Obsestri dan Ginekologi LAPORAN KASUS
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
HIPERTENSI KRONIK DENGAN SUPERIMPOSED
PREEKLAMPSIA + PEB + HELLP SYNDROME
Disusun Oleh:
Andi Amalia Nefyanti
1410029033
Pembimbing:
dr. Novia Fransiska Ngo, Sp.OG
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Pada Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2015
DAFTAR ISIBAB I………………………………………………………………………..4
1
PENDAHULUAN…………………………………………………………..4
1.1 Latar belakang………………………………………………………….4
1.2 Tujuan penulisan………………..……………………………………...5
BAB II………………...……………………………………………………..6
LAPORAN KASUS…………………………………………………………6
BAB III………………………………………………………………………9
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….…9
3.1 Hipertensi dalam kehamilan………………………………………......9
3.2 Epidemiologi dan faktor risiko……...………………………………..10
3.3 Patofisiologi…………………………………………………………….12
3.4 Perubahan fisiologi patologis…..………...……….…………………..17
3.5 Preeklampsia ringan…………….………………………….…………22
3.6 Preklampsia berat….……………………………………….…………24
3.7 Eklampsia……….….……………………………………….…………30
3.8 Sindroma HELLP……………………………………………………..34
3.9 Hipertensi kronik……………………………………………………...37
3.10 Pencegahan…………………………………………………………...39
BAB IV………………………………………………………….…..……...22
PEMBAHASAN………………………………………………….………..40
BAB V……………………………………………………………….……..46
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………….43
5.2 Saran……………………………………………………………………43
DAFTAR PUSTAKA…………………………………..………….….…...44
2
B
AB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan angka kematian ibu dan perinatal
tertinggi. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh WHO, diketahui kasus
kematian ibu sebanyak 240 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008.
Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), dikeahui bahwa
angka kematian ibu (AKI) di Indonesia berada pada peringkat ke 12 dari 18
negara anggota ASEAN dan SEARO (South East Asian Nation Regional
Organization) dan dilaporkan angka kematian ibu mengalami penurunan dari 390
per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1994 menjadi 225 per 100.000 pada tahun
1999, dan menurun lagi menjadi 125 per 100.000 pada tahun 2010. Menurut
WHO (2005), penyebab kematian maternal termasuk perdarahan, infeksi,
eklampsia, persalinan macet dan aborsi tidak aman. Penyebab kematian ibu di
Indonesia dikenal dengan trias klasik yakni perdarahan, preeclampsia/eklampsia,
dan infeksi. Dimana dari 536.000 kematian maternal di dunia, 25 % oleh karena
perdarahan 15% infeksi dan 12% preklampsia.(1)
Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan
yang disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri.(2) Preeklampsia dan
eklampsia merupakan penyakit glomerulus yang paling umum di dunia, dimana
penyebab awalnya masih tidak diketahui, namun perkembangan terbaru
menjelaskan mekanisme molekuler melatarbelakangi manifestasinya terutama
perkembangan abnormal, hipoksia plasenta, disfungsi endotel. Pada ibu dapat
berkomplikasi sebagai hemolysis, elevated liver enzymes, dan thrombocytopenia
(HELLP Syndrome), gagal ginjal, kejang, gangguan hati, stroke, penyakit jantung
hipertensi, dan kematian sedangkan pada fetus dapat mengakibatkan persalinan
preterm, hipoksia neurogenik, dan kematian.(1)
Sindrom HELLP adalah komplikasi berat pada Kehamilan ditandai
dengan hemolisis, peningkatan enzim hati dan trombositopenia. Istilah sindrom
HELLP pertama kali dicetuskan oleh Weinstein pada Tahun 1982 sebagian
3
penderita hanya terdapat 1atau 2 tanda dari sindrom ini, yang disebut sebagai
sindrom HELLP Parsial (SHP). Kasus ini sering ditemukan pada trimester
kedua (15%), trimester ketiga (50%), sebelum persalinan atau periode
pascapersalinan hingga 48 jam setelahnya. Sindrom HELLP adalah komplikasi
dari preeklampsia berat yang sering tak terdeteksi dan progresif. (3)
1.2. Tujuan
1.2.1. Mengetahui prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang yang diperlukan dan penegakkan diagnosis obstetrik.
1.2.2. Mengetahui keadaan patologis kehamilan yang didapatkan dalam kasus
ini, yaitu preeklampsia berat dan HELLP syndrome termasuk alur
penegakkan diagnosis dan penatalaksanaannya.
1.2.3. Mengkaji ketepatan penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan dalam
kasus ini.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 05 November
2015 pukul 05.00 WITA di ruang nifas Mawar Rumah Sakit Umum Daerah
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Identitas Pasien
Nama : Ny. D
Usia : 40 tahun.
Alamat : Palaran
Pekerjaan : Ibu rumah tangga (IRT).
Pendidikan : SMP
Suku : Bugis
Agama : Islam
MRS : 2 November 2015 pukul 01.50 WITA
Identitas Suami
Nama : Tn. D
Usia : 44 Tahun
Alamat : Palaran
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMP
Suku : Bugis
Agama : Islam
5
Keluhan Utama
Pasien merupakan rujukan dari rumah sakit swasta dengan diagnosis PEB
dan HELLP syndrome
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari rumah sakit swasta dengan diagnosis PEB
dan HELLP syndrome. Pasien pergi ke rumah sakit swasta untuk memeriksakan
kehamilannya. Pasien berencana untuk melahirkan dengan cara operasi karena
berencana steril. Dirumah sakit tersebut didapatkan tekanan darah pasien tinggi
dan dilakukan pemeriksaan lengkap lalu ditegakkan diagnosis PEB dan HELLP
syndrome. Pasien dirujuk ke RSUD AWS karena direncanakan terminasi
kehamilan segera tetapi di rumah sakit tersebut Sp.An tidak ada di tempat dan
tidak ada fasilitas NICU. Pusing (-), nyeri ulu hati (-), kejang (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi sebelum kehamilan ± sejak 5 tahun
yang lalu dan tidak rutin meminum obat.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
Riwayat Menstruasi
Menarche : 12 tahun.
Lama haid : 7 hari.
Jumlah darah haid : 2x kali ganti pembalut.
Hari pertama haid terakhir : 05-03-2015.
Taksiran persalinan : 12-12-2015.
Riwayat Pernikahan
Menikah satu kali, menikah saat usia 19 tahun dengan lama pernikahan
selama 21 tahun.
6
Riwayat Obstetrik
No
.
Tahun
partus
Tempat
Partus
Umur
kehamila
n
Jenis
Persalinan
Penolong
PersalinanPenyulit
Jenis
Kelamin/
Berat
Badan
Keadaan
anak
Sekarang
1. 1991 Rumah Aterm SpontanIbu
kandung- Perempuan/- Sehat
2. 1992 Rumah Aterm SpontanIbu
kandung-
Perempuan/
-Sehat
3. 1995 Rumah Aterm SpontanIbu
kandung- Laki-laki/- Sehat
4. 2011 Rumah Aterm SpontanIbu
kandung- Laki-laki/- Sehat
5. 2013 Rumah Aterm SpontanIbu
kandung-
Perempuan/
-Sehat
6. 2015 Hamil Ini
Antenatal Care (ANC)
ANC Trimester I : 1 kali ke bidan
ANC Trimester II : 1 kali ke bidan
ANC Trimester III : 1 kali ke bidan
Kontrasepsi
Suntik tiga bulan selama 7 tahun
Pemeriksaan Fisik
Antropometri : Berat badan (BB) : 60 kg, Tinggi badan (TB) : 155 cm.
