1
2
PENULIS:
Herdhika Ayu Retno Kusumasari
Luthfi Aditya Indrajati
Novieka Widiastutik
Renita Pramartasari
Alfiana Rahmawati
Eka Pratiwi
Yofa Birrul Walidaini R
Rani Indrawati
Sri Indah Novanti
Isnatus Salamah
Atika Putri Ayu
Karina Muthia Shanti
Rina Dwi Anggraini
Desi Ayu Ningtyas
Feby Fitri Amaly
Agustina Widyastuti
Irma Kurniawati
Ely Septyani
Kartika Rahmawati
Dwi Astuti
Melany
Rasidah Pratiwi
Jummani
Muhammad Ihsan Mahyuddin
Rizki Rian Chairulita
Orysa Onni Oktaviana
Indah Nur Qurani
Irma Faradila
Vivian Devi Eka E.
Safitri Nindya
Fania Dora Aslamy
Yeniar Alifa
Fitriani Intan Puspitasari
Dewi Farida Vivtyasari
Dewi Septindra Sugiharto
Faizatul Mudawwamah
Elsa Fadhila
Priyobudi Utomo
Afrielya Laily W
Dwi Puji Rahayu
Freedy Sagita Putra
Dwi Aknes Prawesti
Nunik Fatmawati
Luluk Cahyaningrum
Dear Asita Dika Safitri
Vemia Pritasari
Adi Surya
Elita Devi Puspita N.
Ludya Wahyu Pratiwi
Bernandha Hargi Dwitantya Putri
Zunia Ngesti Rachmawati
Ila Resalita
Winda Nurtika
Siti Muthma’innah
Shelvi Novianita
Elmi Mahlida
Dewi Nur Aini
Eka Lutfiana
Fildzah Badzlina
Febi Tria Kurniasari
Gita Puspitasari
Icca Presilia Anggreyanti
Stephen H
3
Di pagi yang indah, ku buka mata dan tersenyum pada dunia. Ku
langkahkan kaki menuju taman rumah kami. Tetesan embun di atas
dedaunan dan kicauan burung yang ramai membuatku bersyukur tinggal di
bumi pertiwi ini. Tempat berbagai suku dan budaya menjadi satu dalam
indahnya kebersamaan. Bintang, pemuda dari Surabaya yang merupakan
sesosok malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk selalu menemani dan
menjagaku. Namaku Lintang, aku berasal dari Jawa Tengah dan kami
berdua ditugaskan di pedalaman Papua untuk memberikan layanan
kesehatan. Semenjak aku duduk di bangku kuliah, Bintang selalu ada
disampingku untuk menemaniku dan dialah satu–satunya orang yang dapat
menerimaku apa adanya.
Sampai suatu hari saat aku sedang memeriksa seorang pasien, tiba-
tiba aku terjatuh dan terkulai lemas. Memang beberapa hari ini aku jarang
beristirahat, aku hanya fokus dan sibuk mengurusi pasien-pasienku sampai
lupa memperhatikan kondisi tubuhku. Lalu seketika itu Bintang pun langsung
membawaku di salah satu rumah warga agar aku dapat beristirahat
sebentar disana. Saat aku terkulai lemah diatas tempat tidur, Bintang selalu
setia menemaniku. Dia merawatku sampai akhirnya aku berangsur membaik.
Kini aku bisa kembali menjalankan tugasku yang sebelumnya sempat
terhenti karena kondisiku. Warga pun menyambutku dengan suka cita,
begitupula Bintang yang memang selalu menemani bagaimanapun
kondisiku. Bintang juga terlihat begitu senang melihat senyum yang kembali
aku berikan kepada orang-orang di sekitarku. Senyum yang menurut Bintang
juga dapat menjadi “terapiutik” bagi pasien-pasienku. Aku tersenyum sendiri
mengingatnya. Yaaah mungkin ada benarnya ucapan Bintang ketika
seorang ibu paruh baya mencandaiku, setelah aku selesai memeriksa
tekanan darahnya.
“ibu dokter cantik ya? Suka senyum juga.. makanya banyak yang mau
diperiksa..” (sambil lalu tersenyum)
“...(aku tersipu malu mendengarnya) terima kasih bu..”
4
Menjadi seorang tenaga kesehatan memang harus menyenangkan
bagi pasien-pasienya. Agar semua tindakan kita juga dapat membantu
kesembuhan pasien.
Sambil aku merapikan peralatan medis, aku kembali menatap wajah
pasien ku, ibu paruh baya. Wajahnya yang begitu teduh membuat ku
teringat akan wajah ibu ku yang jauh di kampung halaman. Seketika rasa
rindu menyeruak dari dasar hati, begitu dalam. Ini adalah bulan puasa
pertama yang harus ku lalui tanpa keluarga, sedih rasanya. Tapi aku sebagai
seorang tenaga kesehatan harus profesional dengan tugas dan tanggung
jawab yang ada di pundakku. Aku sudah bertekad akan mengabdikan
diriku untuk membantu mereka yang membutuhkan.
“ibu….sedang apa dirimu di sana? Apa nama Lintang selalu terucap
di setiap doa’mu? Aku merindukanmu ibu…” (Tanya ku dalam hati)
Setelah selesai memeriksa pasien, aku langsung mengambil wudhlu
untuk menunaikan sholat dan memanjatkan do’a untuk kedua orang tua ku
yang berada jauh di sana, semoga mereka selalu dalam perlindungan Allah
SWT.
Usai menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim, aku langsung
bergegas menuju ruang periksa untuk melanjutkan pengabdianku terhadap
masyarakat. Masih sangat terlihat jelas disana warga-warga yang
menunggu kedatanganku untuk diperiksa. Satu persatu pasien masuk dan
aku pun memulai tugasku untuk memeriksa pasien- pasien tersebut. Hingga
suatu ketika, tibalah giliran seorang pasien yang sangat lemah dan
wajahnya pun terlihat pucat, jalan mendekat meja periksa dengan tubuh
yang gemetar. Dengan cepat aku berlari mendekati ibu tersebut dan segera
membantunya mendekat meja periksa. Ku perhatikan lagi wajah ibu itu,
seakan penuh beban dan kerinduan dalam benaknya yang terlihat
hanyalah senyuman kecil dari bibirnya.
“sebenarnya apa yang terjadi pada ibu ini, Kenapa hanya datang
sendirian tanpa ditemani siapapun?” (tanyaku dalam hati).
5
Tanpa banyak basa-basi, aku pun langsung melakukan anamnesa
pada ibu tersebut. Ibu tersebut pun menjawab pertanyaan yang aku
lontarkan dengan nada sedikit gemetar juga. Tak lama kemudian setelah
melakukan anamnesa, langsung aku persilahkan ibu tersebut untuk menuju
tempat periksa. Aku pun membantunya untuk berdiri dan berjalan menuju
tempat periksa karena bandannya sudah begitu lemas. Baru satu langkah
beranjak dari meja periksa, tiba-tiba ibu itu terjatuh pingsan .Aku kaget dan
tanganku tidak kuat menahan bebannya. Kemudian aku langsung meminta
pertolongan untuk membantu mengangkat ibu itu menuju tempat periksa.
Bibirnya sudah begitu pucat dan tangannya sudah sangat dingin.
Ternyata Ibu itu sedang sakit, sudah beberapa hari ini Ibu itu
merasakan tidak enak badan dan tidak nafsu makan sehingga tidak kuat
menahan sakit tiba-tiba Ibu itu pingsan. Kemudian dengan gegas aku
memeriksa Ibu tersebut, setelah aku memeriksa ternyata Ibu ini mengalami
anemia dan demam. Hal ini disebabkan karena Ibu ini terlalu kecapekan
dan tidak memperhatikan waktu makan yang baik.
Seusai memeriksa, aku memberikan obat dan memberi KIE (Komunikasi
Informasi Edukasi) tentang penyakit anemia yang diderita oleh Ibu itu.
Sekarang aku merasa lelah dan baru sadar kalau hari telah petang,
sementara aku belum membatalkan puasaku, karena sekarang sudah
waktunya berbuka puasa. Aku memegangi perutku dan merasa kalau
sekarang perutku sedang berteriak minta diisi.Tiba-tiba, Bintang terlihat
berlari-lari ke arahku.
“hei Lintang!”, teriak Bintang
“Hai juga Bintang, kenapa kamu berlari-lari seperti itu?”, tanyaku
(sambil tersenyum) “yuk kita buka puasa bareng. Ini aku bawain
makanan”
“Kamu datangnya tepat banget deh. Yukk aku udah laper banget
nih.”
Aku dan Bintang makan bersama di bawah terangnya sinar bulan.
Rasa syukur kupanjatkan dalam hati karena masih bisa merasakan
6
nikmat-Nya yang begitu besar sampai saat ini. Walaupun sederhana
dan tidak ada keluarga, aku masih bisa berbuka puasa dengan
ditemani oleh Bintang, sahabatku.
“eh Bintang, lihat deh ke langit. Bintang-bintangnya indah banget
yaa”, kataku sambil membereskan bekas makanku.
“Bintang yang disini juga gak kalah indah kok,” katanya dengan pede.
Aku spontan menoleh ke arahnya dan tertawa “haha narsis mah iya.”,
candaku. Dalam hati aku mengiyakan apa yang dikatakan oleh
Bintang barusan. Bagiku Bintang adalah malaikat terindah yang
dikirimkan Tuhan untukku melebihi indahnya bintang yang bertaburan
di atas langit sana.
Setelah selesai makan, aku dan Bintang pulang ke tempat
penginapan masing-masing untuk menunaikan shalat Maghrib.
Sebelum Bintang melangkah pergi, aku memanggilnya kembali
“ehm Bintang tunggu sebentar.” , panggilku
Bintang menoleh kepadaku. Aku segera menyampaikan maksudku
“Makasih ya makanannya.” Aku memberikan senyuman tulusku
kepadanya.
Bintang tersenyum, kemudian menjawab “sama-sama” dan lalu pergi
meninggalkanku.
Setelah Bintang pergi, aku kembali ke tempat penginapanku. Yah
disinilah tempatku beristirahat dan menutup mata sejenak. Aku dan Bintang
memang tinggal secara terpisah disini, karena tentu saja peraturan yang
melarang perempuan dan laki-laki tinggal bersama. Sesampainya, aku
langsung mandi kemudian mengambil wudhlu untuk menunaikan kewajiban
Shalat magrib. Dalam do’a, aku bersyukur kepada Allah yang telah
mengirimkan Bintang dalam hidupku. Tidak lupa aku mendo’akan kedua
orang tuaku yang jauh disana. Setelah selesai shalat maghrib, aku tidak
bergeming dari sajadahku, aku melanjutkan dengan dzikir sembari
menunggu shalat isya dan shalat tarawih ditutup dengan witir.
7
Aku merasa tenang sekarang karena telah menunaikan ibadah shalat.
Aku bergegas untuk tidur. Sebelum menempuh alam mimpi, aku kembali
teringat kejadian tadi sore saat berbuka puasa bareng Bintang. “Ah, kenapa
tiba-tiba saja aku memikirkannya”, kataku dalam hati. Mengingat kejadian
tadi sore, membuat pikiranku kembali melayang ke peristiwa 4 tahun silam.
Flashback
Saat itu, aku sedang menjalani tes SNMPTN di Universitas Indonesia,
Jakarta. Pilihan pertamaku adalah Pendidikan Dokter dan aku tidak
mengambil pilihan kedua. Hemm pasti kalian bertanya-tanya mengapa aku
tidak kuliah di UGM saja yang notabenenya Universitas favorit di jawa
Tengah dan terletak di kota tempat tinggalku. Ya, aku memang berasal dari
Jogja. Alasanku memilih kuliah di luar kota karena mendengar salah satu
syair dari ImamSyafii yang berbunyi seperti ini
“Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan”
Itulah syair yang menggerakkan hatiku untuk merantau ke kota
metropolitan ini. Syair yang begitu dhasyat menurutku sampai aku
memberanikan diri untuk meninggalkan kota kelahiranku tercinta.
Lagipula Fakultas Kedokteran UI merupakan yang terbaik di Indonesia.
Hari itu adalah hari kedua dan aku sangat mantap dengan
kemampuan ku. Ketika aku memasuki ruangan tes, ternyata sudah banyak
8
peserta yang lain di dalam ruangan. Ada yang sedang belajar, ada yang
sedang mengobrol dengan sebelahnya, ada juga yang sedang berdo’a,
bahkan ada yang sedang tidur. Sambil menunggu pengawas datang, aku
mempersiapkan peralatan tulis-menulisku. Tapi ketika aku membuka tasku,
aku sama sekali tidak melihat kotak pensil berwarna pink milikku. Aku
membongkar tasku dan mengeluarkan semua isi yang ada di dalamnya,
memastikan kalau aku tak salah lihat, tetapi hasilnya tetap nihil. Aku tak juga
menemukannya. Aku sangat panik. Bagaimana ini bisa terjadi? Seingatku,
aku sudah memasukkan kotak pensilku ke dalam tas. Aaaarrggh aku tidak
mungkin pergi ke toko karena waktu sudah mepet, apalagi jika aku kembali
ke kos. Akhirnya aku memberanikan diri meminjam pensil kepada seorang
cowok yang duduk di depanku. Ku perhatikan hari pertama kemarin dia
mempunyai banyak pensil di atas mejanya. Aku langsung menepuk pelan
pundaknya.
“Permisi”, kataku agak ragu
Dia menoleh dan menjawab “ada apa?”
“Maaf sebelumnya, aku lupa membawa peralatan tulis-menulisku.
Padahal aku benar-benar ingat dan sangat yakin kok kalau semalam
aku sudah me……”
“jadi?” , potong orang di depanku
“kalau kamu tak keberatan, bisakah kamu meminjamkan pensilmu
padaku? Pinjem satuuu aja. Aku benar-benar tak punya pilihan”,
tanyaku dengan perasaan tidak enak.
Dia membalikkan badannya, sepertinya dia sedang mengambil
sesuatu dan kemudian “ini, pake aja”.
