perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PERAMBATAN CAHAYA PADA PANDU GELOMBANG MAKRO
BERBENTUK TRAPESIUM
Disusun oleh :
DWI SETIAWAN
M0206028
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagian
persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains Fisika
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Januari, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini dibimbing oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Ahmad Marzuki, S.Si., Ph.D. Drs. Hery Purwanto, M.Sc.
NIP. 19680508 199702 1 001 NIP. 19590518 198703 1 002
Dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi pada :
Hari : Senin
Tanggal : 3 Januari 2011
Anggota Tim Penguji :
1. Drs. Cari, M.A., M.Sc., Ph.D. (...........................................)
NIP. 19610306 198503 1 001
Disahkan oleh:
Jurusan Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Ketua Jurusan Fisika
Drs. Harjana, M.Si., Ph.D.
NIP. 19590725 198601 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Perambatan Cahaya Pada Pandu Gelombang Makro Berbentuk Trapesium
Oleh :
Dwi Setiawan
M0206028
Saya dengan ini menyatakan bahwa isi intelektual skripsi ini adalah hasil
kerja saya dan sepengetahuan saya, hingga saat ini skripsi ini tidak berisi materi yang
telah dipublikasikan dan ditulis oleh orang lain, atau materi yang telah diajukan
untuk mendapatkan gelar di Universitas Sebelas Maret Surakarta maupun di
lingkungan perguruan tinggi lainnya, kecuali yang telah dituliskan dalam daftar
pustaka skripsi ini. Semua bantuan dari berbagai pihak baik fisik maupun psikis,
telah saya cantumkan dalam bagian ucapan terimakasih skripsi ini.
Surakarta, Januari 2011
Penulis
Dwi Setiawan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERAMBATAN CAHAYA PADA PANDU GELOMBANG MAKRO
BERBENTUK TRAPESIUM
DWI SETIAWAN
Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Sebelas Maret
ABSTRAK
Tulisan ini berisi kajian tentang perambatan cahaya pada pandu
gelombang makro berbentuk trapesium. Penelitian dibagi menjadi dua tahap.
Tahap yang pertama adalah tahap pengkajian perambatan cahaya secara
matematis. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mencari kaitan antara panjang
kolektor, kemiringan kolektor, lebar kolektor dan indeks bias kolektor terhadap
numerical aperture (NA). Dari kajian kajian ini diperoleh bahwa persamaan
umum pemantulan ke-i pada kolektor surya berbentuk trapesium adalah
dengan adalah sudut puncak kolektor,
dan adalah sudut yang terbentuk oleh sisi kolektor terhadap garis yang tegak
lurus sumbu kolektor. Selain itu juga diperoleh persamaan umum untuk
menghitung panjang kolektor minimum yang diperlukan agar sinar datang dengan
sudut datang tertentu i) dapat merambat didalam kolektor tanpa melewati sudut
kritis c) adalah untuk n genap (n=2,4,6,...) dan
untuk m ganjil (m=3,5,7,...). Dengan persamaan dan
X dapat diperoleh NA secara matematis.
Setelah kajian secara matematik dilakukan, tahap berikutnya adalah
menguji hasil tersebut secara eksperimen. Sampel untuk eksperimen ini dibuat
dari PMMA (polymethyl methacrylate). Pada tahap eksperimen penelitian ini
dibagi menjadi lima tahap yaitu pengukuran absorbasi PMMA, pengukuran
reflektansi PMMA, pengukuran indeks bias PMMA, pengukuran NA secara
eksperimen, dan membandingkan NA hasil eksperimen dengan hasil perhitungan
secara teori. Pada eksperimen yang pertama diperoleh kurva absorbansi dari
Pada eksperimen yang kedua diperoleh kurva
reflektansi PMMA untuk mode gelombang Tranverse Electric (TE) dan
Tranverse Magnetic (TM). Pada eksperimen yang ketiga diperoleh indeks bias
PMMA. Pada eksperimen yang keempat diperoleh NA kolektor untuk setiap
variasi panjang kolektor dengan variasi sudut kemiringan kolektor 83°, 85° dan
87°. Variasi panjang yang digunakan adalah 5,25cm, 6cm, 6,5cm dan 7cm. Dari
hasil eksperimen diperoleh hasil NA yang hampir sama dengan hasil perhitungan
matematis
Kata kunci : kolektor surya, absorbansi, reflektansi, indeks bias, NA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PROPAGATION OF THE LIGHT ON MACROWAVEGUIDE
TRAPEZIFORM
DWI SETIAWAN
Physics Department, Mathematic and Science Faculty, Sebelas Maret University
ABSTRACT
This research is content study about propagation of the light on
macrowaves trapeziform. This research divided become two phases. The first
phase is study about propagation of the light on mathematics. This phase aim to
get relations between collector lenght, collector skewness, collector wide, and
refraction index collector on numerical aperture (NA). The result of this research
show that the general formula of reflection for-i on solar collector organized as
trapeziform is is top angle
collector, and is angle formed by collector side to perpendicular line of
collector axis. In the other side, general formula for calculating minimum
collector length in order to the light come with certain incidence angle i)
creeping on collector without across critis angle
for even n (n=2,4,6,...), and
for odd m (m=3,5,7,...). By using formula dan X can
be got mathematical NA.
After this research had done on mathematics, the next phase examined the
result in a experiment. The sample for this experiment is made of PMMA. The
phase this experiment divided become five phases. There are measuring PMMA
absorbance, measuring PMMA reflectance, measuring PMMA refraction index,
ce
until ent can be got
PMMA reflectance curve for wave mode TE and TM. Where as for the third
experiment can be got PMMA refraction index, and for the fourth experiment can
be got collector NA for every collector length variation with collector skewness
angle variation 83°, 85° and 87°. Length variation that used is 5,25cm, 6cm,
6,5cm and 7cm. The result of this research is obtained result NA which much the
same to with result of mathematical calculation.
Keyword : Solar collector, Absorbance, Reflectance, Rrefraction Index, NA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
MOTTO
I can be what I wanna
(Penulis)
Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan
sporadic, namun setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari
sebuah desain holistic yang sempurna. Menerima kehidupan berarti
menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi karena
kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak terbantahkan.
(Harun Yahya)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan dengan rasa syukurku kepada Allah SWT dan Nabi
Muhammad SAW, serta ucapan terimakasih kepada :
Ayah dan Ibu, yang telah memberikan cinta dan pengorbanannya selama ini
yang tidak mungkin dapat aku membalasnya.
Adikku .
Almamaterku Universitas Sebelas Maret, tempat menimba semua pengalaman
dan ilmu.
Fisika FMIPA Angkatan 2006.
Pembaca yang budiman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan laporan skripsi dengan judul Perambatan Cahaya
Pada Pandu Gelombang Makro Berbentuk Trapesium .
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penulisan laporan
penelitian ini, penulis mengalami berbagai macam kendala karena keterbatasan
kemampuan penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan
laporan skripsi ini tidak bisa lepas dari bantuan berbagai pihak. Dengan rasa tulus
ikhlas penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Keluarga tercinta : Bapak dan Ibu. Terima kasih untuk semua kasih sayang,
pengorbanan, semangat yang telah diberikan sehingga penulis bisa seperti
sekarang ini.
2. Drs. Harjana, M.Sc., Ph.D selaku Ketua Jurusan Fisika FMIPA Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
3. Ahmad Marzuki, S.Si, Ph.D dan Drs. Hery Purwanto, M.Sc selaku dosen
pembimbing I dan dosen pembimbing II yang selalu membimbing,
memotivasi dan mengarahkan penulis dalam mengerjakan skripsi.
4. Drs. Eng. Budi Purnama selaku pembimbing akademik yang banyak
memberikan, arahan, rancangan dalam proses belajar..
5. Bapak dan Ibu dosen serta staff di Jurusan Fisika FMIPA UNS.
6. Keluarga besar UPT Laboratorium Pusat FMIPA UNS, yang banyak
membantu dalam proses pengerjaan skripsi dan memberikan kemudahan
dalam pemakaian alat percobaan.
7. Team Optik 2010 : Dewan, Nanang, dan Mas Wawan terima kasih untuk
motivasi, semangat dan bantuan yang diberikan selama mengerjakan skripsi.
8. Teman-teman fisika angkatan 2006 (OG)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
9. Adik tingkat angkatan 2007-2010 teruslah berjuang
10. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik atas kebaikan
dan bantuan yang telah kalian berikan. Semoga laporan penelitian ini dapat
memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Surakarta, Januari 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................. iii
ABSTRAK ................................................................................................ iv
ABSTRACT ............................................................................................. v
MOTTO .................................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................. viii
DAFTAR ISI ........................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .............................................................. 3
1.3. Batasan Masalah ................................................................... 4
1.4. Tujuan Penelitian .................................................................. 4
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................ 4
1.6. Sistematika Penulisan ........................................................... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 6
2.1. Pemantulan Teratur Pada Cermin Datar ................................ 6
2.2. Hukum Snellius ...................................................................... 6
2.3. Pemantulan Internal Total ..................................................... 7
2.4. Pemantulan Oleh Cermin Berputar ....................................... 8
2.5. Pandu Gelombang .................................................................. 9
2.6. Tingkat Numerik (Numerical Aperture (NA)) ...................... 10
2.7. Gelombang Elektromagnetik ................................................ 12
2.8. Polarisasi Cahaya ................................................................... 15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
2.9. Polarisasi karena Pemantulan dan Pembiasan ....................... 15
2.10. Reflektansi Dan Transmitansi ............................................. 16
2.11. Absorbansi .......................................................................... 18
2.12. PMMA (Polymethyl Metacrylate) ............................................ 20
BAB III. METODE PENELITIAN ......................................................... 22
3.1. Waktu dan Tempat ................................................................ 22
3.1.1. Tempat Penelitian ........................................................ 22
3.1.2. Waktu Penelitian ......................................................... 22
3.2. Alat dan Bahan ...................................................................... 22
3.2.1. Alat Penelitian ............................................................ 22
3.2.2. Bahan Penelitian ........................................................ 22
3.3. Prosedur Penelitian ............................................................... 24
3.3.1. Kajian Matematis ........................................................ 24
3.3.2. Pembuatan Program dengan Borland Delphi 7.0 ........ 25
3.3.3. Persiapan alat dan bahan ............................................. 25
3.3.4. Pengukuran Absorbansi .............................................. 26
3.3.5. Pengukuran Reflektansi .............................................. 26
3.3.6. Pengukuran Indeks Bias .............................................. 28
3.3.8. Pengukuran Numerical Aperture (NA) ....................... 28
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................ 30
4.1. Kajian Matematis .................................................................. 30
4.1.1. Penurunan Persamaan Pemantulan ke-i ...................... 32
4.1.2. Penurunan Persamaan Panjang Kolektor .................... 37
4.1.3. Pembuatan Program .................................................... 42
4.2. Kajian Eksperimen ................................................................ 45
4.2.1. Pembuatan Sampel ...................................................... 45
4.2.2. Pengukuran Absorbansi PMMA ................................. 46
4.2.3. Pengukuran Reflektansi PMMA ................................. 48
4.2.4. Pengukuran Indeks Bias PMMA ................................ 49
4.2.6. Pengukuran NA (Numerical Aperture) ....................... 51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 55
5.1. Simpulan .............................................................................. 55
