BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ASAM LEMAK SAWIT DISTILAT (ALSD)
Minyak Sawit Mentah atau Crude Palm Oil (CPO) merupakan minyak yang
diperoleh dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS). CPO yang dihasilkan Indonesia
mencapai 21,1 juta ton per tahun (Oil Worl, 2010). Sebagian besar dari produksi
ini di ekspor langsung dalam bentuk CPO dan hanya sekitar 5 juta ton yang
digunakan sebagai bahan baku minyak goreng. Dalam proses pengolahan CPO
melalui pemisahan, penjernihan, dan penghilangan bau, dihasilkan dua produk
utama yaitu RBDS (Refined Bleached Deodorized Stearin) yang mengandung 92-
97 % asam palmitat dan RBDO (Refined Bleached Deodorized Olein) atau
minyak goreng yang mengandung 92-97% asam oleat, dan hasil samping Asam
Lemak Sawit Distilat (ALSD) yang mencapai 3,5 % dari CPO yang diolah
(Morad, et. al. 2006). Untuk pabrik minyak goreng kelapa sawit dengan kapasitas
200 ton CPO per hari, akan diperoleh ALSD sekitar 7 ton per hari. Jumlah yang
relatif besar jika dapat dimanfaatkan untuk produk yang bernilai tambah tinggi.
Pada Gambar 2.1. disajikan skema pengolahan CPO menjadi minyak goreng
kelapa sawit dengan hasil samping ALSD ( , 2012a
).
Peningkatan konsumsi minyak makan di dunia pada 2020 diperkirakan
mencapai 232,4 juta ton. Jumlah tersebut meningkat cukup pesat dibandingkan
tahun 2006 sebesar 166,5 juta ton. Artinya dalam 14 tahun akan terjadi
peningkatan konsumsi sebanyak 40 persen. Dari konsumsi minyak makan dunia
itu, kontribusi minyak sawit (palm oil) cukup besar mencapai 27,5 persen untuk
makanan, farmasi dan oleo chemical. Konsumsi minyak makan di negara AS dan-
Eropa sekitar 55 kg per kapita, sedangkan di China, India dan Indonesia baru
sebanyak 20 kg per kapita per tahun ( , 2012b
).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Skema pengolahan CPO menjadi minyak goreng kelapa sawit
Seiring dengan semakin banyaknya konsumsi minyak goreng kelapa sawit ini,
maka kondisi ini memberikan gambaran betapa banyaknya ALSD yang akan
diperoleh setiap tahunnya. Hingga saat ini, pemanfaatan ALSD masih terbatas
pada pembuatan sabun dengan kualitas rendah. Sehingga sangat dibutuhkan
pengembangan lebih lanjut untuk meningkatkan nilai tambah dari ALSD.
Hasil penelitian Nuryanto, 1997, menunjukkan bahwa ALSD mengandung
asam lemak jenuh dan tak jenuh. Komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh yang
terdapat di dalam ALSD bergantung kepada karakteristik CPO yang diolah. Pada
Tabel 2.1. disajikan komposisi ALSD hasil penelitian terdahulu (Nuryanto, 1997).
Mengingat di dalam ALSD terdapat asam lemak tak jenuh, maka ALSD ini
dapat digunakan sebagai sumber asam lemak tak jenuh yang dapat dimodifikasi
menjadi struktur kimia lebih lanjut. Asam Lemak Sawit Distilat (ALSD) dapat
dimanfaatkan sebagai senyawa turunan oksigen seperti senyawa oksazol, tiazol,
ditiolan, dioksolan, dan morfolinon yang mempunyai kegunaan sebagai bahan anti
bakteri, anti serangga, parfum, stabiliser, anti mikrobial, dan plastisiser (Nuryanto,
1997 dan Yuliasari, dkk. 1999b). Di samping itu, ALSD juga dapat dimanfaatkan
PRETREATMENT
DEODORISASI
KRISTALISASI
PTPO
RBDPO
RBDS RBDO
PFAD
FRAKSINASI
CPO
Tanah Pemucat
Universitas Sumatera Utara
untuk pembuatan senyawa turunan amida seperti etanol alkil amida dan
superpalmamida yang dapat digunakan sebagai emulsifier tipe water/oil
(Nuryanto dan Sadi, 1996 dan Herawan, dkk. 1999a
Tabel 2.1. Komposisi asam lemak di dalam ALSD
).
No Jenis asam lemak Kandungan (%)
1 Asam laurat (C12) 0,93
2 Asam miristat (C14) 2,87
3 Asam palmitat (C16) 56,55
4 Asam stearat (C18) 2,70
5 Asam oleat (C18:1) 27,59
6 Asam linoleat (C18:2) 9,10
7 Asam linolenat (C18:3) 0,24
Sumber : Nuryanto, 1997.
Senyawa yang dapat dimodifikasi dari ALSD antara lain adalah metil oleat
(MO) dengan perolehan sebanyak 98,7%, metil epoksi stearat (MES) sebanyak
83,77% dan metil asetoksi stearat (MAS) sebanyak 73,75%. Campuran Poly Vinil
Chloride (PVC)-MO kompatibel pada kadar 10% memberikan kekuatan tarik
sebesar 27,3 MPa dan kemuluran 56,17%. Campuran PVC-MES kompatibel
sampai kadar 30% memberikan kekuatan tarik sebesar 23,1 MPa dan kemuluran
92,14%. Campuran PVC-MAS kompatibel sampai kadar 20% memberikan
kekuatan tarik sebesar 21,2 MPa dan kemuluran 65,82%. Sedangkan campuran
PVC-DOP pada kadar 30% memberikan kekuatan tarik sebesar 24,6 MPa dan
kemuluran sebesar 86,3% (Hill, 2000 dan Bozell, 2004).
2.1.1. Pemisahan Asam Lemak Jenuh dan Tak Jenuh di dalam ALSD
Ada beberapa metode untuk memisahkan asam lemak jenuh dan tak jenuh yang
terdapat di dalam ALSD, antara lain metode panci dan pengempaan, distilasi
bertingkat, dan kristalisasi pelarut. Prinsip dari ke tiga metode ini adalah adanya
perbedaan titik didih, titik leleh, kelarutan, kereaktifan, dan tekanan uap air antara
asam lemak jenuh dan tak jenuh.
Universitas Sumatera Utara
Metode yang pertama kali digunakan untuk memisahkan campuran ini adalah
metode panci dan pengempaan. Metode ini disebut demikian karena pada
pengerjaannya menggunakan panci dan dikempa. Prinsip dari pemisahan ini
adalah adanya perbedaan titik beku dari ke dua jenis asam lemak ini, dimana asam
lemak jenuh mempunyai titik beku yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam
lemak tak jenuh. Cara kerja metode ini adalah asam lemak yang akan dipisahkan
dimasukan ke dalam panci aluminium dan didinginkan pada suhu 5 – 8 o
C selama
6 – 8 jam, kemudian dikempa. Setelah dilakukan proses ini tiga kali akan
diperoleh asam lemak jenuh yang mengandung 2 – 4 % asam lemak tak jenuh.
Metode pemisahan ini memerlukan waktu yang lama sehinga tidak efisien
(Muckerheide, 1954).