Aku mengambilnya dan belum sempat aku mengucapkan terima
kasih kepadanya, pengawas ujian sudah memasuki ruangan dan
salah satu dari mereka, dengan suara besarnya menenangkan calon
mahasiswa yang ada di dalam ruangan. Cowok yang aku pinjam
pensilnya segera membalikkan badannya ke depan.
9
Tak terasa, 10 menit lagi waktu ujian akan berakhir dan aku masih
belum mengisi beberapa soal. Dengan kecepatan penuh, aku mengerjakan
soal yang tersisa. Ketika aku sudah selesai, aku mendongakkan kepalaku
dan apa yang aku lihat? Cowok yang tadi ada di depanku sudah
menghilang. “Kemana dia?”, pikirku. Aku pergi mencari nya ke setiap sudut
ruangan tapi nihil, aku keluar ruangan tetapi sosoknya juga tidak ku
temukan.
“Cepat banget sih tu cowok hilangnya. Duuh mana aku belum
sempat ngucapin terima kasih ke dia, bahkan belum mengembalikan
pensilnya.”
Aku terpaksa pulang dengan membawa beban. Yah aku merasa
tidak enak dengan cowok tadi. Bagaimanapun juga aku berhutang budi
padanya. Aku akan selalu mengingat wajah cowok itu, dan ketika aku
bertemu lagi dengannya, aku akan berterima kasih padanya dan
mengembalikan pensilnya. Seketika aku teringat sesuatu.
“oh iya, (menepuk jidat)”, aku berlari kembali masuk ke dalam
ruangan. Aku mencari meja yang tadi di dudukinya.
Aku tersenyum “ah ketemu! Jadi namanya Alvaro Bintang Nugroho”.
Aku mencatat namanya di handphoneku agar tidak lupa. Dan
akhirnya aku bisa pulang ke kos dengan sedikit perasaan lega.
Setidaknya aku mengetahui namanya.
Semakin dekat dengan pengumuman tersebut, semakin dekat pula
aku mendekatkan diri kepada-Nya. Selain memohon do’a dan di sertai
dengan membaca ayat suci Al-Qur'an, tak lupa aku berzikir mengagungkan
nama-Nya. Hari yang kutunggu-tunggu pun tiba, saat itu tepat pukul 19.00
WIB, aku segera membuka laptopku.Untuk log in, aku memasukkan nomor
pendaftaran dan tanggal lahir. Sebelum melakukan proses login, kupanggil
ibu, ayah, dan adik-adikku . Lalu setelah semua berkumpul, aku menekan
enter sambil membaca bismillah daan..
“SELAMAT ANDA DINYATAKAN LULUS SNMPTN. Jurusan : Pendidikan
Dokter. PTN : Universitas Indonesia”
10
“ALHAMDULILLAH!!!!” teriakku sambil memeluk erat ibu yang terharu
dan air mata yang membasahi pipinya karena melihat hasil SNMPTN
bahwa aku lulus. Kupanjatkan rasa syukur yang tiada tara kepada
Allah SWT.
Flashback end
Aku tersadar dari lamunanku setelah mengingat kejadian paling
bersejarah dalam hidupku tersebut. Sampai tak terasa air mataku menitik
dari kedua bola mataku.Ternyata Hipotalamus ku tak juga menandakan
kalau aku sudah mengantuk. Aku kembali melanjutkan ingatanku akan
sepenggal kisah yang ku alami beberapa tahun silam.
Flashback
Aku dipertemukan kembali dengannya. Ya, dengan cowok bernama
Alvaro Bintang Nugroho. Aku bertemu dengannya saat daftar ulang. Ia
mengenakan setelan kemeja berwarna putih dan celana jeans hitam. Saat
aku yakin kalau dia adalah cowok itu, aku segera memanggilnya.
“hey”, teriakku.
Dia tampak sedang mengingat siapa aku.
Aku langsung bersuara “Kamu ingat nggak sama aku? Aku yang pas
SNMPTN kemarin minjem pensilmu.” Aku pun mencari sesuatu di dalam
tasku. “Ah, ini dia. Makasih ya sudah meminjamkannya dan maaf baru
aku kembaliin soalnya waktu itu kamu sudah pulang.”, kataku sambil
menyodorkan pensilnya.
“Sama-sama.”,jawabnya sambil melihat kearah tasku.
“Maaf, apa yang kamu lihat?”
“Kamu yakin tidak salah map?”
“eh?”
“Bukannya seharusnya warna merah? Kenapa map mu warna
kuning?”
“hahh serius??”, tanyaku kaget. Yang di tanya hanya mengangguk.
Tak lama dia membuka tas nya dan mengambil map berwarna
merah.
11
“Untung aku punya lebih. Ini ambil aja.”
Aku tertegun beberapa saat dan kemudian berteriak “huwaah
Alhamdulillah. Makasih banyak ya.” Aku mengeluarkan selembar uang
seribu dan memberikan padanya “Ini aku ganti map nya”.
“Kamu pikir aku penjual map? Lebih baik uang mu kamu berikan
kepada orang yang lebih membutuhkan saja nona.” Dan kemudian
dia berjalan meninggalkanku masuk ke dalam ruangan registrasi.
Aku hanya melongo dibuatnya. “Ah kenapa dia selalu saja pergi
dengan seenaknya begitu. Tapi sumpah demi apapun kenapa dia
selalu datang di saat yang tepat dan menolongku? Mungkinkah dia
adalah malaikat penolong yang dikirimkan Tuhan untukku?”, batinku.
Daripada aku pusing memikirkannya, aku langsung masuk ke dalam
ruangan registrasi.
Ternyata pertemuanku tak hanya sampai disitu dengannya. Karena
aku ternyata satu kelas dengannya. Aku kaget melihat ada namanya di
daftar mahasiswa PD A yang tertempel di depan pintu. Aku memastikan
kembali bahwa aku tidak salah lihat dan ternyata benar. Nama itu yang
tertera disana. Nama yang dalam beberapa waktu dekat ini selalu
membuatku penasaran. Saat masuk kelas, aku melihatnya duduk di kursi
belakang. Nampaknya dia belum menyadari keberadaanku karena
mahasiswa PD A berjumlah 200-an orang. Aku duduk di barisan depan dan
sibuk berkenalan dengan teman-teman yang duduk di sebelah kanan dan
kiriku. Aku menebarkan senyuman kepada mereka. Aku harap, aku dapat
berteman baik dengan mereka semua. Ketika kelas sudah selesai, aku
menghampiri cowok itu.
“Hai, ternyata kita satu kelas ya.”
“Kamu lagi. Apakah kamu membuntutiku kemanapun aku pergi?”
“Haha apakah kamu percaya takdir? Aku yakin semua yang terjadi ini
adalah takdir. Kalau bukan takdir, mana mungkin kita bertemu lagi.
Dan ini sudah ketiga kalinya kita bertemu tanpa mengetahui nama
12
masing-masing. Ehmm maksudku kita belum berkenalan dari awal
bertemu.”
“Alvaro Bintang Nugroho. Kamu bisa panggil aku Bintang.”, sambil
menjulurkan tangannya.
“Aku Andara Lintang Maiza. Panggil aja Lintang. Kamu lihat kan,
antara nama ku dengan nama mu hanya beda satu huruf aja.
Bintang, Lintang. Benarkan hanya beda satu huruf saja”, tawaku lebar.
“Aku harap kita bisa berteman baik ya.”
“Ya, kita lihat saja nanti.”, sambil berlalu pergi.
“Hey tunggu. Aku kan belum selesai ngomong.”, aku sedikit kesal dan
berlari mengejarnya.
Alhasil, aku berjalan pulang bersama dengan Bintang sampai gerbang
dan mengobrol dengannya di sepanjang jalan. Oke, mungkin
memang hanya aku yang terus bertanya tentang dirinya. Karena
sepertinya dia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menerimaku
menjadi temannya. Tapi aku tidak akan berhenti begitu saja. Aku yakin
dia adalah malaikat penolongku. Jadi aku tidak boleh
melepaskannya.
Flashback end
Aku tersenyum sendiri mengingat perkenalanku dengan Bintang. Ya
begitulah Bintang. Kesan pertama kali ketika melihatnya, dia terlihat dingin
dan kaku. Tapi setelah aku mengenalnya, pandanganku tentangnya
berubah. Di balik sifat dinginnya itu, Bintang adalah es yang hangat. Dia
juga begitu perhatian kepadaku dengan cara yang tidak kuduga. Bintang
adalah orang yang punya jiwa semangat tinggi. Dia selalu memberiku
semangat ketika aku sedang down. Dia paling tidak suka melihatku
mengeluh. Dan dia akan selalu jadi orang yang paling cerewet ketika aku
melalaikan kewajiban makan ku. Bintang juga orang yang disiplin dan dia
bisa mengatur waktunya dengan baik. Aku banyak belajar darinya. Selain
sebagai penolong dan pelindungku, dia juga adalah motivatorku. Dari segi
fisik, Bintang termasuk orang yang dengan sekali lihat bisa membuatmu
13
kagum dengan wajahnya. Alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung,
kulitnya yang kuning langsat, tatapan matanya yang tajam tapi teduh,
senyuman nya yang khas, dan tubuhnya yang tinggi tegap menambah nilai
plus untuknya. Aku cukup hebat karena akhirnya bisa bersahabat
dengannya yang di awal dulu sangat dingin terhadapku. Aku tersenyum
dan kemudian menutup kedua kelopak mataku dan berharap hari esok
akan lebih baik dari hari ini.
***
Seminggu tak terasa waktu terus berlalu. Aku mulai menyukai desa
Ampat ini. Walaupun desa ini terletak di pulau terpencil dan hanya bisa
dicapai 6 jam dengan mengendarai perahu, akan tetapi keadaan alam di
sini begitu nyaman. Pantainya yang indah, berpasir putih, airnya yang masih
jernih, dan masih banyak ikan cantik yang bisa terlihat dekat dengan klinik
kesehatan, tempatku bersama teman – teman praktek.
“Bu dokter, saya mohon maaf ya di sini pasiennya sepi nggak seperti
dikota. Terus mohon maaf ya kalo fasilitas di sini nggak seperti di kota”, kata
Pak Deni menghiburku dengan wajah bersalah. Pak Deni adalah warga
desa yang mengurus kesehatan di desa ini. Beliau-lah yang meminta aku
dan teman-temanku praktek di desa ini. “Nggak apa – apa pak. Saya
senang bisa praktek di sini. Di sini desanya cantik sekali”, jawabku sambil
tersenyum. “Syukurlah jika bu dokter senang”, jawab pak Deni dengan
senyum membalas senyumku.
Brakkk!!!
Terdengar suara hentakan pukulan meja mengagetkanku.
“Kamu! Pergi aja. Nggak usah ganggu desa ini. Di desa ini masih sehat
semua. Memang kemarin kamu bisa tolong tetangga kami, tapi bukan
berarti kamu hebat dan bisa kuasai kami”, kata seorang nenek bertopi
petani di depan pintu klinik.
14
Aku bisa melihat gejolak amarah dari nenek yang berjarak 5 kaki di
depanku ini. Sepertinya, begitu dalam perasaan yang ingin beliau
sampaikan kepadaku. “Nek…”, kataku mencoba menenangkan nenek itu.
“Sudah nek, ayo kita pergi. Kita pulang dulu”, kata seorang pemuda
desa ini berbaju biru sambil memeluk nenek itu dari belakang untuk
mencegah neneknya masuk ke dalam klinik.
“Pergi kamu! Aku beri kamu waktu 2 hari. Kalo kamu nggak pulang
juga, aku suruh warga desa ini untuk bakar klinik kamu”, lanjut kata nenek
bertopi petani dan berbaju merah. “Udah nggak usah kayak gini. Aku bisa
pulang sendiri”, kata nenek itu pada pemuda baju biru sambil berjalan pergi
dari klinik dengan marah.
“Maafin nenekku ya bu dokter. Beliau ngomongnya memang sering
marah- marah. Tapi maksudnya nggak gitu kok. Sekali lagi mohon maaf”,
kata pemuda sambil membungkukkan badan dan menyusul neneknya pergi
dari klinik.
“I… Iya, nggak apa – apa kok”, jawabku dengan kebingungan
dengan kejadian yang baru saja terjadi.
Sebenarnya, aku heran apa yang menyebabkan nenek itu marah.
Apa karena aku yang kurang cantik? kurang baik? kurang pintar? atau
malah aku yang terlalu ke-pede-an ya? apa terlalu cerewet?
“Mohon maaf sekali atas perkataan nenek Sumi tadi ya”, kata pak
Deni membuyarkan lamunanku.
“Memang keadaan di desa ini seperti ini sejak 10 tahun lalu”, lanjut
pak Deni dengan muka sedih. Aku pun semakin bingung dengan
pernyataan pak Deni.
“Sejak 10 tahun lalu, saya sering mengurus panggilan pekerjaan
dokter, karena…”,lanjut pak Deni sambil mengusap air mata dengan lengan
bajunya. “Sudah 10 lebih dokter yang saya minta untuk praktek di desa ini.
Akan tetapi mereka semua praktek dengan sembarangan. Akhirnya banyak
penduduk yang tidak tertolong nyawanya. Sehingga penduduk di desa ini
beranggapan bahwa dokter itu tidak berguna dan hanya musuh yang perlu
15
diusir agar tidak memakan banyak korban penduduk desa lagi. Namun,
saya yakin bu dokter berbeda. Bu dokter sangat baik hati dan bisa
menolong warga desa ini”.
“Terimakasih banyak pak Deni atas ceritanya. Saya akan berusaha
semampu saya untuk menolong warga desa ini. Akan tetapi saya hanya
manusia, saya butuh bantuan pak Deni, teman – teman, dan semuanya
untuk menolong desa ini”, jawabku sambil tersenyum.
Langitpun semakin merona, ditambah kembalinya sang surya ke
peranduannya, menambah nikmatnya waktu bersantaiku duduk di pantai
pasir putih di sebelah klinikku. Huft, mendengar cerita pak Deni dan kejadian
hari ini, apa yang harus aku lakukan ya?.Oh iya, tanya aja sama Bintang ya.
