1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dan Bali merupakan
salah satu sentra bisnis di Indonesia. Banyak industri dan bisnis fashion yang
didirikan di Bali salah satunya berupa pusat perbelanjaan. Pusat perbelanjaan
bukan lagi tempat untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari seperti pada awal
berdiri. Perkembangan industri pakaian diikuti dengan meningkatnya jumlah
pusat perbelanjaan yang menjual produk fashion mengalami perkembangan pesat
selama beberapa dekade terakhir.
Mal Bali Galeria, Tiara Dewata, Discovery Shopping Mall, Matahari Duta
Plaza, Carefour Express Kuta, Matahari Kuta Square, Denpasar Junction dan
Ramayana Robinson Mall merupakan beberapa pusat perbelanjaan di Kota
Denpasar dan Kabupaten Badung (www.e-kuta.com). Lokasinya yang mudah
dijangkau dari Kota Denpasar dan Kabupaten Badung merupakan tempat untuk
melakukan beragam aktivitas santai, bermain, menikmati makanan ringan maupun
makanan berat dan yang pasti tempat belanja segala kebutuhan dan keinginan
keluarga yang mempunyai gaya hidup modern menjadikan pusat perbelanjaan
ramai dikunjungi. Sebagian besar pusat perbelanjaan ini menawarkan konsep one
stop shopping di bawah satu atap membuat konsumen yang awalnya hanya ingin
berekreasi atau menonton di bioskop atau sebelumnya hanya untuk melihat-lihat
(window shopping) pada akhirnya terdorong untuk berbelanja produk fashion.
2
Menurut O’Cass (2004) dewasa ini kebutuhan manusia akan pakaian telah
bergeser, mereka membeli pakaian yang tidak hanya berdasarkan pada kebutuhan
semata dengan model yang biasa, namun bergeser pada mode yang terjadi pada
masyarakat. Selain sebagai kebutuhan, orientasi konsumen pada pakaian adalah
untuk menunjang penampilan atau sebagai identitas diri serta yang berhubungan
dengan gaya hidup yang disebut sebagai fashion. Produk fashion yang dimaksud
disini merupakan bentuk identifikasi segmen gaya hidup dalam berbusana, seperti
pakaian pesta, pakaian kantor, kaos, celana, rok, baju, dan lain sebagainya
(Gutman dan Mills, 1982 dalam Park dan Burns, 2005).
Melakukan pembelian bukan merupakan hal yang baru, namun sudah
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan masing-masing individu memiliki
perilaku yang berbeda-beda dalam hal pembelian. Tiap-tiap individu dapat
memilih berbagai macam keputusan pembeliannya. Hampir setiap orang
dihadapkan pada suatu pilihan untuk menentukan pengambilan keputusan
pembelian. Keputusan pembelian biasanya dibuat melalui suatu proses dari
pengenalan kebutuhan hingga evaluasi setelah pembelian. Sebelum melakukan
pembelian suatu produk biasanya konsumen selalu merencanakan terlebih dahulu
tentang barang apa yang akan dibelinya, jumlah, anggaran, tempat pembelian, dan
lain sebagainya. Namun, ada kalanya proses pembelian yang dilakukan oleh
konsumen timbul begitu saja saat melihat suatu barang atau jasa, karena
ketertarikannya, selanjutnya konsumen melakukan pembelian pada barang atau
jasa yang bersangkutan. Tipe pembelian tersebut dinamakan tipe pembelian yang
tanpa direncanakan atau pembelian impulsif.
3
Dewasa ini, perilaku pembelian semakin komplek dimana seringkali
konsumen membeli produk tidak sebagai rutinitas melainkan sebagai pembelian
berdasarkan situasi yang terjadi pada saat itu. Keputusan di bidang pemasaran
dimulai dengan menganalisa perilaku pembelian dalam situasi yang tepat,
sehingga dapat mempengaruhi kesediaan konsumen untuk membeli barang dan
jasa yang ditawarkan, dengan kata lain bahwa faktor situasi dapat mempengaruhi
pembelian konsumen terhadap kategori produk tertentu (Anic dan Radas, 2006
dalam Mihic dan Kursan, 2010). Keinginan membeli suatu produk dapat datang
secara tiba-tiba karena berbagai alasan situasional (Sutisna, 2001: 156).
Terdapat lima karakteristik pengaruh situasional yang dapat
mempengaruhi perilaku pembelian konsumen, yaitu: pertama, lingkungan fisik
(physical surrounding) merupakan fitur situasi yang paling terlihat. Lingkungan
fisik ini meliputi lokasi, dekorasi, suara, aroma, pencahayaan, cuaca, serta
konfigurasi barang dagangan atau material lain yang berada di sekeliling
rangsangan produk. Kedua, lingkungan sosial (social surrounding) merupakan
individu yang hadir selama proses konsumsi, yang meliputi faktor-faktor seperti:
kehadiran orang lain, karakteristik orang-orang yang hadir pada situasi tersebut,
peranan nyata orang-orang yang hadir, dan interaksi interpersonal. Ketiga,
pespektif waktu (temporal perspective) merupakan dimensi situasi yang dapat
dispesifikasikan kedalam unit waktu dari situasi, misal kejadian tertentu ketika
perilaku pembelian terjadi (hari, bulan, musim). Waktu juga dapat diukur secara
relatif pada kejadian di masa lalu atau di masa mendatang, misal waktu ketika
pembelian terakhir. Keempat, definisi tugas (task definition) merupakan alasan
4
mengapa aktivitas konsumsi oleh konsumen berlangsung, dan dapat dikatakan
sebagai tujuan atau sasaran yang dimiliki konsumen dalam situasi tertentu.
Dengan kata lain. dapat juga dikatakan bahwa hal ini merupakan maksud atau
prasyarat untuk memilih, berbelanja atau mendapatkan informasi mengenai
pembelian umum atau spesifik. Kelima, pernyataan anteseden (antecendent state)
merupakan perasaan (mood) sementara, seperti rasa cemas atau gembira atau
kondisi yang dibawa konsumen ke dalam situasi, seperti kondisi pada saat
memegang uang tunai (Belk, 1975 dalam Mihic dan Kursan, 2010). Situasi dalam
toko yang menarik diharapkan dapat merangsang perilaku pembelian, khususnya
yang mengarah pada situasi pembelian impulsif (Abratt dan Goodey, 1990 dalam
Jalan, 2006).
Pembelian impulsif merupakan bagian dari pola pembelian konsumen
dimana keputusan pembelian dilakukan pada saat berada didalam toko dan pada
saat itu konsumen mengalami perasaan tiba-tiba, merasakan perasaan yang sangat
kuat dan berkeras hati terhadap dorongan emosional untuk membeli sesuatu
dengan segera (Belk, 1995 dalam Dittmar, 2005). Perilaku pembelian impulsif
yang dilakukan secara berulang menyebabkan orang berperilaku kompulsif.
Pembelian kompulsif merupakan proses pengulangan yang sering berlebihan
dalam berbelanja yang dikarenakan oleh rasa ketagihan, tertekan, atau rasa bosan
(Solomon, 2002 dalam Shoham dan Brencic, 2003).
Perilaku pembelian kompulsif merupakan salah satu bagian dari konsumsi
kompulsif yang merupakan sisi negatif dari sebuah perilaku konsumsi (Mowen
dan Minor, 2002: 130). Konsumen yang kompulsif adalah konsumen yang merasa
5
ketagihan, dalam beberapa kondisi mereka berlaku diluar kontrol dan sikap
mereka dapat berdampak buruk bagi diri sendiri maupun orang lain. Perilaku
berbelanja yang tidak terkontrol, berjudi, merokok, kecanduan narkoba, dan
pecandu alkohol merupakan beberapa contoh dari konsumsi kompulsif (Schiffman
dan Kanuk, 2007: 119).
Pembeli kompulsif adalah konsumen yang keranjingan belanja atau
cenderung suka membelanjakan uang untuk membeli barang meskipun barang
tersebut tidak mereka butuhkan. Untuk beberapa pelaku kompulsif, uang dan harta
benda telah menggantikan keberadaan teman, keluarga bahkan “tempat ibadah”.
Pusat perbelanjaan telah menjadi pengganti “tempat ibadah” dan berbelanja
menjadi “ritualnya” (Boundy, 2000 dalam Yang, 2006).
Hasil penelitian Koran, dkk., (2006) terhadap 2.500 orang responden
mempertegas bahwa fenomena pembelian kompulsif sudah sedemikian parah
terjadi pada masyarakat baik pada kaum wanita maupun kaum pria bahkan
pembelian kompulsif akan menyebabkan penderitaan psikologis dan dampak
serius pada kehidupan individu seperti berhutang (Dittmar, 2005). Pembelian
kompulsif terjadi karena ketegangan psikologi yang menyebabkan meningkatnya
keinginan seseorang untuk melakukan pembelian saat itu juga (Roberts dan Pirog
III, 2004).
Kecenderungan pembelian kompulsif mengalami peningkatan selama
sepuluh tahun terakhir (Neuner, dkk., 2005 dalam Xu, 2008). Peningkatan
perilaku pembelian kompulsif dipicu oleh peranan materialisme (Dittmar, 2005).
6
Materialisme merupakan tingkat dimana seseorang dianggap
“materialistis” (Schiffman dan Kanuk, 2007: 117). Konsumen dengan nilai
materialisme yang tinggi menyakini bahwa pendapatan dan benda materi
sangatlah penting untuk hidup mereka yang selanjutnya menjadi sebuah indikator
dari kesuksesan dan diperlukan untuk mencapai kepuasan dalam hidup bahkan
tingkat konsumsi yang tinggi akan membuat mereka merasa lebih bahagia.
Konsumen yang materialistis menganggap kepemilikan barang dan materi
sebagai pusat dari kehidupan mereka, menilai kesuksesan sebagai kualitas harta
seseorang dan melihat harta sebagai bagian yang penting dalam mencapai
kebahagian dan kesejahteraan dalam hidup (Fitzmaurice, 2008). Seseorang yang
materialistis cenderung untuk menganggap berbelanja sebagai tujuan hidup utama
sama halnya dengan mencapai kebahagian dan kepuasan dalam hidup (Xu, 2008).
Seseorang yang materalistis sangatlah tertarik pada produk pakaian sehingga
seseorang dengan materialisme tinggi cenderung akan melakukan pembelian
kompulsif yang tinggi pada produk fashion (Browne dan Kaldenberg, 1997;
Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam O’Cass, 2004).
Hal tersebut juga sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh
Krugger (1998 dalam Park dan Burn, 2005) yang menyatakan bahwa orang yang
berperilaku kompulsif cenderung untuk sangat peduli akan penampilannya dan
selalu terlibat dalam pencaharian sesuatu yang tanpa henti terutama terkait dengan
pakaian. Kecenderungan seseorang untuk memiliki penampilan yang menarik
menyebabkan orang tersebut sering melakukan pembelian tanpa direncanakan
untuk produk fashion. Hal ini diperparah lagi saat seseorang secara finansial
7
memiliki kemampuan untuk membeli produk tersebut. Salah satu indikasi
kemampuan finansial adalah kepemilikan kartu kredit. Kartu kredit memberikan
fasilitas kepada konsumen untuk mempermudah proses pembelian baik yang
direncanakan maupun pembelian impulsif pada berbagai produk termasuk produk
fashion. Selain itu, kartu kredit juga memberikan kemudahan bagi konsumen
karena konsumen dapat mencicil tagihan yang dibebankan kepada konsumen dan
juga memberikan jangka waktu yang lebih panjang bagi konsumen untuk
membayar tagihan kartu kreditnya. Kartu kredit bahkan telah menjadi alat
pembayaran barang dan jasa yang diterima secara luas dan sangat nyaman untuk
digunakan dan menjadi alat transaksi yang patut dimiliki oleh semua orang
bahkan pengguna kartu kredit bisa membelanjakan uang masa depannya hari ini
juga (Lie, dkk., 2010). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku belanja kompulsif
pada produk fashion akan menjadi lebih tinggi apabila difasilitasi oleh
kepemilikan kartu kredit.
Penelitian yang dilakukan oleh Park dan Burns (2005) menemukan bahwa
penggunaan kartu kredit oleh masyarakat Korea dalam beberapa tahun terakhir
menunjukkan peningkatan yang dramatis. Bahkan pada akhir tahun 2002,
terdapat lebih dari 100 juta kartu kredit dikeluarkan oleh perusahaan penerbit
kartu kredit karena konsumen lebih memilih membayar menggunakan kartu kredit
(Kim, 2002 dalam Park dan Burns, 2005).
Hal yang serupa juga terjadi di Indonesia. Peningkatan jumlah peredaran
kartu kredit ternyata diiringi dengan peningkatan transaksi dengan kartu kredit,
seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 1 (www.bi.go.id). Di Jakarta berdasarkan
8
pengamatan perilaku belanja pengguna kartu kredit sebuah bank, 57 persen
transaksi disumbangkan dari pembelanjaan pakaian (fashion), sepatu, dan
aksesori. Data pada tahun 2009 ini menunjukkan belanja kartu kredit untuk
fashion menduduki ranking pertama, diikuti oleh makanan dan minuman,
peralatan elektronik, dan sisa porsi lainnya diberikan untuk produk-produk yang
sifatnya jarang digunakan (www.female.kompas.com).
Menurut Santosa (2009: 5) kehadiran mesin merchant kartu kredit
(Electonic Data Capture) di pusat perbelanjaaan menjadikan kartu kredit sebagai
media pembayaran yang lazim digunakan dan disinilah konsumen yang memiliki
ciri konsumsi kompulsif seringkali menggunakan kartu kredit dalam melakukan
pembelian karena konsumen memiliki alternatif pembayaran selain tunai dan
kartu debit (Sunarto, 2003: 186). Pengetahuan tentang perilaku pembelian
konsumen sangat penting dalam praktek pemasaran. Keputusan pemasaran yang
sukses oleh organisasi bisnis memerlukan pemahaman tentang perilaku pembelian
konsumen.
Penelitian ini menguji pengaruh faktor situasional pusat perbelanjaan dan
materialisme konsumen terhadap perilaku pembelian kompulsif produk fashion
dengan penggunaan kartu kredit sebagai pemoderasi. Pentingnya kajian ini karena
dapat menggambarkan fenomena yang sering terjadi di masyarakat. Di satu sisi
dampak positif dari perilaku pembelian kompulsif dalam jangka pendek adalah
kepuasan yang langsung dapat dirasakan dari aktivitas pembelian tersebut.
Compulsive buyers tidak melakukan pembelian semata-mata hanya untuk
mendapatkan suatu produk tertentu, melainkan lebih kepada hasrat untuk
9
mencapai kepuasan melalui proses pembelian itu sendiri, disisi lainnya perilaku
pembelian kompulsif merupakan suatu perilaku abnormal dan sebuah aspek
negatif dari perilaku konsumen karena perilaku ini menyebabkan terjadinya
peningkatan hutang kartu kredit dan rendahnya dana yang bisa ditabung, dan dari
sisi pemasar, perilaku kompulsif merupakan aspek yang dapat meningkatkan
penjualan (Faber dan O’Guinn, 1992 dalam Shoham dan Brencic, 2003;
Schiffman dan Kanuk, 2007: 130, dan Kinney, 2009).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan
beberapa masalah penelitian yaitu :
1) Apakah faktor situasional berpengaruh terhadap perilaku pembelian
kompulsif?
2) Apakah materialisme berpengaruh terhadap perilaku pembelian
kompulsif?
3) Apakah penggunaan kartu kredit berperan signifikan sebagai variabel
pemoderasi dalam hubungan antara materialisme dengan perilaku
pembelian kompulsif?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah :
10
1) Untuk mengetahui apakah faktor situasional berpengaruh terhadap
perilaku pembelian kompulsif
2) Untuk mengetahui apakah materialisme berpengaruh terhadap perilaku
pembelian kompulsif
3) Untuk mengetahui apakah penggunaan kartu kredit berperan signifikan
sebagai variabel pemoderasi dalam hubungan antara materialisme dengan
perilaku pembelian kompulsif
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa
pihak, antara lain:
1) Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan studi
empiris yang lebih kaya khususnya mengenai faktor situasional pusat
perbelanjaan, materialisme dan perilaku pembelian kompulsif para
pengguna kartu kredit terhadap pembelian produk fashion.
2) Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada pihak
pemasar produk fashion, para manager pusat-pusat perbelanjaan maupun
perusahaan penerbit kartu kredit untuk menerapkan strategi-strategi
perusahaan agar tepat sasaran dan memberikan perlakuan khusus kepada
para pengguna kartu kredit dalam hal melakukan pembelian produk
fashion.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perilaku Pembelian Kompulsif
Perilaku pembelian kompulsif merupakan komponen perilaku negatif
konsumen. Mowen dan Minor (2002: 280) mendifinisikan perilaku pembelian
kompulsif sebagai suatu pembelian yang tidak terencana dan konsumen terlibat
dalam perilaku ini karena mereka sangat berhasrat untuk memperoleh perasaan
atau kesenangan tertentu.
Konsep dasar perilaku pembelian kompulsif adalah konsumsi yang
berlebihan pada suatu barang (Stones IV, 2001 dalam Shoham dan Brencic,
2003). Pembelian kompulsif merupakan suatu perilaku pembelian yang tanpa
direncanakan dan dilakukan secara berulang-ulang dan merupakan suatu perilaku
yang negatif (O'Guinn dan Faber, 1992; Solomon, 2002 dalam Shoham dan
Brencic, 2003). Banyak peneliti yang mengkategorikan perilaku pembelian
kompulsif sebagai gangguan terhadap kontrol pembelian impulsif (Black, dkk.,
1998; Christenson, dkk., 1992; Faber, 1992; McElroy dkk., 1991; O’Guinn dan
Faber, 1989; Schlosser, dkk., 1994 dalam Yang, 2006).
Pembelian impulsif adalah tidak direncanakan dan tidak diatur sebelum
memasuki toko (Hawkin, dkk.,1998: 590). Ketika konsumen tidak terlibat akan
suatu produk, mereka cenderung melakukan pengambilan keputusan pembelian di
dalam toko, dimana tidak terdapat motivasi yang cukup untuk melakukan rencana
pembelian (Assael, 2004: 103).
12
Pembelian impulsif terjadi ketika konsumen mengalami dorongan tiba-
tiba, keinginan yang kuat untuk membeli sesuatu dengan segera (Engel, dkk.,
1995: 159). Pembelian impulsif dapat dijelaskan sebagai dorongan untuk membeli
sesuatu yang tiba-tiba, tanpa ada niat atau rencana, bertindak atas dorongan tanpa
mempertimbangkan tujuan jangka panjang atau cita-cita. Konsumen yang
memanfaatkan kognisi akan lebih cenderung untuk membuat pembelian dan
keputusan rasional juga melakukan pembelian dengan sedikit dorongan
sedangkan konsumen yang lebih emosional akan lebih cenderung melakukan
pembelian impulsif .
Menurut Rooks dalam Engle, dkk., (1995: 159) ciri pembelian impulsif
yang dikemukan oleh adalah sebagai berikut:
1) Keinginan mendadak dan spontan untuk bertindak disertai dengan urgensi
2) Keadaan ketidakseimbangan psikologis di mana seseorang dapat berada di
luar kendali
3) Rendahnya evaluasi objektif, sementara pertimbangan emosional lebih
dominan
4) Kurang memperhatikan konsekuensi yang ditimbulkan
Sementara itu jenis atau tipe pembelian impulsif dapat digolongkan dalam
beberapa bentuk. Blythe (1997) dalam Shoham dan Brencic (2003) menggolongkan
jenis pembelian impulsif menjadi empat jenis, yaitu:
1) Pure impulsive. Pembelian yang dilakukan murni tanpa rencana atau
terkesan mendadak. Biasanya terjadi setelah melihat barang yang dipajang
di toko dan muncul keinginan untuk membelinya saat itu juga.
13
2) Reminder impulsive. Pembelian yang dilakukan tanpa rencana terjadi
setelah diingatkan karena melihat iklan atau brosur yang ada di pusat
perbelanjaan.
3) Suggestion impulsive. Pembelian yang dilakukan tanpa rencana pada saat
berbelanja di pusat perbelanjaan. Pembelian dilakukan pada saat di pusat
perbelanjaan, setelah pembeli terpengaruh dan diyakinkan oleh tenaga
sales atau teman yang ditemuinya pada saat berbelanja, yang menawarkan
produknya dengan meyakinkan.
4) Planned impulsive. Pembelian yang dilakukan sebenarnya sudah
direncanakan, tetapi karena barang yang dimaksud habis atau tidak sesuai
dengan yang diinginkan, maka yang dilakukan adalah membeli jenis
barang yang sama tetapi dengan merek atau ukuran yang berbeda.
Menurut Rindfleisch et al., 1997; Roberts, 1998; Roberts, 2000; Dittmar,
2005a, dalam Xu, 2008, terdapat beberapa faktor yang dapat mendorong
terjadinya pembelian impulsif dan kompulsif yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor eksternal mencakup karakteristik produk dan karakteristik pemasaran,
sedangkan faktor internal mencakup karakteristik-karakteristik konsumen yang
muncul sehubungan dengan pembelian yang dilakukan konsumen, yang didapat
dijelaskan sebagai berikut:
1) Karakteristik produk meliputi:
a) harga yang rendah
b) adanya sedikit kebutuhan dengan produk tersebut
c) siklus kehidupan produknya pendek
14
d) ukuranya kecil dan ringan
e) mudah disimpan
2) Faktor marketing, diantaranya:
a) distribusi massa pada self servise terhadap pemasangan iklan besar-
besaran dan material yang akan didiskon. Ketersediaan informasi
seperti melalui pemasangan iklan, website, penjaga toko, adalah
sumber utama informasi konsumen.
b) posisi pajangan produk dan lokasi toko yang menonjol turut
mempengaruhi pembelian impulsif. Selain itu, jumlah, lokasi dan
jarak toko mempengaruhi jumlah kunjungan konsumen ke toko
sebelum pembelian. Kunjungan ke toko membutuhkan energi,
uang,waktu dan jarak kedekatan seringkali meningkatkan aspek ini
dari pencarian dari luar.
3) Karakteristik konsumen seperti:
a) kepribadian konsumen
b) demografis meliputi usia, jenis kelamin, pendapatan, dan
sebagainya
Perilaku impulsif yang dilakukan berkali-kali dan dalam jangka waktu
yang lama menimbulkan suatu perilaku pembelian yang diberi nama perilaku
pembelian kompulsif. Definisi pembelian kompulsif harus mencakup dua kriteria
yaitu: (1) perilakunya harus berulang ulang, dan (2) perilakunya harus
problematik untuk individu (O’Guinn dan Faber, 1989 dalam Shoham dan
Brencic, 2003). Perilaku pembelian kompulsif sangat erat terkait dengan perilaku
15
obsesif pelanggan yang berorientasi pada pikiran mereka untuk mendapatkan
produk atau jasa tertentu (Rajagopal, 2008). Compulsive buyer biasanya memiliki
tingkat kepercayaan diri yang rendah, tingkat berhayal, depresi, kecemasan, dan
obsesi yang tinggi.
Studi tentang pembelian kompulsif merupakan studi yang penting karena
perilaku tersebut dapat menyebabkan kekacauan pada individu dan atau orang
disekitarnya. Bahkan dalam beberapa kasus ekstrim, pembeli kompulsif mampu
menghabiskan uang lebih banyak dari yang mereka miliki, menghancurkan hidup
mereka bahkan kehidupan keluarga (d’Astous, 1990; Faber dan O’Guinn, 1992;
Rindfeisch, Borroughs dan Denton, 1997 dalam Kwak, dkk., 2003).
Pembeli kompulsif dapat berasal dari semua golongan ekonomi.
Seseorang yang kompulsif adalah seorang yang pemboros yang dicirikan sebagai
seseorang yang menghabiskan uang dengan cepat, mengemudikan mobil mewah,
rumah yang mahal walaupun uang yang dimiliki tidak dapat menutupi segala
keinginannya. Bahkan mereka membentuk citra diri bahwa orang lain harus
mengagumi mereka dengan segala yang dimilikinya. Untuk beberapa pelaku
kompulsif, uang dan harta benda telah menggantikan keberadaan teman, keluarga
bahkan tempat ibadah. Pusat perbelanjaan telah menjadi pengganti tempat ibadah
dan berbelanja menjadi ritualnya (Boundy, 2000 dalam Yang, 2006).
Menurut Dittmar, 2000 dalam Yang, 2006 menemukan bahwa konsumen
yang kompulsif berbelanja diatas batas kemampuan yang termotivasi oleh
tingginya keinginan mereka untuk memiliki harta benda dan menganggap bahwa
16
kepemilkan harta benda merupakan tolok ukur identitas diri, keberhasilan, dan
kebahagiaan dalam hidup.
2.2 Faktor Situasional
Faktor situasional adalah faktor-faktor eksternal yang berasal dari lingkungan
berbelanja ketika konsumen tertarik akan rangsangan visual tertentu (produk atau
promosi) yang menciptakan pembelian yang tidak direncanakan. Saat itu
konsumen mungkin merasa perlu tiba-tiba untuk membeli produk tertentu yang
telah menarik perhatiannya (Youn, 2000 dalam Mihic dan Kursan, 2010).
Pengaruh situasional merupakan kondisi sementara atau setting yang terjadi pada
lingkungan pada lingkungan dan tempat yang spesifik (Assael: 2004, 122). Belk
mengidentifikasi lima karakteristik pembelian dan konsumsi situasional yang
mempengaruhi pembelian konsumen yaitu (Belk dalam Sutisna, 2001: 159):
(1) Lingkungan fisik (Physical Surrounding) yaitu aspek-aspek lingkungan
fisik dan ruang yang nyata yang mencangkup aktivitas konsumen seperti
warna, suara, cahaya, cuaca dan pengaturan ruangan.
(2) Lingkungan sosial (Social Surrounding) yaitu pengaruh orang lain
terhadap aktivitas konsumen, individu yang hadir selama proses konsumsi,
yang meliputi faktor-faktor seperti: kehadiran orang lain, karakteristik
orang-orang yang hadir pada situasi tersebut, peranan nyata orang-orang
yang hadir, dan interaksi interpersonal
(3) Definisi tugas (Task Definition) yaitu alasan kebutuhan konsumen untuk
membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa. Dengan kata lain dapat
17
juga dikatakan bahwa hal ini merupakan maksud atau prasyarat untuk
memilih, berbelanja atau mendapatkan informasi mengenai pembelian
umum atau spesifik.
(4) Waktu (Time) adalah situasi yang dapat dispesifikasikan kedalam unit
waktu dari situasi, misal kejadian tertentu ketika perilaku pembelian
terjadi (hari, bulan, musim). Waktu juga dapat diukur secara relatif pada
kejadian di masa lalu atau di masa mendatang, misal waktu ketika
pembelian terakhir
(5) Pernyataan anteseden (Antecendent state) merupakan perasaan (mood)
sementara, seperti rasa cemas atau gembira atau kondisi yang dibawa
konsumen ke dalam situasi, seperti kondisi pada saat memegang uang
tunai.
Keterbatasan pilihan konsumen dalam pengambilan keputusan untuk
pembelian dan pengkonsumsian suatu produk akan dipengaruhi oleh faktor-faktor
situasi. Beberapa tipe situasi yang mempengaruhi keputusan konsumen menurut
Assael (2004, 122) dibedakan dalam 3 jenis yaitu:
(1) Situasi konsumsi merupakan salah satu situasi yang mana konsumen
menggunakan merek atau kelompok produk tertentu. Pemasar harus
mengidentifikasikan situasi konsumsi yang relevan terhadap kategori
produk
(2) Situasi pembelian merupakan situasi yang mempengaruhi keputusan
konsumen. Situasi ini dapat dipengaruhi oleh strategi pemasaran dengan
mendesain lingkungan di dalam toko. Situasi ini dibagi menjadi tiga
18
bagian, yaitu: pertama, situasi di lingkungan toko berkaitan dengan tata
letak barang di rak, suasana ramai di dalam toko, ketersediaan produk,
perubahan harga, dan pelayanan pramuniaga. Kedua, situasi pembelian
yang berkaitan dengan tujuan. Situasi ini menyangkut tujuan konsumen
dalam berbelanja barang-barang yang akan dikonsumsi, misal konsumen
membeli barang untuk hadiah atau dirinya sendiri, berbelanja bersama
keluarga dan teman atau berbelanja sendiri. Ketiga, situasi pembelian
berkaitan dengan mood, misal perasaan gembira atau sedih. Situasi ini sulit
diantisipasi oleh pemasar.
(3) Situasi komunikasi merupakan setting dimana konsumen tidak
menyembunyikan informasi terhadap orang lain. Situasi ini berkaitan
dengan perspektif waktu, ditunjukkan oleh aktivitas yang dilakukan oleh
konsumen. Situasi ini dapat terjadi dari orang ke orang atau impersonal
misalnya dari iklan atau informasi di dalam toko.
Situasi merupakan keseluruhan faktor pada suatu waktu dan tempat
tertentu dari pengamatan yang tidak berasal dari pengetahuan personal (intra-
individu) dan atribut rangsangan (pilihan alternatif), serta mempunyai pengaruh
yang terlihat dan sistematis terhadap perilaku saat ini.
2.3 Materialisme
Salah satu komponen konsep diri yang penting adalah hubungan seseorang
dengan dunia material. Peneliti melihat perbedaan individu berkaitan dengan
bagaimana konsumen menilai kepemilikan mereka. Tendensi untuk mencapai
19
kebahagiaan melalui kepemilikan benda tertentu disebut materialisme (Mowen
dan Minor, 2002: 280).
Para peneliti menemukkan ciri orang yang dapat di kategorikan
materialistik yaitu: (1) Orang yang mengutamakan menghargai dan memamerkan
kepemilikan, (2) umumnya mereka egois dan terpusat pada diri sendiri, (3)
mereka mencari gaya hidup yang penuh dengan kepemilikan, contohnya: mereka
menginginkan untuk mempunyai tidak hanya ”sesuatu”, tetapi lebih dari sebuah
gaya hidup yang biasa dan sederhana, (4) yang mereka miliki sekarang tidak dapat
memberikan kepuasan yaitu seseorang yang selalu mengharapkan kepemilikan
yang lebih tinggi agar mendapatkan kebahagian yang lebih besar (Schiffman dan
Kanuk, 2007: 129). Konsumen dengan nilai materialistik yang tinggi sangat
didorong untuk mengkonsumsi lebih banyak dari konsumen lainnya (Wong, 1997
dalam Phau, 2009).
