PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR) TENTANG PENDIDIKAN
ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Abdul Mujib
1113011000078
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
i
ABSTRAK
Abdul Mujib (1113011000078): Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Tentang Pendidikan Islam
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep pendidikan Islam
menurut perspektif Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan library
research yaitu lebih menitikberatkan pada pengumpulan data dari berbagai sumber
yang relevan. Dalam hal ini mencakup buku-buku, jurnal dan hasil penelitian yang
terkait dengan judul karya ilmiah ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Gus Dur tujuan pendidikan
Islam adalah prosesmenjadikan manusia sebagai insan kamil dan menjadikan
manusia memiliki jiwa sosial yang tinggi terhadap sesama manusia dan alam. Ada
tiga tujuan pendidikan Islam menurut Gus Dur yaitu pendidikan Islam berbasis
modernisme, pendidikan Islam berbasis pembebasan dan pendidikan Islam berbasis
kebhinekaan. Terkait kurikulum, Gus Dur melihat bahwa pesantren dinilai ideal
sebagai kurikulum pendidikan Islam karena pesantren memiliki nilai-nilai mandiri
yang sudah ada sejak di Indonesia dan pesantren dapat dikatakan sub-kultur karena
memiliki ciri khas yang menjadikannya sebagai salah satu identitas pendidikan
Islam. Adapun metode pendidikan Islam menurutnya ada tiga, yaitu metode
Qishah,metode Ta’lim al-Kitab dan metode Ibrah atau Mauizah. Terakhir, strategi
pendidikan Islam menurut Gus Dur ada tiga yaitu strategi sosial-politik, strategi
kebudayaan dan strategi sosial-kebudayaan.
Kata kunci: Gus Dur, Pendidikan Islam
ii
Abstract
Abdul Mujib (1113011000078): Consideration of Abdurrahman Wahid About
Islamic Education
Education is a tool to form a quality human being intact both in knowledge,
social and skills for student. The educational paradigm has long been changed for
the sake of seeking the right idealism in certain societal conditions. These changes
include educational goals, method curriculum, and so on. Education must be
prosecuted to have an effective and efficient principle and able to keep up with the
times. There are many educational ideas that have been initiated by education
leaders. In this case, the author sees Abdurrahman Wahid or who is usually called
Gus Dur is one of the influential figures in Indonesia. The most prominent thing is
the pluralist and democratic attitude that Gus Dur instilled into one of the things
worth studying because it has the right relationship with Islamic education in
Indonesia.
This research is descriptive qualitative with library research approach that
is more emphasis on data collection from various relevant sources. In this case
includes books, journals and research results related to the title of this scientific
work.
The results showed that according to Gus Dur, that Islamic education is the
process of planting knowledge into the human self and the process of making
humans as insan kamil. The goal of Islamic education is to create human beings who
are obedient to Allah SWT and also make human has a high social soul against
fellow human beings and nature. According to him, education gives direction to the
empty human soul at the beginning and finally has the direction of truth in living
life. Islamic education provides a broad and free space for learners to develop their
personality that ultimately produces learners of good quality in their knowledge and
social skills so the student have a strong foundation to be able to deal strongly with
the future life.
Keywords: Gus Dur, Islamic Studies.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada sang kholiq yang telah
memberikan kekuatan dan kemudahan serta nikmat sehingga dengan izin-Nya
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skriipsi ini. Tak lupa shalawat dan salam
penulis haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW., semoga syafaat-Nya senantiasa
tercurahkan kepada umat muslimin.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis
memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan
terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .
2. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag dan Ibu Marhamah Saleh, Lc, M.A., selaku
Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan.
3. Prof. Dr. Armai Arief, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan
penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Dosen-dosen civitas akademi Jurusan Pendidikan Agma Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis dari awal masuk
hingga bisa menyelesaikan skripsi ini dan Staf-staf/Karyawan yang
membantu proses administrasi penulis .
5. Terima kasih luar biasa kepada Ayahanda tercinta H. Salbini dan Ibunda
tersayang Hj. Nani, yang telah mencurahkan cinta luar biasa, nasehat dan doa
tak pernah henti, sujud abdiku kepada kalian atas doa dan pengorbanan
kalian selama ini.
iv
6. Keluarga besar PAI 2013, terkhusus teman kelas PAI B (Chabe) yang selalu
mendukung semua kegiatan yang penulis lakukan dan telah bekerja sama
dengan baik dalam pembelajaran atau kegiatan lainnya.
7. Teman-teman alumni Al-Hidayah Basmol angkatan 2010 yang juga menjadi
teman seperjuangan di kampus ini yaitu Naylah Istiqomah, Hizam Adli,
Farida Rakhmah, Istikhori, dan Haninah Halwa yang juga selalu mendukung
penulis dalam melakukan kegiatan-kegiatan baik di kampus dan luar kampus.
8. Semua pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu terima kasih atas
bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini
selanjutnya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan
rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.
Jakarta, 03 November 2017
Penulis
v
DAFTAR ISI
COVER
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT ..................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 9
C. Fokus Masalah............................................................................... 9
D. Rumusan Masalah ......................................................................... 10
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...................................... 10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam ..................................................... 11
2. Dasar-Dasar Pendidikan Islam .................................................. 19
3. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam ........................................ 25
4. Kurikulum Pendidikan Islam .................................................... 33
5. Metodologi Pendidikan Islam ................................................... 39
vi
B. Pemikiran Pendidikan Islam
1. Pengertian Pemikiran Pendidikan Islam ................................... 41
2. Tujuan Pemikiran Pendidikan Islam ......................................... 42
3. Prinsip Pemikiran Pendidikan Islam ......................................... 43
C. Hasil Penelitian Relevan ............................................................. 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 46
B. Metode Penelitian................................................................................. 46
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ..................................... 47
D. Analisis Data ........................................................................................ 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Abdurrahman Wahid
1. Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid ....................................... 49
2. Latar Belakang Pendidikan Abdurrahman Wahid .................... 50
B. Pembahasan
1. Tujuan Pendidikan Islam................................................................ 66
2. Kurikulum Pendidikan Islam ......................................................... 76
3. Metode Pendidikan Islam ............................................................... 87
4. Strategi Pendidikan Islam .............................................................. 90
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 98
B. Implikasi ............................................................................................... 99
C. Saran ..................................................................................................... 100
vii
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang kaya ragam budayanya serta macam
flora dan faunanya. Indonesia yang kini berkembang menuju tahap negara
maju yang harus didukung dengan baik. Dengan kekayaan alam yang
melimpah serta kekayaan sumber daya manusia yang terus meningkat,
Indonesia kini sedang berkembang cukup pesat. Di balik bangkitnya suatu
bangsa harus didukung oleh aspek-aspek yang menjadi faktor pemicunya,
seperti aspek ekonomi, sosial, budaya dan IPTEK (ilmu pengetahuan dan
teknologi). Aspek-aspek di atas menjadi sangat penting di mana harus
didukung oleh orang-orang yang memiliki potensi yang mumpuni sehingga
kita mampu mengimbangi perkembangan peradaban saat ini dan seterusnya.
Aspek pendidikan adalah salah satu aspek yang paling utama sebagai
usaha untuk menjadikan sebuah bangsa yang berkualitas. Indonesia saat ini
mulai berkembang dalam peningkatan mutu pendidikan yang berkualitas
sehingga menghasilkan output (siswa) yang berkualitas pula. Dalam
peningkatan mutu pendidikan sudah pasti memiliki tujuan utama bagi
Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun peradaban
yang berkelas.
Signifikansi pendidikan juga menjadi titik perhatian dalam ajaran
Islam. Islam menempatkan pendidikan dalam posisi yang sangat vital.
Indikasinya sangat jelas, yaitu lima ayat pertama Al-Qur‟an (Q.S Al-„Alaq)
yang berisi perintah membaca. Selain itu, ada puluhan ayat yang menekankan
pentingnya berpikir, meneliti, dan memahami realitas secara keseluruhan.
Bagi Islam, ilmu adalah syari‟at sekaligus tujuan agama ini. Pernyataan ini
2
jelas-jelas menunjukkan penghormatan dan penghargaan Islam terhadap ilmu.
Jika dianalogikan secara lebih jauh, ilmu tidak akan bisa diperoleh secara
aksimal kecuali lewat jalur pendidikan. hal ini selaras dengan pernyataan
Abdurrahman An-Nahlawi yang menyebutkan bahwa tujuan terpenting dari
diturunkannya Al-Qur‟an adalah untuk mendidik manusia. “Ini berarti bahwa
manusia adalah makhluk yang dapat dididik (homoeducable) dalam makna
luas. Dengan demikian, jelas bahwa Islam adalah agama yang sangat
memberikan penekanan kepada umatnya untuk menuntut ilmu”.1
Menurut Imam Bawani dalam ilmu Pendidikan Islam, mengatakan
bahwa pendidikan Islam pada hakikatnya adalah proses prubahan menuju ke
arah yang positif. “Dalam konteks sejarah, perubahan yang positif ini adalah
jalan Tuhan yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Pendidikan Islam dalam konteks perubahan ke arah yang positif ini identik
dengan kegiatan dakwah yang biasanya dipahami sebagai upaya untuk
menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat”.2 Sejak wahyu pertama
diturunkan dengan ayat pertama yang berbunyi iqra‟ (bacalah), maka pada
saat itu juga pendidikan Islam secara praktis telah hadir dalam kehidupan
umat Islam. Merupakan sebuah proses pendidikan yang melibatkan dan
menghadirkan Allah SWT. Membaca merupakan sebuah proses pendidikan
yang dilakukan dengan memulai menyebut nama Allah SWT mengharap
ridho-Nya.
Mujammil Qomar berpandangan bahwa pendidikan Islam sebenarnya
memiliki fungsi dan peran yang sangat besar dan paling menentukan dalam
mewujudkan dan mengembangkan peradaban Islam. Artinya, maju-
mundurnya peradaban Islam itu berimplikasi pada kemajuan atau kemunduran
umat Islam amat tergantung pada kondisi riil pendidikan Islam. “Dengan
1 As‟aril Muhajir,Ilmu Pendidikn Perspektif Kontekstual, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 25-
26. 2 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 19.
3
pengertian lain, pendidikan Islam merupakan kunci bagi pengembangan
peradaban Islam yang terealisasikan pada pembangunan dalam semua dimensi
kehidupan kaum muslimin”.3
Mujammil Qomar menyebut,
Bagi kalangan yang menyadari urgensi pendidikan Islam tersebut tentu
memiliki perhatian serius pada nasib pendidikan Islam. Oleh karena itu,
banyak di antara pembaru (mujaddid) Islam yang menaruh perhatian pada
pendidikan Islam. Muhammad Ali Pasya, kendatipun ia sebagai pembaru
Islam yang tidak pandai membaca dan menulis tetapi memiliki
kepedulian dalam memperbarui pendidikan dengan mendirikan berbagai
macam sekolah kejuruan. Muhammad Abduh telah memutar haluan
pembaruannya dari ranah politik menuju pendidikan lantaran ia
menyadari bahwa pendidikan memiliki peran paling besar dalam
memajukan umat Islam berikut peradabannya kendatipun melalui proses
yang cukup lama. Bahkan Sayyid Ahmad Khan menekankan
pembaruannya pada bidang pendidikan dengan mendirikan Society for
The Educational Progress of Indian Muslims, kemudian mendirikan
perguruan tinggi Aligarh. Kemudian organisasi Muhammadiyah di
Indonesia menekankan gerakan perjuangnnya juga pada pendidikan.4
Dalam dinamika perkembangan dunia pendidikan, kita tidak hanya
berfokus pada kurikulum dan peraturan-peraturan pendidikan saja, tapi juga
kita mampu melihat rekam jejak tokoh-tokoh pendidikan yang telah
berkontribusi pada perkembangan pendidikan khususnya di Indonesia.
Banyak sekali tokoh pendidikan yang telah berkontribusi dalam
perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Banyak juga tokoh-tokoh
pendidikan yang ahli dalam bidang lain juga seperti bidang politik, filsafat
dan lain-lain. Salah satu dari sekian banyaknya tokoh tersebut adalah
Abdurrahman Wahid atau biasa disapa “Gus Dur”.
Gus Dur adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh di
Indonesia, gagasannya mengenai demokrasi dan pluralismenya sangat kuat
hingga menjadi acuan para tokoh lain yang mengikutinya. Walau demikian,
3 Mujamil Qomar, Menggagas Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hal.
145 4 Ibid.
4
Gus Dur sering juga mendapat kritikan dari orang-orang yang tidak
menyukainya. Hal yang membuat banyak pihak tidak menyukainya adalah
karena pemikiran Gus Dur yang sering dianggap “ngawur” dan dengan gaya
bicaranya yang “ceplas-ceplos” menjadi pemicunya. Namun demikian, Gus
Dur bukanlah sosok yang lemah dan mudah menyerah, dia sangat gigih
memperjuangkan gagasan dan kontribusinya terhadap kaum yang tertindas
dan didiskriminasi oleh kepemerintahan dan kondisi masyarakat saat itu.
Sujiwo Tejo mengatakan, “Keceplas-ceplosan Gus Dur kita anggap
unsur sepele. Kita lekas melupakannya. Padahal, sejatinya, unsur tampak
remeh-temeh inilah yang justru paling menentukan vitalnya kedudukkan Gus
Dur di tengah kemunafikan nusantara”.5 Jika penulis dalami makna ungkapan
terebut, Sujiwo Tejo menggambarkan bahwa dengan gaya nyeleneh-nya Gus
Dur itu lah yang membuat Gus Dur berbeda dan unik dari tokoh lain. Dia juga
menggambarkan bahwa Gus Dur merupakan tokoh yang sentral dalam
kehadirannya di tengah-tengah masyarakat dengan gaya bicaranya yang
“ceplas-ceplos” tetapi sesungguhnya ungkapan yang Gus Dur sampaikan
adalah benar tanpa menutup-nutupi hal yang diutarakannya sehingga banyak
masayarakat Indonesia menyukai hal teresebut karena itu adalah gaya khas
Gus Dur yang jujur apa adanya.
Dengan pemikiran serta karya-karyanya yang bersejarah dan
monumental maka tak heran banyak sekali orang-orang yang terpengaruh oleh
pemikirannya yang sangat diminati dan dikagumi. Ideologisnya yang
berprinsip pada asas demokrasi yang adil dan kesetaraan strata mampu
mengubah paradigma bangsa Indonesia selama ini. Hal ini pernah
disampaikan oleh seorang pengajar di pondok pesantren Raudlatul Tahlibin,
Rembang, Bisri Adib Hatani, , menganggap sebagai sosok ideal negarawan
produk pendidikan pesantren. Pemikiran Gus Dur mengajarkan sekaligus
5 Jakob Oetama dan Yenny Zannuba Wahid (ed), Damai Bersama Gus dur, (Jakarta: PT Kompas
Nusatara, 2010), h. 44.
5
mencontohkan bagaimana ber-Islam dalam konteks keindonesiaan. “Gus Dur
memandang dan meyakini perbedaan adalah rahmat, sunatullah (telah
digariskan Allah). Perbedaan itulah yang membentuk warga Indonesia
menjadi bangsa yang terhormat, mandiri dan merdeka lahir batin”, katanya.6
Pengasuh pondok pesantren Syalafiah Asy-Syafi‟iyah, Asembagus,
Situbondo, K.H. Fawaid As‟ad Samsul Arifin, mengatakan, “Saat ini yang
perlu dilakukan sepeninggal Gus Dur adalah melawan bibit-bibit perpecahan
bangsa. Munculnya gerakan fundamentalisme dan radikalisme agama yang
membahaykan persatuan perlu diwaspadai. Generasi muda harus dibentengi
dengan pemahaman tentang pemikiran Gus Dur agar terhindar dari aliran
keagamaan yang sesat”, ujarnya.7
Banyak sekali yang telah dilakukan Gus Dur demi perubahan-
perubahan bagi Indonesia. Salah satu kebijakan beliau yang cukup terkenal
adalah mengesahkan hari raya besar Imlek bagi rakyat Tionghoa serta
pencabutan Inpres nomor 14/1967 bagi rakyat Tionghoa yang kebebasannya
benar-benar terkekang. Gus Dur melihat bahwa masalah pokok dalam hal
hubungan antar umat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian
yang tulus dan berkelanjutan. “Kita hanya akan mampu menjadi bangsa yang
kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu
sama lain, bukanannya sekadar saling memiliki (sense of belonging),
bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain”.8
Selain kontribusinya di dalam negeri terkait perdamaian bangsa, Gus
Dur juga menjadi sorotan tokoh internasional yang namanya wara-wiri di
jurnal-jurnal internasional terkait gagasannya tentang perdamaian dan
demokrasi. Di sinilah letak pemikiran Gus Dur mengenai negara dan Islam,
Gus Dur mencoba menyatukan nilai-nilai luhur Islam yang tinggi dengan
6 Zuhairi Misrawi, Gus dur Santri Par Excellence, (Jakarta: PT Kompas Nusatara, 2010), h. 38
7 Jakob Oetama dan Yenny Zannuba Wahid, op.cit., h. 45.
8 Abdrurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 1999), h. 16.
6
sosial-budaya yang mana kedua aspek tersebut harus dapat bersatu tanpa
menimbulkan pergesekkan di antara masyarakat yang mana memiliki
pandangan yang berbeda-beda. Gus Dur juga berusaha memberikan gagasan
bahwa Islam yang sesungguhnya itu tidak harus selalu menjadikan kondisi
budaya tersebut harus mengacu kepada budaya arab yang diistilahkan dengan
sebutan “Arabisasi”. Itulah beberapa gagasan dan usaha-usaha Gus Dur dalam
dinamika kehadirannya terhadap perkembangan Indonesia.
Di balik sepak terjangnya dalam dunia politik Indonesia yang dikenal
banyak kalangan, walaupun sebagain aliran yang menganggap bahwa
kebijakan Gus Dur adalah guyonan konyol dan kontroversi, namun Gus Dur
juga memiliki pandangan tersendiri tentang pendidikan, terutama pendidikan
Islam di Indonesia. Memang tak banyak tulisan beliau mengenai pendidikan
yang tersebar luas, namun penulis berusaha mengungkap paradigma tentang
pendidikan Islam perspektif Gus Dur.
Dengan latar belakang pendidikan Gus Dur yang dibesarkan di
lingkungan pesantren yang kental akan pendidikan keislaman. Lingkungan
inilah yang kelak memberikan warna bagi perkembangan intelektualitasnya
hingga tumbuh dewasa. Kepindahannya dari Jombang ke Jakarta juga
memberi wahana baru bagi pertumbuhan intelektualitasnya tersebut. Di Ibu
Kota, Gus Dur, meskipun masih hidup di bangku menengah ia sudah biasa
melahap bacaan-bacaan tentang sosialisme dan marxisme. Hal inilah yang
berpengaruh pada pemikiran dan kiprahnya kelak.
Pendidikan agama yang semula kelak ia dapatkan di lingkungan
pesantren semakin bertambah ketika ia melanjutkan studi di Timur Tengah.
Karena merasa harus mengulang sebagaimana yang telah ia peroleh ketika
belajar di Tanah Air, Gus Dur lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
membaca buku-buku pengetahuan di perspustakaan, terutama di Universitas
Al-Azhar, Kairo, Mesir. Di perpustakaan tersebutlah ia mendapatkan
pengetahuan dari buku-buku karya intelektual muslim maupun non-muslim
7
dunia. Ia juga bergaul dengan berbagai kalangan, terlebih ketika melakukan
pengembaraan ke Eropa.9
Pendidikan dasar keagamaan di pesantren, Timur Tengah dan Eropa
serta ketekunannya membaca banyak literatur sedikit banyak membentuk pola
pikir dan karakter personal pada dirinya. Pola pikir dan karakter sebagai
muslim progresif-moderatlah yang paling menonjol dalam dirinya. Karakter
dan sikap hidup inilah yang kemudian mewarnai perjalanan hidupnya, baik
sebagai aktivis LSM/NGO, intelktual Muslim yang rajin menulis di media
massa, dan pemimpin organisasi keagamaan terbesar di Tanah Air, yakni
Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan, karakter tersebut tak berubah ketika ia
terpilih menjadi presiden ke-4 RI.
Gus Dur menyadari betul bahwa kemajemukan masyarakat Indonesia
sangat beragam, maka Gus Dur mencoba mengarahkan pada konsep
pendidikan yang berprinsip dinamis dan humanis. Kemajemukan itu sendiri
adalah sesuatu yang bersifat alami dan kodrati bagi bangsa indonesia, artinya
bangsa ini tidak bisa mengalahkan dirinya dan keadaan plural tersebut,
karenanya bangsa Indonesia bagaimanapun juga tidak bisa menghilangkan
kemajemukan itu sendiri. “Oleh karena itu, sikap yang harus diambil oleh
bangsa Indonesia buka bagaimana menghilangkan kemajemukan, tetapi
bagaimana supaya bisa hidup berdampingan secara damai dan aman penuh
toleransi, saling menghargai dan saling memahami antara anak bangsa yang
berbeda suku, budaya dan agama. Salah satu di antara upaya perekat itu
adalah lewat pendidikan agama”.10
Sepanjang perjalanan hidupnya, Gus Dur
kemudian dikenal sebagai pembela kaum minoritas, penggerak demokrasi dan
mendorong terwujudnya kehidupan damai.
9 Ahmad Nurcholis, Peace Education & Pendidikan Perdamaian Gud Dur, (Jakarta: PT
Gramedia, 2015), h. 137. 10
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2007), h. 165.
8
Haidar Putra Daulay berpandangan bahwa “Tantangan globalisasi ini
menuntut kepada perhatian yang sungguh-sungguh dari semua lapisan
masyarakat untuk menghadapi dampak negatifnya. Tantangan pertama bagi
dunia pendidikan adalah tentang kualitas. Di era globalisasi pada dasarnya
muncul era kompetisi”.11
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
pendidikan Nasional yang berbunyi, “Membentuk manusia yang beriman,
bertakwa, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki ilmu pengetahuan dan
teknologi, keterampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki rasa seni, serta
bertanggung jawab bagi masyarakat, bangsa, dan negara”.12
Jika melihat
rumusan tujuan Undang-Undang tersebut jelas memiliki dua aspek yang wajib
peserta didik miliki yaitu aspek sosial dan spiritual yang baik di samping
kecakapan aspek penguasaan pengetahuanya.
Walaupun jika ditelaah tidak ada kata-kata “Islam” tetapi substansi
dari kriteria-kriteria yang disebut merujuk pada sifat-sifat yang termuat dalam
pandangan Islam mengenai pendidikan. Namun saat ini esensi dari pendidikan
itu sendiri masih kurang dirasa pada diri peserta didik, seperti kenakalan
remaja semakin banyak. Hal itu karena peserta didik yang sedang dalam
proses pembelajaran kurang diberi asupan nilai-nilai moral yang baik
sehingga nilai-nilai pendidikan yang termuat dalam Undang-Undang tersebut
kurang terinternalisasi oleh para peserta didik yang mana nilai-nilai
pendidikan tersebut juga secara tidak langsung memuat pada aspek-aspek
Pendidikan Islam.
Hal tersebut selaras dengan Muhaimin yang mengatakan bahwa,
Pendidikan adalah hal yang tumbuh dan berkembang bersama-sama
dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, bahkan merupakan
media transmisi dan transformasi sistem dan nilai-nilai kehidupan sosial
11
Ahmad Nurcholis, op cit., h. 200. 12
Departemen agama RI, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003), h. 64.
9
budaya dan peradaban masyarakatnya. Demikian pula halnya dengan
pendidikan Islam, telah tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan
pertumbuhan dan perkembangan sistem dan nilai-nilai kehidupan sosial
budaya dan peradaban Islam sepanjang sejarahnya, dan telah berfungsi
sebagai media transmisi dan transformasinya secara efektif.13
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
mengenai pemikiran tokoh pendidikan Islam. Tokoh yang penulis teliti adalah
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dengan demikian, judul penelitian ini adalah
“Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Tentang Pendidikan
Islam”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, beberapa
masalah yang mendasar dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Banyak yang belum mengetahui apa konsep pendidikan Islam
perspektif Gus Dur;
2. Perkembangan pendidikan umum atau IPTEK lebih dioptimalkan
dibandingkan dengan pendidikan Islam di sekolah; dan
3. Implementasi nilai pendidikan Islam masih belum berdampak pada
peserta didik.
C. Pembatasan Masalah
Pemahaman Gus Dur yang begitu luas mengenai berbagai macam ilmu
yang dikuasai terlebih lagi ilmu pendidikan, maka dalam penelitian ini yang
menjadi fokus utama adalah pendidikan Islam menurut Abdurrahman Wahid
(Gus Dur).
