PEMENUHAN NAFKAH LAHIR DAN BATIN KELUARGA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Islam (S.H) Pada Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah)
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
MASNAENI
NIM: 105261100417
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSIHYAH)
FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
1442 H/ 2021 M
ii
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR Kantor:Jl. Sultan Alauddin No.259 (Menara Iqra’ lt. IV) Makassar 90221 Fax/ telp. (0411) 866972
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi saudara Masnaeni, NIM. 105261100417 yang berjudul “Pemenuhan Nafkah Lahir Dan Batin Keluarga Dalam Perspektif Hukum Islam” telah diujiankan pada hari sabtu 30 Dzhulkaidah 1442 H/ 10 Juli 2021 M, dihadapan tim penguji dan dinyatakan telah dapat diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, 30 Dzhulkaidah 1442 H 10 Juli 2021 M
Dewan Penguji,
Ketua : Dr. Amirah Mawardi, S.Ag., M.Si (................................)
Sekretaris : Dr. M. Ilham Muchtar, Lc., M.A (................................)
Penguji:
1. Dr. M. Ilham Muchtar, Lc., M.A (................................)
2. Hasan Bin Juhanis, Lc., M.S (................................)
3. Dr. M. Ali Bakri, S.Sos., M.P.d (................................)
4. Rapung, Lc., M.H.I (................................)
Disahkan Oleh:
Dekan FAI Unismuh Makassar
Dr. Amirah Mawardi, S.Ag., M.Si
NBM: 77423
iii
FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
Kantor:Jl. Sultan Alauddin No.259 (Menara Iqra’ lt. IV) Makassar 90221 Fax/ telp. (0411) 866972
BERITA ACARA MUNAQASYAH
Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar telah mengadakan sidang Munaqasyah pada Hari/Tanggal: Sabtu, 10 Juli 2021 M/ 30 Dzhulkaidah 1442 H Tempat : Kampus Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 259 (Gedung Iqra Lantai IV) Makassar.
MEMUTUSKAN
Bahwa Saudara
Nama : Masnaeni
Nim : 105261100417
Judul Skripsi : PEMENUHAN NAFKAH LAHIR DAN BATIN KELUARGA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Dinyatakan : LULUS Ketua Sekretaris
Dr. Amirah Mawardi, S.Ag., M.Si Dr. M. Ilham Muchar, Lc., M.A NIDN: 0906077301 NIDN: 0909107201 Dewan Penguji:
1. Dr. M. Ilham Muchar, Lc., M.A (...............................)
2. Dr. M. Ali Bakri, S.Sos., M.Pd (...............................)
3. Hasan Bin Juhanis, Lc., M.S (...............................)
4. Rapung, Lc., M.H.I (...............................)
Disahkan Oleh: Dekan FAI Unismuh Makassar
Dr. Amirah Mawardi, S.Ag., M.Si NBM: 77423
iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Judul Skripsi : Pemenuhan Nafkah Lahir dan Batin Keluarga Dalam Perspektif Hukum Islam
Nama : Masnaeni Nim : 105261100417 Fakultas/Prodi : Agama Islam / Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah)
Setelah dengan seksama memeriksa dan meneliti, maka skripsi ini dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diajukan dan dipertahankan di hadapan tim penguji ujian skripsi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, 30 Dzhulkaidah 1442 H 10 Juli 2021 M
Disetujui Oleh:
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. M. Ali Bakri, S.Sos., M.Pd Rapung, Lc., M.H.I NIDN: 0916077601 NIDN: 01091116
v
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR Kantor:Jl. Sultan Alauddin No.259 (Menara Iqra’ lt. IV) Makassar 90221 Fax/ telp. (0411) 866972
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Masnaeni
Nim : 105261100417
Jurusan : Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah)
Fakultas : Agama Islam
Kelas : B
Dengan ini menyatakan hal sebagai berikut:
1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai penyusunan skripsi, saya
menyusun sendiri skripsi saya ( tidak dibuatkan oleh siapapun).
2. Saya tidak melakukan penjiplakan ( Plagiat) dalam menyusun skripsi ini.
3. Apabila saya melanggar perjanjian seperti pada butir 1, 2, dan 3 maka
bersedia untuk menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.
Demikian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.
Makassar, 30 Dzhulkaidah 1442 H
10 Juli 2021 M
Yang membuat pernyataan
Masnaeni NIM: 105261100417
vi
ABSTRAK
Masnaeni, 105 261 100 417. Pemenuhan Nafkah Lahir Dan Batin Keluarga Dalam Perspektif Hukum Islam.Dibimbing oleh M. Ali Bakri dan Rapung.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bertujuan untuk: 1). mendeskripsikan dan menganalisis tentang konsep nafkah dalam perspektif hukum Islam 2). menganalisa pandangan ulama tentang tanggung jawab suami isteri dalam memenuhi nafkah keluarga.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) yakni penelitian yang menggunakan data literatur kepustakaan. Metode penelitiannya adalah kuantitatif deskriptif yakni metode pengumpulan data dengan mencari informasi dari literatur buku, yang bertujuan membentuk sebuah landasan teori dan kemudian dianalisa dengan data yang terkumpul, sehingga bisa diambil suatu kesimpulan.
Setelah melakukan analisis tentang konsep dan pandangan ulama tentang pemenuhan nafkah lahir dan batin maka perlu adanya kesadaran terhadap suami akan kewajibannya sebagai kepala keluarga. Al-Qur’an, hadis dan ijma’ pun mengemukakan tentang wajibnya seorang suami memberi nafkah kepada keluarganya. Kewajiban suami dalam memberikan nafkah kepada isterinya telah disepakati oleh para ulama (ijma’), bahwa wanita itu terkekang oleh pernikahan dan menjadi hak suaminya. Dan dia dilarang bekerja, untuk memenuhi kebutuhannya dilimpahkan kepada suaminya. Kepada pasangan suami isteri untuk selalu melakukan hak dan kewajibannya dengan baik serta saling memahami satu sama lain, kemudian kepada setiap anggota keluarga untuk selalu peduli dengan anggota keluarga yang sehingga terciptanya keluaga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Kata Kunci: Nafkah, Lahir, Batin, Keluarga, Hukum
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji atas kehadirat Allah swt dengan Rahmat dan Magfirah-Nya,
shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. Yang telah
membawa kita dari alam gelap gulita menuju alam yang terang benderang. Atas
Ridha-Nya dan doa yang disertai dengan usaha yang maksimal setelah melalui
proses yang panjang dan melelahkan akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.
Keberadaan skripsi ini bukan sekedar persyaratan formal bagi penulis
untuk mendapat gelar sarjana, tetapi lebih dari itu juga merupakan wadah
pengembangan ilmu yang didapat dibangku kuliah. Dalam mewujudkan ini,
penulis memilih judul “Pemenuhan Nafkah Lahir Dan Batin Keluarga
Dalam Perspektif Hukum Islam”. Semoga dengan adanya skripsi ini dapat
memberi informasi dan dijadikan referensi terhadap pihak-pihak yang menaruh
minat pada masalah ini. Dalam mengisi hari-hari kuliah dan penyusunan skripsi
ini, penulis telah banyak mendapat bantuan, motivasi dan bimbingan dari
berbagai pihak. Untuk itu patut kiranya mengucapkan terima kasih yang tulus
dan penghargaan kepada :
Penghormatan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua
orang tua, Ayahanda BASRI dan Ibunda JUMANIA tercinta yang dengan penuh
kasih sayang, pengertian serta diiringi doanya telah mendidik dan membesarkan
serta mendorong penulis hingga sekarang menjadi seperti ini. Tak lupa juga
saudara kandung Andi Ansaryang telah memberikan motivasi sehingga penulis
dapat menyusun skripsiini.
viii
1. Bapak Prof. Dr. H. Ambo Asse M.Ag., selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Makassar. Serta para wakil Rektor beserta seluruh staf dan
karyawannya.
2. Dekan Fakultas Agama Islam Ibu Dr. Amirah Mawardi, S.Ag., M.Si , wakil
Dekan I, wakil Dekan II, dan wakil Dekan III Fakultas Agama Islam,
beserta jajarannya yang sudah turut berperan dan membantu penulis atas
penyelesaian skripsi ini. Kalaupun saya tidak menyebutkan nama, itu tidak
mengurangi penghargaan saya kepada mereka. Semoga bantuan yang
mereka berikan kepada saya menjadi amal baik dan amal salihmereka.
3. Bapak Dr. M. Ilham Muchtar, Lc.,M.A, selaku Ketua Prodi Hukum
Keluarga (Ahwal Syakhshiyah) dan bapak Hasan Bin Juhanis, Lc.,
M.S,selaku Sekretaris Jurusan Prodi Hukum Keluarga (Ahwal
Syakhshiyah), dan seluruh staf pengajar Fakultas Agama Islam prodi
Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah) Universitas Muhammadiyah
Makassar yang telah banyak memberikan bimbingan selama penulis
menempuh kegiatan akademik di Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Makassar.
4. Bapak Dr. M. Ali Bakri, M.Pd, selaku pembimbing I dan Bapak Rapung,
Lc., M.HI selaku pembimbing II yang dengan ikhlas memberikan waktu,
tenaga dan pikirannya untuk membimbing penulis dalam perampungan
penulisan skripsi ini.
5. Kepala Perpustakaan pusat kota makassar, beserta seluruh stafnya dan
karyawan yang telah meminjamkan buku-buku literatur yang dipergunakan
ix
penulis dalam menyelesaikanskripsi.
6. Serta kepada teman-teman, sahabat, adik-adik yang tidak sempat di sebutkan
satu persatu namanya dalam skripsi ini, mohon dimaafkan. Dan atas
bantuan, dorongan dan motivasi yang diberikan kepada kalian diucapkan
banyak terimakasih.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis serahkan segalanya. Kiranya
bantuan dan pertolongan yang telah diberikan oleh semua pihak mendapat pahala
di sisi Allah swt. Dan semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi Agama,
Bangsa dan Negara. Aamiin
Makassar, 30 Dzhulkaidah 1442 H 10 Juli 2021 M
Penyusun
Masnaeni 105261100417
x
DAFTAR ISI
SAMPUL ........................................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ....................................................... iii
LEMBAR BERITA ACARA MUNAQASYAH ....................................... iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .................................. v
ABSTRAK....................... ............................................................................ vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4
C. Pengertian Judul ................................................................................. 5
D. Kajian pustaka .................................................................................... 6
E. Metodologi Penelitian ........................................................................ 8
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMENUHAN NAFKAH
LAHIR DAN BATIN KELUARGA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM ............................................................... .........13
A. Nafkah .............................................................................................. 13
1. Pengertian Nafkah ................................................................ 13
2. Dasar Hukum Nafkah ........................................................... 14
3. Macam-Macam Nafkah ....................................................... 17
xi
4. Syarat-Syarat diwajibkannya Nafkah ................................... 19
5. Kadar Nafkah ....................................................................... 20
6. Pemberian Nafkah Menurut Hukum Islam dan Hukum
Positif ................................................................................... 19
B. Keluarga.................... ....................................................................... 23
1. Pengertian Keluarga ............................................................. 23
2. Fungsi Keluarga ................................................................... 24
C. Hukum Islam .................................................................................. 27
1. Pengertian Hukum Islam ...................................................... 27
2. Sumber Hukum Islam ........................................................... 29
3. Macam-Macam Hukum Islam .............................................. 30
BAB III ANALISIS NAFKAH DALAM PANDANGAN
HUKUM ISLAM................................................................ ... 32
A. Nafkah Dalam Pandangan Hukum Islam ..................................... ....32
1. Nafkah untuk diri sendiri ................................................. .....32
2. Nafkah Kepada Isteri ............................................................ 32
3. Nafkah Untuk Kerabat .......................................................... 33
4. Nafkah Untuk Benda Milik .................................................. 34
BAB IV KONSEP DAN PEMENUHAN NAFKAH DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ............................................... 35
A. Konsep Nafkah Dalam Perspektif Hukum Islam ............................. 35
1. Yang wajib diberi nafkah ........................................................... 35
2. Sebab-sebab diberikan nafkah.................................................... 39
xii
3. Syarat-syarat kepemilikan hak terhadap nafkah ....................... 43
B. Pandangan Ulama Tentang Tanggung Jawab Suami
Isteri dalam Memenuhi Nafkah Keluarga ........................................ 46
1. Tanggung jawab suami dalam memenuhi nafkah keluarga ....... 46
2. Tanggung jawab isteri dalam memenuhi nafkah keluarga ......... 49
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 54
A. Kesimpulan ............................................................................... 54
B. Implikasi Penelitian .................................................................... 55
DAFTAR PURTAKA ................................................................................ 56
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan dalam Islam disebut “nikah” adalah membuat suatu
kontrak atau kesepakatan untuk mengikatkan diri antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk membenarkan hubungan seksual antara kedua belah
pihak, atas dasar sukarela ditambah dengan kesenangan kedua belah pihak
untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang bahagia yang penuh dengan
cinta plus kedamaian dengan cara-cara yang diridoi oleh Allah.1
Perkawinan merupakan sunnatullah, Allah menciptakan laki-laki dan
perempuan agar mereka berpasang-pasangan sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an surah Az-Zariyat ayat 49:
تذكرون ومن كل شىء خلقنا زوجين لعلكم
Terjemahnya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu
mengingat (kebesaran Allah).”2
Setiap keluarga mendambakan untuk menjadi keluarga yang sakinah,
mawaddah, warahmah, dan untuk mencapai tujuan itu setiap keluarga harus
1Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974(Liberty
Yogyakarta,2007), Cet ke-VI, h. 8 2Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Halim Publishing
Dan Distributing, 2013), h. 522
2
melakukan hak dan kewajiban mereka masing-masing. Sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur’ansurah Al-Baqarah ayat 233:
�ن �لمعروف لا تكلف نـفس إلا وسعها وعلى المولود له رزقـهن وكسو
Terjemahnya:
“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan
cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.” 3
Maksud dari ayat di atas bahwa seorang suami berkewajiban untuk
memberi nafkah atau pembelanjaan kepada isterinya, sesuai dengan
kemampuannya.