Dalam kamus bahasa Inggris Oxford, materialisme didefinisikan sebagai
sebuah pengabdian untuk keinginan dan kebutuhan material dan mengabaikan
hal-hal rohani, sebuah cara hidup, pendapat, atau kecenderungan didasarkan
sepenuhnya pada kepentingan materi. Beragam definisi materialisme yang
dikemukakan oleh beberapa peneliti seperti pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Definisi Materialisme menurut Beberapa Peneliti
No Definisi Materialisme Sumber
1 Bagaimana konsumen memberikan perhatian pada kepemilikan duniawi yang dianggap sebagai hal penting dalam kehidupan
Mowen dan Minor, 2002: 280
20
2 Orientasi yang menganggap barang-barang materi dan uang sebagai hal yang penting untuk kebahagiaan baik secara pribadi maupun sosial
Ward dan Wackman, 1971 dalam Yang, 2006
3 Materi dianggap sebagai nilai kehidupan yang penting
Richins dan Dawson 1992, Kasser dan Ryan 1993; Mick 1996 dalam Choi, dkk., 2007
4 Materi merupakan sumber kepuasan dan ketidakpuasan
Belk, 1984; Mowen dan Minor, 2002: 280 dalam Hung, dkk., 2007
5
Seorang konsumen menempatkan kepemilikan duniawi untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup sehingga kepemilikan duniawi sebagi sebuah tujuan hidup
Belk (1985) dalam Sangkhawasi dan Johri (2007)
6 Seperangkat keyakinan yang terpusat akan pentingnya harta dalam hidup seseorang
Richins dan Dawson 1992 dalam Xu, 2008
Materialisme mengacu pada orientasi konsumsi berbasis
pencapaian kebahagiaan (Inglehart, 1981 dalam Hung, dkk, 2007). Pada
suatu kondisi, harta diasumsikan menjadi posisi sentral dalam kehidupan
seorang, dan merupakan sumber kepuasan dan ketidakpuasan
(Belk, 1984 dalam Hung, dkk, 2007). Menurut Richin dan Dawson (1994 dalam
Schiffman dan Kanuk, 2007:192), materialisme dibagi menjadi tiga dimensi yaitu:
Dimensi pentingnya harta dalam hidup seseorang (acquisition centrallity)
bertujuan untuk mengukur derajat keyakinan seseorang yang menganggap bahwa
harta dan kepemilikan sangat penting dalam kehidupan seseorang. Dimensi
kepemilikian merupakan ukuran kesuksesan hidup (possession defined success)
untuk mengukur keyakinan seseorang tentang kesuksesan berdasarkan pada
21
jumlah dan kualitas kepemilikanya, sedangkan dimensi kepemilikan dan harta
benda merupakan sumber kebahagian (acquisition as the pursuit of happiness)
untuk mengukur keyakinan apakah seseorang memandang kepemilikan dan harta
merupakan hal yang penting untuk kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup.
Skala materialisme Richin dan Dawson ini telah diadopsi oleh beberapa
peneliti sebelumnya seperti Wong (1997), Mick (1997), Evrardand Boff (1998),
Burroughs dan Rindfleisch (2002), Shrum, Burroughs dan Rindfleisch (2003)
dan telah diaplikasikan dibeberapa negara seperti Selandia Baru (Watson, 1998),
Brazil, (Evard dan Boff, 1998), China (Eastman et al., 1997; Sirgy et al., 1998;
Zhou, Xue, dan Zhou, 2002), Mexico (Eastman et al., 1997), Turkey, Canada, dan
Australia (Sirgy et al., 1998).
Materialisme secara positif berpengaruh terhadap perilaku pembelian
kompulsif (Roberts, 2001; Dittmar, 2005 dalam Xu, 2008). Konsep nilai
materialisme dan pembelian kompulsif perlu dipelajari karena menimbulkan
berbagai konsekuensi negatif terhadap kesejahteraan psikologis (well-being)
individu seperti: menurunnya tingkat kepuasan hidup (Richins dan Dawson, 1992
dalam Burroughs dan Rindfleisch, 2002), menurunnya tingkat kebahagiaan
(Belk,1985 dalam Burroughs dalam Rindfleisch, 2002), serta meningkatnya
tingkat depresi (Kasser dan Ryan, 1993 dalam Burroughs dan Rindfleisch, 2002).
Berbagai konsekuensi negatif tersebut tentunya tidak berkesesuaian dengan tujuan
awal dari individu dalam mengejar materi yakni sebagai cara untuk menunjukkan
keberhasilan mereka dalam hidup, mencari kebahagiaan dan meraih apa yang
disebut sebagai "good life". Materialisme juga dapat mempengaruhi perilaku
22
konsumsi konsumen, penggunaan kartu kredit dan berhutang. Seseorang dengan
derajat materalisme yang tinggi akan diikuti pula oleh pengeluaran dan keinginan
berhutang yang tinggi (Watson, 1998 dalam Yang, 2006)
Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa seseorang yang
materialistis cenderung untuk menjadi pembeli yang kompulsif (Dittmar, 1996;
Mowen dan Spears, 1999;O’Guinn dan Faber, 1989; Yurchisin dan Johnson, 2004
dalam Johnson dan Attman, 2009). Sebagai tambahan, para peneliti juga
menemukan bahwa seseorang yang materialis memiliki keterlibatan yang tinggi
pada produk pakaian (Browne dan Kaldenberg, 1997; Yurchisin dan Johnson,
2004 dalam Johnson dan Attman, 2009). Oleh karenanya, sangatlah beralasan
bahwa seseorang dengan nilai materialistik yang tinggi akan memiliki tingkat
pembelian kompulsif pakaian yang tinggi. Konsumen dengan tendensi
materialistik yang kuat akan menggunakan fashion untuk membuat suatu kesan,
hal ini akan lebih mengarah pada keterlibatan yang lebih tinggi. Semakin
seseorang menganggap suatu kepemilikan sebagai suatu yang berharga maka
orang tersebut semakin materialistik, demikian juga sebaliknya (Browne dan
Kaldenberg, 1997 dalam O’Cass, 2004).
2.4 Penggunaan Kartu Kredit
Dewasa ini kartu kredit sudah menjadi media pembayaran lazim terutama
di kota-kota besar, bahkan pola hidup konsumtif mendorong orang untuk
memiliki lebih dari satu kartu kredit dari pihak penerbit kartu kredit yang berbeda.
23
Kecenderungan pola hidup yang semakin konsumtif ini dibungkus rasa bangga
apabila memiliki kartu kredit.
Kartu kredit adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK)
yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaraan atas kewajiban yang timbul
dari suatu kegiatan ekonomi, dalam hal ini termasuk transaksi pembelanjaan dan/
atau untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pemegang kartu kredit
dipenuhi terlebih dahulu oleh aquiser atau pihak penerbit dan pemegang kartu
kredit berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati
(Santosa, 2009: 5) dan tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia 11/ 11 /PBI/2009
dalam http://www.bi.go.id).
Kartu kredit merupakan salah satu alat pembayaran dengan cara kredit,
dimana konsumen dapat berbelanja meskipun pada saat itu tidak mempunyai
uang. Prinsipnya, konsumen berbelanja dengan cara utang. Lebih dari itu,
konsumen diperkenankan membayar utang itu dengan mencicil sejumlah
minimum tertentu dari total transaksi. Jumlah pembayaran minimum itu biasanya
sebesar 10 sampai 20 persen dari saldo tagihan. Tetapi, konsekuensinya terhadap
sisa kredit yang belum dilunasi akan dikenakan bunga yang besarnya tergantung
pada penerbit kartu (issuer).
Kepemilikan dan penggunaan kartu kredit menyebabkan peralihan
penggunaan uang tunai bahkan kartu kredit menyebabkan peningkatan perilaku
pembelian kompulsif (Roberts dan Jones, 2001). Menurut Park dan Burn (2004)
penelitian mengenai kartu kredit relatif cukup sedikit, beberapa peneliti yang
meneliti mengenai pengunaan kartu kredit misalnya Feinberg (1986), Pinto dan
24
Parente (2000); Roberts dan Jones (2001); Till dan Hand (2003). Peningkatan
dramatis dari pemakaian kartu kredit oleh konsumen beberapa tahun belakangan
ini telah mempercepat perubahan status konsumen menjadi masyarakat konsumtif.
Hal ini berkaitan dengan strategi pemasaran dan pengembangan pasar yang
agresif oleh perusahaan-perusahaan penerbit kartu kredit. Kenyamanan dalam
menggunakan kartu kredit, meningkatkan jumlah pengguna kartu kredit untuk
berbelanja. Kemudahan bertransaksi dengan menggunakan kartu kredit yang
dapat memberikan keleluasaan secara finansial kepada konsumen dalam
berbelanja memberikan kontribusi positif dalam meningkatkan perilaku belanja
kompulsif. Konsumen menjadi lebih sering berbelanja dengan menggunakan
fasilitas kartu kredit yang mereka miliki.
25
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual Penelitian
Pengetahuan tentang perilaku pembelian konsumen sangat penting dalam
praktek pemasaran. Keputusan pemasaran yang sukses oleh organisasi bisnis
memerlukan pemahaman tentang perilaku pembelian konsumen. Keputusan di
bidang pemasaran dimulai dengan menganalisa perilaku pembelian dalam situasi
yang tepat, sehingga dapat mempengaruhi kesediaan konsumen untuk membeli
barang dan jasa yang ditawarkan. Dalam mengembangkan strategi pemasaran,
organisasi bisnis perlu mendasarkan keputusannya pada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi perilaku konsumen yaitu adanya interaksi antara situasi toko,
produk itu sendiri dan konsumen, yang akan mempengaruhi perilaku pembelian
konsumen (Belk, 1975 dalam Sutisna, 2001: 156).
Hampir setiap hari orang dihadapkan pada suatu pilihan untuk menentukan
pengambilan keputusan pembelian. Keputusan pembelian yang dibuat biasanya
dilakukan melalui suatu proses dari pengenalan kebutuhan hingga evaluasi setelah
pembelian. Model pengambilan keputusan pembelian tersebut merupakan jenis
pengambilan keputusan pembelian yang terencana. Namun dalam kenyataannya,
banyak sekali keputusan pembelian yang dilakukan tanpa melalui proses tersebut
yang disebut sebagai pengambilan keputusan pembelian tanpa rencana atau
pembelian impulsif. Pembelian impulsif terjadi ketika konsumen mengalami
dorongan tiba-tiba, keinginan yang kuat untuk membeli sesuatu dengan segera
26
(Engel, dkk., 1995: 159). Tipe pembelian impulsif kebanyakan muncul ketika
seorang konsumen terpengaruh oleh situasi di dalam toko (O'Guinn dan Faber,
1992; Solomon, 2002 dalam Shoham dan Brencic, 2003). Keinginan membeli
suatu produk dapat datang secara tiba-tiba karena berbagai alasan situasional
(Sutisna, 2001: 156). Pemasar dapat menciptakan situasi pembelian khususnya di
dalam toko dengan memberikan kenyamanan berbelanja bagi konsumen, sehingga
merangsang konsumen untuk melakukan pembelian impulsif.
Perilaku impulsif yang dilakukan berkali-kali dan dalam jangka waktu
yang lama menimbulkan suatu perilaku pembelian yang diberi nama perilaku
pembelian kompulsif. Definisi pembelian kompulsif harus mencakup dua kriteria
yaitu: (1) perilakunya harus berulang ulang, dan (2) perilakunya harus
problematik untuk individu (O’Guinn dan Faber, 1989 dalam Shoham dan
Brencic, 2003).
Meskipun konseptualisasi membeli kompulsif bervariasi, secara umum
dicirikan sebagai perilaku pembelian yang impulsif, berlebihan, dan tidak
terkendali (Dittmar, 2005). Di antara berbagai penjelasan tentang penyebab
kompulsif, perilaku pembelian kompulsif ditemukan secara positif berkaitan
dengan materialisme (Dittmar 2005; Yurchisin dan Johnson 2004 dalam Choi,
2007).
Materialisme didefinisikan sebagai bagaimana konsumen memberikan
perhatian pada masalah kepemilikan duniawi sebagai hal penting (Mowen dan
Minor, 2002: 280). Konsumen dengan nilai materialisme yang tinggi meyakini
bahwa pendapatan sangatlah penting untuk hidup mereka yang menjadi sebuah
27
tolok ukur dari kesuksesan dan diperlukan untuk kepuasan mereka dan tingkat
konsumsi yang tinggi akan membuat mereka merasa lebih bahagia sehingga
menyebabkan pula pada peningkatan pembelian konsumen (Xu, 2008).
Hal ini diperparah lagi saat seseorang secara finansial memiliki
kemampuan untuk membeli suatu produk. Salah satu indikasi kemampuan
finansial adalah kepemilikan kartu kredit. Kartu kredit memberikan fasilitas
kepada konsumen untuk mempermudah proses pembelian baik yang direncanakan
maupun pembelian impulsif pada berbagai produk. Produk yang umumnya dibeli
secara kompulsif adalah perhiasan, pakaian, kosmetik, sepatu, dan barang-barang
otomotif (Dittmar, 2005; Black, 1996 dalam Jalan, 2006).
Berdasarkan fenomena sosial itu, maka permasalahannya dikaji dengan
pendekatan teori serta kajian empiris penelitian ini dapat digambarkan dalam
bentuk kerangka konsep penelitian seperti yang digambarkan pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
Faktor Situasional
Perilaku Pembelian Kompulsif
Penggunaan Kartu Kredit
Materialisme
28
3.2 Hipotesis
Konsumen yang banyak melakukan pembelian secara spontan dan
memutuskan secara mendadak atau impulsif di dalam toko ataupun pusat
perbelanjaan, akan cenderung menunjukan perilaku pembelian kompulsif
(Schiffman dan Kanuk, 2007: 128). Perilaku pembelian kompulsif dapat terjadi
pada segala jenis produk, salah satu produk yang sering dibeli konsumen tanpa
direncana adalah pakaian. Pakaian sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia
selain pangan dan papan mendapat porsi yang lebih banyak dibandingkan kategori
produk lainnya. Penelitian ini berfokus pada produk pakaian karena pakaian
merupakan salah satu kebutuhan primer dan pakaian merupakan sarana untuk
menunjang penampilan atau sebagai identitas diri serta yang berhubungan dengan
gaya hidup yang disebut sebagai fashion. Oleh karenanya, konsumen berusaha
untuk selalu mengikuti mode produk-produk fashion yang selanjutnya akan
berdampak pada perilaku konsumtif (O’Cass, 2004). Kecenderungan seseorang
untuk memiliki penampilan yang menarik menyebabkan orang sering melakukan
pembelian tanpa direncanakan untuk jenis produk fashion.
Lebih lanjut, semakin tinggi tingkat pembelian impulsif akan berakibat
pada kecenderungan pembelian kompulsif (Shoham dan Brencic, 2003).
Keinginan untuk membeli produk fashion di suatu pusat perbelanjaan bisa muncul
secara tiba-tiba karena berbagai alasan faktor situasional. Faktor situasional
merupakan faktor eksternal yang muncul karena seseorang melakukan kontak
dengan lingkungan dan produk yang nantinya dapat menyebabkan pembelian
impulsif dan pembelian impulsif yang berulang akan menyebabkan terjadinya
29
perilaku pembelian kompulsif (Mihic dan Kursan, 2010). Faktor situsional
membuat konsumen melakukan pengambilan keputusan di dalam toko pada saat
itu juga (Gor, 2002). Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diajukan hipotesis
sebagai berikut:
H1: Faktor situasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku
pembelian kompulsif.
Pembelian kompulsif dewasa ini menjadi salah satu topik yang menarik
bagi sejumlah peneliti dibidang konsumsi maupun bidang pemasaran karena
dianggap sebagai akibat dari materialisme dan dampak buruk dari konsumerisme.
Dari penelitian ditemukan bahwa materialisme mempengaruhi perilaku pembelian
kompulsif (O’Guinn dan Faber, 1989, Dittmar, dkk., 1996; Mowen and Spears,
1999; Yurchisin and Johnson, 2004 dalam Jonshon, 2009). Seseorang yang
materialis memiliki keterlibatan yang tinggi pada produk pakaian (Browne dan
Kaldenberg, 1997; Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam Johnson dan Attman,
2009). Oleh karenanya, sangatlah beralasan bahwa seseorang dengan nilai
materialistik yang tinggi akan memiliki tingkat pembelian kompulsif pakaian
yang tinggi.
H2: Materialisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian
kompulsif.
Penelitian yang dilakukan oleh Park dan Burns (2005) yang merupakan
pengembangan dari penelitian Gutman dan Mills (1982) menambahkan konstruk
penggunaan kartu kredit sebagai konstruk yang meningkatkan pembelian
kompulsif. Dalam penelitiannya, Park dan Burns (2005) menyatakan bahwa
30
pembelian kompulsif akan menjadi lebih tinggi saat seorang individu memiliki
kemampuan secara finansial dalam bentuk kepemilikan kartu kredit. Beberapa
studi telah mengidentifikasi bahwa kartu kredit yang memainkan peran penting
yang mendorong untuk pembelian kompulsif sebagai akibat dari tekanan sosial
dan kurangnya kontrol diri (Baumeister, 2000; Roberts dan Jones, 2001 dalam
Rutherford, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku belanja kompulsif pada
produk fashion akan menjadi lebih tinggi dengan penggunaan kartu kredit.