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 220/150 mmHg
7
Frekuensi nadi : 80 kali/menit
Frekuensi nafas : 20 kali/menit
Suhu : 36,8 ºC
Status Generalisata
Kepala : normocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Hidung : tidak ditemukan kelainan
Tenggorokkan : tidak ditemukan kelainan
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran
tiroid (-)
Thoraks :
Jantung : S1S2 reguler tunggal, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru : suara napas vesikuler, ronki (-), wheezing (-)
Abdomen:
Inspeksi : cembung, linea nigra (+), striae albicans (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas:
Superior : edema (-/-), akral hangat
Inferior : edema (-/-), akral hangat, varises (-/-)
Status Obstetrik dan Ginekologi
Inspeksi : membesar arah memanjang, striae albicans (+), linea nigra
(+).
Palpasi : Tinggi fundus uteri : 27 cm.
Leopold I : teraba bagian lunak.
Leopold II : punggung janin terletak di kiri ibu.
Leopold III : teraba bagian bulat keras.
Leopold IV : belum masuk PAP
His : -
Auskultasi : Denyut jantung janin : 134 kali / menit
8
Vaginal toucher : Tidak dilakukan
Diagnosis Kerja Sementara
G6P5A0 gravid 34-35 minggu+ janin tunggal hidup + letkep + belum inpartu + HT
kronik dengan superimposed preeklampsia + PEB + HELLP syndrome
Penatalaksanaan
Advice dr Sp.OG:
- MGSO4 40% 4 g (10 cc) diberikan iv selama 5 menit. Segera dilanjutkan
dengan drip MGSO4 40% 6 g (15cc) dalam 500 cc D 5%/ RL selama 6
jam (20 tpm). Dosis pemeliharaan : drip MGSO4 40% 6 g (15cc) dalam
500 cc D5% selama 6 jam sampai 24 jam perawatan/ post partum
- Inj cefotaxime 3x1 g
- Inj dexametason 3x2 amp
- Nifedipin 3x10 mg
- Cekl DL/KDL/Albumin
Advice dr Sp.JP :
- Nifedipin 3x10 mg
- Bila TD masih belum turun bisa diberikan sp perdipine 0,5 meq/kgbb
Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin
Leukosit : 11.100 / mm3
Hemoglobin : 12,9 gr %
Hematokrit : 37,1 %
Trombosit : 116.000 / mm3
Bleeding Time: 3 menit
Clotting Time : 10 menit
Kimia Darah
GDS : 84 mg/dl
Ureum : 71,6
9
Creatinin : 1,0
SGOT : 177
SGPT : 186
LDH : 839
HBSAG : Non Reaktif
HIV : Non Reaktif
Urin Lengkap
Protein +1
10
2-11-15 3-11-15 4-11-15S Keluhan (-) nyeri kepala (-), mual (-) muntah (-) nyeri
ulu hati (-) mata kabur (-)Keluhan (-)
O TD 220/150,N 80x,RR 22x, TFU 27 cm, DJJ 134xHIS (-) VT tidak dilakukan
Lab :Hb 12,9 Bt 3 Ur 71,6 LDH 839Leu 11.100 Ct 10 Cr 1,0 Na 136HT 37,1 GDS 84 SGOT 177 K 3,7PLT 116.000 SGPT 186 Cl 110
UL :protein +1
TD 180/100, N 84x, RR 20xHis (-) DJJ 137x
Hasil LabHb 12,2 GDS 122 Prot tot 6,5Leu 18.600 SGOT 523 Alb 3,3PLT 104.000 SGPT 605 Glob 3,1HT 34,1 Bilt 0,6 Chol 235Ur 62,5 Bil d 0,4 As urat 12Cr 1,0 Bil ind 0,2
TD 160/100 N 80 RR 20Abdomen : soefl, TFU 2 jari dibawah pusat, timpani, bising usus (+)
A G6P5A0 gravid 34-35 minggu+ janin tunggal
hidup + letkep + belum inpartu + HT kronik
dengan superimposed preeklampsia + PEB
+ HELLP syndrome
G6P5A0 gravid 34-35 minggu+ janin
tunggal hidup + letkep + belum inpartu +
HT kronik dengan superimposed
preeklampsia + PEB + HELLP syndrome
P6006A0 + post SC + MOW hari 1 a/i PEB + HELLP syndrome
P Konsul dr Sp.OG:- MGSO4 40% 4 g (10 cc) diberikan iv
selama 5 menit. Segera dilanjutkan dengan drip MGSO4 40% 6 g (15cc) dalam 500 cc D 5%/ RL selama 6 jam (20 tpm). Dosis pemeliharaan : drip MGSO4 40% 6 g (15cc) dalam 500 cc D5% selama 6 jam sampai 24 jam perawatan/ post partum
- Inj Cefotaxime 3x1 g- Inj Dexametason 3x2 amp
lapor dr Sp.OG :- Terapi IGD lanjut- NST- Cek lab lengkap- puasakan- rencana SC + MOW siang ini
15.00 Dilakukan SC bayi lahir jenis kelamin perempuan A/S 9/10, BB/PB 2400 gr/ 45 cm.
- Drip MGSO4 sesuai protap s/d 24 jam
- Perdipine 9cc/jam- Inj. Cefotaxime 3x1 gr- Inj Antrain 3x1 amp- Inj Dexametason 3x2 amp- Obs TTV- Pagi diet bubur siang
NTKTPRG- Cek DL ulang, SGOT, SGPT,
1
- Nifedipin 3x10 mg- Cekl DL/KDL/Albumin
Konsul dr Sp.JP :- Nifedipin 3x10 mg- Bila TD masih belum turun bisa
diberikan sp perdipine 0,5 meq/kgbb
Plasenta lahir spontan-lengkap. Dilakukan MOW.
Advis post op1. Drip MGSO4 s/d 24 jam
2. Perdipin 9 cc/jam
3. Inj Cefotaxim 3x1g
4. Inj Antrain 3x1 amp
5. Inj Dexametason 3x2 amp
6. Bila kontraksi jelek beri gastrul 2
tab/rectal
Bil T/D/Ind/alb./ur cr besok
2
5-11-15 6-11-15 7-11-15 9-11-15S Keluhan (-) Keluhan (-) Keluhan (-) Keluhan (-) Obat tekanan tidak diminum
karna pasien tidak dapat obatnya.
