PENATALAKSANAAN KONSERVATIF PADA BPH( BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas
Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian / SMF Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
BPK RSU dr. Zainoel Abidin – Banda Aceh
Oleh :IRWANTO
0407101010024
Pembimbing
Dr. Jufriady Ismy, Sp. U
Bagian / SMF Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
BPK – RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
2010
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Puji dan Syukur kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, Salawat dan Salam penulis panjatkan pada junjungan Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita menuju masa yang penuh ilmu pengetahuan, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas tinjauan kepustakaan yang berjudul “Penatalaksanaan Konservatif
Pada BPH ” yang akan diajukan penulis untuk melengkapi salah satu persyaratan dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian / SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
UniversitasSyiah Kuala BPK RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr.
Jufriady Ismy, Sp. U atas sumbangsihnya yang tak terhingga dalam penyelesaian referat ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Banda Aceh, Desember 2010
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Benign Prostate Hypertrophy (BPH), lebih tepatnya hyperplasia, sebenarnya adalah suatu
keadaan dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan
prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi
pria lanjut usia.. Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria
diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu penelitian
menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79 tahun mengalami hiperplasia
prostat. Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk
mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang paling
ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi.
Saat ini terdapat pilihan tindakan non operatif seiring dengan kemajuan teknologi dibidang
urologi, sehingga merupakan suatu pilihan alternatif untuk penderita muda, kegiatan seksual
aktif, gangguan obstruksi ringan, high risk operasi dan pada penderita yang menolak operasi.
BAB II
PENATALAKSANAAN KONSERVATIF PADA BPH( BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)
2.1 Definisi BPH(Benign Prostatic Hyperplasia)
Ada beberapa pendapat tentang pengertian BPH ini natra lain:
1. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson
(2005)
2. Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin, 2000)
3. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan
Bare, 2002)
4. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria >
50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius.
(Doenges, 1999)
5. Menurut Doenges (1999) dan Engram (1998) untuk mengatasi BPH, tindakan infasif medikal
yang sering digunakan oleh Rumah Sakit adalah prostatektomy, yaitu tindakan pembedahan
bagian prostat (sebagian/seluruh) yang memotong uretra bertujuan untuk memperbaiki aliran
urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran (kelenjar periuretral prostat
mengalami hiperplasia) memanjang keatas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra.
2.2 Etiologi
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat
hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut;
Sifat jaringan berasal dari sinus urogenital yang berpotensi proliferasi
Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat;
Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati;
Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan
produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Interaksisel stroma dan sel epitel prostat
2.3 Patofisiologi
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan
bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-
sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan
enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus
trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor
dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem
simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang
bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi
keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan
mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan
detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut
maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala
yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus,
menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi
karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung
kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency,
disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi
sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan
refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal
ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen
yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin
dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
2.4 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau
miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus
(intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen
karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat
akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi
(frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang
mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai
habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi
nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over
flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat
berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine
akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
- Grade 0 : Penonjolan prosrat 0-1 cm ke dalam rectum.
- Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
- Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
- Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
- Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
b. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu
kemudian dipasang kateter.
- Normal : Tidak ada sisa
- Grade I : sisa 0-50 cc
- Grade II : sisa 50-150 cc
- Grade III : sisa > 150 cc
- Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
2.5 Pemeriksaan Diagnostik Untuk Benigna Prostat Hiperplasia
Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:
1. Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting
pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari
kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan
adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu
tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung underestimate
daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa
ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur,
ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas
pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%. Perlu dinilai keadaan
neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi neuromusluler ekstremitas bawah.
Disamping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang
dapat menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral.
2. LaboratoriumMeliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin
3. RadiologisIntravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy, foto
polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk,
ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal
Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula
menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel,
tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).
4. Prostatektomi Retro Pubis. Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak
dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior
kapsula prostat.
5. Prostatektomi Parineal Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum.
2.6 Pemeriksaan Penunjang Untuk Benigna Prostat Hiperplasia
Adapun menurut Mansjoer Arief, (2000) pemeriksaan penunjang pada penyakit BPH,
meliputi :
1. Pemeriksaan laboratorium
o Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat adanya sel leukosit,
bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan
pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih.
o Elektrolit, kadar ureum, dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan
status metabolik.
o Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi
atau sebagai deteksi dini keganasan.