Nafkah adalah pemberian dari suami yang diberikan kepada isteri
setelah ikatan pernikahan. Nafkah harus diberikan karena ada akad yang
sah, penyerahan kepada suami, ditambah lagi dimungkinkan untuk
bersenang-senang. Syariat mewajibkan suami menafkahi istrinya.
Penghidupan hanya dituntut suami karena tuntutan akad nikah, ditambah
kesinambungan bersenang-senang karena istri dituntut untuk taat plus
patuh pada suaminya, selalu menemaninya, mengurus rumah tangga plus
mendidik anak-anak. Dia dilarang menjalankan haknya “Setiap orang yang
dibatasi haknya untuk orang lain ditambah keuntungannya, maka
nafkahnya adalah bagi orang yang menahannya”4
3Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Halim Publishing
Dan Distributing, 2013), h. 37 4 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, (Jakarta:Amzah,2009).h.212.
3
Maksud dari penjelasan di atas bahwa seorang suami
berkewajiban mencari nafkah, nafkah yang telah diperolehnya itu menjadi
haknya secara penuh dan untuk selanjutnya seorang suami berkedudukan
sebagai pemberi nafkah, dan sebaliknya seorang isteri bukan pencari
nafkah dan untuk memenuhi kebutuhannya ia berkedudukan sebagai
penerima nafkah.Dalam sebuah keluarga dituntut untuk melaksanakan atau
melakukan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya, terutama dengan
lingkungan lebih-lebih terhadap keluarganya. Sehingga jika mereka
menjalankan kewajibannya, maka keluarga itu telah menjalankan
fungsinya.
Dalam hukum positif Indonesia, telah diatur persoalan-persoalan
hidup atau pemenuhan kebutuhan keluarga ditambah lagi disebutkan
bahwa nafkah adalah kewajiban suami. Hal ini sesuai dengan UU No.1
Tahun 1974 pasal 34 ayat (1). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa
suami wajib melindungi istrinya, ditambah menyediakan segala kebutuhan
hidup selama perkawinan sesuai dengan kemampuannya. Dalam
pengaturan UU Perkawinan tidak disebutkan bahwa hanya nafkah yang
harus diberikan, dikatakan sesuai dengan kemampuan suami. Dan
ditegaskan oleh KHI dalam pasal 80 ayat (4). Kehidupan tentunya
memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membangun keluarga
bahagia, nyaman plus sejahtera. Tidak memenuhi nafkah sama sekali atau
menyediakan nafkah yang tidak mencukupi dapat mengakibatkan krisis
perkawinan yang akan diselesaikan dalam rumah tangga yang tidak
teratur.
4
Pemenuhan nafkah dalam keluarga menurut hukum Islam
mewajibkan seorang suami untuk menafkahi isteri, orang tua, anak,
pembantu (budak), dan hewan peliharaan. Adapun alasan mencari nafkah,
yaitu karena kekerabatan atau keturunan, karena kepemilikan, dan karena
perkawinan. Adapun syarat-syarat untuk memiliki hak penghidupan yaitu
memiliki ikatan perkawinan yang sah, isteri harus taat dan patuh kepada
suaminya, istri melayani suaminya, isteri tidak keberatan pindah tempat
jika suami menghendaki, kedua belah pihak dapat saling membantu.
Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mengkaji dan mengetahui
lebih dalam tentang nafkah dalam keluarga, sehingga peneliti memilih
judu: PEMENUHAN NAFKAH LAHIR DAN BATIN KELUARGA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Nafkah Dalam Perspektif Hukum Islam?
2. Bagaimana Pandangan Ulama Tentang Tanggung Jawab Suami Isteri
Dalam Memenuhi Nafkah Keluarga?
3. C. Pengertian Judul
Sebelum menguraikan skripsi ini lebih lanjut, terlebih dahulu akan
dijelaskan dengan maksud untuk menghindari kesalah pahaman pengertian.
Skripsi ini berjudul “ Pemenuhan Nafkah Lahir dan Batin Keluarga dalam
Perspektif Hukum Islam”, yaitu:
5
1. Nafkah
Nafkah adalah belanja kebutuhan pangan yang meliputi sembilan
bahan pokok, pakaian dan rumah atau dalam bahasa sehari-hari disebut
sandang, pangan dan papan.5.
Berdasarkan pengertian di atas dapat di pahami bahwa nafkah
merupakan sesuatu yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari seperti makan,pakaian, tempat tingggal dan lain sebagainya.
2. Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang yang terdiri dari
suami, isteri, anak, ayah, ibu.6 dapat dipahami bahwa keluarga adalah
kumpulan individu yang tergabung karena ikatan perkawinan, dan ikatan
darah atau keturunan.
3. Hukum Islam
Hukum Islam adalah sistem aturan berdasarkan wahyu Allah ditambah
Sunnah Nabi tentang perilaku mukallaf (orang yang telah dibebani
kewajiban) yang diakui ditambah diyakini, yang mengikat semua
pemeluknya.7
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam
adalah sebuah aturan dan diterapkan ditengah-tengah masyarakat yang
bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah.
5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indinesia, (Jakarta: Pernada Media,
2001), Cet. II, h. 166 6 https:/id.mwikipedia.org/wiki/keluarga 7Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi, dan Hak Asai Manusia, Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari, Vol. 17, No. 2, 2017, h. 24
6
D. Kajian Pustaka
Dalam suatu penelitian diperlukan dukungan hasil-hasil penelitian
yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu peneliti berupaya meneliti karya
ilmiah berupa skripsi yang berkaitan dengan penelitian ini.
Pertama, pada penelitian yang dilakukan oleh Zulkifli Sanusi
(10100109047). Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Alauddin Makassar, lulus tahun 2008, dengan judul “Kewajiban
Nafkah Keluarga Ditinjau Dari Syariat Islam Dan Perundang-Undangan Di
Indonesia”. Skripsi ini membahas tentang hak dan kewajiban suami isteri
yang ditinjau dari perspektif hukum Islam dan hukum positif Indonesia.8
Dari skripsi di atas sama-sama membahas tentang nafkah, namun yang
menjadi perbedaan dengan skripsi yang akan peneliti tulis yaitu Zulkifli
Sanusi membahas tentang kewajiban nafkah keluarga sedangkan peneliti akan
membahas tentang pemenuhan nafkah lahir dan batin keluarga.
Kedua, skripsi yang disusun oleh M. Arifin Susanto (210112020).
Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponogoro 2019
dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemenuhan Nafkah
Keluaarga Pernikahan Usia Dini”. Skripsi ini membahas tentang pemenuhan
hak dan kewajiban serta dampak suami isteri terdapa pernikahan usia dini di
desa Bareng, kecamatan Pudak.9
8 Zulkifli Sanusi, Kewajiban Nafkah Keluarga Ditinjau Dari Syariat Islam Dan
Perundang-Undangan Di Indonesia, Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, 2008
9M. Arifin Susanto, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemenuhan Nafkah Keluaarga Pernikahan Usia Dini, Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponogoro 2019
7
Dari skripsi di atas sama-sama membahas tentang nafkah
keluarga,namun yang menjadi perbedaan dengan skripsi yang akan peneliti
tulis yaitu M. Arifin Susanto membahas tentang pemenuhan nafkah keluarga
pernikahan usia dini sedangkan peneliti akan membahas tentang pemenuhan
nafkah lahir dan batin dalam perspektif hukum Islam.
Ketiga, pada penelitian yang dilakukan oleh Novi Yulisma
(13201026). Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri Batusangkar
2017 dengan judul “Tinjauan Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Fasakh
Disebabkan Ketidakmampuan Suami Memberi Nafkah”. Skripsi ini
membahas tentang pembatalan perkawinan yang disebabkan karena ketidak
mampuan suami dalam memenuhi nafkah.10
Dari skripsi di atas sama-sama membahas tentang pemenuhan nafkah,
namun yang menjadi perbedaan dengan skripsi yang akan peneliti tulis yaitu
Novi Yulisma membahas tentang fasakh disebabkan ketidakmampuan suami
memenuhi nafkahsedangkan peneliti akan membahas tentang pemenuhan
nafkah lahir dan batin keluarga.
E. Metodologi Penelitian
Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang adanya sesuatu yang
berkaitan dengan pokok bahasan diperlukan suatu pedoman penelitian yaitu
bagaimana menggambarkan sesuatu dengan menggunakan akal budi untuk
mencapai suatu tujuan, sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk
10Novi Yulisma), Tinjauan Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Fasakh Disebabkan
Ketidakmampuan Suami Memberi Nafkah, Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri Batusangkar 2017
8
mencari, merumuskan ditambah menganalisis untuk mempersiapkan
laporan.11
Dengan demikian metodologi penelitian sebagai cara yang dipakai
untuk mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan guna
mencapai satu tujuan. Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian,
penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam penulisan ini menggunakan penelitian kepustakaan,
yaitu suatu gaya penelitian yang sumber informasinya diperoleh dari
perpustakaan.12 Maka untuk memudahkan dalam mencapai tujuan penulisan,
maka penulis memfokuskan penelitian kepustakaan dan penelitian terhadap
bahan-bahan yang telah ditulis.13 Penelitian dilakukan dengan membaca
literatur terkait gangguan yang sedang dibahas. Hasil penelitian ini
dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang komprehensif dan
sistematis, serta memberikan informasi yang seakurat mungkin.14 Penelitian
ini berusaha memaparkan konsep pemenuhan nafkah keluarga dalam
perspektif Islam.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
normatif. Pendekatan normatif adalah studi Islam yang melihat masalah
11 Cholid Narbuko, Abu Ahmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Pustaka, 1997) 12 Abudin, Metode Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h 125 13 Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001), h 13 14Suharsini Arikunto, Metode Penelitian dan Pendekatan praktek, (Jakarta: Kencana
Penada Media, 1998), h 36
9
dari sudut pandang legal-formal dan/atau normatif. Normatif adalah semua
ajaran yang terkandung dalam nash (Al-Qur'an plus Hadits). Kegunaannya
adalah untuk mempelajari lebih lanjut tentang pemenuhan nafkah.