Prinsip kerja pemisahan asam lemak jenuh dan tak jenuh dengan metode
distilasi bertingkat adalah dengan adanya perbedaan titik didih dari ke dua jenis
asam lemak tersebut. Titik didih asam lemak tak jenuh (asam oleat 286 oC dan
asam linoleat 229 oC), sedangkan titik didih asam lemak jenuh (asam palmitat 350 oC dan asam stearat 360 oC). Untuk memisahkan ke dua jenis asam lemak ini
dengan metode distilasi bertingkat harus dikombinasikan dengan alat vakum,
karena untuk menghindari tingginya suhu distilasi. Apabila suhu distilasi
dipaksakan mencapai 286 o
C agar asam oleat mulai menguap, maka akan terjadi
oksidasi terhadap ikatan rangkap yang terdapat di dalam asam lemak tak jenuh
(Muckerheide, 1954).
Cara pemisahan ALSD yang lainnya adalah dengan metode kristalisasi
pelarut. Metode ini didasarkan kepada adanya perbedaan kelarutan dari asam
lemak jenuh dan tak jenuh di dalam suatu pelarut organik tertentu dan pada suhu
tertentu. Cara kerja dari metode ini adalah dengan melarutkan ALSD yang akan
dipisahkan di dalam metanol dan didinginkan pada suhu 0 – 5 o
C selama 40 menit,
kemudian disaring. Padatan yang diperoleh akan banyak mengandung asam lemak
jenuh, sedangkan filtratnya setelah pelarutnya diuapkan aka diperoleh asam lemak
tak jenuh (Haryati, T dan L. Buana, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan instrumentasi saat ini telah menghasilkan sebuah alat untuk
memisahkan asam lemak jenuh dan tak jenuh dengan metode distilasi molekular.
2.1.2. Distilasi Molekular
Distilasi adalah pemisahan fraksi-fraksi dari suatu campuran berdasarkan
perbedaan titik didihnya. Dalam pengertian lain distilas
i atau penyulingan adalah
suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau
kemudahan menguap suatu bahan. Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan
sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk
cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu.
Metode ini merupakan termasuk unit operasi kimia jenis perpindahan massa.
Penerapan proses ini didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan, masing-
masing komponen akan menguap pada titik didihnya (Fessenden, R. J. dan J. S.
Fessenden, 1989).
Distilasi molekuler adalah proses separasi fraksi-fraksi molekul yang berbeda
bobotnya pada suhu serendah mungkin untuk menghindari kerusakan bahan. Dalam
pengertian lain distilasi molekuler merupakan penyulingan yang dilakukan di bawah
vakum tinggi dan dirancang sebagai alat yang dapat memungkinkan molekul untuk
melepaskan diri dari cairan yang hangat untuk mencapai permukaan kondensor yang
dingin sebelum bertabrakan dengan molekul lain dan akibatnya kembali mencair (Shi, J.
et. al. 2007 dan Krell, 1982).
Distilasi molekuler dicirikan dengan alokasi waktu distilasi yang singkat,
koefisien transfer panas tinggi, penghilangan hotspot, aliran operasi kontinyu,
tekanan rendah sampai 0,001 mbar dan jarak yang sempit antara kondensor dan
evaporator. Teknologi wiped-film menggunakan hukum bahwa setiap molekul
kimia memiliki karakteristik penguapan yang berbeda-beda. Perbedaan titik uap
dapat mendegradasi komponen kompleks menjadi lebih sederhana. Molekul
merupakan materi yang selalu bergerak konstan dengan derajat tertentu tergantung
komposisi dan perlakuan pada suhu dan tekanan yang diberikan padanya. Molekul
yang berada di permukaan mempunyai kecenderungan untuk meloncat ke udara
Universitas Sumatera Utara
yang mengelilingnya. Ketika suhu dinaikkan dan tekanan diturunkan, loncatan
molekul bertambah sehingga disebut menguap (Liang and Hwang, 2000).
Proses distilasi molekuler bekerja berdasarkan sifat penguapan molekul.
Distilasi molekuler terdiri dari pemanas yang dialiri bahan baku (tergantung dari
suhu pemanasannya). Cairan bahan baku kemudian disebar dalam lapisan film
tipis dengan memutar wiper pada kecepatan yang telah ditentukan. Lapisan tipis
yang terbentuk, dibentuk menjadi aliran turbulen oleh wiper kemudian turun
sepanjang pemanas dengan adanya gaya gravitasi dan lubang di dalam wiper.
Selama bahan mengalir pada pemanas, terjadi evaporasi yang tergantung pada
karakteristik bahan baku dan suhu pemanas. Bahan yang tidak terevaporasi
mengalir ke bagian bawah, sedangkan bahan yang terevaporasi dikondensasikan
dan dipisahkan. Bermacam-macam kecepatan wiper dengan kemampuan untuk
berputar balik, menghasilkan variasi retention time yang sangat beragam pada
proses untuk mengalirkan fluida ke evaporator.
Pada Gambar 2.2. disajikan dasar-dasar evaporasi dan kondensasi pada
distilasi molekuler (Setyawan, 2012).
Gambar 2.2. Dasar-dasar evaporasi dan kondensasi pada distilasi molekuler
Distilasi molekuler menggunakan lapisan tipis dilakukan karena beberapa alasan,
diantaranya adalah:
Universitas Sumatera Utara
Turbulensi dihasilkan dari pergerakan wiper yang berperan besar pada
transmisi panas ke seluruh permukaan evaporator, oleh karena itu dapat
menghasilkan suhu yang lebih rendah di dalam evaporator.
Dihasilkan luas area permukaan pemanasan per unit volume yang
maksimum dengan adanya aliran evaporasi.
Waktu kontak cairan dengan pemanas dapat dikontrol dalam hitungan
detik atau kurang. Hal ini meminimasi kerusakan produk karena panas
dengan mengontrol kecepatan wiper.
Bahan baku dengan viskositas tinggi dapat diproses dengan atau tanpa
penambahan pelarut.
Salah satu alat yang dapat digunakan untuk pemisahan campuran dengan metode
distilasi molekuler adalah Short Path Distillation Plant type KDL 5. Alat ini terdiri dari
bagian Product Feed, Distillation Unit, Discharge Residue, Discharge Distilat, Cold Trap,
Wiper Basket, Unit Pompa, dan Heating Device. Product Feed merupakan wadah umpan
yang akan diproses secara distilasi molekuler. Product feed dilengkapi dengan jaket
pemanas. Sementara Distillation Unit terdapat evaporator dan dilengkapi dengan jaket
pemanas, suhu bisa mencapai 300o
C. Pada Distillation Unit bagian internal condenser
terdapat tiga feed system di dalamnya yaitu dosing vessel, gear pump (heatable), dan
dosing pump (non heatable). Yang mana ketiga bagian tersebut terhubung langsung
dengan wiper basket. Wiper Basket berfungsi untuk memperluas permukaan sampel dari
unit feed. Umpan yang jatuh tetes demi tetes ke dalam unit distilasi diperluas
permukaannya dengan alat rotary pada dinding unit distilasi ( , 2004).
2.1.3. Epoksidasi
Epoksida merupakan eter siklik cincin segitiga dengan salah satu atom
pembentuknya adalah oksigen. Epoksida atau dalam tata nama International of
Union Pure and Applied Chemistry (IUPAC) disebut sebagai oksirana termasuk
golongan senyawa eter tetapi mempunyai sifat berbeda dengan sifat eter pada
umumnya.
