PENGARUH PENINGKATAN HARGA KEDELAI TERHADAP
KEUNTUNGAN DAN NILAI TAMBAH INDUSTRI TAHU DI
DESA LEUWEUNG KOLOT KECAMATAN CIBUNGBULANG
KABUPATEN BOGOR
VERANI RESTIA WIJAYA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI DAN PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Peningkatan
Harga Kedelai terhadap Keuntungan dan Nilai Tambah Industri Tahu di Desa
Leuweung Kolot Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Verani Restia Wijaya
NIM H34100162
ABSTRAK
VERANI RESTIA WIJAYA. Pengaruh Peningkatan Harga Kedelai terhadap
Keuntungan dan Nilai Tambah Industri Tahu di Desa Leuweung Kolot Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI.
Kedelai merupakan bahan baku utama dalam usaha olahan kedelai seperti
tahu dan tempe. Kenaikan harga kedelai berdampak pada keberlanjutan usaha tahu
terutama industri tahu dengan modal dan akses terbatas. Penelitian ini bertujuan
menganalisis pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap struktur biaya,
keuntungan, dan nilai tambah pada industri tahu di Desa Leuweung Kolot.
Analisis yang digunakan terdiri dari analisis keuntungan, analisis penerimaan dan
R/C rasio, dan analisis nilai tambah menggunakan metode Hayami. Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kenaikan harga kedelai
mempengaruhi struktur biaya dan keuntungan industri tahu. Peningkatan pada
keuntungan yang diterima didasarkan pada strategi yang dilakukan oleh industri
tahu dengan meningkatkan harga jual tahu dan memperkecil ukuran tahu.
Begitupun dengan analisis nilai tambah yang menunjukkan bahwa kenaikan harga
kedelai juga mempengaruhi nilai tambah yang dihasilkan oleh industri tahu di
Desa Leuweung Kolot.
Kata kunci: Kedelai, keuntungan, nilai tambah
ABSTRACT
VERANI RESTIA WIJAYA. The Effect of Increasing Soybean Price Toward
Profit and Value-Added of Tofu Industry in Leuweung Kolot Village
Cibungbulang Subdistricts Bogor Districts. Supervised by ANNA FARIYANTI.
Soybean is the important ingredient in soybean processing enterprises such as
tofu and tempeh. The increase of soybean price that has affects the business
sustainability of the household tofu industry who have limited capital and
accessibility. The objective of this research is to analyse the effect of increasing
soybean price to the cost structure, profit, and value-added of the tofu industry in
Leuweung Kolot village. The analysis used in this study consisted of analysis for
calculating profit, analysis of revenue and R/C ratio, also the value-added analysis
by using Hayami method. Based on the research that had been conducted showed
that the increase in soybean price affected the cost structure and profit of tofu
industry. The increase in profit based on the strategy undertaken by the tofu
industry to increase the selling price and decrease the size of tofu. Likewise with
value added analysis indicated that the increase in soybean prices also affected the
value added generated by the tofu industry in Leuweung Kolot village.
Keywords: Profit, soybean, value added
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
PENGARUH PENINGKATAN HARGA KEDELAI TERHADAP
KEUNTUNGAN DAN NILAI TAMBAH INDUSTRI TAHU DI
DESA LEUWEUNG KOLOT KECAMATAN CIBUNGBULANG
KABUPATEN BOGOR
VERANI RESTIA WIJAYA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Pengaruh Peningkatan Harga Kedelai terhadap Keuntungan dan
Nilai Tambah Industri Tahu di Desa Leuweung Kolot Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor
Nama : Verani Restia Wijaya
NIM : H34100162
Disetujui oleh
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Dwi Rachmina, MSi
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pengaruh Peningkatan Harga Kedelai terhadap Keuntungan dan Nilai Tambah
Industri Tahu di Desa Leuweung Kolot Kecamatan Cibungbulang Kabupaten
Bogor”. Shalawat dan salam senantiasa diucapkan kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai pemimpin dan suri tauladan terbaik bagi seluruh umat manusia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MSi selaku
pembimbing, Ibu Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji utama, dan Ibu
Anita Primaswari Widhiani, SP. Msi selaku dosen penguji komisi pendidikan
yang telah memberikan banyak ide dan masukan dalam pembuatan skripsi ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr Ir Wahyu Budi Priatna, MSi
yang senantiasa memberikan arahan dan dukungan dan membantu dalam
menjalani masa-masa perkuliahan sebagai wali akademik. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada ibu, bapak, abang, adik dan seluruh keluarga atas
dukungan, doa, dan kasih sayang yang diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa, ucapan terima kasih dan apresiasi penulis
kepada seluruh industri tahu di Desa Leuweung Kolot yang telah bersedia menjadi
responden dan membantu memberikan informasi dalam penelitian ini. Terima
kasih penulis ucapkan kepada Pratica Dewi yang telah bersedia menjadi pembahas
dalam seminar skripsi atas saran dan masukan yang telah diberikan. Selanjutnya
terima kasih untuk teman-teman Agribisnis 47 khususnya teman sebimbingan
skripsi serta sahabat terkasih atas segala dukungan, motivasi, semangat dalam
penyelesaian tugas akhir.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014
Verani Restia Wijaya
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 7
TINJAUAN PUSTAKA 7
Gambaran Umum Industri Tahu 7
Analisis Keuntungan 8
Analisis Nilai Tambah 9
Perbandingan Penelitian Dengan Penelitian Terdahulu 9
KERANGKA PEMIKIRAN 10
Kerangka Pemikiran Teoritis 10
Kerangka Pemikiran Operasional 16
METODE PENELITIAN 19
Lokasi dan Waktu Penelitian 19
Jenis dan Sumber Data 19
Metode Pengumpulan Data 19
Metode Pengolahan dan Analisis Data 20
GAMBARAN UMUM PENELITIAN 24
Gambaran Umum Desa Leuweung Kolot 24
Gambaran Umum Usaha Tahu Desa Leuweung Kolot 25
Proses Produksi Tahu 28
Kebutuhan Peralatan Produksi 29
HASIL DAN PEMBAHASAN 30
Analisis Struktur Biaya Usaha Tahu 30
Biaya Variabel Usaha Tahu 31
Biaya Tetap Usaha Tahu 33
Biaya Total Usaha Tahu 34
Penerimaan, Keuntungan dan R/C Rasio Usaha Tahu di Desa
Leuweung Kolot 35
Analisis Uji Beda T-Paired 37
Analisis Nilai Tambah 39
SIMPULAN DAN SARAN 42
Simpulan 42
Saran 42
DAFTAR PUSTAKA 42
LAMPIRAN 45
RIWAYAT HIDUP 59
DAFTAR TABEL
1 Volume impor komoditas tanaman pangan Indonesia 2010-2013 1 2 Perkembangan konsumsi bahan makanan mengandung kedelai di
rumah tangga tahun 2009-2012 2 3 Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman kedelai Provinsi
Jawa Barat 3 4 Rekap Anggota KOPTI Kabupaten Bogor per wilayah pelayananan
tahun 2012 19 5 Nilai tambah menurut metode Hayami 23
6 Mata pencaharian penduduk Desa Leuweung Kolot 25 7 Karakteristik responden pelaku industri tahu 26 8 Karakteristik responden berdasarkan cara pemasaran 27 9 Rata-rata penggunaan input sebelum dan setelah kenaikan harga
kedelai industri tahu di Desa Leuweung Kolot 31 10 Rata-rata biaya variabel sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai
industri tahu di Desa Leuweung Kolot 32 11 Rata-rata biaya tetap industri tahu di Desa Leuweung Kolot 33 12 Rata-rata total biaya produksi usaha tahu sebelum dan setelah
kenaikan harga kedelai di Desa Leuweung Kolot 34 13 Rata-rata penerimaan industri tahu sebelum dan setelah kenaikan
harga kedelai di Desa Leuweung Kolot 35
14 Efisiensi rata-rata biaya industri tahu sebelum dan setelah kenaikan
harga kedelai di Desa Leuweung Kolot 36 15 Analisis uji beda t-paired rata-rata keuntungan dan R/C rasio sebelum
dan setelah kenaikan harga kedelai industri tahu di Desa Leuweung
Kolot 38 16 Perhitungan rata-rata nilai tambah industri tahu sebelum dan setelah
kenaikan harga kedelai di Desa Leuweung Kolot 40
DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan harga kedelai Indonesia periode Januari 2010 - Maret
2013 4 2 Kurva produk total, produk rata-rata, dan produk marjinal 10
3 Kurva perubahan harga input terhadap biaya 12 4 Kurva total biaya variabel , total biaya tetap, dan biaya total terhadap
keuntungan 14 5 Kerangka pemikiran operasional 18
DAFTAR LAMPIRAN
1 Rata-rata jumlah dan harga peralatan produksi industri tahu di Desa
Leuweung Kolot 45 2 Volume impor komoditas tanaman pangan Indonesia, 2010-2013 45 3 Struktur biaya industri tahu sebelum kenaikan harga kedelai 46 4 Struktur biaya industri tahu setelah kenaikan harga kedelai 49 5 Penerimaan industri tahu sebelum kenaikan harga kedelai 52 6 Penerimaan industri tahu setelah kenaikan harga kedelai 53 7 Rata-rata total biaya per bulan yang dikeluarkan industri tahu
sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai 54 8 Uji beda t-paired keuntungan dan R/C rasio sebelum dan setelah
kenaikan harga kedelai 55 9 Perhitungan nilai tambah industri tahu sebelum dan setelah kenaikan
harga kedelai 57 10 Rekap anggota KOPTI Kabupaten Bogor per wilayah pelayanan
tahun 2012 58
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketahanan pangan merupakan akses setiap rumah tangga atau individu
dalam memperoleh pangan setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat.
Indonesia termasuk dalam salah satu dari beberapa negara yang terus mencoba
menetapkan program ketahanan pangan demi kebutuhan gizi masyarakat. Namun,
ketahanan pangan di Indonesia saat ini mengalami beberapa kendala karena dari
lima komoditas utama pangan di Indonesia, dua komoditas diantaranya masih
sangat bergantung pada impor yaitu kedelai dan daging (Kementerian
Perindustrian 2014).
Kedelai merupakan pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia. Dilihat dari perkembangan pertanian komoditas kedelai, setiap
tahunnya Indonesia membutuhkan sebanyak 2 juta ton kedelai untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Namun, kondisi di lapang petani hanya mampu
memenuhi 60% dari total kebutuhan tersebut. Hal ini mengindikasi bahwa pada
nyatanya Indonesia sendiri masih belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
sehingga harus melakukan impor kedelai dari Amerika untuk pemenuhan
permintaan kedelai masyarakat (Kementerian Perindustrian 2014). Berdasarkan
data yang dicatat BPS, kedelai termasuk pada nomor kedua yang memiliki volume
impor terbesar. Kondisi volume impor untuk komoditas pangan terutama kedelai
segar dan kedelai olahan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Volume impor komoditas tanaman pangan Indonesia 2010-2013
Komoditas 2010
(Ton)
2011
(Ton)
2012
(Ton)
2013
(Ton)
Tw. I Tw. II Tw. III
Beras Segar 687 582 2 744 002 1 927 330 114 269 129 548 109 668
Beras Olahan 1 259 233 2 9 0.1
Gandum Segar 4 824 049 5 648 065 6 827 279 1 311 499 1 999 558 1 587 678
Gandum Olahan 900 963 828 512 610 336 64 249 61 291 68 025
Jagung Segar 1 527 517 3 207 657 1 797 876 741 408 549 491 624 690
Jagung Olahan 259 294 103 327 91 555 15 768 11 920 21 865
Kedelai Segar 1 740 505 2 088 616 2 105 629 234 926 627 532 350 036
Kedelai Olahan 32 158 36 896 23 134 4 425 6 351 6 972
Sumber : BPS 2013
Pada Tabel 1 dijelaskan bahwa volume impor untuk kedelai terbagi dua
yaitu impor kedelai segar dan impor kedelai olahan. Berdasarkan data tersebut
dpata dilihat bahwa ada peningkatan yang cukup signifikan pada volume impor
kedelai segar dari tahun 2010 hingga 2012. Bahkan pada triwulan II di tahun 2013,
Indonesia sudah mengimpor 627 532 ton kedelai segar untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Selain kedelai segar, pemerintah juga mengimpor kedelai
dalam bentuk kedelai olahan. Volume impor kedelai olahan ini jauh lebih rendah
dibandingkan dengan kedelai segar, karena permintaan kedelai di Indonesia
cenderung lebih kepada kedelai segar daripada kedelai olahan. Hal ini disebabkan
2
di Indonesia sangat banyak industri tahu dan tempe yang memanfaatkan kedelai
segar sebagai bahan baku utama dan hampir semuanya berasal dari kedelai impor.
Jika dilihat pada Tabel 1 di atas, kedelai merupakan komoditas pangan impor
dengan volume terbesar kedua setelah gandum. Dengan kenaikan jumlah impor
ini akan semakin mengancam petani khususnya petani tanaman pangan yang ada
di Indonesia.
Tingginya volume impor kedelai di Indonesia disebabkan adanya
permintaan yang tinggi akan kedelai. Besarnya permintaan kedelai mengindikasi
tingginya tingkat konsumsi masyarakat akan kedelai baik dalam bentuk kedelai
segar atau olahan kedelai. Bentuk olahan kedelai tersebut dapat berupa tahu,
tempe, tauco, oncom, dan kecap. Perkembangan konsumsi bahan makanan
mengandung kedelai di rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perkembangan konsumsi bahan makanan mengandung kedelai di rumah
tangga tahun 2009-2012
Tahun Konsumsi (kg/kapita/tahun)
Kedelai Segar Tahu Tempe Tauco Oncom Kecap
2009 0.0521 7.0393 7.0393 0.0209 0.0626 0.6205
2010 0.0521 6.9871 6.9350 0.0209 0.0469 0.6643
2011 0.0521 7.4043 7.3000 0.0313 0.0730 0.6716
2012 0.0521 6.9871 7.0914 0.0261 0.0626 0.5694
Sumber: BPS 2013
Berdasarkan Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa dari tahun 2009 hingga 2012
konsumsi rumah tangga untuk kedelai segar sama yaitu sebesar 0.0521
kg/kapita/tahun. Sedangkan untuk produk olahan kedelai seperti tahu dan tempe
berfluktuasi dari tahun 2009-2012. Tingkat konsumsi untuk tahu dan tempe dapat
dikatakan jauh lebih tinggi dibanding olahan kedelai lain berupa tauco, oncom,
dan kecap. Kondisi ini juga dapat dilihat dari banyaknya industri tahu dan tempe
rumah tangga di Indonesia. Meskipun nilainya berfluktuasi namun konsumsi
rumah tangga untuk bahan makanan mengandung kedelai tidak berbeda jauh tiap
tahunnya.
Tingginya permintaan masyarakat Indonesia menyebabkan kondisi dimana
ketika kedelai lokal tidak mampu dipenuhi maka mengimpor kedelai dari luar
negeri menjadi alternatif pemenuhan permintaan tersebut yang mengakibatkan
volume impor kedelai semakin meningkat tiap tahunnya. Adanya ketergantungan
pemerintah Indonesia terhadap kedelai impor Amerika yang semakin meningkat,
menimbulkan beberapa alternatif pengganti komoditi kedelai sebagai bahan baku
usaha tahu dan tempe untuk mengurangi ketergantungan impor tersebut. Alternatif
tersebut salah satunya adalah mengimpor kacang lupin dari Australia.
Lupin merupakan tanaman alami dan bukan produk hasil modifikasi genetik.
Meskipun kandungan proteinnya tidak berbeda jauh dengan kedelai, namun
kacang lupin memiliki kandungan serat yang lebih tinggi. Tanaman lupin hanya
tumbuh di Australia Barat dalam skala besar. Meskipun dapat diproduksi cukup
untuk menggantikan semua kedelai impor, lupin bukan komoditas perdagangan
dunia dan memiliki harga yang lebih stabil yang umumnya jauh lebih rendah dari
harga kedelai (Lupin Foods Australia 2013).
Puskopti Jawa Tengah berencana untuk mengimpor kacang lupin dari
Australia sebagai pengganti kedelai akibat tingginya harga kedelai yang tidak
3
mampu dibeli oleh industri tempe di daerah tersebut. Selain kandungan kacang
lupin yang lebih banyak dibanding kedelai, untuk harganya kacang lupin memiliki
harga jual yang lebih murah dibanding kedelai yaitu Rp6 500 per kilogram.
Namun kacang lupin ini belum digunakan oleh semua industri tahu dan tempe di
Indonesia karena kondisi kacang lupin yang memiliki kadar asam lebih tinggi
membuat tempe yang dihasilkan menjadi lengket meskipun kandungan proteinnya
lebih tinggi dari kedelai dan belum diuji oleh semua industri olahan kedelai (Galih
2013).
Salah satu daerah yang memiliki produksi kedelai tertinggi di Indoensia
adalah provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data BPS (2013), kondisi lahan yang
tersedia untuk budidaya kedelai berfluktuasi. Berdasarkan catatan evaluasi BPS
mengenai luas panen, produktivitas, dan produksi khususnya Provinsi Jawa Barat
terlihat berfluktuasi namun cenderung menurun dari ketiga aspek tersebut.
Kondisi luas panen, produktivitas, dan produksi tersebut dapat dilihat pada Tabel
3.
Tabel 3 Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman kedelai Provinsi Jawa
Barat
Tahun Luas Panen(Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton)
2009 41 775.00 14.42 60 257.00
2010 36 700.00 15.21 55 823.00
2011 35 674.00 15.74 56 166.00
2012 30 345.00 15.63 47 426.00
2013 32 813.00 14.82 48 636.00
Sumber : BPS 2013
Pada Tabel 3 dijelaskan bahwa sejak tahun 2009 - 2013 luas panen per Ha
dari tanaman kedelai berfluktuasi namun cenderung menurun terutama sejak tahun
2011. Penurunan luas panen seiring dengan produktivitas dan produksi tanaman
kedelai Indonesia yang semakin lama semakin berkurang. Hal ini disebabkan
adanya tingkat konversi lahan pertanian di Indonesia yang terus meningkat
terutama di Pulau Jawa termasuk Jawa Barat. Adanya konversi lahan yang
menimbulkan menurunnya produksi tanaman kedelai Indonesia tentunya semakin
menyulitkan pemerintah untuk memenuhi permintaan akan kedelai yang tidak
dapat ditutupi dengan pasokan yang ada sehingga kebutuhan impor kedelai
menjadi lebih tinggi.
Kenaikan harga kedelai cenderung dipicu karena adanya peningkatan impor
kedelai sehingga perubahan harga kedelai bergantung pada kondisi eksternal dan
permasalahan ekonomi yang terjadi di negara produsen tersebut. Selain itu
penyebab naiknya harga kedelai juga disebabkan adanya kenaikan nilai mata uang
dollar terhadap rupiah atau depresiasi nilai rupiah yang sempat mencapai Rp11
000 per dollar.
Jika dilihat pada data Ditjen PPHP (2013), sejak bulan Januari 2010 hingga
Maret 2013 (Minggu IV), trend harga kedelai cenderung meningkat di kabupaten
sentra produksi 0.54 persen dan di Kota Besar meningkat 0.3 persen. Harga rerata
Maret 2013 dibandingkan dengan Februari 2013 di kabupaten sentra produksi
menurun 3.21 persen, dan di beberapa kota besar menurun 2.48 persen. Harga
rerata Minggu IV Maret 2013 dibandingkan dengan Minggu III Maret 2013 di
4
kabupaten sentra produksi meningkat 0.78 persen dan di beberapa kota besar
tidak mengalami perubahan. Hal ini dapat diproyeksikan pada Gambar 1 dibawah
ini.
Sumber: (Ditjen PPHP 2013)
Harga kedelai di Kabupaten Bogor pada September 2013 sempat mencapai
Rp9 000 – Rp9 300 per kilogram dari harga awal Rp7 000. Kondisi ini membuat
biaya produksi pengusaha tahu meningkat. Bahkan dengan melakukan strategi
mengecilkan ukuran komoditi ternyata tidak mampu menekan biaya produksi,
malah membuat jumlah permintaan menjadi turun karena ukurannya yang kecil
konsumen tidak ingin membeli (Saputra 2014).
Keuntungan yang diterima oleh industri tahu bergantung kepada penjualan
tahu dan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi tahu tersebut. Dengan
kondisi kenaikan harga kedelai ini keuntungan yang diterima oleh industri
berubah karena adanya peningkatan biaya produksi dan jumlah penjualan yang
belum dapat diperkirakan agar dapat menutupi biaya modal. Selain itu, jumlah
permintaan input dari industri tahu juga dipengaruhi oleh permintaan konsumen
terhadap tahu. Hal ini mengakibatkan industri tahu mulai memikirkan cara lain
agar usaha tahu mereka tidak bangkrut dan produk tahu tetap dibeli oleh
konsumen karena adanya permasalahan tersebut.