3. Data dan Sumber Data
Data merupakan bentuk jamak dari datum. Data adalah
sekumpulan keterangan atau bahan yang dapat dijadikan dasar jalan
analisis atau kesimpulan. Sedangkan sumber data di sini adalah subjek
darimana data diperoleh. Sumber data dalam sebuah penelitian adalah
subjek dari mana data diperoleh apabila peneliti menggunakan wawancara
dalam pengumpulan data, maka sumber data yang penulis gunakan adalah
berupa responden, yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-
pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan. Data dalam
penelitian terbagi atas dua jenis yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata
yang diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh
subjek yang dipercaya, dalam hal ini adalah subjek penelitian (informan)
yang berkenaan dengan variabel yang diteliti.15
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
dari sumber-sumber yang telah ada. Data tersebut diperoleh dari
15 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2014),h. 22.
10
perpustakaan atau laporan-laporan penelitian terdahulu yang berbentuk
tulisan.16
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan penelitian
kepustakaan (library research) yaitu meneliti sumber-sumber bacaan yang
berhubungan denga permasalahan dalam proposal ini, seperti Al-Qur’an,
hadits, buku-buku, artikel-artikel dan pendapat sarjana dan bahan-bahan
lainnya. Situs web juga menjadi bahan bagi penulisan proposal ini
sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.
5. Metode Analisis Data
Setelah data terhimpun melalui penelitian yang telah dilakukan,
maka selanjutnya data dapat dianalisis secara kualitatif dengan
menggunkan metode berpikir induktif, deduktif dan komparatif. Metode
berfikir induktif adalah keputusan baru yang bersifat yang didapat dari
keputusan-keputusan yang bersifat khusus. Sedangkan yang dimaksud
metode berfikir deduktif adalah suatu penganalisaan yang berangkat dari
pengetahuan yang umum, kita hendak menilai suatu kejadian dengan
secara khusus.17 Selanjutnya menggunakan analisis komparatif, yaitu suatu
metode yang membandingkan dua atau lebih tokoh atau aliran yang
menelaah kesamaan atau perbedaan.18
16 Iqbal hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya, (jakarta:
ghalia ikapi, 2002),h.82. 17 Sutrisno hadi, metodologi riset, (yogyakarta: gajah madah university press, 2001),h.
51. 18 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung:PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), h.135
11
F. Tujuan dan Kegunaan Hasil Penelitian
1. Tujuan
a. Untuk Mengetahui Bagaimana Konsep Nafkah Dalam Pandangan Islam
b. Untuk Mengetahui Bagaimana Pandangan Para Ulama Kontemporer
Dan Klasik Tentang Tanggung Jawab Suami Isteri Dalam Memenuhi
Nafkah Keluarga.
2. Kegunaan
a. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
sumbangan dalam menambah wawasan keislaman umat muslim dengan
perkara pemenuhan nafkah lahir dan batin dalam perspektif hukum Islam.
b. Kegunaan Praktis
1) Bagi Universitas Muhammadiyah Makassar
Hasil penelitian ini digunakan sebagai upaya dalam menambah
ilmu, memperluas wawasan dan cakrawala berfikir
dosen/mahasiswa terutama bagi penulis sendiri.
2) Bagi Mahasiswa
Sebagai calon da’i atau muballigh, hasil penelitian digunakan
sebagai upaya untuk mengajarkan, memberi dan menyampaikan
kepada masyarakat Islam tentang hukum Islam agar masyarakat
tidak keliru dalam beramal dan beribadah.
12
3) Bagi Masyarakat
Penelitian ini digunakan oleh masyarakat Islam terutama bagi
orang yang telah berumah tangga atau berkeluarga agar tidak keliru
dalam menjalani kehidupan rumah tangganya.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMENUHAN NAFKAH LAHIR DAN
BATIN KELUARGA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Nafkah
1. Pengertian Nafkah
Secara etimologis, kata nafkah berarti “hak untuk memberikan atau
membelanjakan.19 Dalam tata bahasa Indonesia, kata nafkah berarti belanja
untuk hidup atau perbekalan untuk kehidupan sehari-hari.20 Sedangkan dari
segi terminologi, nafkah adalah hak isteri dan anak untuk mendapatkan
pangan, sandang dan papan serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan
pengobatan walaupun isteri adalah wanita kaya. 21 Nafkah menurut istilah
ahli fiqh yaitu pengeluaran biaya seseorang terhadap orang yang wajib
dinafkahinya, yang terdiri atas roti, lauk pauk, tempat tinggal, dan
kebutuhan lainnya seperti biaya air, minyak, lampu, dan sebagainya. 22
Dalam hukum Islam, nafkah erat hubungannya dengan hadhanah. Hadhanah
berarti pemeliharaan anak laki-laki dan perempuan yang masih kecil atau
anak dungu yang tidak dapat membedakan sesuatu dan belum dapat berdiri
sendiri, menjaga kepentingan anak, melindungi dari segala yang
19 Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h.
463 20 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 947 21 Abdur Rahman I. Doi, Karakteristik Hukum Islam Dan Perkawinan(Syariah I),
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996), Cet ke-I, h. 369 22Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Arba’ah, Abdurrahman Al-Jazairi, Terkutip Dalam
Digilib.Unisby.ac.id. h. 16.
14
membahayakan dirinya, mendidik jasmani dan rohani serta akalnya, agar si
anak dapat berkembang dan mengatasi persoalan hidup yang dihadapinya.23
Dari uraian pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa nafkah
merupakan kewajiban seorang suami untuk memenuhi hak seorang isteri,
anak serta keluarganya dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti,
sandang, pangan dan papan.
2. Dasar Hukum Nafkah
Hukum memberikan nafkah untuk keluarga terdapat dalam nash-
nash Al-Qur’an dan hadis nabi yang menjukkan anjuran untuk memberikan
nafkah ,baik memberi nafkah kepada diri sendiri ataupun kepada orang lain,
baik nafkah yang bersifat wajib ataupun sunnah. Pembahasan nafkah
disebutkan dalam Qs. Al-Baqarah ayat 215:
قل ما أنـفقتم من خير فللوالدين والأقـربين واليـتامى والمساكين يسألونك ماذا يـنفقون
وابن السبيل وما تـفعلوا من خير فإن ا� به عليم
Terjemahnya: “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.”24 Ayat di atas memerintahkan kepada kita untuk memberikan
nafkah, nafkah yang dimaksud ayat di atas adalah bersedekah. Bersedekah
kepada kerabat dekat seperti ayah dan ibu, anak yatim, orang miskin dan
23 Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta:Pustaka Amani,2002).h. 260
24 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Halim Publishing Dan Distributing, 2013), h. 33
15
orang dalam perjalanan dan Allah selalu mengawasi setiap perbuatan yang
kita lakukan. Nafkah juga disebutkan dalam Qs. Al-Baqarah ayat 233:
رزقـهن وكسو�ن بٱلمعروف لا تكلف نـفس إلا وسعها ۥوعلى ٱلمولود له
Terjrmahnya:
“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan
cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.”25
Berdasarkan ayat di atas dapat diketahui bahwa seorang suami
berkewajiban menafkahi keluarga sesuai dengan kemampuannya.
Memberikan nafkah sesuai dengan kebutuhan keluarga agar tidak terjadi
pemborosan.
Kewajiban suami memberikan nafkah kepada isteri juga
disebutkan dalam hadis riwayat Abu Dawud:
ا ي او ع يم بن م ك ن ح ع ق ب ن أ ي ع ير ش ق ل ة ق ـال يه ر � ت ل : ة وج ز ق ا ح ول الله م س
ع � د ح ا ق ي ل ان ال ه؟ اذ ه م ع ط ت : ط ا ا ه و س ك ت و ت م ع ا اذا ت لا و ت ي س ت ك ا ب ر ض
٢٦رواه ابو داود .ت ي ب ـل ا الا في ر ج � لا تقبح و لا و ه ج و ال
Artinya:
“Dari اhakim bin muawiyah al-Qusyairi, dari ayahnya dia berkata: “Saya bertanya: “Wahai Rasulullah apa hak seorang isteri atas suaminya? “Rasulullah bersabda: “hendaknya beri makan apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian apabila engkau berpakaian, dan janganlah engkau memukul mukanya atau , dan janganlah engkau menjelek-jelekkan kecuali masih dalam satu rumah.”
25Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Halim Publishing
Dan Distributing, 2013), h. 37 26 Abu Dawud Al-Sajastani, Sunan Abi Daud, (Bairut: Dar Al-Kutub, 1968), h.110
16
Dari hadis di atas menerangkan tentang kewajiban suami terhadap
isterinya untuk memberikan nafkah berupa makanan dan pakaian, dan
larangan untuk seorang suami menyakiti isteri, seperti memukul wajah
isterinya.
Kewajiban suami dalam memberikan nafkah kepada isterinya
telah disepakati oleh para ulama (ijma’), bahwa wanita itu terkekang oleh
pernikahan dan menjadi hak suaminya. Dan dia dilarang bekerja, untuk
memenuhi kebutuhannya dilimpahkan kepada suaminya.27Ibn Qudamah
berkata: para ahli ilmu sepakat tentang kewajiban suami membiayai isteri-
isterinya bila sudah baligh, kecuali itu berbuat durhaka.Ibn Mundhir
berkata: isteri yang durhaka boleh dipukul sebagai pelajaran, perempuan
adalah orang yang bertahan ditangan suaminya, ia telah menahannya
bepergian dan bekerja, karena itu ia berkewajiban memberikan belanja
kepadanya.28
Dari penjelasan di atas para ulama sepakat bahwa nafkah untuk
isteri hukumya wajib atas diri suaminya jika memang sudah baligh,
kecuali jika isteri durhaka kepada suaminya.
Berdasarkan dalil di atas dinyatakan bahwa nafkah suami kepada
isteri merupakan kewajiban yang pasti berdasarkan Al-Qur’an, hadis dan
ijma’. Kewajiban seorang suami menafkahi isterinya timbul sejak
terlaksananya akad sah pernikahan antara suami dan isteri. Kewajiban
27 Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmahh al- tashri’ falfasatuhu (Baerut: Dar al-Fikr, 1992:, h
337 28 Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Ter, M, Thalib, Jilid 7,(Bandung: Al-Ma’rif, 1986), h 75
17
menafkahi tetap berlaku sekalipun si isteri adalah seorang perempuan yang
kaya atau punya penghasilan sendiri.
Dengan demikian, isteri berhak mendapatkan nafkah dari suami,
dan seorang isteri berhak menuntut suami untuk memberikan nafkah
kepadanya. Di samping itu, berdasarkan logika fiqih, karena laki-laki atau
suami telah memiliki hak untuk menahan isteri (untuk tetap tinggal
bersamanya), maka sudah seharusnya seorang laki-laki atau suami
mendapat beban kewajiban memberikan nafkah kepada isteri, sebagai
konpensasi penahanan tersebut.29
3. Macam-Macam Nafkah
Para ulama fiqih menyimpulkan bahwa nafkah yang wajib
diberikan suami kepada istrinya meliputi, makanan, minuman, lauk pauk,
pakaian, tempat tinggal, pembantu jika diperlukan, alat-alat pembersih
tubuh dan prabot rumah tangga.30Sementara untuk alat-alat kecantikan
bukan merupakan kewajiban suami. Kecuali sebatas menghilangkan bau
badan isteri. Hal ini selaras dengan pendapat imam Nawawi dari madzhab
Syafi’i yang menyatakan bahwa suami tidak berkewajiban memberikan
nafkah untuk biaya alat kecantikan mata, kuteks, minyak wangi, dan alat-
alat kecantikan lainnya.31Dalam hal ini nafkah dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Nafkah Materil
Ada beberapa kategori yang masuk dalam nafkah materil,
diantaranya:
29 Muhammad Qadri Basha, Al-Ahkam Syar’iyyah fi al-Ahwal al-Syakhshiyyah, (Mesir:
Dar al-Salam, 2006), h 380 30 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: Klis, 2001), h 123 31 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: Klis, 2001), h 123-124
18
1). Suami wajib memberikan nafkah kiswah dan tempat tinggal.
