MEMAHAMI HADIS KEPEMIMPINAN QURAISY
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
HARI PUTRA Z
NIM: 1112034000009
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M.
i
MEMAHAMI HADIS KEPEMIMPINAN QURAISY
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Hari Putra Z
NIM. 1112034000009
Pembimbing
Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A
NIP. 19770120 200312 1 003
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M.
椀
iv
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sebuah hadis tentang kepemimpinan
Quraisy yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri, hadis tersebut secara tekstual
mengisyaratkan bahwa kepemimpinan berada di tangan Quraisy, jika hadis tersebut
dipahami demikian, tentu akan menimbulkan masalah karena Islam sudah
menyebar keberbagai belahan dunia dan dianut oleh bermacam ras, suku dan
bangsa. Berangkat dari permasalahan tersebut penulis perlu melakukan penelitian
terhadap hadis kepemimpinan Quraisy.
Penelitian ini mencoba melakukan studi pemahaman hadis terhadap hadis
kepemimpinan Quraisy secara komprehensif serta mencoba mengaplikasikannya
untuk Indonesia masa sekarang. Penelitian ini dalam penulisannya berbentuk kajian
pustaka dan teknik pengumpulan data bersifat kualitatif yang dibantu dengan
metode takhrij hadis, untuk menganalisa menggunakan metode analisis deskriptif,
langkah-langkahnya dengan pengumpulan data tentang hadis kepemimpinan
Quraisy dan beberapa pendapat ulama serta pakar tentang pemimpin, kegiatan ini
berguna untuk memahami apa itu pemimpin dan kepemimpinan serta mengetahui
kualiatas hadis yang menjadi objek penelitian ini, dalam memaknai hadis tersebut
penelitian ini menggunakan metode Semantik, yaitu metode yang menggunakan
tanda dalam menggali makna, kata Quraisy diposisikan sebagai tanda untuk
dianalisa agar menghasilkan makna konotasi sebagai makna lapis kedua/ makna
lain yang bersifat implisit/ tersembunyi. Metode-metode tersebut ditempuh,
kemudian diteliti dan dianalisa sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan
bagaiman makna hadis kepemimpinan Quraisy tersebut.
Setelah semua langkah tersebut ditempuh, maka dari hasil penelitian
ditemukan bahwa kata Quraisy yang dimaksud oleh Nabi Saw. dalam matan hadis
tersebut bersifat simbolik, kata Quraisy merujuk kepada keriteria-kriteria yang
hanya dimiliki suku Quraisy kala itu yaitu: mempunyai keluhuran tata sosial
(amanah, mempunyai solidaritas yang kuat), dominan dan berpengaruh (cerdas,
kekuatan sosial ekonomi yang cukup kuat sehingga mampu memberikan
perlindungan kepada anggota yang mengikuti/ dipimpin). Setelah menemukan
secara utuh tentang makna hadis kepemimpinan Quraisy tesebut, penelitian ini
mencoba mengaplikasikan hadis tersebut untuk konteks Indonesia masa sekarang.
Semua langkah-langkah yang ditempuh merupakan bentuk jawaban dari rumusan
masalah penelitian ini, yakni: Memahami Hadis kepemimpinan Quraisy. Maka
diambil kesimpulan bahwasanya yang berhak memegang kepemimpinan di
Indonesia adalah yang mempunyai keluhuran tata sosial, dominan serta
berpengaruh atau yang mempunyai karakteristik-karakteristik suku Quraisy dahulu.
v
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Alhamdulilah sebagai bentuk rasa syukur penulis
kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan kekuatan jasmani, rohani, taufik,
rahmat dan hidayahNya, serta kemudahan dan kesabaran dalam menghadapi
berbagai kesulitan dan cobaan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
berbingkiskan salam semoga tercurah dan dilimpahkan kepada Nabi Muhammad
Saw. rasul penutup para nabi, serta doa untuk keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya di akhir zaman.
Skripsi ini merupakan satu di antara tugas yang harus diselesaikan dalam
rangka mendapatkan gelar Sarjana Agama Islam Fakultas Ushuluddin, jurusan Ilmu
Al-Quran dan Tafsir, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Judul skripsi ini adalah “Memahami Hadis kepemimpinan Quraisy”. Pada
penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan, maka tentunya
skripsi memerlukan perbaikan. Oleh karena itu penulis sangat menerima kritikan
dan saran yang bersifat konstruktif.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada sanak-saudara yang telah
memberikan dukungan terhadap penelitian ini dalam banyak bentuk, yakni kepada:
1. Prof Dede Rosyada, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
beserta seluruh jajaranya.
vi
3. Dr. Lilik Umi kaltsum, M.A, dan Dra. Banun Binaningrum M.Pd, selaku
Ketua dan Sekertaris Jurusan Tafsir Hadits.
4. Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A, selaku dosen pembimbing penulis, serta
guru yang telah memberikan ilmunya, pengalaman serta pengarahan dalam
proses penulisan skripsi ini.
5. Dr. Abd. Moqsith, M.A selaku dosen pembimbing akademik penulis yang
dari semester pertama telah memberikan ilmunya.
6. Seluruh dosen fakultas Ushuluddin yang dalam mendidik, memberikan
ilmu, pengalaman serta pengarahan kepada penulis selama jadi mahasiswa.
7. Kepada Almarhum Inyiak Syeikh Ibrahim Musa dan Almarhum Inyiak
Khatib Muzakkir yang menjadi inspirasi sekaligus guru bagi penulis.
8. Kepada orang tua penulis, Papa Zettyawarman dan Mama Delfi Maksis dan
Uwa Multi Afrida atas doa, nasehat, kerja keras, ketabahan, kesabaran, rela
susah payah, semua ini agar anak-anaknya menjadi anak Shalih dan
Shalihah.
9. Kepada kawan-kawan pejuang Skripsi; Luci, Hilmi, Haris, Amar, Basit,
Adi, Ucup 1, Ucup 2, Arai, Arif, Pajar, Abal dan duo Lili Dewi yang selalu
istiqomah untuk kajian demi selesainya skripsi kita. Kawan-kawan TH A
2012 yang dari awal selalu ngopi dan berjuang bersama dan juga kepada
keluarga besar Pondok Adil.
10. Seluruh pihak yang telah membantu proses kuliah penulis dan proses skripsi
ini yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu.
vii
Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Tidak
dimungkiri masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu, penelitian
ini menerima segala saran dan kritikan demi perbaikan dan kemajuan penelitian
dimasa mendatang. Terima kasih.
Ciputat, 19 Desember 2017
Hari Putra Z
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman Akademik
Program Strata 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
a. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h ha dengan garis di bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis di bawah ط
z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ´ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
ix
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrof ء
y ye ي
b. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia,
terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
diftong. Untuk vocal tunggal, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah
i kasrah
u dammah
Ada pun untuk vokal rangkap, ketentuan alihaksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
x
ي ai a dan i
و au a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alihaksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
â a dengantopi di atas ى
î i dengantopi di atas ى ي
û u dengantopi di atas ىو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
diwân bukan ad-diwân.
Syaddah(Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ), dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
xi
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya, kata الض رورة tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah,
demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta
marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika
huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menja dihuruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
No TandaVokal Latin Keterangan
tarîqah طريقة 1
al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2
Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
Huruf Kapital
Meski pun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam alihaksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat,
huruf awal, nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting
diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis
xii
dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid
Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat
diterapkan dalam alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak
miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu
ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alihaksaranya.
Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-
Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânirî.
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................ v
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 4
C. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 5
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 6
F. Metodologi Penelitian ................................................................ 10
1. Metode Penelitian ................................................................ 12
2. Teknik Penulisan .................................................................. 12
G. Sistematika Penulisan ................................................................ 12
BAB II DEFINISI SERTA RAGAM PEMIMPIN
A. Defenisi Pemimpin dan Kepemimpinan .................................... 15
1. Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan ......................... 15
2. Sebab-musabab Munculnya Pemimpin ............................... 19
3. Tipe dan Gaya Kepemimpinan ............................................ 20
4. Syarat-syarat Kepemimpinan ............................................... 21
B. Kepemimpinan Menurut Pemikir Islam .................................... 24
1. Khazanah Lafaz-lafaz yang Mengisyaratkan Pemimpin
Dalam Islam ......................................................................... 24
2. Landasan dan Urgensi Kepemimpinan Dalam Islam ........ 30
3. Tujuan Kepemimpinan Menurut Islam .............................. 34
4. Prinsip-prinsip Kepemimpinan menurut Islam .................. 37
C. Kepemimpinan di Indonesia ...................................................... 40
1. Bentuk Pemerintahan Indonesia ......................................... 40
2. Sitem Pemerintahan Indonesia ............................................ 41
xiv
BAB III SEPUTAR TEKS HADIS QURAISY
A. Ketersebaran Periwayatan ......................................................... 44
B. Siapa itu Quraisy? ....................................................................... 56
1. Sejarah Quraisy ........................................................ 57
2. Populasi dari Masyarakat Quraisy ................................ 59
3. Kekuatan Ekonomi dan Politik Suku Quraisy ............. 61
C. Hadis Kepemimpinan Quraisy Sebagai Simbol ....................... 64
D. Hadis Kepemimpinan Quraisy Dalam Konteks
Keindonesiaan ............................................................................. 67
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 70
B. Saran ........................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemimpin menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia/ KBBI secara bahasa
berarti orang yang memimpin.1 Di dalam sistem pemerintahan Islamiah, seseorang
yang melaksanakan fungsi kekhilafahan, keimaman dan keamiran disebut khalifah,
Khalifah berasal dari kata khalafa yang berarti pengganti,2 yaitu “seseorang yang
menggantikan tempat orang lain dalam beberapa persoalan.”3 Menurut istilah,
khalifah adalah pemimpin yang menggantikan Nabi dalam tanggung jawab umum
terhadap agama untuk membuat manusia tetap mengikuti aturan-Nya dalam
keadilan di depan kebenaran sebagai khalifah Rasul dalam memelihara agama dan
mengatur dunia.4
Di dalam buku Fiqh Siasah karangan Pulungan J. Suyuti yang mengutip
perkataan Al-Maududi (w. 1979 H) mengatakan bahwa khalifah adalah pemimpin
tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai penganti Rasul. Dengan demikian
kata khalifah yang semulanya pengganti telah berkembang menjadi titel atau
gelaran pemimpin tertinggi masyarakat muslim.5 Dalam pengertian yang terbatas,
pemimpin ialah seorang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas
1 “Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (KBBI Online)”. Artikel diakses pada 16 Januari
2018 dari https://kbbi.web.id/pimpin. 2 H. Mahmud Yunus, Arab Indonesia, (Ciputat: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah,
2007), h. 122. 3 Pulungan J. Suyuti, Fiqh siasah, Ajaran, Sejarah Dan Pemikira (Jakarta: PT Radja
Grafindo Persada, 1999), h. 48. 4 Pulungan J. Suyuti, Fiqh siasah, Ajaran, Sejarah Dan Pemikira, h. 48. 5 Pulungan J. Suyuti, Fiqh Siasah, Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, h. 49.
2
persuasifnya, dan penerimaan sukarela oleh para pengikutnya.6 Menurut
Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H), Khalifah adalah pemerintahaan Islam yang
berorientasi untuk kemaslahatan agama dan dunia,7 yang berarti seorang pemimpin
mempunyai kepandaian dalam mengurus urusan dunia dan cakap dalam masalah
keagamaan. Dipertegas oleh al-Ghazali (w. 505 H), kepemimpinan merupakan tata
nilai/ sistem yang diusung untuk sebuah kemaslahatan yang lebih besar karena
mencakup seluruh aspek kehidupan sebuah bangsa. bahasa, agama, seni serta
norma-norma, seorang pemimpin yang memang tidak bisa dijamin dengan kualitas
dan ukuran ibadah seseorang.8 Ada kemampuan-kemampuan dan spesifikasi
khusus yang harus menjadi dasar fundamental bagi seseorang untuk mampu
memimpin. Dan menurut George R. kepemimpinan adalah kegiatan memengaruhi
orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan- tujuan kelompok.9
Namun, di dalam kitab Irsyādu al-Sari li Syarhi Sahih al-Bukhāri disebutkan
ke-khalifahan itu yang pantas mendapatkan adalah orang Quraisy,10 sebagaimana
juga dikatakan dengan jelas oleh Nabi Saw melalui hadis berikut:
6 Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, h. 33. 7 Muhammad Rasyid Ridho, al-Khilafah (Mesir: al-Zahro ulama al-Arobi, T.tt) juz 1, h. 17. 8 Pemimpin menurut al-Ghazāli (w. 505 H) wajib melaksanakan salat jumat dan
menggunakan waktu tersebut untuk bertafakkur. Ketika Nabi Muhammad Saw. misalnya bersabda
bahwa hari jum’at adalah “sayyid al-ayyām”, maka dalam konteks kepemimpinan, ia merupakan
hari penting untuk mempertimbangkan segalanya. Boleh seorang pemimpin mengabaikan hari-hari
lainnya karena berbagai kesibukan yang dimiliki, tapi tidak hari jumat. Tapi yang perlu diperhatikan,
kewajiban salat jumat sebagaimana yang dimaksud al-Ghazāli di atas sama sekali tidak ada kaitannya dengan seorang pemimpin itu harus muslim. Agama dan keyakinan seseorang bukanlah
tolak ukur serta jaminan kualitas kadar keadilan seorang pemimpin. Sebagai khalifah Allah di muka
bumi, ada hal lain yang mesti dipenuhi yaitu berupa pengetahuan dan daya jangkau nalar yang luas.
Ini seperti yang diperlihatkan oleh al-Imām al-Ghazāli ketika beliau mendudukkan beberapa tokoh
pemimpin ideal yang berasal dari non-Islam seperti Raja Kisra Anusyirwan. Baca: al-Imām al-
Ghazāli, Al-Tibr al-Masbūk fi Naṣihat al-Mulūk, h. 44. 9 Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2001),
h. 49. 10 Ahmad ibn Muhammad ibn Abu Bakr ibn Adullmalik al-Qastalānī, Irsyādu al-Sari li
Syarhi Sahih al-Bukhāri (Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra, 1323 H), h. 6.
3
Redaksi Hadis:
ث نا أبو اليمان أخبن شعيب عن الزهري قال كان ممد بن جبي حد عا أ أهب ب م د عي بن ن قحان ك أ أهب سيكون د ن ق ر ش أن عبد الل بن عمر ا هو عنده ف فد ب ف ف
نك فأثن عى الل با هو أهب ث ن أن رجالا ا ب عد فإهب ب ف قال أ لي ثون أحا د ي كي الكي فإي لئك جه أ كتاب الل ل توث ر عن رسول الل صى الل عيب سي ال ت ا ار ف ق ر ش ل ول إن هذا ا رسول الل صى الل عيب سي ع س هي أحد إل أهها فإ عا
وا الد ن ا أقا ف النار عى جهب 11كبب الل
“Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami
Syu’aib dari al-Zuhri mengatakan, bahwa Muhammad ibn Jubair menceritakan,
Mu’awiyah mendapat informasi darinya, ketika itu Jubair berada di sampingnya
saat berada dalam rombongan Quraisy, bahwa Abdullah ibn Amru menceritakan,
bahwa akan ada yang menjadi raja dari orang Qahtan, maka dia seketika murka,
ia lalu berdiri dan memanjatkan puji-pujian kepada Allah dengan pujian
semestinya, kemudian mengatakan; ‘Amma ba’d. Telah sampai berita kepadaku
bahwa beberapa orang di antara kalian menceritakan hadist yang tidak terdapat
dalam kitabullah dan tidak pula berasal dari Rasulullah , mereka itu adalah orang-
orang jahil (bodoh) dari kalian, jauhilah olehmu angan-angan yang menyesatkan,
sebab aku mendengar Rasulullah bersabda: “Kepemimpinan ini di (tangan)
Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka (orang-orang Quraisy), kecuali
Allah yang menelungkupkannya (yang memusuhi) dalam neraka di atas wajahnya,
selama mereka (orang Quraisy) menegakkan agama.”
Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa tidak ada yang boleh mengurusi
masalah kepemimpinan atau kekhalifahan kecuali orang Quraisy, namun sebelum
benar-benar mengamini pemahaman tersebut, sebaiknya ditinjau terlebih dahulu
konteks kesejarahan yang melahirkan pemahaman ini. Apakah benar hadis ini
dipahami sebagaimana yang tertera di atas, dan bagaimana penerapan hadis tersebut
11 Abū Abdillah Muḥammad bin Ismāīl bin Ibrāhīm al-Bukhārī, Sahīh al-Bukhārī (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), h. 1293.
4
terhadap kepemimpinan di Nusantara atau umumnya disebut dengan Indonesia12
yang disebut sebagai negara dengan mayoritas Muslim.
Berangkat dari masalah maka penelitian ini bermaksut untuk memahami
bagaimana seorang pemimpin dengan menggunakan Hadis Kepemimpinan
Quraisy.
B. Indentifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas muncul beberapa masalah yaitu:
1. Kepemimpinan merupakan tata nilai yang diusung untuk kemaslahatan yang
lebih besar karena mencakup seluruh aspek dalam kehidupan.
2. Ada kemampuan-kemampuan dan spesifikasi khusus yang menjadi dasar
fundamental bagi seseorang untuk mampu memimpin, yaitu kepandaian
dalam hal dunia dan cakap dalam masalah agama tanpa mengkhususkan
kepada satu ras ataupun suku tertentu, siapapun yang mempunyai kriteria di
atas mempunyai kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin, namun
menurut hadis Kepemimpinan Quraisy yang berhak menjadi pemimpin
adalah Suku Quraisy, hal tersebut bisa dilihat di kitab Shahih al-Bukhari juz
IX halaman 217.
12 Di Republik Indonesia (RI), umumnya disebut Indonesia, sebuah negara di Asia Tenggara
yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada diantara benua Asia dan Australia serta antara Samudra
Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia sebagaimana yang disebutkan dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat (1) adalah sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik, dan
kekuasaan pemerintahan negara dipegang oleh seorang Presiden dan dibantu satu orang Wakil
Presiden, hal itu recantum dalam UUD Negara Tahun 1945 pasal 4 ayat (1) dan (2).
5
3. Bagaimana pemahaman Hadis Kepemimpinan Quraisy secara universal dan
untuk Indonesia saat ini.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Penelitian ini dalam penulisannya membatasi masalah hanya dari segi
pemahaman pemimpin menurut hadis Quraisy yang tertulis pada point ke 3 yaitu
bagaiman makna hadis Kepemimpinan Quraisy bisa dipahami secara universal
dan juga bisa dikontekstualisasikan untuk Indonesia yang terdapat pada
identifikasi masalah agar penelitian ini tidak mengambang.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Memahami maksud dari Hadis Quraisy dan kontekstualisasinya di
masa sekarang.
b. Memberi gambaran tentang model kepemimmpinan dalam Islam.
2. Manfaat Penelitan
a. Memberi pemahaman kepada pembaca tetang makna Hadis pemimpin
yang berasal dari Quraisy.
b. Secara akademis, penelitian ini turut mengembangkan khazanah
keilmuan dalam bidang hadis.
6
E. Tinjauan Pustaka
Setelah dilakukan peninjauan terkait pembahasan diatas, ditemukan beberapa
referensi tentang pembahasan Hadis Quraisy. Secara umum tulisan-tulisan
bertemakan pemimpin dan Hadis Quraisy yang sekaligus menjadi kata kunci dalam
pencarian referensi tulisan ini.
