Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung
Sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami
Di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam
Oleh:
Cut Sri Handayani
A34203001
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
CUT SRI HANDAYANI. Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung Sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam. Dibimbing oleh Siti Nurisyah. Perencanaan kawasan Areal Kapal PLTD Apung sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan untuk melestarikan salah satu objek peninggalan tsunami, yaitu kapal PLTD Apung dan nilai sejarah yang terkandung didalamnya akibat peristiwa bencana tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004. Pelestarian yang dilakukan yaitu dengan merencanakan suatu kawasan yang dapat mengingatkan setiap orang akan peristiwa tsunami tersebut.
Perencanaan ini menggunakan metode pendekatan Gold (1980) yang menggabungkan pendekatan tradisional dengan masa depan, yang menekankan pada campuran antara rencana lingkungan, ilmu sosial, dan administrasi. Tahapan perencanaan menurut metode ini, yaitu persiapan, pengumpulan data, analisis dan sintesis, dan perencanaan lanskap. Analisis data dilakukan berdasarkan potensi wisata sejarah, pertimbangan perencanaan sesuai RTRW, aspek pendukung (topografi dan kemiringan, iklim, dan kondisi tanah), dan kondisi sosial masyarakat serta pengunjung. Konsep yang akan dikembangkan pada tapak yaitu “mengkreasikan areal di kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah tsunami yang bersifat edukatif melalui media dan jalur interpretasi”.
Kawasan wisata ini sebagian besar daerahnya berada di daerah Ulee Lheue. Daerah Ulee Lheue merupakan salah satu daerah yang mengalami kerusakan paling parah di kota Banda Aceh pada saat bencana tsunami terjadi. Di daerah ini, ketinggian air mencapai 20 m. Selain letaknya yang berada di daerah patahan aktif, kerusakan ini juga dikarenakan jaraknya yang tidak terlalu jauh dari laut. Dengan demikian, pembangunan di daerah ini harus berada pada fungsi-fungsi ruang kota dalam wujud zonasi berdasarkan tingkat potensi kerusakan, serta dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana perlindungan terhadap bencana gempa dan tsunami. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, diperoleh alternatif pengembangan kawasan wisata yang sesuai dengan jalur interpretasi wisata sejarah pergerakan kapal tersebut. Kawasan wisata sejarah ini dibagi menjadi tiga zona berdasarkan keterkaitannya dengan bencana tsunami. Ketiga zona ini yaitu zona wisata utama, zona transisi dan zona pelayanan. Zona Wisata Utama merupakan zona yang berkaitan langsung dengan pergerakan kapal PLTD Apung dari Perairan Ulee Lheue menuju kawasan pemukiman. Berdasarkan tingginya (kepentingan) nilai sejarah, zona wisata utama terbagi lagi kedalam dua ruang, yaitu ruang inti dan ruang penyangga. Zona Transisi merupakan zona yang terdiri dari berbagai aktivitas manusia yang bersifat edukatif dan merupakan zona dimana objek dan atraksi berada. Zona ini berperan untuk menjaga dan melindungi objek bersejarah yang ada di dalam zona wisata utama. Zona pelayanan difungsikan untuk mengakomodasi berbagai fasilitas wisata untuk memudahkan pengunjung mendapatkan berbagai fasilitas selama berada di kawasan wisata.
Dalam hasil rencana areal kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah tsunmai, tersedia beberapa fasilitas wisata. Adapun fasilitas yang terdapat di kawasan ini yaitu, ticketing, Visitor Information Center (VIC), parking lots, pos satpam, food court, darmaga, perahu, penyewaan perahu, tempat beribadah, boardwalk, children playground, foodcourt, tempat pembuangan sampah, toilet. Dalam perencanaan di areal sekitar kapal PLTD Apung, pengunjung juga dapat menikmati berbagai media interpretasi seperti tsunami interpreting outdoor playground, museum tsunami, sirene tower, refuge building inventory (ruang penyelamatan terhadap bencana dari laut), amphitheater, coastal forest, signage. Sedangkan untuk rencana jalur interpretasi wisata pada kawasan terbagi menjadi tiga jalur yang dibedakan berdasarkan pengguna. Ketiga jalur itu adalah jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak, pengunjung dewasa, dan para peneliti. jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak lebih singkat dan berada di areal yang dekat dengan Kapal PLTD Apung. Untuk pengunjung dewasa, jalur wisata yang dilalui meliputi jalur pergerakan kapal PLTD Apung, mulai dari lautan dan berakhir di posisi terakhir kapal pasca tsunami. Jalur wisata yang dapat digunakan oleh para peneliti sebagian besar hampir sama dengan jalur yang dilalui oleh pengunjung dewasa. Akan tetapi yang membedakan adalah hanya para peneliti yang diizinkan untuk mengunjungi dan masuk ke dalam bangunan sirene tower dan refuge building inventory (ruang penyelamatan terhadap bencana dari laut). Dengan perencanaan jalur ini, pengunjung dapat mengingat kembali dan merasakan dasyatnya peristiwa tsunami yang terjadi. Namun dalam perencanaan ini terdapat beberapa permasalahan, diantaranya yaitu belum adanya kesepakatan antara pemerintah dan penduduk setempat dalam hal pembebasan lahan, belum jelas siapa yang akan mengelola kawasan wisata ini, serta terjadinya perubahan fungsi lahan kota yang dilakukan masyarakat dari area tsunami heritage menjadi pemukiman baru. Oleh karena itu, perlu adanya upaya memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai pentingnya melestarikan kawasan bersejarah tersebut dan memberikan dana kompensasi/ganti rugi yang sesuai, adanya upaya relokasi masyarakat setempat ke area lain yang tidak mengganggu nilai-nilai kesejarahan dari objek wisata tsunami, serta mencegah terjadinya perubahan fungsi-fungsi tersebut dengan adanya kontrol dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk mempertahankan nilai-nilai kesejarahannya. Dan untuk pengembangan kawasan wisata sejarah ini selanjutnya yaitu dengan penempatan fasilitas dan ruang-ruang lebih mendetil.
PERENCANAAN AREAL KAPAL PLTD APUNG
SEBAGAI KAWASAN WISATA SEJARAH TSUNAMI
DI KOTA BANDA ACEH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh
Cut Sri Handayani
A34203001
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung Sebagai Kawasan
Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh,
Nanggroe Aceh Darussalam.
Nama : Cut Sri Handayani
NIM : A34203001
Program Studi : Arsitektur Lanskap
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA
NIP. 131 516 290
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr
NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banda Aceh, 19 September 1985. Penulis merupakan
anak pertama dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Teuku Hazlianto dan Ibu
Jauhari Usti.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di SD Negeri 7 Banda
Aceh pada tahun 1997. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama di SLTP Negeri 3 Banda Aceh dan lulus pada tahun 2000 dan
menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di SMU Negeri 4 Banda
Aceh pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi
Arsitektur Lanskap, Departemen Budidaya Pertanian, Institut Pertanian Bogor
melalui program Undangan Seleksi Masuk Institut (USMI).
Selama menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis berkesempatan
menjadi Ketua Bidang Kerohanian dan Pendidikan Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong
(2004-2005), Anggota Seksi Humas Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap
(2004-2005), serta Anggota Seksi Beasiswa dan Pendidikan Komisi Peduli Aceh.
Penulis juga mendapat kesempatan untuk melaksanakan kegiatan magang pada tahun
2007 di PT. Envirospace Consultant Indonesia, Bogor. Selain itu, penulis juga
berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Rancangan Taman Khusus dan Mata
Kuliah Analisis dan Perencanaan Tapak pada tahun ajaran 2006/2007, serta Mata
Kuliah Perencanaan Lanskap pada tahun ajaran 2007/2008.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penyusunan laporan penelitian dapat diselesaikan.
Penelitian ini berjudul “Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung sebagai
Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh
Darussalam” dan disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Penyusunan laporan penelitian ini dibantu dan didukung oleh berbagai
pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Papa T. Hazlianto dan Mama Jauhari Usti, atas doanya selama ini.
2. Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA selaku dosen pembimbing skripsi.
3. Dr. Ir. Nurhayati, MSc selaku dosen pembimbing akademik.
4. Adik-adikku Oriza, Putri, dan Celvin atas supportnya.
5. Bunda Ani dan Abi, serta seluruh keluarga. Makasih atas nasihat dan
makanannya...It so delicious n I love it!
6. Formasi ‘anak-anak Aceh’, Opeh, Beteu, Tigor, n Puji. Makasih atas
bantuannya selama di Aceh, di Enviro, di praktikum, di Kerinci, di
Kampus, dan di berbagai tempat yang pernah kita kunjungi. Don’t forget
‘bout our work ethics, guys!
7. Teman-teman di Wisma Shambala atas bantuan printernya.
8. Seluruh teman-teman ARL angkatan 40, Weeta, Marna, Piko, Ali, Tope,
Mpit, Alin, Arin, Febi, Dunk2, Anggie, Uti, Wira, Ucy, Budiman, Indah,
Deni, Mada, Michan, Sano, Miftah, Shasa, Keni, Putri, Jabi, Pepenk,
Komti, Ario, Greg, Meidi, Ayu, Ubud, Icha, Dwee, Titie, Teta, Dani,
Iwan, Aki (Rezki), n Indra. thanks for unforgetable momment.
9. Arsitektur Lanskap IPB yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
10. Shinta (alias mami...), Tari n Baiq, thanks to let me stay at ur room gals.
11. Pihak Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias.
12. Pihak Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota
Banda Aceh.
13. Pihak Dinas Perkotaan dan Permukiman Kota Banda Aceh.
14. Pihak Stasiun BMG Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar.
15. Cik yang di Meulaboh...(sumpah, icut lupa siapa namanya....maaf ya
cik...^.^). Terima kasih dah mau menampung kami ‘ank2 Aceh’ di rumah
cik.
16. Bang Dodi....makasih dah bersedia nganterin ami ‘ank2 Aceh’ keliling
Banda Aceh dan Meulaboh. Makasih Banget ya....
17. Kak Ita, Landscaper 38. Makasih atas bantuannya selama di Meulaboh
18. Pak yahya and his library. Thanks for undersatanding me n I’ve been
return all of that books, rite?
19. Bos and his photocopy guys....makasih dah bersedia direpotin selama
penyusunan dan penyelesaian laporan penelitian ini.
20. Last but not least, my special bestfriends, Acha n Ijonk.....thanks to share n
care ‘bout me. I hope we’ll be bestfriend forever.I put u both at the last list
cause I don’t know how can I say thanks to and makes the rite word.Thank
u really pretty much.
21. Serta seluruh pihak yang telah membantu selama proses penyusunan
laporan penelitian ini.
Akhirnya semoga studi ini dapat bermanfaat di masa yang akan datang.
Mohon maaf sebesar-besarnya atas segala kekurangan dan kesalahan yang ada.
Semoga amal ibadah penuh keikhlasan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.
Bogor, Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR………………………………………………………. i
DAFTAR ISI………………………………………………………………… ii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………… iv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………... v
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... vi
PENDAHULUAN Latar Belakang……………………………………………………….. 1 Tujuan……………………………………………………………….. 3 Manfaat……………………………………………………………… 3 Kerangka Pikir………………………………………………………. 4 TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sejarah
Definisi Lanskap Sejarah……………………………………. 6 Tipe-Tipe Lanskap Sejarah……....…...............……………... 6 Pelestarian Lanskap sejarah…………………………………. 7
Pengembangan Lanskap Sejarah sebagai Kawasan Wisata…. 7 Interpretasi Definisi Interpretasi………………………………………….. 9 Tujuan Interpretasi…………………………………………… 9 Prinsip-Prinsip Interpretasi…………………………………... 10 Unsur-Unsur Utama Interpretasi……………………………... 11 Perencanaan Lanskap………………………………………………… 13 Perencanaan Kawasan Wisata…………………………..….... 14 Perencanaan Kawasan Interpretasi Sejarah…………………... 14 METODOLOGI Lokasi dan Waktu……………………………………………………. 16 Bahan dan Alat ………………...…………………………………….. 17 Metode Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah..…………………….. 17 Tahapan Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah……………………… 19 KONDISI UMUM KAWASAN PERENCANAAN Wilayah Kota Banda Aceh…………………………………………… 23 Kawasan Bencana Tsunami………………………………………….. 26 DATA DAN ANALISIS Kondisi Umum...................................................................................... 29 Kondisi Tapak Sebelum Tsunami.....................……………………… 29 Kejadian Saat Tsunami………...………………………....………….. 31 Kondisi Fisik Tapak Setelah Tsunami.................................................. 37
iii
Halaman Potensi Wisata Sejarah Tsunami Batas & Luas Kawasan Perencanaan..…….............................. 38 Objek-Objek Wisata Sejarah Tsunami...................................... 41 Aksesibilitas……………………………………….................. 47 Alternatif Jalur Wisata Sejarah................................................. 53 Pertimbangan Perencanaan RTRBWK…………………………………………................. 56 Tata Guna Lahan (Land Use).....……….………….................. 59 Kebijakan Pemerintah NAD…………....…..………………… 61 Aspek Pendukung Biofisik Topografi & Kemiringan.…………..………............… 63 Iklim…………………….……………………............. 66 Kondisi Tanah.………….……………...........……….. 69 Kondisi Sosial Masyarakat Lokal Dampak Tsunami terhadap Masyarakat Lokal .................…… 71 Pengunjung................................................................................ 72 Konsep Dasar Perencanaan………………………………….……….. 73 Pengembangan Konsep Konsep Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah........................... 73 Konsep Obyek-obyek Sejarah Tsunami.………….………….. 75 Konsep Sirkulasi........................................................................ 77 Konsep Aktivitas.....…......…………………………………… 78 Konsep Infrastruktur………………...……............................... 79
PERENCANAAN KAWASAN WISATA SEJARAH TSUNAMI Rencana Tata Ruang.....................................................….…………… 81 Rencana Sirkulasi.................................................................................. 84 Kawasan Wisata Sejarah Tsunami........................................................ 85 Rencana Jalur Wisata.......……………………………….……….….... 87 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan…………………………………………………………… 93 Saran………………………………………………………………...... 94 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 95 LAMPIRAN……………………………………………………………….. ... 97
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Tahapan Pelaksanaan dan Alokasi Waktu Penelitian................................ 17
2. Jenis, Cara, dan Sumber Pengambilan Data…………....……………….. 20
3. Objek Wisata Sejarah yang Diusulkan berdasarkan
Urutan Kejadian Pergerakan Kapal PLTD Apung.................................... 36
4. Analisis Aksesibilitas dan Alternatif Perencanaan.................................... 51
5. Pembagian Zona pada BWK Barat Kota Banda Aceh.............................. 57
6. Bentuk-bentuk Peruntukan Lahan beserta Luasan Lahan Pra-Tsunami................................................................................... 59
7. Analisis Topografi dan Kemiringan Lahan............................................... 64
8. Luasan Area dalam Kawasan Wisata........................................................ 80
9. Hubungan Objek Wisata dengan Atraksi dan Fasilitas Wisata................. 92
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1. Form Kuisioner Penelitian........................................................................ 97
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Pikir …………………………………………………………....... 5
2. Diagram Alur Prinsip Dasar Program Interpretasi……………………....…. 11
3. Lokasi Penelitian............………………………………………..…….......... 16
4. Tahapan Proses Penelitian………....………………………..…..…......…... 18
5. Batas Wilayah dan Batas Kecamatan di Kota Banda Aceh….....………….. 24
6. Patahan Semangko………………………………….....…………………… 25
7. Peta Tingkat Kerusakan Akibat Tsunami di Tiap Kecamatan di Kota Banda Aceh………………………………….……………………. 27 8. Skema Struktur Pusat Pelayanan Kegiatan Kota Banda Aceh…………….. 28
9. Kondisi Peruntukan Lahan di Kawasan Ulee Lheue Setelah Bencana Tsunami..........................................……………………… 30
10. Jalur Masuk Kapal PLTD Apung ke Daratan……………………………… 32
11. Foto Udara yang Menggambarkan Lokasi Kapal PLTD Apung Pasca Tsunami................................................................................... 34
12. Batas Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah Tsunami.................................. 35
13. Kondisi Rumah di Sekitar Tapak Pasca Tsunami.......................................... 37
14. Kondisi Tapak di Sekitar Kapal PLTD Apung.............................................. 40
15. Perairan Ulee Lheue....................................................................................... 41
16. Desa Lambung............................................................................................... 42
17. Rumah Tsunami............................................................................................. 43
18. Mesjid Subulussalam...................................................................................... 43
19. Kapal PLTD Apung....................................................................................... 44
20. Monumen Syuhada........................................................................................ 45
21. Mesjid Baiturrahim......................................................................................... 46
22. Diagram Aksesibilitas Menuju Kapal PLTD Apung..................................... 48
23. Kondisi Aksesibilitas Menuju Kapal PLTD Apung...................................... 50
24. Aksesibilitas................................................................................................... 52
25. Jalur Pergerakan Kapal dan Lokasi Objek Wisata Sejarah............................ 54
26. Kawasan Wisata Sejarah Tsunami.................................................................. 55
Halaman
vi
27. Peta Arahan Fungsi Berdasarkan Zona Fisik per BWK Kota Banda Aceh................................................................................ 58
28. Peta Eksisting Tata Guna Lahan.................................................................... 60
29. Kawasan Wisata Berdasarkan Peruntukan Kota............................................ 62
30. Hasil Perhhitungan Topografi dan Kemiringan Lahan................................... 65
31. Grafik Beberapa Unsur Iklim di Kecamatan Ulee Lheue dalam Kurun Waktu 1997-2006................................................................................ 67
32. Berbagai Bentuk Tajuk Pohon....................................................................... 68
33. Peta Kesesuaian Lahan terhadap Bangunan................................................... 70
34. Konsep Pengembangan Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah Tsunami....... 74
35. Konsep Ruang Wisata…………………....................................................... 75
36. Contoh Media Interpretasi ............................................................................ 76
37. Konsep Pengembangan Jalur Sirkulasi........................................................... 78
38. Sighseeing....................................................................................................... 79
39. Suasana di Beberapa Infrastruktur Pendukung.............................................. 80
40. Contoh Motif dan Bentuk Bangunan............................................................. 80
41. Rencana Tata Ruang Wisata Tsunami........................................................... 82
42. Rencana Kawasan Wisata Sejarah Tsunami.................................................. 86
43. Rencana Jalur Wisata..................................................................................... 88
44. Potongan Tampak........................................................................................... 89
45. Ilustrasi Suasana di Kawasan Wisata Sejarah Tsunami.................................. 90
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kota Banda Aceh adalah ibukota provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Awalnya, kota ini bernama Kutaraja, kemudian sejak 28 Desember 1962 namanya
diganti menjadi Banda Aceh. Sebagai pusat pemerintahan, Banda Aceh menjadi
pusat segala kegiatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Kota yang telah
berumur 802 tahun ini, berdasarkan Perda Aceh No.5/1988, tanggal 22 April 1205
ditetapkan sebagai tanggal keberadaan kota tersebut1).
Pada tanggal 26 Desember 2004, kota ini dilanda gelombang pasang
tsunami yang menelan sekitar 150.000 jiwa dan menghancurkan lebih dari 60%
bangunan kota ini. Tsunami di Aceh bisa digolongkan sebagai bencana alam yang
paling mengerikan dalam sejarah dunia dalam beberapa tahun terakhir. Di
beberapa tempat di Aceh, gelombang tsunami mencapai setinggi 9 meter2). Karena
letak kota yang tidak jauh dari daerah pantai, menyebabkan kerusakan yang
sangat parah, yaitu di Kecamatan Meuraxa dan Kecamatan Jaya Baru (Tim
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara,
2005).
Berdasarkan data yang bersumber dari BRR Aceh-Nias tersebut, sebagian
besar fasilitas yang ada rusak berat, diantaranya yaitu: perumahan dan
infrastruktur dasar (4.787 rumah permanen); fasilitas pendidikan (41 sekolah);
fasilitas kesehatan dan pribadi; fasilitas agama, sosial dan budaya; serta fasilitas
perdagangan dan industri.
Untuk mengenang tragedi bencana dunia yang melanda Aceh akhir tahun
2004 lalu, pemerintah akan segera membangun sebuah museum internasional, tiga
situs dan enam monumen tsunami yang representatif di Banda Aceh awal tahun
2007. Dengan adanya bangunan-bangunan tersebut, diharapkan bisa
meninggalkan sejarah bagi masa depan dan juga mampu menarik wisatawan asing
yang datang ke Aceh 3).