Kedelai memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi menjadikan kedelai
sebagai tanaman pangan karena dapat mensubsitusi komoditas pangan lain seperti
padi, jagung, dan tanaman lainnya. Selain itu, tingkat konsumsi kedelai di
Indonesia pun cenderung semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena kedelai
termasuk tanaman pangan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat selain beras
dan daging. Semakin tinggi tingkat konsumsi masyarakat tentu akan semakin
meningkatkan jumlah permintaan akan kedelai. Hal ini dapat berlangsung baik
jika Indonesia tidak bergantung kepada impor dan lebih mengutamakan kedelai
lokal dengan memperbaiki kualitasnya. Namun, pada kenyataannya semakin
tinggi permintaan kedelai maka semakin besar ketergantungan akan kedelai impor
di Indonesia.
Gambar 1 Perkembangan harga kedelai Indonesia periode Januari 2010 - Maret
2013
5
Produk turunan dari kedelai berupa tahu merupakan produk yang banyak
dikonsumsi oleh masyarakat baik dari kalangan bawah hingga kalangan atas. Tahu
sudah menjadi makanan yang konsumsi setiap hari bagi beberapa keluarga.
Namun tahu hampir menjadi barang mahal karena adanya kenaikan kedelai
sebagai bahan baku utama pembuatan tahu. Kondisi ini tidak hanya membuat
konsumen harus mengeluarkan biaya lebih tapi juga mengurangi keuntungan yang
diterima oleh industri tahu. Permintaan terhadap tahu ini masih tinggi karena
harga daging dan ikan yang juga jauh lebih mahal dibandingan tahu. Sehingga
masyarakat tetap membeli tahu meskipun ukurannya lebih kecil untuk menutupi
kekurangan biaya dari pihak industri tahu/produsen.
Desa Leuweung Kolot Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu
daerah indutri tahu di Kabupaten Bogor. Di daerah ini industri tahu sudah menjadi
mata pencaharian penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jumlah
industri tahu di kecamatan ini lebih banyak dibanding industri tempe. Selain itu
produk olahan kedelai berupa tahu ini memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding
dengan tempe. Berdasarkan penelitian (Tunggadewi, 2009) nilai tambah pada
usaha tahu lebih tinggi dibanding dengan usaha tempe. Hal ini disebabkan proses
produksi tahu lebih singkat dibanding proses produksi tempe. Sehingga
keuntungan yang didapat oleh industri tahu pun lebih banyak dibanding industri
tempe. Namun, dengan adanya peningkatan harga kedelai mengakibatkan
keuntungan industri tahu menjadi tidak stabil karena meningkatnya biaya
produksi sehingga usaha tahu penduduk setempat memerlukan adanya pengolahan
produk untuk meningkatkan nilai tambah dari produk tersebut agar keuntungan
industri tidak semakin rendah dan dapat mempertahankan usaha tahunya.
Perumusan Masalah
Perkembangan harga kedelai di Indonesia pada tahun 2013 ini makin lama
semakin meningkat. Menurut Aip Syaifuddin selaku Ketua Umum Gabungan
Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) menyatakan bahwa
harga kedelai sudah mencapai Rp8 900 - Rp10 000 per kilogram di awal
September 2013. Harga ini dinilai sebagai harga kedelai tertinggi sepanjang
sejarah. Pada awal Juli, harga beli dari industri mencapai Rp7 450, kemudian pada
bulan Agustus harga naik menjadi Rp7 700. Pada akhir Agustus harga melambung
menjadi Rp9 000 – Rp10 000. Kenaikan harga kedelai saat ini lebih dipicu oleh
adanya gejolak depresiasi rupiah. Kondisi ini juga berlaku di Kabupaten Bogor.
Pengusaha tahu yang ada di Bogor harus menekan biaya produksi mereka agar
tidak bangkrut. Naiknya harga kedelai di Bogor membuat beberapa pengusaha
tahu sempat kebingungan untuk mengembalikan modal (Toyudho 2014).
Kedelai merupakan bahan baku utama industri tahu, namun kedelai sendiri
masih sangat bergantung pada impor. Apabila terjadi kenaikan mata uang dollar
terhadap rupiah seperti saat ini maka biaya input industri kedelai pun akan
meningkat dan harga tahu di pasaran pun akan naik. Kenaikan harga kedelai ini
memberatkan pihak produsen atau industri tahu karena adanya kenaikan biaya
input tersebut belum tentu dapat menaikkan harga tahu secara serentak. Industri
tahu mungkin bisa memperkecil ukuran produk olahannya atau menaikkan harga
tetapi dengan jumlah penjualan yang lebih sedikit dari biasanya. Selain dampak
6
pada indutri atau usaha tahu, kenaikan harga kedelai ini juga berimbas pada
jumlah keuntungan yang diterima oleh industri tahu. Apabila harga kedelai naik
maka biaya input dan produksi untuk usaha tahu juga meningkat, akibatnya
keuntungan yang diterima industri tahu mungkin akan lebih rendah dari
sebelumnya karena jumlah pembeli berkurang dan mulai mencari barang subsitusi
lainnya yang lebih murah.
Kenaikan harga pada kedelai juga berpengaruh terhadap nilai tambah tahu.
Kenaikan harga input berpengaruh pada pemintaan industri tahu akan input
berupa kedelai dan output yang dihasilkan. Perubahan permintaan ini dipengaruhi
adanya perubahan permintaan dari konsumen karena harga tahu yang ikut naik
saat harga kedelai meningkat. Perubahan pada jumlah input dan output akan
berpengaruh pada besaran nilai tambah yang mampu dihasilkan oleh industri tahu.
Pada penelitian ini juga akan dilihat pengaruh yang ditimbulkan ketika harga
kedelai meningkat pada nilai tambah indutri tahu.
Kabupaten Bogor memiliki jumlah industri UMKM yang cukup banyak dan
menyebar. Salah satunya di Desa Leuweung Kolot Kecamatan Cibungbulang.
Daerah ini termasuk dalam salah satu sentra industri tahu di Kabupaten Bogor
dengan kebutuhan kedelai yang cukup tinggi per bulannya. Berdasarkan data
KOPTI (2013), Kecamatan Cibungbulang memiliki jumlah anggota sebanyak 34
orang dengan tenaga kerja industri tahu dan tempe yang berjumlah 185 orang.
Selain itu, jumlah kebutuhan kedelai perbulannya di kecamatan ini sebesar 97 350
kg kedelai.
Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa hal yang dapat dibahas
dalam penelitian ini, diantaranya :
1. Bagaimana pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap struktur biaya
industri tahu di Desa Leuweung Kolot Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor?
2. Apakah kenaikan harga kedelai berpengaruh terhadap keuntungan yang
diterima industri tahu di Desa Leuweung Kolot Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor?
3. Bagaimana pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap nilai tambah yang
dihasilkan oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor?
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap struktur biaya
industri tahu di Desa Leuweung Kolot Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor
2. Menganalisis pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap keuntungan yang
diterima industri tahu di Desa Leuweung Kolot Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor
3. Menganalisis nilai tambah yang dihasilkan industri tahu sebelum dan
setelah kenaikan harga di Desa Leuweung Kolot Kecamatan Cibungbulang
Kabupaten Bogor.
7
Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah terkait dengan kebijakan
dalam mengatasi dampak kenaikan harga kedelai khususnya bagi industri
tahu
2. Menjadi bahan informasi bagi pemerintah khususnya di Desa Leuweung
Kolot Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor mengenai kondisi
industri tahu di daerah tersebut setelah adanya kenaikan harga kedelai
sehingga dapat membantu industri di industri tersebut dalam mengatasi
permasalahannya.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Industri Tahu
Menurut Soekartawi (2000), agroindustri merupakan industri yang
berbahan baku utama dari produk pertanian. Agroindustri memiliki peranan yang
penting dalam pembangunan pertanian. Hal ini terlihat dari kontribusinya dalam
meningkatkan keuntungan pelaku agribisnis, penyerapan tenaga kerja,
meningkatkan devisa, dan mendorong pertumbuhan industri lain.
Afianti (2011) menyatakan bahwa terdapat respon yang berbeda-beda dari
responden rumah tangga mengenai keberadaan industri tahu. Industri pengolahan
tahu ini memiliki limbah cair yang dibuang ke sungai di lingkungan masyarakat
sekitar. Hal ini berdampak pada pencemaran lingkungan seperti ketersediaan air
bersih dan kurang nyamannya lingkungan tempat tinggal. Namun, industri tahu ini
juga dianggap penting oleh masyarakat lain karena kebutuhan akan produk olahan
tahu dan tempe yang semakin hari semakin meningkat.
Pada penelitian Setianingsih (2007) menyatakan bahwa kinerja dari usaha
tahu rumah tangga Tahu Pong di Kecamatan Kartsura Kabupaten Sukoharjo, Jawa
tengah mengalami perubahan yang disebabkan adanya kenaikan harga BBM. Hal
ini dilihat dari analisis yang dilakukan pada penerimaan, biaya, dan keuntungan
usaha tahu. Penerimaan dan total biaya dari usaha tahu pong tersebut mengalami
peningkatan. Namun keuntungannya berkurang sebesar 8.49 persen. Penerimaan
usaha tahu meningkat karena pemilik usaha tahu melakukan pengurangan ukuran
atau peningkatan harga jual tahu sedangkan total biaya usaha tahu meningkat
karena adanya peningkat pada beberapa input yang digunakan untuk mengolah
kedelai menjadi tahu.
Berdasarkan wawancara dengan KOPTI Kabupaten Bogor, hampir seluruh
anggota KOPTI yang merupakan industri tahu ini membeli bahan baku kedelai
impor yang 100% diimpor KOPTI. Hal inilah yang menimbulkan adanya
kenaikan harga kedelai yang terus berfluktuasi akibat impor kedelai yang
dipengaruhi oleh faktor ekternal terkait perekonomian negara asal impor.
Meskipun sama-sama berperan sebagai industri pengolahan kedelai, namun
industri skala kecil tahu memiliki profitabilitas yang lebih tinggi dibanding usaha
tempe. Hasil perhitungan profitabilitas yang dilakukan oleh Tunggadewi (2009)
menunjukkan bahwa tingkat profitabilitas usaha yang lebih tinggi adalah usaha
tahu sebesar 38 persen, sedang usaha tempe sebesar 28 persen. Perhitungan
8
analisis nilai tambah juga menunjukkan bahwa usaha yang memiliki nilai tambah
lebih besar adalah usaha tahu dengan nilai sebesar Rp6 881, sedang untuk menjadi
tempe sebesar Rp4 947. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan
penghematan biaya pada usaha tempe, agar struktur biayanya lebih efisien dan
mendapatkan keuntungan lebih besar. Salah satunya dengan menghemat biaya
perawatan, menggunakan peralatan produksi yang lebih tahan lama, dan menjaga
kebersihan peralatan.
Analisis Keuntungan
Analisis keuntungan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk
mengetahui bagaimana penerimaan yang diterima oleh suatu usaha terhadap biaya
yang dikeluarkan. Sehingga dengan analisis ini dapat diketahui apakah usaha
layak untuk tetap dijalankan atau tidak.
Amalia (2008) pada studi kasus di Desa Citeureup Kecamatan Citeureup
Kabupaten Bogor menyatakan bahwa biaya total usaha tempe pada usaha tempe
mengalami peningkatan sebesar 6.38 persen. Begitu pula dengan total biaya tunai
yang harus dikeluarkan oleh para industri mengalami peningkatan sebesar 6.41
persen. Hal ini disebabkan kedelai merupakan penggunaan input terbesar untuk
memproduksi tempe dengan proporsi atas total biaya pada kondisi sebelum dan
setelah kenaikan harga kedelai masing-masing sebesar 83.96 persen dan 87.40
persen. Penelitian yang menggunakan pendekatan Stochastic Frontier ini
menunjukkan besarnya keuntungan kotor usaha yang mengalami penurunan
sebesar 49.47 persen. Keuntungan atas biaya total merupakan keuntungan usaha
tempe. Besarnya keuntungan mengalami penurunan sebesar 50.27 persen.
Sehingga pada perhitungan R/C menghasilkan nilai lebih besar dari satu yaitu
sebesar 1.11 untuk biaya total setelah kenaikan harga kedelai dan 1.12 untuk biaya
tunai setelah kenaikan harga kedelai. Hal ini berarti bahwa usaha tempe di Desa
Citeureup ini layak untuk dijalankan.
Patmawaty (2009) melakukan penelitian pada industri tahu di Desa Bojong
Sempu Kecamatan Parung mengenai analisis keuntungan industri terhadap
kenaikan harga kedelai. Pada penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa adanya
penurunan produksi setelah kenaikan harga kedelai mengakibatkan penurunan
penerimaan total usaha yang lebih besar dari penurunan biaya usaha untuk tahu
menyebabkan keuntungan yang diterima tahu mengalami penurunan sebesar 36.11
persen untuk keuntungan tunai dan 47.12 persen untuk keuntungan bersih. Untuk
nilai R/C atas biaya tunai dan biaya total pun mengalami penurunan yaitu R/C
atas biaya tunai dari 1.48 pada kondisi sebelum terjadi kenaikan harga kedelai
menjadi 1.39 pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai. Nilai R/C atas biaya
total mengalami penurunan 1.36 pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai
menjadi 1.27 setelah kenaikan harga kedelai. Namun usaha ini masih layak untuk
dijalankan karena nilai R/C masih berada diatas satu.
Ambarwangi (2013) menganalisis usaha pengrajin tahu sumedang sebelum
dan setelah kenaikan harga kedelai. Pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa
adanya kenaikan harga kedelai berpengaruh pada struktur biaya, penerimaan,
keuntungan, dan R/C rasio serta skala usaha industri tahu. selain itu, pada uji beda
yang dilakukan diperoleh hasil bahwa hasil analisis pada berbagai tingkat skala
9
usaha tidak berbeda. Hal ini disebabkan jumlah sampel kecil dan strategi yang
dilakukan juga relatif sama pada tiap skala usaha sehingga tidak mewakili seluruh
populasi yang ada di Kecamatan Tanjungsari, Sumedang.
Analisis Nilai Tambah
Analisis nilai tambah merupakan selisih dari nilai output dengan harga
bahan baku dan sumbangan input lain (Putri 2013). Analisis ini digunakan untuk
mengetahui terhadap produk apa sebaiknya suatu bahan baku diolah sehingga
menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi bagi pelaku usaha.
Pada penelitian Sinaga (2008) mengenai nilai tambah kedelai di Kabupaten
Bogor yang melakukan analisis nilai tambah kedelai menjadi produk olahan
tempe memiliki tingkat keuntungan sebesar 66.89 persen dari nilai tambah yang
merupakan keuntungan industri. Marjin yang diperoleh dari usaha tersebut adalah
sebesar Rp3 385.00. marjin ini didistribusikan 21.50 persen sebagai imbalan bagi
tenaga kerja. 35.03 persen bagi sumbangan input lain, dan 43.45 persen bagi
keuntungan industri tempe.
Menurut penelitian Tunggadewi (2009) dengan menggunakan metode
Hayami didapat perbandingan bobot berat tahu dan dengan jumlah bahan baku
pada satu hari menghasilkan faktor konversi sebesar 2.7 yang menandakan bahwa
setiap kilogram kedelai yang diolah menghasilkan 2.7 kilogram tahu. Nilai
tambah yang diperoleh dari pengolahan kedelai menjadi tahu adalah sebesar Rp6
881 per kilogram kacang kedelai dengan rasio 51 persen. Berdasarkan perhitungan
tersebut, keuntungan yang diterima usaha tahu sebesar Rp6 381 dengan bagian
keuntungan yang diperoleh adalah 92 persen. Pada kasus ini keuntungan nilai
tambah pemilik usaha tahu lebih besar dibanding keuntungan tenaga kerjanya.
Perbandingan Penelitian Dengan Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelitian terdahulu, untuk menganalisis dampak dari kenaikan
harga kedelai terhadap industri tahu dan tempe digunakan konsep biaya,
keuntungan, hingga perhitungan penerimaan dan biaya. Pada penelitian ini, alat
analisis yang digunakan sama dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Patmawaty (2009) dan Silalahi (2013). Selain itu pada penelitian ini juga akan
dihitung bagaimana nilai tambah dari industri tahu dimana analisis ini juga telah
dilakukan sebelumnya oleh Sinaga (2008) dan Tunggadewi (2009). Persamaannya
pada penelitian ini untuk menghitung nilai tambahnya sama-sama menggunakan
metode Hayami dan memiliki kesamaan dalam alat analisis yang digunakan dalam
menghitung keuntungan usaha. Namun penelitian ini berbeda tujuan dan tempat
penelitiannya dengan penelitian terdahulu.
10
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Fungsi Produksi
Input merupakan faktor penting dalam proses kegiatan produksi. Suatu
usaha dapat mengubah input menjadi output dengan berbagai cara, dengan
menggunakan variasi tenaga kerja, bahan-bahan poduksi, dan modal. Hubungan
antara input produksi, proses, dan produk yang dihasilkan dapat dijelaskan
melalui kurva fungsi produksi. Fungsi produksi menunjukkan output terbesar
yang dihasilkan suatu perusahaan untuk setiap kombinasi input tertentu (Pindyck
dan Rubinfeld 2009) .
Pada industri tahu, pelaku usaha memutuskan seberapa banyak input
tertentu yang harus dibeli dengan membandingkan antara manfaat yang dihasilkan
dengan biayanya. Permintaan input industri tahu dipengaruhi oleh permintaan
konsumen akan output dari industri tahu. Jumlah input yang digunakan oleh
industri tahu bergantung pada jumlah tahu yang ingin diproduksi (Pindyck dan
Rubinfeld 2009).
Kurva fungsi produksi menjelaskan hubungan antara produk marjinal (MP),
produk rata-rata (AP), dan produk total (TP) (Lipsey et al. 1995). Kurva hubungan
antara faktor produksi dengan jumlah produksi dapat dilihat pada Gambar 2.
output
TP
input
MP, AP
MP
AP
q1 input
Sumber: Nicholson 1995
Gambar 2 di atas menjelaskan produk total yang naik secara stabil, pertama
dengan laju yang makin meningkat, kemudian dengan laju yang makin berkurang.
Hal ini menyebabkan kurva produk rata-rata dan produk marjinal mula-mula
Gambar 2 Kurva produk total, produk rata-rata, dan produk marjinal
11
meningkat dan kemudian menurun. Titik produktivitas rata-rata maksimum yang
disebut juga titik menurunnya produktivitas rata-rata adalah q1 dimana pada titik
ini MP = AP.
Berdasarkan Gambar 2, apabila jumlah input variabel yang digunakan
berubah maka output pun akan berubah. Naik turunnya output yang diakibatkan
oleh penggunaan lebih banyak atau lebih sedikit suatu faktor variabel terhadap
jumlah tertentu faktor produksi. Hipotesis ini disebut sebagai hipotesis hasil lebih
yang makin berkurang (diminishing returns). Hipotesis ini menyatakan bahwa jika
makin banyak jumlah suatu faktor variabel ditetapkan untuk sejumlah tertentu
faktor yang tetap, akhirnya akan tercapai situasi dimana setiap tambahan unit
faktor variabel tersebut menghasilkan tambahan produk total dalam jumlah yang
lebih sedikit ketimbang yang dihasilkan sebelumnya (Lipsey et al. 1995).
Pada industri tahu, penambahan input kedelai pada jumlah tertentu akan
meningkatkan jumlah output tahu yang dihasilkan. Namun penambahan ini pada
akhirnya akan mencapai situasi dimana setiap penambahan kedelai tersebut akan
menghasilkan jumlah output tahu yang lebih sedikit dari sebelumnya. Hal ini
disebabkan industri tahu memiliki kapasitas produksi dalam menghasilkan suatu
output. Sehingga untuk meningkatkan jumlah output tersebut maka perlu ada
peningkatan skala produksi atau peningkatan penggunaan teknologi.
Pada suatu usaha, keuntungan maksimum diperoleh dari turunan pertama
fungsi keuntungan terhadap biaya variabel sama dengan nol. Secara matematis,
keuntungan maksimum dapat dijelaskan sebagai berikut:
= MP = 0
Berdasarkan persamaan tersebut, untuk mendapatkan keuntungan
maksimum maka MP=0. Melalui Gambar 2 dapat dijelaskan keuntungan
maksimum tersebut diperoleh ketika produk yang dihasilkan mencapai titik
optimal ketika TP optimal dimana pada saat tersebut tambahan produksi per
satuan tambahan input mencapai kondisi berada di titik nol.
Pengaruh Peningkatan Harga Input Terhadap Biaya
Nicholson (1995) membedakan konsep biaya yang terdiri dari biaya
kesempatan, biaya akuntansi dan biaya ekonomi. Biaya ekonomi yang dikeluarkan
dari suatu input merupakan nilai pembayaran yang diperlukan untuk
mempertahankan input tersebut dalam penggunaannya saat ini atau pembayaran
yang diterima input tersebut dalam penggunaan alternatif yang terbaik.