Untuk mengkonversi alkena menjadi epoksida yang paling umum adalah
dengan menggunakan peroksida. Reaksi peroksida yang terjadi meliputi
Universitas Sumatera Utara
RR
RR
:O::O:
H
R
:O:
R
R
R
R
OO
H
O R+ +
pemutusan homolitik ikatan O-O, yang selanjutnya akan bereaksi dengan alkena.
Peroksida memiliki tiga kelompok yang digunakan untuk epoksidasi yaitu
hidrogen peroksida, alkil hidroperoksida dan asam peroksida. Alkena berikatan
dengan elektrofil oksigen dari peroksida. Pemutusan secara heterolitik dari
peroksida mentransfer oksigen ke alkena dan pelepasan oksigen menghasilkan
hasil samping yaitu air dari hidrogen peroksida, alkohol dari alkil hidroperoksida
dan asam karboksilat dari peroksi asam. Gugus -OH dari peroksida merupakan
sumber elekrofilik oksigen dan bereaksi dengan nukleofilik ikatan π dari alkena
(Derawi and Salimon, 2010 dan Fessenden, R.J. dan J.S. Fessenden, 1989).
Prinsip dasar dari reaksi epoksidasi yaitu asam peroksi mengoksidasi ikatan
rangkap yang terdapat pada alkena sehingga terjadi pemutusan ikatan rangkap dan
pembentukan gugus oksiran. Ikatan rangkap dua pada alkena merupakan sumber
elektron karena mengandung awan elektron π. Elektron π mempunyai ikatan yang
sangat lemah sehingga mudah putus dan mendonorkan elektronnya (basa Lewis).
Akibatnya reagen yang elektrofilik dapat bereaksi dengan ikatan rangkap dua
pada alkena. Reaksi jenis ini disebut reaksi adisi elektrofilik. Jika suatu molekul
mengandung dua alkena, maka alkena yang lebih banyak tersubtitusi akan lebih
cepat terepoksidasi. Alkena yang lebih banyak tersubtitusi merupakan alkena yang
kaya elektron dan bereaksi lebih cepat daripada alkena yang kurang tersubtitusi.
Hal ini disebabkan oleh bertambahnya gugus pendorong elektron pada alkena
tersubtitusi, sehingga gugus elektrofilik dari peroksida akan lebih mudah
mendapatkan elektron daripada dengan alkena yang kurang tersubtitusi. Penelitian
tentang reaksi epoksidasi alkena telah banyak dilakukan diantaranya yaitu reaksi
epoksidasi alkena dengan per-asam. Pada reaksi tersebut terjadi serah terima dari
asam peroksi langsung kepada alkena. Mekanisme serah terima oksigen dari asam
peroksi kepada alkena ditunjukkan pada Gambar 2.3. di bawah ini (Fessenden,
R.J. dan J. S. Fessenden, 1989).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3. Mekanisme reaksi epoksidasi alkena dengan asam peroksi
Epoksidasi umumnya dilakukan menggunakan asam peroksi format atau
peroksi asetat yang dihasilkan in situ dari asam format atau asam asetat dengan
hidrogen peroksida (70% w/w). Senyawa asam peroksi bersifat tak stabil dan
reaksinya bersifat eksotermis. Konsentrasi asam peroksi dijaga tetap rendah
dengan cara menggunakan asam karboksilat berkonsentrasi rendah. Proses
oksidasi dapat berlangsung dua metode. Metode pertama, asam perasetat dibuat
terlebih dahulu dengan mereaksikan asam asetat dengan hidrogen peroksida dan
metode kedua dengan proses insitu epoksidasi yaitu proses dimana asam perasetat
dibuat serentak dengan reaksi epoksidasinya. Untuk epoksidasi proses terpisah,
tidak dibutuhkan katalis, namun pada suhu operasi 200-800 o
C, sebelum
pembentukan asam perasetat. Metode ini tidak efisien, kecuali pada perbandingan
konsentrasi yang tinggi dari asam asetat maupun hidrogen peroksida (Gan, et. al.,
1992 dan Kirk and Othmer, 1982).
Alternatif lain dapat digunakan katalis heterogen dari golongan resin asam,
misalnya resin asam polistirensulfonat. Beberapa peneliti melaporkan bahwa
reaksi epoksidasi berkatalis resin asam ini kurang efisien karena memerlukan
konsentrasi resin dalam jumlah besar sekitar 10-15% (w/w dari berat minyak) di
samping kemungkinan terjadinya degradasi resin setelah 6-8 kali pemakaian,
sehingga harus diganti (Rios, L.A., 2003). Epoksidasi enzimatik telah terbukti
efektif untuk mengoksidasi minyak nabati dengan hidrogen peroksida encer.
Lipase dan esterase terimmobilisasi menunjukkan aktivitas yang tinggi untuk
mengubah asam lemak dan metil ester menjadi asam peroksikarboksilat
menggunakan H2O2
sebagai oksidan. Beberapa peneliti menggunakan sistem ini
untuk mengepoksidasi minyak nabati dengan rendemen yang sangat tinggi
(Piazza, et. al. 2003).
Universitas Sumatera Utara
Asam Lemak Sawit distilat (ALSD) mengandung asam lemak tak jenuh yang
memiliki satu atau lebih gugus alkena yang dapat diubah menjadi senyawa
epoksida. Reaksi epoksidasi merupakan salah satu reaksi yang penting dalam
kimia organik karena senyawa epoksida yang dihasilkan dapat digunakan sebagai
intermediet untuk diubah menjadi berbagai produk (Lee, et. al. 2009 dan
Scrimgeour, 2005).
2.1.3.1. Epoksidasi dengan Hidrogen Peroksida (H2O2
Hidrogen peroksida merupakan peroksida yang lazim digunakan dan merupakan
zat pengoksidasi yang kuat. Hidrogen peroksida merupakan cairan tak berwarna
dan salah satu reagen yang dapat mengkonversi alkena menjadi epoksida.
Hidrogen peroksida encer (3-6%) digunakan sebagai antiseptik dan pemutih kain,
seperti katun dan wool, sedangkan larutan pekatnya dipakai sebagai bahan bakar
roket. Banyak jenis peroksida yang dapat digunakan untuk membuat suatu
epoksida, tetapi hidrogen peroksida termasuk reagen yang disukai karena mudah
diperoleh. Banyak penelitian telah dilakukan mengenai reaksi epoksidasi
menggunakan oksidator hidrogen peroksida (H
)
2O2
).
Reaksi pembentukan epoksidasi ini menggunakan katalis H2SO4, semakin
banyak H2SO4 yang ditambahkan semakin cepat reaksi epoksidasi berlangsung
tetapi oksigen oksiran yang diperoleh semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh
penambahan H2SO4 yang semakin banyak dapat mempercepat terjadinya
degradasi gugus oksiran. H2SO4 selain mempunyai kemampuan sebagai katalis
juga dapat mendegradasi gugus oksiran. H2SO4 yang masih terdapat dalam fase
air dapat menjadi katalisator terjadinya pembukaan cincin epoksida (Yuliasari dan
Herawan, 1999a
).