5.2. Saran .................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 56
LAMPIRAN ............................................................................................ 59
Lampiran I .................................................................................... 59
Lampiran II .................................................................................. 70
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1. Pemantulan pada cermin datar ..................................................... 6
Gambar 2. 2. Sinar datang dari medium rapat ke medium renggang ................ 7
Gambar 2. 3. Jalannya sinar saat melewati dua medium berbeda dengan sudut
datang berbeda .............................................................................. 8
Gambar 2. 4. Pemantulan oleh cermin yang dirotasi sebesar ......................... 8
Gambar 2. 5. Bound rays dan unbound rays pada fiber optik ........................... 9
Gambar 2. 6. Pemantulan sempurna pada fiber optik yang menyebabkan bound
rays ............................................................................................... 10
Gambar 2. 7. Sudut penerimaan pada fiber optik .............................................. 11
Gambar 2. 8. Kapasitas cahaya pada serat optik ............................................... 11
Gambar 2. 9. Spektrum gelombang elektromagnetik ........................................ 13
Gambar 2. 10. Gelombang elektromagnetik yang merambat pada arah x ......... 14
Gambar 2. 11. Gejala polarisasi ......................................................................... 15
Gambar 2. 12. Polarisasi karena pemantulan dan pembiasan ............................ 16
Gambar 2. 13. Polarisasi mode TE dan mode TM ............................................ 17
Gambar 3.1. Alat-alat yang digunakan untuk penelitian kajian perambatan cahaya
pada pandu gelombang makro berbentuk segitiga ....................... 23
a. Sumber sinar laser merah .......................................................... 23
b. Photo Receiver .......................................................................... 23
c. Power meter .............................................................................. 23
d. Meja putar berkala derajat ........................................................ 23
e. Sampel segitiga .......................................................................... 23
f. Sumber sinar laser hijau ........................................................... 23
g. Alat polish ................................................................................. 23
h. Polish dengan grit 100, 1000, 2400 dan 4000 .......................... 23
Gambar 3.2. Diagram alir penelitian perambatan cahaya pada pandu gelombang
makro berbentuk segitiga ............................................................. 24
Gambar 3.3. Meja putar berskala derajat untuk mengukur reflektansi ............. 27
Gambar 3.4. Skema pengambilan data reflektansi sampel ................................. 27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
Gambar 3.5. Skema pengukuran NA sampel ..................................................... 29
Gambar 4. 1. Skema jalannya sinar didalam kolektor surya ............................. 30
Gambar 4. 2. Penyederhanaan sampel dengan menghilangkan persegi AKLM
....................................................................................................... 31
Gambar 4. 3. Penyederhanaan sampel dengan menganggap garis cermin ..... 31
Gambar 4. 4. Skema pemantulan pada setengah sampel ................................... 32
Gambar 4. 5. Bentuk kolektor dikembalikan ke bentuk semula ........................ 36
Gambar 4. 6. Skema pemantulan sinar pada setengah sampel untuk mencari
panjang sampel minimum.............................................................. 37
Gambar 4. 7. Bentuk kolektor dikembalikan ke bentuk semula untuk mencari
....................................................................................................... 41
Gambar 4. 8. Flowchart program ....................................................................... 44
Gambar 4. 9. Tampilan program untuk menghitung NA Sampel ..................... 45
Gambar 4. 10. (a). Spektrum cahaya matahari .................................................. 46
Gambar 4. 11. (b). Grafik Absorbansi PMMA ................................................. 46
Gambar 4. 12. Grafik Reflektansi PMMA ......................................................... 48
Gambar 4. 13. Grafik Reflektansi PMMA mode TM dari 50°-60° ................... 50
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 4. 1. Tabel perencanaan awal sampel dan hasil pengukuran ................... 45
Tabel 4. 2. Tabel NA untuk masing-masing sampel .. ....................................... 51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I. Kajian Matematis . .......................................................................... 59
1. Script program untuk menghitung NA dengan Borland Delphi 7.0 .... 59
Lampiran II. Kajian Eksperimen ....................................................................... 70
1. Data Absorbansi PMMA ...................................................................... 70
2. Data Reflektansi PMMA ...................................................................... 85
3. Data Reflektansi TM PMMA Sudut 50°-60° ....................................... 87
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah energi merupakan masalah yang sangat sensitif saat ini. Kenaikan
harga BBM menimbulkan dampak yang sangat luas di masyarakat karena bahan
bakar ini merupakan kebutuhan dasar manusia sehingga ketersediaannya sangat
diperlukan. Ketergantungan masyarakat terhadap minyak bumi sangatlah besar,
baik untuk kebutuhan rumah tangga, transportasi, industri maupun sebagai sumber
energi lainnya, sehingga terus dicari dan diburu kendati harganya selalu
melambung tinggi. Kebutuhan masyarakat akan energi minyak bumi jika
dibandingkan dengan kebutuhan akan energi dari sumber yang lain menempati
proporsi terbesar sebagai sumber energi penduduk, yakni mencapai 54,4%,
disusul gas bumi 26,5%. Konsekuensinya beban anggaran yang memberatkan
negara karena biaya subsidi harus terus diluncurkan untuk mempertahankan harga
jual yang terjangkau oleh konsumen. Pencabutan subsidi BBM walaupun
diimbangi dana kompensasi, sampai saat ini masih sangat terasa dampaknya di
masyarakat. Pemberian subsidi langsung tunai (SLT) pada masyarakat ternyata
belum bisa menyelesaikan masalah, bahkan banyak terjadi ketidakpuasan di
masyarakat (Atmojo, 2006).
Cadangan minyak bumi Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 9 miliar
barel dengan tingkat produksi mencapai 500 juta barel per tahun. Jika tidak
ditemukan cadangan baru, maka minyak bumi kita akan habis 18 tahun lagi.
Adapun kondisi cadangan gas alam kita diperkirakan mencapai 182 triliun kaki
kubik dengan ektraksi 3 triliun kaki kubik per tahun atau masih tersisa sekitar 61
tahun mendatang. Untuk mengatasi masalah BBM tersebut, perlu dilakukan
langkah-langkah diversifikasi energi (Atmojo, 2006).
Salah satu solusi yang dilirik sekelompok peneliti untuk mencari solusi
alternatif mengatasi krisis energi yang terjadi di Indonesia adalah pemanfaatan
energi matahari. Pemanfaatan sumber energi matahari sebagai sumber energi
terbarukan diperkirakan akan memberikan prospek yang lebih baik untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
menggantikan sumber energi fosil di masa mendatang dikarenakan letak strategis
wilayah Indonesia yang memungkinkan energi matahari dapat diterima sepanjang
tahun secara kontinyu dalam jumlah yang cukup besar dan energi matahari ini
juga tidak menimbulkan polusi (Priyadi, 2008).
Pada beberapa tahun terakhir teknologi hybrid kolektor sel surya mulai
banyak dikaji oleh para peneliti. Kajian teknologi hybrid kolektor sel surya
merupakan penggabungan teknologi kolektor surya dan teknologi sel surya. Sel
surya merupakan elemen aktif (semikonduktor) yang memanfaatkan efek
fotovoltaik untuk merubah energi matahari menjadi energi listrik. Energi thermal
yang dihasilkan dari kolektor surya diubah menjadi energi listrik dan disimpan
dalam sel surya untuk dapat digunakan sewaktu-waktu dan pada berbagai aplikasi
(Priyadi, 2008).
Untuk dapat mengoptimalkan energi yang dihasilkan, maka diperlukan
suatu teknologi kolektor surya. Energi matahari yang diterima oleh kolektor surya
tidak dapat langsung dikonversikan menjadi energi listrik, tetapi untuk
mengkonversikan energi matahari menjadi energi listrik digunakan alat lain yang
disebut sel surya (solar cell).
Posisi teknologi kolektor surya saat ini masih menggunakan kolektor
yang berbentuk parabola (Khalsa dan Andrade, 2008). Bentuk kolektor seperti ini
masih mempunyai kelemahan yaitu memerlukan lintasan (tracker) untuk
mengikuti gerak semu matahari (Sarker, dkk., Tudorache dan Kreindler, 2010).
Untuk mengatasi masalah ini dilakukan penelitian suatu kolektor yang dibuat dari
PMMA (polymethyl methacrylate) dengan bentuk menyerupai kerucut. Sehingga
cahaya yang masuk dari sisi atas yang lebar, dapat difokuskan pada sisi bawah
yang menciut. Pola perambatan cahaya dalam kolektor ini berbeda dengan yang
terjadi dalam fiber optik.
Prinsip pemantulan cahaya pada waveguide berbentuk silinder (fiber optic)
mempunyai kemanfaatan yang sangat besar dalam dunia modern (Kown, dkk.,
2006; Xu, dkk., 2008; Li, dkk., 2010). Dalam bentuk taperpun, fiber optic
mempunyai banyak aplikasi (Minkovich, dkk., 2006; Gravina, dkk., 2009). Solar
trapper merupakan aplikasi lain divais optic yang prinsip kerjanya sama dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
fiber taper yaitu cahaya dipantulkan secara berulang dalam fiber sebelum akhirnya
lolos kembali ke athmosfer. Dalam penelitian divais optic yang berupa kolektor
surya ini akan dikembangkan. Fungsi yang diharapkan adalah kemampuan dari
divais tersebut sebagai pengumpul cahaya (kolektor surya).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendesain model kolektor surya
dari PMMA berbentuk trapesium sehingga dapat digunakan untuk pengumpulan
energi matahari. Untuk mencapai tujuan ini maka penelitian ini dilakukan dengan
meliputi kegiatan untuk menentukan indeks bias PMMA, menentukan koefisien
absorbansi dan reflektansi dari PMMA, menentukan dan membandingkan nilai
numerical aperture (NA) dari pendekatan secara matematis dengan eksperimen.
1.2. Perumusan Masalah
Pola perambatan cahaya dalam kolektor surya bebentuk trapesium berbeda
dengan yang terjadi dalam fiber optik. Pada fiber optik, kedua sisi bidang
pantulnya sejajar, sehingga dapat dengan mudah dihitung NAnya. Berbeda pada
kolektor berbentuk trapesium pada penelitian ini, dimana kedua sisi bidang
pantulnya tidak sejajar. Dalam kolektor berbentuk trapesium ini cahaya masuk
dari sisi atas yang lebar difokuskan pada sisi bawah yang menciut, sehingga akan
diperoleh masalah yang lebih komplek. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu
dilakukan penelitian yang berkaitan dengan kolektor surya. Permasalahan-
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Mengukur besaran-besaran yang berkaitan dengan NA (indeks bias, panjang
kolektor, lebar kolektor, dan sudut kemiringan kolektor),
2. Berapakah koefisien absorbsi dan reflektansi PMMA,
3. Berapakah nilai numerical aperture (NA) PMMA, dan
4. Bagaimana perbandingan NA dari hasil eksperimen dengan pendekatan
secara matematis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
1.3. Batasan Masalah
Permasalahan pada penelitian ini dibatasi pada:
1. Pajang gelombang sinar yang digunakan dalam penelitian ini adalah laser
hijau dengan
2. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah PMMA.
3. Pola perambatan yang diteliti adalah pola perambatan 2 dimensi.
4. Bentuk kolektor surya yang digunakan adalah bentuk trapesium dengan
kemiringan ±83°, ±85°, dan ±87° dengan variasi panjang 5,25cm, 6cm,
6,5cm, dan 7cm.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menentukan persamaan matematis untuk menghitung NA pada kolektor surya
berbentuk trapesium.
2. Menentukan koefisien absorbansi dan reflektansi dari PMMA.
3. Menentukan indeks bias PMMA.
4. Menentukan dan membandingkan nilai NA dari pendekatan secara matematis
dengan eksperimen.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Dapat memberikan informasi mengenai indeks bias, koefisien absorbsi dan
refleksi dari PMMA.
2. Dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah energi yang dikumpulkan oleh
sel surya.
3. Dapat digunakan untuk mendesain model kolektor bentuk kerucut yang dapat
mengumpulkan cahaya secara optimal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
1.6. Sistematika Penulisan
Laporan skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan.