O TD 180/110 N 80x RR 20x
Hb 9,6 SGOT 50Leu 30.600 SGPT 269Ht 37,6 Bil tot 0,3PLT 77.000 Bil direct 0,2GDS 150 Bil ind 0,1Prot tot 5,6 Alb 2,9Chol 176 Glob 2,7Ur 47,3 Cr 0,7As Urat 8,1
TD 190/100 N 82x RR 20x
Bt 2’Ct 11’anti hcv (-)igm hav (-)
TD 200/120 N 82 RR 20 TD 220/130 N 88x RR 20x
Leu 21.200Hb 11,4Ht 33,9PLT 251.000
A P6006A0 + post SC + MOW hari 2 a/i PEB + HELLP syndrome
P6006A0 + post SC + MOW hari 3a/i PEB + HELLP syndrome
P6006A0 + post SC + MOW hari 4 a/i PEB + HELLP syndrome
P6006A0 + post SC + MOW hari 6 a/i PEB + HELLP syndrome
P - Pro co jantung ulang- Inj Cefotaxime 3x1 gr- Asam mefenamat 3x500
mg- Inj Dexametason 3x2
amp- Perdipine 9 cc .jam- Obs ttv/4jam- Mobilisasi bertahap
- Pro co jantung ulang- Inj Cefotaxime 3x1 gr- Asam mefenamat 3x500
mg- Inj Dexametason 3x2
amp- Perdipine 9 cc/jam- Mobilisasi bertahap- Besok cek dl ulang, cek
HAV, anti HCV, BT,CTAdvice dr Sp.OG :
- inj Dexametason dilanjutkan s/d trom
- Venflon- Inj cefotaxime 3x1 gr- Inj dexametason 3x2
amp- SF 2x300 mg- PCT 3x500 mg- Amlodipine 10 mg 1-0-
0- Bisoprolol 5 mg 0-1-1- Aff DC- Mobilisasi- Besok pagi cek DL
ulang
- Amlodipine 10 mg 1-0-0- Bisoprolol 5 mg 0-0-1- Cefadroxil 3x500 mg- SF 2x300 mg- As mefenamat 3x500 mg- Boleh pulang
3
≥100.000Hasil konsul dr Sp.JP advice :
- Amlodipine 10 mg 1-0-0
- Bisoprolol 5 mg 0-0-1
4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Hipertensi Dalam Kehamilan
Klasifikasi
1. Hipertensi kronik
2. Preeklampsia-eklampsia
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
4. Hipertensi gestasional (1)
Penjelasan pembagian klasifikasi
1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan
20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur
kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca
persalinan.
2. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria.
3. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang
dan/atau koma.
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi
kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai
proteinuria.
5. Hipertensi gestasional (disebut juga transient hypertension) adalah
hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan
hipertensi menghilang setelah 3 bulan pasca persalinan atau kehamilan
dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria.(1)
Penjelasan tambahan
1. Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg.
Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4
jam.
9
2. Proteinuria ialah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau
sama dengan ≥ 1+ dipstick
3. Edema, dahulu adalah edema tungkai, dipakai sebagai tanda-tanda
preeklampsia, tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali
edema generalisata (anasarka). (1)
3.2 Epidemiologi dan Faktor Resiko
Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari ibu
hamil nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar
antara 4-18%. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75% dan preeklampsia berat
terjadi 25%. Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10% kehamilan umurnya
kurang dari 34 minggu. Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan
riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal.
Pada ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita
preeklampsia dibandingkan dengan multigravida. Faktor predisposisi lainnya
adalah usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa,
polihidramnion dan diabetes.(4,5)
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab
terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah
faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut
meliputi:(6)
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.
Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada
wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang menetap.
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua
risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.
c. Faktor Genetik
Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor
risiko meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive
trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa
10
preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering
ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia. Atau mempunyai
riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga.
d. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu. Penelitian lain :
kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka
kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.
e. Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok
selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat
yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat baring yang
cukup selama hamil mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam
kehamilan.
f. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,
dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.
g. Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada
kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan
muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada
preeklampsia.
h. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya
preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada
wanita dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada
wanita dengan Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2.
i. Kehamilan multiple
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda
dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu
karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor
penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung Supriandono dan
Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat
11
mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2
(1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari satu.
3.3 Patofisiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan
jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori yang dianggap mutlak benar. Teori-teori
yang sekarang banyak dianut adalah :
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, Rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut
menembus miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata memberi cabang
arteri radialis. Arteria radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan
arteri basalis memberi cabang arteri spiralis. (5,6)
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke
dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot
tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki
jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan
memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan
vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah,
penurunan resistensi vaskular dan peningkatan aliran darah pada daerah utero
plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga
meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini
dinamakan “remodeling arteri spiralis”. (5,6,8)
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada
lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri
spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak
memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis
relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan “remodeling arteri
spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan
iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-
perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis HDK selanjutnya. (5,6,8)
12
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron,
sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal
vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke utero
plasenta.(5,6)
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel
Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam
kehamilan terjadi kegagalan “ remodeling arteri spiralis”, dengan akibat plasenta
mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan
menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas). Oksidan atau radikal bebas
adalah senyawa penerima electron atau atom/molekul yang mempunyai elektron
yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta
iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran
sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah
suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan
tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai
bahan toksin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan
disebut “toxaemia”. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida
lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak nukleus dan protein
sel endotel. Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis,
selalu diimbangi dengan produksi antioksidan.(6)
Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,
khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, missal vitamin E
pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar
oksidan peroksida lemak yang relative tinggi.
Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan
beredar diseluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel
endotel. Membaran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida
lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat
13
rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida
lemak.(6)
Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi
kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membaran sel endotel.
Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,
bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut “disfungsi
endotel” (endothelial dysfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi :
- Gangguan metabolisme prosgtaglandin, karena salah satu fungsi endotel,
adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi
prostasiklin (PGE2) : Suatu vasodilator kuat
- Agregasi sel sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-
tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit
memproduksi tromboksan (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat. Dalam
keadaan normal perbadingan kadar prostasiklin/tromboksan lebih tinggi
kadar prostasiklin (lebih tinggi vasodilator). Pada preeklampsia kadar
tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi
vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan darah.
- Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular
endotheliosis)
- Peningkatan permeabilitas kapiler.
- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor, yaitu endotelin. Kadar
NO (vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor)
meningkat.
- Peningkatan faktor koagulasi.(4)
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil
konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen
protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respon imun,
14
sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada
plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK)
ibu. (1)
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke
dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan pra kondisi untuk terjadinya
invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel
NK. Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan terjadi penurunan ekspresi HLA-
G. berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas
ke dalam desidua. Invasi trofoblas sanat penting agar jaringan desidua menjadi
lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-
G juga merangsang produksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya reaksi
inflamasi. Kemungkinan terjadi immune maladaptation pada preeklampsia.(1)
Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai
kecenderungan terjadi preeklampsi, ternyata mempunyai proporsi helper sel yang
lebih rendah dibanding pada normotensif.(1)
4. Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan
bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk
menimbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan normal terjadinya refrakter
pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya
sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa
daya refrakter terhadap bahan vasopressor akan hilang bila diberi prostaglandin
sintesa inhibitor (bahan yang menghambat produksi prostaglandin). Prostaglandin
ini di kemudian hari ternyata adalah prostasiklin. (1)
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor
hilang sehingga pembuluh darah meniadi sangat peka terhadap bahan vasopresor.
Banyak peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap bahan-
bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada trimester I
15
(pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi
dalam kehamilan sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu.
Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan.(1)
5. Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi
berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penilitian yang penting
yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet pada
preeklampsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba
sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan Perang menimbulkan kenaikan
insiden hipertensi dalam kehamilan.(1)
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk
minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia. Minyak ikan
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi
tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi
pembuluh darah. Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk
memakai konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam lemak tak
jenuh dalam mencegah preeklampsia. Hasil sementara menunjukkan bahwa
penelitian ini berhasil baik dan mungkin dapat dipakai sebagai alternatif
pemberian aspirin. Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium
pada diet perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya
preeklampsia/eklampsia. Penelitian di Negara Equador Andes dengan metode uji
klinik, ganda tersamar, dengan membandingkan pemberian kalsium dan plasebo.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen kalsium
cukup, kasus yang mengalami preeklampsia adalah 14% sedang yang diberi
glukosa 17%.(1)
6. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam
sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada
kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa
proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan
ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi.
16
Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar,
sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses
apoptosis pada preeklampsia, di mana pada preekiampsia terjadi peningkatan stres
oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga
meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar,
pada hamil ganda, maka reaksi stres oksidatif akan sangat meningkat, sehingga
jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan
beban reaksi infiamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi
inflamasi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan mengaktivasi sel
endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi
reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-geiala preeklampsia pada ibu.
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeklampsia akibat produksi
debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut di atas, mengakibatkan "aktivitas
leukosit yang sangat ringgi" pada sirkulasi ibu. Peristiwa ini oleh Redman disebut
sebagai "kekacauan adaptasi dari proses inflamasi intravaskular pada kehamilan"
yang biasanya berlangsung normal dan menyeluruh.(1)
3.4 Perubahan Fisiologi Patologis
Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak
berfungsi. Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan
penguat endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah
merah keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan
petekie atau perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit yang
belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri.(4,5)
Diaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien
hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien
preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam
batas normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia.(4)
Perubahan Kardiovaskuler.
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada
preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan
17
dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang
secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia
kehamilan atau yang secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan onkotik atau
kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang
ektravaskular terutama paru.(5)
Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau
menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat.
Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang
berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan.
Pada preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler
dan merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina
ini biasanya disertai kehilangan penglihatan. Selama periode 14 tahun, ditemukan
15 wanita dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami kebutaan
yang dikemukakan oleh Cunningham (1995).(4)
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan
gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh
perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam
retina.(4)
Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan
eklampsia dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa
diakibatkan oleh kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah
melahirkan. Pada beberapa kasus terjadinya edema paru berhubungan dengan
adanya peningkatan cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapat berhubungan
dengan penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan
kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang
dihasilkan oleh hati.(4)
Hati
Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan
integritas hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan
peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan
18
fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal
dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk (1994), dengan
menggunakan sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi
arteri hepatika.(4)
Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan
besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada
lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul
hepar dan membentuk hematom subkapsular.(4)
Ginjal
Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus
meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan
filtrasi glomerulus menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia,
glomeruloendoteliosis, adalah pembengkakan dari kapiler endotel glomerular
yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam
urat plasma biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat.(4)
Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan
sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya
volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat
dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada
beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin
plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau
berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan
intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang dikemukakan oleh
Pritchard (1984) dalam Cunningham (2005).(4)
Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan
retensi garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan
bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin
karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat
reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus.
Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan
filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam
dan juga retensi air.(4)
19
Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat
proteinuria. Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita
mungkin sudah melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994)
menekankan bahwa yang diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka
mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau lebih dengan dipstick memperkirakan
minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92% kasus. Sebaliknya,
proteinuria yang samar (trace) atau negatif memiliki nilai prediktif negatif hanya
34% pada wanita hipertensif. Kadar dipstick urin +3 atau +4 hanya bersifat
prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36% kasus.(4)
Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas
terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi
Filtrasi yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun,
bahkan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria.
Lee (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel
normal pada tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria
dan menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal.(4)
Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin,
globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh
glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya
proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi
kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin.(4)
Darah
Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang
normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan
destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut
Baker (1999) dalam Cunningham (2005). Trombositopenia merupakan kelainan
yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl yang ditemukan
pada 15-20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien
preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Level
fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan
terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).(4)
20
Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan
terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,
peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak
jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi
peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke
normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa
menetap selama seminggu.(4)
Sistem Endokrin dan Metabolism Air dan Elektrolit
Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron
meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke
kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi,
sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses
penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam
darah.(4)
Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida
natriuretik atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan
meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada
normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya
resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia.(4)
Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum
diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang
intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan
hematokrit, peningkatan protein serum, edema yang dapat menyebabkan
berkurangnya volume plasma, viskositas darah meningkat dan waktu peredaran
darah tepi meningkat. Hal tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan
berkurang dan terjadi hipoksia.(4)
Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak
dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat
mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya
penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal
tidak mengalami perubahan.(4)
21
Plasenta dan Uterus
Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi
plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada
hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat
kurangnya oksigenisasi untuk janin.(4)
Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan
sering terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya partus
prematurus pada pasien preeklampsia. Pada pasien preeklampsia terjadi dua
masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk tidak dapat
mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut berkembang
pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis
arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi pada hipertensi
malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan penyempitan kaliber dari
lumen vaskular. Lesi ini dapat menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh
darah yang bertanggung jawab terhadap terjadinya infark plasenta.(4)
3.5 Preeklampsia Ringan
Definisi
Preeklampsia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan dengan
menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah
dan aktivasi endotel.(1)
Diagnosis
Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya
hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema setelah kehamilan 20 minggu.
- Hipertensi: sistolik/diastolik ≥140/90 mmHg. Kenaikan sistolik ≥ 30
mmHg dan kenaikan diastolik ≥ 15 mmHg tidak dipakai lagi sebagai
kriteria preeklampsia.
- Proteinuria: ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1 + dipstik.
- Edema: edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia,
kecuali edema pada lengan, muka dan perut, edema generalisata.(1,7)
22
Tujuan utama perawatan preeklampsia
Mencegah kejang, perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi
organ vital, dan melahirkan bayi sehat.(1)
Rawat jalan (ambulatoir)
Ibu hamil dengan preeklampsia ringan dapat dirawat secara rawat jalan.