Yang pertama, penelitian ini memunculkan tulisan-tulisan yang membahas
masalah kepemimpinan diharuskan kepada suku Quraisy yaitu:
1. Buku yang berjudul Hadis-Hadis Politik, karya Muhibbin, dalam bukunya,
Muhibbin berusaha melakukan kajian secara kesejarahan tentang hadis-hadis
politik, dalam konteks waktu dan keadaan ketika hadis-hadis tersebut diucapkan.
Buku ini juga mengangkat pembahasan mengenai hadis-hadis kepemimpinan
Quraisy namun tidak secara khusus dan spesifik karena hanya mengutip pehaman
Ibnu Khaldun, sehingga pembahasannya tidak sampai pada studi pemahaman
sebagaimana akan dijadikan objek penelitian penulis. 13
2. Buku Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis yang ditulis Abdul
Karim Munte dkk, dalam buku tersebut fokus membahas tentang hadis-hadis yang
dipakai oleh kaum jihadis seperti IS sebagai landasan dalam menyebarkan
fahamnya/ ideologinya, dalam buku tersebut Munte mengkritik IS dalam
pemakaian hadis jihad dengan menggunakan pendekatan ilmu hadis, Munte juga
menyinggung sedikit tentang hadis kepemimpinan Quraisy, tapi dalam
penjabarannya hanya mengutip perkataan Ibnu Khaldun yang berkata hadis Quraisy
13 Muhibbin, Hadis-Hadis Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 71.
7
bersifat simbolik, dan tidak rinci menjelaskan bagaimana studi pemahaman
terhadap hadis Quraisy.14
3. Skripsi yang ditulis oleh Hasisul Ulūm yang berjudul “Study Pemahaman
Ibnu Taimiyyah Tentang Hadis Kepemimpinan Quraisy”, dia menulis bahwa
Metode pemahaman Ibnu Taimiyyah tentang hadis-hadis kepemimpinan Quraisy
mencerminkan dua metodologi sekaligus; Tekstual dan Kontekstual. Metode
tekstual, Ulūm simpulkan sebagai tipologi pemahaman Ibnu Taimiyyah terhadap
hadis-hadis kepemimpinan Quraisy yang terdapat dalam kitab Minhāj as-Sunnah fī
naqdi kalām asy-Syī’ah Kwa al-Qadariyyah. Ia menerima apa adanya hadis
kepemimpinan Quraisy sesuai dengan arti literalnya dan mengakui keberadaan
kepemimpinan suku Quraisy, sebagaimana ia mengakui kepemimpinan di luar
Quraisy. Namun yang berbeda disini adalah Penerimaan Ibnu Taimiyyah tentang
kepemimpinan suku Quraisy tidak berarti menolak suku atau kelompok lain untuk
menjadi pemimpin. Namun tidak secara khusus menjelaskan bagaimana studi
pemahamannya terhadap hadis Quraisy dan penggamalan hadis tersebut untuk
konteks Keindonesiaan. 15
Yang kedua adalah tulisan-tulisan yang membahas tentang pemimpin dan
kepemimpinan yakni:
1. Skripsi yang berjudul Konsep Kepemimpinan; Said Hawwa; kitab al-Asas
fi al-Tafsir; al-Islam, ditulis oleh Ryan Alfian, dalam skripsi tersebut Ryan lebih
terfokus membahas tentang kepemimpinan menurut Saîd Hawwa. Ryan
14 Abdul Karim Munte , Dkk., Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis (Ciputat:
Yayasan Pengkaji Hadis el-Bukhori) h. 91-95. 15Hasisul Ulum, Studi Pemahaman Ibnu Taimiyyah Tentang Hadis Kepemimpinan Quraisy
(Semarang: IAIN Walisongo, 2012).
8
menjelaskan, kepemimpinan menurut Said Hawwa dimulai dengan membahas tema
khilâfah, pada pembahasan selanjutnya, adalah hal-hal yang berkaitan dengan
kepemimpinan dan pemimpin. Seperti, bagaimana cara mengangkat seorang
pemimpin, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, bagaimana
seorang pemimpin bisa diturunkan dari jabatannya, serta apa saja yang menjadi
kewajiban dan hak dari seorang pemimpin. Setelah mendeskripsikan serta
menganalisa data yang terdapat dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm,
didalam skripsi tersebut sedikit dibahas masalah tentang pemimpin yang berasal
dari suku Quraisy, namun Said Hawwa dalam skripsi tersebut mengutip perkataan
dari Ibnu Khaldun, karena suku Quraisy mempunyai solidaritas yang kuat, namun
tidak secara jelas bagaimana studi pemahamn terhadap hadis tersebut.16
2. Artikel dengan judul Konsep Negara dalam Pemikiran Politik Ibnu
Khaldun karangan H. Samsul Nizar, dalam jurnal tersebut sedikit membahas
tentang pemimpin harus berasal dari suku Quraisy, namun tidak terlalu merinci
bagai mana studi pemahan terhadap hadis suku Quraisy, H. Samsul Nizar lebih
terfokus kepada bagai mana konsep sebuah negara meliputi fungsi, tujuan dan
kriteria yang harus dipenuhi sebagai seorang pemimpin.17
3. Artikel dengan judul Kepemimpinan Non Muslim Dalam al-Quran, yang
ditulis oleh M. Suryadinata, dalam jurnal tersebut membahas masalah
kepemimpinan menurut al-Quran, namun lebih banyak membahas apa saja kriteria
16 Ryan Alfian, Konsep Kepemimpinan;Said Hawwa;kitab al-asas fi al-tafsir;al-islam
(Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah, 2014), h. 62-63. 17 H. Samsul Nizar, “Konsep Negara dalam Pemikiran Politik Ibnu Khaldun,” Demokrasi,
Vol II, no.1 (2003): h. 9.
9
pemimpin menurut al-Quran dan tidak menyinggung tentang hadis suku Quraisy
yang menjadi fokus dalam penelitian ini.18
4. Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post
Modernisme karya Azyumardi Azra. Buku ini selintas menyinggung hadis
kepemimpinan Quraisy yaitu pada saat mengulas Arabisme-nya al-Kawakibi.19
Namun oleh karena fokus pembahasan buku ini lebih kepada persoalan khilafah.
Yang ketiga tulisan-tulisan yang membahas tentang pendekatan-pendekatan
yang dipakai dalam memahami hadis:
1. Artikel yang ditulis oleh Subhan yang berjudul Hadis Kontekstual, dalam
tulisan tersebut membahas tentang dua pendekatan yang dipakai untuk memahami
hadis, yaitu pendekatan tekstual dan kontekstual, namun fokus Shubhan adalah
bagaimana pengenalan terhadap metode tersebut, Subhan menyinggug sedikit
masalah hadis kepemimpinan Quraisy, namun tidak merinci dalam studi
pemahaman hadis tersebut, dan tidak mencapai pada studi pemahanan hadis yang
akan menjadi fokus kajian dalam penelitian ini.20
2. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Karya M. Syuhudi
Ismail. Buku ini juga sedikit mengulas hadis tentang kepemimpinan Quraisy
dengan mencoba mengungkapkan pemahaman baik secara tekstual maupun
18 M .Suryadinata, “Kepemimpinan Non Muslim Dalam al-Quran,” Ilmu Ushuluddin Vol 2,
nomor 3, (2015) 19 Menurutnya, gagasan al-Kawakibi mengenai nasionalisme Arab tidak bias dipisahkan dari
pandangannya mengenai despotisme, dan dalam konteks membebaskan umat dari despotisme inilah
dapat diungkap interpretasinya terhadap hadiś kepemimpina Quraisy yang merupakan solusi atas
despotisme otokrat-otokrat “usśmani atas dunia islam. Lihat selengkapnya dalam Azyumardi Azra,
Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernism (Jakarta:
Paramadina, 1996), h. 30-38. 20 Subhan, Hadis Kontekstual (Samarinda:IAIN Samarinda, 2012), h. 3.
10
kontekstual. Namun tidak terlalu merinci dalam studi pemahaman, yang hanya
mengutip pemahaman Ibn Khaldun dalam memaknai hadis Quraisy sebagai
simbol.21
Setelah melakukan tinjauan pustaka, penulis dapat mengetahui dimana posisi
penelitian ini, yakni, penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya yang membahas tentang hadis suku Quraisy.
F. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah Studi
Kepustakaan, pembahasan ini bersifat deskriptif analitis yaitu melalui
pengumpulan data dan beberapa pendapat ulama beserta pakar untuk
kemudian diteliti dan dianalisa sehingga menjadi sebuah kesimpulan.
b. Sumber Data
Sumber data primer yang digunakan untuk menganalisa data adalah
hadis Kepemimpinan Quraisy dan hadis tersebut berada pada kitab hadis
Shahih al-Bukhāri yang disusun oleh al-Bukhāri juz IX halaman 217, dan
sumber data sekunder berasal dari artikel dan jurnal yang berhubungan
dengan pembahasan pemimpin, sumber sekunder dalam penelitian ini
21 M. Syuhdi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual,Telaah Ma’ani al-Hadis
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 23-
33.
11
berguna untuk memahami apa itu kepemimpinan secara umum dan menurut
Islam yang nanti membantu dalam memahami hadis Kepemimpinan
Quraisy.
c. Metode Pengumpulan Data
Secara detail, penelitian ini akan memaparkan bagaimana definisi
pemimpin secara umum dan menurut islam beserta ragam-ragam
penyebutannya, lalu dikumpulkan data mengenai hadis Quraisy tentang
kepemimpinan dengan metode takhrij hadis, metode ini juga berguna untuk
menentukan kualitas hadis yang digunakan sebagai sumber primer.
d. Metode Analisis Data
Selanjutnya dalam menganalisa, penelitian ini menggunakan metode
Semantik untuk membaca dan memahami makna hadis tersebut, metode
Semantik22 adalah ilmu untuk membaca/ menggali makna melalui sebuah
tanda, Penggunaan semantik dalam pembacaan hadis Quraisy harus
didasarkan kepada pemahaman yang komprehensif mengenai elemen-
elemen dasar semiotika23 yaitu tanda. Keberadaan tanda tidak dapat terlepas
22 Semantik adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signifikansi atau maknanya, dalam
bahasa C.S Morris, semantik adalah ilmu untuk membaca makna dari sebuah tanda. Semantik
merupakan salah satu dari tiga dimensi analisa Semiotika, maka dalam kontek Struktural Semiotika,
semantik adalah bagian dari Semiotika, semiotika didefenisikan oleh Ferdinand de Saussure sebagai
ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian kehidupan sosial, menurutnya semiotika sangat
bergantuk kepada aturan main atau kode sosial yang berlaku dalam lingkungan masyarakat,
sehingga tanda dapat dimaknai secara kolektif. Baca: Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan
Hipersemiotika, (Bandung: Matahari, 2012), h. 299-301. 23 Elemen dasar dalam semiotika adalah tanda(penanda/ petanda), aksi tanda (sintagma/
sistem), tingkatan tanda (denotasi/ konotasi), serta relasi tanda (metafora/ metonimi), menurut
12
dari konteks sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sistem nilai yang dianut
pada masa tersebut dan dimana tanda tersebut berada.24 Dan kata Quraisy
yang diucapkan Nabi Saw. dalam matan hadis tentu juga disertai oleh aspek-
aspek diatas yang telah disebutkan. Maka penelitian ini menjadikan kata
Quraisy sebagai tanda dan juga teks yang akan dikembangkan maknanya
menjadi makna konotasi25 dan segala aspek yang menyertai akan menjadi
bahan analisa dalam pemaknaan hadis tersebut. Selanjutnya penulis akan
menganalisa bagaimana pengaplikasian hadis Quraisy tersebut untuk
Indonesia zaman sekarang.
2. Teknik Penulisan
Secara keseluruhan, penulisan skripsi ini mengacu kepada Pedoman
Penulisan Skripsi dalam Buku Pedoman Akademik Program Strata 1 tahun
terbitan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.26
G. Sistematika Penulisan
Terdapat empat bab dalam skripsi ini, setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab
yang disesuaikan dengan kebutuhan dalam proses pemahaman dan
Saussure, diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, seni dan desain sebagai fenomena bahasa,
maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda (penanda+petanda= tanda). Baca: Yasraf Amir Piliang,
Semiotika dan Hipersemiotika, (Bandung: Matahari, 2012), h. 301. 24 Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika, h. 348. 25 Makna konotasi adalah makna lapis dua/ makna lain yang bersifat ekplisit. Baca: Yasraf
Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika, (Bandung: Matahari, 2012), h. 305. 26 Amsal Bakhtiar, dkk., Pedoman Akademik Program Strata I 2012/ 2013, h. 368.
13
tersistematikanya penulisan skripsi ini. Adapun sistematikanya adalah sebagai
berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Latar belakang masalah adalah pemaparan tentang faktor-faktor penyebab
timbulnya masalah yang akan dibahas dan diteliti dalam penelitian ini, setelah itu
permasalahan diidentifikasi sehingga memunculkan batasan-batasan dan rumusan
dalam permasalahan yang bertujuan agar penelitian tidak mengambang, Kemudian
tujuan masalah yang disesuaikan dengan pokok permasalahan, sedangkan
manfaatnya adalah harapan baik yang dihasilkan dari penelitian dan penulisan ini.
Setelah itu, dilakukan peninjauan terhadap literatur-literatur yang membahasa
tentang tema penelitian. Kemudian disusul dengan metodologi penelitian yang
memberikan penjelasan mengenai teknik dan langkah-langkah yang akan ditempuh
dalam pengumpulan dan menganalisis data. Subab terakhir dalam bab ini berupa
sistematika penulisan yang digunakan sebagai pedoman klasifikasi data serta
sistematika yang ditetapkan pokok masalah yang akan diteliti.
Bab kedua berisi tentang landasan teori dari kegiatan penelitian yang akan
membahas tentang definisi kepemimpinan menurut kajian-kajian umum dan
agama, dan dalam tulisan ini juga akan menampilkan ragam-ragam pemimpin yang
pernah ada di dalam Islam di Indonesia, hal ini perlu dilakukan karena sebelum
memahami makna hadis Quraisy tentang kepemimpinan maka diperlukan
pemahaman tentang kepemimpinan terlebih dahulu.
14
Bab ketiga merupakan analisis dari pemimpin menurut hadis Quraisy,
penelitian ini akan menjabarkan tentang seputar hadis Quraisy, mulai dari redaksi
hadis, ketersebaran periwayatan hadis dengan menggunakan Taghrij Hadis sebagai
metode analisa kualitas hadis, bab ini bertujuan untuk memberikan penjelasan dan
pemaknaan Hadis Kepemimpinan Quraisy secara tekstual dan kontekstual.
Bab keempat adalah penutup sebagai akhir dari seluruh proses penelitian yang
berisi kesimpulan, hasil penelitian dan saran-saran dari saya sebagai penulis yang
terkait dengan pembahasan serta kata penutup.
15
BAB II
DEFENISI DAN RAGAM PEMIMPIN
A. Defenisi pemimpin dan kepemimpinan
Sebelum lebih lanjut membahas tentang pemimpin menurut hadis Quraisy,
harus dijelaskan dahulu defenisi pemimpin secara umum dan menurut pemikir
Islam beserta ragam-ragam pemimpin menurut Islam dengan tujuan untuk
memahami apa itu pemimpin dan kepemimpinan yang nantinya akan menjadi acuan
dan perbandingan dalam memahami hadis Kepemimpinan Quraisy.
1. Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan
Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membutuhkan sebuah
kepemimpinan, tentunya harus ada seorang pemimpin demi kesuksesan dan
efisiensi kerja untuk mencapai tujuan bersama dan mempertahankan hidup
bersama, maka diperlukan bentuk kerja yang kooperatif. Dan semua kegiatan
kooperatif perlu diatur dan dipimpin. Oleh karena itu banyak studi dan penelitian
dilakukan orang untuk mempelajari masalah pemimpin dan kepemimpinan, dan
para sarjana telah memberikan berbagai definisi mengenai pemimpin dan
kepemimpinan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia/ KBBI, pemimpin secara bahasa
berarti orang yang memimpin.1 Secara etimologi, kepemimpinan adalah perihal
pemimpin atau cara memimpin. Dari kata tersebut, kemudian para pakar
memberikan defenisi tentang kepemimpinan. Menurut Ordway Tead yang dikutip
1 “Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (KBBI Online)”. Artikel diakses pada 16 Januari
2018 dari https://kbbi.web.id/pimpin.
16
oleh Kartono mengatakan kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang lain
agar mereka mau bekerja untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Senada dengan
Ordway, George R. Terry juga mengatakan bahwa kepemimpinan adalah kegiatan
mempengaruhi orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan-tujuan
kelompok.2
Kepemimpinan muncul bersama-sama dengan adanya peradaban manusia,
yaitu sejak zaman nabi-nabi dan nenek moyang manusia yang berkumpul bersama,
lalu bekerja bersama-sama untuk mempertahankan eksistensi hidupnya demi
bertahan dari buasnya binatang dan alam sekitar. Sejak itulah terjadi kerjasama
antara manusia, dan ada unsur kepemimpinan. Pada saat itu pribadi yang ditunjuk
sebagai pemimpin ialah orang yang paling kuat, cerdas dan paling berani. Sebagai
contoh, Kautilya dengan tulisannya “Arthasastra” (321 Sebelum Masehi)
menuliskan ciri-ciri khas seorang perwira yang ditunjuk sebagai seorang pemimpin,
ialah:
a. Pribumi, lahir dari keturunan luhur.
b. Sehat, kuat, berani, ulet.
c. Cerdas, punya ingatan yang kuat, pandai, fasih berbicara.
d. Punya watak yang murni, dengan sifat-sifat utamanya: penuh kebaktian, setia,
taat pada kewajiban, punya harga diri, kokoh pendiriannya, bijaksana, mampu
melihat jauh ke depan.
e. Ramah tamah, baik hati, sopan santun.
2 Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2001),
h. 49.
17
f. Terampil, terlatih, baik dalam bidang seni.
g. Mempunyai pengaruh.
Dengan ringkas dapat dinyatakan pemimpin dan kepemimpinan itu di
manapun dan kapanpun selalu diperlukan agar keperluan atau tujuan bersama bisa
dicapai dengan sebagaiman yang diharapkan.3
Mengenai pemimpin dimunculkan beberapa definisi menurut para pakar,
yaitu:
a. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan
dalam satu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain
untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi tercapainya
satu atau beberapa tujuan. Jadi pemimpin itu ialah seorang yang memiliki satu
atau beberapa kelebihan sebagai predisposisi (bakat yang dibawa sejak lahir),
dan merupakan kebutuhan dari satu situasi/ zaman, sehingga dia mempunyai
kekuasaan dan kewibawaan dalam untuk mengarahkan dan membimbing
bawahan. Dia juga mendapat pengakuan serta dukungan dari bawahannya,
dan mampu menggerakkan bawahan karah tujuan tertentu.4
b. Henry Pratt Fairchild menyatakan, pemimpin dalam pengertian luas ialah
seorang yang memimpin, dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial
dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisir atau mengontrol usaha/
upaya orang lain, atau melalui pretise, kekuasaan atau posisi. Dalam
pengertian yang terbatas, pemimpin ialah seorang membimbing, memimpin
3 Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, h. 28. 4 Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, h. 33.
18
dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya, dan penerimaan sukarela oleh
para pengikutnya.5
c. Jhon Gage Allee mengatakan “Leader a Guide, a conductor, a comander”
(pemimpin itu ialah pemandu, penunjuk, penuntun, komandan).6
d. Definisi ini lebih mementingkan aspek politisnya yaitu, pemimpin adalah
kepala aktual organisasi partai di kota, dusun, atau bagian-bagian lainnya.