13
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Islam di Sekolah,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h.32
10
D. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah
yang dikaji adalah bagaimana konsep Pendidikan Islam serta relevansinya
menurut Abdurrahman Wahid?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemikiran
Abdurrahman Wahid tentang konsep pendidikan Islam serta relevansinya
dengan pendidikan Islam saat ini.
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi penulis, dapat menambah khasanah atau wawasan mengenai
sepak terjang Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengenai idenya
terhadap pendidikan Islam.
b. Bagi civitas akademik, untuk memperluas khazanah keilmuan dalam
dunia pendidikan, terutama dalam analisis pemikiran tokoh Indonesia.
c. Bagi masyarakat, untuk menambah wawasan literatur dan sumber
referensi mengenai konsep pendidikan Islam dari tokoh Indonesia.
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan menurut Hasan Basri adalah berasal dari kata didik, yang
artinya bina, mendapat awalan pen-, akhiran -an, yang maknanya sifat dari
perbuatan membina atau melatih, atau mengajar dan mendidik itu sendiri.
Oleh karena itu, pendidikan merupakan pebinaan, pelatihan, pengajaran, dan
semua hal yang merupakan bagian dari usaha manusia untuk meningkatkan
kecerdasan dan keterampilannya.1
Pendidikan menurut Undang-Undang tahun 2003 adalah “Usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara”.2
Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani adalah “usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara”.3
1 Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) h. 53.
2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional
3 Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam, Jilid 2, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), h. 36.
12
Umar Tirtahardja dan S. L. La Sulo mengatakan “Pendidikan adalah
sesuatu yang universal dan berlangsung terus tak terputus dari generasi ke
generasi di mana pun di dunia ini. Upaya memanusiakan manusia melalui
pendidikan itu diselenggarakan sesuai dengan pandangan hidup dan dalam
latar sosial-kebudayaan setiap masyarakat tertentu”.4
Pengertian pendidikan di atas dikemukakan berdasarkan perspektif
secara global atau umum. Dalam Islam istilah pendidikan diketahui cukup
banyak, baik yang terdapat dalam al-Qur‟an dan hadits. Istilah-istilah
tersebut ada yang menjelaskan pendidikan secara langsung dan juga istilah
yang berkaitan dengan pendidikan. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Al-Tarbiyah
Dalam Mu‟jam al-Lughah al-Tarbiyah al-Mu‟ashirah (A
Dictionary of Modern Written Arabic), karangan Hans Wehr, kata al-
tarbiyah diartikan sebagai: education (pendidikan), upbringing
(pengembangan), teaching (pengajaran), instruction (perintah,
pedagogy (pembinaan kepribadian), breeding (meberi makan), raising
(of animal) (menumbuhkan). Kata tarbiyah berasal dari kata rabba,
yarubbu, rabban, yang berarti mengasuh, memimpin, mengasuh
(anak).5 Penjelasan atas kata al-tarbiyah di atas ini lebih lanjut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Pertama, tarbiyah berasal dari kata rabaa, yarbu, tarbiyatan yang
memiliki makna tambah (zad) dan berkembang (numu). Pengertian ini
misalnya terdapat dalam surat Ar-Rum (30) ayat 39 yang berbunyi:
4 Umar Tirtahardja dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h.
82. 5 Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 7.
13
وما آت يتم من زكاة تريدون لي رب و ف أموال الناس فل ي ربو عند الله وما آت يتم من ربا
وجه الله فأولئك هم المضعفون
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah.” (Q.S. Ar-Rum[30]:39).
Berdasarkan pada ayat tersebut, maka al-tarbiyah dapat berarti proses
menumbuhkan dan mengembangkan apa yang ada pada diri peserta
didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual.
Kedua, rabaa, yurbi, tarbiyatan, yang memiliki makna tumbuh
(nasyaa) dan menjadi besar atau dewasa. Dengan mengacu kepada
kata yang kedua ini, maka tarbiyah berarti usaha menumbuhkan dan
mendewasakan peserta didik baik secara fisik, sosial, maupun
spiritual.
Ketiga, rabba, yarubbu, tarbiyatan yang mengandung arti
memperbaiki (ashala), menguasai urusan, memelihara dan merawat,
memperindah, memberi makna, mengasuh, memiliki, mengatur dan
menjaga kelestarian eksistensinya. Dengan menggunakan kata yang
ketiga ini, maka tarbiyah berarti usaha memelihara, mengasuh,
merawat, memperbaiki dan mengatur kehidupan peserta didik, agar
dapat survive lebih baik dalam kehidupannya.6
Jika ketiga kata tersebut dibandingkan atau diintegrasikan antara
satu dan lainnya, terlihat bahwa ketiga kata tersebut saling menunjang
dan saling melengkapi. Namun jika dilihat dari segi penggunaannya
tampak istilah ketiga yang lebih banyak digunakan. Selanjutnya jika
ketiga kata tersebut diintegrasikan, maka akan diperoleh pengertian
bahwa al-atarbiyah berarti proses menumbuhkan dan
6 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), cet. 4, h. 11.
14
mengembangkan potensi (fisik, intelektual, sosial, estetika, dan
spiritual) yang terdapat pada peserta didik, sehingga dapat tumbuh dan
terbina dengan optimal, melalui cara memelihara, mengasuh, merawat,
memperbaiki, dan mengaturnya secara terencana, sistematis, dan
berkelanjutan. Dengan demikian, pada kata al-tarbiyah tersebut
mengandung cakupan tujuan pendidikan, yaitu menumbuhkan dan
mengembangkan potensi; dan proses pendidikan, yaitu memelihara,
mengasuh, merawat, memperbaiki, dan mengaturnya.7
b. Al-Ta‟lim
Kata al-ta‟lim yang jamaknya ta‟alim, menurut Hans Weher dapat
berarti information (pemberitahuan tentang sesuatu), advice (nasihat),
instruction (perintah, direction (pengarahan), teaching (pengajaran),
training (pelatihan), schooling (pembelajaran), education
(pendidikan), dan apprenticeship (pekerjaan sebagai magang, masa
belajar suatu keahlian.8
Selanjutnya, Mahmud Yunus mengartikan kata ta‟lim merupakan
kata benda buatan (mashdar) yang berasal dari akar kata „allama.
Sebagian para ahli menerjemahkan istilah tarbiyah dengan pendidikan,
sedangkan ta‟lim diterjemahkan dengan pengajaran. Kalimat
„allamahu al-„ilm memiliki arti mengajarkan ilmu kepadanya.
Pendidikan (tarbiyah) tidak saja bertumpu pada domain kogniti, tetapi
juga afektif dan psikomotorik, sementara pengajaran (ta‟lim) lebih
mengarah pada aspek kognitif, seperti pengajaran mata pelajaran
Matematika. Pemadanan kata ini agaknya kurang relevan, sebab
menurut pendapat yang lain, dalam proses ta‟lim masih menggunakan
domain afektif.9
7 Nata, op. cit., h. 8.
8 Ibid., h. 11.
9 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: YP3A, 1973), h. 277-278.
15
Al-Qur‟an tidak menyebutkan secara eksplisit kata “ta‟lim”.
Rasyid Ridha dan Muhammad Naquid Al-Attas mendefinisikan:
“At-Ta‟lim” sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan
kepada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan. Muhammad
Naquib Al-Attas mengartikan “ta‟lim” dengan berarti bahwa
pengajaran tanpa pengenalan secara mendasar.10
Kata ta‟lim dalam arti pengajaran yang merupakan bagian dari
pendidikan banyak digunakan untuk kegiatan pendidikan bersifat
nonformal, seperti majelis taklim yang saat ini sangat berkembang dan
variasi, yaitu ada majelis takim yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu di
kampung, majelis taklim di kalangan masyarakat elite, di kantoran,
hotel dan tempat kajian keagamaan lainnya. Adapun dari segi
materinya ada yang secara khusu mengkaji kitab tertentu dan ada juga
mengkaji tentang tema-tema tertentu. Ada kajian tafsir, hadis, fikih,
dan sebagainya. Sementara waktunya diatur secara fleksibel sesuai
kebutuhan masing-masing anggota yang mengaji.
Kegiatan pendidikan dan pengajaran yang pertama kali dilakukan
oleh Nabi Muhammad SAW di rumah Arqam (Dar al-Arqam) di
Mekkah, dapat disebut sebagai majelis al-ta‟lim. Demikian pula
kegiatan Pendidikan Islam di Indonesia yang dilaksanakan oleh para
da‟i di rumah, mushala, masjid, surau, langgar, atau tempat tertentu
pada mulanya merupakan kegiatan al-ta‟lim.
Di kalangan pemikir Islam yang menggunakan kata al-ta‟lim
untuk arti pendidikan, antara lain Burhanuddin al-Jurnuji dengan
kitabnya yang berjudul Ta‟im al-Muta‟allim. Kitab yang banyak
membicarakan tentang etika mengajar bagi guru dan etika belajar bagi
murid, hingga saat ini masih dikaji di berbagai pesantren. Melalui
10
Asrorun Niam Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: ELSAS Jakarta, 2008), hal. 94.
16
kitab tersebut telah tumbuh semacam institution culture, yaitu budaya
institusi pesantren yang khas dan berbeda dengan budaya lainnya.
Budaya tersebut bersumber pada ajaran tasawuf akhlaki sebagaimana
yang dikembangkan oleh al-Ghazali melalui kitabnya Ihya‟ Ulum al-
Din.11
Dengan memberikan data dan informasi tersebut, maka dengan
jelas, bahwa kata al-ta‟lim termasuk kata yang paling tua dan banyak
digunakan dalam kegiatan nonformal dengan tekanan utama pada
pemberian wawasan, pengetahuan, atau informasi yang bersifat
kognitif. Atas dasar ini, maka arti al-ta‟lim lebih pas diartikan
pengajaran daripada pendidikan. Namun, karena pengajaran
merupakan bagian dari kegiatn pendidikan, maka pengajaran juga
bagian dari kegiatan pendidikan12
.
c. Al-Ta‟dib
Kata Ta‟dib diterjemahkan yang berarti pendidikan sopan
santun, tata karma, adab, akhlak, moral, budi pekerti, dan etika.13
Menurut Ahmad Tsalabi yang dikutip Abudin Nata dalam “Ilmu
Pendidikan Islam” berpendapat bahwa, kata ta‟dib digunakan untuk
menunjukkan pada kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di istana-
istana raja (al-qushur) yang para muridnya terdiri dari para putra
mahkota pangeran atau calon pengganti raja. Pendidikan yang
berlangsung di istana ini diarahkan untuk menyiapkan calon pemimpin
masa depan. Karena itu, materi yang diajarkan meliputi pelajaran
bahasa, pelajaran berpidato, pelajaran menulis yang baik, pelajaran
sejarah para pahlawan dan panglima besar dalam rangka menyerap
11
Abudin Nata, op. cit., h. 14. 12
Ibid. 13
Mahmud Yunus, op. cit., h. 37.
17
pengalaman keberhasilan mereka, pelajaran berenang, memanah, dan
menunggang kuda (pelajaran keterampilan).14
Menurut Amatullah Armstrong yang dikutip Abdul Mujib dan
Jusuf Mudzakkir dalam “Ilmu Pendidikan Islam” upaya pembentukan
adab (tata krama), terbagai atas empat macam, yaitu:
1) Ta‟dib adab al-haqq, pendidikan tata krama spiritual dalam
kebenaran, yang memerlukan pengetahuan tentang wujud
kebenaran, yang di dalamnya segala yang ada memiliki kebenaran
terendiri dan dengannya segala sesuatu diciptakan;
2) Ta‟dib adab al-khidmah, pendidikan tata krama spiritual dalam
pengabdian. Sebagai seorang hamba, manusia harus mengabdi
kepada sang Raja (Malik) dengan menempuh tata krama yang
pantas;
3) Ta‟dib adab al-syari‟ah, pendidikan tata krama spiritual dalam
syariah, yang tata caranya telah digariskan oleh Tuhan melalui
wahyu. Segala pemenuhan syariah Tuhan akan berimplikasi pada
tata krama yang mulia; dan
4) Ta‟dib adab al-shubhah, pendidikan tata krama spiritual dalam
persahabatan, berupa saling menghormati dan berperilaku mulia di
antara sesama.15
Proses “ta‟dib” harus didasarkan pada komitmen kuat untuk
membangun moralitas manusia dan dimulai diri sendiri. Dalam
“ta‟dib”, seorang pendidik harus selalu sadar bahwa proses “ta‟dib”
tidak akan pernah lepas dari arahan Allah. Tuhan ikut campur dengan
mengerahkan langkah pendidik.16
14
Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit., h. 15. 15
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op.Cit., h. 21. 16
Asrorun Niam Sholeh, Op.Cit., h. 95.
18
Hasil Konferensi Pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad,
Pakistan, merumuskan bahwa “Pendidikan Islam adalah suatu usaha untuk
mengembangkan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual,
intelektual, imajinasi, jasmani, dan ilmiah baik secara individual maupun
kolektif menuju ke arah pencapaian kesempurnaan hidup sesuai dengan
ajaran Islam”.17
Ahmad Fatah Yasin mengatakan pendidikan harus didasarkan pada
ajaran Islam,
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang seluruh komponen atau
aspeknya didasarkan pada ajaran Islam. Visi, misi, tujuan, proses belajar
mengajar, pendidik, peserta didik, kurikulum, bahan ajar, sarana
prasarana, pengelolaan, lingkungan dan aspek atau kompoen pendidikan
lainnya didasarkan pada ajaran Islam. Itulah yang disebut dengan
Pendidikan Islam, atau pendidikan yang Islami.18
Hal tersebut juga disepakati oleh Jalaludin, menurutnya al-Qur‟an dan
Sunnah merupakan dua dasar bagi pendidikan Islam,
Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai usaha pembinaan dan
pengembangan potensi manusia secara optimal sesuai dengan statusnya,
dengan berpedoman kepada syari‟at Islam yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad SAW agar supaya manusia dapat berperan sebagai pengabdi
Allah yang setia dengan segala aktivitasnya guna tercipta suatu kondisi
kehidupan yang Islami yang ideal selamat, aman, sejahtera dan
berkualitas, serta memperoleh jaminan (kesejahteraan) hidup di dunia
dan akhirat.19
Ciri khas dalam pendidikan Islam adalah perubahan sikap dan tingkah
laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam atau yang disebut dengan
pembentukan kepribadian muslim. Untuk itu, diperlukan adanya usaha,
17
Ahmad Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008),
h. 24. 18
Ibid., h. 36. 19
H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h. 72.
19
kegiatan, cara, alat, dan lingkungan hidup yang menjunjung
keberhasilannya.20
Mengingat luasnya aspek yang harus mencakup pendidikan Islam,
maka pendidikan Islam tetap terbuka terhadap tuntutan kesejahteraan umat
manusia, baik tuntutan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun
tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup rohaniah. Kebutuhan tersebut semakin
meluas selama dengan pengalaman kehidupan manusia. Pendidikan Islam
yang bersifat universal mampu mengakomodasi terhadap tuntutan kemajuan
zaman sesuai acuan norma-norma kehidupan Islam.
Dengan demikian pengertian pendidikan Islam menurut penulis adalah
suatu usaha sadar untuk mengembangkan potensi pengetahuan, sikap dan
keterampilan peserta didik melalui pendidikan yang bernapaskan ajaran
Islam sebagaimana Islam yang telah memberikan pedoman bagi seluruh
aspek kehidupan menusia yang bersumber pada Al-Qur‟an dan Sunnah demi
tercapainya kehidupa yang baik di dunia dan akhirat.
2. Dasar-Dasar Pendidikan Islam
a. Al-Qur’an
Al-Qur‟an adalah sumber agama Islam pertama dan utama bagi
umat Islam. Al-Qur‟an adalah kitab suci yang memuat firman-firman
(wahyu) Allah SWT, yang diturunkan allah melalui Malaikat Jibril as
kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 22 tahun
2 bulan 22 hari, yang pertama turun di kota Mekkah kemudian di kota
Madinah. Tujuannya adalah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi
umat manusia dalam hidup agar sejahtera di dunia dan akhirat.
Al-Qur‟an sebagai sumber agama dan ajaran Islam memuat soal-
soal pokok berkenaan dengan (1) akidah, (2) syari‟ah, (3) akhlak, (4)
20
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 28.
20
kisah-kisah manusia di masa lampau, (5) berita-berita tentang masa yang
akan datang, (6) benih dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, dan (7)
sunatullah atau hukum Allah yang berlaku di alam semesta.21
Ayat-ayat al-Qur‟an banyak memberikan prinsip-prinsip yang
berkenaan dengan pendidikan Islam, antara lain terdapat dalam surat
Luqman (31) ayat 12-19 yang berbunyi:
ه ن الكمة ان اشكر لل نا لقم ا يشكر لن فسه ولقد ات ي ومن كفر ومن يشكر فان
ان الش رك ه ب ن ل تشرك بالل ي وهو يعظه ن ل بنه يد . واذ قال لقم ه غن ح فان الل
ف عامي له وهنا على وهن وفص حلته امه ن بوالديه نس نا ال ل ظلم عظيم. ووصي
ك على ان تشرك ب ما ليس لك به ال المصي . وان جاهد ان اشكر ل ول والديك
ث ال واتبع سبيل من اناب ال ن يا معروفا هما ف الد ع لم فل تطعهما وصاحب
مرجعكم فان ب ئكم با كنتم ت عملون . ب ن ان ها ان تك مث قال حبة م ن خردل ف تكن ف
ب ن اقم ه لطيف خبي . ي ان الل ه ت او ف الرض يأت با الل و صخرة او ف السم
لك من عزم ان ذ الصلوة وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصب على ما اصابك
ه ل يب كل متال ان الل المور . ول تصع ر خدك للناس ول تش ف الرض مرحا
ان انكر الصوات لصوت المي . . واقصد ف مشيك واغضض من صوتك فخور
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu:
“Bersyukurlah kepada Allah dan barang siapa yang bersyukur kepada
Allah, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
21
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Pt. RajaGRafindo Persada, 1998), h.
103.
21
barang siapa yang tidak bersyukur maka sesungguhnya allah Maha Kaya
lagi Maha Terpuji (12) Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada
anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah benar-benar kelaliman yang besar”. (13)
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu dan bapaknya, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu, hanya kepada-
Kulah kamu kembali (14) dan jika keduanya memaksa kamu untuk
mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah engkau mematuhi keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang
yang kembali kepada-Ku kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu,
maka Ku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (15)
(Luqman berkta): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu
perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau
di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi maha Mengetahui (16) “Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah”. (17) “Dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi
membanggakan diri”. (18) “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara
keledai”. (Q.S. Luqman [31]:19)
22
Ayat-ayat di atas menggariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri
dari iman, akhlak, ibadah, sosial, dan ilmu pengetahuan. Ayat tersebut
juga menceritakan tujuan hidup dan tentang nilai suatu kegiatan dan amal
shaleh. Artinya, kegiatan pendidikan harus mendukung tujuan hidup.
Oleh karena itu, pendidikan harus menggunakan al-Qur‟an sebagai
sumber utama dalam merumuskan berbagai macam teori pendidikan
Islam.22
b. Sunnah
Al-Hadis adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Apa yang
telah disebut dalam al-Qur‟an dijelaskan lebih rinci oleh Rasulullah
dengan sunnah beliau. Karena itu,sunnah Rasul yang kini terdapat dalam
hadis merupakan penafsiran serta penjelasan yang otentik (sah) tentang
al-qur‟an. Namun, sebelum uraian ini dilajutkan ada beberapa hal yang
perlu dikemukakan.
Dalam dataran pendidikan Islam, acuan tersebut dapat dilihat dari dua
bentuk, yaitu: Pertama, sebagai acuan syar‟iyah, yang meliputi muatan
operasional-aplikatif yang meliputi cara Nabi memainkan peranannya
sebagai pendidik dan sekaligus sebagai evaluator yang profesional, adil
dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam. Kesemua ini dapat
dilihat dari bagaimana cara Nabi melaksanakan proses belajar mengajar,
metode yang digunakan sehingga dalam waktu singkat mampu diserap
oleh para sahabat, evaluasi yang dilakukan sehingga bernilai efektif dan
efisien, kharisma dan syarat pribadi yang harus ada pada diri seorang
pendidik yang telah ditunjukkan Nabi, cara Nabi dalam memilih materi,
alat peraga, dan kondisi yang sebegitu adaptik, dan lain sebagainya.
Kesemua itu merupakan figur yang ada pada diri Rasulullah SAW dan
menjadi model bagi seluruh aktivitas manusia sebagai uswatun hasanah
22
Zakiah Daradjat, Op.Cit., h. 20.
23
yang telah dibimbing langsung oelh Allah SWT sehingga hampir tidak
mungkin melakukan kesalahan dalam pelaksanaan proses pendidikannya.
Hadis juga merupakan sumber pengetahuan yang monumental bagi
Islam, yang sekaligus menjadi penafsir dan bagian yang komplementer
terhadap al-Qur‟an. Husein Nasr mengatakan bahwa Hadis Nabi
membahas berbagai hal, mulai dari metafisika sampai tata tertib di meja
makan. Di dalamnya orang menjumpai apa yang dikatakan dan dilakukan
Nabi, mulai dari kehidupan rumah tangga, sampaipada peroalan-
persoalan sosial, politik dan yang berhubungan dengan metafisika,
kosmologi dan eskatologi, dan kehidupan spiritual.23
Nabi Muhammad merupakan profil seorang pendidik yang dijadikan
landasan bagi umatna dalam proses pendidikan pada zamannya. Dalam
kaitan Rasul sebagai seorang juru pendidik, al-Abrasyi mengatakan:
“Pada suatu hari Rasul kelur dari rumahnya dan beliau menyaksikan
adanya dua pertemuan. Dalam pertemuan pertama orang berdoa kepada
Allah SWT mendekatkan diri kepada-Nya. Dala pertemuan kedua orang
sedang memberikan pelajaran. Rasul pun lantas bersabda, “Mereka ini
meminta Allah SWT bila Tuhan menghendaki, maka Isa akan memenuhi
permintaan tersebut dan jika Ia tidak menghendaki, maka Ia tidak akan
dikabulkan-Nya.tetapi golongan kedua ini mereka mengajar manusia,
sedangkan saya sendiri diutus menjadi pendidik”. Praktek pengajaran
yang terjadi, sebagaimana terungkap dalam kutipan di atas,
mengilustrasikan kepada kita contoh terbaik dari diri Rasul, memiliki visi
dan ambisi untuk mendorong orang belajar dan menyebarkan ilmu secara
luas. Rasul menjunjung tinggi misi pendidikan dan motivasi umatnya
agar selalu belajar.24
23
Abudin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press 2005), h. 62-
63. 24
Ibid.
24
Dalam konteks ini, pendidikan Islam yang dilakukan Nabi dapat
dibagi kepada bentuk, yaitu: Pertama, pola pendidikan saat Nabi di
Mekah. Pada masa ini, Nabi memanfaatkan potensi akal masyarakat
Mekkah yang terkenal cerdas, dengan mengajaknya membaca,
memperhatikan dan memikirkan kekuasaan Allah, baik yang ada di alam
semesta maupun yang ada dalam dirinya. Melanjutkan tradisi pembuatan
sya‟ir-sya‟ir yang indah dengan nuansa Islami, serta pembacaan ayat-ayat
suci al-Qur‟an merubah kebiasaan masyarakat Mekah yang selama ini
memulai suatu pekerjaan menyebut nama-nama berhala dengan nama
Allah (Basmalah), dan sebagainya. Kedua, pola pendidikan saat Nabi di
Madinah. Secara geografis, Madinah merupakan daerah agraris.
Sedangkan Mekkah merupakan daerah pusat perdagangan. Ini
membedakan sikap dan kebiasaan masyarakat petani yang hidup saling
membantu antara satu dengan yang lain. Mereka hidup rukun dan jarang
sekali terjadi persengketaan. Melihat kondisi ini, pola pendidikan yang
diterapkan Nabi SAW lebih berorientasi pada pemantapan nilai-nilai
persaudaraan antara kaum muhajirin dan anshor pada satu ikatan. Untuk
mewujudkan ini, pertama-tama Nabi lakukan dengan mendirikan masjid
sebagai sarana yang efektif. Materi pendidikannya lebih ditekankan pada
penanaman ketauhidan, pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat, dan
sopan santun (adab). Kesemua ini berjalan cuckup efektif karena
kharisma dan metode yang digunakan Nabi mampu mengayomi seluruh
kepentingan masyarakat secara adil dan demokrasi. 25
c. Ijtihad
Dalam meletakkan ijtihad sebagai sumber dasar pendidikan Islam, ada
dua pendapat. Pertama, tidak menjadikannya sebagai sumber dasar
pendidikan Islam. Kelompok ini hanya menempatkan al-qur‟an dan
25
Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001), ha. 99.