Dianiurkan ibu hamil banyak istirahat (berbaring/tidur miring), tetapi tidak harus
mutlak selalu tirah baring.(1)
Pada umur kehamilan di atas 20 minggu, tirah baring dengan posisi miring
menghilangkan tekanan rahim pada v. kava inferior, sehingga meningkatkan
aliran darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal ini berarti pula
meningkatkan aliran darah ke organ-organ viral. penambahan aliran darah ke
ginjal filtrasi akan meningkarkan glomeruli dan meningkatkan diuresis. Diuresis
dengan sendirinya meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas
kardiovaskular sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung
akan meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah,oksigenasi plasenta, dan
memperbaiki kondisi janin dalam Rahim. Pada preeklampsia tidak perlu
dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi ginjal masih normal. Pada
preeklampsia, ibu hamil umumnya masih muda, Berarti fungsi ginjal masih bagus,
sehingga tidak perlu restriksi garam.(1,4)
Diet yang mengandung 2g natrium atau 4-6 g NaCl (garam dapur) adalah
cukup. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi
pertumbuhan janin justeru membutuhkan,lebih banyak konsumsi garam. Bila
konsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan konsumsi cairan
yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein, rendah
karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan roboransia pranatal. Tidak diberikan
obat-obat diuretik, antihipertensi, dan sedative. Dilakukan pemeriksaan
laboratorium Hb, hemarokrit. fungsi hati, urin lengkap dan fungsi ginjal.(1,4)
Rawat inap (dirawat di rumah sakit)
Pada keadaan tertentu ibu.hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat
di rumah sakit. Kriteria preeklampsia ringan dirawat di rumah sakit ialah (a) bila
23
tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria selama 2 minggu ; (b)
adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat. Selama di
rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik. Pemeriksaan
kesejahteraan janin, berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya untuk
evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaan nonstress test
dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan bagian mata, jantung, dan lain
lain. (1)
Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya
Menurut williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu
sampai ≤ 37 minggu. Pada kehamilan preterm. (< 37 minggu), bila tekanan darah
mencapai normotensive selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.
sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu sampai
terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan
pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan; bila
perlu memperpendek kala II.(1)
3.6 Preeklampsia Berat
Definisi
Preeklampsia berat ialah,preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥160
mmhg dan tekanan darah diastolk ≥ 110 nmHg disertai proteinuria lebih 5g/24
jam.(1)
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar kriteria preekrampsia berat sebagaimana tercantum
di bawah ini. Preeklampsia digolongkan preeklampsia berat bila ditemukan satu
arau lebih gejala sebagai berikut :
- Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah
dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
- Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan kualitatif.
- Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.
24
- Kenaikan kadar kreatinin plasma.
- Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma
dan pandangan kabur.
- Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
teregangnya kapsula Glisson).
- Edema paru-paru dan sianosis.
- Hemolisis mikroangiopatik.
- Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit
dengan cepat.
- Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar
alanin dan aspartate aminotransferase
- Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.
- Sindrom HELLP.(1)
Pembagian preeklampsia berat
Preeklampsia berat dibagi menjadi (a) preeklampsia berat tanpa impending
eklampsia dan (b) preeklampsia berat dengan impending eklampsia. Disebut
impending eklampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif
bempa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium,
dan kenaikan progresif tekanan darah. (1)
Perawatan dan pengobatan preeklampsia berat
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat
untuk mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut sudah
diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan kehamilan.(4)
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada
neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta
baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada
saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.(1)
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit
25
organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti
diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa : nyeri kepala,
gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu
perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran
tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST.(1)
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan
preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap penyakitnya,
yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap terhadap
kehamilannya ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat
bila keadaan hemodinamika sudah stabil.(1)
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting
pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia
dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan
oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang
sangat menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia,
vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik
koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring input
cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi
sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah
cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda
edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat
berupa a) 5% ringer dextrose atau cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam
atau b) infuse dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer
laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.(1)
Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria terjadi
bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan
antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat
menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup
protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.(8)
26
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding
fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan 897
penderita eklampsia.(1)
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium).
Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium
sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk
antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.(1)
Cara pemberian MgSO4
- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10
cc) selama 15 menit
- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6
jam; atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose
diberikan 4 gram im tiap 4-6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4
- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
- Refleks patella (+) kuat
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl
- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah
24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian
magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 %
dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas).(1)
27
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau
fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin
sodium mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron, cepat masuk jaringan
otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin
sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian
intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat.
Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.(1)
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-
paru, payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah
furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat
hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan
hemokonsentrasi, memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat
janin.(1)
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas
tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan
cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126 mmHg.(1)
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian
antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan
diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu
penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan
mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang diberikan
sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang harus dihindari secara mutlak yakni
pemberian diazokside, ketanserin dan nimodipin.(1)
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin
(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada
arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output,
sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah
labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat
antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin
(catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan
dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.(1)
Antihipertensi lini pertama
28
- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120
mg dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua
- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg
iv/kg/5 menit.
- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik
(payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non
kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis
preeklampsia berat menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.(8)
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan
ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga
diberikan pada sindrom HELLP.(1)
Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan, maka sikap
terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.
2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan
dengan pemberian medikamentosa.
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu
tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada
pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap
kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif,
kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai
tanda-tanda preeklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.
Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai
kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh
dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda
preeklampsia ringan.(1)
29
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah
ini, yaitu:
Ibu
1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk
4. Diduga terjadi solusio plasenta
5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4. Terjadinya oligohidramnion
Laboratorik
1. Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit
dengan cepat.
Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasar
keadaan obstetrik pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum.(1)
3.7 Eklampsia
Gambaran klinik
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau
nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma.(2,1) Sama halnya dengan
preeklampsia, eklampsia dapat timbul pada ante, intra, dan postpartum. Eklampsia
postpartum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah
persalinan. Pada penderita preeklampsia yang akan kejang, umumnya memberi
gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda
prodoma akan terjadinya kejang. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda
prodoma ini disebut sebagai impending eklampsia atau imminent eklampsia.(1)
30
Perawatan eklampsia
Perawatan dasar eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk stabilisasi
fungsi vital yang harus selalu diingat Airway, Breathing, Circulation (ABC),
mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia mencegah
trauma pada pasien pada waktu kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya
pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan
cara yang tepat. Perawatan medikamentosa dan perawatan suportif eklampsia,
merupakan perawatan yang sangat penting. Tujuan utama pengobatan
medikamentosa eklampsia ialah mencegah dan menghentikan kejang, mencegahh
dan mengatasi penyulit, khususnya hipertensi krisis, mencapai stabilisasi ibu
seoptimal mungkin sehingga dapat melahirkan janin pada saat dan dengan cara
yang tepat.(1)
Pengobatan medikamentosa
Obat anti kejang
Obat antikejang yang menjadi pilihan pertama ialah magnesium sulfat.
Bila dengan jenis obat ini kejang masih sukar diatasi, dapat dipakai obat jenis lain,
misalnya tiopental. Diazepam dapat dipakai sebagai alternatif pilihan, namun
mengingat dosis yang diperlukan sangat tinggi, pemberian diazepam hanya
dilakukan oleh mereka yang telah berpengalaman. Pemberian diuretikum
hendaknya selalu disertai dengan memonitor plasma elektrolit. Obat kardiotonika
ataupun obat-obat anti hipertensi hendaknya selalu disiapkan dan diberikan benar-
benar atas indikasi.(1)
Magnesium sulfat (MgSO4)
Pemberian magnesium sulfat pada dasarnya sama seperti pemberian
magnesium sulfat pada preeklampsia berat. Pengobaran suportif terutama
ditujukan untuk gangguan fungsi organ-organ penting, misainya tindakan-
tindakan untuk memperbaiki asidosis, mempertahankan ventilasi paru-paru,
mengatur tekanan darah, mencegah dekompensasi kordis. Pada penderita yang
mengalami kejang dan koma, nursing care sangat penting misalnya meliputi cara-
31
cara perawatan penderita dalam suatu kamar isolasi, mencegah aspirasi, mengatur
infus penderita dan monitoring produksi urin. (1)
Perawatan pada waktu kejang
Pada penderita yang mengalami kejang, tuiuan pertama pertolongan ialah
mencegah penderita mengalami trauma akibat kejang-kejang tersebut. Dirawat di
kamar isolasi cukup terang, tidak di kamar gelap, agar bila terjadi sianosis segera
dapat diketahui. Penderita dibaringkan di tempat tidur yang lebar dengan rail
tempat tidur harus dipasang dan dikunci dengan kuat. Selanjutnya masukkan
sudap lidah ke dalam mulut penderita dan jangan mencoba melepas sudap lidah
yang sedang tergigit karena dapat mematahkan gigi. Kepala direndahkan dan
daerah orofaring diisap. Hendaknya dijaga agar kepala dan ekstremitas penderita
yang kejang tidak terlalu kuat menghentak-hentak benda keras di sekitarnya.
Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor, guna menghindari fraktur.
Bila penderita selesai kejang-kejang, segera beri oksigenasi. (1)
Perawatan koma
Perlu diingat bahwa penderita koma tidak dapat bereaksi atau
mempertahankan diri terhadap suhu yang ekstrem, posisi tubuh yang
menimbulkan nyeri dan aspirasi, karena hilangnya refleks muntah. Bahaya
terbesar yang mengancam penderita koma, ialah terbuntunya jalan napas atas.
Setiap penderita eklampsia yang jatuh dalam koma harus dianggap bahwa jalan
napas atas terbuntu, kecuali dibuktikan lain. Oleh karena itu, tindakan pertama-
tama pada penderita yang jatuh koma (tidak sadar), ialah menjaga dan
mengusahakan agar jalan napas atas tetap terbuka. Untuk menghindari
terbuntunya jalan napas atas oleh pangkal lidah dan epiglottis dilakukan tindakan
sebagai berikut. Cara yang sederhana dan cukup efektif dalam menjaga
terbukanya jalan napas atas, ialah dengan manuver head tilt-neck lift, yaitu kepala
direndahkan dan leher dalam posisi ekstensi ke belakang atau head tily-chain lift,
dengan kepala direndahkan dan dagu ditarik ke atas, atau jaw-thrust, yaitu
mandibula kiri kanan diekstensikan ke atas sarnbil mengangkat kepala ke
32
belakang. Tindakan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan pemasangan
oropharyngeal airway. (1)
Hal penting kedua yang perlu diperhatikan ialah bahwa penderita koma
akan kehilangan refleks muntah sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi bahan
lambung sangat besar. Lambung ibu hamil harus selalu dianggap sebagai lambung
penuh. Oleh karena itu, semua benda yang ada dalam rongga mulut dan
tenggorokan, baik berupa lendir maupun sisa makanan, harus segera diisap secara
intermiten. Penderita ditidurkan dalam posisi stabil untuk drainase lendir.
Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai Glasgow Coma Scale. Pada
perawatan korna perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita.
Pada koma yang lama, bila nutrisi tidak mungkin dapat diberikan melalui Naso
Gastric Tube (NGT). (1)
Perawatan edema paru
Bila terjadi edema paru sebaiknya penderita dirawat di ICU karena
membutuhkan perawatan animasi dengan respirator.
Pengobatan obstetrik
Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan eklampsia harus
diakhiri, tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Persalinan
diakhiri bila sudah mencapai stabilisasi (pemulihan) hemodinamika dan
metabolisme ibu. Pada perawatan pascapersalinan, bila persalinan terjadi
pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya. (1)
Prognosis
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala
perbaikan akan tampak jeias setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah
persalinan berakhir perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami
perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan. Keadaan ini
merupakan tanda prognosis yang baik. karena hal ini merupakan gejala pertama
penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian.
Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya, kecuali pada janin dari ibu
33
yang sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita
eklampsia juga tergolong buruk. Seringkali janin mati intrauterin atau mati pada
fase neonatal karena memang kondisi bayi sudah sangat inferior.(1)
3.8 Sindroma HELLP
Definisi klinik
Sindroma HELLP ialah preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya
hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia.(1)
H: Hemolysis
EL : Elevated Liver Enzyme
LP : Low Platelets Count
Diagnosis
- Didahului tanda dan gejala yang tidak khas malaise, lemah, nyeri kepala,
mual, muntah (semuanya ini mirip tanda dan gejala infeksi virus)
- Adanya tanda dan gejala preeklampsia
- Tanda-tanda hemolisis intravaskular, khususnya kenaikan LDH, AST, dan
bilirubin indirek
- Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar : kenaikan ALT, AST, LDH
- Trombositopenia : trombosit < 150.000/ml
Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada kuadran atas abdomen, tanpa
memandang ada tidaknya tanda dan gejala preeklampsia, harus dipertimbangkan
sindroma HELLP. (1)
Klasifikasi sindroma HELLP menurut klasifikasi Mississippi
Berdasar kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP diklasifikasi
dengan nama "Klasifikasi Mississippi".
- Klas 1: Kadar trombosit : ≤ 50.000/ml, LDH ≥ 600 IU/I, AST dan/atau
ALT ≥ 40IU/l
- Klas 2: Kadar trombosit > 50.000 ≤ 100.000/ml, LDH ≥ 600 IU/l, AST
dan/atau ALT ≥ 40IU/l
34
- Klas 3: Kadar trombosit > 100.000 ≤150.000/ml, LDH ≥ 600 IU/l, AST
dan/atau ALT ≥ 40 IU/l (1)
Diagnosis banding preeklampsia-sindroma HELLP
- Trombotik angiopati
- Kelainan konsumtif fibrinogen, misalnya acute fatty liver of pregnancy,
hipovolemia berat / perdarahan berat, sepsis
- Kelainan jaringan ikat: SLE
- Penyakit ginjal primer (1)
Terapi medikamentosa
Mengikuti terapi medikamentosa preeklampsia-eklampsia dengan
melakukan monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bila trombosit < 50.000/ml
atau adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu
protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan fibrinogen. Pemberian
dexamethasone rescue, pada antepartum diberikan dalam bentuk double strength
dexamethasone (double dose).(1)
Jika didapatkan kadar trombosit < 100.000/ml atau trombosit 100.000 -
150.000/ml dengan disertai tanda-tanda, eklampsia, hipertensi berat, nyeri
epigastrium, maka diberikan deksametason 10 mg i.v. tiap 12 jam. Pada
postpartum deksametason diberikan 10 mg i.v. tiap 72 jam 2 kali, kemudian
diikuti 5 mg i.v. tiap 12 jam 2 kali. Terapi deksametason dihentikan, bila telah
terjadi perbaikan laboratorium, yaitu trombosit >100.000/ml dan penurunan LDH
serta perbaikan tanda dan gejala-gejala klinik preeklampsia - eklampsia. Dapat
dipertimbangkan pemberian transfusi trombosit, bila kadar trombosit < 50.000/ml
dan antioksidan.(1)
35
Sikap pengelolaan obstetrik
Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP ialah aktif, yaitu
kehamilan diakhiri (diterminasi) tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan
dapat dilakukan pervaginam atau perabdominam.(1)
Pengelolaan
Diagnosis dini sangat penting mengingat banyaknya penyakit yang mirip
dengan Sindroma HELLP. Pengobatan sindroma HELLP juga harus
mernperhatikan cara-cara perawatan dan pengobatan pada preeklampsia dan
eklampsia. Pemberian cairan intravena harus sangat hati-hati karena sudah teriadi
vasospasme dan kerusakan sel endotel. Cairan yang diberikan adalah RD 5 %,
bergantian RL 5 % dengan kecepatan 100 ml/jam dengan produksi urin
dipertahankan sekurang-kurangnya 20 ml/jam. Bila hendak dilakukan seksio
sesarea dan bila trombosit < 50.000/ml, maka perlu diberi transfusi trombosit. Bila
