Tanaman
Sayuran dan Tanaman Pangan - Training Pembuatan Pupuk Organik - Training Pembuatan Pestisida
Alami - Training Budidaya Ternak
(kambing) - Training Budidaya Ikan
- Mencoba kegiatan baru seperti perikanan dan ternak - Fasilitasi modal untuk pengembangan usaha ternak dan
ikan -
172
Asistensi dan Fasilitasi
- Fasilitasi Pengembangan Pertanian Organik
- Asistensi dan Fasilitasi Pengendalian Hama Terpadu
- Fasilitasi Magang Pengembangan Pertanian Organik
- Telah dikembangkan pertanian organik secara swadaa di beberapa paguyuban
- Telah dihasilkan 6 orang kader yang handal, yang kemudian memfasilitasi pengembangan pertanian organik di kawasannya masing-masing
C Program Pengembangan Ekonomi Komunitas Petani
Training dan Workshop
Upaya yang harus terus menerus dilakukan untuk membangun penguatan koperasi adalah peningkatan kapasitas pengelola koperasi utamanya pada tingkat pelaksananya
- Terjadi peningkatan jumlah Gardu Tani Paguyuban (GTP)
-
Asistensi/Fasilitasi
- Pendirian, RAT (Rapat Anggota Tahunan) dan Pengurusan Badan Hukum
- Asistensi Penataan Administrasi dan Rencana Usaha Gardu Tani
- Fasilitasi magang antar Gardu Tani. - Asitensi Pengelolaan Jaringan Kerja
Gardu Tani - Asistensi Gardu Tani untuk
Mengakses Sumber Daya dari Pihak Lain
- Munculnya GTP baru tersebut diharapkan bisa membuka akses petani terhadap sumber dana yang selama ini tertutup
- Menghasilkan beberapa perbaikan diantaranya adalah (1) kepengurusan menjadi lebih aktif, (2) terbangun kerjasama antar gardu tani, dan (3) secara umum terjadi peningkatan jumlah simpanan angota di semua gardu tani
- Selain peningkatan pada aspek manajemen administrasi juga berhasil dilakukan kerjasama langsung dalam pemasaran beras organik.
- Sampai dengan akhir tahun 2004 berhasil dihimpun pemasaran beras organik ke Jakarta dan pasar lokal
- DIVISI ADVOKASI A Program Advokasi
Kebijakan Pertanian Training, Workshop dan Studi
Training Advokasi Komunitas Petani
Training diikuti 40 orang petani (30 laki -laki dan 10 perempuan). Materi-materi yang disampaikan dalam training ini diantaranya adalah: (1) analisis aktor (stakeholder), (2) resolusi konflik dan (3) tehnik-tehnik advokasi. Training ini menjadi penting untuk membekali pengurus dan kader paguyuban dalam melakukan advokasi di tingkat komunitas.
173
Workshop mendesakkan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)
Muncul kesepakatan untuk dapat mengakses program PHBM. Meskipun dari kajian yang dilakukan, program tersebut tidak menguntungkan petani, tapi paling tidak untuk sementara petani dapat memanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya yaitu pangan.
Studi tentang APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Dearah)
Hasil: struktur anggaran terjadi ketidakadilan, yang diindikasikan dari minimnya pos anggaran untuk sektor pertanian.
Asistensi dan Fasilitasi
Asistensi dan Fasilitasi Paguyuban Mendesakkan Usulan dan Mengakses APBD
Meskipun persentasi kenaikan belum memuaskan, setidaknya mulai ada sensitifitas penyusun anggaran untuk mulai memperhatikan sektor pertanian.
Asistensi Paguyuban dalam Pengurusan Sertifikat Tanah
Dengan program ini diharapkan petani dapat menggunakan sertifikat tanahnya secara bertanggungjawab untuk kebutuhan akses permodalan ke perbankan.