Tapi, kok aku rasanya sering banget ngrepotin dia ya? Aduh, enaknya
gimana nih?
“Gimana prakteknya di klinik hari ini?”, tanya Gilang kepadaku sambil
memukul bahuku dan membuyarkan pikiranku.
“Eh, ini orang bikin kaget selalu deh. Lha kamu sendiri gimana
prakteknya?”, tanyaku dengan wajah cemberut.
“Hmmm, mereka banyak yang mengagumiku daripada ngomong
sakitnya mereka. Biasalah, penyakitnya orang paling ngganteng sedunia kan
gitu. Hahaha…”, jawab Gilang dengan bangga.
“Halah, dari dulu kamu memang nggak berubah. Tapi, sama Neni
berubah nggak?”, kataku sambil mencibir Gilang dan Gilang pun
menyambut dengan wajah yang tersipu malu malu mau.
“Sebenarnya, ada hal yang ingin kamu tahu tentang Bintang”, tiba –
tiba Gilang berkata dengan wajah serius. Hah?, kenapa Gilang jadi misterius
gini?.
“Hei, kalian berdua. Hayooo… ngapain? Aku ikutan dong”, tiba – tiba
suara Bintang terdengar dengan langkahnya menghampiri kami.
“Akan tetapi aku tidak bisa mengatakan padamu saat ini”, lanjut kata
Gilang padaku dengan wajah serius menatap langit.
16
“Yee… biasa. Lintang curhat sama aku. Hehehe…”, jawab Gilang tiba
– tiba memalingkan wajah kepada Bintang dengan wajah ceria.
“Uhuk.uhuk. Sorry bro nggak terbalik nih?”, kataku dengan wajah
mengejek.
Tiba – tiba lagu Sempurna karangan Andra and the Backbone
terdengar ditelingaku ketika Bintang semakin mendekati kami. Dimataku dia
terlihat dengan aura yang berkilauan. Aku merasa terpesona padanya. Dia
begitu keren sekali menangani pasien dengan profesional, ramah, baik hati,
pintar, dan ganteng pula. Sadar Lintang, sadar Lintang, jangan lebay
terlebih alay, kamu hari ini ketemu Bintang buat cerita masalah hari ini di
klinik, kata hati kecilku.
“Oh iya aku ingat. Bintang, ikut aku bentar yuk. Bentar aja. Tasnya
titipin aja ke Lintang”, kata Gilang menyambut Bintang.
“Mau kemana sih? Cepetan lho”, tanyaku.
“Iya iya”, jawab Gilang dengan disambut senyuman Bintang.
5 menit pun berlalu. Huft, bosan deh sendirian. Ringgg… Ringgg…
.Waduh, hp-nya Bintang bunyi. Gimana nih? Angkat? Nggak? Angkat?
Nggak? Angkat aja deh. Reni? Siapa Reni? Kenapa dia menelpon Bintang?.
Eits, stop kepo. Angkat aja deh, siapa tahu ada urusan penting.
“Halooo. Kak Bintang? Gimana janjian kita beberapa waktu lalu? Aku
harap kakak bisa datang lagi ya. Halooo. Kak Bintang?”, kata Reni.
“Mohon maaf ini Lintang teman Bintang. Ada yang ingin disampaikan
pada Bintang?”, tanyaku.
“Oh kak Lintang mohon maaf ya. Nanti aku sampaikan sendiri aja ke
kak Bintang.Terimakasih banyak sudah diangkat teleponnya”, jawab Reni
sambil menutup telepon.
Aku penasaran dengan gadis yang bernama Reni itu. ah mungkin saja
saudaranya? Atau bahkan temannya? Tapi mengapa dia tak pernah
bercerita padaku tentang Reni?.
Puk puk puk………
17
Aku menepuk pipiku sendiri. Seperti menyadarkan sesuatu pada diriku
sendiri.
“Hmmmm…… mungkin dia pasien Bintang yang sedang
membutuhkan bantuannya”, gumamku.
“Tapi dia bilang janjian? Apa maksutnya ya? Kok aku jadi heboh
sendiri sih?”, gumamku lagi dengan kerutan wajah penuh tanya.
“Doooooorrrrr...”, Kata Gilang dan Bintang yang mengagetkanku dari
belakang itu.
“Kenapa dirimu? Melamun begitu?”,tanya Bintang padaku.
“Iya nggak apa-apa lah, urusanku.” jawabku dengan sok jutek dan
jaim.
“Yah, nenek sihir marah. Ntar tambah jelek lho. Hehehe”, kata Gilang
dengan menyindir.
“Sebenarnya… Ah, nggak jadi deh. Kapan-kapan aja. Hehehe”, kata
Gilang yang sepertinya ingin menyambung perkataannya tadi sore padaku,
dengan tersenyum sesaat, kemudian melanjutkan melihat langit penuh
bintang dengan wajah serius seolah memikirkan jumlah bintang yang ada.
Namun, perasaanku kali ini terasa aneh dengan perkataan dan
ekspresi wajah Gilang, sepertinya tidak sesuai. Dari tatapan matanya, terlihat
sepertinya dia ingin menyampaikan sesuatu yang mendalam.
“Hmmmmm… yang satunya juga ikut ketularan nglamun nih.
Sepertinya nglamun itu bisa menular ya?”, kata Bintang membuyarkan
lamunan Gilang dengan menepuk pelan bahu Gilang.
“Lintang, mana tasku? Yuk, ikut aku sebentar”, kata Bintang dengan
senyuman indah dan mengulurkan tangan padaku.
Aneh, kenapa aku seperti ini di depan Bintang. Kenapa aku melihat
banyak kilauan indah, lagu Sempurna terdengar lagi, serta tangan ini terasa
berat dan gemetar untuk menyambutnya. Apa yang harus aku lakukan?.
Gawat, gimana jika aku tiba-tiba kena kram sekarang?. Tidakkkkkkk………
What must I do ?.
18
Tidak mungkin bukan kram yang kurasakan saat ini, tapi apa?, kata
batin Lintang sambil menatap tangannya yang masih digenggam erat oleh
Bintang karena dia terlena dengan lamunannya. Sedangkan, ku lihat Gilang
hanya menatap kepergianku dan Bintang dengan tatapan seolah kecewa.
“Bintang kamu mau membawaku kemana?”, tanyaku ketika sadar
dari lamunan akan Bintang.
“ Rahasia,” jawab Bintang tersenyum.
Senyum yang tak pernah Lintang dapati di awal mereka bertemu,
senyuman Bintang hanya untuknya dan hanya dia yang tau senyuman itu.
Karena selama ini, Lintang jarang melihat Bintang tersenyum kepada orang
lain, kecuali dirinya. Lintang merasakan suhu badannya memanas dan
detakkan jantungnya tidak seperti detak jantungnya yang biasa. Rasanya
seperti copot dari tempatnya. Mata Lintang pun tetap menatap wajah itu
dan mengamati dengan seksama wajah Bintang.
Wajah yang menarik mataku seperti magnet untuk bertahan lama
untuk menatap wajah itu sambil menunggu senyumnya hadir kembali
padaku, kata batinku dengan penuh senyuman.
“Bintang kita mau kemana?”, tanyaku lagi dengan penuh penasaran.
“Rahasia,” jawab Bintang sambil menarik Lintang untuk berjalan lebih
cepat di belakangnya.
Mereka berdua semakin menaiki sebuah bukit dekat desa yang
mereka praktek. Ketika mereka sampai diatas bukit, Bintang melepaskan
genggaman eratnya dari tangan Lintang, hingga di pergelangan
tangannya memerah.
“Sakit tau pergelangan tanganku,” rajukku pada Bintang.
“Iya maaf deh, lain kali nggak bakal ku tarik seerat itu. Soalnya, kamu
lambaaaaat banget jalannya,” jawab Bintang sambil merebahkan tubuh ke
hamparan rumput tanpa melihat ke arah Lintang sama sekali.
Bintang telah asyik menikmati hamparan rumput yang sangat hijau
dan menikmati panorama pertunjukan langit yang indah dengan gemerlap
sinar rembulan dan kilauan bintang di langit. Aku hanya mengamati perilaku
19
Bintang saat ini dengan penuh perasaan penasaran dan bingung akan
sikapnya ini padaku.
“Kenapa kamu hanya berdiri?” tanya Bintang.
Aku terlihat kikuk dan duduk di samping Bintang yang sedang
terbaring.
“Kamu tahu pemandangan ini jarang kita temui di kota besar. Suatu
pemandangan yang sangat indah, begitu indah. Hinga aku merasa kecil di
hadapan semesta ciptaan – Nya yang indah dan luar biasa ini. Dengarkan
kicauan burung yang bernyanyi itu begitu merdu ya,” kata Bintang pada
Lintang.
“Sepertinya kamu begitu banyak berubah, tidak seperti kamu yang
dingin di awal kita jumpa,” sahutku sambil memainkan rerumputan hijau di
depannya.
Bintang hanya tersenyum lalu dia menegakkan tubuhnya sambil
menerawang jauh.
“Ehm...aku boleh bertanya?”, tanyaku.
Bintang hanya terdiam beberapa detik seperti berkecamuk dengan
perasaannya saat ini.
“Apa?” sahutnya.
“Reni itu siapa?,” tanyaku dengan hati – hati.
Namun, Bintang kembali terdiam.
“Oke kalau kamu nggak mau jawab ya sudah,” kataku sambil
beranjak dari tempat itu dengan wajah acuh.
“Kenal dia dimana?” kata Bintang padaku dengan nada sangat
tegas. Tapi, kali ini tegasnya beda. Dia sedikit membentak. Aku sulit
membedakan nada bicaranya itu. Antara tegas dan membentak. Tapi aku
sangat yakin sekali ada bentakan dalam ucapannya barusan. Tangan
kananku sedang digenggamnya dengan mantap sedang tatapannya ke
depan. Aku yakin sekarang ini dia tidak sedang menikmati
pemandangannya. Dia memikirkan pertanyaanku. Reni.
20
“Tadi kan dia telepon ke hape kamu. Dan kamunya lagi ngobrol privat
sama Gilang. Lama lagi. Jadi ya... aku angkat deh. Takut teleponnya gawat
darurat gitu. Maaf ya aku gak sopan”, kataku dengan hati-hati. Sangat
berhati-hati.
Harap-harap cemas hatiku dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku hanya bisa menunduk dengan perasaan cemasku.
“Iyaa.. Aku maafin kok. Jangan merasa bersalah lagi ya” katanya
sambil tersenyum. Dan itu adalah senyumannya yang paling indah yang
pernah kulihat selama aku mengenalnya. Aku tak tahan untuk tidak
membalas senyuman itu. Yaa.. aku senyum ke dia juga. Di dalam hati aku
mengucap rasa syukur ketegangan ini sangat cepat mencair.
“Oh iya, Reni itu bukan siapa-siapa kok. Jadi.. jangan cemburu ya”,
kata Bintang tiba-tiba dengan wajah mengejek dan setengah tertawa
dengan penuh percaya diri untuk tebar pesona.
Apa?, masih sempat-sempatnya dia menggodaku.
“Idiiih. Apa untungnya cemburu ke kamu?. Sorry bro. Good bye. See
you next time”,sambil cepat-cepat aku berjalan meninggalkan Bintang
menuruni bukit.
“Kalo gak cemburu kenapa kamu langsung menghindariku hayoo?”
teriak Bintang yang sudah kutinggal 5 meter.
Huft.Terpaksa deh aku berdiri diam di tempat untuk menjawab
pertanyaan Bintang. Sebenarnya, bukan karena aku cemburu padamu
Bintang kenapa aku menghindarimu. Akan tetapi…
Nguinggg.Nguinggg.Nguinggg
Nah, balik lagi nih pasukan en-nya-em-u-ka. Nggak duduk, nggak
berdiri, mereka sepertinya fans beratku. Sebenarnya nggak apa-apa sih kalo
mereka datang. Akan tetapi, gatalnya setelah dihisap darahku ini lho yang
nggak banget. Oh My God!, jangan-jangan mereka nyamuk demam
berdarah atau lebih parah nyamuk Chikungunya. Tidakkkkkkkk!.
“Eh, balik yuk. Sebenarnya bukan karena cemburu, tapi karena ini nih.
Tanganku jadi banyak lampu merahnya”, kataku pada Bintang dengan
21
wajah cemberut, menggaruk telapak tangan dan menunjukkannya pada
Bintang. “Lagipula, kasihan Gilang sendirian di klinik, yuk”.
Namun, Bintang tidak menggubris ajakanku. Setelah beberapa detik
dia pun memandang langit sambil tersenyum. Tapi senyuman itu yang
berbeda dari sebelumnya. Di balik senyumannya terlihat kesedihan dan
kekecewaan.
“Kamu tahu kenapa aku ingin menjadi dokter?”, tanya Bintang
padaku.
“Haaaaahhhh!” aku bingung dengan pertanyaan itu. Tak ada kata
yang dapat kusampaikan saat itu.
“Kenapa?” Bintang bertanya lagi,
“Hmmm, mungkin karena kamu.......”
“Karena dia, karena Reni, aku ingin menjadi dokter” jawab Bintang
tiba – tiba memutus kalimat yang akan kusampaikan.
Aku kembali terdiam, kaget, sekaligus semakin bingung dengan
Bintang setelah mendengar pernyataannya. Sebenarnya siapa Reni?
Seberapa hebat Reni hingga bisa mengubah hidup Bintang?.
Sesaat pikiranku ingin ke arah pembicaraan lain. Sepertinya, ada yang
perlu aku sampaikan ke temanku berbaju merah ini. Oh iya, kejadian tadi
siang tentang ancaman nenek Sumi bersama penduduk desa yang akan
membakar klinik. Bagaimana aku menyampaikan pada Bintang dan Gilang?
