UJIAN AKHIR SEMESTER BIOETIKA (BI-401)
BIOETIKA DALAM PERANG GERILYA DI INDONESIA
Tanggal Pengumpulan : 16 Mei 2015
Disusun oleh:
Anisa Servina
10612051
Kelompok 3
PROGRAM STUDI BIOLOGISEKOLAH DAN ILMU TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNGBANDUNG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada hakikatnya, manusia memiliki hak untuk hidup, dan melangsungkan
kehidupan. Banyak cara yang dilakukan oleh organisasi ataupun suatu negara
dalam mempertahankan kekuasaan politik, wilayah, dan dan ekonomi.
Pertahanan suatu daerah dapat dilakukan dengan banyak cara. Musyawarah,
membuat perjanjian, ataupun berperang. Sebuah negara ataupun organisasi
dapat berperang dengan cara gerilya, kontemporer, ataupun modern. Perang
gerilya merupakan salah satu strategi perang yang banyak digunakan dalam
perang kemerdekaan Indonesia, dimana dengan keterbatasan kekuatan militer,
Indonesia berhasil mensiasati cara perang mereka dengan melakukan
serangan tersembunyi dan tiba-tiba. Strategi ini membutuhkan intelek yang
kuat, dan pengetahuan luas mengenai medan perang,perekonomian musuh,
kondisi moral musuh, bahkan strategi perang tersebut. Jaman dahulu, ketika
sebuah negara sedang berperang dengan negara lainya, gerakan gerilya
terkadang membuat masyarakat menjadi was was untuk melakukan aktivitas
apapun yang berada di luar rumah. Strategi gerilya yang umumnya timbul
atas spontanitas masyarakat melihat permasalahan pemerintah ataupun
politik, memicu musuh untuk melakukan perlawanan serta penjagaan suatu
wilayah tersebut, sehingga wajar apabila pada jaman tersebut terjadi
kesenjangan social dan ketidak nyamanan warga sipil dalam menjalani
aktivitas harian. Dalam menjalani masa perang terdapat sejumlah etika dan
ketentuan yang wajib dipahami oleh kedua pihak, agar tetap dalam norma dan
tidak menentang aspek kemanusiaan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah mengangkat isu mengenai etika berperang
dan memberikan review mengenai perang gerilya yang sudah terjadi.
BAB II
PUSTAKA
2.1 Definisi Perang Gerilya
Mempertahankan sebuah negara ataupun kekuasaan pemerintahan, wilayah
dan ekonomi serta aspek negara lainya dapat dilakukan dengan cara
berperang. Salah satu perang yang tak lazim di Indonesia adalah perang
gerilya. Perang ini sudah dilakukan oleh masyarakat terdahulu dengan
perjuangan yang sangat berat dan patut untuk dihargai serta ditiru
semangatnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perang gerilya berarti
sebuah perang yang dilakukan secara tiba-tiba dengan pergerakan yang
bersifat sepihak dan identik dengan si miskin atau si kaya, atau si kuat
melawan si lemah. Sehingga dalam perang gerilya ini sangat kontras
perbedaan antara satu pihak dengan pihak lainya. Jika suatu bangsa diserang
dari luar, maka ia berusaha membela diri. Membela diri tidak berarti
menangkis saja, menghindari diri daripada pukulan-pukulan, bukan, karena
dengan demikian cuma secara pasif, musuh yang menyerang masih tetap kuat
dan mampu untuk terus sepanjang masa menyerang. Membela diri itu harus
berarti meniadakan ancaman dan pukulan selanjutnya, jadi untuk itu si
penyerang dihancurkan, pokoknya dikalahkan.
Bangsa-bangsa yang demokratis pada lazimnya terpaksa berperang karena ia
diserang, bukan ia yang mulai. Jika ia mempunyai angkatan bersenjata yang
setara dengan agresor, artinya mempunyai organisasi atau kemampuan
bertempur yang setara, maka dapatlah ia membela diri dalam suatu perang
yang biasa. Biasanya si penyerang berkesempatan mendahului dalam hal,
persiapan sehingga ia datang dengan jumlah (kekuatan) yang lebih besar dan
di tempat-tempat dan saat-saat yang kurang penjagaan, sehingga ia mendapat
terus kemajuan pada tingkatan-tingkatan yang pertama.