2. Pemeriksaan radiologis yang biasanya dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi
intravena, USG dan sistoskopi, tujuannya adalah untuk memperkirakan volume BPH.
3. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah
ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan
rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%)
lebih sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam
kali lebih banyak. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem
pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan
kadar kreatinin serum10. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai petunjuk
perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.
4. Catatan Harian Miksi (Voiding Diaries)
Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus urinarius bagian
bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik. Pencatatan miksi ini sangat berguna
pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan
dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang
dikemihkan dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor
akibat obstruksi infra-vesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih. Sebaiknya
pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang baik2,10, namun
Brown et al (2002) mendapatkan bahwa pencatatan selama 3-4 hari sudah cukup untuk menilai
overaktivitas detrusor.
5. Pemeriksaan residual urine
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal di
dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL
dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai residual urine
kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL.
Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melaku-kan
pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non
invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui
kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak meng-enakkan bagi pasien,
dapat menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi
bakteriemia. Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai variasi
individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur residual urinenya pada waktu
yang berlainan pada hari yang sama maupun pada hari yang berbeda, menunjukkan perbedaan
volume residual urine yang cukup bermakna.
Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual urine yang cukup
banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu banyak (<120 ml) hasil
pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama. Dahulu para ahli urologi beranggapan bahwa
volume residual urine yang meningkat menandakan adanya obstruksi, sehingga perlu dilakukan
pembedahan; namun ternyata peningkatan volume residual urine tidak selalu menunjukkan
beratnya gangguan pancaran urine atau beratnya obstruksi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan
Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume residual urine tidak dapat menerangkan adanya
obstruksi saluran kemih. Namun, bagaimanapun adanya residu uirne menunjukkan telah terjadi
gangguan miksi. Watchful waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang cukup
banyak, demikian pula pada volume residual urine lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi
pada buli-buli sehingga terapi medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang
memuaskan. Beberapa negara terutama di Eropa merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai
bagian dari pemeriksaan awal pada BPH dan untuk memonitor setelah watchful waiting. Karena
variasi intraindividual yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali dan
sebaiknya dikerjakan melalui melalui USG transabdominal.
6. Pencitraan Traktus Urinarius
Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap traktus urinarius
bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH
dikerjakan oleh sebagian besar ahli urologi untuk mengungkapkan adanya:
a) kelainan pada saluran kemih bagian atas
b) divertikel atau selule pada buli-buli,
c) batu pada buli-buli,
d) perkiraan volume residual urine, dan
e) perkiraan besarnya prostat.
Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP atau USG, ternyata
bahwa 70-75% tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas; sedangkan
yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan penanganan
berbeda dari yang lain. Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal
diketemukan adanya:
a) hematuria,
b) infeksi saluran kemih,
c) insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG),
d) riwayat urolitiasis, dan
e) riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia.
Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna memperkirakan besarnya
prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidak direkomendasikan. Namun
pemeriksaan itu masih berguna jika dicurigai adanya striktura uretra. Pemeriksaan USG prostat
bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat, dan mencari kemungkinan adanya karsinoma
prostat. Pemeriksaan ultrasonografi prostat tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin,
kecuali hendak menjalani terapi:
a. inhibitor 5-α reduktase,
b. termoterapi,
c. pemasangan stent,
d. TUIP atau
e. prostatektomi terbuka.
Menilai bentuk dan ukuran kelenjar prostat dapat dilakukan melalui pemeriksaan
transabdominal (TAUS) ataupun transrektal (TRUS). Jika terdapat peningkatan kadar PSA,
pemeriksaan USG melalui transrektal (TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai kemungkinan
adanya karsinoma prostat.
7. Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan buli-buli.
Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher buli-buli, batu buli-buli,
trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel bulibuli. Selain itu sesaat sebelum dilakukan
sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi. Sayangnya pemeriksaan ini tidak
mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan
retensi urine sehingga tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin pada BPH.
Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk
menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu pada
kasus yang disertai dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli sistoskopi sangat
membantu dalam mencari lesi pada buli-buli.
