PENGHINAAN TERHADAP KEPALA NEGARA PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk
Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana (S.H)
Oleh
Harits Aditya Permadi
NIM : 1112045200009
JURUSAN KETATANEGARAAN ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya sebagai penulis menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 April 2017
Harits Aditya Permadi
i
ABSTRAK
Harits Aditya Permadi. NIM 1112045200009. PENGHINAAN TERHADAP
KEPALA NEGARA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM.
Skripsi, Program Studi Ketatanegaraan Islam. Fakultas Syariah dan Hukum.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1438H/2017M.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang bagaimana perspektif hukum
Islam dan hukum positif terhadap kasus penghinaan terhadap kepala negara. Skripsi
ini juga menjabarkan tentang perbuatan dan sanksi – sanksi yang dijatuhkan baik
menurut hukum Islam maupun hukum positif tentang kasus penghinaan terhadap
kepala negara.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research)
yakni metode penelitian yang diperoleh di perpustakaan dengan menganalisa teori-
teori melalui sumber-sumber yang berkaitan dengan aspek materi yang diteliti.
Penelitian ini mengkaji pendapat para ahli hukum yang terdapat dalam buku,
Undang-Undang KUHP, hasil Putusan Mahkamah Agung, hasil Putusan Mahkamah
Konstitusi RI, hasil Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan RI, kitab – kitab
hukum fiqih dan buku-buku lain yang berkaitan dengan penelitian.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hukum Islam dan hukum positif
memiliki perspektif yang sama yaitu bahwa perbuatan menghina kepala negara
adalah perbuatan yang dilarang. Namun sanksi yang dijatuhkan berbeda. Berdasarkan
hukum positif sanksi yang dijatuhkan adalah pasal 208 yang diancam dengan pidana
penjara paling lama empat bulan atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah. Sedangkan berdasarkan hukum Islam (menurut hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad) sanksi yang dijatuhkan yaitu didera/di hukum campuk sampai jera
(tidak dijelaskan spesifikasi jumlah cambuk yang dijatuhkan).
Kata kunci : Penghinaan, Kepala Negara, Hukum Positif, Hukum Islam, Sanksi
Pembimbing : Atep Abdurofiq, M.Si
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat serta salam
senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul
“Penghinaan Kepala Negara Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak sedikit kendala yang penulis
alami, namun berkat doa dan dorongan dari berbagai pihak yang membantu baik
secara langsung maupun tidak langsung, baik moril maupun materiil sehingga
penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini hingga akhir. Maka penulis
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih banyak kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan, bimbingan, Doa serta dorongan semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dra. Hj. Maskufa, MA , Ketua Program Studi Siyasah Syariah dan
Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Sekertaris Program Studi Siyasah Syariah,
terimakasih banyak atas segala masukan dan juga bantuan sehingga
penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini.
3. Atep Abdurofiq, M.Si, Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
memberikan ilmu serta meluangkan waktunya yang sangat
berharga untuk membimbing dan senantiasa memberikan
pengarahan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.
iii
4. Dr. Asmawi M.Ag, Dosen Penasihat Akademik yang telah
membimbing penulis selama kurang lebih 4 tahun perkuliahan.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terimakasih telah mengajar
dan memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.
6. Seluruh Staf Tata Usaha dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis
dalam hal peminjaman buku-buku yang digunakan sebagai referensi
dan memberikan pelayanan dengan baik kepada penulis sehingga penyusunan
skripsi ini dapat terselesaikan.
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Bambang Permadi dan Ibunda Afriyeni,
terimakasih atas doa, dukungan, dan kasih sayang yang tiada terhingga
dan tak terhitung banyaknya yang selalu engkau berikan kepada penulis.
8. Teruntuk Indah Noviyanti, terima kasih banyak atas dukungan, waktu,
bantuan dan doa yang selalu diberikan kepada penulis, sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini.
9. Ilham Purnama Sutisna, Terima kasih banyak atas waktu, motivasi dan
bantuannya yang sangat banyak yang telah diberikan kepada penulis.
10. Sahabat sedari SMP, SMA, sampai saat ini, Buditebo, Haryo Kalika, Surya
Hadinata, Harry Budi Kurniawan, terima kasih telah memberikan banyak hal
atas pelajaran dan motivasi yang kalian berikan kepada penulis.
11. Teman – teman dari KKN SHINE 2015 terimakasih atas suka duka selama
satu bulan menjalani KKN bersama.
iv
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada
seluruh pihak yang telah membantu. Semoga Allah membalas segala kebaikan
kalian semua. Ami^n ya^ Rabbal’Alamin. Tentu banyak sekali kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Tiada yang sempurna karena kesempurnaan itu hanyalah milik
Allah Swt.
Jakarta, 17 April 2017
HARITS ADITYA PERMADI
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………………………………………………………………………….i
KATA PENGANTAR……………………………………………...…………………….…..ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….1
B. Batasan Dan Perumusan Masalah……………………………………..7
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian………………………………………..8
D. Metode Penelitian……………………………………………………...8
E. Tinjauan Pustaka……………………………………………………..10
F. Teknik Analisis Data…………………………………………………11
G. Teknik Penulisan Skripsi……………………………………………..11
H. Sistematika Penulisan………………………………………………...11
BAB II PENGHINAAN TERHADAP KEPALA NEGARA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Kepala Negara dalam Perspektif Hukum Positif
dan Hukum Islam…………………….…………………………………..13
B. Penghinaan terhadap Kepala Negara dalam Perspektif
Hukum Positif dan Hukum Islam…...……………………………………34
BAB III SEKILAS KASUS PENGHINAAN TERHADAP
KEPALA NEGARA MENURUT HUKUM POSITIF
DAN HUKUM ISLAM
A. Kasus Penghinaan Kepala Negara
dalam Hukum Positif……………………………………………………..40
B. Kasus Penghinaan Kepala Negara dalam Sejarah
Hukum Islam…………...……….…………………………………...…...42
BAB IV PERBANDINGAN PANDANGAN HUKUM POSITIF
DAN HUKUM ISLAM TENTANG PENGHINAAN
TERHADAP KEPALA NEGARA
A. Perbuatan Penghinaan Kepala Negara Menurut Hukum Islam dan
Hukum Positif………...………………………………………………….57
B. Sanksi Penghinaan Kepala Negara Menurut Hukum Positif dan
Hukum Islam………...…………………………………………..……….68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………..79
B. Saran………………………………………………………………………81
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….82
LAMPIRAN…………………………………………………………………………………86
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin dapat hidup
seorang diri. Kebutuhan hidupnya yang beraneka ragam akan
menuntunnya untuk senantiasa berinteraksi dengan manusia lain. Namun
terkadang perbedaan pendapat, ambisi, dan kepentingan masing-masing
pihak yang muncul dalam proses interaksi tersebut tidak menutup
kemungkinan akan memicu timbulnya konflik, pertikaian, penindasan,
peperangan, dan pembunuhan atau pertumpahan darah, yang pada
akhirnya akan berdampak pada terjadinya kehancuran total dalam berbagai
dimensi kehidupan umat manusia itu sendiri.1
Akhir-akhir ini di Indonesia marak sekali terjadi kasus-kasus
penghinaan yang dilakukan seorang warga negara kepada seorang kepala
negara atau wakil kepala negara. Penghinaan terhadap kepala negara sudah
menjadi khalayak di kalangan masyarakat luas baik penghinaan yang
dilakukan secara lisan, tulisan maupun gambar baik itu melalui media
sosial seperti, facebook, twitter dan lain sebagainya ataupun pernyataan
didepan wartawan secara langsung yang disebarkan melalui media massa.
Salah satu contoh seperti halnya kasus pencemaran nama baik
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dilakukan oleh Eggy Sudjana.
1Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, (Jakarta, PT Pustaka Sinar
Harapan, 2006) hlm.15.
2
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 3 Januari 2006, beliau mendatangi kantor
KPK beliau mengucapkan perkataan-perkataan yang menyerang nama
baik, martabat atau keagungan Presiden Republik Indonesia dihadapan
pers baik dari media cetak dan elektronik diantaranya Reporter RCTI, TPI,
Metro TV, Detik Com, Radio Elsinta, wartawan Rakyat Merdeka,
Kompas, dan Republika. Kemudian yang disertai dengan saksi Alexander
Zulkarnain (Reporter RCTI), dan saksi Ubaidillah (Kameramen TPI) yang
menyebutkan bahwa Presiden beserta Kementriannya mendapatkan sebuah
mobil jaguar yang diberikan oleh seorang pengusaha yang bernama Hary
Tanoesoedibjo.
Atas pernyatannya tersebut Eggy dilaporkan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dengan ancaman pidana Pasal 134, 136 bis KUHP. Pada
tanggal 22 Februari 2007 Eggy divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yaitu 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan. Tidak
terima dengan vonis yang diterimanya, Eggy pun mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung namun permohonannya ditolak.
Melihat fenomena tersebut maka penulis ingin mengkaji lebih
dalam mengenai perbuatan dan sanksi yang mengatur kasus Penghinaan
yang dilakukan terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden berdasarkan
Hukum Positif yang berlaku di Indonesia maupun dalam Hukum Islam.
Hukum Islam merupakan salah satu unsur penting.Karena secara
historis dan sosiologis di Indonesia berlaku 3 sistem hukum, yaitu sistem
hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Barat. Karenanya
3
ketiga sistem hukum tersebut menjadi sumber dalam sistem hukum
nasional.2 Di Indonesia mayoritas penduduknya seorang muslim jadi
merasa penting bahwa disini penulis perlu juga mengetahui pandangan
hukum Islam mengenai penghinaan terhadap kepala negara.
Penghinaan menurut pengertian umum adalah menyerang
kehormatan dan nama baik seseorang. Akibat dari penghinaan ini biasanya
akan menimbulkan konflik. Sedangkan menurut hukum Islam, Menghina
atau Sukhriyah dalam bahasa arab berasal dari kata سخر, yang berarti
“mengejek” “mencemoohkan” “menghina”. Jadi pengertian menghina
adalah memandang rendah , merendahkan, memburukkan nama baik orang
lain, mencemarkan nama baik orang lain, memaki-maki, mencela adalah
merendahkan atau menghina.3
Di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa menghina atau
memperolok itu dilarang oleh Allah, seperti yang tertuang dalam Q.S Al –
Hujurat : 11 sebagai berikut :
{ال حجرات : اا}
2 Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan
Hukum Islam, (Jakara, Prenadamedia Group, 2012), hlm 301.
3http://www.slideshare.net/313mozaik3/agama-islam-38456355 diakses pada 16 Mei
2016 Pukul 19.27 WIB.
4
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu
kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka
(yang diperolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-
olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan)
perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-
olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok).
Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah
saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fisik) setelah beriman.
Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.”(QS:Al-Hujurat:11).
Presiden Republik Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol
tertinggi di negara Indonesia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden
dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri-menteri dalam kabinet yang
memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintah sehari-hari.4
Dalam sejarah Islam, kepala masyarakat atau negara muslim
disebut Imam atau Khalifah.5 Imamah menurut bahasa berarti
“kepemimpinan”. Imam artinya “pemimpin”, baik dia memberikan
4Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana Kondifikasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988) hlm.71.
5Nur Mufid, BedahAl-Ahkamus Sulthaniyah Al-Mawardi, (Surabaya: Pustaka
Progressif,2000), hal. 42.
5
petunjuk ataupun menyesatkan. Imam juga disebut khalifah, yaitu
penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat.6
Dalam hukum kontemporer, Imam atau Khalifah dapat
disejajarkan dengan presiden atau kepala negara. Al mawardi memandang
imamah sebagai sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting
dalam negara. Ia juga menyatakan bahwa tugas utama imam adalah
menjalankan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur
dunia.
Dalam Al-Qur’an kata khalifah juga muncul sebanyak dua kali.
Yang pertama mengacu kepada Nabi adam, seperti yang tertuang di bawah
ini ;
(٠٣البقرة :)
Artinya :“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat, “aku hendak menjadikan khalifah di bumi”, mereka
berkata “apakah engkau hendak menjadikan orang yang merusak
dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih
memujimu dan menyucikan namanu?” Dia berfirman, “sungguh,
aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”(QS.Al-Baqarah :
30)
6Ali As-salus, Imamah & Khilafah, ( Jakarta : Gema Insani Press, 1997), hlm.15.
6
Dan Khalifah yang kedua mengacu kepada Daud, hal tersebut tertuang
pada Al- Qur’an Shad sebagai berikut ;
{ ٢٦ص: }
Artinya :“Hai daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu
khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan
(perkara) diantara manusia dengan adil, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan allah. sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (QS. Shad : 26).
Eksistensi seorang kepala negara itu yaitu untuk melindungi agama
Allah, negara, dan rakyat.7 Bila dalam suatu negara ada seorang kepala
negara yang handal, maka rakyat akan terbantu untuk menegakkan
agamanya, mengorganisir pemenuhan hak-haknya, dan melawan musuh-
musuhnya. Sebaliknya, menurut Al-Mawardi, tanpa adanya seorang kepala
negara, rakyat akan berada dalam keadaan kacau, dan tidak akan
diperhitungkan atau disegani bangsa-bangsa lain.
Melihat pentingnya tugas seorang kepala negara, maka tidak jarang
kinerja ataupun kebijakan seorang kepala negara mendapatkan pro dan
7Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, (Jakarta: PT. Pustaka Sinar
Harapan, 2006), hal.17.
7
kontra dari masyarakat.dan kadangkala pro kontra tersebut berbuah dengan
sebuah penghinaan.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk
membahas lebih lanjut masalah tersebut dan menjadikan skripsi yang
berjudul “PENGHINAAN TERHADAP KEPALA NEGARA
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan tersusun
secara sistematis pada pembahasan yang diharapkan, maka perlu penulis
uraikan tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan pembatasan
dan perumusan masalah.
Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam
skripsi ini penulis membatasinya dengan pembahasan mengenai
penghinaan terhadap kepala negara menurut Hukum Positif yaitu hukum
yang berlaku di Indonesia secara umum dan menurut hukum Islam semasa
periode Rasulullah Saw, Khulafaur’rasyidin, dan Bani Umayyah.
Dari pembatasan masalah diatas dapat diuraikan beberapa masalah
yang dirumuskan dengan pertanyaan penelitian (research question), yaitu:
1. Bagaimana perbuatan penghinaan terhadap kepala negara
menurut hukum positif dan hukum Islam?
2. Bagaimana Sanksi yang dijatuhkan kepada Penghina kepala
negara menurut hukum Positif dan hukum Islam?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Maksud dan tujuan yang penulis rumuskan berdasarkan pada
pembatasan dan rumusan masalah yang telah dilakukan adalah:
1. Untuk mengetahui perbandingan menurut hukum Islam dan
pandangan hukum positif di Indonesia terhadap penghinaan Kepala
Negara.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah perbuatan dan sanksi hukum
yang dapat dijatuhkan dalam hukum Islam dan hukum positif
terhadap penghinaan Kepala Negara.
b. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan penyusunan skripsi yang merupakan salah satu
syarat untu memperoleh gelar sarjana program studi
Ketatanegaraan Islam.
2. Sebagai sumbangan pemikiran dan sekaligus pengembangan
keilmuan dibidang fiqh siyasah Dalam masalah penginaan kepala
negara menurut konteks Ketatanegaraan Islam.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Untuk sampai pada
rumusan yang tepat terhadap kajian yang sedang dibahas, maka metode
yang penulis gunakan adalah :
9
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian data yang digunakan penulis disini adalah
dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan jenis
penelitian deskriptif.
2. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum
normatif karena berdasarkan hukum jenis penelitian kualitatif. Metode
yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research), yakni
metode penelitian yang diperoleh di perpustakaan dengan menganalisa
teori-teori melalui pengumpulan sumber-sumber yang berkaitan dengan
aspek materi yang diteliti serta mengkaji pendapat-pendapat para ahli
hukum yang terdapat dalam buku, Undang-undang KUHP, kitab-kitab
hukum fiqih, atau buku-buku lain yang berkaitan masalah penelitian.
3. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua
bentuk sebagai berikut :
a. Data Primer, peraturan perundang-undangan yang dijadikan acuan
seperti KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), pasal 207, dan
pasal 208, Al-Quran dan Hadis, dan sumber-sumber lain yang relevan
dengan kajian pada penelitian ini.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi pustaka yang
bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari,
10
buku-buku, hasil penelitian, jurnal-jurnal, tulisan-tulisan dari internet,
dan lainnya yang berkenaan dengan penghinaan kepala negara.
E. Tinjauan Pustaka
Dari beberapa skripsi dan literatur buku yang ada di Perpustakaan
syariah, Perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan referensi
dari Universitas lain. Penulis menemukan beberapa hasil penelitian yang
ada hubungannya atau hampir sama dengan penelitian yang penulis
lakukan, diantaranya adalah :
Pertama, Skripsi Nurhikmah Tahun 2008 yang berjudul “Analisis
Hukum Islam terhadap putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tentang perkara pidana penghinaan oleh pers (putusan no.
1426/PID.B/2003/PN.JKT.PST). Skripsi ini sama-sama membahas tentang
analisis hukum Islam tentang pidana penghinaan. Yang membedakan
adalah subjeknya dalam skripsi Nurhikmah subjeknya adalah dewan pers
sedangkan dalam penelitian ini subjeknya adalah Presiden.
Kedua, Skripsi Masrullah Tahun 2016 dengan judul “Penghinaan
terhadap presiden di media sosial menurut fiqh jinayah”. Persamaannya
adalah sama-sama membahas penghinaan kepala negara. Yang
membedakan adalah perspektifnya, yaitu penelitian Masrullah
menggunakan perspektif fiqh jinayah terhadap penghinaan kepala negara
di media sosial sedangkan dalam skripsi ini membahas tentang
perbandingan perbuatan dan sanksi antara hukum Islam dan hukum
Positif.
11
F. Teknik Analisis Data
Skripsi ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu pendekatan isi
(content analysis), yang menekankan pengambilan dari kesimpulan analisa
yang bersifat deskriptif dan deduktif, seluruh data yang diperoleh akan
diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum, kemudian dikaji dan
diteliti, selanjutnya ditarik kesimpulan yang mampu memberikan
gambaran spesifik dan relevan mengenai data tersebut.
G. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku
Pedoman Menulis Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta Tahun 2012.
H. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini lebih terarah dan sistematis, maka
penulis membagi kedalam pokok-pokok permasalahan ke dalam lima bab,
yaitu sebagai berikut :
BAB I Berisi latar belakang masalah, Batasan dan Rumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian, Metode
Penelitian, Analisis Data dan Sistematika Penulisan.
BAB II Bab ini berisi tentang penjelasan mengenai Pengertian
Kepala Negara, Fungsi Kepala Negara, pengertian
penghinaan, pengertian hukum Islam dan sumber-sumber
hukum Islam, pengertian hukum positif beserta macam-
macam penghinaan.
12
BAB III Bab ini berisi penjelasan mengenai kasus-kasus penghinaan
menurut hukum Islam dan hukum positif tentang
penghinaan terhadap kepala negara.
BAB IV Bab ini berisi penjelasan perbandingan mengenai
perbuatan dan sanksi menurut hukum Islam dan hukum
positif tentang penghinaan kepala negara.
BAB V PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran.
13
BAB II
PENGHINAAN TERHADAP KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Kepala Negara/Presiden
1. Pengertian Kepala Negara/Presiden
Pemimpin berasal dari kata “Pimpin” yang secara harfiah
pemimpin bisa diartikan dengan kata pelopor, berjalan dimuka,
menuntun, membimbing, mendorong, mengambil langkah awal,
berbuat lebih dulu, memberikan contoh, dan menggerakkan orang
lain.1 Secara istilah ada yang berpendapat bahwa pemimpin adalah
seseorang yang mampu mempengaruhi orang lain untuk
melakukan sesuatu dengan cara apapun, sesuai dengan
kehendaknya, sehingga tujuannya dapat tercapai. Sementara yang
lain mengatakan bahwa pemimpin itu adalah manusia yang
memiliki kelebihan yang melebihi dari orang-orang yang dipimpin.
Presiden Republik Indonesia adalah seorang kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala
pemerintahan Indonesia, presiden dibantu oleh seorang wakil
presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan
eksekutif, untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari.
1
Mulkanasir, Kepemimpinan Dakwah Menuju Paradigma Dakwah yang
Profesional,(Ciputat :Grafika Karya Utama, 2015), h.1.
14
Pengertian presiden menurut kamus hukum adalah presiden
atau Kepala Negara suatu negara yang berbentuk Republik.
Presiden merupakan pemimpin yang tertinggi.2
Perumusan kekuasaan yang terletak ditangan presiden telah
diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi: “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-undang dasar”.
Presiden yang dimaksud dalam pasal ini merujuk pada
pengertian Presiden menurut sistem pemerintahan presidensial.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, tidak terdapat adanya
perbedaan antara Presiden selaku kepala negara dan Presiden
selaku kepala pemerintahan.
Presiden adalah Presiden, yaitu jabatan yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara menurut Undang-Undang
Dasar. Dalam UUD 1945 juga tidak terdapat ketentuan yang
mengatur tentang adanya kedudukan kepala negara (head of
state) ataupun kedudukan kepala pemerintahan (head of
government) atau disebut (chief executif).3
2 J.T.C. Simorangkir, Rudy T.Erwin, dan Prasetyo, Kamus Hukum (Jakarta:
Sinar Grafika, 2013), hlm. 133.
` 3 Arian Sakidjo dan Bambang Poerrnomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum
Hukum Pidana Kondifikasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988) hlm.107.
15
Presiden Republik Indonesia mempunyai beberapa
wewenang yang sudah diatur dalam UUD 1945, diantaranya
adalah4 :
1. Presiden memiliki kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
2. Presiden dengan persetujuan DPR memiliki wewenang
untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan
perjanjian dengan negara lain.
3. Presiden memiliki wewenang dalam menyatakan apabila
Negara dalam keadaan bahaya.
4. Presiden berwenang untuk mengangkat duta dan konsul.
5. Presiden berwenang untuk memberi grasi dan rehabilitasi
dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah
Agung.
6. Presiden berwenang untuk memberikan amnesti dan abolisi
dengan memperhatikan pertimbangan dari DPR.
7. Presiden berwenang dalam memberikan gelar, tanda jasa,
dan lain – lain tanda penghormatan.
Selain dari pada wewenang diatas, Presiden tidak hanya
memiliki fungsi eksekutif, berikut adalah tugas lain dari
seorang presiden berdasarkan UUD 1945 :
4 Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya,2014),h.172.
16
1) Pasal 20
Presiden dan DPR bersama-sama menetapkan undang-
undang.
2) Pasal 22 ayat (1)
Dalam hal-hal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang.
3) Pasal 5 ayat (2)
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
4) Pasal 10
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan
darat, laut dan udara.
5) Pasal 11 ayat (1)
Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
6) Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan
akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
7) Pasal 13 ayat (1)
Presiden mengangkat duta dan konsul.
17
8) Pasal 14 ayat (1) dan (2)
Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Presiden
memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan DPR.
9) Pasal 15
Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda
kehormatan yang diatur dalam undang-undang.
Dalam pasal 7 UUD 1945 yang sudah diubah, ditentukan
bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama
lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. 5 hal ini
berarti bahwa seorang dapat menjadi presiden untuk dua kali
dalam masa jabatan lima tahun. Apabila presiden telah
menjabat selama lima tahun dan bisa terpilih kembali menjadi
seorang presiden.
2. Pengertian Kepala Negara Menurut Islam
Seorang kepala negara atau biasa disebut juga dengan
pemimpin. Pemimpin berasal dari kata pimpin. Dalam bahasa arab
5 Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya,2014),h.174.
18
kepemimpinan berasal dari kata (qaada – yaquudu - qiyaadatan)
yang berarti menuntun.6
Kepala negara dalam negara muslim disebut Khalifah atau
Imam.7
Imam (kepemimpinan) bertugas sebagai pengganti
kenabian dalam melindungi agama dan mengatur kemaslahatan
hidup. Sekelompok ulama berpendapat bahwa status wajibnya
mengangkat Imam (kepemimpinan) adalah berdasarkan akal
karena orang yang memiliki akal sehat akan tunduk kepada
seorang Imam (Khalifah) yang mencagah mereka dari kezaliman
dan menghindarkan mereka dari konflik serta permusuhan. Jika
tidak ada Imam (Khalifah), tentu hidup mereka akan diliputi oleh
tindakan yang anarkis dan amoral yang tidak bermartabat. Salah
seorang sastrawan jahiliyah, Afwah al-Audi berkata, “Manusia
akan senantiasa bertindak anarkis jika tidak ada orang-orang
mulia diantara mereka, dan tidak ada orang-orang mulia jika yang
berkuasa adalah orang-orang bodoh diantara mereka.”.8
Sekelompok ulama lain berkata bahwa status wajibnya
mengangkat Imam (Kepemimpinan) itu berdasarkan syariat bukan
berdasarkan akal. Pasalnya seorang Imam (Khalifah) berkewajiban
6
Bin Nuh dan Bakry omar, Kamus Arab – Indonesia – Inggris-Indonesia Inggris,
(Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya,2001),h.216.
7
Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al- Ahkamus Sulthaniyah,(Surabaya: Pustaka
Progressif,2000),h.42.
8 Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman, Imam al-Mawardi Ahkam Sulthaniyah Sistem
Pemerintahan Khilafah Islam, (Jakarta: Qisthi Press, 2015),h.9
19
mengawal urusan-urusan agama meskipun akal tidak menganggap
bahwa mengangkat Imam (Kepemimpinan) sebagai bentuk ibadah
yang akhirnya menetapkan bahwa mengangkat Imam
(kepemimpinan) itu tidak wajib. 9 Istilah khalifah sudah muncul di
arab sebelum kedatangan Islam. Kata khalifah tampaknya dipakai
untuk menyebut raja muda atau letnan yang bertindak sebagai
wakil dari pemilik kedaulatan yang berada di tempat lain.10
Dalam
al – Qur’an kata khalifah muncul sebanyak dua kali, diantaranya
adalah :
{ 03البقلرة : }
Artinya : “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat, sesungguhnya, Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi” (Q.S Al – Baqarah: 30)
9 Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman, Imam al-Mawardi Ahkam Sulthaniyah Sistem
Pemerintahan Khilafah Islam, (Jakarta: Qisthi Press, 2015),h.10
10
Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al- Ahkamus Sulthaniyah, (Surabaya: Pustaka Progresif,
2000) h.43.
20
Dan yang kedua adalah :
{ 62صا : }
Artinya : “Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu
khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan
(perkara) diantara manusia dengan adil, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah” (Q.S Shad: 26)
Dari kedua ayat diatas, dapat diketahui bahwa surat yang
pertama mengacu kepada nabi adam yang diperintahkan oleh Allah
sebagai khalifah di dunia. Serta surat yang kedua mengacu kepada
perintah Allah kepada Nabi Daud untuk menjadi khalifah yang
baik dan adanya kekuasaan yang diberikan kepada Dawud.
Kata khalifah juga muncul di dalam Al – Qur’an dalam
bentuk jamak, yakni khulafa’ atau khala’if yang berarti “para
pengganti” atau para ahli waris , para pemilik, atau bisa juga
diartkan sebagai “raja-raja muda”.