trombosit < 40.000/ml, dan akan dilakukan seksio sesarea maka perlu diberi
transfusi darah segar. Dapat pula diberikan plasma exchange dengan fresh frozen
plasma dengan tujuan menghilangkan sisa-sisa hemolisis mikroangiopati.(1)
Double strength dexamethasone diberikan 10 mg i.v. tiap 12 jam segera
setelah diagnosis sindroma HELLP ditegakkan. Kegunaan pemberian double
strength dexamethasone ialah untuk (1) kehamilan preterm, meningkatkan
pematangan paru janin dan (2) untuk sindroma HELLP sendiri dapat
mempercepat perbaikan gejala klinik dan laboratorik. Pada sindroma HELLP
postpartum diberikan deksametason 10 mg i.v. setiap 12 jam, disusul pemberian 5
mg deksametason 2 x selang 12 jam (tappering off).(1)
Perbaikan gejala klinik setelah pemberian deksametason dapat diketahui
dengan: meningkatnya produksi urin, trombosit, menurunnya tekanan darah,
menurunnya kadar LDH, dan AST. Bila teriadi ruptur hepar sebaiknya segera
dilakukan pembedahan lobektomi.(1)
Sikap terhadap kehamilan
Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP, tanpa memandang umur
kehamilan. Kehamilan segera diakhiri. Persalinan dapat dilakukan perabdominam
36
atau pervaginam. Perlu diperhatikan adanya gangguan pembekuan darah bila
hendak melakukan anestesi regional (spinal).(1)
3.9 Hipertensi Kronik
Definisi
Hipertensi kronik dalam kehamilan ialah hipertensi yang didapatkan
sebelum timbulnya kehamilan. Apabila tidak diketahui adanya hipertensi sebelum
kehamilan, maka hipertensi kronik didefinisikan bila didapatkan tekanan darah
sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg sebelum umur
kehamilan 20 minggu.(1)
Etiologi Hipertensi Kronik
Hipertensi kronik dapat disebabkan primer: idiopatik: 90% dan sekunder: 10
%, berhubungan dengan penyakit ginjal, vaskular kolagen, endokrin, dan
pembuluh darah.(1)
Pengelolaan pada kehamilan
Tujuan pengelolaan hipertensi kronik dalam kehamilan adalah
meminimalkan atau mencegah dampak buruk pada ibu ataupun janin akibat
hipertensinya sendiri ataupun akibat obat-obat antihipertensi. Secara umum ini
berarti mencegah terjadinya hipertensi yang ringan menjadi lebih berat, yang
dapat dicapai dengan cara farmakologik atau perubahan pola hidup: diet,
merokok, alkohol, dan substance abuse.(1)
Terapi hipertensi kronik berat hanya mempertimbangkan keselamatan ibu,
tanpa memandang satus kehamilan. Hal ini untuk menghindari terjadinya CVA,
infark miokard serta disfungsi jantung dan ginjal.(1)
Antihipertensi diberikan:
- Sedini mungkin pada batas tekanan darah dianggap hipertensi, yaitu pada
stage I hipertensi tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg, tekanan diastolik ≥
90 mmHg
- bila terjadi disfungsi end organ.
37
Obat antihipertensi
Jenis antihipertensi yang digunakan pada hipertensi kronik, ialah :
- α-Metildopa
Suatu α2 - reseptor agonis
Dosis awal 500 mg 3 x per hari, maksimal 3 gram per hari
- Calcium channel blockers
Nifedipin: dosis bervariasi antara 30 - 90 mg per hari.
- Diuretik thiazide
Tidak diberikan karena akan mengganggu volume plasma sehingga
mengganggu aliran darah utero-plasenta.(1)
Evaluasi janin
Untuk mengetahui apakah terjadi insufisiensi plasenta akut atau kronik,
perlu dilakukan Non stress test dan pemeriksaan ultrasonografi bila curiga
terjadinya fetal growth restriction atau terjadi superimposed preeklampsia.(1)
Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
Diagnosis superimposed preeklampsia sulit, apalagi hipertensi kronik
disertai kelainan ginjal dengan proteinuria. Tanda-tanda superimposed
preeklampsia pada hipertensi kronik, adalah a) adanya proteinuria, gejala-gejala
neurologik, nyeri kepala hebat, gangguan visus, edema patologik yang
menyeluruh (anasarka), oliguria, edema paru. b) kelainan laboratorium: berupa
kenaikan serum kreatinin, trombositopenia, kenaikan transaminase serum hepar.(1)
Persalinan pada kehamilan dengan hipertensi kronik
Sikap terhadap persalinan ditentukan oleh derajat tekanan darah dan
perjalanan klinik. Bila didapatkan tekanan darah yang terkendali, perjalanan
kehamilan normal, pertumbuhan janin normal, dan volume amnion normal, maka
dapat diteruskan sampai aterm.(1)
Bila terjadi komplikasi dan kesehatan janin bertambah buruk, maka segera
diterminasi dengan induksi persalinan, tanpa memandang umur kehamilan. Secara
38
umum persalinan diarahkan pervaginam, termasuk hipertensi dengan
superimposed preeklampsia, dan hipertensi kronik yang tambah berat. (1)
Perawatan pasca persalinan
Perawatan pasca persalinan sama seperti preeklampsia. Edema serebri, edema
paru, gangguan ginjal, dapat terjadi 24 - 36 jam pasca persalinan. Setelah
persalinan: 6 jam pertama resistensi (tahanan) perifer meningkat. Akibatnya,
terjadi peningkatan kerja ventrikel kiri (left ventricular work load). Bersamaan
dengan itu akumulasi cairan interstitial masuk ke dalam intravaskular. Perlu terapi
lebih cepat dengan atau tanpa diuretik. Banyak perempuan dengan hipertensi
kronik dan superimposed preeklampsia, mengalami penciutan volume darah
(hipovolemia). Bila terjadi perdarahan pascapersalinan, sangat berbahaya bila
diberi cairan kristaloid ataupun koloid, karena lumen pembuluh darah telah
mengalami vasokonstriksi. Terapi terbaik bila terjadi perdarahan ialah pemberian
transfusi darah. (1)
3.10 Pencegahan
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-
tanda dini preeklampsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan preeklampsia
tersebut. Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun frekuensi
preeklampsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan
yang baik pada ibu hamil.(4)
Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan istirahat yang
berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini
yaitu dengan mengurangi pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak
duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam
dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan sangat dianjurkan. Mengenal
secara dini preeklampsia dan merawat penderita tanpa memberikan diuretika dan
obat antihipertensi merupakan manfaat dari pencegahan melalui pemeriksaan
antenatal yang baik.(4)
39
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Anamnesis
Penegakkan diagnosis pada pasien Ny. D usia 40 tahun didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus, dari
anamnesis didapatkan bahwa pasien datang ke rumah sakit swasta karena
khawatir akan melahirkan dirumah sementara pasien ingin steril. Di rumah sakit
tersebut dilakukan pemeriksaan terhadap pasien dan ditegakkan diagnosa PEB dan
sindrom HELLP. Kemudian Pasien dirujuk ke RSUD AWS karena direncanakan
terminasi kehamilan. Pasien tidak merasakan adanya nyeri kepala, penglihatan
kabur maupun nyeri ulu hati. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak
terkontrol sejak 5 tahun yang lalu.