2.1.3.2. Reaksi Pembukan Cincin Epoksida
Setelah reaksi epoksidasi selesai, epoksida yang terbentuk selanjutnya diadisi
dengan alkohol untuk membuka cincin oksiran. Proses ini relatif mudah karena
cincin beranggota 3 atom memiliki regangan yang tinggi sehingga mudah putus
pada salah satu ikatan C-O. Reaksi ini dapat dikatalis oleh asam atau basa. Variasi
Universitas Sumatera Utara
O
CH2
H
R
: ..
+ OH-:. .
. . SN2C CH2OHR
1
H
O
H OH
- ::. .
. .
. .
R1
C CH2OHH
OH:. .
+ OH-
. .. .
:
jenis alkohol dapat dilakukan untuk memperoleh poliol dengan struktur yang
berbeda, namun karena epoksida kurang stabil dan mudah berubah menjadi
senyawa lain, diperlukan langkah-langkah reaksi yang dapat mengarahkan
pembentukan epoksida menjadi poliol. Pereaksi yang dapat dipilih antara lain,
alkohol dengan katalis asam, atau alkoksida dengan katalis basa.
Dalam pembukaan cincin epoksida berkatalis basa, nukleofil menyerang
karbon yang kurang terhalang (less-hindered) dengan mekanisme SN2. Tahap-
tahap reaksi antara epoksida dengan ion hidroksida (NaOH atau KOH dalam air)
atau dengan ion metoksida (NaOCH3 dalm metanol) seperti pada Gambar 2.4.
berikut (Campanella and Baltanas, 2005a
).
Gambar 2.4. Mekanisme reaksi pembukaan cincin epoksida berkatalis basa
Pada pembukaan cincin berkatalis asam, nukleofil menyerang cincin epoksida
yang telah terprotonisasi dari sisi yang berlawanan dari gugus epoksida. Atom
karbon yang diserang akan mengalami perubahan konfigurasi sehingga ikatan C-
O yang baru akan selalu terbentuk pada sisi yang berlawanan dari cincin epoksida
semula (SN
2). Berbeda dengan pembukaan cincin berkatalis basa, serangan dalam
suasana asam justru berlangsung dalam karbon yang lebih terhalang (Gambar
2.5).
Epoksida terprotonisasi memiliki cukup karakter karbokation, sehingga makin
banyak gugus alkil yang dimiliki akan lebih besar muatan positif parsial pada
karbon itu. Serangan nukleofil yang terjadi setelah terprotonisasi akan memilih
karbon yang lebih positif, meskipun karbon ini lebih terhalang (Campanella and
Baltanas, 2005b
).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5. Mekanisme reaksi pembukaan cincin epoksida berkatalis asam
2.2. TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT
Perkembangan areal tanaman kelapa sawit di Indonesia sangat pesat, dan
diperkirakan pada tahun 2010 luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia
mencapai lebih dari 7,8 juta ha (Dirjenbun, 2010). Semakin luasnya perkebunan
kelapa sawit ini akan diikuti dengan peningkatan produksi minyak kelapa sawit /
Crude Palm Oil (CPO) dan jumlah limbah cair maupun padat yang dihasilkan.
Pada proses produksi CPO, Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan
limbah padat terbanyak yaitu sekitar 20 % dari jumlah Tandan Buah Segar (TBS)
kelapa sawit yang diolah hampir setara dengan jumlah CPO yang diperoleh. Jika
pada tahun 2010 produksi CPO Indonesia mencapai 21,1 juta ton per tahun, maka
TKKS yang dihasilkan juga mencapai 21,1 juta ton per tahun (Oil World, 2010).
Suatu jumlah yang sangat banyak dan jika tidak dikelola dengan baik, akan
menjadi sumber pencemaran lingkungan.
Pada masa lalu, TKKS ini dibakar di inceenerator dan abunya dimanfaatkan
sebagai pengganti pupuk kalium, karena di dalam abu TKKS mengandung sekitar
30 % K2
O
O. Namun saat ini pemerintah sudah melarang pembakaran TKKS ini
C C R 1
R H H
: : H
+ O +
C C R 1
R H H
H : :
Aktivasi epoksida:
Penyerangan Nukleofil:
Nu -
+
O +
C C R 1
R H H
H : :
R R 1
O H
H Nu
H
Universitas Sumatera Utara
karena menimbulkan polusi udara. Pemanfaatan TKKS saat ini adalah sebagai
sumber bahan organik bagi pertanaman kelapa sawit, baik secara langsung
maupun tidak lansung. Pemanfaatan secara langsung adalah dengan menyebarkan
langsung TKKS ke kebun kelapa sawit sebagai mulsa. Namun cara ini masih
dianggap kurang efisien karena memerlukan biaya yang tinggi untuk
penyebarannya ke kebun (Nuryanto, 2000). Sedangkan pemanfaatan TKKS secara
tidak langsung adalah dengan mengkomposkan terlebih dahulu TKKS sebelum
digunakan sebagai pupuk organik. Saat ini sudah banyak Pabrik Kelapa Sawit
yang melakukan pengomposan TKKS ini. Pemanfaatan TKKS sebagai kompos
merupakan suatu alternatif yang menarik. Pengomposan TKKS akan
menghasilkan produk yang dapat digunakan sebagai penambah unsur hara tanah
dan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Namun masa
pengomposan TKKS ini masih relatif lama, yaitu sekitar 6 minggu (Darnoko, dkk.
1993, Herawan, dkk. 1999b
dan Suhaimi, M. and H.K. Ong, 2002). Pemanfaatan
TKKS untuk bahan-bahan lain yang lebih bernilai tinggi terus dilakukan seperti
untuk pot, pulp, kertas kraft, selulosa nitrat, dan lain-lain (Erwinsyah, dkk. 1997,
Guritno, dkk. 1998, Guritno, dkk. 1995, Darnoko, dkk. 1995, Marikena, dkk.
2007).
Apabila ditinjau dari kandungan yang terdapat di dalam TKKS, maka TKKS
terdiri atas komponen-komponen utama selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Sehingga TKKS disebut sebagai limbah ligno-selulosa (Darnoko, dkk. 1995).
Dengan demikian TKKS dapat digunakan sebagai bahan baku untuk produk
berbasis selulosa, seperti pulp dan produk berbasis lignin (Abdul Azis, et. al.
2002). Beberapa peneliti telah melaporkan komposisi kimia dari TKKS seperti
terlihat pada Tabel 2.2.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Komposisi kimia TKKS
Komponen (%) %
Selulosa 38,76
Holoselulosa 67,88
Lignin 22,23
Abu 6,59
Sumber: Darnoko, dkk. 1995
2.3. PROSES PEMBUBURAN TKKS (PULPING)
Proses pulping bertujuan untuk memisahkan selulosa dari lignin dan komponen
lainnya dapat dilakukan dengan cara mekanik, semikimia, dan kimia. Proses kimia
dapat menghasilkan pulp yang lebih baik dari pada proses semikimia dan
mekanik. Proses secara kimia dapat dilakukan dengan cara proses kraft (sulfat),
sulfit, asam nitrat, soda dan soda klor (Sari, R., 2004).