BAB II Tinjauan Pustaka
BAB III Metode Penelitian
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
BAB V Simpulan dan saran
Pada Bab I dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, perumusan
masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika
penulisan skripsi. Bab II tentang dasar teori. Bab ini berisi teori dasar dari
penelitian yang dilakukan. Bab III berisi metode penelitian yang meliputi waktu,
tempat dan pelaksanaan penelitian, alat dan bahan yang diperlukan, serta langkah-
langkah dalam penelitian. Bab IV berisi tentang hasil penelitian dan
analisa/pembahasan yang dibahas dengan acuan dasar teori yang berkaitan dengan
penelitian. Bab V berisi simpulan dari pembahasan di bab sebelumnya dan saran-
saran untuk pengembangan lebih lanjut dari skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemantulan Teratur Pada Cermin Datar
Pada permukaan benda yang rata seperti cermin datar, cahaya dipantulkan
membentuk suatu pola yang teratur. Sinar-sinar sejajar yang datang pada
permukaan cermin dipantulkan sebagai sinar-sinar sejajar pula (Gambar 2.1).
Akibatnya cermin dapat membentuk bayangan benda. Pemantulan semacam ini
disebut pemantulan teratur.
Gambar 2. 1. Pemantulan pada cermin datar
2.2. Hukum Snellius
Kecepatan cahaya pada jenis material yang berbeda akan berbeda pula.
Besar kecilnya kecepatan cahaya dalam medium ini ditentukan oleh indeks bias
dari masing-masing material. Perbandingan antara kecepatan cahaya di udara
dengan kecepatan cahaya di medium tertentu disebut indeks bias. Indeks bias
dapat ditulis dalam persamaan:
(2.1)
Dengan adalah indeks bias medium, adalah kecapatan cahaya diudara, dan
adalah kecepatan cahaya didalam medium.
Hukum dasar tentang pemantulan yaitu sinar datang, sinar pantul, dan
garis normal terletak pada satu bidang datar, besar. Sudut sinar datang (yang
1)) nilainya sama dengan sudut sinar
Sinar datang
Sinar pantul
Bidang pantul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
1)). Hukum ini disebut dengan
hukum refleksi. Secara matematis dinyatakan dengan:
(2.2)
Hukum dasar tentang pembiasan yang dikemukakan oleh Willebrord
Snellius, yaitu sinar datang, sinar bias, dan garis normal terletak pada satu bidang
datar. Indeks bias medium pertama dikalikan dengan sinus sudut datang
sama dengan indeks bias medium kedua dikalikan dengan sinus sudut bias.
Hukum ini disebut dengan hukum refraksi atau hukum Snellius. Secara matematis
dinyatakan dengan:
(2.3)
Dengan adalah indeks bias medium pertama, adalah indeks bias medium
kedua, adalah sudut datang, dan adalah sudut bias.
Mengacu pada hukum Snellius, jika sinar datang dari medium rapat
dengan membentuk sudut menuju mendium renggang maka sinar akan
dibiaskan menjauhi garis normal membentuk sudut (Gambar 2.2).
2.3. Pemantulan Internal Total
Sesuai dengan hukum Snellius, apabila sinar datang dari medium rapat ke
medium renggang, maka sinar akan dibiaskan menjauhi garis normal. Semakin
besar sudut datangnya, maka sudut bias juga akan semakin besar, hingga sampai
pada sudut datang tertentu (sinar datang nomor 4 pada Gambar 2.3) sinar yang
Gambar 2. 2. Sinar datang dari medium rapat ke medium renggang
Garis Normal
Sinar datang
Sinar bias
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
dibiaskan akan membentuk sudut terhadap normal. Sudut datang pada
keadaan seperti ini disebut dengan sudut kritis .
Gambar 2. 3. Jalannya sinar saat melewati dua medium berbeda dengan sudut
datang berbeda
Sudut kritis hanya terjadi jika sinar datang dari medium rapat ke medium
yang lebih renggang. Besarnya sudut kritis dinyatakan sebagai berikut:
(2.4)
Apabila sudut datang sinar datang dari medium rapat ke medium renggang
diperbesar melebihi sudut kritis, maka sinar akan dipantulkan seluruhnya ke
medium yang sama (medium rapat). Peristiwa seperti ini disebut pemantulan
internal total (Total Internal Reflection)(Rambe,2003). Pada penelitian ini
persamaan (2.4) akan digunakan sebagai acuan yaitu apabila sudut pantul lebih
kecil dari sudut kritisnya maka sinar akan dibiaskan keluar kolektor.
2.4. Pemantulan Pada Cermin Yang Diputar
Gambar 2. 4. Pemantulan oleh cermin yang dirotasi sebesar
Gambar 2.4 merupakan pola pemantulan yang terjadi pada cermin yang
diputar. Sebuah cermin datar, dengan sudut sinar datang adalah . Sebelum
cermin dirotasi sudut datang sama dengan sudut pantul yaitu . Jika cermin
n2 < n1
n2
n1 1
1
2
3
4
5
2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
dirotasi sebesar terhadap normal, dengan demikian sudut garis normal juga
akan bergeser sebesar . Dengan sinar datang yang tetap sama seperti saat
sebelum dirotasi, maka sudut datang akan menjadi dan sudut sinar pantul
akan menjadi . Perbedaan akhir antara sudut pantul saat sebelum cermin
dirotasi dengan setelah cermin dirotasi adalah . Jadi, untuk sinar datang tetap,
jika cermin dirotasi sebesar , maka sudut pantul akan bergeser sejauh yang
searah dengan pergeseran cermin.
2.5. Pandu Gelombang
Pandu gelombang adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk
mengarahkan atau memandu perambatan radiasi elektromagnetik sepanjang
lintasan tertentu. Gelombang elektromagnetik bisa saja merambat di udara, seperti
gelombang radio, tetapi untuk tujuan-tujuan tertentu gelombang perlu dipandu
untuk meminimalisasikan loss wave dari suatu pemancar ke receiver.
Contoh dari pandu gelombang ini adalah pandu gelombang pada fiber
optik. Konsep perambatan cahaya pada fiber optik ini dapat ditinjau secara optik
geometri. Dalam tinjauan ini terdapat dua tipe sinar dapat merambat sepanjang
fiber optik, yaitu sinar meridian dan sinar skew. Sinar meredian merupakan sinar
yang merambat memotong sumbu fiber optik, sedangkan sinar skew merupakan
sinar yang merambat tidak melalui sumbu fiber optik. Sinar-sinar meridian
dibedakan menjadi bound dan unbound ray (Gambar 2.5).
Gambar 2. 5. Bound rays dan unbound rays pada fiber optik (Palais, 2002)
Konsep pandu gelombang optik ini didasarkan pada hukum Snellius untuk
perambatan cahaya pada media transparan. Pemandu gelombang optik dibentuk
dari dua lapisan utama, yaitu core (inti) dan cladding (selimut). Indeks bias core
Unbound rays
Selimut (Cladding) (n2)
Inti (Core) (n1)
Sinar datang
Bound rays
Selimut (Cladding) (n2)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
harus lebih besar dari indeks bias cladding . Dengan menerapkan konsep
sudut kritis seperti pada persamaan (2.4) yang dapat ditulis ulang:
(2.4)
Maka pada Gambar 2.5 terlihat unbound rays dibiaskan keluar dari inti,
sedangkan bound rays dipantulkan dan merambat sepanjang inti dengan
menganggap bahwa permukaan batas antara inti dan kulit sempurna. Secara
umum sinar-sinar meredian mengikuti hukum pemantulan dan pembiasan. Bound
rays di dalam fiber optik disebabkan oleh pemantulan sempurna, dimana agar
peristiwa tersebut dapat terjadi maka sinar yang memasuki fiber optik harus
memotong perbatasan core-cladding dengan sudut lebih besar dari sudut kritis
, sehingga sinar dapat merambat sepanjang fiber optik dengan lintasan zig-
zag, seperti pada Gambar 2.6.
Gambar 2. 6. Pemantulan sempurna pada fiber optik yang menyebabkan bound
rays (Palais, 2002)
Sudut adalah sudut maksimum sinar yang memasuki serat agar sinar dapat
tetap merambat sepanjang serat (dipandu), sudut ini disebut sudut tangkap
(acceptance angle).
2.6. Tingkat Numerik (Numerical Aperture (NA))
Numerical Aperture merupakan parameter yang merepresentasikan sudut
penerimaan maksimum dimana berkas cahaya masih bisa diterima danmerambat
didalam inti fiber (Gambar 2.7). Sudut penerimaan ini dapat beraneka macam
tergantung kepada karakteristik indeks bias inti dan selubung serat optik.
Selimut (Cladding) (n2)
Inti (Core) (n1)
Gelombang
Datang Selimut (Cladding) (n2)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Gambar 2. 7. Sudut penerimaan pada fiber optik
Jika sudut datang berkas cahaya lebih besar dari NA atau sudut kritis maka
berkas tidak akan dipantulkan kembali ke dalam serat melainkan akan menembus
cladding dan akan keluar dari serat. Semakin besar NA maka semakin banyak
kapasitas cahaya yang diterima oleh serat (Gambar 2.8).
Gambar 2. 8. Kapasitas cahaya pada serat optik
Dengan memperhatikan gambar 2.7 dan dengan menggunakan hukum Snellis
maka diperoleh hubungan:
(2.5)
karena , maka persamaan (2.5) menjadi
(2.6)
dengan menggunakan relasi trigonometri , maka
persamaan (2.6) dapat dinyatakan dalam bentuk:
(2.7)
dengan
sehingga
(2.8)
NA Kecil
NA Besar
n0
Kerucut penerimaan
sudut kritis
max)
sudut datang
n0
n1 > n2
n2 Pembungkus (Cladding)
Inti Fiber (Fiber Core)
n1
Reflektansi
96%
4%
1 2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
maka
(2.9)
Hubungan antara sudut penerimaan dan indeks bias ketiga media (core,
cladding, udara) dinyatakan dengan Numerical Aperture (Supadi dkk, 2006).
(2.10)
jika indeks bias udara
(2.11)
Dengan NA adalah Numerical Aperture, 1n adalah Indeks bias cladding, 2n adalah
Indeks bias core. Sudut adalah sudut maksimum sinar yang memasuki serat
optik agar sinar dapat tetap merambat sepanjang serat optik (dipandu).
2.7. Gelombang Elektromagnetik
Gelombang Elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat
walau tidak ada medium. Gelombang elektromagnetik meliputi cahaya tampak,
gelombang radio, sinar-x, sinar gamma, ultraviolet, infra merah, dan mikro
gelombang.
Gambar 2.9 menunjukkan spektrum gelombang elektromagnetik dengan
berbagai interval frekuensi dan panjang gelombang. Cahaya tampak (Visible
Light) adalah spektrum gelombang elektromagnetik yang dapat dideteksi oleh
mata manusia. Panjang gelombang terpendek dalam spektrum tampak ini
bersesuaian dengan cahaya violet/ungu dan yang terpanjang
bersesuaian dengan cahaya merah . Gelombang elektromagnetik
yang memiliki panjang gelombang lebih kecil dari spektrum cahaya tampak
disebut sinar ultra violet, dan gelombang elektromagnetik yang memiliki panjang
gelombang lebih besar dari cahaya tampak disebut gelombang infra merah.
