i
PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS TRANSAKSI
OBLIGASI SYARIAH (SUKUK) IJARAH
Oleh
Sri Utaminingsih
NIM: 104082002777
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/ 2008 M
ii
PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS TRANSAKSI OBLIGASI SYARIAH
(SUKUK) IJARAH
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh:
Sri Utaminingsih NIP: 104082002777
Di Bawah Bimbingan Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Abdul Hamid, MS. Rahmawati, SE., MM
NIP: 131 474 891 NIP:
150 377 441
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2008
iii
PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS TRANSAKSI OBLIGASI SYARIAH
(SUKUK) IJARAH
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh:
Sri Utaminingsih NIP: 104082002777
Di Bawah Bimbingan Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. Abdul Hamid, MS.
Rahmawati, SE., MM NIP: 131 474 891 NIP:
150 377 441
Penguji Ahli
Amilin, SE., Ak., MSi
NIP: 150 370 231
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2008
iv
Hari ini Tanggal 11 Bulan Desember Tahun Dua Ribu Delapan telah dilakukan Ujian Komprehensif atas nama Sri Utaminingsih NIM: 104082002777 dengan Judul Skripsi ”Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Obligasi Syariah
(Sukuk) Ijarah”. Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama masa ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 Desember 2008
Tim Penguji Ujian Komprehensif
Ketua, Sekretaris, Prof. Dr. Abdul Hamid, MS
Amilin, SE., Ak., MSi NIP: 131 474 891
NIP: 150 370 231
Penguji Ahli,
Rini, SE., Ak., MSi NIP: 150 270 231
v
IDENTITAS PRIBADI
Nama : Sri Utaminingsih
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta/31 Desember 1985
Agama : Islam
Tempat tinggal : Jl. WR. Supratman Gg. Bacang No.95 Rt
03/09 Cempaka Putih, Ciputat timur
Telepon : 08567 939 001
Email : [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : 2004 – 2008
SMUN 2 Ciputat : 2001 – 2004
SLTP Al- Islam - Semarang : 1998 - 2001
MI Al- Islam-Semarang : 1992 – 1998
PENGALAMAN ORGANISASI
HMI UIN Syarif Hidayatullah : 2004– 2005
Humas ROHIS SMUN 2 Ciputat : 2002 – 2003
Wakil Ketua OSIS SLTP Al-Islam : 1999 - 2000
vi
Abstract
This research is to find out taxation treatment on syariah debenture
(sukuk) ijarah. The scope of this research is limited on the discussion of syariah debenture (sukuk) ijarah with the implication of government regulation no.6 2002 about income tax on interests and debenture discount which is sold at stock exchange, law No. 17 2000 about income tax and law No. 18 2000 about value added tax. The method of collecting data is field research by interviewing and library research. The method of analysis is qualitative descriptive analysis i.e. to describe thoroughly about taxation treatment on syariah debenture (sukuk) ijarah.
The result of the research shows that the final taxation treatment on sukuk ijarah which is sold at stock exchange is suitable or appropriate with the government regulation no.6 2002. sukuk ijarah however still face the problem of double taxation for value added tax. The first is when the company publish sukuk ijarah. The second is when sukuk ijarah is due to. At this time the investor return sukuk to the publisher. Keywords: debenture syariah (sukuk) ijarah final income tax and value added tax.
vii
Abstraksi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlakuan perpajakan atas
transaksi obligasi syariah (sukuk) ijarah. Ruang lingkup penelitian ini yaitu pembahasan akan dibatasi sebatas pada masalah obligasi syariah ijarah serta implikasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2002 tentang pajak penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan di Bursa Efek, UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan dan UU No.18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu metode penelitian lapangan meliputi wawancara dan metode kepustakaan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif yaitu menguraikan secara menyeluruh terhadap perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Obligasi Syariah (Sukuk) Ijarah.
Penemuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengenaan PPh final atas sukuk ijarah yang diperdagangkan di Bursa efek telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2002. Tetapi Sukuk ijarah masih menghadapi kendala pajak ganda (double taxation) dalam hal ini jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pertama, saat perusahaan menerbitkan sukuk ijarah. Pungutan pajak yang kedua, adalah sewaktu sukuk ijarah jatuh tempo. Ini adalah saat investor mengembalikan sukuk kepada penerbit. Kata kunci: Obligasi syariah ( sukuk) ijarah, PPh final dan PPN
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan
rahmat-Nya. Shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan para pengikutnya. Atas
berkah, rahmat dan kasih sayang-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Obligasi Syariah
(Sukuk) Ijarah”.
Mengingat kemampuan penulis yang terbatas, penulis mohon maaf apabila
dalam skripsi ini banyak terdapat kekurangan. Meskipun demikian mudah-
mudahan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Namun penulis
juga menyadari bahwa keberhasilan yang diperoleh juga berkat bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, tidak lupa penulis ucapkan banyak
terima kasih kepada:
1. Ayahanda Mardjan Gunadi, Ibunda Siti Rofiah, Mas Gatot, Mas Shidik dan
Adik Tiwi yang telah memberikan dorongan, bantuan moril atau materil
yang sangat penulis butuhkan serta doa yang tiada henti-hentinya.
2. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid MS. selaku dosen pembimbing 1 yang telah
bersedia meluangkan waktunya dan banyak memberikan pengarahan kepada
penulis.
3. Ibu Rahmawati SE, MM. selaku dosen pembimbing 2 yang selalu sabar
dalam membimbing penulis, serta banyak memberi pengarahan selama
proses pengerjaan skripsi ini.
4. Drs. M. Faisal Badroen, MBA. selaku dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu
Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Drs. Abdul Hamid Cebba, MBA., Ak., selaku ketua jurusan akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Rekan-rekan Akuntansi E angkatan 2004: Bahri, Rizki, Hery, Nadianto,
Nofan, Randy, Sri, Khusnul, Aisyah, Ema, Endang dan teman-teman lainnya
yang banyak memberi bantuan serta dorongan kepada penulis.
ix
7. Arif Darmawan yang banyak membantu penulis dari awal hingga akhir
proses penyusunan skripsi.
8. Rekan-rekan kantor PT. Duta Sembilan Kartika Telecom.
9. Bpk Budi beserta staff Direktorat Jenderal Pajak yang telah bersedia
membantu penulis dalam melakukan riset.
10. Mbak Din, Bpk Torik beserta staff bagian SAK Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK).
11. Seluruh pihak yang telah membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi
ini, mohon maaf apabila ada pihak-pihak yang namanya tidak tercantum.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua kebaikan kepada
pihak-pihak yang telah disebutkan di atas. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penulisan skripsi ini. Oleh
karenanya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
menyempurnakannya, sehingga skripsi ini menjadi lebih bermanfaat.
Jakarta, Desember 2008
Sri Utaminingsih
x
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Skripasi.................................................................................. i
Lembar Pengesahan Ujian Skripsi.......................................................................... ii
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif............................................................... iii
Daftar Riwayat Hidup ............................................................................................ iv
Abstract .................................................................................................................v
Abstraksi ...............................................................................................................vi
Kata Pengantar.......................................................................................................vii
Daftar Isi................................................................................................................viii
Daftar Tabel...........................................................................................................xii
Daftar Gambar .......................................................................................................xiii
Daftar Lampiran.....................................................................................................xiv
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1
A. Latar Belakang Penelitian.................................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ........................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................8
A. Obligasi ...........................................................................................................8
1. Pengertian dasar obligasi ............................................................................8
2. Jenis obligasi yang diperdagangkan ............................................................9
3. Karakteristik obligasi .................................................................................9
B. Obligasi Syariah...............................................................................................15
1. Pengertian dasar obligasi syariah(sukuk) ....................................................15
2. Kriteria perusahaan yang dapat menerbitkan obligasi syariah(emiten) ........21
3. obligasi syariah ijarah................................................................................22
3. Stuktur obligasi syariah ijarah ...................................................................27
C. Ketentuan akuntansi berkaitan dengan penerbitan obligasi ...............................34
1. Transaksi surat utang konvensional ............................................................34
xi
2. Transaksi obligasi syariah(sukuk) ijarah ....................................................37
D. Perlakuan perpajakan. .......................................................................................42
1. Pengertian dasar pajak................................................................................42
2. Sistem pemungutan pajak ...........................................................................42
3. Azas Keadilan dalam pajak penghasilan (PPh) ...........................................44
4. Definisi penghasilan menurut perpajak .......................................................46
5. Penghasilan terkait dengan transaksi obligasi .............................................46
6. Dasar pengenaan pajak atas penghasilan terkait dengan obligasi.................47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...........................................................54
A Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................54
B. Metode Penentuan Sampel ...............................................................................54
C. Metode Pengumpulan Data ..............................................................................55
1. Metode penelitian Kepustakaan (library reseach).......................................55
2. Penelitian lapangan (field reseach) .............................................................55
D. Metode Analisis Data .......................................................................................56
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian .........................................................56
1. Obligasi syariah(sukuk)..............................................................................56
2. Penghasilan ................................................................................................58
3. Perlakuan perpajakan tentang pajak penghasilan.........................................58
4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)..................................................................59
BAB IV PENEMUAN DAN PEMBAHASAN ....................................................60
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian .......................................................60
1. Penerbitan obligasi syariah(sukuk) yang dilakukan di Indonesia .................60
2. Regulasi penerbitan sukuk di pasar modal...................................................62
B. Analisis deskriptif kualitatif .............................................................................63
1. Perbandingan antara akad /kontrak obligasi konvensional dengan
obligasi syariah(sukuk) ijarah ....................................................................64
2. Perbandingan perlakuan akuntansi obligasi konvensional dengan
obligasi syariah(sukuk) ijarah ....................................................................65
xii
3. Analisis perlakuan perpajakan atas transaksi sukuk ijarah ..........................73
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI ........................................................80
A. Kesimpulan......................................................................................................80
B. Implikasi ..........................................................................................................81
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................82
LAMPIRAN .........................................................................................................85
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel.2.1. Tingkat sekuritas menurut Moody's Investor Service ........................12
Tabel.2.2. Hak dan Kewajiban Pemberi Sewa dan Penyewa ...............................24
Tabel.2.3. Daftar Obligasi Syariah Ijarah Per Oktober 2007 ..............................34
Tabel 4.1 Perbandingan Akad/Kontrak antara Obligasi Konvensional
dengan Obligasi Syariah (Sukuk) Ijarah.............................................65
Tabel 4.2 Perbandingan Perlakuan Akuntansi antara Obligasi
Konvensional dengan Obligasi Syariah (Sukuk) Ijarah.......................71
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar.2.1 Skema Sukuk Ijarah Transfer Kepemilikan Aset .................................28
Gambar.2.2. Skema Sukuk Ijarah Transfer Manfaat Aset. ......................................30
Gambar.2.3. Skema Sukuk Ijarah Transfer Manfaat Aset Dengan
Sublease ............................................................................................32
Gambar.4.1. Perbandingan antara skema sukuk ijarah dengan obligasi ..................77
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan Izin Riset Direktur Peraturan Pajak 1
Lampiran 2 Surat Keterangan Pemberian ijin Penelitian di Direktorat
Jenderal Pajak
Lampiran 3 Surat Keterangan Pemberian ijin Penelitian BAPEPAM-LK
Lampiran 4 UU No.18 th 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Lampiran 5 PP No.6 tahun 2002 Pajak Penghasilan Atas Bunga Dan
Diskonto Obligasi Yang Diperdagangkan Dan/ Atau Dilaporkan
Perdagangannya Di Bursa Efek
Lampiran 6 Keputusan Menteri Keuangan 121/Kmk.03/2002 Tata Cara
Pelaksanaan Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Bunga Dan
Diskonto Obligasi Yang Diperdagangkan Dan Atau Dilaporkan
Perdagangannya Di Bursa Efek
Lampiran 7 Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no:
41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.
Lampiran 8 Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 32/Dsn-Mui/Ix/2002
Tentang Obligasi Syari’ah
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pasar modal syariah telah lahir, hadirnya pasar modal syariah akan
menjadi tonggak sejarah baru seperti saat Bank Muamalat Indonesia pertama
kali dibuka lebih dari satu dasawarsa lalu. Instrumen dan perangkat untuk
menjaring datangnya para investorpun telah dilengkapi. Salah satunya kini
muncul perdagangan obligasi syariah atau terkadang orang menyebutnya
sukuk, yang semakin marak dan banyak digemari orang.
Perdagangan serta penerbitan sukuk juga mulai menampakkan
peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini bisa dilihat dengan semakin
meningkatnya perdagangan sukuk dipasar sekunder. Jumlah dana yang
berhasil dihimpun melalui penerbitan sukuk dari tahun ke tahun juga
mengalami peningkatan. Menurut informasi dari Danareksa terakhir, paling
tidak sudah ada 21 perusahaan yang telah melakukan emisi sukuk.
Ada beberapa aspek yang sangat berpengaruh sehingga perdagangan
dan penerbitan obligasi syariah mengalami lonjakan yang cukup berarti.
Menurut M. Hanif Direktur PT Danareksa dalam presentasi seminar sharia
expo ke II di JCC, berdasarkan studi yang pernah dilakukannya diluar negeri,
terdapat beberapa motivasi dalam berinvestasi pada obligasi syariah yaitu:
1. Keinginan untuk mematuhi syariah diperkirakan sekitar 20-30%.
xvii
2. Keinginan untuk memperoleh manfaat ekonomi diperkirakan sekitar 40-
60%.
3. Tidak mempertimbangkan syariah dan ekonomi sekitar 20-30%.
Agar pasar obligasi dapat berkembang cepat, maka pengembangan harus
diarahkan untuk memenuhi keinginan investor dalam memperoleh manfaat
ekonomi.
Obligasi adalah surat utang yang dikeluarkan oleh emiten (dapat
berupa badan hukum/perusahaan atau pemerintah) yang memerlukan dana
untuk kebutuhan operasi maupun ekspansi mereka. Investasi pada obligasi
memiliki potensial keuntungan lebih besar dari produk perbankan.
Keuntungan berinvestasi di obligasi adalah memperoleh bunga dan
kemungkinan adanya capital gain (Nurul Huda, 2007:81).
Perusahaan swasta maupun BUMN mengeluarkan obligasi memiliki
dua alasan. Pertama, perusahaan membutuhkan dana yang cukup besar untuk
pengembangan usahanya. Kedua, perusahaan itu memiliki hutang yang telah
jatuh tempo, sehingga perlu mencari dana segar untuk membayarnya. Dalam
kondisi ekonomi seperti sekarang, penerbitan obligasi dari perusahaan negara
bertujuan tidak lain untuk melakukan refinancing hutang-hutangnya.