Kalo disampaikan, Gilang kan orangnya temperamen, pasti setelah itu
marah-marah ke aku sama Bintang, terus penyakit paru-paru, thipus, demam
dan maag akutnya kambuh. Tapi, kalo nggak disampaikan, kasihan Bintang,
Gilang, dan Pak Deni, serta penduduk desa ini kalo ada yang sakit parah,
mereka nanti nasibnya bagaimana?.
“Lintang, kita lanjut besok saja di bukit ini bersama Gilang dan
keluarga Pak Deni bagaimana?. Aku sebenarnya kemarin sudah datang ke
bukit ini. Tapi, hari ini aku ingin survei tempat ini lagi bersama 1 orang. Ya,
untuk memastikan pandangan orang lain terhadap tempat ini. Bagaimana
22
menurutmu?, tanya Bintang padaku sambil beranjak berdiri dan
membersihkan bajunya.
“Bagus sih. Ya, lumayanlah. Bisa jadi, kita besok bakar-bakar jagung
aja di sini biar tambah asyik. Oh iya, atau sama bakar ikan?, atau sayuran?,
atau bikin kebab sekalian?. Nah, sepertinya kalo ditambah nyanyian nge-
Rock sepertinya makin meriah lho. Hehehe”, jawabku dengan apa adanya
semua ide cemerlang yang tertulis di pikiranku.
“Kamu ini ada-ada aja”, kata Bintang padaku dengan mengeleng-
nggelengkan kepala dan penuh senyuman sambil menuruni bukit. “Ayo, kita
segera kembali ke rumah keluarga pak Deni. Pasti mereka dan Gilang
khawatir keadaan kita”.
Aku pun melanjutkan menuruni bukit dengan wajah tersenyum untuk
berterima kasih telah menjadikanku 1 orang beruntung itu. Akan tetapi jauh
di dalam hatiku, aku diliputi kebingungan bagaimana aku menceritakan
masalah nenek Sumi.
Tiba-tiba aku mendengar langkah orang lain selain aku dan Bintang
dibalik pohon.
“Eh Bintang, lihat itu, ternyata ada orang lain yang bersama kita di
bukit ini”, kataku pada Bintang setengah berteriak.
Jangan-jangan sebentar lagi akan terjadi perampokan, penculikan,
dan praktek penjualan manusia dengan korban aku dan Bintang.
Tidakkkkkk!.
“Ayo, kita lihat siapa orang itu”, kata Bintang padaku sambil berlari
menuju ke arah orang tersebut berlari menjauhi kami.
Kemudian terlihat dengan samar-samar bayangan itu seperti terjatuh
pingsan terantuk batu ketika berusaha melarikan dari kami setelah aku dan
Bintang menyadari kehadirannya.
Aku berusaha mengingat-ingat ciri-ciri orang tersebut.Tiba-tiba
langsung terbesit gambaran seseorang dipikiranku.
“Jangan-jangan dia…”, kataku pada Bintang sambil menujuk dengan
wajah ketakutan.
23
“Hah, kamu tahu siapa dia?”, tanya Bintang dengan penuh wajah
penasaran.
Dan benar. Orang itu adalah Nenek Sumi. Mengapa ia ada di sini?
Entahlah. Hanya sekian detik kebingungan menyergapku, selanjutnya rasa
panik lebih mendominasi.
“Ayo kita bawa Nek Sumi ke klinik,” Bintang dengan sergap dan
cekatan menggendong Nenek Sumi.
Di saat seperti ini, rasa sebalku padanya seperti menguap.
Bagaimanapun juga ia hanyalah wanita renta. Lemah. Tapi, bagaimana
bisa ia dengan berani meluapkan amarah, mengusir, bahkan
mengancamku tempo hari? Pasti ada hal yang melatarbelakanginya.
Sesuatu yang tidak semua orang tahu. Sungguh, hanya alasan maha
kuatlah yang mampu menggerakkan daya nenek berumur 60-an ini hingga
menembus titik limitnya. Apa guna ilmu komunikasi kesehatan yang
kupelajari jika aku tak berhasil mendekati Nenek Sumi dari hati ke hati?
Baiklah! Aku bertekad untuk menyelesaikan permasalahan ini hingga tuntas.
Akhirnya aku dan Bintang menggendong Nenek Sumi untuk
membawanya ke klinik. Karena jalan turun dari bukit cukup curam dan licin,
kami harus berjalan ekstra hati-hati. Bintang berjalan di depanku sambil
menggendong Nenek Sumi sedangkan aku mengikutinya di belakang. Ada
rasa khawatir dan penasaran yang membuncah di pikiranku mengenai
Nenek Sumi. Apa yang beliau lakukan di bukit ini pada malam hari? Apakah
beliau memang sengaja membuntutiku dan Bintang?
Aku terus bertanya-tanya, namun aku berusaha untuk melupakan dahulu
rasa penasaranku ini dan segera bergegas mengikuti Bintang yang sudah
mendahuluiku di depan.
“Rebahkan Nenek Sumi di sini” kataku pada Bintang ketika kami
sampai di klinik. Bintangpun merebahkan Nenek Sumi di kasur. Ada luka dan
darah segar yang menetes dari dahi Nenek Sumi. Beliau masih belum sadar,
sehingga aku berusaha untuk mendekatkan minyak putih di dekat
hidungnya.
24
“Aku bersihkan luka di dahinya ya” kata Bintang sambil mengambil
kapas dan air dengan sigap. Aku mengangguk sambil memperhatikannya,
dengan telaten Ia lalu membersihkan luka dan darah di dahi Nenek Sumi.
Entah mengapa sesuatu yang tak aku ketahui namanya kemudian muncul
di perasaanku. Sesuatu yang belakangan ini kerap aku rasakan ketika
berada di dekat Bintang atau sekedar memikirkannya. Iya, aku tidak tahu
namanya, tetapi aku menikmatinya.
“Bisa ambilkan kapas lagi gak ?” tanya Bintang memecah lamunanku.
“Eh iya, ini “ kataku tergagu sambil menyerahkan kapas.
“Kira-kira Nenek Sumi ada apa ya kok ngikutin kita, apa ada hubungannya
dengan kejadian minggu lalu?” tanya Bintang.
Aku menggeleng, kemudian teringat peristiwa minggu lalu yang terjadi.
Siang itu di saat klinik sedang sepi dan hanya ada beberapa pasien, Nenek
Sumi datang ke klinik sambil mengumpat-ngumpat dan menendang kursi
tunggu yang terbuat dari kayu di depan klinik. Melihat hal itu, pasien yang
sedang ada di klinik berlari pulang karena takut. Aku yang masih bingung
dengan apa yang dilakukan Nenek Sumi tidak sempat berlari ketika Nenek
Sumi mendekatiku dan mengucapkan kata-kata yang sampai saat ini masih
mengganggu pikiranku. Beliau mengancam akan mencelakaiku apabila aku
tidak segera menutup praktikku di sini.
Gejolak amarah Nenek Sumi waktu itu begitu terkenang dalam ingatanku,
membuatku terus bertanya-tanya. Ingin sekali aku berbicara dengan beliau
empat mata saja.
“Di..di mana aku? Apa yang kalian lakukan padaku?”, tiba-tiba nenek Sumi
tersadar sambil berusaha bangkit dari tempat tidurnya.
“Nenek istirahat dulu saja. Dahi nenek masih berdarah”, Dengan sigap
Bintang menahan Nenek Sumi untuk tidak beranjak dulu karena kondisinya
yang masih belum memungkinkan.
“Jangan tahan aku! Aku tidak ingin berlama-lama di sini bersama kalian. Aku
tidak percaya kalian. Biarkan aku pergi!”, tolak Nenek Sumi.
25
“Sebenarnya mengapa nenek begitu benci kepada kami? Apa salah kami,
Nek?”, tanya Bintang dengan nada yang sedikit meninggi.
“Bintang! Pelankan suaramu. Bicaralah yang sopan kepada orang yang
lebih tua”, tegurku pada Bintang.
“Maafkan teman saya, Nek. Kalau boleh tahu, apa yang sedang Nenek
lakukan di bukit tadi?”, Tanyaku.
“Bukan urusanmu! Biarkan aku pergi.”, ronta Nenek Sumi sambil berusaha
untuk melangkah pergi.
Tak kuasa aku dan Bintang menahan Nenek Sumi untuk tetap tinggal di klinik.
Sosok Nenek Sumi semakin menghilang dari pandanganku. Aku hanya
dapat melihat punggung Nenek Sumi dari kejauhan.
Nenek Sumi, sebegitu bencinya kah Nenek kepada kami?
Setelah Nenek Sumi itu pergi, datanglah Gilang menghampiri kami
berdua.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Nenek itu bersikap seperti itu
kepada kalian?” Tanya Gilang.
“Hmm.. tidak ada apa-apa kok.” Jawabku sambil tersenyum. “Eh, iya, pasti
kamu belum makan? Kita makan bareng-bareng yuk.” Ajakku.
“Lintang! Aku Tanya sama kamu. Tolong jawab pertanyaanku!” katanya
sambil menggertak.
Sudahlah, aku tidak ingin melihat dia marah-marah tidak jelas seperti itu,
akhirnya aku pun menceritakan semua itu.
“Kenapa kamu baru ceritanya sekarang? Oou, jadi sekarang kamu mulai
rahasia-rahasiaan gitu? Setelah sekian lama kita berteman, ternyata kamu
tidak percaya sama aku sampai-sampai kamu tidak cerita sama aku? Atau
jangan-jangan, kalian berdua sekongkol untuk tidak menceritakan
kepadaku? Aku kecewa sama kalian.” Kata Gilang dengan nada marah.
Kemudian dia langsung pergi meninggalkan aku dan Bintang di sana.
“Sebentar, aku tidak bermaksud seperti itu, Gilang..” kataku sambil menarik
tangan Gilang.
26
Gilang tetap bersikeras untuk pergi dan aku tak kuasa menariknya.
Dan aku hanya bisa melihat dirinya yang kini berjalan semakin jauh dariku.
Lalu aku berbalik, “Kenapa kamu tidak menahan dia?” Tanyaku kepada
Bintang. Bintang hanya bisa berdiam seribu bahasa. Dia tidak berkata apa-
apa sedikit pun, sekata atau sehuruf pun tidak. Dan tak terasa air mata pun
menetes di pipiku.
“Tenang saja, nanti juga dia tenang-tenang sendiri. Santai aja, emang
gitu orangnya“ akhirnya Bintang berbicara. Mencoba menghibur? Dalam
benak ku terlalu banyak pikiran. Sehingga aku tak bisa berpikir jernih. Hujan
turun tiba-tiba seraya langit menangis untukku. Bintang datang dengan
membawa jaket. Kemudian memakaikannya ke aku.
Dia terlihat repot sendiri di ruang sebelah. Banyak hal dalam pikiranku,
membuatku tidak bisa berpikir. Suara hujan yang deras, seperti suara
keramaian. Tiba –tiba muncul gelas dihadapanku. “ini seadanya yang bisa
ku buat, minumlah ini bisa menghangatkanmu” Kata Bintang sambil
menyodorkan gelas. Aku menyentuh gelas itu, terasa hangat. Dari baunya
tercium bau khas teh merah. Bintang menatapku yang hanya
menggenggam gelas hangat itu. “Kau tidak menyukai tehnya?” Tanya
Bintang padaku. “Tidak, aku menyukainya. Terima kasih, Bintang.”, aku
menjawabnya dengan senyuman.
Segelas teh hangat buah tangan dari Bintang sejenak menenangkan
pikiran kacauku. Kami berdua hanya terdiam, menikmati suara hujan
dengan segelas teh hangat. Tiba- tiba terlintas di pikiranku, bagaimana
hubungan kami setelah semua ini berakhir? Saat semua kembali pada
kehidupan biasanya? Apakah Gilang dan Bintang akan berubah? Apakah
perasaanku pada Bintang akan seperti ini saja?. Namun satu minggu yang
tersisa ini harus aku manfaatkan dengan sebaik- baiknya. Selalu ingat tujuan
awal aku berada di sini untuk pengabdianku pada negri. Hingga akhirnya
hujan pun reda, bumi pun semakin gelap. Kami pun memutuskan
meninggalkan klinik.
27
Sesampai di rumah aku langsung bebenah diri, mengganti pakaianku
yang sedikit basah oleh air hujan dengan piyama kesayanganku dan
memutuskan untuk segera beristirahat. Berharap semoga esok pagi kembali
ceria dan membawa kebahagiaan.
***
Sinar mentari mulai menyingsingkan sosoknya melewati celah jendela
kamarku yang sengaja kubuka hanya setengahnya. Burung-burung
terdengar berkicauan riang menyapa indahnya pagi hari. Hembusan angin
dan udara dingin sisa hujan kemarin malam seakan mengusap lembut di
pipiku. Mataku kupejamkan dan hidungku mulai menarik udara segar
dalam-dalam kemudian mengeluarkannya lewat mulutku serasa tak ingin
melepaskan segarnya udara di pagi hari.
“Lintaaaaaaaaaanng!!!” terdengar suara sosok yang tak asing
kudengar di luar jendela kamarku, Bintang. Aku yang daritadi sudah terjaga
dan hanya duduk di atas tempat tidur segera menuju jendela kamar.
Membuka lebar daun jendela yang tadi hanya kubuka setengahnya dan
menengok ke arah luar jendela. Bintang memakai kaos putih, celana
training, dan sepatu berdiri dengan tegapnya di depan jendela kamarku.
Kulihat senyumnya yang renyah, sinar matanya yang cerah, sambil
melambaikan tangannya ke arahku, terlihat dia sangat riang sekali pagi ini.
Akupun membalas senyumnya.
“hei pemalas, cepat ganti piyamamu… “ kata bintang
“Mau kemana, sih? Hari ini kan tidak ada jadwal ke klinik,” kataku
sambil mengucek-ngucek mataku yang enggan terbuka.
“Dokter apa kamu ini, tiap hari ngasih konseling menjaga kesehatan
tapi kamu sendiri nggak pernah olahraga.,” Bintang geleng-geleng kepala
melihatku yang masih enggan beranjak dari tempat tidur
Aku hanya mencibir lalu terpaksa bangun dan berjalan ke lemari untuk
ambil baju. Bintang masih berdiri di dekat jendelaku.
