MENGATASI RISIKO BELAJAR DARI RUMAH
elajar dari Rumah (BDR) merupakan salah satu kebijakan yang harus diambil untuk mencegah perluasan pandemi COVID-19. Bukan hanya di Indonesia, hampir semua negara yang terdampak juga mengambil langkah yang sama. Untuk mendukung pelaksanaan BDR, Kemendikbud telah mengeluarkan berbagai
inisiatif kebijakan seperti Surat Edaran Mendikbud No. 4/2020, Surat Edaran Sekretaris Jenderal No. 15/2020, Permendikbud No. 19/2020 tentang perubahan Juknis BOS, program Belajar dari Rumah TVRI, dan laman guruberbagi.kemdikbud.go.id.
Pada bulan April dan Mei 2020, Pusat Penelitian Kebijakan melakukan survei terhadap kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua untuk merekam proses pelaksanaan BDR di lapangan. Survei tersebut di antaranya menemukan bahwa terjadi proses adaptasi dari ekosistem pendidikan terhadap cara-cara baru mengelola sekolah dan melakukan pembelajaran dalam situasi darurat tersebut (Puslitjak, 2020). Namun, selain terjadinya proses adaptasi, survei juga menemukan berbagai masalah yang harus diwaspadai dalam pelaksanaan BDR.
Tiga masalah penting yang diulas dalam risalah kebijakan ini adalah menurunnya intensitas belajar mengajar, kesenjangan pembelajaran, dan munculnya berbagai hambatan pembelajaran baik fisik maupun psikis. Berbagai masalah tersebut jika tidak ditangani berisiko jangka panjang pada hilangnya pengalaman belajar, menurunnya kemampuan belajar, meningkatnya kesenjangan akses dan mutu pembelajaran, serta ancaman putus sekolah. Selain menguraikan berbagai persoalan tersebut, risalah kebijakan ini juga akan merekomendasikan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengatasinya.
B
Dengan belajar dari rumah, baik siswa maupun guru memiliki pengalaman belajar yang berbeda dibandingkan sebelumnya, baik dari sisi rutinitas maupun intensitas. Dari sisi rutinitas, banyak siswa tidak setiap hari belajar dari rumah. Umumnya siswa belajar 2-4 hari seminggu, khususnya siswa pada tingkat SMP, SMA, dan SMK. Sedangkan sebagian besar siswa SD masih belajar setiap hari. Siswa SMK merupakan yang paling rentan karena hampir 20% dari mereka melakukan pembelajaran seminggu sekali atau tidak menentu. Hal ini terutama karena siswa SMK membutuhkan kegiatan praktik yang sarananya ada di sekolah.
MENURUNNYA INTENSITAS BELAJAR MENGAJAR
11
Sementara itu, dari sisi intensitas belajar, BDR menurunkan jam belajar siswa secara signifikan. Jika dilihat per jenjang, perbandingannya sama dengan situasi normal di mana siswa SMA memiliki paling banyak waktu belajar. 24% siswa SMA belajar 5 jam atau lebih atau mendekati waktu normal. Namun sebagian besar mereka tetap kehilangan cukup banyak waktu karena belajar kurang dari itu. Sedangkan siswa SD dan SMP sekitar 70% dari mereka belajar kurang dari 3 jam dalam sehari, di mana dalam keadaan normal mereka rata-rata menghabiskan waktu 5-6 jam di sekolah.
Selain pada siswa, intensitas pembelajaran guru juga menurun. Jika dalam kondisi normal guru biasanya melakukan 24 jam tatap muka (1 jam = 45 menit) per minggu untuk berinteraksi dengan siswa dalam pembelajaran, maka selama BDR ini rata-rata guru hanya menghabiskan separuhnya, yaitu 12,4 jam pelajaran seminggu. Jika dikonversi ke dalam jam reguler (1 jam = 60 menit), maka setiap guru rata-rata menghabiskan 9,3 jam per minggu atau 1,8 jam per hari. Tidak ada selisih signifikan dalam lama berinteraksi antara guru pada tiap-tiap jenis satuan pendidikan, namun guru SD mengajar sedikit lebih lama dibandingkan guru-guru lainnya. Hal ini wajar karena guru SD umumnya guru kelas yang mengampu hampir semua mata pelajaran.