Seseorang yang materialistis adalah seorang pemboros dan memiliki
keinginan yang kuat untuk berhutang (Fitzmurice, 2006). Seseorang yang
menganut nilai materialisme cenderung untuk menganggap harta, materi sebagai
tolok ukur status dalam masyarakat dan produk fashion dianggap sebagai salah
satu parameternya. Konsumen yang menaruh perhatian tinggi terhadap produk
fashion cenderung menggunakan kartu kredit lebih tinggi karena mungkin mereka
tidak dapat membeli tanpa kartu kredit dan mereka diberi kemudahan untuk “beli
sekarang, bayar kemudian” (Richin, 1994 dan Rindfleisch, dkk, 1997 dalam Park
dan Burn, 2005). Kartu kredit mempermudah proses pembelian tanpa
direncanakan pada produk fashion. Dengan kata lain, perilaku pembelian impulsif
dan kompulsif akan meningkatkan sejalan dengan peningkatan penggunaan kartu
kredit, karena kartu kredit digunakan sebagai alternatif pembayaran non tunai
seperti yang terjadi pada mahasiswa di Korea dan Amerika (Park dan Forney,
2004). Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
31
H3: Penggunaan kartu kredit berperan signifikan sebagai variabel pemoderasi
yang memperkuat pengaruh materialisme terhadap perilaku pembelian
kompulsif.
32
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Ruang Lingkup Penelitian
4.1.1 Jenis penelitian
Penelitian ini termasuk dalam kategori riset eksplanatori dengan tujuan
utamanya adalah memperoleh penjelasan mengenai hubungan sebab-akibat
(kausal). Malhotra (2007 : 85) menyatakan bahwa riset kausal sebagai salah satu
jenis riset konklusif yang dapat dimanfaatkan untuk maksud-maksud sebagai
berikut: (1) memahami variabel mana yang mempengaruhi dan variabel mana
yang merupakan variabel akibat pada fenomena tertentu, dan (2) menentukan
sifat hubungan antara variabel independen dan pengaruhnya yang akan
diperkirakan.
4.1.2 Lokasi dan waktu penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung
karena (1) adanya keterbatasan dana, waktu, tenaga, (2) Kota Denpasar dan
Kabupaten Badung merupakan pusat perbelanjaan di Provinsi Bali. Penelitian ini
dimulai dari bulan November 2010 dan selesai pada bulan Juni 2011.
4.2 Variabel Penelitian
4.2.1 Identifikasi variabel
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh faktor situasional
pusat perbelanjaan dan materialisme konsumen terhadap perilaku pembelian
33
kompulsif dimana penggunaan kartu kredit merupakan variabel moderasi dalam
hubungan ini. Berdasarkan pokok permasalahan dan hipotesis yang diajukan,
variabel-variabel dalam analisis ini dapat diidentifikasi secara garis besar sebagai
berikut :
1). Variabel independen (X)
Seluruh indikator yang mengidentifikasi variabel faktor situasional
diadopsi dari dari penelitian Mihic dan Kursan (2010) yang telah dimodifikasi
dan disesuaikan dengan konteks penelitian yang disajikan lebih rinci pada
Tabel 4.1. Sedangkan, seluruh indikator yang mengidentifikasi variabel
materialisme diadopsi dari penelitian Richins dan Dawson, 1994 dalam
Schiffman dan Kanuk, 2007: 192 yang telah dimodifikasi dan disesuaikan
dengan konteks penelitian yang disajikan lebih rinci pada Tabel 4.2.
2). Variabel dependen (Y)
Variabel dependen dalam penelitian yaitu: perilaku pembelian kompulsif.
Seluruh indikator yang mengidentifikasi variabel perilaku pembelian kompulsif
diadopsi dari penelitian Faber dan O’Guinn, 1992 dalam Shoham dan Brencic,
2003; Roberts dan Pirog III, 2004; Park dan Burn, 2005 yang telah
dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks penelitian yang disajikan lebih
rinci pada Tabel 4.3.
3). Variabel moderasi (Z)
Variabel moderasi dalam penelitian yaitu: penggunaan kartu kredit.
Seluruh indikator yang mengidentifikasi variabel penggunaan kartu kredit
diadopsi dari penelitian Roberts dan Jones, 2001; Park dan Burn, 2005 yang
34
telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks penelitian yang disajikan
lebih rinci pada Tabel 4.4.
4.2.2 Definisi operasional variabel
(a) Faktor situasional (X1), adalah faktor-faktor eksternal yang berasal dari
lingkungan berbelanja ketika konsumen tertarik akan rangsangan visual
tertentu.
1) Saya sering melakukan pembelian yang tidak terencana (X1.1) adalah
perilaku seseorang yang sering melakukan pembelian diluar daftar
belanja yang direncanakan.
2) Saya berbelanja lebih banyak daripada yang direncanakan sebelumnya
ketika berbelanja dengan teman (X1.2) adalah perilaku seseorang yang
melakukan pembelian lebih banyak dari yang direncanakan sebelumnya
ketika berbelanja dengan teman.
3) Pengaturan toko yang menarik membuat saya berbelanja diluar rencana
sebelumnya (X1.3) adalah perilaku seseorang yang keputusan
pembeliannya terpengaruh oleh pengaturan barang di dalam toko.
4) Pramuniaga yang ramah membuat saya membeli produk diluar rencana
sebelumnya (X1.4) adalah perilaku pembelian seseorang yang
dipengaruhi oleh pelayanan yang diberikan oleh pramuniaga.
5) Alunan musik membuat saya berbelanja diluar rencana sebelumnya
(X1.5) adalah perilaku pembelian seseorang yang terpengaruh oleh
alunan musik di dalam pusat perbelanjaan.
35
6) Aroma ruangan yang harum membuat saya diluar rencana sebelumnya
(X1.6) adalah perilaku pembelian seseorang yang terpengaruh oleh
aroma ruangan yang harum.
7) Lokasi pusat perbelanjaan yang mudah dijangkau merangsang saya
untuk berbelanja (X1.7) adalah perilaku seseorang yang melakukan
pembelian karena lokasi pusat perbelanjaan yang strategis dan mudah
dijangkau misal berada di pusat kota, dekat dengan rumah atau dekat
dengan kantor.
8) Kegiatan promosi merangsang saya untuk melakukan pembelian diluar
rencana sebelumnya (X1.8) adalah perilaku seseorang yang melakukan
pembelian karena terpengaruh dengan promosi yang dilakukan oleh
pusat perbelanjaan misal potongan harga, beli satu gratis satu, iklan
spanduk, banner, iklan di media massa dan sebagainya.
9) Display yang menarik merangsang saya untuk melakukan pembelian
diluar rencana sebelumnya (X1.9) adalah perilaku pembelian seseorang
yang terpengaruh karena display atau pajangan yang menarik.
10) Kemasan produk yang menarik merangsang saya untuk melakukan
pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.10) adalah perilaku pembelian
seseorang dalam membeli produk fashion terpengaruh oleh kemasan
yang menarik.
11) Penempatan produk yang mudah dijangkau mempengaruhi saya untuk
melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.11) adalah
perilaku pembelian seseorang dalam membeli produk fashion
36
terpengaruh oleh kemudahan dalam menjangkau penempatan produk
fashion.
12) Merek yang terkenal merangsang saya untuk melakukan pembelian
diluar rencana sebelumnya (X1.12) adalah perilaku pembelian seseorang
yang dipengaruhi oleh karena ketertarikanya akan suatu merek fashion
yang sudah familiar atau dikenal sebelumnya.
(b) Materialisme (X2) yaitu terdiri atas tiga dimensi yaitu:
(1). Dimensi pentingnya harta dalam hidup seseorang/ acquisition
centrality (X3) adalah persepsi seseorang yang menganggap bahwa harta
benda sangatlah penting dalam kehidupan seseorang dan harta
ditempatkan sebagai posisi sentral atau utama dalam kehidupan seseorang.
1) Saya sering membeli sesuatu yang tidak saya butuhkan (X3.1) adalah
perilaku seseorang yang menggunakan uangnya untuk membeli barang-
barang yang tidak dibutuhkan dalam hidupnya.
2) Saya menyukai kemewahan (X3.2) adalah adalah perilaku seseorang
yang menyukai kemewahan dalam hidup.
3) Membeli sesuatu memberikan kesenangan bagi saya (X3.3) adalah
perasaan bahagia seseorang apabila mampu membeli barang yang
diinginkannya dalam hal ini produk fashion.
(2) Dimensi kepemilikian merupakan ukuran kesuksesan hidup/ possession
defined success(X4) adalah persepsi seseorang bahwa kepemilikan harta
benda merupakan suatu ukuran untuk menilai kesuksesan sesorang.
37
Semakin banyak harta benda yang dimiliki, semakin sukses pula orang
tersebut.
1) Saya sangat mengagumi orang lain yang memiliki barang-barang yang
mahal (X4.1) adalah perilaku seseorang yang mengagumi orang lain
yang memiliki barang-barang yang mahal yang dijadikan sebagai salah
satu tolok ukur keberhasilan seseorang dalam hidup.
2) Jumlah materi yang dimiliki seseorang merupakan ukuran sebuah
kesuksesan (X4.2) adalah persepsi seseorang yang menganggap bahwa
kesuksesan dalam hidup ditentukan oleh kepemilikan harta benda.
3) Saya senang memiliki sesuatu yang dapat membuat orang lain terkesan
(X4.3) adalah perasaan senang dikarenakan memiliki barang yang
mampu membuat orang lain terkesan.
(3) Dimensi kepemilikan dan harta benda merupakan sumber kebahagian
acquisition as the pursuit of happiness (X5) adalah persepsi bahwa
kepemilikan harta benda merupakan hal yang sangat penting dalam
mencapai kebahagiaan, kesejahteraan dan kepuasan dalam hidup. Semakin
banyak harta benda yang dimiliki, seseorang akan semakin berbahagia.
1) Memiliki barang yang saat ini belum saya miliki membuat saya bahagia
(X5.1) adalah persepsi seseorang yang menganggap bahwa hidupnya
akan lebih bahagia apabila mampu memiliki segala barang yang belum
dimiliki.
38
2) Membeli banyak barang membuat saya bahagia (X5.2) adalah persepsi
seseorang bahwa hidupnya akan lebih bahagia apabila memiliki
kemampuan (uang) untuk membeli barang dan materi .
3) Saya merasa resah saat tidak sanggup membeli barang yang saya sukai
(X5.3) adalah persepsi seseorang bahwa akan mengalami kegelisahan
apabila tidak dapat membeli harta benda yang diinginkan.
(c) Penggunaan kartu kredit (Z) adalah satu alat pembayaran dengan cara kredit,
di mana konsumen dapat berbelanja meskipun pada saat itu tidak mempunyai
uang.
1) Tagihan kartu kredit saya mencapai batas kredit maksimum (Z1.1)
adalah perilaku seseorang yang menggunakan fasilitas kartu kreditnya
sampai dengan batas maksimum yang diberikan oleh pihak penerbit
kartu kredit.
2) Saya tidak khawatir dengan harga produk fashion ketika menggunakan
kartu kredit (Z1.2) adalah perilaku seseorang yang tidak merasa khawatir
akan harga produk fashion ketika menggunakan kartu kredit yang
memberikan fasilitas untuk membelanjakan uang masa depannya
sekarang.
3) Saya sering melakukan pembelian tanpa direncanakan ketika berbelanja
produk fashion dengan menggunakan kartu kredit(Z1.3) adalah ketika
berbelanja produk fashion, perilaku pembelian tanpa direncanakan
dengan menggunakan kartu kredit menjadi lebih tinggi.
39
4) Saya berbelanja produk fashion lebih banyak ketika menggunakan kartu
kredit (Z1.4) adalah perilaku seseorang dalam berbelanja produk fashion
menjadi lebih banyak baik secara nominal maupun volume ketika
menggunakan kartu kredit.
5) Saya sering berbelanja produk fashion melebihi batas kredit yang saya
dapatkan (Z1.5) adalah perilaku seseorang dalam melakukan pembelian
produk fashion melebihi batas kredit maksimum yang diperoleh dari
bank penerbit.
6) Saya sering mengambil uang tunai menggunakan kartu kredit saya
untuk berbelanja produk fashion (Z1.6) adalah perilaku seseorang yang
sering menarik tunai dari kartu kredit dan selanjutnya digunakan untuk
berbelanja produk fashion.
7) Saya menggunakan lebih dari satu kartu kredit (Z1.7) adalah perilaku
seseorang memiliki dan menggunakan lebih dari satu kartu kredit.
d) Perilaku pembelian kompulsif (Y) yaitu suatu perilaku pembelian yang tanpa
direncanakan dan dilakukan secara berulang-ulang pada produk fashion akibat
rasa ketagihan, bosan, tertekan terhadap pakaian pesta, pakaian kantor, kaos,
celana, rok, baju, dan lain sebagainya.
1) Saat memilki uang lebih pada akhir bulan, saya sering menghabiskan
uang tersebut untuk membeli produk fashion (Y1.1) adalah perilaku
seseorang yang menghabiskan sisa uangnya untuk membeli produk
fashion saat memiliki uang lebih pada akhir bulan.
40
2) Orang lain akan heran jika mereka tahu kebiasaan saya dalam
berbelanja produk fashion yang saya inginkan (Y1.2) adalah perasaan
seseorang bahwa perilaku belanja produk fashionnya mampu membuat
orang lain merasa heran.
3) Saya sering membeli produk fashion meskipun saat ini belum memiliki
kemampuan membayar (Y1.3) adalah perilaku seseorang yang saat ini
membeli produk fashion dengan cara bukan tunai salah satunya dengan
menggunakan kartu kredit.
4) Saya berusaha mencari pinjaman uang dari orang lain demi membeli
produk fashion (Y1.4) adalah perilaku seseorang yang rela meminjam
uang dari orang lain untuk membeli produk fashion yang diinginkan.
5) Saya membeli produk fashion agar saya merasa senang (Y1.5) adalah
perilaku seseorang yang merasa senang setelah melakukan pembelian
produk fashion.
6) Saya merasa terganggu ketika tidak berbelanja produk fashion yang
saya inginkan (Y1.6) adalah perasaan seseorang yang merasa gelisah
ketika tidak berbelanja produk fashion yang diinginkan.
7) Saya sering melakukan pembayaran kartu kredit dalam jumlah
minimum untuk produk fashion yang saya beli (Y1.7) adalah perilaku
seseorang yang hanya melakukan pembayaran minimum pada tagihan
kartu kreditnya, biasanya berkisar antara 5-10 persen dari total tagihan.
41
42
43
44
4.3 Pengumpulan Data
4.3.1 Jenis data
4.3.1.1 Data berdasarkan sifatnya
Berdasarkan sifatnya, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
dikategorikan ke dalam data kualitatif dan data kuantitatif yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Data Kuantitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk angka. Yang
termasuk data kuantitatif dalam penelitian ini adalah data hasil kuesioner yang
telah diberi angka dan pada masing-masing jawaban yang diperoleh dari
penyebaran kuesioner dan pengeluaran per bulan.
2) Data Kualitatif adalah data yang tidak dinyatakan dalam bentuk angka,
seperti lokasi penelitian, karakteristik responden (nama, jenis kelamin,
pendidikan, dan pekerjaan), dan nama-nama daftar bank penerbit kartu kredit
di Indonesia
4.3.1.2 Data berdasarkan sumbernya
Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1) Data Primer
Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya dimana dicatat
untuk pertama kalinya dan masih perlu diolah lebih lanjut agar bisa
memberi hasil bagi penelitian.
Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui penyebaran kuesioner
kepada responden yang telah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
45
2) Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dan dihimpun oleh pihak lain dan perlu diolah
kembali. Data sekunder dalam penelitian ini antara jumlah transaksi
dengan kartu kredit dari tahun 2008 sampai tahun 2009.
4.3.2 Penentuan populasi dan sampel penelitian
4.3.2.1 Populasi
Populasi adalah kumpulan dari objek yang akan diteliti (Sugiyono,
2005:73). Dalam penelitian ini, populasi dimaksudkan sebagai seluruh konsumen
yang pernah melakukan pembelian produk fashion dengan menggunakan kartu
kredit di berbagai pusat perbelanjaan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung
yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti.
4.3.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2005:73). Cooper dan Schnider dalam Kuncoro
(2003:109) mengemukakan penentuan sampel dengan mempertimbangkan (1)
harus besar agar dapat mewakili populasi; (2) harus mengandung hubungan
proporsional terhadap ukuran populasi. Bila populasi besar dan tidak mungkin
mempelajari semua yang ada dalam populasi, misalnya karena keterbatasan dana,
tenaga dan waktu maka dapat digunakan sampel yang diambil dari populasi
tersebut.
Berikutnya adalah pemilihan tehnik sampling, yaitu merupakan upaya
penelitian untuk mendapatkan sampel yang representatif yang dapat
menggamarkan populasi. Pengambilan sampel akan dilakukan dengan teknik
46
purposive sampling yang bertujuan untuk memilih responden yang terseleksi oleh
peneliti sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan. Kriteria sampel pada
penelitian ini adalah responden yang memiliki tingkat pendidikan minimal
Sekolah Menengah Atas/ Sederajat, responden saat ini sudah bekerja, responden
memiliki kartu kredit utama dan responden pernah melakukan pembelian tidak
terencana produk fashion dengan menggunakan kartu kredit utama minimal
sebanyak 3 kali dalam 12 bulan terakhir di berbagai pusat perbelanjaan di Kota
Denpasar dan Kabupaten Badung. Dipilihnya responden yang memiliki tingkat
pendidikan minimal Sekolah Menengah Atas/ Sederajat karena dengan
karakterstik ini ini responden dianggap mampu memahami dan menjawab
pertanyaan pada kuesioner secara objektif. Dipilihnya responden saat ini sudah
bekerja karena responden telah memiliki penghasilan, responden memiliki kartu
kredit utama karena pihak penerbit kartu kredit umumnya mensyaratkan
kepemilikan kartu kredit utama apabila telah memiliki penghasilan sendiri.
Sedangkan dipilihnya berbagai pusat perbelanjaan di Kota Denpasar dan
Kabupaten Badung sebagai objek dari penelitian ini karena sebagian besar pusat
perbelanjaan berada di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
Roscoe dalam Sugiyono (2005:90) memberikan saran untuk pengambilan
sampel penelitian apabila jumlah populasi tidak diketahui secara pasti yaitu:
ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 sampai dengan 500.
Lebih lanjut menurut Ferdinand (2002:75) adalah ukuran sampel yang
representatif antara 100-200 sampel atau tergantung pada jumlah parameter yang
digunakan dalam seluruh variabel laten, yaitu jumlah parameter dikalikan 5
47
sampai 10. Dalam penelitian ini jumlah indikator adalah sebanyak 35 indikator,
sehingga sampel yang digunakan adalah sebanyak 175 responden.
4.4 Instrumen Penelitian
4.4.1 Metode pengumpulan data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari jawaban atas kuesioner yang
dibagikan kepada responden dengan kriterianya telah ditetapkan sebelumnya.
Kuesioner yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan cara membuat daftar
pertanyaan tertulis untuk kemudian dibagikan kepada responden dengan beberapa
alternatif jawaban yang telah disediakan (Sugiyono, 2005:129). Jenis kuesioner
yang digunakan adalah kuesioner dengan daftar pernyataan tertutup, artinya
responden hanya bisa menjawab satu atau beberapa pilihan jawaban yang telah
disiapkan oleh peneliti.
Kuesioner dalam penelitian ini terdiri atas pertanyaan mengenai faktor
situasional, materialisme, penggunaan kartu kredit dan perilaku pembelian
kompulsif. Untuk mendapatkan responden sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan maka terlebih dahulu diberikan screening quetions. Pertama, jika calon
responden memiliki tingkat pendidikan minimal Sekolah Menengah Atas/
Sederajat, maka wawancara dilanjutkan, namun jika calon responden memiliki
tingkat pendidikan dibawah Sekolah Menengah Atas/ Sederajat, maka wawancara
selesai. Kedua, jika calon responden saat ini sudah bekerja, maka wawancara
dilanjutkan namun jika tidak bekerja, maka wawancara selesai. Ketiga, jika calon
responden memiliki kartu kredit utama maka wawancara dilanjutkan, namun jika
48
tidak memiliki kartu kredit utama, maka wawancara selesai. Keempat, jika calon
responden pernah melakukan pembelian tidak terencana produk fashion dengan
menggunakan kartu kredit minimal sebanyak 3 kali dalam 12 bulan terakhir di
berbagai pusat perbelanjaan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung maka
wawancara dilanjutkan namun jika dalam 12 bulan terakhir responden hanya
menggunakan kartu kredit untuk membeli produk fashion kurang dari 3 kali maka
wawancara selesai, wawancara pun selesai jika pembelian tersebut merupakan
pembelian terencana.
Kuesioner disebarkan di beberapa pusat-pusat perbelanjaan, bank,
kampus, perkantoran di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung Provinsi Bali.
Kuesioner tetap disebarkan hingga didapatkan responden sesuai dengan sampel
penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya.
4.4.1 Skala pengukuran
Untuk mengetahui evaluasi variabel faktor situasional, materialisme,
penggunaan kartu kredit dan perilaku pembelian kompulsif pada produk fashion,
maka skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini diukur dengan
menggunakan skala Likert dengan lima tingkatan. Dalam hal ini menggunakan
asumsi bahwa skala Likert menghasilkan pengukuran variabel dalam skala
interval. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang skala sosial di mana jawaban setiap
pertanyaan memiliki sejumlah kategori yang berturut-turut dari yang paling positif
sampai yang paling negatif. Pada skala Likert kemungkinan jawaban tidak hanya
49
sekedar setuju dan tidak setuju atau jenis jawaban lain yang hanya memiliki dua
alternatif melainkan dibuat dengan lebih banyak jawaban.
Alasan lain pemilihan skala Likert dengan lima tingkatan ini antara lain:
kesesuaian dengan berbagai penelitian sebelumnya, memperbesar variasi jawaban
bila dibandingkan empat skala, dan agar terlihat kecenderungan pemilihan
responden terhadap variabel. Masing-masing alternatif jawaban pada variabel
faktor situasional, materialisme, dan penggunaan kartu kredit diberi skor numerik:
sangat setuju (5), setuju (4), netral (3), tidak setuju (2) dan sangat tidak setuju (1);
variabel perilaku pembelian kompulsif akan diberi skor numerik sebagai berikut:
sangat sering (5), sering (4), kadang-kadang (3), jarang (2), dan tidak pernah (1).
4.5 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan bantuan komputer dengan
program SPSS 16. Adapun teknik analisa yang digunakan adalah sebagai berikut:
4.5.1 Statistik deskriptif
Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis
data dengan cara mendeskripsikan atau menganalisis data yang terkumpul
sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk
umum atau generalisasi. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui
karakteristik dan tanggapan responden terhadap item-item pertanyaan dalam
kuesioner. Pada teknik analisis ini seluruh variabel yang diteliti dideskripsikan
dengan menggunakan nilai rata-rata dan persentase dari skor jawaban responden.
50
4.5.2 Uji kualitas data
Data yang dihasilkan pada penelitian ini akan dievaluasi melalui uji
validitas dan reliabilitas. Uji ini akan dilakukan untuk mengetahui konsistensi dan
akurasi data yang dikumpulkan dari hasil penelitian (Ghozali, 2001: 47) .
Metode statistik yang digunakan untuk menguji validitas variabel dari
analisis faktor dapat dilihat pada Tabel 4.5. Berdasarkan Tabel 4.5, analisis faktor
dapat digunakan apabila besarnya KMO minimal 0,5 dan jika nilai KMO di
bawah 0,5 maka analisis faktor tidak bisa digunakan. Di samping itu, faktor yang
dipertimbangkan bermakna adalah bilamana varian kumulatifnya minimal 50
persen, signifikan pada maksimal 0,05 dan apabila item indikatornya mempunyai
loading faktor di atas 0,50 maka dinyatakan valid.
Tabel 4.5 Nilai Validitas dalam Analisis Faktor
Nilai Validitas Cut-off Value KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) ≥ 0,50 Significance Probability ≤ 0,05 Varians Kumulatif ≥ 50 persen Faktor Loading ≥ 0,50
Sumber : Utama, 2009
Sedangan uji reliabilitas menunjukkan konsistensi dan stabilitas dari suatu
skor (skala pengukuran). Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika
jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke
waktu dengan kata lain bahwa reliabilitas menunjukan apakah suatu pengukuran
dapat memberikan hasil yang konsisten apabila dilakukan pengukuran kembali
terhadap subjek yang sama. Teknik yang digunakan untuk menguji reliabilitas
butir pertanyan dalam penelitian ini adalah metode uji reliabilitas cronbach alpha
51
dengan standar nilai reliabilitas instrumen adalah lebih besar atau sama dengan
0.6.
4.5.3 Uji asumsi klasik
Dalam penelitian ini menggunakan alat uji regresi linier berganda.
Sebelum model regresi digunakan, terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi
klasik untuk mengetahui keberartian hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen (Ghozali, 2006: 211). Penelitian ini menggunakan tiga uji
asumsi klasik yaitu uji normalitas, uji multikolinearitas, dan uji heteroskedatisitas.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi, resedual
mempunyai distribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas dilakukan
menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Resedual berdistribusi normal apabila
tingkat signifikasinya menunjukan nilai yang lebih besar dari 0,05.
b. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Multikolinearitas dapat dilihat
dari tolerance atau variance inflatation factor (VIF). Jika nilai tolerance lebih
dari 10 % atau VIF kurang dari 10 dikatakan tidak ada multikolinearitas.
c. Uji Heteroskedatisitas
Uji heteroskedatisitas bertujuan untuk menguji apakah terjadi ketidaksamaan
variance resedual suatu pengamatan ke pengamatan ke pengamatan lain. Untuk
mendeteksi heteroskedatisitas dengan menggunakan uji Glejeser. Suatu model
52
dikatakan tidak mengandung heteroskedatisitas apabila signifikasinya diatas
0,05.
4.5.4 Analisis regresi linier berganda
Alat uji regresi linier berganda dimaksudkan untuk melihat seberapa besar
pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen.
Model regresi berganda dalam penelitian ini yaitu:
Y = β0 + β1X1 + β2X2 + e ................................................................ (1)
Penelitian ini juga dilakukan untuk menguji pengaruh variabel bebas
terhadap variabel terikat menggunakan variabel pemoderasi. Variabel pemoderasi
ini memperkuat atau memperlemah hubungan variabel bebas dan variabel terikat.
Model regresi yang dapat digunakan untuk menguji pengaruh variabel pemoderasi
uji nilai selisih mutlak. Alasan menggunakan uji nilai selisih mutlak adalah karena
model ini mampu mengatasi masalah multikolinearitas yang umumnya terjadi
sangat tinggi apabila menggunakan uji interaksi (Utama, 2009: 131).
Y = β0 + β1 X1 + β2X2 +β3Z +β4 I X2-Z I + e
Menurut Frucot dan Shearon (1991 dalam Utama, 2009: 131), untuk
menghindari excluded variable pada pengujian statistik maka dilakukan
standardized score pada variabel-variabel independen sehingga model tersebut
menjadi:
Y = β0 + β1Z X1 + β2 ZX2 + β3Zz + β4 I ZX2-Zz I +e ................ (2)
Keterangan:
β0 : Konstanta
β1, β2, β3, β4 : Koefisien Regresi
53
Y : Perilaku pembelian kompulsif
ZX1 : Faktor situasional yang distandardized
ZX2 : Materialisme yang distandardized
Zz : Penggunaan Kartu Kredit yang distandardized
I ZX2-Zz I : Interkasi yang diukur dengan nilai absolut perbedaan
antara ZZ dan ZX2
E : Error
Langkah yang dilakukan setelah variabel distandardized scored adalah
menentukan apakah variabel penggunaan kartu kredit (Zz) merupakan variabel
pemoderasi atau bukan. Hal ini dapat dilihat dari apapun nilai β2 (signifikan atau
tidak, postif atau negatif), asalkan β4 signifikan berarti penggunaan kartu kredit
(Zz) merupakan variabel moderating (Utama, 2009: 128). Setelah itu, untuk
menentukan apakah variabel moderasi memperkuat pengaruh variabel dependen
terhadap variabel independen. Dalam persamaan ini, jika β4 signifikan,
selanjutnya dilacak apakah variabel Zz memperkuat atau memperlemah pengaruh
X2 terhadap Y, yaitu:
a) Jika β2 positif, signifikan atau tidak dan β4 positif signifikan, maka Zz
sebagai variabel moderating yang memperkuat pengaruh ZX2 terhadap Y
(pengaruh positifnya bertambah)
b) Jika β2 negatif, signifikan atau tidak dan β4 negatif signifikan, maka Zz
sebagai variabel moderating yang memperkuat pengaruh ZX2 terhadap Y
(pengaruh negatifnya bertambah)
54
c) Jika β2 positif, signifikan atau tidak dan β4 negatif signifikan, maka Zz
sebagai variabel moderating yang memperlemah pengaruh ZX2 terhadap Y
(pengaruh positifnya berkurang)
d) Jika β2 negatif, signifikan atau tidak dan β4 positif signifikan, maka Zz
sebagai variabel moderating yang memperlemah pengaruh ZX2 terhadap Y
(pengaruh negatifnya berkurang)
4.5.5 Uji hipotesis
Ketepatan fungsi regresi untuk pengujian hipotesis dalam menaksir nilai aktual
dapat diukur dari goodness of fit. Secara statistik, setidaknya ini dapat diukur dari
nilai statistik uji signifikansi parameter individual, nilai statistik F, dan nilai
koefisien determinasi (Ghozali, 2006: 211). Untuk lebih rinci, dapat dijabarkan
sebagai berikut:
a. Uji Signifikansi Parameter Individual
Uji signifikansi parameter individual menunjukkan seberapa jauh pengaruh
satu variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel
dependen. Apakah variabel independen berpengaruh secara nyata atau tidak.
Untuk menentukan tingkat signifikansi secara parsial antara variabel-variabel
bebas dan variabel terikat, maka hipotesis harus diuji pada taraf signifikan 5%
atau 0,05 secara dua arah (two tail). Selanjutnya diambil suatu keputusan,
diterima atau ditolak suatu hipotesis, yaitu dengan cara membandingkan Beta
hitung (nilai Unstandardized Coefficients pada Tabel Coefficients) dengan Beta
tabel dengan kriteria atau dengan membandingkan nilai signifikan yang
55
diperoleh dari hasil uji statistik dengan nilai signifikan yang telah ditentukan.
Pada penelitian ini akan menggunakan signifikansi 5% atau 0,05.
b. Uji F
Sehubungan dengan uji regresi linier berganda, uji hipotesis ditentukan dengan
menggunakan Uji F. Pengujian ini dilakukan dengan menentukan signifikansi
pengaruh-pengaruh variabel bebas secara simultan terhadap variabel terikat.