Seorang suami diberi beban untuk memberikan nafkah kepada
isterinya berupa sandang,pangan, papan dan pengobatan yang
sesuai dengan lingkungan zaman dan kondisinya.
2). Suami wajib memberikan biaya rumah tangga, biaya perawatan
dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
3). Biaya pendidikan bagi anak.32
b. Nafkah nonmateril
Adapun kewajiban seorang suami terhadap isterinya itu yang
bukan merupakam kebendaan adalah sebagai berikut:
1) Suami harus berlaku sopan kepada isteri, menghormatinya serta
memperlakukannya dengan wajar.
2) Memberikan suatu perhatian penuh kepada isteri.
3) Setia kepada isteri dengan cara menjaga kesucian atau pernikahan
di manapun berada.
4) Berusaha mempertinggi keimanan, ibadah dan kecerdasan seorang
isteri.
5) Membimbing isteri sebaik-baiknya.
6) Memeberi kemerdekaan kepada isteri untuk bergaul ditengah-
tengah masyarakat.33
32Slamet Abidin, Fikih Munakahat I, (Bandung: Pustaka setia, 1999), h 171 33 Slamet Abidin, Fikih Munakahat I, Loc.Cit
19
4. Syarat-syarat diwajibkan Nafkah
Adapun syarat-syarat atau sebab diwajibkannya nafkah adalah
sebagai berikut:
a. Adanya hubungan pernikahan, saat dilangsungkannya akad nikah atau
ijab qabul, suami berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya,
meskipun isteri tersebut kaya raya dan suaminya seorang yang miskin.
b. Hubungan antara orang tua dengan anak, Para ulama telah bersepakat,
bahwa anak-anak yang belum mencapai usia akil baligh serta belum
bisa hidup mandiri secara ekonomi, maka biaya hidup (nafkah)nya
adalah menjadi tanggung jawab ayahnya, dan jika ayahnya sudah
wafat, maka menjadi tanggung jawab kakeknya. Kaum ibu meskipun
kaya raya, sama sekali tidak dituntut memberikan nafkah kepada
anak-anaknya.
c. Adanya hubungan pemilikan, Setiap orang beriman diwajibkan
memberikan nafkah kepada semua makhluk yang dimilikinya, baik
berupa manusia (budak atau hamba sahaya) maupun binatang. Hal ini
disebabkan, karena dengan dimiliki, maka makhluk-makhluk tersebut
menjadi terkekang dan tidak memiliki kebebasan untuk mencari
nafkah di tempat lain.
Para pembantu rumah tangga yang tidak diberi gaji (upah,
honor) dan anak-anak yang diadopsi, adalah orang-orang yang wajib
diberi nafkah. Akan tetapi kalau pembantu tersebut diberi honor yang
20
cukup, maka majikan tidak berkewajiban memberikan nafkah kepadanya.
kalau diberikan nafkah maka hukumya mubah.34
5. Kadar Nafkah
Mengenai standar (ukuran), jenis, kualitas, serta kuantitas
nafkah yang harus diberikan oleh seseorang kepada isteri, anak, orang tua
maupun orang lain adalah berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan orang
yang menerima nafkah. Seperti diketahui bahwa jenis kebutuhan
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) tingkat, yaitu:
a. Adh-Dharuriyat, yaitu kebutuhan yang bersifat primer serta sangat
vital, dimana seseorang tidak akan mampu bertahan hidup kecuali
dengan memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti makan, minum, dan
tempat tinggal yang layak. Demikian juga terhadap pemeliharaan
kesehatan, pengobatan, pendidikan dan sebagainya.
b. Al-Hajiyyat, yaitu kebutuhan yang bersifat sekunder, di mana pada
umunya manusia masih mampu bertahan hidup tanpa terpenuhinya
kebutuhan ini, akan tetapi dengan tidak terpenuhinya kebutuhan
tersebut, maka seseorang akan menemui kesulitan dalam hidupnya.
Seperti kebutuhan terhadap alat transportasi, komunikasi, hiburan dan
sebagainya.
c. At-Tahsiniyat, yaitu kebutuhan yang bersifat tersier, di mana jika
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka pada umunya seseorang
tidak akan mengalami kesulitan yang tidak berarti. Akan tetapi
34 Hamdan Rasyid, Saiful Hadi El-Sutha, Panduan Muslim Dari Lahir Sampai
Mati,(Jakarta: WahyuQoKlbu, 2016), h 761-764
21
alangkah baiknya jika kebutuhan tersebut terpenuhi. Seperti
kebutuhan akan aksesoris, alat-alat kecantikan, furniture, serta barang-
barang yang indah dan sebagainya.35
Dari ketiga penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa
standar pemberian nafkah dapat disesuaikan dengan kebutuhan orang
yang akan menerima nafkah. Pemberian nafkah dimulai dengan
memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan, yang
ketika tidak dipenuhi maka akan mempengaruhi keberlangsungan
hidup. Adapun kebutuhan yang sekunder dan tersier pemenuhannya
tidak mempengaruhi keberlangsungan hidup sehingga pemenuhannya
bersifat dinamis.
6. Pemberian Nafkah Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
a. Pemberian nafkah menurut hukum Islam
Mencari nafkah termasuk kewajiban suami, artinya
menyediakan segala kebutuhan istri seperti makan, sandang, papan,
mencari penolong dan obat-obatan, sebagaimana diatur dalam Al-
Qur'an sunnah dan ijma'.
Oleh karena seorang isteri dengan sebab adanya akad nikah
menjadi terikat oleh suaminya, dan suaminya berhak penuh untuk
menikmati isterinya. Ia wajib taat kepada suaminya, tinggal dirumah
suaminya, mengatur rumah tangga suaminya, mengasuh anak
suaminya dan sebagainya.
35Hamdan Rasyid, Saiful Hadi El-Sutha, Panduan Muslim Dari Lahir Sampai
Mati,(Jakarta: WahyuQoKlbu, 2016), h.764
22
Oleh karena itu sebagai penyeimbang atas semua itu, suami
wajib untuk mencukupi kebutuhan isteri dan menafkahinya,selama
hubungan suami isteri masih ada antara keduanya dan selama tidak
ada kedurhakaan atau sebab lain yang menghalangi pemberian nafkah.
Adapun syarat-syarat pemberian nafkah:
1) Akad pernikahan yang dilakukan adalah sah.
2) Isteri menyerahkan dirinya pada suami
3) Isteri memungkinkan suami untuk menikmatinya
4) Isteri tidak menolak untuk berpindah ke tempat manapun yang
dikehendaki
5) Keduanya memiliki kemampuan untuk menikmati hubungan
suami isteri.36
b. Pemberian Nafkah Menurut Hukum Positif
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 78 ayat 1 yang
berbunyi” suami isteri mempunyai kediaman yang tetap”. Dan dalam
pasal 81 ayat 1” suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi
isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau
dalam iddah wafat”. Tempat kediaman yang tetap adalah menjadi
tanggung jawab suami.
Serta menurut pasal 80 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam
menjelaskan” sesuai dengan penghasilannya suami menanggung”.
1) Nafkah pakaian dan tempat kediaman bagi isteri
36 Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, (Jakarta:
Amza, 2009), h. 187
23
2) Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan
bagi isteri dan anak
3) Biaya pendidikan bagi anak.
Dalam Undang-undang perkawinan 1974 menjelaskan
mengenai nafkah suami kepada isteri seperti pada pasal 34 ayat 1 yang
berbunyi” suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya”.
B. Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Secara bahasa, keluarga dalam bahasa Arab disebut Ahlun, selain
kata ahlun, kata tersebut memiliki arti keluarga aali, 'asyirah, dan qurbaa.
Kata ahlun berasal dari kata alia yang artinya senang, suka atau
bersahabat. Menurut pendapat lain, kata ahlun berasal dari kata ahala yang
berarti perkawinan. Sedangkan menurut para antropolog, keluarga
merupakan unit sosial terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk
sosial. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa keluarga merupakan satu
kesatuan kekerabatan yang bertempat tinggal dan berdasarkan kerjasama
ekonomi, mempunyai fungsi untuk mengasuh, mensosialisasikan atau
mendidik anak, membantu dan melindungi yang lemah, terutama merawat
orang tua yang lanjut usia.37
37 Terkutip Dalam, Anung Alhamad, Presentasi Keluarga Dalam Konteks Hukum islam,
Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam,vol. 8,no. 1, juni 2017. h. 140-141.
24
Menurut konsep Islam, keluarga adalah kesatuan hubungan
antara seorang pria dan seorang wanita melalui akad nikah menurut
ajaran Islam. Dengan adanya akad nikah dimaksudkan agar anak dan
keturunan yang dihasilkan menjadi sah secara agama.38
2. Fungsi Keluarga
Dalam sebuah keluarga dituntut untuk melaksanakan atau
melakukan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya, terutama dengan
lingkungan lebih-lebih terhadap keluarganya. Tatkala menjalankannya,
maka keluarga itu telah menjalankan fungsinya. Diantara fungsi-fungsi
dari intitusi keluarga dalam konteks kehidupan adalah:
a. Fungsi biologis, perkawinan dilakukan antara lain bertujuan agar
memperoleh keturunan, dapat memelihara kehormatan serta martabat
manusia sebagai makhluk yang berakal dan beradab. Fungsi biologis
inilah yang membedakan perkawianan manusia dengan binatang
sebab fungsi ini diatur dalam norma perkawinan yang diakui
bersama.
b. Fungsi edukatif (pendidikan), Keluarga berkewajiban memberikan
pendidikan bagi anggota keluarga terutama bagi anak-anaknya,
karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan terdekat dengan
anak. Pengalaman dan pengetahuan pertama anak diperoleh dan
disampaikan melalui keluarga. Orang tua memiliki peran penting
dalam membawa anak pada kedewasaan jasmani dan rohani yang
38Anung Alhamad, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam. loc cit
25
bertujuan untuk mengembangkan aspek mental dan spiritual, moral,
intelektual, dan profesional.39
c. Fungsi religious (keagamaan), Keluarga berkewajiban mengajarkan
tentang agama kepada seluruh anggota keluarga. Keluarga
merupakan wadah penanaman nilai-nilai moral keagamaan melalui
pemahaman, penyadaran dan pengamalan dalam kehidupan sehari-
hari, sehingga tercipta iklim keagamaan di dalamnya. Menanamkan
nilai-nilai agama, pemahaman halal dan haram, kewajiban sunnah
serta larangan-Nya dan berbagai lainnya. Sikap inilah yang
dimaksud dalam tafsir Al-Qur'an at-Tahrim ayat 6 dalam menjaga
keluarga dari api neraka. Jika seorang anak melakukan perbuatan
keji atau perbuatan tercela lainnya, orang tua sangat wajib
memperingatkan mereka untuk kembali kepada kebenaran.
Demikian juga sebagai seorang anak, jika orang tua melanggar
aturan agama, walaupun sebagai anak kita wajib menegurnya. Sikap
menegur dan menegur ini tetap harus menggunakan bahasa yang
baik dan sopan.40
d. Fungsi protektif (melindungi), Keluarga menjadi tempat yang aman
dari berbagai gangguan internal maupun eksternal serta menjadi
penangkal segala penggaruh negatif yang masuk di dalamnya.