Energi elektromagnetik dipancarkan atau dilepaskan, oleh semua masa di
alam semesta pada level yang berbeda-beda. Semakin tinggi level energi dalam
suatu sumber energi, semakin rendah panjang gelombang dari energi yang
dihasilkan, dan semakin tinggi frekuensinya. Perbedaan karakteristik energi
gelombang digunakan untuk mengelompokkan energi elektromagnetik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Gambar 2. 9. Spektrum gelombang elektromagnetik (Serway, 2004)
Gelombang EM yang merambat sebagai gelombang planar memiliki sifat-
sifat sebagai berikut (Viridi, 2010):
1. Perubahan medan listrik dan medan magnetik terjadi pada saat yang
bersamaan, sehingga kedua medan memiliki harga maksimum dan minimum
pada saat yang sama dan pada tempat yang sama.
2. Gelombang elektromagnetik merupakan gelombang transversal yang arah
medan listrik dan medan magnetik saling tegak lurus dan keduanya tegak
lurus terhadap arah rambat gelombang (Gambar 2.10).
3. Gelombang elektromagnetik mengalami peristiwa pemantulan, pembiasan,
interferensi, dan difraksi. Juga mengalami peristiwa polarisasi karena
termasuk gelombang transversal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
4. Cepat rambat gelombang elektromagnetik hanya bergantung pada sifat-sifat
listrik dan magnetik medium yang ditempuhnya.
Gambar 2. 10. Gelombang elektromagnetik yang merambat pada arah x
(Pedrotti, 1993)
Susunan semua bentuk gelombang elektromagnetik berdasarkan panjang
gelombang dan frekuensinya disebut spektrum elektromagnetik. Gelombang EM
merambat dalam vakum dengan laju . Hubungan antara frekuensi dan panjang
gelombang , secara matematis adalah:
(2.12)
Dengan adalah kecepatan cahaya, adalah frekuensi gelombang, dan adalah
panjang gelombang.
Di mana di dalam vakum ,
Dengan
Energi gelombang elektromagnetik terbagi sama dalam bentuk medan
magnetik dan medan listrik. Solusi terbaik dari gelombang bidang
elektromagnetik yang berjalan sinusoidal, dimana amplitud E dan B berubah
terhadap x dan t sesuai dengan persamaan:
(2.13)
(2.14)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
2.8. Polarisasi Cahaya
Polarsasi adalah peristiwa terserapnya sebagian atau seluruh arah getar
gelombang. Gejala polarisasi hanya dapat dialami oleh gelombang transversal
saja, sedangkan gelombang longitudinal tidak mengalami gejala polarisasi.Gejala
polarisasi dapat digambarkan dengan gelombang yang terjadi pada tali yang
dilewatkan pada celah. Apabila tali digetarkan searah dengan celah maka
gelombang pada tali dapat melewati celah tersebut (Gambar 2.11(a)). Sebaliknya
jika tali digetarkan dengan arah tegak lurus celah maka gelombang pada tali tidak
bisa melewati celah tersebut tersebut (Gambar 2.11(b)).
Gambar 2. 11. Gejala polarisasi
Bila dalam gelombang EM, medan listrik hanya berosilasi pada satu
sumbu saja (sebagai konsekuensinyamedan magnetik juga hanya berosilasi pada
satu sumbu saja) maka polarisasi jenis ini dinamakan polarisasi linier. Terdapat
pula polarisasi berbentuk lingkaran di mana arah medan listrik dan medan
magnetik berosilasi tidak hanya pada satu sumbu tetapi pada bidang yang tegak
lurus arah penjaran dan membentuk bola seperti lingkaran. Jenis polarisasi yang
paling umum adalah polarisasi acak, di mana pada suatu waktu tidak dapat
ditentukan ke mana arah osilasi medan listrik atau magnetiknya (Viridi, 2010).
2.9. Polarisasi karena Pemantulan dan Pembiasan
Peristiwa pemantulan dan pembiasan dapat menyebabkan terjadinya
polarisasi (Gambar 2.12). Ketika cahaya jatuh pada bidang batas antara dua
medium dengan membentuk sudut datang terhadap garis normal, sebagian
sinar akan dipantulkan dengan sudut pantul ( = ) dan sebagian lagi akan
dibiaskan dengan sudut bias . Jika sinar bias dan sudut pantul membentuk sudut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
90° yang secara matematis , maka sinar pantul terpolarisasi linier.
Sudut datang yang menghasilkan sinar pantul terpolarisasi disebut sudut polarisasi
atau sudut Brewster ( .
Gambar 2. 12. Polarisasi karena pemantulan dan pembiasan
Hukum Snellius untuk menyatakan pembiasan adalah:
Oleh karena
Maka
Sehingga hukum Snellius diatas menjadi:
(2.15)
Persamaan (2.15) disebut dengan hukum Brewster. Dalam penelitiaaan ini
persamaan (2.15) akan digunakan untuk mencari indek bias PMMA dengan
mengunakan metode reflektansi.
2.10. Reflektansi Dan Transmitansi
Pada proses pemantulan dan pembiasan, cahaya dapat terpolarisasi
sebagian atau seluruhnya oleh refleksi. Perbandingan intensitas cahaya yang
dipantulkan dengan cahaya yang datang disebut reflektansi (R), sedangkan
perbandingan intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan cahaya datang disebut
Sinar datang Sinar pantul
Sinar bias
Garis Normal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
transmitansi (T). Fresnel menyelidiki dan merumuskan suatu persamaan koefisien
refleksi dan koefisien transmisi yang dihasilkan oleh pemantulan dan pembiasan
(Pedrotti, 1993).
Jenis polarisasi dengan medan listrik tegak lurus bidang datang dan
medan magnet sejajar bidang datang disebut transverse electric (TE).Sebaliknya
jika medan listrik sejajar bidang datang maka jenis polarisasi ini disebut
transverse magnetic (TM). Polarisasi TE yaitu polarisasi dimana vektor medan
listrik berada pada bidang yang tegak lurus arah perambatan gelombang.Polarisasi
TM yaitu polarisasi dimana vektor medan magnetik berada pada bidang yang
tegak lurus arah perambatan gelombang (Gambar 2.13).
Gambar 2. 13. Polarisasi mode TE dan mode TM
Transmitansi dari bahan dapat dicari dengan membandingkan intensitas
sinar laser setelah melalui bahan dengan intensitas sinar laser sebelum
mengenai bahan .
(2.16)
Transmitansi juga dapat dikaitkan dengan koefisien absorbansi suatu bahan.
Keterkaitan antara koefisien absorbsi dan transmitansi digambarkan oleh
persamaan (2.17):
(2.17)
Dimana adalah Transmitansi, adalah koefisien absorbsi , dan adalah
ketebalan bahan
Sedangkan Reflektansi (R) didefinisikan sebagai perbandingan antara
intensitaspemantulan dengan intensitas sumber yang dapat ditulis:
(2.18)
Arah rambat
gelombang
Arah rambat
gelombang
TE
TM
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Pada penelitian ini persamaan (2.18) akan digunakan untuk menghitung
Reflektansi PMMA untuk mode TE dan TM. Untuk metode kedua dengan
menggunakan sudut datang dan sudut bias didapatkan nilai koefisien refleksi (r)
dan koefisien tansmisi(t) sebagai berikut:
(2.19)
(2.20)
(2.21)
(2.22)
Sedangkan untuk nilai koefisien refleksi (r) dan koefisien tansmisi(t) sebagai
fungsi sudut datang dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut:
(2.23)
(2.24)
(2.25)
(2.26)
Dimana adalah sudut gelombang datang, dan adalah indeks bias relatif
.Sampai di persamaan koefisien refleksi dan transmitansi diatas
sehingga dapat di ambil suatu komentar bahwa pada penelitian ini tidak
menggunakan selinder dengan dinding dalam cermin karena tiap pantulan energi
akan hilang sebesar .
2.11. Absorbansi
Absorbsi cahaya oleh suatu molekul merupakan bentuk interaksi antara
gelombang cahaya/foton dengan atom/molekul. Absorbsi terjadi saat foton masuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
bertumbukan langsung dengan atom-atom pada material dan menyerap energinya
pada elektron atom. Foton mengalami perlambatan dan akhirnya berhenti,
sehingga pancaran sinar yang keluar dari material berkurang dibandingkan saat
masuk material. Abrobsi hanya terjadi ketika selisih kedua tingkat energi elektron
tersebut bersesuaian dengan energi cahaya datang.
(2.27)
Absorbansi menyatakan banyaknya cahaya yang diserap oleh bahan dari
total cahaya yang dilewatkan pada bahan tersebut. Absorbansi merupakan
logaritma kebalikan dari transmitansi, sehingga dalam persamaan matematis dapat
dituliskan:
(2.28)
Dimana adalah Absorbansi, adalah Transmitansi, adalah Intensitas cahaya
keluar , dan adalah Intensitas cahaya masuk .
Persamaan (2.28) juga dapat dituliskan:
(2.29)
Dengan mensubtitusikan persamaan (2.17) ke persamaan (2.28) besarnya
intensitas cahaya setelah melewati bahan dapat dituliskan :
(2.30)
Dari persamaan (2.30) dapat diturunkan persamaan yang menyatakan koefisien
absorbsi suatu bahan yang dihubungkan dengan transmitansi, yaitu:
(2.31)
Dimana adalah koefisien absorbsi , dan adalah ketebalan bahan ,
dan adalah Transmitansi.
Dengan mensubtitusikan persaman (2.17) ke persamaan (2.29) sehingga diperoleh
hubungan antara Absorbansi , koefisien absorbsi , dan ketebalan bahan
yang dituliskan dengan persamaan:
(2.32)
Dimana adalah koefisien absorbsi , dan adalah ketebalan bahan ,
dan adalah Absorbansi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
2.12. PMMA (Polymethyl Metacrylate)
Polymethyl metacrylate atau yang biasa dikenal dengan acrylic adalah
polimer yang mengkilap dengan struktur teratur. PMMA dibentuk melalui
polimerisasi dari monomer methyl metacrylate (MMA) yang direaksikan dengan
benzoil perosida (BPO). MMA adalah cairan bening dan substansi transparansi
yang tinggi sedangkan BPO bebentuk serbuk. PMMA mempunyai kerapatan 1.19
g/cm3, dan mempunyai serapan air yang sangat rendah, indeks biasnya diantara
1,49 1,51. PMMA adalah satu dari jenis termoplastik yang paling keras dan juga
memiliki daya tahan kekerasan yang sangat tinggi. PMMA murni bening dan
tidak berwarna, memiliki Mn (molecule number average) sebesar 25.800, Mw
(molecule weight average) sebesar 75.000, Tg (glass transition temperature)
sebesar 1140°C (Puspita, 2010).
Karakteristik utama material PMMA adalah warnanya yang bening
transparan. Tidak hanya transparan, PMMA juga sedikit sekali menyerap sinar
yang melalui material tersebut. Disinilah letak perbedaan optis yang utama antara
kaca dan acrylic. Walaupun bening, kaca menyerap sinar yang masuk sehingga
semakin tebal kaca tersebut maka semakin sedikit sinar yang melewatinya.
Sehingga dapat disimpulkan semakin tebal kaca maka sifat transparannya semakin
berkuarang. Sedangkan pada acrylic, penyerapan sinar yang terjadi demikian kecil
sehingga walaupun ketebalannya bertambah, sifat transparasinya tidak banyak
berpengaruh.
Perbedaan yang lain antara kaca dan acrylic adalah:
1. Kaca lebih bersifat getas dibanding acrylic. Acrylic lebih bersifat elastis,
sehingga secara teknis dapat bertahan pada hentakan tekanan dinamik air.
2. Kaca akan berlumut, sedangkan acrylic tidak.
3. Acrylic memiliki daya tahan terhadap cuaca yang sangat tinggi. Sinar
matahari tidak mudah mengubah acrylic menjadi kuning, atau membuatnya
hancur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
PMMA memiliki banyak manfaat. Pemanfaatan PMMA dibidang optik,
antara lain PMMA banyak digunakan sebagai POF (platic optical fiber), sebagai
bahan dasar lensa-lensa, sebagai solar konsentrator, sebagai bahan lapisan tipis.