25
hadits sebagai bahan rujukan. Sementara ijtihad hanya sebagai upaya
memahami makna ayat al-Qur‟an dan hadits sesuai dengan konteksnya.
Kedua, meletakkan ijtihad sebagai sumber dasar pendidikan Islam.
Menurut kelompok ini meskipun ijtihad merupakan salah satu metode
istinbath hukum, akan tetapi pendapat para ulama dalam hal ini, perlu
dijadikan sumber rujukan bagi membangun paradiga pendidikan Islam.26
Eksistensi ijtihad sebagai salah satu sumber ajaran Islamm setelah al-
Qur‟an dan hadits,merupakan dasar hukum yang sangat dibutuhkan
terutama pasca Nabi Muhammad SAW setiap waktu, guna mengantarkan
manusia dalam menjawab berbagai tantangan zaman yang semakin
mengglobal dan mondial. Oleh karena itu, seiring perkembangan zaman
yang semakin mengglobal dan mendesak, menjadikan eksistensi ijtihad,
terutama dibidang pendidikan, mutlak diperlukan. Sasaran ijtihad
pendidikan, tidak saja hanya sebatas bidang materi atau isi, kurikulum,
metode, evaluasi, atau bahkan sarana dan prasarana, akan tetapi
mencakup seluruh sistem pendidikan dalam arti yang luas.27
Dalam dunia pendidikan, sumbangan ijtihad dalam ikut secara aktif
menata sistem pendidikan yang dialogis, cukup besar peranan dan
pengaruhnya. Umpamanya dalam menetapkan tujuan pendidikan yang
ingin dicapai. Meskipun secara umum rumusan tujuan tersebut telah
disebutkan dalam al-Qur‟an, akan tetapi secara khusus, tujuan-tujuan
tersebut memiliki dimensi yang harus dikembangkan sesuai dengan
tuntutan kebutuhan manusia pada suatu periodesasi tertentu, yang
berbeda dengan masa-masa sebelumnya.28
26
Ibid., h. 100. 27
Ibid., hal. 101 28
Ibid., hal. 102
26
3. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam
Fungsi pendidikan sesungguhnya adalah membangun manusia yang
beriman, cerdas, kompetitif, dan bermartabat.29
Beriman, mengandung
makna bahwa manusia mengakui adanya eksistensi Tuhan dan mangikuti
ajaran dan menjauhi larangan-Nya. Kecerdasan spiritual yang dimilki siswa
tercermin dari keimanan, katakwaan, akhlak mulia, budi pekerti luhur,
motivasi tinggi, optimis, dan kepribadian unggul. Kecerdasan intelektual
tercermin dari kompetensi dan kemandirian dalam bidang IPTEK serta sikap
kritis, kreatif dan imajinatif. Cerdas secara kinestetik berkaitan dengan sosok
pribadi sebagai insan yang sehat, bugar, berdaya-taha, sigap, terampi, dan
cekatan. Kemampuan berkompetensi tercermin dari kepribadian unggul dan
semangat juang tinggi, mandiri, berani menerima perubahan, dan berorientasi
global. Bermartabat mengandung makna memiliki harga diri, jati diri, dan
integritas sebagai bangsa.
Menurut Abdul Halim Soebahar, fungsi pendidikan Islam harus
menunjukkan keluasan peranan dan sesuai dengan fungsi pendidikan
nasional yang berfungsi “mengembangkan kemampuan serta meningkatkan
mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya
mewujudkan tujuan nasional (UU No. 2/1989 Bab II Pasal 3)”. Beliau juga
mengemukakan fungsi pendidikan Islam mencakup empat hal, di antaranya
sebagai berikut:30
a. Makro (universal)
Pendidikan Islam dapat menginternalisasi nilai-nilai spiritual
sehingga manusia dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai
hamba Allah SWT dan senantiasa ihsan pada sesama manusia dan
makhluk Allah lainnya.
29
Sudarwan danim, Pengantar Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 45-46 30
Abdul Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h.
27-28.
27
b. Messo (sosial)
Pendidikan Islam dapat membangunjiwa sosial tinggi dan mampu
berkompetisi dalam pembinaan umat dan bangsa.
c. Ekso (kultural)
Pendidikan Islam dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman
dan budaya kontemporer.
d. Mikro (individu)
Pendidikan Islam dapat meningkatkan penguasaan profesi dan
peningkatan kualitas hidup yang baik.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun
2003, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi menusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.31
Berpijak pada pemahaman tujuan Pendidikan Nasional, seperti
tercantum dalam UUSPN No. 20 tahun 2003 dalam kaitannya dengan
menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan, pendidikan yang
dilaksanakan bermakna sebagai proses pengembangan kemampuan nilai dan
sikap yang relevan dengan tuntutan pembangunan negara kebangsaan
Indonesia. Baik UU No. 2 tahun 1989 maupun UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, memuat ketentuan bahan kajian dan pelajaran
wajib yang dipelajari dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan.32
Adapun tujuan umum pendidikan Islam adalah bertujuan mewujudkan
masyarakaat yang memiliki kebudayaan dan peradaba yang tinggi dengan
indikator utama adanya peningkatan kecerdasan intelektual masyarakat, etika
31
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Pendidikan Nasional. 32
Drs. Tatang S., M.Si, Ilmu Pendidikan, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), h. 75-76.
28
dan moral masyarakat yang baik dan berwibawa, serta terbentuknya
kepribadian luhur.33
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik,
luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan
memiliki dua fungsi, yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan
pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan
pendidikan.34
Tujuan dan sasaran pendidikan selalu berbeda berdasarkan pandangan
hidup masing-masing pendidik dan lembaga pendidikan. Oleh karena itu perlu
dirumuskan pandangan hidup Islam yang mengarahkan pada nilai-nilai Islam.
berdasarkan pandangan teori-teori di atas, Pendidikan Islam harus
menerapkan sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan
seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-
nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.
Secara umum, tujuan Pendidikan Islam terbagi kepada: tujuan umum,
tujuan sementara, tujuan akhir, dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah
tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan
pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan
dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang
direncanakan dalam sebuah kurikulum. Tujuan akhir adalah tujuan yang
dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia sempurna (insan kamil)
setelah ia menghabisi sisa umurnya. Sementara tujuan operasional adalah
tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan
tertentu.35
33
Hasan Basri, Op.Cit., h. 56. 34
Umar Tirtahardja dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012),
h.37. 35
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),
h.19.
29
Menurut Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany ada tiga aspek
yang menjadi landasan tujuan dari Pendidikan Islam, yaitu36
:
a. Tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu,
pelajaran (learning) dan dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa
yang berkaitan dengan individu-individu tersebut pada perubahan
yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapainnya, dan
pada pertumbuhan yang diingini pada pribadi mereka, dan pada
persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan
akhirat;
b. Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai
keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dan degan
ap yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang
diingini, dan pertumbuhan, memperkaya penglaman, dan kemajuan
yang diinginkan; dan
c. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan
pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai
suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat.
Berikut ini adalah tujuan Pendidikan Islam menurut berbagai tokoh
pendidikan Islam. Di antaranya sebagai berikut:
a. Al-Ghazaly
Tujuan Pendidikan Islam menurut Imam Ghazaly ada dua,
yaitu (1) Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada
Allah SWT; dan (2) Insan purna yang bertujuan mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Ciri khas Pendidikan Islam
secara umum yaitu sifat moral religiusnya yang nampak jelas dalam
tujuan-tujuan yang ingin dicapai maupun sarana-sarananya, tanpa
mengabaikan masalah-masalah duniawi. Secara umum pendapat
36
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany , Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang), h. 399.
30
Imam Ghazaly ini sesuai dengan aspirasi-aspirasi Pendidikan Islam,
yakni aspirasi yang bernafaskan agama dan moral.37
Sedangkan sarana pokok untuk mencapai tujuan pendidikan
terdiri dari materi pendidikan. Artinya, anak didik harus disiapkan
seperangkat materi (kurikulum) yang siap untuk dipelajari. Di
samping itu, pendidik juga harus mempunyai metode pengajaran
yang relevan untuk menyampaikan kurikulum atau silabus sehingga
dapat memberikan pengertian yang sempurna dan memberikan
faidah yang besar tentang penggunaan metode terebut.38
b. Ibnu Sina
Pendapat Ibnu Sina mengenai tujuan pendidikan Islam adalah
pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi
yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna,
yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu
tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya
mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara
bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang
dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan
potensi yang dimilikinya.39
c. Naquib Al-Attas
Naquib Al-Attas menggambarkan tujuan pendidikan Islam
dalam tulisannya mengatakan, “The purpose of seeking knowledge
in Islam is to inculcate goodness in man as an and individual self.
The end of education in Islam is to produce a good man and not to
37
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-ghazaly, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif,
1986), h. 24. 38
Ibid., h. 21 39
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2001), h. 27 67.
31
produce a good citizen”.40
Menurutnya, tujuan pendidikan Islam
adalah menghasilkan manusia yang insan kamil dengan
menanamkan nilai kebajikan (adab) dalam diri manusia dan juga
menitikberatkan pada pengembangan individual yang cakap
spritualnya dan metrialnya. Selain itu, menurutnya pendidikan
Islam tidak hanya mencetak kepribadian yang baik saja tetapi juga
menciptakan masyarakat yang baik pula dalam kehidupan
bermasyarakat.
d. Hamka
Adapun tujuan pendidikan Islam menurut Buya Hamka adalah
berdasarkan pada konsepnya tentang hidup. Buya Hamka
menggambarkan konspnya dalam tafsir surat al-Dzariyat(51):56
نس إل لي عبدون وما خلقت الن وال“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
merka menyembah-Ku”.
Menurut Hamka, tujuan diciptakannya manusia tidak lain
hanya untuk mengabdi kepada Allah. Jika dikaitkan dengan
pendidikan maka antara tujuan hidup manusia dan tujuan
pendidikan memiliki tujuan. Tujuan tertinggi pendidikan Islam
adalah ingin menjadikan manusia sebagai khalifah allah SWT yang
memiliki tugas utama untuk beribadah kepada Allah SWT dalam
arti seluas-luasnya.41
e. Mahmud Yunus
Tujuan pendidikan Islam ialah menyiapkan anak-anak untuk
kehidupan yang sempurna. Jasmaninya dilatih, supaya tegap dan
40
Syed Naquid Al-attas, The Concept of Education in Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999), h.
22. 41
Sapiudin shidiq, Pendidikan Menurut Buya Hamka, Jurnal Pendidikan Agama Islam (Vol. II,
No. 2, Juli 2008), h. 120.
32
sehat. Akalya dididik, supaya pandai berpikir dan mencipta.
Kelakuannya diperbaiki supaya berakhlak mulia. Pendeknya
haruslah dididik tangan, tubuh, kepala, hati, perasaan dan lidah
anak-anak seluruhnya, sehingga mereka mencapai kehidupan yang
sempurna.42
Sebagaimana yang Rasulullah SAW telah berikan suri tauladan yang
nyata mengenai pendidikan. Beliau telah mendidik kaum Muslimin tatkala
di Makkah maupun di Madinah. Tujuan beliau adalah membentuk pribadi
muslim seutuhnya, yang tercermin dalam tata cara berpikir maupun
berperilaku. Di samping mengajar masalah-masalah yang berkaitan
dengan hukum dan yang menyangkut pengaturan kehidupan mereka,
Rasul pun mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang mulia, seperti upaya
mencari keridhaan Allah, sifat „izzah atau kesederhanaan akan harga diri
(„izzatul mu‟min), siap mempertanggungjawabkan kewajiban-kewajiban
menyampaikan dakwah kepada selutruh umat manusia secara efisien.
Dari berbagai macam formulasi tujuan pendidikan Islam di atas, maka
dapat digambarkan bahwa pendidikan Islam bertujuan sebagai sarana
pembentukan manusia yang insan kamil. Konsep tersebut berangkat dari
dasar pemikiran filosofik bahwa Islam merupakan sumber nilai yang
universal. Kegiatan pendidikan Islam tidak hanya berupa pengisian otak
(pengetahuan) saja, namun lebih dati itu, di mana ada nilai-nilai lain yang
ingin diraih. Demi kehidupan kemanusiaan yang substansif, pendidikan
Islam melakukan proses pengisian kalbu sebagai upaya memperteguh
42
Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hidakarya Agung), h.
18.
33
potensi imaniah. Dalam hal ini, aktivitas tersebut merupakan proses
memasukkan nilai normatif religius dan etik.43
4. Kurikulum Pendidikan Islam
Dalam bidang pendidikan, kurikulum adalah unsur penting dalam
setiap bentuk dan model pendidikan mana pun. Tanpa adanya kurikulum,
sulit rasanya bagi para perencana pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang diselenggarakannya.
Istilah kurikulum yang berasal dari bahasa Latin curriculum semula
berarti a running course, or race course, especially a chariot race course dan
terdapat pula dalam bahasa Perancis courier artinya, to run (berlari).
Kemudian istilah itu digunakan untuk sejumlah courses atau mata pelajaran
yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah.44
Kurikulum
dalam Pendidikan Islam dikenal dengan kata “Manhaj” yang berarti jalan
terang yang dilalui oleh pendidik atau guru latih dengan orang-orang yang
dididik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan
dan sikap mereka.45
Jenkins dan Shipman mengemukakan kurikulum “A curriculum is the
formation and implementation of an educational proposal to be taught and
learned within the school or other institution and for which that institution
accepts responsibility at three levels; its rationale, its actual implementation
and its effects”.46
Mereka menggambarkan bahwa kurikulum merupakan
formasi dan pelaksanaan dari tujuan pendidikan yang harus dipikirkan
matang-matang dan dipelajari dengan institusi pendidikan yang mana
43
Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h.
147. 44
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h.
131 45
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany , op. cit., h. 478 46
Steve Barlette and Diana Burton, Introduction to Education Studies, (London: SAGE
Publications Ltd, 2007), h. 75
34
kurikulum harus mencakup tiga aspek, yaitu kurikulum harus rasional,
kurikulum dapat dilaksanakan dan kurikulum memberikan dampak positif
bagi pendidikan.
Di dalam kurikulum tidak hanya dijabarkan serangkaian ilmu
pengetahuan yang harus diajarkan oleh pendidik kepada anak didik, dan anak
didik mempelajarinya, tetapi juga segala kegiatan yang bersifat kependidikan
yang dipandang perlu, karena mempunyai pengaruh terhadap anak didik,
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam. Misalnya olahraga,
kepramukaan, widya wisata, seni budaya: mempunyai pengaruh cukup besar
dalam proses mendidik anak didik, sehingga perlu diintegrasikan ke dalam
kurikulum itu.47
Menurut S Nasution menguraikan tentang konsep kurikulum bahwa,
kurikulum lazimnya dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk
melancarkan proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggung
jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya.48
Ada
sejumlah ahli teori kurikulum yang berpendapat bahwa kurikulum bukan
hanya meliputi semua kegiatan yang direncanakan melainkan juga peristiwa-
peristiwa yang terjadi di bawah pengawasan sekolah, jadi selain kegiatan
kurikuler yang formal juga kegiatan yang tak formal. Yang terakhir ini sering
disebut kegiatan ko-kurikuler atau ekstra-kurikuler (co-curriculum atau extra-
curriculum).
Kurikulum formal meliputi:
a. Tujuan pelajaran, umum dan spesifik.
b. Bahan pelajaran yang tersusun sistematis.
c. Strategi belajar-mengajar serta kegiatan-kegiatannya.
d. Sistem evaluasi untuk mengetahui hingga mana tujuan tercapai.
47
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 77-78 48
S Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Bandung: Bumi aksara, 1989), h. 5.
35
Kurikulum tak formal terdiri atas kegiatan-kegiatan yang juga
direncanakan akan tetapi tidak berkaitan langsung dengan pelajaran akademis
dan kelas tertentu. Kurikulum ini dipandang sebagai pelengkap kurikulum
formal. Yang termasuk kurikulum tak formal ini antara lain pertunjukan
sandiwara, pertandingan antar kelas atau antar sekolah, perkumpulan berbagai
hobi, pramuka, dan lain-lain. Ada lagi yang harus diperhitungkan yaitu
kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Kurikulum ini antara lain berupa
aturan tak tertulis di kalangan siswa, misalnya harus kompak terhadap guru
yang turut mempengaruhi suasana pengajaran dalam kelas. Kurikulum
tersembunyi ini dianggap oleh kalangan tertentu tidak termasuk kurikulum
karena tidak direncanakan.49
Menurut Abudin Nata, dalam ajaran Islam baik al-Qur‟an, al-Sunnah
maupun pendapat para pakar Pendidikan Islam tidak dijumpai pengertian
kurikulum sebagaimana yang dikembangkan oleh para pakar pendidikan
modern. Kurikulum dalam pandangan Islam lebih diartikan sebagai susunan
mata pelajaran yang harus diajarkan kepada peserta didik. Dengan kata lain,
bahwa pengertian kurikulum dalam Islam lebih bersifat tradisional yaitu:50
a. Sebagai program studi yang harus dipelajari;
b. Sebagai konten, yaitu data atau informasi yang tertera dalam buku-
buku kelas tanpa dilengkapi dengan data atau informasi lain yang
memungkinkan timbulnya kegiatan belajar;
c. Sebagai kegiatan terencana, yakni kegiatan yang direncanakan
tentang hal-hal yang akan diajarkan;
d. Sebagai hasil belajar, yaitu seperangkat tujuan yang untuk
memperoleh suatu hasil tertentu tanpa menspesifikasikan cara-cara
yang dituju untuk memperoleh hasil itu;
49
Ibid., h. 5-6. 50
Abudin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja grafindo Persada, 2012), h. 123.
36
e. Sebagai reproduksi kultural, yaitu transfer dan refleksi butir-butir
kebudayaan masyarakat, agar dimiliki dan dipahami anak-anak
generasi muda masyarakat tersebut;
f. Sebagai produksi, yaitu seperangkat tugas yang harus dilakukan
untuk mencapai hasil yang ditetapkan terlebih dahulu.
Di dalam menyusun atau merevisi sebuah kurikulum pendidikan
menurut Noeng Muhadjir yang dikutip Toto Suharto dalam “Filsafat
Pendidikan Islam” mengatakan bahwa, ada tiga pendekatan yang digunakan,
yaitu pendekatan akademik, pendekatan teknologik dan pendekatan
humanistik.51
Pendekatan akademik digunakan apabila suatu program
pendidikan dimaksudkan untuk mencetak keahlian dalam sebuah disiplin
atau subdisiplin ilmu tertentu, dalam arti membekali peserta didik dengan
sebuah spesialisasi. Di sini, program pendidikan diarahkan untuk
menumbuhkan fungsi kreatif peserta didik secara optimal. Pendekatan
teknologik digunakan apabila seuah program pendidikan bermaksud
menghasilkan peserta didik yang dapat mengerjakan tugas kerja yang
diembannya. Pendekatan ini biasanya digunakan bagi program pendidikan
yang tugasnya menyiapkan tenaga kerja profesional, seperti menjadi pilot,
menjadi guru, atau arsitektur. Sementara pendekatan humanistik digunakan
apabila program pendidikan dimaaksud bertujuan mengembangkan wawasan
dan perilaku peserta didik sesuai cita-cita ideal yang hendak dicapai.
Jelasnya, pendekatan akademik digunakan untuk menyusun progra
pendidikan keahlian berdasarkan sistematisasi disiplin ilmu, pendekatan
teknologik digunakan untuk menyusun program pendidikan keahlian yang
bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas
51
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), h. 99.
37
tertentu, dan pendekatan humanistik digunakan untuk menyusun program
pendidikan keahlian yang bertolak dari ide “memanusiakan manusia”.52
Hasan Langgulung mengatakan bahwa kurikulum pendidikan Islam
bersifat fungsional, tujuannya mengeluarkan dan membentuk manusia
Muslim, kenal agama dan Tuhannya, berakhlak al-Qur‟an, tetapi juga
mengeluarkan manusia yang mengenal kehidupan, sanggup menikmati
kahidupan yang mulia, dalam masyarakat bebas dan mulia, sanggup memberi
dan membina masyarakat itu dan mendorong dan mengembangkan
kehidupan di situ, melalui pekerjaan tertentu yang disukainya”.53
Arifin M.Ed mengemukakan tentang prinsip-prinsip kurikulum. ada
empat hal yang harus diperhatikan dala menyusun kurikulum Pendidikan
Islam, di antaranya sebagai berikut:54
a. Kurikulum pendidikan yang sejalan dengan idealitas Islam adalah
kurikulum yang mengandung materi (bahan) ilmu pengetahuan
yang mampu berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup
Islami.
b. Untuk berfungsi sebagai alat yang efektif dalam mencapai tujuan
tersebut, kurikulum harus mengandung tata nilai Islami yang
intrinsik dan ekstrinsik yang mampu merealisasikan tujuan
Pendidikan Islam.
c. Kurikulum yang Islami itu diproses melalui metode yang sesuai
dengan nilai yang terkandung di dalam Pendidikan Islam.
52
Ibid. 53
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2008), h.
114. 54
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), cet. 6, h. 141.
38
d. Kurikulum, metode dan tujuan Pendidikan Islam harus saling
berkaitan dan saling menjiwai dalam proses mencapai produk yang
dicita-citakan menurut agama Islam.
Kemudian Abudin Nata membagi ada tujuh ciri-ciri dan prinsip dalam
Pendidikan Islam, sebagai berikut:
a. Sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang mempercayai
adanya Tuhan (religiousitas);
b. Sesuai dengan perkembangan kejiwaan, bakat dan kecerdasan anak
(dasar psikologis);
c. Meletakkan dasar-dasar ke arah pengembangan sikap,
pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan anak
untuk hidup di lingkungan masyarakat (dasar sosiologis);
d. Memberikan dasar untuk memasuki jenjang pendidikan menengah
atau lebih tinggi (dasar kesinambungan);
e. Memberikan bekal untuk mengembangkan diri sesuai dengan asas
pendidikan anak usia dini dan seumur hidup (dasar pedagogis);
f. Memberikan bekal keterapilan dalam mempergunakan produk
ilmu pengetahuan dan teknologi (dasar IPTEK); dan
g. Memberikan pemahaman, penghayatan dan pengalaan nilai-nilai
budaya bangsa dan yang berkembang di masyarakat (dasar
nasionalisme dan kultural)55
.
Kurikulum Pendidikan Islam merupakan sarana atau alat untuk
mencapai tujuan pendidikan agama Islam yang sekaligus juga arah
pendidikan agama dalam rangka pembangunan bangsa dan pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan agama Islam akan membawa dan
55
Abudin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, op. cit., h. 131.
39
menghantarkan serta membina anak didik menjadi warga negara yang baik
sekaligus umat yang taat beragama.56
5. Metodologi Pendidikan Islam
Metoda berasal dua perkataan yaitu meta yang artinya melalui dan
hodos yang artinya jalan atau cara. Jadi metoda artinya suatu jalan yang
dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Adapun istilah metodologi berasal dari
kata metoda dan logis. Logi berasal dari bahasa Yunani logos yang berarti
akal atau ilmu. Jadi metodologi artinya ilmu tentang jalan atau cara yang
harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.57
Menurut Tayar Yusuf (dalam Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang
Strategi Pembelajaran), secara bahasa metode berasal dari kata metha yang
berarti balik atau belakang, dan hodos yang berarti melalui atau melewati.
Dalam bahasa Arab diartikan sebagai al-thoriqoh atau jalan. Dengan
demikian, metode berarti jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Kata metode selanjutnya dihubungkan dengan kata logos
yang berarti ilmu. Dengan demikian metodologi berarti ilmu tentang cara-
cara atau jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan.58
Sebagai suatu ilmu, metodologi merupakan bagian dari perangkat
disiplin keilmuan yang menjadi induknya. Hampir semua ilmu pengetahuan
mempunyai metodologi tersendiri. Oleh karena itu ilmu pendidikan sebagai
salah satu displin ilmu juga memiliki metodologi yaitu metodologi
pendidikan, yaitu suatu ilmu pengetahuan tentang metode yang digunakan
dalam pembelajaran.
56
Hafni Ladjid, Pengembangan Kurikulum Menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta:
Ciputat Press Group, 2005), h. 26. 57
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia , 1997), h. 99. 58
Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2009), h. 176.