Asistensi Paguyuban dalam Mendesakkan Konsep PHBM
Dari asistensi ini ada 2 paguyuban yang berhasil mengakses program PHBM yaitu Paguyuban Candi Laras Merbabu, di Kawasaan Merbabu dan Paguyuban Otek Makmur di Kawasan Penyangga Kedung Ombo.
B Program Pendidikan Politik Petani
Training Kegiatan training difokuskan pada 3 tema penting yaitu: (1) Pendidikan pemilih untuk petani, (2) Pemerintahan Desa dan (3) Pengelolaan SLTP alternatif.
Ada peningkatan jumlah partisipan termasuk keterlibatan perempuan, muncul kader-kader advokasi pasca training yang secara khusus dipersiapkan untuk melakukan pendidikan pemilih di tingkat paguyuban.
Asistensi dan Fasilitasi
Paguyuban dalam Pendidikan Pemilih Pendidikan ini dilakukan di 8 titik kawasan dengan peserta baik laki-laki maupun perempuan, dengan melibatkan kader advokasi lokal.
Paguyuban dalam Uji Publik Calon Legislatif
Kegiatan ini difokuskan pada asistensi terhadap paguyuban dalam melakukan Uji Publik terhadap calon legislatif utamanya di Tingkat Kabupaten/Kota. Kegiatan uji publik ini dilakukan di tingkat paguyuban dengan basis konsolidasi wilayah administrasi kabupaten/kota
174
Paguyuban dalam Penyusunan Perdes (Peraturan Desa)
Sampai dengan akhir tahun 2004 Perdes sudah dapat diselesaikan
Paguyuban dalam Mendirikan dan Mengelola SLTP Alternatif
Berhasil dirintis 4 sekolah alternatif Qaryah Thayyibah di 4 paguyuban.
DIVISI INFODOTCOM (INFORMASI, DOKUMENTASI DAN KOMUNIKASI) A Program
Pengembangan Data Base
Training dan Workshop
Kegiatan ini difokuskan pada 3 hal yaitu: (1) Revisi pengumpulan data base komunitas, (2) Managemen perpustakaan komunitas dan (3) Training Fasilitator PRA (Participatory Rural Apraisal)
Realisasi anggota yang hadir melebihi target yang ditetapkan
Asistensi dan Fasilitasi
Implementasi PRA di Paguyuban
Asistensi difokuskan pada penggalian data sosial, ekonomi dan ekologis di 3 kawasan utama yaitu Merbabu, Merapi dan Penyangga Kedung Ombo.
Pendirian Perpustakaan Paguyuban
Tersedia perpustakaan di 3 paguyuban. Koleksi buku diprioritaskan pada buku-buku pengembangan pertanian
Pengelolaan Data Base di Paguyuban.
- Asistensi difokuskan pada pengelolaan data base di paguyuban meliputi: data keanggotaan, notulensi kegiatan dan laporan tahunan paguyuban.
- Salah satu hasil penting dari kerja-kerja ini adalah secara umum paguyuban sudah mulai sadar dan mengembangkan data sebagai basis pendukung dari kerja-kerja pengorganisasian dan pemberdayaan.
B Program Pengembangan Media Komunitas Petani
Training Training difokuskan pada: (1) Dasar-dasar jurnalistik, (2) Pengelolaan jaringan komunikasi melalui Handy Talky (HT) dan (3) Ketrampilan pendokumentasian utamanya dengan foto dan Handycam.
Realisasi anggota yang hadir melebihi target yang ditetapkan. Terutama pada kegiatan training Penggunaan Alat-alat pendokumentasian
Asistensi dan Capacity Building Kader Media Kegiatan ini dilakukan secara periodik 3 bulan sekali selama
175
Fasilitasi 1 tahun, yang diikuti oleh 10 orang kader media. Pertemuan Capacity Building difokuskan untuk mendalami materi dasar-dasar jurnalistik dan persiapan penerbitan buletin rembug.