1) http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banda_Aceh#column-one (10 November 2006)
2) http://www.news.php aceh 2.htm (17 November 2006).
3) Serambi Indonesia edisi No. 6.192 Thn ke-40 (23 September 2006) dalam Museum Tsunami Dunia Segera Dibangun.
2
Menyusul adanya rencana pemerintah tersebut, maka salah satu kawasan
yang diusulkan sebagai monumen tsunami yaitu kawasan di sekitar kapal PLTD
Apung yang terdapat di daerah Punge Blangcut Kecamatan Jaya Baru. Kapal
PLTD Apung merupakan sebuah kapal pembangkit listrik yang menggunakan
tenaga diesel. Awalnya kapal tersebut berada di Kalimantan. Akan tetapi, karena
Aceh kekurangan pasokan listrik, maka kapal ini ditempatkan di Perairan Ulee
Lheue. Saat tsunami terjadi, kapal PLTD Apung terdampar ke daerah perumahan
penduduk sekitar 4 km dari perairan Ulee Lheue. Padahal bobot kapal ini
mencapai ribuan ton (Sufi dan Agus, 2005). Sebenarnya, kapal PLTD Apung ini
direncanakan akan ditarik kembali ke laut. Hal ini dikarenakan jika dilihat dari
segi kondisi fisik dan keadaan mesinnya, kapal ini masih mampu beroperasi
dengan baik. Namun dikarenakan jaraknya yang tergolong jauh dari laut, maka
kapal tersebut tetap dibiarkan berada di tempatnya.
Saat ini, kapal tersebut merupakan salah satu objek wisata tsunami di kota
Banda Aceh. Berbagai pengunjung baik dari daerah Aceh maupun luar Aceh,
bahkan wisatawan asing, berdatangan ingin menyaksikan secara langsung
fenomena dari peristiwa tsunami. Hal yang harus diperhatikan jika kawasan
tersebut dijadikan sebagai kawasan wisata adalah pengaturan tata ruang kawasan
dan jalur interpretasi sebagai kawasan wisata sejarah. Diharapkan penataan ruang
dan jalur interpretasi wisata sejarah dapat mempertahankan, atau bahkan dapat
meningkatkan nilai historis daerah tersebut.
Perencanaan kawasan wisata juga harus memperhatikan kesesuaian
penggunaan lahan dengan rencana tata ruang kota dan lanskap kota. Penggunaan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh dan Rencana Detil Tata
Ruang (RDTR) Kecamatan Meuraxa dan Jaya Baru digunakan sebagai panduan
dalam merencanakan kawasan wisata sejarah tsunami.
3
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini melestarikan salah satu objek peninggalan
tsunami, yaitu kapal PLTD Apung dan nilai sejarah yang terkandung didalamnya
akibat peristiwa dasyat bencana tsunami yang melanda Nanggroe Aceh
Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yaitu dengan merencanakan suatu
kawasan yang dapat mengingatkan setiap orang akan peristiwa tsunami.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :
1. mengidentifikasi kondisi tapak lokasi PLTD Apung, serta obyek-obyek
dan atraksi pendukung wisata sejarah lainnya.
2. menganalisis kondisi tapak PLTD Apung untuk dijadikan sebagai kawasan
wisata sejarah.
3. merencanakan kawasan wisata sejarah tsunami.
4. merencanakan jalur interpretasi sejarah tsunami.
5. mengakomodasi aktifitas dan menata fasilitas di kawasan wisata dan jalur
interpretasi sejarah.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Mengakomodasi keinginan masyarakat yang ingin menyaksikan benda
bersejarah dan mengenang terjadinya peristiwa bencana alam tsunami di
Aceh.
2. Sarana pendidikan dan menambah pengalaman mengenai tsunami baik
bagi masyarakat Aceh maupun bangsa Indonesia, dan bangsa-bangsa lain
pada umumnya.
3. Menjadi bahan masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah
Nanggroe Aceh Darussalam dalam upaya rekonstruksi dan rehabilitasi
Aceh pasca terjadinya tsunami baik dari segi fisik maupun kesejarahan.
4. Sumber PAD bagi pemerintah daerah dengan mengembangkan kawasan
sekitar kapal PLTD Apung sebagai salah satu kawasan wisata.
4
Kerangka Pikir
Kota Banda Aceh merupakan ibukota propinsi NAD yang mengalami
kerusakan sangat parah dan menelan korban jiwa terbanyak setelah kabupaten
Meulaboh, Aceh Barat. Kerusakan yang ditimbulkan memberikan dampak yang
cukup besar bagi masyarakat Aceh, baik secara fisik (sarana dan prasarana kota,
perumahan, dll) maupun psikologi (emosional, kehilangan kerabat, dan sosial
budaya).
Dalam rangka mengenang tragedi bencana dunia yang melanda Aceh akhir
tahun 2004 lalu, diperlukan adanya upaya-upaya untuk melestarikan objek-objek
bersejarah. Berkaitan dengan masalah ini, pemerintah daerah NAD mengambil
kebijakan-kebijakan, yaitu dengan mendirikan sebuah museum internasional, tiga
situs dan enam monumen tsunami. Salah satu kawasan yang direncanakan akan
dikembangkan menjadi monumen sejarah tsunami yaitu kawasan di sekitar Kapal
PLTD Apung. Perencanaan di kawasan ini mempunyai keunikan tersendiri
dimana kapal dengan bobot ribuan ton mampu terbawa arus tsunami hingga
mencapai 4 km jaraknya dari posisinya semula. Selain kapal PLTD Apung, di
daerah ini juga terdapat beberapa objek bersejarah lainnya yang berpotensi
sebagai objek tujuan wisata.
Perencanaan yang akan dilakukan yaitu perencanaan kawasan dan jalur
interpretasi wisata sejarah tsunami yang bersifat edukatif pada lokasi terjadinya
perpindahan kapal PLTD Apung. Dengan dijadikannya kawasan ini sebagai
kawasan dan jalur interpretasi sejarah, diharapkan dapat mengingatkan kembali
para pengunjung akan peristiwa tsunami yang pernah terjadi di NAD. Dengan
latar belakang keadaan yang demikian, diperlukan aplikasi yang sesuai dengan
kondisi terjadinya tsunami pada saat itu, yaitu dengan mewujudkan suatu kawasan
wisata sejarah tsunami di Kota Banda Aceh, NAD. Kerangka berpikir penelitian
dapat dilihat pada Gambar 1.
5
Gambar 1. Kerangka Pikir
Monumen Situs Museum
Untuk mengenang kejadian tsunami 2004
Tsunami 26 Desember 2004
Mengalami kerusakan lingkungan yang sangat parah
Infrastruktur kota, Perumahan, Sosial dan budaya, Emosional, dll
Kota Banda Aceh, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Rencana Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh, NAD
Upaya penataan kawasan dan jalur interpretasi wisata sejarah tsunami yang bersifat edukatif
Lokasi kapal PLTD Apung II
TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Sejarah Definisi Lanskap Sejarah Lanskap sejarah merupakan suatu kawasan geografis dimana pada
kawasan tersebut merupakan obyek atau latar belakang atas suatu peristiwa
interaksi yang bersejarah dalam kehidupan manusia (Simonds, 1978). Lanskap
sejarah penting dilestarikan untuk memberikan suatu makna simbolis bagi
peristiwa terdahulu dan peristiwa sekarang. Lingkungan fisiknya yang tertata
merupakan suatu penghubung peristiwa masa lalu yang mempengaruhi kita
dengan peristiwa yang menentukan masa depan. Tanpa suatu kesan konteks fisik,
maka pengetahuan kita mengenai peristiwa-peristiwa semacam ini terbatas pada
catatan lisan dan gambar-gambar grafis (Nurisyah dan Pramukanto, 1995).
Tipe-Tipe Lanskap Sejarah
Secara umum, Nurisyah dan Pramukanto (2001) mengemukakan bahwa tipe
lanskap sejarah dapat dikategorikan berdasarkan hal-hal tersebut:
1) Lanskap yang berasosiasi dengan kehidupan pedesaan dan ekonomi
pedesaan pada setiap periode prasejarah sampai sekarang.
2) Lanskap yang berasosiasi dengan kehidupan perkotaan pada setiap periode
yang dimulai dari awal pembentukannya sampai sekarang.
3) Lanskap yang berasosiasi dengan berbagai aktivitas industri dan pabrik
seperti lanskap perkebunan, lanskap kawasan industri.
4) Lanskap yang berasosiasi dengan individu atau kelompok bangunan dan
monumen sejarah.
5) Lanskap yang berasosiasi dengan orang atau peristiwa-peristiwa sejarah
yang penting, termasuk tempat-tempat yang ada hubungannya dengan
seniman-seniman, penyair-penyair, medan pertempuran dan sebagainya.
6) Tapak-tapak historic scenic, yaitu tempat-tempat yang dalam istilah
sejarah sudah dikenal baik atau sangat berpengaruh karena berbagai
pemandangan yang menarik yang dimilikinya.
7) Taman dan tempat rekreasi yang bersejarah.
7
Pelestarian Lanskap sejarah
Nurisyah dan Pramukanto (2001) mengemukakan bahwa untuk tindakan
pelestarian dapat dilakukan dengan suatu bentuk pendekatan atau kombinasi
beberapa pendekatan. Pendekatan ini terutama diterapkan terhadap:
1) nilai-nilai, makna atau arti kesejarahan yang dimiliki oleh suatu tatanan
lanskap (landscape fabric), dan
2) bentang alam atau taman tersebut secara fisik.
Pendekatan ini umumnya mempertimbangkan aspek-aspek yang berperan
dalam proses dinamika perubahan lanskap tersebut yang meliputi aspek sejarah,
aspek arkeologis, aspek etnografis, dan nilai-nilai desain yang dimilikinya.
Dalam upaya pengelolaan untuk pelestarian lanskap tersebut, beberapa
pilihan bentuk tindakan teknis yang umumnya dilakukan adalah adaptive use
(penggunaan adaptif), rekonstruksi, rehabilitasi, restorasi, stabilisasi, konservasi,
interpretasi, period setting (replikasi, imitasi), release, dan replacement
(penggantian) (Nurisyah dan Pramukanto, 2001). Dalam penelitian ini, tindakan
teknis yang diterapkan untuk pelestarian lanskap sejarah yaitu dalam bentuk
interpretasi.
Pengembangan Lanskap Sejarah sebagai Kawasan Wisata Wisata (tour, travel, jalan-jalan) didefinisikan sebagai pergerakan orang
untuk sementara (temporal) dalam jangka waktu tertentu ke tujuan-tujuan di luar
rutinitas dan tempat biasa mereka tinggal dan bekerja. Selama tinggal di tujuan
wisata tersebut mereka melakukan kegiatan rekreatif dan menyenangkan dan
disediakan fasilitas untuk mengakomodasikan kebutuhan mereka (Nurisyah dan
Damayanti, 2006).
Bentuk-bentuk wisata yang dapat ditawarkan kepada pengunjung sangat
beragam. Wisata dikategorikan berdasarkan faktor penyebab dilakukannya
kegiatan ini, yaitu (1) obyek dan atraksi utama yang dikembangkan, (2) tujuan
berwisata, (3) letak geografis kawasan (Nurisyah dan Damayanti, 2006).
Berdasarkan objek dan atraksi utama yang dikembangkan di lokasi tujuan wisata,
Brunn dalam Nurisyah dan Damayanti (2006), mengkategorikan wisata dalam
bentuk: (a) ecotourism, green tourism atau alternative tourism yaitu wisata yang
8
berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan industri
kepariwisataan, perlindungan terhadap sumber daya alam dan kualitas lingkungan,
serta kesejahteraan masyarakat lokal, (b) wisata budaya atau cultural tourism,
yaitu wisata dengan kekayaan budaya sebagai obyek wisata utama dengan
penekanan pada aspek pendidikan dan pengetahuan, dan (c) wisata alam, nature
tourism yaitu wisata untuk meningkatkan pengalaman terhadap obyek dan daya
tarik kondisi alam dan panoramanya. Berdasarkan tujuan berwisata, bentuk wisata
dikategorikan dengan (a) wisata rekreasi, (b) wisata ilmu, (c) wisata medis, (d)
wisata olahraga, (e) wisata konvensi; berdasarkan letak geografisnya, kegiatan ini
dibagi menjadi (1) wisata pegunungan, (2) wisata pesisir/pantai, (3)wisata
lautan/bahari.
Ketersediaan obyek, daya tarik atau atraksi pada suatu kawasan
merupakan komponen utama dalam pengembangannya menjadi kawasan tujuan
wisata (Gunn dalam Nurisyah dan Damayanti, 2006). Obyek dan daya tarik wisata
didefinisikan sebagai suatu keadaan alam serta perwujudan dari ciptaan manusia,
tata hidup, seni budaya serta sejarah dan tempat yang memiliki daya tarik untuk
dikunjungi wisatawan. Atraksi wisata adalah semua perwujudan dan sajian alam
serta kebudayaan, yang secara nyata dapat dikunjungi, disaksikan dan dinikmati
wisatawan di suatu kawasan wisata atau daerah tujuan wisata melalui suatu bentuk
pertunjukan yang khusus diselenggarakan untuk para wisatawan yang
mengunjungi kawasan tersebut (Yoeti dalam Nurisyah dan Damayanti, 2006).
Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), lanskap sejarah merupakan
suatu bukti fisik dari keberadaan manusia. Waktu yang tercermin dalam suatu
lanskap sejarah membedakan designed landscape. Selanjutnya, salah satu
kepentingan dari pelestarian lanskap yang terkait dengan aspek budaya dan
sejarah ini adalah untuk motivasi ekonomi. Peninggalan budaya dan sejarah
memiliki nilai yang tinggi apabila dipelihara dengan baik, terutama apabila dapat
mendukung perekonomian kota/daerah bila dikembangkan sebagai kawasan
tujuan wisata (cultural and historical type of tourism). Disamping upaya
pelestarian benda bersejarah, peningkatan kondisi ekonomi merupakan alasan lain
untuk mengadakan wisata pada lanskap sejarah di kawasan sekitar kapal PLTD
Apung.
9
Interpretasi
Definisi Interpretasi
Interpretasi menurut Tilden (1957) yang dianggap sebagai bapak
interpretasi, menyatakan bahwa interpretasi adalah penafsiran suatu aktifitas
bidang pendidikan dengan tujuan untuk mengungkapkan hubungan dan arti
melalui penggunaan obyek asli dengan pengalaman langsung dan oleh ilustrasi
media bukan hanya sekedar penyampaian informasi. Interpretasi merupakan suatu
mata rantai komunikasi antara pengunjung dan sumberdaya yang ada
(Sharpe, 1982). Menurut Muntasib (2002), interpretasi merupakan suatu cabang
ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seni dalam memberikan penjelasan
tentang suatu kawasan (flora, fauna, proses geologis, dan sebagainya) serta sejarah
dan budaya masyarakat kepada pengunjung yang datang ke kawasan tersebut,
sehingga dapat memberikan kepuasan dan pengetahuan baru yang dapat
menggugah pemikiran untuk mengetahui, menyadari dan menarik minat
pengunjung untuk ikut menjaga dan melestarikan serta mempelajari lebih lanjut.
Tujuan Interpretasi
Dalam hal ini, Sharpe (1982) mengemukakan tiga sasaran interpretasi,
yaitu:
• interpretasi dapat membantu pengunjung memperkaya pengetahuan dan
menjadi tertarik pada suatu lokasi.
• mewujudkan tujuan pengelolaan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan
sumberdaya alam sehingga dapat dinikmati pengunjung secara maksimal.
selain itu kerusakan dapat diminimalisir karena pengunjung dituntut untuk
tidak mengganggu sumberdaya yang ada.
• menjadi sasaran promosi agar masyarakat mengetahui keberadaan
sumberdaya atau obyek yang dimaksud melalui biro-biro perjalanan.
10
Prinsip-Prinsip Interpretasi
Dalam kegiatan interpretasi ada enam prinsip yang harus diperhatikan
(Tilden, 1957). Keenam prinsip tersebut, yaitu:
a) Suatu interpretasi tidak ada hubungannya antara apa yang diperagakan
dengan apa yang dialami atau kepribadian personalitas para pengunjung,
merupakan sesuatu yang sia-sia.
b) Informasi, penerangan, atau materi yang sejenis dengan itu saja bukanlah
sebuah interpretasi. Interpretasi merupakan ungkapan rahasia berdasarkan
atas informasi-informasi, namun interpretasi berbeda dan lebih luas
daripada informasi. Di dalam interpretasi termasuk juga didalamnya
unsur-unsur informasi.
c) Interpretasi merupakan suatu seni yang dikombinasikan dari berbagai
macam seni, baik yang bersifat ilmiah, sejarah, arsitektur, atau seni yang
pada tingkat tertentu dapat diajarkan kepada orang lain.
d) Cara mengutarakan interpretasi bukanlah dengan sebuah perintah,
melainkan dengan menggunakan pancingan-pancingan, dorongan atau
persuasi (provokasi).
e) Interpretasi bermaksud mempertunjukkan secara jelas dan bukan sebagian-
sebagian. Interpretasi sebaiknya tidak dirahasiakan atau hanya boleh untuk
golongan tertentu saja.
f) Interpretasi yang ditujukan untuk anak-anak tidak dapat digunakan untuk
orang dewasa, karena keduanya memiliki pendekatan yang berbeda.
Kerangka pemikiran interpretasi mengacu pada pendekatan prinsip dasar
program interpretasi yang merupakan kombinasi dari enam hal, yaitu : pelayanan
Informasi, Pelayanan Pemanduan, Pendidikan, Hiburan serta Inspirasi dan
promosi (Departemen Kehutanan, 1988a). Mengenai prinsip dasar program
interpretasi dapat dijabarkan pada Gambar 2.
11
Gambar 2. Diagram Alur Prinsip Dasar Program Interpretasi
(Departemen Kehutanan, 1988a)
Unsur-Unsur Utama Interpretasi
Berdasarkan Departemen Kehutanan (1988a), di dalam interpretasi
terdapat tiga unsur pokok yang menjadi satu kesatuan, yaitu:
a). Pengunjung
Beberapa hal yang harus perlu dianalisa dan diperhitungkan dalam
perencanaan serta pelaksanaan interpretasi yang berkaitan dengan pengunjung
agar interpretasi yang disajikan mencapai sasaran, antara lain:
• Lokasi yang paling banyak pengunjungnya.
• Asal daerah pengunjung yang paling banyak berkunjung ke kawasan
tersebut.
• Waktu ramai pengunjung.
• Persen pengunjung yang memasuki pintu utama dan juga untuk jumlah
pengunjung yang memasuki kawasan melalui pintu alternatif lain.
b). Pemandu wisata
Kualitas pemandu sangat menentukan keberhasilan interpretasi yang
dilaksanakan. Syarat kemampuan yang harus dimiliki oleh pemandu wisata
adalah:
1. Penguasaan ilmu atau ahli dalam bidang ilmu tertentu yang berkaitan
dengan sesuatu yang menjadi obyek interpretasi.
2. Menguasai pengetahuan di bidang pendidikan dan komunikasi masa, serta
mampu dalam prakteknya.
KEGIATAN INTERPRETASI
PENGUNJUNG TERTARIK
MENGERTI
MEMAHAMI TIDAK MENGGANGGU
IKUT MELESTARIKAN
12
3. Menguasai cara-cara melaksanakan interpretasi secara benar, bukan hanya
sekedar memberikan informasi.
c). Obyek-obyek Interpretasi
Obyek interpretasi adalah segala sesuatu yang berada dalam kawasan
wisata alam, yang dipilih untuk diinterpretasikan kepada pengunjung. Obyek
interpretasi ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu obyek interpretasi berupa
sumberdaya alam dan potensi sejarah (Departemen Kehutanan, 1988a).
Agar interpretasi dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan pemilihan
dan penggunaan serta pembinaan obyek interpretasi. Seleksi penentuan obyek
interpretasi harus memperhatikan sifat dan keadaan pengunjung serta sifat
sumberdaya atau potensi sejarah yang menjadi obyek interpretasi. Selain itu,
obyek interpretasi juga haruslah potensial, misalnya karena tingkat kelangkaannya
tinggi, peranannya dalam kehidupan manusia sangat menonjol, mudah dan aman
untuk dipegang, dilihat langsung, dicium ataupun dipegang oleh pengunjung
(Departemen Kehutanan, 1988a).