40
Dalam menggunakan metodologi pendidikan seorang pendidik harus
memperhatikan dasar-dasar pendekatan yang mencakup dasar agamis,
biologis dan psikologis siswa yang meliputi hal-hal berikut:59
a. tujuan pendidikan dan pembelajaran yang akan disampaikan
mencakup domain kognitif (pikir), afektif (dzikir) dan
psikomotorik (amal) guna mendapatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat;
b. peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi dan sekaligus
kelemahan individual dan kolektif sesuai dengan kondisi fisik,
psikis dan usianya. Kompleksitas bakat dan minat masing-masing
peserta didik harus dilihat dan diperlakukan secara humanis
dengan cara yang bijak;
c. situasi dan kondisi lingkungan pembelajaran, baik dari aspek fisik-
materiil, sosial, dan psikis emosional;
d. fasilitas dan media pendidikan yang tersedia beserta kualitasnya;
dan
e. kompetensi guru (baik kompetensi profesional, pedagogis, sosial,
maupun kepribadian).
Sistem pendekatan metodologis yang dinyatakan dalam al-Qur‟an
adalah bersifat multi approach yang meliputi antara lain:60
a. Pendekatan religius yang menitikberatkan kepada pandangan bahwa
manusia adalah makhluk yang berjiwa religius dengan bakat-bakat
keagamaan.
b. Pendekatan filosofis yang memandang bahwa manusia adalah
makhluk rasional homo rationale, sehingga segala sesuatu yang
menyangkut pengembangannya didasarkan pada sejauh mana
59
Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendiikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016),
h. 186-187. 60
Nur Uhbiyati, op. cit., h. 101.
41
kemampuan berpikirnya dapat dikembangkan sampai pada titik
maksimal perkembangannya.
c. Pendekatan sosio-kultural yang bertumpu pada pandangan bahwa
manusia adalah makhluk yang bermasyarakat dan berkebudayaan
sehingga dipandang sebagai homo sosius dan homo sapiens dalam
kehidupan bermasyarakat yang berkebudayaan.
d. Pendekatan scientific yang titik beratnya terletak pada pandangan
bahwa manusia memiliki kemampuan menciptakan (kognitif),
berkemauan (kognitif) dan merasa (emosional atau efektif).
Pendidikan harus dapat mengembangkan kemampuan analitis-sintetis
dan reflektif dalam berpikir.
B. Pemikiran Pendidikan Islam
1. Pengertian Pemikiran Pendidikan Islam
Secara etimologi, pemikiran berasal dari kata dasar “pikir” yang berarti
proses, cara, atau perbuatan memikir, yaitu menggunakan akal budi untuk
memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu
secara bijaksana. Dalam konteks ini, peimikiran dapat diartikan sebagai upaya
cerdas dan proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha
mencari penyelesaiannya secara bijaksana.
Secara terminologis, menurut Mohammad Labib An-Najihi dalam A.
Susanto mengemukakan bahwa pemikiran Pendidikan Islam adalah aktivitas
pikiran yang teratur dengan mempergunakan metode filsafat. Pendekatan
tersebut dipergunakan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan
proses pendidikan dalam sebuah sistem yang integral.61
Pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan
kalbu yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam melihat berbagai
61
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 3-5.
42
persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun
sebuah paradigma pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan
dan pengembangan peserta didik secara paripurna.
2. Tujuan Pemikiran Pendidikan Islam
Secara khusus, menurut Samsul Nizar, pemikiran pendidikan Islam
memiliki tujuan yang sangat kompleks, antara lain:
a. Membangun kebiasaan berpikir ilmiah, dinamis dan kritis terhadap
persoalan-persoalan seputar pendidikan Islam;
b. Memberikan dasar berpikir inklusif terhadap ajaran Islam dan
akomodatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang
dikembangkan oleh intelektual di luar Islam;
c. Menumbuhkan semangat berijtihad, sebagaimana yang ditunjukkan
oleh Rasulullah dan para kaum intelektual muslim pada abad pertama
sampai pertengahan, terutama dalam merekonstruksi sistem pendidikan
Islam yang lebih baik; dan
d. Memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan sistem
pendidikan nasional. Meskipun kajian ini berupaya untuk menyoroti
konsep al-insaniyyah yang dititikberatkan pada aspek peserta didik dan
nilai-nilai kemanusiaan yang fitri sebagaimana dikembangkan oleh
filsafat pendidikan Islam. Akan tetapi juga diharapkan mampu
memberikan sumbangan bagi pengembangan sistem pendidikan di
Indonesia.62
Tujuan dari pemikiran pendidikan Islam adalah untuk mengungkap dan
merumuskan paradigma pendidikan Islam dan peranannya dalam
pengembangan sistem pendidikan di Indonesia. Pemikiran pendidikan Islam
ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan dalam merekonstruksi
pola atau model pengembangan sistem pendidikan nasional, serta ikut
62
Samsul Nizar, Op.Cit., h. 7.
43
memperkaya khazanah perkembangan pemikiran ilmu pengetahuan, baik
pengetahuan, baik pengetahuan keislaman maupun pengetahuan umum
lainnya.63
3. Prinsip-Prinsip Pemikiran Pendidikan Islam
Prinsip-prinsip dasar yang dapat digunakan dalam pemikiran
pendidikan Islam meliputi prinsip ontologi, prinsip epistemologis dan
aksiologis. Prinsip-prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:64
a. Prinsip Ontologi
Prinsip ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan
pemikiran filsafat yang paling kuno. Prinsip ini membicarakn pokok
pikiran tentang apa yang ada dan apa yang tidak ada. Ontologi merupakan
etiket pelengkap dari metafisika tentang “ada dan “keadaan” sesuatu.
Dalam kaitannya dengan pemikiran pendidikan Islam, memberikan
arti bahwa segala sesuatu yang menjadi objek kajian pemikiran tidak
selamanya bersifat realistis, akan tetapi ada kalanya yang bersifat
fenomena dan abstrak. Ketika membicarakan apa tujuan pendidikan Islam
yang sesungguhnya, maka seseorang intelektual muslim harus melihat
kedua pendekatan tersebut secara seksama. Ia harus memperhatikan
kondisi realitas yang bersifat kekinian dan eksistensi kemakhlukannya
sebagai tujuan penciptaan Allah. Ia harus mempertimbangkan runtutuan
kebudayaan yang unik dan dinamis, secara serasi dan seimbang.
b. Prinsip Epistemologi
Prinsip epistemologis yaitu suatu studi pengetahuan tentang bagaiana
proses manusia mengetahui (Adanya) benda-benda, serta menitikberatkan
pada timbulnya berbagai pengertaian atau konsep waktu, ruang, kualitas,
kesadaran, dan keabsahan pengetahuan.
63
A. Susanto, Op.Cit., h. 5. 64
Samsul Nizar, Loc.Cit., h. 33-34.
44
Dalam kaitannya dengan pemikiran pendidikan Islam, pendekatan
tersebut memberi makna tentang bagaimana proses internalisasi yang
efektif dalam mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan sebagai sebuah
kebenaran yang hakiki. Proses yang dilakukan harus mengandung makna
tinggi, sesuai dengan posisi, fungsi dan kemampuan peserta didik, baik
secara vertikal maupun horizontal.
c. Prinsip Aksiologi
Prinsip aksiologis yaitu studi tentang nilai, baik nilai etika (moral)
maupun nilai estetika. Pembicaraannya berkisar tentang nilai kebenaran
hakiki yang menjadi tujuan hidup manusia.
Dalam kaitannya dengan pemikiran pendidikan Islam, pendekatan
tersebut memberikan makna bahwa objek kajian dan rangkaaian proses
yag dilakukan harus memiliki nilai dan tidak merusak nilai-nilai yang ada,
baik nilai kemanusiaan (moral) maupun nilai ketuhanan (agama).
Pendekatan ini sesungguhnya merupakan alat kontrol yang efektif dalam
melihat kebermaknaan dan ketidakbermaknaan, atau ideal dan tidak
idealnya konsep pendidikan yang ditawarkannya bagi umat manusia.
C. Hasil Penelitian Relevan
1. Warno, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2009,
dengan judul “Pandangan Abdurrahman Wahid Terhadap Pancasila Sebagai
Dasar Negara”. Dalam penelitian skripsi karya Warno, menjelaskan bahwa
penelitian tersebut menggambarkan pada aspek Politik yang terkandung pada
Pancasila yang berdasarkan perspektif Abdurrahman Wahid. Sedangkan pada
penelitian yang penulis jelaskan di sini adalah penjelasan mengenai
pendidikan Islam yang berdasarkan perspektif Abdurrahman Wahid.
2. Izzah Fauziah (109011000140), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2014, dengan judul “Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas Tentang
45
Pendidikan Islam”. Dalam skripsi Izzah Fauziah, terdapat variabel yang sama
dengan judul peneitian skripsi penulis yaitu mengenai pendidikan Islam.
Namun yang berbeda adalah objek kajian pemikiran penulis pada perspektif
Abdurrahman Wahid, sedangkan objek pemikiran Izzah Fauziah adalah Syed
Muhammad Naquib Al-Attas.
3. Muhammad Al Banna (108011000168), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2014, dengan judul “Pemikiran Hasan Al Banna Dalam Pendidikan
Islam”. Dalam skripsi Izzah Fauziah, terdapat variabel yang sama dengan
judul peneitian skripsi penulis yaitu mengenai pendidikan Islam. Namun yang
berbeda adalah objek kajian pemikiran penulis pada perspektif Abdurrahman
Wahid, sedangkan objek pemikiran Muhammad Al Banna adalah tentang
pemikiran Hasan Al Banna.
46
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian yang berjudul “Pendidikan Islam Menurut Abdurrahman
Wahid (Gus Dur)” ini dilaksanakan pada 20 Februari 2017 sampai 31
Oktober 2017dengan dan penelitian ini dibuat di berbagai perpustakaan, baik
perpustakaan dan perpustakaan Nasional.
B. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk
mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan,
dikembangkan dan dibuktikan suatu pengetahuan tertentu sehingga pada
gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan
mengantisipasi masalah dalam bidang pendidikan.1
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualtitatif, yaitu data yang
diperoleh (berupa kata-kata, gambar dan perilaku) tidak dituangkan dalam
bentuk bilangan atau angka melainkan tetap dalam bentuk kualitatif,
sifatnya menganalisa dan memberi pemaparan mengenai situasi yang
diteliti dalam bentuk naratif.2
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan atau
library research yakni mengumpulkan, menelaah dan mengkaji data atau
1 Sugiono, metode Penelitian Pendekatan Kueantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2013), h.6 2 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidian, (Jakarta: Rineka cipta, 2007), h.39
47
karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau
pengumpulan data yang bersifat kepustakaan.3
2. Sumber Data Penelitian
Untuk mendapatkan data yang valid, maka diperlukan sumber data
penelitian yang valid pula. Dilihat dari sumber datanya, maka penelitian
ini menggunakan data primer dan data sekuner. Sumber data primer
adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti. Dalam hal
ini, karya-karya Gus Dur baik berupa buku dan jurnal.
Sedangkan data sekunder merupakan data-data yang mendukung data
primer, yaitu buku-buku dan literatur yang relevan dengan penelitian ini.
Data sekunder yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah buku,
jurnal dan sumber literatur lainnya yang mengkaji tentang pemikiran
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengenai pendidikan Islam.
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang
mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini,maka
peneliti menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu
mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa literatur-literatur dengan
bantuan beracam-macam materi yang terdapat di ruangan perpustakaan.4
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari literatur
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-
data melalui bahan bacaan (text book) yang bersumber pada buku-buku
primer, sekunder.
3 Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h.60-61
4 Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantiatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2008), h.329
48
2. Teknik Pengolahan Data
Setelah data-data terkumpul, berikutnya peneliti membaca, menelaah
dan meneliti data-data yang relevan yang mendukung pokok bahasan, dan
selanjutnya peneliti menulis dan menyimpulkan dalam satu pembahasan
utuh.
D. Analisis Data
Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan pengaturan
transkripsi wawancara, catatan lapangan dan materi-materi lain yang telah
terkumpul untuk meningkatkan pemahaman peneliti mengenai materi-materi
tersebut dan untuk memungkinkan peneliti menyajikan apa yang sudah
ditemukannya kepada orang lain.5
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data
(content analysis) dalam bentuk deskriptif, yaitu berupa catatan informasi
faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup
penggambaran secara rinci dan akurat terhadap berbagai dimensi yang terkait
dengan semua aspek yang diteliti.6 Maka, di sini penulis menggambarkan
permasalahan yang dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan
dengan permasalahan yang dikaji, kemudian dianalisis dan dipadukan menjadi
sautu kesimpulan yang utuh.
5 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h.85
6 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial
Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2008), h.159
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
1. Riwayat hidup Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur dan dengan nama
lengkap Abdurrahman al-Dakhil, lahir pada tanggal 4 Agustus 1940 di
Denanyar, Jombang. Ia anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya
bernama Wahid Hasyim, adalah putra K.H. Hasyim Asy‟ari, pendiri
pondok pesantren Tebu Ireng dan pendiri Nahdhatul Ulama (NU),
organisasi terbesar di Indonesia. Ibunya bernama Hj. Sholehah, juga putri
tokoh besar Nahdhatul Ulama K.H. Bisri Syamsuri, pendiri pondok
pesantren Denanyar Jombang dan Ro‟is Am Syuriah Pengurus Besar
Nahdhatul Ulama (PBNU) setelah K.H. Abdul Wahab.1
Secara geneologi, Abdurrahman Wahid memiliki keturunan “darah
biru” dan menurut Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri dan priyai
sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya. Abdurrahman
Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial tertinggi dalam
masyarakat Indonesia. Ia adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan
tokoh terbesar bangsa Indonesia. Kakeknya, Kiai Bisyri Syamsuri dan
Kiai Hasyim Asy‟ari sangat dihormati di kalangan NU, baik karena
peranannya sebagai pendiri Nahdhatul Ulama, maupun karena
kedudukannya sebagai ulama karismatik.2
1 Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2005), h. 338. 2 Ibid., h. 339.
50
2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir Abdurrahman Wahid (Gus
Dur)
a. Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Pada masa kecilnya, Abdurrahman Wahid tidak seperti
kebanyakan anak-anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama
kakeknya daripada tinggal bersama ayahnya. Melalui kakeknya, ia
belajar membaca Al-Qur‟an di pondok pesantren Tebu Ireng,
Jombang. Berkat tinggal bersama kakeknya yang merupakan tokoh
yang banyak dikunjungi tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting
lainnya, maka dari sejak kecil Abdurrahman Wahid sudah mengenal
tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting tersebut.3
Selanjutnya pada usia 13 tahun, Abdurrahman Wahid harus
sudah kehilangan ayahnya, dan hidup sebagai anak yatim. Wahid
Hasyim, ayahanda Abdurrahman Wahid meninggal dunia pada usia 38
tahun karena kecelakaan kendaraan. Pada saat itu, Abdurrahman
Wahid melakukan perjalanan menggunakan kendaraan bersama
ayahnya. Ia berada di depan dan ayahnya berada di belakang. Ketika
mobilnya terbalik, ayahnya terlempar keluar dan luka parah. Sehari
kemudian ia meninggal dunia.
Sebelum meninggalnya ayahanda Gus Dur, K.H. Wahid
Hasyim merupakan tipikal ayah yang sangat baik dan disiplin dalam
mendidik anak-anaknya. Gus Dur hidup di lingkungan keluarga yang
memilki pemikiran yang maju dan taat beragama. Ayahnya, K.H.
Wahid Hasyim, pada usia masih sangat muda, sudah memiliki
kegiatan yang begitu padat. Pikirannya banyak dicurahkan untuk
pengembangan kemajuan Indonesia, terutama pesantren. Kecintaannya
3 Ibid., h. 340.
51
kepada Indonesia sangat tinggi sehingga wajar jika ia disebut sebagai
seorang nasionalis.
Meski sebagai aktivis dengan kesibukan yang luar biasa,
terutama di tahun-tahun terakhir menjelang kemerdekaan sampai pasca
kemerdekaan, K.H. Wahid Hasyim tetap berusaha meluangkan waktu
bersama keluarga. Sebab, pendidikan keluarga merupakan
pembelajaran awal dan sangat mendasar bagi pengembangan dan
pembentukkan kepribadian, karakter, termasuk kecerdasan seseorang.4
Pada masa-masa awal pindah ke Jakarta, saat K.H. Wahid
Hasyim dan keluarganya tinggal di sebuah hotel di Menteng, Gus Dur
masih ingat, setiap pagi sang ayah mengantar dirinya pergi ke sekolah
dasar yang letaknya tidak jauh dari hotel tersebut. Tugas mulia ini
tidak pernah diberikan kepada pembantu rumah tangganya.5
Meskipun Wahid Hasyim merupakan orang yang sibuk dan
serius, tetapi ia masih menyempatkan diri bermain-main dengan Gus
Dur, dan putra-putrinya yang lain. Gus Dur masih ingat, suatu ketika
ia diajak ayahnya bermain bola di halaman belakang rumah. Tampak
sekali ia sangat senang bermain bola dengan ditemani putra sulungnya
itu.
Selama tinggal di Jakarta, Gus Dur juga sering diajak
ayahandanya untuk melakukan shalat berjamaah di masjid.6 Hal ini
juga bagian pelajaran penting yang ditanamkan oleh sang ayah
kepadanya, yakni dengan melakukan shalat berjamaah di masjid,
selain anjuran agama, dengan merupakan sarana menjalin komunikasi
dan bersilaturahmi dengan para tetangga serta orang-orang Islam yang
4 Abdul Wahid Hasan, Gus Dur Mengarungi Jagat Spiritual Sang Guru Bangsa, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2015), h. 110. 5 Greg Barton, Biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid,
(Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 40. 6 Abdul Wahid Hasan, loc.cit., h. 40.
52
lain. Dengan demikian, pintu kecerdasan interpersonal dan sosial
sudah mulai terbuka sejak Gus Dur masih kanak-kanak. Itu semua
tidak terlepas peran sang ayah yang memang bersikap inklusif
terhadap semua orang, bahkan dengan berbagai pemikiran.7
Ayahandanya juga sering melibatkan Gus Dur dalam berbagai
pertemuan yang diadakan secara teratur dengan para aktivis muda,
mahasiswa, dan tokoh-tokoh lain yang ada di Jakarta, termasuk
Munawir Sjadzali yang ketika itu masih muda.8 Hal ini menjadi
pelajar penting bagi Gus Dur bahwa ayahnya adalah sosok yang
mudah bergaul dengan berbagai kalangan. Seingat Gus Dur, ayahnya
tidak pilih kasih dalam berteman, termasuk dengan golongan yang
berbeda pandangan. Konon, sang ayah juga berteman dengan Tan
Malaka, yang oleh Gus Dur sering dipanggil dengan sebutan Paman
Husen.9
K.H. Wahid Hasyim termasuk “kutu buku”. Ia memenuhi
rumahnya dengan buku, majalah, koran, dan bacaan-bacaan lain.
Beragam referensi tersebut, tanpa disadari telah menjadi guru yang
baik memancing, merangsang, dan menajamkan minat baca Gus Dur.
Tidak mengherankan, jika pada tahap ini Gus Dur tumbuh
menjadi anak yang haus ilmu pengetahuan. Gus Dur menjadi pecandu
bacaan. Bisa dipastikan, bila keluar rumah Gus Dur selalu membawa
buku bacaan. Inilah berkah besar yang dimiliki Gus Dur. Sebab
membaca merupakan jendela ilmu pengetahuan. Dengan membaca,
berbagai jenis ilmu pengetahuan akan masuk ke dalam diri seseorang
yang kemudian berinteraksi dan berdialektika antara satu dengan yang
lain sehingga pada akhirnya akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan,
7 Ibid., h. 111.
8 Greg Barton, op.cit, h. 41.
9 Abdul Wahid Hasan, op.cit, h. 111.
53
atau bahkan melahirkan rasa ingin tahu yang mendalam akan
pengetahuan tersebut. Dengan demikian, rasa haus akan ilmu
pengetahuan tersebut sudah terasa sejak Gus Dur masih belia.10
b. Pendidikan di Sekolah dan Pesantren
Ketika sang ayah terpilih menjadi ketua umum Partai Majlis
Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri
atas dukungan tentara Jepang pada tahun 1944, Gus Dur pindah dari
Jombang ke Jakarta. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang, dan tetap berada di sana
selama perang kemerdekaan melawan Belanda. Pada akhir perang
tahun 1949, Gus Dur pindah ke Jakarta lagi, karena sang ayah ditunjuk
sebagai menteri agama.11
Di Jakarta, Gus Dur masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD
Matraman Perwari. Ayahnya yang menguasai berbagai bahasa,
mengajari Gus Dur untuk membaca buku non-muslim, majalah, dan
koran. Ini dilakukan Gus Dur memiliki wawasan pengetahuan yang
luas. Pada tahun 1952, sang ayah kehilangan jabatan sebagai menteri
agama, setelah menjabat selama lima kabinet. Gus Dur dan
keluarganya tetap tinggal di Jakarta. Sang ayah wafat pada Ahad, 19
April 1953, akibat kecelakaan mobil yang dikendarai bersama Gus
Dur dan Argo Sucipto, supirnya. Ketika itu, Gus Dur baru berusia
sekitar 12 tahun.12
Setelah tamat Sekolah Dasar (1954), Gus Dur melanjutkan
pendidikannya di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di
Tanah Abang.13
Pada tahun itu, Gus Dur tidak naik kelas, karena tidak
fokus pada pelajaran sekolah. Gus Dur lebih banyak mencari
10
Ibid. 11
Abdul Wahid Hasan, op.cit, h. 112. 12
Ibid. 13
Abudin Nata, op.cit., h. 341.
54
pengetahuan dengan membaca buku di luar materi-materi yang
diajarkan di sekolah, termasuk suka menonton bola.14
Pada tahun 1954, ibunya mengirim Gus Dur ke Yogyakarta
untuk meneruskan pendidikan. Gus Dur masuk di SMEP (Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama), sambil mondok di Pesantren Krapyak.
Meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, sekolah tersebut
sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Pada masa itu pula, Gus
Dur belajar bahasa Inggris.
Salah seorang gurunya yang bernama Ibu Rufi‟ah termasuk
orang yang sangat berjasa dalam mengembangkan potensi dan
kemampuan Bahasa Inggrisnya Gus Dur. Mengetahui potensi yang
besar pada diri Gus Dur, Ibu Ruf‟iah mendorong muridnya tersebut
agar membaca buku-buku berbahasa Inggris. Di antara buku-buku
yang pernah dibaca Gus Dur adalah karya Ernest Hemingway, John
Steinbach dan Willian Faulkner. Selain itu, Gus Dur juga menuntaskan
bacaannya pada karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y.
Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti Pushkin, Tolstoy,
Dostoevsky, dan Mikhailn Sholokov. Gus Dur juga melahap habis
beberapa karya Wiil Durant yang berjudul The Story of Civilization.
Karya Mikhail Sholokov yang berjudul And Quiet Flows The Don
merupakan salah satu buku favoritnya Gus Dur. Ibu Rufi‟ah juga
memperkenalkan Gus Dur pada buku karya Andre Gide, penulis novel
Strait is the Gate. Terinspirasi dari novel tersebut, Gus Dur memberi
nama “Alissa” bagi putri pertamanya.15
Selain itu, melalui Ibu Rufi‟ah
Gus Dur banyak berkenalan dengan buku-buku tentang komunis,
seperi Das Kapital, karya Karl Marx, filsafat Plato, Thales, novel-
14
Greg Barton, op.cit, h 49. 15
Al-Zastrouw, Gus Dur, Siapa Sih Sampeyan? Tafsir Teoritis atas Tindakan dan Pernyataan
Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 1999), h. 16.