Pada analisis biaya akan dilihat dan diperhitungkan berbagai faktor yang
diperlukan atau yang harus dilakukan atau dibayarkan agar suatu usaha bisa
berjalan dengan lancar. Faktor-faktor inilah yang disebut sebagai masukan atau
input. Untuk melihat untung-rugi suatu usaha maka faktor-faktor biaya tersebut
perlu diperbandingkan dengan aneka hasil atau output yang diperoleh dari suatu
usaha (Suratiyah 2009).
Fungsi biaya produksi dalam jangka pendek menggambarkan biaya total
produksi, yaitu jumlah keseluruhan biaya tetap dan biaya variabel. Menurut
Soekartawi (1986) penggolongan biaya produksi dilakukan berdasarkan sifatnya
yaitu terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap.
12
a) Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang tidak ada kaitannya dengan
jumlah barang yang diproduksi. Biaya ini harus tetap dibayar berapapun
jumlah produk yang dapat dihasilkan. Sewa lahan dan investasi seperti
peralatan, mesin, hingga bangunan termasuk dalam biaya tetap.
b) Biaya tidak tetap (variable cost) adalah biaya yang berubah apabila luas
usahanya berubah. Biaya ini muncul jika ada sesuatu barang yang
diproduksi, seperti; pengeluaran untuk benih, pupuk, dan biaya tenaga
kerja.
Biaya total adalah biaya total yang dikeluarkan untuk menghasilkan output
tertentu. Biaya total dibagi atas biaya tetap total (total fixed cost) dan biaya
variavel total (total variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah
meskpiun outputnya berubah. Sedangkan biaya yang berkaitan langsung dengan
output, yang bertambah besar dengan meningkatnya produksi dan berkurang
dengan menurunnya produksi disebut biaya variabel (Lipsey et al 1995).
Biaya total rata-rata (average total cost) atau disebut juga biaya rata-rata
(average cost) adalah biaya total untuk menghasilkan jumlah output tertentu
dibagi dengan jumlah output tersebut. Biaya marjinal (marginal cost) adalah
kenaikan biaya total yang disebabkan oleh meningkatnya laju produksi sebesar
satu unit. Karena biaya tetap tidak berubah dengan output, maka biaya tetap
marjinal akan selalu nol. Oleh karena itu biaya marjinal jelas merupakan biaya
variabel marjinal dan berubahnya biaya tetap tidak akan mempengaruhi biaya
marjinal. Perubahan harga input mengubah kurva biaya total rata-rata dan kurva
biaya marjinal menurut Lipsey et al (1995) dapat dijelaskan dalam Gambar 3.
Biaya Total
MC1
MC0
ATC1
ATC0
0 Output
Sumber: (Lipsey et al 1995)
Pada Gambar 3 dijelaskan bahwa kurva biaya total rata-rata semula dan
kurva biaya marjinal diperlihatkan oleh ATC0 dan MC0. Kenaikan harga input
variabel seperti harga kedelai dapat menaikkan biaya produksi tiap tingkat output.
Akibatnya kurva biaya total rata-rata dan kurva biaya marjinal bergeser ke atas
menuju ATC1 dan MC1. Sebaliknya, penurunan harga input variabel akan
menggeser kurva biaya total rata-rata dan kurva biaya marjinal ke bawah; jika
kurva semula adalah ATC1 dan MC1, setelah penurunan harga input variabel
kurva tersebut akan menjadi ATC0 dan MC0. Adanya kenaikan harga kedelai juga dapat berpengaruh pada permintaan
input kedelai bagi usaha olahan kedelai. Menurut teori hukum permintaan (cateris
paribus) yang menyatakan bahwa ketika adanya kenaikan harga input maka
Gambar 3 Kurva perubahan harga input terhadap biaya
13
permintaan input tersebut akan turun. Begitupula sebaliknya apabila harga input
turun maka permintaan akan input naik dengan asumsi cateris paribus dimana
semua faktor yang mempengaruhi permintaan selain harga dianggap tetap.
Sehingga pada usaha tahu kondisi permintaan input juga dapat dipengaruhi oleh
kenaikan harga kedelai. Ketika harga kedelai naik, industri dapat mengurangi
jumlah pembelian kedelai sehingga produksi output tahu pun menurun. Hal ini
untuk menghindari tingginya total biaya yang akan dikeluarkan industri agar
penerimaan yang diterima industri tidak terlalu rendah dan industri tetap
mendapatkan untung.
Pengaruh Peningkatan Harga Input Terhadap Keuntungan
Kurva biaya menunjukkan biaya produksi minimum pada berbagai tingkat
output. Biaya ini mencakup biaya eksplisit maupun biaya implisit. Biaya eksplisit
merupakan pengeluaran aktual yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membeli
atau menyewa input yang diperlukan. Sedangkan biaya implisit merupakan nilai
input yang dimiliki dan digunakan oleh perusahaan dalam proses produksinya
(Salvatore 2006).
Biaya tetap total (TFC) mencerminkan seluruh kewajiban atau biaya yang
ditanggung oleh perusahaan per unit waktu atas semua input tetap. Biaya variabel
total (TVC) adalah seluruh biaya yang ditanggung oleh perusahaan per unit waktu
atas semua input variabel yang digunakan. Hubungan antara biaya tetap, biaya
variabel, dan biaya total tersebut secara matematis dapat dirumuskan sebagai
berikut:
TC = TVC + TFC
Dimana: TC = Total Cost (Biaya Total)
TFC = Total Fixed Cost (Biaya Tetap Total)
TVC = Total Variable Cost (Biaya Variabel Total)
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dijelaskan mengenai hubungan antara
biaya tetap, biaya variabel, dan biaya total. Ketika terjadi kenaikan harga input
akan menyebabkan biaya variabel total meningkat. Jika biaya variabel total
meningkat maka biaya total juga akan meningkat. Kurva total biaya tetap
berbentuk horizontal dari kiri ke arah kanan yang menandakan bahwa nilainya
tetap. Sedangkan kurva biaya total variabel dan biaya tetap membentuk
melengkung menghadap ke atas. Hal ini disebabkan ketika adanya penambahan
jumlah biaya produksi maka kurva TVC0 akan bergeser ke TVC1. Sehingga
mengakibatkan kurva TC0 ikut bergeser ke TC1. Ketika terjadi pergeseran dari
TVC0 ke TVC1 dan TC0 ke TC1 akibat adanya kenaikan harga input berupa
kedelai maka jumlah keuntungan yang diterima industri tahu akan semakin
berkurang. Hubungan antar biaya tersebut juga dapat dinyatakan dalam kurva
biaya yang ditunjukkan pada Gambar 4.
14
TR, TC, TVC
TC1
TC0
TR
TVC1
TVC0
TFC
0 Output
Sumber: (Salvatore 2006)
Keuntungan yang diterima industri merupakan hasil pengurangan antara
penerimaan dengan biaya total yang dikeluarkan. Dengan adanya peningkatan
biaya total akan menyebabkan jumlah keuntungan bersih yang diterima industri
akan berkurang. Hal ini didukung dengan sulitnya menaikkan harga tahu di pasar
oleh para industri tahu sehingga cara yang dilakukan adalah dengan memperkecil
ukuran tahu tersebut. Memperkecil ukuran ini bertujuan agar industri tetap dapat
menghasilkan jumlah output optimal disaat adanya kenaikan harga kedelai.
Apabila keuntungan industri menurun maka hal ini akan berpengaruh
terhadap efisiensi usaha. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai R/C dimana semakin
besar nilai R/C maka akan semakin efisien usaha yang dilakukan. Semakin efisien
suatu usaha maka akan semakin menguntungkan dan layak usaha tersebut
dijalankan. Namun apabila keuntungan menurun maka efisiensi usahanya pun
berkurang sehingga usaha tersebut bisa jadi tidak layak untuk dijalankan.
Keuntungan Usaha
Keuntungan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya dalam suatu
usaha (Soekartawi 1995). Analisis keuntungan digunakan untuk mengetahui
tingkat keuntungan yang diperoleh dari kegiatan produksi. Usaha atau kegiatan
dapat dikatakan efisien apabila mencapai keuntungan maksimum. Analisis yang
digunakan pada penelitian ini adalah analisis keuntungan usaha. Ada dua tujuan
utama dari analisis keuntungan yaitu untuk menggambarkan keadaan sekarang
dalam suatu usaha dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari
perencanaan usaha tersebut.
Pada menganalisis keuntungan usaha, prinsip yang paling penting adalah
adanya keterangan mengenai kondisi penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan
didapat dari hasil perkalian jumlah produksi dengan harga satuan komoditi
tersebut. Sedangkan pengeluaran usaha dapat diperoleh dari nilai penggunaan
faktor produksi dan berapa besar penggunaannya pada proses produksi tersebut.
Analisis keuntungan umumnya digunakan untuk mengevaluasi kegiatan
usaha dalam satu tahun. Menurut Soekartawi (1986), ukuran keuntungan usaha
dapat dijabarkan sebagai berikut:
Gambar 4 Kurva total biaya variabel , total biaya tetap, dan biaya total
terhadap keuntungan
15
1. Penerimaan adalah nilai uang yang diterima dari penjualan produk.
2. Pengeluaran adalah jumlah uang yang dibayarkan pembelian barang dan
jasa usaha.
3. Pengeluaran total usaha yaitu nilai semua masukan yang habis terpakai
atau dikeluarkan di dalam produksi. Pengeluaran tidak tetap (variabel
cost) didefinisikan sebagai pengeluaran yang digunakan untuk produk
tertentu dan jumlahnya berubah-ubah sebanding dengan besarnya
produksi produk tersebut. Sedangkan pengeluaran tetap (fixed cost)
adalah pengeluaran usaha yang tidak bergantung pada besarnya produksi.
4. Keuntungan usaha adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran
total usaha.
Analisis Penerimaan dan Biaya (R/C)
Gaspersz (2000) mendefinisikan penerimaan total sebagai total uang yang
dibayarkan kepada produsen untuk suatu produk dan dihitung sebagai perkalian
antara harga produk (P) dan kuantitas produk yang diminta (Q) dan dinotasikan
sevagai total revenue (TR).
Penerimaan usaha adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan
harga jual. Penerimaan usaha dibagi atas penerimaan tunai usaha dan penerimaan
total usaha. penerimaan tunai usaha merupakan nilai uang yang diterima dari
penjualan produk. Sedangkan penerimaan total usaha adalah penjumlahan antara
penerimaan tunai dengan penerimaan yang diperhitungkan pada suatu usaha.
Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut (Soekarwati 1995):
TR = Y x Py
dimana:
TR = Total penerimaan
Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usaha
Py = Harga Y
Analisis R/C rasio dapat dilakukan untuk menunjukkan besar penerimaan
usaha yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan
usaha. Analisis rasio penerimaan dan biaya dapat mengukur tingkat keuntungan
relatif suatu usaha, apakah usaha menguntungkan atau tidak. Semakin besar nilai
R/C rasio maka semakin besar pula penerimaan usaha yang diterima untuk setiap
biaya yang dikeluarkan. Apabila nilai R/C > 1 berarti bahwa setiap tambahan
biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih
besar dibanding tambahan biaya. Sebaliknya apabila R/C < 1 maka setiap
tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang
lebih kecil dari tambahan biaya. Namun jika R/C = 1 maka setiap tambahan biaya
yang dikeluarkan sama dengan tambahan penerimaan yang diperoleh sehingga
mencapai keuntungan normal.
Analisis Nilai Tambah
Hayami et al (1987) menyatakan bahwa nilai tambah adalah selisih antara
komoditas yang mendapat perlakuan pada tahap tertentu dengan nilai korbanan
yang digunakan selama proses berlangsung. Sumber-sumber dari nilai tambah
16
adalah pemanfaatan faktor-faktor seperti tenaga kerja, modal, sumberdaya
manusia, dan manajemen. Pada kegiatan subsistem pengolahan, alat analisis yang
sering digunakan adalah alat analisis nilai tambah.
Metode Hayami merupakan suatu metode yang menjelaskan nilai tambah
dan analisis pemasaran secara kualitatif dan kuantitatif yang kemudian dilakukan
pengolahan dan analisis data. Nilai tambah yang dihasilkan pada pengolahan
barang dan jasa adalah selisih antara nilai akhir suatu produk (nilai output) dengan
nilai bahan baku dan input lainnya. Nilai tambah tidak hanya digunakan untuk
menganalisis besarnya nilai tambah yang didapatkan, tetapi juga menganalisis
distribusi terhadap faktor produksi yang digunakan. Sebagian dari perhitungan
nilai tambah merupakan balas jasa (imbalan) bagi tenaga kerja, dan sebagian
lainnya merupakan keuntungan pemilik usaha. Metode analisis Hayami adalah
metode yang umum digunakan untuk menganalisis nilai tambah pada subsistem
pengolahan. Alat analisis ini dikemukakan oleh Hayami dengan kelebihan sebagai
berikut:
1. Dapat diketahui produktivitas dan produksinya (rendemen dan efisiensi
tenaga kerja)
2. Lebih tepat digunakan untuk proses pengolahan produk-produk
pertanian
3. Dapat dimodifikasi untuk nilai tambah selain subsistem pengolahan
4. Dapat diketahui balas jasa bagi pemilik-pemilik faktor produksi
Analisis nilai tambah merupakan metode perkiran sejauh mana bahan baku
yang mendapat perlakuan mengalami perubahan nilai. Nilai tambah dapat
dilakukan pada produk pertanian dimana sifat produk tersebut mudah rusak dan
volume besar. Dalam analisis nilai tambah, ada tiga komponen pendukung yaitu
faktor konversi yang menunjukkan banyak output yang dihasilkan dari satu-satuan
input, faktor koefisien tenaga kerja yang menunjukkan banyaknya tenaga kerja
langsung yang diperlukan untuk mengolah satu-satuan input, dan nilai produk
yang menunjukkan nilai output yang dihasilkan dari satu-satuan input.
Menurut Hayami et al (1987), analisis nilai tambah pengolahan produk
pertanian dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu melalui perhitungan nilai
tambah per kilogram bahan baku untuk satu kali pengolahan yang menghasilkan
produk tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan
dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor teknis dan faktor pasar. Faktor
teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku yang
digunakan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor pasar yang berpengaruh ialah
harga output, upah kerja, harga bahan baku, dan nilai input lain selain bahan baku
dan tenaga kerja. Nilai input lain adalah nilai dari semua korbanan selain bahan
baku dan tenaga kerja yang digunakan selama proses pengolahan berlangsung.
Nilai ini mencakup biaya modal dan gaji pegawai tak langsung.
Kerangka Pemikiran Operasional
Kedelai merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang memiliki
permintaan cukup tinggi di Indonesia. Namun adanya peningkatan harga kedelai
dapat berdampak kepada pelaku usaha pengolahan kedelai menjadi produk
17
turunan kedelai seperti tahu. Usaha yang bergerak dipengolahan kedelai
menggunakan kedelai sebagai bahan baku utamanya. Adanya kenaikan harga
kedelai berpengaruh kepada pembelian faktor-faktor input yang digunakan dalam
kegiatan produksi.
Kenaikan harga kedelai mempengaruhi biaya produksi yang harus
dikeluarkan oleh industri tahu dalam setiap satu kali produksi. Hal ini juga diduga
berpengaruh kepada jumlah pembelian input yang digunakan oleh industri tahu di
Desa Leuweung Kolot. Kenaikan harga jual tahu dipengaruhi oleh adanya
kenaikan total biaya produksi yang dikeluarkan oleh industri tahu sehingga
mereka menurunkan atau bahkan menambah jumlah produk yang dihasilkan.
Biaya produksi yang meningkat memicu pemilihan dan penetapan strategi yang
dilakukan oleh industri dengan memperkecil ukuran tahu yang dijual atau
menaikkan harga jual tahu tersebut.
Perubahan yang terjadi pada harga jual tahu akan merubah total penerimaan
yang diterima industri tahu sebagai pengaruh adanya peningkatan harga kedelai.
Berdasarkan perubahan nilai yang terjadi pada total biaya dan penerimaan tersebut
dapat dilihat bagaimana keuntungan yang diperoleh oleh industri tahu akibat
kenaikan harga kedelai. Selain itu dari total biaya produksi dan output tahu yang
juga dapat diketahui nilai tambah yang mampu dihasilkan oleh industri tahu.
Mengacu pada perumusan masalah sebelumnya maka penelitian ini
menganalisis pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap keuntungan dan nilai
tambah industri tahu. Analisis keuntungan industri tahu dilakukan di Desa
Leuweung Kolot Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Selain
menganalisis struktur biaya industri tahu, juga dilakukan analisis keuntungan
menggunakan alat analisis berupa analisis keuntungan usaha dan analisis R/C
rasio. Selain itu juga akan dianalisis nilai tambah dari kedelai terhadap produk
olahan tahu menggunakan metode Hayami untuk melihat bagaimana nilai tambah
tahu sebelum dan setelah adanya kenaikan harga kedelai tersebut. Kerangka
pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 5.
18
Gambar 5 Kerangka pemikiran operasional
Industri Tahu
Peningkatan harga kedelai
Perubahan volume produksi
dan harga jual
Peningkatan Harga Kedelai
Keuntungan Industri Tahu
Efisiensi Biaya Industri Tahu
Nilai Tambah Industri Tahu
Output
Tahu
Biaya
Variabel
Harga
Input
Input
Produksi
Harga
Ouput
Biaya
Tetap
Penerimaan Biaya Total
19
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Leuweung Kolot, Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa desa
tersebut adalah salah satu sentra industri tahu di Kabupaten Bogor. Berdasarkan
data laporan tahunan KOPTI diperoleh data bahwa Kecamatan Cibungbulang
memiliki kebutuhan kedelai tiap bulannya sebesar 97 350 kg. Kegiatan
pengambilan data penelitian dilakukan pada bulan Maret 2014 hingga April 2014.
Jumlah kebutuhan kedelai pada rekap anggota KOPTI Kabupaten Bogor dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Rekap Anggota KOPTI Kabupaten Bogor per wilayah pelayananan tahun
2012 Wilayah Pelayanan Jumlah Anggota Jumlah Tenaga Kerja Kebutuhan Kedelai
(kg/bulan)
Leuwiliang 39 175 99 750
Ciampea 62 235 130 350
Cibungbulang 34 185 97 350
Jasinga 20 106 83 100
Dramaga 19 84 45 000
Sumber: KOPTI 2013
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil obervasi langsung di lapang,
wawancara langsung dengan industri tahu mengenai profil usaha dan kondisi
usaha sebelum dan setelah terjadinya kenaikan harga kedelai yang dilakukan
melalui penyebaran kuisioner terstruktur kepada industri tahu yang dipandu oleh
peneliti. Data sekunder diperoleh dari literatur-literatur buku, website, jurnal yang
relevan dengan penelitian dan data-data dari dinas atau instansi terkait seperti
Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, KOPTI Kabupaten Bogor, Badan Pusat
Statistik, Perpustakaan LSI Institut Pertanian Bogor, dan media informasi lainnya
yang berkaitan dengan penelitian.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam analisis keuntungan dan nilai tambah dilakukan
melalui pengamatan langsung dan wawancara kepada industri tahu terkait.
Pengambilan responden dilakukan dengan metode sensus yaitu industri tahu di
Desa Leuweung Kolot yang melakukan pengolahan kedelai menjadi tahu. Jumlah
responden yang digunakan berjumlah 25 orang sesuai dengan jumlah populasi
industri tahu di Desa Leuweung Kolot. Perhitungan analisis keuntungan dihitung
dalam waktu satu bulan (30 hari) produksi usaha tahu.
20
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan
kuantitatif. Data kualitatif disajikan dalam bentuk deskriptif analitik untuk
mendukung data kuantitatif. Data kuantitatif disajikan dalam bentuk tabulasi yang
ditransfer dari hasil wawancara dan penyebaran kuesioner yang kemudian
dilakukan pengolahan data menggunakan kalkulator dan Microsoft Excel yang
kemudian diinterpretasikan. Pada penelitian ini akan dilakukan analisis berupa
analisis struktur biaya, analisis keuntungan, analisis penerimaan dan biaya, dan
analisis nilai tambah.