Pengembangan Radio Komunitas. Pengembangan radio komunitas di Paguyuban Joko Tingkir. Sampai dengan sekarang radio komunitas tersebut masih berjalan dengan fungsi utama untuk pendidikan dan penyadaran petani serta media komunikasi antar petani.
Pembuatan Profile dan Atribute Paguyuban
Kegiatan ini diperuntukkan bagi paguyuban dalam membuat profile dan atribute lain seperti (lambang/logo, bendera) di paguyuban. Secara menyeluruh semua paguyuban anggota Qaryah Thayyibah sudah mempunyai profile paguyuban.
Penerbitan Penerbitan Bulletin “Rembug” Kegiatan ini dapat terlaksana sesuai dengan yang direncanakan, yaitu selama 1 tahun telah diterbitkan 4 kali penerbitan masing-masing sebanyak 1500 eksemplar. Muatan utama dari penerbitan bulletin adalah pendidikan petani yang meliputi, gerakan konservasi oleh organisasi rakyat, pemerintahan desa, pengembangan sekolah alternatif dan ke-Qaryah Thayyibah-an.
Penerbitan buku tahunan dan profile Qaryah Thayyibah
Pada tahun 2004 telah diterbitkan buku tahunan Qaryah Thayyibah sebanyak 500 eksemplar dan profile Qaryah Thayyibah tahun 2004 sebanyak 1000 eksemplar. Peruntukan dari penerbitan ini utamanya didistribusikan kepada anggota.
DIVISI KELEMBAGAAN A Program Sekretariat Peningkatan
Kapasitas Pegiat Organisasi
Kegiatan ini difokuskan pada : (1) Pengelolaan program, (2) Penilaian hasil dengan outcome mapping, (3) Revisi SOP Kesekretariatan dan (4) Workshop Strategic Planning dan Programming 2005 - 2007
- Meningkatnya kemampuan pegiat organisasi kesekretariatan dan lapangan dalam menilai perkembangan kerja-kerja gerakan pemberdayaan kaum tani
- Dari kegiatan ini dihasilkan master plan Qaryah Tahyyibah 2005 – 2007, Program Kerja tahun 2005, dan SOP kesekreatriatan dan sudah diterapkan
176
Peningkatan Performance Sekretariat Sebagai Pusat Gerakan Pemberdayaan Petani
Pada tahun 2004 telah dilakukan upaya-upaya mendasar untuk meningkatkan performance kesekretariatan. Tuntutan ini harus terus menerus diupayakan karena sekretariat sebagai pusat gerakan pemberdayaan petani memegang peranan penting sebagai support sistem gerakan.
- Dihasilkan pemahaman bersama tentang pengelolaan uang organisasi antara staf program dengan keuangan
-
B Program Organisasi Perserikatan
Workshop Instrumen Akreditasi dan Monitoring dan Evaluasi
Workshop ini adalah kelanjutan dari training Outcome Maping II. Workshop diikuti oleh Pimpinan dan anggota Dewan Pimpinan Petani (DPP) dan Ketua Pelaksana.
Dihasilkan instrumen akreditasi dan instrumen monitoring dan evaluasi. Instrumen monitoring dan evaluasi pada tahun 2004 ini sudah diterapkan, sedangkan instrumen akreditasi akan diterapkan pada awal tahun 2007 menjelang RUAS (Rapat Umum Anggota Serikat) III Qaryah Thayyibah.
Pengembangan Jaringan Organisasi dan Respons Isu Aktual
Pengembangan jaringan organisasi dan respons isu aktual difokuskan untuk memperkuat advokasi penunjukkan kawasan merbabu dan merapi sebagai taman nasional.
Sebagian konsentrasi kerja organisasi dan program difokuskan pada upaya penolakan Taman Nasional Merbabu dan Merapi.
Lobby dan Audiensi
Serangkaian lobby dan audiensi sudah dilaksanakan dalam rangka mendialogkan penolakan penunjukan kawasan Merbabu dan Merapi sebagai taman nasional. Lobby dan Audensi dilakukan kepada Komisi II DPRD Propinsi Jateng dan Dinas Kehutanan Propinsi Jateng.