“Kamu mau sampai kapan disitu? Aku mau ganti baju nih,” kata
Lintang
28
“Ehh iya...iya,” Bintang malu dan segera pergi dari jendela “Aku
tunggu di depan rumah ya,”
Aku telah siap dengan pakaian olahragaku yang serba pink, kaos pink
dan trainning pink.
Kami berdua berjalan beriringan menuruni bukit. Rumah tempat
tinggalku memang terletak di dataran lebih tinggi daripada rumah tempat
tinggal Bintang.
“Kamu belum jawab pertanyaanku, kita mau kemana?,” aku masih
penasaran
“Olahraga, kan tadi aku udah aku jawab,” jawab Bintang
“Iyaa...tapi kemana? Kan bisa olahraga deket-deket sini aja, ngapain
pake turun bukit segala kan. Diatas pemandangannya lebih bagus dan
udaranya lebih segar,” kataku masih tidak puas
Bintang diam saja, kami sampai di sebuah sekolah dasar satu-satunya
di desa ini. Di halaman depan sekolah telah berkumpul anak-anak SD
berseragam merah putih. Aku masih bingung, tapi kuikuti saja kemana
Bintang melangkah. Kami lalu memasuki halaman SD tersebut.
Dua orang guru menghampiri kami dan menyalami kami satu persatu.
“Silakan dimulai, anak-anak sudah siap dari tadi,”
Ha? Dimulai ngapain? Aku bertanya-tanya dalam hati
Bintang menarik tanganku di tengah lapangan dan berdiri di depan
kumpulan anak-anak SD.
“Adik-adik hari ini kita akan olahraga pagi bersama kakak-kakak ya!
Perkenalkan saya kak Bintang dan sebelah saya ini kak Lintang,” kata
Bintang di depan anak-anak
“Kamu kok nggak ngomongin aku dulu, aku nggak tau nih mau
olahraga apaan,” aku berbisik di sebelah Bintang
“Udahh ikutin aku aja,” Bintang menjawab tanpa menggerakkan
bibirnya, tetap tersenyum di depan anak-anak
29
Anak-anak antusias saat kami ajari olahraga ringan. Walaupun tanpa
persiapan ternyata ingatanku akan senam poco-poco saat aku masih duduk
di bangku sekolah dasar menempel kuat di otakku.
“Enak kan olahraga pagi-pagi gini. Apalagi kalau sambil menebar
kebaikan,” kata Bintang
“Iya sih...tapi seharusnya kamu ngomong dulu dong jadi kan aku
nggak kagok pas di depan tadi,” jawabku
“Kagok gimana, kamu goyangnya aja kayak Inul daratista gitu, jago
banget!,” Bintang mengejekku
“Enak aja...itu senam tau bukan goyang dangdut,” aku tak terima
Tiba-tiba dari saku celana Bintang bergetar-getar. Hp Bintang
berbunyi. Bintang mengeluarkan hp dari sakunya dan melihat siapa
peneleponnya, saat membaca penelepon itu Bintang berubah mimik
wajahnya.
“Aku permisi sebentar ya, kamu tunggu disini saja,” kata Bintang
menjauh dan menerima telepon itu
Aku tau itu Reni, karena sekilas aku melihat nama di layar hp Bintang.
Reni lagi. Mau apa dia menelepon Bintang pagi-pagi begini.
“ada apa Tang?” tanyaku segera setelah Bintang kembali.
“gak ada apa-apa kok.. ayo balik ke rumah, abis itu sarapan.. pasti
enak” ajak Bintang dengan muka yang dipaksakan untuk tersenyum. Dalam
hati aku tahu bahwa sesuatu telah terjadi. Sepanjang perjalanan aku
memperhatikan raut wajah Bintang, ada sesuatu yang mengganjal di
pikirannya. Sebetulnya aku penasaran, tapi… biarkan saja lah..
“Lintaaaaaaaaang.. Bintaaaaaaaang.. dari tadi di cariin ehh..
ternyata malah asik berduaan disini” teriak Gilang saat melihat kami berjalan
menuju rumah tinggalku.
“Ada apa siih Lang? kok heboh banget..” Tanya Bintang kepada
Gilang.
“tau gak? di klinik lagi kacau balau parah banget deh..” kata Gilang
dengan antusias.
30
“ada kebo super gueedeee dan item masuk ke klinik terus makan
semua tanaman di pekarangan klinik, terus juga makan semua persediaan
obat yang baru datang kemarin sore. Gak cuma itu, bangunan klinik bagian
depan hancur total porak-poranda kaya diterpa badai haiyan. Sekarang
warga desa sedang berkumpul disana, sampek sekarang si kebo gak mau
keluar dari klinik.. ayo buruan kesana” ajak Gilang yang tampaknya sedang
menggebu-gebu dan bersemangat untuk mengusir si kerbau dari klinik. Kami
yang mendengarnya hanya bengong, tidak bisa berkata satu patah
katapun.
“lho.. ayo.. kok malah bengong” ajak Gilang sambil menarik tangan
Bintang.
Di depan klinik tampak berkerumun warga desa dengan segala
peralatannya untuk mengeluarkan kerbau dari dalam klinik. Ada yang bawa
cambuk, tali, bahkan ada yang membawa parang. Kami bertiga dengan
sok berani maju ke barisan paling depan dan berpura-pura menawarkan
bantuan kepada Pak Deni yang sedang membujuk si kerbau untuk keluar
dari klinik.
Setelah berusaha sekitar 1 jam, akhirnya si kerbau mau keluar berkat
rumput yang dibawa Gilang dari kandang sapi Pak Deni. Menurut penuturan
warga, kerbau tersebut adalah milik Nenek Sumi yang terlepas. Tapi
anehnya kami tidak melihat sosok Nenek Sumi diantara kerumunan.
“masa sih Nenek Sumi sengaja nglepasin kerbaunya di klinik?” tanyaku
pada Bintang tak percaya.
“udah lah.. jangan su’udzon dulu, siapa tau emang lepas sendiri terus
masuk ke klinik. Kan banyak tu kerbau warga yang dibiarin berkeliaran di
lapangan desa. Sekarang daripada mikir yang enggak-enggak, mending
nemenin aku ke puskesmas induk buat minta obat-obatan lagi.” Ajak Bintang
yang langsung kusambut dengan anggukan pelan.
“moga aja tu kebo gak kenapa-kenapa abis makan obat segitu
banyak” celetuknya lagi sambil cengengesan seolah telah lupa dengan apa
yang membelenggu pikirannya pagi ini.
31
Kami berangkat ke puskesmas induk yang jaraknya 12km dari desa
dengan menumpang sebuah mobil pick up bermuatan sayur milik warga
desa. Aku memperhatikan Bintang. Dia diam saja sejak awal perjalanan.
Sepertinya banyak sekali yang sedang dia pikirkan. Kira-kira apa ya yang
ada di pikirannya?
“Lintang.. aku mau cerita sesuatu” kata Bintang tiba-tiba memecah
keheningan dan dengan wajah yang serius, ia menarik nafas panjang lalu
dihembuskan.
“sebetulnya Reni........” ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit... tiba-tiba mobil berhenti
mendadak.
“hati-hati pak nyetirnya, ada apaan sih kok ngerem mendadak gitu?”
teriakku dari belakang pada pak supir pick up yang menumpangi aku dan
Bintang.
“maaf neng, tiba-tiba ada kucing nyebrang jalan barusan” jawab pak
supir.
“Bintang, kamu tadi mau ngomong apa? Emm.. Memangnya siapa
Reni itu?” tanyaku dengan wajah penasaran pada Bintang.
Wajah Bintang kembali terlihat serius, dan tampak ingin mengatakan
sesuatu padaku.
“kamu ingat tidak waktu aku tanya, kenapa aku ingin menjadi dokter?
Dan aku menjawab karena Reni aku ingin menjadi seorang dokter?” kata
Bintang sambil menatapku dengan wajah mimik wajah seriusnya.
“iya aku ingat.. lalu, siapa sebenarnya Reni itu?” tanyaku semakin
penasaran.
“sebenarnya Reni itu adikku, aku sangat sayang sama dia bahkan aku
mungkin tidak akan jadi seperti ini kalau bukan karena dia dan kamu.”
Jawab Bintang dengan nada pelan.
“Aku??” Tanyaku kaget dengan wajah melongo.
“iya. Kamu.” Sambil tersenyum gemes dan mencet hidungku yang
selalu di bilang pesek.
32
Sepanjang perjalanan Bintang menceritakan banyak hal kepadaku.
Ternyata Reni adalah satu-satunya keluarga yang di miliki Bintang selain
tante dan om mereka yang ada di Surabaya. Bintang dan Reni memang
terpisah jauh saat ini. Namun perhatian Bintang kepada Reni tidak pernah
berubah. Selisih umur Bintang dan Reni memang beda cukup jauh, 6 tahun.
Saat Bintang duduk di kelas 1 SMA di salah satu sekolah terbaik di Surabaya,
sedangkan Reni duduk di bangku kelas 4 SD. Banyak cobaan yang dihadapi
oleh keluarganya. Saat itu Reni di vonis terkena kanker mata oleh dokter.
Sehingga kedua orang tua Bintang dan Reni bekerja keras untuk mencari
biaya untuk pengobatan Reni.
Beberapa waktu setelah pengobatan Reni berjalan tiba-tiba ada
kabar buruk, kedua orang tua Bintang dan Reni kecelakaan dan nyawanya
tidak terselamatkan. Sehingga hanya peninggalan orang tua mereka yang
mereka gunakan untuk pengobatan dan kemoterapi Reni yang terakhir. Reni
memang gadis yang kuat, dengan kasih sayang kakaknya, Bintang, serta
semangat ingin sembuh dari dirinya akhirnya Reni bisa sembuh dari penyakit
ganas tersebut. Sejak saat itulah Bintang bertekad dan bercita-cita untuk
menjadi dokter.
“jadi begitu ceritanya, udah gak cemburu lagi kan?” kata Bintang
sambil mengeceku.
“ yeee.. kamu ngece deh! Lalu kalau aku?? Tanyaku masih penasaran
dengan ucapan Bintang tadi.
“mas,, neng,, ini udah sampai di puskesmas induk.” teriak pak supir.
“(aduhh,, kok uda nyampe aja sih. Semoga nanti Bintang tidak lupa
menjawab pertanyaanku barusan)” kataku dalam hati.
“baik pak, kami akan turun” sahut Bintang menjawab pak supir.
“Lintang, yuk cepat turun kita udah sampe jangan melamun aja” kata
Bintang meledekku sambil mengulurkan tangannya padaku.
Kita pun turun dari pick up sayur itu dan tidak lupa mgucapkan terima
kasih kepada pak supir yang sudah baik menumpangi kita tersebut.
33
“yuk cepat kita ambil obatnya” ajak Bintang sambil tetap
menggenggam erat tanganku.
Setelah kita memasuki pintu puskesmas, kita langsung menuju tempat
pembelian obat. Kita beli semua obat-obat yang diperlukan. Setelah itu aku
masih penasaran dengan jawaban Bintang, apakah dia masih ingat yahh...
aku tidak berani kalo harus menanyakan untuk kedua kalinya, harusnya
kesadaran dari dia sendiri.
***
Di malam yang bertaburan bintang di langit desa Ampat yang
tenang, Gilang duduk terpaku diatas bukit, memandangi indahnya bintang
sambil melamun dan memikirkan sesuatu, sampai suatu ketika terdengar
suara seseorang yang berteriak sambil menangis yang membuyarkan
lamunannya “Tolong,,,,,, dokter tolong,,,,,”. Terlihat sosok seorang laki – laki
muda yang datang menghampirinya dengan tetesan air mata di pipinya
“Dok, tolong nenek saya, nenek saya nggak bisa berdiri, kepalanya pusing
terus, terus sekarang dia muntah darah. Saya harus gimana dok, tolong
nenek saya,,,,”. Laki – laki muda itu adalah cucu nenek Sumi. Dalam hati
Gilang ia ingin berteriak dan berkata “ Untuk apa aku menolongnya,
sedangkan dia sendiri ingin mengusir semua dokter yang ada disini”, tapi
kemudian Gilang sadar akan tugasnya untuk menolong orang lain siapapun
dia. Akhirnya Gilang beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju
rumah nenek Sumi dengan didampingi cucunya.
Sesampainya di rumah nenek Sumi, Gilang mlihat nenek Sumi terkapar
di samping kamar mandi dengan sisa darah di mulutnya. Gilang langsung
sigap mengangkat tubuh nenek Sumi ke tempat tidur dan memeriksanya.
Selagi memeriksa, Gilang bertanya kepanya cucunya nenek Sumi terkait
riwayat penyakit yang pernah diderita. Akan tetapi cucunya tidak
menjawab apa – apa, dia terlihat bingung dan gelisah. Gilang memberikan
pertolongan pertama pada nenek Sumi, ketika keadaan nenek Sumi mulai
stabil, Gilang mengajak cucu nenek Sumi untuk berbicara di halaman
rumah.
34
“Mungkin kamu sudah tahu banyak tentang kami, yang jadi trending
topic ketika kami ada disini, tapi sampai saat ini aku belum tahu siapa
namamu, jadi tolong ceritakan siapa dirimu, hubungannmu dengan nenek
Sumi dan kenapa kamu bisa tidak tahu riwayat penyakit yang diderita
nenekmu sendiri” tanya Gilang dengan tegas. “Namaku Aldi, aku asli
Malang, dulu aku adalah anak jalanan yang selalu tidur di emperan toko,
sakit dan kematian adalah sahabat yang selalu dekat dengan kami. Sampai
suatu ketika hujan turun dengan derasnya, aku menggigil kedinginan di jalan
dan pingsan, dan ketika aku sadar aku berada di sebuah rumah yang
mewah. Dan ketika aku berada disana, aku bertemu dengan tante Winda
yang ternyata anak dari nenek Sumi, orang yang menyelamatkanku dari
kematian.