Dalam pemanfaatannya sebagai POF, PMMA digunakan sebagai bahan core (inti)
fiber optik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
3.1.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sub Laboratorium Optik Jurusan Fisika
Fakultas MIPA Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
3.1.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, mulai bulan September 2010
sampai dengan Desember 2010.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain (Gambar 3.1) :
1. Power Meter Model 1815-C
2. Large Area Visible Photo Receiver Model 2031
3. Sinar laser He-Ne merah (632 nm)
4. Sinar laser hijau (532 nm)
5. Spektrophotometer UV-VIS-NIR
6. Meja Putar berskala derajat
7. Alat Polish
8. Polish dengan grit 100, 1000, 2400 dan 4000
9. Gergaji
10. Wadah sampel
3.2.2. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain :
1. Polymethyl metacrylate (Acrylic)
2. Air kran/PAM
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Gambar 3.1. Alat-alat yang digunakan untuk penelitian kajian perambatan cahaya
pada pandu gelombang makro berbentuk trapesium (a) Sumber sinar laser merah,
(b) Photo Receiver, (c) Powermeter, (d) Meja putar berkala derajat,
(e) Sampel trapesium, (f) Sumber sinar laser hijau, (g) Alat polish, dan
(h) Polish dengan grit 100, 1000, 2400 dan 4000
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
(g) (h)
100
2400 4000
1000
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
3.3. Prosedur Penelitian
Seperti telah disebut di bagian pendahuluan, kerja dalam penelitian ini ditujukan
untuk membuat kolektor surya dengan bentuk trapesium. Dengan melihat pola
perambatan cahaya pada fiber optik, pada kolektor surya ini ada hubungan antara
sudut kemiringan kolektor dengan sudut penerimaan (NA). Untuk mencapai
tujuan di atas kegiatan penelitian ini di bagi menjadi dua tahap yaitu kajian secara
matematis dan kajian secara eksperimen. Gambar 3.2 adalah diagram alir dari
kegiatan penelitian ini.
Gambar 3.2. Diagram alir penelitian perambatan cahaya pada pandu gelombang
makro berbentuk trapesium
Keterangan secara mendetil dari masing-masing langkah adalah sebagai berikut:
3.3.1. Kajian Matematis
Kajian matematis dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari
keterkaitan antara kemiringan kolektor dengan NA. Pada tahapan ini dicari
persamaan untuk menentukan besarnya sudut pada pemantulan ke-i i). Sudut-
sudut tersebut dihubungkan dengan sudut datang sinar saat sebelum
memasuki model kolektor. Pada tahap kajian matematis ini juga dicari persamaan
Pembuatan sampel
Pengukuran reflektansi
Pengukutan indeks bias
Perhitungan dan Pengukuran NA masing-masing sampel
Pengukuran absorbansi
Pengkajian secara matematis
Pembuatan Program dengan Borland Delphi 7.0
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
i) juga
mempengaruhi panjang kolektor surya (x) yang dibutuhkan agar semua sinar
dapat dipantulkan. Dengan menggunakan persamaan besar sudut pada pemantuan
ke-i dan persamaan panjang kolektor surya (x) dapat diperoleh NA secara
matematis.
3.3.2. Pembuatan Program dengan Borland Delphi 7.0
Pada tahapan ini dibuat program untuk menghitung NA dengan
menggunakan persamaan-persamaan matematis yang diperoleh pada tahapan
kajian matematis. Pembuatan program ini ditujukan untuk mempermudah
perhitungan NA secara matematis. Software pembuat program yang digunakan
pada penelitian ini adalah Borland Delphi 7.0.
3.3.3.Persiapan alat dan bahan
Pada tahap ini dilakukan persiapan alat dan bahan yang dibutuhkan dalam
eksperimen. Bahan yang dibutuhkan diantaranya Polymethyl metacrylate atau
yang biasa dikenal dengan acrylic. Alat yang digunakan dalam penelitian ini ada
beberapa macam, yaitu photo receiver sebagai sensor cahaya, powermeter sebagai
alat pengukur intensitas cahaya, spectrophotometer UV-VIS-NIR sebagai alat
pengukur absorbansi, meja putar berskala derajat sebagai alat pengukur
reflektansi, indeks bias, dan NA masing-masing sampel.
Pada penelitian ini digunakan model eksperimen berbentuk trapesium.
Model trapesium ini akan divariasi pada sudut kakinya (sudut kemiringan), dan
akan divariasi pada ketinggian/panjang trapesium. Sehingga akan diperoleh
beberapa sampel dengan variasi sudut kemiringan dan panjang trapesium.
Model trapesium dibuat dari bahan acrylic dengan ketebalan
yang diproduksi oleh PT. Astari Niagara Internasional. Acrylic dipotong dengan
bentuk trapesium dengan variasi sudut kemiringan 83°, 85°, dan 87° masing-
masing dengan variasi ketinggian 5,25cm, 6cm, 6,5cm dan 7cm. Karena dalam
proses pemotongan menggunakan gergaji yang menghasilkan potongan yang
kasar, maka harus dihaluskan dengan cara dipolish. Proses polish dilakukan secara
bertahap, yaitu dimulai dari grid 100, 1000, 2400 dan diakhiri dengan grid 4000.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Dikarenakan jika langsung ke grid tinggi, maka akan dibutuhkan waktu yang
lama. Proses polish diawali dengan meletakan kertas polish ke alat polish dengan
perekat berupa magnet. Pada proses polish ini di gunakan air sebagai media
pelarut untuk menghilangkan dan membuang kotoran bekas polish dari sampel
sehingga proses polish menjadi lebih cepat dan lebih baik.
3.3.4. Pengukuran Absorbansi
Pengukuran absorbansi pada penelitian ini dengan menggunakan 1 buah
sampel trapesium. Alat yang digunakan untuk mengukur transmitansi adalah
Ultra Violet Visible Spectroscopy Double Beam Shimadzu 1061 PC (Spektro-
photometer UV-VIS-NIR). Dari pengukuran ini dapat diketahui seberapa besar
cahaya yang diserap oleh sampel. Panjang gelombang yang digunakan pada
pengukuran absorbansi ini adalah 200nm-1000nm. Data yang diperoleh dari
pengukuran menggunakan alat UV-VIS-NIR Spectrophometer adalah data
absorbansi. Data absorbansi ini masih di pengaruhi oleh ketebalan. Untuk
memperoleh koefisien absorbansi yang tidak berpengaruh pada ketebalan maka
data absorbansi yang masih dipengaruhi oleh ketebalan dibagi dengan ketebalan
sampel yang digunakan pada saat pengukuran, seperti pada persamaan (2.32) pada
tinjauan pustaka.
(2.32)
Dengan tebal sampel yang digunakan pada pengukuran absorbansi pada penelitian
ini adalah 4,75mm. Kemudian data yang didapat dibuat grafik hubungan antara
koefisien absorbsi dengan panjang gelombang dengan menggunakan software
Origin Pro 8.
3.3.5. Pengukuran Reflektansi
Pengukuran reflektansi pada penelitian ini dengan menggunakan satu buah
sampel trapesium. Sebagai landasan terdapat suatu meja putar berskala derajat
yang akan digunakan untuk memvariasi sudut (Gambar 3.3).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Laser He-Ne
Polarisator
Photoreceiver
Powermeter
Sampel
Gambar 3.3. Meja putar berskala derajat untuk mengukur reflektansi
Pada penelitian ini, proses pengukuran nilai reflektansi PMMA adalah
dengan melewatkan sinar dari leser laser He-Ne 632nm terlebih dahulu ke
polarisator, kemudian diarahkan sampel PMMA. Dari sampel PMMA ini
selanjutnya sinar akan dipantulkan kembali oleh sampel PMMA kemudian diukur
intensitas sinar pantulnya dengan menggunakan powermeter. Pengambilan data
intensitas dilakukan terhadap variasi sudut datang. Variasi sudut datang yang
digunakan adalah dari 1° dan 90° dengan perubahan pergeseran sudut sebesar 1°.
Untuk hasil yang lebih akurat, maka posisi lampu laser dibuat tetap. Skema proses
pengambilan data digambarkan seperti pada Gambar 3.4.
Gambar 3.4. Skema pengambilan data reflektansi sampel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Nilai reflektansi akan diperoleh dengan membandingkan intensitas sinar
pantul dengan intensitas sumber, seperti yang telah disebutkan dalam tinjauan
pustaka pada persamaan (2.18) :
(2.18)
Pengukuran reflektansi dilakukan pada mode TE dan mode TM. Data
antara sudut sinar datang dan intensitas sinar pantul ini dimasukkan dalam grafik.
Pembuatan grafik dilakukan dengan menggunakan Software Origin Pro 8.
3.3.6. Pengukuran Indeks Bias
Pengukuran Indeks bias dapat dilakukan dengan menggunakan reflektansi
mode TM. Untuk mendapatkan indeks bias yang lebih teliti dilakukan pengukuran
ulang reflektansi pada rentang sudut 50°-60° dengan ketelitian 0,167°. Data
reflektansi ini dibuat grafik dengan menggunakan software Origin Pro 8. Indeks
bias ditunjukkan oleh nilai tangen dari sudut datang sinar laser yang memberikan
nilai intensitas terkecil. Indeks bias dihitung dengan menggunakan persamaan
sudut Brewster yang secara matematis dapat dituliskan:
(2.15)
Dimana p adalah sudut datang sinar laser yang memberikan nilai intensitas
terkecil, n2 adalah indeks bias sampel, dan n1 adalah indeks bias udara (n1=1).
Pada penelitian ini akan dicari indeks bias PMMA dengan cara mencari nilai p.
Setelah p didapatkan, maka dapat digunakan persamaan (2.15) untuk menghitung
indeks bias PMMA.
3.3.7. Pengukuran Numerical Aperture (NA)
Numerical Aperture merupakan parameter yang merepresentasikan sudut
penerimaan maksimum dimana berkas cahaya masih bisa diterima dan merambat
didalam kolektor surya. Secara matematis, besar sudut penerimaan (NA) sampel
trapesium dapat dihitung dalam kaitannya dengan indek bias bahan, panjang
sampel, lebar sampel, sudut kemiringan sampel .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Gambar 3.5. Skema pengukuran NA sampel
Gambar 3.5 adalah skema pengambilan data NA sampel. Dalam penelitian
ini langkah untuk menentukan NA adalah dengan cara meletakkan sampel diatas
meja putar berskala derajat, kemudian menyinari masing masing sampel dengan
laser dan dicari sudut maksimum dimana sinar masih merambat dalam didalam
sampel hingga keluar dari ujung sisi yang lain. Laser yang digunakan pada
penelitian ini adalah laser -
nm). Pengambilan data NA dilakukan pada 3 titik untuk setiap sampel, yaitu pada
pusat sampel dan dua titik yang lain adalah seperempat dari lebar kolektor yang
berada disebelah kiri dan kanan pusat kolektor. Penggunaan dua laser ini
dimaksudkan agar dapat mewakili spektrum cahaya yang sampai ke bumi yang
dipancarkan oleh matahari. Data NA untuk setiap laser dari masing-masing
sampel dimasukkan kedalam tabel dan dibandingkan dengan NA hasil
perhitungan secara matematis.
Laser
NAKanan
NAKiri
Sampel
Laser
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, tahapan yang pertama yaitu kajian
matematis sedangkan tahap yang kedua yaitu eksperimen. Kajian matematis
dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari keterkaitan antara kemiringan
kolektor dengan NA. Sedangkan pada tahap eksperimen terdiri dari beberapa
tahapan, yaitu: menentukan karakteristik absorbansi dan reflektansi PMMA,
menentukan indeks bias PMMA, dan menentukan besarnya NA untuk setiap
model kolektor surya, kemudian membandingkan besar NA dari perhitungan
matematis dan hasil eksperimen.