Pengujian ini akan membandingkan nilai signifikan dari hasil pengujian data
dengan membandingkan nilai signifikan yang telah ditetapkan. Pada penelitian
ini akan menggunakan signifikansi 5% atau 0,05.
c. Koefisien Determinasi
Koefisien deteminasi (R2) mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam
menerangkan variasi variabel terikat. Apabila hanya terdapat satu variabel
independen maka R2 yang dipakai. Tetapi apabila terdapat dua atau lebih
variabel independen maka Adjusted R2 yang digunakan. Setiap tambahan suatu
variabel bebas, maka R2 pasti meningkat. Sedangkan nilai Adjusted R2 dapat
naik atau turun apabila satu variabel independen ditambahkan kedalam suatu
model.
56
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Responden
Jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 175 orang
pengguna kartu kredit utama dengan kriteria yang telah disebutkan sebelumnya
yaitu responden yang memiliki tingkat pendidikan minimal Sekolah Menengah
Atas/ Sederajat, responden saat ini sudah bekerja, responden memiliki kartu kredit
utama dan responden pernah melakukan pembelian tidak terencana produk
fashion dengan menggunakan kartu kredit minimal sebanyak 3 kali dalam 12
bulan terakhir di berbagai pusat perbelanjaan di Kota Denpasar dan Kabupaten
Badung. Karakteristik responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.1
(Lampiran 4).
Berdasarkan hasil perhitungan terhadap karakteristik responden dalam
Tabel 5.1 (Lampiran 4) yang dikelompokan menjadi 4 kategori yaitu:
1) Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan Tabel 5.1 terdapat 73 responden atau sebesar 41,70 persen
responden berjenis kelamin pria, sedangkan selebihnya sebanyak 102 responden
atau sebesar 58,30 persen merupakan responden berjenis kelamin wanita. Dengan
demikian, maka dapat dikatakan bahwa responden wanita lebih dominan
jumlahnya daripada responden pria.
57
Tabel 5.1 Karakteristik Responden
No Karakteristik Responden Jumlah
Orang Kontribusi (%)
Berdasarkan Jenis Kelamin
1 Pria 73 41.70
2 Wanita 102 58.3
Total 175 100
Berdasarkan Kelompok Usia
1 >21 - 25 tahun 53 30.30
2 26 - 35 tahun 70 40.00
3 36 - 45 tahun 42 24.00
4 46 - 55 tahun 10 5.70
Total 175 100
Berdasarkan Profesi
1 Wiraswasta 27 15.40
2 Karyawan BUMN/BUMD 76 37.70
3 Pegawai Negeri 35 20.00
4 Pegawai Swasta 40 22.90
5 Lain-lain 7 4.00
Total 175 100
Berdasarkan Pengeluaran Individu Perbulan
1 ≤ Rp 3.000.000 33 18.86
2 Rp 3.000.001-Rp 3.500.000 62 35.43
3 Rp 3.500.001-Rp 4.000.000 65 37.14
4 Rp 4.000.001-Rp 4.500.000 14 8.00
5 > Rp 4.500.000 1 0,60
Total 175 100 Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 4
58
2) Karakteristik Responden berdasarkan Kelompok Usia
Usia responden dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu (1) kelompok
usia >21-25 tahun, (2) kelompok usia 26-35 tahun, (3) kelompok usia 36-45 tahun,
(4) kelompok usia 46-55 tahun dan (5) kelompok usia >55 tahun.
Berdasarkan hasil pengolahan data dalam Tabel 5.1 karakteristik responden
dari segi usia, maka dapat diketahui bahwa responden dalam kelompok usia 26
hingga 35 tahun merupakan yang paling banyak jumlahnya yaitu sebanyak 70
orang atau sebesar 40 persen, hal ini dikarenakan kisaran usia tersebut merupakan
usia produktif dan keinginan untuk tampil mengikuti trend akan busana fashion
lebih besar daripada reponden dengan kelompok usia 46 hingga 55 tahun yang
hanya sebanyak 10 orang atau sebesar 5,70 persen
3) Karakteristik Responden berdasarkan Profesi
Berdasarkan Tabel 5.1, responden berdasarkan profesi digolongkan dalam 5
kelompok, yaitu (1) responden berprofesi sebagai wiraswasta, (2) responden
berprofesi sebagai karyawan BUMD/BUMN, (3) responden berprofesi sebagai
pegawai negeri, (4) responden berprofesi sebagai pegawai swasta, dan (5)
kelompok profesi lain-lain (diluar kelima profesi diatas).
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan profesi
didominasi oleh responden yang berprofesi sebagai karyawan BUMN/BUMD yaitu
sebanyak 76 orang atau sebesar 37,70 persen, dan yang paling sedikit adalah lain-
lain yaitu sebesar 7 orang atau 4 persen, hal ini disebabkan karena responden yang
berprofesi sebagai karyawan BUMN/BUMD dituntut untuk selalu menjaga
penampilan agar selalu tetap menarik dan rapi.
59
4) Karakteristik Responden berdasarkan Pengeluaran Individu per Bulan
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa karakteristik responden berdasarkan
jumlah pengeluaran individu perbulan Rp. 3.500.001 hingga Rp. 4.000.000,- adalah
yang terbanyak yaitu 65 orang atau sebesar 37,14 persen, selanjutnya adalah
respoden dengan pengeluaran individu sebulan Rp. 3.000.001 hingga Rp.
3.500.000,- sebanyak 62 orang atau sebesar 35,43 persen. Terbanyak ketiga adalah
responden dengan pengeluaran individu perbulan ≤ Rp. 3.000.001,- yaitu sebanyak
33 orang atau sebesar 18,86 persen, kemudian terbanyak keempat adalah responden
dengan pengeluaran Rp. 3.000.000,- sebanyak 33 orang atau sebesar 18,86 persen,
dan responden dengan pengeluaran individu antara Rp 4.000.001-Rp 4.500.000
sebanyak 14 orang atau 8 persen dan terakhir adalah responden dengan pengeluaran
>Rp 4.500.000 sebanyak 1 orang atau 0,6 persen.
5.2 Hasil Analisis Deskriptif
Staristik deskriptif digunakan untuk mengetahui tanggapan responden
terhadap masing-masing indikator dari variabel, dengan mendeskripsikan data
melalui tabel distribusi frekuensi jawaban responden terhadap pernyataan yang
diajukan. Menurut Umar (2005: 137), untuk mengetahui penilaian responden baik
atau tidak baik digunakan rata-rata skor yang dibagi menjadi lima klasifikasi dari
skala 1 (yang terendah) sampai skala 5 (yang tertinggi) dengan kriteria sebagai
berikut:
Rs = m ( n-1) (n.m)
60
Rs = =
Keterangan :
m = Jumlah responden
n = Jumlah skala
dengan demikian, klasifikasi penilaian terhadap variabel penelitian secara
menyeluruh akan dilihat dari rata-rata skor dengan kriteria sebagai berikut :
1,00 – 1,80 = sangat rendah
1,81 – 2,60 = rendah
2,61 – 3,40 = cukup
3,41 – 4,20 = tinggi
4,21 – 5,00 = sangat tinggi
5.2.1 Variabel faktor situasional
Variabel faktor situasional dalam hal ini diukur dengan dua belas item
pernyataan. Tabel 5.2 menjelaskan deskripsi variabel yang berkaitan dengan
faktosr situasional yang merupakan hasil penelitian terhadap 175 responden.
Berdasarkan Tabel 5.2, skor rata-rata persepsi responden terhadap faktor
situasional adalah 2,73 (Lampiran 5). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
faktor situasional berada dalam kategori cukup. Hal ini berdasarkan pada skor
rata-rata persepsi responden terhadap masing-masing indikator faktor situasional
yang keseluruhannya berada dalam kategori cukup.
61
Tabel 5.2 Distribusi Skor Rata-rata Persepsi Responden terhadap Variabel Faktor Situasional
No. Indikator Variabel
Frekuensi Pernyataan Responden
Total Skor
Jumlah Responden
Rata-rata Skor Ket.
SS S N TS STS
5 4 3 2 1
1.
Saya sering melakukan pembelian yang tidak terencana 29 55 42 38 11 578 175 3,30 Cukup
2.
Saya berbelanja lebih banyak daripada yang direncanakan sebelumnya ketika berbelanja dengan teman
20 54 43 48 10 476 175 2,72 Cukup
3.
Pengaturan toko yang menarik membuat saya berbelanja diluar rencana sebelumnya 16 61 41 45 12 490 175 2,8 Cukup
4.
Pramuniaga yang ramah membuat saya membeli produk diluar rencana sebelumnya 27 54 40 47 7 469 175 2,68 Cukup
5.
Alunan musik membuat saya berbelanja diluar rencana sebelumnya 21 59 39 44 12 479 175 2,74 Cukup
6.
Aroma ruangan yang harum membuat saya berbelanja diluar rencana sebelumnya 11 53 42 47 22 470 175 2,69 Cukup
7. Lokasi pusat perbelanjaan yang mudah dijangkau merangsang saya untuk berbelanja 15 50 43 47 20 463 175 2,65 Cukup
8. Kegiatan promosi merangsang saya untuk melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya
11 45 41 59 19 456 175 2,61 Cukup
9. Display yang menarik merangsang saya untuk melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya
12 44 36 62 21 446 175 2,55 Cukup
10. Kemasan produk yang menarik merangsang saya untuk melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya
23 47 47 46 12 461 175 2,63 Cukup
11. Penempatan produk yang mudah dijangkau mempengaruhi saya untuk melakukan pembelian tidak terencana
27 68 29 42 9 484 175 2,77 Cukup
12. Merek yang terkenal merangsang saya untuk melakukan pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya
26 52 46 40 11 468 175 2,67 Cukup
Total 32,80
Rata-rata 2,73 Cukup
Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 5
62
5.2.2 Variabel materialisme
Variabel materialisme dalam hal ini diukur dengan tiga dimensi yaitu
acquisition centrality terdiri atas tiga item pernyataan, possession defined success
terdiri atas tiga item pernyataan, dan acquisition as the pursuit of happiness tiga
item pernyataan. Tabel 5.3 (Lampiran 5) menjelaskan deskripsi variabel yang
berkaitan dengan variabel materialisme yang merupakan hasil penelitian terhadap
175 responden.
Tabel 5.3 Distribusi Skor Rata-rata Persepsi Responden terhadap Dimensi Variabel Materialisme
No.
Indikator Variabel
Frekuensi Pernyataan Responden
Total Skor
Jumlah Responden
Rata-rata Skor Ket.
SS S N TS STS
Dimensi 5 4 3 2 1
1.
acquisition centrality (X3)
Saya sering membeli sesuatu yang tidak saya butuhkan
16 41 41 51 26 495 175 2,83 Cukup
2.
acquisition centrality (X3)
Saya menyukai kemewahan
31 53 47 35 9 587 175 3,35 Cukup
3.
acquisition centrality (X3)
Membeli sesuatu memberikan kesenangan bagi saya
38 60 40 29 8 469 175 2,68 Cukup
4.
possession defined success (X4)
Saya sangat mengagumi orang lain yang memiliki barang-barang yang mahal
20 47 50 43 15 539 175 3,08 Cukup
5.
possession defined success (X4)
Jumlah materi yang dimiliki seseorang merupakan ukuran sebuah kesuksesan
34 46 41 38 16 438 175 2,50 Cukup
6.
possession defined success (X4)
Saya ingin memiliki barang-barang yang dapat mengesankan orang lain
32 56 43 37 7 594 175 3,39 Cukup
63
No.
Indikator Variabel
Frekuensi Pernyataan Responden
Total Skor
Jumlah Responden
Rata-rata Skor Ket.
SS S N TS STS
Dimensi 5 4 3 2 1
7.
acquisition as the pursuit of happiness (X5)
Memiliki barang yang saat ini belum saya miliki membuat saya bahagia
22 62 42 34 15 484 175 2,77 Cukup
8.
acquisition as the pursuit of happiness (X5)
Membeli banyak barang membuat saya bahagia
21 52 49 40 13 474 175 2,71 Cukup
9.
acquisition as the pursuit of happiness (X5)
Saya merasa resah saat tidak sanggup membeli barang yang saya sukai
21 66 40 36 12 494 175 2,82 Cukup
Total 26,14
Rata-rata 2,90 Cukup
Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 5
Berdasarkan Tabel 5.3, skor rata-rata persepsi responden terhadap
materialisme adalah 2,90 (Tabel 5.3). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
materialisme berada dalam kategori cukup. Hal ini berdasarkan pada skor rata-
rata persepsi responden terhadap masing-masing indikator materialisme yang
keseluruhannya berada dalam kategori cukup.
5.2.3 Variabel penggunaan kartu kredit
Variabel penggunaan kartu kredit dalam hal ini diukur dengan tujuh item
pernyataan. Tabel 5.4 menjelaskan deskripsi variabel yang berkaitan dengan
penggunaan kartu kredit yang merupakan hasil penelitian terhadap 175 responden.
Berdasarkan Tabel 5.4, skor rata-rata persepsi responden terhadap
penggunaan kartu kredit adalah 3,21 (Lampiran 5). Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa penggunaan kartu kredit berada dalam kategori cukup. Hal ini
64
berdasarkan pada skor rata-rata persepsi responden terhadap masing-masing
indikator penggunaan kartu kredit yang keseluruhannya berada dalam kategori
cukup.
Tabel 5.4 Distribusi Skor Rata-rata Persepsi Responden terhadap Variabel Penggunaan Kartu Kredit
No. Indikator Variabel
Frekuensi Pernyataan Responden Total Skor
Jumlah Responden
Rata-rata Skor
Ket. SS S N TS STS
5 4 3 2 1
1.
Tagihan kartu kredit saya mencapai limit maksimum 24 90 27 30 4 625 175 3,57 Baik
2.
Saya tidak khawatir dengan harga produk fashion ketika menggunakan kartu kredit 14 80 39 32 10 581 175 3,32 Cukup
3.
Saya sering melakukan pembelian tanpa direncanakan ketika berbelanja produk fashion dengan menggunakan kartu kredit
47 67 24 29 8 458 175 2,62 Cukup
4.
Saya berbelanja produk fashion lebih banyak ketika menggunakan kartu kredit 43 63 33 29 7 631 175 3,61 Baik
5.
Saya sering berbelanja produk fashion melebihi batas kredit yang saya dapatkan 33 76 33 31 2 505 175 2,89 Cukup
6.
Saya sering mengambil uang tunai menggunakan kartu kredit saya untuk berbelanja produk fashion
37 71 30 32 5 628 175 3,59 Baik
7. Saya menggunakan lebih dari satu kartu kredit 28 81 28 29 9 508 175 2,90 Cukup
Total 22,49
Rata-rata 3,21 Cukup
Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 5
5.2.4 Variabel perilaku pembelian kompulsif
Variabel perilaku pembelian kompulsif dalam hal ini diukur dengan tujuh
item pernyataan. Tabel 5.5 menjelaskan deskripsi variabel yang berkaitan dengan
perilaku pembelian kompulsif yang merupakan hasil penelitian terhadap 175
responden.
65
Berdasarkan Tabel 5.5, skor rata-rata persepsi responden terhadap
perilaku pembelian kompulsif adalah 3,04 (Lampiran 5). Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa perilaku pembelian kompulsif berada dalam kategori cukup.
Hal ini berdasarkan pada skor rata-rata persepsi responden terhadap masing-
masing indikator perilaku pembelian kompulsif yang keseluruhannya berada
dalam kategori cukup.
Tabel 5.5 Distribusi Skor Rata-rata Persepsi Responden terhadap Variabel Perilaku Pembelian Kompulsif
No. Indikator Variabel
Frekuensi Pernyataan Responden Total Skor
Jumlah Responden
Rata-rata Skor Ket. SS S KK H TP
5 4 3 2 1
1.
Saat memilki uang lebih pada akhir bulan, saya sering menghabiskan uang tersebut untuk membeli produk fashion
29 61 32 43 10 581 175 3,32 Cukup
2.
Orang lain akan heran jika mereka tahu kebiasaan saya dalam berbelanja produk fashion yang saya inginkan
35 57 39 32 12 596 175 3,41 Baik
3.