8. Pemeriksaan urodinamika
Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai pancaran
urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan urodinamika (pressure
flow study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan karena obstruksi leher
buli-buli dan uretra atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Pemeriksaan ini cocok untuk pasien
yang hendak menjalani pembedahan. Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh pasien bukan
disebabkan oleh BPO melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi otot detrusor sehingga
pada keadaan ini tindakan desobstruksi tidak akan bermanfaat. Pemeriksaan urodinamika
merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi pasien BPH bergejala. Meskipun merupakan
pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam
menentukan derajat obstruksi prostat (BPO), dan mampu meramalkan keberhasilan suatu
tindakan pem-bedahan. Menurut Javle et al (1998)30, pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas
87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%. Indikasi pemeriksaan uro-dinamika
pada BPH adalah berusia kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume residual
urine>300 mL, Qmax>10 ml/detik, setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis,
setelah gagal dengan terapi invasif, atau kecurigaan adanya buli-buli neurogenik.
2.7 Diagnosa
Diagnose ditegakakan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik ditambah
pemeriksaan penunjang.
2.8 Diagnosis Banding
Kelemahan otot destrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih
neurologik), misalnya pada lesi medula spinalis, neuropati diabetes, bedah radikal yang
mengorbankan persarafan didaerah pelvis, dan penggunaan obat-obatan (penenang, penghambat
reseptor ganglion dan parasimpatik).
Kekakuan leher buli-buli dapat disebabkan oleh proses fibrosis. Resistensi uretra dapat
disebabkan oleh pembesaran prostat (jinak atau ganas), tumor dileher buli-buli, batu uretra dan
striktur uretra.
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat.
Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan
gagal ginjal. (Corwin, 2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen
yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin
dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
2.10 Penatalaksanaan Medis Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung
pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi
proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk
pemakaian lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan
reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III
Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah
cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan
terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total
dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok
melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan
dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor
alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan
produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat
dilakukan dengan:
a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari
alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b. Medikamentosa
1. Mengharnbat adrenoreseptor α
2. Obat anti androgen
3. Penghambat enzim α -2 reduktase
4. Fisioterapi
c. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi
saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis.
2.10.1 Terapi Konservatif Non Operatif
Sampai dengan tahun 1980-an kasus-kasus BPH selalu diatasi dengan operasi. Didorong
oleh faktor biaya dan morbiditas post operatif yang tidak nyaman maka terus dicari pendekatan
yang lebih aman, nyaman dan bahkan lebih ekonomis. Di dalam penatalaksanaan terapi
hiperplasia prostat ini terdapat istilah terapi konservatif yang merupakan terapi non operatif.
Untuk penderita yang oleh karena keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan operasi
dapat diusahakan pengobatan konservatif.
1. Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan. Tindakan yang
dilakukan adalah observasi saja tanpa pengobatan.
• Sebagian besar tanpa keluhan
• Tanpa penyulit / gejala
• Kualitas hidup tetap baik
Indikasi:
• BPH dengan IPSS ringan < 8
• Baseline data normal
• Residual urine < 50 cc
• Flowmetri : non obstruktif
• Q max > 15 cc/ sec
• Prostate volume < 20 cc
Follow-Up
• Tiap 3-6 bulan
• Ulangi :
• IPSS
• Flow (6 bulan)
• PSA (6-12 bulan)
b. Terapi Medikamentosa
1. Golongan Supressor Androgen (Hormonal)
Pada tingkat supra hypofisis dengan obat-obat LH-RH (super) agonist yaitu obat yang
menjadi kompetitor LH-RH mempunyai afinitas yang lebih besar dengan reseptor bagi LH-RH,
sehingga obat ini akan “menghabiskan” reseptor dengan membentuk LH-RH super agonist
reseptor kompleks. Sehingga mula-mula oleh karena banyaknya LH-RH super agonist yang
menangkap reseptor, pada permulaan justru akan terjadi kenaikan produksi LH oleh hypofisis.
Tetapi setelah reseptor “habis”maka LH-RH tidak dapat lagi mencari reseptor , maka LH akan
menurun. Contoh obat adalah Buserelin, dengan dosis minggu I 3dd 500 mg s.c. (7 hari) dan
minggu II intra nasal spray 200 mg, 3 kali sehari.
Pemberian obat-obat anti androgen yang dapat mulai pada tingkat hipofisis misalnya
dengan pemberian Gn-RH analogue sehingga menekan produksi LH, yang menyebabkan
produksi testosteron oleh sel leydig berkurang. Cara ini tentu saja menyebabkan penurunan
libido oleh karena penurunan kadar testosteron darah.