Dalam sejarah Islam awal, istilah khalifah dipakai untuk
menunjuk seseorang yang menggantikan fungsi Nabi sebagai
pemimpin masyarakat (politik). Namun istilah khalifah juga
mencakup makna dan fungsi keagamaan. Sebagai sebuah jabatan
21
keagamaan dan politik, khalifah memiliki kedudukan dan posisi
sentral dalam struktur masyarakat Islam. Dapat dikatakan juga
bahwa posisi khalifah adalah kelanjutan dari posisi kenabian.
Pentingnya khalifah dalam struktur kehidupan umat Islam
tercermin dari kewenangan yang ia miliki, seperti penetapan
keputusan-keputusan politik, termasuk penetapan panglima perang,
penunjukan gubernur, dll.
Dapat disimpulkan bahwa istilah khalifah mengacu kepada
pemimpin umat untuk menjalankan fungsi-fungsi temporal
kenabian, sedangkan imam digunakan untuk menunjuk
kapasitasnya sebagai pemimpin keagamaan.
Memilih imam / kepala negara merupakan sesuatu yang
sangat penting. Karena kepala negara nantinya yang akan
memimpin, dan mengurus segala permasalahan rakyatnya.
Menurut Ibn Abi Rabi, suatu negara tidak mungkin berdiri
tanpa penguasa yang akan melindungi warga-warganya dari
gangguan dan bahaya, baik yang timbul di antara mereka sendiri
22
ataupun yang datang dari luar.11
Melihat pentingnya seorang
kepala negara, Ibn Taimiyah menyatakan, sebagai berikut12
:
“60 tahun di bawah pemerintahan imam (kepala negara) yang
lazim (tiranik), lebih baik daripada satu malam tanpa kepala
negara”.
Kehadiran seorang kepala negara adalah sebagai penengah,
pemisah, dan sekaligus hakim. Menurut Qamaruddin, kehadiran
seorang kepala negara sangat penting, yakni untuk melindungi
kepala agama Allah, negara, dan rakyat. Bila dalam suatu negara
memiliki seorang kepala negara yang handal, maka rakyat akan
terbantu dalam menegakkan agamanya, mengorganisir pemenuhan
hak-haknya, dan melawan musuh-musuhnya.13
Menurut Muhammad Dhiya al – Din al – Rayis,
mengangkat seorang kepala negara itu sangat penting. Diantaranya
adalah, Pertama, untuk melanjutkan misi Islam sepeninggal Nabi
Muhammad SAW, sehingga ajaran yang dibawanya dapat terus
dijalankan dengan baik. Kedua, melindungi masyarakat dari
berbagai mudharat, seperti kekacauan, persengketaan, peperangan,
11
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI
Press,1990), hlm.46.
12
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim,(Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2006), hlm.17.
13
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, hlm. 17.
23
fitnah, pertumpahan darah, anarki, dan kehancuran dalam berbagai
dimensi kehidupan manusia. Ketiga, untuk merealisir kewajiban-
kewajiban agama (yang pelaksanaannya memerlukan campur
tangan penguasa), seperti membela orang yang teraniaya,
menghukum para pelaku kejahatan, menikahkan wanita yang tidak
memiliki wali. Keempat, yaitu untuk mewujudkan keadilan
sempurna dan menjamin tercapainya keinginan rakyat untuk
mencapai kebahagiaan dunia akhirat.14
3. Syarat Seorang Kepala Negara
Pengaturan mengenai syarat-syarat ini ada yang bersifat
umum (universal) dan ada juga yang bersifat khusus yang hanya
berlaku di negara-negara yang bersangkutan. Salah satu syarat
yang berlaku umum adalah syarat sehat fisik dan mental. Dalam
literatur kuno, ada juga ahli hukum yang membahas masalah ini
dalam bukunya. misalnya, Imam Al-Mawardi (abad ke-10) dalam
kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyyat membahas soal ini secara
dengan membedakan antara keadaan fisik anggota badan dan cacat
panca indera.15
Syarat-syarat lainnya antara lain adalah umur atau usia,
misalnya paling minimal adalah usia 40 tahun. Tidak pernah
14
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim,h. 18.
15
Jimly Asshiddiqie , Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), h. 173.
24
dihukum karena tindak pidana, tidak pernah menjadi warga negara
asing karena kehendak sendiri.
Syarat-syarat lainnya yang bersifat kualitatif misalnya, visi,
kemampuan, tamatan pendidikan, dan sebagainya. Masalah jenis
kelamnin juga dan agama juga dibeberapa negara juga ditentukan.
Merujuk kepada beberapa ayat al – Qur’an dan hadits
Nabi, Dr. Mujar Ibnu Syarif mengemukakan 11 syarat kepala
Negara sebagai berikut16
:
1. Harus beragama Islam, syarat ini ditemukan dalam Surah
an – Nisa ayat 59 yang berbunyi :
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan Rasul-Nya, dan orang-orang yang berkuasa dari
kalanganmu sendiri”. (Q.S Al – Nisa:59).
Syarat beragama Islam ini adalah salah satu syarat yang
sangat penting mengingat salah satu tugas seorang kepala
negara adalah menerapkan syariat Islam. Bila seorang kepala
negara bukanlah seorang muslim sudah pasti penegakkan
16
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, hlm, 20
25
syariat Islam akan sulit teralisasi dan kepentingan-kepentingan
umat muslim akan sulit diperjuangkan.
2. Seorang laki – laki
Syarat ini disebutkan dalam surah An – Nisa ayat 34 yang
berbunyi:
Artinya : “Kaum laki-laki (suami) itu pelindung bagi
perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan
karena mereka laki-laki telah memberikan nafkah dari
hartanya maka perempuan-perempuan yang soleh, adalah
mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika
(suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz
hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah
mereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu)
pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu janganlah
kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh
Allah Maha tinggi Maha besar. ” (QS. An-Nisa : 34)
Paling sedikit ada empat alasan mengapa wanita tidak bisa
menjadi kepala negara. Pertama, secara harfiah wanita
dianggap tidak akan mampu memainkan peran politik misalnya
mengatur negara atau menjadi kepala negara. Karena itu wanita
hanya cocok diberi peran sebagai ibu rumah tangga. Kedua,
wanita dianggap tidak akan sanggup berkompetisi dengan pria,
26
Ketiga, wanita memiliki kekurangan akal dan agama. Keempat,
ada asumsi teologis bahwa wanita diciptakan lebih rendah dari
laki-laki.
3. Sudah dewasa
Syarat ini terdapat dalam al-Quran ayat 5 surat An-Nisa
yang artinya :
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang
yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS. An-
Nisa : 5)
Ayat diatas menjelaskan kepada wali yatim agar jangan
menyerahkan harta anak yatim yang berada di bawah
pengampuannya untuk dikelolanya sendiri sebelum ia dewasa.
karena anak yatim tersebut tidak akan mampu mengelola
sendiri harta tersebut. Jika orang yang belum dewasa tersebut
dilarang untuk mengatur hartanya sendiri, maka orang yang
belum dewasa tersbut lebih tidak diperbolehkan lagi untuk
mengatur atau memimpin negara yang jauh lebih sulit
dibanding mengatur atau mengelola sendiri harta kekayaannya.
Jika menyangkut urusan sendiri orang yang belum dewasa
masih harus dibantu oleh walinya, maka wajar jika ia tidak
boleh menjadi kepala negara yang harus menguru kepentingan
orang lain.
27
4. Adil
Syarat ini terdapat dalam Al-Quran ayat 26 Surat Shad
yang berbunyi:
Artinya : “Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan
kamu khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah
keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shad : 26)
Al-Mawardi menyatakan, kepala negara yang adil
adalah kepala negara yang selalu berkata jujur, benar,
bersih dari hal – hal yang diharamkan, menjauhi perbuatan
dosa, tidak peragu, mampu mengontrol emosinya diwaktu
senang dan disaat marah, dan selalu menonjolkan sikap
ksatria baik dalam soal agama maupun dunia.
Sedangkan menurut al-Ghazali kepala negara yang
adil adalah kepala negara yang mengasihi rakyatnya, tidak
menambah atau mengurangi hukuman yang semestinya
dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, selalu menetapi jalan
kebenaran, memiliki rasa malu, murah hati, berani
28
meluruskan bawahannya yang berbuat zalim, tidak
sombong dan pemarah tidak akan senang hidup bahagia
sendiri sementara rakyatnya menderita, hidup sederhana
tidak suka pamer kekayaan, selalu berusaha menarik
simpati rakyatnya dengan cara-cara yang dibenarkan
agama, dan akan menindak tegas siapapun diantara
rakyatnya yang melanggar hukum.17
5. Pandai menjaga amanah dan profesional
Syarat ini terdapat di al-Quran surat yusuf ayat 55 yang
berbunyi:
Artinya : “Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan
negara (Mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang
pandai menjaga amanah lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf
: 55)
Kepala negara yang pandai menjaga amanah adalah
kepala negara yang bertanggung jawab dan selalu berusaha
dengan segala kemampuan yang dimilikinya untuk
menjalankan dengan baik semua tugas dan kewajiban yang
ditugaskan kepadanya. Sedangkan kepala negara yang
profesional adalah kepala negara yang memiliki keahlian,
17
Al-Ghazali, Etika Berkuasa Nasehat-Nasehat Imam al-Ghazali, terj. Arif D.Iskandar,
(Bandung: Pustaka Hidayat, 1998), hlm, 23-54
29
kecakapan, dan kemampuan untuk menjalankan tugasnya
sebagai kepala negara.
6. Sehat fisik dan mental, berilmu dan memiliki wawasan
yang luas
Syarat ini terdapat di dalam 2 ayat al-Quran yaitu
surat al-Baqarah ayat 247 dan surat al-Qashash ayat 26 :
1) “Dan nabi mereka berkata kepada mereka,
“Sesungguhnya Allah telah mengangkat talut menjadi
rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana talut
memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih
berhak atas kerajaan itu dari padanya, dan dia tidak
diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi) menjawab,
“Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan
memberikan kelebihan ilmu dan fisik.” Allah
memberikan kerajaannya kepada siapa yang dia
kehendaki, dan Allah Maha luas, Maha Mengetahui.”
( QS. al-Baqarah: 247)
2) “Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu
berkata, “Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai
pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling
baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.” (QS. al-
Qashash: 26)
Syarat kekuatan atau kesehatan fisik itu antara lain dapat
mengandung pengertian, seorang calon kepala negara harus
lengkap anggota tubuhnya atau tidak cacat fisik. misalnya tidak
buntung tangan atau kakinya, tidak buta tuli, bisu, lumpuh, dan
lain-lain gangguan kesehatan yang bisa menjadi kendala
baginya untuk melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai
kepala negara.
30
1. Harus seorang warga negara Islam yang berdomisili
dalam wilayah negara Islam.
2. Cinta kebenaran (Shiddiq)
Kepala negara yang cinta kebenaran adalah
kepala negara yang benar dalam segala urusannya dan
selalu memerintahkan para pembantunya, keluarga, dan
rakyatnya untuk selalu benar dalam perkataan,
perbuatan, niat, dan cara berpikirnya. Seorang kepala
negara yang benar juga akan berfikir benar, yaitu
seluruh pikirannya akan ditujukan untuk membangun
bangsa dan negaranya bukan untuk mengeksploitasi
segala kekayaan bangsa dan negaranya untuk
kepentingan dirinya sendiri, dan keluarganya.
3. Harus mampu mengkomunikasikan dengan baik kepada
rakyat visi, misi, dan program-programnya serta segala
macam peraturan yang ada secara jujur dan transparan.
4. Harus cerdas dan punya ingatan yang baik, sehingga ia
bukan hanya ingat, tetapi juga terikat dengan berbagai
ajaran dan aturan yang pernah disosialisasikan kepada
publik.
31
5. Keturunan Quraisy
Harus seorang keturunan Quraisy, suku asal Nabi
Muhammad SAW. Syarat ini tidak ditemukan di al-
Quran, Tapi hanya ada dalam beberapa hadis Nabi.
Salah satu hadis Nabi yang paling populer mengenai
syarat keturunan Quraisy ini adalah “Para imam
(kepala negara) itu (harus) dari keturunan (suku)
Quraisy…” (H.R.Ahmad).
Al-Mawardi pun berpendapat sama seperti apa yang
disebutkan didalam Al-Quran, menurut al-Mawardi ada 7 syarat
kepala negara Islam diantaranya18
:
1. Sikap adil dengan segala persyaratannya
2. Ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad
3. sehat pendengaran, penglihatan, dan lisannya
4. Utuh anggota tubuhnya
5. Wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupaan
rakyat dan mengelola kepentingaan umum
6. Keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan
menghancurkan musuh
7. Keturunan Quraisy
18
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, hlm. 28
32
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Ghazali ada
sepuluh syarat kepala negara Islam, yaitu19
:
1. Dewasa atau Aqil baligh
2. Memiliki otak yang sehat
3. Merdeka dan bukan budak
4. Laki- laki
5. Keturunan Quraisy
6. Memiliki pendengaran dan penglihatan yang sehat
7. Memiliki kekuasaan yang nyata
8. Memiliki hidayah
9. Memiliki ilmu pengetahuan
10. Wara’ (kehidupan yang bersih dengan kemampuan
mengendalikan diri, tidak berbuat hal-hal yang terlarang
dan tercela).
4. Tugas – tugas Imam (Khalifah)
Tugas-tugas seorang Imam (Khalifah) menurut al-Mawardi
secara umum ada 10 diantaranya20
:
Memelihara agama sesuai dengan prinsip-prinsipnya
dan memelihara segala sesuatu yang menjadi
kesepakatan ulama salaf.