Saya sering membeli produk fashion meskipun saat ini belum memiliki kemampuan membayar
28 59 33 39 16 462 175 2,64 Cukup
4.
Saya berusaha mencari pinjaman uang demi membeli produk fashion yang saya inginkan
29 50 43 43 10 570 175 3,26 Cukup
5.
Saya sering membeli produk fashion agar merasa senang 28 65 41 32 9 489 175 2,79 Cukup
6.
Saya merasa gelisah ketika tidak berbelanja produk fashion yang saya inginkan
34 62 38 30 11 603 175 3,45 Baik
7. Saya sering melakukan pembayaran kartu kredit dalam jumlah minimum untuk produk fashion yang saya beli
35 43 38 44 15 429 175 2,45 Cukup
Total 21,31
Rata-rata 3,04 Cukup
Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 5
66
5.3 Uji Kualitas Data
5.3.1 Uji validitas
Metode statistik yang digunakan untuk menguji validitas variabel dari
analisis faktor adalah dengan melihat besarnya KMO minimal 0,5 dan jika nilai
KMO di bawah 0,5 maka analisis faktor tidak bisa digunakan. Di samping itu,
faktor yang dipertimbangkan bermakna adalah bilamana varian kumulatifnya
minimal 50 persen, signifikan pada maksimal 0,05 dan apabila item indikatornya
mempunyai loading faktor di atas 0,50 maka dinyatakan valid, seperti tertuang
pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Nilai Validitas dalam Analisis Faktor
Nilai Validitas Cut-off Value KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) ≥ 0,50 Significance Probability ≤ 0,05 Varians Kumulatif ≥ 50 persen Faktor Loading ≥ 0,50
Sumber: Utama: 2009
Untuk menjaga keakurasian hasil analisis, digunakan alat bantu komputer
dengan program SPSS versi 16. Berikut ini disajikan hasil analisis data dan
pembahasan hasil analisis data yang telah dilakukan.
Tabel 5.7 Nilai Validitas Variabel Faktor Situasional
Variabel Dimensi Indikator KMO X2 Significance Probability
Varians Kumulatif
Anti Image
Faktor Situasional (X1) - X1.1 0.872 1.117.939 0.000 35.297 0.872
X1.2 59.597 0.861
X1.3 0.878
X1.4 0.880
X1.5 0.915
Variabel Dimensi Indikator KMO X2 Significance Probability
Varians Kumulatif
Anti Image
67
Faktor Situasional (X1) - X1.6 0.907
X1.7 0.903
X1.8 0.820
X1.9 0.806
X1.10 0.861
X1.11 0.843
X1.12 0.917
Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 6
Tabel 5.8 Nilai Validitas Dimensi Acquisition Centrality
Variabel Dimensi Indikator KMO Significance Probability
Total Varians
Kumulatif
Loading Faktor Keterangan
Materialisme (X2)
acquisition centrality (X3) X3.1 0.665 0.000 62.485 0.698 Valid
X3.2 0.668 Valid
X3.3 0.638 Valid
Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 6
Tabel 5.9 Nilai Validitas Dimensi Possession Defined Success
Variabel Dimensi Indikator KMO Significance Probability
Total Varians
Kumulatif
Loading Faktor Keterangan
Materialisme (X2)
possession defined success(X4) X4.1 0.674 0.000 65.197 0.673 Valid
X4.2 0.643 Valid
X4.3 0.718 Valid
Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 6
Tabel 5.10 Nilai Validitas Dimensi Acquisition as the Pursuit of Happiness
Variabel Dimensi Indikator KMO Significance Probability
Total Varians
Kumulatif
Loading Faktor Keterangan
Materialisme (X2)
acquisition as the pursuit of
happiness (X5) X5.1 0.603 0.000 59.332 0.580 Valid
X5.2 0.574 Valid
X5.3 0.753 Valid
Sumber : Hasil Penelitian, Lampiran 6
68
Tabel 5.11 Nilai Validitas Variabel Penggunaan Kartu Kredit
Variabel Dimensi Indikator KMO Significance Probability
Total Varians
Kumulatif
Loading Faktor Keterangan
Penggunaan Kartu Kredit (Z)
- Z1.1 0.867 0.000 63.168 0.891 Valid
Z1.2 0.857 Valid
Z1.3 0.873 Valid
Z1.4 0.845 Valid
Z1.5 0.846 Valid
Z1.6 0.876 Valid
Z1.7 0.898 Valid
Sumber : Hasil Penelitian, Lampiran 6
Tabel 5.12 Nilai Validitas Variabel Perilaku Pembelian Kompulsif
Variabel Dimensi Indikator KMO Significance Probability
Varians Kumulatif
Loading Faktor Keterangan
Perilaku Pembelian Kompulsif (Y)
- Y1.1 0.861 0.000 60.029 0.879 Valid
Y1.2 0.873 Valid
Y1.3 0.781 Valid
Y1.4 0.916 Valid
Y1.5 0.869 Valid
Y1.6 0.819 Valid
Y1.7 0.895 Valid
Sumber : Hasil Penelitian, Lampiran 6
Hasil uji validitas pada Tabel 5.7, Tabel 5.8, Tabel 5.9, Tabel 5.10, Tabel
5.11 dan Tabel 5.12 (Lampiran 6), dapat diketahui bahwa, semua variabel
memiliki nilai Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) Measure of Sampling Adequacy
(MSA) ≥ 0.05, signifikan pada ≤ 0,05, total varians komulatif ≥ 50% dan nilai
factor loading ≥ 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh data dari
variabel-variabel penelitian ini adalah valid atau sahih.
69
5.3.2 Uji reliabilitas
Setelah diketahui bahwa hasil olah data dari indikator-indikator mengenai
variabel-variabel penelitian ini valid, maka langkah berikutnya adalah menguji
reliabilitasnya. Ringkasan hasil uji reliabilitas adalah sebagai berikut:
Tabel 5.13 Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Dimensi Alpha Cronbach
Standard Alpha
Cronbach Keterangan
Faktor Situasional - 0.904 0.60 Reliabel
Materialisme acquisition centrality 0.698 0.60 Reliabel
possession defined success 0.733 0.60 Reliabel
acquisition as the pursuit of happiness 0.651 0.60 Reliabel
Penggunaan Kartu Kredit - 0.900 0.60 Reliabel
Perilaku Pembelian Kompulsif - 0.888 0.60 Reliabel
Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 7
Data yang reliabel diperoleh dari hasil pengukuran suatu alat pengukur
yang mampu menunjukkan adanya konsistensi atas hasil-hasilnya ketika
mengukur gejala yang sama. Suatu instrumen yang mampu menghasilkan data
yang reliabel tersebut jika memiliki nilai Alpha Cronbach lebih dari 0,60.
Hasil uji reliabilitas ini dilakukan pada 175 orang responden penelitian
Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach seperti yang
disajikan pada Tabel 5.13 (Lampiran 7) menunjukkan bahwa koefisien Alpha
Cronbach masing-masing variabel lebih dari 0,60 sehingga data dari semua
variabel penelitian ini dapat dinyatakan reliabel.
70
5.4 Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dilakukan untuk menghasilkan suatu analisis data yang
akurat, suatu persamaan regresi sebaiknya terbebas dari asumsi-asumsi yang harus
dipenuhi yaitu uji normalitas, uji multikolinearitas, dan uji heteroskedatisitas
Pengujian yang dilakukan atas data penelitian secara keseluruhan pada variabel
independen terdiri atas variabel faktor situasional dan variabel materialisme,
variabel moderating yaitu penggunaan kartu kredit dan variabel dependen yaitu
perilaku pembelian kompulsif.
Adapun persamaan yang dilakukan uji asumsi klasik yaitu:
Y = β0 + β1X1 + β2X2 + e ................................................................ (1)
Y = β0 + β1Z X1 + β2 ZX2 + β3ZZ + β4 I ZX2-ZZ I +e ..................... (2)
Keterangan: β0 : Konstanta
β1, β2, β3, β4 : Koefisien Regresi
Y : Perilaku pembelian kompulsif
X1 : Faktor situasional
ZX1 : Faktor situasional yang distandardized
X2 : Materialisme
ZX2 : Materialisme yang distandardized
ZZ : Penggunaan Kartu Kredit distandardized
I ZX2-ZZ I : Interkasi yang diukur dengan nilai absolut
perbedaan antara ZZ dan ZX2
e : Error
71
Model persamaan satu dan dua menggunakan tiga uji asumsi klasik yaitu
uji normalitas, uji multikoliearitas, dan uji heteroskedatisitas yang dijabarkan
sebagai berikut:
3) Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi,
resedual mempunyai distribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas dilakukan
menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Resedual berdistribusi normal apabila
tingkat signifikasinya menunjukan nilai yang lebih besar dari 0,05. Hasil dari
penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 5.14 Uji Normalitas Data dengan Uji Kolmogorov-Smirnov Persamaan Pertama
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
175.00000005.126398
.058
.055-.058.763.605
NMeanStd. Deviation
Normal Parameters a,b
AbsolutePositiveNegative
Most ExtremeDifferences
Kolmogorov-Smirnov ZAsymp. Sig. (2-tailed)
Residual
Test distribution is Normal.a.
Calculated from data.b.
Sumber : Hasil Penelitian, Lampiran 8
Berdasarkan Tabel 5.14 (Lampiran 8) dapat dilihat bahwa pengaruh variabel
faktor situasional dan variabel materialisme terhadap variabel perilaku pembelian
kompulsif berdistribusi normal karena nilai signifikansi uji Kolmogorov-Smirnov
Z sebesar 0,763 signifikan pada 0,605 yang berarti lebih besar dari 0,05. Hal ini
menunjukan bahwa data berdistribusi normal.
72
Tabel 5.15 Uji Normalitas Data dengan Uji Kolmogorov-Smirnov Persamaan Kedua
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
175.11117663.945557
.101
.068-.1011.333
.057
NMeanStd. Deviation
Normal Parameters a,b
AbsolutePositiveNegative
Most ExtremeDifferences
Kolmogorov-Smirnov ZAsymp. Sig. (2-tailed)
Residual
Test distribution is Normal.a.
Calculated from data.b.
Sumber : Hasil Penelitian, Lampiran 9
Begitu pula dari hasil penelitian pada Tabel 5.15 (Lampiran 9) dapat
dilihat bahwa pengaruh variabel faktor situasional dan variabel materialisme
terhadap variabel perilaku pembelian kompulsif dengan penggunaan kartu kredit
sebagai pemoderasi, data berdistribusi normal karena nilai signifikansi uji
Kolmogorov-Smirnov Z sebesar 1,333 signifikan pada 0,507 yang berarti lebih
besar dari 0,05. Hal ini menunjukan bahwa data berdistribusi normal.
4) Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Multikolinearitas dapat dilihat
dari tolerance atau variance inflatation factor (VIF). Jika nilai tolerance lebih
dari 10 % atau VIF kurang dari 10 dikatakan tidak ada multikolinearitas.
73
Tabel 5.16 Uji Multikolinearitas Persamaan Pertama
Coefficientsa
7.145 1.674 4.269 .000 3.841 10.449.277 .064 .413 4.353 .000 .151 .403 .587 .315 .265 .410 2.442.188 .079 .225 2.374 .019 .032 .345 .543 .178 .144 .410 2.442
(Constant)SituasionalMaterialisme
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig. Lower BoundUpper Bound95% Confidence Interval for B
Zero-order Partial PartCorrelations
Tolerance VIFCollinearity Statistics
Dependent Variable: Kompulsifa.
Sumber : Hasil Penelitian, Lampiran 8
Tabel 5.17 Uji Multikolinearitas Persamaan Kedua
Coefficientsa
22.421 .504 44.507 .000 21.426 23.4151.279 .549 .199 2.328 .021 .195 2.363 .587 .176 .114 .327 3.0631.070 .496 .166 2.157 .032 .091 2.049 .543 .163 .105 .400 2.4993.461 .376 .538 9.205 .000 2.719 4.203 .715 .577 .449 .697 1.4361.095 .487 .116 2.248 .026 .134 2.057 .034 .170 .110 .898 1.114
(Constant)ZSituasionalZMaterialismeZKartu KreditAbs ZMatZKK
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig. Lower Bound Upper Bound95% Confidence Interval for B
Zero-order Partial PartCorrelations
Tolerance VIFCollinearity Statistics
Dependent Variable: Kompulsifa.
Sumber : Hasil Penelitian, Lampiran 9
Berdasarkan Tabel 5.16 (Lampiran 8) dan Tabel 5.17 (Lampiran 9), dapat
dilihat bahwa model penelitian ini tidak terjadi gejala multikolinearitas, di mana
nilai tolerance lebih dari 10 % atau VIF kurang dari 10, ini berarti tidak ada
hubungan yang kuat antar variabel bebas.
5) Uji Heteroskedatisitas
Uji heteroskedatisitas bertujuan untuk menguji apakah terjadi
ketidaksamaan variance resedual suatu pengamatan ke pengamatan ke
pengamatan lain. Untuk mendeteksi heteroskedatisitas dengan menggunakan uji
Glejeser. Suatu model dikatakan tidak mengandung heteroskedatisitas apabila
signifikasinya diatas 0,05.
74
Tabel 5.18 Uji Heteroskedatisitas dengan Uji Glejeser Persamaan Pertama
Coefficientsa
6.837 1.088 6.282 .000-.026 .041 -.073 -.626 .532-.069 .052 -.156 -1.337 .183
(Constant)SituasionalMaterialisme
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig.
Dependent Variable: Abs Unst Residuala.
Sumber : Hasil Penelitian, Lampiran 8
Tabel 5.19 Uji Heteroskedatisitas dengan Uji Glejeser Persamaan Kedua
Coefficientsa
2.608 .307 8.500 .000.192 .334 .076 .575 .566
-.396 .302 -.156 -1.311 .192.368 .229 .145 1.607 .110.496 .297 .133 1.672 .096
(Constant)ZSituasionalZMaterialismeZKartu KreditAbs ZMatZKK
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig.
Dependent Variable: Abs Unst Residuala.
Sumber : Hasil Penelitian, Lampiran 9
Berdasarkan Tabel 5.18 (Lampiran 8) dan Tabel 5.19 (Lampiran 9) dapat
dilihat bahwa semuanya signifikan diatas 0.05, sehingga seluruh model dalam
penelitian ini tidak mengandung heteroskedatisitas
5.5 Uji Hipotesis
5.5.1 Uji hipotesis pertama dan kedua
Pada regresi ini, yang bertindak sebagai variabel dependen adalah perilaku
pembelian kompulsif, sedangkan yang menjadi variabel independen adalah faktor
situasional.
75
Tabel 5.20 Uji Signifikansi Parameter Individual Hipotesis Satu dan Dua
Coefficientsa
7.145 1.674 4.269 .000 3.841 10.449.277 .064 .413 4.353 .000 .151 .403 .587 .315 .265 .410 2.442.188 .079 .225 2.374 .019 .032 .345 .543 .178 .144 .410 2.442
(Constant)SituasionalMaterialisme
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig. Lower Bound Upper Bound95% Confidence Interval for B
Zero-order Partial PartCorrelations
Tolerance VIFCollinearity Statistics
Dependent Variable: Kompulsifa.
Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 8
Tabel 5.21 Uji Simultan atau Uji Anova atau Uji F Test Hipotesis Satu dan Dua
ANOVAb
2626.626 2 1313.313 49.400 .000a
4572.712 172 26.5867199.337 174
RegressionResidualTotal
Model1
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Predictors: (Constant), Materialisme, Situasionala.
Dependent Variable: Kompulsifb.
Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 8
Tabel 5.22 Koefisien Determinasi Hipotesisis Satu dan Dua
Model Summaryb
.604a .365 .357 5.156 .365 49.400 2 172 .000 2.194Model1
R R SquareAdjustedR Square
Std. Error ofthe Estimate
R SquareChange F Change df1 df2 Sig. F Change
Change StatisticsDurbin-Watson
Predictors: (Constant), Materialisme, Situasionala.