Sebaliknya si terserang ketinggalan wsaktu, dan ia berusaha memburu waktu
yang ketinggalan itu. Ia berikhtiar menahan lawan selama munggkin dengan
mundur berangsur-angsur, sehingga baginya cukup waktu dan ruangan untuk
mengerahkan dan menyusun tenaga yang cukup kuatnya (jumlahnya) untuk
membalas dengan serangan kembali. Jadi selama sebelum tercapai tingkatan
itu ia terus melakukan defensif, membela diri, dengan mengelakkan pukulan-
pukulan musuh, samai pada saat dan tempatnya, di mana ia telah cukup
mengerahkan jumlah-jumlah (kekuatan) buat beralih kepada ofensif, kepada
penyerangan. Karena akhirnya dengan ofensif, dengan menyerang inilah
musuh dapat dikalahkan, artinya dibinasakan atau dihantam sedemikian
sehingga ia putus harapan dan mengalah saja. Akan tetapi waktu kita diserang
oleh Belanda di tahun 1947, 1948, 1949 kita tak dapat berbuat demikian.
Dalam tempo yang singkat musuh merebut semua kota yang penting dan
jalan-jalan yang utama. Dan kita tidak mengumpulkan jumlah pasukan yang
cukup untuk membalikkan arah serangan ke Jakarta dan memaksa Belanda
bertekuk lutut, mengalah dengan tiada bersyarat. Bahwa ia akhirnya bersedia
menarik tentaranya dari Indonesia, bukanlah karena dikalahkan oleh tentara
kita, melainkan cuma karena dilelahkan dan dibuntukan oleh kita, sehingga
tak ada harapannya lagi buat meniadakan Republik. Dalam kebuntuan
ikhtiarnya itu maka oleh tekanan iternasional dipercepatlah penyerahan
kedaulatan itu. Sesungguhnya TNI kita tidak setara dengan Belanda. Betul
pada tahun 1945 banyak pemuda kita yang telah berlatih, di Jawa saja ada 60
batalyon Peta; betul kita rebut persenjataan dari Jepang cukup untuk beberapa
divisi, namun kita tidak mampu mengorganisir tentara yang setara, bukan saja
karena kurang waktu dan apalagi kurang keahlian melainkan lebih-lebih
karena strategi nasional kita terlalu mengabaikan faktor-faktor strategi militer.
Maka Belanda telah mampu 1½ tahun kemudian mengerahkan 130.000
tentara yang modern yang tak dapat kita imbangi, walaupun jumlah tenaga
kita beberapa kali lebih besar daripada mereka.
2.2 Fakta Perang Gerilya di Indonesia
Salah satu contoh perang gerilya di Indonesia terjadi pada Kota Surabaya.
Bedasarkan sejarah gerilya arek-arek Surabaya, serangan gencatan senjata
antara tentara Indonesia dan pihak Sekutu justru berbuntut ke insiden
Jembatan Merah. Brigjen Mallaby yang kala itu berpapasan dengan milisi
Indonesia terlibat baku tembak karena kesalahpahaman semata. Kematian
Mallaby memicu kemarahan tentara Sekutu. MayJen Robert Mansergh yang
menggantikan Mallaby lantas mengeluarkan ultimatum 10 November 1945
yang meminta pihak Indonesia untuk menyerahkan semua persenjataan dan
mengibarkan bendera putih. Tidak diindahkan, salah satu perang paling
destruktif di Indonesiapun tak terelakkan. Inggris mengerahkan 30.000
infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang untuk mengepung
Surabaya. Arek-arek Surabaya tak mengenal kata menyerah. Dengan
perlengkapan seadanya, mereka memutuskan untuk memberi perlawanan.
6.000 rakyat Indonesia tewas dan 200.000 lainnya harus mengungsi.
Peristiwa Surabaya lantas menjadi pemicu upaya pertahanan kemerdekaan di
wilayah lain.
Gambar 2.1 Peristiwa Gerilya di Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak
tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada
tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini
adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan
terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol
nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Tanggal 1 Maret
1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian
tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat
kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa
syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang. Tiga tahun
kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah
dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki.
Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan
asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
BAB III
PEMBAHASAN
Sejarah perang gerilya cukup jelas menunjukkan betapa luasnya kerusakan-
kerusakan jasmani dan rohani yang diakibatkan. Kebiasaan bergerilya membawa
kebiasaan menyampingkan ukuran-ukuran hukum dan adat-istiadat yang lazim.