Tentunya, perusahaan itu akan bernafas lega saat mereka telah menerima dana
segar. Tapi, itu tidak dapat bertahan lama karena kesulitan akan muncul pada
saat perusahaan itu harus membayar bunga yang cukup tinggi (Chandra Yusuf,
2006).
xviii
Bila diterapkan sistem bunga, pada awal perjanjian pihak pemilik uang
telah menetapkan seberapa besar pihak pinjaman harus mengembalikan uang
telah menetapkan seberapa besar pihak meminjam harus mengembalikan
uangnya dengan nilai yang lebih tinggi dari jumlah uang yang ia pinjamkan,
disinilah letak kezaliman yang terjadi. Berbeda dengan sistem bagi hasil,
antara pihak pemilik dana dengan pihak yang akan mengelola uangnya
terdapat adanya kesepakatan berupa bagi hasil yang akan diperoleh masing-
masing setelah usaha tersebut dijalankan dan diperoleh keuntungan. Sehingga
semua pihak yang melakukan kerja sama akan memperoleh haknya untuk
mendapatkan bagian masing-masing sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak.
Fungsi uang dalam transaksi keuangan syariah hanyalah sebagai
sarana untuk pertukaran, atau sarana untuk menyatakan nilai dari suatu aset.
Uang sendiri tidak memiliki nilai, sehingga tidak patut menghasilkan uang
lebih banyak berupa bunga yang diberikan melalui penempatan di bank atau
dipinjamkan kepada orang lain. Pembiayaan melalui utang secara
konvensional seperti dalam obligasi dengan imbalan bunga tidak
diperbolehkan dalam sistem keuangan syariah, karena digunakanya bunga
yang merupakan salah satu unsur larangan berdasarkan syariah. Namun
demikian, pembiayaan melalui utang secara syariah dapat dilakukan dengan
berdasarkan kontrak penjualan atau leasing/sewa, yang menghasilkan
instrumen keuangan berpendapatan tetap (fixed income) sebagai alternatif
terhadap utang konvensional (Anonim, 2007:7).
xix
Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional. Menurut
Sofiniyah Gufron (2005:14), perbedaan antara obligasi syariah dan
konvensional, dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, dari sisi emiten.
Emiten yang akan menerbitkan obigasi syariah harus berasal dari emiten yang
aktivitas bisnisnya tidak bertentangan dengan ketentuan syariah, seperti
perjudian, memproduksi alkohol, dan makanan yang dilarang, tidak
memproduksi dan mendistribusikan produk yang sifatnya merusak moral dan
sebagainya. Kedua, dari sisi peringkat invesment grade. Obligasi syariah
mempunyai fundmental yang kuat, dan memiliki citra yang baik di mata
masyarakat. Ketiga, dari struktur obligasi. Obligasi sudah menjadi kata yang
tak lepas dari bunga sehingga tidak dimungkinkan untuk disyariahkan.
Semenjak ada pendapat fatwa ulama bahwa bunga adalah riba, maka
instrumen-instrumen yang punya komponen bunga ini keluar dari daftar
investasi halal. Oleh karena itu, dimunculkan alternatif yang dinamakan
obligasi syariah (sukuk).
Menurut Peraturan BAPEPAM No.IX. A.13 tentang penerbitan efek
syariah, sukuk adalah efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan
yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan
atau tidak terbagi atas: kepemilikan aset berwujud tertentu, nilai manfaat dan
jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu, kepemilikan atas
aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tetentu. Sedangkan menurut
pengertian dari fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, obligasi syariah
(sukuk) adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip
xx
syariah yang dikeluarkan perusahaan (emiten) kepada pemegang obligasi
syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada
pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar
kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Obligasi syariah (sukuk) ijarah pertama kali diterbitkan di Indonesia
pada tahun 2004 setelah dikeluarkannya fatwa tentang obligasi syariah ijarah
(Fatwa DSN-MUI No.41/DSN-MUI/ 2003). Obligasi syariah (sukuk) ijarah
akan memberikan investor pendapatan, berupa imbal hasil sewa (fee ijarah)
dengan tingkat return yang tetap dan telah ditentukan sebelumnya.
Sebagai instrumen berbasis syariah, sukuk jelas memiliki tipikal dan
aturan yang berbeda dengan obligasi konvensional. Obligasi yang merupakan
bagian dari ekonomi konvensional dimana bunga merupakan unsur
terpentingnya, sementara sukuk berlandaskan ekonomi syariah yang
dikembangkan dengan menggunakan akad jual beli dan sewa (ijarah).
Penggunaan transaksi jual beli dan sewa menyewa dalam penyaluran dana
tersebut pada giliranya membawa dampak kurang kompetitifnya sukuk
dibandingkan obligasi, hal ini karena sukuk dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN). Apabila dalam kasus Sukuk ijarah diterapkan ketentuan PPN
seperti yang berlaku pada usaha dagang, maka akan terjadi pengenaan pajak
dua kali masih (double taxation). Pertama, saat perusahaan menerbitkan sukuk
ijarah. Pungutan pajak yang kedua, adalah sewaktu sukuk ijarah jatuh tempo.
Merespon kondisi yang demikian itu, kalangan praktisi investasi
umumnya menyatakan keberatan atas double tax yang dikenakan terhadap
xxi
sukuk ijarah. Hal ini karena berdasakan ketentuan undang-undang PPN No.18
tahun 2000 pasal 4 ayat (2) sukuk merupakan surat-surat berharga atau jenis
barang yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai. Ini berarti ada
perlakuan yang berbeda antara obligasi konvensional dengan sukuk.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk
mengambil judul “Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Obligasi Syariah
(Sukuk) Ijarah”.
B. Perumusan Penelitian
Berdasarkan uraian tersebut maka dirumuskan permasalahan yang
akan dibahas sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep obligasi syariah (sukuk) ijarah dan prakteknya di
Indonesia?
2. Bagaimanakah perlakuan perpajakan atas transaksi obligasi syariah
(sukuk) ijarah?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan penelitian
a. Mengetahui konsep obligasi syariah (sukuk) ijarah dan prakteknya di
Indonesia.
b. Mengetahui perlakuan perpajakan atas transaksi obligasi syariah
(sukuk) ijarah.
xxii
2. Manfaat penelitian
a. Bagi ilmu akuntansi
Penelian ini diharapkan dapat memberikan referensi ilmiah
mengenai masalah perpajakan serta meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman mengenai transaksi obligasi syariah (sukuk) ijarah.
b. Bagi masyarakat
1) Mengetahui dan memahami tentang transaksi obligasi syariah
(sukuk) ijarah.
2) Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengetahuan kepada
masyarakat umum untuk lebih memahami transaksi obligasi
syariah (sukuk) ijarah sehingga intrumen syariah dapat
berkembang dan memasyarakat.
c. Bagi peneliti
1) Memahami praktek transaksi obligasi syariah (sukuk) ijarah.
2) Sebagai langkah penerapan ilmu pengetahun yang diperoleh
dibangku kuliah.
xxiii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Obligasi
1. Pengertian Dasar Obligasi
Obligasi merupakan surat utang dari emiten (dapat berupa badan
hukum/lembaga atau pemerintah) yang memerlukan dana untuk kebutuhan
operasi maupun ekspansi mereka. Investasi pada obligasi memiliki
potansial keuntungan lebih besar dari pada produk perbankan. Keuntungan
berinvestasi diobligasi adalah memperoleh bunga dan kemungkinan
capital gain (Nurul Huda, 2007:81).
Secara umum dapat juga diartikan obligasi adalah surat utang
jangka panjang yang diterbitkan oleh suatu lembaga, dengan nilai nominal
dan waktu tempo tertentu. Penerbit obligasi bisa perusahaan swasta,
BUMN atau pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Salah satu
jenis obligasi yang diperdagangkan dipasar modal kita saat ini adalah
obligasi kupon (cupon bond) dengan tingkat suku bunga tetap (fixed
interes) selama masa berlaku obligasi (Nurul Huda, 2007:81).
2. Jenis obligasi yang diperdagangkan
Jenis obligasi yang diperdagangkan di Bursa Efek antara lain
(Anonim, 2007):
xxiv
a. Corporate bonds: obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan, baik yang
berbentuk badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha
swasta.
b. Government bonds: obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah.
c. Retail bonds: obligasi yang diperjual belikan dalam satuan nilai
nominal yang kecil, baik corporate bonds maupun government bonds.
3. Karakteristik obligasi
Karakteristik obligasi antara lain (Anonim, 2007):
a. Penerbit (emiten)
Mengetahui dan mengenal penerbit obligasi merupakan faktor
sangat penting dalam melakukan investasi obligasi. Mengukur
resiko/kemungkinan dari penerbit obigasi tidak dapat melakukan
pembayaran kupon dan atau pokok obligasi tepat waktu (default risk)
dapat dilihat dari peringkat (rating) obligasi yang dikeluarkan oleh
lembaga pemeringkat.
b. Harga obligasi
Berbeda dengan harga saham yang dinyatakan dalam bentuk
mata uang, harga obligasi dinyatakan dalam persentase, yaitu
persentase dari nilai nominal. Ada 3 (tiga) kemungkinan harga pasar
dari obligasi yang ditawarkan, yaitu:
1) Nilai pari (par) merupakan harga obligasi sama dengan nilai
nominal.
xxv
2) Dengan premi (at premium) merupakan harga obligasi lebih besar
dari nilai nominal.
3) Dengan discount (at discount) merupakan harga obligasi lebih
kecil dari nilai nominal.
c. Jangka waktu obligasi
Setiap obligasi mempunyai masa jatuh tempo atau berakhirnya
masa pinjaman (maturity). Secara umum masa jatuh tempo obligasi di
Indonesia adalah 5 tahun. Ada yang 1 tahun, ada pula yang sampai 10
tahun. Semakin pendek jangka waktu obligasi maka akan semakin
diminati oleh investor, karena dianggap risikonya kecil.
Pada pasaran Amerika dikenal 3 kelompok masa jatuh tempo
obligasi yaitu (Anonim, 2007):
1) Jangka pendek (surat utang atau bill): yang masa jatuh temponya
hingga 1 tahun.
2) Medium term note: masa jatuh temponya antara 1 hingga 10 tahun.
3) Jangka panjang (obligasi atau bond): jatuh temponya diatas 10
tahun.
Pada saat jatuh tempo, pihak penerbit berkewajiban untuk melunasi
pokok investasi di dalam obligasi tersebut, tentunya beserta bunganya.
d. Tingkat suku bunga
Untuk menarik minat para investor, perusahaan harus
memberikan insentif yang menarik berupa bunga yang relatif lebih
besar dari pada tingkat suku bunga perbankan, misalkan 14%, 15% per
xxvi
tahun. Istilah tingkat suku bunga dalam instrumen obligasi dikenal
dengan nama kupon obligasi. Penentuan besarnya kupon obligasi
sangat penting, untuk dapat menarik minat investor tentunya juga
harus dipertimbangkan kemampuan perusahaan untuk membayar
kupon tersebut sampai jatuh tempo (Anonim, 2007).
Kupon, suku bunga yang dibayarkan oleh penerbit kepada
pemegang obligasi. Istilah kupon ini asal mulanya digunakan karena
dimasa lalu secara fisik obligasi diterbitkan bersama dengan kupon
bunga yang melekat pada obligasi tersebut. Pada tanggal pembayaran
kupon, pemegang obligasi akan menyerahkan kupon tersebut ke bank
guna ditukarkan dengan pembayaran bunga (Anonim, 2007).
Ukuran terhadap tingkat suku bunga sangat dipengaruhi oleh
tingkat risikonya. Obligasi dengan tingkat risiko yang lebih tinggi,
tentunya akan menawarkan tingkat suku bunga yang lebih tinggi
dibandingkan dengan obligasi yang memiliki risiko lebih rendah. Hal
ini biasanya dapat dianalisis berdasarkan peringkat obligasi yang
dikeluarkan. Saat ini terdapat 2 perusahaan pemeringkat efek, yaitu,
PEFINDO atau Kasnic Indonesia sekarang menjadi Moddy’s yang
kegiatan usahanya adalah menganalisa kekuatan posisi keuangan dari
perusahaan penerbit obligasi.
Risiko gagal bayar (default risk), dalam hal ini perusahaan
penerbit bisa saja mengalami kesulitan keuangan dan mereka tidak
menepati janjinya untuk membayar kupon atau bunga obligasi setiap
xxvii
tahun atau pokok dari investasi (nilai pari). Bila hal ini terjadi maka
perusahaan penerbit gagal memenuhi janjinya dan investor dirugikan.
Dalam hal ini investor dapat melihat peringkat dari obligasi dari
perusahaan yang menerbitkan. Pemeringkatan ini dilakukan oleh
sebuah perusahaan independen (Anonim, 2007).
Tabel 2.1
Tingkat sekuritas menurut Moody's Investor Service dan Standar & Poor's (Perusahaan Pemeringkat Internasional)
Tingkatan Keterangan
Aaa Kualitas terbaik Aa Kualitas tertinggi A Tingkatan diatas sedang Bbb Tingkatan sedang Bb Ada unsur spekulasi
B Umumnya kurang sesuai karakteristiknya dari investasi yang diinginkan
Caa Posisi jelek Ca Tingkatan yang tinggi spekulasinya C Tingkatan terendah-sangat jelek prospeknya
(Sumber: Panji Anogara, 2006:77)
Sedangkan PEFINDO memberikan simbol atau nilai
pemeringkatan dari yang tertinggi sampai yang terendah sebagai
berikut: : idAAA (superior), idAA (very strong), idA (strong), idBBB
(adequate), idBB (somewhat weak), idB (non-investment), idCCC
(vulnerable), idD (default). Peringkat idAAA sampai dengan idBBB
menyatakan bahwa sebuah obligasi dinyatakan aman dari default risk
atau resiko gagal bayar atau obligasi dengan peringkat ini bisa
dikatakan sebagai investment-grade bond. Peringkat di bawah dari
idBBB tidak disarankan dalam investasi ini dan dikategorikan sebagai
speculative-grade bond. Peringkat dari idAA sampai idB sering
xxviii
dibubuhi tanda – (minus) atau + (plus). Hal ini memberikan indikasi
akan naik atau turunnya dari peringkat sebuah obligasi. Misalkan
sebuah obligasi mendapat peringkat idA+, maka peringkat dari
obligasi tersebut mungkin akan naik menjadi idAA atau bila peringkat
dari sebuah obligasi adalah idAA-, kemungkinan peringkat obligasinya
akan turun menjadi idA (Anonim, 2007).
Pemeringkatan ini memberikan informasi kepada investor
mengenai kapasitas maupun kemampuan sebuah penerbit obligasi
dalam memenuhi janjinya yaitu membayar bunga atau kupon secara
berkala dan mengembalikan semua pokok atau nilai parinya begitu
jatuh tempo.
Perlu investor mengerti juga, bahwa bukan hanya risiko tingkat
suku bunga yang dapat mengakibatkan fluktuasi harga obligasi tapi
risiko gagal bayar juga mempegaruhinya. Bila ada informasi dimana
sebuah perusahaan akan gagal bayar maka peringkat dari perusahaan
tersebut akan turun diikuti dengan anjloknya harga obligasi tersebut
(Anonim, 2007).
e. Jadwal pembayaran
Kewajiban pembayaran kupon obligasi oleh perusahaan
penerbit dilakukan secara berkala sesuai dengan kesepakatan
sebelumnya, bisa dilakukan triwulanan, semesteran atau tahunan.