19
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, hlm.29
20
Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman, Imam al-Mawardi Ahkam Sulthaniyah Sistem
Pemerintahan Khilafah Islam, (Jakarta: Qisthi Press, 2015),h.33-34
33
Memeberlakukan hukum diantara dua pihak yang saling
berselisih dan menghentikan permusuhan diantara dua
belah pihak yang saling bertikai.
Melindungi negara dan tempat-tempat umum dari
kejahatan agar rakyat dapat mencari penghidupan dan
berpergian dengan aman dari gangguan yang
mengancam.
Menegakkan hukum dengan tegas agar segala sesuatu
yang dilarang oleh Allah swt tidak mudah dilanggar dan
memelihara hak-hak hamba-Nya agar tidak mudah
diselewengkan dan diremehkan.
Melindungi wilayah perbatasan dengan benteng yang
kokoh dan kekuatan yang tangguh sehingga musuh
tidak mampu menemukan jalan masuk sedikitpun.
Memerangi para penentang Islam yang sebelumnya
telah didakwahi hingga mereka masuk Islam atau
menjadi ahli dzimmah (orang kafir yang berada dalam
perlindungan kaum muslimin). Tujuannya adalah agar
hak Allah swt dapat ditegakkan dengan memenangkan
agama Islam diatas agama-agama lain.
Mengambil harta fai (harta yang diperoleh pasukan
Islam dengan jalan damai tanpa peperangan) dan
memungut zakat sesuai yang diwajibkan syariat, baik
34
secara nash, maupun ijtihad, tanpa disertai rasa takut
dan terpaksa.
Menetapkan gaji dan anggaran wajib lainnya yang
diambil dari Baitul Mal (kas negara) tanpa berlebihan
ataupun terlalu hemat, dan mengalokasikannya secara
tepat waktu.
Mengangkat orang-orang yang jujur dan profesional di
bidangnya, termasuk orang yang ahli dalam mengurusi
keuangan.
Berusaha untuk turun langsung kelapangan dalam
menanganni persoalan dan mengamati keadaan umat
sehingga dapat kelihatan bahwa ia sendiri yang
memimpin rakyat dan melindungi agama.
B. Penghinaan Terhadap Kepala Negara
1. Pengertian Penghinaan
Penghinaan berasal dari kata “hina”. Pengertian penghinaan
dalam kamus hukum adalah penyerangan dengan sengaja atas
kehormatan atau nama baik orang lain baik secara lisan maupun
tulisan dengan maksud untuk diketahui oleh orang banyak.
Penghinaan menurut pengertian umum adalah menyerang
kehormatan dan nama baik seseorang. Akibat dari serangan ini
biasanya si penderita akan merasa malu. Yang dimaksud dalam
35
menyerang kehormatan disini bukanlah menyerang kehormatan
seksual. tetapi kehormatan yang menyangkut nama baik.
Perbuatan yang menyangkut kehormatan dalam bidang
seksual tidak termasuk dalam kejahatan “penghinaan”, akan tetapi
tergolong dalam kejahatan terhadap “kesusilaan”. yang tersebut
dalam Pasal 281 s/d 303 KUHP.21
Tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik
diatur dalam Bab IV KUHP tentang penghinaan. Secara sekilas,
pencemaran nama baik dan penghinaan memiliki kemiripan secara
tekstual. Keduanya merupakan tindak pidana yang bersifat
subjektif dan publikatif, artinya ada ketersinggungan terhadap
harga diri dan nama baik serta diketahui secara umum.
Pencemaran nama baik diatur dalam pasal 310 KUHP sedangkan
hal penghinaan diatur dalam pasal 315 KUHP.
Tindak pidana penghinaan terhadap martabat presiden dan
wakil presiden dalam RUU KUHAP berada dalam buku II Bab II
pasal tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden,
di bagian kedua, penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden
yaitu dalam pasal 265 dan pasal 266 RUU KUHP dan bila diamati
pasal-pasal yang ada dalam RUU KUHP tersebut tidak jauh
21
R.Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya. (Surabaya: Usaha Nasional, 1980),
hlm. 330.
36
berbeda dengan ruusan pasal-pasal tindak pidana martabat presiden
dalam Bab II KUHP yaitu pasal 134, 136 Bis, 137 KUHP 22
Pasal 134 KUHP Indonesia tentang penghinaan dengan
sengaja terhadap presiden dan wakil presiden ternyata tidak
mempunyai penjelasan otentik. Oleh karena itu untuk mencari
penjelasannya, harus dilihat pada Memorie van Toelichting (MvT)
dari pasal padanannya (berdasarkan asas konkordansi) di belanda,
yaitu ada dalam pasal 134 tersebut yaitu :
“Dengan sengaja menghina presiden dan wakil presiden
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun atau
dengan pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus
rupiah.”23
Penghinaan yang dimaksud dalam ketentuan tersebut
merupakan “Suatu kesengajaan menyerang kehormatan atau nama
baik orang lain tersebut sebenarnya merupakan suatu sebutan
umum dari berbagai tindak pidana yang di atur didalamnya seperti
smaad (menista dengan lisan), smaadschrift (menista dengan
22
Supriyadi Widodo Eddyono dan Fajrimei A. Gofar, Menelisik Pasal-Pasal Proteksi
Negara dalam RUU KUHP. (Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2007),
hlm. 43.
23
Supriyadi Widodo Eddyono dan Fajrimei A. Gofar, Menelisik Pasal-Pasal Proteksi
Negara dalam RUU KUHP. (Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2007),
hlm. 46
37
tulisan), laster (fitnah), eenvoudige belediging (penghinaan biasa),
dan lasterlijke aanklacht (pengaduan atau laporan palsu).24
Dalam Islam banyak kata yang ditemukan dalam Al –
Qur’an dan Hadis yang mempunyai konotasi yang sama dengan
dengan istilah menghina. Seperti kata fitnah, ghibah (menjelek-
jelekan orang lain), namimah yang semuanya memiliki arti
menghina, mengejek, mencela, mengolok-olok atau memandang
rendah orang lain dengan maksud untuk menunjukkan keburukan
dan kelemahan mereka. Ejekan atau hinaan dapat berupa perkataan
dan perbuatan dan juga dengan sikap tubuh.
Menghina termasuk dalam Akhlaqul madzmumah yaitu
tingkah laku yang tercermin pada diri manusia, cenderung melekat
dalam bentuk yang tidak menyenangkan orang lain.25
Dalam Islam
sifat tercela ini amat dibenci oleh Allah karena akan merugikan
orang lain. Hal ini disebut dengan penyakit lidah, yaitu tidak bisa
menahan nafsu untuk berbicara yang tidak baik.
24
Supriyadi Widodo Eddyono dan Fajrimei A. Gofar, Menelisik Pasal-Pasal Proteksi
Negara dalam RUU KUHP. (Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2007),
hlm. 47
25
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al – Qur’an, (Jakarta, Amzah, 2006),
hlm.56.
38
Macam-macam penyakit lidah yang menyebabkan akhlak
tidak baik secara khusus adalah sebagai berikut :26
a. Menghina, yaitu merendahkan orang lain dengan
berlaku sombong, yakni memandang mereka tidak
sebanding atau setaraf dengan dirinya. Misalnya :
menceritakan keburukan-keburukan orang lain
dengan mencemoohnya. Menertawakan dengan
mengejek padahal yang bersangkutan tidak
menyenanginya.
b. Mengabaikan dengan Isyarat, yaitu menghinakan
mereka dengan memperlihatkan sikap, baik berupa
isyarat tangan, isyarat mata, isyarat lidah, yang
menunjukkan kepada sifat takabur, dan
merendahkan orang lain.
c. Memberi gelar buruk, menjuluki seseorang dengan
gelar buruk yang tidak sedap didengar. Seperti si
gendut, si durhaka, si pendek, si hitam dll.
d. Mengumpat, yaitu menyebut-nyebut seseorang
dengan keadaan – keadaan yang tidak disenangi
oleh orang itu sendiri. Umpat dilarang
mengucapkannya, juga dilarang mendengarnya.
26
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al – Qur’an, (Jakarta, Amzah, 2006),
hlm.73.
39
e. Fitnah, yaitu membawa sesuatu kabar burung yang
menyakitkan hati diri seseorang kepada orang lain,
sama halnya dengan mengada-ada. Membuat berita
yang sebenarnya tidak ada dan menyampaikan
berita itu kepada seseorang dengan maksud agar
hubungan antar dua orang atau lebih menjadi rusak.
2. Macam-Macam Penghinaan
Adapun menurut R.Soesilo, penghinaan dalam KUHP ada
enam macam penghinaan, diantaranya adalah :
a. Menista secara lisan (Smaad)
b. Menista dengan surat atau tulisan (Smaadschrift)
c. Memfitnah (Laster)
d. Penghinaan ringan (eenvoudige belediging)
e. Mengaku secara memfitnah (lasterliijke aanklacht)
f. Tuduhan secara memfitnah27
(lasterliijke verdachtmaking)
27
Rocky Marbun, Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum, (Jakarta: Visi Media, 2011),
hlm. 141
40
BAB III
SEKILAS KASUS PENGHINAAN TERHADAP KEPALA NEGARA
MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Kasus Penghinaan Kepala Negara dalam Hukum Positif
Penghinaan terhadap kepala negara menurut hukum positif di
Indonesia telah diatur dalam KUHP. Undang-Undang KUHP adalah Kitab
Undang-Undang Hukum yang berlaku sebagai dasar hukum di Indonesia.
KUHP atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara
materiil di Indonesia.
Menurut Undang-Undang KUHP penghinaan terhadap kepala
negara telah diatur dalam pasal 134, 136 bis,dan 137 KUHP. Salah satu
contoh kasus penghinaan terhadap kepala negara yang pernah terjadi di
Indonesia adalah kasus yang dilakukan oleh Eggi Sudjana. Pria yang
bernama lengkap Eggi Sudjana atau yang biasa disapa dengan sebutan
“bang Eggi” beliau lahir di Jakarta pada tanggal 3 Desember 1959. Beliau
adalah seorang aktivis dan berprofesi sebagai advokat. Beliau juga
merupakan seorang dosen dari Universitas Ibnu Khaldun Bogor dan dosen
41
di Universitas Sahid Jakarta. Beliau merupakan aktivis yang memiliki
motto dalam hidupnya “Hidup Mulia atau Mati Syahid”1
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 3 Januari 2006, beliau
mendatangi kantor KPK beliau mengucapkan perkataan-perkataan yang
menyerang nama baik, martabat atau keagungan Presiden Republik
Indonesia dihadapan pers baik dari media cetak dan elektronik diantaranya
Reporter RCTI, TPI, Metro TV, Detik Com, Radio Elsinta, wartawan
Rakyat Merdeka, Kompas, dan Republika. Kemudian yang disertai dengan
saksi Alexander Zulkarnain (Reporter RCTI), dan saksi Ubaidillah
(Kameramen TPI) yang menyebutkan bahwa Presiden beserta
Kementriannya mendapatkan sebuah mobil Jaguar yang diberikan oleh
seorang pengusaha yang bernama Hary Tanoesoedibjo.
Atas pernyatannya tersebut Eggy dilaporkan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dengan ancaman pidana Pasal 134, 136 bis KUHP. Pada
tanggal 22 Februari 2007 Eggy divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yaitu 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan. Tidak
terima dengan vonis yang diterimanya, Eggy pun mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung namun permohonannya ditolak. Demikianlah salah satu
contoh kasus penghinaan terhadap kepala negara yang pernah terjadi di
Indonesia.
1 https://www.scribd.com/doc/233568293/Profile-Eggi-Sudjana-Integritas artikel diakses
pada 11 Januari 2017 Pukul 13.47 WIB.
42
B. Kasus Penghinaan Kepala Negara dalam Sejarah Hukum Islam
Bila melihat di dalam catatan sejarah kehidupan orang-orang Islam
1.300 tahun yang lalu, maka akan diketahui bahwa umat Islam adalah
pemilik kemuliaan, keagungan, keperkasaan, dan kekuasaan. Tetapi kalau
melihat keadaan sekarang, maka terlihat umat Islam berada dalam
kehinaan yang besar, dipermalukan, dan mengalami kemunduran. Tidak
lagi mempunyai kekuatan, kekuasaan, keperkasaan, persaudaraan, dan
kasih sayang, adat dan akhlak yang baik, serta amal dan perbuatan yang
baik.2 Umat Islam sekarang mempunyai lebih banyak keburukan daripada
kebaikan.
Dalam Islam banyak kata yang ditemukan dalam Al – Qur‟an dan
Hadis yang mempunyai konotasi yang sama dengan dengan istilah
menghina. Seperti kata fitnah, ghibah, namimah yang semuanya memiliki
arti menghina, mengejek, mencela, mengolok-olok atau memandang
rendah orang lain dengan maksud untuk menunjukkan keburukan dan
kelemahan mereka. Ejekan atau hinaan dapat berupa perkataan dan
perbuatan dan juga dengan sikap tubuh.
Kasus penghinaan terhadap kepala negara atau presiden atau
pemimpin, dalam Islam pernah terjadi pada saat zaman Khulafa‟urrasyidin
diantaranya terjadi pada masa pemerintahan Abu Bakar dan khalifah
Utsman bin Affan. Berikut adalah beberapa contoh kasus penghinaan yang
terjadi pada khalifah Abu Bakar dan khalifah Utsman bin Affan.
2
Maulana Muhammad Zakariya al Kandhalawi, Himpunan Kitab Fadhilah Amal,
(Bandung: Pustaka Zaadul Ma‟aad,2007),h.618.