Dependent Variable: Kompulsifb.
Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 8
Berdasarkan Tabel 5.20 diperoleh persamaan:
Y = 7,145 + 0.277X1 + 0.188X2+e
Beta = 0,413 0,225
Sig = 0,000 0,019
Adjusted R2 = 0,357
76
F = 49,400
Persamaan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
Berdasarkan hasil uji signifikansi parameter individual yang dapat dilihat
pada Tabel 5.20 (Lampiran 8) kolom Unstandardized Coefficient, menunjukkan
bahwa faktor situasional berpengaruh signifikan terhadap perilaku pembelian
kompulsif di mana koefisien parameter faktor situasional bernilai 0,277 dengan
tingkat signifikansi 0,000. Materialisme juga secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif dengan nilai koefisien
parameter sebesar 0,188 pada signifikansi 0,019. Hasil data secara statistik pada
Tabel 5.20 juga menunjukkan bahwa Standardized Coefisien Beta variabel faktor
situasional adalah 0,413 dan Standardized Coefisien Beta variabel materialisme
adalah 0,225. Dari hasil analisis data tersebut maka dapat dilihat bahwa variabel
yang nilai koefisien Beta-nya tertinggi adalah variabel faktor situasional dengan
demikian bahwa faktor situasional merupakan variabel yang berpengaruh paling
dominan terhadap perilaku pembelian kompulsif. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam melakukan pembelian secara kompulsif konsumen lebih dipengaruhi oleh
faktor situasional
Berdasarkan hasil Uji F pada Tabel 5.21 (Lampiran 8), didapat F hitung
sebesar 49,400 dengan tingkat signifikasi sebesar 0,000. Maka dapat dikatakan
bahwa faktor situasional dan materialisme secara bersama-sama berpengaruh
terhadap perilaku pembelian kompulsif.
Tabel 5.22 (Lampiran 8) menunjukan bahwa koefisien determinasi yakni
nilai Adjusted R2 sebesar 0.357 atau 35,7 % berarti bahwa persentase sumbangan
77
variabel independen yaitu faktor situasional dan materialisme terhadap perilaku
pembelian kompulsif sebesar nilai koefisien determinasi yang ada yaitu 35.7%.
Sedangkan sisanya sebesar 64,3% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain
yang tidak dimasukan dalam model ini.
Ini berarti bahwa hipotesis pertama didukung, yaitu faktor situasional
berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif, begitu
pula hipotesis kedua yaitu materialisme berpengaruh postif dan signifikan
terhadap perilaku pembelian kompulsif.
5.5.2 Uji hipotesis ketiga
Pada regresi ini, yang bertindak sebagai variabel dependen adalah perilaku
pembelian kompulsif, sedangkan yang menjadi variabel independen adalah
materialisme dan variabel penggunaan kartu kredit sebagai variabel moderasi.
Tabel 5.23 Uji Signifikansi Parameter Individual Hipotesis Tiga
Coefficientsa
22.421 .504 44.507 .000 21.426 23.4151.279 .549 .199 2.328 .021 .195 2.363 .587 .176 .114 .327 3.0631.070 .496 .166 2.157 .032 .091 2.049 .543 .163 .105 .400 2.4993.461 .376 .538 9.205 .000 2.719 4.203 .715 .577 .449 .697 1.4361.095 .487 .116 2.248 .026 .134 2.057 .034 .170 .110 .898 1.114
(Constant)ZSituasionalZMaterialismeZKartu KreditAbs ZMatZKK
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig. Lower BoundUpper Bound95% Confidence Interval for B
Zero-order Partial PartCorrelations
Tolerance VIFCollinearity Statistics
Dependent Variable: Kompulsifa.
Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 9
78
Tabel 5.24 Uji Simultan atau Uji Anova atau Uji F Test Hipotesis Tiga
ANOVAb
4287.017 4 1071.754 62.561 .000a
2912.320 170 17.1317199.337 174
RegressionResidualTotal
Model1
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Predictors: (Constant), Abs ZMatZKK, ZKartu Kredit, ZMaterialisme, ZSituasionala.
Dependent Variable: Kompulsifb.
Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 9
Tabel 5.25 Koefisien Determinasi Hipotesisis Tiga
Model Summaryb
.772a .595 .586 4.139 .595 62.561 4 170 .000 1.851Model1
R R SquareAdjustedR Square
Std. Error ofthe Estimate
R SquareChange F Change df1 df2 Sig. F Change
Change StatisticsDurbin-Watson
Predictors: (Constant), Abs ZMatZKK, ZKartu Kredit, ZMaterialisme, ZSituasionala.
Dependent Variable: Kompulsifb.
Sumber: Hasil Penelitian, Lampiran 9
Berdasarkan Tabel 5.23 diperoleh persamaan:
Y = 22,421+1,279 ZX1+1,070 ZX2+3,461 Zz +1,095 I ZX2-Zz I + e
Sig = 0, 021 0,032 0,000 0,026
Adjusted R2 = 0,586
F = 62,561
Tabel 5.23 (Lampiran 9) kolom Unstandardized Coefficient menunjukan
bahwa variabel penggunaan kartu kredit merupakan variabel pemoderasi. Hal ini
dapat dilihat dari koefisien β4 yang benilai positif yaitu 1,095 dan signifikan pada
0,026 menunjukan bahwa penggunaan kartu kredit merupakan variabel moderasi.
Selanjutnya dilacak adalah menentukan apakah variabel moderasi memperkuat
pengaruh variabel dependen terhadap variabel independen. Dalam persamaan ini,
79
β4 postif dengan nilai 1,095 signifikan pada 0,026, β2 positif dengan nilai 1,070
dan signifikan pada 0,000, maka penggunaan kartu kredit sebagai variabel
moderating memperkuat pengaruh faktor situasional terhadap Y perilaku
pembelian kompulsif. Selain itu, kolom Unstandardized Coefficient
menunjukkan bahwa secara individu variabel faktor situasional memberikan nilai
koefisien 1,279 dengan signifikansi 0,021; variabel materalisme memberikan nilai
koefisien 1,070 dengan signifikansi 0,032; variabel penggunaan kartu kredit
memberikan nilai koefisien 3,461 dengan signifikansi 0,000; dan variabel
moderasi yaitu selisih absolut materialisme dan penggunaan kartu kredit
memberikan nilai koefisien 1,095 dengan signifikansi 0,026.
Berdasarkan hasil Uji F Tabel 5.24 (Lampiran 9), didapat F hitung sebesar
62,561 dengan tingkat signifikasi sebesar 0,000. Maka dapat dikatakan bahwa
faktor situasional, materialisme, penggunaan kartu kredit, selisih absolut
materialisme dan penggunaan kartu kredit dan secara bersama-sama berpengaruh
terhadap perilaku pembelian kompulsif.
Tabel 5.25 (Lampiran 9) menunjukkan nilai Adjusted R2 sebesar 0.586
atau 58,6 % berarti bahwa 58,6 % variasi perilaku pembelian kompulsif dapat
dijelaskan oleh variabel faktor situasional, materialisme, penggunaan kartu kredit,
dan selisih absolut materialisme dan penggunaan kartu kredit. Sedangkan sisanya
sebesar 41,4% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
dimasukan dalam model ini.
80
Ini berarti bahwa hipotesis ketiga didukung, yaitu bahwa variabel
penggunaan kartu kredit sebagai pemoderasi yang memperkuat pengaruh variabel
materialisme terhadap variabel perilaku pembelian kompulsif.
5.6 Pembahasan Hipotesis
Hipotesis pertama mendukung bahwa faktor situasional berpengaruh
secara positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif. Hasil
penelitian ini mendukung temuan Mihic dan Kursan (2010) yaitu faktor
situasional merupakan faktor eksternal yang muncul karena seseorang melakukan
kontak dengan lingkungan dan produk yang nantinya dapat menyebabkan
pembelian impulsif dan pembelian impulsif yang berulang akan menyebabkan
terjadinya perilaku pembelian kompulsif.
Hipotesisi kedua mendukung bahwa materialisme berpengaruh secara
positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif. Hasil penelitian ini
mendukung temuan O’Guinn dan Faber, 1989; Dittmar, dkk., 1996; Mowen and
Spears, 1999; Yurchisin dan Johnson, 2004 (Jonshon, 2009) yang menyatakan
bahwa materialisme mempengaruhi perilaku pembeli kompulsif. Seseorang yang
materialis memiliki keterlibatan yang tinggi pada produk pakaian (Browne dan
Kaldenberg, 1997; Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam Johnson dan Attman,
2009). Oleh karenanya, sangatlah beralasan bahwa seseorang dengan nilai
materialistik yang tinggi akan memiliki tingkat pembelian kompulsif pakaian
yang tinggi
81
Hipotesis ketiga mendukung bahwa penggunaan kartu kredit sebagai
pemoderasi yang memperkuat pengaruh materialisme terhadap perilaku
pembelian kompulsif. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Park dan Forney
(2004) yang menemukan bahwa, perilaku pembelian kompulsif mahasiswa Korea
dan Amerika meningkatkan sejalan dengan peningkatan penggunaan kartu kredit,
karena kartu kredit digunakan sebagai alternatif pembayaran non tunai.
5.7 Implikasi Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan implikasi baik secara
teoritis maupun praktis. Berikut ini adalah implikasi dari hasil penelitian kali ini :
5.7.1 Implikasi Teoritis
Implikasi teoritis yang dapat diberikan dari temuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Temuan penelitian ini telah memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh beberapa peneliti seperti dukungan terhadap pengaruh
baik secara langsung maupun dengan pemoderasi dari variabel-variabel
yang ada, terutama mengenai variabel faktor situasional pusat
perbelanjaan, materialisme dan perilaku pembelian kompulsif para
pengguna kartu kredit terhadap pembelian produk fashion.
5.7.2 Implikasi Praktis
Implikasi praktis yang dapat diberikan dari temuan penelitian ini adalah
sebagai berikut.
82
a. Kajian ini dapat dijadikan sebagai model dasar untuk melakukan evaluasi
strategi penjualan oleh pemasar dengan memperhatikan pengaruh faktor
situasional, materialisme dan penggunaan kartu kredit, sehingga pihak
pemasar produk fashion, manager pusat perbelanjaan maupun perusahaan
penerbit kartu kredit dapat mengubah strategi ke arah yang lebih baik,
dengan memaksimalkan indikator-indikator variabel faktor situasional,
materialisme konsumen dan penggunaan kartu kredit.
b. Berdasarkan karekteristik responden, pihak pemasar produk fashion,
manager pusat perbelanjaan maupun pihak penerbit kartu kredit dapat
mengetahui konsumen yang lebih banyak melakukan pembelian kompulsif
adalah wanita yang usianya berkisar antara 26-35 tahun, di mana
pekerjaannya adalah karyawan BUMN/BUMD, dengan pengeluaran
individu berkisar antara Rp 3.500.001-Rp 4.000.000,-. Pihak pemasar
produk fashion, manager pusat perbelanjaan maupun pihak penerbit kartu
kredit dapat mempengaruhi perilaku pembelian kompulsif konsumen
dengan memperhatikan karakteristiknya. Lebih lanjut, pihak pemasar
produk fashion, manager pusat-pusat perbelanjaan maupun perusahaan
penerbit kartu kredit hendaknya dapat saling bekerjasama untuk
memberikan perlakuan khusus bagi para pengguna kartu tidak hanya dari
kalangan wanita, berusia 26-35 tahun, karyawan BUMN/BUMD, dengan
pengeluaran individu berkisar antara Rp 3.500.001-Rp 4.000.000.
83
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan bab-bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut.
(1) Faktor situasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku
pembelian kompulsif. Ini berarti bahwa semakin baik faktor situasional
maka semakin tinggi pula perilaku pembelian kompulsif konsumen.
(2) Materialisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku
pembelian kompulsif. Ini berarti bahwa konsumen yang semakin
berorientasi pada materi akan meningkatkan perilaku pembelian
kompulsifnya karena kuputusan konsumen untuk melakukan pembelian
dilakukan untuk menunjang penampilannya.
(3) Penggunaan kartu kredit secara signifikan berperan sebagai pemoderasi
yang memperkuat pengaruh antara materialisme terhadap perilaku
pembelian kompulsif. Ini berarti bahwa kehadiran kartu kredit
meningkatkan hubungan materialisme dengan perilaku pembelian
kompulsif. Dengan adanya kartu kredit, keinginan untuk melakukan
pembelian produk-produk fashion yang tidak terencana dapat dipermudah
karena dapat dibayar dikemudian hari.
84
6.2 Saran
Terdapat beberapa saran yang bisa diberikan kepada pihak pemasar produk
fashion, manager pusat-pusat perbelanjaan maupun perusahaan penerbit kartu
kredit sehubungan dengan hasil penilitian ini sekaligus sebagai implikasi
manajerial, antara lain:
(1) Faktor situasional pembelian oleh pemasar dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan kreativitas dalam melakukan segala aktivitas sehingga
mereka dapat bersaing dalam dunia bisnis yang semakin komplek.
Pemasar dapat menciptakan situasi pembelian khususnya di dalam toko
dengan memberikan kenyamanan berbelanja bagi konsumen, sehingga
pengalaman konsumen dalam berbelanja dapat digunakan kembali untuk
melakukan pembelian ulang terhadap produk dan jasa yang ditawarkan.
Secara spesifik beberapa hal yang dapat dilakukan seperti menjaga aroma
ruangan, mengatur alunan musik, mengatur display, dan penempatan
produk di tempat yang mudah dilihat dan dijangkau.
(2) Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa materialisme berpengaruh positif
dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif. Hasil ini, jika
dilihat dari sisi bisnis seharusnya ditindaklanjuti dengan upaya
meningkatkan materialisme konsumen. Namun demikian, dari sisi
tanggung jawab sosial perusahaan, upaya-upaya tersebut dapat dikatakan
kurang etis karena bisa mempengaruhi konsumen untuk berbelanja diluar
kemampuanya. Dalam hal ini pemasar bisa bekerjasama dengan lembaga
85
swadaya masyarakat untuk memberikan edukasi kepada konsumen agar
menggunakan kartu kredit secara proporsional dan bijaksana.
(3) Kartu kredit akan mewujudkan keinginan konsumen untuk memiliki
produk fashion dengan cara berhutang. Hal yang dapat dilakukan oleh
pihak perusahaan penerbit kartu kredit maupun perusahaan fashion adalah
dengan saling bekerja sama dalam mempromosikan produk kartu kredit
dan produk fashion dalam satu kesatuan melalui media cetak maupun
elektronik. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan promosi discount
atau potongan harga terhadap konsumen yang membeli produk fashion
dengan kartu kredit.
6.3 Saran bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan atau kelemahan dan
terdapat beberapa saran yang bisa diterapkan untuk penelitian dikemudian hari
antara lain.
(1) Penelitian ini memilih responden yang hanya melakukan pembelian pada
pusat perbelanjaan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung Provinsi
Bali, sehingga memberi potensi keterbatasan generalisasi dari hasil
penelitian. Penelitian selanjutnya diharapkan memperluas sampel
penelitian, tidak hanya pada pusat perbelanjaan di Kota Denpasar dan
Kabupaten Badung, namun pada beberapa daerah lainnya di Indonesia.
(2) Penelitian ini menggunakan objek produk fashion di mana umumnya
wanita memiliki ketertarikan yang lebih tinggi pada produk tersebut. Pada
86
penelitian ini tidak dilakukan analisis perbedaan jenis kelamin terhadap
pengaruh perilaku konsumsi produk fashion. Pada penelitian selanjutnya
diharapkan akan menaruh perhatian pada perbedaan antara pria dan wanita
dalam hal perilaku konsumsi produk fashion.
(3) Objek penelitian ini terbatas pada produk fashion, sehingga memberi
potensi keterbatasan generalisasi dari hasil penelitian. Penelitian
selanjutnya dapat dilakukan pada objek lain seperti produk elektronika,
otomotif dan kosmetik.
87
Top Related