55
novel William Bochner dan Romantisme Revolusioner, karangan
Lenin Vladimir Ilyeh (1870-1924), tokoh revolusioner Rusia dan
pendiri Uni Soviet. Sejak itu ia selalu menyampaikan laporan hasil
bacaannya kepada guru bahasa Inggris itu.16
Selain membaca buku-buku berbahasa Inggris untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, Gus Dur juga aktif
mendengarkan radio Voice of America dan BBC London. Ketik
mengetahui Gus Dur pandai berbahasa Inggris, Pak Sumatri (seorang
guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis) memberi buku What is
To Be Done, karya Lenin. Gus Dur juga tertarik ide Lenin tentang
keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism
(ke kiri-kirian penyakit ke kanan-kananan), dan dalam Little Read
Book-Mao (kutipan kata-kata Mao). Pada saat yang sama, Gus Dur
yang sedang memasuki masa remaja, telah mengenal Das Kapital-nya
Karl Marx, filsafat Plato, Thales, dan sebagainya. Berdasarkan
pemaparan tersebut, betapa kaya dan luas wawasan yang dimiliki Gus
Dur.17
Setelah menamatkan pendidikannya di SMEP, Gus Dur banyak
menghabiskan waktunya untuk belajar di berbagai pesantren yang
berada di bawah naungan Nahdhatul Ulama. Pada mulanya ia mondok
di Tegal Rejo Magelang (1957-1959). Selama di pesantren ini, Gus
Dur menunjukkan bakat dan kemampuan dirinya dalam bidang ilmu
agama Islam di bawah asuhan Kyai Khudari. Karena kesungguhan dan
kemampuannya yang luar biasa, Gus Dur hanya membutuhkan waktu
dua tahun untuk belajar di Pesantren Tegal Rejo tersebut.18
Sedangkan
santri lainnya pada umumnya menghabiskan waktunya selama satu
16
Abudin Nata, op.cit, h. 340. 17
“Perjalanan Pendidikan Gus Dur”, Republika, Kamis, 31 Desember 2009. 18
Abudin Nata, loc.cit, h. 340.
56
tahun. Kiai Khudari memberikan banyak pengalaman dalam berbagai
hal, tidak hanya masalah agama, tetapi juga bidang sosial dan budaya.
Gus Dur pun sangat terkesan terhadap kiai tersebut.19
Selain itu, dari tahun 1959-1963, Gus Dur menimba ilmu di
Muallimat Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur. Gus
Dur menjadi santri di pondok tersebut selama kurang lebih empat
tahun.20
Setelah itu ia mondok di Pondok Pesantren Krapyak,
Yogyakarta, dan tinggal di rumah seorang tokoh NU terkemuka, K.H.
Ali Maksum. Bersama K.H. Ali Maksum, Gus Dur belajar bahasa
Arab dan ilmu agama. Gus Dur melihat bahwa K.H. Ali Maksum
adalah seorang kiai berpengetahuan luas dan terkenal sebagai kiai
yang egaliter. Saat itu, kemampuan bahasa Arab semakin pesat dan
aktif.21
c. Pendidikan di Timur Tengah
Pada 1963, Gus Dur mengambil beasiswa untuk belajar di
Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Awalnya, Gus Dur bersemangat
melaksanakan studi di negeri “sungai Nil” tersebut. Namun, Gus Dur
menjadi kecewa karena perlakuan yang memasukannya di kelas
pemula (semacam sekolah persiapan) bersama para calon mahasiswa
yang belum mempunyai pengetahuan tentang bahasa Arab. Bahkan,
ada mahasiswa asal Afrika yang sama sekali tidak tahu abjad Arab,
apalagi menggunakan dalam percakapan. Atas kekecewaan itulah,
hampir sepanjang tahun 1964, Gus Dur tidak masuk kelas.22
Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi
perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS), dan toko-
toko buku. Di tempat itu, Gus Dur menemukan buku tentangg John F.
19
Abdul Wahid Hasan, op.cit, h. 115. 20
Greg Barton, op.cit, h. 53. 21
Abdul Wahid Hasan, loc.cit., h. 114. 22
Greg Barton, loc.cit., h, 88.
57
Kennedy, novel-novel, serta buku-buku lain tentang sejarah, filsafat
dan musik. Jika tidak membaca di perpustakaan Universitas Amerika
di Kairo, Gus Dur pergi ke perpustakaan Universitas Kairo atau di
perpustakaan Prancis. Ia membaca buku apa saja dan di mana saja.
Saat berangkat ke Kairo, Gus Dur juga telah membawa buku-
buku penting yang pernah dibacanya ketika masih berada di Jawa,
seperti karya Karl Marx dan Lenin. Ia juga mendiskusikan isi buku
tersebut di kedai-kedai kopi dengan teman-teman mahasiswa atau para
cendekiawan yang ada di sana, di Kairo. Gus Dur juga mencintai karya
sastra Arab, termasuk sastra Eropa. Gus Dur membaca prosa dan puisi
karya Edgar Allan Poe dan John Donne. No Man is an Island, karya
John Donne, adalah puisi yang sebagian besar masih dihafal oleh Gus
Dur.23
Meski cukup kecewa dengan keadaan di Al-Azhar, ada kondisi
yang menguntungkan bagi Gus Dur. Saat itu, Mesir berada di bawah
pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasionalis yang
dinamis. Hal tersebut membawa Mesir ke masa keemasan bagi kaum
intelektual. Kebebasan mengeluarkan pendapat mendapat
perlindungan yang cukup. Ini menjadi momen yang sangat
mengasyikkan bagi seorang Gus Dur yang memang sedang
mengembangkan dunia intelektualitasnya. Selain itu, sebagai seorang
muslim muda yang memiliki rasa ingin tahu yang amat tinggi dan
datang dari Jawa dengan kepekaan sufistik mengenai masa silam,
Kairo secara luar biasa merupakan kota yang penuh pesona sebagai
tempat tinggal.24
Karena merasa tidak puas dengan sistem pengajaran di Al-Azhar
tersebut, maka pada tahun 1966-1970 ia meninggalkan Kairo untuk
23
Ibid., h. 90-91. 24
Ibid., h. 89.
58
melanjutkan studinya di Fakultas Seni Universitas Baghdad. Selama
belajar di Universitas Baghdad inilah, Gus Dur merasa puas dan telah
menenmukan apa yang sesuai dengan panggilan jiwanya yang
modernis. Perkuliahan di Universitas Baghdad ini ia tempuh dengan
menyelesaikan strata 2 (S2). Namun sebelum ia menempuh ujian
tesisnya, Profesor pembimbingnya meninggal dunia, sehingga ujian
tesisnya itu tidak dapat dilanjutkan.25
Di Universitas Baghdad inilah ia mengenal karya-karya tokoh
terkenal Emil Durkheim, bahkan selama di perpustakaan Universitas
Baghdad inilah, ia menemukan informasi sejarah yang lengkap tentang
Indonesia. Selain itu, ia juga berkesempatan membaca karya-karya
sastra dan budaya Arab serta filsafat dan pikiran sosial Eropa.26
Dengan demikian, selama di Baghdad, Gus Dur mempunyai
pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota “seribu satu
malam” ini, Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak
didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama, Gus Dur kembali
bersentuhan dengan buku-buku besar karya orientalis Barat. Gus Dur
menekuni hobinya dengan membaca hampir semua buku yang ada di
Universitas. Di luar kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-
makam keramat para wali, termasuk pusara Syekh Abdul Qadir al-
Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Gus Dur juga menggeluti
ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang
diikuti oleh jamaah NU. Di sinalh, Gus Dur menemukan sumber
spiritualitasnya.
Kondisi politik yang terjadi di Irak saat itu juga turut
mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur.
Kekagumannya kepada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya
25
Abudin Nata, op.cit, 341. 26
Ibid.
59
kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur
ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri, tewas terbunuh.27
Selama tiga tahun di Baghdad, Gus Dur juga mengembangkan
kemampuan berbahasa. Gus Dur belajar bahasa Prancis di Pusat
Kebudayaan Prancis yang ada di Baghdad. Sebelumnya, Gus Dur
sudah bisa membaca buku berbahasa Prancis dan bercakap-cakap
dalam bahasa tersebut dengan cukup baik.28
Di Baghdad, Gus Dur
juga berkenalan dengan Ramin, seorang yang berasal dari komunitas
kecul Yahudi Baghdad di Irak. Gus Dur sering berdiskusi dengan
Ramin, yang merupakan pemikir liberal dan terbuka. Dari diskusinya
dengan Ramin inilah, Gus Dur pertama kali mengenal tradisi
Yudaisme, pengalaman diaspora orang-orang Yahudi, termasuk
keprihatinan politik dan sosial orang-orang Yahudi yang hidup dalam
diaspora sebagai kaum minoritas yangs eringkali disiksa.29
Melalui berbagai karya ilmiah dalam berbagai bidang ilmu
agama dan ilmu modern itu, Gus Dur mulai tampil sebagai seorang
muslim yang modernis. Ia sudah mulai mengajukan gagasan tentang
perlunya penafsiran kembali ajaran Islam, serta mengubah pendidikan
dan pengajaran Islam yang sesuai dengan tantangan zaman dan
perkembangan ilmu pengetahuan. Selama belajar di Timur Tengah ini,
ia sempat menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Indonesia di Timur
Tengah yang berlangsung pada tahun 1967-1970.30
d. Pendidikan di Barat
Selepas di Baghdad, Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya
ke Eropa. Namun persyaratannya ketat, terutama dalam bahasa.
Misalnya, untuk masuk dalam kajian klasik Koln, harus menguasai
27
“Perjalanan Pendidikan Gus Dur”, Republika, Kamis, 31 Desember 2009. 28
Greg Barton, op.cit., h. 105. 29
Ibid., h. 109. 30
Abudin Nata, op.cit., h. 342.
60
bahasa Hebrew, Yunani atau Latin dengan baik, di samping bahasa
Jerman. Beragam persyaratan bahasa tersebut bisa dipenuhi oleh Gus
Dur. Akhirnya, yang dilakukan Gus Dur adalah melakukan kunjungan
dan menjadi pelajar keliling dari satu universitas ke universitas
lainnya. Kemudian, Gus Dur menetap di Belanda selama enam bulan
dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia
yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup di perantauan, dua kali
sebulan Gus Dur pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih
kapal tanker.31
Kegagalan studi di Eropa ini, menyebabkan Gus Dur
mengalihkan perhatiannya untuk studi di McGill Universitas, Montreal
Canada, dengan tujuan untuk dapat mempelajari pemikiran Islam
secara mendalam. Namun rencana untuk studi di Canada ini pun tidak
kesampaian. Akhirnya Gus Dur kembali ke Indonesia setelah terilhami
berita-berita menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.
Perjalanan keliling studinya Gus Dur berakhir pada 1971, ketika ia
kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan baru, sekaligus
sebagai perjalanan awal kariernya.32
Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut.
Buktinya, pada 1979, Gus Dur ditawari belajar ke sebuah universitas
di Australia guna mendapatkan gelar doktor. Namun, maksud yang
baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup
dan menganggap Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut.
Memang, dalam kenyataannya, beberapa disertasi calon doktor dari
Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi,
31
Abdul Wahid Hasan, op.cit., h. 119. 32
Abudin Nata, op.cit., h. 342.
61
dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang
akademik.33
3. Perjalanan Karir Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Sekembalinya ke Indonesia, Gus Dur kembali ke pesantren milik
kakeknya. Karena kemampuannya dalam bidang ilmu agama Islam dan
ilmu pengetahuan umum lainnya, maka pada tahun 1972-1974, ia diangkat
menjadi dosen dan sekaligus menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuludiin
Universitas Hasyim Asy‟ari, Jombang. Selanjutnya pada tahun 1974
hingga 1980, ia juga diberi amanat oleh pamannya, K.H. Yusuf Hasyim,
untuk menjadi sekretaris umum pesantren Tebu Ireng, Jombang. Dalam
waktu yang bersamaan dengan jabatannya di pesantren tersebut, pada
tahun 1979 dan seterusnya, ia juga sudah mulai melibatkan diri secara
aktif dalam kepengurusan Nahdatul Ulama dengan jabatan sebagai Katib
Awal Syuriah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama.
Sembari meniti karir organisasi keagamaan di NU, Gus Dur juga
merintis Pesantren Ciganjur. Gus Dur juga kerap terlibat dalam berbagai
diskusi serta berdebat mengenai masalah agama, sosial, dan politik dengan
berbagai kalangan lintas agama, suku, ras, dan beragam disiplin ilmu
pengetahuan. Ranah terjangnya tak hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan
sosial-keagamaan, tetapi juga meluas hingga mengantarkannya menjadi
ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1983. Bahkan pula menjadi
ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986 dan 1987.
Posisinya sebagai DKJ sempat mendapatkan cibiran dari sejumlah
kalangan pada saat itu.34
Kiprahnya di PBNU selama empat tahun membuatnya mendapatkan
kepercayaan memimpin NU. Pada tahun 1984, Gus Dur ditunjuk secara
33
Abdul Wahid Hasan, loc.cit., h. 119. 34
Ahmad Nurcholis, Peace Education & Pendidikan Perdamaian Gus Dur, (Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2015), h. 144-145.
62
aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-„aqdi yang diketuai KH. As‟ad
Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan Ketua Umum PBNU pada
Muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali ia raih pada
Muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, pada 1989. Jabatan
sebagai Ketua Umum PBNU dilepas ketika suami Shinta Nuriyah ini
menjabat sebagai Presiden ke-4 RI. Gus Dur menjadi Presiden pada 1999-
2001.
Di samping melakukan kegiatan dalam bidang sosial politik
sebagaimana tersebut di atas, Gus Dur juga banyak melakukan kegiatan
dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Pada tahun 1973
misalnya, ia pernah menjadi konsultan pada Lembaga Pendidikan,
Penelitian dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Selanjutnya
pada tahun 1983, ia mendirikan Perhimpunan Pengembangan Pesantren
dan Masyarakat (P3M); tahun 1980-1983 ia juga duduk sebagai Anggota
Pertimbangan Agha Khan Award untuk Arsitektur Khan di Indonesia;
tahun 1983-1985 ia terpilih sebagai Dewan Kesenian Jakarta (DKJ); tahun
1986 ia diangkat sebagai Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI)
sebanyak dua kali; pada tahun 1989 ia dinyatakan sebagai tokoh 1989
versi Surat Kabar Pikiran Rakyat dan tokoh 1990 versi Majalah Editor.
Selanjutnya pada tanggal 16 Maret 1991 ia juga mendirikan Forum
Demokrasi (Fordem) Jakarta. Setelah itu pada tahun 1994 ia diangkat
sebagai Penasihat The International Dialogue Foundation Project on
Perspective Studies and Secular Law di Den Haag. Kemudian pada tahun
1992 ia mendirikan Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), kemudian
dinyatakan sebagai Tokoh Terpopuler tahun 1999 versi Surat Kabar
Harian Umum Kompas.35
35
Abudin Nata, op.cit., h. 344.
63
4. Karya-Karya Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Selain sebagai aktivis di berbagai kegiatan, Gus Dur juga seorang
intelktual yang produktif. Dasar-dasar keilmuan yang di peroleh secara
otodidak dengan membaca berbagai buku menyebabkan Gus Dur menjadi
orang yang kaya dengan berbagai teori dan ilmu pengetahuan.
Ketekunannya melakukan refleksi terhadap persoalan hidup yang terjadi,
baik dalam diri, keluarga, terutama masyarakat, baik di Indonesia ataupun
luar negeri, baik yang terjadi pada kalangan muslim ataupun non-muslim,
telah melahirkan berbagai tulisan yang sangat beragam. Yang paling
banyak berbentuk kolom atau artikel dan essai.
Gus Dur memang tidak menulis sebuah tema secara utuh menjadi
sebuah buku. Karya-karyanya yang sudah diterbitkan menjadi buku
merupakan kumpulan tulisan di berbagai media yng diedit orang lain. Di
antara yang sudah diterbitkan adalah sebagai berikut:
a. Muslim di Tengah Pergumulan (1981)
b. Kiai Menggugat, Gus Dur Menjawab; Sebuah Pergumulan
Wacana Dan Transformasi (1989)
c. Kiai Nyentrik Membela pemerintah (1997)
d. Tabayun Gus Dur (1998)
e. Tuhan Tidak Perlu Dibela (1999)
f. Mengurai Hubungan Agama dan Negara (1999)
g. Islam, Negara, dan Demokrasi; Himpunan Percikkan
Perenungan Gus Dur (1999)
h. Prisma Pemikiran Gus Dur (2000)
i. Melawan Melalui Lelucon (2000)
j. Menggerakkan Tradisi, Essai-Essai Pesantren (2001)
k. Pergualatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (2001)
64
l. Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era
Lengser (2002)
m. Gus Dur Bertutur (2005)
n. Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006)
o. Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia, Transformasi dan
Kebudayaan (2007)
p. Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat (2007)
q. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (2009)
r. Membaca Sejarah Nusantara (2011)
s. Sekadar Mendahului (2011)
Selain itu, masih ada beberapa tulisan (artikel atau makalah) yang
belum diterbitkan, di antaranya sebagai berikut:36
a. Development by Developing Ourselves, makalah seminar “The Duty
Days on ASEAN Development Processes and Their Effect on People”,
di Penang Malaysia, 22-25 November 1979;
b. Islam in a Democratic State: A Lifelong Search, Pengantar Buku “A
Celebration of Democracy” karya Asrori S. Karini (editor);
c. Islam and Pancasila: Development of a Religious Political Doctrine
in Indonesia, makalah “Dialogue Group Religious Belief: The
Transformation and Development Doctrine”, di Seoul, 25 Agustus
1990;
d. Principle of Pesantren Education, makalah pada “The Pesantren
Education” seminar, Berlin, 9-12 Juli 1987;
e. Islam, The State And Development In Indonesia, makalah dialog
nasional bersama Muchtar Buchori di LIPI, pada tahun 1980-1981;
f. Islam in Indonesia; Challenge and Future Prospects, 14 Maret 1985.
36
Abdul Wahid Hasan, op.cit., h. 122.
65
Ini semua menandakan bahwa Gus Dur adalah sosok yang snagat
produktif di tengah-tengah kesibukannya yang sangat padat dalam
melayani umat. Hampir tidak ada waktu istirahat yang cukup dalam
kehidupannya.
5. Penghargaan yang Diterima Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Di antaranya sebagai berikut:
a. Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya
mengembangkan hubungan antar agama di Indonesia, pada tahun
1993;
b. Penghargaan honoris causa bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan
dari Pemerintah Mesir, pada tahun 1991;
c. Penghargaan doktor honoris dari Universitas Jawaharlal Nehru, India,
pada tahun 2000;
d. Honoris causa bidang perdamaian dari Soka University, Jepang, padza
tahun 2000;
e. World Peace Prize Award dari World Peace Prize Awarding Council
(WPPAC), Seoul, Korea Selatan, pada tahun 2003;
f. Global Tolerance Award dari Friens od The United Natios, New York,
pada tahun 2003;
g. Doktor honoris causa dalam bidang Philosophy in Law dari
Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, pada tahun
2000;
h. Doktor honoris causa dalam bidang ilmu hukum dan politik, ilmu
ekonomi, dan manajemen, dan ilmu humaniora dari Universitas Paris I
(Pantheon-Sorbonne) pada tahuan 2000;
i. Penghargaan kepemimpinan global (The Global Leadership Award)
dari Columbia University, September 2000;
66
j. Doktor honoris causa dari Asian Institute of Technology, Thailand,
tahun 2000;
k. Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001;
l. Doktor honoris causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul,
Korea Selatan, 21 Maret 2000;
m. Medals of Valor, sebuah penghargaan bagi personal yang gigih
memperjuangkan pluralisme dan multikulturalisme, diberikan oleh
Simon Wieshenthal Center (yayasan yang bergerak di bidang
penegakkan HAM dan toleransi antar-umat beragama), New York.
B. Pembahasan
1. Tujuan Pendidikan Islam Perspektif Abdurrahman Wahid
Visi Departemen Pendidikan Nasional sebagai elemen penyelenggara
bidang pendidikan adalah sebuah agen pencerdasan, pembudayaan dan
pemberdayaan bangsa yang efektif, efisien dan akuntabel dalam proses
transformasi Indonesia menuju peradaban modern yang canggih, madani
dan unggul. Visi ini selaras dengan tujuan pembentukan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dan sarat
dengan spirit perubahan menuju peradaban modern yang berdaya saing
dalam dinamika perkembangan zaman.
Pada hakikatnya tujuan Pendidikan Islam adalah mencerdaskan akal
dan membentuk jiwa yang Islami, sehingga akan terwujud sosok pribadi
Muslim sejati yang berbekal pengetahuan dalam segala aspek kehidupan.
Tujuan kurikulum dan pendidikan Islam adalah membekali akal dengan
pemikiran dan ide-ide yang sehat, baik itu mengenai aqaid (cabang-cabang
67
kaidah) maupun hukum. Islam telah memberikan dorongan agar manusia
menuntut ilmu dan membekalinya dengan pengetahuan.37
Dalam hal ini, penulis melihat bahwa Gus Dur telah menawarkan
beberapa konsep mengenai tujuan pendidikan Islam:
a. Pendidikan Islam Berbasis Modernisme
Dalam makalah yang ditulis Gus Dur pada Konferensi Islam
Internasional mengatakan bahwa
Modernisasi pendidikan Islam adalah salah satu pendekatan
untuk penyelesaian jangka panjang atas berbagai persoalan
umat Islam di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu,
modernisasi pendidikan adalah suatu yang penting dalan
melahirkan suatu peradaban Islam yang modern yang sesuai
dengan perkembangan zaman.38
Menurut Gus Dur, “Pendidikan Islam haruslah memadukan
sesuatu yang tradisional dan modern. Gus Dur berusaha
menyintesiskan kedua pendidikan ini, yakni pendidikan Islam
klasik dengan pendidikan Barat modern yang tidak melupakan
esensi ajaran Islam”.39
Gus Dur berusaha konsisten
mempertahankan nilai-nilai lama (klasik) yang baik, namun tetap
melihat ke depan dan mengadopsi pemikiran Barat modern yang
sangat relevan dengan Islam sehingga melahirkan pandangan
yang modernisme untuk melihat pesan nilai Al-Qur‟an dan
sunnah.
Lanjutnya, Gus Dur juga perlu adanya pembaruan dalam
pendidikan Islam,
37
Abdurrahman Al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, (Surabaya: Al-
Izzah1996), h. 25. 38
Ninik Masruroh dan Umiarso, Modernisasi Penddiikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2011), h. 107. 39
Greg Barton, Op.Cit, h. 138.
68
Pembaharuan pendidikan Islam dan modernisasi pendidikan
Islam, dalam bahasa Arab “Tajdid al-tarbiyah al-Islamiah
dan al-hadasah. Dalam liputan istilah pertama, tentu saja
ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum
muslimin harus dididik mengenai ajaran-ajaran agama
mereka. Yang diubah adalah cara penyampaiannya kepada
peserta didik, sehingga mereka akan mampu memahami dan
mempertahankan “kebenaran”. Bahwa hal ini memiliki
validitas sendiri, dapat dilihat pada kesungguhan anak-anak
muda muslimin terpelajar, untuk menerapkan apa yang
mereka anggap sebagai “ajaran-ajaran yang benar” tentang
Islam.40
Kemudian Gus Dur melihat bahwa inti dari pendidikan Islam
tidak hanya proses di institusi pendidikan formal saja tetapi juga
penanganan lingkugan peserta didik yang perlu diperhatikan,
Demikian juga, semangat menjalankan ajaran Islam,
datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah,
antara berbagai komponen masyarakat Islam. Dengan kata
lain, pendidikan Islam tidak hanya disampaikan dalam ajaran-
ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama atau madrasah
belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama
yang berserak-serak di seluruh penjuru dunia. Tentu saja,
kenyataan seperti itu tidak dapat diabaikan di dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam di negeri manapun. Hal ini
yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin
di mana-mana, adalah respon umat Islam terhadap “tantangan
modernisasi.41
Sejalan dengan pemikiran Gus Dur, Azyumardi Azra juga
menegaskan pendidikan Islam lebih dari transfer ilmu
pengetahuan saja,
Pendidikan Islam diharapkan tidak hanya sebagai sarana
transmisi kepengetahuan (transmission of Islamic knowledge)
saja tetapi juga sebagai sarana pemeliharaan tradisi Islam
(maintenance of Islamic tradition) dan mencetak generasi
yang berkarakter Islami (reproduction of Islamic
characterized people). Pada poin kedua, peran pendidikan
40
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h.
225. 41
Ibid.
69
dinilai sebagai cara para peserta didik dan mengetahui dan
mempertahankan kebudayaan dan tradisi Islam dan poin
ketiga dinilai pendidikan mampu mencetak peserta didik yang
berketerampilan disertai dengan karakter Islam yang tertanam
dari proses pembelajaran pendidikan Islam.42
Gus Dur pun berusaha untuk melihat peta perkembangan
pendidikan Islam di berbagai daerah, artinya perkembangan
pendidikan Islam di setiap daerah memiliki permasalahan yang
berbeda,
Pendidikan Islam tentu harus mampu “meluruskan” responsi
terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran pada hal
itu justru belum ada dalam pendidikan Islam saat ini. Hal
inilah yang mengkhawatirkan banyak kalangan termasuk
penulis, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban yang
benar atas pernyataan berikut: “bagaimanakah caranya
membuat kesadaran struktural sebagai bagian alamiah dari
perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita
harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai
tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi
pendidikan Islam itu sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah,
yang mau tak mau harus ditangani dengan baik.43
Selain itu, pendidikan akhlak dan moral semakin diabaikan.