43
1. Penghinaan pada Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq
Pada suatu hari ada seorang lelaki yang berkata
kasar kepada Abu Bakar Ash-Shidiq. Diriwayatkan oleh
Abdullah bin Qudama dari Abu Barzah berkata : Seorang
lelaki berkata kasar kepada Abu Bakar sehingga aku
berkata “bolehkah aku membunuhnya?” Abu Bakar
membentakku dan berkata “Hal ini tidak diperkenankan
sepeninggal Rasulallah SAW. Diriwayatkan oleh Nasa‟i
dari hadis Syu‟bah dari Taubah Al-Anbari dari Abdullah.3
Sedangkan pada riwayat Abu Bakar Abdul aziz bin
Ja‟far Al-Faqih bahwa Abu Barzah berkata : Seorang lelaki
mencela Abu Bakar sehingga aku berkata, “Wahai Khalifah
Rasulullah, bolehkah aku memenggal lehernya?” Abu
Bakar pun Menjawab, “Celakalah kamu! Hal itu tidak
boleh dilakukan untuk seorangpun sepeninggal
Rasulullah”.4
Selanjutnya diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam
Sunannya dengan sanad shahih dari Abdullah bin Mutharif
bahwa Abu Barzah berkata, “Aku berada di samping Abu
Bakar sedangkan ia memarahi seorang lelaki, sehingga
lelaki itu berkata kasar kepadanya. Aku pun berkata,
„Wahai Khalifah Rasulullah, bolehkan aku memenggal
3 Ibnu Taimiyah, Sharimul Maslul : Hukuman Mati Bagi Penghina Nabi. Penerjemah
Rohmatullah Ngimaduddin, (Solo, Al- Qowam, 2014), h.134
4 Ibnu Taimiyah, Sharimul Maslul : Hukuman Mati Bagi Penghina Nabi.h.134.
44
lehernya?.‟. Ucapakanku membuat emosinya reda, ia pun
berdiri dan masuk lalu memanggilku lalu bertanya, „Apa
yang kamu ucapkan barusan? Aku menjawab „izinkan aku
memenggal lehernya.‟ Ia berkata, „apakah kamu akan
melakukannya jika aku perintahkan? „Aku menjawab, „Ia.
„ia berkata,‟ tidak, Demi Allah, hal itu tidak boleh
dilakukan atas seseorang sepeninggal Rasulullah SAW”.
Abu Daud berkata dalam kitab Al- Masa’il : Aku
mendengar Abu Abdillah ditanya mengenai perkataan Abu
Bakar, “Hal itu tidak boleh dilakukan untuk seorangpun
sepeninggal Rasulullah SAW. “ Ia menjawab, “Abu Bakar
tidak boleh membunuh seseorang kecuali dengan salah satu
dari tiga hal, (Dalam riwayat lain ia mengatakan: Dengan
salah satu dari tiga hal yang disebutkan Rasulullah Saw).
yaitu kufur setelah beriman, berzinah setelah dia muhshan,
dan membunuh seseorang yang tidak membunuh.
Sedangkan bagi Nabi Saw beliau boleh melakukannya.”5
2. Penghinaan di Masa Khalifah Utsman bin Affan
Pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan telah
terjadi fitnah, dan kekacauan yang dirancang oleh musuh-
musuh Islam dan didukung oleh pihak-pihak lain baik itu
yang disengaja atu tidak itu telah menimbulkan perpecahan,
permusuhan, dan perselisihan besar ditengah-tengah umat
5 Ibnu Taimiyah, Sharimul Maslul : Hukuman Mati Bagi Penghina Nabi, hlm.135.
45
Islam yang pengaruhnya tetap terasa sampai saat ini bahkan
mungkin sampai kiamat nanti.6
Peristiwa ini diriwayatkan oleh Saif bin Umar. Ia
hidup pada pertengahan akhir abad tersebut. Ia
meriwayatkan dari guru-gurunya yaitu : Muhammad bin
Abdullah bin Sawad bin Nuwairah, Thalhah bin A‟lam ,
Abu Haritsah, Abu Utsman dan Athiah. Berikut akan
dijabarkan peristiwa terjadinya fitnah pada zaman khalifah
Utsman bin Affan :
Hal ini adalah rancangan dan strategi dari kaum
yahudi yang bernama Abdullah bin Saba‟. Ia adalah
seorang yahudi dari Shan‟a. Ia masuk Islam pada masa
Utsman. Ibunya adalah seorang negro berkulit hitam.
Abdullah ibn saba‟ sangat senang jika menemui kesalahan-
kesalahan yang terdapat pada Utsman. Dari sinilah dia
mulai menjalankan pemfitnahan untuk menjerumuskan
Islam dan kaum muslimin kedalam kehancuran.
Ibnu Saba‟ mengumpulkan para sahabat yang
berasal dari kalangan pencuri dan perampok, yang terdiri
dari orang munafik, yahudi, dan nasrani. Abdullah ibnu
Saba‟ menyebut kaumnya yaitu dengan sebutan Sabaiyah.
Mereka diperintahkan untuk berpura-pura menjadi seorang
6 Musthafa murad, Kisah Hidup Utsman bin Affan, (Jakarta: Dar al-Fajr. 2007), hlm.138
46
muslim mereka diprovokasi untuk menentang penguasa
dengan dalih Amar makruf nahi mungkar. Ia katakan
kepada mereka, “Berontaklah kepada para penguasa kalian
dan lawanlah para pembantu khalifah. Tunjukkanlah
bahwa kalian selalu menegakkan amar makruf nahi
mungkar agar orang – orang menyukai kalian. Selain itu
ajakah mereka untuk mengikuti langkah kalian.”7.
Tidak hanya itu, banyak tuduhan, hinaan, fitnahan yang
dilakukan Ibn Saba‟ kepada Utsman bin Affan, salah satu
diantara yang lainnya adalah untuk menjatuhkannya
menghidupkan suatu aliran dan dipropagandakan sehingga
banyak mendapat pengikut terutama dikalangan pecinta Ali
ibnu Abi Thalib. Aliran ini adalah aliran yang dikenal
dalam sejarah dengan sebutan “Mazhab Wishayah”. Dalam
mazhab ini dinyatakan bahwa ada wasiat dari Nabi
Muhammad SAW untuk menjadikan Ali sebagai khalifah
setelah beliau wafat. Karena sudah menjadi kewajiban bagi
setiap Nabi mengadakan wasiat untuk menentukan khalifah
sebagai penggantinya. Dalam mazhab ini juga menyatakan
bahwa Ali adalah penerima wasiat terakhir karena Nabi
adalah Nabi terkahir. Ditegaskan juga oleh Abdullah ibn
7 Musthafa murad, Kisah Hidup Utsman bin Affan, hlm.138
47
Saba‟ bahwa Ali adalah yang berhak menjadi khalifah.8
Salah satu perkataannya yang mengandung provokasi
adalah : “ Sesungguhnya Muhammad adalah Nabi terakhir
dan Ali adalah wasiat terakhir, adakah orang yang lebih
zhalim daripada orang yang tidak membolehkan adanya
wasiat rasul, padahal beliau telah memberikan wasiatnya
kepada Ali,” Ia pun menambahkan “ Sesungguhnya Utsman
telah mengambil wasiat itu tanpa hak, padahal ini adalah
wasiat Rasulullah, untuk itu bangkitlah dan bergeraklah,
mulailah dengan mengkhianati pemimpin-pemimpin kalian!
Lakukanlah amar maruf nahi munkar, maka engkau akan
mendapatkan hati masyarakat, bawalah kepada mereka hal
ini”.9
Tempat yang digunakan Ibnu Saba adalah Mesir.
Karena di Mesir banyak orang-orang yang membenci
Utsman dari pengikut Amru bin Al- Ash yang dipecat dari
Gubernur Mesir. Ada juga pengikut Amru bin Al- Ash yang
dipecat dari gubernur mesir, dan ada juga pengikut
Muhammad bin Abu Hudzaifah, Ammar bin Yasir dan
Sebagainya. Mereka bersepakat dan berangkat menuju
Madinah.
8 A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: PT. Al Husna
Zikra, 1997), h,277. 9
Yusuf Al‟Isy, Dinasti Umawiyah, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar,1998), h.78.
48
Setelah mengetahui rencana dan target para pengikut
Ibn Saba, Utsman bin Affan menemui mereka,
menyampaikan bantahan atas tuntuan, hinaan, fitnahan, dan
tuduhan mereka, serta mengajak mereka untuk memohon
ampunan kepada Allah. Para pengacau itu menemui
Utsman dan menyampaikan tuntutan serta keberatan
mereka atas perilaku dan kebijakan Utsaman bin Affan.
Utsman pun menerima semua keluhan mereka kemudian ia
jelaskan semua mengenai persoalan yang mereka ajukan
kepada Utsman. Utsman berkata :
1. “Mereka mengatakan bahwa aku menyempurnakan
shalat dalam perjalanan haji, padahal Rasulullah dan
dua khalifah sebelumku tidak pernah melakukan seperti
itu. Kukatakan bahwa aku menyempurnakan shalat
dalam perjalanan dari Madinah ke Makkah karena
Makkah adalah bumi kelahiranku. Makkah adalah
tempat tinggal kaum kerabatku, dan aku tinggal
bersama keluargaku. Jadi, aku tidak dalam keadaan
bepergian (Musafir)”
2. “Mereka mengatakan bahwa aku memonopoli ladang
gembala untuk unta-untaku dan tidak memberi
kesempatan kepada kaum muslim untuk
mengembalakan ternak mereka yang sama. Mereka juga
menuduhku telah membuat sebuah tempat khusus yang
49
sangat luas untuk mengembalakan unta-untaku padahal
dulu tempat itu digunakan untuk mengembalakan
hewan hasil sedekah dan peperangan”
3. “Mereka menyatakan bahwa aku membuat satu mushaf
khusus kemudian membakar mushaf-mushaf lain yang
berbeda. Ketahuilah, aku melakukan itu demi
menyatukan kaum muslim pada satu mushaf. Al-
Qur‟an adalah firman Allah dan firmanya itu mesti
hanya satu tidak banyak versi. Aku hanya ingin
menyatukan umat Islam pada Al- Qur‟an yang sama
dan mencegah mereka dari perselisihan.”
4. “Mereka mengatakan bahwa aku memasukan Al-
Hakam ibn Abi al-Ash ke Madinah, padahal Rasulullah
telah mengusir dan membuangnya ke taif. Ketahuilah,
Al -Hakam ibn Abi al-Ash adalah penduduk Makkah
bukan Madinah. Rasulullah telah mengusirnya dari
Makkah ke Ta‟if dan beliau sendiri yang
mengembalikan dan memulangkanya”
5. “Mereka menuduhku telah memperkerjakan orang-
orang baru dan mengangkat orang yang masih muda
belia sebagai pemimpin. Ketahuilah, orang yang ku
angkat sebagai pemimpin tentu memiliki kelebihan dan
keistimewaan. Ia terbukti sebagai orang yang tabah,
bijaksana, dan sabar. Cobalah kalian tanya kepada
50
mereka para pendahulu ku juga mengangkat orang-
orang yang masih muda sebagai pemimpin, Rasulullah
pernah mengangkat Usamah ibnu Zaid sebagai
pemimpin padahal dia jauh lebih muda dari orang yang
kuangkat saat ini”
6. “Mereka mengatakan bahwa aku terlalu banyak
memberikan bagian dari harta kepada Abdulloh Ibn
Sa‟d ibn Abi Sarah. Sesungguhnya dia mendapatkan
seperlima dari total rampasan perang yang didapat yaitu
seratus ribu karna dia telah berjuang untuk menaklukan
wilayah Afrika aku pernah berkata padanya, “Jika Allah
membukakan Afrika melalui tanganmu maka kamu
mendapat seperlima rampasan perang. Tindakan begitu
juga dilakukan oleh para pendahuluku seperti Abu
Bakar dan Umar. Kemudian sekelompok pasukan
mengkritik keputusanku dan berkata, “Aku tidak suka
kau memberinya seperlima dari rampasan perang”
Sesungguhnya mereka tidak berhak menolak atau
menentang keputusanku. Namun demi keutuhan
pasukan aku mengalihkan seperlima bagian Ibn Sa‟ad
kepada para tentara sehingga Ibn Sa‟ad tidak
mendapatkan apa-apa.”
7. “Mereka mengatakan bahwa aku terlalu mencintai dan
lebih mementingkan kepentingan keluarga. Kukatakan
51
bahwa aku memang mencintai keluargaku, namun
cintaku itu tak sampai mendzalimi orang lain. Aku
memberikan hak-hak mereka dan menjalankan hukum
yang adil atas mereka. Jika aku memberikan sesuatu
kepada mereka, aku memberinya dari harta pribadiku,
bukan dari baitul mal umat Islam. Sejak dulu, sejak
zaman Rasulullah, Abu bakar, Umar, aku sering
memberikan berbagai hadiah dari harta miliku sendiri.
Lalu, kenapa ketika aku memberikan sesuatu kepada
keluargaku, mereka menuduhkan aku melakukan ke
dzaliman? Demi Allah, aku tidak mengambil
sesuatupun dari pemasukan berbagai wilayah umat
Islam. Aku mengembalikan seluruh pemasukan ke
daerah masing-masing, kecuali seperlima rampasan
perang. Bagian yang seperlima itu di kelola dan
didistribusikan oleh umat Islam dan aku tidak terlibat
didalamnya. Demi Allah, aku tidak mengambil
sedikitpun dari bagian seperlima itu atau dari harta umat
Islam lainya. Aku makan dari hartaku sendiri dan aku
memberi orang lain dari hartaku sendiri.”
8. “Mereka mengatakan bahwa aku menghadiahkan
wilayah yang baru ditaklukan kepada orang-orang
tertentu. Ketahuilah, penaklukan suatu wilayah
merupakan hasil kerjasama kaum muhajirin, anshar, dan
52
kalangan pejuang lainya. Ketika tanah taklukan itu
kubagikan kepada para pejuang itu, ada diantara mereka
yang memanfaatkanya dengan tinggal disana. Tetapi
ada juga yang kembali kepada keluarga mereka di
Madinah atau tempat lainya. Namun perlu kutegaskan
bahwa tanah itu tetap menjadi milik mereka meskipun
mereka meninggalkanya. Ada sebagian diantara mereka
yang menjualnya itu juga dengan harga yang mereka
tentukan sendiri. “
Setelah pemberontak sampai di Madinah, mereka langsung
mendatangi rumah Utsman dan menerobos masuk dari segala arah.