Studi Banding
Studi banding difokuskan pada pendal aman kasus-kasus Taman Nasional dengan mendatangi kawan-kawan petani korban Taman Nasional Dongi-Dongi di Sulawesi Selatan. Dari kegiatan ini diperoleh pembelajaran dari kasus taman nasional di Dongi-Dongi, yang dapat memperkuat keyakinan kawan-kawan petani di Merbabu dan Merapi.
Respon Isu Aktual
Secara umum sampai dengan saat ini dihasilkan perkembangan positif yaitu terbentuk forum masyarakat
177
Merbabu dan Merapi sebagai wadah penyerapan aspirasi masyarat. Melalui forum inilah medan perlawanan masyarakat yang dimotori oleh Qaryah Thayyibah dilakukan.
Kampanye
Salah satu rangkaian dari pendidikan pemilih untuk petani, setelah dilakukan pendidikan pemilih untuk petani, dialog publik dengan calon legislatif juga telah dilaksanakan seminar, aksi massa dan pembuatan poster.
Dengan kegiatan ini telah meningkatkan kesadaran politik petani, dimana selama ini secara mayoritas petani masih takut bicara politik.
Pertemuan Anggota
Memperkuat kebersamaan dan keberanian anggota Qaryah Thayyibah dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingannya. Selain itu secara kongkrit juga ditemukan keberhasilan dan utamanya kelemahan-kelemahan organisasi selama ini.
Rapat Rutin Dewan Pimpinan Petani
Rapat diselenggarakan secara rutin 4 bulan sekali, difokuskan pada pembahasan perkembangan organisasi dan program.
Dihadiri oleh pimpinan dan anggota DPP
Penggadaan/ Penggandaan Atribut Organisasi
Telah dihasilkan: (1) Hak Paten Hymne dan Mars Qaryah Thayibah sudah diselesaikan, (2) Penggandaan AD/ART sejumlah 1000 eksemplar, dan sudah didistribusikan kepada anggota, (3) Cetak Kartu Anggota Serikat sebanyak 1000 kartu dan (4) Pengadaan bendera organisasi sejumlah 100.
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan satu bulan sekali oleh Dewan Pimpinan Petani (DPP). Hasil monitoring bulanan ini kemudian dibawa dalam rapat DPP bersama dengan Ketua Pelaksana 4 bulan sekali. Evaluasi telah dilaksanakan pada akhir tahun 2004 dengan melibatkan DPP, Pengurus Paguyuban dan Pelaksana Serikat
Sumber: Laporan Kegiatan Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah, Tahun 2004
Lampiran 9 Pengalaman dalam Proses Pengumpulan Data di Lapangan
Penelitian ini merupakan rangkaian dari kegiatan penelitian yang dilakukan Pusat Kajan Agraria (PKA-IPB) bekerjasama dengan ICRAF. Penelitian ini dimulai sejak Tahun 2002 dengan judul “Negotiating Land Rights and Natural Resource Regulations for Local People:The Role & Effectiveness of Federations”. Analisis data empiris menghasilkan dua tipologi organisasi yakni organisasi produksi dan organisasi konflik. Masing-masing tumbuh dilatarbelakangi oleh hal yang berbeda yakni persoalan produksi da persoalan konflik agraria.
Jadwal penelitian PKA ”memaksa” penulis melakukan penelitian lapang mendahului jadwal penelitian yang ditetapkan oleh sekolah pascasarjana IPB. Penelitian tersebut dilakukan persis satu minggu setelah pelaksanaan kolokium, yaitu pada Bulan Januari-Pebruari 2005. Pada kurun waktu tersebut, penulis bekerja bersama dua orang asisten peneliti lapang. Metode yang dikembangkan dalam proses pengambilan data adalah wawancara, pengisian kuesioner terbuka, dan Focus Group Discussion (FGD). Berbagai metode di atas dipergunakan untuk menangkap realitas empiris yang muncul.