Sekalipun dia itu secara nominal (pada namanya) saja dipilih secara langsung
oleh pemilih-pemilih pemberi suara partai, secara aktual dia itu sering dipilih
oleh satu kumpulan klik kecil atau langsung oleh supervisor langsung dari
partai. Perbedaan antara bos (kepala, atasan, majikan) dan pemimpin,
sebagian besar tergantung pada metode pemilihan, dan tokoh pemimpinnya
yang melaksanakan kekuasaan.7
Maka dari definisi-definisi di atas disimpulkan bahwa pemimpin dan
kepemimpinan itu selalu diperlukan, dan yang berhak menjadi seorang pemimpin
adalah pribadi yang memiliki kecakapan/ kelebihan dalam satu bidang, mempunyai
kekuasaan, kewibawaan dan mendapat pengakuan serta dukungan untuk
mengarahkan/ membimbing bawahan demi tercapainya satu atau beberapa tujuan
bersama.
5 Henry Pratt Fairchild, Dictionary of Sociology and Ralated Sciences (Littlefield Adam &
Co. Paterson, New Jersey, 1960), h. 174. 6 Jhon Gage Allee, Webster`s New Standar Dictionary (New York, Mc.Laonglin Brothers
Inc, 1969), h. 214. 7Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, h. 33.
19
2. Sebab-musabab Munculnya Pemimpin
Dalam kemunculan pemimpin disebutkan ada tiga teori yang menonjol dalam
menjelaskan kemunculan pemimpin, yaitu:
a. Teori Genetis di dalam tulisan Kartono menyatakan:
Pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi lahir jadi pemimpin dari bakat-bakat
alami yang luar biasa sejak lahirnya.
Dia ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi dan kondisi yang
bagaimanapun juga, yang khusus.
Secara filsafi, teori tersebut mengandung pandangan determinitis.
b. Teori Sosial(lawan teori genetis) menyatakan:
Pemimpin itu harus disiapkan, dididik dan dibentuk, tidak dilahirkan
begitu saja.
Setiap orang berhak menjadi pemimpin, melalui usaha penyiapan dan
pendidikan, serta didorong oleh kemauan sendiri.
c. Teori Ekologis atau sintesis (muncul sebagai reaksi dari kedua teori tersebut
yang lebih dahulu), menyatakan sebagi berikut:
Seseorang akan sukses menjadi pemimpin, bila sejak lahirnya dia telah
memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dan bakat-bakat ini sempat
dikembangkan melalui pengalaman dan usaha pendidikan dan juga sesuai
dengan tuntutan lingkungan/ ekologisnya.
20
3. Tipe dan Gaya Kepemimpinan
Pemimpin itu mempunyai watak, sifat, kebiasaan kepribadian atau sesuatu
yang unik dan khas yang membuat dia berbeda dengan orang lain, hal-hal tersebut
akan mewarnai dan memberikan tipe dan gaya sendiri terhadap kepemimpinannya.
Seperti pemimpin dengan tipe kharismatik, militeristik, administratif, demokratis,
dan banyak lainnnya.8
Kartono mengutip dari W.J Reddin dalam artikelnya What Kind of Manager,
dan disunting oleh Wahjosumido (Dept. P.& K., Pusat Pendidikan dan Latihan
Pegawai, 1982), menentukan watak dan tipe-tipe pemimpin atas tiga pola dasar
yakni:
a. Berorientasikan tugas (task orientation).
b. Berorientasikan hubungan kerja (relationship orientation).
c. Berorientasikan hasil yang efektif (effectivess orientation).
Berdasarkan tiga orientasi tersebut, di dalam tulisan Kartono ditentukan
delapan tipe kepemimpinan, yaitu:
a. Tipe desertir (pempelot)
Sifatnya: bermoral rendah, tidak memiliki rasa keterlibatan, tanpa
pengabdian, tanpa loyalitas dan ketaatan dan suka diramalkan.
b. Tipe birokrat
Sifatnya: correct, kaku, patuh pada peraturan dan norma-norma; ia adalah
manusia organisasi yang tepat, cermat, berdisiplin dan keras.
c. Tipe misionaris
8 Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, h. 29.
21
Sifatnya: terbuka, penolong, lembut hati dan ramah.
d. Tipe developer (pembangun)
Sifatnya: kreatif, dinamis, inovatif, memberikan/ melimpahkan wewenang
dengan baik, menaruh kepercayaan pada bawahan.
e. Tipe atokrat
Sifatnya: keras, ditaktoris, mau menang sendiri, keras kepala, sombong.
f. Benevolent autocrat (autokrat yang bijak)
Sifatnya: lancar, tertib, ahli dalam mengorganisir, besar rasa keterlibatan diri.
g. Tipe compromiser (kompromis)
Sifatnya: tanpa pendirian, tidak mempunyai keputusan, berpandangan pendek
dan sempit.
h. Tipe eksekutif
Sifatnya: bermutu tinggi, dapat memberikan motivasi yang baik,
berpandangan jauh dan tekun. 9
4. Syarat-syarat Kepemimpinan.
Secara konsep, persyaratan dari kepemimpinan itu selalu dikaitkan dengan
tiga hal penting, yaitu kekuasaan, kewibawaan dan kemampuan.10
a. Kekuasaan adalah kekuatan, otoritas, dan legalitas yang memberikan
wewenang terhadap pemimpin guna mengakomodir atau menggerakkan
bawahan untuk berbuat sesuatu.
9 Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, h. 30. 10 Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, h. 31.
22
b. Kewibawaan adalah kelebihan, keunggulan, keutamaan, sehingga orang
mampu mengatur orang lain dan orang yang diatur patuh terhadap pemimpin
itu dan bersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.
c. Kemampuan ialah segala daya, kesanggupan, kekuatan, dan kecakapan atau
keterampilan teknis maupun sosial yang dianggap melebihi dari anggota
biasa.
Pemimpin sebagai seorang yang mengorganisir atau mengatur menurut
Stogdil harus memiliki beberapa kelebihan, yaitu:11
a. Kapasitas: kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara atau verbal
facility, keaslian dan kemampuan menilai.
b. Prestasi atau achievement: gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan, Perolehan
dalam olahraga dan atletik lainnya.
c. Tanggung jawab: mandiri, berinisiatif, tekun, ulet, percaya diri, agresif dan
punya hasrat yang untuk unggul.
d. Partisipasi: aktif, memiliki sosiabilitas yang tinggi, mampu bergaul,
kooperatif atau suka bekerjasama, mudah menyesuaikan diri dan mempunyai
rasa humor.
e. Status: meliputi kedudukan sosial-ekonomi yang cukup tinggi, populer dan
tenar.
Sedangkan Earl Nightingale dan Whitt Scult menuliskan syarat yang harus
dimilki oleh seorang pemimpin adalah:12
11 Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, h. 31. 12 Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, h. 31-32.
23
a. Kemandirian, berhasrat memajukan diri sendiri (individualisme).
b. Besar rasa ingin tahu, dan cepat tertarik pada manusia dan benda-benda.
c. Multi-terampil atau memiliki kepandaian beraneka ragam.
d. Memiliki rasa humor, antusias yang tinggi, suka berkawan.
e. Perfeksionis, selalu ingin mendapatkan yang sempurna.
f. Mudah menyesuaikan diri atau adaptasi yang tinggi.
g. Sabar, ulet dan tidak mudah berhenti.
h. Waspada, peka, jujur, optimis, berani, gigih, ulet, realistis.
i. Komunikatif, serta pandai berbicara atau berpidato.
j. Berjiwa wiraswasta.
k. Sehat jasmani, dinamis, sanggup dan suka menerima tugas yang berat, serta
berani mengambil resik.
l. Tajam firasatnya, adil dalam menimbang.
m. Memiliki motivasi yang tinggi dan menyadari target atau tujuan hidupnya
yang ingin dicapai.
n. Punya imajinasi yang tinggi, daya kombinasi dan daya inovasi.
Yang terpenting adalah seorang pemimpin harus mempunyai beberapa
kelebihan dibanding anggota-anggota lainnya, karena kelebihan-kelebihan itulah
yang membuat dia bisa berwibawa dan dipatuhi oleh bawahan atau anggotanya, dan
yang terutama menurut Kartono, kelebihan dibidang moral moral dan akhlak,
semangat juang, ketajaman inteligensi, kepekaan terhadap lingkungan, ketekunan,
24
memiliki integritas kepribadian tinggi sehingga dia menjadi dewasa dan
bertanggung jawab.13
B. Kepemimpinan Menurut Pemikir Islam
Secara umum sebelumnya dijelaskan bawa bahwa pemimpin dan
kepemimpinan itu selalu diperlukan, dan yang berhak menjadi seorang pemimpin
adalah pribadi yang memiliki kecakapan/ kelebihan dalam satu bidang, mempunyai
kekuasaan, kewibawaan dan mendapat pengakuan serta dukungan untuk
mengarahkan/ membimbing bawahan demi tercapainya satu atau beberapa tujuan
bersama, maka selanjutnya akan dibahas apa itu pemimpin menurut agama Islam.
1. Khazanah lafaz-lafaz yang mengisyaratkan pemimpin di dalam Islam.
Dalam redaksi hadis yang menjadi fokus penelitian ini menyebutkan al-Amr
fi Quraisy (kepemimpinan berada di Quraisy), kata al-amr berasal dari kata amara
yang berarti memerintah, menguasai/ pemimpin, kata pemimpin dalam bahasa Arab
juga digunakan dalam beberapa istilah/ term, yaitu:
a. Term Amīr
Kata amīr merupakan bentuk isim fā'il dari akar kata amara yang berarti
memerintahkan atau menguasai.14 Namun pada dasarnya kata amara memiliki lima
13 Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, h. 32. 14 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir; Arab-Indonesia Terlengkap, Cet.
XIV, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.), h. 1466.
25
makna pokok, yaitu antonim kata larangan, tumbuh atau berkembang, urusan, tanda
dan sesuatu yang menakjubkan.15
Hanya saja, bila merujuk ke al-Qur'an, kata amīr tidak pernah ditemukan di sana,
yang ada hanya kata ul al-amrī yang mengarah kepada makna pemimpin, meskipun
para ulama berbeda pendapat tentang arti ul al-amrī tersebut. Ada yang menafsirkan
dengan kepala Negara, pemerintah dan ulama. Bahkan orang-orang Syi'ah
mengartikan ul al-amrī dengan imam-imam mereka yang ma‘sūm.16 H.A. Djazuli
dalam bukunya Fiqh Siyasah menjelaskan bahwa term amīr atau ul al-amrī dari sisi
fiqh dustūrī.17 adalah ahl al-Hāl wa al-'Aqd, yaitu orang yang memegang kekuasaan
tertinggi dalam pemerintahan dan atau mempunyai wewenang membuat undang-
undang yang mengikat kepada seluruh ummat di dalam hal-hal yang tidak diatur
secara tegas oleh al-Qur'an dan hadis.18
b. Term al-Rā’in
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa term al-Rā’in pada dasarnya berarti
penggembala yang bertugas memelihara binatang, baik yang terkait dengan
pemberian makanan maupun dengan perindungan dari bahaya. Namun dalam
perkembangan selanjutnya, kata tersebut juga dimaknai pemimpin, karena tugas
15 Abū al-Husain Ahmad ibn Fāris ibn Zakariya, Mu'jam Maqāyīs al-Lugah, Juz. I (Beirut:
Dār al-Fikr, 1979), h. 141. 16 H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu
Syariah (Bogor: Kencana, 2003), h. 91-92 17 Fiqh Dustūrī adalah salah satu bagian dari fiqh siyāsah (fiqh dustūrī, fiqh māli, fiqh daulī,
dan fiqh harbī), yang mengatur hubungan antara warga Negara dengan lembaga Negara yang satu dan warga Negara dengan lembaga Negara yang lain dalam batas-batas administratif suatu Negara.
18 H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu
Syariah, h. 92-118.
26
pemimpin sebenarnya hampir sama dengan tugas penggembala yaitu memelihara,
mengawasi dan melindungi orang-orang yang dipimpinnya.19
Hal ini berarti bahwa ketika kata pemimpin disebut dengan term al-Rā’in maka
itu lebih dikonotasikan pada makna tugas dan tanggung jawab pemimpin tersebut.
Lebih jauh lagi, term ri’āyah yang merupakan salah satu bentukan dari akar kata
al-Rā’in hanya ditemukan satu kali dalam al-Qur`an, yakni pada QS. al-Hadīd (57)
ayat 27.
جنيل وجعلن نهم ال نا بعيسى ابن مري وءات ي لنا وق في نا على ءاثرهم برمسم ق ملموب الذين ات ب عموهم رأفة ا ثم ق في ها عليهم إل ابتغاء رضون الل ه فما رعوها حق ن نا الذين ورحة ورهبانية اب تدعموها ما كت ب ات ي رعايتها ف ا
همم أجرهمم وكثري من هم ٢٧م فسقمون ءامنموا من Artinya:“Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan
Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan
Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih
sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak
mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-
adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya
dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang
yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang
fasik”
Di dalam ayat tersebut, kata ri’āyah dihubungkan dengan kata ganti/ dhamir ha
yang merujuk kepada kata ruhbaniyyah. Menurut al-Asfahānī, kata ini berarti takut
yang disertai dengan usaha memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti. Dengan
demikian, seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya harus memiliki
kesadaran akan tanggung jawab tersebut sehingga tugasnya dilaksanakan penuh
19 Sahabuddin et.al. Ensklopedi al-Qur'an; Kajian Kosa Kata (Jakarta: Lentera Hati, 2007)
Juz. III, h. 829.
27
hati-hati, disertai upaya untuk memperbaiki diri sendiri dan orang yang
dipimpinnya.20
c. Term Khalīfah
Kata khalīfah berasal dari akar kata khalafa (yang berarti di belakang. Dari akar
kata tersebut, lahir beberapa kata yang lain, seperti khalīfah (pengganti), khilāf
yang berarti lupa atau keliru.
Khusus untuk kata khalīfah, secara harfiyah berarti pengganti. Makna ini
mengacu kepada arti asal yaitu di belakang. Disebut khalīfah karena yang
menggantikan selalu berada di belakang atau datang di belakang, sesudah yang
digantikan.21
Di dalam al-Qur'an sendiri, kata khalifah disebut pada dua konteks. Pertama,
dalam konteks pembicaraan tentang Nabi Adam as. Konteks ayat ini menunjukkan
bahwa manusia dijadikan khalīfah di atas bumi ini bertugas memakmurkannya atau
membangunnya sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh Allah. Kedua, di dalam
konteks pembicaraan tentang Nabi Daud as. Konteks ayat ini menunjukkan bahwa
Daud menjadi khalīfah yang diberi tugas untuk mengelola wilayah yang terbatas.
Melihat penggunaan kata khalifah di dalam kedua ayat tersebut, dapat dipahami
bahwa kata ini lebih dikonotasikan pada pemimpin yang diberi kekuasaan untuk
mengelola suatu wilayah di bumi. Dalam mengelola wilayah kekuasaan itu, seorang
khalifah tidak boleh berbuat sewenang-wenang atau mengikuti hawa nafsunya.
20 Sahabuddin et.al. Ensklopedi al-Qur'an; Kajian Kosa Kata, Juz. III, h. 829. 21 Sahabuddin et.al., Ensklopedi al-Qur'an; Kajian Kosa Kata, Juz. II, h. 452.
28
Berikut salah satu ayat dalam al-Qurān yang menggunakan kata khalīfah dalam
surat al-Baqarah ayat 30:
ويسفكم فيهاوإذ قال ربك للملئكة إن جاعل الرض خليفة قالموا أتعلم فيها من ي مفسدم مآء وننم نمسبحم بمدك ون مقدسم لك قال إن أعلمم ما ل ت علممون ٣٠ الد
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka
berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalīfah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
d. Term Imām
Kata imām merupakan salah satu bentukan kata dari akar kata أيم-أم . yang berarti
"pergi menuju, bermaksud kepada, dan menyengaja".22 Akan tetapi menurut Ibn
Mansūr di dalam Lisān al-‘Arab, kata imām mempunyai beberapa arti. Di antaranya
berarti setiap orang yang diikuti oleh suatu kaum, baik untuk menuju jalan yang
lurus maupun untuk menuju jalan yang sesat. Sebagaimana firman Allah:
هم ي وم ندعموا كمل أمنس بم
"Ingatlah pada suatu hari Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya". (QS. Al-
Isra`): 71.
Di samping itu, imām juga berarti misāl (contoh, teladan). Imam juga dapat
berarti "benang yang dibentangkan di atas bangunan untuk dibangun dan guna
menyamakan bangunan tersebut.23 Sedangkan Ibn Fāris di dalam Maqāyīs al-
22 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir; Arab-Indonesia Terlengkap, h. 39. 23 Lihat Muhammad ibn Mukrim ibn Mansūr al-Misrī, Lisān al-‘Arab, Juz. XII (Beirut; Dar
Sadir, t.th.), h. 22.
29
Lughah menyebutkan bahwa kata imām memiliki dua makna dasar, yaitu "setiap
orang yang diikuti jejaknya dan didahulukan urusannya", karena itulah Rasulullah
Saw. disebut sebagai imām al-aimmah dan khalīfah sebagai pemimpin rakyat sering
juga disebut imām al-ra'iyyah atau dalam hadis digunakan kata al-imām al-A'zam.
Di samping itu,menurut Ibn Faris, imām juga berarti "benang untuk meluruskan
bangunan".24 Term imām juga digunakan dalam shalat yang memiliki banyak
makna filosofi, diantaranya memiliki aspek spiritual, yakni kedekatan dengan
Tuhan. Ibadah tersebut juga mengarah kepada makna jamā'ah yang berarti seorang
imām haruslah diikuti. Sehingga term imām lebih dikonotasikan sebagai orang yang
menempati kedudukan/ jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian di
dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia.
e. Term Wāli
Kata wāli dalam bahasa arab berarti orang yang dekat dengan fulan,25 menurut
kamus istilah fiqh, wali secara bahasa jug aberarti pelindung, pertolongan, bisa juga
berarti kekuasaan dan kekuatan.26
Secara istilah, yang dimaksud dengan wali menurut fuqaha adalah seorang yang
memiliki kekuasaan untuk melansungkan suatu perkara (akad) tanpa harus adanya
persetujuan dari orang yang di bawah perwaliannya,27 akan tetapi wali juga
mempunyai arti lain yaitu:28
24 Abū al-Husain Ahmad ibn Fāris ibn Zakariya, Mu'jam Maqāyīs al-Lughah (Beirut: Dār
al-Fikr, 1979), Juz I, h. 28-29 25 H. Mahmud Yunus, Arab Indonesia, (Ciputat: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah,
2007), h. 508. 26 Abdul Mudjieb, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 416. 27 Hasan Muarif Ambary, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT. Intermasa, 2005), h. 243. 28 Hasan Muarif Ambary, Ensiklopedia Islam, h. 243.
30
a. Orang yang menurut hukum diberi kewajiban dalam mengurus anak yatim
dan hartanya sebelum anak tersebut dewasa.
b. Pengasuh pengantin perempuan waktu menikah (yang mengakadkan
dengan pengantin pria).
c. Orang shaleh, penyebar agama.
d. Kepala pemerintahan dan sebagainya.