Mereka mengutus beberapa orang untuk membunuh Utsman, satu
orang masuk untuk berniat membunuh Utsman tetapi kembali lagi
dan takut membunuhnya karena Utsman selalu mengingatkan
orang-orang tersebut perihal umat-umat terdahulu. Orang yang
terakhir masuk adalah Muhammad bin Abi Bakar, Utsman seraya
berkata kepadanya, “ Sungguh Celakalah Kamu! Apakah engkau
marah karena Allah, apa dosa saya kepadamu sehingga engkau
berbuat demikian kepadaku?” mendengar hal tersebut Muhammad
bin Abi Bakar seraya keluar dan gagal membunuh Utsman. Melihat
kegagalan tersebut sang pengacau pun geram, akhirnya mereka
mengutus 3 orang untuk membunuh Utsman, diantaranya adalah :
Qatirah, Saudan bin Hamran As – Sukuniyah dan Al – Ghafiqi.
53
Pertama-tama Al – Ghafiqi memukul Utsman dengan
sebuah besi yang dipegangnya. Lalu ia menendang mushaf hingga
berputar di hadapan Utsman, darah utsman mengalir, lalu masuklah
Saudan bin Hamran untuk menebaskan pedangnya ke Utsman,
namun usahanya terhalangi karena masuklah Nailah binti Al –
Farafishah sambil membawa pedang hingga terjadi perkelahian,
tetapi Nailah kalah, maka Saudan bin Hamran pun menusuk
Utsman dengan pedangnya, dan mereka pun membunuh budak-
budak Utsman serta merampok rumahnya lalu bergegas menuju
Baitul Mal untuk merampoknya.10
Utsman meninggal pada hari
Jum‟at malam, 18 Dzulhijjah tahun 35 H.11
3. Kasus Penghinaan pada masa Bani Umayah
Kasus penghinaan ini terjadi pada masa pemerintahan
Muawiyah. Beliau adalah Hijr bin Adiy.12
Beliau adalah
seorang sahabat yang sangat mengagungkan Ali. Ia seringkali
menghina Muawiyah dan mengumpulkan sahabat-sahabatnya
untuk menghina Muawiyah. Dan terkadang celaan tersebut
berubah menjadi suatu tindakan. Suatu hari seorang pegawai
Ziyad mendengarkan khutbah dari Hijr bin Adiy, dan
mendengar bahwa dalam khutbah tersebut Hijr melontarkan
kata-kata yang mengandung penghinaan terhadap Muawiyah.
10
Yusuf Al‟Isy, Dinasti Umawiyah, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar,1998), h.89.
11
Yusuf Al‟Isy, Dinasti Umawiyah, h.90.
12
Yusuf Al‟Isy, Dinasti Umawiyah, h.184.
54
Maka pegawai tersebut langsung melaporkan kejadian tersebut
kepada Ziyad. Atas dasar itulah, suatu hari Hijr bin Adiy
dilaporkan kepada Muawiyah. Hal tersebut dilakukan oleh
Ziyad, yaitu seorang gubernur di Basrah yang juga merupakan
anak Abu Sufyan.13
Suatu hari seorang pegawai Ziyad
mendengarkan khutbah dari Hijr bin Adiy, dan mendengar
bahwa dalam khutbah tersebut Hijr melontarkan kata-kata yang
mengandung penghinaan terhadap Muawiyah. Maka pegawai
tersebut langsung melaporkan kejadian tersebut kepada Ziyad.
Ziyad langsung menuju Kufah dan Bashrah untuk menemui
para pembesar Kufah dan menjanjikan mereka dengan sesuatu
yang enak, dan akhirnya mereka menuruti kehendak dan
perintah dari Ziyad.14
Sampai akhirnya Hijr bin Adiy ditangkap di Kufah, lalu
Ziyad menyerahkan Hijr beserta para saksi yang tidak lain
adalah anggota majelis ta‟lim dari Hijr kepada Muawiyah. Lalu
mula-mula Muawiyah menasihatinya. Sampai akhirnya
Muawiyah menuruti permintaan Ziyad untuk memangkas
kejahatan dari akarnya dengan menghukum mati Hijr bin Adiy
beserta 6 orang sahabatnya. Dengan adanya kejadian tersebut
orang-orang kufah tidak lagi berani untuk menghina Bani
13
Yusuf Al‟Isy, Dinasti Umawiyah, h.179.
14 Yusuf Al‟Isy, Dinasti Umawiyah, h.184.
55
Umayah, karena takut akan mendapatkan nasib yang sama
seperti Hijr.15
Demikianlah contoh kasus-kasus penghinaan terhadap seorang
kepala negara (Khalifah) yang pernah terjadi di dalam sejarah Islam.
Rasulullah Saw berwasiat untuk selalu memuliakan para sahabat dan
peringatan untuk selalu waspada terhadap berbagai fitnah. Dari Abdullah
ibn Amr ibn Ash r.a, ia berkata :
Rasulullah Saw menyampaikan khutbah kepada kami, dengan
bersabda, “ Wahai sekalian manusia! Muliakanlah para sahabatku dan
berbuat baiklah kepada mereka. Cintailah mereka, karena sebaik-baik
manusia adalah para sahabatku (karena) mereka adalah orang-orang
yang aku diutus kepada mereka lalu mereka beriman kepada Allah dan
membenarkan diriku. Mereka beriman kepada apa yang aku bawa dari
Allah dan mereka mau mengikuti serta mengamalkannya. Kemudian,
orang-orang yang terbaik setelah mereka (para sahabat) adalah generasi
berikutnya yang mau beriman kepadaku. Lalu setelah mereka, datanglah
generasi yang suka menyia-nyiakan shalat, suka menuruti keinginan
syahwat. Mereka suka meninggalkan apa yang aku perintahkan, dan suka
melaksanakan apa yang aku larang. Mereka suka mencongkel ajaran
agama dengan menggunakan hawa nafsunya dan mereka selalu bersikap
riya dengan amal yang mereka lakukan. Mereka suka bersumpah
meskipun tidak diminta bersumpah. Mereka berani bersaksi meskipun
tidak diminta. Mereka dipercaya lalu berkhianat. Mereka tidak bersikap
15
Yusuf Al‟Isy, Dinasti Umawiyah, h.184.
56
amanah. Mereka suka berbicara bohong. Mereka suka mengatakan
sesuatu yang tidak mereka lakukan. Oleh sebab itu, kemudian dicabutlah
ilmu dan kesabaran dari mereka, dan amanah akan diangkat dari mereka,
sehingga tersebarluaslah di tengah-tengah mereka. Sifat malu mereka
segalaa bentuk kebohongan, pengkhianatan, kedurhakaan, kepada kedua
orangtua, terputusnya tali silaturahmi, panjang angan-angan, kebatilan,
ketamakan bertetangga yang buruk karena mereka tidak pernah tepat
dalam melaksanakan ajaran agama sebagaimana melesetnya anak panah
dari binatang buruan.”16
16
Muhammad Khalil Khatib, “Khutbah Nabi terlengkap & terpilih”, (Jakarta, Qisthi
Press, 2011),hlm.178.
57
BAB IV
Perbandingan Penghinaan Terhadap Kepala Negara Menurut
Hukum Positif dan Hukum Islam
A. Perbuatan Penghinaan terhadap Kepala Negara menurut Hukum
Positif dan Hukum Islam
1. Perbuatan Penghinaan terhadap Kepala Negara menurut
Hukum Positif
Penghinaan atau dalam bahasa belanda disebut dengan
Belediging. Dalam Bab XVI dari buku II KUHP berdasarkan
rumusan Pasal 311 KUHP penghinaan merupakan suatu
kesengajaan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain,
seperti menista dengan lisan, menista dengan tulisan, fitnah,
penghinaan biasa dan pengaduan atau laporan palsu.1
Penghinaan merupakan suatu pelanggaran yang
menyangkut harkat dan martabat manusia, yaitu bisa berupa
penghinaan, fitnah atau tuduhan melakukan suatu perbuatan
tertentu. Dalam hukum Islam, untuk menetapkan dalil suatu
perkara berpedoman berdasarkan Al – Qur’an dan Sunnah, sesuai
yang telah disepakati oleh para ulama.
1 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik – Delik Khusus Kejahatan
Terhadap Kepentingan Hukum Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 278.
58
Sebagai negara yang kurang lebih 350 tahun dijajah oleh
Belanda, maka tidak heran jika pengaruh Belanda masih sangat
besar di Indonesia khususnya dalam bidang hukum. Walaupun
NKRI saat ini sudah berusia 71 tahun namun sistem hukum yang
berlaku belum berubah. Salah satunya adalah masih
diberlakukannya Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandtch atau
yang dewasa ini dikenal dengan KUHP (Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana) yang dikeluarkan sekitar tahun 1800-an.2 KUHP
sampai saat ini masih digunakan sebagai peraturan perundang –
undangan yang mengatur tentang hukum pidana di seluruh wilayah
Indonesia dan juga masih berlaku di negara jajahan belanda.
Ada beberapa pasal dalam KUHP yang mengatur tentang
tindak pidana penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden.
Pertama, Tindak pidana penghinaan terhadap Presiden atau
Wakil Presiden telah diatur dalam Pasal 134 KUHP yang berbunyi
“Kesengajaan menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana
dengan pidana penjara selama – lamanya enam tahun atau dengan
pidana denda setinggi – tingginya empat ribu lima ratus rupiah.
Kedua, Tindak Pidana penghinaan terhadap Presiden dan
atau Wakil Presiden di luar hadirnya Presiden atau Wakil Presiden
itu telah diatur dalam pasal 136 bis KUHP yang berbunyi : “Yaitu
2 HRT. Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan
Pandangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 121.
59
jika penghinaan tersebut dilakukan diluar hadirnya orang yang
dihina, baik itu telah dilakukan di depan umum maupun tidak di
depan umum, tetapi di lebih dari empat orang ataupun di depan
orang ketiga yang keberadaannya di tempat adalah bertentangan
dengan keinginannya dan merasa tidak senang karenanya, yang
dilakukan dengan perbuatan – perbuatan , dengan lisan atau dengan
tulisan.
Ketiga, Tindak pidana penyebarluasan tulisan atau gambar
yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden itu
telah diatur dalam Pasal 137 KUHP yang berbunyi : “(1) Barang
siapa menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka atau
menempelkan suatu tulisan atau gambar yang berisi penghinaan
terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya
yang bersifat menghina itu diketahui orang banyak atau diketahui
secara lebih luas oleh banyak orang, dipidana dengan pidana
penjara selama – lamanya satu tahun dan empat ribu lima ratus
rupiah. (2) Jika orang yang bersalah telah melakukan kejahatan
tersebut dalam pekerjaannya, dan pada waktu melakukan kejahatan
belum lewat waktu dua tahun sejak ia dijatuhi pidana yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan
kejahatan yang serupa, maka ia dapat dicabut haknya untuk
melakukan pekerjaan tersebut.
60
Undang – Undang tentang penghinaan terhadap Kepala
Negara yang saat ini diterapkan tidak sesuai dengan hukum yang
berlaku di Indonesia. Hal mengadopsi Undang - Undang yang
berasal di Belanda. Jelaslah hal ini sangat bertolak belakang.
Karena apabila kita melihat sistem pemerintahan yang berlaku di
Indonesia dan Belanda berbeda.Yaitu Belanda menganut sistem
pemerintahan parlementer sedangkan Indonesia menganut sistem
pemerintahan presidensial.
Dalam sistem pemerintahan parlementer, Kepala
pemerintahan dipimpin oleh seorang perdana Menteri dan untuk
kepala negara diperankan oleh seorang Raja dan Ratu. Sedangkan
di Indonesia menganut sistem pemerintahan yang berbeda yaitu
sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem ini presiden
berfungsi sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala
pemerintahan bukan sebagai lambang negara.
Awal mula pembentukan pasal tentang penghinaan
terhadap kepala negara di Belanda adalah untuk melindungi
martabat seorang Ratu Belanda dari hinaan pribumi saat masa
penjajahan Belanda di tanah air puluhan tahun lalu, serta untuk
membatasi kebebasan berpendapat negara – negara jajahan belanda
61
agar tidak menyerang raja dan ratu yang berfungsi sebagai simbol
negara.3
UU No. 24 tahun 2009 pasal 1 tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, menjelaskan bahwa :
1) Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut Bendera Negara adalah Sang Merah
Putih.
2) Bahasa Kesatuan Negara Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut Bahasa Indonesia adalah Bahasa resmi
Nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3) Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut lambang negara adalah Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
4) Lagu Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang selanjutnya disebut Lagu Kebangsaan adalah
Indonesia Raya.
5) Panji adalah Bendera yang dibuat untuk menunjukkan
kedudukan dan kebesaran suatu jabatan atau organisasi.
3 http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150804125659-12-
69964/yusril-pasal-penghinaan-presiden-semula-untuk-ratu-belanda/ diakses
pada 16 Januari 2017 pada pukul 09.35 WIB
62
Berdasarkan hal diatas sudah jelas disebutkan bahwa lambang
Negara Indonesia adalah Garuda Pancasila bukan Presiden. Hal
itulah membuktikan bahwa di Indonesia seorang presiden bukanlah
lambang sebuah negara berbeda dengan fungsi Raja dan Ratu di
Belanda. Hal itulah yang melatarbelakangi ketidakcocokan
penerapan UU KUHP tentang Penghinaan Kepala Negara pasal
134, 136bis dan 137 di Indonesia. Pasal tersebut juga sudah tidak
diberlakukan lagi di belanda
Ketiga pasal tersebut telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi
pada tahun 2006 dengan alasan bertentangan dengan konstitusi.
