13
PEMBERDAYAN NELAYAN DALAM UPAYA MENGURANGI KEMISKINAN DI
KALANGAN NELAYAN INDONESIA
1.1 Pengertian Kemiskinan
1. Kemiskinan absolut: apabila tingkat pendapatannya di bawah “garis kemiskinan”
atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum,
antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan
yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja
2. Bank Dunia menetapkan bahwa garis batas kemiskinan adalah US $ 50 perkapita
pertahun untuk pedesaan dan US $ 75 perkapita per tahun untuk perkotaan.
3. Prof. Sayogya mengembangkan standar kebutuhan pokok berdasarkan atas
kebutuhan beras dan gizi. Golongan paling miskin pendapatannya 240 kg atau
kurang beras perkapita pertahun. Golongan miskin sekali pendapatannya 240
hingga 360 kg beras perkapita per tahun. Golongan miskin pendapatannya lebih
dari 360 kg tetapi kurang dari 480 kg beras perkapita pertahun.
4. Kemiskinan relatif: kondisi dimana pendapatannya berada pada posisi di atas garis
kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat
sekitarnya
5. Kemiskinan kultural: karena mengacu kepada persoalan sikap seseorang atau
masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha untuk
memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif; meskipun ada
usaha dari pihak luar untuk membantunya
14
6. Kemiskinan struktural: kondisi atau situasi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan
ketimpangan
7. Kemiskinan struktural banyak disorot sebagai penyebab tumbuh dan
berkembangnya ketiga kemiskinan yang lain
8. Laporan BPS Tahun 1996 terdapat 22,5 juta orang miskin, Tahun 1998 79,5 juta
orang (56,8 juta jiwa berada di pedesaan)
1.2 Latar Belakang Kemiskinan Nelayan
Berbagai hasil kajian penelitian, selama ini, tentang kehidupan sosial ekonomi masyarakat
nelayan telah mengungkapkan bahwa sebagian besar dari mereka, khususnya yang
tergolong nelayan buruh atau nelayan-nelayan kecil, hidup dalam kubangan kemiskinan.
Kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari-hari
sangat terbatas. Bagi masyarakat nelayan, diantara beberapa jenis kebutuhan pokok
kehidupan, kebutuhan yang paling penting adalah pangan. Adanya jaminan pemenuhan
kebutuhan pangan setiap hari sangat berperan besar untuk menjaga kelangsungan hidup
mereka (Kusnadi, 2006)
Kusnadi, 2006 mengidentifikasi sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan
nelayah:
a. Belum adanya kebijakan dan aplikasi pembangunan kawasan pesisir dan
masyarakat nelayan yang terintegrasi atau terpadu di antara para pelaku
pembangunan.
Strategi-strategi yang dapat ditempuh:
i. Mendorong secara bertahap format kebijakan pembangunan nasional
pada masa mendatang untuk lebih berorientasi pada pengembangan
15
sektor kemaritiman nasional karena memiliki keunggulan komparatif
dan kompetitif dibanding sumberdaya yang lain
ii. Meningkatkan koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi program
pembangunan antar unit kerja di internal instansi departemen; lintas
departemen; atau antar pelaku pembangunan kawasan pesisir dan
masyarakat nelayan.
iii. Mendorong pemda merumuskan blue print kebijakan pembangunan
kawasan pesisir dan masyarakat nelayan secara terpadu dan
berkesinmabungan
b. Menjaga konsistensi kuantitas produksi (hasil tangkap) sehingga aktivitas sosial
ekonomi perikanan di desa-desa nelayan berlangsung terus
Strategi:
i. Meningkatkan kualitas teknologi penangkapan dan dukungan fasilitas
lain yang memadai. Sifat teknologi tersebut adalah ramah lingkungan,
relevan dengan kondisi perairan, dan bisa mengatasi tantangan alam
ii. Meningkatkan akses informasi nelayan terhadap layanan peta lokasi
potensi ikan
iii. Menjaga kelestarian lingkungan laut dengan bergabagi upaya yang
konstruktif dan berlanjut.
c. Maslah isolasi geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar masuk barang,
jasa, kapital, dan manusia. Berimplikasi melambatkan dinamika sosial, ekonomi,
dan budaya masyarakat nelayan.
Strategi:
16
i. membangun sarana dan prasarana ekonomi, seperti jalan raya, sarana
transportasi, pelabuhan perikanan, dan fasilitas pendukung lainnya.
ii. Membangun pusat informasi dan fasilitas pendukungnya
d. Keterbatasan modal usaha atau investasi sehingga menyulitkan nelayan
meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya
Strategi:
i. Mengembangkan fungsi lembaga keuangan mikrodan koperasi yang
memihak nelayan
ii. Membangun usaha bersama, seperti melalui pemilikan sarana-sarana
penangkapan secara kolektif
e. Adanya relasi sosial ekonomi ”eksploitatif” dengan pemilik perahu dan pedagang
perantara (tengkulak) dalam kehidupan masyarakat nelayan
Strategi:
i. Mengurangi beban utang piutang yang kompleks para nelayan kepada
pemilik perahu dan tengkulak
ii. Memperbaiki norma sistem bagi hasil dalam organisasi penangkapan,
sehingga tidak merugikan nelayan
iii. Mengoptimalkan peran lembaga ekonomi lokal, seperti KUD Mina dan
TPI
f. Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, berdampak sulitnya
peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas hidup
17
Strategi:
i. meningatkan pemilikan lebih dari satu jenis alat tangkap, agar bisa
menangkap sepanjang musim
ii. mengembangkan diversifikasi usaha berbasis bahan baku perikanan atau
hasil budidaya perairan, seperti rumput laut
iii. memperluas kesempatan kerja sektor off fishing
iv. Transmigrasi nelayan
g. Kesejahteraan sosial nelayan yang rendah sehingga mempengaruhi mobilitas sosial
mereka
Strategi:
i. membangun fasilitas sosial untuk kepentingan publik
ii. Mengurangi ”gaya hidup boros” atau pengeluran rumah tangga yang
kurang perlu dan mentradisiskan menabung (saving)
iii. Mengembangkan program pendidikan atau pelatihan ketrampilan
menengah berbasis kegiatan ekonomi perikanan dan kelautan, bagi
anak-anak nelayan
h. Lemah karsa (Prof. Herman Soewardi)
Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya
nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait
karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud
membuat sehingga nelayan tetap dalam kemiskinannya.
Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai negara
Asia serta Anderson (1979) yang melakukannya di negara-negara Eropa dan Amerika
Utara tiba pada kesimpulan bahwa kekauan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing
assets) adalah asalan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan
18
dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset
tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk
dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain.
Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk
mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Karena itu, meskipun rendah
produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya
tidak lagi efisien secara ekonomis.
Subade and Abdullah (1993) mengajukan argumen lain yaitu bahwa nelayan tetap
tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity
cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha
ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain,
opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka
tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap
melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.
Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di
negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka
nelayan tidak punya pilihan lain sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian apa yang
terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.
Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan
karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of
life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993)
dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa
diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata
beorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun
yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way
19
of life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain
nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka
merasa bahagia dengan kehidupan itu.
1.3 Indikator Kemiskinan pada Nelayan
Dalam mengukur tingkat kesejahteraan nelayan ada beberapa indikator yang digunakan
seperti indikator Perubahan Pendapatan Nelayan dan indikator Nilai Tukar Nelayan
(NTN). Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (P3K) (2007), mengembangkan konsep
dalam penyusunan indikator kesejahteraan masyarakat pesisir adalah dengan menggunakan
Konsep Pemetaan Kemiskinan (Poverty Mapping). Tahap awal Ditjen P3K baru
melakukan sampling di Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Kendari
Propinsi Sulawesi Tenggara dan Pesisir Pantai Propinsi Jawa Timur.
Peta kemiskinan di Propinsi Jawa Timur diukur dengan The Proverty Headcount Index
yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan
pengeluaran konsumsi per kapita dibawah garis kemiskinan ; The Proverty Gap Index yaitu
kedalaman kemiskinan di suatu wilayah merupakan perbedaan rata-rata pendapatan orang
miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut; dan
The Severity of Poverty yang menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah.
Hasil akhir dari penelitian menyebutkan, bahwa indikator kesejahteraan nelayan yang
terangkum dalam Nilai Tukar Nelayan (NTN) masih dapat dipertahankan sebagai salah
satu referensi dasar yang amat berharga untuk merumuskan kebijakan pembangunan sektor
kelautan dan perikanan. Dalam mempertajam analisis dan kebijakan pemberdayaan
masyarakat nelayan, indikator NTN masih perlu disandingkan dan dilengkapi dengan data
dasar dan indikator kemiskinan nelayan di daerah pesisir dan kawasan pantai di Indonesia.
20
Hasil studi Pengukurun Indikator Kesejahteraan yang telah dilakukan diperoleh
kesimpulan mengenai indicator kesejahteraan nelayan sebagai berikut :
1. Indikator Kesejahteraan Rakyat
a. Tingkat Kesehatan
Di Kabupaten Sukabumi, pada tahun 2000 derajat kesehatan yang ditunjukkan
dengan indikator persalinan oleh tenaga medis mengalami kenaikan dari 18,53
persen menjadi 20,88 persen. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran masyarakat
bahwa persalinan yang dibantu oleh tenaga medis lebih aman jika dibandingkan
dengan non medis.
Ditinjau dari tempat dan cara berobat, Penduduk di Kota Kendari sebanyak 31,22
persen penduduk di Kota Kendari masih bergantung kepada pelayanan Puskesmas,
dismping mereka mendapat pelayanan dari dokter praktek dan Rumah Sakit
Pemerintah. Untuk kondisi di tingkat kabupaten, seperti Kabupaten Kendari,
pelayanan kesehatan dari Puskesmas dan Puskesmas Pembantu menjadi tulang
punggung pengobatan masyarakat.
b. Pendidikan
Dalam hal pendidikan, yang paling menarik ditemukan di Propinsi Sulawesi
Tenggara ialah persentase penduduk yang tidak melanjutkan sekolah lagi terlalu
besar. Angka putus sekolah ini mencapai 64,24 persen untuk tingkat Kota Kendari,
sebanyak 69,53 persen untuk tingkat Kabupaten Kendari dan sebanyak 65,85
persen untuk tingkat Propinsi Sulawesi Tenggara. Angka ini terlalu besar,
mencengangkan dan cenderung tidak masuk akal.