Menurut Jawad Mughniyah, wāli adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i
atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang mempunyai
kelebihan dari orang yang dikuasai demi kemaslahatan.29
Contoh penggunaan kata wāli dalam al-Quran dalam surat al-Taubah ayat 116:
ۥ يتم وما لكمم من دمون هللا من ولى ول نصريى إن هللا لهم ۦ ويم ١١٦ االتوبة مملكم السموت والرض يمى“Artinya: Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia
menghidupkan dan mematikan. Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong
bagimu selain Allah.”
2. Landasan dan Urgensi Kepemimpinan Dalam Islam.
Secara umum definisi kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai sebuah
kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi,
mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan, mengarahkan dan kalau perlu
memaksa orang atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya
berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya sebuah tujuan tertentu yang telah
ditetapkan.30 Dalam Islam, tidak dijelaskan secara rinci tentang bentuk
pemerintahan yang baku.31 Demikian pula Sunnah, Nabi tidak menetapkan
29 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2011), h. 345. 30 Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, h. 49. 31 Menurut Jhon. L. Esposito dalam Islam dan Politik Muslim, Secara teoritik, negara Islam
adalah negara Allah, negara yang memberlakukan syariat Islam dan kedaulatan di tangan Tuhan
31
peraturan secara rinci mengenai prosedur pergantian kepemimpinan umat dan
kualifikasi pemimpin umat.
Menurut para pemikir muslim, keberadaan pemimpin adalah sebuah
keharusan (wajib/ fardhu).32 Kewajiban itu didasarkan pada ijma’ para sahabat dan
tabi’in. Namun para pemikir muslim berbeda pendapat tentang sumber argumentasi
kewajiban itu. Sebagian berpendapat, kewajiban adanya kepemimpinan didasarkan
pada argumentasi rasional belaka, bukan bersumber dari syariat. Sementara
sebagian lainnya meng-anggap kewajiban itu berasal dari ketentuan syariat.33
Ibn Khaldun menjelaskan, kelompok pertama ‘aqli, berpendapat bahwa yang
membuat jabatan itu wajib menurut rasio adalah kebutuhan manusia pada
organisasi dan ketidakmungkinan mereka hidup secara sendiri-sendiri. Salah satu
akibat logis dari adanya organisasi (masyarakat) adalah munculnya silang pendapat
dan tanazu’ (perselisihan). Selama tidak ada penguasa/ pemimpin yang bisa
mengendalikan silang pendapat itu, maka selama itu pula akan selalu timbul
keributan dan kekacauan, yang selanjutnya akan mengakibatkan hancur dan
(Allah Swt.). Negara Islam memiliki tiga komponen penting, yakni: 1) Masyarakat Muslim, 2)
Hukum Islam atau syariat Islam, 3) Khalifah. Tiga komponen ini menjadi prasyarat berdirinya
negara Islam yang sah. Formulasi ini kemudian dijabarkan lebih lanjut oleh Hasan al Turabi (Hasan
Abdullah al Turabi, Fiqh Demokratis, terj. Abdul Haris dan Zaimul Aim, Jakarta: Arasy, 2003, hlm.
11.,) bahwa negara Islam memiliki landasan teologis yang kuat, yakni: 1)Negara Islam tunduk pada
doktrin tauhid, yang meniscayakan religiusitasnya dan sebaliknya menolak sekularitas. 2)Negara
Islam bukanlah negara yang dibatasi oleh wilayah teritorial (nasionalitas), karena kesetiaan utama
hanya diberikan kepada Tuhan, setelah itu barulah diserahkan kepada masyarakat (umat). Karena itu, Islam tidak memperbolehkan adanya kesetiaan terbatas etnis atau teritorial. 3)Negara Islam
bukanlah suatu kesatuan yang berdaulat, karena ia tunduk kepada norma-norma syariat yang lebih
tinggi, yang mewakili kehendak Tuhan. Bahkan, oleh Abul A‟la al Maududi, negara Islam
diletakkan pada prinsip utamanya pada pengakuan kedaulatan Tuhan sebagai sumber segala hukum.
Bahwa, tidak seorang pun yang dapat menetapkan hukum, kecuali Allah Swt. sebagai pemilik
kedaulatan tunggal. 32 Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Basri al-Baghdadi, Al-Ahkam
al-Sultaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), h. 5. 33 Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Basri al-Baghdadi, Al-Ahkam
al-Sultaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, h. 5.
32
musnahnya umat manusia. Namun pendapat ini disanggah oleh Ibn Khaldun.
Menurutnya, ada silang pendapat dan tanazu’ (perselisihan) tidak mesti dihilangkan
dengan kepemimpinan. Keduanya bisa dihilangkan dengan banyak cara, seperti
adanya pemimpin selain juga dengan ikhtiar pada masyarakat untuk menghindari
perselisihan dan perilaku zalim, atau juga dengan adanya syariat. Dengan demikian,
Ibn Khaldun menegaskan bahwa kewajiban mendirikan kepemimpinan bersumber
dari syariat melalui ijma’.34
Dari penjelasan sebelumnya, maka sesuatu yang wajar sekali apabila agama
Islam mengajarkan pula masalah-masalah kenegaraan, sebagai berikut:
a. Menurut ajaran Islam terdapat prinsip-prinsip musyawarah,
pertanggungjawaban pemerintah, kewajiban taat kepada pemerintah didalam
hal-hal yang ma’ruf, hukum-hukum didalam keadaan perang dan damai,
perjanjian antar negara. Dalam sunnah Nabi sering dijumpai kata-kata ‘amir,
imām, sultan yang menunjukkan kepada kekuasaan dan pemerintahan.
34 Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Basri al-Baghdadi, Al-Ahkam
al-Sultaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, h. 191-192. Lebih jauh dijelaskan, keberadaan
kepemimpinan (al-mulk, kerajaan, raja, penguasa) muncul dari keharusan umat manusia untuk hidup
bermasyarakat dan dari penaklukan serta paksaan yang merupakan sisa-sisa sifat amarah dan
kebinatangan ma-nusia. Namun sebagian penguasa berlaku menyimpang dengan memberi beban
yang keterlaluan kepada rakyatnya demi kepen-tingan pribadi. Akibatnya, peraturan-peraturan yang
dibuat oleh sang penguasa seringkali tidak ditaati oleh rakyat. Karena itu, diperlukan peraturan
(hukum) yang bisa diterima dan ditaati rakyat sebagaimana yang terjadi pada bangsa Persia dan
bangsa-bangsa lain. Tidak ada suatu negara pun dapat tegak dan kuat tanpa hukum demikian. Apabila peraturan itu dibuat oleh cendekiawan dan para elite bangsa, maka pemerintahan itu disebut
sebagai negara berdasar atas rasio. Namun bila peraturan itu bersumber dari ketentuan Allah melalui
rasul-Nya, maka pemerintahan itu disebut berdasar atas agama (syariat). Pemerintahan berdasar
agama ini sangat bermanfaat bagi kehidupan duniawi dan ukhrawi bangsa itu. Ibn Taymiyah
memandang keberadaan pemerintahan atau kepemimpinan merupakan sebagian dari kewajiban-
kewajiban agama yang terpenting. Hal itu karena kemaslahahan umat manusia tidak akan sempurna
dan agama tidak akan tegak tanpa adanya kepemimpinan. Sebegitu pentingnya kepemimpinan,
sehingga Rasulullah Saw mewajibkan tiga orang yang sedang bepergian untuk memilih salah
satunya sebagai pemimpin. Selain itu, keberadaan pemimpin juga untuk menegakkan kebenaran dan
menghapuskan kemungkaran (amr ma’ruf nahi munkar).
33
b. Negara penting sekali di dalam rangka melaksanakan hukum-hukum Islam.
Bahkan sebagian hukum Islam tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya negara
seperti hukum pidana.
c. Dikalangan fuqaha dikenal istilah Dar al-Islam dan Dar al-harb. Darul Islam
itu sesungguhnya adalah daulah Islamiyah.
d. Sejarah berbicara kepada kita bahwa Nabi juga seorang kepala negara ketika
beliau berada di Madinah.
Oleh karena itu, mayoritas ulama mewajibkan adanya pemerintahan.35
Kewajiban ini didasarkan kepada: (1) ijma sahabat, (2) menolak bencana yang
ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau akibat tidak adanya pemerintahan, (3)
melaksanakan tugas-tugas keagamaan, (4) mewujudkan keadilan yang sempurna.36
Keadilan yang sempurna tidak berwujud dan kebahagiaan manusia tidak
terjamin, baik di dunia maupun di akhirat, kesatuan mereka tidak sempurna dan
urusan mereka tidak teratur, melainkan dengan adanya pemerintahan Islam yang
35 Kewajiban adanya kepemimpinan didasarkan pada beberapa argumentasi berikut ini:
pertama, firman Allah dalam surat al-Nisa’: 59 dan 83 tentang ketaatan pada ulil amri. Kedua, hadis
Rasulullah yang menyatakan, “Barangsiapa mati dalam keadaan belum berbaiat, maka dia mati
dalam keadaan jahiliyah”. Hadis kedua adalah, “Jika tiga orang di antara kalian bepergian, maka
hendaklah salah satunya dipilih sebagai pemimpin” serta hadis ketiga, “Sesungguhnya manusia yang
paling dicintai oleh dan paling dekat tempat duduknya dengan Allah pada hari kiamat adalah imam
(pemimpin) yang adil”, Ketiga, perkataan para salaf al-salih, antara lain: 1) perkataan Abu Bakar
saat wafatnya Rasul, “Sesungguhnya Muhammad telah melalui jalannya, dan agama ini tetap harus
ada yang mendirikannya (menjaganya)” dan 2) perkataan Umar ibn Khattab: “Tidak ada Islam
kecuali dengan jamaah (komunitas), tidak ada jamaah (komunitas) kecuali dengan imarah
(kepemimpinan), dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan” (Salabi, 1984: 29). Meski
adanya kepemimpin merupakan kewajiban syar’i berdasar ijma’, namun kewajiban itu bersifat
kifayah (fardh kifayah) seperti halnya kewajiban berjihad dan menuntut ilmu. Artinya, apabila ada
ahli yang telah mendirikannya, maka gugurlah kewajiban seluruh masyarakat. Baca: Al-Mawardi,
Abi al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Bashri al-Baghdadi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-
Wilayah al-Diniyyah, h. 6. 36 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Islam dan Politik Bernegara (Jakarta, Bulan Bintang, 1971), h.
62-72.
34
ditegakkan atas dasar agama, lantaran keadilan yang sempurna adalah keadilan
ketuhanan yang dilengkapi oleh syara', bukan oleh undang-undang manusia.37
3. Tujuan Kepemimpinan Menurut Islam
Dalam sejarah peradaban Islam, kepemimpinan memiliki beberapa sebutan.
yaitu: khilafah (subyeknya disebut khalifah), imāmah (subyeknya disebut imām),
dan sultan. Sebutan “imām” dikaitkan dengan imam shalat yang diikuti dan ditaati
tingkah laku dan perbuatannya. Karena itulah, imāmah dalam konteks
kemasyarakatan biasa disebut dengan “imāmah kubra” (kepemimpinan besar).
Penamaan “khilafah” disebabkan oleh kenyataan bahwa para penguasa muslim
adalah mereka yang melanjutkan tugas Nabi Muhammad Saw. terhadap umatnya.
Mereka biasa disebut sebagai khalīfah Rasulullah atau khalīfah saja. Sementara
sebutan “sultan” diberikan oleh umat kepada mereka yang diangkat dan dibai’at
sebagai penguasa.38
Meski memiliki sebutan berbeda-beda namun kesemuanya itu memiliki dua
tujuan utama: menjaga agama dan mengelola kehidupan duniawi. Dengan
kemampuannya sebagai pemimpin agama, seorang pemimpin wajib menyampaikan
kewajiban syariat kepada umat manusia dan berusaha memobilisasikan mereka
untuk melaksanakannya. Sebagai pemimpin duniawi, pemimpin wajib mengurusi
kepentingan umum umat manusia dengan segala kemampuannya.39
37 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Islam dan Politik Bernegara, h. 72. 38 Ahmad Khoirul Fata, “Kepemimpinan Dalam Perspektif, Pemikiran Politik Islam”,
Jurnal Review Politik, Vol 02, No. 01 (Juni 2012): h. 6. 39Ahmad Khoirul Fata, “Kepemimpinan Dalam Perspektif, Pemikiran Politik Islam”, h. 6.
35
Lebih jelasnya, Ibn Taymiyah memaparkan, kepemimpinan memiliki dua
tujuan: pertama, mewujudkan kemaslahatan dalam bidang spiritual (keagamaan)
maupun dalam bidang sosial-ekonomi. Kemaslahatan di bidang spiritual-
keagamaan dilakukan dengan memperbaiki cara hidup beragama umat manusia.
Pengabaian pada tujuan ini dapat menimbulkan kerugian dan kesia-siaan di dunia
dan akhirat. Sedangkan kemaslahatan sosial-ekonomi dicapai dengan cara: 1)
mengelola keuangan negara untuk kesejahteraan rakyat; 2) menjamin ketentraman
melalui upaya penegakan syariat Islam sehingga hukuman hanya diberikan kepada
orang-orang yang melampaui batas.40
Tujuan pertama ini mendapat perhatian cukup serius Ibn Khaldun karena
dianggap sebagai sebab jatuh bangunnya suatu pemerintahan. Menurutnya,
jatuhnya sebuah dinasti didahului oleh tidak berjalannya peran strategis agama
dalam mengarahkan kekuasaan. Ada lima fase perkembangan suatu dinasti
pemerintahan; 1) tahap kesuksesan menggulingkan lawan-lawan politiknya. Pada
fase ini pemimpin menjadi model bagi rakyatnya. Ia juga memutuskan suatu
masalah dengan melibatkan bawahan-bawahannya; 2) tahap pemimpin mulai
berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat; 3) tahap hidup sentosa dan menikmati
kesenangan; 4) tahap kepuasan hati. Ini adalah fase puncak suatu dinasti; 5) hidup
boros dan berlebih-lebihan. Pada fase ini pemimpin mulai merusak hal-hal yang
dulu sudah dibangun oleh pendahulunya. Ia lebih suka mementingkan hawa nafsu
dan kesenangan duniawinya. Akhirnya, dasar-dasar yang telah dibangun
pendahulunya hancur, maka hancur pula dinasti tersebut, Kedua, memerintahkan
40Ahmad Khoirul Fata, “Kepemimpinan Dalam Perspektif, Pemikiran Politik Islam”, h. 6.
36
kebaikan dan mencegah kemung-karan.41 Fungsi ini merupakan fardhu ain
(kewajiban personal) setiap penguasa.
Kebaikan adalah hal-hal yang didalamnya terkandung kemaslahatan dan
keadilan. Baik yang ditentukan oleh syariat ataupun akal.42 Dengan demikian,
kemungkaran adalah hal-hal yang mengandungi kemudharatan dan kezaliman, baik
menurut syariat ataupun akal. Sesungguhnya tujuan mewujudkan kemaslahatan
bersama merupakan tujuan utama adanya syariat Islam.
Maslahah adalah kebaikan yang terkait dengan kelestarian hidup manusia,
kesempurnaan kehidupan manusia, dan pemenuhan kebutuhan intelektual dan
emosional dalam pengertian mutlak.43 Para ahli fikih telah mengelompokkan
kepentingan dan kemaslahatan publik dalam tiga kategori: 1) kemaslahatan yang
meliputi kebutuhan mutlak, seperti perlindungan terhadap jiwa, harta benda,
kesehatan tubuh dan mental; 2) kemaslahatan yang meliputi kepentingan yang tidak
mutlak, tetapi secara umum diperlukan, membawa kesejahteraan sosial, dan
membuat kehidupan anggota masyarakat menjadi lebih mudah; misalnya ketentuan
tentang sarana publik, seperti pembangunan jalan raya dan taman kota; dan 3)
kemaslahatan demi tujuan tertentu, seperti mengedepankan moral dan budaya
islami.44
Dalam konteks kepemimpinan, sebuah kaidah hukum Islam menyatakan
bahwa setiap keputusan pemimpin harus didasarkan pada kemaslahatan rakyatnya
41Ibn Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah Ra’i wa Ra’iyyah (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah. 1988), h. 72. 42Ibn Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah Ra’i wa Ra’iyyah, h. 121. 43Ziauddin Sardar, Kembali ke Masa Depan, terj. R Cecep Lukman Hakim & Helmi
Mustafa (Jakarta: Serambi, 2003), h. 127. 44Ziauddin Sardar, Kembali ke Masa Depan, h. 115.
37
keputusan pemimpin yang menyangkut kepentingan publik harus didasarkan pada
kemaslahatan).45 Urgensi menjaga ke maslahatan publik itu sesungguhnya bukan
sekedar terkait dengan pemimpin dan kepemimpinan, namun seluruh umat Islam
juga memiliki kewajiban untuk menjaganya. Yusuf al-Qardāwi menegaskan bahwa
umat Islam harus lebih memen-tingkan hak dan kepentingan bersama (komunitas/
masyarakat) di atas kepentingan pribadi, dan mendahulukan loyalitas kepada umat
(masyarakat) daripada loyalitas kepada kabilah (kelompok) dan individu.46
4. Prinsip-prinsip Kepemimpinan Menurut islam
Menurut Ahmad Khoirul Fata, agar kemaslahatan yang menjadi tujuan utama
kepemimpinan dapat terwujud, para pemikir muslim memberikan panduan pada
setiap pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya. Ibn Taymiyah
memberikan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan kekuasaan politik. Tiga prinsip
tersebut adalah: 1) amanat, 2) keadilan, 3) musyawarah (syurā). Prinsip ketiga
didasarkan pada QS Ali Imrān ayat 159 dan As-syurā ayat 38.
Prinsip pertama menyangkut dua hal: 1) kekuasaan politik (al-wilāyah), 2)
harta benda. Prinsip amanat dalam politik cukup jelas, bahwa makhluk adalah
hamba-hamba Allah, dan para penguasa adalah wakil-wakil Allah untuk hamba-
hambanya. Namun pada saat yang sama, penguasa juga merupakan wakil-wakil
hamba atas diri mereka sendiri, seperti dua orang yang bermitra (al-syarikāh).47
45Hakim, Abd Hamid. Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqh wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah
(Jakarta: Maktabah Saadiyah Putra,tt), h. 40. 46al-Qardāwy, Yusuf, Fiqh Prioritas, terj. Bahruddin F (Jakarta: Rabbani Press, 1999), h.
169-179. 47Ahmad Khoirul Fata, “Kepemimpinan Dalam Perspektif, Pemikiran Politik Islam”, h. 9.
38
Dengan kata lain, kekuasaan adalah titipan Allah dan rakyat kepada para pemimpin/
penguasa untuk ditunaikan kepada yang berhak (Allah dan rakyat). Bila tidak, maka
penguasa tersebut termasuk telah berkhianat kepada Allah, Rasul, dan rakyat. Ini
tentu berbeda dengan pemahaman al-Mawardi yang menganggap “amanat” lahir
dari kontrak sosial antara rakyat sebagai trustor dan pemimpin sebagai trustee.48
Dalam konteks Surat Al-Nisa’ ayat 58 tersebut, lafadz “amanat” menurut Ibn
Taymiyah mempunyai dua arti: pertama, amanat adalah kepentingan-kepentingan
rakyat yang merupakan tanggung jawab pemimpin untuk mengelolanya.