Dalam proses penelitian tersebut, Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah (SPPQT) meminta PKA untuk melibatkan kader organisasi. SPPQT meminta supaya kegiatan ini tidak sekedar kegiatan proyek melainkan mempunyai agenda pembinaan anggota organisasi. Kader organisasi yang ada di tingkat paguyuban yang menjadi studi kasus disertakan dalam proses pengumpulan data, baik berfungsi dalam proses pengisian kuesioner (sebagai enumerator lokal) maupun dalam proses FGD (sebagai peserta). Proses tersebut pada kenyataannya tidak maksimal karena wawancara yang dilakukan kader organisasi seringkali terjadi sangat kaku dan berpatokan pada kuesioner dan panduan pertanyaan. Hal tersebut menyebabkan data/informsi yang dikumpulkan oleh kader organisasi sangat terbatas dan formal. Tetapi tidak semua kader organisasi melakukan proses enumerasi. Beberapa kader di paguyuban tertentu hanya menjadi pendamping peneliti PKA sehingga proses yang dilakukan merupakan proses pembelajaran.
Penggunaan kuesioner terbuka menjadi salah satu pilihan strategi terkait dengan keterlibatan asisten lapang dan enumerator. Bekal turun lapang berupa kuesioner dirasa memudahkan kerja pengumpulan data mengingat pertanyaan telah disusun secara sistematis. Pengembangan pertanyaan disiapkan dalam bentuk panduan pertanyaan yang mendampingi penggunaan kuesioner terbuka. Kesulitan yang muncul dari penggunaan kuesioner terbuka adalah data-data menjadi relatif seragam dari tiap organisasi terlebih ketika proses pengumpulan data dilakukan oleh kader organisasi (enumerator lokal). Sebagai orang lokal, kader organisasi merasa informasi yang ditanyakan merupakan informasi umum sehingga merasa malas menanyakannya dan melewatkan beberapa pertanyaan yang dianggap mereka tahu untuk kemudian diisi sendiri. Dengan demikian proses pendampingan terus dilakukan dalam proses wawancara dengan cara peneliti utama terlebih dahulu melakukan wawancara agar dapat dilihat oleh enumerator lokal. Untuk menghindari celah kekurangan data, peneliti utama tetap melakukan wawancara dengan informan kunci dan tidak menyerahkannya pada enumerator lokal. Dalam beberapa kasus, adakalanya enumerator lokal melakukan
178
wawancara dengan informan kunci namun dalam pendampingan peneliti utama untuk mempertanyakan informasi yang tidak ditanyakan enumerator lokal.
Data yang diperoleh dalam proses di atas bersifat data keras yang meliputi data diri organisasi, tujuan pembentukan organisasi, peran perempuan dalam organisasi, kerjasama dan jejaring yang dibangun, hubungan paguyuban dan kelompok tani, kegiatan yang dikembangkan organisasi, dan dampak kegiatan. Data tersebut merupakan data yang berasal dari 12 Secondary Local Organization (SLO) dan 36 Organisasi Tani Lokal (OTL). Data-data tersebut menggambarkan karakter organisasi pada aras paguyuban maupun kelompok tani.
Meskipun penelitian ini telah dilakukan sejak tiga tahun terakhir, namun penulis mengalami kesulitan ketika harus mencari fokus penelitian untuk menghindari tumpang tindih dengan fokus penelitian PKA mengingat keduanya berangkat dari data yang sama. Kesulitan tersebut belum dapat diatasi sampai tahap pengumpulan data selesai dilakukan. Fakta menarik yang menggelitik keingintahuan penuls adalah organisasi petani yang selama ini diletakkan dalam ranah gerakan sosial ternyata melakukan kegiatan dengan strategi dan pendekatan community development (CD). Satu bulan menjelang pelaksanaan seminar hasil penelitian, penulis mulai dapat mengkontruksi realitas empiris kedalam analisis dan menghasilkan konsep perlawanan tersamar.