21
Ditinjau dari pendidikan yang ditamatkan, penduduk di Kota Kendari mempunyai
struktur pendidikan masyarakat yang lebih maju daripada penduduk yang tinggal di
tingkat kabupaten, seperti di Kabupaten Kendari. Di Kota Kendari, penduduk yang
berhasil menyelesaikan tingkat pendidikan SLTA ke atas sebanyak 45,32 persen,
sedangkan penduduk yang tinggal di Kabupaten Kendari sebanyak 67,69 persen
dan di kabupaten–kabupaten lainnya di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 65,72
persen hanya berhasil ataupun tidak tamat tingkat pendidikan Sekolah Dasar.
Di Kabupaten Sukabumi, sampai tahun 2000 tingkat pendidikan penduduk di relatif
masih rendah, dimana penduduk yang berumur 10 tahun keatas tercatat 81,32
persen berpendidikan tamat SD ke bawah, sedangkan penduduk yang tamat SLTP
sebesar 11,07 persen, tamat SLTA 6,79 persen dan tamat perguruan tinggi sebesar
0,82 persen.
c. Tenaga Kerja
Penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha di Kota Kendari berbasiskan
kepada lapangan usaha perdagangan dan jasa (64,73 persen), sedangkan penduduk
yang tinggal di Kabupaten Kendari dan Kabupaten lainnya di Propinsi Sulawesi
Tenggara bekerja pada lapangan usaha di bidang pertanian (69,34 persen dan 60,70
persen). Lapangan usaha di bidang pertanian, khususnya perikanan di Kota Kendari
ditekuni oleh 8,96 persen penduduknya.
Bila dilihat dari lapangan pekerjaan, sektor pertanian masih merupakan lapangan
pekerjaan yang banyak menyerap tenaga kerja (penduduk usia 10 tahun keatas yang
bekerja) di Kabupaten Sukabumi sebesar 45,73 persen. Kemudian sektor
perdagangan, hotel dan restauran 20,47 persen, sektor industri pengolahan 11,23
22
persen dan sektor angkutan dan komunikasi 9,00 persen.
d. Mortalitas dan Fertilitas
Salah satu ukuran indeks kualitas sumberdaya manusia ialah dengan menghitung
jumlah bayi yang lahir meninggal per 1.000 kelahiran, tetapi rupanya data statistik
yang seperti ini tidak selalu tersedia. Sebagai alternatifnya adalah menggunakan
ukuran jumlah anak yang meninggal atau jumlah anak yang hidup. Ketersediaan
fasilitas sarana kesehatan yang lebih baik di Kota Kendari telah berhasil
meningkatkan jumlah anak yang hidup, yakni 86,31 persen daripada jumlah anak
yang hidup di Kabupaten Kendari yang sebanyak 76,40 persen dan di tingkat
Propinsi Sulawesi Tenggara yang sebesar 72,92 persen.
Di Kabupaten Sukabumi, persentase penduduk wanita yang pernah kawin usia 15-
49 tahun menurut jumlah anak yang dilahirkan hidup, yang paling tinggi
persentasenya adalah yang memiliki 2 anak saja yaitu sebesar 22,78 persen.
Sementara yang melahirkan anak 5 atau lebih justru mengalami penurunan,
meskipun tidak terlalu besar. Hal ini menunjukkan keberhasilan program KB.
e. Perumahan
Luas lantai rumah di Kota Kendari untuk ukuran lebih dari 100 meter persegi
sebanyak 23,37 persen, sedangkan di Kabupaten Kendari sebanyak 14,01 persen
dan di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 11,88 persen. Secara kasar dapat
diketahui bahwa penduduk yang lebih sejahtera dinikmati di Kota Kendari daripada
di Kabupaten Kendari dan kabupaten-kabupaten lainnya. Untuk penduduk yang
tinggal di pedesaan, semestinya luas lantai rumahnya dapat lebih leluasa karena
tanahnya yang masih luas.
23
Kualitas perumahan di Sukabumi secara umum relatif baik. Presentase rumah
tinggal yang berlantai tanah pda tahun 2000 sebesar 0,23 persen, angka tersebut
menunjukkan penurunan jika dibandingkan tahun 1999 (2,66 persen). Rumah
dengan atap yang layak 99,77 persen dan rumah yang berdinding tembok 51,02
persen. Ini berarti hampir separuh lebih kondisi perumahan telah memenuhi syarat
kenyamanan.
f. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
Rumah tangga yang hidup di bawah batas kemiskinan dengan golongan
pengeluaran di bawah Rp 100 ribu per kapita per bulan di kota atau dibawah Rp 80
ribu per kapita per bulan di desa dijumpai relatif banyak di desa daripada di kota.
Rumah tangga yang hidup di bawah pengeluaran Rp 100 ribu per kapita per bulan
di Kota Kendari sebanyak 14,98 persen, sedangkan rumah tangga yang hidup di
bawah pengeluaran Rp 80 ribu per kapita per bulan di Kabupaten Kendari sebanyak
57,40 persen dan di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 34,93 persen. Yang
paling menarik ialah di Kota Kendari sudah tidak ada lagi rumah tangga yang
pengeluarannya di bawah Rp 40 ribu per kapita per bulan.
Proporsi pengeluaran konsumsi rumah tangga di Propinsi Sulawesi Tenggara
sebagaimana dengan kondisi di propinsi-propinsi lainnya masih lebih banyak
digunakan untuk membeli makanan daripada untuk non makanan. Ditingkat
propinsi, rumah tangga membelanjakan 69,58 persen pengeluarannya untuk
makanan, sedangkan di Kabupaten Kendari sebesar 76,96 persen dan di Kota
Kendari sebesar 63,33 persen.
Di Kabupatem Sukabumi, persentase pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan
24
makanan masih dominan yaitu sekitar 70 persen. Sementara sisanya (30 persen)
untuk non makanan. Pada tahun 2000, lebih dari 30 persen pengeluaran bahan
makanan dibelanjakan untuk kelompok padi-padian. Ini menandakan bahwa
sumber karbohidrat yang dipilih penduduk Sukabumi masih bersumber pada padi-
padian. Keadaan ini menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya (39 persen).
Sebagai sumber protein, kelompok komoditi ikan jauh lebih banyak dikonsumsi
dibandingkan dengan daging, komoditi telur dan susu masing-masing dengan
persentase 10,36 persen; 8,49 persen dan 5,14 persen.
2. Nilai Tukar Nelayan
Nilai tukar nelayan digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui perkembangan
tingkat kesejahteraan nelayan. Data yang ada menunjukkan bahwa kehidupan nelayan di
Kota Kendari mengalami pasang surut kesejahteraannya. Perubahan tersebut bukan hanya
dialami oleh anak buah kapal, juga dialami oleh nahkoda dan juragan sampel. Mereka yang
dirugikan oleh nilai tukar nelayan di bawah indeks 100 persen dialami oleh nahkoda kapal
purse seine, ABK terampil, ABK biasa Pole & Line, juragan pancing tonda, dan ABK
biasa pancing tonda. Beberapa kemungkinan penyebab nilai tukar nelayan berada di bawah
indeks 100 persen dianalisis pada Sub bab Kamiskinan Pada Masyarakat Pesisir Pantai.
1.4 Pembangunan Partisipatif
Beberapa pengertian partisipasi dalam pembangunan yang disampaikan, sebagaimana
dikutip UNDP adalah sebagai berikut (UNDP, 2002):
25
• Dengan mengacu pada pembangunan pedesaan,…partisipasi melingkupi penyertaan
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, implementasi program, pembagian
manfaat pembangunannya dan pelibatan mereka dalam evaluasi setiap program (Cohen
dan Uphof, 1977)
• Partisipasi dikaitkan dengan usaha terencana untuk meningkatkan kontrol terhadap
sumberdaya dan regulasi institusi, juga usaha menjadi bagian dari group yang sampai
sekarang ini mengendalikan kontrol tersebut (Pearse dan Stifel, 1979).
• Partisipasi komunitas adalah sebuah proses aktif dimana komunitas lokal
mempengaruhi arah dan penentuan dari suatu proyek pembangunan dengan sebuah
arahan untuk meningkatkan penghasilan, perkembangan pribadi, kepercayaan diri dan
nilai-nilai lain yang mereka harapkan (Paul, 1987).
• Partisipasi dapat dilihat sebagai sebuah proses pemberdayaan terhadap yang selama ini
diambil dan dibatasi. Pandangan ini didasari atas pengenalan terhadap perbedaan-
perbedaan dalam kekuatan politik dan ekonomi diantara berbagai sosial group dan
kelas yang ada. Partisipasi dalam pengertian ini adalah kebutuhan kreasi organisasi dari
golongan kurang mampu yang demokratik, independen dan percaya diri (Ghai,1990).
• Partisipasi dalam pembangunan berpijak atas kemitraan yang dibangun atas dasar
dialog dari berbagai pelaku, agenda disusun bersama, dan sudut pandang dan
pengetahuan lokal dengan sengaja diminta dan dihargai. Dalam hal ini yang terjadi
adalah dialog secara langsung bukan dominasi dari pihak eksternal penyusun agenda.
Sehingga masyarakat menjadi pelaku bukan sekedar pewaris (OECD, 1994).
• Partisipasi adalah sebuah proses dimana para stakeholder mempengaruhi dan berbagi
kontrol terhadap inisiatif pembangunan, pengambilan keputusan, pemanfaatan
sumberdaya yang mempengaruhi mereka (World Bank, 1994).