Proporsi Siswa menurut Frekuensi Belajar dalam Seminggu
Proporsi Siswa menurut Lama Belajar dalam Sehari
0 20 40 60 80 100
60,4%
36,2%
37,6%
31,9%
44,2%
48,6% 11,5% 8,0%
6,4% 11,8%
46,8% 11,4% 5,6%
4,8%4,3%30,5%SD
SMP
SMA
SMK
Setiap Hari 2-4 Hari Seminggu Seminggu Sekali Tidak Tentu
0 20 40 60 80 100
SD
SMP
SMA
SMK
Kurang dari 1 Jam 1-2 Jam 3-4 Jam 5-6 Jam Lebih dari 6 Jam
1,5%
1,8%
6,7%
4,8%9,0%25,7%46,3%14,2%
17,7%25,9%39,1%10,6%
6,0%22,0%52,9%17,3%
5,1%20,1%58,1%15,2%
2
(n=38.055 siswa)
(n=38.055 siswa)
KESENJANGAN DALAM PEMBELAJARAN
Berkurangnya intensitas belajar mengajar ini tentu sangat riskan bagi siswa karena dapat membuat siswa kehilangan pengalaman dan kemampuan belajar. Pada jangka panjang dan pada kelompok tertentu hal ini juga dapat meningkatkan potensi putus sekolah.
Pengalaman belajar yang bermakna juga ditentukan oleh cara-cara belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan siswa. Ada berbagai cara belajar yang ditempuh oleh siswa, baik yang bersifat mandiri maupun belajar dengan guru. Selama BDR cara belajar sebagian besar siswa masih sangat tergantung kepada guru. Sayangnya, sebagian besar pembelajaran yang dilakukan tidak bersifat interaktif karena para siswa hanya mengerjakan soal-soal yang diberikan guru. Pembelajaran yang melibatkan interaksi aktif antara siswa dan guru, baik secara langsung maupun virtual, tidak banyak dilakukan.
Rata-rata Lama Guru Berinteraksi dengan Siswa per MInggu
Sekolah Menengah Atas(SMA)
Sekolah Menengah Kejuruan(SMK)
9,1Rata-rata jam/minggu
9,1Rata-rata jam/minggu
Sekolah Dasar (SD)
Sekolah Menengah Pertama(SMP)
10,2Rata-rata jam/minggu
8,9Rata-rata jam/minggu
0% 20% 30% 50% 70% 90%10% 40% 60% 80% 100%
Daerah TertinggalBukan Daerah Tertinggal
Mengerjakan soal - soal dari guru
Belajar dari sumber belajar digital lainnya
Belajar dari buku teks pelajaran
Belajar interaktif bersama guru secara daring
Belajar dari TV
Belajar dari aplikasi sumber belajar daring
Membuat proyek sederhana/ kreativitas
Belajar dari buku-buku pengayaan
Belajar dari radio
3
(n=1.067 guru)
Cara-cara Siswa Belajar menurut Wilayah (n=38.055 siswa)
Cara-cara belajar yang kurang optimal ini diperparah oleh kesenjangan antar wilayah. Siswa-siswa di daerah tertinggal umumnya lebih sedikit menggunakan opsi-opsi cara belajar yang ada dibandingkan siswa bukan di daerah tertinggal. Hal ini terutama terjadi pada aktivitas pembelajaran yang menggunakan perangkat digital atau jaringan internet karena kesenjangan akses digital (Puslitjak, 2020). Itulah mengapa, ketergantungan siswa di daerah tertinggal kepada buku cetak sebagai sumber belajar sangat tinggi (64% untuk buku pelajaran, dan 15% untuk buku pengayaan), melebihi siswa bukan di daerah tertinggal (42% dan 11%).
Kesenjangan pembelajaran antara siswa di daerah tertinggal dan tidak tertinggal juga terlihat dalam hal bagaimana siswa dan guru berinteraksi untuk belajar. Berbagai sarana komunikasi digital seperti media sosial, aplikasi kelas online, email, dan aplikasi konferensi video lebih banyak dinikmati oleh siswa non-daerah tertinggal. Sementara siswa-siswa di daerah tertinggal lebih banyak menggunakan sarana yang lebih konvensional seperti telpon/SMS, pesan berantai antar teman, atau kunjungan langsung dari rumah ke rumah.
