Budaya (Culture)
• Semua idea, praktik, dan obyek material yang diciptakan manusia untuk menangani masalah kehidupan nyata. – Budaya dipelajari, dimiliki bersama, dan
disebarkan dari satu orang ke orang lain dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
– Budaya adalah hasil konstruksi atau ciptaan dan karena itu itu luwes dan berbeda-beda.
Sumber Budaya• Karena mampu menciptakan budaya,
manusia mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
• Manusia berkembang karena mereka bisa:–Menciptakan simbol-simbol–Membuat alat-perkakas.–Bekerjasama.
“Survival Kit” Budaya• Abstraksi: Kemampuan menciptakan gagasan umum,
atau cara berpikir yang terlepas dari sesuatu yang khusus– Simbol: memungkinkan kita untuk mengklasifikasi pengalaman
dan membuat generalisasi mengenai pengalaman itu.• Kerjasama: Kemampuan menciptakan kehidupan sosial
yang kompleks– Norma: Tata-cara yang diterima secara umum (aturan atau
patokan baku); adat-istiadat (folkways) dan aturan moral (mores);
– Nilai (values): Gagasan kolektif dan kriteria. • Produksi: Membuat dan menggunakan alat dan teknik
yang meningkatkan kemampuan kita untuk memanfaatkan sumberdaya alam.– Buaya material: Hanya manusia makhluk pembuat alat.
Unsur Pembentuk BudayaKEMAMPUAN MANUSIA
Abstraksi Kerjasama Produksi
Unsur Budaya
Idea Norma Budaya Material
KEGIATAN BUDAYA
Bidang keilmuan
Teori Eksperimen Penerapam ilmu kesehatan
Bidang hukum
Nlai Aturan Pengadilan, penjara
Bidang religius
Merumuskan sabda Tuhan sehingga dimengerti manusia
Tatacara Keagamaan
Seni & arsitektur rumah ibadah
Memahami Budaya• Suatu budaya mudah dimengerti kalau:– Anda tidak terlalu dalam terlibat di dalam
budaya itu atau terlalu jauh darinya.• Untuk memahami budaya jangan:–Memandang budaya sendiri secara “taken-for-
granted” dan–Menilai budaya-budaya lain dengan ukuran-
ukuran budaya Anda sendiri (Ethnocentrism)
Mimpi Buruk bernama Orde Baru
• “Nation-building”– Asimilasi → monisme
• “State-building”– Negara intervensionis → merasuk ke lubuk
masyarakat paling dalam
• “Market-creation”– Akumulasi kapital → komodifikasi
“Nation-building”?
• Gagasan awal (ideal)– Bhinneka Tunggal Ika– Multi-kulturalisme
• Praktik (realpolitik)– Asimilasi (mayoritas menyerap sisanya)
• Nalar– Keharusan struktural mendukung akumulasi
kapital
Menciptakan Satu Identitas
Asimilasi?(Etnik mayoritas menyerap minoritas)
ATAU
Multi-kulturalisme (“Bhineka Tunggal Ika”)?
(Masing-2 kelompok etnik berkembang, tetapi diikat oleh ideologi yang sama atau “common denominator”)
Modernisasionis = Monistik• Demokrasi tidak mungkin tumbuh tanpa wadah
“nation-state”– Nation-building demi identitas nasional tunggal
mengatasi identitas ”primordial.”– Modernisasi kultur politik → sekularisasi– Pembangunan ekonomi → pasar tunggal
• Multi-kulturalisme mengganggu modernisasi politik (demokrasi)– “Nation-building” Eropa (abad 16-17) dilakukan dg
penghapusan perbedaan (“ethnic cleansing”)
Asimilasi Kultural
13
MONISMEKULTURAL
TEORI“MELTING-POT”
Kelompok-2 kecil diserap oleh kelompok terbesar
Multi-kulturalisme
14
PLURALISMEKULTURAL
Berbagai kelompok mempertahankan identitasnya.Dalam berpolitik, semuanya menjadi Indonesia
15
Multikulturalisme dalam Politik
• Mensyaratkan: 1. Pengakuan tentang makna penting kultur bagi
penerapakan hak individual.2. Perlindungan terhadap berbagai konsepsi
mengenai apa yang baik bagi individu maupun bagi kelompok.
the politics of recognition and difference
17
Indonesia ≠ Melting Pot• Indonesia bukan campuran antara berbagai
jenis orang melebur dalam satu kultur baru.• Indonesia = Multikulturalis. – “Melting pot” = asimilasi yang dipaksakan.