Analisis Struktur Biaya
Analisis struktur biaya dilakukan dengan mengelompokkan biaya-biaya
yang terjadi pada suatu kegiatan usaha. Biaya tetap (fixed cost) dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Soekartawi 1995):
FC = ∑
dimana:
FC = biaya tetap
Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap
Pxi = harga input
n = macam input
Total biaya merupakan penjumlahan dari biaya tetap total (TFC) dan biaya
variabel total (TVC). Penjumlahan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut
(Salvatore 2006):
TC = TFC + TVC
dimana:
TC = Biaya tetap (total cost)
TFC = Biaya tetap total (total fixed cost)
TVC = Biaya variabel total (total variable cost)
Total biaya rata-rata (average cost) dapat dihitung dengan menjumlahkan
biaya tetap rata-rata (average fixed cost) dengan biaya variabel rata-rata (average
variable cost). Sistematika perumusan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut
(Salvatore 2006):
AC = AFC + AVC
dimana:
AC = average cost
AFC = average fixed cost
AVC = average variable cost
Analisis Keuntungan
Keuntungan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Keuntungan
yang diterima oleh industri bergantung pada besarnya total biaya yang
dikeluarkan dan penerimaan yang diterima. Saat nilai penerimaan yang diterima
21
lebih besar dari total biaya maka industri memperoleh keuntungan sebesar
pengurangan penerimaan dan total biaya. Menurut (Soekartawi 1995),
perhitungan keuntungan dapat dirumuskan sebagai berikut :
Pd = TR – TC
dimana:
Pd = Keuntungan usaha
TR = Total penerimaan
TC = Total biaya
Keuntungan dihitung sebagai total penerimaan dikurangi dengan total biaya
yang telah dikeluarkan, dimana hasil dalam keuntungan ini merupakan
keuntungan rata-rata industri tahu. Biaya total terdiri dari biaya tetap dan biaya
variabel. Biaya variabel terdiri dari pengeluaran untuk kedelai, bahan bakar,
garam, sioko, kunyit, sepuhan, tepung oncom, kemasan, dan upah tenaga kerja.
Biaya tetap terdiri dari penyusutan, transportasi, listrik, dan sewa bangunan.
Analisis Penerimaan dan Biaya (R/C Rasio)
Analisis penerimaan dan biaya (R/C Rasio) digunakan untuk mengetahui
seberapa besar penerimaan yang mungkin dihasilkan dari setiap satu rupiah yang
dikeluarkan. Analisis keuntungan selalu diikuti dengan pengukuran efisiensi.
Pengukuran efisiensi usaha terhadap setiap penggunaan satu unit input dapat
digambarkan oleh nilai rasio antara jumlah penerimaan dengan jumlah biaya
(R/C). R/C rasio yang dihitung pada penelitian ini terdiri dari R/C atas biaya total.
Perhitungan ini dapat dirumuskan sebagai berikut (Soekartawi 1995):
dimana:
R = Revenue atau penerimaan (Rp)
C = Cost atau pengeluaran (Rp)
Apabila nilai R/C lebih besar dari 1, maka usaha tersebut layak untuk
dijalankan. Begitupula sebaliknya, apabila nilai R/C lebih kecil dari 1, maka usaha
tersebut tidak layak untuk dijalankan.
Pada struktur biaya, penyusutan merupakan biaya yang penting dan
diperhitungkan. Perhitungan biaya penyusutan didasarkan pada metode yang
digunakan. Perhitungan penyusutan digunakan untuk menghitung biaya yang
hilang atas penggunan alat-alat untuk melakukan kegiatan produksi dalam suatu
usaha. Untuk menghitung penyusutan, dapat digunakan rumus sebagai berikut
(Prawirokusumo 1990):
22
Analisis Statistik Uji T-Paired
Pada analisis statistik, pengujian hipotesis dapat dilakukan menggunakan
beberapa jenis uji statistik yang disesuaikan dengan jenis data. Uji t adalah
statistik parametis yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif rata-rata
dua sampel bila datanya berbentuk interval atau ratio (Sugiyono 2003). Uji t
digunakan untuk menguji hipotesa komparatif pada sampel kecil dan varian
populasi yang tidak diketahui. Pada uji t, sampel yang digunakan harus
mempunyai distribusi sebaran normal. Uji t untuk menganalisis perbedaan
keuntungan dan R/C rasio menggunakan paired sample t-test. Uji t-paired
membandingkan rata-rata dari suatu sampel yang berpasangan (tidak saling bebas)
pada sebuah kelompok sampel dengan subyek yang sama namun mengalami dua
perlakuan yang berbeda (Siagian dan Sugiarto 2006). Pengujian t-paired
digunakan untuk pengujian “before-after” dan “with-without” (Atmaja L.S. 2009).
Uji t yang digunakan merupakan uji t dua sampel (uji komparatif) untuk
membandingkan apakah kedua variabel berbeda atau tidak (Riduwan 2009).
Pengujian hipotesis untuk sampel tak bebas sebagai sampel berpasangan (paired
samples) dapat dilakukan dengan prosedur pengujian sebagai berikut (Supranto
2009):
1. Merumuskan H0 dan H1 sebagai berikut:
H0 : µ1 = µ2
H1 : µ1 ≠ µ2
2. Menentukan α, dan nilai tα dari tabel dengan df = n – 1 dimana taraf nyata
yang digunakan adalah 5%.
3. Menentukan nilai statistik uji menggunakan rumus:
√
dimana:
= rata-rata beda
n = banyaknya data
Sd = standar deviasi dari beda
4. Membuat kesimpulan dengan cara membandingkan nilai kriteria uji t yang
dihitung dengan nilai t dari tabel dengan kriteria uji dua arah:
Jika t-hitung < t-tabel, maka H0 diterima dan H1 ditolak.
Jika t-hitung > t-tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima.
Uji perbedaan pada penelitian ini dilakukan pada industri tahu di Desa
Leuweung Kolot, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Uji ini dilakukan
untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan pada keuntungan
dan nilai R/C rasio sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai pada industri tahu
tersebut. Perhitungan ini menggunakan data keuntungan dan R/C rasio dari
masing-masing responden sebanyak 25 orang. Pengujian hipotesisnya dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a. Uji beda pada keuntungan
µ1 = rata-rata keuntungan sebelum kenaikan harga kedelai
µ2 = rata-rata keuntungan setelah kenaikan harga kedelai
dengan hipotesis:
H0 = Tidak ada perbedaan signifikan antara rata-rata keuntungan sebelum
dan setelah kenaikan harga kedelai
23
H1 = Ada perbedaan signifikan antara rata-rata keuntungan sebelum dan
setelah kenaikan harga kedelai
b. Uji beda pada R/C rasio
µ1 = rata-rata R/C rasio sebelum kenaikan harga kedelai
µ2 = rata-rata R/C rasio setelah kenaikan harga kedelai
dengan hipotesis:
H0 = Tidak ada perbedaan signifikan antara rata-rata R/C rasio sebelum dan
setelah kenaikan harga kedelai
H1 = Ada perbedaan signifikan antara rata-rata R/C rasio sebelum dan
setelah kenaikan harga kedelai
Analisis Nilai Tambah
Nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu komoditi karena adanya input
fungsional pada komoditi yang bersangkutan. Input fungsional tersebut berupa
proses mengubah bentuk (form utility), memindahkan tempat (place utility), dan
manyimpan (time utility) (Hayami et al 1987). Perhitungan nilai tambah akan
dilakukan pada proses pengolahan kedelai pada industri tahu dengan tujuan untuk
mengukur besarnya nilai tambah yang terjadi akibat adanya proses pengolahan
kedelai menjadi tahu dengan mempertimbangan kenaikan harga yang
mempengaruhi biaya produksi dan variabel input lainnya. Analisis nilai tambah
menurut metode Hayami dapat dilihat dalam Tabel 5.
Tabel 5 Nilai tambah menurut metode Hayami
No. Variabel Nilai
A. Output, Input, dan Harga
1. Output (kg/tahun) A
2. Bahan baku (kg/tahun) B
3. Tenaga kerja (HOK/tahun) C
4. Faktor konversi (1/2) d = a/b
5. Koefisien tenaga kerja (3/2) e = c/b
6. Harga output (Rp/kg) F
7. Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK) G
B. Keuntungan dan keuntungan (Rp/kg bahan baku)
8. Harga bahan baku H
9. Sumbangan input lain I
10. Nilai output (4 x 6) j = d x f
11. a) Nilai tambah (10 – 9 – 8) k = j – h – i
b) Rasio nilai tambah l % = (m/k) x 100%
12. a) Imbalan tenaga kerja (5 x 7) m = e x g
b) Bagian tenaga kerja {(12a/11a) x 100%} n % = (m/k) x 100%
13. a) Keuntungan (11a – 12a) o = k – m
b) Tingkat keuntungan {(13a/11a) x 100%} p % = (o/k) x 100%
C. Balas Jasa Faktor Produksi
14. Marjin (10 – 8) q = j – h
a) Keuntungan tenaga kerja r % = (m/q) x 100%
b) Sumbangan input lain s % = (i/q) x 100%
c) Keuntungan perusahaan t % = (o/q) x 100%
Sumber : Hayami et al (1987)
24
Perhitungan nilai tambah dianalisis menggunakan metode Hayami. Variabel
yang terkait dalam analisis nilai tambah yaitu faktor konversi, koefisien tenaga
kerja, nilai produk, dan nilai input lain. Faktor konversi menunjuk pada
banyaknya tahu yang dapat dihasilkan dari satu kilogram kedelai. Koefisien
tenaga kerja sebagai ukuran jam kerja yang diperlukan untuk mengolah satu
kilogram kedelai. Nilai produk dan nilai input lain diinterpretasikan secara
berurutan sebagai nilai tahu per kilogram kedelai yang digunakan dan nilai input
lain selain kedelai dan tenaga kerja yang langsung digunakan bagi kegiatan
produksi.
Nilai tambah merupakan selisih dari nilai tahu dengan nilai kedelai dan
input lain. Rasio nilai tambah terhadap produk tahu menunjukkan persentase nilai
tambah dari nilai produk tahu tersebut. Selain itu, imbalan tenaga kerja merupakan
imbalan yang diterima oleh tenaga kerja untuk mengolah satu kilogram kedelai.
Keuntungan pada tabel metode Hayami menunjukkan bagian yang diterima
pengusaha.
GAMBARAN UMUM PENELITIAN
Gambaran Umum Desa Leuweung Kolot
Desa Leuweung Kolot merupakan salah satu desa yang terletak di
Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Secara
geografis, Desa Leuweung Kolot berbatasan langsung dengan Desa Ciaruteun Ilir
di bagian utara. Di bagian selatan Desa Leuweung Kolot ini berbatasan dengan
Desa Girimulya, Desa Cimanggu di bagian barat, dan Desa Cibadak di bagian
timur.
Desa Leuweung Kolot memiliki wilayah seluas 189 Ha yang terdiri dari 2
Kampung, 6 RW, dan 25 RT. Kampung yang terdapat di Desa Leuweung Kolot
ini adalah Kampung Pos dan Kampung Cipakel. Berdasarkan laporan akhir tahun
2013, Desa Leuweung Kolot ini terdiri dari 1 869 kepala keluarga dengan jumlah
penduduk laki-laki sebanyak 3 353 orang dan penduduk perempuan sebanyak 3
595 orang.
Desa Leuweung Kolot memiliki tingkat curah hujan sebanyak 2 000
mm/tahun dengan ketinggian tempat 3 000 m dari permukaan laut. Luas wilayah
pertanian di desa ini lebih tinggi dibanding lahan yang lain, yakni sekitar 105 Ha
merupakan tanah sawah, 44 Ha tanah kering, dan 1,87 Ha tambak/kolam. Hal ini
didukung oleh potensi irigasi yang dimiliki oleh Desa Leuweung Kolot. Potensi
irigasi yang digunakan untuk irigasi pertanian terdiri dari sungai dan mata air.
Penduduk setempat hampir seluruhnya menggunakan mata air sebagai sumber
untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga sehingga hampir setiap rumah tidak
menggunakan PAM namun memiliki sanyo sebagai alat bantu menarik air dari
mata air tersebut.
Pada lahan pertanian di Desa Leuweung Kolot cenderung lebih banyak
ditanami oleh ubi jalar, ubi kayu, dan kacang tanah. Namun berdasarkan mata
pencahariannya, penduduk di Desa Leuweung Kolot sebagian besar bermata
pencaharian sebagai pedagang. Hal ini terlihat dari banyaknya Usaha Kecil dan
25
Menengah (UKM) yang terbentuk di desa ini terutama usaha di bidang produk
turunan kedelai seperti tahu dan tempe. Industri tahu dan tempe di desa ini
dianggap bermatapencaharian sebagai pedagang. Data mata pencaharian
penduduk Desa Leuweung Kolot dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Mata pencaharian penduduk Desa Leuweung Kolot
Mata Pencaharian Jumlah
PNS 45
Pensiun 20
Petani 661
Pedagang 1 854
Jasa Industri -
Sumber: Laporan Tahunan Desa Leuweung Kolot (2013)
Berdasarkan data pada Tabel 6 diatas, mata pencaharian penduduk di Desa
Leuweung Kolot sekitar 1 854 orang berprofesi sebagai pedagang, 661 orang
sebagai petani, 20 orang pensiun, dan 45 orang sebagai PNS. Data ini mendukung
banyaknya industri tahu di Desa Leuweung Kolot yang pelaku usahanya juga
berprofesi sebagai pedagang dengan menjual tahunya di pasar. Pelaku industri
tahu di desa ini tidak hanya sebagai produsen penghasil tahu tapi juga sebagai
pedagang yang menjual tahunya dipasar. Profesi pelaku industri tahu ini dianggap
sebagai pedagang. Dengan demikian, banyaknya industri di Desa Leuweung Kolot
sebagai salah satu sentra industri tahu juga didukung dari data yang ada.
Gambaran Umum Usaha Tahu Desa Leuweung Kolot
1. Karakteristik Pelaku Industri Tahu
Responden dalam penelitian ini berjumlah 25 orang industri tahu di Desa
Leuweung Kolot, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Karakteristik
industri meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan,
lama usaha, dan cara pemasaran. Seluruh responden yang diwawancarai selama
penelitian merupakan penduduk Desa Leuweung Kolot dan menjalankan usaha
pembuatan tahu.
Responden industri tahu di Desa Leuweung Kolot dikelompokkan menjadi 6
kelompok, yaitu kelompok umur 20-29 tahun, 30-39 tahun, 40-49 tahun, 50-59
tahun, 60-69 tahun, dan 70-79 tahun. Tingkat umur dapat mempengaruhi kinerja
seseorang. Umur produktif seseorang yakni antara 20-60 tahun. Pada Tabel 6
terlihat bahwa responden di Desa Leuweung Kolot masih berumur produktif
dimana jumlah responden industri tahu terbanyak berada pada kelompok umur 30-
39 tahun sebanyak 8 orang (32.00 persen) dan kelompok umur 60-69 tahun
sebanyak 7 orang (28.00 persen). Pada kelompok umur 60-69 tahun dan 70-79
tahun, responden hanya berperan sebagai pemilik. Sedangkan untuk aktivitas
produksinya dilakukan oleh tenaga kerja yang bekerja di pabrik tersebut. Untuk
kelompok umur lainnya, pemilik pabrik tahu ikut berperan dalam pembuatan tahu
sehingga pada kelompok ini industri tahu masih aktif bekerja. Data tersebut
menunjukkan bahwa usaha tahu di Desa Leuweung Kolot sebagian besar
dijalankan oleh kelompok umur 30-39 tahun sebesar 32.00 persen. Karakteristik
pelaku industri tahu dapat dilihat pada Tabel 7.
26
Tabel 7 Karakteristik responden pelaku industri tahu Uraian Kategori Jumlah Responden (orang) Persentase (%)
Kelompok
Umur
20-29 1 4.00
30-39 8 32.00
40-49 3 12.00
50-59 5 20.00
60-69 7 28.00
70-79 1 4.00
Jenis
Kelamin
Laki-laki 23 92.00
Perempuan 2 8.00
Tingkat
Pendidikan
Tidak Sekolah 2 8.00
SD 17 68.00
SMP 1 4.00
SMA 5 20.00
Jumlah
Tanggungan
keluarga
1 6 24.00
2 6 24.00
3 5 20.00
4 4 16.00
5 1 4.00
6 1 4.00
7 2 8.00
Lama
Usaha
≤ 10 7 28.00
11 ≤ 0 ≤ 20 11 44.00
≥ 21 7 28.00
Berdasarkan data pada Tabel 7 yang merupakan hasil survey terhadap 25
orang industri tahu di Desa Leuweung Kolot diperoleh hasil bahwa sebagian besar
pemilik usaha tahu di desa ini adalah laki-laki sebanyak 23 orang dan 2 orang
perempuan. Hal ini disebabkan karena peran laki-laki sebagai kepala rumah
tangga yang bertugas untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Sedangkan istri
berperan sebagai ibu rumah tangga yang turut membantu suami dalam
menjalankan usahanya. Untuk responden perempuan hanya berperan sebagai
pemilik pabrik tahu namun tidak ikut dan secara maksimal dalam proses
pembuatan tahu.
Karakteristik responden industri tahu juga dapat dilihat dari tingkat
pendidikan. Tingkat pendidikan responden di Desa Leuweung Kolot yang
dijadikan sebagai responden dalam penelitian, sebagian besar didominasi oleh
lulusan SD yakni sebanyak 17 orang (68.00 persen). Berdasarkan data ini dapat
dilihat bahwa banyaknya responden dengan pendidikan SD tidak mempengaruhi
keberhasilan usaha karena usaha tahu tidak membutuhkan keterampilan yang
tinggi dan bisa dipelajari dengan mudah bahkan sudah diwarisi oleh keluarga
terdahulu secara turun-temurun.
Selain itu, untuk jumlah tanggungan keluarga yang dimiliki oleh responden
industri tahu dapat berpengaruh signifikan terhadap usaha yang dijalankan.
Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka akan semakin tinggi biaya
yang dikeluarkan oleh responden untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Ditambah lagi usaha tahu di Desa Leuweung Kolot ini sebagian besar merupakan
usaha skala kecil dimana kebanyakan dari industri tahu menjadikan usaha ini
sebagai mata pencaharian utama sehingga mereka tidak memiliki penghasilan
tambahan. Jumlah tanggungan keluarga responden di desa ini cukup beragam.
Responden paling banyak memiliki jumlah tanggungan sebanyak 1 orang dan 2
orang dengan persentase yang sama yaitu 24.00 persen. Untuk jumlah tanggungan
27
lainnya berjumlah lebih kecil karena sebagian besar penduduk di desa ini tidak
memperhatikan pendidikan anak-anaknya sehingga untuk anak perempuan lebih
cepat menikah dan tidak menjadi tanggungan keluarga lagi.
Lama usaha industri tahu di Desa Leuweung Kolot cukup beragam.
Responden yang menjalani usaha kurang dari 10 tahun adalah sebanyak 7 orang
(28.00 persen). Pada kelompok ini merupakan responden yang masih berumur
muda dan baru memulai usaha menjadi industri tahu. Alasan responden ini
memilih menjadi industri tahu ada yang karena turun-temurun dari keluarga atau
sebagai mata pencaharian utama untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena
tidak memiliki keahlian yang tinggi. Pada kelompok usaha 11 sampai 20 tahun
adalah sebanyak 11 orang (44.00 persen). Sedangkan pada kelompok usaha lebih
dari 21 tahun ada sebanyak 7 orang (28.00 persen). Pada kelompok ini sebagian
besar terdiri dari industri yang usahanya merupakan turun-temurun dari keluarga.
Responden memlih usaha ini untuk melanjutkan usaha keluarganya yang sudah
dipertahankan dari generasi sebelumnya.
Cara memasarkan produk tahu bagi industri tahu di Desa Leuweung Kolot
dilakukan dengan menjual produk tahu ke pedagang yang ada di pasar, berkeliling
ke rumah-rumah warga, dan menjual sendiri produknya di pasar. Industri yang
menjual produknya ke pasar biasanya pasar-pasar yang dituju adalah pasar
Bubulak, Dramaga, Leuwiliang, Ciampea, Jumat, Jasinga, Merdeka, Bogor,
hingga pasar Cigudeg. Cara pemasaran yang dilakukan industri dengan membuka
lapak dan menjualnya sendiri di pasar atau menjual produknya melalui perantara
ke pedagang-pedagang yang ada di pasar yang sudah menjadi langganannya.
Industri yang menjual ke pasar akan mengeluarkan biaya transportasi untuk
menyewa angkutan umum. Sedangkan industri yang memasarkan dengan cara
berkeliling tidak mengeluarkan biaya transportasi. Sebaran responden berdasarkan
cara pemasarannya dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Karakteristik responden berdasarkan cara pemasaran Pemasaran Jumlah responden Persentase (%)
Pasar 24 96.00
Keliling 1 4.00
Jumlah 25 100.00
Pada Tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa dari 25 industri tahu yang menjadi
responden, 24 diantaranya memasarkan tahunya di pasar baik yang menjual
sendiri maupun yang menjualnya melalui perantara pedagang-pedagang yang ada
di pasar. sedangkan 1 responden lainnya menjual tahu dengan cara berkeliling di
desa menggunakan kayu panggul sehingga biaya yang dikeluarkan lebih kecil dan
target pembelinya pun hanya sebatas warga desa.