Ketepatan pembayaran kupon obligasi kepada investor merupakan
aspek penting dalam menjaga reputasi perusahaan penerbit obligasi.
xxix
Tanggal kupon, tanggal pembayaran bunga dari penerbit kepada
pemegang obligasi. Di Amerika, kebanyakan pembayaran kupon
obligasi dilakukan secara tengah tahunan, yang artinya pembayaran
kupon dilakukan setiap 6 bulan sekali. Di Eropa, kebanyakan obligasi
adalah secara tahunan atau 1 kupon pertahun (Anonim, 2007).
f. Jatuh tempo (maturity)
Jatuh tempo (maturity) adalah tanggal dimana pemegang
obligasi akan mendapatkan pembayaran kembali pokok atau nilai
nominal obligasi yang dimilikinya. Periode jatuh tempo obligasi
bervariasi mulai dari 365 hari sampai dengan diatas 5 tahun. Obligasi
yang akan jatuh tempo dalam waktu 1 tahun akan lebih mudah untuk
di prediksi, sehingga memilki resiko yang lebih kecil dibandingkan
dengan obligasi yang memiliki periode jatuh tempo dalam waktu 5
tahun. Secara umum, semakin panjang jatuh tempo suatu obligasi,
semakin tinggi kupon/bunganya (Anonim, 2007).
g. Pasar obligasi
Sebagai suatu efek, obligasi dapat diperdagangkan. Ada dua
jenis pasar obligasi yaitu (Anonim, 2007):
1) Pasar primer, merupakan tempat diperdagangkannya obligasi saat
mulai diterbitkan. Salah satu persyaratan ketentuan Pasar Modal,
obligasi harus dicatatkan di bursa efek untuk dapat ditawarkan
kepada masyarakat, dalam hal ini lazimnya adalah di Bursa Efek
xxx
Surabaya (BES) sekarang sudah berubah menjadi Bursa Efek
Indonesia (BEI).
2) Pasar sekunder, merupakan tempat diperdagangkannya obligasi
setelah diterbitkan dan tercarat di BEI, perdagangan obligasi akan
dilakukan di pasar sekunder.
B. Obligasi Syariah (Sukuk)
1. Pengertian dasar obligasi syariah (sukuk)
Menurut Peraturan BAPEPAM No. IX. A.13 tentang penerbitan
efek syariah, Sukuk adalah Efek syariah berupa sertifikat atau bukti
kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang
tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas:
a. Kepemilikan aset berwujud tertentu
b. Nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi
tertentu
c. Kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tetentu.
Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:32/DSN-
MUI/IX/2002, "Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka
panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada
pemegang obligasi syari’ah yang mewajibkan emiten untuk membayar
pendapatan kepada pemegang obligasi syari’ah berupa bagi
hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh
tempo".
xxxi
Obligasi syariah merupakan bentuk pendanaan (financing) dan
sekaligus investasi memungkinkan beberapa bentuk struktur yang dapat
ditawarkan untuk tetap menghindarkan pada Riba. Berdasarkan pengertian
tersebut, obligasi syariah dapat memberikan (Sofiniyah Gufron, 2005:28):
a. Bagi hasil berdasarkan akad mudharabah/muqaradhah/qiradh atau
Musyarakah. Karena akad mudharabah/musyarakah adalah kerja sama
dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini
akan memberikan return dengan penggunaan term indicative/expected
return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja
pendapatan yang dibagihasilkan.
b. Margin berdasarkan akad murabahah, salam dan istishna.
c. Fee berdasarkan akad ijarah. Dengan akad tersebut, obligasi syariah
akan memberikan pendapatan tetap ( fixed return).
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)
menetapkan fatwa no.41 tentang obligasi Ijarah ini menggunakan dasar
sebagai berikut:
a. Firman Allah SWT, antara lain:
1) Firman Allah QS. Al-Ma’idah (5): 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...”.
2) Firman Allah QS. Al-Baqarah (2) : 233:
" ...Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
xxxii
patut. Bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
3) Firman Allah QS. al-Qashash (28): 26:
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Hai ayahku!
Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya."
b. Hadist-hadist Nabi SAW, antara lain:
1) Hadis Qudsi riwayat Muslim dari Abu Hurairah:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Tiga kelompok yang Aku
memusuhi mereka pada Hari Kiamat nanti. Pertama, orang yang
bersumpah atas nama-Ku lalu ia mengkhianatinya. Kedua, orang
yang menjual budak belian, lalu ia memakan (mengambil)
keuntungannya. Ketiga, orang yang memperkerjakan seseorang,
lalu pekerja itu memenuhi kewajibannya, sedangkan orang itu
tidak membayarkan upahnya" (HR. Muslim).
2) Hadis Qudsi Riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi
bersabda:
"Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering."
3) Hadis riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-
Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
"Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."
xxxiii
4) Hadis riwayat Abu Daud dari Sa'd Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
"Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil
pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal
tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan
emas atau perak”.
5) Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari `Amr bin `Auf:
"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum kecuali perdamaian
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram;
dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram".
c. Ijma' ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa (Al-
Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dr. Wahbah al-Zuhaili).
d. Kaidah fiqih :
"Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya."
"Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan
atas mendatangkan kemaslahatan."
Obligasi syariah di dunia internasional dikenal dengan sukuk.
Dalam bahasa Inggris sukuk diterjemahkan sebagai Islamic bond. Sukuk
berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti mirip dengan sertifikat atau
surat. Dalam pembahasan ekonomi syariah (Islam), sukuk mengandung
xxxiv
pengertian sebagai surat berharga yang merupakan salah satu bentuk
instrumen pembiayaan berdasarkan akad syariah tertentu, yang
mewajibkan si penerbit sukuk untuk membayar pendapatan berupa bagi
hasil atau margin keuntungan atau jasa (ujrah) sebagaimana ditentukan
dalam akad serta membayar kembali dana yang tercantum pada lembar
sukuk pada saat jatuh tempo sukuk kepada sipemegang sukuk (Iswahjudi
dan Mirza A. Adiwarman Karim, 2006:59).
Dari keterangan diatas, kemudian timbullah pertanyaan, apakah
yang dimaksud dengan syariah? syariah merupakan hukum Islam yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Al-hadist. Sedangkan prinsip keuangan
syariah adalah suatu bentuk sistem keuangan yang berdasarkan prinsip
etika dan keadilan yang berlandaskan syariah, atau hukum Islam yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist yang mengatur berbagai aspek
kehidupan pribadi dan masyarakat.
Elemen-elemen utama dari prinsip-prinsip transaksi keuangan
syariah (Anonim, 2007: 5):
a. Larangan atas bunga (Riba).
b. Penekanan pada perjanjian atau kesepakatan yang adil.
c. Hubungan antara keuangan dengan produktivitas.
d. Anjuran atas sistem bagi hasil atau profit sharing.
e. Larangan terhadap judi atau maysir.
f. Larangan terhadap bentuk-bentuk spekulasi atau ketidak pastian.
xxxv
Suatu sukuk dapat dikatakan memenuhi prinsip syariah apabila
jenis akad atau perjanjian penerbitannya tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah, yaitu antara lain transaksaksi yang dilakukan oleh
para pihak harus bersifat adil, halal, thayib dan maslahat. Selain itu, juga
harus terbebas dari berbagai unsur larangan, antara lain Riba, maysir dan
gharar. Penerbitan sukuk memerlukan adanya pernyataan kesesuaian
syariah (shariah compliance) dari ahli syariah yang diakui secara umum
atau dari lembaga yang memiliki keahlian dibidang syariah di Indonesia
ini merupakan tugas DSN (Dewan Syariah Nasional) (Anonim, 2007:5).
Gharar merupakan sesuatu yang mengandung keraguan, tipuan
atau tindakan yang bertujuan merugikan orang lain. Gharar terbesar
adalah tidak adanya kepastian mengenai rincian objek, cara penyerahan
dan cara pembayaran. Dalam transaksi Islam harus ada itikad baik,
sehingga tidak boleh ada gharar yang mengakibatkan kerugian akibat
adanya itikad tidak baik tersebut (Adiwarman Karim, 2004:31).
Maysir merupakan unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-
untungan didalam transaksi keuangan yang memungkinkan diperolehnya
suatu kekayaan dengan cara yang mudah. Maysir yang paling terbesar
adalah dimana keuntungan suatu pihak merupakan kerugian pada pihak
lain. Maysir juga bermakna spekulasi murni (Anonim, 2007:7).
Riba merupakan unsur tambahan yang diperjanjikan sebelumnya
baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam, secara batil atau
xxxvi
bertentangan dengan ajaran Islam (Anonim, 2007:7). Riba terbagi menjadi
tiga (Adiwarman Karim, 2004:33):
a. Riba fadl yaitu Riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang
tidak memenui kriteria kualitasnya, sama kuantitasnya dan sama waktu
penyerahanya. Riba fadl dapat ditemui dalam transaksi valas yang
tidak secara tunai.
b. Riba nasiah yaitu Riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak
memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko dan hasil usaha
muncul bersama biaya. Riba jenis ini dapat ditemui dalam transaksi
pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabungan, deposito,
giro dan obligasi.
c. Riba jahiliah yaitu utang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman
karena peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada
waktu yang telah ditetapkan. Diperbankan konvensional Riba jahiliah
dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang
tidak dibayar penuh tagihannya.
2. Kriteria perusahaan yang dapat menerbitkan obligasi syariah (emiten).
Tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah. Untuk
menerbitkan obligasi syariah, beberapa persyaratan berikut yang harus
dipenuhi (Inggi H. Achsien, 2003):
a. Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan
substansi Fatwa No:20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut
xxxvii
menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan
syariah Islam di antaranya adalah:
1) Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau
perdagangan yang dilarang.
2) Usaha lembaga keuangan konvensional (Ribawi), termasuk
perbankan dan asuransi konvensional.
3) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan
makanan dan minuman haram.
4) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan
barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat
mudarat.
b. Peringkat investment grade:
1) Memiliki fundamental usaha yang kuat;
2) Memiliki fundamental keuangan yang kuat;
3) Memiliki citra yang baik bagi publik.
3. Obligasi syariah ijarah
Obligasi syariah ijarah adalah obligasi syariah berdasarkan akad
ijarah. Akad ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan
jalan penggantian. Artinya, pemilik harta memberikan hak untuk
memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan sementara
atau peminjaman objek yang ditransaksikan melalui penguasaan sementara
atau peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar
imbalan kepada pemilik objek. Ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak
xxxviii
sepenuhnya sama. Dalam akad ijarah disertai dengan adanya perpindahan
manfaat tetapi tidak terjadi pemindahan kepemilikan (Sofiniyah Gufron,
2005:32).
Obligasi Syariah tersebut dapat diterbitkan oleh emiten dengan
pembatasan tidak boleh dipergunakan untuk refinancing hutang emiten,
akan tetapi hanya diperbolehkan sebagai modal kerja emiten saja.
Disamping itu emiten juga harus menjamin bahwa pendapatan yang
dibagihasilkan dengan para pemegang obligasi harus bersih dari unsur
non-halal, adapun definsi unsur non-halal adalah sesuai dengan Fatwa
DSN No. 20/DSN-MUI/IV/2001 tanggal 18 April 2001. Pendapatan yang
dibagihasilkan itu juga harus berasal dari emiten sendiri, bukan dari
perusahaan afiliasinya, karena yang terikat dengan perjanjian adalah
emiten dengan para pemegang obligasi syariah.
Selanjutnya, terkait dengan jenis sukuk yang menjadi underlying
transaction, BAPEPAM-LK memberikan pedoman melalui Peraturan
Nomor IX.A.14.
1) Akad ijarah dalam sukuk ijarah
Dalam peraturan BAPEPAM-LK Nomor IX.A.14, yang
dimaksud dengan ijarah berarti perjanjian (akad) dimana pihak yang
memiliki barang atau jasa (pemberi sewa atau pemberi jasa) berjanji
kepada penyewa atau pengguna jasa untuk menyerahkan hak
penggunaan atau pemanfaatan atas suatu barang dan atau memberikan
jasa yang dimiliki pemberi sewa atau pemberian jasa dalam waktu
xxxix
tertentu dengan pembayaran sewa dan atau upah (ujrah), tanpa diikuti
dengan beralihnya hak atas pemilikan barang yang menjadi objek
ijarah.
2) Ijarah yang tersebut diatas, wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a) Persyaratan pihak yang dapat menjadi pemberi sewa dan penyewa
wajib memiliki kecakapan dan kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum baik menurut syariah Islam maupun peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b) Hak dan kewajiban pemberi sewa atau pemberi jasa dan penyewa
atau pengguna jasa.
xl
Tabel 2.2
Hak dan Kewajiban Pemberi Sewa dan Penyewa`
Hak Dan Kewajiban Lessor Hak Dan Kewajiban Lessee
(a) Menerima pembayaran harga sewa atau upah (ujrah) sesuai dengan yang disepakati dalam Ijarah
(a) Memanfaatkan barang dan atau jasa sesuai yang disepakati dalam ijarah.
(b) Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan.
(b) Membayar harga sewa atau upah (ujrah) sesuia yang disepakati dalam ijarah.
(c) Menanggung biaya pemeliharaan barang yang disewakan.
(c) Bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai yang disepakati dalam ijarah.
(d) Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
(d) Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak material) sesuai yang disepakati ijarah.
(e) Bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewakan yang bukan disebabkan oleh pelanggan dari penggunaan yang dibolehkan yang diperbolehkan atau bukan karena kelalaian pihak penyewa.
(e) Bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewakan yang disebabkan oleh pelanggaran dari penggunaan yang diperbolehkan atau karena kelalaian pihak penyewa.
(f) Menyatakan secara tertulis bahwa pemberi sewa atau pemberi jasa menyerahkan hak penggunaan atau pemanfaatan atas suatu barang dan atau memberikan jasa yang dimilikinya kepada penyewa (pernyataan ijab).
(f) Menyatakan secara tertulis bahwa penyewa atau penerima jasa menerima hak penggunaan atau pemanfaatan atas suatu barang dan atau memberikan jasa yang dimiliki pemberi sewa (pernyataan qobul).
(Sumber: BAPEPAM-LK, 2007)
3) Persyaratan objek ijarah dalam peraturan BAPEPAM-LK Nomor
IX.A.14 adalah dapat berupa barang dan atau jasa yang memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
xli
a) Manfaat barang atau jasa harus dapat dinilai dengan uang.
b) Manfaat atas barang dan jasa dapat diserahkan kepada penyewa
atau pengguna jasa.
c) Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat tidak dilarang oleh
syariah Islam (tidak diharamkan).
d) Manfaat barang atau jasa harus ditentukan dengan jelas.
e) Spesifikasi barang atau jasa harus dinyatakan dengan jelas antara
lain melalui identifikasi fisik, kelayakan, dan jangka waktu
pemanfaatan.
4) Persyaratan penetapan harga sewa atau upah (ujrah) dalam peraturan
BAPEPAM-LK Nomor IX.A.14 wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a) Besarnya harga sewa atau upah (ujrah) dan cara pembayarannya
ditetapkan secara tertulis dalam ijarah.
b) Alat pembayaran harga sewa atau upah adalah uang atau bentuk
lain termasuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan
barang atau jasa yang menjadi objek dalam ijarah.