Kebiasaan bergerak di bawah tanah mengacaukan pendudukan musuh,
membumihangus, melakukan sabotase, berhakim sendiri dan sebagainya, yang
dilakukan oleh gerombolan-gerombolan kecil atau juga oleh perseorangan, dengan
tidak dalam hubungan organisasi yang lazim serta tidak menurut garis-garis
hukum yang lazim.
Kerusakan-kerusakan lahir dan batin yang diakibatkannya sedemikian berat,
sehingga ternyata di negara-negara yang telah berperang gerilya, diperlukan
berpuluh-puluh tahun lagi buat memperbaiki, sehingga masih lama terus
berkecamuk kekacauan-kekacauan di segala lapangan. Daerah-daerah gerilya di
Asia Tenggara dari masa perang yang baru lalu, yakni perang ideologi, penjajahan
kontra kemerdekaan dengan ditumpangi ileh anasir-anasir perang dingin antara
Barat dengan Timur. Perang gerilya Indonesia tidak terhenti sesudah penarikan
tentara Belanda, lalu melanjut sebagai perang saudara yang tidak kurang
hangatnya.
Berperang merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh Tuhan, apabila sesuatu
tersebut patut untuk dipertahankan, diperjuangkan, dan menyangkut kepentingan
banyak pihak. Seperti pada Q.S Al-Baqarah:216, “Diwajibkan atas kamu berperang,
padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci”. Dalam tafsir al-Qurthubi,
sahabat Ibnu Abbas ra, Umar bin Abdul Aziz dan Mujahid menafsirkan ayat di
atas sebagai berikut, “Perangilah orang yang dalam keadaan sedang
memerangimu, dan jangan melampaui batas sehingga terbunuhnya perempuan,
anak-anak , tokoh agama dan semisalnya.”. Dalam kondisi perang gerilya di
jaman penjajahan Jepang, Belanda dan Inggris, tak jarang berujung dengan
meninggalkan korban, salah satunya adalah tawanan. Pada saat era gerilya di
Surabaya ataupun di Bandung, dan juga wilayah Indonesia lainya, banyak korban
yang berjatuhan, baik dari pihak pribumi maupun sekutu. Selain pihak pribumi,
pihak sekutu juga sempat menjadi tawanan masyarakat Indonesia yang sedang
melakukan gerilya. Namun, karena kentalnya budaya dan pengaruh ajaran Islam
di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Jawa dan Sumatra, maka pada saat
berperang pun masyarakat di wilayah ini masih memperhatikan etika berperang
sesuai dengan ajaran Islam. Seperti dalam Q.S Muhammad: 4, “Apabila kamu
bertemu dengan orang-orang kafir (di Medan perang) maka pancunglah batang leher mereka.
Sehingga apabila kamu telah mebngalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu
kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir.” Dan
dalam Q.S Al-Insan:8, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang
miski, anak yatim dan orang yang ditawan.”. Maka jelas bedasarkan aspek etika
keagamaan dan kemanusiaan, perintah dalam Al-Quran tersebut sangat jelas
menegaskan bahwa terdapat perilaku sebagai manusia yang beretika dalam
memperlakukan tawanan perang. Karena sebagai tawanan perang, pada
hakikatnya mereka adalah juga manusia, yang berhak hidup.
Selain etika terhadap manusia yang berperang, selanjutnya dalam perang terdapat
aturan yang melarang kedua belah pihak untuk menggunakan bahan kimia yang
berbahaya dan nuklir yang berdampak negative berkepanjangan terhadap manusia
(kanker kulit, radiasi otak, dll) juga terhadap lingkungan. Beberapa contoh senjata
berbahaya yang dilarang penggunaan nya dalam berperang adalah; ranjau darat,
yaitu digunakan di dalam pertempuran karena selain harganya terjangkau bahkan
untuk militer negara miskin sekalipun, senjata ini juga memiliki efek merusak
yang cukup hebat.
Beberapa senjata seperti bom cluster dan ranjau darat memang telah dilarang oleh
PBB untuk diproduksi dan digunakan dalam peperangan, namun kepentingan
bisnis negara-negara produsen seperti AS, Israel, Perancis, RRC, Russia dan
sebagainya telah menutup mata hati para politikus dan ahli militer di banyak
negara untuk tetap menggunakan dan memproduksi senjata-senjata tersebut.