Pada tingkat infra hipofisis pemberian estrogen dapat memberikan umpan balik dengan
menekan produksi FSH dan LH, sehingga produksi testosteron juga menurun. Contoh
preparatnya ialah Diaethyl Stilbestrol (DES) dosis satu kali 1-5 mg sehari.
Pada tingkat testikular, orchiectomi untuk pengobatan pembesaran prostat jinak hanya
dikenal pada sejarah, sekarang cara pengobatan ini untuk hiperplasia prostat telah ditinggalkan.
Untuk karsinoma prostat tentu saja orchiectomi masih dikerjakan oleh karena pertimbangan
kemungkinan penyebaran ca prostat dan juga biasanya penderita telah tua.
5-alfa reduktase inhibitor mekanisme kerjanya mencegah hidrolise testosteron menjadi
DHT dengan cara menghambat 5 alpha reduktase, suatu enzim yang diperlukan untuk mengubah
testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT), suatu hormon androgen yang mempengaruhi
pertumbuhan kelenjar prostat, sehingga jumlah DHT berkurang tetapi jumlah testosteron tidak
berkurang, sehingga libido juga tidak menurun. Penurunan kadar zat aktif dehidrotestosteron ini
menyebabkan mengecilnya ukuran prostat. Contoh obat tersebut ialah Finesteride, Proscar
dengan dosis 5 mg/hari dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan, Finasteride mengurangi volume
prostat sampai 30%. Penelitian lain di Kanada menyatakan bahwa Finasteride mengurangi
volume prostat pada 613 pria dengan angka rata-rata 21%, mengurangi gejala dan memperbaiki
laju pancaran urin sampai 12%. Obat ini mempunyai toleransi baik dan mempunyai efek
samping meliputi penurunan keinginan berhubungan sex, masalah mendapatkan ereksi, dan
masalah dengan ejakulasi yang bermakna.
Obat anti androgen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat yang
mempunyai mekanisme kerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap reseptor DHT sehingga DHT
tidak dapat membentuk kompleks DHT-Reseptor. Contoh obatnya ialah : Cyproterone acetate
100 mg 2 kali/hari, Flutamide, medrogestone 15 mg2 kali/hari dan Anandron. Obat ini juga tidak
menurunkan kadar testosteron pada darah, sehingga libido tidak menurun. Golongan gestagen
dan ketokonazole, obat-obat ini mempunyai khasiat : mengurangi enzim dehidrogenase dan
isomerase yang berguna untuk metabolisme steroid, menekan LH dan FSH, menjadi saingan
testosteron untuk 5 alpha reduktase sehingga DHT tidak terbentuk. Contoh obatnya adalah
Megestrol acetat 160 mg empat kali sehari dan MPA 300-500 mg/hari. Kesulitan pengobatan
konservatif ini adalah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping dari obat.
2. Golongan α bloker adrenergik
Seperti kita ketahui persyarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat dan kapsul
prostat terutama oleh serabut-serabut saraf simpatis, terutama mengandung reseptor alpha, jadi
dengan pemberian obat golongan alpha adrenergik bloker, terutama alpha 1 adrenergik bloker
maka tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat akan berkurang, sehingga sehingga
menghasilkan peningkatan laju pancaran urin dan memperbaiki gejala miksi. Bila serangan
prostatismus memuncak menjurus kepada retensio urin ini adalah pertanda bahwa tonus otot
polos prostat meningkat atau berkontraksi sehingga pemberian obat ini adalah sangat rasional.
Episode serangan biasanya cepat teratasi.
Contoh obatnya adalah Phenoxy benzanmine (Dibenyline) dosis 2x10 mg/hari. Sekarang
telah tersedia obat yang lebih selektif untuk alpha 1 adrenergik bloker yaitu Prazosine, dosisnya
adalah 1-5 mg/hari, obat lain selain itu adalah Terazosin dosis 1 mg/hari, Tamzulosin dan
Doxazosin. Pengobatan dengan penghambat alpha ini pertama kali dilakukan oleh Caine dan
kawan-kawan yang dilaporkan pada tahun 1976. Dengan pengobatan secara ini ditemukan
perbaikan sekitar 30-70% pada symptom skore dan kira-kira 50% pada flow rate. Tetapi
kelompok obat ini tidak dapat digunakan berkepanjangan karena efek samping obat ini berupa
hipotensi ortostatik, palpitasi, astenia vertigo dan lain-lain yang sangat mengganggu kualitas
hidup kecuali bagi penderita hipertensi.