Gangguan internal dapat terjadi dalam kaitannya dengan keragaman
kepribadian anggota keluarga, perbedaan pendapat dan kepentingan
39Mufidah Ch, Psikologi keluarga Islam,(Malang: Uin Maliki Press, 2014), Cet ke-IV, h. 42
40Mufidah Ch, Psikologi keluarga Islam,(Malang: Uin Maliki Press, 2014), h. 43
26
dapat memicu lahirnya konflik bahkan juga kekerasan. Kekerasan
dalam keluarga tidak mudah dikenali karena berada pada wilayah
privat, dan terhadap hambatan psikis, sosial, norma budaya,
dan agama untuk diungkap secara publik. Adapun gangguan
eksternal keluarga biasanya lebih mudah dikenali oleh masyarakat
karena berada pada wilayah publik.
e. Fungsi sosialisasi, Kewajiban untuk memberi bekal kepada
anggota keluarga tentang hal-hal yang berhubungan dengan nilai-
nilai yang berlaku di masyarakat setempat. Selain itu dalam
lingkungan masyarakat juga terdapat nilai tradisional yang
diwariskan secara turun temurun. Proses pelestarian budaya dan adat
dijalankan melalui institusi keluarga sebagai komponen terkecil
masyarakat. Keluarga dalam fungsi ini juga berperan sebagai
katalisator budaya serta filter nilai yang masuk ke dalam kehidupan.
Fungsi sosialisasi ini diharapkan anggota keluarga dapat
memposisikan diri sesuai dengan status dan struktur keluarga,
misalnya dalam konteks masyarakat Indonesia selalu memperhatikan
bagaimana anggota keluarga satu memanggil dan menempatkan
anggota keluarga lainnya agar posisi nasab tetap terjaga.41
f. Fungsi ekonomi, Keluarga merupakan kesatuan ekonomis dimana
keluarga memiliki aktifitas mencari nafkah,pembinaan usaha,
41Mufidah Ch, Psikologi keluarga Islam,(Malang: Uin Maliki Press, 2014), Cet ke-
IV, h. 44-45
27
perencanaan anggaran, pengelolaan dan cara memanfaatkan sumber-
sumber penghasilan dengan baik, mendistribusikan secara adil dan
profesional, serta dapat mempertangggung jawabkan kekayaan dan
harta bendanya secara sosial maupun moral.
g. Fungsi rekreatif, Keluarga merupakan tempat yang dapat
memberikan kesejukan dan melepaskan lelah serta penyegaran
(refresing) dari seluruh aktifitas masing-masing anggota keluarga.
Fungsi ini dapat mewujudkan suasana keluarga menjadi
menyenangkan, saling menghargai, menghormati, menghibur
masing-masing anggota keluarga, sehingga tercipta hubungan
harmonis, damai kasih sayang, dan setiap anggota dapat merasakan
bahwa rumah adalah surganya.
C. Hukum Islam
1. Pengertian Hukum Islam
Istilah hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu hukum dan
Islam. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata hukum diartikan dengan,
pertama: peraturan atau kebiasaan yang dianggap mengikat secara resmi,
kedua: undang-undang, peraturan dan sebagainya, untuk mengatur
kehidupan sosial masyarakat, ketiga: standar (aturan, ketentuan) tentang
peristiwa tertentu, keempat: : suatu keputusan (pertimbangan) yang
ditetapkan oleh hakim (di pengadilan) atau suatu putusan.42.Kata hukum
42Depdisnas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustakka,2001). h. 410
28
sebenarnya berasal dari bahasa arab al-hukm yang merupakan isim masdhar
dari fi’il(kata kerja) hakamah-yahkumuh yang berarti memimpin,
memerintah, memutuskan, menetapkan atau mengadili sehingga kata al-
hukm berarti putusan, ketetapan, kekuasaan, atau pemerintahan.43 Secara
sederhana dapat dipahami bahwa hukum adalah peraturan-peraturan yang
mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat.
Adapun kata kedua, Islam, oleh Mahmud Shaltut diartikan sebagai
agama Allah yang dititipkan kepada Nabi Muhammad. untuk mengajarkan
dasar-dasar syariat dan juga untuk mendakwahkannya kepada semua
manusia dan mengajak mereka untuk memeluknya.44 Dengan penjelasan
yang sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw. kemudian disampaikan kepada umat manusia untuk
mencapai kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Dari gabungan dua kata hukum dan Islam tersebut muncul istilah
hukum Islam. Dengan memahami penjelasan dari dua kata di atas, maka
dapat dipahami bahwa hukum Islam merupakan seperangkat peraturan yang
bersumber dari Allah Swt. yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. untuk
mengatur tingkah laku manusia di tengah-tengah masyarakat.
43Ahamd Warson Munawwir. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakara:Pustaka Progresif, 1997), h. 286. 44 Terkutip Dalm Marzuki, Pengantar Studi Hukumislam: Prinsipmdasar Memahami
Berbagai Konsep Dan Permasalahan Hukum Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2017), Cet II. h. 11-12.
29
2. Sumber Hukum Islam
Sumber hukum merupakan segala sesuatu yang dijadikan sebagai
rujukan atau pedoman. Dalam ajaran Islam sumber hukum terbagi menjadi
tiga, yaitu:
a. Al-Qur'an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur'an
mengandung isi yang mengandung perintah, larangan, saran, cerita
islami, ketentuan, hikmah dan sebagainya. Al-Qur'an menjelaskan
secara rinci bagaimana manusia harus menjalani kehidupan untuk
menciptakan masyarakat yang berakhlak mulia. Oleh karena itu, Al-
Qur'an merupakan dasar utama untuk menegakkan syari'at.
b. Al-Hadits, merupakan sumber hukum kedua, yaitu segala sesuatu yang
didasarkan pada Rasulullah. Baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
diamnya. Di dalam hadits terkandung aturan-aturan yang merinci semua
aturan yang masih bersifat global di dalam Al-Qur'an. Kata hadits yang
telah diperluas maknanya sehingga dapat disinonimkan dengan sunnah,
dapat berarti semua perkataan (perkataan), perbuatan, ketetapan,
ketetapan dan persetujuan Nabi Muhammad. yang ditentukan oleh
syariat Islam.
c. Ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa
setelah zaman Rasulullah atas sebuah perkara dalam agama. Dan ijma’
yang dipertanggung jawabkan adalah yang terjadi pada zaman sahabat,
tabiin (setelah sahabat), dan tabi’ut tabiin (setelah tabiin). Karena
30
setelah zaman mereka para ulama telah berpencar dan jumlahnya
banyak, dan perselisihan semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan
bahwa semua ulama telah bersepakat.
d. Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam
Al-Qur’an ataupun hadis dengan cara membandingkan sesuatu yang
serupa dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya tersebut.
Artinya jika nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu
permasalahan dalam agama Islam dan telah diketahui melalui salah satu
metode untuk mengetahui permasalahan tersebut, kemudian ada kasus
lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya, maka hukum kasus
tersebut disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya.45
3. Macam-Macam Hukum Islam
Hukum Islam merupakan keseluruhan ketentuan yang berasal dari
Allah Swt yang wajib untuk dipatuhi oleh muslim, karena hal ini berkaitan
dengan aqidah (kepercayaan) dan hukum-hukum amaliyah (perbuatan)
sehingga dengan mengetahui hukum Islam maka kehidupan akan menjadi
lebih bermanfaat. Secara umum terdapat lima macam hukum Islam, yaitu:
a. Wajib, adalah perbuatan yang jika dilakukan akan mendapat pahala
dan jika dibiarkan akan mendapat dosa. Contoh amalan wajib adalah
shalat lima waktu, menutup aurat, puasa, haji bagi yang mampu dan
masih banyak lagi.
45 Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi, dan Hak Asai Manusia, Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari, Vol. 17, No. 2, 2017, h. 24-25
31
b. Sunnah, adalah suatu perbuatan yang bila dilakukan akan
mendapatkan pahala dan jika tidak dilakukan tidak akan mendapatkan
siksaan atau hukuman. Contoh amalan yang memiliki hukum sunnah
adalah shalat yang dilakukan sebelum atau sesudah shalat fardhu,
membaca doa Nabi dan lain sebagainya.
c. Haram, adalah suatu perbuatan yang jika dikerjakan pasti akan
mendapatkan siksaan dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala.
Contoh perbuatan yang memiliki hukum haram adalah berbuat zina,
minum alkohol, baemain judi dan banyak lagi.
d. Makruh, ialah suatu perbuatan yang jika meninggalkannya itu lebih
baik dari pada mengerjakannya. Contoh dari perbuatan makruh adalah
makan sambil berdiri, merokok dan sebagainya.
e. Mubah, adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan oleh agama
antara mengerjakannya atau meninggalkannya. Contoh dari mubah
adalah olahraga, menjalankan bisnis, sarapan dan sebagainya.46
46Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi, dan Hak Asai Manusia, Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari, Vol. 17, No. 2, 2017, h. 25-26
32
BAB III
ANALISIS NAFKAH DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
A. Nafkah Dalam Pandangan Hukum Islam
Analisis nafkah dalam Hukum Islam memandang sebagai bentuk
pemberian yang wajib dari seorang suami kepada isterinya. Sementara itu
nafkah juga dikembangkan menjadi empat macam penjabarannya sebagai
berikut:
1. Nafkah Untuk Diri Sendiri
Memberi nafkah kepada diri sendiri termasuk yang paling utama sebelum
memberikan nafkah kepada orang lain,hendaknya seseorang memberikan
nafkah kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Hal ini dijelaskan dalam
sebuah hadis yang artinya.
“Gunakanlah ini untuk memenuhi kebutuhanmuterlebih dahulu,maka
bersedekahlah dengannya untuk mencukupi kebutuhan dirimu. Jika masih
berlebih berikan kepada keluargamu, jika masih berlebih berikan kepada
kerabatmu. Jika masih berlebih berikanlah kepadaini dan itu” (H.R
Muslim).47
2. Nafkah kepada isteri para ulama menyebutkan alasan memberikan nafkah
kepada orang lainhukumnya menjadi wajib karena tiga hal yakni
zaujiyyah(pernikahan),qarabah (kerabat)dan milkiyyah (kepemilikan.
Nafkah karena ikatan pernikahan ini merupakan pemberian yang disebabkan
47 https://m.republika.co.id
33
karena adanya ikatan pernikahan yang sah. Sebagaimana yang dijelaskan
dalam qur’an surah annisa ayat 34:
بـع ء بما فضل ا�ضهم على بـعض وبما انـفقوا من اموالهم الرجال قـوامون على النسا
Terjemahnya: “Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum perempuan oleh karena itu allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”48
Seorang suami berkedudukan sebagai kepala keluarga sehingga
pemenuhan nafkah keluarganya dibebankan atas dirinya, sementara seorang
isteri memiliki hak atas apa yang dimiliki oleh suaminya.
3. Nafkah Untuk Kerabat
Kerabat adalah salah satu alasan mengapa hidup diperlukan.
Hanya saja ada perbedaan pendapat mengenai bagian mana dari kerabat
yang harus didukung. Wahbah Az-Zuhaili menyatakan bahwa kelompok
Malikiyah percaya bahwa hanya orang tua dan anak yang berhak menerima
nafkah. Sedangkan Syafi'iyyah berpendapat bahwa nafkah diberikan untuk
hubungan antara orang tua dan anak serta cucu dan kakek (ushul dan furu')
sedangkan Hanfiyah berpendapat bahwa yang mencari nafkah karena
kerabat tidak hanya ushul dan furu' tetapi juga pada menyamping dan dzawi
al-arham. Sedangkan Hanabilah berpendapat lebih bersifat umum yaitu
mencari nafkah selama masih dalam garis keturunan
48Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Halim Publishing
dan Distributing, 2013), h. 84
34
4. Nafkah Untuk Benda Milik
Ternak karena alasan kepemilikan seperti budak dan hewan
peliharaan diwajibkan untuk menghidupi mereka dengan menyediakan
makanan dan minuman yang dapat menopang kehidupan mereka. Jika
seseorang tidak ingin memberikan nafkah untuk budak dan hewan
peliharaannya, hakim dapat memaksa orang tersebut untuk mencari nafkah
untuk hewan peliharaan dan budak atau pelayannya.49
Dari penjelesan diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa konsep
nafkah dalam pandangan hukum islam adalah wajib. Tetapi dalam pemenuhannya
seseorang dituntut terlebih dahulu untuk memenuhi nafkah diri sendiri sebelum
memberikan nafkah kepada orang lain hal ini dijelsakan dalam hadis riwayat
Muslim. Adapun sebab-sebab diwajibkannya nafkah karena 3 hal yaitu
zaujiyyah(pernikahan),qarabah (kerabat)dan milkiyyah (kepemilikan).