Pada daerah-daerah tertinggal, kunjungan dari rumah ke rumah diakui oleh guru sangat penting untuk memastikan para siswa tetap belajar. Para guru khawatir jika para siswa terlalu lama tidak terikat pada pembelajaran rutin, mereka rentan putus sekolah. Di Provinsi Papua dan Papua Barat, misalnya, ancaman putus sekolah ini terutama terjadi pada anak-anak di sekolah berasrama yang banyak di sana. Sekolah-sekolah tersebut memulangkan para siswanya saat BDR dan tidak dapat lagi memantau belajar mereka karena kendala jarak dan sarana komunikasi.
Media Interaksi Siswa dan Guru menurut Kategori Wilayah
“Meski sekolah belajar dari rumah, namun guru tetap memberikan pelajaran dengan mendatangi rumah siswa. Para guru khawatir siswa tidak kembali
bersekolah apabila cukup lama tidak ada kegiatan belajar aktif ”
(Kepala SD Inpres 16 Kalobo, Raja Ampat, Papua Barat)
100%
Media Sosial Kelas online(LMS)
Email VideoConference
Pesanberantai
Telepon/SMS Kunjunganlangsung
80%
60%
40%
20%
0%
Daerah tertinggal Bukan daerah tertinggal
4
(n=38.055 siswa)
Bagi guru, siswa, dan orang tua yang telah terbiasa dengan sistem pembelajaran tatap muka di sekolah, pembelajaran jarak jauh dari rumah tentu tak luput dari berbagai hambatan. Hambatan-hambatan itu dapat dikelompokkan menjadi empat: fasilitas, kapasitas, komunikasi, dan psikologi. Keempat hambatan ini diakui baik oleh guru,siswa maupun orang tua sebagai hambatan-hambatan utama BDR.
HAMBATAN-HAMBATAN PEMBELAJARAN
Hambatan-hambatan Utama Guru, Siswa, dan Orang Tua selama BDR
Kurang konsentrasi
Komunikasi dengan guru
Rasa bosan
Jaringan/kuota internet
Komunikasi dengan teman
Memahami Pelajaran Anak
Kelelahan
Jaringan/Kuota Internet
Komunikasi dengan Guru
Kurang Konsentrasi
Hambatan Guru Hambatan Siswa Hambatan Orang Tua
Jaringan/Kuota Internet
Sulit amati perkembangan siswa
Komunikasi dengan orang tua
Kemampuan TIK
Kurang kosentrasi
52%
52%
47%
39%
24%
36%
33%
29%
28%
28%
69%
68%
31%
28%
27%
5
Hambatan fasilitas terutama menyangkut akses pada jaringan atau kuota internet dan dirasakan oleh ketiga aktor pendidikan tersebut. Namun, sebagian besar guru meletakkannya sebagai hambatan nomor wahid. Sementara itu, hambatan kapasitas muncul pada orang tua yaitu menyangkut kemampuan memahami pelajaran, dan pada guru yaitu kemampuan mengamati perkembangan siswa serta kemampuan TIK. Sedangkan hambatan komunikasi dirasakan oleh ketiga belah pihak. Isu komunikasi di sini menyangkut komunikasi antara guru-orang tua, guru-siswa, dan siswa-siswa. Patut dicatat bahwa siswa bukan hanya merasa perlu berinteraksi dengan guru dalam belajar, namun juga dengan sesama mereka.
Hambatan yang juga perlu digarisbawahi dalam BDR adalah hambatan psikologis. Ini merupakan keluhan yang banyak muncul seperti halnya hambatan komunikasi. Hambatan psikologis terkait dengan konsentrasi (guru, orang tua, dan siswa), rasa bosan (siswa), dan kelelahan psikis (orang tua). Konsentrasi adalah masalah umum karena distraksi belajar di rumah sangat tinggi mengingat rumah tidak dirancang sebagai tempat belajar mengajar. Selain itu, rasa bosan dialami oleh hampir separuh siswa (47%) karena energi aktif mereka tidak tersalurkan selama BDR. Hal ini diperkuat oleh persepsi sebagian besar siswa (67,5%) yang tidak senang dengan BDR. Sementara itu, 33% orang tua secara rata-rata mengaku mengalami kelelahan luar biasa (burnout), terutama orang tua siswa SD (yang paling terlibat aktif dalam pembelajaran anak-anak mereka (Puslitjak, 2020).