Untuk mendukung suatu kegiatan interpretasi dibutuhkan fasilitas-fasilitas
yang mendukung kegiatan interpretasi tersebut. Fasilitas tersebut dapat berupa
media peralatan, metode, perlengkapan dimana pesan-pesan interpretasi dapat
disampaikan kepada umum dengan baik (Sharpe, 1982).
Menurut Sharpe (1982), ilustrasi media interpretasi memiliki bentuk yang
bermacam-macam. Salah satunya adalah pemandu, booklet, leaflet, brosur, peta
wisata, pusat interpretasi, pameran museum, galeri, dan sebagainya.
Sedangkan untuk menunjang wisata sejarah yang dilakukan, perlu
dipahami mengenai sistem rekreasi. Dalam suatu sistem rekreasi, terdapat
hubungan erat antara sisi supply dan demand. Supply dalam rekreasi didefinisikan
sebagai semua pengembangan fisik dan program yang memenuhi kebutuhan dan
keinginan pengunjung (Gunn, 1997). Kebutuhan dan keinginan pengunjung inilah
yang disebut dengan demand. Elemen lanskap yang dirancang juga merupakan
salah satu supply rekreasi. Supply rekreasi ini terdiri atas attraction, services,
transportation, informations, dan promotions (Gunn, 1997).
Menurut Knudson (1980) fasilitas dan pelayan baik berupa tenaga
akomodasi dan pengorganisasian merupakan suplai rekreasi. Suplai rekreasi yang
13
dimaksud yaitu sesuatu yang dapat disediakan untuk melayani pengunjung dalam
berekreasi.
Perencanaan fasilitas diperlukan guna menunjang aktifitas di lintasan
sekaligus mengurangi dampak pengunjung. Fasilitas di tepi jalan dapat berupa
shelter, gazebo, atau tempat duduk untuk istirahat. Jauh dekatnya jarak lintasan
tergantung bentuk lahannya (Knudson, 1980).
Menurut Departemen Kehutanan (1988a), jalur interpretasi adalah rute
yang dirancang guna obyek interpretasi (geologis, biologis, historis, dan
kebudayaan yang menarik) dijelaskan dengan bantuan pemandu, tanda-tanda,
pamflet atau peralatan elektronik. Hal ini dimaksudkan agar pengunjung
mendapatkan pengetahuan tentang faktor-faktor lingkungan tersebut pengalaman
secara langsung di lapangan.
Selain berfungsi sebagai akses penghubung, rute atau lintasan juga
menampilkan keindahan pemandangan terbaik (Simonds, 1983). Lintasan juga
harus aman, menghindari daerah berbahaya, memiliki keindahan (vista) dan obyek
khas, nyaman, tidak terlalu jauh, mudah dilalui, dilengkapi papan petunjuk dan
tidak mengganggu kehidupan alami (Berkmuller, 1981).
Perencanaan Lanskap
Perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis dan dapat digunakan
untuk menentukan awal suatu keadaan dan merupakan cara terbaik untuk
mencapai keadaan yang diharapkan tersebut (Gold, 1980). Sedangkan menurut
Laurie (1990) mengungkapkan bahwa dalam perencanaan tapak terdapat
penyesuaian tapak dengan program. Persyaratan program harus dilengkapi dan
dihubungkan satu dengan lainnya, disertai imajinasi serta kepekaan terhadap
analisis tapak. Disamping itu, perencanaan menyangkut pengaturan fungsi ruang,
sirkulasi, keindahan dan keunikan dengan memanfaatkan elemen air, tanah, dan
berbagai benda, serta keadaan yang ada seperti taman, bangunan, kondisi
topografi, dan pemandangan (Rachman, 1984).
Nurisyah dan Pramukanto (1995) berpendapat bahwa dalam perencanaan
dibutuhkan suatu pendekatan yang dilakukan terhadap kebutuhan khusus dari
suatu kelompok sosial atau lahan. Pendekatannya harus efektif untuk penyediaan
14
segala bentuk pelayanan dan ruang bagi masyarakat yang menggunakannya.
Masyarakat atau orang mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda dalam
penggunaan ruang sehingga pengamatan sosial sangat penting. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa proses perencanaan lanskap diawali dengan memperhatikan,
menafsirkan dan menjawab kepentingan manusia dan mengakomodasikan
berbagai kepentingan ini ke produk (lahan) yang direncanakan antara lain seperti
untuk mengkreasikan dan merencanakan secara fisik berbagai bentuk pelayanan,
fasilitas dan berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya tersedia lainnya dan nilai-
nilai budaya manusia.
Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah
Perencanaan kawasan wisata merupakan perencanaan yang
memperhatikan dengan mengantisipasi dan mengatur perubahan-perubahan yang
terjadi pada tapak, memajukan pengembangan sesuai dengan tata tertib yang
berlaku dan meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan sekitarnya
dalam proses pengembangannya (Murphy dalam Hall, 2000). Selain itu,
perencanaan harus meningkatkan elemen kritis dalam menjamin pengembangan
berkelanjutan dalam jangka panjang terhadap tujuan wisata. Menurut Hall (2000)
wisata merupakan intergrasi mendalam antara ekonomi, sosial dan maksimalisasi
lingkungan hingga mencapai pengembangan wisata yang sesuai.
Dengan demikian, perencanaan kawasan wisata sejarah juga harus
memperhatikan ketiga aspek tersebut. Dalam pengembangannya juga dibutuhkan
suatu touring plan yang bertujuan untuk mengarahkan pengunjung menikmati
obyek wisata atau atraksi yang disediakan.
Perencanaan Kawasan Interpretasi Sejarah
Perencanaan kawasan interpretasi sejarah merupakan perencanaan yang
terdiri atas perencanaan kawasan dan jalur interpretasi. Perencanaan kawasan
interpretasi dalam perencanaan ini merupakan media atau objek sejarah tsunami
yang akan diinterpretasikan kepada pengunjung. Sedangkan jalur interpretasi yang
direncanakan yaitu rute/jalur yang menggambarkan suasana sejarah terjadinya
15
tsunami di Aceh. Dengan demikian, pengunjung dapat ikut merasakan suasana
pada saat tsunami terjadi.
Dalam merencanakan jalur interpretasi, menurut Nurisyah dan Damayanti
(2006), hal-hal yang dapat dijadikan panduan dijelaskan sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data yang terkait dengan kondisi bio-fisik, sosial-budaya,
kesejarahan kawasan.
2. Menetapkan tujuan interpretasi pada jalur tersebut, yang sejalan dengan
tujuan umum dan visi kawasan.
3. Menentukan pendekatan untuk analisis sumber daya alam dan budaya
dalam kawasan sehingga didapat zona-zona yang dapat dan tidak dapat
dikembangkan jalur interpretasi di dalamnya (karena faktor keamanan
pengunjung dan sumber daya).
4. Menentukan titik-titik potensial dalam zona terpilih dan menseleksinya
dengan kriteria tertentu.
5. Menghubungkan titik-titik potensial, menentukan titik start dan stop
sehingga tercipta rute yang dibuat berdasarkan pada suatu tema.
6. Menentukan jenis media dan fasilitas penunjuang jalur interpretasi beserta
lokasi penempatannya.
7. Mengintegrasikan jalur dengan metode serta program interpretasi lainnya
dalam kawasan atau jika ada dengan sekitar kawasan.
Setelah diperoleh jalur, selanjutnya adalah mengimplementasikannya dan
mengelola jalur tersebut dalam kawasan. Untuk melihat keberhasilan jalur
tersebut sebagai media interpretasi, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi
terhadap jalur yang dapat dinilai tingkat keberhasilannya, salah satunya yaitu
dengan penilaian pengunjung.
01
73
14
04
06
11
72
71
08
09
02
05
07
12
03
15
16
7410
13
17
PETA ORIENTASI TAPAK
NAD
WILAYAH KOTAMADYA BANDA ACEH
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian dilakukan di kawasan Punge Blangcut Kecamatan Jaya
Baru yang merupakan salah satu kawasan terjadinya tsunami (Gambar 3). Dalam
perencanaan ini, kawasan wisata mengalami perluasan hingga ke daerah Ulee
Lheue, Kecamatan Meuraxa. Perluasan kawasan merupakan penambahan dari
luasan kawasan di sekitar kapal PLTD Apung yang telah disepakati oleh
Pemerintah Daerah Kota Banda Aceh, kawasan objek-objek bersejarah lainnya
dengan kawasan jalur interpretasi sejarah. Kawasan ini termasuk ke dalam
wilayah Kotamadya Banda Aceh, Provinsi NAD dan terletak di bagian barat kota
Banda Aceh.
Gambar 3. Lokasi Penelitian
SELAT MALAKA
Pelabuhan Ulee Lheue
NTS
Lokasi penelitian Rencana jalan arteri primer Jalan arteri sekunder Jalan kolektor sekunder
17
Waktu penelitian dimulai dari survei lapang sampai dengan penyusunan
laporan akhir penelitian, berlangsung selama sembilan bulan, yakni dari bulan
Februari hingga bulan November 2007 (Tabel 1).
Tabel 1. Tahapan Pelaksanaan dan Alokasi Waktu Penelitian
Kegiatan Alokasi Waktu Produk Persiapan Studi Februari 2007 Proposal Studi Pengumpulan dan Pengolahan Data Maret sampai Juli 2007 Hasil Analisis Data Perencanaan Agustus sampai minggu
pertama September 2007 Rencana lanskap
Penyusunan Pelaporan Minggu keempat September-November 2007
Laporan Hasil Studi
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan meliputi : peta lokasi, peta penyebaran penduduk,
peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh, Rencana Detil
Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Meuraxa, data iklim, peta topografi, peta tata
guna lahan, dan kuisioner.
Alat yang digunakan terdiri dari : kamera digital (Merk Casio Tipe EX-
Z50, 5 megapixel), komputer, software (Autocad, ACDSee Pro Photo Manager,
Adobe Photoshop, Corel Draw, Excel), alat-alat tulis, GPS, alat pengukur suhu
dan kelembaban, meteran.
Metode Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah Metode perencanaan kawasan wisata sejarah tsunami secara arsitektural
yang digunakan adalah metode pendekatan Gold (1980). Metode perencanaan
Gold adalah tipe perencanaan yang menggabungkan pendekatan tradisional
dengan masa depan, yang menekankan pada campuran antara rencana lingkungan,
ilmu sosial, dan administrasi.
Tahapan perencanaan menurut Gold (1980), yaitu persiapan,
pengumpulan data, analisis dan sintesis, dan perencanaan lanskap. Tahapan proses
perencanaan yang akan dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 4.
18
Gambar 4. Tahapan Proses Penelitian (Modifikasi Gold, 1980)
data fisik: Batas wilayah, objek dan
alur sejarah, geologi, aksesibilitas, topografi dan
kemiringan lahan, tata guna lahan,
kondisi tanah, iklim
data sosial : sejarah pergerakan
kapal PLTD Apung, jumlah dan
kepadatan penduduk, perilaku
serta keinginan penduduk setempat
Pengumpulan Data
Persiapan
Analisis dan Sintesis
Proses
Hasil
• tujuan perencanaan • usulan penelitian • informasi sementara
Perencanaan Lanskap
potensi, kendala, amenity dan danger
signal tapak
Rencana Lanskap Wisata Sejarah Tsunami
data primer dan data sekunder, fakta, dan informasi pendukung
data teknik : RTRW
kota Banda Aceh
alternatif pengembangan tapak terpilih
tata ruang
Aktifitas wisata
Objek-objek sejarah tsunami
infrastruktur
Konsep Wisata Sejarah
Penentuan Batas Tapak
19
Tahapan Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah Persiapan
Pada tahap ini dilakukan penetapan tujuan sebagai langkah awal untuk
mengarahkan suatu tindakan spesifik apa yang akan dilakukan dalam perencanaan
kawasan interpretasi sejarah tsunami. Kemudian diteruskan dengan pengumpulan
informasi mengenai program yang berhubungan dengan pariwisata, pengelolaan
dan aspek sosial lainnya, serta perizinan di berbagai instansi pemerintahan daerah.
Pengumpulan informasi sementara ini menjadi bahan dalam penyusunan usulan
penelitian.
Pengumpulan Data
Inventarisasi merupakan tahapan pengumpulan data dan semua informasi
yang berkenaan dengan kondisi tapak dan faktor-faktor di luar tapak yang
mempengaruhi perencanaan lanskap tersebut. Jenis data dapat berupa data primer
dan data sekunder. Pada Tabel 2 menjelaskan jenis data dan cara pengambilannya,
serta sumber perolehan data. Pengumpulan data dilakukan untuk menentukan
potensi wisata sejarah, kendala, amenity dan danger signal pada tapak dalam
tahap analisis. Potensi merupakan bagian terbaik dari tapak yang dapat
dimanfaatkan dalam pengembangannya sebagai kawasan wisata sejarah. Kendala
merupakan bagian tapak yang berbahaya dan menghambat dalam perencanaan,
tetapi masih dapat diperbaiki untuk dimanfaatkan. Amenity adalah bagian unik,
langka, dan indah dari suatu tapak yang memberikan kenyamanan. Danger signal
merupakan bagian tapak yang sangat berbahaya dan sulit untuk diubah tanpa
mengundang resiko dan diperlukan teknik khusus untuk dapat memperbaiki
kondisi tersebut. Danger signal dapat terjadi karena faktor alam (tsunami, gempa,
badai, abrasi) maupun akibat ketidak tahuan atau ketidak-pedulian manusia (erosi,
sedimentasi dari aliran sungai, pencemaran) (Nurisyah dan Damayanti, 2006).
Metode pengambilan data yang dilakukan adalah metode survei lapang
(berupa pengamatan langsung, dokumentasi dan wawancara) dan studi pustaka.
Survei lapang dilakukan untuk mengetahui keadaan tapak sebenarnya. Studi
pustaka dilakukan untuk mendapatkan data fasilitas standar yang diperlukan.
Studi pustaka diperoleh dari buku-buku acuan, laporan-laporan pendahuluan dan
20
bacaan lain yang berhubungan dan mendukung pelaksanaan studi. Selain itu juga
dilakukan pengumpulan data melalui penelusuran sejarah terjadinya tsunami di
kawasan Ulee Lheue.
Tabel 2. Jenis, Cara, dan Sumber Perolehan Data
Wawancara dilakukan terhadap lima orang responden yang dianggap
sebagai key person dalam menentukan objek-objek yang masih berhubungan
dengan peristiwa terjadinya tsunami, yaitu perwakilan dari Dinas Pariwisata
Provinsi NAD, Kepala kelurahan Desa Punge Blangcut sebagai perwakilan dari
tokoh masyarakat, serta pemilik lahan lokasi kapal PLTD Apung dan masyarakat
sekitar yang menyaksikan sendiri masuknya kapal PLTD Apung ke daerah
pemukiman sebagai perwakilan dari masyarakat setempat. Dari tahap wawancara
ini dapat diketahui kondisi tapak sebelum dan setelah tsunami, keinginan dan
kebutuhan tipe informasi fasilitas interpretasi, serta harapan dari masyarakat
setempat terhadap pembangunan kawasan wisata sejarah di daerah tersebut
(Lampiran 1). Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada para responden, yaitu
Aspek Jenis Data Cara Pengambilan Data Sumber
Fisik 1. Letak, luas, dan status 2. Geologi, tanah &
topografi. 3. Iklim 4. Tata guna lahan 5. Objek dan atraksi
wisata sejarah
Pustaka dan wawancara Pustaka Pustaka Pustaka dan pengamatan
Pustaka dan pengamatan
Bappeda Kotamadya Banda Aceh. Bappeda Kotamadya Banda Aceh, Dinas Tata Kota Banda Aceh. Sta. Klimatologi Banda Aceh. Bappeda Kotamadya Banda Aceh, Dinas Tata Kota Banda Aceh, BRR, dan Lapang. Dinas Kebudayaan Provinsi NAD.
Sosial 1. Data Penduduk 2. Persepsi, tujuan,
aktifitas yang diinginkan masyarakat
2. Perilaku pengunjung
Pustaka Wawancara dengan penduduk Pengamatan
Bappeda Kotamadya Banda Aceh, BRR. Kuisioner Kuisioner
Teknik RTRW kota Banda Aceh
Pustaka
Kantor Pemda NAD
21
mengenai pendapat masyarakat terhadap rencana pembangunan kawasan wisata
bersejarah di kawasan Ulee Lheue, jenis kegiatan atau aktifitas yang dapat
dilakukan, ketersediaan fasilitas wisata, atraksi wisata yang tersedia, serta
preferensi masyarakat dan pengunjung terhadap pengembangan areal kapal PLTD
Apung sebagai kawasan wisata sejarah tunami.
Analisis dan Sintesis
Berdasarkan data yang dikumpulkan, dilakukan analisis terhadap tapak
untuk menentukan potensi dan kendala amenity serta danger signal pada tapak.
Dari data dan informasi yang diperoleh, dilakukan analisis secara deskriptif dalam
bentuk tabular dan data spasial.
Beberapa komponen dari data fisik dan data teknik akan dianalisis secara
deskriptif dalam bentuk tabular dan spasial. Data teknik yang dianalisis yaitu
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Bagian Wilayah Kota (BWK).
Komponen data fisik yang dianalisis, yaitu batas dan luas kawasan perencanaan,
aksesibilitas (sistem sirkulasi dan transportasi), tata guna lahan, biofisik yaitu
topografi dan kemiringan lahan, kondisi tanah, iklim (suhu udara, curah hujan dan
kecepatan dan arah angin, kelembaban udara dan persentase penyinaran matahari).
Untuk data sosial budaya akan dianalisis secara deskriptif.
Setelah meng-overlay seluruh data dan informasi, kemudian akan
dilanjutkan dengan tahap sintesis. Pada tahap ini akan diperoleh alternatif terpilih
pengembangan potensi dan pemecahan masalah untuk mendapatkan hasil yang
sesuai dengan tujuan perencanaan tapak tersebut. Hasil dari sintesis berupa
alternatif terpilih untuk menentukan konsep yang kemudian akan dijadikan acuan
dalam rencana pengembangan pembagian ruang dengan mempertimbangkan
aspek sosial-budaya masyarakat setempat, nilai sejarah tapak, dan aspek biofisik
tapak, sehingga diharapkan fungsi wisata dapat berjalan dan nilai sejarahnya tetap
lestari.
22
Perencanaan Lanskap
Merupakan tahapan untuk menentukan pengembangan yang akan
dilakukan dalam menata ruang dan fasilitas melalui penelusuran sejarah tsunami.
Pra-perencanaan ini disajikan dalam bentuk rencana tata ruang dengan pembagian
ruang dan letak fasilitas berdasarkan kesesuaian lahan yang mendukung kegiatan
wisata dan interpretasi sejarah. Rencana pengembangan areal kapal PLTD Apung
sebagai kawasan wisata sejarah tsunami akan diterjemahkan kedalam bentuk
rencana lanskap (landscape plan).
KONDISI UMUM KAWASAN PERENCANAAN
Wilayah Kota Banda Aceh Kota Banda Aceh yang merupakan ibukota dari Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), terletak di pantai utara Pulau Sumatera pada 05º30’-
05º35’LU dan 95º30’-99º16’BT. Kota Banda Aceh berada pada ketinggian rata-
rata 0,80 m diatas permukaan laut (dpl). Kawasan ini rawan terhadap banjir
khususnya apabila terjadi secara bersamaan banjir kiriman dari perbukitan di
Kabupaten Aceh Besar, pasang air laut, dan hujan yang lebat di Banda Aceh.
Luas wilayah kota Banda Aceh adalah 61,359 Km2 yang terbagi atas 9
kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 89 desa (Bappeda Kota Banda Aceh,
2006). Adapun batas-batas wilayah kota Banda Aceh (Gambar 5) adalah sebagai
berikut :
Utara : Selat Malaka
Selatan : Kecamatan Darul Imarah dan Kecamatan Ingin Jaya, Kab. Aceh Besar
Barat : Kecamatan Peukan Bada dan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar
Timur : Kecamatan Kuta Baru dan Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh
Besar.