Pengelolaan itu akan baik dan sempurna jika dalam pemilihan dan pengangkatan
pembantu-pembantunya pemimpin betul-betul memilih orang-orang yang memiliki
kecakapan dan kemampuan. Kedua, amanat dalam ayat tersebut terkait erat dengan
kewenangan memerintah yang dimiliki pemimpin. Jika dalam proses
kepemimpinan dia memilih wakil-wakil dan pembantu-pembantu yang tidak cakap
dan kompeten, maka dia termasuk sudah melanggar amanat-nya.49 Salah satu
perwujudan prinsip amanat ini adalah penempatan orang-orang layak kepada
jabatan yang sesuai dengan kemampuannya.50 Bila proses pemilihan pejabat
didasarkan pada faktor kekeluargaan, persahabatan, kesamaan, baik kesamaan pada
aspek daerah, mazhab, pendapat, atau suku bangsa, suap menyuap, rasa iri, dan
faktor-faktor lainnya yang merupakan bentuk kemungkaran, maka dia termasuk
penguasa yang telah berkhianat pada Allah, Rasul, dan rakyat. Penguasa seperti ini
akan disiksa Allah, mendapat kehinaan, dan kehilangan harta benda. Lebih dari itu
48Ahmad Khoirul Fata, “Kepemimpinan Dalam Perspektif, Pemikiran Politik Islam”, h. 9. 49Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 86. 50Ibn Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah Ra’i wa Ra’iyyah, h. 14.
39
ia akan menjadi faktor utama hancurnya kehidupan bernegara seperti sabda Rasul,
“Apabila suatu urusan diserahkan kepada selain ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya”.51
Sementara itu, prinsip amanat dalam harta benda menegaskan penguasa
untuk mengelola harta benda yang dipercayakan rakyat kepadanya dengan baik.
Ada dua model harta benda yaitu, pertama, harta kekayaan negara (al-amwāl al-
sultaniyyah), seperti hasil zakat dan ghanimah. Dalam hal ini, penguasa harus
mengikuti prosedur yang jelas dalam menghimpun harta dari sumbernya,
mendistribusikan sesuai haknya, dan tidak meng-halangi orang yang berhak
menerimanya. Harta ini harus dikhususkan untuk kemaslahatan kemasyarakatan
secara umum, penguasa juga harus memberikan perlindungan hukum dan
menjamin keamanan bagi orang-orang yang berhak menerima dengan menjaganya
dari berbagai bentuk penyimpangan seperti perampasan, penipuan, dan oleh pejabat
(korupsi). Kedua adalah harta yang terkait dengan persoalan-persoalan yang timbul
dalam masyarakat. Seperti harta hasil mencuri atau penipuan. Harta model ini harus
dikembalikan oleh penguasa kepada pemiliknya.52
Prinsip kedua, keadilan. Dalam QS. al-Nisā` ayat 58 tersebut ditujukan
kepada penguasa politik karena sebagian besar hukum dan hak-hak tidak dapat
ditegakkan kecuali dikelola oleh otoritas kekuasaan politik.53 Menurut Ibn
Taymiyah, ada dua jenis keadilan: syar’iyah dan aqliyah. Keadilan syariat dicapai
dengan menjalankan semua hukum syariat. Sedangkan keadilan rasional dicapai
51Ahmad Khoirul Fata, “Kepemimpinan Dalam Perspektif, Pemikiran Politik Islam”, h. 9. 52Ibn Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah Ra’i wa Ra’iyyah, h. 49. 53Ibn Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah Ra’i wa Ra’iyyah, h. 138.
40
dengan melaksanakan apa yang menurut indera dan akal mengandung maslahah
bagi kehidupan manusia. Ini berlaku pada sebagian bidang muamalat (interaksi
sosial).54
Dari pembahasan di atas maka diambil kesimpulan bahwa kepemimpinan
merupakan tata nilai yang bertujuan untuk kemaslahatan bersama, pemimpin di
dalam Islam merupakan sebuah keharusan/ wajib, dan pemimpin diharuskan
memiliki kemampuan untuk menjaga agama serta kehidupan duniawi dengan
tujuan kemaslahatan.55
C. Kepemimpinan di Indonesia
Dalam penelitian ini penulis mencoba mengaplikasikan hadis tersebut di
Indonesia untuk masa sekarang, maka perlu sedikit dibahas tentang kepemimpinan
di Indonesia.
1. Bentuk Pemerintahan Indonesia
54Ibn Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah Ra’i wa Ra’iyyah, h. 121. Ibn Taymiyah
sangat menekankan prinsip adalah ini sehingga dia punya kecenderungan untuk lebih menyukai
kepemimpinan yang adil meski sang pemimpin dari orang kafir daripada kepemimpinan orang Islam
yang tidak adil (dzalim). Prinsip ketiga, musyawarah (syura), berdasar QS Ali Imran ayat 159 dan
QS Assyura ayat 38. Menurut Ibn Taymiyah perintah bermusyawarah pada surat Ali Imran ditujukan
kepada Nabi Muhammad sebagai pemimpin masyarakat. Kenapa Nabi yang ma’shum (terbebas dari
dosa) disuruh bermusyawarah? Ibn Taymiyah memberikan beberapa alasan: 1) untuk menarik
simpati dan melunakkan hati para sahabat; 2) memberi contoh agar ditiru oleh umat sesudahnya; 3)
sebagai prosedur untuk menelurkan pendapat-pendapat terbaik dalam memecahkan persoalan yang
tidak tertera dalam wahyu. 55 Pada pembahasan sebelumnya disebutkan, tujuan kemaslahatan, pertama, yang meliputi
kebutuhan mutlak seperti perlindungan terhadap jiwa, harta benda, kesehatan tubuh dan mental.
Kedua meliputi kebutuhan yang tidak mutlak tetapi secara umum dibutuhkan seperti membawa
kesejahteraan sosial dan membuat kehidupan masyarakat menjadi mudah. Ketiga kemaslahatan
demi tujuan tertentu, seperti mengedepankan moral dan budaya Islami.
41
Republik Indonesia (RI), umumnya disebut Indonesia, sebuah negara di Asia
Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan
Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia adalah
negara kesatuan yang berbentuk Republik,56 perihal ini tercantum dalam buku UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Sitem Pemerintahan Indonesia
Sistem pemerintahan negara Indonesia dalam Undang-Undang Dasar adalah,
Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), pemerintahan
berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas). Kekuasan dan pemerintahan negara dipegang oleh
Presiden Republik Indonesia,57 dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu
oleh seorang Wakil Presiden, presiden memegang kekuasaan dalam pembentukan
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dan presiden
menetapkan peraturan untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya
untuk kesejahteraan rakyak Indoneisia seperti yang tertulis dalam pembukaan
UUD.58
56Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat (1). 57Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 4 ayat (1). 58Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Pembukaan, Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha
42
Dari data-data di atas, secara umum dengan ringkas dapat dinyatakan
pemimpin dan kepemimpinan itu di manapun dan kapanpun juga selalu
diperlukan.59 Kesimpulan yang senada dengan para pemikir muslim, keberadaan
pemimpin adalah sebuah keharusan (wajib/ fardhu).60 Kewajiban itu didasarkan
pada ijma’ para sahabat dan tabi’in. Secara konsep, persyaratan dari kepemimpinan
itu selalu dikaitkan dengan tiga hal penting, yaitu kekuasaan, kewibawaan dan
kemampuan.61 Dan bagi seorang pemimpin dibutuhkan spesifikasi khusus yang
harus dimiliki agar kepemimpinan berjalan sebagaimana yang seharusnya yaitu;
seorang pemimpin harus mempunyai kapasitas (kecerdasan, kewaspadaan,
kemapuan untuk berbicara serta kemampuan untuk menilai/ menimbang) melebihi
anggota yang dipimpin, pemimpin harus bertanggung jawab (mandiri, mempunyai
sosiabilitas yang tinggi, tekun, percaya diri, mampu melindungi dan punya hasrat
yang unggul) terhadap yang dipimpin dan pemimpin harus mempunyai status
meliputi sosial-ekonomi yang cukup tinggi serta popoler, hal ini senada dengan
kepemimpinan menurut Islam yaitu, kepemimpinan merupakan tata nilai yang
bertujuan untuk kemaslahatan bersama, pemimpin di dalam Islam merupakan
sebuah keharusan/ wajib, dan pemimpin diharuskan memiliki kemampuan untuk
menjaga agama serta kehidupan duniawi dengan tujuan kemaslahatan.
Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 59Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, h. 28. 60Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Bashri al-Baghdadi, Al-Ahkam
al-Sultaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), h. 5. 61Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, h. 31.
43
Namun tidak ditemukan kesimpulan yang mengharuskan maupun
mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin dikhususkan pada satu ras, suku, bangsa
tertentu, sangat bertolak belakang dengan hadis kepemimpinan Quraisy yang
secara tekstual mengisyaratkan pemimpin berada di tangan Quraisy. Maka dari
perbedaan di atas yang menjadi landasan mengapa hadis kepemimpinan Quraisy
tersebut perlu diteliti.
44
BAB III
SEPUTAR TEKS HADIS KEPEMIMPINAN QURAISY
A. Ketersebaran Periwayatan
Setelah melakukan penelitian terhadap defenisi pemimpin dan ragam-
ragamnya dalam Islam, maka selanjutnya dalam bab ini fokus membahas tentang
teks hadis kepemimpinan Quraisy. Dalam penulisan skripsi ini, yang menjadi bahan
utama dalam pengolahan data yaitu hadis Quraisy tentang kepemimpinan yang
diambil dari kitab Sahih al-Bukhāri, hadis di bawah ini saya pilih menjadi sumber
primer karena diriwayatkan oleh al-Bukhāri dalam kitabnya Sahīh al-Bukhārī,
mengikuiti perkataan Ibn Sallah bahwasanya kitab Sahīh al-Bukhārī paling tinggi
derjat ke-Sahīh an nya, berikut redaksi hadis tersebut:
ث د بن جبي بن مطعم يد ث نا أبو اليمان أخبن شعيب عن الزهري قال كان مم حد معا أ ب ث أ سيكون هو عنده ف فد من ق رش أن عبد الل بن عم ا ر يد ب ف طان ف من ق م
ثون ن أن رجالا منكم يد ث قال أما ب عد فإ ب أحادث ليست ف فأثن عى الل با هو أهالكم ف كتاب الل ل توث ر عن جه لئ أ سم رسول الل صى الل عي ال ت ما ا كم إ
مر ف ق رش ل ول إن هذا ا سم سعت رسول الل صى الل عي م أحد إل عاده أهها فإن ما أقاموا الد ف النار عى جه الل 1كب
“Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami
Syu’aib dari al-Zuhri mengatakan, Muhammad ibn Jubair menceritakan,
Mu’awiyah mendapat informasi darinya, ketika itu Jubair berada di sampingnya
saat berada dalam rombongan Quraisy, bahwa Abdullah ibn Amru menceritakan,
bahwa akan ada yang menjadi raja dari orang Qahtan, maka dia seketika murka,
ia lalu berdiri dan memanjatkan puji-pujian kepada Allah dengan pujian
semestinya, kemudian mengatakan; ‘Amma ba’d. Telah sampai berita kepadaku
bahwa beberapa orang di antara kalian menceritakan hadist yang tidak terdapat
1 Abū Abdillah Muḥammad ibn Ismāīl ibn Ibrāhīm al-Bukhārī, Sahīh al-Bukhārī (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), h. 1293.
45
dalam kitabullah dan tidak pula berasal dari Rasulullah, mereka itu adalah orang-
orang jahil (bodoh) dari kalian, jauhilah olehmu angan-angan yang menyesatkan,
sebab aku mendengar Rasulullah bersabda: “‘Kepemimpinan ini berada di
Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka (orang-orang Quraisy), kecuali
Allah yang menelungkupkannya (yang memusuhi) dalam neraka di atas wajahnya,
selama mereka (orang Quraisy) menegakkan agama.”
Sebelum dianalisa lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan penelusuran
bagaimana penyebaran hadis tersebut dengan menggunakan metode Takhrij Hadis,
yaitu penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli
hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap
matan dan sanad hadis tersebut.2 Metode takhrij yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu:
1. Metode Takhrij dengan Mengetahui lafaz pertama dari matan hadis,
menggunakan kitab Mausu`ah Atraf al-Hadis al-Nabawi al-Syarif karya
Muhammad Sa`id Ibn Basyuni. Kitab ini memuat indeks lafaz pertama matan
hadis yang terdapat dalam 150 kitab.3
2. Metode takhrij dengan mengetahui kata-kata yang jarang digunakan dari
suatu bagian matan hadis, menggunakan kitab Mu’jam al-Mufahras li Alfâz
al-Hadîts al-Nabâwî karya A.J. Wensinck.4 Kitab ini memuat indeks kata
yang terdapat dalam sembilan sumber hadis atau Kutub al-Tis’ah. Berikut ini
salah satu contoh cara membaca rumus yang terdapat di dalam kitab ini, yaitu:
3. Jika tidak ditemukan pada dua metode takhrij di atas, maka pencarian
dilakukan melalui search engine Maktabah Syamilah versi. 3.57 50 GB.
2 Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis Nabi, (Bulan Bintang, 2007), h. 41. 3 Abu Hajar Muhammad al-Sa`id ibn basyuni Zaghlul, Maus`ah Atraf al-Hadis al-Nabawi
al-Syarif (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t), Juz 1, h. 16-21. 4 Mahmud al-Thahhan, Usl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,
1991), h. 35.
46
Setelah dilakukan pencarian terhadap hadis dengan menggunakan metode-
metode di atas maka didapatkan hasil sebagai berikut:
1. Metode pertama, pencarian dengan menggunakan kalimat inna haza al-amr
sebagai awal lafaz dari matan hadis pada kitab Mausu`ah Atraf al-Hadis al-Nabawi
al-Syarif yaitu:
6720ح 2611/ص6البخاري:ج (1 779ح 337/ص19املعجم الكبي:ج (2 3309ح 1289/ص3صيح البخاري:ج (3 33799ح 0/ص0كنز العمال:ج (4 780ح 338/ص19املعجم الكبي:ج (5 8750ح 228/ص5السنن الكبى:ج (6 16311ح 141/ص8سنن البيهي الكبى:ج (7 2521ح 315/ص2سنن الدارمي:ج (8 16898ح 94/ص4مسند أمحد:ج (9
3201ح 248/ص4مسند الشاميني:ج (10 14059ح 0/ص0كنز العمال:ج (11 16314ح 143/ص8سنن البيهي الكبى:ج (12 37719ح 526/ص7مصنف ابن أيب شيب :ج (13 32389ح 402/ص6مصنف ابن أيب شيب :ج (14 37991ح 0/ص0كنز العمال:ج (15 19559ح 396/ص4مسند أمحد:ج (16 216ح 142/ص1املعجم الصي:ج (17
2. Metode yang kedua, penelusuran menggunakan kata al-amr, Quraisy dan
kata baqīa yang dibantu kitab Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabâwî,
dan diperoleh informasi periwayatan lewat jalur Sahīh al-Bukhāri, dengan memuat
47
empat riwayat.5 Dua riwayat dalam kitab Manāqib, pada bab Manāqib al-Quraisy,
dan dua riwayat yang lain dalam kitab al-Ahkām, yaitu pada bab al-Umarā Min
Quraisy. Berikut redaksi hadis dalam al-Bukharī
Hadis pertama:
ث نا أبو اليمان أخبن شعيب عن د بن جبي بن م حد الزهري قال كان مم معا ث أ ب طعم يد طان من ق ث أ سيكون م ا هو عنده ف فد من ق رش أن عبد الل بن عمر يد ب ف ف
ث فأثن ع ن أن رجالا منكم يد ث قال أما ب عد فإ ب ون أحادث ليست ف ى الل با هو أهك الكم فإ جه لئ أ سم م كتاب الل ل توث ر عن رسول الل صى الل عي ال ت ما ا
مر ف ق رش ل ول إن هذا ا سم سعت رسول الل صى الل عي عادهم أحد إل أهها فإن ما أقاموا الد ف النار عى جه الل 6كب
“Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami
Syu’aib dari al-Zuhri mengatakan, Muhammad ibn Jubair menceritakan,
Mu’awiyah mendapat informasi darinya, ketika itu Jubair berada di sampingnya
saat berada dalam rombongan Quraisy, bahwa Abdullah ibn Amru menceritakan,
bahwa akan ada yang menjadi raja dari orang Qahtan, maka dia seketika murka,
ia lalu berdiri dan memanjatkan puji-pujian kepada Allah dengan pujian
semestinya, kemudian mengatakan; ‘Amma ba’d. Telah sampai berita kepadaku
bahwa beberapa orang di antara kalian menceritakan hadist yang tidak terdapat
dalam kitabullah dan tidak pula berasal dari Rasulullah, mereka itu adalah orang-
orang jahil (bodoh) dari kalian, jauhilah olehmu angan-angan yang menyesatkan,
sebab aku mendengar Rasulullah bersabda: “‘Kepemimpinan ini berada di
Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka (orang-orang Quraisy), kecuali
Allah yang menelungkupkannya (yang memusuhi) dalam neraka di atas wajahnya,
selama mereka (orang Quraisy) menegakkan agama.”
Hadis kedua:
ث نا عاصم بن ممد قال سعت ث نا أبو الوليد حد هما عن النب صى عن ابن عم أيب حد ر رضي هللا عن سم قال ل زال مر ف ق رش هللا عي هم اث نان ما هذا ا ي من 7ب
5 A.J. Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī, Juz I, h. 87. 6 Abu Abdullah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhārī, Sahīh al-Bukhāri (t.tp.: Dar Mutabī
Syabī, t.t.) Juz IV, h. 217-218. 7 Abu Abdullah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhārī, Shahih al-Bukhārī, Juz IX, h. 217-218
48
“Menceritakan kepada kami Abū al-Walīd, menceritakan kepada kami ‘Āsīm ibn
Muhammad ia berkata, aku mendengarkan dari ayahku dari Ibn ‘Umar ra, dari
nabi Saw. beliau bersabda “Kepemimpinan ini tetap ada di (tangan) Quraisy
selama masih ada dua orang di antara mereka”
Hadis ketiga
ث د بن جبي بن مطعم يد ث نا أبو اليمان أخبن شعيب عن الزهري قال كان مم حد معا أ ب سيكون هو )هم( عنده ف فد من ق رش ث أ ب أن عبد هللا بن عمر يد طان ف من ق م
ن أن رجالا منكم يد ب ث قال أما ب عد فإ ا فأثن عى هللا با هو أه ثون( أحادث ف د ثون ) ت جهالكم لي لئ أ سم ست ف كتاب هللا ل توث ر عن رسول هللا صى هللا عي ما ا كم فإ
ول إن هذا ا سم سعت رسول هللا صى هللا عي أهها فإ مر ف ق رش ل عادهم ال تن ما أقاموا الد هللا ف النار عى جه 8أحد إل كب
“Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami
Syu’aib dari al-Zuhri mengatakan, Muhammad ibn Jubair menceritakan,
Mu’awiyah mendapat informasi darinya, ketika itu Jubair berada di sampingnya
saat berada dalam rombongan Quraisy, bahwa Abdullah ibn Amru menceritakan,
bahwa akan ada yang menjadi raja dari orang Qahtan, maka dia seketika murka,
ia lalu berdiri dan memanjatkan puji-pujian kepada Allah dengan pujian
semestinya, kemudian mengatakan; ‘Amma ba’d. Telah sampai berita kepadaku
bahwa beberapa orang di antara kalian menceritakan (menyebarkan) hadist yang
tidak terdapat dalam kitabullah dan tidak pula berasal dari Rasulullah, mereka itu
adalah orang-orang jahil (bodoh) dari kalian, jauhilah olehmu angan-angan yang
menyesatkan, sebab aku mendengar Rasulullah bersabda: “Kepemimpinan ini
tetap berada di Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka (orang-orang
Quraisy), kecuali Allah yang menelungkupkannya (yang memusuhi) dalam neraka
di atas wajahnya, selama mereka (orang Quraisy) menegakkan agama.