5) Ketentuan lain yang dapat diatur dalam ijarah, selain wajib memenuhi
ketentuan pada peraturan diatas, dalam ijarah dapat disepakati antara
lain hal-hal sebagai berikut:
a) Para pihak (pemberi sewa dan penyew) dapat menentukan harga
sewa atau upah untuk periode waktu tertentu dan meninjau kembali
harga sewa atau upah yang berlaku untuk periode berikutnya.
xlii
b) Penunjukan pihak lain untuk menyelesaikan perselisihan antara
pemberi sewa dan penyewa.
4. Stuktur obligasi syariah ijarah
Regulasi yang mengatur tentang sukuk dan ijarah adalah peraturan
No. IX.A.13 dan IX.A.14 dikeluarkan BAPEPAM-LK pada bulan
Nopember 2006. Walaupun demikian, tercatat beberapa emiten telah
melaksanakan penerbitan sukuk ijarah sebelum diterbitkannya peraturan-
peraturan tersebut. Terkait dengan dasar yang digunakan tersebut, tujuan
dari transaksi ijarah di Indonesia adalah melakukan transaksi lease atau
lease kemudian sublease. Sedangkan dasar yang digunakan dinegara-
negara lain bertujuan untuk menjual aset (kepada SPV) kemudian
melakukan lease atas aset tersebut dengan memberikan opsi apakah pada
akhir masa sukuk aset underlying ijarah beralih kepemilikannya.
Dalam AAOIFI terdapat tiga jenis skema transaksi sukuk ijarah.
Pembagian kategori tersebut dapat didasarkan pada obyek yang
ditransaksikan, yaitu:
a. Transfer kepemilikan atas aset yang telah tersedia.
b. Transfer manfaat (usfruct) atas aset yang telah tersedia.
c. Transfer kepemilikan atas aset tertentu yang akan dimiliki.
Praktik yang lazim digunakan adalah sukuk ijarah No. 1 dan 2.
Alasan utama yang mendasarinya adalah, transaksi jenis 1 dan 2 lebih
diminati oleh investor mengingat underlying asetnya telah tersedia. Hal
ini akan lebih memberikan kepastian hukum dibandingkan dengan sukuk
xliii
ijarah No. 3. Dengan mempertimbangkan kelaziman dalam praktik, maka
kajian ini memfokuskan kepada skema sukuk no 1 dan 2.
Gambar 2.1
Skema Sukuk Ijarah Transfer Kepemilikan Aset
(Sumber: BAPEPAM-LK, 2007)
Berikut ini disajikan mengenai skema transfer kepemilikan atas
aset yang telah tersedia. Pada saat perusahaan merencanakan untuk
menerbitkan sukuk ijarah, perusahaan terlebih dahulu menetapkan aset
yang akan di-ijarah-kan. Kemudian, perusahaan mendirikan suatu Special
Purpose Vehicle/Company (SPV/C selanjutnya disebut dengan SPV).
SPV merupakan paper company yang didirikan semata-mata untuk
kepentingan perusahaan khususnya dalam penerbitan sukuk ijarah. Setelah
sukuk ijarah jatuh tempo, maka SPV ini akan dibubarkan. SPV bukan
merupakan badan hukum seperti halnya perusahaan, oleh karena itu SPV
bukan merupakan subyek pajak.
xliv
Setelah SPV terbentuk, perusahaan menjual aset yang menjadi
underlying ijarah kepada SPV, hal ini ditandai dengan akad Al-bay’,
yaitu jual-beli antara perusahaan selaku penerbit sukuk ijarah dan SPV
selaku wakil dari para investor pemegang sertifikat sukuk ijarah. Pada saat
yang sama SPV menjual sertifikat sukuk kepada investor sebagai bukti
bahwa investor merupakan pemilik dari underlying aset ijarah, hal ini
ditandai dengan akad wakalah, yaitu perwalian SPV atas investor
pemegang sertifikat sukuk ijarah.
Dana yang diperoleh dari investor secara langsung diteruskan oleh
SPV kepada perusahaan. Dengan demikian, maka telah terjadi
perpindahan kepemilikan underlying aset ijarah dari perusahaan kepada
investor melalui SPV. Dilain pihak, perusahaan telah menerima secara
lumpsum pembayaran dari investor atas penerbitan sertifikat sukuk ijarah.
Selanjutnya, SPV selaku wakil dari investor, menandatangani akad
ijarah dengan perusahaan. Dalam akad itu disepakati bahwa SPV selaku
wakil dari pemilik aset menyewakan aset kepada perusahaan. Dengan kata
lain, SPV berperan sebagai lessor sedangkan perusahaan berperan sebagai
lessee. Sebagai lessee, perusahaan berhak untuk menggunakan aset yang
diijarahkan tersebut dan berkewajiban untuk membayar ijarah atas
penggunaan aset kepada lessor.
Pembayaran oleh perusahaan dilakukan kepada SPV dan langsung
diteruskan kepada investor. Pembayaran tersebut merupakan kupon ijarah
yang besarnya ditentukan secara tetap. Penggunaan benchmark ini barang
xlv
kali menimbulkan pertanyaan mengapa syariah menggunakan tingkat
bunga sebagai benchmark, padahal bunga dilarang dalam prinsip syariah.
Untuk menjawab hal ini, maka harus dibedakan antara fungsi
bunga sebagai benchmark dan Riba. Fungsi sebagai benchmark, tingkat
bunga dimaksudkan untuk memberikan pedoman yang populer mengenai
suatu tingkat bagi hasil. Dengan demikian maka, kesalahapahaman
(gharar) antara lessor dan lessee akibat penggunaan benchmark yang tidak
populer dapat dihindari. Dilain pihak, penggunaan tingkat bunga sebagai
Riba, merupakan mekanisme yang dilarang dalam syariah.
Riba merupakan praktik bunga majemuk, yaitu pembebanan bunga
tetap akan berjalan sekalipun debitur sudah tidak mampu melunasi
pinjamanannya. Hal tersebut tidak sejalan dengan prinsip syariah yang
menjungjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat
sehingga seseorang tidak boleh mendapat keuntungan di atas kerugian
orang lain. Skema sukuk ijarah ini sama seperti sukuk yang diterbitkan
oleh negara belum lama ini.
Gambar 2.2
Skema Sukuk Ijarah Transfer Manfaat Aset
(Sumber: BAPEPAM-LK, 2007)
xlvi
Berikut ini disajikan mengenai skema transfer manfaat atas aset
yang telah tersedia. Pada saat perusahaan merencanakan untuk
menerbitkan sukuk ijarah, perusahaan terlebih dahulu menetapkan aset
yang akan diijarahkan. Kemudian, perusahaan menjual manfaat aset
kepada investor. Atas transfer ini, perusahaan memperoleh pembayaran
lumpsum dari investor dan sebaliknya investor memperoleh sertifikat
sukuk ijarah. Pada tahap ini, perusahaan dan investor menandatangani
akad Ijarah, yang memposisikan perusahaan menjadi lessee dan investor
menjadi lessor.
Selanjutnya, investor dan perusahaan menandatangani akad
wakalah, yang berisi bahwa investor memberikan kuasa kepada
perusahaan atas manfaat aset underlying ijarah. Kuasa tersebut, digunakan
oleh perusahaan untuk mencari customer akhir yang bermaksud untuk
menyewa aset underlying ijarah. Hal ini dilakukan karena perusahaan
memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan investor terhadap
industrinya.
Setelah menemukan customer akhir, perusahaan mentransfer
manfaat aset underlying ijarah. Dalam tahap ini seakan-akan peranan
perusahaan adalah sebagai lessor mewakili investor dan customer akhir
adalah sebagai lessee. Customer akhir berkewajiban membayar
penggunaan aset underlying ijarah. Pembayaran ini merupakan sumber
kupon ijarah yang akan dibayarkan perusahaan selaku lessee kepada
investor selaku lessor.
xlvii
Gambar 2.3
Skema Sukuk Ijarah Transfer Manfaat Aset Dengan Sublease
(Sumber: BAPEPAM-LK, 2007)
Berikut ini disajikan mengenai variasi dari skema transfer manfaat
atas aset yang telah tersedia, yaitu dengan sublease. Skema ini diawali
dengan penerbitan sertifikat sukuk ijarah perusahaan. Atas penerbitan
sertifikat tersebut perusahaan menerima kas yang dibayarkan oleh
investor. Pada tahap ini, perusahaan dan investor menandatangani akad
wakalah. Akad ini memberikan kuasa kepada perusahaan untuk mewakili
investor sebagai lessee atas transaksi ijarah yang akan dilakukan pada
tahap berikutnya. Selanjutnya, dana hasil penerbitan sukuk ijarah
digunakan perusahaan untuk memperoleh manfaat atas suatu aset
underlying ijarah yang dimiliki oleh owner. Pada tahap ini perusahaan dan
owner menandatangani akad ijarah dimana perusahaan berperan sebagai
lessee mewakili investor dan owner sebagai lessor.
xlviii
Kemudian, investor selaku lessee dalam transaksi dengan owner
menyewakan manfaat atas aset underlying ijarah kepada perusahaan.
Dengan kata lain, peranan investor berubah dari lessee menjadi lessor.
Pada tahap ini perusahaan dan investor menandatangani akad ijarah atas
transaksi sublease.
Pada tahap selanjutnya, perusahaan akan mencari customer akhir
untuk menyewakan aset underlying ijarah. Dalam transaksi ini customer
alkhir membayar sewa. Pembayaran ini merupakan sumber dari kupon
ijarah dan akan diteruskan oleh perusahaan kepada investor selaku lessor.
Dari ketiga skema sukuk ijarah di atas, pembayaran ijarah yang
diterima dari investor merupakan jumlah lumpsum. Dalam transaksi
konvensional jumlah ini dapat dipersamakan dengan pokok obligasi.
Sedangkan pembayaran berkala yang dilakukan oleh lessee kepada lessor
pada saat jangka waktu sukuk ijarah dapat diidentikkan dengan bunga
obligasi. Jumlah lumpsum yang diterima oleh perusahaan pada awal
periode sukuk, akan dilunasi oleh perusahaan kepada investor pada saat
sukuk ijarah jatuh tempo. Hal ini disertai dengan adanya pengembalian
kepemilikan atau manfaat aset underlying ijarah kepada perusahaan selaku
penerbit sertifikat sukuk ijarah.
xlix
Tabel 2.3
Daftar Obligasi Syariah Ijarah Per Oktober 2007
No Nama Obligasi Jumlah
Emisi
(Rp.Milyar)
Rating Jangka
Waktu
Tanggal
Emisi
1 Matahari Putra Prima-Syariah Ijarah I
150 A+/Pef 5 th 11-5-04
2 Sona Topas-Syariah Ijarah
52 A+/Kasnic 5 th 28-6-04
3 Citra Makmur Sari-Syariah Ijarah I
100 A/Kasnic 5 th 9-7-04
4 Indorent-Syariah Ijarah I
100 A/Kasnic 4 th 11-11-04
5 Berlina-Syariah Ijarah I
85 A/Kasnic 5 th 15-12-04
6 Humpuss Intermoda-Syariah Ijarah I
125 A/Kasnic 5 th 17-12-04
7 Apexindo-Syariah Ijarah I
240 A-/Pef 5 th 8-4-05
8 Indosat-Syaria Ijarah II
285 AA+/Pef 6 th 21-6-05
9 Ricky Putra Globalindo-Syariah Ijarah I
60,4 BBB+/Kasnic
5 th 21-7-05
10 PLN-Syariah Ijarah I 200 A/Kasnic 10 th 21-6-05
11 Indosat-Sukuk Ijarah II
400 AA+/Pef 7 th 29-5-07
12 Berlian Laju Tangker-Sukuk Ijarah
200 AA-/Pef 5 th 5-7-07
13 PLN-Syariah Ijarah 300 A1/Moodys 10 th 10-7-07 (Sumber: Hanif, 2007:10)
C. Ketentuan Akuntansi Berkaitan Dengan Penerbitan Obligasi
1. Transaksi Surat Utang Konvensional
Berikut ini disajikan berbagai perlakuan akuntansi surat utang dari
sudut pandang penerbit surat utang (obligasi) yang bersumber dari buku
“Accounting Principles”, karangan Weygant, Kieso, Kimmel dalam
Arijanto (2002:56).
l
a. Pengukuran awal
Pada saat penerbitan obligasi diukur berdasarkan nilai
nominalnya. Dalam transaksi dipasar perdana obligasi dapat dijual
lebih tinggi, sama dengan atau lebih kecil dari nilai nominalnya. Hal
tersebut terkait dengan perbandingan tingkat kupon yang diberikan
oleh obligasi dan tingkat suku bunga pasar. Apabila kupon yang
diperjanjian oleh obligasi nilainya sama dengan tingkat suku bunga
pasar yang berlaku, maka pembeli obligasi membayarkan uang
sejumlah nilai nominal obligasi tersebut kepada penjual. Namun
apabila kupon obligasi tersebut lebih tinggi dari tingkat suku bunga
pasar yang berlaku, maka pembeli obligasi bersedia untuk
mengkompensasi kelebihan kupon tersebut dengan pembayaran
obligasi diatas nilai nominalnya. Kelebihan nilai pembayaran tersebut
(premium) akan diamortisasi penjual (penerbit obligasi) selama masa
umur obligasi. Demikian pula sebaliknya, maka penjual harus
mengakui diskon yang diamortisasi selama umur obligasi.
b. Biaya emisi
Biaya emisi dikeluarkan oleh penerbit obligasi dalam rangka
menerbitkan obligasi tersebut, sebagai contoh adalah biaya yang
dikeluarkan penerbit untuk Profesi Penunjang Pasar Modal. Menurut
Peraturan Bapepam No. VIII.G.7, biaya emisi efek hutang merupakan
biaya transaksi yang harus dikurangkan langsung dari hasil emisi
dalam rangka menentukan hasil emisi neto efek hutang tersebut.
li
Selisih antara hasil emisi neto dengan nilai nominal merupakan
diskonto yang harus diamortisasi selama jangka waktu efek hutang
tersebut.
c. Amortisasi premium atau diskon
Selama masa umur obligasi, perusahaan selaku issuer
melakukan amortisasi atas premium atau diskon dan biaya-biaya yang
timbul pada saat obligasi diterbitkan. Amortisasi dilakukan atas jumlah
neto huruf a (premium atau diskon berasal dari selisih antara nilai
transaksi obligasi dan nilai nominal obligasi) dan b (diskon berasal dari
jumlah nilai emisi) diatas. Amoritsasi tersebut dapat dilakukan dengan
metode tingkat suku bunga efektif maupun garis lurus.
d. Pencatatan beban kupon obligasi
Beban kupon obligasi dicatat secara akrual, yaitu beban kupon
(bunga) harus diakui pada suatu periode waktu tertentu sekalipun
kupon tersebut belum dibayarkan secara kas.
e. Pembayaran kupon obligasi
Tanggal pembayaran kupon obligasi merupakan tanggal
realisasi pembayaran kas dari kupon obligasi. Pada saat kupon obligasi
dibayarkan maka terjadi penghapusan hutang kupon obligasi yang
sebelumnya dicatat secara akrual.
lii
f. Pelunasan obligasi pada saat jatuh tempo
Pada saat obligasi jatuh tempo, perusahaan selaku penerbit
melunasi obligasi tersebut sebesar nilai nominalnya ditambah hutang
kupon.
g. Pelunasan obligasi sebelum saat jatuh tempo
Dalam suatu penerbitan obligasi, dimungkinkan bahwa
penerbit melunasi obligasi lebih awal dari jatuh tempo yang
diperjanjikan. Dalam transaksi ini dimungkinkan bahwa harga obligasi
dipasar lebih besar, sama dengan atau lebih kecil dari pada nilai
nominal. Apabila harga obligasi dipasar lebih besar dari pada nilai
nominalnya maka penerbit harus mengakui kerugian, demikian pula
sebaliknya.