Luas dan persentase wilayah kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Luas dan Persentase Wilayah Kecamatan di Kota Banda Aceh
No. Kecamatan Luasan Wilayah (Km2) Persentase (%)
1. Meuraxa 7,258 11,83
2. Baiturrahman 477.8 7,40
3. Kuta Alam 442.4 16,37
4. Ulee Kareng 934.1 10,02
5. Jaya Baru 365.4 6,16
6. Banda Raya 464.6 7,80
7. Leung Bata 895.0 8,70
8. Syiah Kuala 1414.9 23,21
9. Kuta Raja 587.2 8,49
Total 61,359 100,00
Sumber : Revisi RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2006-2016
24
Gambar 5. Batas Wilayah dan Kecamatan di Kota Banda
Aceh
25
Secara geologis, Pulau Sumatera dilalui oleh patahan aktif yang
memanjang dari Banda Aceh di utara hingga Lampung di selatan, yang dikenal
sebagai Sesar Semangko (Semangko Fault) (Gambar 6). Patahan ini bergeser
sekitar 11 cm/tahun. Oleh karenanya, daerah yang terlintasi patahan ini rentan
terhadap gempa dan longsor. Kota Banda Aceh terletak diantara dua patahan
(sebelah timur – utara dan sebelah barat – selatan kota) atau berada pada
pertemuan Plate Euroasia dan Australia berjarak ± 130 km dari garis pantai barat
sehingga daerah ini sangat rawan terhadap bahaya tsunami.
Gambar 6. Patahan Semangko (Sumber : Bappeda Kota Banda Aceh, 2006)
Berdasarkan keterangan tersebut, daerah Ulee Lheue merupakan salah satu
daerah yang mengalami kerusakan paling parah di kota Banda Aceh. Pada saat
terjadinya bencana tsunami, ketinggian air di daerah ini mencapai 20 m. Selain
letaknya yang berada di daerah patahan aktif, kerusakan juga dikarenakan
Ruas-ruas Patahan Semangko
Kota Banda Aceh
26
jaraknya yang tidak terlalu jauh dari laut. Dengan demikian, pembangunan di
daerah ini harus berada pada fungsi-fungsi ruang kota dalam wujud zonasi
berdasarkan tingkat potensi kerusakan, serta dilengkapi dengan berbagai sarana
dan prasarana perlindungan terhadap bencana gempa dan tsunami.
Kawasan Bencana Tsunami Bencana alam gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004
menyebabkan kerusakan di berbagai kecamatan di Kota Banda Aceh. Dari 9
kecamatan ada 6 kecamatan yang mengalami kehancuran baik hancur total, rusak
berat, rusak sedang dan ringan. Kecamatan yang mengalami kerusakan yaitu
Kecamatan Meuraxa, Jaya Baru, Kuta Raja, Kuta Alam, Baiturahman dan Syiah
Kuala. Dilihat dari tingkat kerusakan, wilayah kota Banda Aceh dan sekitarnya
dibagi menjadi tiga bagian wilayah kerusakan (Gambar 7), yaitu:
1. bagian wilayah kota A yang mengalami rusak total
2. bagian wilayah kota B yang mengalami rusak struktur bangunan, dan
3. bagian wilayah kota C yang mengalami rusak ringan.
Gelombang tsunami menyebabkan sekitar 70% dari wilayah kota terendam
air dan kerusakan fisik mencapai 60%, bahkan Kecamatan Meuraxa mengalami
kerusakan mencapai 100%. Untuk Kecamatan Jaya Baru mengalami kerusakan
sekitar 92% dari luas wilayahnya 378 Ha.
Sesuai dengan strategi pengembangan Kota Banda Aceh RTRW 2010
yang memadukan antara pengembangan multi-center dan linear-growth, maka
struktur pusat pelayanan kegiatan kota mengalami perubahan seperti yang tertera
pada Gambar 8. Pengertian dari multi-center adalah memberikan fungsi tertentu
pada titik-titik tumbuh (pusat pelayanan). Sedangkan linear growth adalah
memberikan dan meningkatkan kondisi/fungsi jaringan atau prasarana transportasi
pada daerah yang dikembangkan.
27
Gambar 7. Peta Tingkat Kerusakan Akibat Tsunami di Tiap Kecamatan di Kota
Banda Aceh
(Sumber : RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016)
Sebelum bencana tsunami melanda Aceh, Kecamatan Jaya Baru termasuk
dalam salah satu sub pusat Struktur Pusat Pelayanan Kegiatan di Kota Banda
Aceh, yaitu sub pusat Ulee Lheue. Lokasi sub pusat Ulee Lheue yang berbatasan
langsung dengan Selat Malaka menyebabkan kawasan ini hancur di seluruh
wilayahnya. Untuk mengantisipasi kerusakan yang lebih tinggi lagi, sub pusat
Ulee Lheue mengalami pergeseran peran pusat-pusat pelayanan ke kawasan
bagian selatan Kota Banda Aceh. Hal ini dikarenakan kawasan selatan kota
(kawasan prioritas) memiliki daya tarik yang kuat bagi pengembangan kota di
masa datang karena kawasan ini mempunyai ”keunggulan” dibanding kawasan
lainnya, antara lain :
1. Kawasan ini terbebas dari bencana tsunami, sehingga secara psikologis
masyarakat yang menghuni kawasan ini merasa lebih aman.
A B
C
28
Sebelum tsunami
Gambar 8. Skema Struktur Pusat Pelayanan Kegiatan Kota Banda Aceh
(Sumber : Bappeda Kota Banda Aceh, 2006)
2. Masih tersedianya lahan yang cukup bagi pengembangan permukiman dan
fasilitas umum kota.
3. Tersedianya akses yang cukup baik yakni dengan keberadaan jalan arteri
primer (Jalan Elak/Jl. Soekarno-Hatta) dan jalan tembus baru dari
Simpang Surabaya ke Jalan Elak.
Dengan adanya perubahan sub pusat pelayanan di kota Banda Aceh, maka
berdasarkan hasil analisis, pengembangan di kawasan kapal PLTD Apung lebih
mengarah kepada upaya mengantisipasi dampak bencana tsunami. Pembangunan
dilakukan berdasarkan potensi yang ada pada tapak dan menyesuaikan dengan
kesesuaian lahan.
Setelah tsunami
DATA DAN ANALISIS
Bencana tsunami dan gempa bumi yang terjadi di Kota Banda Aceh pada
tanggal 26 Desember 2004 meninggalkan banyak peninggalan yang dapat
dijadikan sebagai obyek dan daya tarik wisata sejarah yang potensial. Obyek-
obyek tersebut jika ditata dapat dijadikan salah satu daya tarik sebagai kawasan
pariwisata yang dapat mengingat dan mengenang peristiwa dan dampak dari
bencana tsunami.
Kawasan wisata tsunami diarahkan di kawasan Ulee Lheue, daerah ini
merupakan daerah yang hancur parah akibat bencana tersebut. Kawasan kapal
PLTD Apung yang menjadi artifak utama pada tapak dalam kegiatan perencanaan
ini, merupakan bagian dari wilayah kecamatan Meuraxa dan Kecamatan Jaya
Baru yang awalnya merupakan pemekaran wilayah Kecamatan Meuraxa.
Kondisi Tapak sebelum Tsunami Dari segi penggunaan lahan sebelum kejadian tsunami, kawasan
Kecamatan Meuraxa dan Jaya Baru merupakan kawasan pantai yang sebagian
besar wilayahnya berupa kawasan pertambakan. Dalam beberapa tahun terakhir
sebelum terjadinya tsunami, kawasan ini dijadikan sebagai permukiman, pusat
pelayanan jasa, tambak dan kawasan hutan lindung mangrove. Namun setelah
terjadinya tsunami, sebagian besar mangrove di daerah ini hilang (Gambar 9).
Kejadian Saat Tsunami Untuk mendapatkan gambaran terjadinya tsunami pada tanggal 26
Desember 2004 yang lalu, dilakukan wawancara terhadap lima orang narasumber
dari pemerintah, tokoh masyarakat, pemilik rumah, serta dua orang masyarakat
yang pada saat itu berada di tempat kejadian. Berdasarkan hasil wawancara, dapat
diketahui bahwa pada saat terjadinya gempa bumi pada tanggal 26 Desember
2004 pukul 08.00 WIB, sebagian besar masyarakat berada di dalam rumah.
30
Gambar 9. Kondisi Peruntukan Lahan di Kawasan Ulee Lheue Setelah Bencana Tsunami
(a) Kawasan Permukiman
(d) Hutan Mangrove yang Hilang Akibat Tsunami
(c) Kawasan Tambak
(b) Kawasan Pelabuhan Pasca Tsunami
a
b
c
d
Peta orientasi
Selat Malaka
Deah Glumpang
Lambung
Blang Oi
Punge Ujong
Punge Blangcut
Gampong Baro
Cot Lamkuweuh
Ulee Lheue
0 68 204 m
Zona awal kapal Zona pergerakan kapal Zona akhir kapal
31
Gempa tektonik berkekuatan 8.9 skala Richter tersebut menyebabkan beberapa
bangunan rumah runtuh. Selain itu, gempa bumi ini juga menimbulkan gelombang
tsunami. Gelombang besar ini bergerak dari Selat Malaka dan perairan Ulee
Lheue menuju daratan dengan kecepatan tinggi melalui permukaan dan bagian
dalam tanah. Sebagian besar benda-benda dan bangunan yang dilalui gelombang
ini hancur. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang tidak sempat melarikan diri
juga menjadi korban.
Kapal PLTD Apung yang semula berada di Pelabuhan Ulee Lheue terbawa
oleh ombak dan arus air laut hingga akhirnya terdampar di kawasan pemukiman
penduduk di daerah Punge Blangcut Kecamatan Jaya Baru, sekitar 4 km dari
posisi awal (Gambar 10). Kapal ini terbawa arus dan ombak air laut dari dua arah,
yakni dari arah Ulee Lheue dan dari arah Peunayong (utara Kota Banda Aceh).
Beberapa desa yang dilewati kapal PLTD Apung, yaitu Desa Deah Glumpang,
Lambung, Blang Oi, Punge Jurong, dan Punge Blangcut.
Pada saat kapal terbawa gelombang tsunami dari arah Ulee Lheue, kapal
berjalan lurus ke arah kota. Namun gelombang tsunami dari arah Peunayong
menyebabkan kapal berubah arah dan sempat berputar-putar di atas atap rumah-
rumah penduduk. Umumnya, rumah penduduk yang dilalui kapal tersebut rusak
parah akibat hantaman badan kapal dan jangkar kapal yang pada saat itu masih
dalam kondisi berlabuh di perairan Ulee Lheue. Akibatnya, jangkar kapal
menarik bangunan dan benda lain yang dilaluinya.
Pada saat terjadinya tsunami, kapal ini sempat menyelamatkan banyak
orang. Namun, satu hal yang sulit difahami adalah selama perjalanannya, kapal ini
tidak menabrak mesjid yang terdapat dalam jalur pelayarannya, yaitu mesjid
Subulussalam. Menurut narasumber, jalur kapal PLTD Apung seolah-olah ada
yang membelokkan, sehingga tidak menabrak mesjid. Diperkirakan dikarenakan
adanya gelombang air laut yang membelokkan kapal tersebut. Letak mesjid ini
tidak jauh dari posisi kapal saat ini. Kondisi mesjid ini sendiri telah mengalami
pemugaran kembali dan masih digunakan oleh masyarakat setempat sebagai
tempat beribadah.
32
Gambar 10. Jalur Masuk Kapal PLTD Apung ke
Daratan
33
Pada saat air laut surut, kapal PLTD Apung ini akhirnya mendarat di atas
sebuah rumah dan menimpa seluruh bangunan rumah. Dengan kebijakan Pemda
Kota Banda Aceh, kapal dengan bobot ribuan ton ini akhirnya dijadikan sebagai
salah satu bukti sejarah tsunami di Kota Banda Aceh. Para korban tsunami di
daerah ini kemudian dimakamkan di Kuburan Massal yang dijadikan sebagai
sebuah Monumen Syuhada atau yang lebih dikenal Taman Syuhada.
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, dapat diketahui sejarah
terjadinya tsunami tersebut, serta bagaimana kapal PLTD Apung sampai ke
posisinya saat ini (Gambar 11). Kapal ini perlu dilestarikan untuk menjaga
peninggalan sejarah dan edukasi yang bernilai tinggi bila dikembangkan.
Disamping itu juga dapat mendukung perekonomian daerah tersebut sebagai
kawasan tujuan wisata.
Untuk menentukan batas kawasan yang akan direncanakan, ditentukan
berdasarkan luas lahan dalam Pembebasan Tanah Tahap 1 yang dilakukan oleh
pemerintah kota Banda Aceh sebagai kawasan sejarah. Untuk kawasan
kepariwisataan, areal diperluas ke area yang masih ada kaitannya dengan kejadian
pada saat tsunami terjadi, yaitu berdasarkan jalur pergerakan kapal (Gambar 12).
Adapun batas-batas kawasan perencanaan yaitu :
Utara : berbatasan dengan Selat Malaka, dan Kecamatan Kuta Raja.
Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Jaya Baru
Timur : berbatasan dengan Kecamatan Baiturrahman dan Krueng Doy
Barat : berbatasan dengan Selat Malaka
Berdasarkan cerita yang diperoleh mengenai sejarah pergerakan kapal
PLTD Apung mulai dari posisinya awal kapal yang berada di Perairan Ulee Lheue
hingga menuju ke kawasan pemukiman (kejadian saat tsunami), maka dapat
diketahui beberapa obyek bersejarah yang berpotensi untuk dijadikan sebagai
obyek wisata sejarah (Tabel 3).
34
Gambar 11. Foto Udara yang Menggambarkan
Lokasi Kapal PLTD Apung Pasca Tsunami
35
Gambar 12. Batas Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah
Tsunami
36
Tabel 3. Obyek Wisata Sejarah yang Diusulkan berdasarkan Urutan Kejadian Pergerakan Kapal PLTD Apung
Berdasarkan data pada Tabel 3, terlihat bahwa kondisi di beberapa lokasi
obyek wisata masih minim akan aktivitas dan fasilitas yang terbatas. Keadaan ini
dipengaruhi oleh belum adanya upaya penataan dan pengelolaan kawasan wisata
tsunami secara terkoordinir. Selain itu, perhatian pemerintah setempat lebih
terfokus pada pembenahan fasilitas umum yang rusak akibat bencana gempa dan
tsunami.
Kondisi Fisik Tapak Setelah Tsunami Setelah terjadinya tsunami, kondisi di sekitar Ulee Lheue mengalami rusak
parah. Beberapa wilayah di kecamatan ini sebagian hilang karena tenggelam air
laut. Pola pemanfaatan ruang yang akan dikembangkan pada tapak lebih
mengarah kepada pengembangan fisik ke arah daratan, tetapi karakteristik
kawasan sebagai kota tepi pantai juga akan tetap dipertahankan sesuai dengan
kondisi geografisnya.
Saat ini, kondisi di sekitar kawasan kapal PLTD Apung mengalami
perbaikan. Sebagian besar penduduk yang selamat kembali membangun dan
Eksisting No. Lokasi Pembagian
Zona
Obyek Wisata
Aktivitas Fasilitas
1. Desa Ulee Lheue
Posisi awal kapal
Perairan Ulee Lheue
sightseeing -
2. Desa Lambung Pergerakan kapal
Desa Percontohan Pasca Tsunami
Pengamatan, penelitian
Sirene tower (Sea Defence Study), jalan
3. Desa Punge Ujong
Pergerakan kapal
Rumah Tsunami sightseeing -
4. Desa Punge Blangcut
Posisi akhir kapal
Mesjid Subulussalam
beribadah Toilet
5. Desa Punge Blangcut
Posisi akhir kapal
Kapal PLTD Apung
Sightseeing, foto hunting
Parkiran, guide
6. Desa Ulee Lheue
Di luar jalur interpretasi
Monumen Syuhada
Sightseeing, berjalan-jalan, berdoa
sign board, trackking
7. Desa Ulee Lheue
Di luar jalur interpretasi
Mesjid Baiturrahim
Sightseeing, foto hunting
Toilet, parkiran
37
memperbaiki rumah yang rusak. Selain itu, pihak BRR dan berbagai LSM lainnya
juga turut membantu rekonstruksi dan rehabilitasi di daerah tersebut (Gambar 13).
Gambar 13. Kondisi Rumah di Sekitar Tapak Pasca Tsunami
Dalam perencanaan kawasan wisata sejarah tsunami, keberadaan
pemukiman yang terlalu padat dan lokasinya yang terlalu berdekatan dengan
obyek bersejarah dapat mengganggu upaya pelestariannya. Hal ini berkaitan
dengan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat seperti penjualan ikan
di samping kapal PLTD Apung. Pemukiman yang jaraknya terlalu dekat dengan
obyek wisata disarankan untuk dipindahkan ke area lain yang memungkinkan
untuk pembangunan pemukiman. Sedangkan beberapa rumah yang rusak akibat
tsunami tetap dipertahankan sebagai bagian dari bukti sejarah tsunami.
(a) Rumah Penduduk yang Mulai Dibangun Kembali
(b) Kondisi Rumah Penduduk yang Dipertahankan sebagai Obyek Sejarah
Kawasan Permukiman
(c) Salah Satu Rumah Bantuan dari LSM Kawasan Permukiman
38
Masuknya kapal PLTD Apung akibat gelombang tsunami ke daerah
pemukiman padat di daerah ini merupakan salah satu sejarah fisik dan sosial yang
penting untuk diingat oleh seluruh bangsa sehingga perlu untuk dilestarikan. Hal
ini dimaksudkan untuk memberikan suatu makna simbolis bagi peristiwa
terjadinya tsunami yang hebat dan menghancurkan tersebut.
Untuk merealisasikannya, direncanakan akan dibangun suatu kawasan
wisata sejarah tsunami. Dalam kawasan ini juga direncanakan jalur dan media
interpretasi sejarah untuk memudahkan pengunjung mengerti dan memahami
mengenai sejarah terjadinya tsunami sehingga pengunjung menyadari akan
bahaya yang ditimbulkan dari bencana ini, serta ikut menjaga dan melestarikan
obyek-obyek bersejarah tersebut.
Potensi Wisata Sejarah Tsunami Batas dan Luas Kawasan Perencanaan
Secara geografis, lokasi PLTD Apung terletak antara 5º32’30”-
5º34’40”LU dan 95º16’35”- 95º19’18”BT. Berbeda dengan luasan yang
direncanakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) kota Kota Banda Aceh dalam
RTRW 2006-2016 yaitu sekitar 18,162 Ha atau 0,296 % dari luas Kota Banda
Aceh. Luas tapak yaitu sekitar 219,37 Ha, dengan asumsi bahwa kawasan wisata
diperluas sesuai dengan kesepakatan antara Pemda Kota Banda Aceh dengan
masyarakat. Berdasarkan luasan tersebut, maka luas kawasan yang direncanakan
oleh pemerintah perlu diperluas. Jaraknya yang tidak telalu jauh dari pusat kota
Banda Aceh, memudahkan pengunjung untuk datang ke daerah ini.
Secara administratif, lokasi kapal PLTD Apung berada di desa Punge
Blang Cut Kecamatan Jaya Baru dan sebagian kawasan lainnya termasuk
Kecamatan Meuraxa, Kotamadya Banda Aceh. Daerah ini termasuk wilayah
perkotaan yang diapit oleh beberapa desa, diantaranya Gampong Baro, Punge
Ujong, Punge Jurong dan Sukaramai dari kecamatan Baiturrahman. Lokasi kapal
juga dekat dengan jalan arteri dan pusat kota. Hal ini merupakan potensi dalam
mengembangkan kawasan ini menjadi kawasan wisata.
39
Sebagai salah satu calon daerah tujuan wisata tsunami di kota Banda Aceh,
kondisi di sekitar kapal PLTD Apung masih sangat minim dari kenyamanan
berwisata dan fasilitas masih kurang memadai (Gambar 14). Saat ini, obyek
wisata yang telah terencana dengan baik hanya Monumen Syuhada dan Mesjid
Baiturrahim. Sebagian obyek wisata yang lainnya hanya berupa obyek bersejarah
tanpa adanya penataan kawasan wisata yang terencana dan tertata dengan baik.
Kondisi ini dapat ditingkatkan dengan mendata dan mengurutkan rangkaian
obyek-obyek bersejarah yang berpotensi untuk dikembangkan dan mengadakan
atraksi-atraksi wisata yang masih berhubungan dengan tsunami .