Hal – hal tersebut adalah sebagai berikut4 :
1. Pertama, yaitu dapat menghambat kebebasan bagi
masyarakat untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat.
Hal ini akan betentangan dengan pasal 28 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa, “Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang. Serta
pasal 28e ayat (2) yang menyatakan bahwa “ Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya, dan
4 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 013-022/PUU-
IV/2006”.
63
2. Pasal 28e ayat (3) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat
3. Ketiga, Pasal 28 J yang menyatakan bahwa :
a) “Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”
b) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan
nilai-nilai umum dalam suatu masyarakat
demokratis.”
4. KUHP merupakan saduran dari Negara Belanda, awal
mula pembuatan pasal tersebut adalah untuk membatasi
kebebasan berpendapat negara-negara jajahan Belanda
agar tidak menyerang raja dan ratu. Dan saat ini pasal
tersebut sudah tidak lagi diberlakukan di Negara Belanda.
64
Dalam masalah ini Mahkamah Konstitusi telah
mengganti pasal – pasal tersebut dengan pasal 207 dan 208
KUHP yang dianggap lebih ringan hukumannya.5
Pasal 207 berbunyi : “Barangsiapa dengan sengaja di
muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu
penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia atau suatu
lembaga umum yang terdapat disana.”
Dan juga pasal 208 yang berbunyi : (1) Barangsiapa
menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan secara terbuka
di muka umum suatu tulisan atau lukisan yang membuat
penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di
Indonesia atau termasuk suatu lembaga umum yang terdapat
disana, Dengan maksud supaya isi yang menghina itu diketahui
atau lebih diketahui oleh umum. (2) Jika yang bersalah melakukan
kejahatan tersebut dalam pekerjaannya, dan pada waktu melakukan
kejahatan tersebut belum lewat waktu dua tahun sejak ia dijatuhi
pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan kejahatan yang sama maka ia dapat dicabut haknya
untuk melakukan pekerjaan tersebut.6
5http://nasional.kompas.com/read/2015/08/14/15000031/Hukum.Menghina.Presiden?pag
e=all%2010. diakses pada 16 Januari 2017 pada pukul 11.43 WIB.
6 P.A.F Lamintang dan Teo Lamintang, Delik – Delik Khusus Kejahatan Terhadap
Kepentingan Hukum Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 603.
65
2. Perbuatan Penghinaan Terhadap Kepala Negara Perspektif
Hukum Islam
Setelah membahas perbuatan penghinaan dalam hukum
Positif. Disini akan dijabarkan mengenai apa yang dimaksud
perbuatan penghinaan dalam hukum Islam. kalau kita melihat dari
segi hukum Islam berdasarkan sejarahnya, perbuatan penghinaan
terhadap kepala negara dapat digambarkan dengan perbuatan
menghina terhadap sahabat Rasulullah SAW yaitu adalah para
Khulafaur’rasyiddin. Perbuatan tersebut berupa mengolok-olok
para sahabat, mencela, bahkan sampai memfitnah sahabat
Rasulullah.
Karena sesungguhnya Allah sangat membenci perbuatan
mencela atau menghina orang lain. Karena hal itu merupakan hal
yang tercela. Seperti yang terkandung dalam hadis berikut ini :
“Mencintai sesuatu adalah membenci kebalikannya, sehingga
Allah Swt membenci celaan terhadap para sahabat yang
merupakan kebalikan dari tindakan memintakan ampun bagi
mereka. Membenci para sahabat merupakan kebalikan dari
kebersihan hati. Inilah makna perkataan Aisyah, “Mereka
diperintahkan untuk memintakan ampun bagi para sahabat
66
Muhammad, namun malah mencela para sahabat.” (HR.
Muslim).7
Dalam Firmannya Allah Swt berfirman :
Artinya : “Kecelakaanlah atas setiap pengumpat lagi pencela”
(Q.S Al – Humazah [104]:1)
Rasulullah Saw pun sangat melarang umatnya untuk
menghina para sahabatnya. Adapun menurut As-Sunnah yang
diriwayatkan dalam Ash-Shahihain dari A‟masy dari Abu Shalih,
dari Abu sa’id ia berkata : Rasulullah SAW bersabda
“Janganlah kalian mencela para sahabatku! Demi Dzat yang
jiwaku di tangan – Nya, seandainya salah seorang diantara kalian
menginfakkan emas sebesar Uhud niscaya tidak akan bisa
menandingi infak satu mud mereka, bahkan setengahnya pun
tidak.”8
Sedangkan hukuman bagi penghina Rasulullah adalah
dihukum mati. Pendapat ini terdapat pada hadis yang diriwayatkan
7 Ibnu Taimiyah, Sharimul Maslul : Hukuman Mati Bagi Penghina Nabi. Penerjemah
Rohmatullah Ngimaduddin, h.715
8 Hadits muttafaq’alaih. HR. Bukhari Muslim dalam Shahih-nya (III/1343)no. 3470 dan
Muslim dalam Shahih-nya (IV/1976)no. 2541, keduanya dari jalur A’masy dari Dzakwan, dari
Abu Sa’id.
67
oleh Abu Dawud dalam Sunnannya dengan sanad shahih dari
Abdullah bin Mutharif bahwa Abu Barzah berkata, :
“Aku berada di samping Abu Bakar sedangkan Ia memarahi
seorang lelaki, sehingga lelaki itu berkata kasar kepadanya. Aku
pun berkata, „Wahai Khalifah Rasulullah, bolehkan aku
memenggal lehernya?.‟. Ucapakanku membuat emosinya reda, Ia
pun berdiri dan masuk lalu memanggilku dan bertanya, „Apa yang
kamu ucapkan barusan? Aku menjawab „Izinkan aku memenggal
lehernya.‟ Ia berkata, „Apakah kamu akan melakukannya jika aku
perintahkan? „Aku menjawab, „Ia. „Ia berkata,‟ Tidak, Demi Allah,
hal itu tidak boleh dilakukan atas seseorang sepeninggal
Rasulullah SAW”.9
Dalam Islam, kategori pencela ada 3 macam yaitu : kategori
pencela yang tidak diragukan lagi kekafirannya, kedua adalah tidak
dihukum dengan kekafiran, dan yang ketiga adalah yang diragukan
kekafirannya.
9 Ibnu Taimiyah, Sharimul Maslul : Hukuman Mati Bagi Penghina Nabi. Penerjemah
Rohmatullah Ngimaduddin, (Solo, Al- Qowam, 2014), hlm.706
68
B. Sanksi Penghinaan Terhadap Kepala Negara Perspektif Hukum
Positif dan Hukum Islam
1. Sanksi Penghinaan Terhadap Kepala Negara Perspektif
Hukum Positif
Menurut hukum positif penghinaan terhadap kepala negara
telah diatur dalam Undang - Undang KUHP pasal 134, 136 bis, dan
pasal 137 KUHP. Namun Mahkamah Konsitusi telah menghapus
pasal-pasal tersebut karena dianggap tidak memiliki kekuatan
hukum yang kuat dan tidak memiliki kepastian hukum serta
dianggap dapat menjerat orang yang mungkin tidak bermaksud
untuk menghina presiden. Dalam masalah ini Mahkamah
Konstitusi telah mengganti pasal-pasal tersebut dengan pasal 207
dan 208 KUHP yang dianggap lebih ringan hukumannya.10
Berikut adalah bagan pasal KUHP yang dihapus dan yang
diganti tentang penghinaan terhadap Presiden.
10
http://nasional.kompas.com/read/2015/08/14/15000031/Hukum.Menghina.Presiden?pag
e=all%2010. diakses pada 16 Januari 2017 pada pukul 11.43 WIB.
69
4.1 Bagan pasal penghinaan terhadap Kepala Negara
diganti dengan
PASAL – PASAL YANG
MENGATUR TENTANG
PENGHINAAN KEPALA
NEGARA
PASAL 134
PASAL 136 bis
PASAL 137
PASAL 207
KUHP
PASAL 208
KUHP
Pasal ini dihapus karena
dianggap bahwa pasal ini tidak
memberikan kepastian hukum
seperti yang tercantum di dalam
pasal 28D Ayat (1) NKRI 1945
Pasal yang berlaku saat ini
karena dianggap memiliki
hukuman yang lebih ringan
dibandingkan pasal yang
sebelumnya
70
Berikut adalah penjelasan dari tabel diatas :
Pasal 134 berbunyi : “Penghinaan dengan sengaja terhadap
Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.”11
Pasal 136 bis berbunyi : “Pengertian penghinaan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 tersebut mencakup juga
perumusan perbuatan dalam pasal 315, jika hal itu dilakukan diluar
kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku dimuka umum,
maupun tidak dimuka umum dengan lisan atau tulisan, namun
dihadapan lebih dari empat orang, atau dihadapan orang ketiga,
bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa
tersinggung karenanya.”12
Dan yang terakhir adalah pasal 137 KUHP yang berbunyi :
ayat (1) “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau
menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi
penghinan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud
supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” (2)
Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan
11
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011) h.55
12
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, h.55
71
pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak
adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam
itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencarian
tersebut.13
Namun Mahkamah Konstitusi telah membatalkan ketiga
pasal tersebut karena menurut Mahkamah Konstitusi ketiga pasal
tersebut tidak memberikan kepastian hukum seperti yang tercantum
di dalam pasal 28D Ayat (1) NKRI 1945 yang berbunyi “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka
hukum.”.14
Melihat dihapusnya pasal 134, 136 bis dan 137, maka saat
ini pasal yang berlaku untuk penghina presiden adalah pasal 207
KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa dengan sengaja di muka
umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau
badan umum yang ada di Indonesia atau suatu lembaga umum
yang terdapat disana, diancam dengan pidana penjara paling lama
satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.”
Hal ini juga terdapat dalam Pasal 208 sebagai berikut : (1)
Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan
13
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, h.56
14
http://nasional.kompas.com/read/2015/08/14/15000031/Hukum.Menghina.Pres
iden?page=all diakses pada 15 januari pukul 14.56 WIB
72
secara terbuka di muka umum suatu tulisan atau lukisan yang
membuat penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang
ada di Indonesia atau termasuk suatu lembaga umum yang
terdapat disana, Dengan maksud supaya isi yang menghina itu
diketahui atau lebih diketahui oleh umum, Diancam dengan pidana
penjara paling lama empat bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan
kejahatan tersebut dalam pekerjaannya, dan pada waktu melakukan
kejahatan tersebut belum lewat waktu dua tahun sejak ia dijatuhi
pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan kejahatan yang sama maka ia dapat dicabut haknya
untuk melakukan pekerjaan tersebut.15
Penerapan pasal tersebut dianggap lebih meringankan dan
lebih dapat diterapkan di Indonesia tanpa berbenturan dengan pasal
yang lainnya.
2. Sanksi Penghinaan Terhadap Kepala Negara dalam Hukum
Islam
Kepala negara dalam Islam pada konteks ini diwakilkan
kepada sahabat Rasulullah atau Khulafaur‟rasyiddin. Seperti hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad sebagai berikut :
Imam Ahmad berkata dalam risalah yang diriwayatkan oleh
Abu Abbas Ahmad bin Ya’qub Al-Ishthakhri dan lainnya, :
15
P.A.F Lamintang dan Teo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap
Kepentingan Hukum Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 603.
73
“Sebaik-baik umat setelah Nabi SAW adalah Abu Bakar, setelah
Abu Bakar adalah Umar, setelah Umar adalah Utsman, setelah
Utsman adalah Ali, Setelah itu umat berhenti atas Utsman. Mereka
adalah para Khalifahrasyidun mahdiyun para khalifah yang
mendapatkan petunjuk. Selanjutnya, setelah khalifah yang empat
adalah para sahabat Rasulullah Saw sebaik baik manusia. Tidak
boleh seorangpun menyebut suatu kejelekan mereka dan tidak
boleh mencela salah seorang mereka dengan aib dan kekurangan.
Siapa yang melakukan hal itu maka wajib bagi penguasa untuk
menghukumnya. Ia tidak berhak memaafkannya, akan tetapi ia
harus menghukumnya dan mengajaknya bertaubat. Jika ia
bertaubat maka taubatnya diterima. Jika ia tetap pada
pendiriannya maka penguasa mengulang hukuman atasnya dan
memenjaranya sampai ia mati dan bertaubat”.16
Risalah diatas, menjelaskan bahwa larangan untuk
menghina para sahabat Rasulullah Saw terutama yang 4 itu.
Berikut akan disebutkan beberapa hukuman atas mencela sahabat
Rasulullah yang terdapat pada Al – Qur’an dan Sunnah.
Adapun hukum mencela para sahabat dalam Al-Qur’an
sebagai berikut :
Yang pertama terdapat dalam surat Al – Hujurat ayat 12 yang
berbunyi :
16
Ibnu Taimiyah, Sharimul Maslul : Hukuman Mati Bagi Penghina Nabi. Penerjemah
Rohmatullah Ngimaduddin, (Solo, Al- Qowam, 2014), h.706
74
Artinya : “Wahai orang – orang yang beriman! Jauhilah banyak
dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, da
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah
ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah
ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertaqwalah kepada
Allah, sungguh Allah maha penerima taubat, maha penyayang.”
(Al – Hujurat [49]:12)
Dan yang kedua terdapat pada surat Al – Humazah ayat 1 yang
berbunyi
Artinya : “Kecelakaanlah atas setiap pengumpat lagi pencela”.
(Al – Humazah [104]:1)
Dalam Surat Al – Ahzab ayat 58 yang berbunyi :
75
Artinya : “Orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan
mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat maka
sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang
nyata” (Al- Ahzab [33]:58).