4.1. Kajian Matematis
Pada tahapan kajian matematis dicari persamaan untuk menentukan
besarnya sudut pada pemantulan ke-i i). Sudut-sudut tersebut dihubungkan
dengan sudut datang i) sinar saat sebelum memasuki model kolektor. Selain itu,
juga dicari persamaan untuk panjang model kolektor surya (h). Besarnya sudut
datang i) juga mempengaruhi panjang kolektor surya (h) yang dibutuhkan agar
semua sinar dapat dipantulkan.
Gambar 4. 1. Skema jalannya sinar didalam kolektor surya
L K
S
A
B
C
M
N
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Gambar 4.1. menjelaskan tentang jalannya sinar saat didalam kolektor
surya. Dari gambar 4.1. jika dilakukan penurunan persamaan besar sudut pantul
ke-i atau panjang kolektor akan menemui masalah yang cukup komplek. Maka
untuk mempermudah penurunan persamaan akan dilakukan beberapa tahapan:
1. Tahapan yang pertama adalah menghilangkan terlebih dahulu persegi AKLM.
Karena KL//AM maka:
(4.1)
Gambar 4. 2. Penyederhanaan sampel dengan menghilangkan persegi AKLM
2. Tahapan yang kedua adalah menggangap dan serta
garis S adalah garis sumbu tengah kolektor yang menerangkan bahwa
kolektor surya berbentuk simetris sehingga kolektor dapat dibagi menjadi dua
bagian yang sama. Dengan menganggap garis S sebagai cermin dan dengan
menggambil sampel sebelah kiri maka akan diperoleh (gambar 4.3):
Gambar 4. 3. Penyederhanaan sampel dengan menganggap garis S cermin
O
A
B
C
M
S
A
B
S
C
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Dengan memperhatikan gambar 4.1 dan karena KL//AM maka:
(4.2)
4.1.1. Penurunan Persamaan Pemantulan ke-i
Gambar 4. 4. Skema pemantulan pada setengah sampel
Dengan memperhatikan dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga
adalah 180°, maka:
(4.3)
Sehingga diperoleh:
(4.4)
Karena B1 dan B2 membentuk sudut siku-siku, maka:
(4.5)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.4), ke persamaan (4.5) diperoleh:
(4.6)
O
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Dengan memperhatikan jumlah sudut dalam segitiga adalah
180°, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka:
(4.7)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.6) ke persamaan (4.7) diperoleh:
(4.8)
Karena C1 dan C2 membentuk sudut siku-siku, maka:
(4.9)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.8) ke persamaan (4.9) diperoleh:
(4.10)
Dengan memperhatikan dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah
180°, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka:
(4.11)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.4) dan persamaan (4.10) ke persamaan
(4.11), diperoleh:
(4.12)
Karena D1 dan D2 membentuk sudut siku-siku, maka:
(4.13)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.12) ke persamaan (4.13) diperoleh:
(4.14)
Dengan memperhatikan dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah
180°, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka:
(4.15)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.8) dan persamaan (4.14) ke persamaan
(4.15) diperoleh:
(4.16)
Karena E1 dan E2 membentuk sudut siku-siku, maka:
(4.17)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.16) ke persamaan (4.17) diperoleh:
(4.18)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Dengan memperhatikan dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah
180°, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka:
(4.19)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.12) dan persamaan (4.18) ke persamaan
(4.19) diperoleh:
(4.20)
Karena F1 dan F2 membentuk sudut siku-siku, maka:
(4.21)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.20) ke persamaan (4.21) diperoleh:
(4.22)
Dengan memperhatikan EFG dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah
180°, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka:
(4.23)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.16) dan persamaan (4.22) ke persamaan
(4.23) diperoleh:
(4.24)
Karena G1 dan G2 membentuk sudut siku-siku, maka:
(4.25)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.24) ke persamaan (4.25) diperoleh:
(4.26)
Dengan memperhatikan FGH dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah
180°, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka:
(4.27)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.20) dan persamaan (4.26) ke persamaan
(4.27) diperoleh:
(4.28)
Karena H1 dan H2 membentuk sudut siku-siku, maka:
(4.29)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.28) ke persamaan (4.29) diperoleh:
(4.30)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Dengan memperhatikan GHI dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah
180°, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka:
(4.31)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.24) dan persamaan (4.30) ke persamaan
(4.31) diperoleh:
(4.32)
Karena I1 dan I2 membentuk sudut siku-siku, maka:
(4.33)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.32) ke persamaan (4.33) diperoleh:
(4.34)
Dengan memperhatikan gambar 4.4 dengan dikaitkan dengan gambar 4.2
maka pemantulan sebenarnya hanya terjadi pada C, E, G, dan I. Sementara
B, D, F, dan H merupakan sudut pemantulan yang terjadi karena
menganggap sumbu S sebagai cermin. Jadi B, D, F, dan H tidak akan
terbentuk pada saat sinar memasuki kolektor. Maka yang akan diambil sebagai
sampel persamaan dalam proses penurunan bersar sudut pantul ke-n hanya C,
E, G, dan I. Dari perhitungan diperoleh :
(4.10) Pemantulan ke 1
(4.18) Pemantulan ke 2
(4.26) Pemantulan ke 3
(4.34) Pemantulan ke 4
Dari persamaan (4.10), (4.18), (4.26), dan (4.34) terdapat keterkaitan
antara persamaan yang satu dengan persamaan lainnya. Keterkaitan itu memenuhi
hubungan persamaan:
(4.35)
Dengan , dan i menunjukkan besar sudut pantul ke-i. Persamaan i
pada persamaan (4.35) adalah persamaan untuk menentukan besar sudut pantul
ke-i.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Dengan mengembalikan bentuk kolektor kebentuk semula dengan
melepaskan cermin dan mengembalikan persegi AKLM maka dan dapat
dihubungkan dengan sudut datang i dan sudut bias r.
Gambar 4. 5. Bentuk kolektor dikembalikan ke bentuk semula
Dengan menggunakan hukum Snellius tentang pembiasan, maka dari Gambar 4.5
diperoleh:
(4.36)
Karena dan r membentuk sudut 90°, maka:
(4.37)
Dengan memperhatikan dan mengingat persamaan sinus dalam segitiga
diperoleh:
(4.38)
Dengan memperhatikan dan mengingat hukum pemantulan maka:
(4.39)
Sehingga
(4.40)
Dengan memsubtitusikan persamaan (4.40) ke persamaan (4.2), diperoleh:
(4.41)
Dari beberapa perhitungan diatas dan dengan menuliskan kembali
persamaan untuk menentukan besar sudut pantul ke-i, maka:
(4.35)
A
K L N
M
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Dengan
(4.40)
(4.41)
(4.36)
Dengan adalah persamaan untuk menentukan besar sudut pantul ke-i, adalah
sudut kemiringan kolektor surya, dan i r adalah sudut
sinar bias, adalah sudut yang terbentuk oleh sinar terhadap garis yang tegak
ut yang dibentuk oleh sinar terhadap
sisi kolektor.
4.1.2. Penurunan Persamaan Panjang Kolektor
Gambar 4. 6. Skema pemantulan sinar pada setengah sampel untuk mencari
panjang sampel minimum
O
a
c
b
d
e
f
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Dengan memperhatikan Gambar 4.6, maka sebelum melangkah ke proses
penurunan, terlebih dahulu harus mengingat fungsi sinus dalam trigonometri.
Salah satu fungsi sinus yang sering dipakai dalam proses penurunan persamaan:
n dan cosinus, maka:
(4.42)
(4.43)
, maka:
(4.44)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.8) dan persamaan (4.43) ke persamaan
(4.44) diperoleh:
(4.45)
Dengan memperhatikan dan mengingat fungsi cosinus, maka:
(4.46)
(4.47)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.4), persamaan (4.12) dan persamaan
(4.45) ke persamaan (4.47) diperoleh:
(4.48)
Dengan memperhatikan DCC' dan mengingat fungsi cosinus, maka:
(4.49)
Dengan
(4.50)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.8), persamaan (4.16) dan persamaan
(4.48) ke persamaan (4.50) diperoleh:
(4.51)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Dengan memperhatikan DEE' dan mengingat fungsi cosinus, maka:
(4.52)
Kerena besaran panjang tidak mungkin bernilai negatif, maka tanda negatif
diabaikan, sehingga persamaan (4.46) menjadi:
(4.53)
Dengan memperhatikan
(4.54)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.12), persamaan (4.20) dan persamaan
(4.51) ke persamaan (4.54) diperoleh:
(4.55)
Kerena besaran panjang tidak mungkin bernilai negatif, maka tanda negatif
diabaikan, sehingga persamaan (4.55) menjadi:
(4.56)
Dengan memperhatikan FEE' dan mengingat fungsi cosinus, maka:
(4.57)
Dengan
(4.58)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.16), persamaan (4.24) dan persamaan
(4.56) ke persamaan (4.58) diperoleh:
(4.59)
Kerena besaran panjang tidak mungkin bernilai negatif, maka tanda negatif
diabaikan, sehingga persamaan (4.59) menjadi:
(4.60)
Dengan memperhatikan FGG' dan mengingat fungsi cosinus, maka:
(4.61)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Dari beberapa perhitungan diatas,persamaan (4.42), persamaan (4.46), persamaan
(4.49), persamaan (4.53), persamaan (4.57), persamaan (4.61) secara berurutan
dapat ditulis ulang :
Dari persamaan (4.46), (4.53), dan (4.57) terdapat keterkaitan
antara persamaan yang satu dengan persamaan lainnya. Keterkaitan itu memenuhi
hubungan persamaan:
(4.62)
Dengan Xn adalah jarak vertikal dari sudut pantul ke-(n-1) hingga berpotongan
dengan garis S yang berfungsi sebagai sumbu kolektor, dan n adalah
Dan dari persamaan (4.49) dan (4.57) juga terdapat keterkaitan dan
antara persamaan yang satu dengan persamaan lainnya. Keterkaitan itu memenuhi
hubungan persamaan:
(4.63)
Dengan Xm adalah jarak vertikal dari perpotongan sinar terhadap garis S yang
berfungsi sebagai sumbu kolekor hingga sudut pantul ke-(m-2), dan m
Dengan memperhatikan gambar 4.5 diperoleh bahwa untuk setiap
i. Dengan demikian dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
sebanyak 2i. Secara matematis hasil ini dapat dituliskan
(4.64)
Dengan mengembalikan bentuk kolektor ke bentuk semula dengan
melepaskan cermin S dan mengembalikan persegi AKLM maka dapat dicari
panjang awal yang dibutuhkan (X0) dari saat sinar masuk kolektor hingga saat
sinar dipantulkan pertama kali oleh kolektor.
Dari Gambar 4.7. hal yang harus diperhatikan adalah nilai Z0. Jika sinar
mengenai sisi sebelah kanan dari garis S (garis tengah kolektor) maka Z0 bernilai
positif. Sebaliknya jika sinar mengenai sisi sebelah kiri dari garis S maka Z0
bernilai negatif.
Gambar 4. 7. Bentuk kolektor dikembalikan ke bentuk semula untuk mencari X0
Dengan memperhatikan (Gambar 4.7) dan mengingat persamaan
sinus, maka:
(4.65)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Dengan y adalah jarak yang ditempuh sinar mulai saat memasuki kolektor hingga
terpantul oleh sisi kolektor, r0 adalah setengah dari lebar kolektor bagian atas atau
jarak dari tepi kolektor bagian atas dengan sumbu kolektor S, dan Z0 adalah jarak
jatuh sinar pada kolektor bagian atas dengan sumbu kolektor S.