Dengan demikian, banyak sarjana dengan berbagai gelar, tapi
tidak memiliki etika dan moral. “Bahkan gelar doktor pun
diperjualbelikan”. Atas dasar itu lah pendidikan harus mampu
menyerap berbagai kondisi masyarakat luas dan harus
dikembangkan atas dasar nilai-nilai kemasyarakatan yang
perlahan mulai terlupakan.
Syamsun Ni‟am menuliskan mengenai perkembangan
modernitas,
Modernisme yang ditandai dengan kemenangan logika
positivistik-rasionalistik di segala bidang kajian keilmuan,
baik ilmu-ilmu kealaman maupun sosial sekarang mulai
42
Azyumardi Azra dan Jamhari, Mencetak Muslim Modern, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2006), h. 13. 43
Abdurrahman Wahid, Op.Cit., h. 226.
70
digugat oleh banyak orang. Ternyata, logika positivistik-
rasionalistik dengan slogannya yang terkenal bahwa ilmu itu
bebas nilai atau netral yang berarti bahwa nilai-nilai apa pun
yang ada dalam masyarakat tidak boleh mempengaruhi
perkembangan ilmu pengetahuan yang digunakan orang
sebagai pisau bedah di segala bidang kajian, kurang
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, apalagi nilai-nilai
agama. Hal ini akan membahayakan kehidupan manusia itu
sendiri apabila foundamental structure dengan logika di atas
dibiarkan terus berkembang. Oleh karena itu, wajar bila
modernisme ini mulai dipertanyakan kembali keabsahannya
oleh banyak orang dengan memunculkan ide baru yang
berupa posmodernisme pada dasawarsa 1990-an.44
Lanjutnya, dengan melihat perkembangan modernitas di atas
Syamsun Ni‟am berharap bahwa pendidikan Islam mampu
mengikuti perkembangan zaman terutama perkembangan dunia
pendidikan yang sangat dinamis. Sehingga pendidikan Islam
diharapkan mampu memecahkan masalah sosial, seperti
dekadensi moral peserta didik yang semakin merosot.
b. Pendidikan Islam Berbasis Pembebasan
Pada hakikatnya, manusia terlahir ke muka bumi ini dalam
keadaan yang fitrah (suci). Dalam surat Al-Baqoroh ayat 30 yang
artinya “Sesungguhnya Aku menjadikan seseorang khalifah di
muka bumi,” adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah
dan khalifah fi al-ardh. Dengan ayat tersebut, M. Quraish Shihab
berpendapat bahwa “Maka salah satu misi pendidikan Islam
seharusnya dapat memberdayakan daya tubuh, daya hidup, daya
akal, dan daya kalbu”.45
Guna untuk mengemban amanah sebagai
wakil Tuhan di muka bumi, manusia lahir secara merdeka.
Manusia tidak ingin hidup dalam keterikatan yang membelenggu
ruang gerak atau bebas aktivitasnya. Pendidikan Islam yang
44
Syamsun Ni‟am, M.Ag, Arah Baru Pendidikan Islam, pengantar dalam Ninik Masruroh dan
Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2011), h. 22. 45
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Jakarta: Mizan, 1992), h. 281.
71
berpedoman pada Al-Qur‟an dan sunnah yang mengisyaratkan
secara tersirat mengenai kemerdekaan manusia dalam menjalani
kehidupan. Hal ini tentu kesadaran aktif akan pentingnya
pendidikan haruslah menjadi pegangan bagi diri manusia.
Paulo Freire mengkritik pendidikan yang tidak menggugah
kesadaran anak didik akan situasi penindasan. “Pendidikan yang
ditengarainya sebagai pendidikan model bank, hanya menumpuk
pengetahuan dalam kepala anak didik, dalam bentuk hafalan,
tetapi tidak bisa menggunakannya untuk mengubah situasi
penindasan”.46
Bagi freire, pendidikan harus memberikan akses
luas bagi siswa untuk belajar dan mengaktualisasikan dirinya
dengan apa yang sudah dipelajarinya, bukannya untuk mengekang
siswa yang nanti akan berdampak pada pola pikir siswa yang akan
tertutup.
Sudah menjadi keharusan bagi manusia mengenal dirinya dan
manusia adalah khalifah di muka bumi ini. Untuk mengenal
realitas diri sendiri dan realitas sosial yang ada di sekitar manusia,
tentu pendidikan sangatlah berperan dan berpengaruh terhadap
perkembangan dan pertumbuhan tiap-tiap pribadi daripada peserta
didik. Pendidikan, khususnya pendidikan Islam haruslah
multidimensi, dalam artian pendidikan Islam haruslah menjadi
suatu wadah yang pada satu sisi bergerak secara vertikal dan
membebaskan untuk peserta didik untuk menggali kreativitas dan
kemampuannya. Peserta didik bukan semata-mata hanya sebagai
objek, melainkan juga merupakan subjek pendidikan. Pendidikan
Islam harus mampu memayungi rasa toleransi dari berbagai
46
A. Sudiarja, Pendidikan Dalam Tantangan Zaman, (Yogyakarta: Kanisisus, 2014), h. 75
72
budaya, etnis, ras, dan agama sebagai roda sosial yang pada sisi
lain bersifat horizontal.
Seyogianya pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur, yaitu
pendidikan harus dapat memberikan rasa aman dan sejahtera bagi
sesama manusia. Pendidikan memberikan dampak yang
menjadikan manusia menjadi lebih baik dalam semua hal, tidak
hanya menjadikan manusia menjadi lebih mulia di hadapan Tuhan
tetapi juga menjadikan manusia lebih beradab dan sejahtera
terhadap sesama manusia. Hal demikian lah yang dimaksud
dengan hubungan horizontal pendidikan, yatiu pendidikan
memberikan dampak bagi sesama sesama makhluk atau disebut
dengan Islam rahmatan lil‟ aalamiin.47
Sesungguhnya, pemahaman terhadap pendidikan selaras
dengan jiwa ajaran Islam sebagai agama fitrah dan rahmat bagi
semesta alam. Islam melihat manusia sebagai makhluk secara fitri
telah mengandung unsur-unsur baik. Tugas agama adalah untuk
menjaga, memunculkan, dan mengembangkan kebaikan itu
sebagai agama rahmat bagi semesta alam.48
Manusia adalah makhluk yang merdeka, merdeka untuk hidup,
bertempat tinggal, bergama, dan berpendidikan. Manusia juga
berhak mengembangkan, membina, serta mengaktualkan seluruh
potensi yang dimilikinya. Manusia itu mampu berpikir tentang
kejadian apa yang dialaminya, sebagai makhluk paling sempurna
di muka bumi ini. Tentu saja, kebebasan bagi peserta didik itu
sangat penting, dalam artian kebebasan yang sarat dengan nilai-
nilai ajaran Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin di
tengah kemajemukan yang ada.
47
Ahmad Suaedy, Wawancara, Jakarta, 70 September 2017. 48
Andre‟e Feillard, dkk., Gus Dur (NU dan Masyarakat Sipil), (Yogyakarta: LkiS, 1997), h. 190.
73
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam berada dalam
atmosfer modernisasi dan globalisasi yang dituntut untuk mampu
memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Keberadaannya
diharapkan mampu memberikan kontribusi dan perubahan positif
yang berarti bagi perbaikan dan kemajuan peradaban umat Islam,
baik pada tataran intelektual teoretis maupun praktis. Pendidikan
Islam bukan hanya sekadar proses transformasi nilai moral untuk
membentengi diri dari ekses negatif globalisasi dan modernisasi,
melainkan yang paling penting adalah sebagaimana nilai-nilai
moral yang telah ditanamkan lewat pendidikan Islam tersebut
mampu berperan aktif sebagai penggerak yang memiliki power
pembebas dari tekanan dan himpitan keterbelakangan sosial
budaya, kebodohan, ekonomi, dan kemiskinan di tengah mobilitas
sosial yang begitu cepat.49
c. Pendidikan Islam Berbasis Kebhinekaan (multikulturalisme)
Bagi Gus Dur, pendidikan Islam memiliki banyak model
pengembangannyanya, menurutnya,
Pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran,
baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun pendidikan
non-formal seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Tak
terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak pendidikan
Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa ini.
Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya
melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan
madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan
Islam hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang
pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja ini menjadi tugas
berat para perencana pendidikan Islam. Kenyataan ini
menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan
Islam.50
49
Syamsun Ni‟am, Op.Cit., h. 23. 50
Abdurrahman Wahid, Op.Cit., h. 226.
74
Dengan melihat realitas sosial yang terus berkembang dan
berevolusi, khususnya di Indonesia yang mayoritas berpenduduk
muslim dan mempunyai potensi yang kuat tentang suatu
keragaman, seharusnya terdapat sebuah sistem dalam pendidikan
Islam yang berbasis multikulturalisme supaya mampu
mengakomodasi potensi yang ada sebagai salah satu kekayaan
bangsa. Oleh karena itu, sangatlah penting adanya pendidikan
Islam yang berbasis multikulturalisme sebagai tawaran pemikiran
solutif guna meminimalisasi berbagai tindakan kriminalitas yang
engatasnamakan agama, suku, dan tindakan-tindakan radikal yang
kurang bertanggung jawab. Dengan demikian, kesatuan umat
mampu tercapai dalam bingkai perbedaan, dan tidak serta merta
umat yang satu dengan yang lainnya dengan mudah truth calm
sebagai landasan pembenaran terhadap tindakan tindakan yang
radikal. Pendidikan Islam pun akan melahirkan rasa toleransi dan
penghargaan yang tinggi terhadap sesama manusia.
Kemudian Gus Dur membahas mengenai pendekatan
pendidikan Islam di Nusantara harus mengenai aspek pada
kekayaan budaya khas nusantara agar pendidikan Islam tetap
memiliki esensinya namun tidak menghilangkan jejak budayanya,
Pendekatan yang digunakan Gus Dur dalam menampilkan
citra Islam ke dalam kehidupan kemasyarakatan adalah
pendekatan sosio-kultural. Pendekatan ini mengutaman sikap
mengembangkan pandangan dan perangkat kultural yang
dilengkapi oleh upaya membangun sistem kemasyarakatan
yang sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai.
Pendekatan ini menyangkut kemampuan orang Islam untuk
memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa dan
bukan berusaha mamaksakan agendanya sendiri. Dengan
demikian, dalam proses transformasi pendidikan tidak hanya
lembaga pendidikan saja yang berperan aktif tetapi juga
lingkungan masyarakat juga harus mampu melihat dan
75
mencari jawaban yang tepat terhadap problema yang terjadi
saat ini.51
Karenanya, peta “keberagaman” pendidikan Islam seperti
dimaksudkan di atas, haruslah bersifat lengkap dan tidak
mengabaikan kenyataan sejarah, yang mempunyai hukum-
hukumnya sendiri. Mengembangkan keadaan dengan tidak
memperhitungkan hal ini, mungkin hanya bersifat menina-
bobokan kita belaka dari tugas sebenarnya yang harus kita pikul
dan laksanakan. Sikap mengabaikan keberagaman ini adalah sama
dengan sikap burung onta yang menyembunyikan kepalanya di
bawah timbunan pasir tanpa menyadari badannya masih tampak.
Karenanya jalan terbaik adalah membiarkan keaneka-ragaman
sangat tinggi dalam pendidikan Islam dan membiarkan
perkembangan waktu dan tempat yang akan menentukan.52
Pendidikan Islam dikatakan sesuai dengan kemanusiaan
hebat, karena pendidikan Islam memandang manusia secara
kaffah, artinya manusia dipandang sebagai makhluk Allah yang
diciptakan fii ahsani taqwiim, yaitu manusia yang bermasyarakat
adil, benar, harmonis, secara naluriyah mengakui Tuhan sebagai
pencipta, mengabdi kepada-Nya, cenderung ingin
memaksimalkan potensi pribadinya, bertanggungjawab kepada
sesama manusia dalam masyarakat dan umat, inign menemukan
rahasia dalam memelihara dan mengembangkannya untuk
kepentingan dirinya, orang tuanya, keluarganya, masyarakatnya,
bangsanya, bahkan umat manusia. Atas dasar nilai dan
51
Abdurrahman Wahid, Pribumusasi Islam, dalam Islam Nusantara, (Jakarta: LP Ma‟arif, 2015),
h. 15. 52
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, Op.Cit., h. 225.
76
karakteristik inilahia mengembangkan budaya dan peradaban
manusia sesuai dengan kapasitasnya.53
Demokratisasi pendidikan Islam memang tidak menuju pada
semua peserta didik mencapai hasil yang sama, melainkan secara
transparan memberi kesempatan padanya untuk memperoleh
kesempatan mengembangkan potensinya guna memperoleh ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan hidupnya.54
Maka, sangat memungkinkan bahwa dalam diri manusia
yang terdiri dari akal, hati dan kekuatan, yang merupakan
kesatuan yang tak dapat dipisahkan dapat menghasilkan karya
yang tercipta oleh masing-masing budaya tertentu guna sebagai
identitas dan revitalisasi keragaman budaya. Terkhusus
pendidikan, pendidikan diharapkan mampu membawa perubahan
yang lebih baik namun juga selaras dengan kerangka budaya yang
membentuk tatanan sosial budaya di masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan merupakan ujung tombak bagi
perubahan masyarakat yang lebih baik yang seharusnya didasari
dengan prinsip dinamis. Pluralisme dan multikulturalisme
menjadi warna yang selalu ada dalam kehidupan masyarakat
terutama dalam pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan dapat
mencakup tujuan perubahan wawasan pengetahuan siswa dan
memgang teguh keragaman yang ada dan itu menjadi tugas
seluruh individu yang ada.
2. Kurikulum Pendidikan Islam Perspektif Abdurrahman Wahid
Dalam proses pembelajaran bagi peserta didik, Gus Dur melihat
bahwa pendidikan yang diterapkan tidak hanya pada materi-materi yang
53
Muhtarom, HM, Pendidikan Islam di Tengah Permgumulan Budaya Kontemporer, dalam
Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam, (Semarang: Rasail, 2010), h. 285. 54
Ibid., h. 286.
77
diajarkan saja, tetapi juga pada pola kehidupan yang mendukung bagi
perkembangan peserta didik lebih optimal.
Dalam hal ini, Gus Dur dalam suatu kesempatan menulis makalah
yang dalam makalah itu Gus Dur melihat pondok pesantren dari berbagai
sudut. Pondok pesantren sebagai “lembaga kultural” yang membawakan
simbol-simbol budaya Jawa; sebagai “agen pembaharuan” yang
memperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan (rural development);
sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of community learning);
dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang
bersandar pada silabi, yang dibawakan oleh intelektual profolik Imam
Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuti lebih dari 500 tahun yang lalu, dalam
Itmam al-Dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok
pesantren selama ini, dengan pengembangan “kajian Islam” yang terbagi
dalam 14 macam disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini, dari nahwu
(tata bahasa Arab klasik) hingga tafsir al-qur‟an dan teks hadits Nabi.
Semuanya dipelajari dalam lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah
lembaga pendidikan Islam. Melalui pondok pesantren juga nilai keislaman
ditularkan dari generasi ke generasi.55
Sudah tentu, penularan seperti itu merupakan titik sambung
pengerahuan tentang Islam secara rinci, dari generasi ke generasi. Di satu
sisi, ajaran-ajaran Islam formal dipertahankan sebagai sebuah “keharusan”
yang diterima kaum muslimin di berbagai penjuru dunia. Tetapi, di sini
juga terdapat "benih-benih perubahan”, yang membedakan antara kaum
muslimin di sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya dari kawasan
lainnya, penulis pernah mengajukan sebuah makalah kepada Universitas
PBB di Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang perlu adanya “studi kawasan”
tentang Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya Afrika Utara dan
55
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, Op.Cit., h. 223.
78
negeri-negeri Arab, budaya Islam di Asia Tenggara dan budaya minoritas
muslimin di kawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area
studies) ini diteliti bersamaan dengan kajian Islam klasik (classiccal
Islamic studies).56
Melalui makalah yang berjudul “Principles of Pesantren Education”,
Gus Dur memaparkan pandangannya tentang pesantren, yaitu:
Technically, a pesantren is “a place where santri live”. This
phrase denotes the most important feature of pesantren, i.e. a
total education environment in the fullest sense. A pesantren is
similar to a military academy or a cloister in the sense that those
taking part in it experience an exposure to totality. Compared to
the partial educational environment offered by the present-day
Indonesian public school system, which acts as the „general
education structure‟ of the nation, the pesantren is a unique
culture in it.57
Kutipan Gus Dur di atas lebih menekankan pengertian pesantren
pada ciri yang paling utama dari pesantren itu sendiri, yakni
lingkungan pendidikan yang total. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan perbedaan antara lembaga pendidikan pesantren dengan
lembaga pendidikan sekolah umum yang menjadi role dari kultur
pendidikan bangsa Indonesia pada umumnya dewasa ini.
Kajian seksama terhadap pandangan Gus Dur tentang pesantren
menegaskan bahwa pesantren memiliki dua fungsi, yaitu fungsi
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dan fungsi pesantren
sebagai sarana informasi. Fungsi kedua dari pesantren ini pada
dasarnya menjadi bagian tak terpisahkan dari fungsi pesantren sebagai
56
Ibid., h. 224. 57
Abdurrahman Wahid, “Principles of Pesantren Education” (1988), dalam Manfred Oepen
dan Wolfgang Karcher, The Impact of Pesantren in Education and Community Development in
Indonesia, (Jakarta:P3M), h. 197.
79
lembaga pendidikan Islam. Dengan kata lain, kedua fungsi pesantren
tersebut bersifat integrated.58
Berdasarkan pandangannya tentang pesantren di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pesantren dapat dilihat dari dua sudut pandang,
yakni dari fungsi pendidikan dan fungsi kemasyarakatan. Sebuah
gambaran yang jelas dapat diperoleh untuk mengidentifkasi kekhasan
pesantren terkait dengan peran subkulturnya dalam masyarakat.
Pesantren memiliki kelengkapan nilai, bangunan sosial, dan tujuan-
tujuannya sendiri sehingga pesantren menjadi dunia tersendiri yang
berbeda dari dunia lainnya. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang
sistemik, pesantren memiliki tujuan, nilai dan berbagai unsur yang
bekerja secara terpadu satu sama lain dan tidak terpisahkan.59
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren memiliki asal-usul
tradisi keilmuan yang dapat dilacak pada perkembangan ilmu-ilmu
keislaman sejak ilmu-ilmu keislaman itu lahir dalam masyarakat Islam
untuk pertama kali. Selanjutnya Gus Dur menjelaskan pengaruh
Hellenisme terhadap tradisi keilmuan Islam di dalam perkembangan
sejarahnya yang menjadi mata rantai dari asal-usul tradisi keilmuan di
pesantren. Ketika kota Jundishapur sebagai pusat ilmu pengetahuan
kedokteran Hellenistik menyerah kepada tentara Islam (tahun 636),
Akademi Jundishapur dibiarkan tetap hidup sehingga kota tersebut
tetap menjadi pusat ilmu pengetahuan bahkan setelah pemerintahan
Baghdad memboyong ahli-ahlinya dan tradisi intelektualnya ke kota
Islam yang baru. Unsur-unsur tradisi Hellenisme Yunani yang sesuai
dengan semangat universalisme Islam diserap sehingga menjadi
58
Abdurrahman Wahid, ”Manfaat Koperasi bagi Pesantren dan Lembaga Pendidikan Islam”
(1976), dalam Hairus Salim H.S., Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS,
2001), h. 157. 59
Abdurrahman Wahid, Pesantren dan Pengembangan Watak Mandiri (1977), dalam Bunga
Rampai Pesantren, h. 126.
80
bagian dari tradisi keilmuan Islam pada abad ke-7 M sampai ke-13 M
yang turut mewarnai peradaban Islam. Tradisi keilmuan Islam tersebut
menjadi rangkaian berkesinambungan dari asal-usul tradisi keilmuan
di pesantren.60
Menurut Gus Dur, tradisi keilmuan yang fiqh-sufistik yang
didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumenal, termasuk ilmu-ilmu
adab (humanistik) dibentuk oleh kitab kuning. Tanpa kitab kuning
dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual di Indonesia
agaknya tidak akan bisa keluar dari kemelut sufi ekstrim dan fiqh-
ekstrim. Gus Dur berpendapat bahwa kitab kuning yang telah dipakai
selama berabad-abad sebagai rujukan umum di pesantren merupakan
salah satu elemen yang membentuk pesantren sebagai sebuah
subkultur. Tradisi akademik pesantren tidak dapat dipisahkan dari
kitab kuning yang menjadi text books, references, dan kurikulum
dalam sistem pendidikan pesantren.61
Berkenaan dengan kurikulum pesantren, Gus Dur menjelaskan
urgensi standardisasi kurikulum pesantren, signifikansi perumusan
model-model kurikulum pesantren, dan rumusan kurikulum pesantren.
Gus Dur menggunakan istilah “penyeragaman” kurikulum untuk
menjelaskan urgensi standardisasi kurikulum pesantren.62
Standardisasi kurikulum bagi pesantren menjadi kebutuhan yang
mendesak. Pengembangan pesantren mustahil dapat direncanakan dan
dilakukan manakala pesantren tidak memiliki standar tertentu dalam
kurikulumnya. Eksistensi kurikulum baku menjadi kerangka pijakan
bagi pesantren dalam menyediakan buku-buku pelajaran yang standar,
60
Abdurrahman Wahid, ”Manfaat Koperasi bagi Pesantren dan Lembaga Pendidikan Islam”
(1976), dalam Hairus Salim H.S., Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS,
2001), h. 158-159. 61
Affandi Mochtar, Membedah Diskursus Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalimah, 2001), h. 37. 62
Abdurrahman Wahid, Standarisasi Sarana Ilmiah di Pondok Pesantren (1978), dalam Bunga
Rampai Pesantren, h. 147.
81
pengembangan program sektoral pesantren, seperti kepramukaan dan
sebagainya, dan pemberdayaan fungsi-fungsi kemasyarakatan
pesantren. Sebagai lembaga pendidikan Islam, model kurikulum yang
digunakan pesantren menjadi barometer kualitas pelaksanaan
pendidikannya. Pengembangan pesantren tidak bisa mengabaikan
komponen pendidikan ini.
Kepentingan pembuatan model-model kurikulum itu adalah
untuk menyediakan tingkatan ilmiah minimal bagi pengetahuan agama
di pondok pesantren. Dengan terciptanya tingkatan minimal itu,
pondok pesantren bersangkutan dapat memasukkan unsur-unsur
pendidikan non-agama ke dalam kurikulumnya, tanpa membahayakan
kelestarian tugas pondok pesantren sebagai pengemban ilmu-ilmu
agama yang dilandasi oleh ketiga unsur iman, Islam dan ihsan. Salah
satu penghambat utama bagi penerimaan mata pelajaran non-agama
(umum) di beberapa pondok pesantren adalah ketakutan akan
hilangnya fungsi ilmu agama. Padahal, tanpa ilmu agama yang
tertuang dalam kurikulum yang bulat, alumni yang akan dihasilkan
ditakutkan tidak memiliki kelengkapan semua unsur ilmu agama.
Karena itu, prasarana utama dan model kurikulum yang dibakukan
haruslah berupa terwakilnya semua unsur ilmu afama secara minimal
di dalamnya.63
Azra juga menambahkan bahwa pesantren juga harus
bermetamorfosa ke arah yang lebih modern atau terbaru. Hal ini
menurutnya bahwa tantangan globalisasi satu pihak dan kebutuhan
menciptakan SDM yang unggul merupakan dilemma yang dihadapi
oleh pesantren. Di kalangan peantren sendiri, setidaknya sejak
dasawarsa telah muncul kesadaran untuk mengambil langkah-langkah
63
Ibid., h. 148.
82
tertentu guna meningkatkan kualitas SDM yang mampu menjawab
tantangan dan kebutuhan transformasi sosial (pembangunan). Dari
sinilah timbul berbagai ekperimen, baik dalam bentuk perubahan
kurikulum pesantren yang lebih berorientasi kepadan “kekinian” atau
dalam bentuk kelembagaan baru semacam “pesantren pertanian”, atau
sekolah-sekolah umum di lingkungan pesantren, dan sebagainya.64
Rumusan organisasi kurikulum yang dibuat oleh Gus Dur juga
mendeskripsikan ruang lingkup (scope) kurikulum atau materi
pelajaran yang harus dicakup, urutan (sequence), dan distribusi waktu.