Sesungguhnya Allah sangat membenci perbuatan mencela
atau menghina orang lain. Karena hal itu merupakan hal yang
tercela. Seperti yang terkandung dalam hadis berikut ini :
“Mencintai sesuatu adalah membenci kebalikannya, sehingga
Allah Swt membenci celaan terhadap para sahabat yang
merupakan kebalikan dari tindakan memintakan ampun bagi
mereka. Membenci para sahabat merupakan kebalikan dari
kebersihan hati. Inilah makna perkataan Aisyah, “Mereka
diperintahkan untuk memintakan ampun bagi para sahabat
Muhammad, namun malah mencela para sahabat.” (HR.
Muslim).17
Rasulullah Saw pun sangat melarang untuk menghina para
sahabatnya. Adapun menurut As-Sunnah yang diriwayatkan dalam
Ash-Shahihain dari A‟masy dari Abu Shalih, dari Abu sa’id ia
berkata : Rasulullah SAW bersabda
17
Ibnu Taimiyah, Sharimul Maslul : Hukuman Mati Bagi Penghina Nabi.
Penerjemah Rohmatullah Ngimaduddin, h.715
76
“Janganlah kalian mencela para sahabatku! Demi Dzat yang
jiwaku di tangan - Nya, seandainya salah seorang diantara kalian
menginfakkan emas sebesar Uhud niscaya tidak akan bisa
menandingi infak satu mud mereka, bahkan setengahnya pun
tidak.”18
Dalam Hadis disebutkan beberapa hukuman yang diberikan
kepada seseorang yang menghina sahabat Rasulullah, diantaranya :
Imam Ahmad memutlakkan bahwa pelaku pencela sahabat
Rasulullah Saw harus didera dengan deraan yang membuat jera.
Imam Ahmad juga tidak berkomentar tentang hukuman mati dan
kekafiran.
Harits bin Utbah berkata : Umar bin Abdulaziz dihadapkan
pada seorang lelaki yang mencela Utsman. Ia berkata, “Apa yang
mendorongmu untuk mencelanya?” Ia menjawab “Aku
Membencinya” , Umar berkata “ jika kamu marah terhadap
seseorang apakah kamu mencelanya?” maka umar menjatuhkan
titah atas lelaki tersebut sehingga ia dicambuk sebanyak 30 kali.19
Selain itu ada pula hadis lain yang menyebutkan hukuman
yang berbeda, yaitu Imam Ahmad meriwayatkan Abu Muawiyah
menceritakan kepada kami, Ashin Al – Ahwal menceritakan
18
Hadits Muttafaq’alaih. HR. Bukhari Muslim dalam Shahih-nya (III/1343)no.
3470 dan Muslim dalam Shahih-nya (IV/1976)no. 2541, keduanya dari jalur A’masy dari
Dzakwan, dari Abu Sa’id.
19
Ibnu Taimiyah, Sharimul Maslul : Hukuman Mati Bagi Penghina Nabi.h.715.
77
kepada kami, Ia berkata : “Dihadapkan kepadaku seorang lelaki
yang telah mencela Utsman. Aku mencabuknnya 10 kali, kemudian
Ia mengucapkan celaan kembali. Maka aku mencambuknya 10
cambukan lagi. Ia terus mencela Muawiyah sampai aku
mencabuknya sebanyak 70 cambukan.”20
Berdasarkan ketiga hadits di atas memiliki pengertian yang
berbeda-beda tentang sanksi yang diberikan kepada penghina
sahabat Rasululllah Saw, hadis pertama mengatakan bahwa pelaku
penghinaan dihukum dengan didera hingga jera, kemudian hadis
yang kedua mengatakan dihukum dengan dicambuk sebanyak 30
kali dan yang ketiga sebanyak 70 kali cambukan.
Hal tersebut menunjukan bahwa pelaku penghinaan tidak
boleh dihukum mati. Karena hal tersebut hanya boleh dilakukan
bagi penghina Rasulullah Saw. Seperti yang dijelaskan dalam hadis
sebagai berikut : Pada riwayat Abu Bakar Abdul Aziz bin Ja’far
Al-Faqih bahwa Abu Barzah berkata : “Seorang lelaki mencela
Abu Bakar sehingga aku berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah,
bolehkah aku memenggal lehernya?” Abu Bakar pun Menjawab,
“Celakalah kamu! Hal itu tidak boleh dilakukan untuk seorangpun
sepeninggal Rasulullah”.21
20
Ibnu Taimiyah, Sharimul Maslul : Hukuman Mati Bagi Penghina Nabi.h.708.
21 Ibnu Taimiyah, Sharimul Maslul : Hukuman Mati Bagi Penghina Nabi.h.134.
78
Dari beberapa penjelasan diatas terlihat sangat jelas
perbandingan sanksi penghinaan terhadap kepala negara atau
presiden menurut hukum positif dan hukum Islam. Sangat berbeda
jauh sanksi yang diberikan terhadap penghina kepala negara
menurut hukum positif dan hukum Islam.
Tabel 4.1
Perbandingan Sanksi Penghinaan Kepala Negara menurut Hukum
Positif dan Hukum Islam
Sanksi Hukum Positif Sanksi Hukum Islam
Pidana Penjara paling lama 1 Tahun
6 bulan/ Pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah
(Pasal 207 KUHP)
(Menurut hadis yang dirawayatkan
oleh Imam Ahmad)22
Didera/
dihukum cambuk sampai Jera.
(Disini tidak dijelaskan spesifikasi
jumlah cambuk yang diberikan.)
Pidana Penjara paling lama 4 bulan/
Pidana Denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah
(Pasal 208 ayat (1) KUHP)
Di hukum pukulan cambuk 30 kali –
70 Kali (Hadis riwayat Harits bin
Utbah)23
22
Ibnu Taimiyah, Sharimul Maslul : Hukuman Mati Bagi Penghina Nabi. Penerjemah
Rohmatullah Ngimaduddin, hlm.714
23
Ibnu Taimiyah, Sharimul Maslul : Hukuman Mati Bagi Penghina Nabi, hlm.715.
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan data-data yang telah disebutkan, maka penulis dapat
mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Di dalam hukum positif dan hukum Islam menghina kepala
negara itu tidak boleh, karena perbuatan menghina itu
termasuk kedalam sikap tercela. Menghina terhadap sesama
saja sudah dilarang apalagi menghina terhadap seorang
pemimpin karena seorang pemimpin harus dihormati.
Namun bukan berarti seorang warga negara tidak boleh
mengkritik seorang pemimpin karena di Indonesia
merupakan negara demokrasi dimana setiap warga negara
bebas mengeluarkan pendapat berdasarkan pasal 28 UUD
1945, Namun harus tetap dalam koridor yang tepat.
2. Sanksi penghinaan terhadap kepala negara menurut hukum
positif dan hukum Islam adalah sebagai berikut :
a) Menurut positif sebelumnya telah diatur dalam pasal
134, 136 bis, dan pasal 137 KUHP. Namun di pasal
tersebut terjadi banyak pro dan kontra, bahkan
menurut Mahkamah Konstitusi pasal-pasal tersebut
80
bisa menjerat orang yang mungkin tidak bermaksud
menghina presiden, seperti hanya melakukan protes,
membuat pernyataan atau menyampaikan kritik.
Pasal-pasal tersebut akhirnya telah dihapus oleh
Mahkamah Konstitusi dan bersifat final. Dengan
begitu bukan berarti masyarakat bisa seenaknya
melakukan penghinaan terhadap presiden. Hukum
penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden
dapat menggunakan KUHP pasal 207 dan 208.
b) Menurut hukum Islam sanksi yang dijatuhkan
kepada pelaku penghina kepala negara atau dapat
disamakan dengan seorang khalifah. Didalam hadis
disebutkan beberapa hukuman diantaranya adalah
pelaku pencela sahabat Rasulullah harus didera
dengan deraan yang dapat membuat jera. Kemudian
yang kedua yaitu hukuman cambuk 30 kali.
Didalam hukum Islam sudah jelas disebutkan bahwa
pelaku terhadap penghinaan kepala negara atau
Khalifah tidak boleh dihukum mati karena hukuman
mati hanya dijatuhkan kepada pelaku penghina
Rasulullah SAW.
81
B. Saran
Setelah penulis menyelesaikan penelitian tentang penghinaan
terhadap kepala negara maka penulis memberikan saran yang insya allah
bermanfaat.
1. Untuk Pemerintah, seharusnya bisa memberikan sosialisasi
yang lebih kepada masyarakat tentang Undang-Undang
penghinaan terhadap kepala negara agar masyarakat dapat lebih
berhati – hati dalam mengeluarkan pendapat serta tidak mudah
terprovokasi dengan adanya berita-berita yang beredar di
kalangan masyarakat.
2. Untuk warga negara Indonesia yang benar seharusnya
berkewajiban untuk mematuhi seorang pemimpin atau presiden
dengan tidak melakukan penghinaan terhadap presiden karena
presiden sangat dibutuhkan oleh negara dan masyarakat.
82
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Al – Qur’an al – Karim
Abdullah, Yatimin. Studi Akhlak dalam Perspektif Al – Qur’an. Jakarta,
Amzah, 2006.
Abidin, Zainal Ahmad. Ushul Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Ahmad, Baharuddin. dan Yanti, Illy. Eksistensi dan Implementasi Hukum
Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Al’Isy, Yusuf. Dinasti Umawiyah. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar,1998.
Ali, Zainuddin. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Al - Ghazali. Etika Berkuasa Nasehat-Nasehat Imam al-Ghazali, terj. Arif
D.Iskandar. Bandung: Pustaka Hidayat, 1998.
Al – Quraibi, Ibrahim. Tarikh Khulafa’. Penerjemah Faris Khairul Anam,
Jakarta: Qisthi Press, 2009.
As – Salus, Ali. Imamah & Khalifah. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika, 2010.
Aziz, Abdul Dahlan, dkk. (eds), Ensiklopedi Islam, Jilid 3 Jakarta: Ichtiar
Baru van Houve, 2005.
Daud, Muhammad Ali. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2006.
Fath, Khalifurrahman dan Fathurrahman. Imam al-Mawardi Ahkam
Sulthaniyah Sistem Pemerintahan Khilafah Islam. Jakarta: Qisthi
Press, 2015.
Hamzah Andi, KUHP & KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta, 2011.
Hasbi, T.M. Ash-Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1971.
83
Ibnu, Mujar Syarif. Presiden Non Muslim di Negara Muslim. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2006.
Idris, Mohd Ramulyo. Asas – asas Hukum Islam; Sejarah Timbul dan
Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,1995.
J.T.C. Simorangkir. dkk. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Khalil, Muhammad Khatib. “Khutbah Nabi terlengkap &
terpilih”.Jakarta, Qisthi Press, 2011.
Lamintang P.A.F dan Teo Lamintang, Delik – Delik Khusus Kejahatan
Terhadap Kepentingan Hukum Negara. Jakarta: Sinar Grafika,
2010).
Majid, Abdul Khon. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2013.
Mamudji, Sri. Metode Penelitian dan Penelitian Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
Marbun, Rocky.Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum. Jakarta: Visi
Media, 2011.
Mardani. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Moeleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002.
Mufid, Nur dan Fuad, Nur. Bedah Al- Ahkamus Sulthaniyah. Surabaya:
Pustaka Progressif,2000.
Muhammad, Maulana Zakariya al Kandhalawi, Himpunan Kitab Fadhilah
Amal. Bandung: Pustaka Zaadul Ma’aad,2007.
Mulkanasir. Kepemimpinan Dakwah Menuju Paradigma Dakwah yang
Profesional. Ciputat :Grafika Karya Utama, 2015.
Murad, Musthafa. Kisah Hidup Utsman bin Affan. Jakarta: Dar al-Fajr.
2007.
Narkobo Cholid dan Achmad Abu, Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi
Pustaka, 1997.
Nuh, Bin dan Omar, Bakry. Kamus Arab – Indonesia – Inggris-Indonesia
Inggris, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya,2001.
84
Sadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran. Jakarta: UI Press,1990.
Sakidjo, Arian dan Poernomo, Bambang. Hukum Pidana Dasar Aturan
Umum Hukum Pidana Kondifikasi. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1988.
Sugandhi, R. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, 1980.
Sukandarrumidi. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2004.
Soekanto Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia, 1986.
Soemantri, Sri. Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan
Pandangan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2014.
Syalabi, A. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra,
1997.
Taimiyah, Ibnu. Sharimul Maslul : Hukuman Mati Bagi Penghina Nabi.
Penerjemah Rohmatullah Ngimaduddin. Solo, Al- Qowam, 2014.
Usman, Suparman. Hukum Islam, Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum
Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001.
Widodo, Supriyadi Eddyono dan A. Gofar, Fajrimei. Menelisik Pasal-
Pasal Proteksi Negara dalam RUU KUH. Jakarta: ELSAM dan
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2007.
B. INTERNET
https://www.scribd.com/doc/233568293/Profile-Eggi-Sudjana-Integritas
http://news.detik.com/berita/1716086/kronologi-eggi-sudjana-divonis-
bersalah-karena-menghina-presiden “
http://hminews.com/2011/09/news/politik/ma-menghukum-eggi-sudjana-
karena-menghina-presiden/
http://news.detik.com/berita/1722421/tetap-dihukum-karena-menghina-
presiden-eggi-sudjana-mengadu-ke-ky-dan-dpr
85
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150804125659-12-69964/yusril-
pasal-penghinaan-presiden-semula-untuk-ratu-belanda/
http://nasional.kompas.com/read/2015/08/14/15000031/Hukum.Menghina.
Presiden?page=all%2010.
http://indonesiapolicewatch.com/adil/pengadilan.php?act=open&idberita=
9688
85
LAMPIRAN
Top Related