Berbagai kelompok etnik di Indonesia tidak di “Jawa”-kan. Masing-2 secara kultural otonom.
– Masyarakat Indonesia pada kenyataannya berbeda-beda, multi-etnik, multi-kultural.
– Karena itu, berbagai kelompok etnik atau komunitas kultural mesti dipertahankan tanpa memaksakan menjadi satu kultur.
18
Multikulturalisme
• Menghargai keanekaragaman etnik dan ras.• Mengakui bahwa semua kultur memiliki
nilai setara.• Mendorong munculnya kebanggaan atau
kepercayaan-diri (self-esteem) dan keberhasilan ekonomi.
“Political Civility”: Ideal • Tiga nilai: kebebasan, kesetaraan dan toleransi.
Penjamin anggota masy majemuk berinteraksi tanpa dominasi politik (Hefner, 1998:10).
• Dalam komunitas spt itu orang terlibat aktif dalam kegiatan kemasyarakatan & bersemangat publik ("civic engagement"); saling berinteraksi sebagai warga yang setara, dengan hak dan kewajiban yang sama; saling membantu, saling-menghormati, saling-percaya, setia-kawan, dan saling-toleran; dan menggiatkan asosiasi atau perkumpulan kemasyarakatan (Putnam, 1993: 87-90).
Politik Identitas: Realpolitik
• Identitas penduduk semakin beragam; masing2 berhak representasi politik
• Muncul kelompok identitas. Keanggotaan berdasar “social marker” (ras, etnisitas, kelas, sex, dsb.). Ada yg dipilih sendiri, ada yg akibat sosialisasi atau bawaan.
• Perlu penanganan dg “multi-kulturalisme”• Multi-kulturalisme hanya berhasil kalau disertai dg
toleransi pd perbedaan• Demokrat tidak bisa hindari persoalan ini.
Makna kelompok identitas
• Keterikatan pada tradisi, bahasa dan bentuk2 kultural lain = aspek penting eksistensi sosial. Ada yg bersedia mati untuk itu.
• Kelompok tertindas perlu jaminan perwakilan agar suara didengar. Kebijakan yg adil perlu partisipasi & keterlibatan semua kelompok. Ini hanya mungkin dg perlakuan khusus.
Empat kelompok identitas
• Kelompok kultur• Asosiasi sukarela• Kelompok askriptif– Berdasar “unchosen social marker” (gender,
warna kulit, etnisitas, difable)
• Kelompok keagamaan
Masyarakat “aseli”• Paling dirugikan karena– Tidak dilibatkan dlm proses kebijakan– Jumlah sedikit– Secara kultural sangat berbeda dari kelompok
mayoritas– Terisolasi secara geografik– Ekologi rentan– Hidup bertentangan dg modernitas
Masyarakat “aseli” (2)
• Identitas kultural + ketimpangan = resep untuk konflik
• Bgmn mengurangi “pengucilan politik”?• Bgmn lindungi hak mereka?• Bgmn tanggapi retorika intoleransi kultural &
“anti-asing” mereka tanpa melanggar hak mereka bersuara dan mempertahankan tradisi?
Perlu kebijakan publik
• Penyediaan sumberdaya publik agar mereka bisa mengorganisasi diri
• Agar mereka bisa mengusulkan kebijakan• Wewenang utk veto kebijakan yg langsung
mengenaikelompok. Misal: “hak reproduksi bagi perempuan.”