26
Dari beberapa pengertian di atas nampak bahwa hal-hal pokok yang terdapat dalam
pembangunan partisipasitif adalah adanya partisipasi dalam: penentuan keputusan,
implementasi, manfaat dan evaluasi.
Di era otonomi daerah seperti sekarang ini pembangunan yang didalamnya
mendorong masyarakat untuk berpartisipasi sangatlah relevan. Sebagaimana dinyatakan
Sumodiningrat (1997:409) bahwa pembaharuan dalam strategi pembangunan daerah yang
memadukan pertumbuhan dan pemerataan pada dasarnya mempunyai tiga arah: pertama,
pemihakan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian
wewenang dalam pengelolaan pembangunan di daerah. Ketiga, modernisasi melalui
penajaman dan pemantapan arah dari perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya
masyarakat
Selanjutnya Sumodiningrat (1997:409) menyatakan bahwa perhatian khusus
diwujudkan dalam langkah-langkah strategis yang diarahkan secara langsung pada
perluasan akses kepada sumberdaya pembangunan. Disamping itu, disertai penciptaan
peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat di lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam
proses pembangunan. Dengan perluasan seperti itu peran serta masyarakat menjadi
penentu keberhasilan pembangunan daerah. Masyarakat akan makin terbuka, makin
berpendidikan, dan makin tinggi kesadarannya. Dengan demikian, makin tanggap dan
kritis terhadap segala hal yang menyangkut kehidupannya. Dalam masyarakat yang makin
maju dan berkembang, rakyat akan makin aktif ikut serta dalam menentukan nasibnya
sendiri. Peran serta masyarakat yang aktif, akan lebih menumbuhkan potensi daerah
sehingga dapat mempercepat proses peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi ini dilakukan melalui pembangunan
yang berkesinambungan, baik pembangunan ekonomi maupun sosial fisiknya. Untuk
tercapainya sasaran dan tujuan pembangunan ini, tidak terlepas dari peran serta seluruh
27
pihak yang terlibat didalamnya, termasuk masyarakat. Diharapkan agar pembangunan ini
dapat dinikmati oleh masyarakat dan dapat juga memperhatikan kelestarian lingkungan
hidup. Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa pertumbuhan akan berjalan secara
berkesinambungan jika bertumpu pada masyarakatnya. Hal ini merupakan inti
pembangunan (Kartasasmita, 1997:169)
Selanjutnya Kartasasmita menyatakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat
dapat dilihat dari tiga sisi:
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya bahwa setiap manusia, setiap masyarakat,
memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama
sekali tanpa daya, karena, kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya
untuk pembangunan daya itu, dengan mendorong, memotivasikan dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering).
Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan
iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut
penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang
(opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Untuk itu, perlu
ada program-program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-
program umum yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan
masyarakat ini.
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan,
harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurang berdayaan
dalam menghadapi yang kuat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari
interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang
28
lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan
yang tidak seimbang, dan eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Selanjutnya harus menggunakan pendekatan kelompok karena secara sendiri-sendiri
warga masyarakat yang kurang berdaya sulit untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya. Karena organisasi adalah suatu power yang penting, maka untuk
empowerment pengorganisasian masyarakat ini menjadi penting sekali. Pendekatan
kelompok juga paling efektif, dan dilihat dari penggunaan sumberdaya juga lebih efisien.
Sungguh penting pula adanya pendampingan. Penduduk miskin pada umumnya
mempunyai keterbatasan dalam mengembangkan diri. Oleh karena itu diperlukan
pendamping untuk membimbing mereka dalam upaya memperbaiki kesejahteraannya.
Pendamping ini dalam konsep pemberdayaan sangat esensial, dan fungsinya menyertai
proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat sebagai fasilitator,
komunikator, ataupun dinamisator serta membantu mencari cara pemecahan masalah yang
tidak dapat dilakukan olen masayarakat sendiri.
Dengan kata lain arah pemberdayaan masyarakat adalah menciptakan suasana atau
iklim untuk mewujudkan pengembangan potensi masyarakat dengan mendorong,
memotivasi, menyadarkan potensi yang dimilikinya untuk berkembang. Memberdayakan
masyarakat dalam bentuk tindakan nyata berupa penyediaan dan berbagai informasi serta
peluang pengembangan dan pemanfaatan ipteks. Memelihara keberlanjutan suasana/iklim
interaksi timbal balik yang beretika antar elemen masyarakat.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan memang bukanlah hal mudah.
Mewujudkannya memerlukan waktu, sumberdaya, pengertian dan ketekunan. Namun
demikian hasil akhirnya akan menjadikan proses pembangunan yang tidak hanya
(eksklusif) dalam kontrol para profesional eksternal tapi juga melibatkan masyarakat lokal,
representatif mereka, ide-ide mereka, kemampuan dan pengetahuan mereka. Partisipasi
29
masyarakat dapat menjamin keberlangsungan (sustainability) pembangunan itu sendiri,
dapat membuat aktivitas pembangunan lebih efektif dan dapat membantu meningkatkan
kapasitas lokal.
Dari berbagai faktor yang ada frekuensi pertemuan dan penyebaran (dissemination)
informasi merupakan elemen paling penting yeng menentukan tingkat partisipasi yang
dirasakan masyarakat dalam suatu proyek pembangunan. Meskipun ketika tidak ada
manfaat yang bersifat fisik atau tampak yang segera terjadi, penyebaran informasi dan
konsultansi dalam masyarakat dapat mempersiapkan masyarakat untuk program berikutnya
dan memfasilitasi aktifitas keterlibatan mereka dalam program pembangunan (UNDP,
2002).
1.5 Mengentaskan Kemiskinan Masyarakat Pesisir
Berbagai program, proyek dan kegiatan telah dilakukan untuk mengentaskan
nelayan dari kemiskinan. Namun seperti digambarkan pada Tabel 1, ternyata jumlah
nelayan kecil secara magnitute tetap bertambah. Desa-desa pesisir semakin hari semakin
luas areanya dan banyak jumlahnya. Karena itu meskipun banyak upaya telah dilakukan,
umumnya bisa dikatakan bahwa upaya-upaya tersebut belum membawa hasil yang
memuaskan.
Motorisasi armada nelayan skala kecil adalah program yang dikembangkan pada
awal tahun 1980-an untuk meningkatkan produktivitas. Program motorisasi dilaksanakan
di daerah padat nelayan, juga sebagai respons atas dikeluarkannya Keppres No. 39 tahun
1980 tentang penghapusan pukau harimau. Program ini semacam kompensasi untuk
30
meningkatkan produksi udang nasional. Namun ternyata motorisasi armada ini banyak
gagal karena tidak tepat sasaran yaitu bias melawan nelayan kecil, dimanipulasi oleh aparat
dan elit demi untuk kepentingan mereka dan bukannya untuk kepentingan nelayan.
Akan tetapi program motorisasi ini juga membawa dampak positip, dilihat dari
bertambahnya jumlah perahu bermotor di banyak daerah di Indonesia. Saat ini bila ada
program pemerintah untuk mengadakan armada kapal/perahu nelayan, atau bila ada
rencana investasi oleh nelayan, selalu pengadaan motor penggerak perahu menjadi
permintaan nelayan.
Program lain yang dikembangkan untuk mengentaskan kemiskinan adalah
pengembangan nilai tambah melalui penerapan sistem rantai dingin (cold chain system).
Sistem rantai dingin adalah penerapan cara-cara penanganan ikan dengan menggunakan es
guna menghindari kemunduran mutu ikan. Dikatakan sistem rantai dingin karena esensinya
yaitu menggunakan es di sepanjang rantai pemasaran dan transportasi ikan, yaitu sejak
ditangkap atau diangkat dari laut hingga ikan tiba di pasar eceran atau di tangan konsumen.
Sistem rantai dingin dikembangkan di seluruh daerah di Indonesia pada awal tahun
1980-an. Namun demikian masalah yang dihadapi adalah sosialisasi sistem ini yang tidak
begitu baik sehingga akhirnya kurang mendapat tempat di hati masyarakat. Sebagai contoh
hingga saat ini, di daerah tertentu di Maluku dan NTT, ada pendapat bahwa ikan yang
menggunakan es adalah ikan yang rendah kualitasnya. Bagi masyarakat di kedua daerah
ini, meskipun ikan sudah sangat turun mutunya namun tetap dikonsumsi bila tidak
memakasi es. Sebaliknya meskipun masih baik mutunya namun apabila menggunakan es
maka ikan tersebut tidak akan dibeli oleh masyarakat.
31
Alasan lain kurang berhasilnya sistem rantai dingin adalah fasilitas dan prasarana
pabrik es yang tidak tersedia secara baik. Umumnya pabrik es dibangun oleh swasta,
kecuali di pelabuhan perikanan milik pemerintah dimana pabrik es tersedia. Namun
demikian apa yang disediakan oleh pemerintah masih sedikit dan terkonsentrasi di daerah
tertentu saja, bila dibandingkan dengan kebutuhan yang begitu besar dan tersebar merata di
seluruh Indonesia
Program besar lain yang dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan
adalah pembangunan prasarana perikanan, khususnya pelabuhan perikanan berbagai tipe
dan ukuran di seluruh Indonesia. Dengan bantuan luar negeri, selama beberapa tahun
terakhir, pelabuhan perikanan, mulai dari kelas yang sangat kecil yaitu pangkalan
pendaratan ikan hingga kelas yang terbesar yaitu pelabuhan perikanan samudera, dibangun
di desa-desa nelayan dan sentra-sentra produksi perikanan. Akan tetapi, kembali, banyak
pelabuhan yang masih belum dimanfaatkan secara optimal, di bawah kapasitas, atau tidak
berfungsi sama sekali. Perlahan-lahan, banyak pelabuhan dan fasilitas daratnya mulai rusak
dan usang di makan usia. Akhirnya memang masih banyak pelabuhan yang berfungsi,
namun lebih banyak yang tidak berfungsi atau rusak sebelum dimanfaatkan.