Metode pulping soda merupakan metode kimia pulping pertama yang
dikenalkan pada tahun 1851 oleh Burgess (Amerika) dan Watts (Inggris). Pabrik
pulp pertama didirikan pada tahun 1860 di Amerika. Metoda pulping soda mampu
menghasilkan kecerahan warna hingga 80,9%, sehingga memenuhi standard jika
diolah menjadi kertas (Tanaka, R., 2005).
Metode soda menggunakan soda kaustik dan soda abu sebagai aktivatornya
pada suhu 70 0C - 90 0
C. Dengan kondisi tersebut lignin dan beberapa
hemiselulosa memutuskan fragmen-fragmen yang larut dalam cairan yang kuat.
Lignin-lignin yang mengikat kuat selulosa akan terdegradasi. Proses pulping soda
biasanya menghasilkan pulp yang berwarna gelap, namun dapat dilakukan proses
pemutihan untuk menghasilkan pulp yang berwana cerah.
2.3.1. Bilangan Kappa
Bilangan Kappa digunakan untuk menyatakan seberapa jumlah lignin yang masih
tersisa didalam pulp setelah pemasakan (Fengel, D., 1995). Pengujian bilangan
Kappa dilakukan didalam industri pulp memiliki dua tujuan, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. merupakan indikasi terhadap derajat delignifikasi yang tercapai
selama proses pemasakan, artinya bilangan kappa digunakan untuk
mengontrol pemasakan.
b. menunjukkan kebutuhan bahan kimia yang akan digunakan untuk proses
selanjutnya yaitu proses pemutihan (bleaching).
Pada pengujian bilangan Kappa, sejumlah larutan kalium permanganat yang
sudah diketahui konsentrasinya ditambahkan kedalam sampel pulp. Setelah waktu
tertentu, jumlah permanganat yang bereaksi dengan pulp ditentukan dengan
mentitrasi sampel dengan Na2S2O3. Bilangan Kappa selanjutnya didefinisikan
sebagai jumlah mililiter KMnO4 0,1N yang dikonsumsi oleh 10 gram pulp selama
10 menit pada temperatur 250
% lignin = 0,147 X bilangan Kappa
C. Hasilnya dikoreksikan terhadap konsumsi oleh
50% permanganat yang ditambahkan. Hubungan antara bilangan Kappa dengan
lignin adalah sebagai berikut:
2.4. SELULOSA
Selulosa adalah unsur pembentuk utama kerangka tumbuh-tumbuhan yang
merupakan senyawa seperti serabut, liat, tidak larut dalam air, dan ditemukan
di dalam dinding sel pelindung tumbuhan terutama pada tangkai batang, dahan
dan semua bahagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa merupakan
homopolisakarida linier tidak bercabang, terdiri dari ribuan unit D-glukosa yang
terhubung oleh ikatan 1 – 4 glikosida, senyawa ini akan kelihatan seperti
amilosa dari rantai utama glikogen. Tetapi terdapat perbedaan yang sangat
penting pada selulosa, ikatan 1 – 4 berada dalam konfigurasi β, sedangkan pada
amilosa, amilopektin, dan glikogen, ikatan 1 - 4 nya berbentuk α. Bila dihidrolisis
sempurna, selulosa memberikan glukosa, sedangkan jika dihidrolisis parsial akan
menghasilkan selobiosa. Hal ini menunjukkan bahwa selulosa merupakan polimer
yang mempunyai ikatan β (Klem, et. al. 2012).
Untuk memahami peristilahan ini pertama-tama kita harus melihat struktur
glukosa. Glukosa mempunyai rumus molekul C6H12O6. Dengan kata lain kita
Universitas Sumatera Utara
dapat menggambarkan struktur glukosa sebagai rantai lurus ataupun struktur
cincin. Struktur cincin dapat terbentuk dari hasil pembentukan hemiasetal
internal. Namun, penelahan yang mendalam terhadap mekanisme ini
menunjukkan bahwa terdapat dua kemungkinan bagi konfigurasi glukosa,
bergantung pada bahwa terdapat dua kemungkinan pada cara gugus -OH pada
atom korban nomor 1 (C1) diarahkan. Bilamana gugus - OH pada atom karbon
C nomor satu terarah ke bawah, glukosa mengambil bentuk α, bilamana gugus
– OH terarah ke atas disebut bentuk β. Dalam larutan, kedua bentuk itu
seimbang, karena glukosa menunjukkan sifat mereduksi seperti aldehida
(bereaksi dengan pereaksi Tollens dan larutan Fehling), hal ini membuktikan
adanya sejumlah kecil struktur terbuka atau struktur rantai lurus. Telah
dikemukakan bahwa polisakarida dibangun dari banyak kesatuan monosakarida
yang saling bergabung dengan melepaskan air, dan hasilnya ialah deret
ikatan glikosida (jembatan oksigen). Deret ikatan glikosida dalam selulosa
antara C1 dari satu kesatuan C4 dari kesatuan berikutnya diperlihatkan pada
Gambar 2.6. Hal ini juga menjadi bukti mengapa selulosa tergolong bukan
pereduksi, karena titik ikatan adalah pada atom karbon nomor satu pereduksi
(Fengel, 1995). Pada Gambar 2.6. disajikan struktur dari selulosa (Klem, et. al.
2012).
Gambar 2.6. Struktur selulosa
Rumus molekul selulosa ialah (C6H10O5)n dan n dapat berupa angka
ribuan. Sangat sukar untuk mengukur massa molekul nisbi selulosa, karena (1)
tidak banyak pelarut untuk selulosa, (2) selulosa sangat cenderung terombak
selama proses dan (3) cukup rumit menggunakan selulosa dari sumber yang
berbeda. Cara yang acap kali dipilih ialah menitratkan selulosa dengan cara tak
merusak (Fengel, D., 1995).
H O H
O H
O H
H
H H
CH 2 OH
O
H H
HOH 2 C
O H H O
C H 3
O H O
H O H
O H
O H
H H
H H
CH 2 OH
O
H H
HOH 2 C
O H H O
O H H
O O
C H 3 1 4
1 4
n
unit selobiosa
1 4
β
β
β
Universitas Sumatera Utara
Ditinjau dari struktur, dapat saja diharapkan selulosa mempunyai kelarutan
yang besar dalam air, karena banyaknya kandungan gugus hidroksi yang
dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air (antaraksi yang tinggi antara
pelarut- pelarut). Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, dan selulosa bukan
hanya tidak larut dalam air tetapi juga banyak dalam pelarut lain.
Penyebabnya ialah kekuatan rantai dan tingginya gaya antar rantai akibat
ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan. Faktor ini
dipandang menjadi penyebab kekristalan yang tinggi dari serat selulosa. Jika
ikatan hidrogen berkurang, gaya antaraksipun berkurang, dan oleh karenanya
gugus hidoksil selulosa harus diganti sebagian atau seluruhnya oleh
pengesteran. Hal ini dapat dilakukan, dan ester yang dihasilkan larut dalam
sejumlah pelarut.
Selulosa akan larut dalam asam mineral kuat seperti asam sulfat 72%, asam
klorida 40%, dan asam fosfat 85%, akan tetapi tidak larut dalam air. Viskositas
larutan selulosa akan meningkat seiring dengan naiknya konsentrasi atau derajat
polimerisasi. Densitas selulosa bervariasi sesuai dengan perlakuan kimia, derajat
polimerisasi, dan media pada saat penentuan densitas.