Kurikulum standar pesantren yang diperkenalkan Gus Dur dengan
mengacu kepada ketentuan-ketentuan penyusunan kurikulum dapat
dijadikan sebagai model dalam merumuskan kurikulum pendidikan di
pesantren, di antaranya sebagai berikut:
a. Pemberian waktu terbanyak dilakukan kepada unsur nahwu-
sharaf dan fiqih, karena kedua unsur ini masih memerlukan
ulangan (tikrar), setidak-tidaknya untuk separoh dari masa
berlakunya kurikulum.
b. Mata pelajaran lainnya hanya diberikan selama setahun tanpa
diulang pada tahun-tahun berikutnya.
c. Kalau diperlukan, pada tahun-tahun terakhir dapat diberikan
buku-buku utama (kutubul muthowwalah) seperti Shahih
Bukhari atau Shahih Muslim untuk hadits atau Ihya‟ untuk
tashawuf. Dalam keadaan demikian pejalaran setahun hanya
dipusatkan pada penguasaan buku utama tersebut yang
64
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:
Logos, 2002), h. 50.
83
diajarkan selama beberapa kali dalam sehari hingga selesai
secara keseluruhan dalam satu tahun saja.65
Selain sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren juga sebagai
sub-kultur. Untuk melihat kehidupan pesantren sebagai sub-kultur
dapat dipahami dari tulisan Gus Dur lain yang berjudul “Pesantren
Sebagai Sub-kultur”.
“Pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana
dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya. Pesantren adalah
sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari
kehidupan di sekitarnya. Dalam lingkungan fisik yang
demikian ini, diciptakan semacam cara kehidupan yang
memiliki sifat dan ciri tersendiri dimulai dengan jadwal
kegiatan yang memang menyimpang dari pengertian rutin
kegiatan masyarakat sekitarnya.”66
Menurutnya, sebuah kultur dapat disebut sebagai subkultur
manakala mempunyai tiga kriteria, yaitu keunikan dalam cara hidup
(uniqueness of way of life), pandangan hidup yang khas (uniqueness of
worldview), dan hirarki kekuasaan intern yang ditaati sepenuhnya
(authority hierarchy obeyed absolutely). Kriteria-kriteria ini pula yang
ditemukan oleh Mahbub Djunaedi dalam dunia kaum hippies yang
menganut life pattern, mores, dan internal authority.67
Pesantren juga dikatakan subkultur karena pesantren memiliki
kekhasan tersendiri yang tentu berbeda dengan institusi pendidikan
lain, seperti hubungan antara kyai dengan santri, di mana hubungan
tersebut bukan hanya dalam pembelajaran saja, tetapi juga dalam
kehidupan sehari-hari yang mana guru selalu mengawasi dan mendidik
65
Ibid., h. 150. 66
Abdurrahman Wahid,” Pesantren Sebagai subkultur”, dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren
dan Perubahan, (Jakarta: LP3ES, 1983), h. 40. 67
Ibid., h. 43.
84
para santri setiap waktu. Juga, hubungan hubungan kyai dengan santri
layaknya seperti konseling.68
Gus Dur juga berpandangan bahwa ada tiga elemen yang dapat
membentuk pesantren sebagai subkultur. Tiga elemen tersebut adalah
sebagai berikut:
a) Pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri
Kepemimpinan kyai-ulama di pondok pesantren adalah
sangat unik karena memakai sistem kepemimpinan pra-
modern. Relasi sosial antara kyai-ulama santri dibangun atas
landasan kepercayaan, bukan karena patron-klien sebagaimana
dilakukan masyarakat pada umumnya. Ketaatan santri pada
kyai-ulama lebih dikarenakan mengharapkan barakah (grace),
sebagaimana dipahami dari konsep sufi. Tetapi, itu bukan
hanya satu-satunya sumber kepemimpinan pra-modern. Sebab,
sebelum tradisi pondok pesantren muncul ada tradisi Hindu-
Buda yang juga mempraktikkan hubungan guru-murid
sebagaimana yang dilakukan pondok pesantren. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Sidney Jones di Kediri
beberapa waktu silam, dinyatakan bahwa ada faktor eksternal
yang mempengaruhi hubungan kyai-ulama santri sehingga
mengarah pada pola patron-klien dengan memposisikan kyai-
ulama sebagai “ibu pondok pesantren” yang memperoleh
keuntungan dari a province wide, dan mendapatkan pengaruh
dalam sektor ekonomi dan kepemimpinan politik. Melalui
kyai-ulama yang lain, ia bisa mendelegasikan kepadanya untuk
mengurusi sektor kemasyarakatan. Berangkat dari hasil
penelitian itu, muncul macam-macam tipe kyai-ulama dalam
68
Ahmad Suaedy, Wawancara, Jakarta, 70 September 2017.
85
pondok pesantren yang sama dan kyai-ulama yang paling
sepuh adalah pemegang otoritas penuh dalam kepemimpinan
pondok pesantren.69
Bagaimanapun juga, sisi kepemimpinan kyai-ulama yang
dimiliki itu sangat penting. Selain berkaitan dengan problem
bagaimana seorang kyai-ulama harus memperhatikan relasinya
dengan masyarakat, pada dimensi lain ia juga harus mengikuti
kyai-ulama sepuh di dalam lingkungan pondok pesantren itu.
Di sini, kita harus menguji sejauh mana kepemimpinan kyai-
ulama dari perspektif pendidikan. Dalam masalah ini muncul
faktor yang sangat penting, yaitu syarat bahwa dalam tradisi
Islam seorang kyai-ulama adalah pemegang ilmu-ilmu agama
doktrinal. Tugas ini tak dapat dilimpahkan kepada masyarakat
umum, karena berhubungan dengan kepercayaan bahwa ulama
adalah pewaris Nabi. Maka, dengan landasan itu lah yang
kemudian dijadikan framework dalam proses pengajaran ilmu
agama yang dikembangkan di pondok pesantren secara turun
temurun.
Dengan kata lain, pola kepemimpinan yang ada pada
lembaga pendidikan Islam yang masih tradisional, cenderung
mengarah pada pola kepemimpinan kharismatik, di mana
pengaruh sang pemimpin lebih ditekankan pada garis
keturunan para pendiri lembaga tersebut. Serta pada umumnya
berlaku sistem kepemimpinan yang bersifat religio-feodal,
yaitu nilai-nilai feodalistik yang dibungkus dengan baju
keagamaan. Sehingga, dalam lingkungan pendidikan
69
Abdurrahman Wahid, dalam prolog “Pesantren Masa Depan”, (Bandung: Pustaka
Hidayah,1999), h. 14.
86
tradisional, peran kyai yang dominan terefleksi pula dalam
masalah pengelolaan dana dan lembaga.70
b) Kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai
abad.
Elemen kedua dari pondok pesantren adalah memelihara
dan mentransfer literatur-literatur umum dari generasi ke
generasi dalam berbagai abad, yang mengonstruksi secara
langsung “konsep unik” kepemimpinan kyai-ulama. Buku-
buku teks kuno menyatakan bahwa kontinuitas tradisi yang
benar memperhatikan ilmu-ilmu agama sebagaimana dipegangi
oleh masyarakat muslim dan imam-imam besar di masa
lampau. Inilah posisi konsep Ahl as-Sunnah untuk pondok
pesantren di masa depan.71
Menurut konsep ini, hanya ulama besarlah yang
mempunyai otoritas untuk menginterpretasi dua sumber pokok
Islam. Pondok pesantren adalah model utama bagi pencarian
pengetahuan masyarakat muslim. Dengan demikian, komunitas
pondok pesantren merupakan model yang harus diikuti oleh
masyarakat dalam mencapai pengetahuan. Yang demikian itu
adalah satu-satunya cara bagi ulama untuk mengabadikan
ajaran-ajaran Islam sebagai etika sosial kemasyarakatan,
setelahruntuhnya konsep politik hak-hak masyarakat muslim
pada masa lalu. Dalam ilmu pendidikan, aturan dalamteks-teks
klasik yang dikenal dengan Kitab Kuning (yellow book)
dimaksudkan untuk membekali para santri dengan pemahaman
warisan yurisprudensi masa lampau atau jalan kebenaran
70
Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy‟ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h. 145. 71
Ibid., h. 16.
87
menuju kesadaran esoteris ihwal status penghambaan
(„ubudiyah) di hadapan Tuhan, tetapi juga dengan tugas-tugas
masa depan dalam kehidupan masyarakat.
c) Sistem nilai (value) yang digunakan masyarakat luas
Elemen ketiga ini merupakan keunikan sistem nilai.
Degan bertumpu pada pemahaman literal tentang ajaran Islam,
dalam kenyataan praktis (tajribi), sistem nilai tidak bisa
dipisahkan dari elemen yang lain, yakni kepemimpinan kyai-
ulama di satu sisi dan penggunaan literatur umum yang dipakai
di sisi lain. Sebagai sistem nilai yang holistik, nilai-nilai yang
diestimasi pondok pesantren didasarkan pada ajaran-ajaran
agama secara formal yang berkembang selama berabad-abad.
Framework sistem nilai pondok pesantren yang diderivasi dari
doktrin-doktrin barakah merupakan pancaran dari kyai-ulama
dan santri. Kepercayaan bahwa pengawasan kyai-ulama pada
santri akan mempermudah penguasaan ilmu agama yang benar
(right religious sciences) merupakan dasar dari sistem nilai
ini.72
3. Metodologi Pendidikan Islam Perspektif Abdurrahman Wahid
Kata metode di sini diartikan secara luas. Oleh sebab itu, kata ini dapat
didefinisikan dengan prosedur umum dalam penyampaian materi untuk
mencapai tujuan pendidikan yang didasarkan atas asumsi tertentu tentang
hakikat Islam.
Mengenai metode pendidikan Islam, Gus Dur sebenarnya tidak
memakai aturan-aturan yang baku namun Gus Dur mencoba
menggunakan metode pembelajaran yang disesuaikan dengan keadaan
atau kondisi para murid baik kondisi psikologis dan kondisi sosiologis
72
Ibid., h. 17.
88
siswa. Gus Dur mulai mengajar sepulang dari perjalanannya menimba
ilmu di Timur Tengah dan Eropa. Di antara metode pendidikan Islam
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Metode Qishah
Metode ini digunakan oleh pendidik dengan bercerita suatu
kejadian untuk diresapi peserta didik, atau peserta didik disuruh
bercerita sendiri dengan mengammbil tema-tema materi kisah ajaran
Islam yang perlu diresapi dan diteladani.73
Metode ini dalam
pendidikan Islam menggunakan paradigama Al Qur‟an dan Hadis
Nabi sehingga dikenal istilah “kisah Qur‟ani dan kisah Nabawi”.74
Selama mengajar, Gus Dur berusaha menyampaikan materi
pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi siswa. Dalam hal ini,
Gus Dur sering bercerita mengenai kisah-kisah yang dapat diteladani
oleh siswa baik kisah-kisah Islami ataupun kisah-kisah sejarah. Hal
tesebut dilakukan karena menurut Gus Dur, dengan melihat sejarah
kita dapat mengetahui hal-hal yang belum terungkap sekaligus sebagai
sarana untuk memperbaiki diri dan mempersiapkan diri kita untuk
masa depan yang lebih baik lagi. Itu lah salah satu fungsi mempelajari
kisah atau sejarah.
Dalam pembelajaran, Gus Dur sering sekali menyampaikannya
dengan cara yang humoris. Hal demikian karen Gus Dur ingin suasana
pembelajaran berlangsung santai dan nyaman sehigga siswa merasa
nyaman di kelas dan pada akhirnya siswa memahami pembelajaran
dengan baik. Selain berfungsi mencairkan suasana, penyampaian yang
humor dapat menstimulus siswa untuk berpikir rasional karena siswa
berusaha untuk menyimak cerita yang disampaikan dengan logika
untuk menjawab cerita yang disampaikan.
73
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 139-140 74
Armai Arief, op.cit., h. 163
89
b. Metode Ta‟lim al-Kitab
Metode ini merupapakan upaya membelajarkan sumber pokok
ajaran Islam Al Qur‟an dan Sunnah baik lewat membaca maupun
menerjemahkannya.75
Salah satu metode pembelajaran yang Gus Dur
lakukan adalah dengan Ta‟lim al-Kitab, hal ini karena Gus Dur ingin
siswa atau santri mempelajari materi atau teori berdasarkan sumber
aslinya lalu Gus Dur menyampaikannya disesuaikan dengan kondisi
siswa atau santri. Dengan demikian, siswa mengetahui dasar
pengetahuan yang mereka pelajari dan memiliki suber yang dapat
dipertanggungjawabkan.76
c. Metode Ibrah atau Mau‟izah
Metode ini dilakukan dengan menyajikan bahan pembelajaran
yang bertujuan melatih daya nalar pembelajar dalam menangkap
makna terselubung dari suatu pernyataan atau kondisi psikis yang
menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang dapat disaksikan.
Sementara itu, metode mau‟izah adalah pemberian motivasi dengan
menggunakan keuntungan dan kerugian dalam melakukan perbuatan.
Dalam proses pembelajaran, Gus Dur berusaha menyampaikan
pembelajaran yang bersifat kritis dan terkadang memiliki pesan
tersirat. Hal ini dilakukan karena Gus Dur ingin siswa dapat
memahami suatu makna tidak hanya bersifat tekstual dalam buku atau
kitab saja tetapi juga siswa mampu memahami pesan yang tersirat.
Misalnya dalam materi tasawuf Al-Ghazaly, beliau menyesuaikan
bahasa dan maknanya dengan kemampuan siswa tetapi juga ada hal
yang mana siswa harus pahami pembelajaran tersebut secara tersirat,
75
A. Fatah Yasin, op.cit., h. 151 76
Ahmad Suaedy, op.cit.
90
hal itu tentu dapat dilakukan siswa jika siswa mempelajarinya dengan
sungguh-sungguh.77
4. Strategi Pendidikan Islam Perspektif Abdurrahman Wahid
a. Strategi Sosial Politik
Strategi ini menekankan kebutuhan sosial untuk menjelaskan
butir-butir formalisasi pendidikan Islam ke dalam lembaga negara
melalui usaha legal-formal yang terus menerus dilakukan pada
sebagian pergerakan Islam. Lebih disukai lagi kalau hal itu dilakukan
secara eksplisit melalui partai Islam atau partai politik bagi kaum
muslim di masa mendatang. Untuk mengantisipasi perkembangan ini,
masyarakat muslim harus mendidik dirinya dengan moral Islam yang
benar dan menjadikan Islam sebagai way of life bagi dirinya dan
masyarakat sekitarnya. Dalam konteks ini, bagi mereka, gerakan
Islamisasi hukum Islam harus diberi prioritas.78
Dalam strategi ini, pendidikan Islam tidak hanya sekedar
menginstruksikan siswa untuk memahami dan mempertanyakan isu-
isu sosial namun juga sekaligus melakukan sesuatu yang penting
berkenaan dengan isu tersebut.79
Misalnya dalam pembelajaran
pendidikan Islam mengangkat masalah konflik-konflik keagamaan
akibat adanya perbedaan atau pertentangan cara pandang dari berbagai
individu atau kelompok tertentu, maka siswa secara intelektual tidak
hanya perlu memahami masalah tersebut namun juga bagaimana siswa
mampu menghadapi dan terampil memecahkan masalah sesuai dengan
kemampuan dan pembelajaran yang telah dipelajari siswa.
77
Ahmad Suaedy, Wawancara, 07 September 2017. 78
Abdurrahman Wahid, dalam prolog Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka
Hidayah,1999), h. 22. 79
Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga), h.
110
91
Menurut penulis, strategi ini bertujuan untuk melatih siswa
untuk peka atau sadar dengan keadaan baik yang sudah atau sedang
terjadi yang nantinya siswa mampu mengambil hikmah atas kejadian
tersebut. Strategi ini juga memudahkan siswa untuk bisa melihat
contoh yang nyata, sehingga siswa tidak selalu memahami materi
secara tekstual saja tetapi juga siswa terampil merelevansikan teori
(tekstual) dengan keadaan (kontekstual).
b. Strategi Kebudayaan
Strategi kebudayaan dimodifikasi bagi perkembangan individu
muslim yang sudah dewasa melalui perkembangan cakrawala
pandang, mempertebal ruang lingkup komitmen, dan memperdalam
kesadaran akan kompleksitas lingkungan manusia dan kekuatan
solidaritasnya dengan menghayati proses kejadian manusia tanpa
memperhatikan ideologi politik, etnis, budaya, dan kepercayaan
agama. Sikap untuk mendapatkan objek-objek itu merupakan
perkembangan sikap rasional kaum muslim dalam menghadapi
perubahan kehidupan. Strategi ini menekankan dialog terbuka (open
dialogue) dengan semua ideologi dan pikiran filsafat dengan tujuan
untuk mempertajam seluruh bentuk pengetahuan dan informasi
semaksimal mungkin. Sikap ini, secara praksis, menghindarkan
seluruh pendidikan Islam dari usaha-usaha formalisasi, mempersempit
mereka dengan sikap eksklusifnya dan langkah-langkahnya, dan
menghambat kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan pemikiran
liberal yang diukur dengan strategi ini. Yang demikian ini adalah ide-
ide sekular; hanya bentuk pemerintahan yang cukup objek sajalah akan
menjamin kebebasan.80
80
Ibid..
92
Dalam strategi kedua ini, penulis melihat Gus Dur berusaha
untuk memberikan akses terbuka akan perbedaan pandangan baik bagi
individu atau kelompok tertentu. Pendidikan seyogianya mampu
menyelaraskan teori dengan kebudayaan suatu tempat tertentu.
Pendidikan tidak hanya memberikan dampak perubahan pada diri
peserta didik menjadi lebih baik namun juga pendidikan bisa menjadi
salah satu cara untuk melihat dan menghargai budaya yang ada.
Dengan demikian, pendidikan juga menjadi sarana siswa untuk
melestarikan budaya nenek moyangnya. Pendidikan memang
mengalami perubahan secara signifikan saat ini, tapi juga memberikan
dampak yang begitu besar perubahannya dalam kehidupan manusia.
Peserta didik seakan diajak untuk melihat keadaan pada masa yang
akan datang dan mengajak peserta didik untuk melihat akar sejarah
budayanya sehingga peserta didik tidak meninggalkan budayanya
berasal namun juga memiliki orientasi positif ke depan.
c. Strategi Sosial Kebudayaan
Strategi sosial kebudayaan melihat kebutuhan sosial untuk
mengembangkan framework kemasyarakatan dengan menggunakan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam. Lembaga-lembaga yang
dilahirkan dari strategi ini tidak menjadi institusi yang eksklusif, tetapi
berupa institusi umum yang diterima oleh seluruh masyarakat. Dengan
bahasa lain, framework sosial yang dikembangkan oleh masyarakat
muslim harus selaras dengan perkembangan oleh masyarakat
umumnya. Transformasi sosial yang fundamental akan dapat
direfleksikan di tengah-tengah masyarakat dengan usaha-usaha
masyarakat sendiri. Memformalkan pendidikan Islam bukan
merupakan proses transformasi, melainkan hanya membentuk suatu
masyarakat di mana kaum muslim harus mengimplementasikan
keyakinannya, baik sebagai etika individual meupin etika sosial.
93
Mengenai institusi politik yang dicita-citakan, strategi ini
menginginkan pembentukan komunitas politik yang para warganya
menegakkan hukum, kemerdekaan mengeluarkan pendapat,
mengembangkan demokrasi, memeratakan kesejahteraan, dan
sebagainya. Strategi ini dipakai dalam rangka mencapai objektivitas,
bukan dalam capaian jaringan politik. Tetapi gerakan budaya ini yang
membuat masyarakat sadar akan kapabilitas dirinya harus dilakukan
dengan usaha masyarakat sendiri. Institusi sosial yang dibuat akan
menjadi suatu budaya yang asli, sekalipun dengan ciri-ciri sosial
ekonomi yang diilhami oleh kesadaran politik akan kekuatan
masyarakat dalam mentransformasikan kehidupan dirinya.81
Dari pandagan Gus Dur tersebut, dapat dipahami bahwa
pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mengikuti
perkembangan zaman tetapi tidak meninggalkan akar budayanya.
Pendidikan dirasa sangat mampu untuk memberikan dampak yang
positif bagi kehidupan masyarakat setempat. Namun pendidikan juga
dapat diselaraskan dengan keadaan sosial-budaya yang ada. Dengan
melihat keadannya maka pendidikan Islam dapat mengikuti alur yang
sedang berkembang dengan melihat sosial-budaya sebagai akar
prinsipnya.
Pendidikan Islam menjadi jawaban bagi kebebasan dan
kesejahteraan bagi kemajemukan masyarakat. Lantaran demikian,
pendidikan Islam juga menjadi sara. Hal terakhir yang perlu
diperhatikan bersama adalah mengeratkan kooperatif stakeholder
pendidikan Islam. Pemerintah, institusi pendidikan, pendidikan
keluarga, dan juga masyarakat. Mereka adalah elemen yang harus
81
Abdurrahman Wahid, Op.Cit., h. 23.
94
mampu mengayomi jalannya proses pembelajaran bagi peserta didik,
sehingga cita-cita tujuan pendidikan Islam dapat tercapai dengan baik.
C. Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang
Pendidikan Islam Pada Era Sekarang
Melalui pemikirannya, Gus Dur melihat bahwa pendidikan Islam di
Indonesia saat ini masih dirasa belum terlihat dampaknya. Menurutnya,
pendidikan Islam bukan hanya menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah
saja tetapi juga melalui pendidikan Islam siswa diperkenalkan dengan nilai-
nilai keislaman yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari yang pada
akhirnya para peserta didik dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, pendidikan Islam juga merupakan wadah bagi peserta
didik dalam mencari jawaban persoalan-persoalan yang bersifat filosofis dan
isu-isu sosial karena dinamika masyarakat Indonesia yang kental dengan
aspeks sosial-budaya.
Berbicara tujuan pendidikan Islam, Gus Dur menegaskan bahwa
pendidikan Islam sangat bersinggungan sekali dengan kehidupan sosial
masyarakat sehingga pendidikan Islam diharapkan dapat menjadi jawaban
terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Gus Dur juga
melihat bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah cara manusia dalam
mengenali Tuhannya, dirinya dan alam sekitar. Dikatakan demikian karena
dengan pendidikan Islam siswa dapat memahami apa yang terjadi dan
mengenali potensi yang ada dalam dirinya. Pendidikan Islam seolah menjadi
cerminan jiwa bahwa dengan hasil pendidikan siswa dapat mengoptimalkan
dirinya menjadi lebih baik termasuk bakat yang ada dalam peserta didik.
Siswa diberikan akses yang bebas untuk mengenali dirnya dan lingkungannya
namun para pendidik dan stakeholder lainnya perlu bertanggung jawab dalam
mengawasi tumbuh kembangnya.
95
Kemudian mengenai kurikulum, Gus Dur berpandangan bahwa
kurikulum merupakan alat atau komponen penting dalam proses
pembelajaran. Seperti dalam pengertiannya, kurikulum adalah kerangka
substansi pembelajaran yang berisikan tujuan, materi, metode pembelajaran,
dan lainnya. Dalam pandangannya, pesantren merupakan institusi pendidikan
yang cocok diterapkan di Indonesia. Dilihat dari akar sejarahnya, pesantren
sudah ada sejak kerajaan Hindu dan Budha jauh sebelum Indonesia berbeda,
namun tentu ada perbedaan dengan pesantren yang dimaksud oleh Gus Dur,
artinya, pesantren sudah terlihat eksistensinya sejak lama sekali. Selain itu,
pesantren juga memiliki kaitan yang sangat erat dengan proses perkembangan
sosial dan budaya Indonesia terkhusus di Jawa. Pesantren secara tidak
langsung dinamakan dengan subkultur karena pesantren memiliki beberapa
unsur yang dikategorikan dalam subkultur, seperti keunikan materi yang
menggunakan kitab kuning, peran kyai dalam membangun santri dan
masyarakat sekitar pesantren, dan juga organsisasi yang terdapat lingkungan
pesantren. Dengan demikian, pesantren memiliki banyak aspek yang dapat
dikatakan paket lengakap dalam pengembangan kurikulum saat ini karena
terdiri dari komponen materi yang lengkap, struktur organisasi yang baik dan
memerikan peran bagi perkembangan masyarakat sekitar. Poin terakhir, Gus
Dur juga menyampaikan bahwa pesantren juga harus terus di upgrade
mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern sehingga pesantren
tidak hanya dipandang institusi pendidikan yang tradisonal saja tetapi juga
mampu menghasilkan output yang memiliki bekal yang baik.