49 https://www.republika.co.id
35
BAB IV
KONSEP DAN PEMENUHAN NAFKAH DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
A. Konsep Nafkah Dalam Perspektif Hukum Islam
Nafkah bukan hanya pemberian seorang suami kepada istrinya, tetapi
juga merupakan kewajiban atau tanggung jawab antara seorang ayah dengan
anaknya, seorang ayah dengan orang tuanya dan juga memiliki kewajiban
dengan sesuatu yang dimilikinya. Penghidupan merupakan kewajiban yang
harus dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pokok baik suami terhadap
isteri, ayah terhadap anak-anaknya maupun terhadap keluarganya.
1. Yang Wajib Diberi Nafkah
Nafkah wajib diberikan kepada beberapa orang, yaitu:
a. Isteri
Orang yang wajib memberinya nafkah adalah suaminya, baik
isterinya kaya ataupun miskin. Segala kebutuhan isteri harus terpenuhi
berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain.
Orang yang berharta harus memberikan biaya hidup kepada isterinya
sesuai dengan tingkat kekayaannya, dia tidak boleh bersikap pelit
kepada isterinya dalam memenuhi kebutuhan isterinya, sebagaimana
Allah telah melapangkan rezeki baginya, selama tidak berlaku mubadzir
dan berlebihan.50
50 Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim “Konsep Hidup Ideal Dalam
Islam” (Jakarta: Darul Haq), Cet. XV, h. 807
36
Sayyid Sabiq mengatakan bahwa kewajiban suami memberi
nafkah kepada isterinya karena alasan berikut:
1) Adanya ikatan perkawinan yang sah.
2) Suami telah menggauli tubuh isterinya.
3) Isteri telah menyerahkan dirinya kepada suami.
4) Isteri telah menaati kehendak suami.
5) Keduanya telah menikmati hubungan seksualitas.51
Jika salah satu dari kelima alasan tersebut tidak dipatuhi oleh
isteri, maka suami tidak wajib memberikannya nafkah.
Hak seorang isteri menerima nafkah bisa menjadi gugur apabila:
1) Bila akad nikah mereka batal atau rusak (fasid), seperti jika
dikemudian hari ternyata keduanya mempunyai hubungan mahram
dan sebagainya, maka seorang isteri wajib mengembalikan nafkah
yang telah diberikan suaminya jika nafkah itu diberikan atas dasar
keputusan pengadilan. Bila nafkah itu diberikan tidak berdasarkan
keputusan pengadilan, maka isteri tidak wajib mengembalikannya.
2) Isteri masih belum baligh dan ia masih tetap dirumah orang tuanya.
Menurut Abu Yusuf isteri berhak menerima nafkah dari suaminya
jika isteri telah serumah dengan suaminya, karena dengan serumah
itu berarti isteri telah terikat di rumah suaminya.
51Terkutip dalam Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku II), (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2001), h. 34
37
3) Isteri dalam keadaan sakit karena itu ia tidak bersedia serumah
dengan suaminya.Tetapi jika ia bersedia serumah dengan suaminya
ia tetap berhak mendapatkan nafkah.
4) Bila isteri melanggar larangan Allah yang berhubungan dengan
suami isteri, seperti meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa
seizin suaminya.
5) Bila isteri nusyuz, yaitu tidak lagi melaksanakan kewajiban-
kewajiban sebagai isteri.52
Pemberian nafkah kepada seorang isteri bisa dihentikan, karena
nafkah adalah kompensasi suami terhadap isterinya. Jika seorang isteri
tidak melaksanakan kewajibannya maka suami boleh untuk tidak
memberikan nafkah kepada isterinya.
b. Orang Tua
Orang tua yang dimaksud adalah orang tua dari pihak ayah dan
dari pihak ibu, seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya dan
tidak boleh membiarkan orang tuanya hidup menderita atau terlunta-
lunta. Orang tua wajib diberikan nafkah jika keadaan orang tua dalam
keadaan miskin, orang tua tidak wajib diberikan nafkah ketika kondisi
anak dalam kondisi miskin atau dalam artian memiliki kehidupan yang
hanya mampu untuk memberi makan anak dan isterinya sebagaimana
firman Allah , “Allah tidak akan membebankan sesuatu sesuai dengan
kesanggupannya”. Dalam hal ini seorang anak boleh untuk tidak
memberikan nafkah kepada orangtuanya.
52 Zakiyah Drajat, Ilmu Fiqh Jilid 2 (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf 1995), h.
144-145
38
c. Anak
Jika sang anak masih kecil atau belum baligh dan belum memiliki
harta maka biaya dan kebutuhan anak adalah tanggung jawab ayahnya.
Orang tua yang kaya juga harus membiayai anak-anaknya sesuai
dengan standar kekayaannya.53
d. Pembantu (Budak)
Seorang muslim tidak patut membiarkan seorang budak
kelaparan atau meminta-minta kepada orang lain, sementara dirinya
menikmati pengabdian dan hasil kerjanya. Oleh karena itu majikannya
wajib untuk memberikannya nafkah.
e. Binatang Peliharaan
Seseorang yang mempunyai binatang wajib memberi makan
binatang tersebut, dan dia juga wajib untuk menjaga dan merawatnya .54
وسلم قال: عذبت امرأة في هرة عن عبد الله، أن رسول الله صلى الله عليه
ها، إذ ها وسقتـ ها حتى ماتت فدخلت فيها النار، لا هي أطعمتـ سجنـتـ
ها �كل من خشاش الأرض ها، ولا هي تـركتـ حبستـ
Artinya:
“Dari Abdullah bahwa Rasulullah SAW bersabda: ada seorang wanita yang disiksa dikarenakan kucing yang ia tahan hingga kucing itu mati, lalu karena hal itu wanita tersebut masuk neraka. Demikian itu karena ia tidak memberikan makan dan minum kepada kucing itu ketika ia menahannya dan ia pun tidak membiarkan kucing itu (keluar untuk) memakan binatang tanah”.55
53 Abdullah Lam bin Ibrahim, Fiqh Finansial (Surakarta: Era Intermedia, 2005), h. 230 54 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Islam), (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2011), h. 421 55
39
2. Sebab- Sebab Diberikannya Nafkah
Sebab-sebab diberikannya nafkah dapat digolongkan menjadi tiga
sebab, yaitu:
a. Sebab hubungan nasab/keturunan
Dalam hukum Islam, hubungan nasab atau keturunan
merupakan hubungan yang dapat mengikat, artinya dengan adanya
hubungan nasab seseorang bisa menerima harta seseorang. Karena
hubungan nasab atau keturunan sangat dekat maka timbullah hak dan
kewajiban. Misalnya kewajiban memberi nafkah, baik kepada isteri,
suami, anak ataupun kedua orang tua.
Ahli fiqih mengatakan: ”Bahwa hubungan kekeluargaan yang
menyebabkan nafkah adalah keluarga dekat yang membutuhkan
pertolongan”.56 Maksudnya adalah keluarga yang mempunyai
hubungan langsung secara vertikal dan horizontal, seperti hubungan
orang tua dengan anaknya, anak dengan orang tuanya dan kakek serta
saudara-saudara yang dekat lainnya yang apabila mereka tidak mampu
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Memberikan nafkah kepada kerabat terdekat merupakan
kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang, jika mereka
berkecukupan dan mampu kemudian kerabat dekatnya benar-benar
membutuhkan pertolongan karena miskin dan sebagainya maka ia
berkewajiban untuk memberikan nafkah. Kerabat terdekat lebih
56 Imron Abu Amar, Fathul Qorib, (Kudus: Menara Qudus, 1983), h. 96
40
berhak untuk disantuni dan dinafkahi dari pada kerabat yang jauh,
sekalipun keduanya sama-sama membutuhkan bantuan.
Imam Hanafi berpendapat: “Wajib nafkah kepada kaum
kerabat oleh kerabat yang lain hendaknya hubungan kekerabatan
antara mereka itu merupakan hubungan yang menyebabkan
keharaman nikah.” 57Kekerabatan yang dimaksud adalah kekerabatan
yang hubungannya langsung ke atas dan ke bawah seperti orang tua,
anak, kakek, nenek dan saudara yang hubungannya dirahamkan jika
mereka menikah.
b. Sebab Kepemilikan
Seseorang berkewajiban memberikan nafkah terhadap apa
yang dimiliknya, seperti hamba sahaya atau pelayan dan binatang
peliharaan, mereka harus diberikan makanan dan minuman untuk
bertahan hidup.
Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat: “Hakim boleh
memaksa orang yang mempunyai binatang untuk memberikan nafkah
binatang-binatang, kalau tidak sanggup menafkahinya, boleh dipaksa
menjualnya.” 58
Maksudnya adalah seorang hakim boleh memaksa si pemilik
untuk memberikan nafkah kepada binatangnya, jika ia tidak mampu
maka binatang itu harus dijual.
57 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Basrie Press 1994),
Cet ke I, h.150 58 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam,(Jakarta: Bulan
Bintang),Cet ke IV, h. 272
41
Oleh sebab itu, seseorang yang tidak melaksanakan tugas dan
kewajibannya sebagaimana seharusnya, maka hakim boleh
memaksanya untuk memberikan nafkah atau menyuruhnya untuk
menjual atau melepaskannya. Jika tetap tidak menjalankannya, maka
hakim boleh mengambil tindakan dengan tindakan yang baik.
c. Sebab Perkawinan
Perkawinan merupakan salah satu syarat diwajibkannya
nafkah, oleh karena itu dengan terucapnya akad nikah, maka saat itu
juga seorang isteri telah terikat dengan suaminya, mengurus dan
mengasuh anak-anak serta mengatur kebutuhan rumah tangga dan lain
sebagainya.
Suami diharuskan untuk memberikan nafkah kepada isteri
yang taat kepadanya, yaitu dengan mencukupi kebutuhan hidup rumah
tangga, kebutuhan rumah tangga yang wajib dipenuhi oleh suami
meliputi:
1) Belanja dan keperluan rumah tangga sehari-hari.
2) Belanja pemeliharaan kehidupan anak-anak.
3) Belanja sekolah dan pendidikan anak-anak.59
Mengenai kebutuhan pemeliharaan anak dan pendidikan
anak, diwajibkan ketika anak belum dewasa, namun jika usia anak
sudah dewasa atau baligh dan telah mampu untuk berusaha dan
memiliki harta, maka bapak tidak lagi memiliki kewajiban untuk
59 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (UU No.1
Tahun 1974), (Yogyakarta: Liberty), 1982,h. 90
42
memberikan nafkah kepada anaknya. Tetapi apabila anak sudah
dewasa namun masih menuntut ilmu, maka kewajiban bapak
memberikan nafkah kepada anaknya tidak gugur. Hal ini sesuai
dengan pendapat Imam Hanafi :”Anak yang telah dewasa, jika ia
masih menuntuut ilmu pengetahuan, maka bapak wajib memberi
nafkah”. Maka seorang ayah atau suami diwajibkan untuk
menanggung nafkah isteri serta anak-anaknya, karena ayah adalah
kepala keluarga yang bertanggung jawab dalam suatu rumah tangga,
sebagaimana firman Allah swt dalam surah An-Nisa ayat 34:
بـعضهم على بـعض وبما انـفقوا من ء بما فضل ا�الرجال قـوامون على النسا
تي تخافـون نشوزهن وال لحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ ا� اموالهم فالص
غوا عليهن فعظو هن واهجروهن فى المضاجع واضربـوهن فان اطعنكم فلا تـبـ
كان علي�ا كبيرا سبيلا ا��
Terjemahnya:
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian
yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan
yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga
diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga
(mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan
nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah
mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah
mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah
Mahatinggi, Mahabesar”.60
60Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Halim Publishing
Dan Distributing, 2013), h. 84
43
3. Syarat- Syarat Kepemilikan Hak Terhadap Nafkah
Adapun syarat memiliki hak atas nafkah terbagi menjadi beberapa
syarat sebagai berikut:
a. Akad nikah dilaksanakan secara sah.
b. Isteri telah menyerahkan diri kepada suaminya.
c. Isteri menyediakan diri bagi suami untuk dapat menikmati dirinya.
d. Isteri tidak keberatan untuk pindah tempat apabila suami
menghendakinya, kecuali apabila suami bermaksud jahat dengan
kepergianya itu.
e. Kedua suami isteri masih mampu melaksanakan kewajiban mereka
sebagai suami isteri.61
Abdur Rahman juga menyebutkan beberapa syarat isteri bisa
mendapatkan nafkah, diantaranya sebagai berikut:
3. Ikatan perkawinan itu harus sah.
4. Isteri taat dan patuh kepada suami.
5. Isteri memberi dan melayaninya sepanjang waktu yang
diperbolehkan.