2. Transaksi Obligasi Syariah (Sukuk) Ijarah
Penerbitan sukuk telah banyak dilaksanakan di luar negeri maupun
di dalam negeri. Namun demikian, belum terdapat standar akuntansi yang
mengatur secara khusus mengenai transaksi ini. Dalam bagian ini akan
dibahas perlakuan akuntansi mengenai Ijarah dari Accounting and
Auditing Organisation for Islamic Financial Intitution (AAOIFI) serta
perlakuan akuntansi mengenai sukuk dengan menggunakan dasar
akuntansi surat utang konvensional.
Perlakuan akuntansi dan pengungkapan transaksi ijarah diatur
dalam AAOIFI dalam FAS No. 8 tentang. Dalam ketentuan tersebut
perlakuan akuntansi dan pengungkapan transaksi ijarah tergantung dari
liii
posisi apakah suatu perusahaan bertindak sebagai lessor atau lessee dan
apakah transaksi ijarah yang dilakukan adalah operating ijarah atau
subleases.
a. Operating Ijarah
Obligasi syariah (sukuk) ijarah korporasi yang ada di indonesia
termasuk dalam kategori transaksi operating ijarah, hal ini dikarenakan
tidak terdapat perpindahan kepemilikan obyek ijarah dari lessor
kepada lessee.
1) Lessor
a) Aset yang diperoleh untuk ijarah
(1) Aset yang diperoleh untuk ijarah harus diakui sebesar
historical cost. Historical cost dari aset yang diperoleh
untuk ijarah termasuk harga pembelian neto ditambah
semua beban yang diperlukan agar aset siap digunakan,
seperti beban bea dan cukai, pajak, beban pengangkutan,
asuransi, instalasi, pengujian, dan sebagainya.
(2) Jika terdapat pengurangan material bersifat permanen atas
nilai residu (estimasian) aset ijarah dapat diantisipasi, maka
pengurangan tersebut harus diestimasi dan diakui sebagai
suatu kerugian dan dibebankan pada periode keuangan pada
saat pengurangan tersebut terjadi.
liv
(3) Aset ijarah harus didepresiasikan atas suatu dasar yang
konsisten dengan kebijakan depresiasi normal lessor untuk
aset sejenis.
(4) Aset ijarah harus disajikan dalam neraca lessor pada pos
investasi dalam aset ijarah.
b) Pendapatan Ijarah
Pendapatan ijarah harus dialokasikan secara
proporsional pada periode keuangan dalam masa ijarah. Biaya
langsung awal biaya langsung awal dibebankan oleh lessor
untuk menyusun perjanjian ijarah, apabila material, harus
dialokasikan untuk periode dalam masa ijarah dalam suatu pola
yang konsisten dengan yang digunakan untuk mengalokasikan
pendapatan ijarah. Jika biaya-biaya ini tidak material maka
biaya-biaya tersebut harus dibebankan secara langsung dalam
laporan laba rugi sebagai suatu beban pada periode keuangan
dimana perjanjian ijarah tersebut dibuat.
c) Pemeliharaan aset ijarah
(1) Pemeliharaan yang diperlukan untuk aset ijarah, jika tidak
material, harus diakui dalam periode keuangan pada saat
terjadinya.
(2) Jika pemeliharaan tersebut material dan jumlahnya berbeda
dari tahun ke tahun selama masa ijarah, untuk pemeliharaan
tersebut harus dibebankan secara reguler atas penghasilan.
lv
(3) Jika lessee melakukan pemeliharaan atas aset ijarah dengan
izin dari lessor dan biaya atas pemeliharaan tersebut
dibebankan kepada lessor, maka lessor harus mengakui
pemeliharaan tersebut sebagai suatu beban pada periode
keuangan pada saat timbulnya beban tersebut.
d) Pada akhir periode keuangan
(1) Amortisasi biaya langsung awal, jika material, harus diakui
sebagai suatu beban periode.
(2) Jika biaya untuk pemeliharaan telah terjadi, biaya perbaikan
dialokasikan pada periode terjadinya.
(3) Aset ijarah harus didepresiasi sesuai dengan kebijakan
depreseasi normal lessor untuk aset sejenis.
2) Lessee
a) Beban ijarah
Cicilan ijarah harus dialokasikan selama periode keuangan
dari masa ijarah dan harus diakui pada periode keuangan dimana
cicilan tersebut terjadi. Cicilan ijarah harus disajikan dalam
laporan laba rugi lessee sebagai beban ijarah.
b) Biaya langsung awal
Biaya langsung awal dibebankan oleh lessee untuk
menyusun perjanjian ijarah, jika material, harus dialokasikan pada
periode dalam masa ijarah dalam suatu pola yang konsisten
dengan yang digunakan untuk mengalokasikan beban ijarah. Jika
lvi
biaya-biaya tersebut tidak material, biaya-biaya tersebut harus
dibebankan langsung sebagai suatu beban pada periode keuangan
dimana perjanjian ijarah tersebut dibuat.
b. Sublease
Pada saat suatu perusahaan mengijarahkan asset ijarah kepada
perusahaan lain dimana asset tersebut merupakan asset yang diijarah
perusahaan dari pihak ketiga, perlakuan akuntansi terkait dengan
Perusahaan yang harus diterapkan adalah sebagai lessor dan lessee.
Perusahaan harus mengungkapkan dalam catatan atas laporan
keuangan mengenai kebijakan akuntansi yang diterapkan untuk
perlakuan akuntansi transaksi ijarah operating ijarah.
1) Persyaratan keterbukaan jika perusahaan bertindak sebagai lessor.
2) Perusahaan harus mengungkapkan dalam catatan atas laporan
keuangan jumlah asset ijarah untuk setiap kelompok asset utama
secara neto dari akumulasi depresiasi pada tanggal neraca.
3) Perusahaan harus mengungkapkan dalam catatan atas laporan
keuangan, dalam bentuk ringkasan, jumlah piutang cicilan ijarah.
Persyaratan keterbukaan jika perusahaan bertindak sebagai
lessee. Perusahaan harus mengungkapkan dalam catatan atas laporan
keuangan, dalam bentuk ringkasan, jumlah utang cicilan ijarah.
lvii
D. Perlakuan Perpajakan
1. Pengertian Dasar Pajak
Pengertian pajak menurut Prof. Dr. P. J.A. Andriani sebagai
berikut:
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peratuaran dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara menyelenggarakan pemerintahan (Mohamad Gode,1995 dalam Irwansyah Lubis Lubis, 2006:5).
Definisi pajak menurut Undang-undang No. 28 Tahun 2007
tentang perubahan ketiga Undang-undang ketentuan umum dan tata cara
perpajakan adalah:
“Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
a. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan ketentuan undang-undang
serta aturan pelaksanaannya.
b. Pajak merupakan kewajiban.
c. Pajak dapat dipaksakan.
d. Jasa timbal tidak dapat ditunjukan secara langsung.
e. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemeritah.
2. Sistem pemungutan pajak
Dalam pemungutan pajak dikenal beberapa sistem pemungutan
yaitu (Siti Resmi, 2005:10):
lviii
a. Official assesment system
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan
aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang
terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang
perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif dan kegiatan
menghitung serta memungut pajak sepenuhnya berada ditangan para
aparatur perpajakan. Dengan demikian berhasil tidaknya pelaksanaan
pemungutan pajak banyak bergantung pada aparatur perpajakan.
b. Self assessment system
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
wajib pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang
setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan
yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif dan kegiatan menghitung serta
pelaksanaan pemungutan pajak berada ditangan wajib pajak. Wajib
pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami
peraturan perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran
yang tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya pembayaran pajak.
Oleh karena itu, wajib pajak diberi kepercayaan untuk:
1) Menghitung sendiri pajak yang terutang.
2) Memperhitungkan sendiri pajak terutang.
3) Membayar sendiri jumlah pajak terutang.
4) Melaporkan sendiri jumlah pajak terutang.
5) Mempertanggung jawabkan pajak terutang.
lix
Dengan demikian berhasil tidaknya pelaksanaan pemungutan
pajak bayak tergantung pada wajib pajak sendiri.
c. With holding system
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh wajib pajak sesuai dengan ketentuan undang-
undang perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak ketiga ini bisa
dilakukan dengan undang-undang perpajakan, keputusan presiden dan
peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak, menyetorkan
dan mempertanggung jawabkan melalui sarana perpajakan yang
tersedia. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak
tergantung pada pihak ketiga yang ditunjuk.
3. Azas keadilan dalam Pajak Penghasilan (PPh)
Azas keadilan dalam pemungutan pajak penghasilan ada dua
yaitu:
a. Azas keadilan horizontal
Menurut Prof. R. Mansury, Ph.D dalam Irwansyah Lubis
(2006:130), pajak penghasilan yang diinginkan sesuai dengan azas
keadilan, maka perlu memegang teguh atau memenuhi syarat keadilan
horizontal, antara lain:
1) Pengertian penghasilan adalah semua tambahan kemampuan
ekonomis, yaitu semua tambahan kemampuan untuk dapat
lx
menguasai barang dan jasa, dimasukkan dalam pengertian objek
pajak atau pengertian penghasilan.
2) Globality: semua tambahan kemampuan itu merupakan ukuran dari
keseluruhan kemampuan membayar, oleh karena itu harus
dijumlahkan menjadi satu sebagai objek pajak.
3) Net Income: adalah jumlah neto setelah dikurangi semua biaya
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu.
4) Personal exemption: untuk wajib pajak orang pribadi semua
pengurang untuk memelihara diri wajib pajak harus diperkenankan
(PTKP).
5) Equal treatment for the equals: jumlah seluruh penghasilan yang
memenuhi pengertian penghasilan, apabila junlahnya sama,
dikenakan pajak dengan tarif sama, tanpa membedakan jenis-jenis
penghasilan atau sumber penghasilan.
b. Azas keadilan vertikal
Menurut Prof. R. Mansury, Ph.D dalam Irwansyah Lubis
(2006:131), pajak penghasilan yang diinginkan sesuai dengan azas
keadilan, maka perlu memegang teguh atau memenuhi syarat keadilan
vertikal, antara lain:
1) Unequal treatment for the unequal: yang membedakan besarnya
tarif adalah jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh
tambahan ekonomis, bukan karena perbedaan sumber penghasilan
atau perbedaan jenis penghasilan.
lxi
2) Progression: apabila jumlah penghasilan seorang wajib pajak lebih
besar, dia harus membayar pajak lebih besar dengan menetapkan
tarif pajak yang prosentasenya lebih besar.
4. Definisi penghasilan menurut perpajakan
Menurut UU PPh No. 17 tahun 2000 pasal 4 ayat 1, “Penghasilan
yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun”.
5. Penghasilan terkait dengan transaksi obligasi
Menurut UU PPh No. 17 tahun 2000 pasal 4 ayat 1, Penghasilan
yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun. Jadi dalam transaksi obligasi terdapat beberapa
penghasilan yang akan dikenakan pajak antara lain sebagai berikut:
a. Penghasilan berupa diskonto
Dalam UU PPh No. 17 tahun 2000 pasal 4 ayat 1 poin f:
“Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang”.
lxii
b. Penghasilan Bunga
Dalam UU PPh No. 17 tahun 2000 pasal 4 ayat 1 poin f:
“Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang”.
c. Keuntungan penjualan dan pengalihan harta
Dalam UU PPh No. 17 tahun 2000 pasal 4 ayat 1 poin d No.
1: “Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
termasuk: keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal”.
6. Dasar pengenaan pajak atas penghasilan terkait dengan obligasi
Dalam UU PPh No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan,
Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2002 tentang pajak penghasilan atas
bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan danatau dilaporkan
perdagangannya di bursa efek, mengatur pengenaan pajak apa saja atas
penghasilan obligasi dan KMK.121/KMK.03/2002 tentang tata cara
pelaksanaan pemotongan pajak penghasilan atas bunga dan diskonto
obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan perdagangannya di
bursa efek.
a. PPh final.
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak
berupa bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan atau
lxiii
dilaporkan perdagangannya di bursa efek dikenakan pemotongan pajak
penghasilan yang bersifat final, kecuali bagi wajib pajak tertentu.
Besarnya pajak penghasilan sebagaimana dimaksud adalah:
1). Atas bunga obligasi dengan kupon (interest bearing bond) sebesar:
a) 20% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
(BUT).
b) 20% atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak
penduduk/berkedudukan di luar negeri; dari jumlah bruto
bunga sesuai dengan masa kepemilikan (holding period)
obligasi.
2). Atas diskonto obligasi sebesar:
a) 20% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
(BUT).
b) 20% atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang berlaku, bagi wajib pajak
penduduk/berkedudukan di luar negeri; dari selisih lebih harga
jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak
termasuk bunga berjalan (accrued interest).
Menurut KMK.121/KMK.03/2002 pasal 3 ayat 1 mengatur
tentang pemotong Pajak Penghasilan (PPh) terkait dengan transaksi
obligasi antara lain sebagai berikut:
lxiv
a) Penerbit obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku
agen pembayaran, atas bunga yang diterima atau diperoleh
pemegang obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo
bunga/obligasi, dan atas diskonto yang diterima atau diperoleh
pemegang obligasi dengan kupon/obligasi tanpa bunga pada
saat jatuh tempo obligasi.
b) Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara
(dealer), atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau
diperoleh penjual obligasi pada saat transaksi.
c) Perusahaan Efek (broker), bank, dana pensiun, dan reksadana,
selaku pembeli obligasi langsung tanpa melalui pedagang
perantara, atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau
diperoleh penjual obligasi pada saat transaksi.
b. Pajak Pertambahan Nilai
Pajak pertambahan nilai merupakan pajak yang dipungut atas
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) di
dalam negeri. PPN merupakan pajak yang dikenakan terhadap
pertambahan nilai tambah yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor
produksi disetiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan,
menyalurkan dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan
jasa kepada para konsumen. Dasar hukum pengenaan PPN dan pajak
penjualan adalah undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1984
lxv
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000
tentang PPN dan PPN-BM.