Selain ketiga program di atas, dan banyak program pembangunan lainnya yang
secara tidak langsung berkaitan dengan pengentasan kemiskinan. Salah satu program yang
dilakukan pada masa pemerintahan Habibie adalah Protekan 2003 yaitu Gerakan
Peningkatan Eskpor Perikanan hingga menjelang tahun 2003 mencapai nilai ekspor 10
milyar dolar. Gerakan ini namun mati pada usia yang sangat muda, sejalan dengan
berhentinya era pemerintahan Habibie.
32
Program lain berhubungan dengan konservasi dan rehabilitasi lingkungan hidup.
Pembuatan karang buatan, penanam kembali hutan bakau, konservasi kasawan laut dan
jenis ikan tertentu, serta penegakan hukum terhadap kegiatan-kegiatan penangkapan ikan
dengan menggunakan bom, racun, dan alat tangkap ikan yang destrukif adalah program-
program pembangunan yang secara tidak langsung mempengaruhi kesejahteraan nelayan.
Dari sisi kelembagaan dikembangkan juga pola-pola usaha perikanan yang mampu
meningkatkan pendapatan nelayan. Untuk itu dikembangkan koperasi perikanan, KUD
Mina, kelompok usaha bersama perikanan, kelompok nelayan, kelompok wanita nelayan,
dan organisasi profesi nelayan. Demikian juga pola usaha yang secara marak
dikembangkan di hampir seluruh Indonesia adalah perikanan inti rakyat, suatu sistem
usaha dimana nelayan sebagai plasma bermitra dengan perusahaan sebagai inti. Namun
demikian bisa juga dikatakan bahwa upaya-upaya dari sisi kelembagaan ini belum juga
memberikan hasil yang jelas menguntungkan nelayan. Meskipun banyak kelembagaan
nelayan terbentuk, namun hanya sedikit bisa bertahan. Dengan bergantinya waktu, banyak
juga lembaga-lembaga nelayan yang perlahan-lahan mati dan tidak berfungsi. Demikian
juga banyak kemitraan nelayan dan perusahaan besar tidak berlanjut karena ketidakadilan
dalam pembagian hasil, resiko dan biaya. Malahan sebaliknya, pola hubungan kemitraan
antara nelayan dan swasta menjadi sesuatu yang dinilai negatif oleh nelayan dan konsep
yang bagus ini ditolak oleh nelayan.
Keseluruhan program dan
pendekatan yang dilakukan untuk
meningkatkan pendapatan nelayan
Program Pengentasan Program Pengentasan Kemiskinan NelayanKemiskinan Nelayan
• Motorisasi armada perikanan
• Penggunaan es dan rantai dingin
• Pengadaan prasarana pelabuhan
• Rehabilitasi lingkungan
• Protekan 2003• Pengembangan
koperasi perikanan• Pengembangan
kelompok usaha bersama
• Pengembangaan kemitraan usaha
33
dan mengentaskan mereka dari kemiskinan seperti yang diuraikan diatas, seperti
membuang garam ke laut. Tiada bekas dan dampak yang berarti. Kalau demikian maka
sebetulnya ada sesuatu yang salah dari program-program tersebut. Atau apa yang
dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan. Jadi ada kebutuhan lain yang sebetulnya
merupakan kunci pokok permasalahan. Bila hal tersebut bisa dipecahkan dan ada program-
program pembangunan ke arah itu, barangkali saja pendapatan nelayan sebagai komponen
utama masyarakat pesisir dapat ditingkatkan dan insidens kemiskinan bisa diminimalkan.
1.6 Paradigma Pemberdayaan Sosial Ekonomi
Menurut saya kebutuhan lain yang selama ini tidak dipenuhi yaitu kurang
dilibatkannya masyarakat pesisir dalam pembangunan. Keterlibatan yang dimaksudkan di
sini adalah keterlibatan secara total dalam semua aspek program pembangunan yang
menyangkut diri mereka, yaitu sejak perencanaan program, pelaksanaannya, evaluasinya,
serta perelevansiannya. Dengan kata lain, kekurangan yang dimiliki selama ini yaitu tidak
atau kurang partisipasi masyarakat dalam pembangunan diri mereka sendiri. Padahal
partisipasi itu begitu perlu karena bagaimanapun juga, dan dengan dengan segala jenis
upaya, tidak ada seorang miskinpun yang bisa keluar dari kemiskinannya dengan bantuan
orang lain, bila dia tidak membantu dirinya sendiri. Di Sri Lanka, misalnya, pembangunan
untuk mengatasi kemiskinan nelayan begitu signifikan hasilnya karena prinsip program
pembangunan yang dianut adalah helping the poor to help themselves (BOBP, 1990).
34
Berbicara mengenai partisipasi,
setiap orang pasti mengatakan bahwa
hal tersebut bukan sesuatu yang baru.
Barangkali pendapat ini ada benarnya.
Namun demikian bisa dikatakan juga
bahwa partisipasi masyarakat terutama
grass root dalam pembangunan selama
50 tahun terakhir ini adalah sesuatu yang artifisial, sebatas slogan, direkayasakan, dan
dipaksakan. Dengan adanya rejim sentralistik maka partisipasi masyarakat tidak mendapat
tempat sama sekali. Inisiatif masyarakat sering dinilai kurang tepat, kalau tidak dikatakan
salah sama sekali. Yang lebih tepat adalah program pemerintah pusat dan program
departemen yang untuk masyarakat dikemas dalam bentuk program-program pembinaan.
Hanya baru pada akhir tahun 1990-an, program pemberdayaan masyarakat sebagai
ganti program pembinaan masyarakat mulai mendapat tempat karena bukti dan
pengalaman empiris di banyak negara. Program pemberdayaan masyarakat seakan-akan
menjadi new mainstream dalam pembangunan, dikembangkan dan dipromosikan oleh
lembaga swadaya masyarakat (LSM). Program pemberdayaan masyarakat berhasil di
banyak tempat karena militansi (sifat ngotot untuk berhasil) LSM untuk melaksanakannya.
Program pemberdayaan masyarakat adalah program pelibatan dan peningkatan partisipasi
masyarakat, program yang berpangkal dan berbasis masyarakat karena sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi mereka, program yang berasal dari bawah yang berarti bahwa
masyarakatlah yang mengusulkannya, serta program yang bersifat advokasi karena peran
orang luar hanya sebatas mendampingi dan memberikan alternatif pemecahan masalah
kepada masyarakat.
PerubahanParadigma
Pembinaan PemberdayaanTop-down, Sentralistik,
Rendah partisipasi, Orientasi proyek,
Peran besar pemerintah,Masyarakat hanya menerima
Bottom-upDesentralistik
Tinggi partisipasiOrientasi tujuan
Peran LSM besarMasyarakat sangat aktif
Perubahan MainstreamPembangunan Masyarakat
35
Program pemberdayaan masyarakat telah menjadi mainstream upaya peningkatan
kesejahteraan serta pengengentasan kemiskinan. Dengan pemberdayaan masyarakat maka
pembangunan tidak mulai dari titik nadir, tetapi berawal dari sesuatu yang sudah ada pada
masyarakat. Pemberdayaan berarti apa yang telah dimiliki oleh masyarakat adalah
sumberdaya pembangunan yang perlu dikembangkan sehingga makin nyata kegunaannya
bagi masyarakat sendiri.
1.7 Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Berdasarkan konsep pembanguanan masyarakat yang menekankan pada
pemberdayaan maka diformulasikan sasaran pemberdayaan masyarakat pesisir, khususnya
nelayan dan petani ikan yang tinggal di kawasan pesisir pulau kecil dan besar, yang adalah
sebagai berikut:
• Tersedianya dan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang,
pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.
• Tersedianya prasarana dan sarana produksi secara lokal yang memungkinkan
masyarakat dapat memperolehnya dengan harga murah dan kualitas yang baik.
• Meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif
(collective action) untuk mencapai tujuan-tujuan individu.
• Terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah yang memiliki ciri-ciri
berbasis sumberdaya lokal (resource-based), memiliki pasar yang jelas (market-
36
based), dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan kapasitas
sumberdaya (environmental-based), dimiliki dan dilaksanakan serta berdampak
bagi masyarakat lokal (local society-based), dan dengan menggunakan teknologi
maju tepat guna yang berasal dari proses pengkajian dan penelitian (scientific-
based).
• Terciptanya hubungan transportasi dan komunikasi sebagai basis atau dasar
hubungan ekonomi antar kawasan pesisir serta antara pesisir dan pedalaman.
• Terwujudnya struktur ekonomi Indonesia yang berbasis pada kegiatan ekonomi di
wilayah pesisir dan laut sebagai wujud pemanfaatan dan pendayagunaan
sumberdaya alam laut.
1.8 Tanggung Jawab Stakeholders Dalam Pemberdayaan
Tanggung jawab pemberdayaan masyarakat pesisisr seolah-olah hanya ada pada
Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal ini tentu saja tidak benar karena instansi
pemerintah lainnya memiliki juga tanggung jawab di kawasan pesisir. Departemen
Kelautan dan Perikanan memang menjalankan kegiatan pembangunan yang berfokus pada
pembangunan perikanan, penataan wilayah dan ruang pesisir, pembangunan nelayan dan
pembudidaya ikan, serta eksplorasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan. Tetapi
tugas-tugas pembangunan lainnya yang memang masih banyak seperti pengembangan
prasarana wilayah, pendidikan, kesehatan, pembangunan pertanian, pembangunan industri
dan jasa, perhubungan, transportasi, komunikasi, serta pembangunan sosial dalam arti yang
luas bukan berada di bawah tanggung jawab Departemen Kelautan dan Perikanan.