Hadis keempat
ث نا عاصم بن ممد قال سعت أيب عن ث نا أبو الوليد حد هما عن ا حد بن عمر رضي هللا عن سم قال ل زال مر ف ق رش النب صى هللا عي هم اث نان م هذا ا ي من 9ا ب
“Menceritakan kepada kami Abū al-Walīd, menceritakan kepada kami ‘Ashīm ibn
Muhammad ia berkata, aku mendengarkan dari ayahku, dari Ibn ‘Umar ra, dari
8 Abu Abdullah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhārī, Shahih al-Bukhārī, Juz IX, h. 77-78. 9 Abu Abdullah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhārī, Sahīh al-Bukhārī, Juz IX, h. 77-78.
49
nabi, beliau bersabda, “Kepemimpinan ini tetap ada di tangan Quraisy selama
masih ada dua orang di antara mereka (orang Quraisy)”
3. Penelusuran selanjutnya menggunakan kata kepemimpinan Quraisy dapat
ditelusuri dalam kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal memuat delapan riwayat yakni:
Juz II ada tiga riwayat, Juz III ada dua riwayat dan Juz IV ada tiga riwayat.10 Berikut
adalah seluruh matan dan sanad hadis tersebut:
Hadis pertama
ثن أب ث نا عبد الل حد ث ناحد عت أ حد ث نا عاصم بن ممد س ول سعت عبد الل بن معاذ حد ب ى م مر ف ق رش ما ب سم ل زال هذا ا ول قال رسول الل صى هللا عي اث نان ن عمر النا
وهما هكذا«. 11قال حرك أصب عي"Abdullāh menceritakan kepada kami bahwasanya ayahnya berkata: menceritakan
kepada kami Mu’āz, menceritakan kepada kami ‘Asim ibn Muhammad ia berkata:
aku mendengar ayahku berkata: Aku mendengar Abdullāh ibn ‘Umar berkata, Nabi
Saw. bersabda: “Kepemimpinan ini tetap berada pada Quraisy, selama sisa
manusia hanya tinggal dua, ibn Umar menambahkan, beliau (Nabi) menggerakkan
jari jemarinya dengan menunjukkan bilangan dua seperti ini."
Hadis kedua
د بن زد عن أ د بن زد عن عاصم بن مم ث نا مم ثن أب حد ث نا عبد الل حد عن ابن عمر حد بيسم- النب عن ى ف » قال -صى هللا عي مر ف ق رش ما ب اث نان ل زال هذا ا 12النا
"Abdullāh menceritakan, menceritakan kepadaku ayahku, bercerita Muhammad
ibn Yazīd dari ‘Āsim ibn Muhammad ibn Zayd dari ayahnya dari Ibn ‘Umar dari
Nabi saw. bersabda: kepemimpinan tertap berada pada (tangan) Quraisy sekalipun
manusia hanya tinggal dua.
10 A.J. Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī (Leiden: E-J.Brill,
1942) Juz I, h. 92 11 Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal (Beirut: al-
Maktabah al-Islamī, 1398) Juz II, h. 29. Selanjutnya akan disebut sebagai Ahmad ibn Hanbal. 12 Ahmad ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, juz II, h. 128.
50
Hadis ketiga
ى أب اث نا شعب عن ع د بن جعفر حد ث نا مم ثن أب حد ث نا عبد الل حد ثن بكي سد قال حد حد
ك أحد إن رسول ث حدثاا ما أحد ث أحد صى -لل ابن هب الزرى قال قال ل أس بن مالسم ال -هللا عي ف ا لكم ش إن ائم من ق ر » قا عى بب الب يت نن في لم عيكم ح
إن حكموا عدلوا فمن ل ا فوا إن عاهد ا إن استمحوا ف رمحوا ا مث ذل عيهم ح فع ذل أجعني لعن الل المالئك النا هم ف عي 13من
“Abdullahāh menceritakan, menceritakan kepadaku ayahku, Muhammad ibn Ja’far
bercerita Syu’bah dari ‘Alī Abī al-Asad ia berkata: Menceritakan kepadaku Bukair
ibn Wahab al-Jazarī ia berkata: berkata kepadaku Anas ibn Mālik, aku akan
menceritakan kepadamu hadis yang aku certakan pada setiap orang, yaitu
sesungguhnya Rasulullah saw. berdiri di depan pintu rumah, dan kami berada
disitu, dan beliau bersabda: “Pemimpin itu dari Quraisy” sesungguhnya mereka
mempunyai hak atas kalian dan kalian pun mempunyai hak atas mereka juga. Apabila mereka diminta untuk berbelas kasih, mereka akan memberikan belas
kasih, apabila mereka berjanji, mereka menepati janji, dan apabila mereka
menghakimi, mereka berlaku adil. Barang siapa di antara mereka tidak
melaksanakan hal tersebut, maka atas mereka laknat Allah, malaikat, dan seluruh
manusia.”
Hadis keempat
د ث نا سيمان بن دا ثن أب حد ث نا عبد الل حد ث ناحد أ أب ب رز سكني حد ث نا سيار بن سالم س حد إل النب سم- رف ع ا ف وا ائم من ق رش إذا استمح » قال -صى هللا عي إذا عاهد وا رمحوا
إذا حكموا عدلوا فمن ل فع ذل لعن الل المالئك الن هم ف عي أجعني من 14ا“Menceritakan kepada kami ‘Abdullāh, menceritakan kepadaku ayahku,
merceritakan kepada kami Sulaiman ibn Dāud, merceritakan kepada kami Sukain,
merceritakan kepada kami Sayyār ibn Salāmah, ia mendengar ‘Abū Barzah yang
ia sandarkan kepada Nabi saw., beliau bersabda: “pemimpin itu dari Quraisy”.
Apabila mereka diminta untuk berbelas kasih, mereka akan memberikan belas
kasih, apabila mereka berjanji, mereka menepati, dan apabila mereka menghakimi,
mereka berlaku adil. Barang siapa di antara mereka yang tidak melaksanakan hal
tersebut, maka bagi mereka laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia”.
13 Ahmad ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, h. 129. 14 Ahmad ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, juz IV, h. 421.
51
Hadis kelima
ث نا ث نا عفان حد ثن أب حد ث نا عبد الل حد ث نا سيار بن سالم أبو بن عبد سكني حد العزز حدرطني إن غال ق هال قال دخت مأ أب عى أب ب رز إن ف أذن ومئذ ل ل قال رسول الل االمن
سم- استمحوا ف رمحوا رش ثالاثا ما ف عوا ثالاثا ما حكموا ف عدلوا امراء من ق » -صى هللا عي أجعني لعن الل المالئك النا هم ف عي من ا ف وف وا فمن ل فع ذل 15عاهد
“Merceritakan kepada kami ‘Abdullāh, menceritakan kepadaku ayahku, bercerita
‘Affān, bercerita Sukain ibn ‘Abdul‘azīz, merceritakan kepada kami Sayyār ibn
Salāmah ‘Abu al- Minhāl ia berkata: “Aku pergi bersama ayahku kepada ‘Abu
Barzah, pada saat itu di telingaku ada dua anting-anting dan aku masih anak-anak,
ia berkata (Sayyar) Rasulullah saw. bersabda: “pemimpin itu dari Quraisy”
(disebut) tiga kali, selama mereka melaksanakan tiga perkara yaitu: Apabila
menghakimi, berlaku adil, apabila diminta belas kasih, mereka akan memberikan
belas kasih, dan apabila mereka berjanji, menepati. Barang siapa di antara mereka
tidak melakuakannya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia”.
Hadis keenam
ث نا حسن بن ثن أب حد ث نا عبد الل حد ث نا سكني ب موسىحد ن عبد العزز عن سيار بن سالم حدسمى إن ف أذن ومئذ هال الر حى قال دخت مأ أب عى أب ب رز ا رطني أب المن -قال -ل
ال ال . قال ف ت لئماا لذا الى م إن ل ن ق رش فالن ها هنا أبو ب رز إن أمحد الل أن أصب يا ات عى الد يا فالن ها هنا ات عى الد ن قال حت ذكر اب - بن مران عن عبد الم -
إل لذه العصاب المبد الميص بطونم م زرق. قال ث قال إن أحب النا أموال المسمني ن اسم-قال قال رسول الل «. الفيف ظهورهم من دمائهم مراء من ق رش ا» -صى هللا عي
مراء من ق رش ل عيهم حق لم عيكم حق ما ف عوا ثالاثا ما مراء من ق رش ا كموا ف عدلوا ح اهم من ا ف وف وا فمن ل فع ذل ل استمحوا ف رمحوا عاهد أجعني ف عي 16عن الل المالئك النا
“Abdullah bercerita, menceritakan kepadaku ayahku, bercerita Hasan ibn Mūsā,
bercerita Sukain ibn ‘Abdul’azīz dari Sayyār ibn Salāmah ibn Munhāl al-Rayyāhi
ia berkata: “Aku pergi bersama ayahku kepada ‘Abū Barzah-pada saat itu di kedua
telingaku ada dua anting-anting dan aku masih anak-anak, ia berkata (Sayyar),
maka Abū Barzah berkata: Aku memuji Allah, sesungguhnya aku dalam keadaan
mencela kepada salah satu golongan Quraisy, dimana seseorang hanya berperang
15 Ahmad ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, juz IV, h. 421. 16 Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, juz IV, h. 424.
52
demi kepentingan dunia, dan orang yang lainnya (juga) berperang demi
kepentingan dunia, yaitu ‘Abd al-Mālik ibn Marwān, bahkan Ibn al-Azrāq
mengatakan bahwa manusia yang paling aku suka adalah sekelompok orang-orang
ini yang perutnya penuh dengan harta kaum muslimin (orang-orang yang haus
akan harta), dan orang-orang yang mudah menumpahkan darah mereka.
Kemudian ‘Abū Bazrah berkata, Nabi Saw. bersabda: Para pemimpin dari
Quraisy, pemimpin itu dari Quraisy, pemimpin itu dari Quraisy. Aku mempunyai
hak atas mereka, dan mereka mempunyai hak atas kalian, apabila mereka
mengerjakan tiga perkara. Yaitu apabila menghakimi, mereka berlaku adil, apabila
diminta untuk berbelas kasih, mereka akan memberikan belas kasih, dan apabila
mereka berjanji, mereka menepatinya. Maka barang siapa antara mereka yang
tidak melaksanakan hal tersebut, maka bagi mereka laknat Allah, malaikat, dan
seluruh manusia.”
4. Metode Pencarian yang ketiga dalam penelitian ini yaitu menggunakan
bantuan search engine Maktabah Syamilah versi. 3.57 50 GB. Berikut hasil
pelacakannya:
إن هذا امر ف قرش ل عادهم في أحد إل كب هللا عى (1 17جه ما أقاموا الدن
إن هذا المر ف قرش ل عادهم أحد إل أكب هللا لوجه (2 18ما أقاموا الدن
جه عادهمان هذا امر ف قرش ل (3 أحد ال كب هللا عى 19ما أقاموا الدن
جه نازعهمإن هذا امر ف قرش ل (4 هللا عى أحد إل أكب 20ما أقاموا الدن
17 Abu Bakar Aḥmad ibn al-ḥusein ibn Ali al-Baihāqi, al-Sunan al-Kubrā (India: Majlīs
Dā’irah al-Mā’arif an-Niḍāmiyah, 1334 H), jil. 8, h. 141. Dan dengan tambahan ta’ālā: Ala’uddin
Alī ibn Hisāmuddin al-Muttaqi al-Hindī, Kanz al-‘Ummāl fi ṣunan al-Aqwāl wa al-Af’āl
(Mu’assasah al-Risālah, 1981 M/ 1401 H), jil. 12, h. 23. 18 Sulaiman ibn Aḥmad ibn Ayyūb Abū al-Qāsim al-Tabrāni, al-Mu’jam al-Kabīr (Maushul:
Maktabah al-‘Ulūm wa al-Hikam, 1983 M/ 1404 H), h. 337. 19 Abdullah ibn Abdurrahman Abū Muhammad ad-Dārimī, Sunan al-Dārimī (Beirut: Dar al-
Kutub al-Arabī, 1407 H), jil. 2, h. 315. Abu Abdirrahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali an-Nasā’i,
Sunan al-Kubrā, jil. 8, h. 81. 20 Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal (Mu’assasah al-Risalāh, 1999 M/ 1420
H), jil. 28, h. 65.
53
Hadis di atas merupakan hadis riwayat al-Bukhārī yang kami jadikan hadis
acuan untuk melacak hadis-hadis serupa. Hadis dengan redaksi seperti di atas hanya
diriwayatkan oleh al-Bukhārī saja. Pelacakan di atas hanyalah pelacakan yang
didasarkan pada redaksi serupa; hadis riwayat al-Bukhāri. Sebenarnya masih bisa
ditemukan hadis-hadis lain yang menggunakan redaksi yang berbicara tentang
kepemimpinan orang Quraisy. Seperti misalnya hadis riwayat al-Baihāqi (w. 458
H) berikut:
ممد بن عوب حدثنا أمحد بن عبد البار حدثنا وس أخبن أبو عبد هللا الافظ حدثنا أبو العباإن ه ا امر ف قرش ذبن بكي عن ممد بن إساق بن سار ف خطب أب بكر رضى هللا عن قال
ل سم استاموا عى أمره قد بكم ذل أ سعتموه عن رسول هللا صى هللا عي ما أطاعوا هللا أتم الوزراء إخوانا ف الدن ا إن هللا مأ الصابرن فنن امراء اصب تذهب ريكم تنازعوا فتفشوا
ف خطب عمر رضى هللا عن بعده وا رسول شدتكم بهلل معشر اصار أل تسمعأصارن عي استاموا عى هو ول الول من قرش ما أطاعوا هللا سم أ من سع منكم صى هللا عي
21أمره.
Atau riwayat Ibn Abi Saibah (w. 235 H) dalam Musannaf-nya:
ي أيب موسى قال قا النب صى هللا ععن أبو أسام عن عوف عن زد بن خمراق عن أيب كنا عن إذا سم عى بب بيت في فر من قرش فال إن هذا المر ف قرش ما داموا إذا استمحوا رمحوا النا أجعني املالئك إذا ما قسموا أقسطوا فمن ل فع ذل منهم فعي لعن هللا ما حكموا عدلوا
ل عدل. ل ب من صرف
21 al-Bukhari, Sahih al-Bukhāri, h. 1293.
54
Semua informasi tentang redaksi matan hadis-hadis kepemimpinan Quraisy
secara utuh dengan seluruh jalur sanadnya sangat diperlukan untuk menghindari
pemahaman secara parsial tentang hadis ini. Secara keseluruhan jalur periwayatan
hadis-hadis kepemimpinan Quraisy adalah sebagai berikut:
1. Hadis kepemimpinan Quraisy dengan redaksi al-A’immah min Quraisy
terdapat dalam kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal dan redaksi inna haza al-
amr fi Quraisy berada pada kitab sahih al-Bukhārī.
2. Hadis kepemimpinan Quraisy dengan redaksi lain (la yazāllu..) terdapat
dalam tiga jalur periwayat hadis, al-Bukhārī, Muslim, dan Ibn Hanbal.
3. Lafaz tahammul yang dipakai dalam jalur riwayat ini berbeda-beda, ada yang
menggunakan qāla, sami’tu, sanā, haddasanā, akhbaranā,‘an dan inna.
4. Terdapat periwayat yang tidak disebut namanya secara jelas, yaitu pada jalur
sanad al-Bukhārī, yakni Abū al-Yamān, namun menurut al-Asqalanī dalam
Tahzdīb al-Tahzdīb nya yang dimaksud sebenarnya ialah al-Hakam ibn Nafi’
al-Bahranī.22 Selain itu masih terdapat juga periwayat yang tidak disebut
namanya dengan jelas dalam ketiga jalur sanad, al-Bukhārī, Muslim, dan Ibn
Hanbal, yakni dari riwayat Abdullahāh ibn ‘Umar yang disebutkan ‘an Abī.
Setelah ditelusuri ternyata yang dimaksud adalah Muhammad ibn Zayd
Abdullahāh ibn ‘Umar.23
5. Penulis tidak secara rinci meneliti perawi dari hadis kepemimpinan Quraisy
yang dihasilkan dari metode takhrij di atas karena mengikuti perkataan al-
22 Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalanī, Tahzib at-Tahzib, (Beirut: Dar Shadir, t.ţ.) Juz II, h.
441. 23 Jamal al-Din Abī al-Hajjāj Yusuf al-Mizzī, Tahżīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijal (t.tp:
Muassasat al-Risalah, 1985) Juz XXV, h. 226-227.
55
Qastalānī bahwa hadis-hadis di dalam kitab Sahih al-Bukhari paling tinggi
ke-otentikan dan ke-sahih-annya.24
6. Dari hasil penelusuran terhadap hadis di atas menghasilkan lafadz yang
mengisyaratkan kepemimpinan itu berada di suku Quraisy menjadi beberapa
macam yaitu:
مر ف ق رش ل عادهم .1 ف النار ع إن هذا ا الل ن أحد إل كب ما أقاموا الد ى جههم اث نان .2 ي من مر ف ق رش ما ب ل زال هذا ا اث نان .3 ى من النا مر ف ق رش ما ب ل زال هذا ا ا إن اائم من ق رش .4 ا مث ذل ا لكم عيهم ح ستمحوا ف رمحوا إن لم عيكم ح
لعن الل هم ف عي من إن حكموا عدلوا فمن ل فع ذل ا فوا إن عاهد المالئك أجع ني النا
إذا حكموا عدلوا فمن ل .5 ا ف وا إذا عاهد فع ائم من ق رش إذا استمحوا رمحوا أجعني لعن الل المالئك النا هم ف عي من ذل
مراء من ق رش ثالاثا ما ف .6 ا ف وف وا عوا ثالاثا ما حكموا ف عدلوا استمحوا ف ا رمحوا عاهد أجعني لعن الل المالئك النا هم ف عي من فمن ل فع ذل
مراء من ق رش .7 مراء من ق رش ا مراء من ق رش ل عيهم حق ا لم عيكم حق اا ف وف وا فمن ل ما ف عوا ثالاثا ما حكموا ف عدلوا استمحوا ف رمحوا عاهد فع ذل
لعن الل المالئك الن هم ف عي أجعني من ا
Hadis di atas mengisyarakatkan bahwa tidak ada yang boleh mengurusi
masalah kepemimpinan kecuali orang Quraisy, sebelum benar-benar mengamini
pemahaman tersebut, harus ditinjau terlebih dahulu konteks kesejarahan yang
melahirkan sabda ini. Apa yang dimaksud dengan Quraisy? Apakah pada masa
24 Ahmad ibn Muhammad ibn Abu Bakr ibn Adullmalik al-Qastalānī, Irsyādu al-Sari li
Syarhi Sahih al-Bukhāri (Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra, 1323 H), jil. 1, h. 19.
56
sekarang masih diwajibkan memilih pemimpin dari Quraisy sedangkan Islam sudah
meluas dan menyeber ke berbagai penjuru dunia?