Menurut undang-undang PPN pasal 1 ayat (3), bahwa BKP
adalah barang berwujud yang menurut suatu sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dikenakan
pajak berdasarkan undang-undang ini. Pada ayat (6) undang-undang
PPN menyatakan bahwa pengertian JKP adalah setiap kegiatan
pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang
menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dihasilkan utuk
menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan
dan atas petunjuk dari pemesan.
1) Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai.
a) Setiap PKP yang menyerahkan BKP atau JKP wajib membuat
faktur pajak untuk memungut pajak yang terutang yang
dinamakan pajak keluaran (output tax).
b) Pada saat PKP membeli BKP atau menerima JKP dari PKP
lain, juga membayar pajak yang terutang yang dinamakan pajak
masukan (input tax).
c) Pada akhir masa pajak, pajak masukan dikreditkan dengan
pajak keluaran. Dalam hal jumlah pajak keluaran lebih besar
daripada jumlah pajak masukan, maka kekurangannya dibayar
lxvi
ke kas negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya
(Untung Sukardji, 2004:27).
2) Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif PPN.
Pasal 1 angka 17 UU PPN 1984 merumuskan: “Dasar
pengenaan pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai
impor, nilai ekspor atau nilai lain yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung pajak yang terutang”.
a) Harga jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang
diminta oleh penjual karena BKP dan tidak termasuk PPN.
b) Penggantian merupakan nilai berupa uang termasuk semua
biaya yang diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP,
tidak termasuk pajak yang dipungut.
c) Nilai impor merupakan nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang
dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan pabean untuk impor barang kena pajak.
d) Nilai ekspor merupakan nilai berupa uang termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
e) Nilai lain adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan
sebagai dasar pengenaan pajak bagi penyerahan BKP atau JKP
yang memenuhi kriteria tertentu berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan RI. Nomor 567/KMK.04/2000.
lxvii
Berdasarkan pasal 4 UU No. 18 tahun 2000, PPN
dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di daerah pebean
yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak. Hal-hal yang termasuk
dalam pengertian penyerehan barang kena pajak adalah:
a) Penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian.
b) Pengalihan barang kena pajak oleh karena suatu perjanjian
sewa beli dan perjanjian leasing.
c) Penyerahan barang kena pajak kepada pedagang perantara atau
melalui juru lelang.
d) Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas barang
pajak.
e) Persediaan barang kena pajak dan aktiva menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada
saat pembubaran perusahaan, sepanjang pajak pertambahan
nilai atas perolehan aktiva terssebut menurut ketentuan dapat
dikreditkan.
f) Penyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabang atau
sebaliknya dan penyerahan barang kena pajak antar cabang.
g) Penyerahan barang karena konsinyasi.
Tarif PPN seperti diatur dalam pasal 7 UU PPN 1984
sebagai berikut (Untung Sukardji, 2004:29):
a) Tarif PPN adalah 10%.
b) Tarif PPN atas ekspor BKP adalah nol persen (0%).
lxviii
c) Dengan peraturan pemerintah, tarif sebagaimaana dimaksudkan
pada ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5%
dan setinggi-tingginya 15%.
3) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi sukuk ijarah.
Atas penyerahan BKP dari underlying asset sukuk ijarah
akan dikenakan PPN. Berdasarkan pasal 4 UU No. 18 tahun 2000,
PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di daerah
pebean yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak. Hal-hal yang
termasuk dalam pengertian penyerehan barang kena pajak adalah:
a) Penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian.
b) Pengalihan barang kena pajak oleh karena suatu perjanjian
sewa beli dan perjanjian leasing.
lxix
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
mengungkapkan suatu masalah, keadaan dan peristiwa yang sesungguhnya
terjadi atas transaksi obligasi syariah (sukuk) khususnya sukuk ijarah. Dalam
penelitian ini pembahasan akan dibatasi sebatas pada masalah obligasi syariah
ijarah serta implikasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2002
tentang pajak penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang
diperdagangkan di Bursa Efek, UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan dan UU No.18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai.
B. Metode Pengumpulan Sampel
1. Populasi
Populasi yang diamati untuk penelitian ini adalah perusahanaan
yang telah menerbitkan obligasi syariah (sukuk) Ijarah dan tercatat di
Bursa Efek Indonesia (BEI).
2. Sampel
Sampel yang diambil yaitu:
a. PT. Matahari Putra Prima Tbk.
b. PT. Sona Topas Tourism Industri Tbk.
c. PT. Berlina Tbk.
lxx
d. PT. Humpus Intermoda Transportasi Tbk.
e. PT. Apexindo Pratama Duta Tbk.
f. PT. Indosat Tbk.
g. PT. Ricky Putra Globalindo Tbk
h. PT. Berlian Laju Tanker Tbk.
C. Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulakan data-data dalam penulisan skripsi ini penulis
menggunakan dua metode yaitu:
1. Penelitian kepustakaaan (library reseach).
Penelitian kepustakaan adalah metode pengumpulan data yang
dilakukan untuk memperoleh data sekunder. Data sekunder merupakan
sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tdak langsung
melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak orang lain). Data
sekunder umumnya berupa bukti, catatan atu laporan historis yang telah
tersusun dalam arsip (data dokumen yang dipublikasikan dan data yang
tidak dipublikasikan) (Nur Indriantoro, 2004:147).
2. Penelitian lapangan (field reseach).
Penelitian lapangan (field reseach) adalah metode pengumpulan
data untuk memperoleh data primer maupun data sekunder. Data primer
diperoleh dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait
dengan topik pembahasan skripsi antara lain pegawai kantor Direktorat
Jendral Pajak bagian peraturan pajak 1 dan pegawai BAPEPAM-LK
lxxi
bagian pengembangan SAK syariah. Sedangkan data sekunder diperoleh
dari data-data yang berasal dari dokomen yang berkaitan dengan skripsi
ini.
D. Metode Analisis
Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, maka langkah
selanjutnya adalah menganalisis data berdasarkan metode deskriptif kualitatif.
Metode penelitian yang digunakan ini adalah deskriptif analisis yaitu
menguraikan pengertian dan konsep-konsep hakekat ekonomi serta perlakuan
pajak yang atas penghasilan yang diperoleh dari transaksi obligasi berdasarkan
pendapat para ahli investasi (khususnya obligasi syariah) dan para ahli
perpajakan.
E. Difinisi operasional variabel dan dimensi penelitian
Berdasarkan lingkup penelitian yang dikemukakan maka variabel
dalam skripsi ini adalah:
1. Obligasi syariah (sukuk)
Menurut Peraturan BAPEPAM No. IX. A.13 tentang penerbitan
efek syariah, sukuk adalah Efek syariah berupa sertifikat atau bukti
kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang
tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas:
a. Kepemilikan aset berwujud tertentu.
lxxii
b. Nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi
tertentu.
c. Kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tetentu.
Untuk memahami secara detailnya peraturan tersebut merujuk
kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Obligasi syariah
adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip
syariah yang dikeluarkan perusahaan (emiten) kepada pemegang
obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan
kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta
membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Obligasi syariah ijarah adalah obligasi syariah berdasarkan akad
ijarah. Akad ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan
jalan penggantian. Artinya, pemilik harta memberikan hak untuk
memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan sementara
atau peminjaman objek yang ditransaksikan melalui penguasaan sementara
atau peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar
imbalan kepada pemilik objek. Investor yang ingin mendapatkan
pendapatan yang lebih tetap mereka bisa memilih obligasi ijarah yang
memberi imbal hasil berupa sewa (fee ijarah) dengan tingkat return yang
tetap dan telah ditentukan sebelumnya. Jadi bukan lagi tergantung pada
penghasilan atau tingkat bagi hasil yang tidak tentu sebagaimana obligasi
mudharabah (Sofiniyah Gufron, 2005:14).
lxxiii
2. Penghasilan
Penghasilan didefinisikan dalam kerangka dasar penyusunan dan
penyajian laporan keuangan sebagai peningkatan manfaat ekonomi selama
suatu periode akuntansi tertentu dalam bentuk pemasukan atau
penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan
kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.
Penghasilan (income) meliputi baik pendapatan (revenue) maupun
keuntungan (gain). Pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari
aktivitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan yang berbeda
seperti penjualan, penghasilan jasa (fee), bunga, dividen, royalti dan sewa.
Tujuan pernyataan ini adalah untuk mengatur perlakuan akuntansi untuk
pendapatan yang timbul dari transaksi dan peristiwa ekonomi tertentu
(PSAK 23).
3. Peraturan perpajakan tentang pajak penghasilan
Pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan
peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak
perusahaan. Pajak penghasilan final adalah pajak penghasilan yang
bersifat final, yaitu bahwa setelah pelunasannya, kewajiban pajak telah
selesai dan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final tidak
digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang terkena pajak penghasilan
yang bersifat tidak final. Pajak jenis ini dapat dikenakan terhadap jenis
penghasilan, transaksi, atau usaha tertentu (PSAK 46:7).
lxxiv
4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak pertambahan nilai merupakan pajak yang dipungut atas
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) di
dalam negeri. PPN merupakan pajak yang dikenakan terhadap
pertambahan nilai tambah yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor
produksi disetiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan,
menyalurkan dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan
jasa kepada para konsumen. Dasar hukum pengenaan PPN dan pajak atas
penjualan adalah undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1984 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan
PPN-BM.
lxxv
BAB IV
PENEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Penerbitan Obligasi Syariah (Sukuk) yang Dilakukan di Indonesia
Perusahaan menerbitkan obligasi memiliki dua alasan. Pertama,
perusahaan membutuhkan dana yang cukup besar untuk pengembangan
usahanya. Kedua, perusahaan itu memiliki hutang yang telah jatuh tempo,
sehingga perlu mencari dana segar untuk membayarnya. Dalam kondisi
ekonomi seperti sekarang, penerbitan obligasi dari perusahaan bertujuan
tidak lain untuk melakukan refinancing hutang-hutangnya. Tentunya,
perusahaan itu akan bernafas lega saat mereka telah menerima dana segar.
Apabila perusahaan bermaksud menerbitkan sukuk melalui
penawaran umum, maka perusahaan tersebut wajib mengikuti ketentuan
BAPEPAM Nomor IX.A.1 tentang ketentuan umum pengajuan pernyataan
pendaftaran serta ketentuan tentang penawaran umum yang terkait lainya.
Menyampaikan kepada BAPEPAM–LK hasil pemeringkatan dan
perjanjian perwaliamanatan sukuk serta akad syariah yang terkait dengan
penerbitan sukuk. Menyampaikan kepada BAPEPAM-LK pernyataan
bahwa kegiatan usaha yang mendasari penerbitan sukuk tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah dan menjamin bahwa selama periode sukuk
kegiatan usaha yang mendasari penerbitan sukuk tidak akan bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah. Menyampaikan pernyataan dari wali
lxxvi
amanat sukuk bahwa wali amanat sukuk mempunyai penanggungjawab
atas pelaksanaan kegiatan perwaliamanatan yang mengerti kegiatan-
kegiatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal.
Mengungkapkan informasi dalam prospektus yang sekurang-kurangnya
meliputi:
a. Kegiatan usaha yang mendasari penerbitan sukuk tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah dan emiten menjamin bahwa selama
kegiatan usaha yang mendasari penerbitan sukuk tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah.
b. Wali amanat sukuk mempunyai penanggung jawab atas pelaksanaan
kegiatan perwaliamanatan yang mengerti kegiatan-kegiatan yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip di pasar modal.
c. Jenis akad syariah dan skema transaksi syariah yang digunakan dalam
penerbitan sukuk.
d. Ringkasan akad syariah atau perjanjian berdasarkan syariah yang
dilakukan oleh para pihak.
e. Sumber pendapatan yang menjadi dasar perhitungan pembayaran bagi
hasil, margin, atau fee.
f. Besaran nisbah pembayaran bagi hasil, margin atau fee.
g. Rencana jadwal dan tatacara pembagian dan atau pembayaran bagi
hasil, margin atau fee.
h. Kesanggupan emiten untuk mengungkapkan kepada masyarakat hasil
pemeringkatan sukuk setiap tahun sampai dengan berakhirnya sukuk.
lxxvii
Dalam hal terjadi perubahan jenis akad syariah, isi akad syariah,
kegiatan usaha dan atau aset tertentu yang mendasari penerbitan sukuk
sehingga bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal,
maka sukuk tersebut menjadi batal demi hukum (fasakh) dan emiten wajib
menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada pemegang sukuk. Emiten dan
wali amanat wajib melaksanakan seluruh ketentuan yang diatur dalam
perjanjian perwaliamanatan. Emiten wajib menggunakan dana hasil
penawaran umum sukuk untuk membiayai kegiatan dan investasi yang
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal.
Sukuk dapat diperdagangkan di pasar sekunder apabila telah
terpenuhi hal-hal sebagai berikut:
a. Seluruh dana hasil penawaran umum sukuk telah diterima oleh emiten.
b. Dana yang diterima sudah mulai digunakan sesuai dengan tujuan
penerbitan sukuk.
2. Regulasi Penerbitan Sukuk di Pasar Modal
Terdapat dua peraturan BAPEPAM-LK yang khusus terkait
dengan penerbitan sukuk. Pertama adalah Peraturan Nomor IX.A.13 yang
mengatur mengenai penerbitan sukuk. Hal-hal yang diatur dalam peraturan
ini meliputi: penawaran umum, kewajiban penyampaian dokumen kepada
BAPEPAM-LK, penyampaian pernyataan dari wali amanat,
pengungkapkan informasi dalam prospektus, perjanjian perwaliamanatan,
perubahan jenis/akad/kegiatan/aset yang mendasari penerbitan sukuk,
kewajiban Emiten dalam penggunaan dana hasil penawaran umum, dan
lxxviii
syarat-syarat perdagangan sukuk di pasar sekunder. Kedua, terkait dengan
jenis transaksi yang menjadi underlying transaction, Bapepam dan LK
memberikan pedoman melalui Peraturan Nomor IX.A.14.
B. Analisis Deskriptif Kualitatif
Pada bab ini akan diawali pembahasan perbandingan akad antara
obligasi konvensional dengan sukuk ijarah, kemudian juga akan dilakukan
perbandingan atas perlakuan akuntasi dan perpajakan antara obligasi
konvensional dengan sukuk ijarah. Pembahasan akan dilakukan dengan
dengan membandingkan antara praktek yang dilakukan perusahaan penerbit
sukuk dengan teori yang disajikan pada bab sebelumnya dan selanjutnya akan
dilakukan analisis. Terkait dengan penerbitan instrumen sukuk, perlakuan
akuntansi untuk obligasi konvensional dapat digunakan sebagai acuan, namun
harus disesuaikan dengan prinsip dan ketentuan akuntansi syariah, agar dapat
disusun perlakuan akuntansi bagi sukuk. Berikut ini disajikan perlakuan
akuntansi untuk obligasi dengan menguji apakah hal tersebut telah sesuai
dengan prinsip dan ketentuan akuntansi syariah.