Keberhasilan pembangunan atau pemberdayaan masyarakat adalah resultante dari semua
37
upaya pembangunan yang dilaksanakan atau diprogramkan oleh setiap instansi. Hal ini
perlu diperjelas dan dipahami oleh semua pihak. Dengan istilah yang lebih populer, hal ini
menuntut adanya sinergitas dan koordinasi yang benar-benar terjalin antara berbagai
instansi pemerintah. Bila ini bisa diwujudkan maka pembangunan atau pemberdayaan
masyarakat pesisir dapat dilaksanakan secara lebih komprehensif, terpadu, menyangkut
berbagai aspek pembangunan, bukan saja teknis tetapi juga sosial budaya.
Tanggung jawab pembangunan masyarakat lebih banyak berada pada pundak
pemerintah daerah, dan bukan didominasi oleh pemerintah pusat. Hal ini disebabkan
karena pemerintah daerahlah yang lebih mengenal masyarakatnya, memahami masalah-
masalah yang dihadapi mereka. Selama ini, meskipun pada era desentralisasi dan otonomi
daerah sekarang ini, ada kesan bahwa pengembangan masyarakat dilepaskan dan
diserahkan kepada pemerintah pusat. Penyerahan tanggung jawab ini karena memang
tugas-tugas pembangunan masyarakat termasuk berat untuk dilaksanakan. Dengan adanya
desentralisasi kegiatan pembangunan, selayaknya dan sepatutnya pemerintah daerah lebih
banyak memberikan prioritas pada pembangunan yang berbasis pada masyarakat.
Tanggung jawab pembangunan masyarakat pesisir bukan saja berada pada tangan
pemerintah tetapi juga pihak-pihak non-pemerintah yaitu masyarakat sendiri, pengusaha
swasta, usaha milik negara, dan lembaga swadaya masyarakat. Hal ini berarti bahwa
pemerintah tidak harus berupaya sendiri karena hasilnya tidak akan optimal. Kemampuan
pemerintah sangat terbatas, karena itu kemampuan yang dimiliki pemerintah harus
dipadukan dengan apa yang dimiliki oleh non-pemerintah.
38
Tangggung jawab membangun masyarakat pada hekekatnya merupakan tanggung
jawab utama masyarakat itu sendiri. Selama ini, masyarakat semata-mata menjadi objek
pembangunan. Dalam hubungan ini, masyarakat didekati, didatangi, diprogramkan, dan
diarahkan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang nantinya membawa manfaat kepada
mereka. Tentu saja hal ini kurang begitu tepat karena apa yang dilakukan dengan
pendekatakan ini berkesan dipaksakan dan masyarakat sendiri terlibat pada lapisan
permukaan saja. Mereka tidak masuk lebih dalam pada kegiatan-kegiatan pembangunan
dengan pendekatan ini yang akhirnya membuat ketidak-berhasilan. Supaya pembangunan
masyarakat berlangsung dengan tepat maka pemerintah hanya mempersiapkan dan
memfasilitasi lingkungan yang sehat bagi peningkatan, perluasan, serta pendalaman
kegiatan-kegiatan yang telah dimiliki oleh masyarakat sendiri. Hal ini merupakan makna
pemberdayaan yaitu mengembangkan apa yang telah ada pada masyarakat menjadi lebih
besar skalanya, lebih ekonomis, dan lebih berdayaguna dan berhasilguna.
1.9 Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Paling tidak ada lima pendekatan pemberdayaan masyarakat pesisir yang baru saja
diimplementasikan. Dengan adanya kelima pendekatan ini tidak berarti bahwa pendekatan
lain tidak ada. Selama ini, baik lingkup Departemen Kelautan dan Perikanan maupun
instansi pemerintah lainnya, pemerintah daerah, dan khususnya lembaga swadaya
masyarakat dalam bentuk yayasan dan koperasi telah banyak yang melakukan kegiatan
pemberdayaan masyarakat. Kelima pendekatan tersebut adalah: (1) penciptaan lapangan
kerja alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga, (2) mendekatkan masyarakat
dengan sumber modal dengan penekanan pada penciptaan mekanisme mendanai diri
sendiri (self financing mechanism), (3) mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi
baru yang lebih berhasil dan berdaya guna, (4) mendekatkan masyarakat dengan pasar,
serta (5) membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat. Kelima
39
pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh aspirasi,
keinginan, kebutuhan, pendapatan, dan potensi sumberdaya yang dimiliki masyarakat.
Uraian singkat tentang kelima program ini adalah sebagai berikut.
Mengembangkan Mata Pencaharian Alternatif
Pertama, Pengembangan mata pencaharian alternatif dilaksanakan dengan
pertimbangan bahwa sumber-daya pesisir
secara umum dan perikanan tangkap
secara khusus telah banyak mengalami
tekanan dan degradasi. Data empiris
menunjukkan bahwa sudah terlalu banyak
nelayan yang berkonsentrasi di perairan
tertentu. Malahan secara nasional,
tampaknya jumlah nelayan juga sudah berlebihan. Potensi ikan laut yang tersedia, kalau
memang benar estimasinya, sudah tidak mampu dijadikan andalan bagi peningkatan
kesejahteraan. Kalau jumlah ikan yang diperbolehkan ditangkap betul-betul diambil
semuanya maka berdasarkan perhitungan kasar secara rata-rata, nelayan sangat sulit untuk
sejahtera.
Ada banyak alasan yang mendasari terlalu banyaknya jumlah nelayan, yang
diperhadapkan dengan jumlah ikan yang terbatas yang diperkirakan sekitar 6,2 juta ton per
tahun potensi lestari. Namun salah satu alasan yang mendasar dan perlu dikaji lebih jauh
yaitu status sumberdaya perikanan yang de facto akses terbuka. Akses terbuka atas
sumberdaya ikan membawa serangkaian dampak yang berakhir pada kemiskinan. Ilustrasi
drama dampak akses terbuka yaitu bahwa dengan segala upaya untuk menangkap seluruh
5 Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
• Pengembangan mata pencaharian alternatif• Pengembangan akses modal melalui self-
financing mechanism.• Pengembangan akses teknologi dengan
biaya murah dan pelayanan cepat.• Pengembangan akses pasar untuk
meningkatkan nilai tambah produk.• Pengembangan solidaritas dan aksi kolektif
40
jenis ikan yang diperbolehkan, pendapatan per keluarga nelayan hanya sekitar Rp 400 ribu
per bulan.
Dengan drama seperti ini
maka pengembangan mata penca-
harian alternatif bagi nelayan
adalah suatu keharusan. Pengem-
bangan mata pencaharian alternatif
ini diarahkan untuk mengalihkan
profesi nelayan atau sebagai
tambahan pendapatan. Dengan kata lain, program diversifikasi pendapatan layan untuk
dikembangkan, yang dapat diarahkan bukan saja untuk nelayan tetapi juga untuk anggota
keluarganya, teristimewa istri atau perempuan nelayan yang memang besar potensinya.
Pengembangan mata pencaharian alternatif bukan saja dalam bidang perikanan, seperti
pengolahan, pemasaran, atau budidaya ikan, tetapi patut diarahkan ke kegiatan non-
perikanan. Smith (1983) berargu-mentasi bahwa bila kondisi akses terbuka masih saja
terjadi maka apapun upaya peningkatan kesejahteraan yang dilakukan, baik pada kegiatan
penangkapan ikan maupun pada kegiatan yang berkaitan seperti pada pengolahan dan
pemasaran ikan tidak akan memberikan hasil peningkatan kesejahternaan. Jadi masalah
utamanya adalah perlunya penataan sumberdaya perikanan secara lebih baik sehingga
drama akses terbuka tidak terjadi.
Akses Terhadap Modal
Drama Akses Terbuka
• Bertambahnya nelayan miskin
• Berkurangnya pendapatan
• Sumberdaya semakin berkurang
• Lingkungan semakin rusak
• Penggunaan alat tangkap ikan dan metode destruktif.
• Kompetisi antar nelayan yang sangat tinggi
• Keresahan dan frustasi sosial
41
Elemen kedua strategi pemberdayaan nelayan adalah pengembangan akses modal.
Strategi ini sangat penting karena pada dasarnya saat ini masyarakat pesisir, khususnya
nelayan dan pembudidaya ikan
sangat sulit untuk memperoleh
modal. Sifat bisnis perikanan yang
musiman, ketidakpastian serta resiko
tinggi sering menjadi alasan
keengganan bank menyediakan
modal bagi bisnis ini. Sifat bisnis
perikanan seperti ini yang disertai
dengan status nelayan yang umumnya rendah dan tidak mampu secara ekonomi membuat
mereka sulit untuk memenuhi syarat-syarat perbankan yang selayaknya diberlakukan
seperti perlu adanya collateral, insurance dan equity.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui Direktorat Pemberdayaan
Masyarakat (DPM) telah berupaya menjalin hubungan dengan berbagai lembaga
perbankan nasional dan daerah untuk menggugah perhatian mereka agar masuk ke sektor
perikanan. Tetapi sayangnya belum banyak hasilnya, dibandingkan dengan begitu besarnya
kebutuhan. Upaya yang sama telah juga dilakukan dengan menghubungi lembaga-lembaga
lain, tetapi sama hasilnya. Beberapa perusahaan negara dan swasta telah mulai
menunjukkan keinginan mereka untuk membantu masyarakat di sektor ini dengan cara
menyisihkan sebagian keuntungan mereka untuk membantu usaha skala kecil dan
menengah di sektor ini. Program ini dinamakan Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi
(PUKK) yang adalah merupakan penyisihan sekitar 5% keuntungan perusahaan, utamanya
BUMN, bagi pengembangan usaha kecil dan menengah.
Ilustrasi Drama Akses Terbuka
• Potensi ikan lestari = 6,18 juta ton/tahun
• Jumlah tangkapan yang diperbolehkan = 5,0 juta ton/tahun.
• Produki tahun 1998 = 3,8 juta ton.
• Nilai produksi tahun 1998 = Rp 19 trilyun
• Jumlah seluruh KK nelayan tahun 1998 = 4 juta orang.
• Pendapatan kotor per KK per tahun = Rp 4.750.000.
• Pendapatan kotor per KK per bulan = Rp395.383.