Penelitian terakhir di Amerika Serikat menyebutkan bahwa Doxazosin terbukti efektif
dalam pengobatan hiperplasia prostat jangka panjang pada pasien hipertensi dan normotensi.
Prazosine diketahui lebih selektif sebagai alpha 1 adrenergik bloker, sedang phenoxy
benzanmine meskipun lebih kuat tetapi tidak selektif untuk reseptor alpha 1 dan alpha 2, dan
sekarang ditakutkan phenoxy benzanmine bersifat karsinogenik. Jadi kelompok obat penghambat
adrenoreseptor alpha ini hanya dapat digunakan untuk jangka pendek dan akan lebih fungsional
pada terapi tahap awal, obat ini mempunyai efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun. Bila respon dari pengobatan ini baik maka
ini merupakan indikator untuk masuk kedalam tahap perawatan “Watch and wait”.
Alfa bloker merelaksasi otot polos prostat, dan leher kelenjar, yang membantu untuk
menghilangkan penyumbatan yang disebabkan oleh pembesaran prostat pada BPH. Efek
samping dapat berupa sakit kepala, kelelahan, atau sakit kepala ringan. Alfa bloker yang sering
digunakan adalah tamsulosin (Flomax), alfuzosin (Uroxatral), dan obat lama seperti terazosin
(Hytrin) atau doxazosin (Cardura). Obat-obat ini umumnya akan menyebabkan perbaikan gejala
dalam beberapa minggu dan tidak mempunyai efek pada ukuran prostat
c. Fitoterapi
Kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi farmakokinetik dan
farmakodinamik terstandar secara konvensional dan universal. Kelompok obat ini juga disebut
dengan “obat modern”. Tidak semua penyakit dapat diobati secara tuntas dengan kemoterapi ini.
Banyak penyakit kronis, degeneratif, gangguan metabolisme, dan penuaan yang belum ada
obatnya seperti: kanker, hepatitis, HIV, demensia, dll. Banyak pula yang belum bisa dituntaskan
pengobatannya. Termasuk ini adalah: BPH, DM, hipertensi, rematik, dll. Sehingga diperlukan
terapi komplementer atau alternatif. Kelompok terapi ini disebut Fitoterapi. Disebut demikian
karena berasal dari tumbuhan. Bahan aktifnya belum diketahui dengan pasti, masih memerlukan
penelitian yang panjang.
Namun secara empirik, manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui. Diantara sekian
banyak fitoterapi yang sudah masuk pasaran, diantaranya yang terkenal adalah Serenoa repens
atau Saw Palmetto dan Pumpkin seeds yang digunakan untuk pengobatan BPH. Keduanya,
terutama Serenoa repens semakin diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian prosatisme
BPH dalam kontek “watchfull waiting strategy”. Di Jerman 90% kasus BPH di terapi dengan
Serenoa repens tunggal atau kombinasi, dan di negara-negara Eropa dan Amerika pemakaiannya
terus meningkat dengan cepat.
a. Saw Palmetto Berry (SPB)
Yang disebut juga Serenoa repens adalah suatu obat tradisional Indian. Catatan empiriknya
tentang manfaat tumbuhan ini untuk gangguan urologis sudah ada sejak tahun 1900. Isu back to
nature memberikan iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini.
Bukti-bukti empirik lapangan dan empirik uji klinik semakin banyak mencatat efektifitas dan
keamanannya. Dalam Current Medical Diagnosis and Treatment (2001) dinyatakan bahwa Saw
Palmetto Berry (SPB) ini didalam 18 RCT (Randomized Clinical Trial) dengan 2939 subyek
adalah superior terhadap placebo dan efektifitasnya sama dengan finasteride. Efek samping obat
berupa disfungsi ereksi = 1,1% sedangkan finasteride = 4,9%. Dalam Life Extension Update
dimuat, dari sebanyak 32 publikasi studi terdapat catatan bahwa extract dari SPB ini secara
signifikan menunjukan perbaikan klinis dalam hal :
a) Frekuensi nokturia ® berkurang
b) Aliran kencing ® bertambah lancar
c) Volume residu dikandung kencing ® berkurang
d) Gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir ® berkurang
Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia :
a) Menghambat aktifitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor androgen
b) Bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara menghambat aktifitas enzim cycloxygenase
dan 5 lipoxygenase.
b. Pumpkin seeds (Cucurbitae peponis semen)
Testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan di Jerman dan Austria sejak abad
16 untuk gangguan “urinoir” dan belakangan ini ekstraknya dipakai untuk mengatasi gejala yang
berhubungan dengan BPH didalam konteks farmakoterapi maupun uji klinis kombinasi dengan
ekstraks serenoa repens.