Sistem pembayaran bagi industri yang menjual secara berkeliling dan
menjual produknya sendiri di pasar adalah secara tunai karena ia menjual
langsung produknya ke pembeli dan langsung dibayar. Sedangkan untuk industri
yang menjual produknya melalui pedagang yang ada di pasar, mereka ada yang
membayar secara tunai dan ada juga yang membayar setelah tahu habis terjual.
Kadang untuk beberapa pedagang ada yang membayar hanya sebanyak tahu yang
berhasil terjual. Tahu yang tersisa biasanya dikembalikan lagi ke industri tahu
sehingga penerimaan industri tahu pun berkurang.
28
Proses Produksi Tahu
Industri tahu di Desa Leuweung Kolot menggunakan mesin dan peralatan
yang masih sederhana. Peralatan yang digunakan terdiri dari mesin penggiling,
tahang, ember, ebek, cetakan, jirigen, kuali, drum, saringan, dan siantai. Peralatan
tersebut merupakan peralatan yang sering digunakan oleh industri tahu saat
melakukan produksi tahunya sehari-hari.
Tahap dalam proses produksi tahu diawali dengan merendam kedelai kurang
lebih selama 7-8 jam di dalam ember agar kedelai menkadi empuk ketika dimasak.
Biasanya kedelai direndam pada malam hari agar bisa digunakan untuk produksi
pada esok paginya. Setelah direndam, kedelai kemudian dicuci menggunakan air
bersih untuk membersihkan kotoran pada kacang kedelai yang tersisa. Kebersihan
kacang kedelai harus dijaga karena dapat mempengaruhi hasil olahan kedelainya.
Kemudian kedelai yang telah dibersihkan digiling dengan menggunakan mesing
penggiling. Proses penggilingan ini dapat memakan waktu sekitar 15 hingga 20
menit per 10 kilogram kedelai. Pada responden industri tahu di Desa Leuweung
Kolot, semua industri telah memiliki mesin penggiling sendiri baik dibeli baru
maupun bekas sehingga tidak memerlukan biaya untuk penggilingan kedelai.
Setelah proses penggilingan, kedelai yang sudah hancur tersebut
dimasukkan ke dalam kuali untuk direbus. Air yang digunakan untuk merebus
kedelai harus air bersih yang telah mendidih agar bubur kedelai dapat masak
sempurna. Perebusan kedelai sebaiknya tidak dilakukan sekaligus tetapi bertahap
agar dapat menghasilkan kualitas tahu yang baik. Untuk bahan bakar yang
digunakan, industri di desa tempat penelitian menggunakan bahan bakar berupa
kayu bakar. Industri tahu bisanya menggunakan kayu bakar yang lebih banyak
agar proses memasak kedelai tidak memakan waktu cukup lama. Kedelai yang
telah dimasak kemudian berubah menjadi bubur kedelai yang encer kemudian
disaring dengan menggunakan saringan dan ditampung ke dalam tahang. Setelah
kedelai disaring dan dimasukkan ke dalam tahang, maka dtambahkan air sehingga
volume kedelai yang encer semakin bertambah.
Bubur kedelai yang telah disaring ke dalam tahang selanjutnya akan
dilakukan proses penggumpalan. Untuk industri tahu di Desa Leuweung kolot
sebagian menggunakan sioko dan sebagian lagi menggunakan air biang sebagai
bahan penggumpal bubur kedelainya. Sioko merupakan bahan penggumpal buatan
yang biasa dibeli industri di warung terdekat. Sedangkan air biang merupakan air
yang diperoleh dari hasil proses penggumpalan terakhir yang berada dibagian atas
dari sisa penggumpalan. Sehingga industri yang menggunakan air biang tidak
mengeluarkan biaya untuk membeli bahan penggumpal buatan atau sioko. Sioko
atau air biang ini berperan sebagai koagulen untuk menggumpalkan bubur kedelai.
Penggunaan sioko atau air biang biasanya disesuaikan oleh kebutuhan industri
tahu. Industri tahu cenderung lebih memilih menggunakan sioko karena dapat
menghasilkan tahu yang lebih banyak. Bubur kedelai yang telah digumpalkan
menggunakan sioko atau air biang harus diperhatikan proses pengadukannya.
Semakin lama maka adukannya pun akan semakin pelan. Untuk tahu putih
biasanya diperlukan pengadukan yang lebih lama dan penambahan sioko atau air
biang.
Setelah menggumpal, bubur tahu tersebut kemudian dicetak menggunakan
cetakan atau dibungkus menggunakan kain dan dilakukan pengempresan untuk
29
mengurangi jumlah air dalam bubur tahu dan membentuk ukuran tahu. Besarnya
ukuran cetakan berbeda-beda tergantung ukuran tahu yang ingin dihasilkan.
Untuk tahu yang dibungkus, industri cukup membungkusnya dengan kain yang
kemudian dikempres agar mengurangi kandungan airnya. Sedangkan pada tahu
yang dicetak, industri harus memasukkan terlebih dahulu tahu tersebut ke dalam
cetakan. Setelah dilakukan pengempresan tahu tersebut lalu diiris dengan
menggunakan pisau atau penggaris. Tahu yang sudah jadi kemudian diletakkan di
atas ebek untuk pengeringan.
Pada industri tahu putih maka proses produksinya akan berhenti setelah tahu
dikeringkan. Namun untuk industri tahu kunyit atau tahu kuning makasetelah
proses tahu dibentuk dan dikeringkan tadi kemudian tahu diberi kunyit atau
sepuhan sebagai pewarna sesuai dengan permintaan konsumen. Kunyit atau
sepuhan ini diberikan melalui perebusan ulang dari tahu yang sudah dibentuk dan
dikeringkan pada air mendidih yang sudah dicampur dengan kunyit atau sepuhan.
Setalah direbus kemudian tahu direndam didalam air dan siap untuk dijual.
Kebutuhan Peralatan Produksi
Peralatan yang digunakan untuk memproduksi tahu di Desa Leuweung
Kolot masih tergolong sederhana. Peralatan yang digunakan mampu
menghasilkan kuantitas produk yang bermacam-macam. Kedelai yang diproduksi
di desa ini berkisar antara 20 kg hingga 400 kg per hari. Untuk 20 kg kedelai
mampu menghasilkan sekitar 42 kg tahu per produksi, sedangkan penggunakan
400 kg kedelai dapat menghasilkan hingga 1000 kg tahu tiap produksinya.
Kuantitas tahu tersebut tidak hanya ditentukan dari kondisi kacang kedelainya
namun juga dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan peralatan produksi. Peralatan
yang biasa digunakan dalam proses pembuatan tahu meliputi mesin penggiling,
tahang, kuali, saringan, siantai, drum, ember, cetakan, jirigen, dan ebek.
Mesin penggiling yang digunakan oleh industri tahu di Desa Leuweung
Kolot berupa mesin penggiling baru dan bekas. Tiap industri rata-rata
menggunakan 1 unit mesin untuk produksinya. Mesin yang digunakan berbahan
bakar solar atau bensin. Untuk industri tahu dengan kapasitas produksi lebih besar,
mereka menggunakan mesin yang berkulitas lebih bagus. Harga rata-rata mesin
penggiling yang dibeli oleh industri tahu sebesar Rp4 792 000 per unitnya. Masa
pakai dari mesin berbeda-beda tergantung mesinnya baru atau bekas. Namun rata-
rata penggunaan mesin biasanya tahan hingga 218 bulan atau sekitar 18 tahun
hingga mesin benar-benar rusak atau tidak terpakai lagi.
Peralatan produksi selanjutnya adalah tahang dan saringan. Tahang
memiliki fungsi yang sama dengan saringan untuk menampung bubur kedelai.
Nilai pembelian rata-rata untuk tahang adalah sebesar Rp456 000 per unitnya
dengan total pembelian kurang lebih 3 unit. Tahang memiliki umur ekonomis
selama 77 bulan. Untuk nilai pembelian saringan Rp 25 080 dengan pembelian
rata-rata 4 unit. Saringan yang digunakan merupakan kain berwarna putih yang
memiliki rongga-rongga rapat yang mampu menyaring bubur kedelai agar terpisah
dari sarinya. Karena saringan terbuat dari kain, maka umur ekonomisnya pun
lebih kecil yaitu 4 bulan.
30
Ember dan jirigen merupakan alat yang digunakan oleh industri untuk
memasarkan tahunya. Alat ini digunakan untuk membawa tahu yang sudah jadi ke
pasar atau digunakan untuk berkeliling. Industri rata-rata memiliki 5 ember dan 13
jirigen. Harga rata-rata untuk pembelian ember sebesar Rp13 640 per unit
sedangkan untuk jirigen industri rata-rata mebeli dengan harga Rp22 380 per
unitnya. Untuk umur ekonomisnya, ember dan jirigen memiliki masa pakai yang
tidak berbeda jauh. Ember memiliki umur ekonomis bulan 6 sedangkan jirigen
umur ekonomisnya adalah 10 bulan.
Peralatan produksi untuk drum, tidak digunakan oleh semua industri karena
industri lebih memilih untuk menggunakan ember atau jirigen yang bisa dibeli
dengan harga yang murah walaupun umur ekonomisnya lebih kecil. Harga rata-
rata drum adalah sebesar Rp42 000 per unitnya dimana tiap industri hanya
memiliki 1 unit drum dengan masa pakai drum sekitar 7 bulan.
Peralatan lainnya seperti ebek, cetakan, siantai adalah alat yang terbuat dari
kayu atau bambu yang sering digunakan industri dalam memproduksi tahu. Ebek
yang terbuat dari bambu digunakan untuk meletakkan tahu yang akan dikeringkan
sehingga masa pakainya tidak lama sekitar 14 bulan. Di Desa Leuweung Kolot,
industri memiliki 24 unit ebek dengan harga pembelian per unit sebesar Rp26 620.
Untuk siantai, industri biasanya hanya menggunakan 1 siantai selama produksi.
Mereka membeli siantai ini dengan harga Rp152 800 tiap unitnya dan dapat
digunakan kurang lebih selama 30 bulan. Sedangkan untuk cetakan industri rata-
rata membeli dengan harga Rp167 800 dengan masing-masing memiliki sebanyak
10 unit. Cetakan ini biasanya dapat digunakan rata-rata sekitar 15 bulan masa
pakai. Peralatan selanjutnya adalah kuali. Kuali yang dibeli oleh industri memiliki
masa pakai selama 27 bulan. Industri memiliki 2 unit kuali dengan harga
pembelian Rp201 000 tiap unitnya. Kebutuhan peralatan produksi untuk industri
tahu di Desa Leuweung Kolot dapat dilihat pada Lampiran 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Struktur Biaya Usaha Tahu
Suatu kegiatan produksi berkaitan erat dengan biaya yang dikeluarkan
selama pelaksanaan kegiatan produksi suatu usaha. Analisis pengaruh kenaikan
harga kedelai pada usaha produksi tahu di Desa Leuweung Kolot dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh kenaikan harga kedelai tersebut terhadap
keuntungan dan nilai tambah yang dilihat dari struktur biaya usaha tahu tersebut.
Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi tahu meliputi pembelian kedelai,
sioko, garam, bahan bakar, tenaga kerja, transportasi, listrik, sewa bangunan, dan
biaya penyusutan peralatan produksi.
Biaya produksi adalah semua biaya yang dikeluarkan oleh industri tahu
selama proses produksi berlangsung. Biaya produksi merupakan penjumlahan dari
biaya variabel dan biaya tetap. Besarnya biaya produksi bergantung pada jumlah
dan harga input yang digunakan oleh industri. Biaya variabel dan biaya tetap
dapat dilihat dari jumlah alokasi biaya yang dibutuhkan selama proses produksi
berlangsung.
31
Biaya Variabel Usaha Tahu
Biaya variabel usaha tahu bergantung pada jumlah produksi yang dihasilkan
oleh industri tahu. Biaya ini meliputi biaya pembelian kedelai, sioko, garam,
kunyit, sepuhan, bahan bakar, hingga tenaga kerja. Kenaikan harga kedelai
menyebabkan harga kedelai meningkat dari Rp 7 368 per kilogram menjadi Rp 9
000 per kilogram. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap beberapa biaya yang ikut
berubah setelah adanya kenaikan harga kedelai.
Pada industri tahu di Desa Leuweung Kolot adanya kenaikan harga kedelai
tidak mengurangi jumlah produksi mereka. Penggunaan input untuk pembuatan
kedelai pun tidak mengalami perubahan saat sebelum dan setelah kenaikan harga
kedelai. Dengan kata lain, jumlah produksi yang dihasilkan oleh industri tahu di
Desa Leuweung Kolot tetap. Industri tahu di desa penelitian memilih untuk
berproduksi tetap karena adanya strategi yang telah dilakukan oleh industri tahu di
desa tersebut. Strategi yang dilakukan berupa menaikkan harga jual tahu dan
memperkecil ukuran tahu yang dihasilkan. Setelah adanya penerapan terhadap
strategi tersebut, industri tahu di Desa Leuweung Kolot dapat mempertahankan
usahanya dan tetap memperoleh keuntungan. Penggunaan input rata-rata per
responden dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Rata-rata penggunaan input sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai
industri tahu di Desa Leuweung Kolot
Biaya Variabel Satuan
Sebelum Kenaikan
Harga Kedelai
(Satuan/bulan)
Setelah Kenaikan
Harga Kedelai
(Satuan/bulan)
Kedelai Kg 2 875.2 2 875.2
Sioko Kg 82.2 82.2
Garam Kg 99 99
Solar Liter 71.4 71.4
Bensin Liter 10.2 10.2
Kayu Bakar M3 12.3 12.3
Kunyit Kg 20.4 20.4
Sepuhan Kg 6 6
Kemasan Pak 25,2 25,2
Tenaga Kerja Jam 1 212 1 212
Tepung Oncom Kg 4.5 4.5
Keuntungan yang diperoleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot diperoleh
dari pengurangan penerimaan dan total biaya yang dikeluarkan industri. Pada
Tabel 10 dapat dilihat rata-rata biaya variabel yang dikeluarkan oleh masing-
masing industri tahu sebelum dan setelah kenaikan harga.
Berdasarkan tabel tersebut biaya variabel yang tidak mengalami perubahan
setelah kenaikan harga kedelai adalah sioko, garam, kayu bakar, kunyit, sepuhan,
dan tepung oncom. Sedangkan biaya yang berubah akibat adanya kenaikan harga
kedelai adalah berupa biaya pembelian kedelai, bahan bakar seperti solar dan
bensin, dan kemasan dan tenaga kerja. Untuk komponen biaya bahan bakar,
kenaikan biaya bahan bakar bukan disebabkan adanya kenaikan harga kedelai.
Namun kenaikan harga kedelai hampir bersamaan dengan ketetapan pemerintah
untuk menetapkan kenaikan harga BBM. Sehinngga biaya untuk input bahan
bakar ikut meningkat. Biaya ini merupakan rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh
tiap responden saat sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai selama satu bulan.
32
Biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh tiap industri untuk pembelian kedelai
meningkat sebesar 18.60 persen yaitu dari Rp21 063 600 menjadi Rp25 876 800.
Biaya yang dikeluarkan disebabkan adanya perubahan harga kedelai yang hampir
mencapai kenaikan sebesar Rp2 000, sehingga biaya yang dikeluarkan industri
untuk membeli kedelai juga mengalami peningkatan.
Pada komponen biaya bahan bakar, industri tahu di tempat penelitian
menggunakan solar dan bensin. Sebagian besar dari industri menggunakan solar
sehingga biaya rata-rata yang dikeluarkan selama sebulan lebih besar dibanding
bensin. Perubahan biaya yang dikeluarkan untuk solar adalah sebesar 22.48 persen
setelah adanya kenaikan harga yaitu dari biaya Rp347 700 naik menjadi Rp448
500. Sedangkan penggunaan bensin sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai
mengalami perubahan sebesar 25.52 persen. Penggunaan solar menurun terlihat
dari berkurangnya biaya yang dikeluarkan setelah harga kedelai naik. Hal ini
didasarkan pada kenaikan harga solar yang ditetapkan oleh pemerintah lebih
rendah dibanding harga bensin yaitu sebesar Rp1 000 per liter. Sedangkan untuk
bensin harganya naik sebesar Rp2 000 per liternya. Rata-rata biaya variabel
sebelumd an setelah kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Rata-rata biaya variabel sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai
industri tahu di Desa Leuweung Kolot
Biaya Variabel Sebelum kenaikan harga
kedelai (Rp/bulan)
Setelah kenaikan harga
kedelai (Rp/bulan)
Persentase
Perubahan
(%)
Kedelai 21 063 600 25 876 800 18.60
Sioko 190 920 190 920 0.00
Garam 216 540 216 540 0.00
Solar 347 700 448 500 22.48
Bensin 53 400 71 700 25.52
Kayu Bakar 2 964 627.89 2 964 627.89 0.00
Kunyit 122 400 122 400 0.00
Sepuhan 15 600 15 600 0.00
Kemasan 181 200 241 200 24.88
Tenaga Kerja 5 544 000 5 604 000 1.07
Tepung Oncom 19 500 19 500 0.00
Total Biaya Variabel 30 719 487.89 35 771 787.89 14.12
Apabila dilihat dari data Tabel 10 di atas, komponen biaya terbesar yang
dikeluarkan oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot adalah biaya tenaga kerja.
Untuk sistem upah tenaga kerja dalam dan luar keluarga tidak ada perbedaan yang
signifikan. Sistem upah pada industri tahu di Desa Leuweung Kolot menggunakan
upah per hari sesuai jumlah produksinya. Upah industri tahu per hari berkisar
antara Rp 15 000 hingga Rp 70 000 per orang. Adanya kenaikan harga kedelai
tidak membuat semua industri tahu menaikkan upah tenaga kerja. Hanya beberapa
responden saja yang memilih untuk menaikkan upah tenaga kerjanya. Hal ini
terlihat dari sedikitnya perbedaan kenaikan biaya yang dikeluarkan untuk tenaga
kerja saat sebelum dan setelah kenaikan harga. Sehingga biaya tenaga kerja yang
dikeluarkan hanya berubah sebesar 1.07 persen yaitu dari Rp5 544 000 naik
menjadi Rp5 604 000 per bulan.
Komponen biaya variabel selanjutnya adalah biaya kemasan. Biaya
kemasan ini dikeluarkan oleh industri tahu yang menjual sendiri produknya di
pasar atau berkeliling desa. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan
33
responden, biaya kemasan termasuk pada salah satu biaya variabel yang berubah
akibat adanya kenaikan harga kedelai. Rata-rata biaya kemasan yang dikeluarkan
oleh industri mengalami perubahan sebesar 24.88 persen. Biaya kemasan
termasuk pada biaya variabel karena jumlah tahu yang diproduksi berpengaruh
pada jumlah pembelian kemasan yang dilakukan oleh industri tahu. Apabila tahu
yang diproduksi lebih sedikit maka industri membeli kemasannya tidak terlalu
banyak.
Berdasarkan komponen biaya variabel di atas dapat dinyatakan bahwa
adanya kenaikan harga kedelai menyebabkan biaya variabel pun ikut meningkat
sebesar 14.12 persen bagi tiap responden industri tahu dari Rp30 719 487.89
menjadi Rp35 771 787.89. Hal ini disebabkan adanya kenaikan jumlah biaya
pembelian kedelai yang meningkat diikuti dengan komponen biaya-biaya lain
yang berubah sesuai kondisi lapang. Kenaikan harga kedelai ini tidak
menyebabkan penurunan produksi karena industri di Desa Leuweung Kolot
memilih strategi untuk menaikkan harga jual tahu dan memperkecil ukuran tahu
sehingga mereka tetap memproduksi tahu dengan jumlah kedelai yang sama.
Biaya Tetap Usaha Tahu
Biaya tetap merupakan biaya yang tidak bergantung pada jumlah produksi
yang dihasilkan. Biaya tetap yang dikeluarkan oleh industri tahu terdiri dari biaya
penyusutan peralatan produksi, biaya transportasi, biaya listrik, dan biaya sewa
bangunan. Biaya tetap pada kenyataannya tidak semua dibayarkan secara tunai,
namun tetap diperhitungkan dalam analisis biaya. Biaya yang diperhitungkan
tersebut berupa biaya penyusutan alat dan biaya sewa bangunan.