Kegunaan selulosa yang utama adalah sebagai bahan baku pembuatan kertas
dan sebagai bahan untuk pembuatan turunan selulosa seperti selulosa nitrat,
selulosa asetat, selulosa butirat, metilselulosa, dan sebagainya.
2.4.1. Sifat Kimia Selulosa
Selulosa yang secara langsung dijadikan serat sangatlah terbatas. Yang lebih
lazim dilakukan ialah memproses larutan turunan selulosa dan kemudian
membuat polimer itu menjadi bentuk yang dikehendaki. Selulosa yang diperoleh
dengan cara itu disebut selulosa teregenerasi. Di dalam struktur selulosa banyak
terdapat gugus – OH yang merupakan gugus reaktif yang dapat bereaksi dengan
gugus lain dari suatu pereaksi. Reaksi yang dapat dilakukan terhadap gugus – OH
tersebut antara lain adalah esterifikasi menjadi selulosa nitrat dan asetilasi menjadi
selulosa asetat.
Universitas Sumatera Utara
Selulosa dapat diesterifikasi dengan asam nitrat, yang dalam hal ini digunakan
dalam pembuatan selulosa nitrat untuk memperoleh dinitrat dan trinitrat (Gert, et.
al., 2003). Selulosa dinitrat disebut juga pirosilin, tak larut dalam eter dan alkohol,
tetapi bila dua pelarut tersebut dicampur dengan volume yang sama maka larutan
itu dapat melarutkan selulosa dinitrat. Larutan yang diperoleh disebut kolodion,
dan bila dibentangkan hingga pelarutnya cepat menguap maka akan diperoleh film
transparan tidak berwarna. Kolodion bila dipanaskan dengan kamper akan
diperoleh seluloid, yang merupakan bahan plastik, sedangkan selulosa trinitrat
yang juga disebut guncotton, digunakan sebagai bahan bakar roket atau sebagai
propellant.
Selulosa dapat diasetilasi menggunakan asam asetat anhidrida dengan asam
sulfat pekat sebagai katalisator, menghasilkan diasetat atau triasetat (Wang, et.
al., 2009). Selulosa asetat dapat larut dalam pelarut metilen klorida-alkohol, dan
bila campuran ini kemudian ditekan hingga pelarutnya menguap, akan diperoleh
film yang digunakan untuk fotografi. Bila larutan selulosa asetat ditekan pada
suatu tabung yang disebut spinneret dan pelarutnya kemudian diuapkan akan
diperoleh serat halus yang disebut rayon. Asetat rayon digunakan sebagai bahan
industri. Selulosa dapat juga bereaksi dengan etil klorida membentuk etil selulosa
yang digunakan untuk membuat plastik.
2.5. SELULOSA ASETAT
Selulosa asetat adalah suatu senyawa kimia buatan yang digunakan dalam film
fotografi. Secara kimia, selulosa asetat adalah ester dari asam asetat dan selulosa.
Senyawa ini pertama kali dibuat pada tahun 1865. Selain pada film fotografi,
senyawa ini juga digunakan sebagai komponen dalam bahan perekat, serta
sebagai serat sintetik. Film fotografi yang terbuat dari asam asetat pertama kali
diperkenalkan pada 1934, menggantikan selulosa nitrat yang sebelumnya menjadi
standar. Kelemahan film selulosa nitrat adalah senyawa tersebut tidak stabil dan
mudah sekali terbakar. Bila terjadi kontak dengan oksigen, film selulosa asetat
menjadi rusak dan tidak dapat digunakan lagi, serta melepaskan asam asetat.
Universitas Sumatera Utara
Fenomena ini disebut "sindrom cuka", karena asam asetat merupakan bahan
utama dalam cuka. Sejak dekade 1980-an, film dari poliester (sering juga disebut
dengan nama dagang dari Kodak Estar) mulai menggantikan film dari selulosa
asetat, terutama untuk tujuan pengarsipan. Sebelum munculnya poliester, film
selulosa asetat juga dipakai pada pita magnetik. Sekarang selulosa asetat masih
digunakan dalam beberapa hal, misalnya negatif darigambar bergerak (2012c
Secara kimia selulosa asetat merupakan produk dari reaksi asetilasi parsial
selulosa dengan asam asetat anhidrida dengan bantuan katalis asam sulfat serta
pelarut asam asetat glasial. Pada dasarnya reaksi asetilasi merupakan reaksi
penggantian tiga gugus hidroksil per unit glukosa dengan gugus asetil dari
anhidrida asetat dengan bantuan katalisator (Wang, et. al., 2009). Reaksi yang
terjadi disajikan pada Gambar 2.7. di bawah ini.
)
Gambar 2.7. Reaksi selulosa dengan anhidrida asetat
Produk selulosa triasetat dapat dipisahkan langsung, tetapi umumnya
dilanjutkan dengan reaksi hidrolisis untuk menghasilkan selulosa asetat sekunder
yang lebih komersial dengan 2,4 gugus asetilnya tiap unit glukosa. Struktur
selulosa asetat disajikan pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Struktur selulosa asetat
C6H7O2(OH)3 + 3nCH3COOOCH3 C6H7O2(OOCCH3)3 3n CH3COOH+selulosa anhidrida asetat selulosa triasetat asam asetat
O
OOCH3C
H
H
OOCH3C
H
H
O
H
HH
H
OOCH3C
H OOCH3C
OCOCH3
O
OOCH3COH
H
H
OOCH3C
H
H CH3COO
O
O
OOCH3C
HO
H
HH
H
OOCH3C
H OOCH3C
OH
OCOCH3
O
H
struktur molekul selulosa asetat
Universitas Sumatera Utara
Selulosa asetat merupakan padatan berwarna putih, tidak berbau, tidak berasa
dan tidak beracun. Dibandingkan dengan turunan selulosa yang lain, selulosa
asetat memiliki keunggulan yaitu mempunyai kelarutan yang baik dalam aseton
yang merupakan pelarut yang tidak mahal dan relatif tidak beracun. Sifat lain
yang dimiliki soleh selulosa asetat adalah sifat termoplastik, warna, kejernihan
dan stabilitas serta daya tahan film dan plastik yang baik. Selulosa banyak
digunakan dalam bidang fotografi, X-ray film, filter rokok, membran dan
percetakan plastik.
Sifat kejernihan yang baik dan mudah di dalam prosesnya menyebabkan
selulosa asetat film digunakan secara luas dalam packaging. Selulosa asetat juga
merupakan bahan termoplastik yang pertama yang digunakan untuk injection
molding. Selulosa asetat viskositas rendah digunakan dalam pabrik cat dan juga
sebagai bahan pelapisan untuk kertas, logam, gelas dan bahan lain serta dapat
digunakan sebagai perekat untuk film fotografi.
Berkaitan dengan teknologi membran yang semakin berkembang, penggunaan
selulosa asetat juga mempunyai peranan yang penting. Selulosa asetat yang
strukturnya berpori dan rapat, merupakan bahan pembuat membran yang
digunakan dalam reverse osmosis untuk memurnikan air asin dan pemekatan
juice. Sifat membran yang dibuat dari selulosa asetat adalah tahan terhadap asam
maupun basa. Dalam proses pembuatan membran ini tidak diinginkan adanya
selulosa triasetat tapi selulosa asetat sekunder dengan derajat substitusi 2,3 - 2,5.