Semenjak saat itu, aku tinggal di rumah nenek Sumi dengan tante
Winda, tetapi aku penasaran dengan foto yang terpajang di ruang
keluarga, disana ada foto bertiga, yaitu nenek Sumi, tante Winda dan
seorang wanita cantik yang sampai sekarang tidak ku tahu siapa dia. Tante
Winda tidak mau menceritakan apa – apa karena nenek Sumi melarangnya
untuk menceritakan apapun tentang wanita dalam foto itu, sedangkan
nenek Sumi benar – benar tidak mau menceritakan apapun. Ketika tante
winda dipindah tugaskan ke papua kami pindah semua
Beberapa tahun yang lalu kami pindah ke bumi Papua karena tante
Winda dipindah tugaskan ke daerah ini. Dulu, tante Winda pernah sakit
parah seperti ini, dan dia berobat ke puskesmas tempat kakak sekarang
praktek. Dulu disini, dokter tidak pernah dihiraukan, tetapi karena kita dari
kota kita lebih percaya dengan dokter dibandingkan Tetua Adat. Suatu
ketika, keadaan tante Winda sudah memarah, dia tidak mau dibawa ke
Tetua Adat, dia hanya mau ke dokter, dan alhasil tante Winda sembuh, tapi
tiba – tiba tante Winda meninggal. Nenek Sumi menduga kalau dokter
sudah melakukan hal buruk kepada tante Winda, dan ketika dokter ditanya
“apa penyakit tante Winda?” , sang dokter tidak menjawab apa – apa,
akhirnya nenek Sumi dan penduduk mengusir dokter itu.
35
“Jadi karena itu Nenek Sumi benci dokter” (kata Gilang sambil
memanggut – manggutkan kepalanya), tiba – tiba terlintas di pikiran Gilang
“Kalau gitu kita harus check – up semuanya, karena kita sama – sama nggak
tahu riwayat penyakit pasien”. Aldi hanya mengangguk pertanda setuju,
atau mungkin karna dia juga sudah pasrah tak bisa berpikir apa – apa lagi.
Untuk langkah awal, Gilang dan Aldi membawa nenek Sumi ke Puskesmas
untuk keesokan harinya dibawa ke kota. Gilang duduk termenung sambil
menunggu nenek Sumi siuman. Tak lama kemudian nenek Sumi sadar dan
dia kembali meminta pulang dan tidak ingin di puskesmas, Gilang yang tidak
sabaran langsung berucap “Sudah, tenang aja nek, aku nggak akan
mbunuh nenek, nenek pikir aku dokter yang malpraktek dan lalai sama
kewajibanku?” cetusnya setengah emosi. Nenek Sumi langsung diam dan
binggung, kemudian perlahan Gilang menceritakan semua yang Aldi
ceritakan kepadanya.
Nenek Sumi bangkit dari duduknya dan melihat meja kerja Bintang,
mata Nenek Sumi tiba – tiba terbelalak melihat foto keluarga Bintang, tanpa
sadar foto itu terlepas dari genggamannya dan terjatuh. Gilang dengan
sigap mengambil foto keluarga Bintang yang jatuh, “Ada apa Nek?, ini foto
orang tua Bintang, Nenek kenal dengan orang tua Bintang?” tanya Gilang
yang sedang dalam kebingungannya. Nenek Sumi dengan pandangan
kosong membalas pertanyaan Gilang dengan pertanyaan “Kau tahu
dimana orang tua Bintang tinggal?”. Gilang menghembuskan napas
panjang dan berkata “Orang tua Bintang sudah meninggal Nek, ada apa
sebetulnya?”, tanpa menjawab sepatah kata pun, Nenek Sumi hanya
menangis.
“Assalamu’alaikum....” (terdengar suara seseorang masuk ke puskesmas
sambil mengucapkan salam).
“Wa’alaikum salam” (jawab Gilang spontan), Gilang menoleh ke sumber
suara “Bintang? Untung kamu kesini”
36
Bintang mengernyitkan dahi, “Kenapa memangnya kalau aku kesini,
bukannya sekarang memang tugasku yang jaga ya.....”
Gilang mendekati Bintang dan berbisik “Sepertinya Nenek Sumi kenal
dengan orang tuamu, dari tadi dia menangis terus setelah melihat foto
keluargamu”
Pandangan Bintang yang awalnya biasa, berubah menjadi serius, dan
tanpa berkata apa – apa Gilang keluar menuju halaman Puskesmas.
Perlahan, Bintang mendekati Nenek Sumi, ia duduk bersimpuh di
depan Nenek Sumi, dan berkata “Nek, Nenek kenal dengan orang tua ku?”,
Nenek Sumi melihat ke arah Bintang dan memeluknya “Maafin Nenek Nak,
maafin Nenek...”
“Iya, aku sudah maafin semua yang Nenek lakukan kok..” (jawab Bintang
sambil menepuk – nepuk punggung Nenek Sumi)
Nenek Sumi langsung bercerita panjang lebar “Dulu Nenek punya 2 anak,
namanya Santi dan Winda, Santi adalah anak pertama Nenek yang sangat
Nenek sayangi, tapi dia dulu pergi meninggalkan Nenek dan menikah
dengan seorang dokter. Nenek tidak suka dengan dokter itu, karena dia
kurang cukup mampu untuk Santi, tapi Nenek sama sekali tidak menyangka
kalau Santi akan meninggalkan Nenek demi dokter itu. Itulah awal
kebencian Nenek pada dokter. Dan untuk melupakan semua itu, kami
pindah ke Papua ini, ditambah dengan alasan Winda yang dipindah
tugaskan kesini. Dan kau tahu, dulu ada dokter yang dinas di Puskesmas ini,
tapi karena aku benci dengan dokter aku menyuruh Winda untuk ke Tetua
Adat untuk mengobati sakitnya, tapi Winda tidak menghiraukanku, dia tetap
berobat ke Puskesmas ini, sampai suatu saat, keadaannya membaik, tapi
selang beberapa hari setelah itu, dia meninggal, dan dokter tidak bisa
memberi keterangan apa pun, aku menduga kalau dia sudah melakukan
tindakan malpraktek pada Winda, aku dan warga pun mengusirnya dari sini,
37
tapi kenapa? Kenapa kamu juga jadi dokter?” (tanya nenek Sumi sambil
menangis)
“Karena aku punya adik yang terkena kanker mata, orang tuaku mati –
matian bekerja untuk mencari uang untuk pengobatan adikku, sampai
akhirnya dia sembuh, dan itulah yang menjadi alasanku menjadi dokter, aku
ingin mengobati anak – anak yang malang seperti adikku Nek,,,,”
“Santi anak Nenek adalah Ibumu dan kau tahu dokter yang melakukan
malpraktek pada Winda adalah foto seseorang yang ada disamping Santi,
ayahmu yang sudah membunuh tantemu, apa sekarang yang kau lakukan?
Apa?” (teriak Nenek Sumi sambil menangis)
“Nek, dulu kami pernah ke Malang untuk mencari Nenek, tapi Nenek sudah
tidak ada disana, mama pernah cerita kalau mama kabur dari rumah dan
menikah dengan papa tanpa ijin merupakan kesalahan besar, dan setiap
papa mengajak mama untuk ke rumah Nenek, mama selalu menolak
karena belum siap, sampai akhirnya ketika mama sudah menyiapkan dirinya,
kami semua berkunjung ke rumah Nenek yang di Malang, tapi kita tidak
menemukannya. Papa sama sekali tidak tahu Nenek dan tante Winda, dan
kalaupun tahu akupun juga tidak tahu akan hal itu, karena ketika papa diusir
dari tanah Papua, mama datang ke Papua untuk menjemput papa kembali
ke rumah, tapi pesawat mereka mengalami kecelakaan, dan itulah saat aku
dan reni adikku kehilangan orang tuaku” (nada Bintang merendah diakhir
kalimat, karena dia harus mengingat masa – masa yang paling suram dalam
hidupnya, ketika dia harus kehilangan semuanya, dan menjadi kakak yang
bisa menjaga dan melindungi adiknya)
“Tapi ayahmu sudah membunuh anakku ‘Winda’ !” (teriak Nenek Sumi)
“Nek, kami punya kode etik, dimana jika pasien melarang dokter untuk
menceritakan penyakitnya ke siapapun, maka ia tidak boleh
menceritakannya, sampai donter itu mati Nek, sekarang ayo kita cari
38
bersama – sama, pasti rekam medis tante Winda ada disini” (jawab Bintang
menenangkan)
Nenek Sumi beranjak berdiri mengikuti Bintang menuju lemari yang berisi
map – map berwarna kuning untuk mencari nama Winda.
Butiran debu memenuhi map – map yang ada di lemari, Nenek Sumi
dengan keadaannya yang sudah lemah, terbatuk – batuk sampai hampir
pingsan. Melihat hal tersebut, Bintang memegang kedua lengan Nenek Sumi
dari belakang dan mendudukannya di kursi tempatnya praktek. Dengan
seksama dan teliti Bintang mencari rekam medis tante Winda dan.... “Nah,,,,
ketemu !, alhamdulillah,,,,” (senyum Bintang menyeruak seketika). Nenek
Sumi bangkit dari duduknya dan menghampirinya dengan rasa penuh
penasaran “Gimana Nak? Apa? Apa yang diderita Winda? Winda sakit
apa? “, wajah Bintang berubah sedih dan menghela napas panjang. “Nek,
Tante Winda menderita kanker darah, keadaannya sudah sangat parah, dia
sudah stadium akhir, mungkin karena dia tidak ingin Nenek sedih, oleh
karena itu dia meminta Papa untuk merahasiakan penyakitnya.
Nenek Sumi terduduk dan menangis dengan keras, memecah
kesunyian di malam itu. Bintang memeluk Nenek Sumi untuk
menenangkannya. “Allah, tidak pernah memberikan cobaan bagi
hambanya yang tidak mampu Nek, mungkin kenyataan ini memang
menyakitkan, tapi Allah selalu di samping Nenek, tante Winda sengaja
merahasiakan semua ini untuk menjaga perasaan Nenek. Ambil semua
hikmahnya Nek, banyak orang yang sayang sama Nenek, termasuk Allah”
(Bintang mengelus punggung Nenek Sumi sembari memeluknya untuk
menenangkannya).
Tanpa diduga, Gilang tiba – tiba muncul “Lho kok nangis semua? Ada
apa ini? Eh Bintang, tumben kamu nangis bombay segala? Lintang nolak
kamu ya?” (gurau Gilang yang usil). Bintang menghapus air matanya dan
bertanya kepada Gilang “Nenek Sumi dibawa kesini kenapa Lang?”, Gilang
menjawab dengan datar “Sakit lah Tang, masak aku mau pedekate sama
39
Nek Sumi sih...” (sambil senyum usil). Bintang menghela napas panjang “Aku
serius Lang, kenapa?”. Akhirnya Gilang menjawab dengan serius “Aku curiga
kalau Nenek Sumi terkena kanker, tapi aku belum bisa memastikannya,
karena itu masih diagnosa awal, dan cucunya sendiri aku tanyain masalah
riwayat penyakit pasien dan keluarganya, dia kurang tahu”. Bintang
menghela napas panjang dan kemudian melihat ke arah Nenek Sumi.
“Aku rasa tidak perlu pemeriksaan lebih lanjut, aku tahu apa yang aku
derita, dari Winda dan Reni cucuku, aku rasa itu sudah cukup, tidak perlu
banyak diagnosa jika berujung hal yang sama. Aku sudah ikhlas dengan apa
yang harus terjadi padaku”, Nenek Sumi menjawab tatapan Bintang. Tanpa
terasa tetesan air mata membasahi pipi Bintang, Bintang berkata “Kenapa?
Kenapa ketika aku menemukan keluargaku, aku harus kehilangan lagi?, Reni
belum tahu tentang Nenek, dan aku rasa Reni bisa menguatkan Nenek, Reni
bisa sembuh Nek, itu berarti Nenek juga. Aku yang akan berjuang untuk
Nenek, apapun akan kulakukan untuk Nenek” (timpali Bintang).
Nenek Sumi hanya tersenyum dan menjawab “Kau sudah berjuang
sejauh ini, penderitaan yang kau tanggung sudah besar, dan aku sebagai
Nenek yang kurang ajar malah menjatuhkanmu di bumi Papua ini. Sudah
cukup bebanmu, aku ingin menutup mataku disini, aku sudah cukup
bahagia melihat cucuku sekarang sukses dan menjadi orang yang beradap,
ditambah lagi setelah aku mengetahui bahwa Santi ternyata bisa hidup
bahagia. Semua orang melakukan yang terbaik untukku, tapi aku tidak
melakukan apapun untuk mereka. Biarkan aku menutup mataku disini
dengan memori indah ini, memori yang hanya terjadi di tanah Papua. Biar
semua orang tahu, Papua bukan tempat yang mengerikan, tapi Papua
adalah tempat semua kebahagiaan ada. Surga dunia bukan di kota,
melainkan di tanah yang masih suci dan bersih ini, tempat politik dan
kenistaan dunia masih kosong” (jawabnya sambil tersenyum)”.
40
Nenek Sumi memeluk cucunya yang telah lama hilang. Mereka
mengharu biru dalam tangisan yang begitu dalam. Tiba – tiba Lintang
datang,
“hai....... (dengan nada yang tiba – tiba turun dan terhenti melihat semua
yang ada dipandangannya)”.
Gilang dengan sigap, menggandeng tangan Lintang dan membawa keluar
Puskesmas, dengan perlahan tapi pasti, Gilang menceritakan semua yang
terjadi kepada Lintang, Lintang termenung, dan perlahan dia menampaki
kaki, mengintip ke dalam, terpancar raut sedih dan iba yang mendalam
ketika melihat suasana di dalam ruang praktek. Gilang menarik tangan
Lintang dan membawanya ke bukit.