Sebagian besar area kapal berupa lahan kosong dan beberapa ditanami
rumput liar dan tanaman rawa, seperti dari jenis Thypa. Bahkan di beberapa
lokasi, masyarakat setempat membuang sampah di lokasi kapal. Pembuangan
sampah tidak pada tempatnya mengurangi keindahan di sekitar kapal PLTD
Apung. Oleh karena itu, tempat pembuangan sampah ini harus dipindahkan, dan
disediakan tempat pembuangan yang tidak terlalu dekat dengan kapal, sebagai
obyek wisata, dan tidak mengurangi keindahan tapak.
Selain membuang sampah sembarangan, di lokasi kapal PLTD Apung juga
dijumpai penjual yang menggelar barang dagangannya, yaitu berbagai jenis ikan.
Bau tidak sedap yang ditimbulkan dari penjualan ikan tersebut mengganggu
pengunjung. Kondisi ini menurunkan citra kapal PLTD Apung sebagai salah satu
obyek sejarah tsunami dan dapat menurunkan jumlah pengunjung yang datang ke
lokasi wisata ini. Menghadapi masalah seperti ini, perlu adanya penempatan atau
lokalisasi penjualan ikan, sehingga tidak mengganggu upaya pelestarian obyek
bersejarah. Selain itu juga diperlukan peraturan yang tegas mengenai larangan
berjualan di tempat yang tidak semestinya.
40
Gambar 14. Kondisi Tapak di Sekitar Kapal PLTD Apung
(a) Pemandangan yang tidak mengenakkan akibat adanya pembuangan sampah di sekitar
kapal
(b) Penjual Ikan Menggelar Dagangannya Dipinggir Kapal PLTD Apung
(c) Rumah Penduduk terlalu dekat dengan kapal
(d) Tanaman alang-alang mendominasi tapak memberi kesan tapak tampak tidak
terurus
Peta orientasi
Selat Malaka
Deah Glumpang
Lambung
Blang Oi
Punge Ujong
Punge Blangcut
Gampong Baro
Cot Lamkuweuh
Ulee Lheue
0 68 204 m
Zona awal kapal Zona pergerakan kapal Zona akhir kapal
a bd
c
41
Obyek-Obyek Wisata Sejarah Tsunami
Perencanaan kawasan wisata dan jalur interpretasi sejarah tsunami di Aceh
lebih dipusatkan di daerah Ulee Lheue. Beberapa titik-titik obyek interpretasi
berdasarkan urutan kesejarahannya merupakan obyek wisata utama sejarah
tsunami.
Obyek Wisata Utama
Obyek wisata utama merupakan obyek-obyek wisata sejarah yang masih
berkaitan dengan jalur masuknya kapal PLTD Apung ke daratan. Beberapa obyek
wisata sejarah tsunami yang dapat ditemui di sepanjang jalur interpretasi, yaitu:
1. Perairan Ulee Lheue
Perairan Ulee Lheue (Gambar 15), merupakan kawasan yang berada di
lingkungan pelabuhan Ulee Lheue, pelabuhan antar samudera di kota Banda
Aceh. Daerah ini juga merupakan lokasi awal kapal PLTD Apung sebelum
terjadinya tsunami. Dalam perencanaan kawasan wisata dan jalur interpretasi
sejarah tsunami ini, kawasan ini merupakan titik awal dari jalur interpretasi
sejarah tsunami.
Gambar 15. Perairan Ulee Lheue
2. Desa Lambung
Diantara beberapa desa yang dilalui oleh kapal PLTD Apung, Desa
Lambung (Gambar 16) terpilih sebagai desa yang mewakili desa-desa lainnya
42
sebagai desa yang mengalami kerusakan terparah. Kondisi Desa Lambung
pasca tsunami sangat berbeda dengan saat sebelum tsunami terjadi. Desa ini
awalnya merupakan desa yang ramai penduduk. Pasca tsunami, di desa ini
tidak ada satu pun bangunan yang masih utuh. Oleh karena itu, desa Lambung
dapat dijadikan salah satu media obyek interpretasi yang mampu
merefleksikan kondisi dan suasana desa pasca bencana tsunami.
Gambar 16. Desa Lambung
3. Rumah Tsunami
Rumah ini (Gambar 17) terdapat di Desa Punge Ujong. Obyek wisata ini
merupakan salah satu rumah yang masih tersisa dan masih dapat diperbaiki
walaupun mengalami beberapa kerusakan akibat benturan-benturan kapal.
Rumah ini tetap dipertahankan mengingat rumah ini merupakan bukti bahwa
kapal PLTD Apung tidak menghancurkan rumah tersebut. Jaraknya yang tidak
terlalu jauh dari jalan Sultan Iskandar Muda memudahkan pengunjung untuk
mendatangi lokasi ini atau hanya sekedar melihatnya dari jalan.
4. Mesjid Subulussalam
Setelah melewati rumah-rumah penduduk, kapal bergerak ke selatan kota
menuju Mesjid Subulussalam (Gambar 18) akibat hempasan gelombang
tsunami yang datang dari arah Peunayong. Seperti yang telah dijelaskan, kapal
43
tidak menabrak mesjid tersebut, tetapi sempat berputar-putar, kemudian
bergerak ke selatan kota dan akhirnya berhenti di atas rumah salah satu warga
Punge Blangcut. Saat ini mesjid telah mengalami perbaikan dan dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu fasilitas peribadatan dalam kawasan wisata.
Gambar 17. Rumah Tsunami
Gambar 18. Mesjid Subulussalam
44
5. Kapal PLTD Apung
Kapal PLTD Apung (Gambar 19) merupakan obyek wisata utama dalam
perencanaan ini. Hal ini dikarenakan kapal ini telah berpindah lokasinya dari
Pelabuhan Ulee Lheue hingga sampai di kawasan pemukiman padat di
kelurahan Punge Blangcut akibat tsunami. Dalam perjalananya, kapal ini juga
sempat menyelamatkan beberapa orang. Akibat bobotnya yang berton-ton,
maka kapal ini tetap dibiarkan ditempatnya dan dijadikan sebagai salah satu
monumen bersejarah di Aceh. Peristiwa ini menunjukkan betapa dasyatnya
bencana tsunami yang terjadi di Aceh.
Gambar 19. Kapal PLTD Apung
6. Monumen Syuhada atau Taman Syuhada
Monumen Syuhada (Gambar 20) merupakan kuburan massal bagi para
korban bencana gempa bumi dan tsunami di kawasan Ulee Lheue pada tanggal
26 Desember 2004. Pekuburan ini dinamakan Monumen Syuhada atau Taman
Syuhada dengan berdasarkan pada ajaran agama Islam bahwa para korban
yang meninggal dalam kondisi bencana alam merupakan para syuhada dan
tidak wajib untuk dimandikan sebelum dimakamkan.
Monumen Syuhada berada di Jalan Sultan Iskandar Muda. Letaknya yang
berada di pinggir jalan memudahkan pengunjung untuk mengakses lokasi ini.
Saat ini, obyek wisata pendukung ini sudah tertata dengan baik. Kekurangan
45
dari penataannya adalah tidak tersedianya area parkir, sehingga banyak
pengunjung yang membawa kendaraan pribadinya memarkirkan kendaraannya
di pinggir jalan. Keadaan ini dapat menyebabkan kemacetan, terutama pada
hari peringatan Tsunami 26 Desember setiap tahunnya, dan hari-hari besar
Agama Islam, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Gambar 20. Monumen Syuhada
7. Mesjid Baiturrahim
Selain Monumen Syuhada yang berada di luar jalur pergerakan kapal
PLTD Apung, begitu juga halnya dengan Mesjid Baiturrahim (Gambar 21)
merupakan salah satu dari beberapa mesjid di Kota Banda Aceh yang berada
di pesisir pantai. Pada saat bencana tsunami terjadi, mesjid Baiturrahim tidak
mengalami kerusakan yang berarti dan menjadi salah satu tempat berlindung
masyarakat sekitarnya. Pasca tsunami, korban yang selamat berkumpul di
mesjid ini dan pemberian bantuan dilakukan di tempat ini. Selain itu korban
tsunami yang meninggal juga dikumpulkan di mesjid ini untuk kemudian
dikebumikan di lokasi Monumen Syuhada.
Selamatnya bangunan mesjid dari gelombang tsunami merupakan suatu
keajaiban dimana semua bangunan yang berada disekitarnya hancur dan yang
46
tersisa hanyalah pondasi bangunan itu sendiri. Keberadaan mesjid ini
merupakan salah satu bukti kekuasaan Allah SWT yang patut direnungkan.
Walaupun letaknya yang berada di luar jalur interpretasi wisata,
keberadaannya Monumen Syuhada dan Mesjid Baiturrahim mendukung
keberadaan tapak sebagai kawasan wisata sejarah tsunami. Dengan demikian,
obyek Monumen Syuhada dan Mesjid Baiturrahim dapat menjadi salah satu
obyek wisata alternatif.
Gambar 21. Mesjid Baiturrahim
Obyek Wisata Pendukung
Selain terdapat beberapa obyek wisata utama, di kawasan Ulee Lheue juga
terdapat obyek wisata sejarah tsunami pendukung. Obyek wisata pendukung ini
masih berkaitan dengan peristiwa bencana tsunami. Beberapa obyek pendukung
wisata sejarah, yaitu :
1. Tsunami Interpreting Outdoor Playground
Tsunami Interpreting Outdoor Playground merupakan tempat untuk
memberikan pengetahuan dan pembelajaran kepada anak-anak mengenai
tsunami, mulai dari tanda-tanda akan adanya tsunami hingga cara-cara
penyelamatan diri yang dapat dilakukan apabila bencana tersebut terulang
kembali.
47
2. Museum Tsunami
Museum ini merupakan museum yang menyimpan berbagai hal yang
berkaitan dengan tsunami dan sejarah terjadinya tsunami di Aceh dan di
beberapa negara di dunia yang pernah dilanda bencana tsunami. Keberadaan
museum ini diharapkan dapat menjadi salah satu pusat informasi dan ilmu
pengetahuan bagi pengunjung yang ingin mengetahui segala sesuatu mengenai
tsunami dan cara-cara penyelamatan dari bencana tsunami.
3. Sirene Tower
Bangunan Sirene Tower adalah menara yang dibangun untuk memberikan
informasi mengenai tanda-tanda gelombang pasang dan terjadinya tsunami
bagi masyarakat di Kota banda Aceh umumnya dan masyarakat di pesisir
pantai Ulee Lheue khususnya. Dengan demikian, masyarakat dapat
menyelamatkan diri.
4. Refuge Building Inventory
Merupakan salah fasilitas yang diperuntukkan bagi penyelamatan pertama
dalam menghadapi korban bencana tsunami.
5. Amphitheater
Amphitheater lebih difungsikan sebagai sarana pementasan atraksi wisata
seperti tarian-tarian tradisional Aceh maupun opera mengenai tsunami.
6. Coastal Forest
Merupakan formasi tanaman pantai seperti bakau, pohon sagu, dan pohon
kelapa yang memiliki kemampuan alamiah untuk mereduksi gelombang
tsunami. Coastal forest merupakan solusi dari kelemahan penggunaan struktur
buatan seawell dan breakwater.
Aksesibilitas
Kawasan PLTD Apung memiliki aksesibilitas yang cukup baik dan mudah
dicapai dengan sistem jaringan sirkulasi yang baik. Jarak antara lokasi
perencanaan ke pusat kota Banda Aceh sekitar 2 km dan jarak ke pelabuhan Ulee
Lheue sekitar 4 km (Gambar 22).
Berdasarkan Gambar 22, untuk menuju ke lokasi tapak dapat melalui
beberapa jalan alternatif utama yaitu melalui Jalan Iskandar Muda (dari pusat
kota Banda Aceh), dari arah pusat kota melalui Jalan Rama Setia, dari arah
48
Lamteumen, dan dari arah Pantai Lhok Nga. Untuk aksesibilitas dari arah Pantai
Lhok Nga dapat menempuh Jalan Lhok Nga yang merupakan jalur lingkar luar
Kota Banda Aceh, atau dapat juga melalui Jalan Teuku Umar, kemudian menuju
jalan Sultan Iskandar Muda.
Kondisi jalan dari keempat akses yang dapat dilalui secara umum rusak,
berbatu, berdebu dan berlubang. Kondisi ini sangat mengganggu pernafasan bagi
para pengendara kendaraan, terutama kendaraan beroda dua dan beroda tiga
(becak motor). Perbaikan jalan sangat dibutuhkan guna memperlancar kegiatan
berwisata.
Gambar 22. Diagram Aksesibilitas Menuju Kapal PLTD Apung
Berdasarkan berbagai alternatif aksesibilitas menuju kawasan kapal PLTD
Apung pada Gambar 22, akses dari arah Jl. Rama Setia menjadi akses yang paling
dekat dari pusat kota Banda Aceh dan merupakan interpretasi dari jalur sejarah
masuknya kapal PLTD Apung ke daratan akibat tsunami. Selain melalui Jl. Rama
Keterangan :
Akses masuk
Jalan alternatif
Lhok Nga
Pusat Kota melalui Jl. Sultan Iskandar Muda
Pusat Kota melalui Jl. Rama Setia
Dari Arah Lamteumen
Tapak
± 30 menit
± 10 menit
± 50 menit
± 15 menit ± 10 menit
± 90 menit
± 15 menit
± 40 menit
49
Setia, akses menuju tapak juga dapat ditempuh melalui baberapa jalan alternatif
dari berbagai wilayah di Kotamadya Banda Aceh. Untuk memudahkan
pengunjung memahami jalur sejarah tsunami yaitu dengan menempatkan
signboard-singboard di beberapa titik akses masuk alternatif menuju tapak.
Transportasi di kota Banda Aceh memiliki jaringan pelayanan dalam dan
luar kota. Jaringan pelayanan dalam kota meliputi kendaraan umum, yaitu
angkutan umum atau yang umumnya disebut labi-labi, becak, bus Damri dan mini
bus (L300). Untuk jaringan luar kota dilayani oleh angkutan lintas propinsi seperti
bus antar kota, pesawat terbang, dan kapal laut.
Untuk menuju lokasi kapal PLTD Apung dengan menggunakan angkutan
umum, saat ini kondisinya hanya bisa dilalui oleh becak, dan mini bus, sedangkan
angkutan labi-labi hanya melewati jalur yang sudah ditetapkan oleh pemerintah
kota, yaitu hanya sampai jalan Sultan Iskandar Muda. Melihat perkembangan
yang terjadi, banyak pengunjung yang mendatangi lokasi kapal PLTD Apung
dengan kendaraan pribadi.
Dari Mesjid Raya Baiturrahman (pusat kota Banda Aceh) menuju kawasan
PLTD Apung, jika menggunakan angkutan umum dapat menggunakan labi-labi,
jurusan Ulee Lheue. Sedangkan dari arah Pantai Lhok Nga dapat menggunakan
labi-labi jurusan Lhok Nga, atau dapat juga menggunakan labi-labi jurusan
Leupung. Hal ini dikarenakan daerah ini merupakan daerah terkena tsunami yang
terparah di kecamatan Jaya Baru. Oleh karena itu, seluruh perangkat jalan hancur.
Untuk akses dari arah Bandara Sultan Iskardar Muda (SIM) dapat menggunakan
angkutan jurusan Blang Bintang. Kondisi jalan masih tergolong rusak. Hal ini
terlihat dari adanya beberapa perbaikan jalan di beberapa ruas jalan. Selain itu
akses dari arah ini juga mengalami pelebaran jalan. Kondisi aksesibilitas menuju
kapal PLTD Apung dapat dilihat pada Gambar 23.
Dari hasil survei yang dilakukan, jalan yang mengelilingi kawasan
perencanaan tergolong dalam kelas jalan lingkungan atau jalan lokal. Jalan
Lingkungan atau Jalan Lokal merupakan jalan yang melayani suatu lingkungan
atau yang menghubungkan suatu lingkungan dengan jalan kolektor. Sedangkan
Jalan Kolektor, adalah jalan yang menghubungkan bagian-bagian utama di dalam
50
kota atau sebagai penghubung dengan jalan jalan utama di dalam kota (RTRW
Kota Banda Aceh 2006-2016, 2006).
Gambar 23. Kondisi Aksesibilitas Menuju Kapal PLTD Apung
Jika melihat kondisi jalan lingkungan saat ini, lebar jalan terlalu sempit
dan hanya cukup dilalui oleh satu kendaraan roda empat ukuran kecil. Melihat
perkembangan kawasan ini apabila dikembangkan sebagai kawasan wisata,
sebaiknya kelas jalan ditingkatkan, yaitu dari kelas jalan lingkungan menjadi jalan
kolektor sekunder. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pengunjung dalam
mengakses kawasan wisata. Selain lebar jalan yang belum sesuai dengan RTRW
Kota Banda Aceh, sarana untuk pejalan kaki pada jalan arteri juga belum tersedia,
yaitu jalur pedestrian dan jalur sepeda. Pedestrian diperuntukkan bagi pengunjung
maupun masyarakat yang ingin mengunjungi obyek-obyek wisata tsunami yang
ada dengan berjalan kaki atau bersepeda atau hanya sekedar berjalan-jalan di
sekitar tapak.
(a) Kondisi jalan melalui Lamteumen
(d) Kondisi Jalan menuju kapal PLTD Apung melalui Jalan Sultan Iskandar Muda
(b) Kondisi Jalan menuju kapal PLTD Apung melalui Jl. Rama Setia
(c) Kondisi Jalan melalui Pantai Lhok Nga
51
Analisis aksesibilitas, jaringan jalan dan alternatif perencanaan kawasan
wisata dan jalur interpretasi sejarah tsunami dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Analisis Aksesibilitas dan Alternatif Perencanaan No. Data Analisis Alternatif Perencanaan
1. 2. 3. 4. 5.
Jarak dan waktu tempuh Aksesibilitas Sistem Transportasi Kondisi Jalan Jarak antara jalan lingkungan dan obyek wisata sejarah yang berdekatan
Jarak menuju lokasi sekitar 2 km atau 10 menit dari pusat kota Dapat melalui : - Pusat Kota Banda
Aceh (melalui Jl. Sultan Iskandar Muda)
- Pusat Kota (melalui Jl. Rama Setia)
- Lamteumen - Pantai Lhok Nga Sebagian besar pengunjung menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan umum roda empat. Sebagian besar masih dalam keadaan rusak akibat tsunami. Tidak ada rambu-rambu lalu lintas dan fasilitas jalan lainnya. Berdasarkan RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016 termasuk kedalam kelas jalan lingkungan atau jalan lokal. Hal ini menghambat jalur sirkulasi dalam tapak dan akses kaluar masuk tapak. Dapat merusak obyek sejarah akibat vandalisme
Jarak dari pusat kota ke lokasi tapak dekat, sehingga tapak lebih mudah diakses oleh masyarakat lokal, maupun dari luar kota. Akses masuk-keluar utama melalui Jl. Rama Setia karena jalan ini merupakan jalan yang paling dekat dan mudah diakses seluruh masyarakat Banda Aceh. Akses masuk-keluar juga dapat melalui Jl. Sultan Iskandar Muda dan Jl. Lhok Nga. Untuk Jalan keluar alternatif dapat melalui Jl. Punge Blangcut menuju Lamteumen. Pengadaan lapangan pasrkir denganpembagian lapangan parkir bagi kendaraan umum jenis Bus Pariwisata, kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua. Perlunya perbaikan jalan dan penyediaan kelengkapan fasilitas jalan. Selain itu juga diperlukan jalur pedestrian dan jalur sepeda. Peningkatan kelas jalan menjadi jalan kolektor sekunder. Diperlukan upaya-upaya pelestarian benda bersejarah dengan membuat zona penyangga.
Dari hasil analisis pada Tabel 4, maka diperoleh peta hasil analisis
aksesibilitas yang dapat dilihat pada Gambar 24.