Dengan memperhatikan dan mengingat fungsi cosinus, maka:
(4.66)
Dengan X0 adalah jarak tegak lurus dari tempat jatuhnya sinar saat sinar mulai
memasuki kolektor .
Nilai Z0 disini menyesuaikan posisi saat sinar jatuh pada kolektor bagian
atas hingga memasukan kolektor. Z0 akan bernilai positif jika sinar datang jatuh di
sebelah kanan sumbu S, dan Z0 akan bernilai negatif jika sinar datang jatuh di
sebelah kiri sumbu S. Sehingga saat sinat datang jatuh disebalah kanan sumbu S
akan mengakibatkan panjang X0 yang lebih besar dibanding dengan saat sinar
datang jatuh di sebelah kiri sumbu S.
Dengan memperhatikan dan mengingat fungsi tangen, maka:
(4.67)
Dengan Z1 adalah bilangan yang merepresentasikan jarak tegak lurus horizontal
atas sisi kolektor terdekat, dan adalah sudut
kemiringan kolektor.
Dengan memperhatikan Gambar 4.7, maka dan dengan
mensubtitusikan dari persamaan (4.67) maka diperoleh:
(4.68)
Dengan r adalah jarak tegak lurus dari sumbu S , dan
adalah sudut kemiringan kolektor.
4.1.3. Pembuatan Program
Pembuatan program pada penelitian ini menggunakan software Borland
Delphi 7.0. Pembuatan program ditujukan untuk mempermudah proses
perhitungan besar sudut pantul ke-i dan panjang kolektor X secara matemetis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Pembuatan program ini didasarkan pada persamaan-persamaan yang diperoleh
pada kajian matematis yaitu pada subbab 4.1.1 dan subbab 4.1.2. Besar sudut
pantul ke-i dan panjang kolektor X akan digunakan untuk perhitungan NA secara
matematis. Proses penghitungan NA secara matematis didasarkan pada
persyaratan yaitu Pemantulan akan terjadi sepanjang kolektor surya dengan
syarat sudut pantul ke-i ( i) lebih besar dari sudut kritisnya c). Jika i bernilai
c
c ) dan besar sudut pemantulan ke-i ( i) dinyatakan sebagai
berikut:
(2.4)
dan (4.35)
Selain sudut kemiringan dan panjang kolektor surya dan terdapat faktor
lain yang mempengaruhi NA suatu kolektor surya. Faktor tersebut adalah indeks
bias material inti, indeks bias material selimut, lebar atas kolektor, dan jarak jatuh
sinar dari pusat kolektor. Ketika sinar jatuh pada sisi kiri kolektor maka jarak
jatuh sinar dari pusat kolektor akan bernilai negatif. Sebaliknya jika cahaya jatuh
pada sisi kanan kolektor maka jarak jatuh sinar dari pusat kolektor bernilai positif.
Faktor-faktor yang mempengaruhi NA kolektor surya berbentuk trapesium
tersebut akan menjadi masukkan-masukkan pada program. Sehingga akan
diperoleh hasil akhir berupa NA dengan arah putar kiri dan kanan.
Untuk mengefisienkan penggunaan waktu maka dalam program
ditambahkan sebuah masukkan yaitu akurasi perhitungan yang menyatakan
keakuratan data yang diperoleh. Semakin kecil akurasi yang dimasukkan maka
ketelitian hasil NA yang diperoleh akan semakin teliti sebaliknya semakin besar
akurasi yang dimasukkan maka ketelitian hasil NA yang diperoleh akan semakin
buruk. Jika akurasi yang dimasukkan kecil maka proses perhitungan NA akan
menghabiskan waktu lebih lama tetapi akan memperoleh hasil NA yang lebih
akurat. Untuk mempermudah pembuatan program maka di buat flowchart seperti
pada gambar 4.8. Pada gambar 4.9 merupakan gambar yang memperlihatkan
tampilan program untuk menghitung NA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Gambar 4. 8. Flowchart program
Start
Masukkan: Panjang kolektor dan akurasi perhitungan
Indeks bias medium 1 dan Indeks bias medium 2
Sudut kemiringan kolektor dan Lebar atas kolektor
Jarak jatuh sinar dari pusat kolektor (dikiri pusat (-) dan dikanan pusat (+))
Tidak
Ya
genap
Tidak
Ya
Finish
Tidak
Ya
Dengan hitung
Tidak
Keluaran:
Ya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Gambar 4. 9. Tampilan program untuk menghitung NA Sampel
4.2. Kajian Eksperimen
4.2.1. Pembuatan Sampel
Kolektor surya yang dibuat dalam penelitian ini mempunyai bentuk dasar
yang dalam 2 dimensi berbentuk trapesium sama kaki. Corong dua dimensi dipilih
karena kesederhanaan dalam cara pengujian sudut penerimaannya. Tabel 4.1
adalah perbandingan antara sampel hasil perencanaan dengan sampel jadi.
Tabel 4. 1. Tabel Perencanaan awal sampel dan hasil penghitungan ulang
Sampel
Kemiringan Sudut Lebar Atas Kolektor Panjang Kolektor
Perencanaan
Awal
Hasil
Pengukuran
Perencanaan
Awal
Hasil
Pengukuran
Perencanaan
Awal
Hasil
Pengukuran
A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
D1
D2
D3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Dari tabel 4.1 terdapat perbedaan dimensi sampel antara pada saat
perencanaan dengan hasil jadi sampel. Perbedaan tersebut dikarenakan sangat
sulit membuat sampel dengan desain sama persis dengan pada saat perencanaan
awal. Masalahnya adalah keadaan kekasaran permukaan sampel yang kadang
untuk meratakannya harus melebihi ukuran yang direncanakan.
4.2.2. Pengukuran Absorbansi PMMA
Kejadian yang mungkin ketika cahaya merambat dalam materi dua
diantaranya adalah sebagaian cahaya akan diserap dan sebagian yang lain akan
diteruskan. Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui seberapa besar bagian
cahaya yang diserab dan diteruskan oleh kolektor surya.
200 300 400 500 600 700 800 900 1000
0
2
4
6
8
10
12
14
16
(Ab
s/t
).ln
(10
)
Panjang Gelombang
Gambar 4. 10. (a). Spektrum cahaya matahari (Pedrotti, 1993),
(b). Grafik Absorbansi PMMA
(a)
(b)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Gambar 4.10.(a) merupakan grafik spektrum radiasi matahari yang
dipancarkan dari panjang gelombang 200nm sampai 2600nm. Pada grafik 4.10.(a)
terdapat grafik spektrum radiasi yang dipancarkan matahari dengan grafik
spektrum radiasi matahari yang diterima oleh permukaan bumi. Dari grafik
4.10.(a) terlihat bahwa tidak semua radiasi yang di pancarkan matahari sampai ke
permukaan bumi. Hal tersebut dikarenakan di atmosfer ada interaksi antara
gelombang yang masuk ke bumi saat dengan partikel-partikel udara di atmosfer.
Absorbansi PMMA adalah suatu bentuk interaksi antara gelombang
cahaya dengan molekul penyusun PMMA. Gambar 4.10.(b) merupakan grafik
hasil pengukuran koefisien absorbansi PMMA menggunakan UV-VIS-NIR
Spectrophometer. Dengan keterbatasan alat ukur absorbansi yang digunakan yaitu
hanya mampu mengukur absorbansi maksimum pada rentang panjang gelombang
200 nm hingga 1000 nm maka pada penelitian ini karakterisasi absorbansi PMMA
hanya dilakukan pada rentang panjang gelombang 200 nm hingga 1000 nm.
Dari Gambar 4.10.(b) dapat dilihat bahwa panjang gelombang 206nm-
292nm koefisien absorbansi berkisar antara 1,000-15,198 sedangkan pada panjang
gelombang 292,5nm-1000nm koefisien absorbansi kurang dari 1,000. Dengan
menggunakan hubungan antara absorbansi dan transmitansi seperti dalam bab
tinjauan pustaka (persamaan (2.29)):
(2.29)
Maka dari persamaan (2.29) dapat diturunkan persamaan untuk menghitung
transmitansi berdasarkan pada absorbansinya.
(4.69)
Dengan A adalah absorbansi, dan T adalah transmitansi.
Dengan menggunakan persamaan (4.69) dapat diketahui sekitar 90% cahaya akan
ditransmisikan oleh PMMA.
Dengan mengkaitkan spektum radiasi matahari yang sampai ke bumi
dengan absorbansi PMMA maka PMMA yang digunakan harus mampu
mentransmisikan sebagian besar spektrum radiasi yang diterima pada permukaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
bumi. Dari hasil pengukuran dapat disimpulkan bahwa PMMA sedikit sekali
menyerap cahaya dan banyak mentransmisikan cahaya sehingga baik digunakan
sebagai kolektor surya.
4.2.3. Pengukuran Reflektansi PMMA
Pengukuran reflektansi PMMA ditujukan untuk mengetahui karakteristik
refleksi dari bahan PMMA. Hasil pengukuran reflektansi PMMA disajikan dalam
Gambar 4.11.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
1,1
Re
fle
kta
nsi
Sudut
TE
TM
Gambar 4. 11. Grafik Reflektansi PMMA
Gambar 4.11 adalah grafik reflektansi PMMA terhadap sudut datang yang
dilakukan pada dua metode pengukuran yaitu mode TE (transverse electric) dan
Mode TM (tranverse magnetic). Mode TE adalah mode dimana sinar laser
diletakkan pada posisi vertikal sedangkan mode TM adalah mode dimana sinar
laser diletakkan pada posisi horizontal. Pada mode TE gelombang yang dapat
melewati polarizer adalah medan listriknya saja sedangkan pada mode TM yang
dapat melewati polarizer adalah medan magnetnya saja. Dari Gambar 4.11 terlihat
bahwa reflektansi mode TM selalu berada dibawah mode TE. Hasil ini
bersesuaian dengan grafik reflektansi seperti yang dilakukan oleh peneliti lain
(Kawate, 2007; New England Board of Higher Education, 2004).
Pada penelitian ini setelah sinar laser dipantulkan oleh sample PMMA
kemudian sinar laser diteruskan melewati photoreceiver. Didalam photoreceiver
sinar laser tadi diubah menjadi pulsa-pulsa energi listrik yang selanjutnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
ditransmisikan ke powermeter dan diukur dayanya. Dari daya listrik yang terukur
pada powermeter selanjutnya dapat dihitung intensitasnya dengan menggunakan
persamaan:
(4.70)
Dengan I adalah intensitas (watt/m2), P adalah daya listrik (watt) dan A adalah
luasan (m2). Untuk mendapatkan nilai reflektansi dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan reflektansi berkaitan dengan intensitas sesuai dengan
tinjauan pustaka pada persamaan (2.18) yaitu:
(2.18)
Dengan R adalah Reflektansi, I adalah Intensitas sinar yang dipantulkan, dan I0
adalah Intensitas sinar mula-mula.
Pada Gambar 4.11 terlihat bahwa nilai reflektansi untuk mode TE semakin
meningkat jika sudut datang semakin besar. Peningkatan intensitas tidak linier
akan tetapi membentuk lengkungan seperti grafik eksponensial. Mula mula
untuk sudut 1° nilai reflektansi adalah 0,079 kemudian meningkat seiring dengan
penambahan sudut datang hingga reflektansi 1 pada sudut 90°. Untuk nilai
reflektansi Mode TM pada gambar 4.11 menunjukkan bahwa nilai reflektansi
PMMA akan terus turun dari sudut 1° dengan nilai reflektansi 0,086 hingga sudut
56° dengan nilai reflektansi 0,002. Tetapi setelah melewati sudut 57° dengan nilai
reflektansi 0,004, nilai reflektansi PMMA mengalami peningkatan yang signifikan
hingga sudut 90°. Berdasarkan grafik juga terlihat bahwa nilai reflektansi
minimum PMMA untuk mode TE sebesar 0,079, terjadi pada sudut 10.