Pembahasan akan dibagi dalam sub bab sebagai berikut:
1. Perbandingan antara akad/kontrak obligasi konvensional dengan obligasi
syariah (sukuk) ijarah.
2. Perbandingan perlaku akuntansi obligasi konvensional dengan obligasi
syariah (sukuk) ijarah.
3. Analisis perlakuan perpajakan atas transaksi sukuk ijarah.
lxxix
1. Perbandingan antara akad/kontrak obligasi konvensional dengan obligasi
syariah (sukuk) ijarah.
a. Sukuk merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak
manfaat dari suatu aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk,
sedangkan obligasi merupakan instrumen utang. Penerbitan sukuk
memerlukan adanya underlying transaction atau underlying asset
sebagai dasar penerbitan sedangkan obligasi tidak memerlukan.
Underlying asset adalah aset yang dijadikan sebagai objek atau dasar
transaksi dalam kaitannya dengan penerbitan sukuk. Aset yang dapat
dijadikan sebagai underlying dapat berupa tanah, bangunan, berbagai
jenis proyek pembangunan, dan aset non fisik lainya. Underlying aset
merupakan salah satu aspek utama yang menjadi pembeda antara
penerbitan surat utang dengan sukuk. Tanpa adanya underlying aset,
surat berharga yang diterbitkan akan memiliki sifat sebagai instrumen
utang, dimana tidak terdapat transaksi yang mendasari penerbitan
sukuk (underlying transaction).
b. Penghasilan yang diberikan sukuk bukan berupa bunga melainkan
berupa imbalan atau sewa, bagi hasil atau margin, sedangkan
penghasilan obligasi berupa bunga yang merupakan harga dari uang.
c. Sukuk merupakan instrumen penyertaan sementara obligasi adalah
instrumen utang.
lxxx
d. Penerbitan sukuk memerlukan adanya akad dan dokumen syariah,
sedangkan penerbitan obligasi hanya memerlukan dokumen pasar
modal.
e. Penggunaan dana hasil penjualan sukuk tidak dapat bertentangan
dengan prinsip syariah. Sementara, obligasi dapat digunakan secara
bebas tanpa memperhatikan ketentuan syariah.
Tabel 4.1
Perbandingan Akad/Kontrak Antara Obligasi Konvensional Dengan Obligasi
Syariah (Sukuk) Ijarah
Deskripsi Obligasi
Konvensional
Obligasi Syariah (sukuk)
Ijarah
Sifat Instrumen Pengakuan utang Sertifikat kepemilikan/penyertaan atas aset
Penghasilan bagi investor
Bunga Imbalan sewa
Dokumen yang diperlukan
- Dokumen pasar modal
- Dokumen pasar modal - Dokumen syariah
Underlying asset Tidak perlu Perlu Penggunaan hasil penjualan (proses)
Bebas Harus sesuai syariah
(Sumber: Data diolah)
2. Perbandingan perlaku akuntansi obligasi konvensional dengan obligasi
syariah (sukuk) ijarah.
Kendatipun penerbitan sukuk telah banyak dilaksanakan di luar
negeri maupun di dalam negeri. Namun demikian belum terdapat standar
akuntansi yang mengatur secara khusus mengenai transaksi ini. Dalam
bagian ini akan dibahas perlakuan akuntansi mengenai sukuk ijarah menurut
hasil penelitian yang teleh dilakukan oleh Bapepam-LK dari AAOIFI serta
perlakuan akuntansi mengenai sukuk di Indonesia.
lxxxi
a. Pengukuran awal
Dalam praktek akuntansi yang lazim diterima, untuk mencatat
obligasi dengan terdapat istilah held-to-maturity atau available-for-sale.
Apabila sekuritas diperoleh dengan harga yang lebih tingi adalah held-
to-maturity sedangkan apabila nilai obligasi lebih rendah daripada nilai
jatuh temponya adalah available-for-sale, maka diperlukan amortisasi
periodik atas premium atau akumulasi diskonto dengan penyesuaian
yang tepat terhadap pendapatan bunga (Smith dalam Arijanto, 2002:56).
Pada saat penerbitan obligasi konvensional diukur berdasarkan
nilai nominalnya. Dalam transaksi dipasar perdana obligasi dapat dijual
lebih tinggi, sama dengan atau lebih kecil dari nilai nominalnya. Hal
tersebut terkait dengan perbandingan tingkat kupon yang diberikan oleh
obligasi dan tingkat suku bunga pasar. Apabila kupon yang diperjanjian
oleh obligasi nilainya sama dengan tingkat suku bunga pasar yang
berlaku, maka pembeli obligasi membayarkan uang sejumlah nilai
nominal obligasi tersebut kepada penjual. Namun apabila kupon obligasi
tersebut lebih tinggi dari tingkat suku bunga pasar yang berlaku, maka
pembeli obligasi bersedia untuk mengkompensasi kelebihan kupon
tersebut dengan pembayaran obligasi diatas nilai nominalnya. Kelebihan
nilai pembayaran tersebut (premium) akan diamortisasi penjual (penerbit
obligasi) selama masa umur obligasi. Demikian pula sebaliknya, maka
penjual harus mengakui diskon yang diamortisasi selama umur obligasi.
lxxxii
Berbeda dengan penerbitan obligasi konvensional, pada
penerbitan sukuk, emiten menjual sukuk tersebut kepada investor harus
dengan nilai nominal. Hal ini dikarenakan penjualan yang berbeda
dengan nilai nominal, baik di atas maupun di bawah nilai nominal
merupakan suatu transaksi yang dapat menimbulkan kemungkinan
terjadinya Riba dan kezaliman serta maysir. Sehingga dalam sukuk tidak
diperbolehkan penjualan perdana sukuk berbeda dengan nilai nominal.
b. Biaya emisi
Biaya emisi dikeluarkan oleh penerbit obligasi konvensional
dalam rangka menerbitkan obligasi tersebut, sebagai contoh adalah biaya
yang dikeluarkan penerbit untuk profesi penunjang pasar modal.
Menurut peraturan BAPEPAM-LK No. VIII.G.7, biaya emisi efek
hutang merupakan biaya transaksi yang harus dikurangkan langsung dari
hasil emisi dalam rangka menentukan hasil emisi neto efek hutang
tersebut. Selisih antara hasil emisi neto dengan nilai nominal merupakan
diskonto yang harus diamortisasi selama jangka waktu efek hutang
tersebut.
Sama halnya dengan obligasi konvensional, biaya emisi sukuk
merupakan biaya transaksi yang harus dikurangkan langsung dari hasil
emisi (proceed) dalam rangka menentukan hasil emisi neto sukuk
tersebut. Selisih antara hasil emisi neto dengan nilai nominal merupakan
diskonto yang harus diamortisasi selama jangka waktu sukuk tersebut.
lxxxiii
c. Pencatatan beban bunga kupon obligasi
Dalam akuntansi obligasi konvensional, beban kupon obligasi
dicatat secara akrual. Kupon merupakan tambahan jumlah piutang yang
dipersyaratkan oleh investor kepada penerbit obligasi. Total kupon yang
diperoleh investor besarnya berbanding lurus dengan tingkat bunga
kupon dan jangka waktu obligasi tersebut. Distribusi kupon dapat
dilakukan secara periodik maupun lumpsum pada akhir masa obligasi
(zero coupon bond). Bunga kupon obligasi merupakan kupon yang
mengandung unsur Riba sehingga dilarang dalam syariah. Kupon yang
dikenal dalam sukuk dapat berupa fee, bagi hasil dan margin.
Penghitungan untuk transaksi pemberian jasa atau imbalan
bersifat pasti karena telah ditentukan diawal perjanjian, salah satu contoh
transaksi ini adalah ijarah. Oleh karena itu, beban ijarah telah ditetapkan
sebelumnya, maka imbalan sukuk dicatat secara akrual atau sama dengan
obligasi konvensional.
d. Pembayaran kupon obligasi
Dalam akuntasi konvensional, tanggal pembayaran kupon
obligasi merupakan tanggal realisasi pembayaran kas dari kupon
obligasi. Pada saat kupon obligasi dibayarkan maka terjadi penghapusan
hutang kupon obligasi yang sebelumnya dicatat secara akrual.
Untuk sukuk ijarah perlakuan akuntansi pembayaran imbalan
sama dengan perlakuan akuntansi pembayaran kupon obligasi
konvensional. Tanggal pembayaran imbalan sukuk merupakan tanggal
lxxxiv
realisasi pembayaran kas dari imbalan sukuk tersebut. Pada saat imbalan
sukuk dibayarkan maka terjadi penghapusan hutang imbalan sukuk.
e. Amortisasi premium atau diskon
Selama masa umur obligasi konvensional, perusahaan selaku
penerbit melakukan amortisasi atas premium atau diskon dan biaya-
biaya yang timbul pada saat obligasi diterbitkan. Amortisasi dilakukan
atas jumlah neto (premium atau diskon berasal dari selisih antara nilai
transaksi obligasi dan nilai nominal obligasi) dan diskon berasal dari
jumlah nilai emisi. Amoritsasi tersebut dapat dilakukan dengan metode
tingkat suku bunga efektif maupun garis lurus.
Amortisasi yang dilakukan untuk sukuk adalah amortisasi atas
diskonto yang berasal dari biaya emisi. Amortisasi dilakukan selama
umur sukuk dengan menggunakan metode garis lurus.
f. Pelunasan obligasi pada saat jatuh tempo
Pada akuntansi obligasi konvensional, saat jatuh tempo, penerbit
melunasi obligasi sebesar nilai nominalnya ditambah hutang bunga
obligasi. Untuk sukuk ijarah, perlakuan akuntansi pelunasannya sama
dengan akuntansi obligasi konvensional, yaitu penerbit sukuk melunasi
sebesar nilai nominal sukuk ditambah sisa imbalan yang terutang.
g. Pelunasan obligasi sebelum saat jatuh tempo.
Dalam suatu penerbitan obligasi konvensional, dimungkinkan
bahwa penerbit melunasi obligasi lebih awal dari jatuh tempo yang
diperjanjikan. Dalam transaksi ini dimungkinkan bahwa harga obligasi
lxxxv
dipasar lebih besar, sama dengan atau lebih kecil dari pada nilai nominal.
Apabila harga obligasi dipasar lebih besar dari pada nilai nominalnya
maka penerbit harus mengakui kerugian, demikian pula sebaliknya.
Untuk akuntansi sukuk, terdapat kemungkinan bahwa harga
pelunasan sukuk sebelum jatuh tempo lebih besar, sama dengan atau
lebih kecil dari pada nilai nominal. Harga pelunasan tersebut mengacu
pada harga sukuk di pasar sekunder. Harga yang terjadi di pasar sekunder
merupakan cerminan persepsi pasar atas hasil investasi atau imbalan
yang diperoleh dari kegiatan underlying transaction sukuk. Dengan
demikian, tidak terdapat perbedaan antara harga pelunasan obligasi
dengan harga pelunasan sukuk apabila dilakukan sebelum jatuh tempo.
Oleh karena itu, perlakuan akuntansi untuk pelunasan sukuk ijarah sama
dengan akuntansi obligasi konvensional.
Pembukuan laporan keuangan atas transaksi sukuk yang ada di
Indonesia menurut penelitian yang dilakukan, tidak terdapat
keseragaman diantara perusahaan penerbit sukuk, antara lain sebagai
berikut:
1) Pengungkapan dalam neraca, seluruh emiten menyajikan penerbitan
sukuk ijarah ke dalam akun hutang obligasi.
2) Pengungkapan dalam laporan laba rugi dan laporan arus kas.
Untuk pengakuan beban pembayaran imbalan sukuk kepada
pemegang sukuk dalam laporan laba rugi, satu emiten mengakui
beban pembayaran imbalan sukuk sebagai beban pendanaan, tiga
lxxxvi
emiten mengakui sebagai beban bunga dan keuangan, dan empat
emiten mengakui sebagai cicilan fee ijarah.
Beban pembayaran imbalan sukuk ijarah oleh empat emiten
disajikan dalam laporan arus kas dalam kelompok arus kas dari
kegiatan operasi dengan nama akun yang berbeda dan empat emiten
menyajikannya dalam kelompok arus kas dari kegiatan pendanaan.
Tabel 4.2
Perbandingan Perlakuan Akuntansi Antara Obligasi Konvensional
Dengan Obligasi Syariah (Sukuk) Ijarah
Deskripsi Obligasi Konvensional Obligasi Syariah
(sukuk) Ijarah
Pengukuran Awal Berdasarkan nilai nominal sera mengakui adanya premium dan diskonto
Berdasarkan nilai nominal
Biaya Emisi Diakui sebagai diskonto Diakui sebagai diskonto
Pencatatan Kupon
Obligasi
Akural Akural
Pembayaran Kupon
Obligasi
Realisasi dari biaya yang telah dicatat secara akrual
Realisasi dari biaya yang telah dicatat secara akrual
Amortisasi Garis lurus Garis lurus
Pelunasan Obligasi
Saat Jatuh Tempo
Sesuai dengan nilai nominal
Sesuai dengan nilai nominal
Pelunasan Obligasi
Sebelum Jatuh
Tempo
Harga Pasar Harga Pasar
(Sumber: Data diolah)
Dari hasil penelitian tersebut penulis menyimpulkan bahwa praktik
akuntansi emiten yang saat ini sudah menerbitkan sukuk masih mengikuti
perlakuan akuntansi obligasi konvensional, dimana sukuk dicatat sebagai
hutang obligasi dan pembayaran bagi hasil atau imbalan sukuk ada sebagian
lxxxvii
emiten yang mengakuinya sebagai beban bunga tetepi sebagian
mangakuinya sebagai cicilan sewa. Jadi, masih terdapat banyak perbedaan
antara pengungkapan sukuk dalam laporan keuangan emiten yang telah
menerbitkan sukuk dengan teori yang ada.
Berikut ini akan diilustrasikan penulis mengenai penjurnalan atas
transaksi sukuk ijarah:
a. Jurnal penerbitan sukuk ijarah yang dijual sesuai dengan nilai nominal,
ditambah biaya emisi yang diakui sebagai diskonto dari nilai sukuk.
Penjurnalannya seperti untuk obligasi konvensional tanpa bunga, yang
diterbitkan dengan diskon.
Contoh: Tanggal 1 Januari diterbitkan sukuk ijarah dengan nilai nominal
$ 100.000, jangka waktu 5 tahun, dan untuk biaya emisi sebesar $
10.000. Fee ijarah sebesar $ 5.000 pertahun yang dibayarkan per 1
Januari dan 1 Juli.
Untuk penerbit: Untuk investor:
Kas 90.000 Sekuritas Sukuk
100.000
Diskonto 10.000 Kas
100.000
Hutang Obligasi 100.000
Diskonto diamortisasi sebagai biaya emisi selama masa sukuk ijarah
dengan menggunakan metode garis lurus. Amortisasi diskonto dapat
dilakukan setahun sekali.
lxxxviii
b. Pembayaran fee ijarah tanggal 1 Juli:
Untuk penerbit: Untuk investor:
Cicilan Fee Ijarah 2.500 Kas 2.500
Kas 2.500 Pendapatan Ijarah 2.500
c. Amortisasi diskonto atas biaya emisi tanggal 31 Desember:
Untuk Penerbit: Untuk Investor:
Cicilan Fee Ijarah 2.500 Piutang Ijarah 2.500
Biaya Emisi 2.000 Pendapatan Ijarah
3.500
Hutang Fee Ijarah 2.500
Diskonto 2.000
d. Saat jatuh tempo sukuk ijarah.