52
Gambar 24. Aksesibilitas
53
Alternatif Jalur Wisata Sejarah
Jalur sejarah diperlukan sebagai bahan masukan dalam penentuan jalur
interpretasi wisata utama di dalam tapak. Dalam perencanaannya, jalur interpretasi
wisata utama yang digunakan yaitu jalur masuknya kapal PLTD Apung ke
daratan. Selain itu, jalur ini juga menghubungkan beberapa obyek bersejarah
lainnya yang masih berkaitan dengan bencana tsunami. Hal ini dimaksudkan
untuk memudahkan pengunjung memahami makna dari obyek sejarah tsunami
(Gambar 25)
Kawasan wisata sejarah ini terdiri dari jalur interpretasi yang
menghubungkan keseluruhan kawasan tapak dan beberapa obyek wisata sejarah,
baik obyek wisata utama maupun obyek wisata pendukung yang masih berada
dalam jalur pergerakan kapal PLTD Apung. Kegiatan wisata yang disarankan bagi
pengunjung yaitu dengan mengikuti urutan obyek yang sesuai dengan sejarah
pergerakan kapal yang diawali dari Perairan Ulee Lheue. Di perairan ini
merupakan area kapal sebelum bencana tsunami terjadi. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, kapal berada di perairan ini dalam keadaan berlabuh.
Obyek wisata yang dapat dilihat selanjutnya yaitu Desa Lambung. Di desa
ini, pengunjung dapat menyaksikan puing-puing rumah yang masih tersisa.
Rumah Tsunami merupakan obyek ketiga. Pada area ini, pengunjung hanya bisa
menyaksikan rumah tersebut dari jarak tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari bahaya runtuhnya bangunan rumah yang sewaktu-waktu dapat
terjadi. Kemudian Mesjid Subulussalam menjadi kunjungan selanjutnya. Di
Mesjid ini, pengunjung yang beragama Islam juga dapat melaksanakan ibadah di
tempat ini. Lokasi keberadaan kapal PLTD Apung merupakan obyek terakhir
dalam jalur interpretasi.
Untuk obyek wisata pendukung yang berada di luar jalur pergerakan kapal
dapat ditempuh dengan mengunakan alternatif jalur wisata. Obyek wisata yang
dapat dilihat yaitu Monumen Syuhada dan Mesjid Baiturrahim.
Dari analisis potensi wisata yang dilakukan menghasilkan kawasan wisata
sejarah (Gambar 26).
54
Gambar 25. Jalur Pergerakan Kapal dan Lokasi
Objek Wisata Sejarah
55
Gambar 26. Kawasan Wisata Sejarah Tsunami
56
Pertimbangan Perencanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh (RTRW) adalah rencana
pemanfaatan ruang kota yang disusun untuk menjaga keseimbangan dan
keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka pembangunan kota.
RTRW berfungsi sebagai panduan dalam merumuskan kebijaksanaan
pembangunan antar sektoral dan wilayah; dasar dalam menentukan arah dan
pengendalian kegiatan pembangunan; arahan investasi yang dilakukan oleh
pemerintah, masyarakat dan swasta; serta upaya meningkatkan peran kota sebagai
pusat pengembangan dalam suatu sistem pengembangan wilayah di lingkungan
ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Konsep pengembangan ruang Kota Banda Aceh ke depan direncanakan
akan untuk dibagi menjadi empat zona yang disesuaikan dengan pengembangan
kota yang digunakan, pertumbuhan penduduk, ketersediaan sumber daya lahan
dan antisipasi terhadap potensi bencana. Berdasarkan revisi RTRW 2010, Kota
Banda Aceh terbagi dalam empat Bagian Wilayah Kota (BWK), yaitu BWK
Barat, BWK Pusat (Utara), BWK Selatan dan BWK Timur. Untuk revisi RTRW
2016, pembagian keempat BWK ini tetap digunakan, hanya ada penyesuaian batas
menggunakan unit administrasi kecamatan.
Kecamatan Jaya Baru dan Muraxa termasuk kedalam BWK Barat. BWK
ini difungsikan sebagai pusat kegiatan pelabuhan dan wisata, yang didukung
kegiatan perdagangan dan jasa, kawasan permukiman dan sebagainya. Pusat
BWK ini ditetapkan di Lamteumen. Selanjutnya BWK Barat terbagi atas tujuh
zona berdasarkan karakter zona kesesuaian pengembangan fisik (Tabel 5).
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa Pemda Kota Banda Aceh
merencanakan pembangunan kawasan wisata Monumen PLTD Apung. Rencana
ini terletak pada zona BWK A.5 (Gambar 27). Rancangan RTRW ini menjadi
landasan dalam pengembangan dan pembangunan kawasan wisata dan jalur
interpretasi sejarah tsunami.
Dalam pengembangan kawasan wisata PLTD Apung diketahui bahwa
areal lahan yang ditempati kapal tersebut merupakan hak milik pribadi salah
seorang masyarakat. Menurut Qanun RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2006-
57
2015 Bab IV mengenai Pengembangan dan Pemanfaatan Ruang Pasal 27,
menyatakan bahwa: 1) Rencana tata ruang berkewajiban untuk mempertahankan
kelestarian cagar alam, situs budaya dan peninggalan sejarah; 3) Jika sewaktu-
waktu berdasarkan hasil penelitian, ditemukan adanya situs budaya atau
peninggalan sejarah lainnya, maka penemuan itu dengan sendirinya ditetapkan
sebagai kawasan cagar alam, situs budaya dan peninggalan sejarah baru. 4) Bila
penetapan kawasan sebagaimana dimaksud ayat (3) pasal ini, termasuk dalam
areal lahan yang dimiliki dan atau dikuasai oleh pihak lain, maka Pemerintah Kota
berkewajiban memberikan ganti rugi. (5) Ganti rugi sebagaimana maksud ayat (4)
pasal ini adalah dilaksanakan berdasarkan yang diatur menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Tabel 5. Pembagian Zona pada BWK Barat Kota Banda Aceh
No. Kode Zona BWK
Fungsi Wilayah
1. P1 (Pesisir) Sebagai daerah perlindungan pantai yang berupa Hutan Mangrove (hutan lindung) dan juga kawasan perikanan tangkap/perikanan samudera
2. A.1 Kawasan konservasi yang berupa zona hijau/pond serta dapat menjadi daerah wisata. Selain itu juga diarahkan menjadi budidaya tambak. Pada zona ini diarahkan untuk kawasan permukiman terbatas, yang berarti bahwa tidak ada pengembangan permukiman baru.
3. A.2 Kawasan konservasi yang berupa zona hijau/pond serta dapat menjadi daerah wisata. Selain itu juga diarahkan menjadi budidaya tambak. Zona ini juga diarahkan untuk kawasan permukiman terbatas, yang berarti bahwa tidak ada pengembangan permukiman baru.
4. A.3 Zona ini berfungsi sebagai zona tambak, kawasan konservasi (berupa zona hijau dan wisata) serta permukiman terbatas.
5. A.4 Terdapat perkantoran baik pemerintah maupun swasta, kawasan campuran komersial dan fasilitas umum, serta permukiman kepadatan sedang dan tinggi.
6. A.5 Merupakan kawasan permukiman dengan kepadatan sedang, termasuk zona perdagangan dan jasa yang menyebar secara linier mengikuti pola jalan, terdapat terminal kota, dan kawasan wisata Monumen PLTD Apung.
7. A.6 Merupakan kawasan permukiman dengan kepadatan sedang. Selain itu juga termasuk zona perdagangan dan jasa yang menyebar secara linier mengikuti pola jalan
(Sumber: RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016, 2006)
58
Gambar 27. Peta Arahan Fungsi Berdasarkan
Zona Fisik per BWK Kota Banda Aceh
59
Dengan memperhatikan peraturan tersebut, maka saat ini kondisinya areal
di sekitar kapal PLTD Apung telah dibebaskan sebagian yakni melalui
kesepakatan Pembebasan Tanah Tahap 1 dan sebagian areal yang belum
dibebaskan, saat ini masih dalam tahap diskusi dengan masyarakat setempat.
Tata Guna Lahan (Land Use)
Menyikapi perubahan fisik dan non-fisik di kecamatan Meuraxa dan Jaya
Baru pasca tsunami, maka pola dan struktur ruang yang akan dikembangkan harus
melalui pendekatan terhadap perencanaan mitigasi bencana gempa dan tsunami.
Penggunaan lahan saat ini di dominasi oleh lahan permukiman dan lahan-lahan
yang menjadi genangan ditimbun oleh masyarakat dan digunakan untuk
perumahan atau pemukiman (Tabel 6).
Tabel 6. Bentuk-bentuk Peruntukan Lahan beserta Luasan Lahan Pra-Tsunami
Sumber: RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016
Berdasarkan data yang terdapat dalam Tabel 6, sebagian besar wilayah di
kecamatan Meuraxa dan Jaya Baru pra-tsunami merupakan kawasan pemukiman
padat. Pada saat tsunami, sebagian besar bangunan rumah hancur. Dengan
demikian banyak wilayah yang berubah penggunaanya menjadi rawa-rawa yang
tidak ditanami. Untuk memperbaiki tata guna lahan sesuai dengan tujuan saat ini
yaitu sebagai kawasan wisata sejarah, maka tata guna lahan pada tapak dapat
dilihat pada Gambar 28.
Penggunaan Lahan (Ha) Bentuk Lahan
Meuraxa Jaya Baru
Sawah 65 3
Ladang 111 0
Perkebunan 4 0
Pemukiman 478 28
Bangunan Industri 1 0
Bangunan lainnya 47 0
Lain-lain (bukan hutan negara) 16 0
Tidak diusahakan 56 0
60
Gambar 28. Peta Eksisting Tata Guna Lahan
61
Lahan tidak terbangun merupakan lahan yang hancur akibat tsunami pada
26 Desember 2004 yang lalu. Kawasan ini mengalami perubahan yang sangat
cepat. Sedangkan lahan terbangun pada tapak didominasi oleh pemukiman. Sirene
Tower dan Refuge building inventory dibangun untuk mendeteksi kemungkinan
adanya gelombang tsunami susulan dalam waktu dekat, sehingga diharapkan
dapat memberikan informasi kepada masyarakat di pesisir pantai khususnya untuk
menyelamatkan diri dan mampu mengurangi jumlah korban jiwa.
Kebijakan Pemerintah NAD
Berdasarkan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah Aceh
dan Nias, Sumatera Utara (Rencana Induk R2WANS) tahun 2005, secara prinsip
kebijakan struktur dan pola pemanfaatan ruang provinsi NAD diarahkan untuk
mengembalikan dan merehabilitasi struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah
Provinsi NAD.
Untuk struktur dan pola pemanfaatan ruang kabupaten/kota, pemerintah
membedakan dalam empat hal, yakni sistem kota, struktur ruang kota, kawasan
non-budidaya dan kawasan budidaya. Untuk kawasan budidaya dibagi menjadi
dua kawasan, yakni:
1. Kawasan Permukiman
a) membangun kembali permukiman kota yang rusak beserta
fasilitasnya.
b) melengkapi permukiman yang ada dengan fasilitas mitigasi
bencana.
c) mengembangkan bangunan penyelamatan/rumah vertikal pada
kawasan-kawasan berkepadatan tinggi.
d) menciptakan kawasan permukiman baru.
2. Kawasan Bersejarah
Mengkonservasi dan merevitalisasi kawasan bersejarah yang masih ada.
Dengan memperhatikan kebijkan pemerintah kota Banda Aceh tersebut,
maka perencanaan kawasan wisata dan jalur interpretasi sejarah tsunami di
kawasan kapal PLTD Apung dilakukan dengan upaya mengkonservasi obyek
sejarah tsunami sekaligus menjadikan kawasan disekitarnya sebagai kawasan
wisata sejarah (Gambar 29).
62
Gambar 29. Kawasan Wisata Berdasarkan Peruntukan
Kota
63
Aspek Pendukung Biofisik
Topografi dan Kemiringan
Topografi merupakan bentukan lahan suatu lanskap berdasarkan
perbedaan tingkat ketinggian lahan. Aspek ini sangat penting untuk diketahui
dalam perencanaan suatu kawasan sebagai dasar pertimbangan dalam
pembangunan jalur jalan, penempatan utilitas, tata ruang dan tata letak bangunan.
Kecamatan Jaya Baru berada di kawasan pesisir bagian barat Kota Banda
Aceh. Sebagian besar wilayahnya berupa dataran. Terletak pada ketinggian 0,8 m
di atas permukaan laut (dpl) pada saat sebelum terjadi tsunami. Saat ini
kondisinya, terjadi penurunan ketinggian sebesar 0,75 m dpl. Dengan demikian,
beberapa kawasan di kecamatan ini terendam dan luas wilayahnya menurun
menjadi 725,8 Ha.
Untuk kawasan perencanaan merupakan dataran rendah dengan ketinggian
kurang dari 4 m dpl dengan kemiringan 0-10%. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kawasan ini memiliki topogafi relatif datar dan tingkat erosi relatif rendah
menyebabkan sistem drainase buruk. Hal ini terlihat dari kontur pada peta yang
nilainya semakin rendah ke arah barat tapak (Gambar 30). Beberapa bagian utara,
barat dan selatan di luar tapak dikelilingi oleh air baik berupa genangan air
maupun rawa. Bahkan di bagian utara lokasi kapal PLTD Apung juga terdapat
genangan permanen. Dengan kondisi lahan yang relatif datar seperti ini
merupakan kendala yang dapat menimbulkan masalah drainase seperti terjadinya
penggenangan dan banjir.
Menurut data dari DPU (Departemen Pekerjaan Umum), secara
keseluruhan Provinsi Aceh mempunyai saluran drainase lama yang mencakup
wilayah seluas 35 km². Cakupan wilayah ini, termaksud didalamnya kawasan
prioritas, dibagi dalam tiga zona drainase. Setiap zona memiliki jaringan yang
mencakup saluran-saluran drainase yang ada di sepanjang jalan dan dilengkapi 8
titik pompa berdasarkan karakteristik topografinya. Wilayah drainase primer
terhubung kebeberapa sungai, antara lain Krueng Aceh, Krueng Doy, banjir kanal
dan lainnya.
64
Berdasarkan data yang diperoleh, penanggulangan terjadinya
penggenangan air dan banjir dapat diatasi dengan menggunakan pompa air. Pada
tapak terdapat dua pompa air primer. Pompa air yang pertama diarahkan ke laut
sedangkan pompa yang lain digunakan untuk mengalirkan air ke Krueng Doy
(Sungai Doy). Saluran drainase pada tapak mengikuti pola tata ruang dan jaringan
jalan. Selain itu juga dapat diatasi dengan membuat pembuangan air dan rawa-
rawa atau danau buatan yang berfungsi sebagai penangkap air dan mencegah
terjadinya banjir. Area ini juga dapat dimanfaatkan sebagai area permainan air
dalam pengembangan kawasan ini sebagai kawasan wisata sejarah. Disamping itu
juga dapat menggunakan tanaman-tanaman yang toleran terhadap genangan.
Upaya lainnya untuk mengatasi banjir yaitu dengan meningkatkan fungsi
hutan sebagai sarana penyimpanan air. Dalam tapak, keberadaan hutan juga dapat
berfungsi sebagai green belt untuk menghambat/memecah kekuatan gelombang
tsunami.
Selain perlindungan terhadap banjir, perlindungan terhadap bencana
tsunami selain dengan hutan, juga dapat dilakukan dengan perlindungan pantai,
seperti breakwater, dinding penahan gelombang, (sea wall), dan formasi pantai
(coastal forest). Analisis topografi dan kemiringan lahan dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7. Analisis Topografi dan Kemiringan Lahan
Data Analisis Alternatif Perencanaan
Kemiringan Lahan 0-10%
Secara visual merupakan potensi karena obyek wisata utama berada kontur yang lebih tinggi dibandingkan sekitarnya. Topografi relatif datar dan tingkat terjadinya erosi relatif rendah menimbulkan masalah drainase seperti penggenangan air dan banjir.
Mempertahankan ketinggian lahan di sekitar obyek wisata. Memperbaiki sistem saluran drainase sehingga air tidak menggenang. Penggunaan alat pompa air dan mengarahkan pembuangan air ke saluran drainase primer Krueng Doy dan ke laut, bisa juga dengan membuat kolam, danau atau sumur resapan. Menggunakan tanaman-tanaman yang toleran terhadap genangan dan mampu menyerap air.
65
Gambar 30. Hasil Perhhitungan Topografi dan Kemiringan Lahan
66
Kenyamanan (iklim)
Iklim merupakan hasil dari sejumlah faktor yang saling mempengaruhi.
Faktor-faktor tersebut yaitu curah hujan (mm/hari atau mm/tahun), angin (km/jam,
kecepatan, arah), suhu udara (ºC maks, min, rata-rata), kelembaban nisbi (%maks,
min, rata-rata), radiasi matahari (%), dan kualitas udara. Berdasarkan kondisi
iklim yang dipantau dari Stasiun BMG Blang Bintang Aceh Besar dengan posisi
05º05’LU dan 95º13’BT yang berada pada 20 m dari msl selama kurun waktu
sepuluh tahun (1997-2006). Dari hasil tabulasi data iklim, menggambarkan bahwa
suhu udara berkisar antara 25-27ºC, curah hujan bulanan berkisar antara
64-205 mm/bln, kecepatan angin berkisar antara 2,9-5,0 knot, kelembaban nisbi
berkisar antara 73-83%, serta intensitas penyinaran matahari berkisar pada 42,9-
74,9 % (Gambar 31).
Berdasarkan data tersebut, maka dapat diketahui Derajat Kenyamanan
(Thermal Humidity Index/THI) dengan menggunakan rumus :
dengan T = suhu udara (ºC), RH = kelembaban nisbi udara (%)
Melalui perhitungan dengan menggunakan rumus THI, diketahui bahwa
nilai kenyamanan pada tapak berkisar antara 26.5-28,4. Umumnya, masyarakat di
daerah tropis akan merasa tidak nyaman pada THI yang lebih dari 27.
Suhu udara pada pagi-sore dan siang hari sangat berbeda. Tapak pada pagi
dan sore hari sangat nyaman. Angin juga berhembus dengan kencangnya. Hal ini
terlihat dari pergerakan bendera yang berkibar. Berbeda kondisinya dengan pada
pagi dan sore hari, suhu udara pada tapak akan terasa sangat terik pada siang hari.
Selain itu angin juga berhembus sepoi-sepoi. Dengan demikian, sebagian besar
pengunjung berdatangan ke lokasi ini pada sore hari.
THI = 0,8 T + (RH x T) 500
67
Gambar 31. Grafik Beberapa Unsur Iklim di Kecamatan Ulee Lheue dalam Kurun
Waktu 1997-2006 (Sumber : Stasiun BMG Blang Bintang)
Beradasarkan hasil analisis, untuk meningkatkan kenyamanan pada tapak
diperlukan adanya naungan baik berupa elemen soft material maupun hard
material. Soft material dapat menggunakan tanaman sedangkan hardmaterial
Curah Hujan Rata-rata (1997-2006)
0
50
100
150
200
250
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
(mm/bln)
Suhu Udara Rata-rata (1997-2006)
24.525
25.526
26.527
27.528
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
(C)
Intensitas Penyinaran Matahari Rata-rata (1997-2006)
01020304050607080
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
(%)
Kelembaban Rata-rata (1997-2006)
68707274767880828486
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
(%)
68
dapat menggunakan bangunan shelter, gazebo, atau bangunan naungan lainnya.
Untuk penggunaan elemen tanaman pada tapak lebih difungsikan sebagai peneduh
dan tanaman yang akan digunakan merupakan tanaman yang toleran terhadap
genangan dan mampu menyerap air.
Bentuk-bentuk tajuk pohon dapat berbentuk kerucut, kolumnar, dome
(kubah), bulat, piramidal, menjurai, atau menyebar (Gambar 32).
Gambar 32. Berbagai Bentuk Tajuk Pohon (Booth, 1983)
bulat
menjurai piramidal
kolumnar
menyebar
kubah
kerucut
69
Kondisi Tanah
Kondisi tanah di lokasi perncanaan menurut Ramos Kam dalam tesisnya
yang berjudul Evaluasi Kualitas Lahan dan Arahan Konservasi pada Kawasan
Pantai Kota Banda Aceh Pasca Tsunami, batuan penyusun di kawasan
perencanaan umumnya merupakan aluvial sungai dan endapan aluvial pantai,
yang tersusun dari kerikil, pasir, dan lempung. Jenis tanahnya adalah aluvial
(Entisol) yang umumnya berwarna abu-abu hingga kecoklat-coklatan. Kedalaman
efektif tanah diatas 100 cm dengan kondisi drainase sedang. Pada lahan ini
kemungkinan terjadinya erosi sangat kecil. Selain itu, air tanah di kawasan ini
dangkal dan terjadi intrusi air laut sehingga air tanah menjadi payau.