Penelitian di Jerman melakukan studi terhadap preparat yang mengandung komponen
utama beta-sitosterol dengan sedikit campuran campesterot dan stigmasterol untuk mengobati
hiperplasia prostat. Hasilnya, terjadi perbaikan seperti halnya terapi menggunakan penghambat
reseptor alpha dan 5-alpha reduktase, tetapi dengan efek samping yang lebih minimal. Walaupun
mekanisme kerja dari preparat campuran fitosterol ini belum dapat dibuktikan, penelitian terus
dikembangkan untuk keperluan di masa depan.
c. Saw palmetto berry
d. South African star grass
e. African plum tree
f. Stinging nettle
g. Rye pollen
h. Cactus flower
i. Pine flower
j. Spruce
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan
kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan
bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus).
Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah
yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat
gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar periuretral,
menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan
gejala klinik ditujukan untuk :
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Benign Prostate Hypertrofia sebenarnya merupakan suatu hiperplasia kelenjar periuretral.
Hiperplasia prostat mempunyai angka kejadian yang bermakna pada populasi pria lanjut usia.
Etiologi dari hiperplasia prostat hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, beberapa
teori menyebutkan hal ini berkaitan dengan meningkatnya kadar DHT dan karena proses aging
(menjadi tua). Hiperplasia prostat menyebabkan gejala obstruksi dan iritasi saluran kemih.
Terapi bisa dilakukan secara konservatif (nonoperatif) berupa observasi dan
medikamentosa seperti Golongan Supressor Androgen antara lain: Inhibitor 5 reduktase
(Finasteride dan Dutasteride), Anti androgen dan Analog LHRH. Dan juga Golongan Bloker
Adrenergik seperti prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin, tamsulosin, Phenoxy benzanmine
(Dibenyline). Selain itu juga disertai pengobatan Phytoterapi Saw palmetto berry, South African
star grass, African plum tree, Stinging nettle, Rye pollen ,Pumpkin seed, Cactus flower, Pine
flower serta Spruce. Terapi nonkonservatif (operatif) bisa dilakukan jika memang hiperplasia
prostat sudah lebih dari 90% meskipun akhir-akhir ini dikembangkan beberapa terapi non-bedah
yang kurang invasif.
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Nasution, I. 2007. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Semarang:
Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.
Priyanto, J.E. 2007. Benigna Prostat Hiperplasi. Semarang: Sub Bagian Bedah Urologi FK UNDIP.
Rahardjo, D. 2007. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan. Jakarta:
Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo.
Soebadi, D.M. 2006. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH. Surabaya: SMF/Lab. Urologi RSUD Dr.
Soetomo-FK Universitas Airlangga.
Sjamsuhidajat, R., de Jong W. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Tenggara, T. 2000. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat. Dalam: Majalah
Kedokteran Indonesia. Volume 48. Jakarta: IDI.
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York:
Harper&Row, Publishers
Sjamsuhidajat R, de Jong W. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC,.
Tenggara T. 1998. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah Kedokteran
Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI
Reksoprodjo S. 1995. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama, Jakarta :
Binarupa Aksara
Sabiston, David C. 1994. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta : EGC.
Katzung, Bertram G. 1997.Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC.
Rahardja K, Tan Hoan Tjay. 2002.Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek – Efek
Sampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia.
Rahardjo D. 1993.Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan, Jakarta :
Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo,
Priyanto J.E. 2002. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK UNDIP.
Soebadi D.M. 2002. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab. Urologi RSUD Dr.
Soetomo-FK Universitas Airlangga.
Purnomo B.P. 2000. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto.
Anonim. 1997.Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina.
Hugh. A.F. Dudley. 1992.Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th edition, Gadjah Mada University
Press.
Mansjuoer Akan, Suprohaita, Wardhani W.I, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran, 3rd
edition,Jakarta : Media Aesculapius FK-UI, 2000
Kee, Joyce Lefever. 2005. Laboratory and Diagnostic Tests with Nursing Implications. New Jersey:
Pearson Education Inc.
Top Related