“Eh, ngapain kamu menarikku? Kamu mau bawa aku kemana?” (tanya
Lintang bertubi – tubi)
“Dulu aku pernah membawamu kesini kan? Dan waktu itu aku sangat ingin
mengungkapkan sesuatu, dan ternyata Bintang datang dan mengacaukan
semuanya, jadi sekarang beri aku sedikit waktu untuk mengungkapkan
semuanya”. Suasana menjadi hening sepi, hanya terdengar suara jangkrik
yang meramaikan suasana.
Gilang menghela napas panjang sama menutup mata....
Kemudian dia perlahan membuka matanya.....
Gilang menatap Lintang dengan dalam sambil memegang kedua
tangannya, seketika hati Lintang berdegub kencang, ia sangat takut kalau
Gilang mengungkapkan perasaannya kepada Lintang.
“Aku ingin mengungkapkan sesuatu, selama ini aku hanya bisa
memandangimu dari jauh, dalam hati aku selalu ingin muncul di depanmu
dan menjagamu, tapi aku tidak mampu, aku terlambat, selalu ada Bintang
yang ada di sampingmu, sampai kau tak pernah menyadari kehadiranku”
(kata Gilang penuh dengan perasaan)”
41
Rasa pede bercampur gelisahpun menjadi satu, Lintang bingung menjawab
pernyataan Gilang, dia ingin sekali bilang kalau dia memiliki perasaan pada
Bintang, tapi Lintang sendiri belum yakin akan perasaannya kepada Bintang.
Dalam kebingungan yang luar biasa, Gilang melanjutkan perkataannya,
“Aku selama ini ingin bilang padamu kalau aku......”
“Stop (sela Lintang), aku nggak mau dengar, aku nggak mau menyakitimu,
aku nggak bisa Lang, aku nggak bisa menerimamu.....” (Lintang berkata
sambil menangis)
Wajah Gilang berubah, yang tadinya serius menjadi penuh tawa, Gilang
tertawa terbahak – bahak, Lintang yang melihat hal tersebut menghentikan
tangisnya, wajahnya sangat bingung. Gilang dengan senyum khasnya
memeluk Lintang dengan erat dan berbisik,
“Yang ingin aku katakan bukan ‘AKU SUKA KAMU’ atau ‘AKU CINTA KAMU’
(dengan penekanan yang mendalam), aku hanya ingin bilang, ‘AKU
KAKAKMU, AKU KOMETMU’, Komet yang selalu mengiringi Lintang”
Lintang terkejut, dia melepas pelukan Gilang, menatapnya dengan
seksama, memegang kedua pipi Gilang, kemudian memegang telinganya
dan menariknya.
“Aduh, sakit tahu,” (teriak Gilang dengan sedikit membentak)
Lintang tersenyum dan berkata “Kometku datang lagi, sekarang selalu ada
Komet yang menjaga langkahku, selama ini Kakak kemana? Kenapa kakak
kabur dari rumah? Aku tidak punya pelindung lagi” (kata Lintang sedikit
manja)
“Bukankah ada Bintang disampingmu yang selalu menjagamu, kau tahu
betapa kecewanya aku ketika kamu lebih memilih pergi dengan Bintang
dibandingkan denganku? Trus kemana - mana selalu berdua, aku cemburu
tahu....” (jawab Gilang sedikit sebal)
42
“Kakak cemburu sama Bintang.... hahahahha, kakakku sekarang lucu
banget” (kata Lintang sambil mencubit kedua pipi kakaknya)
“Habisnya, kamu nggak pernah sadar kehadiranku, hanya aku yang tahu
kalau kamu adikmu tapi kamu sendiri nggak pernah sadar, kalau ada
seorang Komet yang mengelilingimu” (jawab Gilang dengan sok manja)
“Kak, kakak belum jawab pertanyaanku, kenapa kakak kabur dan
meninggalkan kami, kami mencari kakak kemana – mana, tapi kita tidak
menemukan kakak, kakak kemana? Kami ke Panti Asuhan tempat asal
kakak, tapi tidak juga menemukan, kakak selama ini tinggal dimana? Dan
mata kakak, kenapa warnanya hitam? Dulu mata kakak coklat dan indah,
bahkan aku sangat iri dengan mata kakak, kenapa sekarang berubah, ada
apa? Apa yang terjadi kak?” (tanya Lintang panjang)
Gilang menghela napas panjang dan bergumam “Bagaimana mau jawab
kalau sebanyak itu”
“Kak, aku serius...” (renggek Lintang)
“Iya, adikku sayang, jadi gini, ayo kita duduk dulu, akan membutuhkan
waktu lama untuk bercerita” (ajak Gilang).
Mereka duduk di bawah langit gelap dengan sinar bulan dan cahaya
bintang di atas bukit desa Ampat Papua. Malam, saat semua rahasia
terungkap dan kebahagiaan tercipta bercampur dengan kesedihan yang
mengungkap kenangan yang ada.
***
“Sampai sekarang aku masih ingat, ketika orang tuamu datang ke Panti
Asuhan bersamamu, kalian berencana mencari anak kecil untuk dijadikan
adik untukmu, tetapi dengan polosnya kamu memilihku untuk menjagamu,
dan merengek sampai menangis agar orang tuamu memilihku. Akhirnya
orang tuamu luluh dan menuruti kehendakmu, dan saat itulah aku berjanji
pada diriku, apapun yang terjadi aku harus menjagamu, walau nyawaku
43
yang harus ku korbankan. Sampai suatu ketika, saat kamu pulang sekolah,
aku terlambat menjemputmu, aku berlari sekuat tenaga, kamu yang
melihatku di seberang jalan melambaikan tangan dan dengan penuh
semangat berlari ke arahku, dan peristiwa itu terjadi....” (suara Gilang
berubah jadi serak)
“Kak, itu salahku, bukan salah kakak, aku yang tidak hati – hati, asal kakak
tahu saat aku bangun dan kakak nggak ada, aku mencari kakak, aku
khawatir dengan kakak” (ucap Lintang sambil menangis dan memegang
lengan Gilang)
“Bagaimanapun, itu salahku. Aku membawamu ke rumah sakit dan
menelepon ayah dan ibu, mereka tidak menyalahkanku akan kejadian itu,
tapi rasa bersalah itu terus menghantuiku, aku tidak bisa menjagamu, orang
yang telah memilihku untuk menjadi kakak, tapi aku tidak bisa menjadi kakak
yang baik untuknya, aku justru menyelakakannya. Oleh karena itu ketika
ayah dan ibu datang ke rumah sakit aku langsung kabur. Aku mengungsi ke
salah satu Panti Asuhan, aku tidak kembali ke Panti Asuhan tempatku dulu,
aku tahu kalian pasti akan mencariku, mungkin kamu nggak tahu, tapi setiap
hari aku selalu mengawasimu, aku menjagamu dari kejauhan, aku tahu
bagaimana sedihnya kamu dan keluargamu ketika aku pergi, terlebih kamu,
aku sudah jarang melihat senyummu yang seindah dulu.”
Gilang menghela napas panjang dna melanjutkan ceritanya....
“Sampai suatu ketika, entah kenapa aku ingin sekali jalan – jalan ke rumah
sakit tempatmu dulu pernah dirawat, di sana aku melihat seorang anak laki –
laki seusia kita menangis di depan pintu operasi, aku menghampirinya dan
bertanya ‘kenapa dia menangis?’, dia bercerita kalau orang tuanya
meninggal dalam kecelakaan, dan sekarang dia tinggal berdua dengan
adiknya, adiknya terkena kanker mata, dan harus segera dioperasi, dia
butuh mata orang lain, sedangkan anak laki – laki itu ingin sekali memberikan
matanya untuk adiknya, tapi dia bingung, jika dia memberikan matanya,
siapa yang akan menjaga adiknya. Bagiku itu adalah jalan yang terbaik
44
untukku, aku memberikan pilihan untuknya, ‘aku mau memberikan mataku
untuk adiknya, asal dia mau menjagamu selamanya’ karena jujur, aku sedikit
takut jika akhirnya kamu menyadari kehadiranku Lintang. Anak itu
menyetujuinya, aku menunjukkan fotomu yang selama ini aku simpan, dan
tanpa pikir panjang, aku langsung menjalani operasi donor mata untuk
adiknya, aku senang ketika aku tahu bahwa adiknya sembuh setelah
menerima mata dariku, dan di saat yang sama, dokter yang saat itu
melakukan operasi mata, memintaku untuk menjadi anaknya, aku bingung,
aku menjawab kalau aku bukan anak yang baik, aku sudah tidak bisa
melihat, tetapi dia bilang seperti ini....
“Aku ingin punya anak yang berhati mulia sepertimu, selama 10 tahun
pernikahan, kami belum dikaruniai seorang anak, dan aku rasa istriku akan
sangat menyukaimu, kamu tidak perlu khawatir dengan matamu, aku bisa
mencarikan mata yang lain untukmu agar kamu bisa melihat lagi”
Gilang melanjutkan ceritanya,,
“Aku menyetujuinya dan ketika saat itu juga, aku harus pergi ke luar negeri
untuk menjalani operasi mata, dan ketika aku kembali ke Indonesia, aku
kehilangan jejak kalian”,
Gilang tiba – tiba tersenyum lebar melihat langit, Lintang memandanginya
dengan penuh tanya dan heran,,,
“Tapi aku sangat bahagia ketika aku melihat namamu di fakultas kedokteran
Universitas Indonesia, dan aku merasa jauh lebih bahagia lagi ketika aku
tahu orang yang aku titipin kamu bisa menjagamu, dan dia selalu bisa
menjadi malaikat penolongmu di saat kamu benar – benar
membutuhkannya”, (Gilang melihat ke arah Lintang dengan senyum
menggoda)
“Kak, maksud kakak apa? Kok ngeliatin akunya kayak gitu?,” (Lintang
mengedip – ngedipkan matanya karena gugup bercampur bingung),
Lintang terdiam sesaat dan kemudian,,,
45
“Jangan – jangan maksud kakak, Bintang, Bintang adalah anak kecil itu, dan
Reni, dia yang mendapat donor mata kakak, iya Kak?” (tanya Lintang
penasaran)
“Yup, bener banget, dan ternyata aku nggak salah milih orang buat jaga
adikku ya,,, buktinya adikku tercinta yang super manja aja bisa sampai jatuh
cinta dibuatnya, hehehehhe” (canda Gilang)
“Udah ngaku aja, kamu suka kan sama Bintang? Nggak usah ditutup –
tutupin, udah ketahuan kok,” (tambah Gilang dengan senyumnya yang
menggoda Lintang)
Lintang hanya tersipu malu, dan kemudian bertanya “Eh, Kak, Kakak ganti
nama ya? Nama Kakak kan Komet kan?” (tanya Lintang polos)
Gilang tertawa terbahak – bahak,,,
“Kak, aku tanya seriusan ini, kok malah ketawa sih...” (kata Lintang sebal)
“Aku tanya, sejak kapan namaku Komet?, dari dulu namanya Gilang sayang
(sambil mengelus rambut Lintang), bukannya yang memberi nama Komet itu
kamu?, kamu yang memanggilku seperti itu agar aku selalu berada di
sampingmu untuk menjagamu, dan sampai sekarang pun aku masih ingin
tetap menjagamu sebagai Kometnya Lintang bukan sebagai pacar Lintang,
jadi kamu nggak perlu khawatir aku akan jatuh cinta padamu, aku hanya
ingin menjadi kakak yang baik untukmu, yang selalu menjagamu”, (senyum
Gilang yang menggoda Lintang) Gilang menyenggol lengan Lintang
“Kakak, jangan diketawain dong, katanya mau menjaga aku, kok malah
ngejek aku terus sih,,,,,(renggek Lintang), tapi iya ya, aku baru ingat kalau
dulu yang ngasih nama Komet itu kan aku, karena seringnya aku memanggil
Kakak dengan Komet, aku sampai lupa nama asli Kakak, hehehhe (tawa
Lintang)...
“Malam ini nge – date sama aku ya...” (tawar Gilang)
46
“Maksudnya? Kan sekarang udah tengah malam Kak ?” (tanya Lintang
dengan polos)
“Iya, ngedate, mulai jam ini, menit ini dan detik ini, disini, dibawah sinar bulan
dan kilauan bintang, dia atas bukit desa Ampat, kamu nge – date sama aku,
kamu ceritain bagaimana kehidupanmu selama aku kehilangan jejakmu,
dan aku akan menceritakan semu tentangku ke kamu sampai besok pagi,
gimana? Setuju nggak?” (tawar Gilang sambil menyenggol lengan Lintang)
“Ok, kapan lagi bisa nge – date sama dokter galak, hehehe” (goda Lintang)
“Sialan kamu, nggak galak tahu, aku tegas, bedakan ya tegas dengan
galak, lagipula yang penting kan aku nggak cerewet kayak kamu“ (goda
Gilang)
“Kakak.....” (renggek Lintang)
Mereka pun tertawa di keheningan malam desa Ampat, sambil bercerita
kehidupan mereka.
***
Mentari pagi datang menyinari bukit desa Ampat, Lintang pun
memicingkan matanya ketika secercah cahaya mulai menghangatkan
wajahnya,,,,
“Lintang, bangun, sudah pagi....” (ucap Gilang)
Lintang terbangun, dan tersadar kalau dia telah tidur di bahu kakak
tercintanya.
“Maaf Kak, berat ya...” (ucap Lintang merasa bersalah sambil memijat –
minjat bahu Gilang)
“Berat sih, tapi untuk Lintang, apa sih yang nggak aku kasih” (goda Gilang)
47
Lintang hanya tersenyum melihat godaan kakaknya, mereka pun bangkit
dan kembali menuju Puskesmas, disana terlihat Bintang yang duduk di
samping tempat tidur Nenek Sumi.
“Assalamu’alaikum”, kata seseorang dari kejauhan...
“Wa’alaikum salam”, jawab Lintang dan Gilang bebarengan
Terlihat sosok seorang gadis cantik berumur sekitar 20 tahun datang ditemani
Kepala Desa.