Sedangkan untuk mode TE sebesar 0,002 dan terjadi pada sudut 56°. Jika
dibandingkan antara kurva reflektansi TE dan TM terlihat bahwa nilai reflektansi
TE lebih kecil dari pada TM ketika sudut datang < 5°.
4.2.4. Pengukuran Indeks Bias PMMA
Pengukuran indeks bias terhadap bahan PMMA dilakukan untuk
mengetahui perbedaan indeks bias PMMA dengan indeks bias udara. Perbedaan
indeks bias udara dengan PMMA merupakan syarat utama agar pemanduan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
cahaya dalam kolektor surya dapat terjadi. Pengukuran indeks bias telah dilakukan
terhadap PMMA dengan menggunakan metode reflektansi. Hasil pengukuran
reflektansi PMMA untuk pengukuran indeks bias disajikan dalam Gambar 4.12.
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
0,002
0,004
0,006
0,008
0,010
0,012
0,014R
efle
kta
nsi
Sudut datang
TM
Gambar 4. 12. Grafik Reflektansi PMMA mode TM dari 50°-60°
Pada Gambar 4.11 terlihat nilai reflektansi untuk mode TM memiliki nilai
terendah terendah pada rentang sudut 50° hingga 60°. Untuk mendapatkan hasil
yang lebih teliti, maka pengukuran kembali dilakukan pada rentang sudut 50°
hingga 60° dengan peningkatan sudut datang sebesar 0,167°, lebih teliti dibanding
sebelumnya dengan peningkatan sudut datang sebesar 1°. Pada gambar 4.12.
terlihat bahwa grafik reflektansi PMMA untuk rantang sudut datang dari 50°
hingga 60° berbentuk cekung. Nilai refelektansi PMMA terendah adalah 0,002
terjadi pada sudut 56,333°. Seteleah melewati sudut 56,333° nilai reflektansi
mode TM ini akan terus naik secara signifikan hingga sudut 60°
Dengan mengingat hukum Brewster tentang pemantulan dan pembiasan
yang secara matematis dapat dituliskan :
(2.29)
Dengan p adalah sudut reflektansi terkecil mode TM, n2 adalah indeks bias
medium 1 yang dalam penelitian ini adalah PMMA dan n1 adalah indeks bias
medium 2 yang dalam penelitian ini adalah udara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Dengan p adalah 56,333°, n1 adalah 1 maka dapat dihitung indeks bias
PMMA (n2). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh indeks bias untuk PMMA
adalah 1,501. Nilai ini bersesuaian dengan yang ada diliteratur pembuat PMMA
(www.an-internasional) yang menyebutkan bahwa indeks bias PMMA berkisar
antara 1,49-1,51 bergantung pada komposisi bahan .
4.2.5. Pengukuran NA (Numerical Aperture)
Numerical Aperture merupakan parameter yang merepresentasikan sudut
penerimaan maksimum dimana berkas cahaya masih bisa diterima dan merambat
didalam kolektor surya. Uji sudut penerimaan ini ditujukan untuk mengetahui
seberapa besar sudut datang cahaya yang masih bisa diterima dan merambat dari
ujung yang satu ke ujung yang lainnya. Hasil pengukuran NA untuk setiap sampel
dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4. 2. Tabel NA untuk masing-masing sampel
Sampel Sinar
Datang
Arah
Putar
Numerical Aperture
Matemetis
A1
Tengah Kanan 18,143 18,083 18,467
Kiri 18,143 18,117 18,517
1 Kanan 21,705 21,683 21,767
Kiri 12,310 12,300 12,350
2 Kanan 12,310 12,317 12,367
Kiri 21,705 21,700 21,800
A2
Tengah Kanan 17,464 17,450 17,517
Kiri 17,464 17,467 17,550
1 Kanan 20,860 20,667 21,067
Kiri 11,376 11,333 11,400
2 Kanan 11,376 11,383 11,433
Kiri 20,860 20,733 21,150
A3
Tengah Kanan 12,260 12,250 12,300
Kiri 12,260 12,233 12,283
1 Kanan 18,188 18,167 18,250
Kiri 6,293 6,300 6,333
2 Kanan 6,293 6,283 6,317
Kiri 18,188 18,150 18,233
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
B1
Tengah Kanan 39,974 39,950 40,133
Kiri 39,974 39,933 40,117
1 Kanan 40,359 40,250 40,817
Kiri 34,177 34,133 34,300
2 Kanan 34,177 34,150 34,317
Kiri 40,359 40,267 40,833
B2
Tengah Kanan 32,549 32,550 32,683
Kiri 32,549 32,517 32,667
1 Kanan 33,892 33,817 34,300
Kiri 26,735 26,683 26,817
2 Kanan 26,735 26,717 26,867
Kiri 33,892 33,800 34,283
B3
Tengah Kanan 29,898 29,883 30,017
Kiri 29,898 29,867 30,000
1 Kanan 35,210 35,167 35,350
Kiri 24,551 24,550 24,650
2 Kanan 24,551 24,517 24,617
Kiri 35,210 35,183 35,350
C1
Tengah Kanan 54,964 54,833 55,617
Kiri 54,964 54,850 55,633
1 Kanan 54,964 54,833 55,617
Kiri 51,092 51,033 52,417
2 Kanan 51,092 51,050 52,433
Kiri 54,964 54,833 55,600
C2
Tengah Kanan 52,966 52,917 53,233
Kiri 52,966 52,917 53,217
1 Kanan 55,327 55,200 56,000
Kiri 47,082 47,050 47,300
2 Kanan 47,082 47,033 47,283
Kiri 55,327 55,183 55,967
C3
Tengah Kanan 46,015 46,000 46,233
Kiri 46,015 45,983 46,217
1 Kanan 51,484 51,433 51,733
Kiri 41,459 41,400 41,917
2 Kanan 41,459 41,417 41,950
Kiri 51,484 51,417 51,717
D1
Tengah Kanan 12,069 12,050 12,100
Kiri 12,069 12,067 12,117
1 Kanan 18,057 18,050 18,100
Kiri 6,042 6,033 6,050
2 Kanan 6,042 6,033 6,067
Kiri 18,057 18,067 18,117
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
D2
Tengah Kanan 29,522 29,500 29,633
Kiri 29,522 29,517 29,633
1 Kanan 34,169 34,100 34,600
Kiri 23,891 23,883 23,983
2 Kanan 23,891 23,867 23,967
Kiri 34,169 34,083 34,583
D3
Tengah Kanan 48,421 48,367 48,633
Kiri 48,421 48,383 48,650
1 Kanan 53,802 53,750 54,067
Kiri 47,995 47,900 48,550
2 Kanan 47,995 47,883 48,533
Kiri 53,802 53,750 54,067
Dari Tabel 4.2. terdapat perbedaan NA antara panjang gelombang merah
(632nm) dan panjang gelombang hijau (532nm). Perbedaan tersebut dikarenakan
peristiwa dispersi cahaya seperti yang terjadi didalam prisma. Dispersi cahaya
terjadi karena setiap panjang gelombang memiliki indeks bias yang berbeda-beda.
Semakin kecil panjang gelombangnya semakin besar indeks biasnya. Perbedaan
antara panjang gelombang merah dan panjang gelombang hijau hanya terjadi
ketika sinar masuk pertama kali ke dalam sampel macrowaveguide dengan ujung
yang lebar, dan pada saat sinar keluar macrowaveguide dengan ujung yang lebih
kecil. Sedangkan proses pemantulan yang terjadi didalam macrowaveguide antara
panjang gelombang hijau dan panjang gelombang merah tetap sama.
Dari Tabel 4.2 juga terdapat perbedaan kecil antara NA hasil pengukuran
dengan panjang gelombang merah dan hijau dengan NA hasil perhitungan secara
teori. Perhitungan secara teori dengan menggunakan sebuah program yang telah
dibuat dengan mengunakan Borland Delphi 7.0. Dalam perhitungan secara teori
menggunakan indeks bias PMMA hasil pengukuran menggunakan panjang
gelombang
hampir sama. Perbedaan terdapat
antara NA hasil
dengan hasil perhitungan NA secara teori. Perbedaan tersebut dikarenakan proses
penghitungan NA secara teori menggunakan indeks bias PMMA hasil pengukuran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Pada penelitian ini terdapat perbedaan kecil antara NA hasil perhitungan
secar teori dengan hasil eksperimen. Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain: pertama sampel 2 dimensi yang dibuat tidak benar benar
simetris, kemungkinan ada sedikit perbedaaan sudut kemiringan antara kedua
sisinya. Kedua perlu ketelitian dalam mengamati skala saat melakukan
pengukuran terhadap lebar atas macrowaveguide dan sudut kemiringan
macrowaveguide. Pada saat pengukuran NA garis tengah sampel tidak benar-
benar sejajar dengan arah sinar datang pada saat sinar datang tepat tegak lurus
terhadap sampel.
Meskipun terdapat perbedaan antara hasil eksperimen dan hasil
perhitungan secara teori namun perbedaan itu sangat kecil hanya seperseratus
sehingga dapat dikatakan hasil NA antara teori dan eksperimen sama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka dapat di ambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Berdasarkan kajian matematis, besarnya sudut pantul ke-i yang terbentuk
pada kolektor berbentuk trapesium dengan kemiringan sudut adalah
. Selain itu juga diperoleh persamaan
umum untuk menghitung panjang kolektor minimum yang diperlukan agar
sinar datang dengan sudut datang tertentu i) dapat merambat didalam
kolektor tanpa melewati sudut kritis c) adalah
untuk n genap (n=2,4,6,...) dan untuk m ganjil
(m=3,5,7,...). Penentuan NA secara matematis didasarkan pada i dan X .
2. Berdasarkan grafik absorbansi, PMMA (acrylic) baik digunakan sebagai
kolektor surya, karena sedikit sekali menyerap cahaya dan banyak
menstransmisikan cahaya ( ± 90% ).
3. Berdasarkan grafik reflektansi pada PMMA, baik untuk mode TE maupun
mode TM menunjukkan trend yang hampir sama. Untuk mode TE nilainya
reflektansinya terus mengalami kenaikan seiring pertambahan sudut datang
hingga 90°, tetapi pda mode TM, nilai reflektansi akan mengalami penurunan
terlebih dahulu hingga sudut datang 56,333°, kemudian mengalami kenaikan
hingga sudut 90°.
4. Besarnya indeks bias PMMA dapat dicari dengan menggunakan metode
reflektansi khusus pada sudut datang 50° sampai 60°. Dari grafik reflektansi
PMMA pada sudut datang 50° sampai 60° nilai reflektansi terkecil pada sudut
datang 56,333° yang berarti besarnya indeks bias untuk PMMA adalah 1,501.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
5. Dari tabel perbandingan NA secara matematis dan eksperimen diperoleh hasil
yang hampir sama. Hal ini menunjukkan kebenaran hasil perhitungan secara
matematis.
5.2. Saran
Saran untuk penelitian berikutnya adalah memberikan sebuah inovasi pada
kolektor surya, misalkan dengan menambahkan sebuah persegi pada bagian atas
kolektor surya yang berbentuk trapesium sehingga akan diperoleh nilai NA yang
lebih besar. Lebih banyak melakukan variasi sudut kemiringan kolektor dan
panjang kolektor agar diperoleh kolektor surya yang dapat mengumpulkan cahaya
secara optimum.
Top Related