6. Isteri tidak menolak untuk menyertai suami ketika ia bepergian,
kecuali si isteri merasa yakin bahwa perjalanan itu tidak amanbagi
dirinya dan hartanya.
7. Kedua belah pihak dapat saling membantu satu sama lain.62
61 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Terj. Ahmad Zulfikar dan Muhammad Khoyrurrijal, (Jakarta: Zaman, 2013), h. 329 62 Abdurrahman, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,
1992),Cet, I, h. 127
44
Jika salah satu dari syarat di atas tidak terpenuhi, maka suami tidak
berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada isterinya, demikian pula
jika isteri nusyuz kepada suaminya.
Apabila isteri belum dewasa, yaitu dalam keadaan belum bisa
untuk disenggamai namun sudah berada dalam ikatan suami isteri, maka
dalam hal ini para ulama berpendapat:As-Syafi’i mengatakan: “Bahwa
nafkah isteri yang masih kecil tidak wajib diberikan oleh suaminya”Dalam
Qaul Jadid Ash-Syafi’i mengatakan pula: “Bahwa suami yang masih kecil
wajib memberikan nafkah kepada isterinya yang telah
dewasa”.63Maksudnya adalah suami tidak berkewajiban untuk
memberikan nafkah kepada isterinya yang masih kecil, karena suami tidak
dapat mensenggamai isterinya, sehingga isteri tidak berhak untuk
menerima uang belanja (nafkah) sebagai balasannya. kemudian suami
yang usianya masih di bawah umur tetap wajib untuk memberikan nafkah
kepada isterinya yang telah dewasa.
Golongan Hanafiah mengatakan: “Jika isteri yang masih kecil di
tempat tinggalkan di rumah suaminya, maka isteri berhak untuk
mendapatkan nafkah, karena suami telah rela menerima kekurangan
isterinya itu”.Oleh sebab itu suami yang menempatkan isterinya di
rumahnya, walaupun masih kecil atau dalam keadaan belum bisa untuk
63 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1991), h.269
45
disetubuhi, maka suami bertanggung jawab untuk membelanjainya, yaitu
dengan memberikan nafkah kepada iterinya dan memberikan keperluan
hidup lainnya.Hal ini berdasarkan kaedah umum: “Setiap orang yang
menahan hak orang lain atas kemanfaatannya, maka ia bertanggung
jawab membelanjainya”.64
Di samping suami diwajibkan memberi nafkah kepada isterinya
yang berada dalam naungannya, tetapi ada pula beberapa hal yang seorang
suami boleh untuk tidak memberikan nafkah kepada isterinya, yaitu
sebagai berikut:
1. Isteri kabur atau pindah dari rumah suaminya ke tempat lain tanpa
seizin suaminya atau alasan yang dibenarkan oleh agama.
2. Isteri bepergian tanpa perkenaan suaminya
3. Isteri ihram pada waktu ibadah haji tanpa seizin suami
4. Isteri menolak untuk disetubuhi oleh suaminya
5. Isteri dipenjara karena melakukan tindak pidana
6. Suami meninggal sehingga ia menjadi janda, dalam hal ini isteri berhak
mewarisi harta peninggalan suaminya, sesuai dengan bagian yang
ditetapkan.65
Oleh karena itu, isteri yang tidak mematuhi perintah suaminya,
menyebabkannya tidak berhak untuk menerima nafkah dari suaminya.
64 Terkutip dalam, Konsep Nafkah Dalam Hukum Islam, Kanun Jurnal Ilmu Hukum,
No. 66, Th.XVII, Agustus, 2015, h. 391 65 Syamsul Bahri, Konsep Nafkah Dalam Hukum Islam, Kanun Jurnal Ilmu Hukum,
No.66, Th. XVII, Agustus 2015, h. 391
46
B. Pandangan Ulama Tentang Tanggung Jawab Suami Isteri dalam
Memenuhi Nafkah Keluarga
Hubungan pernikahan merupakan hubungan yang mengikat serta
melahirkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami isteri yang
sebelumnya tidak ada. Salah satu kewajiban tersebut adalah kewajiban untuk
memberikan nafkah.
Nafkah merupakan salah satu kewajiban yang ditetapkan syara’
kepada seorang suami terhadap isteri. Nafkah wajib diberikan berdasarkan
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Ulama.66
Dalam konsep keluarga muslim, tidak ada perbedaan mendasar
antara suami isteri. Isteri memiliki hak atas suami mereka, sama dengan hak
yang ada pada para suami atas diri mereka. Suami dan isteri memiliki
hubungan yang bersifat sejajar. Kesejajaran antara suami dan isteri dalam
sebuah rumah tangga, bukan berarti memposisikan suami dan isteri harus
diperlakukan sama. Mensejajarkan suami dan isteri dalam kerja rumah rumah
tangga, misalnya suami berkewajiban untuk mengurus anak, sama halnya
dengan isteri memiliki kewajiban untuk mengurus anak. Artinya kewajiban
mengurus anak tidak mutlak menjadi kewajiban isteri semata, melaikan
kewajiban bersama suami isteri.
1. Tanggung Jawab Suami dalam memenuhi nafkah keluarga
Disebutkan oleh Abdurrahman al-Jazairi, bahwa nafkah merupakan
beban yang dikeluarkan oleh seseorang terhadap orang yang wajib
66 Jumni Nelli, Analisis Tentang Kewajiban Nafkah Keluarga Dalam Pemberlakuan
Harta Bersama, Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 2, No. 1, 2017, h. 32
47
dinafkahi, yaitu pemberian oleh suami kepada keluarganya.67 Seorang
suami berkedudukan sebagai kepala keluarga yang memiliki kewajiban
untuk memberikan nafkah kepeda keluarganya.
Ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah
menjelaskan bahwa, kewajiban memberi nafkah belum jatuh kepada suami
hanya dengan akad nikah semata-mata. Kewajiban itu mulai berawal
ketika sang isteri sudah menyerahkan dirinya kepada suaminya, atau ketika
sang suami sudah mencampurinya.68 Seorang suami wajib memberikan
nafkah bagi isteri selama ia menunaikan kewajibannya.
Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan bahwa memberi nafkah
kepada keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami. Syari’at
menyebutnya sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para
suami yang telah melaksanakan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak
akan mendapat balasan apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang
akan diberikan bagi orang yang besedekah. Oleh sebab itu, syari’at
memperkenalkan kepada mereka, bahwa nafkah kepada keluarga juga
termasuk sedekah, sehingga tidak boleh memberikan sedekah kepada
selain keluarga mereka, sebelum mereka mencukupi nafkah yang wajib
bagi keluarga mereka, hal ini sebagai pendorong untuk lebih
mengutamakan sedekah wajib mereka keluarkan dari sedekah sunnah.
Allah swt telah menjelaskan tentang keutamaan memberikan
nafkah kepada keluarganya melalui nabi SAW.
67al-Fiqh ‘ala Madzahib Arba’ah, Abdurrahman al-Jazairi, Terkutip Dalam, Ibnu
Rozali, Konsep Memberi Nafkah Bagi Keluarga Dalam Islam, Vol.06, No.2, 2017, h. 191 68 Available Onine at: http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intelektualita
48
عن أبي هريـرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: دينار أنـفقته في سبيل
أنـفقته في رقـبة، ودينار تصدقت به على مسكين، ودينار أنـفقته على الله ودينار
أهلك، أعظمها أجرا الذي أنـفقته على أهلك
Artinya: “Dari Abu Hurairah berkata: Berkata Rasulullah SAW: Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau infakkan kepada keluargamu”.69
عن عبد الله، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: عذبت امرأة في هرة
ها، إذ ها وسقتـ ها حتى ماتت فدخلت فيها النار، لا هي أطعمتـ سجنـتـ
ها �كل من ها، ولا هي تـركتـ خشاش الأرض حبستـ
Artinya: “Dari Hakim bin Muawiyah al-Qusyairy ra. berkata, aku bertanya kepada
Rasulullah SAW., wahai Rasulullah, apa hak isteri salah seorang diantara kaami yang harus dipenuhinya? Beliau menjawab: Hendaknya kamu memberinya makan jika kamu makan, dan memberinya pakaian jika kamu mengenakan pakaian, dan jangan memukul wajah, jangan menjelek-jelekkan, dan jangan berseteru kecuali di dalam rumah”.70
Sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab kepada
isteri, anak serta keluarganya, seorang suami memiliki kewajiban yang
sudah Allah tetapkan, diantaranya adalah adanya hak-hak isteri dan anak-
anak yang wajib untuk diberikan. Kewajiban tersebut adalah memberikan
nafkah kepada isteri, anak serta keluarganya.
69 Muslim bin Hajjaj Abu al-Hasan, al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut:
Daar al-Ihya al-Taratsu al-Arabi,2003), No. 995, h. 692 70Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’abi bin Ishaq bin Basyir, Sunan Abu Daud,
No.1830, h. 45
49
2. Tanggung jawab isteri dalam memenuhi nafkah keluarga
Hukum Islam telah mengatur semua hal, baik dari hal terkecil
sekalipun, apalagi tentang persoalan harkat dan martabat seorang
perempuan, di dalam Islam perempuan sangat dimuliakan.
Hukum asal seorang isteri mencari nafkah adalah ibahah (boleh).
Karena permasalahan ini tidak ada nash secara jelas yang mengaturnya.
Tidak ada larangan dan juga tidak ada suruhan. Hal ini berdasarkan
dengan kaedah fikih: “Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga
ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya”.71 Maka dari itu tidak
ada larangan bagi seorang isteri mencari nafkah untuk keluarganya, tetapi
ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Kaidah fikih juga menyebutkan: “Bahaya itu menurut syara’ harus
dihilangkan”, dan “Kebutuhan itu di tempatkan pada tempat darurat, baik
bersifat umum atau khusus”.72 Dalam hal ini kebutuhan keluarga yang
dipenuhi oleh isteri hanya setingkat hajat, tidak sampai ketingkat darurat.
Kondisi seorang suami tidak mampu mencari nafkah, misalnya sedang
sakit, dapat cacat permanen, maka suami berada dalam kondisi fakir
sehingga ia berhak untuk menerima zakat. Dalam kondisi ini amil zakat
wajib memberikan ia zakat. Jika isteri tidak berusaha mencari nafkah,
maka isteri tidak boleh dituntut karena posisi seorang isteri sebagai
penerima nafkah, bukan dalam posisi wajib memberi nafkah, sebagaimana
kewajiban suami.
71 Elimartati, Hukum Isteri Mencari Nafkah,Islam Transformatif:Journal of Islamic
Studies, Vol. 02, 2018, h. 72 Terkutip dalam, Islam Transformatif:Joournal Of Islamic Studies, Elimartati,
Vol.2, No. 2, 2018, h. 198
50
Perbedaan tingkat kebutuhan darurat dengan hajat, sebagai berikut:
a. Darurat lebih kuat dorongannya dari pada hajat. Darurat dibangun atas
dasar prinsip mengerjakan sesuatu untuk melepaskan diri dari
tanggung jawab, tetapi manusia tidak dapat meninggalkannya.