39%0%
50%
28% 23% 27%
62,5%37,5%
SD SMP SMA
Proporsi Orang Tua yang Mengalami Kelelahan (Burnout) menurut Jenis Pendidikan Anak
Persepsi Siswa tentang BDR
SMK Senang Tidak Senang
6
(n=41.082 orang tua)(n=38.054 siswa)
Saat ini, BDR merupakan pilihan yang dapat diambil oleh pemerintah untuk menghindari risiko penularan COVID-19. Namun, sebagai opsi kebijakan di masa darurat, BDR tentunya bukan tanpa risiko. Fakta-fakta tentang berkurangnya intensitas belajar, kesenjangan pembelajaran, dan berbagai hambatan pembelajaran yang dihadapi sangat berisiko pada hilangnya pengalaman belajar, menurunnya kemampuan belajar, melebarnya kesenjangan kualitas pembelajaran, serta ancaman putus sekolah. Beberapa langkah kebijakan yang dapat diambil untuk mengatasi risiko-risiko itu di antaranya sebagai berikut.
Pertama, Kemendikbud menyediakan panduan dan instrumen asesmen diagnostik yang dapat digunakan guru untuk mengidentifikasi variasi capaian belajar siswa dan menindaklanjutinya dalam proses pembelajaran yang lebih efektif. Hasil asesmen menjadi dasar pilihan-pilihan strategi pembelajaran yang diambil. Prioritas afirmasi perlu diberikan kepada kelompok yang paling rentan mengalami kehilangan pengalaman belajar.
Kedua, Kemendikbud menyediakan kerangka kurikulum darurat yang lebih sederhana, modul pembelajaran yang lebih adaptif, dan modul pembelajaran pendampingan belajar yang lebih operasional untuk membantu guru dan orang tua mewujudkan pembelajaran yang bermakna dan tidak membebani selama pandemi. Pendampingan dalam penerapan kurikulum maupun modul pembelajaran tersebut juga perlu dilakukan secara intensif dan berkelanjutan dengan melibatkan UPT-UPT di daerah seperti LPMP, P4TK, maupun perguruan tinggi.
Ketiga, Kemendikbud perlu bekerja sama dengan para pemangku kepentingan terkait untuk mengusahakan peningkatan akses pada fasilitas internet yang memadai dan perangkat digital penunjang pembelajaran bagi para siswa maupun guru. Selain mengoptimalkan pemanfaatan dana BOS oleh sekolah, bantuan-bantuan tambahan lain dapat diberikan terutama untuk kelompok-kelompok yang paling membutuhkan.
Keempat, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu bersama-sama melakukan pemetaan potensi putus sekolah siswa di masing-masing wilayah, menganalisis permasalahannya, dan menyiapkan langkah-langkah penanganannya. Para siswa di daerah-daerah tertinggal dan rumah mereka jauh dari sekolah perlu memperoleh atensi khusus dalam hal ini.
Kelima, sekolah dan orang tua perlu meningkatkan intensitas dan kualitas komunikasi untuk mengoptimalkan proses belajar dan kesejahteraan psikologis (wellbeing) bersama selama masa pandemi. Jika diperlukan, guru-guru bimbingan konseling dapat mengoordinasikan bantuan atau konsultasi psikologis bagi guru, siswa maupun orang tua yang mengalami masalah psikologis selama BDR.
Risalah Kebijakan ini merupakan hasil dari penelitian/ kajian yang dilakukan oleh
Pusat Penelitian Kebijakan pada tahun 2020. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi :
Pusat Penelitian KebijakanBadan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan
Kementerian Pendidikan dan KebudayaanKompleks Kemdikbud, Gedung E, Lantai 19
Jl. Jenderal Sudirman-Senayan, Jak a 10270Telp. 021-5736365, 5713827.
website: puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id.
Tim Penyusun :
Irsyad ZamjaniDiyan Nur RakhmahSiti Nur AzizahIndah PratiwiIka HijrianiSri Hidayati
REKOMENDASI: MENGATASI RISIKO-RISIKO BELAJAR DARI RUMAH
Top Related