Biaya transportasi termasuk dalam biaya tetap karena biaya transportasi di
tempat penelitian tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah produksi tahu yang
dihasilkan. Berikut data mengenai jumlah rata-rata biaya tetap yang dikeluarkan
oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Rata-rata biaya tetap industri tahu di Desa Leuweung Kolot
Biaya tetap
Sebelum kenaikan
harga kedelai
(Rp/bulan)
Setelah kenaikan
harga kedelai
(Rp/bulan)
Persentase
Perubahan
(%)
Biaya transportasi 867 000 1 172 400 26.05
Biaya listrik 65 000 65 000 0.00
Sewa bangunan 120 000 120 000 0.00
Biaya penyusutan peralatan 356 247.64 356 247.64 0.00
Total biaya tetap 1 408 247.64 1 713 647.64 17.82
Pada Tabel 11 dapat dilihat komponen biaya tetap rata-rata yang
dikeluarkan oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot. Berdasarkan data tersebut
biaya tetap yang dikeluarkan menjadi lebih tinggi setelah adanya kenaikan harga
kedelai. Peningkatan biaya ini disebabkan adanya kenaikan biaya transportasi
seiring dengan kenaikan harga kedelai.
Sebelum kenaikan harga kedelai, biaya transportasi yang dikeluarkan oleh
industri tahu tiap bulannya sebesar Rp867 000. Biaya ini dikeluarkan oleh industri
untuk menyewa angkutan mobil. Biaya transportasi tiap industri berbeda-beda
didasarkan pada jarak tempuh dari tempat produksi ke tempat pemasaran. Pada
34
industri tahu yang memasarkan produknya dengan cara berkeliling tidak
mengeluarkan biaya transportasi karena pemasarannya menggunakan kayu yang
dipanggul keliling desa sehingga tidak menggunakan biaya untuk membeli bahan
bakar. Setelah kenaikan harga kedelai, biaya transportasi yang dikeluarkan oleh
industri pun meningkat karena adanya kenaikan harga BBM. Kenaikan ini
berdampak pada biaya tetap yang dikeluarkan oleh industri yang meningkat.
Biaya transportasi industri tahu setalah kenaikan harga kedelai naik menjadi Rp1
172 400 tiap bulannya. Selain itu, biaya listrik yang dikeluarkan oleh industri tahu
digunakan untuk lampu, air, dan dinamo. Biaya ini tidak bergantung pada jumlah
kedelai yang diproduksi sehingga meskipun ada penambahan atau pengurangan
produksi. Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh industri tahu untuk membayar
listrik sebesar Rp65 000 per bulan.
Komponen biaya tetap selanjutnya adalah biaya sewa bangunan. Dari 25
responden industri tahu di Desa Leuweung Kolot, 24 diantaranya memiliki pabrik
sendiri dan hanya 1 orang yang menyewa bangunan sebagai tempat pelaksanaan
kegiatan produksinya. Sehingga rata-rata biaya sewa bangunan yang dikeluarkan
oleh industri tiap bulannya sebesar Rp 120 000. Biaya penyusutan peralatan
produksi tetap diperhitungkan pada struktur biaya tetap industri tahu. Rata-rata
biaya penyusutan peralatan yang dikeluarkan oleh industri tahu adalah sebanyak
Rp356 247.64. Sehingga total biaya tetap rata-rata yang dikeluarkan oleh industri
tahu di Desa Leuweung Kolot adalah sebesar Rp1 408 247.64 sebelum kenaikan
harga kedelai dan sebesar Rp1 713 647.64 setelah kenaikan harga kedelai dengan
persentase perubahan sebesar 17.82 persen.
Biaya Total Usaha Tahu
Biaya produksi usaha tahu merupakan penjumlahan dari total biaya variabel
dan total biaya tetap. Besaran biaya total yang dikeluarkan oleh industri tahu
sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada Tabel 12.
Berdasarkan tabel tersebut, jumlah biaya total rata-rata yang dikeluarkan oleh
industri selama sebulan sebelum kenaikan harga kedelai adalah sebesar Rp32 127
735.53. Setelah kenaikan harga kedelai, total biaya mengalami peningkatan
menjadi Rp37 485 435.53. Total biaya produksi yang dikeluarkan industri tahu
tersebut meningkat sebesar 14.29 persen. Kenaikan biaya ini dikarenakan adanya
peningkatan pengeluaran pada biaya variabel seperti biaya kedelai, bahan bakar,
kemasan, dan tenaga kerja. Biaya tetap juga mengalami peningkatan karena
adanya kenaikan biaya transportasi sehingga total biaya produksi setelah kenaikan
harga kedelai pun meningkat.
Tabel 12 Rata-rata total biaya produksi usaha tahu sebelum dan setelah kenaikan
harga kedelai di Desa Leuweung Kolot
Komponen biaya Sebelum kenaikan harga
kedelai (Rp/bulan)
Setelah kenaikan harga
kedelai (Rp/bulan)
Persentase
Perubahan
(%)
Biaya variabel 30 719 487.89 35 771 787.89 14.12
Biaya tetap 1 408 247.64 1 713 647.64 17.82
Total biaya produksi 32 127 735.53 37 485 435.53 14.29
35
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa total biaya produksi
yang dikeluarkan oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot mengalami
peningkatan setelah adanya kenaikan harga kedelai. Apabila dibandingkan dengan
penelitian terdahulu, penelitian Patmawaty (2009) menganalisis bahwa biaya total
produksi yang dikeluarkan menurun karena jumlah produksi tahunya juga
menurun. Penurunan produksi pada penelitian tersebut lebih besar dibanding
peningkatan biaya pengeluaran untuk kedelai. Kondisi tersebut berbeda dengan
penelitian ini karena biaya total produksi yang dikeluarkan meningkat disebabkan
jumlah produksi yang tetap namun harganya meningkat meskipun tidak seluruh
input mengalami kenaikan harga.
Penerimaan, Keuntungan dan R/C Rasio Usaha Tahu di Desa Leuweung
Kolot
Penerimaan merupakan hasil perkalian antara jumlah output yang
diproduksi dengan tingkat harga dari produk tersebut. Analisis penerimaan
bertujuan untuk melihat keragaan dari usaha pembuatan tahu. Penerimaan yang
diterima oleh industri tahu di tempat penelitian tidak hanya berupa hasil penjualan
tahu tetapi penerimaannya juga didapat dari hasil penjualan oncom dan ampas
yang berasal dari sisa pembuatan tahu. Dari 25 responden, hanya 6 orang
responden yang memilih memanfaatkan ampas tahu untuk diolah menjadi oncom.
Sedangkan 19 responden lainnya menjual ampas tahu sebagai residu dari
pembuatan tahu. Industri tahu di Desa Leuweung Kolot yang membuat oncom
hanya mengeluarkan biaya untuk pembelian tepung oncom. Mereka tidak
mengeluarkan biaya untuk membeli ragi oncom karena ragi oncom tersebut
mereka dapat dari oncom yang sudah dibuat yang kemudian diuraikan kembali
menjadi ragi. Sehingga industri tidak mengeluarkan biaya untuk pembelian ragi
oncom tersebut. Harga jual untuk satu oncom berkisar antara Rp500 hingga
Rp2000 tergantung dari ukuran oncom yang dijual industri. Berdasarkan data
penjualan oncom yang dilakukan oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot,
maka rata-rata penerimaan oncom bagi industri tahu sebelum dan setelah kenaikan
harga tidak mengalami perubahan yaitu sebesar Rp510 000 per bulan. Penerimaan
oncom tidak mengalami perubahan karena biaya dari pembuatan oncom yaitu
berupa tepung oncom tidak mengalami kenaikan harga dan produksi industri pun
tidak berkurang sehingga penerimaan oncomnya tetap. Rata-rata penerimaan
industri tahu sebelum dan setelah kenaikan harga keelai dapat dilihat pada Tabel
13.
Tabel 13 Rata-rata penerimaan industri tahu sebelum dan setelah kenaikan harga
kedelai di Desa Leuweung Kolot
Penerimaan Industri
Tahu
Output
sebelum
kenaikan
harga
kedelai(kg)
Output
setelah
kenaikan
harga
kedelai(kg)
Sebelum
Kenaikan
Harga Kedelai
(Rp/bulan)
Setelah
Kenaikan
Harga Kedelai
(Rp/bulan)
Persentase
Perubahan
(%)
Tahu 310.22 310.56 36 497 335.20 45 642 616.80 20.04
Oncom 510 000 510 000 0.00
Ampas Tahu 1 587 000 1 587 000 0.00
Total Penerimaan 38 594 335.20 47 739 616.80 19.16
36
Ampas tahu yang dihasilkan oleh industri dijual sesuai dengan jumlah
kedelai yang mereka gunakan per harinya. Sebagian industri ada yang menjual
ampasnya dalam bentuk saringan seharga Rp3 500 – Rp6 000 per saringan.
Namun ada juga yang menjual per karung dengan kisaran harga Rp10 000 hinga
Rp20 000. Berdasarkan data pada Tabel 13, penerimaan industri untuk ampas tahu
adalah sebesar Rp1 587 000 per bulan. Penerimaan ampas tahu juga tidak
mengalami perubahan karena harga ampas tahu tidak dipengaruhi oleh kenaikan
harga kedelai.
Respon industri tahu di Desa Leuweung Kolot terhadap kenaikan harga
kedelai yaitu dengan menaikkan harga jual atau memperkecil ukuran tahu
sehingga menyebabkan output yang dihasilkan industri tahu sebelum kenaikan
harga kedelai sebesar 310.22 kg dan setelah kenaikan harga kdelai 310.56 kg tahu.
Namun sebagian besar industri memilih untuk menaikkan harga jual karena
dengan naiknya harga jual tahu, industri mampu menutupi biaya yang dikeluarkan
yang bertambah akibat adanya kenaikan harga kedelai. Strategi yang dilakukan
oleh industri tahu tersebut berdampak kepada penerimaan yang diterima oleh
industri. Untuk ukuran tahu yang kecil, industri bisa menaikkan harga Rp 50
hingga Rp 100 per biji tahu. sedangkan untuk ukuran tahu yang lebih besar,
beberapa industri bahkan bisa menaikkan harga Rp 200 sampai Rp 700 per biji
tahu. Keputusan menaikkan harga dilakukan oleh industri sesuai dengan
kesepakatan antar industri. Kenaikan harga jual ini membuat penerimaan tahu
rata-rata industri saat sebelum kenaikan harga kedelai sebesar Rp36 497 335.20
berubah menjadi Rp45 642 616.80 setelah kenaikan harga kedelai. Sehingga total
penerimaan rata-rata industri di Desa Leuweung Kolot mengalami perubahan
sebesar 19.16 persen atau berubah dari Rp38 594 335.20 menjadi Rp47 739
616.80 per bulan.
Saat menghadapi kenaikan harga kedelai, industri tahu di Desa Leuweung
Kolot tidak melakukan pengurangan dalam jumlah produksi tahunya. Namun
mereka memilih untuk menaikkan harga jual atau memperkecil ukurannya dengan
jumlah pembelian kedelai yang sama dengan saat sebelum kenaikan harga kedelai.
Kondisi ini membuat penerimaan rata-rata industri tahu meningkat begitu pula
dengan biaya total rata-rata yang dikeluarkan oleh industri tahu. Pada Tabel 14
dapat dilihat keuntungan yang diterima oleh industri tahu setelah adanya
pengurangan dari total penerimaan yang diterima dengan biaya total yang
dikeluarkan industri.
Tabel 14 Efisiensi rata-rata biaya industri tahu sebelum dan setelah kenaikan
harga kedelai di Desa Leuweung Kolot
Uraian
Sebelum Kenaikan Harga
Kedelai (Rp/bulan)
Setelah Kenaikan Harga
Kedelai (Rp/bulan)
Persentase
Perubahan
(%)
Total Penerimaan 38 594 335.20 47 739 616.80 19.16
Total Biaya 32 127 735.53 37 485 435.53 14.29
Keuntungan 6 466 599.67 10 254 181.27 36.94
R/C atas total biaya 1.31 1.41 7.09
Berdasarkan data tersebut, keuntungan rata-rata yang diterima oleh industri
tahu di Desa Leuweung Kolot berubah sebesar 36.94 persen dari Rp6 466 599.67
menjadi Rp10 254 181.27 per bulan. Adanya strategi yang sudah dilakukan oleh
37
industri tahu saat kenaikan harga kedelai membuat keuntungan yang diterima oleh
industri tersebut meningkat.
Selain adanya peningkatan keuntungan, keberhasilan usaha tahu di Desa
Leuweung Kolot pun meningkat dapat dilihat dari analisis penerimaan atas total
biaya yang dikeluarkan tiap industri responden berupa nilai R/C. R/C diperoleh
dari hasil perbandingan antara rata-rata total penerimaan dengan total biaya yang
dikeluarkan. Nilai R/C pada industri tahu di tempat penelitian ini dapat dikatakan
efisien karena besaran R/C yang diperoleh lebih dari satu. Nilai rata-rata R/C rasio
tersebut dapat dilihat pada Tabel 14 di atas. Dilihat dari nilai R/C sebelum dan
setelah kenaikan harga kedelai mengalami kanaikan sebesar 0.1. Saat sebelum
kenaikan harga kedelai nilai R/C dari usaha tahu di Desa Leuweung Kolot adalah
sebesar 1.31. Setelah kenaikan harga kedelai, nilai R/C usaha tahu pun meningkat
menjadi 1.41. Peningkatan nilai R/C ini disebabkan karena adanya peningkatan
dari penerimaan total yang diterima industri diikuti dengan peningkatan biaya
total yang dikeluarkan oleh industri tahu dalam satu bulan produksi.
Nilai R/C sebelum kenaikan harga kedelai sebesar 1.31 memiliki arti bahwa
jika industri tahu menambah biaya produksinya sebesar Rp131.00 maka
penerimaan industri akan meningkat sebesar Rp131.00. Sedangkan setelah terjadi
kenaikan harga kedelai industri memperoleh tambahan penerimaan sebesar
Rp141.00. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa industri tahu di Desa
Leuweung Kolot saat sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai adalah efisien
dan layak untuk dijalankan.
Meningkatnya keuntungan industri tahu di Desa Leuweung Kolot ini sama
halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Patmawaty (2009). Pada penelitian
yang dilakukan pada industri tahu di Desa bojong Sempu Kecamatan Parung
tersebut, keuntungan yang diterima oleh industri tahu meningkat hingga 60.54
persen. Peningkatan keuntungan pada penelitian Patmawaty lebih besar dibanding
penelitian ini dimana persentase perubahannya keuntungannya hanya sebesar
36.03 persen. Pada penelitian terdahulu peningkatan keuntungan disebabkan
adanya penurunan jumlah produksi untuk menutupi biaya yang dikeluarkan
akibatnya kenaikan harga kedelai. Sedangkan pada penelitian penulis,
peningkatan keuntungan didasarkan pada strategi yang dilakukan oleh industri
responden berupa menaikkan harga jual tahu dan memperkecil ukuran tahu yang
di produksi.
Analisis Uji Beda T-Paired
Analisis uji beda digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
yang signifikan atau tidak terhadap rata-rata keuntungan dan R/C rasio pada
industri tahu di Desa Leuweung Kolot saat sebelum dan setelah kenaikan harga
kedelai. Berdasarkan prosedur pengujian hipotesis, sebelumnya dilakukan uji
normal untuk mengetahui apakah data dalam penelitian menyebar secara normal
atau tidak. Hasil uji normal terhadap rata-rata keuntungan dan R/C rasio dari
industri tahu di Desa Leuweung Kolot dinyatakan telah memenuhi asumsi
menyebar normal. Hal ini terlihat dari hasil pengujian menggunakan SPSS 20
yang menunjukkan bahwa nilai asymp.sig (2-tailed) lebih besar dari taraf nyata (5
38
persen). Hal ini berarti bahwa distribusi populasi pada penelitian ini menyebar
normal.
Pada data tersebut terlihat bahwa nilai asymp.sig (2-tailed) pada keuntungan
sebelum kenaikan harga kedelai sebesar 0.497 dimana nilai ini lebih besar dari
0.05 sebagai taraf nyata pengujian. Ketika nilai asymp.sig (2-tailed) > α maka
distribusi data tersebut dinyatakan menyebar normal sehingga dapat dilakukan
pengujian selanjutnya. Nilai asymp.sig (2-tailed) pada keuntungan setelah
kenaikan harga kedelai sebesar 0.538 > 0.05 yang juga memenuhi asumsi sebaran
normal. Kondisi ini juga sama dengan data nilai R/C rasio dimana nilai asymp.sig
(2-tailed) untuk nilai R/C rasio sebelum kenaikan harga kedelai sebesar 0.360 dan
nilai asymp.sig (2-tailed) untuk nilai R/C rasio setelah kenaikan harga kedelai
sebesar 0.275. Nilai asymp.sig (2-tailed) R/C rasio saat sebelum dan setelah
kenaikan harga kedelai memiliki nilai yang lebih besar dari taraf nyata (5 persen)
sehingga data nilai R/C rasio tersebut dinyatakan memenuhi asumsi menyebar
normal.
Setelah dilakukan uji normal pada data, selanjutnya dapat dilakukan uji t-
paired. Hasil uji beda t-paired terhadap rata-rata keuntungan industri tahu dari
masing-masing responden sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai
memperoleh hasil yang menunjukkan bahwa nilai t-hitung keuntungan kecil
dibanding t-tabel yaitu 2.632 > 2.064. Selain itu pada perhitungan SPSS, nilai
sig.(2-tailed) sebesar 0.015 < 0.05. Nilai t-hitung yang lebih besar dari t-tabel dan
nilai sig.(2-tailed) yang lebih kecil dari taraf nyata menyatakan bahwa hipotesis
ditolak (tolak Ho) yang berarti ada perbedaan yang signifikan terhadap
keuntungan yang diterima industri tahu sebelum dan setelah kenaikan harga
kedelai dimana rata-rata keuntungan sebelum kenaikan harga kedelai sebesar Rp6
466 599.67 dan meningkat setelah adanya kenaikan harga kedelai sebesar Rp10
254 181.27. Hasil perhitungan uji beda t-paired terhadap rata-rata keuntungan
pada industri tahu di Desa Leuweung Kolot dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Analisis uji beda t-paired rata-rata keuntungan dan R/C rasio sebelum
dan setelah kenaikan harga kedelai industri tahu di Desa Leuweung
Kolot Uraian Sebelum Kenaikan Harga Kedelai Setelah Kenaikan Harga Kedelai
Keuntungan 6 466 599.67 10 254 181.27 R/C rasio 1.31 1.41
Keuntungan t-hitung : 2.632
t-tabel (0.05 ; 24) : 2.064 (tolak Ho) Sig.(2-tailed) : 0.015
R/C rasio t-hitung : 2.266
t-tabel (0.05 ; 24) : 2.064 (tolak Ho)
Sig.(2-tailed) : 0.033
Selain itu, uji beda t-paired juga dilakukan terhadap nilai R/C rasio industri
tahu di Desa Leuweung kolot. Hasil uji beda t-paired terhadap nilai R/C rasio
industri tahu menunjukkan bahwa nilai t-hitung R/C rasio lebih besar dibanding t-
tabel yaitu 2.266 > 2.064 dan nilai sig.(2-tailed) 0.033 < 0.05. Hal ini berarti
hipotesis awal (Ho) ditolak atau dapat dinyatakan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan terhadap kelayakan usaha industri tahu di Desa Leuweung Kolot
39
sebelum dan setelah adanya kenaikan harga kedelai dimana nilai R/C rasio
sebelum kenaikan harga kedelai adalah 1.31 dan R/C rasio setelah kenaikan harga
kedelai meningkat menjadi 1.41.
Berdasarkan pengujian perbedaan yang dilakukan secara statistik
menggunakan SPSS dengan uji t-paired dapat dinyatakan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan pada keuntungan dan R/C rasio sebelum dan setelah
kenaikan harga kedelai pada industri tahu di Desa Leuweung Kolot. Perbedaan ini
disebabkan adanya strategi yang dilakukan industri tahu yaitu dengan menaikkan
harga jual dan memperkecil ukuran tahu. selain itu jumlah produksi industri tahu
tidak mengalami perubahan atau tetap sehingga hal ini berdampak pada
keuntungan yang diterima industri semakin meningkat.
Analisis Nilai Tambah
Kegiatan pengolahan kedelai pada usaha tahu merupakan salah satu bentuk
aktivitas yang mampu meningkatkan nilai komoditi kedelai. Besaran nilai tambah
tersebut dapat dihitung melalui analisis nilai tambah menggunakan metode
Hayami. Melalui metode Hayami ini dapat diuraikan proses produksi tahu
menurut sumbangan masing-masing faktor produksi dan dapat diketahui pula
distribusi nilai tambah terhadap tenaga kerja dan industri. Pada penelitian ini,
analisis nilai tambah digunakan untuk melihat perhitungan nilai tambah pada
kondisi sebelum kenaikan harga kedelai dan setelah kenaikan harga kedelai.