42
Dengan memperhatikan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir akan
modal ini maka salah satu alternatif adalah mengembangkan mekanisme pendanaan diri
sendiri (self-financing mechanism). Bentuk dari sistem ini tidak lain adalah pengembangan
lembaga keuangan mikro, dan nantinya makro, yang dikhususkan dalam bidang usaha di
pesisir, utamanya bidang perikanan. Meskipun masih dalam tahapan konsep, wacana, dan
ujicoba, saat ini telah dirintis dan dimulai pengembangan mekanisme pendanaan oleh diri
sendiri yang dikenal dengan nama (1) Lembaga Mikro Mitra Mina (M3), dan (2) Mina
Ventura, dan (3) Asuransi Nelayan.
Lembaga M3 adalah aplikasi dan modifikasi grameen bank pada masyarakat
pesisir. Melalui program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) tahun 2000
dan 2001, telah dikembangkan M3 di 26 Kabupaten pada tahun 2000, dan rencananya 125
Kabupaten pada tahun 2001. Pada akhir tahun 2001, diharapkan M3 secara mandiri atau
merupakan unit usaha dari lembaga lain di tingkat desa akan ada di sekitar 370 desa pesisir
di Indonesia.
Tidak seperti M3 yang sudah mulai diaplilasikan, Mina Ventura masih dalam tahap
konsep dan ujicoba. Konsep Mina Ventura adalah aplikasi modal ventura pada bisnis
perikanan. Karena modal ventura berdasarkan atas sistem bagi hasil maka tampaknya tidak
terlalu sulit mengaplikasikan Mina Ventura pada bidang perikanan. Perbedaan Mina
Ventura dari M3 yaitu bahwa Mina Ventura diarahkan untuk usaha menengah, sementara
M3 pada usaha mikro dan kecil. Masalah yang dihadapi dalam pengembangan Mina
Ventura adalah kesulitan dana untuk modal awal. Sudah beberapa lembaga, asing dan
nasional, yang didekati untuk mendanai Mina Ventura. Sayang belum ada jawaban yang
43
positip. Tentu saja karena banyak kendala. Salah satunya, barangkali, karena konsepnya
yang belum matang. Karena itu, perlu ada kajian lebih jauh tentang Mina Ventura.
Bentuk skim asuransi yang tepat bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan
sedang dikembangkan. Ujicoba telah dilakukan di tiga daerah yaitu Cirebon, Pandeglang
dan Pelabuhan Ratu. Pengembangan asuransi dilaksanakan karena usaha di laut yang
penuh resiko. Skim asuransi juga dikembangkan juga untuk asuransi kredit, sebagai
jaminan nelayan dalam mengajukan kredit ke bank. Kesulitan dalam pengembangan
asuransi nelayan yaitu banyak nelayan yang belum menyadari perlunya hal ini. Hal
tersebut disebabkan karena sudah terlalu lama mereka dimanjakan oleh organisasi profesi
nelayan yang berjanji memberi asuransi kepada mereka bila mana ada kecelakaan atau
resiko lain yang harus ditanggung. Akibatnya nelayan mau dirinya atau propertinya
diasuransikan tetapi enggan untuk membayar. Karena itu maka bentuk skim yang tepat
yang bisa diterima nelayan perlu dikaji untuk dikembangkan.
Akses Terhadap Teknologi
Teknologi yang digunakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan, pada umumnya
masih bersifat tradisional. Karena itu maka produktivitas rendah dan akhirnya pendapatan
rendah. Upaya meningkatkan pendapatan dilakukan melalui perbaikan teknologi, mulai
dari teknologi produksi hingga pasca produksi dan pemasaran. Berkaitan dengan teknologi
yang digunakan, terdapat juga sifat masyarakat (nelayan) yang menentukan atau
ditentutukan oleh penggunaan teknoloi tersebut (Tabel 2). Untuk itu maka upaya
44
pemberdayaan masyarakat melalui perbaikan teknologi harus juga mempertimbangkan
sifat dan karakteristik masyarakat.
Tabel 2. Sifat Teknologi Nelayan Industri dan Tradisional
Kurang dari sehariLebih dari sehariLama trip
Sedikit atau tidakBanyakPenggunaan es
Dekat pantai, terkosentrasiJauh dari pantai, sekitar rumponDaerah penangkapan
Sering terisolasiTerasimilasiKondisi sosial
Diolah tradisionalUmumnya segarPengolahan hasil
Pedagang lokalPasar yang terorganisirPenjualan hasil
RendahTinggiProduktivitas
Kecil, dukungan tengkulakBesar, dukungan perbankanInvestasi
ManualMekanisPeralatan
Motor tempelBermesin dalamKapal
Umumnya separuh waktuPenuh waktuKomitmen waktu
Nelayan senior, milik kelompokNon-nelayan, modal besar, perbankanKepemilikan
Tenaga keluarga, tidak ada pembagian kerja
Stabil, pembagian kerja, prospek karir
Unit penangkapan
TradisionalIndustriVariabel
Upaya-upaya peningkatan akses masyarakat terhadap teknologi belum banyak
dilakukan. Hal ini karena adanya kesulitan untuk mengindentifikasi jenis dan tipe
teknologi yang dibutuhkan masyarakat. Seringkali, justru masyarakatlah yang lebih maju
dalam mencari dan mengadopsi teknologi yang diinginkan. Sehingga kadang-kadang
pemerintah tertinggal. Dengan kata lain, dalam hal teknologi masyarakat lebih maju dari
pemerintah.
Kesulitan lain dalam hal akses teknologi yaitu kurangnya atau tidak adanya
penyuluh atau mereka yang berfungsi sebagai fasilitator dan katalisator. Pada awalnya
memang ada penyuluh perikanan yang memerankan tugas ini. Namun dengan DKP sebagai
suatu lembaga baru, konsolidasi yang dilakukan untuk memfungsikan penyuluh perikanan
45
dalam menyediakan akses teknologi bagi masyarakat belum sepenuhnya berjalan dengan
baik.
Sebagai upaya dalam mengatasi kurangnya tenaga penyuluh perikanan, melalui
proyek PEMP tahun 2001 ini, telah diadakan pelatihan bagi sekitar 500 tenaga pendamping
desa yang nantinya akan bertugas membantu masyarakat dalam membangun daerah
pesisir. Tenaga pendamping desa ini direkruit dari LSM lokal, berijazah minimum D3,
memiliki pengalaman dalam pembangunan masyarakat, serta bersedia tinggal di desa
selama masa proyek.
Akses Terhadap Pasar
Pasar adalah faktor penarik dan bisa menjadi salah kendala utama bila pasar tidak
berkembang. Karena itu maka membuka akses pasar adalah cara untuk mengembangkan
usaha karena bila tidak ada pasar maka usaha sangat terhambat perkembangannya.
Untuk mengembangkan pasar bagi produk-produk yang dihasilkan masyarakat
pesisir maka upaya yang dilakukan adalah mendekatkan masyarakat dengan perusahaan-
perusahaan besar yang juga adalah eksportir komoditas perikanan. Untuk itu maka kontrak
penjualan produk antara masyarakat nelayan dengan perusahaan ini dilaksanakan.
Keuntungan dari hubungan seperti ini yaitu masyarakat mendapat jaminan pasar dan harga,
pembinaan terhadap masyarakat terutama dalam hal kualitas barang bisa dilaksanakan,
serta sering kali masyarakat mendapat juga bantuan modal bagi pengembangan usaha.
Meskipun hubungan seperti ini sudah ada, secara umum boleh dikatakan bahwa
masyarakat masih menghadapi pasar yang tidak sempurna strukturnya, monopoli ketika
masyarakat membeli faktor produksi serta monopsoni ketika masyarakat menjual produk
46
yang dihasilkan. Struktur pasar yang tidak menguntungkan masyarakat ini disebabkan
karena informasi yang kurang mengenai harga, komoditas, kualitas, kuantitas serta
kontinyutas produk. Kelangkaan informasi ini begitu rupa sehingga umumnya masyarakat
hanya menghasilkan produk-produk yang serupa sehingga akhirnya membuat kelebihan
pemasokan dan kejatuhan harga.
Pengembangan Aksi Kolektif
Pemberdayaan melalui pengembangan aksi kolektif sama artinya dengan
pengembangan koperasi atau kelompok usaha bersama. Hanya di sini istilah yang
digunakan adalah aksi kolektif yaitu untuk membuka kesempatan kepada masyarakat
membentuk kelompok-kelompok yang diinginkannya yang tidak semata-mata koperasi
atau kelompok usaha bersama. Aksi kolektif merupakan suatu aksi bersama yang
bermuara pada kesejahteraan setiap anggota secara individu.
Upaya pengembangan aksi kolektif yang dilakukan selama ini yaitu melalui
pengembangan kelompok yang berbasis agama seperti koperasi pondok pesantren. Juga
dikembangkan kelompok-kelompok yang beraliansi dengan LSM tertentu yang memang
memiliki staf dan dana untuk pembangunan masyarakat pesisir. Kelompok yang juga
mendapat perhatian adalah kelompok wanita atau perempuan. Untuk itu juga sedang dicari
suatu format pemberdayaan perempuan dengan penekanan pada peranan mereka dalam
usaha meningkatkan ekonomi keluarga. Aplikasi model grameen bank dengan fokus pada
wanita nelayan telah dikembangkan di Bekasi dan Kepulauan Seribu pada tahun 2000, dan
pada tahun 2001 ini dikembangkan juga di Tual (Maluku Tenggara), Brebes (Jawa
Tengah) dan Kupang (Nusa Tenggara Timur). Selain itu juga dikembangkan aksi kolektif
wanita pengolah ikan di Gunung Kidul (Yoyakarta) dan Cirebon (Jawa Barat) sehingga
mereka dapat dengan mudah memperoleh input produksi dan dengan mudah pula menjual
hasil olahannya dengan harga yang lebih baik.