Tidak ada keuntungan atau kerugian atas penebusan obligasi karena
nilai terbawa (carrying value) sama dengan nilai jatuh tempo yang juga
sama dengan nilai obligasi tersebut pada saat ini.
Untuk Penerbit Untuk Investor
Hutang obligasi 100.000 Kas 102.500
Fee Ijarah 2.500 Piutang Ijarah 2.500
Kas 102.500 Sekuritas Obligasi
100.000
3. Analisis perlakuan perpajakan atas transaksi sukuk ijarah.
lxxxix
Berkaitan dengan transaksi sukuk ijarah, peraturan perpajakan
tentang sukuk ijarah masih mengacu pada UU PPh No. 17 tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan, Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2002 tentang
pajak penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan
dan atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek. mengatur pengenaan
pajak apa saja atas penghasilan obligasi dan KMK.121/KMK.03/2002
tentang tata cara pelaksanaan pemotongan pajak penghasilan atas bunga dan
diskonto obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan perdagangannya
di bursa efek.
a. PPh final
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak
berupa bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan atau
dilaporkan perdagangannya di bursa efek dikenakan pemotongan pajak
penghasilan yang bersifat final, kecuali bagi wajib pajak tertentu”.
Besarnya pajak penghasilan sebagaimana dimaksud adalah:
1) Atas fee dari sukuk ijarah sebesar:
(a) 20% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
(BUT).
(b) 20% atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak
penduduk/berkedudukan di luar negeri; dari jumlah bruto bunga
sesuai dengan masa kepemilikan (holding period) obligasi.
2) Atas diskonto sukuk ijarah sebesar:
xc
(a) 20% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
(BUT).
(b) 20% atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang berlaku, bagi wajib pajak
penduduk/berkedudukan di luar negeri, dari selisih lebih harga
jual atau nilai nominal di atas harga perolehan sukuk, tidak
termasuk bunga berjalan (accrued interest).
3) Terkait dengan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) sukuk ijarah
ini KASEI selaku badan kustodian yang ditunjuk selaku agen
pembayaran, atas cicilan fee ijarah yang diterima atau diperoleh
pemegang sukuk ijarah, telah sesuai dengan
KMK.121/KMK.03/2002 pasal 3 ayat 1 mengatur tentang pemotong
Pajak Penghasilan (PPh) terkait dengan transaksi obligasi.
b. Problem dan solusi PPN dalam transaksi sukuk ijarah.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat
sejumlah perbedaan antara sukuk ijarah dan obligasi konvensional.
Kedua instrumen keuangan tersebut memang sama-sama merupakan
sarana emiten untuk mendapatkan dana segar demi kelangsungan
usahanya. Tetapi instrumen tersebut memiliki perbedaan yang mendasar,
obligasi yang merupakan bagian dari ekonomi konvensional dimana
bunga merupakan unsur terpentingnya, sementara sukuk berlandaskan
ekonomi syariah yang dikembangkan dengan menggunakan akad jual
beli dan sewa (ijarah). Oleh karena itu, dalam ekonomi syariah tidak
xci
dikenal istilah hutang yang berkonotasi bunga tetapi menggunakan
pembiayaan yang berorientasi pada penyaluran dana di sektor riil.
Penggunaan transaksi jual beli dan sewa menyewa dalam
penyaluran dana tersebut pada giliranya membawa dampak kurang
kompetitifnya sukuk dibandingkan obligasi, ini karena obligasi
merupakan jenis barang yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) undang-undang PPN
antara lain sebagai berikut:
1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya.
2) Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak.
3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah
makan, warung, dan sejenisnya.
4) Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga
Sementara pembiayaan sukuk khususnya sukuk ijarah yang
menggunakan akad sewa menyewa yang merupakan penyerahan Jasa
Kena Pajak (JKP) secara hukum dikenakan pajak pertambahan nilai
seperti yang tertuang dalam pasal 4 ayat (1) sebagai berikut:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
1) Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha.
2) Impor Barang Kena Pajak.
xcii
3) Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha.
4) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean.
5) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.
6) Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Dari pernyataan diatas maka dapat diilustrasikan oleh penulis
sebagai berikut:
Gambar 4.1 Perbandingan antara skema sukuk ijarah dengan obligasi
xciii
(Sumber: Data diolah)
Dari skema skema diatas, sukuk ijarah dikenai pajak ganda (double
taxation) dari jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Berdasarkan peraturan
yang ada, Direktorat Jenderal Pajak harus mengenakan pajak terhadap
sukuk ijarah sebanyak dua kali. Pertama, saat perusahaan menerbitkan
sukuk ijarah. Pungutan pajak yang kedua, adalah sewaktu sukuk ijarah
jatuh tempo atau saat investor mengembalikan sukuk kepada penerbit. Atas
pengenaan pajak tersebut baik dipihak emiten maupun investor dapat
menjadikannya sebagai pengurang dalam untuk PPN terutang, tetapi tetap
saja dengan dikenakan PPN, berarti mereka diharuskan mengeluarkan
sejumlah biaya tambahan untuk PPN, tidak seperti obligasi yang
xciv
dibebaskan dari PPN. Hal inilah yang akan menyebabkan investor
mendapat yield (tingkat pengembalian) yang lebih rendah.
Sukuk ijarah sekilas memang memilki kesamaan dengan obligasi
konvensional, dimana investor menyerahkan sejumlah uang yang dapat
digunakan oleh penerbit obligasi. Hanya saja dalam sukuk terdapat
underlying asset yaitu aset yang dijadikan objek atau dasar transaksi
dalam kaitanya dengan penerbitan sukuk. Tanpa adanya underlying aset,
surat berharga yang diterbitkan akan memiliki sifat sebagai instrumen
utang. Jadi investor tidak meminjamkan uang kepada penerbit tetapi sukuk
ini merupakan wujud investasi yang dilakukan oleh investor kepada
perusahaan penerbit.
Secara konsepnya sukuk merupakan surat berharga yang
merupakan jenis barang yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai
hanya saja untuk memenuhi unsur syariah dimana harus ada underlying
transaction yaitu terdapat aset yang dijadikan dasar untuk sewa-menyewa
maka sukuk ijarah dikenai pajak pertambahan nilai. Melihat tidak adanya
kepastian hukum untuk sukuk ijarah, dimana satu sisi menurut pasal 4 ayat
(2) UU No.18 tahun 2000 tentang perubahan kedua Pajak Pertambahan
Nilai sukuk merupakan surat berharga yang tidak dikenakan pajak, tetapi
disatu sisi sukuk dikenakan pajak pertambahan nilai menurut pasal 4 ayat
(1) C dalam undang-undang yang sama.
Sukuk masih menghadapi kendala pajak ganda (double taxation).
Oleh karena itu hendaknya pemerintah memberikan keputusan yang bijak
xcv
untuk mengatasi masalah ini. Dan diperlukannya koordinasi yang baik
antara lembaga-lembaga terkait untuk segera melengkapi kebijakan
terhadap instrumen-instrumen keuangan baik dibidang akuntansi maupun
dari Dirjen Pajak akan mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah
tersebut.
xcvi
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab
sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Di Indonesia belum terdapat peraturan atau standar akuntansi yang secara
spesifik mengatur perlakuan akuntansi penerbitan sukuk ijarah. Praktik
akuntansi emiten yang saat ini sudah menerbitkan sukuk masih mengikuti
perlakuan akuntansi obligasi konvensional, dimana sukuk dicatat sebagai
hutang obligasi dan pembayaran bagi hasil atau imbalan sukuk diakui
sebagai pembayaran beban bunga. Jadi, masih terdapat banyak perbedaan
antara pengungkapan sukuk dalam laporan keuangan emiten yang telah
menerbitkan sukuk dengan teori yang ada.
2. PPh final Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak
berupa cicilan fee ijarah dari obligasi syariah (sukuk) ijarah yang
diperdagangkan di Bursa efek telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah
No.6 tahun 2002. Sukuk ijarah masih menghadapi kendala pajak ganda
(double taxation) dalam hal ini jenis pajak Pajak Pertambahan Nilai
(PPN). Pertama, saat perusahaan menerbitkan sukuk ijarah. Pungutan
pajak yang kedua, adalah sewaktu sukuk ijarah jatuh tempo. Ini adalah
saat investor mengembalikan sukuk kepada penerbit.
xcvii
B. Implikasi
Dari pembahasan dan kesimpulan yang telah disampaikan pada bagian
sebelumnya, maka dapat disampaikan beberapa implikasi sebagai berikut:
1. Untuk memberikan pedoman terkait perlakuan akuntansi penerbitan sukuk,
perlu disusun suatu peraturan yang secara spesifik mengatur tentang
perlakuan akuntansi penerbitan sukuk untuk emiten.
2. Bagi Direktorat Pajak sudah sewajarnya harus segera mengambil langkah
untuk menyelesaikan masalah ini, mengingat sukuk merupakan instrumen
keuangan yang sedang diminati bisa dilihat dengan over-subcribednya
disetiap penerbitan sukuk oleh setiap emiten.
xcviii
DAFTAR PUSTAKA Achsien, Iggi H. “Mengenal Obligasi Syariah”,. Harian KOMPAS, 2003. Agustianto. “Pasar Modal Syariah”, artikel diakses tangal 10 Maret 2007, dari
http:////.www.PesantrenVirtual.pasar.modal.syariah Anogara, Pandji. "Pengantar Pasar Modal Cetakan ke-5", Rineka Cipta, Jakarta,
2006. Anonim. “Tanya Jawab Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara)
Instrumen Keuangan Berbasis Syariah”, Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah, 2007.
Anonim. “Karakteristik dan Proses Transaksi Obligasi”, Sinar Harapan, 2003. Anonim.“Obligasi Alternatif Investasi Jangka Panjang”, artikel diakses tangal 26
Agustus 2008, dari http://www.pembelajar.com//ISOL//2007 Anonim. “Pengertian Obligasi” artikel diakses tangal 26 Agustus 2008, dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Obligasi Anonim. “Sukuk akan Dikenakan Pajak”. artikel diakses tangal 10 Maret 2007,
dari http://konsultasi-sukuk.blogspot.com/2007/12/sukuk-akan-dikenakan-pajak.html
Arijanto, Rachamat “Kebijakan Perpajakan Atas Penghasilan yang Diterima Atau
Diperoleh Dari Transaksi Obligasi”, UI, Jakarta, 2002. BAPEPEM-LK, “Himpunan Ketentuan pasar Modal Syariah Badab Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga keuangan”, BAPEPEM-LK, Jakarta, 2006 Budi, Aziz Azis Budi Setiawan.”Obligasi (Suukok) Syariah: Alternatif Pendanaan
Korporasi” (Peneliti di The Indonesia Economic Intelligence), 2004 Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002 Tentang Obligasi
Syari’ah Fatwa Dewan Syari'ah Nasional no. 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi
Syariah Ijarah. Sofiniyah Gufron, Muhamad Aziz, Muhamad Firdaus, Mukhtar Alshodiq.
“Briefcase Book Edukasi professional Syariah: konsep dasar obligasi
syariah”, Renaisan, Jakarta, 2005.
xcix
Hamid, Abdul. ”Pedoman Penulisan Skripsi”, FEIS UIN Syarif Haidayatullah, Jakarta, 2007.
Hanif, Muhammad.”Obligasi Syariah dan Iklim Investasi dalam Seminar
Indonesia Sharia Expo 2007)”, Danareksa, Jakarta, 2007. Hasanuddin Aco. “Laporan Wartawan Persda Network” artikel diakses tangal 26
Agustus 2008, dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/26/-14553496/peminat.sukuk.melonjak
Herawati, Reni. ” Sukuk Tak Kena Pajak Ganda”, artikel diakses tangal 10 Juli
2008, dari http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2008/07/10/37797/sukuk-tak-kena-pajak-ganda/
Huda, Nurul. “Investasi Pada Pasar Modal Syariah”, Kencana Prenada, Jakarta,
2007. Indriantoro, Nur. “Metodelogi penelitian bisnis”, BPIE, Yogjakarta. 2004 Iswahjudi A.Karim, Mirza A. Karim. “Obligasi Syariah: Suatu Tinjauan Hukum”,
Jurnal Hukum dan Pasar Modal Volume II/Edisi 3 April-Juli, Himpunan Konsuktan Hukum Pasar Modal (HKPM), 2006.
Kagramanto, L. Budi. “Penggunaan Obligasi Sebagai Wahana Investasi dan
Pendanaan Pasar Modal”, Fakultas hukum Universitas Airlangga, 2000. KMK No.121/KMK.03/2002 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemotongan Pajak
Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi Yang Diperdagangkan dan atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek.
Karim, Adiwarman. “Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi Kedua”.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Lubis, Irwansyah. Hukum Pajak Indonesia Suatu Pengantar, Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (YP2SDM), Jakarta, 2006.
Muchtasib, Ach. Bakhrul. “Sekuritas Syariah”, artikel diakses tangal 10 Maret
2007, dari http://www.msi-uii.net/.sekuritas.syariah P. Pontjowinoto, Iwan. "Prinsip Syariah di Pasar Modal, Pandangan Praktisi",
Modal Publication, Jakarta, 2003. Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2002, Tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga
dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek. Mengatur Pengenaan Pajak Apa Saja Atas Penghasilan Obligasi
c
Resmi, Siti. “Perpajakan: Teori dan kasus”, Salemba Empat, Jakarta, 2005. Sukardji, Untung. Pokok-pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Tim DSAK IAI. “Studi Standar Akuntansi Syariah Di Pasar Modal”, Bapepam-
LK, Jakarta, 2007. Undang-undang No. 17 tahun 2000 Tentang Perubahan ketiga atas Undang-
Undang No. 7 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Yusuf, Chandra. "Obligasi & Keabsahan Audit Dokumen". Bisnis-Indonesia, 14
Juni 2006.
ci
IDENTITAS PRIBADI
Nama : Sri Utaminingsih
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta/31 Desember 1985
Agama : Islam
Tempat tinggal : Jl. WR. Supratman Gg. Bacang No.95 Rt
03/09 Cempaka Putih, Ciputat timur
Telepon : 08567 939 001
Email : [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : 2004 – 2008
SMUN 2 Ciputat : 2001 – 2004
SLTP Al- Islam - Semarang : 1998 - 2001
MI Al- Islam-Semarang : 1992 – 1998
PENGALAMAN ORGANISASI
HMI UIN Syarif Hidayatullah : 2004– 2005
Humas ROHIS SMUN 2 Ciputat : 2002 – 2003
Wakil Ketua OSIS SLTP Al-Islam : 1999 - 2000
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
cii
Top Related