Jenis tanaman yang umumnya tumbuh pada kondisi tanah dengan
topografi relatif datar dan kondisi drainase yang kadang-kadang tergenang yaitu
nipah, bakau, nangka (Artocarpus integra), albizia (Paraserianthes falcataria),
Acacia vilosa, Indigofera galegoides, Dalbergia spp., mahoni (Swietenia spp.),
jati (Tectonia grandis), ki hujan (Samanea saman), Thypa sp., dan lantoro
(Leucanea glauca) (Manan, 1976). Tanaman kelapa dapat tumbuh pada lahan
kawasan pantai dengan kondisi drainase yang baik (tidak pernah tergenang).
Berdasarkan hasil analisis kondisi tanah pada tapak, terlihat bahwa daerah-
daerah yang sering tergenang air tidak sesuai untuk didirikan bangunan di atasnya.
Ini disebabkan oleh kondisi tanah yang labil dan ketidakmampuan tanah untuk
menahan beban bangunan diatasnya (Gambar 33). Daerah-daerah yang tergenang
ini lebih diarahkan sebagai area permainan air. Pembangunan fasilitas wisata
yang berupa bangunan berupa bangunan semi permanen. Analisis yang dilakukan
terhadap aspek pendukung menentukan kualitas dan kenyamanan kawasan wisata
tersebut.
70
Gambar 33. Peta Kesesuaian Lahan terhadap
Bangunan
71
Kondisi Sosial Masyarakat Lokal
Dampak Tsunami terhadap Masyarakat Lokal Bencana alam gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 telah
menghancurkan sebagian besar wilayah pesisir Kota Banda Aceh. Sebagian besar
masyarakat Aceh kehilangan anggota keluarganya. Pada saat itu perekonomian di
Aceh sempat lumpuh. Karena sebagian besar perekonomian masyarakat
digerakkan dari sektor perdagangan dan jasa.
Kejadian tsunami ini tidak akan mudah dilupakan mengingat banyaknya
jumlah korban jiwa yang meninggal. Masyarakat di Aceh biasanya akan ramai
mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti ziarah ke pemakaman massal,
mengunjungi kapal PLTD Apung, dan berbagai tempat lainnya. Hal ini akan
berdampak berkelanjutan dan setiap tahun akan selalu dikenang.
Jumlah penduduk di kecamatan Meuraxa pasca tsunami sekitar 30.296
orang dan 2520 orang di kecamatan Jaya Baru. Mayoritas masyarakat di dua
kecamatan ini beragama Islam.
Sebagian besar wilayah di Punge Blangcut merupakan kawasan
pemukiman padat. Namun untuk kawasan yang akan direncanakan, beberapa
penduduk yang kondisi rumahnya rusak berat tidak membangun kembali
rumahnya.
Kawasan kapal PLTD Apung merupakan kawasan pemukiman padat.
Masyarakat di daerah tersebut biasanya menggunakan tapak untuk melakukan
berbagai kegiatan aktifitas sehari-hari, misalnya sebagai tempat tinggal, berjualan,
dan sebagai jalur sirkulasi dari daerah Kelurahan Sukaramai menuju ke kawasan
Ulee Lheue. Untuk kegiatan perdagangan dan jasa sangat tepat jika hal ini dapat
dikembangkan dengan lebih baik. Dengan adanya pengembangan kawasan ini
sebagai kawasan wisata, masyarakat dapat ikut berperan dalam rangka kegiatan
jual beli, seperti penjualan berbagai aksesoris dan souvenir khas Aceh. Dengan
demikian, pengembangan kawasan wisata tsunami ini dapat meningkatkan
pendapatan perekonomian penduduk setempat.
Intensitas penggunaan pada tapak oleh masyarakat sekitar sedang.
Umumnya mayarakat melakukan aktivitas pada pagi dan sore hari. Sebagian besar
72
aktivitas di sekitar kawasan kapal PLTD Apung dilakukan di bagian utara dan
selatan tapak. Dalam rangka upaya melestarikan obyek sejarah, aktivitas
masyarakat lokal secara intensif hanya diperbolehkan berada pada area
pelayanan.
Berdasarkan dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber, diketahui
bahwa sebagian besar masyarakat setempat menyetujui adanya pembangunan
kawasan wisata sejarah tsunami di daerah mereka. Dengan adanya pengembangan
dan pembangunan di daerah ini diharapkan dapat memberikan peluang
kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, sehingga dapat meningkat taraf
hidupnya.
Pengunjung
Kawasan kapal PLTD Apung sampai saat ini digunakan oleh pengunjung
sebagai salah satu obyek wisata yang memiliki nilai sejarah yaitu sejarah tsunami.
Dengan adanya kapal ini, menjadi salah satu bukti nyata bahwa tsunami pernah
terjadi di daerah Aceh. Hal ini menjadi peninggalan bagi generasi masa depan.
Adanya kapal PLTD Apung mampu mengakomodasi keinginan masyarakat yang
ingin menyaksikan benda bersejarah dan mengenang terjadinya peristiwa bencana
alam tsunami.
Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan di kawasan sekitar kapal yaitu
menikmati keindahan pemandangan kota Banda Aceh dari atas kapal, foto
hunting yang umumnya berlatarkan kemegahan kapal PLTD Apung. Potensi ini
dapat lebih dikembangkan dengan menyediakan beberapa fasilitas seperti
teropong untuk menikmati pemandangan yang jauh jaraknya. Selain itu, di bagian
selatan kapal berbatasan langsung dengan jalan yang intensitasnya cukup ramai
dilalui oleh kendaraan baik masyarakat sekitar maupun pengunjung. Hal ini
merupakan salah satu kendala yang dapat merusak nilai-nilai kesejarahan kapal
tersebut karena berpotensi terjadinya vandalisme.
Intensitas pengunjung mengunjungi kawasan wisata ini ramai, terutama
pada sore hari dan pada hari-hari libur atau pada momen-momen tertentu.
Aktivitas pengunjung lebih terpusat disekitar kapal PLTD Apung, terutama di atas
kapal pada sore hari.
73
Untuk pengembangan kawasan PLTD Apung, berdasarkan hasil
wawancara diperoleh bahwa sebagai pengunjung, masyarakat berharap adanya
peningkatan penataan ruang dan fasilitas pendukung kegiatan wisata.
Konsep Perencanaan Konsep Dasar Perencanaan
Mengkreasikan areal di sekitar Kapal PLTD Apung dalam kawasan wisata
sejarah tsunami yang bersifat edukatif melalui media dan jalur interpretasi. Wisata
yang akan dikembangkan di kawasan ini juga menghubungkan beberapa obyek
wisata sejarah tsunami lainnya sebagai obyek wisata pendukung. Pengembangan
wisata secara ekonomi juga diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan
hidup masyarakat lokal, namun kepentingan pelestarian kesejarahan tetap lebih
diutamakan.
Pengembangan Konsep
Konsep Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah
Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah merupakan salah satu upaya untuk
menggambarkan suasana pada saat peristiwa tsunami 2004 melanda Aceh.
Dengan adanya Kapal PLTD Apung sebagai obyek wisata sejarah utama, serta
perumahan penduduk yang terkena bencana gelombang tsunami, dan jalur
interpretasi, diharapkan pengunjung dapat mengingat kembali kejadian tsunami
dan mampu mengantisipasi apabila kejadian yang sama terulang kembali.
Dalam pengembangannya, tapak terbagi atas tiga zona, yaitu zona wisata
utama, zona transisi dan zona pelayanan. Masing-masing zona tersebut memiliki
ruang-ruang yang saling berkaitan (Gambar 34). Penerjemahan konsep tata ruang
secara spasial dapat dilihat pada Gambar 35. Pengaturan ruang bertujuan untuk
membatasi jumlah pengunjung masuk ke dalam zona wisata utama.
Zona Wisata Utama merupakan zona yang didalamnya terdapat obyek-
obyek bersejarah tsunami yang berada dalam jalur pergerakan kapal PLTD Apung
dari Perairan Ulee Lheue menuju kawasan pemukiman. Berdasarkan tingginya
nilai sejarah, zona ini terbagi lagi menjadi dua ruang, yaitu ruang inti dan ruang
penyangga.
74
Ruang inti yaitu ruang dimana obyek-obyek wisata utama sejarah tsunami
berada. Obyek-obyek tersebut merupakan area dengan tingkat kepekaan yang
tinggi dan tingkat penggunaan yang sangat rendah. Ruang inti ini memungkinkan
peran manusia yang merugikan dapat terhindari, sehingga kealamian obyek
bersejarah kapal PLTD Apung tetap lestari.
Ruang penyangga, berfungsi untuk melindungi ruang inti dan merupakan
bagian dari zona kesejarahan yang masih dapat digunakan dengan beberapa
pertimbangan tertentu. Ruang ini dapat berupa area yang didalamnya tidak
memungkinkan manusia melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu
kealamian obyek bersejarah tersebut. Ruang penyangga dapat berupa area atau
hanya menggunakan pagar pembatas yang mampu melindungi obyek bersejarah
dari gangguan aktivitas manusia. Area yang dijadikan sebagai penyangga dapat
berupa area tambak, RTH kota, danau buatan atau kolam.
Gambar 34. Konsep Pengembangan Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah Tsunami
Zona Transisi merupakan zona yang terdiri dari berbagai aktivitas
manusia yang bersifat edukatif. Pada zona wisata ini masih memiliki keterkaitan
dengan bencana tsunami. Zona transisi merupakan zona dimana media interpretasi
dan atraksi berada. Zona ini berperan untuk menjaga dan melindungi obyek
bersejarah yang ada di dalam zona wisata utama.
Zona wisata Pelayanan
Zona Transisi
Zona Wisata Utama
Batas zona
Zona Transisi
Zona Wisata Pelayanan
75
Gambar 35. Konsep Ruang Wisata
76
Zona Pelayanan difungsikan untuk mengakomodasi berbagai fasilitas
wisata untuk memudahkan pengunjung mendapatkan berbagai fasilitas selama
berada di kawasan wisata. Fasilitas yang disediakan, seperti tempat makan, tempat
parkir, dan berbagai fasilitas interpretasi wisata lainnya.
Konsep Obyek-obyek Sejarah Tsunami
Dalam perencanaan kawasan wisata sejarah ini, terdapat obyek wisata
sejarah utama dan media interpretasi yang tersedia pada jalur interpretasi. Obyek-
obyek wisata sejarah utama yaitu Perairan Ulee Lheue, Desa Lambung, Rumah
Tsunami, Mesjid Subulussalam, Kapal PLTD Apung, Monumen Syuhada, dan
Mesjid Baiturrahim. Sedangkan beberapa contoh media interpretasi tsunami
(Gambar 36) yang digunakan dapat berupa sculpture, signboard, signate, peta
wisata, leaflet, maupun obyek-obyek pendukung wisata lainnya, seperti ruang
pameran, museum, dan galeri yang terletak di area penerimaan pada ruang
pelayanan. Keberadaan obyek-obyek wisata dalam tapak diketahui setelah
menelusuri sejarah pergerakan kapal PLTD Apung pada saat bencana tsunami
terjadi.
(a) signboard (b) amphitheater (c) pusat informasi
(d) signage
Gambar 36. Contoh Media Interpretasi
77
Penentuan posisi obyek-obyek wisata berada pada ruang inti zona wisata
utama ditentukan berdasarkan tingkat (kepentingan) nilai sejarahnya. Untuk media
interpretasi umumnya berada pada zona transisi dan sebagian besar berada di
sekitar areal kapal PLTD Apung. Media interpretasi yang juga sebagai obyek
wisata pendukung seperti Coastal forest, Sirene Tower, Refuge Building
Inventory, Museum Tsunami, Tsunami Interpreting Outdoor Playground, dan
Amphitheater.
Konsep Sirkulasi
Jalur pergerakan ini merupakan jalur interpretasi sejarah pergerakan kapal
PLTD Apung. Jalur ini kemudian akan diaplikasikan sebagai jalur sirkulasi wisata
dalam tapak. Sirkulasi utama dalam tapak secara umum berbentuk menyerupai
huruf ‘U’. Hal ini terlihat dari adanya perbedaan akses masuk dan keluar tapak.
Jalur ini mengakses seluruh ruang yang ada (Gambar 37). Dengan demikian,
pengunjung dapat melihat seluruh obyek wisata yang ada. Jalur interpretasi atau
jalur wisata menghubungkan obyek-obyek wisata sejarah utama, yaitu perairan
Ulee Lheue, Desa Lambung, Rumah Tsunami, Mesjid Subulussalam, dan Kapal
PLTD Apung. Selain obyek-obyek tersebut, jalur interpretasi juga
menghubungkan beberapa obyek wisata pendukung. Obyek wisata Rumah
Tsunami dan Mesjid Subulussalam merupakan obyek wisata alternatif. Artinya,
pengunjung tidak diharuskan mengunjungi kedua obyek ini. Jika ingin
mengetahui mengenai lokasi pemakaman korban bencana tsunami dan mesjid
yang bersejarah, pengunjung dapat mengunjungi kedua obyek ini.
Masuk-keluar tapak dapat melalui dua akses, terdapat di zona awal dan
akhir kapal. Akan tetapi untuk memperkuat sejarah, pengunjung disarankan
masuki tapak melalui lokasi awal kapal dan keluar tapak melalui lokasi akhir
kapal. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan bagi pengunjung yang
ingin memasuki kawasan ini melalui lokasi akhir kapal.
78
Gambar 37. Konsep Pengembangan Jalur Sirkulasi
Pada zona wisata utama diperlukan akses yang minimal. Tingkat
kebutuhannya tergantung dari tingkat kepekaan obyek tersebut. Semakin
memasuki kedalam ruang inti, jalur sirkulasi semakin sedikit dan hanya berupa
jalan tersier berbentuk trekking atau boardwalk. Hal ini dimaksudkan untuk
membatasi jumlah pengunjung berada dalam ruang inti.
Untuk zona transisi, jalur sirkulasi yang diperlukan jauh lebih panjang
jika dibandingkan dengan zona sejarah. Pada zona ini terdapat jalan primer, jalan
sekunder. Jalan primer merupakan jalan yang eksisting dan dapat dilalui oleh
kendaraan sedangkan jalan sekunder merupakan jalan baru yang menghubungkan
obyek wisata dan media interpretasi. Jalan ini hanya dapat diakses bagi para
pengunjung wisata. Akses ke dalam zona ini tidak begitu dibatasi seperti halnya
dalam zona wisata utama. Untuk pengunjung yang ingin mengelilingi keseluruhan
obyek wisata yang ada, disediakan bis yang khusus melayani trayek di dalam
kawasan wisata saja. Sirkulasi dalam zona pelayan berupa jalan sekunder yang
menghubungkan beberapa jalan primer.
Konsep Aktivitas
Berbagai aktivitas yang dapat dilakukan, seperti melihat jalur interpretasi
sejarah, piknik, bermain, bersantai, menikmati berbagai obyek wisata dan atraksi
budaya masyarakat lokal, wisata berbelanja kerajinan masyarakat setempat serta
wisata kuliner masakan Aceh.
Jalan tersier Jalan Sekunder Jalan Primer
Zona wisata Pelayanan
Zona Transisi
Zona Wisata Utama
Batas zona Akses
Zona Transisi
Zona Wisata Pelayanan
79
Dalam pengembangan kawasan wisata sejarah, kawasan ini dibedakan
menjadi tiga zona, yaitu zona pelayanan, zona tansisi, dan zona wisata utama.
Pada zona pelayanan, pengunjung dapat melakukan berbagai aktivitas yang
sifatnya rekreatif. Zona transisi merupakan penghubung antara zona pelayanan
dan zona wisata utama. Di zona transisi, pengunjung dapat melakukan aktifitas
rekreatif seperti bermain, foto hunting, berperahu, rekreasi, edukasi, hikking,
tracking, jogging, dan shightsesing (Gambar 38). Perumahan masyarakat yang
masih tersisa pasca tsunami berada pada zona ini. Zona wisata utama mencakup
seluruh kawasan kesejarahan. Aktivitas yang dapat dilakukan seperti foto
hunting, shightseeing, berdoa, dan tracking.
Gambar 38. Sightseeing
Konsep Infrastruktur
Untuk mendukung berbagai kegiatan/aktifitas wisata sejarah di kawasan
ini dikembangkan berbagai infrastruktur pendukung yang dapat meningkatkan
kenyamanan pengunjung (Gambar 39). Bentukan-bentukan yang akan diterapkan
pada infrastruktur di kawasan wisata sejarah ini diadopsi dari bentuk-bentuk
bangunan adat dan motif-motif Aceh (Gambar 40).
80
Gambar 39. Suasana di Beberapa Infrastruktur Pendukung
Gambar 40. Contoh Motif dan Bentuk Bangunan (Hadjad, A. dkk. 1984)
a. Motif Pintu Aceh b. Lonceng Cakradonya
c. Ilustrasi Bentuk Bangunan
PERENCANAAN KAWASAN WISATA SEJARAH TSUNAMI
Rencana Tata Ruang Tahap awal yang dilakukan adalah overlay peta kawasan wisata sejarah,
dan kawasan wisata berdasarkan peruntukan kota, maka diperoleh hasil
peruntukan tata ruang untuk kawasan wisata sejarah. Berbagai area yang terdapat
pada kawasan ini yaitu area objek wisata tsunami, area rekreasi, area pertahanan
bencana, area penerimaan, rest area, area pemukiman terbatas, area tambak, area
green belt, dan area pertokoan souvenir (Gambar 41). Luas masing-masing area
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Luasan Area dalam Kawasan Wisata
Objek-objek wisata sejarah tsunami berada di ruang inti pada zona utama
wisata sejarah. Berdasarkan Tabel 8, luas area ini 60,55 ha atau sekitar 27,6 %
dari luas total kawasan keseluruhan. Area ini merupakan area yang terluas bila
dibandingkan area-area wisata lainnya. Area ini terdapat pada Desa Deah
Glumpang, Desa Lambung, Desa Ulee Lheue, Desa Punge Ujong dan Desa Punge
Blangcut.
Area rekreasi terdapat di Desa Deah Glumpang dan Desa Punge Blangcut.
Pada area ini terdapat objek pendukung wisata, seperti amphitheater, museum
tsunami, dan Tsunami Interpreting Outdoor Playground. Selain itu, pada area
rekreasi juga terdapat Kiddie Park. Tempat ini menyediakan berbagai permainan
air yang dikhususkan bagi anak-anak berumur dibawah 12 tahun.
No. Jenis Area Luas Area (ha) Persentase (%) 1. Area objek wisata tsunami 60,55 27,6 2. Area rekreasi 39,80 18,14 3. Area pertahanan bencana 3 1,37 4. Area penerimaan 11,9 5,42 5. Rest area 3,53 1,61 6. Area pemukiman terbatas 30,6 13,95 7. Area tambak 16,92 7,71 8. Area green belt 45,65 20,81 9. Area pertokoan souvenir 7,42 3,39 Total 219,37 100
82
Gambar 41. Rencana Tata Ruang Wisata
Tsunami
83
Area pertahanan bencana dimaksudkan sebagai area pelengkap
penyelamatan apabila terjadi bencana dari laut seperti tsunami. Pada area ini juga
dilengkapi bagunan penyelamatan. Area pertahanan ini terdapat di dua desa yaitu
Desa Deah Glumpang dan Desa Gampong Baro.
Untuk mencapai keberhasilan dalam kepentingan dan pengelolaan
interpretasi dibutuhkan berbagai fasilitas utama dan pendukung. Dua fasilitas
utama yang harus tersedia adalah Pusat Informasi Wisata (Visitor Information
Center, VIC) dan Pemandu Wisata (interprenter). Area penerimaan terdiri dari
area parkir, VIC (Visitor Information Center) yang meliputi pusat informasi,
toilet, mushalla; tempat berkumpul dan tempat pengambilan tiket (loket) masuk
kawasan wisata. Area penerimaan berada di dua tempat, yaitu pada lokasi posisi
awal dan posisi akhir pergerakan kapal.
Area peristirahatan (rest area) merupakan area yang diperuntukkan bagi
berbagai fasilitas seperti tempat makanan dan minuman, penginapan semi
permanen, dan tempat duduk. Area peristirahatan ini berada di Desa Deah
Glumpang.