Pada Tabel 2.3. disajikan kandungan asetil di dalam selulosa asetat serta
kegunaannya.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3. Kandungan asetil dalam selulosa asetat dan kegunaannya
Kandungan asetil (%)
Derajat substitusi
Pelarut yang lazim Penggunaan
13-18 0.6-0.9 Air -
22.2-32.2 1.2-1.9 2-Metoksi-etanol Plastik, cat laker
36.5-42.2 2.2-2.7 Aseton Benang, film fotografi
43-44.8 2.8-3.0 Kloroform Kain, pembungkus benang
Sumber : Fengel, D.,1995.
Kegunaan asetat yang utama adalah dalam bidang tekstil. Serat asetat
disiapkan dengan menekan larutan aseton pekat melalui suatu lubang untuk
membentuk filamen yang dikeraskan dengan menguapkan aseton dalam aliran
udara panas. Kencenderungan peningkatan kebutuhan serat asetat dalam industri
tekstil akhir-akhir ini karena teksturnya, kualitas kain dan kemampuan
pewarnanya yang baik.
2.5.1 Proses Pembuatan Selulosa Asetat
Selulosa asetat merupakan suatu ester organik penting yang pada saat ini dibuat
dalam jumlah yang besar untuk keperluan berbagai industri. Dari sekian banyak
proses yang dilakukan, secara umum prosesnya dapat dibedakan menjadi tiga
proses berikut.
a. Proses Asam Asetat Glasial (proses larutan)
Proses asetilasi terjadi dengan mereaksikan selulosa yang telah diaktivasi
dengan asam asetat glasial atau dengan asam asetat anhidrat secara
langsung dengan kehadiran asam asetat glasial sebagai pelarut.
b. Proses Metilen Klorida
Penggunaan metilen klorida sebagai pelarut pada proses ini meiliki
beberapa keuntungan dibandingkan dengan proses larutan, antara lain :
- konsentrasi katalisnya rendah sehingga dapat digunakan pada
esterifikasi yang tinggi.
- karena titik didihnya rendah (41oC), panas reaksi dapat dikeluarkan
dengan penguapan.
Universitas Sumatera Utara
- hanya sepertiga asam asetat yang dapat harus dipulihkan kembali
dibanding dengan proses larutan, akan tetapi proses ini menimbulkan
terjadinya korosi selama esterifikasi dan hidrolisis.
c. Proses Fiber Asetat (proses heterogen)
Pada proses ini selulosa diesterifikasi dengan menjaga struktur seratnya
dengan penambahan sejumlah non-pelarut pada triasetat selama asetilasi.
Non-pelarut yang dapat digunakan pada proses ini antara lain adalah
karbon tetraklorida, benzen dan toluen. Tetapi penggunaan proses ini
terbatas hanya untuk penggunaan khusus saja, misalnya untuk pembuatan
foil dan film dari triasetat.
Dari semua ester selulosa yang diproduksi secara komersial dilakukan dengan
proses larutan. Proses larutan secara umum terdiri dari empat tahap berikut ini,
yaitu (1) Aktivasi, sebelum proses asetilasi dilakukan, selulosa terlebih dahulu
diaktivasi agar mudah dimasuki reaktan anhidrida asetat dan katalis asam sulfat.
Aktivasi yang paling baik adalah menggunakan air, tetapi air ini harus diekstraksi
kembali dengan asam asetat untuk menghindari reaksi air dengan anhidrida asetat
yang bisa mengurangi kebutuhan anhidrida asetat untuk reaksi asetilasi. Untuk
menghindari reaksi yang sangat eksotermik antara air dan anhidrida asetat, maka
aktivasi selalu menggunakan asam asetat glasial tanpa kehadiran air. (2) Asetilasi,
asetilasi selulosa merupakan reaksi heterogen dimana selulosa akan tersuspensi
pada pertengahan reaksi dan melarut setelah reaksi esterifikasi terjadi. Kandungan
α-selulosa akan menentukan kualitas produk asetilasi. Pada awalnya reaksi
asetilasi dikendalikan oleh perpindahan massa katalis dan anhidrida asetat menuju
dan melalui serat selulosa. Setelah selulosa triasetat yang terbentuk mulai melarut,
laju reaksi kemudian ditentukan oleh konsentrasi anhidrida asetat, asam sulfat dan
temperatur. Asetilasi selulosa dibiarkan terjadi cukup lambat pada awalnya
sehingga suhu reaksi dapat dikontrol dengan pendinginan eksternal untuk
mencegah kenaikan suhu secara mendadak karena pada suhu yang tinggi akan
menyebabkan meningkatnya kecepatan degradasi. Selama tahap asetilasi, suhu
naik secara berangsur – angsur hingga mencapai suhu maksimum dan dikontrol
Universitas Sumatera Utara
dengan baik untuk memperoleh viskositas produk yang sesuai. Dalam tahap
asetilasi ada beberapa jenis katalis yang digunakan, yaitu asam sulfat, perklorida
dan seng klorida. (3) Hidrolisis, reaksi asetilasi dihentikan dengan penambahan air
yang cukup untuk mencegah bereaksinya sisa asam asetat yang tersisa. Tingginya
rasio air terhadap asam sulfat dalam larutan hidrolisis akan mengurangi degradasi
pada temperatur yang ditentukan. Kerentanan degradasi selulosa asetat meningkat
dengan menurunnya kadar asetil. Oleh karena itu hidrolisis bisa dilaksanakan
dengan menggunakan katalis dalam jumlah yang besar pada temperatur rendah
atau dengan sejumlah kecil katalis pada temperatur tinggi. Jika selulosa asetat
diharapkan mempunyai kemurnian dan kejernihan yang tinggi, larutan harus
mengalami netralisasi asam sulfat dengan natrium dan magnesium asetat sebelum
presipitasi. (4) Pemurnian, untuk memperoleh atau mengisolasi produk selulosa
asetat dari campuran hasil asetilasi dan hidrolisis, penurunan kelarutan produk
selulosa asetat dalam larutan air-asam asetat dimanfaatkan untuk melangsungkan
presipitasi. Proses pencucian harus mendapat pertimbangan yang hati-hati dalam
operasi komersial, karena biaya pemulihan asam asetat yang meningkat dengan
meningkatnya pengenceran (pencucian). Produk yang dicuci dengan air harus
dapat menghilangkan asam asetat dan asam sulfat.
Cara lain untuk membuat selulosa asetat adalah dengan metode Emil Heuser.