47
Pengembangan aksi kolektif ini masih sangat prematur dan memerlukan kajian
untuk mencari bentuk-bentuknya yang sungguh-sungguh berguna bagi masyarakat.
Beberapa aksi kolektif yang pernah berkembang memang tidak begitu murni sebagai ide
dan gagasan masyarakat. Akhirnya aksi kolektif atau semi-kolektif seperti perikanan inti
rakyat serta kemitraan usaha antara masyarakat dan pengusaha besar hanya membawa
ketidakpuasan kepada masyarakat dan berhenti di tengah jalan. Ini terjadi karena aksi semi-
kolektif tersebut sangat bias kepada kepentingan pengusaha.
Selanjutnya Kusnadi (2006) menjelaskan bahwa walaupun para nelayan
2. Pengertian Pemberdayaan Sosial
Pemberdayaan sosial merupakan dua kata yang masing-masing
memberi makna yang berbeda penjelasannya secara sosiologis. Dua kata
tersebut memberikan pengetahuan kepada kita tentang ruang lingkup
pemberdayaan sosial. Sementara kata sosial secara sosiologis dapat berarti
individu, kelompok, komunitas, dan masyarakat, yang menggambarkan
unit analisis dalam suatu kegiatan riset atau suatu kajian atau suatu
program. Dalam wacana pembangunan masyarakat, konsep
48
pemberdayaan sangat terkait dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan
kerja dan keadilan (Hikmat, 2001). Konsep mandiri, partisipasi, jaringan
kerja dan keadilan tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan
masyarakat, antara lain aspek ekonomi, sosial budaya, politik dan lain
sebagainya termasuk ideologi, dan pertahanan keamanan (hankam).
Hasil kajian atas penelitian sosiologi pedesaan yang dilakukan oleh
mahasiswa pascasarjana Program Studi Sosiologi Pedesaaan Institut
Pertanian Bogor selama periode 1981-2003 juga menunjukkan bahwa
beberapa aspek yang diperlukan dalam upaya pemberdayaan sosial adalah
aspek ekonomi, sosial budaya, politik (Nasution, 2007). Aspek-aspek
tersebut dikelompokkan lagi menjadi bagian-bagian kecil yang merupakan
bidang kajian tertentu, sebagaimana digambarkan pada Tabel 1.
Dengan demikian, terlihat bahwa secara sosiologis pemberdayaan
berbagai aspek kehidupan masyarakat dapat dibedakan berdasarkan
target perubahan yang diinginkan, yaitu individu, kelompok, komunitas
atau masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa dalam
pembangunan juga harus ada target sasaran yang mana yang ingin
49
dicapai, kelompok, atau individu, komunitas atau masyarakat (Leuer,
2003). Sejalan dengan ini, Hikmat (2001) mengemukakan bahwa
pemberdayaan dapat diletakkan pada kekuasaan tingkat individu dan
sosial. Dan pemberdayaan itu sendiri merupakan sebuah upaya untuk
mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat.
Ada dua elemen terpenting di dalam konsep pemberdayaan yaitu
mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat secara egaliter
(Hikmat, 2001). Masyarakat dengan potensi sosial (social capital)-nya
serta pemerintah dengan kebijakannya, secara bersama-sama akan
memberikan warna terhadap sumberdaya dan pengelolaannya. Hal inilah
yang akan menjadi fokus terpenting di dalam penentuan konsep
pemberdayaan. Modal sosial masyarakat juga dapat memperkuat
kapasitas organisasi yang mewadahi kegiatan ekonomi di dalam kerangka
pemberdayaan sosial. Modal sosial, juga mencakup perasaan simpati dari
seseorang atau suatu kelompok orang kepada seseorang atau kelompok
lainnya.
Perasaan simpati itu dapat berupa rasa kagum, perhatian, peduli,
empati, penghargaan, rasa tanggungjawab, atau kepercayaan terhadap
seseorang atau sekelompok orang (Robison et al., 2002 dalam Syahra,
2003). Dalam pemberdayaan sosial, faktor yang juga penting adalah
bagaimana mendudukkan masyarakat pada posisi pelaku (subjek)
50
pembangunan yang aktif, bukan hanya penerima yang pasif. Konsep
gerakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan mengutamakan
inisiatif dan kreasi masyarakat dengan strategi pokok adalah memberi
kekuatan (power) kepada masyarakat. Hal ini sesuai pula dengan
pertimbangan bahwa masyarakatlah yang lebih memahami kebutuhan dan
permasalahan yang mereka hadapi. Untuk itu, masyarakat harus
diberdayakan agar mereka lebih mampu mengenali kebutuhan-
kebutuhannya. Mereka juga dilatih untuk dapat merumuskan rencana-
rencananya serta melaksanakan pembangunan secara mandiri dan
swadaya.
Kemiskinan Nelayan : Permasalahan dan Upaya Penanggulangan
Selama tiga dekade, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi kemiskinan. Upaya-
upaya tersebut telah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 54,2 juta jiwa
(40,1%) pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta jiwa (11,3%) tahun 1996.
Namun, krisis ekonomi yang terjadi sejak Juli 1997, telah membawa dampak negatif bagi
kehidupan masyarakat, termasuk menambah kembali jumlah penduduk miskin. Menurut
perhitungan BPS, pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5 juta
jiwa (24,2%).
Sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian, jumlah penduduk miskin menurun
secara bertahap. Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin diperkirakan sebanyak 36,1
51
juta jiwa (16,6%). Dari jumlah tersebut, 11,5 juta jiwa (12,6%) berada di perkotaan dan
24,6 juta jiwa (19,5%) berada di perdesaan.
Terintegrasi dan Sistemik
Adanya penurunan jumlah penduduk miskin bukan berarti bahwa persoalan kemiskinan
telah selesai. Di samping jumlah penduduk miskin eksisting masih terbilang banyak,
belakangan Indonesia juga didera beragam persoalan, mulai dari bencana gempa bumi.
tsunami, busung lapar, dll yang memperberat beban penduduk miskin dan diperkirakan
menambah jumlah penduduk miskin hingga 1 juta jiwa.
Krusialnya masalah kemiskinan dan betapa masalah ini sangat menyentuh kebutuhan
masyarakat yang paling mendasar merupakan hal penting yang menjadi perhatian penuh
pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah telah melakukan upaya pengarusutamaan
(mainstreaming) program-program penanggulangan kemiskinan di seluruh kementerian
dan lembaga pemerintah non departemen. Di samping itu, telah disusun pula Strategi
Nasional penanggulangan kemiskinan yang menjadi acuan dalam penanggulangan
kemiskinan dan dijabarkan dalam rencana kerja pemerintah setiap tahunnya.
Berbicara masalah kemiskinan, nelayan seringkali dipandang sebagai salah satu kelompok
masyarakat yang identik dengan kemiskinan. Anggapan ini patut direnungkan bersama,
mengingat kenyataan bahwa struktur usaha perikanan tangkap sejauh ini memang masih
didominasi oleh usaha skala kecil.
Sebagian besar nelayan yang tergolong miskin merupakan nelayan artisanal yang memiliki
keterbatasan kapasitas penangkapan baik penguasaan teknologi, metode penangkapan,
maupun permodalan. Masalah kemiskinan juga disebabkan adanya ketimpangan
pemanfaatan sumber daya ikan. Di satu sisi, ada daerah yang padat tangkap dengan jumlah
52
nelayan besar terutama di Pantura Jawa. Di sisi lain ada daerah yang masih potential
namun jumlah nelayannya sedikit seperti di Papua, Maluku, NTT dan Ternate. Masalah
strukturaI yang dihadapi nelayan makin ditambah dengan persoalan kultural seperti gaya
hidup yang tidak produktif dan tidak efisien.
Secara alami ada interaksi yang sangat kuat antara ketersediaan sumber daya ikan, jumlah,
perilaku, dan kapasitas nelayan serta ekonomi dari hasil usaha penangkapan. Oleh karena
itu, kemiskinan nelayan harus dipandang sebagai suatu sistem yang memiliki komponen
saling berinteraksi. Dengan demikian pendekatan yang paling tepat dalam penanggulangan
kemiskinan adalah dengan pendekatan kesisteman.
Dengan pendekatan kesisteman, Ditjen Perikanan Tangkap telah mencanangkan dan
melaksanakan berbagai program untuk menanggulangi kemiskinan di kalangan nelayan.
Berikut beberapa program penanggulangan kemiskinan dimaksud.
Unit Bisnis Perikanan Terpadu
Seringkali nelayan dihadapkan pada sistem tata niaga yang tidak berpihak bahkan sangat
merugikan nelayan. Pada saat akan membeli faktor produksi nelayan dihadapkan pada
harga yang sangat tinggi, sementara pada saat akan menjual hasil tangkapan, nelayan
dihadapkan pada harga jual yang sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh panjang dan
masih sangat berperannya para pedagang perantara.
Untuk mengatasi masalah di atas, sejak tahun 2004 Ditjen Perikanan Tangkap
mencanangkan pembangunan Unit Bisnis Perikanan Terpadu (UBPT) dil sentra-sentra
nelayan (Pelabuhan Perikanan). Sasaran dari pendirian UBPT adalah:
1. Terwujudnya kemudahan asses terhadap faktor (input) produksi dan pemasaran
hasil bagi usaha perikanan tangkap skala kecil dengan harga yang wajar;
53
2. Makin terberdayakannya koperasi perikanan/KUB, termasuk dalam hal
manajemen, penguatan modal maupun peningkatan fasilitas pendukung usaha.
Sebagai satu bentuk unit bisnis terpadu, maka keberadaan UBPT tidak hanya perlu
dukungan pemerintah, tetapi juga memerlukan peran serta aktif pihak swasta. Dengan
demikian, diharapkan akan makin banyak investasi swasta di pelabuhan perikanan
sehingga hal ini tidak saja menguntungkan nelayan, tetapi juga membawa manfaat bagi
sektor swasta sendiri.
SPBN/SPBN
Saat ini bahan bakar minyak (BBM) merupakan input produksi yang mempunyai peranan
sangat penting bagi kelangsungan usaha penangkapan ikan. Hasil identifikasi dan supervisi
di berbagai sentra kegiatan nelayan menunjukkan bahwa kontribusi komponen biaya BBM
terhadap keseluruhan biaya operasi penangkapan ikan per trip berkisar antara 30-50%
untuk kelompok nelayan skala menengah ke atas dan 40-60% untuk kelompok nelayan
skala kecil.
Dalam hal kebutuhan akan BBM, selain persoalan kenaikan harga BBM, nelayan juga
dihadapkan pada harga eceran yang di atas harga yang ditetapkan pemerintah karena
besarnya peran penyalur atau pengijon dalam memainkan harga di tingkat nelayan.
Sebagai salah satu upaya terobosan untuk menjamin ketersediaan pasokan BBM dalam
jumlah yang cukup, akses mudah, dan dengan harga yang sesuai dengan harga resmi
pemerintah, Dijten Perikanan Tangkap bersama Pertamina mencanangkan program
pembangunan SPDN/SPBN (Solar Pocked Dealer unluk Nelayan/Stasiun Pompa Bensin
untuk Nelayan).
54
Relokasi Nelayan
Saat ini wilayah Pantai Utara Jawa dan beberapa wilayah di pantai timur Sumatera
memiliki tingkat kepadatan nelayan yang sangat tinggi. Selain berdampak langsung kepada
penurunan tingkat pendapatan nelayan karena tingkat persaingan yang tinggi kondisi
tersebut juga dikhawatirkan menimbulkan ekses negatif bagi kelestarian sumber daya ikan.
Program relokasi nelayan yang dirintis Departemen Kelautan dan Perikanan bersama
Departemen Tenaga Kerja den Transmigrasi merupakan salah satu program terobosan
untuk menjawab masalah ini. Dengan adanya program relokasi nelayan yang dilakukan
secara selektif dan matang, diharapkan akan lebih terjamin keseimbangan antara jumlah
nelayan dengan potensi sumber daya ikan. DI tamping itu. pendapatan nelayan pun
dlharapkan akan lebih meningkat.
Revitalisasi PP/PPI/TPI
Pelabuhan perikanan berperan sebagal entry point bagi kegiatan perikanan. Pelabuhan
perikanan juga merupakan sentra kegiatan nelayan pada suatu wilayah.
Lebih luas lagi, pelabuhan perikanan merupakan pusat pertumbuhan ekonomi berbasis
sektor kelautan dan perikanan.
Namun fungsi-fungsi pelabuhan perikanan tersebut saat ini belum optimal termanfataakan.
Untuk itu dilakukan program revitalisasi pelabuhan perikanan, pangkalan pendaratan ikan
dan tempat pelelangan ikan yang diarahkan kepada:
1. Pembangunan fasilitas baru, sesuai dengan dukungan potensi den tingkat kegiatan
yang ada
2. Peningkatan kapasitas fasilitas, sesuai dengan skala layanan
3. Mengembalikan produktifitas fasilitas sesuai kapasitas terpasang
55
4. Penetapan batas wilayah kerja dan wilayah pengoperasian PP
5. Peningkatan kualitas SDM pengelola
6. Penyusunan SOP fasilitas
7. Peningkatan status PP/PPI sesuai skala layanan.
Restrukturisasi dan Modernisasi Armada Perikanan
Terkait dengan kebijakan restrukturisasi den modernisasi armada perikanan nasional, kapal
penangkap ikken asing secara bertahap akan dikurangi dan sesuai perjanjian bilateral
pemberian kesempatan operasional kapal asing akan berakhir tahun 2007. Kapal perikanan
asing yang masih menginginkan beroperasi di ZEE Indonesia hanya dimungkinkan melalui
penanaman modal pada industri perikanan terpadu di Indonesia dengan pola usaha
patungan.
Perusahaan perikanan nasional didorong untuk dapat memanfaatkan kekayaan sumber
daya ikan di ZEE Indonesia secara optimal dan bertanggung jawab dengan perangkat kapal
dan alat penangkap yang tepat dan memadai.
Seiring dengan itu, armada perikanan tangkap skala kecil yang sejauh ini masih dominan
akan terus diberdayakan dan ditingkatkan skala usahanya sehingga struktur armada
perikanan nasional.
Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil
Pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil merupakan upaya pemberdayaan
nelayan yang mencakup usaha perikanan tangkap secara terintergrasi, baik itu usaha
penangkapan, pengolahan, maupun pemasaran, termasuk di dalamnya perkuatan
manajemen usaha serta penangkapan kualitas SDM, serta fasilitasi permodalan. Sasaran
dari program ini adalah nelayan skala kecil yang rentan terhadap kemiskinan yang
56
tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama. Program ini telah dilaksanakan sejak tahun
2002.
Pada tahun 2002, program PUPTSK dilaksanakan di 30 provinsi dengan total anggaran
sekitar Rp 22,3 miliar. Pada tahun berikutnya, selian dilaksanakan di 30 provinsi, program
PUPTSK juga dilaksanakan di 19 pelabuhan perikanan UPT pusat dengan anggaran sekitar
Rp 39,24 miliar. Pada tahun 2004, program PUPTSK dllaksanakan di 82 kabupaten/kola
yang tersebar di 30 provinsi serta di 19 pelabuhan perikanan UPT pusai dengan total
anggaran sekitar Rp 44,91 miliar.
Setelah melewati proses evaluasi dengan mempertimbangan penajaman substansi dan
focus orientasi serta lingkungan strategic yang terus berkembang, program PUPTSK
mengalami penyempurnaan. Oleh karena itu, pada tahun 2005 terjadi perubahan pada sub
progam PUPTSK menjadi :
1. Optimasi Penangkapan Ikan (OPTIKAPI)
2. Optimasl Pelelangan Ikan (OPTILANPI)
3. Optimasi Pengolahan dan Distritbusi lkan (OPTIHANDIS) dan
4. Optimasi Kelompok Usaha Bersama (OPTIKUB).
Perubahan ini antara lain menunjukkan makin terfokusnya pembinaan kelembagaan dan
manajemen usaha sebagai modal penting dalam menghadapi perkembangan pasar yang
dinamis. Pada tahun 2005, total anggaran untuk program PUPTSK dlalokasikan sebesar Rp
46,32 miliar.
Seiring dengan restrukturisasi organisasi Departemen Kelautan dan Perikanan, pelaksanaan
PUPTSK tahun 2006 akan mengalami perubahan. Optimasi pengolahan dan
pemasaran/distribusi yang selama ini menjadi sub program dalam PUPTSK akan menjadi
57
kewenangan Ditjen P2HP. Sebagai gantinya, pada Program PUPTSK yang baru, akan
dimunculkan sub program Optimasi Penanganan Hasil Perikanan, mulai dari sejak
ditangkap di atas kapal hingga sampai di pelabuhan perikanan.
Program PUPTSK termama difokuskan pada sentra-sentra nelayan yang terindikasi masih
memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. yakni :
1. Wilayah Pantura Jawa yang telah padat tangkap dengan tingkat produktivitas yang
sangat kecil
2. Kawasan Timur Indonesia yang memiliki potensi sumber daya ikan yang besar,
namun tingkat pemanfaatan dan sistem pemasarannya belum optimal
3. Daerah-daerah perbatasan dengan negara lain, khususnya yang memliki potensi
sumber daya ikan yang tinggi. Pelaksanaan program PUPTSK di daerah perbatasan,
di samping bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan
menumbuhkan perekonomian lokal, juga dimaksudkan untuk ikut menjaga
integritas national.
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap
DITJEN P3K LAKUKAN PENYUSUNAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT PESISIR
3. Kemiskinan Pada Masyarakat Pesisir Pantai
• Penerimaan
Penerimaan nelayan di daerah studi pada saat dilakukan survei umumnya relatif
besar, dengan nilai berkisar antara Rp.50.000 ribu sampai Rp.100.000,- per hari.
Penurunan nilai tukar nelayan secara langsung tidak berhubungan dengan
58
penerimaan nelayan, tetapi faktor pengeluaran. Sebab perkembangan penerimaan
nelayan selama Bulan Agustus sampai Desember tahun 2002 umumnya
menunjukkan peningkatan. Peluang penurunan nilai tukar nelayan lebih terarah
kepada perkembangan pengeluaran nelayan.
Di Kabupaten Sukabumi,periode bulan Agustus – Oktober merupakan period
puncak dimana hasil tangkapan relatif lebih baik dibandingkan dengan bulan-bulan
lalu. Pada saat musim kemarau dan terang bulan jumlah tangkapan ikan relatif lebih
banyak dibandingkan musim hujan.
• Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
Pengeluaran konsumsi rumah tangga nelayan di daerah survei selama Bulan
Agustus sampai Desember tahun 2002 memang menunjukkan fluaktuasi. Nahkoda
kapal purse seine, ABK terampil, ABK biasa Pole & Line, juragan pancing tonda,
dan ABK biasa pancing tonda adalah nelayan yang mengalami penurunan nilai
tukar merupakan orang yang sama mengalami peningkatan pengeluaran konsumsi
rumah tangga. Oleh karena itu perubahan perilaku dalam pengeluaran konsumsi
rumah tangga yang lebih besar daripada peningkatan penerimaan telah
mempengaruhi nilai tukar nelayan.
Bengen, D.G. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu,
Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Makalah pada Sosialisasi Pengelolaan
Sumberdaya Berbasis Masyarakat. Bogor, 21-22 September 2001.
59
BOBP. (Bay of Bengal Program). 1990. Helping Fisherfolk to Help Themselves. A
Study in People’s Participation. BOBP. 182 p.
Gordon, H.S. 1954. The Economic Theory of a Common Property Resource: The
Fishery. Journal of Political Economics, 62(2): 124-142.
Haque, W., N. Mehta, A. Rahman, and P. Wignaraja. 1977. Towards a Theory of Rural
Development. Development Dialogue, No. 2. 144 p.
Top Related