Berdasarkan teori, gejala preeklampsia antara lain, terjadi gangguan visus dan
serebral seperti penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan pandangan
kabur. Juga terdapat nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas
abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson). Pada pasien ini tidak ditemukan
gejala yang sesuai pada teori.
. Faktor risiko pada preeklampsia adalah riwayat preeklampsia,
primigravida muda atau tua, genetik, kegemukan, merokok, kehamilan ganda,
riwayat penyakit hipertensi kronik, dan diabetes melitus. Pada Pasien ini
didapatkan faktor risiko yaitu riwayat hipertensi kronik.
4.2 Diagnosis
Pada kasus, didapatkan tekanan darah pasien 220/150 mmhg, pada
pemeriksaan urin didapatkan proteinuria +1, dari pemeriksaan darah didapatkan
trombosit 116.000, SGOT 177, SGPT 186 dan LDH 839.
Berdasarkan teori, diagnosis pada kasus preeklampsia berat ditegakkan bila
ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut, Tekanan darah 160/110 mmHg
atau lebih, proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau
4+, oligouri, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5
cc/kgBB/jam, adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di
40
epigastrium, terdapat edema paru dan sianosis, hemolisis mikroangiopatik,
trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat),
gangguan fungsi hati, pertumbuhan janin terhambat dan sindrom HELLP.
Diagnosis sindrom HELLP ditegakkan dengan adanya tanda dan gejala
yang tidak khas malaise, lemah, nyeri kepala, mual, muntah (semuanya ini mirip
tanda dan gejala infeksi virus), tanda dan gejala preeklampsia, tanda-tanda
hemolisis intravaskular, khususnya kenaikan LDH, AST, dan bilirubin indirek,
tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar : kenaikan ALT, AST, LDH,
trombositopenia : trombosit < 150.000/ml.
Berdasarkan teori, temuan yang didapatkan pada kasus sesuai dengan
diagnosis preeklampsia berat dan sindrom HELLP.
4.3 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang didapatkan pada kasus ini adalah antara lain
pemberian MGSO4, injeksi cefotaxime 3x1gr, injeksi dexametason 3x2 amp,
nifedipin tablet 3x10 mg dan dilakukan tindakan sectio caesarea.
Hal ini sesuai dengan teori penatalaksanaan preeklampsia berat dan
sindrom HELLP. Pengelolaan preeklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit
organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan.
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang dengan loading dose :
initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc) selama 15 menit,
maintenance dose : diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram im
tiap 4-6 jam. Selain itu, diberikan anti hipertensi apabila tekanan sistolik ≥ 180
mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg. Jenis obat anti hipertensi yang
diberikan di Indonesia nifedipin dengan dosis awal 10 – 20 mg, diulangi setelah
30 menit ; maksimum 120 mg dalam 24 jam. Pemberian glukokortikoid untuk
pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34
minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP. Indikasi
perawatan aktif pada kasus ini adalah indikasi laboratorik yaitu adanya sindroma
41
HELLP. Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasar
keadaan obstetrik pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum. Sikap
terhadap kehamilan pada sindroma HELLP ialah aktif, yaitu kehamilan diakhiri
(diterminasi) tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan dapat dilakukan
secara pervaginam atau perabdominam. Sehingga seharusnya pada pasien ini
dilakukan pemeriksaan dalam untuk mengetahui secara pasti apakah sudah inpartu
atau belum.
4.4 Kontrasepsi
Pasien pernah menggunakan kontrasepsi suntik 3 bulan selama 7 tahun
dimulai pada tahun 2000 hingga tahun 2007. Setelah itu pasien tidak pernah lagi
memakai kontrasepsi. Pada hamil ini pasien berencana untuk steril karena merasa
usianya sudah cukup tua dan sudah memiliki lima anak.
Menurut teori perempuan berusia lebih dari 35 tahun memerlukan kontrasepsi
yang aman dan efektif karena kelompok ini akan mengalami peningkatan
morbiditas dan mortalitas jika mereka hamil. Kontrasepsi mantap merupakan
pilihan yang sangat tepat untuk pasangan yang benar-benar tidak ingin tambahan
anak lagi.
42
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan kasus ini dapat disimpulkan beberapa hal, antara
lain:
1. Pasien Ny. D, perempuan, usia 40 tahun, G6P5A0 gravid 34-35 minggu,
merupakan pasien rujukan dari rumah sakit swasta dengan diagnosis PEB
+ HELLP syndrome. Perut kencang (-) Lendir (-) darah (-). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan TFU : 27 cm, teraba kepala, Leopold II
teraba bagian lurus memanjang di kiri ibu, Leopold III teraba bokong, dan
Leopold IV belum masuk PAP dengan HIS (-), dan DJJ 134 x/menit.
Pemeriksaan Dalam tidak dilakukan.
2. Tatalaksana yang diperoleh pasien ini adalah terapi sesuai protokol
preeclampsia dan dilakukan SC + MOW hari Selasa, 3 November 2015
3. Secara umum, penegakkan diagnosis, dan alur penatalaksanaan sudah
sesuai dengan literatur yang ada.
5.2 Saran
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan atas penyusunan
tutorial klinik ini.Oleh karena itu, penulis mengharapakan kritik dan saran dari
rekan-rekan sekalian demi bertambahnya khasanah ilmu pengetahuan kita
bersama.
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., Winknjosastro, G.H., editors. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi ke-4. Jakarta : PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Hal. 532-535.
2. Pangemanan Wim T. Komplikasi Akut Pada Preeklampsia. Palembang.
Universitas Sriwijaya. 2002
3. Habli, M., Sibai, B.M. 2008. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In:
Danforth’s obstetrics and gynecology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2008: 258-266
4. Universitas Sumatra Utara. Hubungan Antara Peeklampsia dengan BBLR.
Sumatera Utara. FK USU. 2009
5. Kusumawardhani, dkk. Pre Eklampsia Berat Dengan Syndrom Hellp, Intra
Uterine Fetal Death , Presentasi Bokong, Pada Sekundigravida Hamil Preterm
BelumDalam Persalinan. Universitas Negri Surakarta. 2009
6. Hartuti Agustina, dkk. Referat Preeklampsia. Purwokerto. Universitas Jendral
Sudirman. 2011
7. UnCunningham, FG et.al. Hypertensive Disorder in Pregnancy. Williams
Obstetrics, 21st ed. Prentice Hall International Inc. Appleton and Lange.
Connecticut. 2001. 653 - 694.
8. Jurnal penatalaksanaan Pre-eklampsi dan Eklampsi Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS. Dr Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, April 1998.
44
Top Related