Selain ranjau darat, dalam perang juga dilarang menggunakan
Phosporus putih, karena dapat menghasilkan kebakaran dan asap. Fosfor putih
dibuat dari allotrope unsur kimia fosfor. Fungsi utama dari bom fosfor adalah
untuk menghasilkan asap pelindung yang akan melindungi gerakan dari
pandangan musuh, atau agar asal tembakan tidak terlihat oleh musuh. Fosfor putih
atau White Phosporus (WP) dapat menghasilkan asap dengan cepat begitu
meledak. Penggunaan WP ini dikenal umum dalam dunia militer, baik infantry,
tank, artileri dan lainnya. Selama pergerakan gerilya di Indonesia umumnya
sekutu sering menggunakan senjata terlarang tersebut dan senjata mematikan
lainya, seperti ranjau udara, tank baja, dll. Berbeda dengan masyarakat Surabaya
maupun Bandung, senjata yang digunakan adalah bamboo apus, pistol, golok,
celurit, dan senjata lainya yang masih sederhana bila dibandingkan dengan sekutu.
Barulah sekitar era 60-an setelah terbentuk TNI dan KOPASSUS, peralatan
perang Indonesia bertambah dan semakin berkembang. Hal ini menandakan
selama pergerakan gerilya, masyarakat pribumi masih mementingkan aspek etika
dalam penyerangan terhadap sekutu. Perjuangan dan keringat para pejuang
terdahulu sangat memberikan dampak yang besar dalam kemajuan kemerdekaan
Bangsa Indonesia. Hendaknya mahasiswa dan masyarakat pada jaman demokrasi
ini meniru, mengikuti, dan menerapkan semangat kemerdekaan dan memajukan
negeri ini.
Gambar 3.1 Ranjau Darat Gambar 3.2 Bom Cluster
DAFTAR PUSTAKA
Batara R. Hutagalung: "10 November 1945. Mengapa Inggris Membom
Surabaya?" Penerbit Millenium, Jakarta Oktober 2001, cetakan xvi:472-474.
Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and the Sick in
Armed Forces in the Field, Aug. 12, 1949, entered into force Oct. 21, 1950,
6 U.S.T. 3217, 75 U.N.T.S. 31, (Geneva I); Art. 13 (2).
Frederick, William H. (April 1982). "In Memoriam: Sutomo" ([pranala nonaktif]).
Indonesia (Cornell University outheast Asia Program) 33: 127–128.
M. H. Hassan, Teroris Membajak Islam, (Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu 2007),
h.185.
Muhammad ad-Dasuqi, Ushul al-“Alaqat ad-Dawliyyah baina al-Islam wa at-
Tasyri’at al-Wadh’iyyah, dalam M>H> Zaqzouq (Ed), Al-Tasamuh fi al-
Hadharah al-Islamiyyah, (Cairo: al-Majlis al-A’la li al-Syu’un al-
Islamiyyah, 2004), h. 599-603.
Nasution, A.H. (1984). Pokok Pokok Gerilya: Pokok Gerilya dan Pertahanan
Republik Indonesia di Masa Lalu dan yang Akan Datang. Bandung :
Penerbit Angkasa.
Rahardjo, P. (1996). Gerilya dan Diplomasi. Jakarta: Yayasan Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa.
Rina Rusman,Sejarah, Sumber, dan Prinsip Hukum Humaniter Internasional,
kumpulan makalah Kursus HHI untuk Dosen PTN dan PTS hasil kerja sama
Fakultas Hukum Undip dan International Committee of the Red Cross
(ICRC), Semarang 11-16 Desember 2007.
The Geneva Convention of 1864, The Hague Conventions of 1899 and 1907 and
it was revised and expanded into the four Geneva Convention of 1949.
DOCUMENTS ON THE LAWS OF WAR 19 (Adam Roberts and Richard
Guelff, eds. 2000).
Woodburn Kirby, S (1965). The War Against Japan Vol. V. London: HMSO.
ISBN 0-333-57689-6.
Zaqzuq, Haqo’iq Islamiyyah fi Muwahajat Hamalat at-Tasykik,(Kairo: Maktabah
Asy-syuruk al-Dawliyyah ,2004), h. 51-52.