Tentang metode pendidikan Islam, pada dasarnya Gus Dur tidak
memberikan aturan atau metode yang baku, karena menurutnya metode
merupakan cara penyampaian guru dalam pelmbelajaran namun yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana guru dapat menyesuaikan dengan kondisi
peserta didik baik kondisi psikoslogis dan sosiologisnya. Landasan utama
dalam meggunakan metode pembelajaran menurut Gus Dur adalah sampainya
96
materi pembelajaran kepada siswa dengan baik. Siswa juga perlu diajak untuk
memahami yang bersifat kontekstual agar siswa terampil dalam memecahkan
masalah yang riil atau nyata. Dan yang paling penting adalah dalam proses
pembelajaran seorang guru harus memberikan materi yang berasal dari
sumber utama seperti kitab kuning. Hal demikian karena Gus Dur ingin siswa
tidak hanya memahami teori yang dipelajari di kelas saja tetapi juga
mengetahui dari mana teori itu berasal, sehingga siswa memiliki landasan
teori yang kuat. Demikianlah hal yang perlu diperhatikan seorang guru dalam
menerapkan metode pembelajaran.
Pada akhirnya, pendidikan Islam diharapkan menjadi tumpuan
terhadap kemajuan bangsa. Pendidikan Islam menjadi sarana untuk
memberikan pesan positif bagi perkembangan kehidupan manusia. Dengan
diajarkannya materi-materi pendidikan di sekolah maka siswa dapat benar-
benar mengkristalisasikan nilai-nilai luhur pendidikan Islam. Sebab dengan
pendidikan Islam lah siswa diajarkan mengenai nilai-nilai kehidupan yang
bernapaskan Islam. Dengan demikian, cita-cita dan hasil pendidikan Islam
dapat terealisasikan jika komponen-komponen pendidikan dilakukan dengan
baik dan juga kuatnya kerjasama guru dan stakeholder lainnya dalam
mengawasi dan mendidik perkembangan para peserta didik.
Poin terakhir yang penulis analisis adalah adanya relevansi antara visi
kurikulum pesantren yang digagas Gus Dur dengan kurikulum 2013 sekarang.
Letak persamaannya berada pada tujuannya, yaitu sama-sama mengedepankan
peran aktif peserta didik dalam mengembangkan aspek sikapnya baik aspek
spiritual dan aspek sosialnya. Di pesantren, santri dituntut untuk hidup
mandiri tanpa bantuan orang tua atau saudara dan juga displin yang cukup
tinggi sehingga santri terlatih dengan baik dalam prakteknya. Kemudian di
kurikulum 2013, aspek sikap ditekankan dalam proses pembelajarannya di
mana aspek sikap diletakkan pada KI 1 dan KI 2. Dengan begitu, kurikulum
2013 dikembangka untuk menciptkana peserta didik yang cakap dalam
97
sikapnya dan terkesan sikap yang baik lebih diutamakan dibanding aspek
pengetahuan.
98
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya
mengenai konsep pendidikan Islam menurut Abdurrahman Wahid, maka
penulis menyimpulkan poin-poin utama atas uraian tersebut. Di antaranya
sebagai berikut:
1. Pemikiran Gus Dur sangat relevan dengan dunia pendidikan,
khususnya pendidikan di Indonesia. Menurut Gus Dur, tujuan
pendidikan Islam adalah untuk memanusiakan manusia. Tujuan
tersebut saat ini mulai dikembangkan dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Artinya, dengan adanya pendidikan diharapkan manusia
bebas dan terarah dalam mengembangkan fitrah yang telah diberikan
Allah SWT pada dirinya. Manusia merupakan makhluk istimewa yang
diberikan akal oleh Allah SWT sebagai daya pikir, sehingga manusia
mampu melihat dan belajar hal-hal yang belum diketahui menjadi tahu
dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Mengenai kurikulum pendidikan Islam, Gus Dur melihat pendidikan
seyogianya tidak hanya mencakup transfer of knowladge saja, tetapi
juga mencakup transfer of value yang pada akhirnya dapat
pembentukan karakter baik pada peserta didik. Dalam proses
pendidikan yang ideal, Gus Dur melihat pesantren sebagai institusi
pendidikan Islam yang tepat diterapkan dalam pendidikan Islam di
Indonesia. Pesantren tidak hanya dipandang sebagai institusi
pendidikan yang menaungi santri (siswa) saja, tetapi juga dipandang
sebagai subkultur yang sangat berkaitan erat dengan perkembangan
99
sosial-kultural Indonesia terkhusus di Jawa. Dengan demikian,
pesantren mampu mempengaruhi perkembangan keilmuan keislaman
dan perkembangan perjalanan sosial budaya bagi masyarakat setempat
yang memberikan banyak sisi positif yang unik dan berbeda dengan
institusi pendidikan lainnya.
3. Dalam metode pendidikan Islam, Gus Dur lebih sering menggunakan
metode yang berkaitan dengan kemampuan nalar peserta didik di mana
peserta didik dilatih untuk bias memahami materi yang sampaikan
dalam pembelajaran. Dalam hal ini, metode yang digunakan adalah
metode Qishah, metode Ta‟lim al-Kitab dan metode Ibrah atau
Mau‟izah. Ketiga metode tersebut memiliki persamaan dalam
fungsinya yaitu melatih siswa untuk cakap mengambil atau memahami
pesan secara tersirat, hal tersebut bertujuan agar siswa cakap dalam
menghadapi kejadian-kejadian tertentu yang terjadi dalam kehidupan.
Hal terpenting dalam penyampaian metode adalah Gus Dur selalu
menyisipkan tak-tik humor dalam setiap penyampaiannya agar siswa
dapat merasa tenang dan santai selama pembelajaran sehingga siswa
dapat menerima pembelajaran dengan baik.
4. Strategi pendidikan Islam merupakan hal penting lainnya dalam
konsep pendidikan Islam. Strategi pendidikan Islam dimaksud sebagai
pendekatan pendidikan agar tersampaikan dengan baik pada peserta
didik. Strategi dalam pandangan Gus Dur ada tiga aspek, yaitu sosial-
politik, kebudayaan dan sosial-kebudayaan.
B. Implikasi
Pada bagian ini, sesuai dengan kesimpulan inti pada kajian skripsi
ini bahwa secra keseluruhan konsep pendidikan Islam perspektif
Abdurrahman Wahid adalah “mengintegrasikan keilmuan Islam klasik
dengan keilmuan yang modern”. Dengan alasan bahwa ilmu itu
merupakan rahmat dari Allah SWT yang harus dipelajari tanpa henti baik
100
dalam segala usia, tempat dan sumber keilmuan yang ada. Dengan
demikian, pendidikan Islam harus mampu direlevansikan konteks lampau
(klasik) dengan konteks sekarang (modern) dengan berdasarkan al-Qur‟an
dan Sunnah.
Dengan demikian, maka implikasi konsep pendidikan Islam
perspektif Abdurrahman Wahid adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya sama yaitu kembali
atau menghamba kepada Allah SWT sebagaimana tujuan
penciptaan manusia adalah demikian. Namun pendidikan Islam
juga harus memiliki tujuan yang harus benar-benar dirasakan
implikasinya kepada manusia itu sendiri. Pendidikan Islam
dapat membebaskan manusia baik secara pemikiran dan
badannya untuk bisa mengaktualisasikan ilmu yang dipelajari
namun sesuai dengan syari‟at Islam.
2. Kurikulum Pendidikan Islam
Bentuk kurikulum disesuaikan dengan keadaan yang ada,
artinya pembentukkan kurikulum harus direlevansikan baik
dengan keadaan social dan keadaan budaya setempat sehingga
kurikulum pendidikan Islam dapat mengikuti perkembangan
zaman namun tidak menghilangkan identitas sosial budaya di
Indonesia.
3. Metode Pendidikan Islam
Metode pendidikan Islam dapat dilakukan dengan berbagai
macam metode, baik yang telah ada atau pun inovasi baru
metode pembelajaran. Hal yang perlu diperhatikan adalah
seorang guru harus memahami dengan baik kondisi siswa secara
psikis dan sosialnya sehingga guru dapat menyampaikan
101
pembelajaran dengan baik dan siswa merasa nyaman selama
proses pembelajaran.
4. Strategi Pendidikan Islam
Strategi pendidikan Islam dipandang cukup penting karena
berbicara mengenai pendekatan yang perlu dilakukan dalam
proses pendidikan agar pendidikan Islam dapat berdampak
positif bagi siswa. Strategi pendidikan Islam harus selaras
dengan fitrah manusia itu sendiri yaitu kesucian lahir dan batin.
C. Saran
Alhamdulillahirobbil‟alamiin, berkat rahmat dan karunia Allah
SWT. Skripsi yang berjudul “Pemikiran Abdurrahan Wahid Tentang
Pendidikan islam” telah berhasil disusun. Dari kajian-kajian yang sudah
diuraikan pada bab sebelunya, maka secara umum saran-saran yang dapat
penulis kemukakan adalah sebagai berikut:
1. Abdurrahman Wahid merupakan salah satu tokoh yang sangat
dihormati atau sering disebut sebagai “Bapak Bangsa” berkat
kegigihannya dalam mempertahankan dan menerapkan nilai-nilai
Pancasila yang sempat meluntur di Indonesia.
2. Bagi umat Islam umumnya serta para pendidik di institusi sekolah
sangat dianjurkan untuk membaca dan menelaah buah
pemikirannya yang sudah sangat banyak di toko-toko buku.
Pemikirannya yang sangat luas dalam berbagai bidang sangat sarat
dengan makna yang dapat dikaji sehingga dapat menimbulkan
berbagai perspektif. Hal inilah salah satu ciri pemikiran Gus Dur
yang memang sangat membuka luas terhadap perbedaan
pandangan bagi para pembaca namun tetap dalam tataran koridor
yang berlaku.
3. Khusus bagi pemerintah yang memangku kebijakan untuk
mengatur pendidikan nasional sangat diharapkan untuk
102
mendukung dan menerapkan konsep-konsep pemikiran pendidikan
Gus Dur. Hal tersebut karena menurut penulis gagasan Gus Dur
mengenai pendidikan sangat tepat diterapkan di Indonesia, hal
demikian karena Gus Dur melihat bahwa pendidikan Islam tidak
hanya berbicara materi saja tetapi juga mampu menyesuaikan
kekhasan proses pembelajaran yang ada di suatu tempat tertentu
terkhusus di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baghdadi, Abdurrahman. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Surabaya:
Al-Izzah. 1996.
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Pt. RajaGRafindo Persada.
1998
Al-Zastrouw. Gus Dur, Siapa Sih Sampeyan? Tafsir Teoritis atas Tindakan dan
Pernyataan Gus Dur. Jakarta: Erlangga. 1999.
Ardy Wiyani, Novan dan Barnawi. Ilmu Pendiikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media. 2016
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Pers. 2002
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2010
Azra, Azyumardi dan Jamhari. Mencetak Muslim Modern. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006.
-----, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta:
Logos, 2002.
Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta:
Erlangga.
Barlette, Steve and Diana Burton. Introduction to Education Studies. London: SAGE
Publications Ltd. 2007
Barton, Greg. Biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid.
Yogyakarta: LkiS, 2011.
Basri, Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam. Jilid 2. Bandung:
Pustaka Setia. 2010
Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2009
Departemen agama RI, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. 2003
Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011.
Fatah Yasin, Ahmad. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang
Press. 2008
Feillard, Andre, dkk., Gus Dur (NU dan Masyarakat Sipil). Yogyakarta: LkiS, 1997.
Hasan Sulaiman, Fathiyah. Sistem Pendidikan Versi Al-ghazaly. Bandung: PT. Al-
Ma’arif, 1986
Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
1998
Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2001
Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru.
2008
M. Arifin, H. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2014. cet. 6, h.8
M. Noor, Rohinah. KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam.
Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010.
Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidian. Jakarta: Rineka cipta, 2007.
Masruroh, Ninik dan Umiarso. Modernisasi Penddiikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011.
Minarti, Sri. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2013.
Misrawi, Zuhairi Misrawi. Gus Dur Santri Par Excellence. Jakarta: PT Kompas
Nusatara. 2010
Mochtar, Affandi. Membedah Diskursus Pendidikan Islam. Jakarta: Kalimah, 2001.
Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Omar. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Islam di
Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2008
Muhajir, As’aril. Ilmu Pendidikn Perspektif Kontekstual. Jakarta: Ar-Ruzz Medi.,
2011
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenadamedia
Group, 2016. cet. 4
Naquib Al-attas, Syed, Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1999.
Nasution, S. Kurikulum dan Pengajaran. Bandung: Bumi aksara. 1989
Nata, Abudin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010
-----, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Raja grafindo Persada. 2012
-----, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
2001.
-----, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media
Group. 2009
-----, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 2005.
Niam Sholeh, Asrorun. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: ELSAS Jakarta. 2008
Niam, Syamsun, Arah Baru Pendidikan Islam, pengantar dalam Ninik Masruroh dan
Umiarso. Modernisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Nizar, Samsul. Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media
Pratama. 2001
Nurcholis, Ahmad. Peace Education & Pendidikan Perdamaian Gud Dur. Jakarta:
PT Gramedia.2015
Oetama, Jakob dan Yenny Zannuba Wahid. Damai Bersama Gus Dur. Jakarta: PT
Kompas Nusatara. 2010
Perjalanan Pendidikan Gus Dur, Republika, Kamis, 31 Desember 2009
Putra Daulay, Haidar. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Kencana. 2007
Qomar, Mujamil. Menggagas Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2014
Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: LkiS. 2009
S, Tatang. Ilmu Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2012
Shidiq, Sapiudin. Pendidikan Menurut Buya Hamka. Jurnal Pendidikan Agama Islam
(Vol. II, No. 2, Juli 2008.
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Jakarta: Mizan, 1992.
Soebahar, Abdul Halim. Wawasan Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
2002
Suaedy, Ahmad. Wawancara, Jakarta, 70 September 2017.
Sudiarja, A. Pendidikan Dalam Tantangan Zaman. Yogyakarta: Kanisisus, 2014.
Sugiono. Metode Penelitian Pendekatan Kueantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta, 2013.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ar-Ruzz Media. 2014
Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: AMZAH. 2009
Syaodih, Nana. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Tirtahardja, Umar dan S. L. La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
2012
Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia. 1997
Wahid Hasan, Abdul. Gus Dur Mengarungi Jagat Spiritual Sang Guru Bangsa.
Yogyakarta: IRCiSoD. 2015.
Wahid, Abdurrahman, Standarisasi Sarana Ilmiah di Pondok Pesantren (1978),
dalam Bunga Rampai Pesantren. CV. Dharma Bhakti.
-------, “Principles of Pesantren Education” (1988). Dalam Oepen, Manfred dan
Wolfgang Karcher. The Impact of Pesantren in Education and Community
Development in Indonesia. Jakarta:P3M.
-------, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara. 1999)
-------, Islamku, Islam Anda dan Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
-------, Manfaat Koperasi bagi Pesantren dan Lembaga Pendidikan Islam. Dalam
Salim, Hairus. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta:
LKiS, 2001.
-------, Pesantren dan Pengembangan Watak Mandiri (1977), dalam Bunga Rampai
Pesantren. CV. Dharma bhakti.
-------, Pesantren Masa Depan. Bandung: Pustaka Hidayah. 1999
-------, Pribumisasi Islam, dalam Islam Nusantara. Jakarta: LP Ma’arif, 2015.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: YP3A. 1973
Yunus, Muhammad. Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran. Jakarta: Hidakarya
Agung.
1
LAMPIRAN WAWANCARA
Objek Wawancara : Ahmad Suaedy
Direktur The Wahid Institute
Tempat : Gedung OMBUDSMAN, Jl. Rasuna Said, Kuningan,
Jakarta Selatan
Waktu : 07 September 2017 pukul 13:05-13:50
1. Pendidikan Islam menurut Gus Dur itu seperti apa?
Pendidikan pesantren itu punya sumber sendiri, punya sumber keilmuannya
yang komprehensif atau subkultur, pernah baca? Jadi subkultur yang menjadi
sistem sosial. Jadi, hubungan guru dengan murid dan nilai-nilai pesantren
dengan masyarakat dan lain sebagainya. Serta sumber-sumber keilmuan. Ada
tulisan beliau tentang latar belakang keilmuan pesantren atau sumber-sumber
keilmuan pesantren. Misalnya dari klasik gitu kan, dari turas itu juga secara
metode keilmuan yang sudah jadi. Misalnya metodologi pendidikan di MI
seperti madzhab empat fiqih, aqidah dan ushul fiqh dan lain-lain. Jadi, intinya
bahwa pesantren itu sebagai sub kultur bukan hanya hubungan guru-murid,
pesantren dengan masyarakat tetapi juga sebagai sumber keilmuan. Itu satu..
artinya, pendidikan pesantren punya ciri khas tidak bisa digantikan dengan
“madrasah” atau madrasah tersebut masuk pesantren. Yang kedua soal
kemandirian, Gus Dur juga pernah menulis kemandirian pesantren. Jadi,
kemandirian dalam hal pola hidup, aktivitas hidup seperti masak sendiri dan
sebagainya tapi juga belajar sendiri. Hubungan murid dengan kyai seperti
konsultan, santri itu harus belajar sendiri juga. Kalau sederhananya, kalau
anda di pesantren, kalau menghafal sesuatu kan anda ketemu kyai tinggal
2
setor, Alfiyah misalnya.anda gak ditungguin suruh ngafalin, kan ngagak kan.
Begitu juga soal keilmuan anda bisa baca itu pergulatan anda sendiri tapi juga
ada konsultasi selanjutnya. Tetapi juga kemandirian terjadi pada setelahnya.
Pada dasarnya santri itu harus kreatif istilahnya atau istilahnya set up.
Kemudian yang ketiga soal eksplorasi keilmuan, maksudnya Gus Dur
menganggap keilmuan klasik itu sekarang harus disesuaikan dengan dunia
sekarang atau kontekstualisasi. Misalnya, beliau pernah membagi dunia Islam
menjadi lima, kalau tidak salah. Ada Asia Tenggara dengan kekhasannya,
Afrika, dan lain-lain. Meskipun landasan sumber keilmuannya balik ke
belakang sana maka harus disesuaikan dengan keadaan sekarang. Seperti
Indonesia juga, atau disebut juga dengan Islam nusantara. Sebenarnya Gus
Dur secara eksplisit tidak pernah menyebut demikian, tetapi Indonesia
memiliki kekhasannya tersendiri. Jadi kontekstualisasi tidak diartikan secara
sempit, tapi juga arti luas di seluruh dunia secara konteksnya masing-masing.
Antara Indonesia, Malaysia, dan Mesir pasti berbeda.kita harus saling
memahami dan mengintervensi, kalau membandingkan untuk pembelajaran
itu boleh asal tidak saling menyalahkan. Nah kira-kira itu pokok pentingnya
menurut saya.
2. Kemudian bagaimana mengenai tujuan pendidikan Islam?
Tujuan pendidikan Islam inheren di dalamnya itu pertama tentu ada aspek
spiritualitas. Gus Dur pernah menyatakan konteksnya bisa lebih luas dari
politik. Tentunya tujuan pendidikan Islam itu ya Islam itu sendiri, kepasrahan
dan keselamatan. Jadi, hubungan spiritual antara manusia dengan Tuhan. Jadi,
orang yang makin punya itu makin pasrah bukan makin membesarkan diri.
Jadi, ada pengakuan terhadap keesaan Allah dan kepasrahan. Seperti beramal
merupakan salah satu bentuk kepasrahan kepada Tuhan. Kemudian yang
kedua, membimbing manusia pada keselamatan. Jadi, kalau tadi itu
hubungannya individual, tapi kalau membimbing keselamatan itu untuk
3
sosial. Nah, dalam hal ini sebenarnya tidak hanya untuk orang Islam saja
tetapi juga seluruh manusia atau yang disebut dengan Islam Rahmatan Lil
‘Aalamiin. Tujuan ini tentu saja untuk Islam, tetapi berdapak juga kepada
semua golongan. Lanjut yang ketiga adalah aspek kesejahteraan, terutama itu
terkait dengan rasa keadilan. Itu yang saya pahami.
3. Apa perbedaan pendidikan Islam dengan pendidikan di Barat?
Yang membedakannya itu adalah tujuannya tadi itu. Di Barat itu hampir tidak
ada nilai spiritualitasnya. Kalau Gus Dur tidak ada masalah sama sekali
dengan Barat, sebagaimana para ilmuan lainnya yang menerima gagasan
Barat. Tapi dengan penerimaannya itu Gus Dur juga mengkritisi juga
menganai kependidikan di Barat. Ya intinya, pendidikan Barat itu tidak
adanya unsur spirirtual, yang mana hubungan manusia dengan Tuhannya.
4. Lalu apa konsep kurikulum menurut Gus Dur?
Ya, tentang kurikulum mungkin agak susah didefiniskanya. Tapi kira-kira
bahwa setiap orang haru bisa berkembang sendiri. Tapi perkembangannya itu
harus didasari dengan nilai-nilai dasar Islam atau dasar-dasar keimanan. Yang
pertama itu mengenai dasar-dasar keimanan, kedua tentang ilmu tafsir dan
hadis, kemudian ilmu alat seperti Nahwu dan Shorof, ketiga ilmu bahasa juga
penting, lalu ada kependidikan kelingkungan yang tak kalah pentingnya.
Secara kurikulum, siswa itu harus dimandirikan dengan eksplorasi keilmuan.
Para ilmuan Islam seperti Imam Ghozaly, beliau itu sebenarnya lebih banyak
belajar sendiri. Berguru itu dalam arti simbolik yaa, tapi kan secara usaha
lebih banyak beliau mempelajari sendiri. Jadi perlu saya ulangi mengenai
uraian kurikulum tadi itu pertama penanaman nialai dasar keimanan,
kemudian ilmu alat, ilmu bahasa, ilmu tafsir dan hadis, dan terakhir
pendidikan kelingkungan.
4
5. Saya masih agak bingung untuk membahas metodologinya pak. Jadi
bagaimana tentang metodologi pendidikan menurut Gus Dur?
Kalau yang saya pahami, beliau mungkin tidak pernah menulis teori tentang
itu tetapi dia pernah melakukannya. Seperti dalam biogrfinya, sepulang dari
Mesir beliau mengajar dan dia berpegang pada kitab pokok atau dasar
kemudian dia kembangkan dengan keimuan yang dia miliki. Ini berkaitan
dengan metodologi mengajar. Jadi misalnya ilmu tasawuf Al-Ghazaly
kemudian dia ekspplorasi lebih dalam dan dilihat konteksnya juga. Gus Dur
memang tidak pernah ikut dalam menyusun kurikulum, seperti sekarang ini
kan kurikulum selalu berorientasi pada pemerintah. Tapi kira-kira dalam
pembelajaran bahan ajar harus berpegang pada sumber utama. Seperti dalam
ilmus Sosiologi, maka kita harus pelajari buku-buku mengenai ilmu sosiologi
yang paling dasar dan utama seperti buku penemu ilmu sosiologi itu sendiri,
siapa itu namanyaa... ya seperti itulah maksudnya. Kemudian metode
wetonan, yang dilakukan dengan cara para santri itu ngaji bertemu langsung
depan kyainya terus dibaca kitabnya sama kyai dan santri dengerin sambil
catet-catet di kitabnya. Terus ada bendungan, dan lain-lain. Kamu bisa baca
terkait maksud metode-metode tadi.
6. Dalam buku Pesantren dan Pembaharuan, saya membaca terdapat
tulisan mengenai strategi pendidikan sosial-politik. Kira-kira seperti apa
gambarannya ya pak?
Jadi maksudnya penentuan terhadap orientasi kurikulum bukan semata-mata
tentang teknis tapi mengenai penentuan materi ajar itu termasuk ketentuan
politik kan, politik pendidikan. jadi pertimbangannya penentuan siapa yang
paling valid atau mu’tabaroh. Jadi pendidikan tidak hanya soal teknis tetapi
juga soal startegi politis. Nah penentuan pendidikan juga harus disesuaikan
dengan sosial atau kemsayarakat yang bedasarkan moralitas. Jadi pendidikan
5
juga memiliki dimensi politik untuk menentukkan arah nilai pendidikan itu
sendiri.
Top Related