B. Siapa itu Quraisy?
Hadis kepemimpinan Quraisy ditemukan di sembilan kitab hadis, bahkan di
antaranya diriwayatkan oleh al-Bukhārī, sebagai perawi hadis yang paling selektif,
ketat dan dan mempunyai standar tinggi dalam meriwayatkan sebuah hadis. Dengan
demikian, kualitas hadis pemimpin Quraisy secara umum bisa dikatakan sebagai
Shahih. Tetapi bagaimana dengan pemaknaan hadis tersebut? Di dalam penelitian
ini penulis mencoba memahami apa itu Quraisy yang tercantum dalam matan hadis
tersebut, dan untuk menganalisa hadis kepemimpinan Quraisy, penelitian ini
menggunkan metode Semantik.
Semantik adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signifikansi atau
maknanya, dalam bahasa C.S Morris, semantik adalah ilmu untuk membaca makna
dari sebuah tanda. Semantik merupakan salah satu dari tiga dimensi analisa
Semiotika, maka dalam kontek Struktural Semiotika, semantik adalah bagian dari
Semiotika, Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure sebagai ilmu yang
mengkaji tentang tanda sebagai bagian kehidupan sosial, menurutnya semiotika
sangat bergantung kepada aturan main atau kode sosial yang berlaku dalam
lingkungan masyarakat, sehingga tanda dapat dimaknai secara kolektif.25
25 Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika, (Bandung: Matahari, 2012), h. 299-
301.
57
Penggunaan semantik dalam pembacaan hadis Quraisy harus didasarkan
kepada pemahaman yang komprehensif mengenai elemen-elemen dasar
semiotika26 yaitu tanda. Keberadaan tanda tidak dapat terlepas dari konteks sosial,
budaya, politik, ekonomi, dan sistem nilai yang dianut pada masa tersebut dan
dimana tanda tersebut berada.27
Kata Quraisy yang diucapkan Nabi Saw. dalam matan hadis tentu juga
disertai oleh aspek-aspek di atas yang telah disebutkan, maka penelitian ini
menjadikan kata Quraisy sebagai tanda dan juga teks yang akan dikembangkan
maknanya menjadi makna konotasi28 dan segala aspek yang menyertai akan
menjadi bahan analisa dalam pemaknaan hadis tersebut.
1. Sejarah Quraisy
Kata Quraisy yang dimaksud adalah salah satu suku dari bangsa Arab
keturunan Nabi Ibrahim yang terkuat.29 Mereka diduga berasal dari keturunan
Ismail (Bani Ismail) melalui anaknya Adnan, ada juga yang menyebut dengan
nama Arab Adnan dan Quraisy termasuk cabang dari ini, mereka adalah adalah
anak dari Fihr ibn Mālik ibn Nadar ibn kinānāh. Quraisy terpecah menjadi
banyak kabilah di antaranya yang terkenal adalah; Jamah, Saham, Adi,
26 Elemen dasar dalam semiotika adalah tanda(penanda/ petanda), aksi tanda (sintagma/
sistem), tingkatan tanda (denotasi/ konotasi), serta relasi tanda (metafora/ metonimi), menurut
Saussure, diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, seni dan desain sebagai fenomena bahasa,
maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda (penanda+petanda= tanda). Baca: Yasraf Amir Piliang,
Semiotika dan Hipersemiotika, (Bandung: Matahari, 2012), h. 301. 27 Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika, h. 348. 28 Makna konotasi adalah makna lapis dua/ makna lain yang bersifat ekplisit. Baca: Yasraf
Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika, (Bandung: Matahari, 2012), h. 305. 29Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Pener:
Qomaruddin SF, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Merdeka, 2007), h. 16.
58
Makhzum, Ta`im, Zahrah, dan keturunan Qushai ibn Kilab. Keturunan dari
Adnan mulai banyak, mereka tersebar keseluruh penjuru Arab, mengais rezeki
di tempat-tempat yang subur, Quraisy adalah salah satu dari keturunan tersebut
bermukim di Makkah dan sekitarnya, mereka tidaklah bersatu sebelum nantinya
Qushay mempersatukannya.30 Sekitar empat ratus tahun sesudah Masehi,
seorang lelaki Quraisy bernama Qushay menikahi anak perempuan Hulāyl ibn
Hubsyah, pemimpin Khuza’ah, Posisi Jumhur sebagaia penguasa Kota Suci
Makkah, Khuza’ah adalah suatu suku Arab Keturunan Ismail yang telah
bermigrasi dari yaman.31 Hulayl menganggap menantunya sebagai anak
kandung sendiri.32 Setelah itu, pada masa kelahiran Nabi Muhammad
Saw(571M) penduduk kota Makkah terdiri dari berbagai suku bangsa. Elemen
Sentral dan yang berkuasa terkenal dengan sebutan Quraisy Dalam (Quraisy of
Inside),33 Pertama, terdiri dari sekelompok saudagar bisnis yang aristokratis,
bankir-bankir dan pedagang-pedagang, wirasuasta dan tokoh-tokoh yang
sebenarnya berkuasa terhadap perdangan transisto. Kedua, sesudah mereka
adalah kelempok yang disebut dengan Quraisy Luar (Quraisy of the Outsider),
yaitu sejumlah penduduk yang lebih kecil, terdiri dari pedagang-pedagang,
pemukim-pemukim yang lebih muda dan statusnya lebih rendah, terahir,
sekelompok proletar yang terdiri dari orang asing dan Badui. Di luar kota
30Syaikh Shafyyur-Rahman al-Mubarakfury, Sejarah Hidup Muhammad; Sirah Nabawiayah,
(Jakarta: Robbani Press, 1998 ), h. 8-9. 31 Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, h. 16. 32 Menganggap menantu sebagai anak sendiri adalah sesuatuyang tidak lazim pada bangsa
arab masa itu. Martin Lings, baca: Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik,
Pener: Qomaruddin SF, h. 16. 33Benard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, Pener: Said Jamhuri, h. 17-18.
59
Makkah ada Quraisy Arab, yaitu hidupnya yang tergantuk pada situasi dan
kondisi, pemerintahan kota Makkah dilukiskan oleh Lammens sebagai Republik
Kota Saudagar.34 Menurut sejarah mereka dikatan sebagai suku yang paling
kuat, paling dominan, terkemuka dan berwibawa dibandingkan suku Mudhar
lainnya. Tidak hanya itu mereka juga paling disegani di jazirah Arab pada masa
dahulu, masyarakat arab sangat patuh dan tunduk pada mereka.35
2. Populasi dari Masyarkat Quraisy
Disaat Hulayl meninggal terjadilah perang antara Khuza’ah dan Quraisy,
pada ahirnya peperangan tersebut berimplikasi pada kemenangan Qushay untuk
menguasai Makkah dan Kakbah, ada tiga riwayat yang menjelaskan sebab
terjadinya peperangan tersebut, yaitu: Pertama, takkala anak-anak dan keluarga
Qushay sudah bertebaran, hartanya berlimpah dan posisinya di masyarakat
sudah mapan, sementara Hulayl pun sudah tiada, Qushay memandang dirinya
lebih berhak untuk menguasai Makkah dan Kakbah dari pada Khuza’ah dan Bani
Bakr, karena Qushay adalah pangkal Bani Ismail, maka Qushay berbicara
kepada tokoh-tokoh Qurasih dan Bani Kinanah untuk mengusir Khuza’ah dan
Bani Bakr dari Makkah. Merekapun menyambutnya.
Kedua, menurut Khuza’ah, Hulayl berwasiat kepada Qushay untuk mengurus
kota Makkah. Ketiga, Hulayl mengangkat anaknya, Haba untuk mengurus Baitul
Haram, dan mengangkat Abu Ghabsyan lah yang bertindak sebagai pelaksana
pengurusan Kakbah, menggantikan Hulayl, takkala Hulayl meninggal dunia
34 Benard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, Pener: Said Jamhuri, h. 17. 35 Abdul Karim Munte , Dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis (Tangerang
Selatan: Yayasan Pengkaji Hadis el_Bukhori, 2017), h. 94-95.
60
Qushay membeli kekuasaan atas Baitul Haram dari Tangan Abu Ghabsyan, dan
Khomer, Khuza’ah tidak rela terhadap jual beli tersebut dan berusaha
menghalangi Qushay dari kekuasaan terhadap Kakbah. Maka Qushay
mengumpulkan Bani Kinanah dan tokoh-tokoh Quraisy untuk mengusir
Khuza’ah dari Makkah. Apapaun yang terjadi, Qushay bertekat untuk
memerangi mereka, dan terjadi peperangn yang sengit. Akan tetapi Khuza’ah
dan Bani Bakr yang menjadi mangsa bagi Qushay mengajak untuk berdamai dan
berhukum kepada Yamur ibn Auf salah seorang Bani Bakr, maka disepakati
bahwa Qushay lah yang berhak atas Makkah dan Kakbah.
Melalui perundingan, ditetapkan bahwa Qushay menggantikan mertuanya
menjadi pemimpin Makkah dan penjaga Ka`bah.36 Maka Qushay membawa
anggota Quraisy yang merupakan keluarga terdekatnya untuk tinggal di
Makkah, dekat dengan Rumah Suci.37 Mereka adalah Zuhrah; saudaranya,
Taym; pamannya, Makhzum; anak pamannya yang lain. Mereka dan
keturunannya kemudian dikenal dengan nama Quraisy Lembah. Sementara
sanak-sanak Qushay yang lain yang tinggal di lembah-lembah yang mengelilingi
Makkah dan diluar kota dinamakan dengan Quraisy Pinggiran, suku Quraisy
sudah mendominasi populasi kota Makkah.38
36 Syaikh Shafyyur-Rahman al-Mubarakfury, Sejarah Hidup Muhammad; Sirah
Nabawiayah, h. 19-21. 37 Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, h. 17. 38 Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, h. 17.
61
3. Kekuatan Ekonomi dan Politik Suku Quraisy
Qushay memerintah di Makkah bak seorang raja dengan kekuasaan yang
tidak tertandingi. masyarakat Makkah membayarnya setiap tahun dengan
domba, sehingga dia dapat menyediakan makanan untuk jamaah Haji yang tak
mampu. Sebelumnya para Penjaga Kakbah tinggal ditenta-tenda disekitar
Kakbah, Qushay menyuruh mereka membangun rumah, setelah itu membangun
sebuah kediaman yang luas untuknya yang dikenal dengan Rumah Majelis.39
Menjelang Qushay meninggal dia berpesan kepada anaknya Abdul al-Dar,
“wahay anakku, aku akan menetapkan siapa yang bakal menjadi pemimpin
semua orang. Tidak ada yang dapat memasuki Kakbah kecuali engkau yang
membukakannya, selain tanganmu tiada yang boleh menandai peperangan bagi
kaum Quraisy. Tidak ada yang boleh meminum air di Makkah dalam perjalanan
hajinya kecuali engkau yang yang memberinya, tidak ada yang yang boleh
makan kecuali engkau yang memberinya. Tak ada yang boleh segala urusan
Qurasih kecuali dalam rumahmu”. Qushay memewarisakan seluruh hak dan
kekuasaannya kepada putra40 kesayangannya tersebut, termasuk kepemilikkan
Rumah Majelis.41 Kota Makkah yang dihuni oleh Suku Quraisy dari Arab Utara
39 Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, h. 17. 40 Suatu karakter khas dari keturunan Qushay adalah setiap generasi harus ada pemimpin bagi
semua, dari empat putra Qushay, Abdul Manaf adalah sebagai putra yang dihormati semasa Qushay hidup, akan tetapi dia milih Abdul al-Dar meskipun dia yang paling kurang kecakapannya sebagai
pengganti. Baca: Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Pener:
Qomaruddin SF, h. 17. 41 Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, h. 19. Abdul
Manaf mematuhi keinginan ayahnya tanpa protes, akan tetapi pada generasi berikutnya, separo kaum
Quraisy berdiri di belakang putra Abdul Manaf, Hasyim, lelaki paling terkemuka saat itu, dan
menuntuk agar pemerintahan dialihkan dari klan Abdul al-Dar ke Klan Abdul Manaf, mereka yang
mendukung Hasyim dan saudara-saudaranya itu adalah keturunan Zuhrah dan Taym dan seluruh
anak cucu Qushay kecuali dari anak pertama. Keturunan Makhzum dan para sepupu yang lebih jauh
menerima pemerintahan bani Abdul al-Dar. Kaum wanita dari Bani Abdul Manaf kemudian
62
yang dalam waktu singkat berkembang menjadi masyarakat perdagangan yang
penting.42 Data-data di atas menunjukkan bagai mana kekuatan politik dan
ekonomi yang mapan dari Suku Quraisy.
Kewajiban masyarakat Makkah untuk membayar upeti kepada Qushai, secara
tidak lansung juga menggambarkan bagaimana aliansi Qushai sebagai Suku
Quraisy dengan klan-klan yang lain, yang dengan otomatis juga memberikan
kekuatan politik kuat kepada Suku Quraisy, hal itu menjadikan Suku Quraisy
mempunyai derajat tertinggi dibanding suku lain.43 fakta lain yang
memperkukuh kekuatan dari Suku Quraisy yaitu, Quraisy sebagai pemegang
kunci Kakbah dan air, dimana segala kegiatan keagamaan di Kakbah bisa
berlansung di bawah kendali dari Quraisy, dan air yang kita ketahui adalah
sebagai sumber kehidupan-pun berada dalam kendali Quraisy, karena itu suku
Quraisy dapat memberikan perlindungan serta mampu melerai konflik dan
perpecahan. bisa dikatakan keberlansungan kehidupan di Makkah tergantung
membawa secawan minyak wangi dan meletakkannya di sebelah Kakbah. Hasyim beserta seluruh
pengikutnya mencelupkan tangan ke cawan dan mengangkat sumpah agar tidak menggangu satu
sama lain, kelompok ini dikenal sebagai Kelompok Harum (al-Muthayyibun), kemudian kelompok
dari Abdul al-Dar mengangkat sumpah dikenal dengan nama Kelompok Sekutu (al-Ahlaf).41
Peperangan benar-benar di tidak hanya di Kakbah saja, tapi juga dalam kawasan Makkah dalam
radius beberapa mil. Kedua pihak harus mendirikan perjanjian dan menghindari pertumpahan darah.41 Maka disepakati bahwa keturunan Abdul Manaf berhak menentukan pajak dan
menyediakan makanan dan minuman bagi para jamaah haji, dan keturunan Abdul al-Dar berhak
memegang kunci Kakbah dan hak-hak mereka yagn lain, dan tempat tinggal mereka harus diteruskan
fungsinya sebagai Rumah Majelis. Baca: Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan
Sumber Klasik, h. 18. Dalam sumber lain lain Rumah Majelis disebut sebagai sebagai Darun-
Nadwah. Baca : Syaikh Shafyyur-Rahman al-Mubarakfury, Sejarah Hidup Muhammad; Sirah
Nabawiayah, h. 22. 42Benard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah,Pener: Said Jamhuri (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1994), h. 16. 43Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, h. 21.
63
kepada keputusan Quraisy, Suku Quraisy juga dikatakan memiliki sikap amanah
dan solidaritas sosial yang sangat kuat.44
Dari fakta sejarah yang telah dipaparkan di atas, penulis membuat point-point
penting terkait dengan Suku Quraisy, yaitu: Quraisy adalah nama dari suku bangsa
Arab keturunan Ibrahim yang terkuat, Quraisy termasuk sebagai suku tertua di
daerah Makkah, Quraisy menguasai kota Makkah sebagai pemegang kunci Kakbah
dan penyelenggara Haji, aliansi antar suku yang kuat, Suku Quraisy memiliki sikap
amanah, solidaritas sosial yang kuat. Suku Quraisy dapat memberikan
perlindungan, mampu melerai konflik dan perpecahan, suku-suku lain sangat segan
dan patuh serta tunduk kepada Qurais, serta mempunyai kekuatan politik yang kuat
karna secara otomatis disokong oleh poin-poin yang telah disebutkan sebelumnya.
Dari poin-point tersebut disimpulkan bahwa dibalik kata Quraisy yang yang
menjadi fokus penelitian ini ternyata mempunyai makna yang berbeda dari arti
tekstualnya, dalam tulisan ini saya memaknai Quraisy menjadi dua kriteria ;
1. Keluhuran tata sosial
- Dengan alasan, Suku Quraisy dikenal memiliki sikap amanah, berwibawa
dan solidaritas yang kuat, hal ini sangat penting bagi seorang pemimpin,
sebagaimana di bab II sebelumnya disebutkan.45
44 Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, h. 21. 45 Pemimpin dan kepemimpinan itu di manapun dan kapanpun juga selalu diperlukan.
Kesimpulan yang senada dengan para pemikir muslim, keberadaan pemimpin adalah sebuah
keharusan (wajib/ fardhu). Kewajiban itu didasarkan pada ijma’ para sahabat dan tabi’in. Secara
konsep, persyaratan dari kepemimpinan itu selalu dikaitkan dengan tiga hal penting, yaitu
kekuasaan, kewibawaan dan kemampuan. Dan bagi seorang pemimpin dibutuhkan spesifikasi
khusus yang harus dimiliki agar kepemimpinan berjalan sebagaimana yang seharusnya yaitu;
seorang pemimpin harus mempunyai kapasitas (kecerdasan, kewaspadaan, kemapuan untuk
berbicara serta kemampuan untuk menilai/ menimbang) melebihi anggota yang dipimpin, pemimpin
harus bertanggung jawab (mandiri, mempunyai sosiabilitas yang tinggi, tekun, percaya diri, mampu
melindungi dan punya hasrat yang unggul) terhadap yang dipimpin dan pemimpin harus mempunyai
64
2. Dominan/ berpengaruh (berwibawa, cerdas, mempunyai kekuatan ekonomi
dan stabilitas politik)
- Perekonomian Suku Quraisy yang mapan serta kekuatan politik yang kuat
dan masa yang banyak sehingga mampu memberikan perlindungan dan
melerai konflik dan perpecahan.
C. Hadis Kepemimpinan Quraisy Sebagai Simbol
مر ف ق رش ل .......... ول إن هذا ا سم عادهم أحد سعت رسول الل صى الل عين ما أقاموا الد ف النار عى جه الل 46إل كب
............aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kepemimpinan ini
berada di Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka, selain Allah
menelungkupkannya dalam neraka di atas wajahnya, selama mereka
menegakkan agama.”
Untuk memahami hadis di atas, ada beberapa hal yang harus di bahas.
Pertama yang harus dipertimbangkan adalah faktor geo-politis.47 Hadis ini tentu
tidak bisa digeneralisir untuk seluruh pemerintahan yang ada di negara-negara
Islam atau yang mayoritas penduduknya agama Islam. Karena memang tidak
mungkin misalnya orang Indonesia mengangkat orang Quraisy untuk memimpin
negara. Salah satu penyebabnya adalah ketidaktahuan mereka. Bagaimana kondisi
alamnya, politiknya, ekonominya, budayanya dan agamanya. Pengetahuan-
status meliputi sosial-ekonomi yang cukup tinggi serta popoler, hal ini senada dengan
kepemimpinan menurut Islam yaitu, kepemimpinan merupakan tata nilai yang bertujuan untuk
kemaslahatan bersama, pemimpin di dalam Islam merupakan sebuah keharusan/ wajib, dan
pemimpin diharuskan memiliki kemampuan untuk menjaga agama serta kehidupan duniawi dengan
tujuan kemaslahatan 46 Abū Abdillah Muḥammad ibn Ismāīl ibn Ibrāhīm al-Bukhārī, Sahīḥ al-Bukhārī (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), h. 1293. 47 Baca lebih jauh tentang metode jughrafiyah al-hadis dalam: Ali Mustafa Yaqub, al-Turuq
al-Sahīhah fi Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyyah (Ciputat: Darus-Sunnah, 2015), h. 73-82.