Konsekuensi dari pilihan fokus penelitian adalah penulis harus kembali melakukan penelitian lapang untuk menambah data-data yang menyangkut latar belakang pendirian organisasi dan mengapa organisasi memilih bentuk pendekatan CD. Turun lapang kedua dilakukan pada Bulan Agustus hingga September 2005. Jika pada Bulan Januari-Pebruari penulis memfokuskan penelitian pada paguyuban dan kelompok tani, maka pada periode turun lapang ke-dua penulis mengarahkan kegiatan pada wawancara di tingkat serikat petani (SPPQT). Wawancara tidak lagi diarahkan pada karakter organisasi melainkan menyesuaikan dengan kekurangan informasi dalam kepentingannya menjustifikasi analisis sementara yang dilakukan penulis. Dengan demikian, yang menjadi subyek tineliti adalah orang-orang yang menjadi inisiator organisasi untuk mengetahui tujuan awal pembentukan, disamping orang-orang yang terlibat pada perumusan pembentukan organisasi petani. Sayangnya, orang-orang yang dimaksud tidak lagi berkiprah secara formal dalam organisasi, sehingga penulis betul-betul menelusur satu persatu riwayat orang-orang yang berkiprah di masa awal pendirian organisasi. Beberapa sudah bekerja pada lembaga lain, maupun kembali ke aras komunitas dan tidak lagi menjadi pengurus organisasi. Metode yang dilakukan adalah metode snow ball yang memungkinkan penulis memperoleh informasi secara perlahan namun meluas. Dalam usahanya mengejar subyek tineliti tersebut, selama dua puluh hari keberadaan penulis di lapang, penulis lebih banyak bergerak di luar organisasi dalam kepentingannya menelusur informasi-informasi penting untuk mengkaitkan dengan hasil analisis sementara. Pada periode ini, penulis banyak bersentuhan dengan tokoh-tokoh Salatiga yang berfikiran progresif dalam gerakan petani di Salatiga.
Dibandingkan penelitian periode terdahulu, penelitian Agustus-September 2005 relatif lebih mudah dilakukan oleh penulis terkait dengan beberapa pertimbangan; pertama, proses penggalian informasi dilakukan langsung oleh penulis. Kedua , peneliti memiliki alur pemikiran yang jelas dan telah siap dengan kebutuhan informasi yang masih kurang sehingga waktu penelitian lebih singkat
179
dan tepat sasaran. Ketiga, penelitian ini sekaligus merupakan proses triangulasi data sehingga penulis makin fokus menuliskan hasil penelitian. Pertanyaan yang baru muncul beberapa saat menjelang seminar hasil penelitian dicoba dicari jawabannya pada periode turun lapang ke-dua. Proses penelitian ini mengarahkan pada aspek filosofis gerakan petani dan hal-hal yang menjadi latar belakang pilihan strategi yang dikembangkan oleh organisasi. Pertanyaan diarahkan pada mengapa bangun organisasi SPPQT pada masa kini memilih strategi CD, sesuatu yang sangat tidak lazim dalam ranah gerakan sosial petani. Jawaban-jawaban yang muncul dari hasil wawancara mendalam menjadi pijakan untuk makin mengukuhkan penulis menuliskan konsep “perlawanan tersamar” sebagai keluaran dari penelitian ini.
Fakta di atas menunjukkan gambaran tentang proses penelitian, menganalisis realitas lapang hingga mengkonstruksikan dalam bentuk konsep. Kesulitan relatif tidak ditemukan dalam proses penelitian mengingat penulis telah sejak Tahun 2002 terlibat dengan organisasi petani di Salatiga. Penelitian menjadi lebih cepat karena waktu penelitian tidak banyak dihabiskan untuk mengenal subyek tineliti. Kedekatan dengan mereka telah dibangun jauh sebelum proses penelitian dilakukan. Dengan demikian tinggal melanjutkan hubungan yang telah terbina dengan baik.
Top Related