Perhitungan nilai tambah ini didasarkan pada struktur biaya produksi dari
industri tahu di Desa Leuweung Kolot selama satu hari produksi. Salah satu dari
struktur biaya tersebut berupa bahan baku. Bahan baku utama pada usaha tahu ini
adalah kedelai. Sedangkan bahan baku lainnya diantaranya sioko, garam, bahan
bakar, kunyit, sepuhan, dan kemasan.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai tambah menggunakan metode Hayami
yang dapat dilihat pada Tabel 16 menjelaskan bahwa sebelum dan setelah
kenaikan harga kedelai output yang dihasilkan oleh industri tahu mengalami
peningkatan dari 310.22 kg/hari menjadi 310.56 kg/hari. Perubahan ini didasarkan
pada strategi yang dilakukan oleh industri tahu. Beberapa industri tahu
menetapkan strategi untuk memperkecil ukuran tahunya dan juga ada responden
yang mengurangi jenis tahu yang dijual sehingga bobot output tahu menjadi
berubah.
Pada variabel input dan tenaga kerja sebelum dan setelah kenaikan harga
memiliki nilai tetap. Pada variabel tenaga kerja dapat dilihat bahwa dalam satu
hari seluruh tenaga kerja pada usaha tahu rata-rata bekerja selama 40.40 jam
dengan koefisien tenaga kerja sebesar 0.42. Koefisien tenaga kerja diperoleh dari
hasil perbandingan antara tenaga kerja dengan nilai input. Koefisien ini memiliki
arti bahwa waktu yang dibutuhkan oleh tenaga kerja untuk mengolah tiap
kilogram kedelai agar menjadi tahu adalah sebesar 0.42 jam. Kondisi ini berlaku
sama saat sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai karena nilainya yang tetap.
Perbandingan antara bobot berat tahu dengan jumlah bahan baku dalam satu
hari produksi menghasilkan faktor konversi sebesar 3.24 pada kondisi sebelum
dan setelah kenaikan harga kedelai. Nilai ini menandakan bahwa saat setelah
kenaikan harga kedelai, setiap kilogram kedelai yang diolah hanya mampu
40
menghasilkan 3.24 kilogram tahu. Perhitungan rata-rata analisis nilai tambah pada
industri tahu di Desa Leuweung Kolot dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Perhitungan rata-rata nilai tambah industri tahu sebelum dan setelah
kenaikan harga kedelai di Desa Leuweung Kolot
No Variabel Nilai
Sebelum
Kenaikan
Harga
Kedelai
Setelah
Kenaikan
Harga
Kedelai
Persentase
Perubahan
(%)
I Output, Input dan Harga
1. Output (Kg/hari) A 310.22 310.56 0.11
2. Input (Kg/hari) B 95.84 95.84 0
3. Tenaga Kerja (jam/hari) C 40.40 40.40 0
4. Faktor Konversi D=A/B 3.24 3.24 0
5. Koefisien tenaga kerja E=C/B 0.42 0.42 0
6. Harga output (Rp/Kg
output) F
4870.51 5962.28 18.31
7. Upah tenaga kerja langsung
(Rp/jam) G
4472.59 4544.81 1.59
II Penerimaan dan
Keuntungan
8. Harga bahan baku (Rp/Kg
bahan baku) H
7368.00 9000.00 18.13
9. Sumbangan input lain
(Rp/Kg ouput) I
564.14 582.63 3.17
10. Nilai output (Rp/Kg) J=D x F 15764.96 19319.96 18.40
11. a.Nilai tambah (Rp/Kg) K=J–H–I 7832.82 9737.32 19.56
b.Rasio nilai tambah (%) L%=(K/J)x100% 49.68% 50.40% 1.42
12. a.Keuntungan tenaga kerja
langsung (Rp/Kg) M=ExG
1885.36 1915.80 1.59
b.Pangsa tenaga kerja (%) N%=(M/K)x100% 24.07% 19.67% -22.34
13. a.Keuntungan (Rp/Kg) O=K–M 5947.46 7821.53 23.96
b.Tingkat Keuntungan (%) P%=(O/K)x100% 75.93% 80.33% 5.47
III. Balas Jasa Pemilik Faktor-
faktor Produksi
14. Marjin (Rp/Kg) Q=J–H 8396.96 10319.96 18.63
a.Keuntungan tenaga kerja
langsung (%) R%=(M/Q)x100%
22.45% 18.56% -20.95
b.Sumbangan input lain
(%) S%=(I/Q)x100%
6.72% 5.65% -19.00
c.Keuntungan pemilik
perusahaan (%) T%=(O/Q)x 100%
70.83% 75.79% 6.55
Perhitungan nilai tambah selanjutnya dilihat dari harga bahan baku kedelai
yang dibeli oleh industri tahu di Desa Leuweung kolot. Berdasarkan perhitungan
harga bahan baku sebelum kenaikan harga kedelai adalah sebesar Rp7 368 per
kilogram dan setelah kenaikan harga kedelai harga bahan baku naik menjadi Rp9
000 per kilogram. Dari kondisi inilah dilihat bagaimana dampak kenaikan harga
kedelai tersebut terhadap nilai tambah yang mampu dihasilkan oleh industri tahu
41
di Desa Leuweung Kolot.
Sumbangan input lain adalah biaya yang dikeluarkan oleh usaha tahu selain
dari bahan baku kedelai dan tenaga kerja. Sumbangan input lain pada kegiatan
pengolahan kedelai menjadi tahu terdiri dari biaya bahan baku lainnya seperti
sioko, garam, bahan bakar, kunyit, sepuhan, dan kemasan. Nilai sumbangan input
lain sebelum kenaikan harga kedelai adalah sebesar Rp564.14 per kilogram output
dan naik menjadi Rp582.63 per kilogram output setelah kenaikan harga kedelai.
Nilai output tahu sebelum kenaikan harga kedelai sebesar Rp15 764.96 per
kilogram sedangkan setelah kenaikan harga kedelai nilai output ini meningkat
menjadi Rp19 319.96 per kilogram. Nilai ini diperoleh dari hasil perkalian antara
faktor konversi dengan harga output tahu. Nilai output setelah kenaikan harga
kedelai menandakan bahwa nilai tahu yang dihasilkan dari tiap kilogram kedelai
adalah sebesar Rp19 319.96. Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan kedelai
menjadi tahu sebelum kenaikan harga kedelai adalah Rp7 832.82 per kilogram
dengan rasio sebesar 49.68 persen. Rasio nilai tambah terhadap nilai output ini
menunjukkan bahwa setiap Rp 100.00 nilai output tahu akan diperoleh nilai
tambah sebesar Rp49.68. Begitu pula sebaliknya pada kondisi setelah kenaikan
harga kedelai dimana nilai tambah yang diperoleh meningkat menjadi Rp9 737.32
dengan rasio nilai tambah yang naik menjadi 50.40 persen.
Berdasarkan perhitungan nilai tambah didapat keuntungan dari usaha tahu
sebelum kenaikan harga kedelai adalah sebesar Rp5 947.46 per kilogram dengan
tingkat keuntungan 75.93 persen. Sedangkan saat setelah kenaikan harga,
keuntungan usaha tahu meningkat mejadi Rp7 821.53 dengan tingkat keuntungan
sebesar 80.33 persen. Sehingga setelah kenaikan harga kedelai distribusi
keuntungan nilai tambah untuk pemilik usaha meningkat dari 70.83 persen
menjadi 75.79 persen dimana keuntungan pemilik usaha lebih tinggi dibanding
keuntungan untuk tenaga kerja. Berdasarkan marjin yang diperoleh, keuntungan
tenaga kerja menurun setelah kenaikan harga yaitu dari 22.45 persen menjadi
18.56 persen.
Apabila dibandingkan dengan penelitian terdahulu, pada penelitian Fitri
(2013) yang menganalisis nilai tambah Usaha Tahu Bandung Kayun-Yun Desa
Cihideung Hilir Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor memiliki kesamaan dalam
metode yang digunakan yaitu menggunakan metode Hayami. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada tempat penelitian dimana
pada penelitian terdahulu, analisis nilai tambah dilakukan pada usaha tahu
Bandung Kayun-Yun sedangkan penelitian ini dilakukan pada industri tahu yang
ada di Desa Leuweung Kolot. Penelitian Fitri (2013) juga menganalisis nilai
tambah sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Perhitungan nilai tambah
pada penelitian ini dan penelitian terdahulu sama-sama mengalami peningkatan
setelah adanya kenaikan harga kedelai.
42
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat disimpulkan dari hasil pembahasan adalah
sebagai berikut:
1. Kenaikan harga kedelai berpengaruh pada struktur biaya pada industri tahu di
di Desa Leuweung Kolot. Hal ini terlihat dari meningkatnya biaya variabel
dan biaya tetap yang dikeluarkan oleh industri tahu. Biaya variabel meningkat
disebabkan adanya kenaikan harga pada input kedelai, bahan bakar, kemasan,
dan tenaga kerja. Sedangkan biaya tetap meningkat karena adanya kenaikan
pada biaya transportasi.
2. Penerimaan industri tahu di Desa Leuweung Kolot berubah karena adanya
strategi yang ditetapkan oleh industri tahu yaitu menaikkan harga jual tahu
dan memperkecil ukuran tahu. Adanya kenaikan harga kedelai berpengaruh
pada biaya industri tahu yang diiringi peningkatan penerimaan sehingga
diperoleh hasil bahwa keuntungan yang diterima oleh industri tahu juga
meningkat.
3. Perhitungan nilai tambah pengolahan kedelai menjadi tahu pada industri tahu
di Desa Leuweung Kolot dipengaruhi oleh kenaikan harga kedelai. Industri
tahu mengalami peningkatan nilai tambah setelah adanya kenaikan harga
kedelai. Selain nilai tambah, nilai input dari pengolahan tahu tersebut juga
mengalami peningkatan setelah adanya kenaikan harga kedelai. Pada
perhitungan nilai tambah ini, keuntungan yang diterima oleh pemilik usaha
lebih besar dibanding keuntungan tenaga kerja.
Saran
Beberapa saran yang dapat direkomendasikan berkaitan dengan penelitian
yaitu:
1. Pengrajin tahu sebaiknya mengefisiensikan penggunaan input dalam
memproduksi tahu sehingga mampu menekan peningkatan biaya pada biaya
variabel.
2. Pemerintah sebaiknya mengadakan penyuluhan dan pelatihan pada pengrajin
tahu agar dapat berpartisipasi sebagai anggota aktif di KOPTI sehingga dapat
meningkatkan kualitas tahu dan mempermudah akses dalam memperoleh
bahan baku kedelai.
3. Penelitian ini fokus pada industri tahu di Desa Leuweung Kolot sehingga
diperlukan penelitian di lokasi lain dengan menganalisis pengaruh kenaikan
harga kedelai pada indutri tahu dengan jumlah responden yang lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Afianti R. 2011. Respon Masyarakat Lokal Atas Kehadiran Industri Pengolahan
Tahu (Studi Kasus: Kampung Cikaret, Kelurahan Cikaret, Kecamatan
43
Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut
Pertanian Bogor.
Amalia S. 2008. Dampak Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Efisiensi Teknis dan
Keuntungan Usaha Tempe dengan Pendekatan Stochastic Frontier (Studi
Kasus di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor).
[Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Ambarwangi K.F. 2014. Analisis Usaha Pengrajin Tahu Sumedang Sebelum dan
Setelah Kenaikan Harga Kedelai (Studi Kasus: Kecamatan Tanjungsari,
Sumedang).[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Atmaja L.S. 2009. Statistika untuk Bisnis dan ekonomi. Yogyakarta (ID): ANDI
[BPS]. 2013. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Kedelai Provinsi
Jawa Barat 2009-2013. [internet]. [Diunduh 2013 Desember 10]. Jakarta
(ID) : Badan Pusat Statistik. Tersedia pada : http://www.bps.go.id
[BPS]. 2013. Volume Impor Komoditas Tanaman Pangan Indonesia 2009-
2012.[Diunduh 2013 Des 10]. Jakarta (ID) : Badan Pusat Statistik. Tersedia
pada : www.bps.go.id.
[BPS]. 2013. Perkembangan konsumsi bahan makanan mengandung kedelai di
rumah tangga. [internet]. [Diunduh : 2014 Juli 5]. Jakarta (ID) : Badan Pusat
Statistik. Tersedia pada : www.bps.go.id.
[Ditjen PPHP]. 2013. Analisis Perkembangan Harga Komoditas Pertanian Januari
2013 – Maret 2013. [internet]. [Diunduh 2013 Des 11]. Jakarta (ID) :
Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Tersedia
pada : http://pphp.deptan.go.id
Fitri R. 2014. Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai terhadap Profitabilitas dan Nilai
Tambah Usaha Tahu Bandung Kayun-Yun di Desa Cihideung Hilir
Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. [Skripsi] Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor. Gaspersz V. 2000. Ekonomi Manajerial : Pembuatan Keputusan Bisnis. Jakarta (ID) :
Gramedia Pustaka Utama. Hayami Y, Kawagoe T, Morooka Y, Siregar M. 1987. Agriculture Agricultural
Marketing and Processing in Upland Java A Perspective From A Sunda
Village. Bogor (ID) : CPGRT Centre.
Kementrian Perindustrian. 2014. Ironi Kedelai Impor di Negeri Tempe [diunduh
2014 Jan 15]. Tersedia pada: http://www.kemenperin.go.id
[KOPTI] Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (ID). 2013. Rekapitulasi
Anggota KOPTI Kabupaten Bogor Perwilayah Pelayanan Tahun 2012.
Kabupaten Bogor.
Lipsey, Richard G, Courant P.N, Purvis D.D, Steiner P.O. 1995. Pengantar
Mikroekonomi Jilid Satu. Jakarta (ID): Binarupa Aksara.
Lupin Foods Australia. 2013. Lupin Manis Australia – Pilihan baru bagi pecinta
tempe Indonesia. [internet]. [diunduh 2014 Juli 4]. Tersedia pada :
http://www.lupinfoods.com.au Nicholson W. 1995. Teori Mikroekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan. Jakarta
(ID) : Binarupa Aksara. Patmawaty. 2009. Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai Terhadap
Keuntungan Usaha Industri Tahu Skala Kecil dan Rumah Tangga. [Skripsi].
Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
44
Pemerintah Desa Leuweung Kolot. 2013. Laporan Tahunan Desa Leuweung
Kolot Tahun 2013.
Permadi, Galih. 2013. Kedelai Mahal, Puskopti Jateng Akan Impor 500 Ton
Kacang Lupin Australia. [internet]. [diunduh 2014 Juli 4]. Tersedia pada:
http://jateng.tribunnews.com
Prawirokusumo S. 1990. Ilmu Usahatani. Yogyakarta (ID) : BPFE
Putri S. 2013. Kelayakan Usaha dan Nilai Tambah Olahan Jamur Tiram Putih
(Pleurotus ostreatus) di Bekasi. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian
Bogor.
Riduwan. 2009. Pengantar Statistika Sosial. Bandung (ID): Alfabeta
Salvatore D. 2006. Mikroekonomi Edisi Keempat. Jakarta (ID): Erlangga.
Saputra, Soni A. 2014. Harga Kedelai Tetap Tinggi, Industri Tempe di Citeureup
Bogor Terancam Bangkrut [Internet]. [diunduh 2014 Jan 20]. Tersedia
pada : http://rribogor.co/
Setianingsih A. 2007. Analisis kinerja Industri Rumah Tangga Tahu Pong di
Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Jawa tengah. [Skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Siagian D, Sugiarto. 2006. Metode Statistika Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta
(ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
Silalahi A.A. 2013. Analisis Keuntungan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Produksi Usahatani Kedelai di Desa Cieuyeum, Kecamatan Haurwangi,
Kabupaten Cianjur.[Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Sinaga M.S. 2008. Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing Dan Dampak
Kebijakan Pemerintah Terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor.
[Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Sugiyono. 2003. Statistika Untuk Penelitian. Bandung (ID) : Alfabeta.
Supranto J. 2009. Statistik: Teori dan Aplikasi Edisi Ketujuh. Jakarta (ID):
Erlangga.
Suratiyah K. 2009. Ilmu Usahatani. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya.
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia.
Soekartawi, Soeharjo A, Dillon J.L, Hardaker J.B. 1986. Ilmu Usahatani dan
Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta (ID) : Universitas
Indonesia.
Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. Jakarta (ID) : PT. Raja Grafindo
Persada.
Tunggadewi A.T. 2009. Analisis Profitabilitas dan Nilai Tambah Usaha Tahu dan
Tempe (Studi Kasus di Kecamatan Tegal Gundil dan Cilendek Timur Kota
Bogor). [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Toyudho, Eko S. 2014. Harga Kedelai Saat Ini Tertinggi Dalam Sejarah [Internet].
[diunduh 2014 Jan 20]. Tersedia pada : http://www.tempo.com/
45
LAMPIRAN
Lampiran 1 Rata-rata jumlah dan harga peralatan produksi industri tahu di Desa
Leuweung Kolot Uraian Jumlah (unit) Harga (Rp)
Mesin penggiling 1 4 792 000
Tahang 3 456 000
Ember 5 13 640
Ebek 24 26 620
Cetakan 10 167 800
Jirigen 13 22 380
Kuali 2 201 000
Drum 1 42 000
Saringan 4 25 080
Siantai 1 152 800
Lampiran 2 Volume impor komoditas tanaman pangan Indonesia, 2010-2013
Komoditas 2010
(Ton)
2011
(Ton)
2012
(Ton)
2013
(Ton)
Tw. I Tw. II Tw. III
Beras Segar 687 582 2 744 002 1 927 330 114 269 129 548 109 668
Beras Olahan 1 259 233 2 9 0.1
Gandum Segar 4 824 049 5 648 065 6 827 279 1 311 499 1 999 558 1 587 678
Gandum Olahan 900 963 828 512 610 336 64 249 61 291 68 025
Jagung Segar 1 527 517 3 207 657 1 797 876 741 408 549 491 624 690
Jagung Olahan 259 294 103 327 91 555 15 768 11 920 21 865
Kacang Tanah
Segar
229 393 251 004 197 963 65 197 81 454 74 752
Kacang Tanah
Olahan
1 393 2 099 1 305 326 404 457
Kedelai Segar 1 740 505 2 088 616 2 105 629 234 926 627 532 350 036
Kedelai Olahan 32 158 36 896 23 134 4 425 6 351 6 972
Ubi Jalar Segar 32 25 24 13 8 0
Ubi Kayu Segar 21 6 13 291 0 101 0
Ubi Kayu Olahan 294 832 435 419 842 835 71 796 61 703 59 836
Lainnya 6 862 17 124 1 984 15 267 35 538 36 889
Total 10 504 504 15 363
009
14 440 773 2 638 965 3 564 909 2 940 869
Sumber: BPS 2013
46
Lampiran 3 Struktur biaya industri tahu sebelum kenaikan harga kedelai
No.
Biaya Variabel
Bahan Bakar
Kedelai Sioko Garam Solar Bensin Kayu Bakar Kunyit
(Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan)
1 4725000 90000 90000 150000 0 962057.1429 0
2 11250000 102000 102000 202500 0 1756800 420000
3 11250000 180000 120000 300000 0 976000 240000
4 13500000 76500 76500 150000 0 1288320 90000
5 8400000 135000 135000 0 165000 1610400 120000
6 11250000 180000 108000 0 270000 1288320 0
7 8400000 180000 90000 300000 0 1720200 0
8 5625000 90000 180000 150000 0 836571.4286 0
9 15750000 76500 60000 0 270000 1317600 180000
10 9000000 180000 180000 135000 0 1045714.286 0
11 55500000 189000 0 450000 0 6441600 480000
12 9000000 135000 135000 247500 0 644160 240000
13 9000000 135000 90000 0 330000 732000 0
14 13500000 150000 144000 0 150000 1045714.286 240000
15 4500000 90000 90000 165000 0 673440 0
16 86400000 1104000 816000 1350000 0 8784000 0
17 19980000 0 240000 300000 0 2244800 0
18 32400000 0 504000 1350000 0 4392000 0
19 10500000 0 168000 247500 0 2244800 0
20 6840000 0 120000 405000 0 2928000 0
21 43200000 510000 255000 540000 0 7320000 1050000
22 6480000 90000 90000 0 150000 878400 0
23 45000000 0 300000 405000 0 6734400 0
24 65700000 1080000 1080000 1350000 0 12883200 0
25 19440000 0 240000 495000 0 3367200 0
TOTAL 526590000 4773000 5413500 8692500 1335000 74115697.14 3060000
Rata-rata 21063600 190920 216540 347700 53400 2964627.886 122400
47
No.