65
pengetahuan tentang sisi sektoral tersebut mesti dipahami oleh seorang kepala
negara sehingga kebijakan-kebijakannya sesuai dengan unsur-unsur potensial
negara.48
Berbeda jika kondisinya di Arab pada saat itu. Tak diragukan lagi, bangsa
Quraisy merupakan salah satu gen arya dikalangan suku-suku Arab. Sebagai salah
satu suku tertua dalam garis keturunan Arab, tentu orang Quraisy memahami apa
yang ada di Arab sana. Dengan bekal ini pula mereka tentu memiliki kekuatan
politik yang besar ditimbang suku-suku lainnya. Dengan jumlah anggota mayoritas
dan kerapatan aliansi, tentu mendorong Nabi untuk mengharuskan kepemimpinan
diserahkan kepada bangsa Quraisy. Karena sebuah pemerintahan akan kuat ketika
disokong oleh kekuatan-kekuatan lainnya. Oleh karena itulah, pemahaman hadis di
atas terbatas pada kondisi dan situasi.49 Silap pemahaman ini kemudian membawa
hadis ini kepada wilayah pemaknaan yang lebih simbolik.50
Pertimbangan kedua adalah faktor ideologi-politis-normatif. Hadis ini
disabdakan Nabi Muhammad Saw. sebelum benar-benar muncul fenomena
keretakan politik di kalangan umat Islam. Ringkasnya, hadis semacam ini masuk
jenis hadis-hadis futuristik yang mencoba membaca kondisi masa depan. Oleh
karena itu, pada masa Nabi hadis ini tidak begitu populer. Karena memang posisi
Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin sudah sangat disegani, ideal dan sesuai
48 Daoed Joesoef, Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional (Jakarta:
Kompas, 2014), h. 29-63. 49 Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Ibnu al-Battāl dalam syarhnya. Baca: Abu al-Hasan
Ali ibn Khalaf ibn Abdilmalik ibn Battal al-Bakri al-Qurtubī, Sharah Sahih al-Bukhāri li Ibn al-
Battāl (Riyadl: Maktabah al-Rusyd, 2003 M/ 1423 H), ji. 8, h. 211. 50 Hadis tersebut lebih bersifat Politis-Sosiologis, karena keharusan pemimpin dari Suku
Quraisy saat ini tentu akan menimbulkan perpecahan dan permasalahan. Baca: Abdul Karim Munte,
Dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis, h. 95.
66
dengan keinginan mereka. Tapi, sebagai seorang Nabi dan politikus ulung, Nabi
tentu mampu menjangkau sebuah pemikiran akan kebutuhan hadis yang bernuansa
politik ini. Akhirnya, hadis ini pun ternyata juga dipakai dan mulai tenar ketika
keretakan politik pertama terjadi setelah Rasulullah wafat. Kaum Anshar ingin
mengangkat pemimpin dari Anshar, begitu juga Muhajirin. Hadis ini semakin kuat
pengaruhnya ketika ada pertentangan antara kelompok Ali dan kelompok
Mu’awiyah.51 Muncullah kemudian faksi Quraisy yaitu kelompok Ali dan faksi
Qathān yaitu kelompok Mu’awiyah. Unsur ideologis semacam ini yang kemudian
membawa kebakuan dalam memahami hadis-hadis berbau politik; salah satunya
hadis Quraisy.
Dari pertimbangan-pertimbangan yang sudah kami tebar sebelumnya, dapat
ditarik satu pemahaman bahwa hadis mengenai kepemimpinan Quraisy merupakan
hadis simbolik yang dikemas dengan tata nilai yang hanya cocok untuk konteks
masanya. Maka dari pesan yang disampaikan Nabi Muhammad SAW melalui hadis
pemimpin dari Quraisy adalah pengangkatan pemimpin bukan hanya semata
berasal dari keturuna atau suku semata, akan tetapi siapa yang mempunyai
pengaruh kuat, berwibawa, mampu memberi perlindungan, cerdas dan paling
dominan, pada masa lalu kriteria ini mungkin hanya diwakili atau dimiliki oleh
Suku Quraisy saja. Pada masa sekarang belum tentu Suku Qurasih memiliki kriteria
seperti di atas, dan Islam sudah menyebar ke berbagai melahan dunia dan dianut
oleh bermacam suku dan ras, mengharuskan pemimpin dari Suku Quraisy tentu
51 Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakr bin Abdulmalik al-Qastalāni, Irshādu al-Sārī li Sarhi
Sahīh al-Bukhāri (Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra, 1323 H), jil. 6, h. 6.
67
hanya menimbulkan perpecahan dan permasalahan, oleh sebab itu, Sabda Nabi
tersebut lebih bersifat Politis-Sosiologis, bukan teologis.
D. Hadis Kepemimpinan Quraisy dalam Konteks Keindonesiaan
Indonesia atau Nusantara adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik,
Kekuasan dan pemerintahan negara dipegang oleh Presiden Republik Indonesia,52
dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden,
dengan kata lain pemimpin untuk Republik Indonesia dipegang oleh seorang
presiden, sebagai negara dengan mayoritas muslim terbanyak, persoalan dalam
penganggkatan pemimpin tentu menjadi masalah tersendiri bagi penduduk
Indonesia, salah satunya yaitu, apabila pengangkatan pemimpin di Indonesia harus
sesuai dengan hadis kepemimpinan Quraisy, tentu akan sangat sulit dan
menimbulkan masalah apabila hadis tersebut benar-benar diartikan dan
diaplikasikan secara tekstual, maka hanya Suku Quraisy yang berhak memimpin
Indonesia.
Di atas telah dibahas makna di balik kata Quraisy yang disabdakan Nabi
Muhammad Saw., bahwa hadis tersebut tidak mesti di maknai secar literal dan
tekstual, karena hadis tersebut hanya sesuai untuk masanya dan hadis Quraisy lebih
bersifat Simbolik, inti utama dari hadis tersebut terletak pada subtansinya, bukan
pada makna literalnya, yang dimaksud Nabi Saw. dalam pengangkatan pemimpin
bukan hanya berdasarkan pada keturunan semata, tetapi kepada siapa yang
mempunyai pengaruh kuat, dominan dan berwibawa. Ketika diterapkan terhadap
52Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 4 ayat (1).
68
Nusantara, yang berhak menjadi pemimpin adalah yang sesuai dengan kriteria yang
telah dimunculkan oleh kata Quraisy dalam hadis kepemimpinan Quraisy.
Jika di pembahasan sebelumnya saya membagi makna Quraisy menjadi dua
kriteria; keluhuran tata sosial dan dominan dan berpengaruh, maka apabila
diaplikasikan dalam konteks Keindonesiaan maka kriteria penting yang harus
dimiliki oleh calon pemimpin Nusantara berdasarkan hadis kepemimpinan Quraisy
adalah:
1. Keluhuran tata sosial
- Pemimpin Indonesia harus mempunyai sikap yang amanah, amanah dalam
memegang janji, amanah terhadap tugas yang dipikul serta harus
mempunyai jiwa solidaritas yang kuat terhadap masyarakat, karena
pemimpin adalah seorang yang diberi amanah untuk mencapai
kemaslahatan bersama dunia dan ahirat.
2. Dominan dan berpengaruh
- Sama halnya dengan dengan suku Quraisy, pemimpin Indonesia harus
mempunyai karakter yang dominan dan berpengaruh, ada beberapa faktor
yang dibutuhkan dalam poin ini yaitu: disokong oleh kekuatan politik yang
kuat dan ekonomi yang mapan, mempunyai banyak pendukung, tegas,
berwibawa serta cerdas, hal ini diharuskan agar bisa memberikan
perlindungan dan melerai konflik serta perpecahan. Mengingat Indonesia
secara keseluruhan adalah negara kepulauan, mempunyai kurang lebih
742 bahasa dan 1340 suku, spesifikasi pemimpin yang disimbolkan
dengan Suku Quraisy oleh Nabi Saw akan sangat dibutuhkan.
69
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk merangkul, mengajak,
mengarahkan masyarakat atau pengikut demi kemaslahatan maupun tujuan
bersama, untuk itu dibutuhkan seorang pemimpin dengan kriteria Quraisy lampau.
70
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk memahai hadis Kepemimpinan Quraisy yang harus diperhatikan
adalah, Pertama, faktor geo-politis. Hadis ini tentu tidak bisa digeneralisir untuk
seluruh pemerintahan yang ada di negara-negara Islam atau yang mayoritas
penduduknya agama Islam. Karena memang tidak mungkin misalnya orang
Indonesia mengangkat orang Quraisy untuk memimpin negara. Bagaimana kondisi
alamnya, politiknya, ekonominya, budayanya dan agamanya. Pengetahuan-
pengetahuan tentang sisi sektoral tersebut mesti dipahami oleh seorang kepala
negara sehingga kebijakan-kebijakannya sesuai dengan unsur-unsur potensial
negara. Kedua, faktor ideologi-politis-normatif. Hadis ini disabdakan Nabi
Muhammad Saw. sebelum benar-benar muncul fenomena keretakan politik di
kalangan umat Islam. Ringkasnya, hadis semacam ini masuk jenis hadis-hadis
futuristik yang mencoba membaca kondisi masa depan.
Secara teks, hadis tersebut mengisyaratkan bahwa kepemimpinan itu adalah
urusan bagi orang-orang Quraisy, akan tetapi di balik makna Quraisy yang menjadi
fokus penelitian ini ternyata menghasilkan makna yang lain, yaitu; keluhuran tata
sosial, dominan serta berpengaruh, akan berbeda bila kondisinya di Arab pada dulu
saat Hadis tersebut disabdakan Nabi SAW, sebagai salah satu suku tertua di garis
keturunan Arab, mereka juga memiliki kekuatan politik yang besar ditimbang suku-
suku lainnya, dengan jumlah anggota mayoritas, loyalitas yang kuat dan kerapatan
aliansi, tentu mendorong Nabi untuk mengharuskan kepemimpinan diserahkan
kepada bangsa Quraisy. Karena sebuah pemerintahan akan kuat ketika disokong
71
oleh kekuatan-kekuatan lainnya. Oleh karena itulah, pemahaman hadis di atas
terbatas pada kondisi dan situasi. Dari pertimbangan-pertimbangan yang sudah
saya tebar sebelumnya, dapat ditarik satu pemahaman bahwa hadis mengenai
kepemimpinan Quraisy merupakan hadis simbolik yang dikemas dengan tata nilai
yang hanya cocok untuk konteks masanya.
Maka dari pesan yang disampaikan Nabi Muhammad SAW melalui hadis
pemimpin dari Quraisy adalah pengangkatan pemimpin bukan hanya semata
berasal dari keturuna atau suku semata, akan tetapi siapa yang mempunyai
pengaruh kuat, berwibawa, mampu memberi perlindungan, cerdas dan paling
dominan, pada masa lalu kriteria ini mungkin hanya diwakili atau dimiliki oleh
Suku Qurasih saja. Pada masa sekarang belum tentu Suku Qurasih memiliki kriteria
seperti diatas, dan Islam sudah menyebar ke berbagai melahan dunia dan dianut
oleh bermacam suku dan ras, mengharuskan pemimpin dari Suku Quraisy tentu
hanya menimbulkan perpecahan dan permasalahan, oleh sebab itu, sabda Nabi
tersebut lebih bersifat Politis-Sosiologis, bukan teologis. Dan jika hadis tersebut
diterapkan di Nusantara maka seorang pemimpin harus sesuai dengan kriteria yang
telah dimunculkan oleh kata Quraisy dalam hadis Kepemimpinan Quraisy.
B. Saran
Pada bagian akhir penelitian ini, saya ingin menyampaikan saran-saran yang
nantinya bisa menambah nilai dari penelitian ini:
1. Dalam penelitian ini penulis hanya terfokus pada data-data yang bersumber dari
hadis yang menjadi bahan analisa tentang kepemimpinan, akan lebih baik kalau
mencoba menambahkan sumber al-Quran sebagai bahan analisa.
72
2. Diharapkan penelitian ini memberikan kontribusi baru terhadap kajian hadis
tematik dan memperkaya khazanah pemikiran, khususnya Ilmu Hadis, serta
mengasah nalar kritis dalam merespon teks-teks agama.
73
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Ryan, Konsep Kepemimpinan;Said Hawwa;kitab al-asas fi al-tafsir;al-
islam, Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah, 2014.
Allee, Jhon Gage, Webster`s New Standar Dictionary, New York, Mc.Laonglin
Brothers Inc, 1969.
Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Islam dan Politik Bernegara, Jakarta, Bulan Bintang,
1971.
al-Asqalanī, Ahmad ibn Ali ibn Hajar, Tahzib at-Tahzib, Beirut: Dar Shadir, t.ţ
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme
hingga Post Modernism, Jakarta: Paramadina, 1996.
al-Baihāqi, Abu Bakar Aḥmad ibn al-ḥusein ibn Ali, al-Sunan al-Kubrā , India:
Majlīs Dā’irah al-Mā’arif an-Niḍāmiyah, 1334 H.
Bakhtiar, Amsal, dkk., Pedoman Akademik Program Strata I 2012/2013.
al-Bukhārī, Abū Abdillah Muḥammad ibn Ismāīl ibn Ibrāhīm, Saḥīḥ al-Bukhārī,
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009, h. 1293.
al-Dārimī, Abdullah ibn Abdirrahman Abū Muhammad, Sunan al-Dārimī, Beirut:
Dar al-Kutub al-Arabī, 1407 H.
Djazuli, H. A., Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-
rambu Syariah, Bogor: Kencana, 2003.
Fairchild, Henry Pratt, Dictionary of Sociology and Ralated Sciences, Littlefield
Adam & Co. Paterson, New Jersey, 1960.
Fata, Ahmad Khoirul, Kepemimpinan Dalam Perspektif, Pemikiran Politik Islam,
Jurnal Review Politik, Volume 02, Nomor 01, Juni 2012.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. Al-Tibr al-
Masbūk fi Naṣihat al-Mulūk. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988 M.
Hakim, Abd Hamid. Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqh wa al-Qawaid al-
Fiqhiyyah, Jakarta: Maktabah Saadiyah Putra,tt.
Hanbal, Ahmad ibn Muhammad bin, Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, Beirut: al-
Maktabah al-Islamī, 1398.
Hanbal, Imam Ahmad bin, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Mu’assasah al-Risalāh,
1999 M/1420 H.
al-Hindī, Ala’uddin Alī ibn Hisāmuddin al-Muttaqi, Kanz al-‘Ummāl fi ṣunan al-
Aqwāl wa al-Af’āl, Mu’assasah al-Risālah.
74
Ibn Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyah fi Ishlah Ra’i wa Ra’iyyah, Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah. 1988.
Ismail, M. Syuhdi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual,Telaah Ma’ani al-
Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Jakarta:
Bulan Bintang, 1994.
Ismail, Syuhudi, Metode Penelitian Hadis Nabi, Bulan Bintang, 2007.
Joesoef, Daoed, Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional,
Jakarta: Kompas, 2014.
Kartono, Kartini, Pemimpin Dan Kepemimpinan, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 2001.
Lewis, Benard, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah,Pener: Said Jamhuri, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1994.
Lings, Martin, Muhammad, Kissah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Pener:
Qomaruddin SF, Jakarta: PT Serambi Ilmu Merdeka, 2007.
Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Bashri al-Baghdadi,
Al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2006
al-Misrī, Lihat Muhammad ibn Mukrim ibn Mansūr, Lisān al-'Arab, Beirut; Dar
Sadir, t.th.
al-Mizzī, Jamal al-Din Abī al-Hajjāj Yusuf, Tahżīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijal, t.tp:
Muassasat al-Risalah, 1985.
al-Mubarakfury, Syaikh Shafyyur-Rahman, Sejarah Hidup Muhammad; Sirah
Nabawiayah, Terj. Faris Khairul Anam, Jakarta: Robbani Press, 1998.
Muhibbin, Hadis-Hadis Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Munawir, Sjadzali, , Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir; Arab-Indonesia Terlengkap,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Munte, Abdul Karim Dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis,
Tangerang Selatan: Yayasan Pengkaji Hadis el_Bukhori, 2017.
Nizar, H. Samsul, Konsep Negara dalam Pemikiran Politik Ibnu Khaldun,
Demokrasi, Vol.II No.1 Th. 2003.
Piliang, Yasraf Amir, Semiotika dan Hipersemiotika, Bandung: Matahari, 2012.
75
Al-Qaradhawy, Yusuf, Fiqh Prioritas, terj. Bahruddin F,Jakarta: Rabbani Press,
1999.
al-Qastalāni, Ahmad ibn Muhammad ibn Abu Bakr ibn Abdilmalik, Irsyādu al-Sārī
li Sarhi Sahīh al-Bukhāri, Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra, 1323 H.
al-Qurtubī, Abu al-Hasan Ali ibn Khalaf ibn Abdilmalik ibn Battal al-Bakri, Syarah
Sahih al-Bukhāri li Ibn al-Battāl, Riyadl: Maktabah al-Rusyd, 2003 M/
1423 H.
Ridho, Muhammad Rasyid, al-Khilafah, Mesir: al-Zahra ulama al-Arobi, T.tt.
Sahabuddin et.al. Ensklopedi al-Qur'an; Kajian Kosa Kata, Jakarta: Lentera Hati,
2007.
Sardar, Ziauddin, Kembali ke Masa Depan, terj. R Cecep Lukman Hakim & Helmi
Mustafa, Jakarta: Serambi, 2003.
Subhan, Hadis Kontekstual, Samarinda:IAIN Samarinda, 2012, h. 3.
Suryadinata, M., Kepemimpinan Non Muslim Dalam al-Quran, Ilmu Ushuluddin,
Vol 2, nomor 3, 2015.
Suyut, Pulungan J. i, Fiqh siasah, Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: PT
RadjaGrafindo Persada, 1999.
at-Tabrāni, Sulaiman ibn Aḥmad ibn Ayyūb Abū al-Qāsim, al-Mu’jam al-Kabīr
Maushul: Maktabah al-‘Ulūm wa al-Hikam, 1983 M/1404 H, h. 337.
al-Tahhan, Mahmud, Usl al-Takhrîj wa Dirāsah al-Asānid, Riyadh: Maktabah al-
Ma’arif, 1991.
Al-Turabi, Hasan Abdullah, Fiqh Demokratis, terj. Abdul Haris dan Zaimul Aim,
Jakarta: Arasy, 2003.
Ulum, Hasisul, Studi Pemahaman Ibnu Taimiyyah Tentang Hadis Kepemimpinan
Quraisy, Semarang: IAIN Walisongo, 2012.
Wensinck, A.J, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāz al-Ḥadis al-Nabawī, Leiden: E-
J.Brill, 1942.
Yaqub, Ali Mustafa, al-Turuq al-Sahīhah fi Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyyah,
Ciputat: Darus-Sunnah, 2015.
Zaghlul, Abu Hajar Muhammad al-Sa`id ibn basyuni, Maus`ah Atraf al-Hadis al-
Nabawi al-Syarif, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.
Zakariya, Abū al-Husain Ahmad ibn Fāris ibn, Mu'jam Maqāyīs al-Lugah, Beirut:
Dār al-Fikr, 1979.
Top Related