Sedangkan hajat dibangun atas dasar prinsip memberi kelapangan dan
kemudahan dalam hal yang manusia dapat meninggalkannya. seperti
kewajiban untuk mencari nafkah adalah suami, sedangkan seorang
isteri hanya membantu disaat suami tidak berkesempatan.
b. Ketetapan hukum pengecualian yang telah mantap karena darurat,
pada umunya merupakan pembolehan yang bersifat sementara bagi
sesuatu yang dilarang berdasarkan nash secara jelas bahwa itu
dilarang syara’. Adapun ketetapan-ketetapan hukum yang dibangun di
atas perinsip kebutuhan (hajat), maka itu pada umumnya tidak
bertentangan dengan nash yang shareh (jelas). Seperti suami tidak
memberi nafkah dilarang dalam syara’. Yang artinya seorang suami
wajib untuk membayar nafkah. Adapun ketetapan hukum yang
dibangun atas perinsip hajat, pada umumnya tidak bertentangan
dengan nash yang sudah jelas. Hajat membolehkan yang dilarang
untuk sementara.73
Hukum Islam mengajarkan kepada setiap individu untuk
memerangi kemiskinan dengan cara bekerja dan berusaha.
73 Ellimartati, Hukum Isteri Mencari Nafkah Dalam Tinjauan Maqashid Syariah,
Islam Transformatif: Journal Of Islamic Studies, Vol.02, No. 02, Juli-Desember 2018, h. 198
51
Tugas atau peran uatama yang harus dijalankan oleh seorang isteri
adalah mengurus rumah tangga, mendidik anak, menjaga harta suami.
Isteri yang sibuk bekerja di luar rumah akan melalaikan tugas utamanya,
maka hukum seorang isteri bekerja di luar rumah adalah makruh, apabila
suaminya memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah kepada
isterinya.Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa niat dapat merubah
ketentuan hukum. Hukum asal seorang isteri mencari nafkah adalah untuk
membatu suaminya. Hal ini berdasarkan Hadis riwayat Bukhari:
عنه على المنبر قال: سمعت رسول ا� صلى الله عن عمر بن الخطاب رضي ا�
ا لكل امرئ ما نـوى، فمن كانت ا الأعمال �لنيات، وإنم عليه وسلم يـقول: إنم
هجرته إلى دنـيا يصيبـها، أو إلى امرأة يـنكحها، فهجرته إلى ما هاجر إليه
Artinya: “DariUmar bin Khattab ra. berkata bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya setiap amalan bergantung kepada niat (pelakunya) dan setiap orng akan mendapatkan balasan tergantung kepada niatnya. Siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu untuk Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrah untuk mendapatkan kenikmatan dunia ataupun untuk perempuan yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang dihijrahkan (niatkan)”.74
Dalam sebuah kaedah fikih dikatakan bahwa: “Segala urusan
(perkara) bergantung kepada tujuannya, tidak ada pahala dan sanksi bila
sesuatu dilakukan dengan tanpa niat”.Jika seorang isteri bekerja di luar
rumah akan menimbulkan masalah-masalah dalam rumah tangganya,
maka isteri diharuskan untuk mengutamakan keharmonisan rumah
tangganya daripada pekerjaannya yang di luar rumah. Hal ini berdasarkan
74Terkutip dalam, Islam Transformatif:Joournal Of Islamic Studies, Elimartati, Vol.2,
No. 2, 2018, h.199
52
kaedah fikih yang menyatakan bahwa menghilangkan mafsadat
didahulukan dari mengambil manfaat.75Oleh sebab itu jika kerjannya
seorang isteri menimbulkan ketidak harmonisaan maka lebih baik untuk
tidak bekerja.
Hukum seorang isteri boleh bekerja mencari nafkah akan berubah
menjadi haram jika ia bekerja dapat menimbulkan dampak negatif bagi
keluarganya dan tidak mampu memenuhi syarat-syarat yang digariskan
dalam hukum Islam, sebagai berikut:
a. Tidak mendapatkan izin dari suaminya, maksudnya seorang suami
melarang isterinya untuk bekerja sehingga dapat menimbulkan
terjadinya pertengkaran antara suami dengan isterinya.
b. Isteri sibuk bekerja di luar rumah sehingga melalaikan tugas
utamanya, yaitu mengurus suami dan anak-anaknya.
c. Tidak mampu mewujudkan ketentraman, keharmonisan, dan kasih
sayang antaranggota keluarga di dalam rumah tangga, yang akhirnya
akan diakhiri dengan perceraian.
d. Pekerjaan yang dilakukan melanggar hal yang dilarang hukum Islam,
seperti bekerja di diskotik, di lembaga prostitusi dan lain sebagainya
yang diharamkan dan merupakan perbuatan maksiat.
e. Keluarga terpecah karena suami isteri sibuk bekerja dan anak-anak
menjadi terlantar.76
75 Ellimartati, Hukum Isteri Mencari Nafkah Dalam Tinjauan Maqashid Syariah,
Islam Transformatif: Journal Of Islamic Studies, Vol.02, No. 02, Juli-Desember 2018, h. 199 76 Ellimartati, Loc. cit
53
Oleh sebab itu jika seorang isteri tidak mampu memenuhi syarat di
atas maka seorang isteri tidak diperbolehkan untuk bekerja di luar rumah.
Haramnya seorang isteri bekerja di luar rumah berdasarkan pada
surah al-Ahzab ayat 33:
وقـرن في بـيـوتكن ولا تبرجن تبرج الجاهلية الاولى واقمن الصلوة واتين الزكوة
ورسوله ركم تطهيراواطعن ا� ليذهب عنكم الرجس اهل البـيت ويطه ا يريد ا� انم
Terjemahnya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” 77
Ayat tersebut memerintahkan seorang perempuan untuk tetap
berada di dalam rumahnya karena hal itu lebih baik bagi dirinya agar
terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan dampak
negatif bagi dirinya.
77Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Surabaya: Halim Publishing Dan Distributing, 2013), h. 422
54
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang penulis paparkan pada bagian atas, maka
dapat disimpulkan beberapa hal yaitu sebagai berikut:
1. Konsep nafkah dalam perspektif hukum Islam
Nafkah merupakan pemberian oleh suami kepada isteri serta
keluarganya. Pemberian nafkah merupakan suatu kewajiban yang harus
dipenuhi oleh seorang suami, adapun dasar hukum diwajibkannya nafkah
adalah wajib seperti dijelaskan dalam Qs. Al-Baqarah ayat 215.
Kewajiban suami dalam memberikan nafkah kepada isterinya
telah disepakati oleh para ulama (ijma’), bahwa wanita itu terkekang oleh
pernikahan dan menjadi hak suaminya. Dan dia dilarang bekerja, untuk
memenuhi kebutuhannya dilimpahkan kepada suaminya.
2. Pandangan ulama tentang tanggung jawab suami isteri dalam memenuhi
nafkah keluarga
a. Abdurrahman al-Jazairi menyebutkan bahwa nafkah merupakan beban
yang dikeluarkan oleh seseorang terhadap orang yang wajib dinafkahi,
yaitu pemberian oleh suami kepada keluarganya.
b. Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan bahwa memberi nafkah kepada
keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami dan hukum asal
55
seorang isteri mencari nafkah adalah ibahah (boleh). Karena
permasalahan ini tidak ada nash secara jelas yang mengaturnya.
c. Ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah
menjelaskan bahwa, kewajiban memberi nafkah belum jatuh kepada
suami hanya dengan akad nikah semata-mata. Kewajiban itu mulai
berawal ketika sang isteri sudah menyerahkan dirinya kepada
suaminya, atau ketika sang suami sudah mencampurinya.
B. Implikasi Penelitian
Pemenuhan nafkah keluarga merupakan salah satu kewajiban yang harus
dipenuhi oleh suami, karena dalam sebuah rumah tangga suami berkedudukan
sebagai kepada keluarga yang bertugas mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Adapun kewajiban seorang isteri dalam sebuah keluarga
adalah mengurus suami dan anak serta mengatur segala keperluan rumah
tangga.
Pemenuhan nafkah mempengaruhi keharmonisan sebuah rumah tangga,
suami isteri yang memiliki peran peting dalam sebuah keluarga diharapkan
untuk menjalankan kewajibannya masing-masing sesuai dengan yang telah
ditetapkaan hukum syara’ agar tercipta keluarga yang harmonis.
56
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim Abdul Aziz Muhammad Azzam.. 2009.Fiqh Munakahat. Jakarta:Amzah. Abdullah, Goedi Dan Saebanu Ahmad Bani. 2013. Perkawinan Dan Perceraian
Keluarga Muslim. Bandung: Pustaka Setia Abdur Rahman I. Doi. 1996. Karakteristik Hukum Islam Dan
Perkawinan(Syariah I), Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Abidin, Slamet. 1999. Fikih Munakahat I. Bandung: Pustaka Setia Abudin. 2001. Metode Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Al-Sajastani, Abu Dawud. 1968. Sunan Abi Dawud. Baerut: Dar Al-Kutub Arikunto, Suharsimi. 2014. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta Asikin, Zainal Amiruddin. 1995. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Pt Raja
Grafindo As-Subki, Ali Yusuf. 2009. Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam.
Jakarta: Amza Ch, Mufida. 2014. Psikologi Keluarga Islam. Malang: Uin Maliki Press
Departemen Pendidikan Nasional. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Doi.I, Abdur Rahman. 1996. Karakteristik Hukum Islam Dan Perkawinan
(Syariah). Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada Hadi,Sutrisno. 2001. Metodologi Riset.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hasan, Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya. Jakahrta: Ghalia Ikapi
Hasan, Mustafa. 2011. Pengantar Hukum Keluarga. Bandung: Pustaka Setia
Kemeterian Agama RI. 2013. Al-Qur’an Dan Terjemahanya. Surabaya: Halim
Publishing Dan Distributing
Margono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Muhammad Yunus. 1989.,Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya
57
Muhammad, Husein. 2001. Fiqh Perempuan. Yogyakarta: Klis
Muhammad,Abdulkadir. 2004. Hukum Dan Penelitian Hukum. Bandung: Pt Citra
Aditya Bakti
Narbuko, Cholid Dan Abu Ahmadi. 1997. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Pustaka
Nasir ,M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Galia Indonesia Rasyid, Hamdan Dan Saiful Hadi El-Sutha. 2016. Panduan Muslim Dari Lahir
Sampai Mati. Jakarta: WahyuQoKlbu Sabiq, Sayid. 1986. Fikih Sunnah, Ter, M, Thalib.Bandung: Al-Ma’rif. Soekanto, Soejono Dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Raja Grafindo Persada Soemiyati. 2007. Hukum Perkawinan Dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
Yogyakarta: Liberty Syarifuddin, Amir. 2011. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana Tihami.M. A. Dah Sahrani Sohari. 2009. Fikih Munakahat: Kajian Fiqih Nikah
Lengkap. Jakarta: Pt Raja Grafindo Yunus, M. 1989. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung. Sumber-Sumber Lain:
https://www.republika.co.id
https:/id.mwikipedia.org/wiki/keluarga
L
A
M
P
I
R
A
N
RIWAYAT HIDUP
Masnaeni, Dilahirkan di Makassar, 13 September 1999, anak ke
dua dari dua bersaudara pasangan dari Basri dan Jumania.
Peneliti menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD. INP.
Kabuyu Desa Martasari Kecamatan Pedongga Kabupaten
Pasangkayu pada tahun 2011. Setelah lulus Sekolah Dasar peneliti melanjutkan
pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama di SMPN1 Pedongga kecamatan
Pedongga kabupaten Pasangkayu dan tamat pada tahun 2014. Kemudian
melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di MAN 1 Pasangkayu dan
selesai pada tahun 2017. Pada tahun 2017 peneliti kemudian melanjutkan
pendidikan di perguruan tinggi dan mengambil program studi Ahwal Syakhshiyah
di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar. Selama kuliah
peneliti pernah bergabung di himpunan jurusan yaitu Himaprodi Ahwal
Syakhsiyah menjadi anggota bidang sosial ekonomi pada periode 2018-2019, dan
pada periode 2019-2020 menjadi ketua bidang kemuslimahan.
Top Related