Biaya Variabel Total Biaya
Variabel
Biaya Tetap
Sepuhan Kemasan Tenaga
Kerja
Tepung
Oncom Transportasi Listrik
(Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan)
1 0 0 4500000 0 10517057.14 420000 20000
2 0 0 4800000 0 18633300 450000 20000
3 0 0 3900000 0 16966000 1200000 60000
4 0 0 6600000 0 21781320 1050000 50000
5 0 0 3000000 0 13565400 900000 40000
6 60000 0 3450000 0 16606320 600000 20000
7 0 480000 1500000 67500 12737700 0 20000
8 120000 210000 3600000 30000 10841571.43 180000 30000
9 0 0 4200000 135000 21989100 900000 30000
10 30000 270000 2400000 60000 13300714.29 300000 30000
11 0 0 10500000 0 73560600 1200000 60000
12 0 450000 1800000 30000 12681660 660000 20000
13 60000 540000 2700000 0 13587000 450000 40000
14 0 300000 3000000 135000 18664714.29 900000 40000
15 0 240000 1500000 30000 7288440 420000 20000
16 0 0 10500000 0 108954000 720000 100000
17 0 960000 7500000 0 31224800 0 20000
18 0 0 12600000 0 51246000 450000 50000
19 0 0 6150000 0 19310300 750000 50000
20 0 0 2400000 0 12693000 1125000 60000
21 0 0 10800000 0 63675000 3000000 100000
22 120000 1080000 1200000 0 10088400 750000 20000
23 0 0 16200000 0 68639400 1500000 60000
24 0 0 10200000 0 92293200 3300000 600000
25 0 0 3600000 0 27142200 450000 65000
TOTAL 390000 4530000 138600000 487500 767987197.1 21675000 1625000
Rata-rata 15600 181200 5544000 19500 30719487.89 867000 65000
48
No.
Biaya tetap Total Biaya
Tetap Total Biaya
Penerimaan
Total
Industri
Tahu
R/C Sumbangan
Input Lain Penyusutan
Sewa
Bangunan
(Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan)
1 395208.3333 0 835208.3333 11352265.48 8190000 0.721441902 43068.57143
2 179638.1579 0 649638.1579 19282938.16 15714000 0.814917305 86110
3 147463.8889 0 1407463.889 18373463.89 19380000 1.054782055 60533.33333
4 105027.7778 0 1205027.778 22986347.78 27735000 1.206585764 56044
5 164333.3333 0 1104333.333 14669733.33 13485000 0.919239614 72180
6 140645.8333 0 760645.8333 17366965.83 26970000 1.552948296 63544
7 146944.4444 0 166944.4444 12904644.44 20681100 1.602609052 94590
8 102625 0 312625 11154196.43 13500000 1.210306819 53885.71429
9 391888.8889 0 1321888.889 23310988.89 30000000 1.28694669 67970
10 194166.6667 0 524166.6667 13824880.95 13950000 1.00905028 63357.14286
11 522916.6667 0 1782916.667 75343516.67 72000000 0.955623034 252020
12 107236.1111 0 787236.1111 13468896.11 33000000 2.45008943 62722
13 85750 0 575750 14162750 21930000 1.548428095 62900
14 241885.6838 0 1181885.684 19846599.97 38640000 1.946932979 72157.14286
15 174988.0952 0 614988.0952 7903428.095 15450000 1.954847923 42948
16 660000 0 1480000 110434000 97233600 0.880467972 401800
17 127916.6667 0 147916.6667 31372716.67 42300000 1.348305295 124826.6667
18 846458.3333 0 1346458.333 52592458.33 53472000 1.016723722 208200
19 221222.2222 0 1021222.222 20331522.22 26106720 1.284051421 88676.66667
20 358777.7778 0 1543777.778 14236777.78 19200000 1.348619772 115100
21 176083.3333 3000000 6276083.333 69951083.33 91440000 1.307199198 322500
22 135055.5556 0 905055.5556 10993455.56 13830000 1.258021186 80280
23 696805.5556 0 2256805.556 70896205.56 72829680 1.027271903 247980
24 2136958.333 0 6036958.333 98330158.33 126512280 1.286607101 546440
25 446194.4444 0 961194.4444 28103394.44 51309000 1.825722516 136740
TOTAL 8906191.104 3000000 35206191.1 803193388.2 964858380 32.81773933
Rata-rata 356247.6441 120000 1408247.644 32127735.53 38594335.2 1.312709573
49
Lampiran 4 Struktur biaya industri tahu setelah kenaikan harga kedelai
No.
Biaya Variabel
Bahan Bakar
Kedelai Sioko Garam Solar Bensin Kayu Bakar Kunyit
(Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan)
1 5670000 90000 90000 180000 0 962057.1429 0
2 13500000 102000 102000 247500 0 1756800 420000
3 13500000 180000 120000 330000 0 976000 240000
4 16200000 76500 76500 180000 0 1288320 90000
5 10800000 135000 135000 0 225000 1610400 120000
6 13500000 180000 108000 0 390000 1288320 0
7 10800000 180000 90000 360000 0 1720200 0
8 6750000 90000 180000 180000 0 836571.4286 0
9 18900000 76500 60000 0 337500 1317600 180000
10 10800000 180000 180000 165000 0 1045714.286 0
11 67500000 189000 0 750000 0 6441600 480000
12 10800000 135000 135000 292500 0 644160 240000
13 10800000 135000 90000 0 420000 732000 0
14 16200000 150000 144000 0 210000 1045714.286 240000
15 5400000 90000 90000 180000 0 673440 0
16 108000000 1104000 816000 1650000 0 8784000 0
17 24300000 0 240000 360000 0 2244800 0
18 40500000 0 504000 1650000 0 4392000 0
19 13500000 0 168000 292500 0 2244800 0
20 8100000 0 120000 495000 0 2928000 0
21 54000000 510000 255000 780000 0 7320000 1050000
22 8100000 90000 90000 0 210000 878400 0
23 54000000 0 300000 585000 0 6734400 0
24 81000000 1080000 1080000 1950000 0 12883200 0
25 24300000 0 240000 585000 0 3367200 0
TOTAL 646920000 4773000 5413500 11212500 1792500 74115697.14 3060000
Rata-rata 25876800 190920 216540 448500 71700 2964627.886 122400
50
No.
Biaya Variabel Total Biaya
Variabel
Biaya Tetap
Sepuhan Kemasan Tenaga
Kerja
Tepung
Oncom Transportasi Listrik
(Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan)
1 0 0 4500000 0 11492057.14 600000 20000
2 0 0 4800000 0 20928300 540000 20000
3 0 0 3900000 0 19246000 1500000 60000
4 0 0 6600000 0 24511320 1350000 50000
5 0 0 3000000 0 16025400 1500000 40000
6 60000 0 3450000 0 18976320 900000 20000
7 0 600000 1500000 67500 15317700 0 20000
8 120000 300000 3600000 30000 12086571.43 300000 30000
9 0 0 4200000 135000 25206600 1200000 30000
10 30000 480000 3000000 60000 15940714.29 420000 30000
11 0 0 10500000 0 85860600 1500000 60000
12 0 600000 2700000 30000 15576660 1050000 20000
13 60000 720000 2700000 0 15657000 750000 40000
14 0 390000 3000000 135000 21514714.29 1500000 40000
15 0 300000 1500000 30000 8263440 600000 20000
16 0 0 10500000 0 130854000 900000 100000
17 0 1200000 7500000 0 35844800 0 20000
18 0 0 12600000 0 59646000 750000 50000
19 0 0 6150000 0 22355300 1050000 50000
20 0 0 2400000 0 14043000 1500000 60000
21 0 0 10800000 0 74715000 3600000 100000
22 120000 1440000 1200000 0 12128400 1050000 20000
23 0 0 16200000 0 77819400 1800000 60000
24 0 0 10200000 0 108193200 4500000 600000
25 0 0 3600000 0 32092200 450000 65000
TOTAL 390000 6030000 140100000 487500 894294697.1 29310000 1625000
Rata-rata 15600 241200 5604000 19500 35771787.89 1172400 65000
51
No.
Biaya tetap Total Biaya
Tetap Total Biaya
Penerimaan
Total
Industri
Tahu
R/C Sumbangan
Input Lain Penyusutan Sewa
Bangunan
(Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan)
1 395208.3333 0 1015208.333 12507265.48 9315000 0.744767113 44068.57143
2 179638.1579 0 739638.1579 21667938.16 29337000 1.35393593 87610
3 147463.8889 0 1707463.889 20953463.89 23130000 1.103874764 68033.33333
4 105027.7778 0 1505027.778 26016347.78 34485000 1.325512724 57044
5 164333.3333 0 1704333.333 17729733.33 19485000 1.099001301 74180
6 140645.8333 0 1060645.833 20036965.83 32220000 1.608027895 67544
7 146944.4444 0 166944.4444 15484644.44 24457320 1.57945635 100590
8 102625 0 432625 12519196.43 17250000 1.377883964 57885.71429
9 391888.8889 0 1621888.889 26828488.89 36750000 1.369812521 70220
10 194166.6667 0 644166.6667 16584880.95 17250000 1.040103939 71357.14286
11 522916.6667 0 2082916.667 87943516.67 94800000 1.077964625 262020
12 107236.1111 0 1177236.111 16753896.11 41400000 2.471067012 69222
13 85750 0 875750 16532750 27780000 1.68030122 71900
14 241885.6838 0 1781885.684 23296599.97 66390000 2.849772073 77157.14286
15 174988.0952 0 794988.0952 9058428.095 16650000 1.838067248 45448
16 660000 0 1660000 132514000 106176000 0.801243642 411800
17 127916.6667 0 147916.6667 35992716.67 46350000 1.287760533 134826.6667
18 846458.3333 0 1646458.333 61292458.33 77616000 1.266322189 218200
19 221222.2222 0 1321222.222 23676522.22 29726400 1.255522231 90176.66667
20 358777.7778 0 1918777.778 15961777.78 22950000 1.437809768 118100
21 176083.3333 3000000 6876083.333 81591083.33 113400000 1.389857756 330500
22 135055.5556 0 1205055.556 13333455.56 17175000 1.288113192 94280
23 696805.5556 0 2556805.556 80376205.56 94757280 1.178922037 253980
24 2136958.333 0 7236958.333 115430158.3 140011380 1.212953201 566440
25 446194.4444 0 961194.4444 33053394.44 54629040 1.652751281 139740
TOTAL 8906191.104 3000000 42841191.1 937135888.2 1193490420 35.29080451
Rata-rata 356247.6441 120000 1713647.644 37485435.53 47739616.8 1.41163218
52
Lampiran 5 Penerimaan industri tahu sebelum kenaikan harga kedelai
No Nama Responden Penerimaan
Total Tahu (Rp)
Penerimaan
Ampas (Rp)
Penerimaan Oncom
(Rp)
Total Penerimaan
Industri Tahu
1 Wawat 262500 10500 0 273000
2 Ukar 499800 24000 0 523800
3 Mirnan 625000 21000 0 646000
4 Haji Oma 900000 24500 0 924500
5 Danis 425000 24500 0 449500
6 Abbas 875000 24000 0 899000
7 Pendi 629370 0 60000 689370
8 Arup 400000 0 50000 450000
9 Supandi 900000 0 100000 1000000
10 Sutarna 405000 0 60000 465000
11 Endang 2280000 120000 0 2400000
12 Salib 1040000 60000 0 1100000
13 Basit 710000 21000 0 731000
14 Sainan 1200000 8000 80000 1288000
15 Rahmat 440000 0 75000 515000
16 Ita Sunarya 3001120 240000 0 3241120
17 Hendra 1350000 60000 0 1410000
18 Sri 1702400 80000 0 1782400
19 Daus 780224 90000 0 870224
20 Darkim 625000 15000 0 640000
21 Tatang 2928000 120000 0 3048000
22 Isnen 446000 15000 0 461000
23 Tardani 2287656 140000 0 2427656
24 Tarya 4052076 165000 0 4217076
25 Rudi 1650300 60000 0 1710300
Total 30414446 1322500 425000 32161946
Rata-rata 1216577.84 52900 17000 1286477.84
53
Lampiran 6 Penerimaan industri tahu setelah kenaikan harga kedelai
No Nama Responden Penerimaan
Total Tahu
Penerimaan
Ampas (Rp)
Penerimaan
Oncom (Rp) Total Penerimaan
Industri Tahu
1 Wawat 300000 10500 0 310500
2 Ukar 953900 24000 0 977900
3 Mirnan 750000 21000 0 771000
4 Haji Oma 1125000 24500 0 1149500
5 Danis 625000 24500 0 649500
6 Abbas 1050000 24000 0 1074000
7 Pendi 755244 0 60000 815244
8 Arup 525000 0 50000 575000
9 Supandi 1125000
0 100000 1225000
10 Sutarna 515000
0 60000 575000
11 Endang 3040000
120000 0 3160000
12 Salib 1320000
60000 0 1380000
13 Basit 905000
21000 0 926000
14 Sainan 2125000 8000 80000 2213000
15 Rahmat 480000 0 75000 555000
16 Ita Sunarya 3299200 240000 0 3539200
17 Hendra 1485000 60000 0 1545000
18 Sri 2507200 80000 0 2587200
19 Daus 900880 90000 0 990880
20 Darkim 750000 15000 0 765000
21 Tatang 3660000 120000 0 3780000
22 Isnen 557500 15000 0 572500
23 Tardani 3018576 140000 0 3158576
24 Tarya 4502046 165000 0 4667046
25 Rudi 1760968 60000 0 1820968
Total 38035514 1322500 425000 39783014
Rata-rata 1521420.56 52900 17000 1591320.56
54
Lampiran 7 Rata-rata total biaya per bulan yang dikeluarkan industri tahu
sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai
Uraian
Sebelum Kenaikan Harga
Kedelai (Rp/bulan)
Setelah Kenaikan Harga
Kedelai (Rp/bulan)
Penerimaan Industri Tahu
Tahu 36 497 335.20 45 642 616.80
Oncom 510 000 510 000
Ampas Tahu 1 587 000 1 587 000
Total Penerimaan 38 594 335.20 47 739 616.80
Biaya Variabel
Kedelai 21 063 600 25 876 800
Sioko 190 920 190 920
Garam 216 540 216 540
Solar 347 700 448 500
Bensin 53 400 71 700
Kayu Bakar 2 964 627.89 2 964 627.89
Kunyit 122 400 122 400
Sepuhan 15 600 15 600
Kemasan 181 200 241 200
Tenaga Kerja 5 544 000 5 604 000
Tepung Oncom 19 500 19 500
Total Biaya Variabel 30 719 487.89 35 771 787.89
Biaya Tetap
Transportasi 867 000 1 172 400
Listrik 65 000 65 000
Sewa Bangunan 120 000 120 000
Penyusutan 356 247.64 356 247.64
Total Biaya Tetap 1 408 247.64 1 713 647.64
Total Biaya 32 127 735.53 37 485 435.53
Keuntungan Bersih 6 466 599.67 10 254 181.27
R/C atas total biaya 1.31 1.41
55
Lampiran 8 Uji beda t-paired keuntungan dan R/C rasio sebelum dan setelah
kenaikan harga kedelai
NPar Tests
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
KeuntunganSebelum KeuntunganSetelah
N 25 25
Normal Parametersa,b
Mean 6466599,6705 10254181,2705
Std. Deviation 9632963,71028 12944799,98945
Most Extreme Differences
Absolute ,166 ,161
Positive ,166 ,161
Negative -,109 -,149
Kolmogorov-Smirnov Z ,830 ,804
Asymp. Sig. (2-tailed) ,497 ,538
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
T-Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 KeuntunganSebelum 6466599,6705 25 9632963,71028 1926592,74206
KeuntunganSetelah 10254181,2705 25 12944799,98945 2588959,99789
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 KeuntunganSebelum &
KeuntunganSetelah 25 ,836 ,000
56
NPar Tests
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
RCSebelum RCSetelah
N 25 25
Normal Parametersa,b
Mean 1,3127 1,4116
Std. Deviation ,40787 ,45704
Most Extreme Differences
Absolute ,185 ,199
Positive ,185 ,199
Negative -,074 -,128
Kolmogorov-Smirnov Z ,925 ,995
Asymp. Sig. (2-tailed) ,360 ,275
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
T-Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 RCSebelum 1,3127 25 ,40787 ,08157
RCSetelah 1,4116 25 ,45704 ,09141
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 RCSebelum & RCSetelah 25 ,879 ,000
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig.
(2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Pair
1
Keuntunga
nSebelum -
Keuntunga
nSetelah
-3787581,600 7195238,654 1439047,730 -6757630,142 -817533,058 -2,632 24 ,015
57
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 RCSebelum -
RCSetelah -,09892 ,21827 ,04365 -,18902 -,00882 -2,266 24 ,033
Lampiran 9 Perhitungan nilai tambah industri tahu sebelum dan setelah kenaikan
harga kedelai
No Variabel Nilai Sebelum
Kenaikan Harga
Kedelai
Setelah
Kenaikan Harga
Kedelai I Output, Input dan Harga
1. Output (Kg/hari) A 310.22 310.56
2. Input (Kg/hari) B 95.84 95.84
3. Tenaga Kerja (jam/hari) C 40.40 40.40
4. Faktor Konversi D=A/B 3.24 3.24
5. Koefisien tenaga kerja E=C/B 0.42 0.42
6. Harga output (Rp/Kg output) F 4870.51 5962.28
7. Upah tenaga kerja langsung
(Rp/jam) G
4472.59 4544.81
II Penerimaan dan Keuntungan
8.
Harga bahan baku (Rp/Kg
bahan baku) H
7368.00 9000.00
9. Sumbangan input lain
(Rp/Kg ouput) I
564.14 582.63
10. Nilai output (Rp/Kg) J=D x F 15764.96 19319.96
11. a.Nilai tambah (Rp/Kg) K=J–H–I 7832.82 9737.32
b.Rasio nilai tambah (%) L%=(K/J)x100% 49.68% 50.40%
12. a.Keuntungan tenaga kerja
langsung (Rp/Kg) M=ExG
1885.36 1915.80
b.Pangsa tenaga kerja (%) N%=(M/K)x100% 24.07% 19.67%
13. a.Keuntungan (Rp/Kg) O=K–M 5947.46 7821.53
b.Tingkat Keuntungan (%) P%=(O/K) x 100% 75.93% 80.33%
III. Balas Jasa Pemilik Faktor-
faktor Produksi
14. Marjin (Rp/Kg) Q=J–H 8396.96 10319.96
a.Keuntungan tenaga kerja
langsung (%) R%=(M/Q)x100%
22.45% 18.56%
b.Sumbangan input lain (%) S%=(I/Q)x100% 6.72% 5.65%
c.Keuntungan pemilik
perusahaan (%) T%=(O/Q)x100%
70.83% 75.79%
58
Lampiran 10 Rekap anggota KOPTI Kabupaten Bogor per wilayah pelayanan
tahun 2012
No. Wilayah Pelayanan Jumlah Anggota Jumlah Tenaga
Kerja
Kebutuhan
Kedelai per
bulan (kg)
1 Ciseeng 101 650 261 450
2 Parung 106 399 249 930
3 Cibinong 105 388 237 000
4 Citeureup I 115 428 246 300
5 Citeureup II 82 286 164 100
6 Bojonggede 49 189 107 250
7 Sukaraja 45 211 135 900
8 Ciawi Megamendung 23 117 65 850
9 Caringin Cijeruk 65 253 140 850
10 Tamansari 50 226 128 130
11 Leuwiliang 39 175 99 750
12 Ciampea 62 235 130 350
13 Cibungbulang 34 185 97 350
14 Jasinga 20 106 83 100
15 Dramaga 19 84 45 000
16 Cimanggu 37 163 105 150
17 Cilendek 84 440 217 050
18 Depok I 68 272 171 600
19 Depok II 111 448 280 350
20 Sawangan I 77 255 150 000
21 Sawangan II 17 72 45 000
22 Cimanggis 64 277 175 200
Jumlah 1 373 5 859 3 336 660
59
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Verani Restia Wijaya, dilahirkan di Batusangkar
pada tanggal 24 Juli 1992. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara
yang berasal dari pasangan ayah Wirsastra Wijaya dan ibu Vepi Erma.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 11 Kampung Baru pada
tahun 2004, pendidikan menengah pertama di SMP 1 Batusangkar pada tahun
2007. Pada tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Batusangkar dan di tahun
yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui
jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan
program mayor Agribisnis di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif bergabung dalam organisasi
Himpunan Profesi Mahasiswa Agribisnis (HIPMA) IPB sebagai staff Creativity
and Career Development (CCDD) pada tahun 2012 dan staff Department of
Public Relation and Information Media (D’PRIME) pada tahun 2013. Penulis
aktif mengikuti kegiatan kampus seperti kegiatan Sportakuler yang dilaksanakan
oleh BEM FEM IPB dengan mengikuti perlombaan di cabang voli putri dan
mendapatkan perunggu pada The 6th Sportakuler IPB tahun 2012 dan pada The
7th Sportakuler IPB tahun 2013. Penulis juga aktif di beberapa kegiatan
kepanitiaan kampus dan sempat mengikuti kegiatan BEM FEM Mengajar yang
dilaksanakan oleh BEM FEM IPB. Bulan Juli 2013 hingga Agustus 2013 penulis
melaksanakan kegiatan Gladikarya di Desa Wangun Harja Kecamatan Lembang
Kabupaten Bandung Barat dengan menganalisis potensi utama desa tersebut yaitu
brokoli.
Top Related