Proses pembuatan selulosa asetat berdasarkan cara ini terdiri atas tahap-tahap
berikut, (1) Tahap hidrolisis selulosa, tahap ini bertujuan untuk menurunkan
derajat polimerisasi sumber selulosa yang digunakan. Tahap ini dilakukan dengan
mencampurkan asam sulfat dengan selulosa pada suhu 140 0C. Setelah proses
pemasakan campuran disaring dan dicuci dengan air. Untuk menghilangkan air
dari serat selulosa dapat digunakan dengan dua langkah. Langkah pertama adalah
mencuci dengan menggunakan alkohol, kemudian disaring. Dilanjutkan dengan
langkah kedua yaitu mencuci dengan menggunakan eter, lalu disaring. Hasil yang
didapat dikeringkan dengan oven atau udara terbuka. (2) Tahap pelarutan, tahap
ini bertujuan untuk mendegradasi selulosa. Tahap ini dilakukan dengan
mereaksikan campuran dari tahap hidrolisis dengan asam fosfat pada waktu dan
Universitas Sumatera Utara
suhu tertentu. (3) Tahap asetilasi, tahap ini merupakan tahap pembentukan
selulosa asetat yang dilakukan dengan penambahan asam asetat glasial. (4) Tahap
pemulihan selulosa asetat, tahap ini bertujuan untuk menghentikan proses dan
melepaskan asam fosfat dari campuran. Tahap ini dilakukan dengan penambahan
etil eter pada campuran yang kemudian dicuci dengan air hangat. Campuran yang
diperoleh didiamkan selama semalam. (5) Tahap pengeringan, tahap ini bertujuan
untuk menghilangkan kandungan air dalam produk sehingga didapatkan padatan
selulosa asetat.
2.6. BIOPOLIMER
Pengembangan biopolimer dari minyak sawit dilakukan juga untuk
mengantisipasi ketersediaan minyak bumi yang semakin hari semakin terbatas.
Sebagai gambaran, diperkirakan cadangan minyak bumi di Laut Utara akan habis
pada tahun 2010. Indonesia yang selama ini dikenal sebagai salah satu negara
pengekspor minyak bumi, saat ini juga telah menjadinegara pengimpor minyak
bumi, karena produksi dalam negeri tidak dapat lagi memenuhi permintaan pasar
yang meningkat dengan cepat akibat pertumbuhan penduduk dan industri.
Perkembangan penggunaan produk biopolimer berbasis minyak nabati, secara
komersial masih terkendala saat ini, karena masih belum dapat bersaing harga
dengan produk polimer berbasis minyak bumi. Biaya produksi produk biopolimer
berbasis minyak nabati tampaknya sulit ditekan untuk menjadi lebih rendah lagi
selama harga minyak sawit dunia masih tinggi. Tetapi sifat non renewable dan
semakin terbatasnya ketersediaan bahan bakar minyak bumi, serta meningkatnya
kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan hidup, akan membuat kebutuhan
produk biopolimer berbasis minyak nabati yang ramah lingkungan akan semakin
meningkat pula. Tambahan pula, jika aspek sistem manajemen lingkungan ikut
diperhitungkan, maka harga produk biopolimer berbasis minyak nabati akan menjadi
lebih murah dibandingkan dari turunan minyak bumi.
2.6.1. Reaksi antara Selulosa Asetat dengan Senyawa Epoksi
Selulosa merupakan senyawa yang kurang reaktif jika dieraksikan dengan
senyawa-senyawa lainnya. Salah satu cara untuk mengaktifasi senyawa selulosa
Universitas Sumatera Utara
agar menjadi senyawa yang reaktif adalah dengan memasukkan gugus asetil ke
dalamnya menjadi senyawa selulosa asetat. Selulosa asetat merupakan produk dari
reaksi asetilasi parsial selulosa dengan asam asetat anhidrida dengan bantuan
katalis asam sulfat serta pelarut asam asetat glasial. Pada dasarnya reaksi asetilasi
merupakan reaksi penggantian tiga gugus hidroksil per unit glukosa dengan gugus
asetil dari anhidrida asetat dengan bantuan katalisator (Wang, et. al., 2009).
Adanya gugus asetil yang terikat dengan molekul selulosa menyebabkan selulosa
tersebut menjadi reaktif. Hal ini disebabkan gugus asetil merupakan gugus pergi
(leaving group) yang baik yang dapat dengan mudah digantikan oleh gugus lain.
Salah satu jenis asam lemak yang terdapat di dalam Asam Lemak Sawit
Distilat (ALSD) adalah asam lemak tak jenuh yang terdiri dari asam oleat dan
asam linoleat yang jumlahnya mencapai 55 % setelah dipisahkan dari asam lemak
jenuhnya. Asam lemak tak jenuh ini akan semakin bersifat rekatif apabila ikatan
rangkapnya diubah menjadi gugus oksiran dengan cara diepoksidasi. Reaksi
pembentukan epoksidasi ini menggunakan asam peroksi dengan katalis H2SO4.
Gugus oksiran ini merupakan gugus cincin tiga antara C-O-C, yang bersifat tidak
stabil sehingga sangat reaktif. Tingginya reaktifitas gugus oksiran ini karena
mudahnya terbuka cicin tersebut yang disebabkan cincin beranggota 3 atom ini
memiliki regangan yang tinggi sehingga mudah putus pada salah satu ikatan C-O.
Dalam pembukaan cincin epoksida berkatalis basa, nukleofil menyerang
karbon yang kurang terhalang (less-hindered) dengan mekanisme SN2
(Campanella and Baltanas, 2005a). Sedangkan pada pembukaan cincin berkatalis
asam, nukleofil menyerang cincin epoksida yang telah terprotonisasi dari sisi yang
berlawanan dari gugus epoksida. Atom karbon yang diserang akan mengalami
perubahan konfigurasi sehingga ikatan C-O yang baru akan selalu terbentuk pada
sisi yang berlawanan dari cincin epoksida semula (SN2). Berbeda dengan
pembukaan cincin berkatalis basa, serangan dalam suasana asam justru
berlangsung dalam karbon yang lebih terhalang (Campanella and Baltanas,
2005b
).
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian reaksi antara selulosa asetat dengan senyawa epoksi asam
lemak akan lebih mudah terjadi. Gugus asetil yang terdapat di dalam selulosa akan
digantikan dengan gugus epoksi asam lemak dengan hasil samping asam asetat
pada suasana reaksi basa. Pada Gambar 2.9. di bawah ini disajikan kemungkinan
reaksi yang terjadi antara selulosa asetat dengan senyawa epoksi asam lemak.
Gambar 2.9. Reaksi antara selulosa asetat dengan epoksi ester lemak
Dari reaksi di atas terlihat bahwa gugus asetil dari selulosa asetat telah
digantikan oleh senyawa epoksi asam lemak. Dengan demikian apabila dilakukan
analisis gugus fungsi dengan FTIR, maka pada produk hasil reaksi akan muncul
serapan pada sekitar 1460 cm-1 dan 720 cm-1 yang khas dari gugus -(CH2)n-.
Sementara itu, spektrum FTIR dari selulosa asetat tidak ada serapan pada daerah
tersebut karena tidak mengandung gugus -(CH2
)n-. Sementara itu analisis
Scanning Electron Microscope (SEM) akan memberikan tampak permukaan dari
suatu senyawa dan akan ada perbedaan antara selulosa, selulosa asetat, dan
selulosa yang sudah bereaksi dengan senyawa epoksi. Analisis lain adalah X-Ray
Diffraction yang dapat membedakan struktur kristal dari suatu senyawa.
O C
CH3
O
Sel +C
CO
R1
R2
OSel
C
R1
R2
CH
HO
+ C
CH3
O
HOOH
(CH )
CH3
(CH ) COOMe
(CH )
CH3
(CH ) COOMe
Universitas Sumatera Utara
Top Related