“Jadi gini, adek ini mau mencari Bintang “ bapak Kepala Desa menunjuk ke
arah gadis itu
“Sepertinya Kakak tidak asing”, kata gadis itu sambil memegang pipi Gilang
Gilang hanya tersenyum ramah, dan gadis itu terkejut sambil melanjutkan
ucapannya “Kakak, kakak yang ngasih mata buat aku kan?” (tanya gadis
itu penuh rasa penasaran)
“Kau terlihat makin cantik dengan mataku, aku rasa memang Allah hanya
menitipkan mata itu kepadaku, tapi itu bukan mata untukku, tapi matamu,”
jawab Gilang dengan senyum
Lintang tersenyum terkikik di sebelah Gilang, Gilang langsung menatap
tajam ke arah Lintang dan berkata
“Hey, Lintang, kenapa kamu? Gangguan jiwa? Apa perlu aku kasih obat anti
depresan?” (ejek Gilang)
“Hehe, habisnya baru pertama kali ngeliat kakakku tercinta jatuh cinta sih,
jadi nggak lihat sikon deh ketawanya,,,” (ejek Lintang), setelah mengatakan
hal tersebut, Lintang langsung lari,,,
“Hey, dasar adik yang tidak berbakti, sini kamu,,” (teriak Gilang dan langsung
mengejar Lintang)
48
Gadis itu hanya tersenyum melihat tingkat kedua adik kakak yang seakan
anak kecil itu, dia masuk ke dalam dan membangunkan Bintang.
“Kak, aku sudah sampai, bangun Kak”, sambil menggoyang – goyangkan
lengan Bintang
Mata Bintang pun terbuka, dengan memicingkan mata dia melihat ke arah
sumber suara, “Reni, kamu sudah sampai? Kok cepet sekali?”
“Aku kangen Kakak” (Reni langsung memeluk Bintang)
“Kakak juga sangat kangen sama kamu tahu, beri salam sama Nenek”,
Bintang membelokkan tubuh Reni ke arah tempat tidur Nenek Sumi.
“Kita belum berani menegaskan diagnosa, di sini alatnya minim, tapi jika
melihat riwayat penyakit, ada kemungkinan seperti itu”, jawab Bintang
menenangkan Reni
“Biarkan aku bicara berdua dengan Nenek, aku akan membangunkannya
setelah ini, Kakak pergi saja, main sama kakak adik di depan,,,” Reni berkata
sambil tersenyum
“Kakak – adik?, jadi Gilang sudah cerita semuanya?”, wajah Bintang tiba –
tiba gelisah
Reni tiba – tiba tersenyum nakal, terkikik dan berkata “Kalau Kakak suka,
katakan sekarang Kak, aku tahu menjaga Kak Lintang adalah amanat dari
Kak Gilang, dengan alasan itu Kakak selalu mengawasi Kak Lintang, Kakakku
adalah orang hebat yang bisa menjagaku dan Kak Lintang, tapi sayangnya
dia terlalu bodoh untuk menyadari rasa cintanya kepada Kak Lintang”,
“Kamu ini ngomong apa sih Ren? Kakak ini Kakakmu, sampai kapanpun
Kakak akan tetap menjagamu dan disampingmu”, jawab Bintang
“Kak, Kakak tahu kan kalau Kak Gilang dan Kak Lintang bukan sedarah?
Mereka bisa saja menikah Kak... katakan sekarang, atau Kakak akan
kehilangan Kak Lintang selamanya,,,”, kata Reni dengan tegas
49
Bintang memandangi Reni, terdiam,,,,, dan akhirnya berkata “Jaga Nenek
sebentar ya,,,”, Bintang menepuk bahu adiknya dan pergi...
***
Senyum kebahagiaan yang terpancar di raut muka Lintang dan
Gilang begitu besar dan tulus, yang tak pernah terlihat sebelumnya. Mereka
saling berlarian mengejar satu sama lain. Melihat hal tersebut, Bintang tak
kuasa menahan air matanya, “Aku sudah kalah” (bisik Bintang dalam hati),
menunduk dan kemudian pergi ke pantai untuk menenangkan pikirannya.
Dan kemudian Reni datang memecahkan keramaian yang ada.
“Kak Lintang, Kak Bintang mana? Nenek nyariin Kak Bintang nih...” (tanya
Reni)
“Hah, Bintang? Dia sama sekali tidak kesini tuh Ren, memangnya tadi dia
kemana?” (tanya Lintang balik)
“Tuh kan,,,,, selalu kok Kak Bintang itu” ,,, (gerutu Reni sendiri), kemudian
menjelaskan “Jadi gini Kak, Kak Bintang itu suka sama Kakak, tapi Kak
Bintang nggak berani bilang kalau Kak Bintang sayang sama Kak Lintang,
terus tadi aku nyuruh Kak Bintang buruan ngungkapin perasaannya ke
Kakak, sebelum semuanya terlambat” (kata Reni sambil melihat ke arah
Gilang)
Lintang diam terpaku, dia begitu kaget sekaligus bahagia ketika dia tahu
bahwa Bintang menyukainya, sampai kemudian,,
“Oh ya, ini Kak,,” Reni memberikan kotak kecil dari kayu yang bentuknya
seakan kotak harta karun
“Apa ini?” (tanya Lintang)
“Itu kumpulan surat yang ditulis Kak Bintang untuk Kakak, Kak Bintang tidak
pernah berani untuk mengungkapkan perasaannya sama Kakak dari dulu,
akhirnya dia selalu menulis surat dan menyimpannya di kotak ini dan
50
berharap suatu saat Kakak bisa membaca semuanya dan tahu seberapa
besar cinta Kak Bintang terhadap Kak Lintang, tapi karena Kak Bintang selalu
ragu untuk memberikan ini kepada Kakak, sampai dia ditugaskan ke tanah
Papua pun tanpa membawa kotak ini, aku sengaja membawa ini karena
menurutku ini adalah saat yang tepat untuk memberikan ini pada Kak
Lintang.” Reni memandangi Lintang dalam dan memberikan senyum
ramahnya kepada Lintang “Oh ya Kak, aku balik ke Nenek dulu ya,”
kemudian berlari menuju kembali ke dalam Puskesmas
“Sekarang, baca semua surat itu baik – baik dan seksama, aku rasa tadi
Bintang kesini dan dia cemburu melihat kita berdua, oleh karena itu dia
langsung pergi tanpa berkata apa – apa, setelah membaca semua surat itu,
cari Bintang dan ungkapkan perasaanmu, aku selalu mendukungmu
Lintang”, Gilang menepuk bahu adiknya, tersenyum dan kemudia menyusul
Reni masuk ke dalam Puskesmas.
Lintang berjalan menuju bukit, dan setelah sampai di bukit, dia duduk
dan melihat ke langit, mengambil napas dan akhirnya memutuskan untuk
membaca surat dalam kotak tersebut. Dari kumpulan tersebut Lintang tahu
betapa besarnya rasa cinta Bintang terhadapnya. Bintang selalu membawa
semua kebutuhan untuk 2 orang, itulah alasan kenapa saat Lintang butuh
pensil ataupun salah map, Bintang selalu ada, karena dia selalu
mengkhawatirkan Lintang dibandingkan dirinya sendiri. Dan disurat terakhir
yang Bintang tulis, dia menuliskan ungkapan perasaan terdalamnya untuk
Lintang,
Dear Lintang
Kau bagai setetes embun yang memberikan kesegaran di pagi hari
Engkau bagai cahaya pelangi yang memberi warna di kehidupan
yang fana ini,
51
Aku mencintaimu setulus hatiku, dan jika kau tanya padaku apa itu
cinta? Seberapa besar cintaku padamu?, Aku akan menjawab seperti
kata Kahlil Gibran
“Cinta memiliki jemari yang sehalus sutera,
Yang kuku - kukunya yang runcing meremas jantung dan
membuat manusia menderita karena duka
Dan cinta adalah sekumpulan duka yang terangkum dalam
pujian doa,
Membumbung ke angkasa bersama harum aroma dupa
Tuhan telah menciptakan pada kalian jiwa bersayap untuk
terbang mengarungi cakrawala cinta kebebasan”
Cinta bisa membuat kita tersenyum ataupun menangis
Cinta adalah titipan dari Tuhan yang diberikan ke umatnya
Aku memang bukan Kahlil Gibran yang pandai merangkai kata – kata
seindah mutiara
Aku bukan pujangga yang pandai bersyair
Tapi aku punya cinta dan jiwaku yang siap aku berikan untukmu
Aku siap menangis untukmu jika kau harus menolak cintaku,
Tapi aku akan tetap tersenyum selama aku masih bisa melihatmu
tersenyum
Walaupun mungkin aku harus mati untuk melihatnya tetap terjaga
Membaca surat itu, Lintang tak kuasa menahan air mata yang membasahi
pipinya, dia membereskan surat – surat Bintang dan pergi ke Pantai, walau
Lintang sendiri begitu yakin Bintang ada disana.
52
***
Deburan ombak menyapu pesisir pantai, terlihat seseorang yang
duduk terpaku memandang jauh ke arah pantai. Lintang datang dengan
senyum kecil dan perlahan duduk disampingnya. Bintang sadar ada
seseorang yang duduk disampingnya, dia menoleh dan berkata,
“Lintang, kenapa kamu ada disini?” (tanya Bintang heran)
“Mau ngembaliin ini,” kata Lintang sambil memberikan kotak kayu yang
diberikan Reni kepadanya
Bintang bingung melihatnya, dia memandangi kotak itu dan kemudian
memandang Lintang,
“Dari mana kamu dapatkan ini?”, tanya Bintang sambil menerima kotak
kayu yang diberikan Lintang
“Aku dapat dari Reni, dia memintaku membacanya”, kata Lintang sambil
memandang deburan ombak yang bergulung meramaikan Pantai
“Apa? Jadi kamu....”, perkataan Bintang terhenti oleh Lintang
“Iya, aku sudah tahu perasaanmu padaku”, kata Lintang sambil menunduk
“Lalu? Jawabannya?”, tanya Bintang ragu
“Sementara ini aku menerimanya,” jawab Lintang sambil memandang
Bintang dengan tegas
“Menerima? Menerima apa? Terus maksudmu sementara apa? Cintaku
padamu tak kan pernah pupus dimakan waktu, lalu kenapa perasaanmu
padaku Cuma sementara?”, tanya Bintang sedikit kecewa
“Habisnya, aku belum mendengar kamu sayang sama aku secara langsung
sih....”, jawab Lintang sambil tersenyum usil,
Bintang menghela napas panjang, melihat wajah Lintang, menggenggam
kedua telapak tangan Bintang, tersenyum dan berkata,,,
53
“Lintangku, Lintang yang menuntun jalannya Bintang, maukah kau
menerimaku sebagai kekasihmu?, aku punya cinta dan jiwa raga yang akan
kuberikan seutuhnya untukmu, untuk menyayangimu dan menjagamu
seumur hidupku”, tanya Bintang penuh harap, matanya bersinar menatap
raut muka Lintang yang begitu tenang
“Maafkan aku, aku tidak bisa menerimamu Bintang,,,” jawab Lintang diakhiri
dengan senyum.
Bintang menelan ludah, menguatkan hatinya dan akhirnya berkata,,,
“Karena kau mencintai Gilang, iya kan?”, tanya Bintang dengan diakhiri
senyum yang terlihat tersiksa.
“Bukan, bukan karena itu, aku tidak mau jadi kekasihmu, karena aku ingin
jadi istrimu, orang yang akan selalu disampingmu, orang yang akan
memilikimu seutuhnya, karena aku begitu egois untuk membagi dirimu
dengan orang lain”, kata Lintang dengan senyum dan tanpa terasa pipinya
tersembur warna merah padam yang membuat kulit putinya terlihat merona.
Bintang tersenyum bahagia, dia memeluk Lintang dan berkata “Setelah
pulang dari tanah Papua, aku akan langsung melamarmu, gimana? Setuju?”
“Iya”, jawab Lintang singkat dan kemudian ia teringat sesuatu dan melepas
pelukan Bintang.
“Eh, tunggu dulu, kamu belum jawab pertanyaanku waktu itu ‘Kenapa kamu
ingin jadi dokter karena aku?’, ayo jawab sekarang, aku harap jawabannya
bukan karena aku memilih jadi dokter”, tanya Lintang sambil menunjukkan
jari telunjuknya ke arah Bintang.
“Percaya diri sekali kamu, hehehehehe, bukan, bukan karena itu kok, aku
ingin jadi dokter agar aku selalu bisa meenjaga orang yang berarti di
hidupku, dan itu adalah kamu”, jawab Bintang
***
54
Hari ini adalah hari terakhir Gilang, Bintang dan Lintang di tanah
Papua, mereka harus kembali ke Jakarta untuk presentasi laporan akhir.
Setelah dibujuk oleh Reni, akhirnya Nenek Sumi mau ikut kembali ke
Surabaya bersama Reni untuk berobat, Aldi juga ikut untuk mendampingi
Nenek Sumi. Gilang, Lintang dan Bintang tidak langsung menuju Jakarta,
melainkan ke Jawa Tengah, Gilang ingin meminta maaf karena dulu telah
kabur dari rumah dan rindu ingin bertemu dengan ayah dan ibu Lintang,
sedangkan Bintang punya tujuan utama yang sangat mulia, yaitu melamar
Lintang.
Papua adalah tempat dimana kebahagiaan tercipta, tempat dimana
aku menemukan Kakakku yang telah lama hilang, tempat dimana aku
menemukan cinta sejatiku, dan tempat dimana aku tahu bagaimana
berkorban dan arti dari sebuah pengorbanan. Cinta adalah titipan dari
Tuhan, dan kita sebagai umatnya wajib menjaga cinta itu, agar tetap suci
dan tetap indah, walau kadang cinta membuat kita menangis, tetaplah
cinta yang mengajarkan kita arti dari kehidupan. Jagalah orang – orang
yang mencintaimu dengan tulus, karena ketulusan hanya dimiliki oleh jiwa –
jiwa yang suci, jiwa yang tidak mungkin mengkhianatimu.
The End
55
Top Related