Beri kesempatan pada kelompok identitas yg dukung demokrasi (1)
• Karena kehidupan asosiasional dlm demokrasi liberal: atomistik, “interest-oriented”, “homogenizing universalist” tidak peka kultur.
• Politik identitas (“pol of difference”) akui perbedaan, komunitas & peka kultur.
• Pol of difference: Perlindungan kultur lokal dari ancaman globalisasi.
Beri kesempatan pada kelompok identitas yg dukung demokrasi (2)
• Kelompok yang mana?– Yang anggotanya bebas memilih– Tidak melanggar keadilan
• Problem– Kelompok identitas yg “beruntung” tidak bersedia
menantang “status quo.” Mereka justru melanggengkan struktur ketimpangan & melindungi posisi mereka sendiri.
Tantangan bagi pejuang demokrasi
• Bukan hanya merumuskan landasan bagi kesepakatan rasional
• TETAPI• Mengembangkan institusi2 yg secara aktif
mengelola konflik dan antagonisme yang menyertai perbedaan, terutama konflik berbasis identitas.
Format demokrasi apa?
• Demokrasi perwakilan dg system pemilihan berdasar “satu-orang-satu-suara” dalam masyarakat multi-etnik lebih menguntungkan mayoritas karena jumlah mereka.
• Apa yang bisa dilakukan?– Membatasi kekuasaan legislasi pusat, yang didominasi kaum
mayoritas, dengan cara memindahkan sejumlah kekuasaan kepada badan-badan regional (Otonomi Daerah);
– “Checks and balances” di tingkat pusat demi menjamin hak minoritas. (Berbagai cara “power-sharing” di tingkat pusat seperti “Consociationalism”).
– Atau kombinasi diantara kedua metode ini.
Empat “Isme”CITA-CITA NILAI MEKANISME
KAPITAL-ISME
Akumulasi kapital
Solidaritas cari-untung
Trans- (supra-) nasional
NASIONAL-ISME
Penguatan & integritas negara-bangsa
Ikatan patriotik Nasional
NATIV-ISME
Integritas & kelestarian etnik/daerah
Persaudaraan dalam darah/daerah
Sub-nasional (“Ethno-politics”)
KONFESSIONALISME
Integritas & keselamatan ummat
Persaudaraan dalam iman
Trans-nasional (“Confessional politics”)
Mengapa “Confessional Politics”?• Pola umum pasca-Perang Dingin.– Kebangkitan kembali politik berbasis agama.
Lembaga agama terbukti efektif sbg kerangka kerjasama membentuk koalisi politik.
– Revitalisasi identitas politik berdasar agama.• Menjadi semakin merebak ketika terjadi
gelombang liberalisasi & demokratisasi.• Tidak jadi soal asal berlangsung dalam
kerangka “civil society” yang demokratik.
“Confessional Politics” = Otoriterisme?
• Apakah akan berkembang menjadi patologis atau tidak tergantung pada pengelola negara. o Pemerintah yang ambil inisiatif mem-fasilitasi
perkembangan civil society yang sehat umumnya berhasil hindarkan perpolitikan konfessional yang menghancurkan demokrasi.
o Yang tidak melakukan itu mendapati perpolitikan konfessional yang mendorong otoriterisme.
Sementara itu, pemerintah nasional hadapi tantangan dari dua arah,
trans-nasional dan lokal• Di satu sisi, pemerintah harus menanggapi
tantangan “globalisasi” (utk me-fasilitasi akumulasi kapital) dg akibat sebagian wewenangnya diserahkan pada lembaga internasional.
• Di sisi lain, pemerintah juga harus berbagi kekuasaan dengan pemerintah-pemerintah di bawahnya (”desentralisasi”).
Kemerosotan kapasitas pemerintah
• Akibatnya, kapasitas pemerintah membuat keputusan secara otonom merosot, justru ketika perannya sangat diperlukan untuk menggerakkan pembaharuan.
• Ini berdampak pada penurunan tingkat kepercayaan warga thd kemampuan pem menjamin implementasi amar konstitusi.
• Sebaliknya, daya tarik “isme-isme”lain meningkat.
Top Related