Area pemukiman terbatas merupakan kawasan pemukiman penduduk asli
setempat yang merupakan bagian dari sejarah pergerakan kapal PLTD Apung.
Penduduk setempat dapat menjadi guide dalam perencanaan ini. Penduduk
pemukiman ini juga diharapkan dapat mendukung kegiatan kepariwisataan di
kawasan ini dengan tidak hanya sebagai penyedia berbagai makanan dan
minuman bagi para pengunjung serta sebagai pemasok barang-barang souvenir,
tetapi juga turut mengontrol perkembangan kawasan wisata sejarah.
Area tambak berada di Desa Lambung yang merupakan tambak yang
dikelola oleh masyarakat setempat. Juga dapat berfungsi sebagai area resapan air
dan mampu mencegah terjadinya banjir.
Area green belt dimaksudkan sebagai pemecah gelombang tsunami dan
melindungi pemukiman yang berada di dalamnya. Area ini terbagi menjadi
Coastal Forest dan jalur hijau di sepanjang jalan utama. Panjang jalur hijau
sekitar 2149,8 m.
Area pertokoan souvenir merupakan area yang disediakan bagi penduduk
setempat (home industry) untuk mendagangkan hasil-hasil kerajian khas Aceh,
84
baik yang merupakan barang (souvenir) maupun makanan. Area ini berada di
perempatan jalan utama di bawah fly over.
Rencana Sirkulasi
Setelah aktivitas-aktivitas dalam zona potensial kesejarahan diruangkan,
maka selanjutnya adalah menentukan rencana sirkulasi berdasarkan konsep
pembatasan pengunjung. Artinya akses dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
terjadi penyaringan pengunjung ke dalam areal wisata yang memang benar-benar
berminat dan memiliki komitmen dalam pelestarian sejarah.
Akses yang cukup banyak dan strategis mencapai pusat-pusat wisata.
Dengan demikian, pengunjung dapat mengakses tapak dari dua pintu masuk, yaitu
melalui Jalan Rama Setia atau melalui Jalan Sultan Iskandar Muda. Akan tetapi
bagi pengunjung yang ingin mengetahui sejarah pergerakan kapal PLTD Apung
dari sebelum tsunami melanda Aceh, disarankan untuk memasuki kawasan ini dari
Jalan Rama Setia, yang akhirya terhubung dengan dermaga di perairan Ulee
Lheue.
Untuk sirkulasi jalan dalam kawasan wisata ini terbagi atas tiga jenis jalan,
yaitu :
Jalan Primer
Jalan primer merupakan jalan yang eksisting dan dapat dilalui oleh
kendaraan bermotor. Jalur primer dapat dijadikan sebagai jalan alternatif bagi
pengunjung yang ingin menyaksikan obyek-obyek wisata tanpa harus melalui
jalan sekunder. Untuk menyaksikan obyek wisata Monumen Syuhada dan Mesjid
Baiturrahim yang berada di luar jalan sekunder dapat melalui jalan ini. Jalan
primer dapat dilalui kendaraan bermotor hingga bis atau bisa juga dengan berjalan
kaki.
Jalan sekunder
Jalan sekunder merupakan jalan baru yang menghubungkan obyek wisata
dan media interpretasi. Jalan ini berupa broadwalk dan hanya dapat diakses bagi
para pengunjung wisata. Untuk pengunjung yang ingin mengelilingi keseluruhan
obyek wisata yang ada dan tidak mampu berjalan kaki dikarenakan jaraknya yang
85
cukup jauh, disediakan bis yang khusus melayani trayek di dalam kawasan wisata
saja.
Jalan Tersier
Untuk menuju objek wisata sejarah yang terdapat dalam zona wisata
utama dapat melalui jalan tersier. Jika dibandingkan dengan jalan primer dan jalan
sekunder, jalan ini berupa trek dengan lebar sekitar 2 m. penyempitan lebar jalan
ini dimaksudkan agar terjadi penyaringan pengunjung dan mencegah terjadinya
penumpukan pengunjung di tiap-tiap objek wisata.
Rencana Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Rencana areal kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah tsunami
pada Gambar 42 memiliki beberapa objek wisata. Objek wisata ini tersebar dalam
beberapa area, sebagian besar tergantung dari jalur interpretasi sejarah pergerakan
kapal PLTD Apung pada saat bencana tsunami melanda Aceh 26 Desember 2004.
Pada area perairan Ulee Lheue, pengunjung dapat melihat posisi awal
kapal PLTD Apung pada saat sebelum tsunami melalui deck yang disediakan.
Bagi pengunjung yang ingi menyaksikan secara langsung lokasi awal kapal, dapat
mengakses tempat tersebut dengan menggunakan perahu.
Setelah perairan Ulee Lheue, pengunjung diarahkan menuju Desa
Lambung. Di desa ini, pengunjung dapat melihat kondisi bangunan yang telah
hancur akibat tsunami, barang-barang yang berantakan, serta bentukan-bentukan
patung abstrak manusia korban tsunami. Area ini dibuat kondisi yang serupa
dengan kondisi daerah tersebut pasca tsunami. Dengan mengunjungi desa ini
pengunjung diharapkan mampu merasakan suasana yang terjadi pada saat itu.
Area souvenir merupakan lokasi bagi masyarakat setempat untuk menjual
barang-barang atau souvenir khas Aceh dan barang-barang yang masih berkaitan
dengan kapal PLTD Apung. Bagi pengunjung yang mengikuti jalur interpretasi
wisata dapat menuju area pertokoan souvenir ini setelah mengunjungi area objek
wisata kapal PLTD Apung. Lokasi pertokoan ini berada tepat dibawah fly over.
86
Gambar 42. Rencana Kawasan Wisata Sejarah Tsunami
87
Di area rekreasi terdapat berbagai jenis permainan anak. Permainan ini
masih berkaitan dengan upaya pemberian pengetahuan kepada anak-anak usia dini
untuk mengetahui bahaya yang dapat ditimbulkan dari bencana tsunami dan
mengajarkan kepada mereka metode penyelamatan diri yang harus dilakukan
apabila bencana tsunami datang kembali.
Pengunjung yang ingin menyaksikan berbagai pertunjukan/atraksi seni
tari tradisional Aceh dapat mengunjungi amphitheater. Pengunjung yang ingin
menyaksikan pertunjukan ini dapat menyesuaikan waktunya dengan jadwal
pertunjukan.
Rencana Jalur Wisata
Jalur interpretasi sebagai jalur wisata yang digunakan menggambarkan
berpindahnya kapal PLTD Apung dari perairan Ulee Lheue ke daratan akibat
gelombang tsunami. Selain itu, jalur interpretasi juga menghubungkan titik-titik
objek bersejarah.
Jalur interpretasi atau jalur wisata menghubungkan tiap-tiap atraksi wisata
dengan rute melingkar. Setiap jalur memiliki interpretasi sendiri yang
memungkinkan pengunjung mengalami pengalaman yang berbeda. Tujuannya
adalah untuk mendiversifikasikan pengunjung sehingga tidak menumpuk pada
satu atraksi saja, tetapi menyebar ke atraksi lainnya. Selain itu juga untuk
mengatur lama tinggal dan waktu perjalanan.
Perencanaan jalur interpretasi wisata utama (Gambar 43) pada kawasan
wisata sejarah tsunami terbagi menjadi tiga jalur yang dibedakan berdasarkan
pengguna. Ketiga jalur itu adalah jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak,
pengunjung dewasa, dan para peneliti. Beberapa beberapa gambar potongan
tampak pada tapak juga dapat dilihat pada Gambar 44 dan gambar ilustrasi
aktivitas yang dapat ditemui pada tapak dapat dilihat pada Gambar 45, serta
hubungan objek wisata dengan atraksi dan fasilitas wisata dapat dilihat pada
Tabel 9.
88
Gambar 43. Rencana Jalur Wisata (Touring Plan)
89
Gambar 44. Potongan Tampak
90
Gambar 45. Ilustrasi Suasana di Kawasan Wisata Sejarah Tsunami
91
Jalur Anak-anak
Jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak lebih singkat dan berada di areal
yang dekat dengan Kapal PLTD Apung. Dengan memperhatikan Gambar 43,
dapat dilihat bahwa jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak ditandai dengan
keterangan nomor 7,8,10,11.
Jalur Pengunjung Dewasa
Untuk pengunjung dewasa, jalur wisata yang dilalui meliputi jalur
pergerakan kapal PLTD Apung, mulai dari lautan dan berakhir di posisi terakhir
kapal pasca tsunami. Jalur ini dimulai dari keterangan nomor 1,5,2,6,
8,9,10,11,12, dan diakhiri nomor 13.
Jalur bagi Para peneliti
Jalur wisata yang dapat digunakan oleh para peneliti sebagian besar
hampir sama dengan jalur yang dilalui oleh pengunjung dewasa. Akan tetapi yang
membedakan adalah hanya para peneliti yang diizinkan untuk mengunjungi dan
masuk ke dalam bangunan sirene tower dan refuge building inventory (ruang
penyelamatan terhadap bencana dari laut). Titik-titik area yang dilalui yaitu dari
keterangan nomor 1,3,5,4,3,6,8,10,11,12, dan 13.
Dengan perencanaan jalur ini, pengunjung dapat mengingat kembali dan
merasakan dasyatnya peristiwa tsunami yang terjadi.
92
Tabel 9. Hubungan Objek Wisata dengan
Atraksi dan Fasilitas Wisata
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Kapal PLTD Apung merupakan salah satu objek wisata sejarah tsunami
yang ada di Banda Aceh. Areal di sekitar kapal ini layak dijadikan sebagai
kawasan wisata tsunami di kota Banda Aceh. Kapal ini memiliki keunikan dimana
pada saat terjadinya tsunami, kapal dengan bobot ribuan ton mampu berpindah
posisi sejauh 4 km. Kejadian ini menunjukkan kedasyatan peristiwa tsunami yang
melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Selain itu, kapal PLTD
Apung juga menjadi salah satu bukti nyata bencana tsunami pernah melanda
Aceh. Perencanaan areal di sekitarnya mampu melestarikan nilai-nilai sejarah
yang terkandung di dalamnya, yaitu dengan adanya media dan jalur interpretasi.
Perencanaan areal kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah
tsunami juga didukung pemerintah daerah Kota Banda Aceh yang terdapat dalam
RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016. Jika melihat potensi sumber daya yang ada,
luasan area yang diusulkan oleh Pemda kota Banda Aceh sebagai kawasan wisata
tsunami, masih tergolong kecil. Hal ini dikarenakan ada beberapa obyek-obyek
dan atraksi pendukung yang dapat dikembangkan di areal ini. Oleh karena itu
diperlukan adanya perluasan area. Beberapa objek wisata utama yang dapat
ditemui yaitu Perairan Ulee Lheue, Desa Lambung, Rumah Tsunami, Mesjid
Subulussalam, Monumen Syuhada, dan Mesjid Baiturrahim. Selain itu
pengunjung juga dapat menikmati berbagai media interpretasi seperti tsunami
interpreting outdoor playground, museum tsunami, sirene tower, refuge building
inventory (ruang penyelamatan terhadap bencana dari laut), amphitheater, coastal
forest.
Perencanaan jalur interpretasi wisata pada kawasan wisata sejarah tsunami
terbagi menjadi tiga jalur yang dibedakan berdasarkan pengguna. Ketiga jalur itu
adalah jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak, pengunjung dewasa, dan para
peneliti. jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak lebih singkat dan berada di
areal yang dekat dengan Kapal PLTD Apung. Untuk pengunjung dewasa, jalur
wisata yang dilalui meliputi jalur pergerakan kapal PLTD Apung, mulai dari
lautan dan berakhir di posisi terakhir kapal pasca tsunami. Jalur wisata yang dapat
94
digunakan oleh para peneliti sebagian besar hampir sama dengan jalur yang dilalui
oleh pengunjung dewasa. Akan tetapi yang membedakan adalah hanya para
peneliti yang diizinkan untuk mengunjungi dan masuk ke dalam bangunan sirene
tower dan refuge building inventory (ruang penyelamatan terhadap bencana dari
laut). Dengan perencanaan jalur ini, pengunjung dapat mengingat kembali dan
merasakan dasyatnya peristiwa tsunami yang terjadi.
Berbagai kegiatan atau aktivitas yang bersifat mendidik mengenai segala
hal tentang tsunami dapat dijumpai di kawasan ini. Diantaranya, foto hunting,
menyaksikan atraksi pendukung wisata sejarah tsunami dan kesenian tradisional
lainnya, tracking, sightseeing, rekreasi, beribadah, mengenang kejadian tsunami,
dan berdoa. Sedangkan fasilitas yang dapat dijumpai yaitu, parkiran, ticketing,
museum, auditorium, amphitheater, sirene tower, refuge building inventory,
shelter, boardwalk, signboard, signage, tempat makan, toilet, tempat bermain, dan
tempat rekreasi.
Saran 1. Memberikan pengertian kepada masyarakat pentingnya melestarikan kawasan
tersebut dan memberikan ganti rugi yang sesuai.
2. Relokasi masyarakat setempat ke area lain yang tidak mengganggu nilai-nilai
kesejarahan dari objek wisata tsunami, serta mencegah terjadinya perubahan
fungsi-fungsi tersebut dengan adanya kontrol dari pemerintah, masyarakat,
dan sektor swasta untuk mempertahankan nilai-nilai kesejarahannya.
3. Perlunya pengembangan kawasan ini dengan penempatan fasilitas dan ruang-
ruang lebih mendetil.
DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Banda Aceh.
2006. Rencana Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang Kota Banda Aceh. Jakarta.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). 2005. Rencana Induk Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara. Jakarta. Berkmuller, K. 1981. Guidelines and Techniques for Environmental
Interpretation. University of Michigan. Michigan 48109. USA. 100 p. Booth, N. K. 1983. Basic Elements of Landscape Architectural Design.
Departement of Landscape Architecture Ohio State University. Waveland Press, Inc. USA.
Departemen Kehutanan. 1988a. Pedoman Interpretasi Taman Nasional. Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Direktorat Taman Nasional dan Hutan Wisata. Proyek Pembangunan Taman Nasional dan Hutan Wisata. Bogor. 107 hal.
Dinas Perkotaan dan Permukiman. 2006. Revisi Rencana tata Ruang Wilayah
Kota Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2006-2016. Banda Aceh.
Gold, S. M. 1980. Recreation Planning and Design. McGraw-Hill Book Co. New
York. 332 p. Gunn, C. A. 1997. Vacationscape: Developing Tourist Area, Third Edition. Taylor dan Francis Publ. Washington. Hadjad, A. dkk. 1984. Arsitektur Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Banda Aceh.
Hall, C. M. 2000. Tourism Planning: Policies, Processes and Relationship.
Pearson Education Asia (Pte) Ltd,. 236p. Knudson, D. M. 1980. Outdoor Recreation. Mac Millan Publ., Co,. Inc. New
York. 332 p. Laurie, M. 1990. Pengantar kepada Arsitektur Pertamanan (terjemahan).
Intermatra. Bandung. 130 hal. Muntasib, E. K. S. H. 2002. Teknik Interpretasi Lingkungan. Diktat Kuliah D3
KSH. Studio Rekreasi Alam. Institut Pertanian Bogor. 50 hal.
96
Nurisyah, S dan V. D. Damayanti. 2006. Pengembangan Interpretasi Wisata Pesisir Guna Mendukung Program Pendidikan Sumber Daya Pesisir Dan Kelautan dalam Kumpulan Riset Kelautan: Jalan Menuju Kejayaan Bahari. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, BAKOSURTANAL. Cibinong.
Nurisyah, S. dan Q. Pramukanto. 1995. Perencanaan Lanskap (Penuntun
Praktikum). Program Studi Arsitektur Pertamanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Bogor. 59 hal.
____________. 2001. Perencanaan Kawasan untuk Pelestarian Lanskap Sejarah
dan Taman Sejarah. Bahan Perkuliahan Perencanaan Lanskap. Program Studi Arsitektur Lanskap. Jurusan Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Bogor. 53 hal.
Rachman, Z. 1984. Proses Berpikir Lengkap Merencana dan Melaksana dalam
Arsitektur Lanskap. Makalah Diskusi Festa VI - Himagron (tidak dipublikasikan). Bogor.
Sharpe, G. W. 1982. Interpreting The Environment. John Wiley and Sons, Inc.
New York. 694 p. Simonds, J. O. 1978. Earthscape. Van Nonstrand Reinhold-Co. New York. 340 p. ___________. 1983. Landscape Architecture. McGraw-Hill Book Co. New York.
331 p. Sufi, R dan Agus B.W. 2005. Menjelajah Jejak Gempa dan Tsunami; Guide Book
to Aceh. Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh. 77 hal.
Tilden, F. 1957. Interpreting Our Heritage Chapel Hill. The University of North
Carolina Press. New York. Tim Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Pedoman Penggunaan Kerangka Peta dan Basis Data Aceh & Nias Versi 2.2. 2005. Jakarta : PT. Insan Hitawasana Sejahtera.
Lampiran 1. Form Kuisioner Penelitian
Kuesioner Penelitian Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung Sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh,
Nanggroe Aceh Darussalam
Kuisioner ini merupakan salah satu upaya mahasiswa untuk mengetahui tanggapan dan harapan masyarakat terhadap rencana pengembangan areal di
sekitar kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah di wilayah Kota Banda Aceh.
Karakteristik Responden Jenis Kelamin : Umur :…… tahun Pendidikan Terakhir :
a. SD c. SLTA e. Perguruan Tinggi b. SLTP d. Akademi f. Lainnya………………
Pekerjaan : a. Pelajar e. Polisi/ABRI b. Mahasiswa f. Pensiunan c. Swasta g. Ibu rumah tangga d. Wiraswasta h. Lainnya………………..
1. Di kawasan sekitar kapal PLTD Apung akan dibangun suatu kawasan
wisata sejarah tsunami yang bertujuan melestarikan salah satu objek peninggalan tsunami, yaitu kapal PLTD Apung dan nilai sejarah yang terkandung didalamnya akibat peristiwa dasyat bencana tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yaitu dengan merencanakan suatu kawasan yang dapat mengingatkan setiap orang akan peristiwa tsunami. Bagaimana tanggapan anda :
……………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………….... 2. Batasan perencanaan kawasan wisata sejarah dalam mengembangannya
sebaiknya: a) hanya di sekitar lokasi kapal b) mencakup daerah-daerah lainnya yang berpotensi menjadi kawasan
wisata c) lainnya (sebutkan)………..
Alasannya: ....................................................................................................................... .......................................................................................................................
3. Dalam menentukan jalur masuk kawasan wisata ini yang sesuai sebagai jalur interpretasi tunami sebaiknya diambil dari jalur : a) masuknya kapal ke daratan b) masuknya air laut ke daratan c) lainnya..........
98
4. Jika kawasan di sekitar kapal tersebut dikembangkan sebagai kawasan wisata dan jalur interpretasi sejarah tsunami, maka kegiatan apa saja yang ingin anda lakukan di lokasi tersebut? *)
a. berfoto b. melihat pertunjukan c. duduk-duduk d. melihat-lihat objek
wisata
e. bermain f. jalan santai g. berjualan h. lainnya
(sebutkan)................. 5. Jenis fasilitas apa saja yang anda inginkan untuk menunjang kegiatan
tersebut?*)a. pusat informasi b. ampitheater c. mushala d. tempat duduk e. shelter f. toilet g. gazebo h. tempat bermain anak-
anak
i. plaza j. tempat makan k. kios-kios cendramata l. parkiran m. museum tsunami n. auditorium o. lainnya
(sebutkan).................
6. Jika di tempat tersebut diadakan atraksi wisata, bagaimana pendapat anda? a. Setuju b. Tidak setuju c. Tidak tahu
Alasannya: ...............................................................................................................................................................................................................................................
7. Jenis atraksi apa yang anda inginkan untuk mengakomodasi suasana di lokasi tersebut? *)
a. tarian tradisional Aceh b. pemutaran film tsunami c. lainnya(sebutkan)....................................... 8. Apa harapan anda sehubungan dengan adanya perencanaan kawasan
wisata sejarah tsunami di sekitar kawasan kapal PLTD Apung tersebut ? ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................
*) jawaban boleh lebih dari satu
- Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya -