i
PEMAKAMAN BUAYA
(Kajian Sosio-Teologis terhadap Pandangan Masyarakat Bu’at Berhubungan
dengan Pemakaman Buaya)
Oleh:
Maria Yuliana Saekoko
712013067
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2019
ii
iii
iv
v
vi
vii
MOTTO
Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina
hikmat dan didikan.
Amsal 1:7
Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan,
lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh
Dia kepada Allah, Bapa kita.
Kolose 3:17
viii
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena kasih dan
karuniaNya yang sungguh luar biasa dalam kehidupan penulis. Secara khusus, penulis
mengucapkan syukur karena perkenananNya bagi penulis selama penulis menjalani masa
pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).
Tugas Akhir ini ditulis sebagai persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Sains dalam
bidang Teologi (S.Si Teol). Disamping itu, dalam menyusun Tugas Akhir ini penulis
berharap karya tulis ini dapat bermanfaat dan dapat diterima oleh para pembaca.
Penulis
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji syukur dan terima kasih saya sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus,
karena berkat cinta, kasih dan penyertaanNya tugas akhir ini dapat terselesaikan. Saya juga
hendak mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapa Yosafat dan Mama Amdalia tercinta untuk setiap semangat yang diberikan dan
dukungan doa serta kerja keras untuk saya selama pendidikan dan kehidupan saya.
Serta keempat sodara saya Donna, Ari, Stevi dan Astin yang selalu saling
mendukung. Terima kasih YADAMSA.
2. Pdt. Ebenhaizer I. Nuban Timo dan Pdt. Cindy Quartyamina Koan, kedua dosen yang
sudah bersedia menjadi pembimbing saya dalam penulisan tugas akhir ini. Terima
kasih untuk bimbingannya dan penerimaannya.
3. Gereja Embun Hermon Bu‟at yang telah bersedia menjadi tempat penelitian saya
dalam penulisan tugas akhir ini. Secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada
Pendeta serta jemaat yang telah bersedia menjadi narasumber saya selama penelitian
yang saya lakukan, kiranya Tuhan memberkati. Terima kasih juga saya ucapkan bagi
Cavik Kiki Molada beserta pemuda-pemuda gereja yang telah membantu saya dalam
melakukan penelitian.
4. Pdt. Dr. Jacob Daan Engel yang telah menjadi wali studi selama masa studi saya.
5. Seluruh dosen Fakultas Teologi yang telah bersedia memberikan saya ilmu dan
menjadi orang tua bagi saya di Fakultas Teologi.
6. Bu Budi dan Mas Eko selaku TU Fakultas Teologi, terima kasih telah melayani
mahasiswa dengan baik dan ramah.
7. Gereja Kristen Jawa (GKJ) Sidomukti, yang telah menerima saya selama 4 semester
untuk dapat melaksanakan PPL I-IV. Terima kasih untuk penerimaan dan
pembelajaran yang telah dibagi bagi saya. Terima kasih juga untuk teman-teman yang
selalu bersama dalam melaksanakan PPL di GKJ Sidomukti.
8. Panti Asuhan Terang Anak Bangsa yang telah dengan senang hati menerima saya
untuk melaksanakan PPL V.
9. Gereja GMIT Efata SoEyang telah menerima saya dengan senang hati untuk
menjalani masa PPL X. Terima kasih untuk setiap pengalaman dan pembelajaran
yang diberikan.
10. Keluarga besar angkatan 2013. Terima kasih telah menjadi keluarga dalam suka
maupun duka.
x
11. Keluarga besar Kontrakan Ceria (Ka Basthen, Yohan, Stevi, Syall, Nolly, Puma,
Lany). Terima kasih untuk keceriaan dan dukungan yang selalu diberikan. Terima
kasih juga bagi Tika, Iren, Idha, Cipe, Rany, dan Sintha. Terima kasih juga untuk
IKMASTI‟13 yang hadir sebagai keluarga baru di salatiga.
12. Sahabat saya Vhyta, Aulia, Novanti, Yollanda, Chyci, Ega, Tyrsa, Neny, Milde,
Yohan dan semua sahabat yang selalu mendukung. Terima kasih Vhyta untuk
dukungannya selalu.
Salatiga, 15 Januari 2019
Maria Yuliana Saekoko
xi
DAFTAR ISI
Halaman Judul………………………………………………………………………... i
Lembar Pengesahan…………………………………………………………………... ii
Pernyataan Tidak Plagiat…………………………………………………………….. iii
Pernyataan Persetujuan Akses………………………………………………………. iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi Tugas Akhir Untuk Kepentingan Akademis… v
Pernyataan Keaslian Karya Tugas Akhir…………………………………………… vi
Motto…………………………………………………………………………………… vii
Kata Pengantar……………………………………………………………………….. viii
Ucapan Terima Kasih………………………………………………………………… ix
Daftar isi……………………………………………………………………………….. xi
Abstrak………………………………………………………………………………… xii
1. Pendahuluan................................................................................................ 1
2. Landasan Teori........................................................................................... 5
2.1 Agama.............................................................................................. 5
2.2 Totemisme........................................................................................... 7
2.3 Simbol, Mitos, dan Ritual.................................................................. 9
3. Kepercayaan Terhadap Buaya dalam Pemahaman Masyarakat Bu’at 11
3.1 Sejarah Gereja Embun Hermon Bu‟at.................................................. 11
3.2 Kepercayaan orang Timor .................................................................... 12
4. Analisa............................................................................................................. 18
5. Penutup.......................................................................................................... 21
Daftar Pustaka........................................................................................................ 23
xii
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pandangan orang Timor di Wilayah
Bu‟at mengenai buaya serta mendeskripsikan alasan-alasan umat Kristen di wilayah Bu‟at
terhadap perlakuan istimewa yang diberikan terhadap buaya berupa pemakaman layaknya
manusia. Melalui penelitian ini pertanyaan yang hendak dijawab ialah pandangan orang-
orang Timor di wilayah Bu‟at mengenai buaya dan mengapa pemakaman buaya dilakukan
oleh masyarakat Bu‟at walaupun kekristenan telah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Penelitia berlokasi di Bu‟at khusunya Gereja Embun Hermon Bu‟at. Dalam penulisan ini
penulis menggunakan teori totemisme. Kepercayaan totemisme merupakan bentuk
kepercayaan yang dalam prakteknya mereka menganggap bahwa binatang memiliki jiwa dan
roh sehingga haruslah disembah atau diberlakukan istimewa. Pemberlakuan istimewapun
dilakukan oleh masyarakat Bu‟at terhadap buaya dengan cara melakukan pemakaman
terhadap buaya. Pemakaman buaya dimaknai sebagai sebuah bentuk penghormatan mereka
terhadap buaya. Kepercayaan terhadap buaya dalam suku meto hadir karena pada masa
lampau adanya legenda yang menceritakan bahwa buaya merupakan binatang yang
memberikan kehidupan bagi masyarakat timor serta pulau timor merupakan pulau yang
berbentuk seperti buaya yang sedang berbaring. Legenda ini tidak berakhir pada masa
lampau, kisah tersebut masih terdengar hingga kini dan masih hadir dalam kepercayaan
sekelompok kecil orang. Kepercayaaan terhadap buaya masih ada hingga kini. Kepercayaan
akan buaya dihadirkan melalui praktek penyembahan oleh golongan-golongan tertentu dan
ada juga yang hanya menghargainya sebagai kisah masa lampau yang harus tetap dijaga
tanpa melakukan penyembahan karena adanya kesadaran bahwa Kekristenan telah menjadi
bagian dalam kepercayaan mereka.
Kata Kunci : Buaya, Totemisme, Kepercayaan
1
1. Pendahuluan
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi yang terdiri dari berbagai
pulau-pulau. Pulau-pulau yang terdapat di Provinsi NTT ialah pulau Flores, Sumba, Timor,
Alor, Sabu dan Rote. Pada setiap pulau terdapat berbagai suku yang hadir dengan berbagai
kebudayaan mereka yang berbeda-beda.
Pulau Timor merupakan salah satu pulau di NTT. Pulau ini merupakan pulau yang
daerahnya bergunung-gunung dan merupakan wilayah yang kering dengan musim panas yang
berlangsung 7-8 bulan1. Di Pulau Timor terdapat berbagai suku dan salah satunya ialah suku
Timor. Suku Timor yang dimaksud di sini ialah suku atoni yakni kelompok-kelompok marga
yang adalah penduduk asli di pedalaman pulau Timor2. Orang Timor biasanya menyebut diri
Atoni Pah Meto, yaitu „orang dari tanah kering‟3. Kata Atoni dalam bahasa Timor berarti
„orang (laki-laki)‟. Sedangkan pah meto berarti tanah yang kering. Kata majemuk atoni meto
terdiri atas kata atoni dan meto. Atoni merupakan bentuk matatesis dari kata atoni yang
berarti laki-laki, tetapi dapat juga berarti segolongan orang atau suatu suku bangsa. Meto
pada umumnya berarti kering, tetapi dalam konteks kata majemuk atoni meto, meto
mengandung makna daratan. Jadi atoni meto mengandung makna orang atau suku bangsa
penghuni daratan. Warga suku bangsa itu menamakan diri dan suku bangsa mereka atoni
meto dengan makna penghuni sehingga dengan sendirinya makna penghuni daratan itulah
yang digunakan dalam tulisan ini4. Masyarakat Timor terdiri dari atoni (Laki-laki) dan bife
(Perempuan).
Suku Timor memiliki berbagai kebudayaan dan kepercayaan yang masih dipegang teguh
hingga saat ini. Salah satu kepercayaan masyarakat Timor yang masih ada hingga kini ialah
kepercayaan terhadap legenda yang menceritakan bahwa buaya merupakan binatang yang
telah memberikan kehidupan bagi masyarakat Timor. Menurut legenda, seekor anak buaya
dalam keadaan sekarat di suatu tempat kering karena tidak tahu jalan ke laut. Seseorang anak
merasa iba, sehingga ia mengambil anak buaya tersebut lalu membawanya ke pantai. Ketika
buaya masuk ke dalam air, maka laut menjadi naik sehingga tidak ada lagi daratan sehingga
hidup anak tersebut terancam. Sebagai ungkapan terimakasih, maka buaya tersebut
1 Ebenhaizer I. Nuban Timo, Kupang Punya Cerita: Orang Kupang di Sekitar Injil 150 Tahun Lalu, (Salatiga: UKSW, 2017), 74 2 Nuban Timo, Kupang Punya Cerita, 74 3 Pieter Middelkoop, Atoni pah meto : pertemuan Injil dan kebudayaan di kalangan suku Timor asli, (Jakarta:BPK Gunung
Mulia, 1982), 233 4Maglon Ferdinand Banamtuan, “Upaya Pelestarian Natoni (Tuturan Adat) Dalam Budaya Timor Dawan (Atoni Meto)”
Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol.6, No.1 (2016): 81-82, diakses November 2, 2017, paradigma.ui.ac.id/index.php/paradigma/article/download/82/pdf
2
menawarkan punggungnya kepada anak tersebut dan berjanji akan melindungi si anak dari
segala bahaya. Buaya tersebut akhirnya menjadi semakin tua. Ketika ajalnya mendekat,
buaya berenang ke suatu tempat. Dia meminta anak itu dan keturunannya untuk tetap tinggal
di atas punggungnya. Mereka boleh menikmati segala yang tersedia di punggung buaya, serta
di dalam tubuh sang buaya. Buaya tersebut kemudian mati. Bangkai tubuhnya berubah
menjadi daratan, yakni pulau Timor yang kini didiami oleh suku Meto5. Keyakinan ini
membuat suku ini tidak segan menjadikan buaya sebagai objek penyembahan. “Selain buaya,
tidak ada binatang lain yang mendapat penghormatan besar dari suku Meto di Timor.” Begitu
kata John Hessing, seorang pendeta Belanda yang tinggal di Babau dalam tulisannya berjudul
“Krokodillenvereering op Timor” dalam De Timor-Bode Mei 1919. Suku meto Pra-Kristen
menyembah buaya karena menganggap binatang ini sebagai penguasa lautan, sungai, pemberi
hujan kesejukan, kesuburan dan kesejahteraan.Singkatnya buaya adalah penguasa air6. Dalam
buku seorang antropolog Eropa, dia menyebut Pulau Timor dengan namathe island of the
sleeping crocodile (pulau dari buaya yang sedang berbaring). Dia menyebut Pulau Timor
demikian karena dia melihat bentuk Pulau Timor yang seperti buaya dan penyembahan buaya
oleh suku meto7. Lebih dari pada itu, sejak dulu gambaran buaya telah hadir dalam berbagai
simbol suku Timor seperti di tempat siri (oko mama), tempat kapur (tiba). Selain itu ukiran
buaya juga dapat ditemukan dalam berbagai ukiran di tembok-tembok pagar instansi, rumah-
rumah adat di pedalaman suku meto, dan anyaman-anyaman8.
Pada kepercayaan orang Timor, buaya merupakan binatang yang dianggap memiliki
makna tersendiri bagi masyarakat Timor dari dulu hingga kini.Karena adanya makna
tersendiri terhadap buaya maka perlakuan “istimewa” pun diberikan terhadap binatang
tersebut.Perlakuan istimewa terhadap binatang tersebut masih berlaku hingga saat ini
walaupun mereka telah menjadi jemaat Kristen. Hal ini terlihat ketika masyarakat di Timor
khususnya wilayah Bu‟at yang terletakdi Kelurahan Karang Siri, Kecamatan Kota Soe,
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, melaksanakan pemakaman atas kematian
seekor buaya di Taman Bu‟at layaknya manusia.
Buaya yang dimakamkan oleh masyarakat wilayah Bu‟at pada 29 Juni 2017, merupakan
seekor buaya yang dipelihara sejak tahun 1987 dan buaya yang dipelihara di Taman Bu‟at ini,
5 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalam Budaya: Upaya Menjajaki Makna Allah dalam Perangkat Budaya Suku-suku di Nusa
Tenggara Timur, (Maumere: Ledalero,2009), 142. 6 Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalam Budaya, 140. 7 Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalam Budaya, 141. 8 Ananda I. Faot,” Suatu Tinjauan sosio-Teologis Terhadap Makna Corak Buaya dalam Tenun dan Ukiran Budaya Timor di Niki-
Niki Kecamatan Amanuban Tengah” (Fakultas Teologi: Universitas Kristen Satya Wacana, 2012), 16.
3
merupakan buaya yang diserahkan secara adat oleh Bupati pada waktu itu9. Pada awalnya
buaya yang diserahkan adalah buaya jantan dan buaya betina (satu pasang), namun buaya
jantan mati dan akhirnya hanya tersisa buaya betina. Selain itu buaya tersebut, tidak dibiarkan
begitu saja, namun mereka (pemerintah dan masyarakat) juga memberi makan kepada buaya
tersebut berupa ayam dan berbagai daging lainnya10
. Buaya yang telah dipelihara bertahun-
tahun ini ditemukan mati pada 27 Juni 2017. Kematian buaya tersebut tidak dibiarkan begitu
saja oleh masyarakat sekitar. Namun yang dilakukan ialah mereka mengadakan pemakaman
buaya secara adat yang dipimpin oleh tetua adat. Selain itu mereka juga mendoakan buaya
tersebut dan doa dipimpin penatua yang pada saat itu hadir.
Pemakaman pada umumnya dilakukan jika seseorang telah dinyatakan meninggal dunia.
Setiap agama memiliki cara yang berbeda-beda dalam pelaksanaan pemakaman. Umat
Kristen pada umunya melakukan pemakaman untuk manusia dengan rangkaian tata ibadah
yang telah disusun. Terkait binatang yang mati biasanya dikubur biasa saja tanpa melakukan
ibadah. Namun hal yang berbeda dilakukan oleh masyarakat ini dalam menguburkan buaya
tersebut.Buaya tidak dikuburkan “begitu saja” namun mereka melakukan pemakaman
layaknya manusia yang di hadiri oleh masyarakat dan dipimpin oleh tetua adat serta penatua.
Perlakuan “istimewa” terhadap buaya ini merupakan sebuah fenomena yang
menarik.Pemakaman terhadap buaya merupakan sebuah sikap yang dilakukan masyarakat
untuk menghargai binatang tersebut.Pemakaman ini dilakukan oleh masyarakat yang telah
memeluk agama Kristen yang pada dasarnya menyadari bahwa dalam ajaran mereka hanya
Tuhan sajalah yang harus disembah dan penyembahan-penyembahan pada masa lalu haruslah
ditinggalkan.Namun hal berbeda terlihat dalam kasus ini yakni, mereka yang telah beragama
Kristen tetap mempercayai/menyimpan keyakinan-keyakinan masa lalu yang berkaitan
dengan buaya.
Berdasarkan latar belakang di atas, terutama upacara khusus yang dilakukan masyarakat
wilayah Bu‟at terhadap buaya walaupun mereka telah memeluk agama Kristen maka muncul
masalah yang menarik untuk diteliti yang saya kemas dalam judul “ Pemakaman Buaya:
Kajian Sosio-Teologis terhadap pandangan masyarakat Bu’at berhubungan dengan
pemakaman buaya”
9Wawancara via telpon, narasumber Bapak Charles Boling (Salatiga, 01 November 2017, pukul 17.20 WIB). 10Wawancara via telpon, narasumber Bapak Charles Boling.
4
Pemberlakuan istimewa terhadap buaya yakni dimakamkan selayaknya manusia
dilakukan bukan oleh masyarakat yang tidak memiliki agama. Namun hal ini dilakukan oleh
masyarakat Timor khususnya wilayah Bu‟at dan berbagai masyarakat lainnya yang yang
telah memeluk agama kristen.
Dalam pengajaran agama Kristen, Tuhan Allah yang harus disembah oleh setiap pemeluk
agama Kristen dan melalui Tuhan Allah segala berkat dapat diperoleh. Namun hal berbeda
terlihat dalam kasus ini yakni, mereka yang telah memeluk agama kristen tetap
mempercayai/menyimpan keyakinan-keyakinan masa lalu terkait dengan buaya sehingga
ketika buaya yang telah dipelihara bertahun-tahun ini mati, maka yang dilakukan ialah
memakamkannya layaknya manusia.
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas maka yang menjadi pertanyaan penelitian
adalah: Bagaimana pandangan orang-orang Timor di wilayah Bu‟at mengenai buaya?
Mengapa pemakaman buaya dilakukan oleh masyarakat Bu‟at walaupun kekristenan telah
menjadi bagian dari kehidupan mereka?
Melalui tulisan ini, maka penulis bertujuan untuk mendeskripsikan pandangan orang
Timor di Wilayah Bu‟at mengenai buaya serta mendeskripsikan alasan-alasan umat Kristen
di wilayah Bu‟at terhadap perlakuan istimewa yang diberikan terhadap buaya berupa
pemakaman layaknya manusia. Manfaat penelitian atas topik ini ialah menambah
pemahaman bagi masyarakan Bu‟at mengenai buaya dalam budaya Timor.Selain itu, topik ini
juga dapat digunakan dalam matakuliah agama-agama timur, dalam memahami kepercayaan
masyarakat Timor.
Dalam penulisan ini, metode penelitian yang digunakan penulis ialah metode penelitian
kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk mendapat
data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna11
. Creswel (2008), mendefinisikan
metode penelitian kualitatif sebagai suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi
dan memahami suatu gejala sentral.Untuk dapat memahami gejala sentral tersebut maka
diperlukan wawancara (tanya-jawab) antara peneliti dan peserta penelitian dengan
mengajukan pertanyaan yang umum dan agak lugas.Informasi yang didapat baik berupa kata-
kata atau teks, kemuduan dianalisa12
.
11 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2012), 9. 12 J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulan, (Jakarta: Grasindo,2013), 7.
5
Sistematika penulisan tugas akhir ini akan terbagi atas empat bagian yang terdiri atas:
bagian pertama berupa pendahuluan, bagian kedua memaparkan teori totemisme, bagian
ketiga yaitu hasil penelitian, bagian keempat dan analisa,danbagian kelima yaitu penutup.
2. Landasan Teori
2.1 Agama
Agama merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Agama dapat dikatakan
sebagai sebuah fenomena universal karena dapat ditemukan di setiap masyarakat.
Eksistensinya telah ada sejak zaman prasejarah. Pada saat itu, orang sudah menyadari bahwa
ada kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya yang alih-alih bisa dikontrolnya, kekuatan-
kekuatan tersebut bahkan memengaruhi kehidupannya. Dalam literatur antropologi terdapat
banyak teori yang menjelaskan mengenai keberadaan dan perkembangan agama. Kebanyakan
teori antropologi melihat agama sebagai suatu entitas yang mengalami perkembangan
evolusioner13
.
Agama merupakan suatu hal yang menjadi bagian dari kehidupan manusia. Agama pun
telah mengalami berbagai perkembangan dari dulu hingga kini. Perkembangan agama yang
telah terjadi berjalan sesuai dengan hukum kemajuan manusia14
. Dalam perkembangan
agama terdapat kepercayaan yang disebut sebagai agama primitif diantaranya ialah:
a. Animisme
Animisme berasal dari kata Latin, anima yang berarti “nyawa”. Animisme
merupakan suatu kepercayaan bahwa roh atau jiwa mempunyai eksistensi secara
independent dalam dunia material15
. Bagi manusia primitif, nyawa yang mereka
pahami ialah daya-kekuatan hidup, yang dapat tinggal di dalam manusia, tetapi juga
di dalam binatang, di dalam tumbuh-tumbuhan dan pada umumnya di dalam segala
apa yang ada16
.
Kepercayaan animisme merupakan suatu susunan keagamaan yang harus kita
artikan sebagai suatu rangkaian upacara-upacara, tanggapan-tanggapan, mite dan
sebagainya yang religius-magis dan yang melukiskan adanya makhluk-makhluk halus
sakti yang ada kepribadiannya. Dalam animisme dapat ditemukan bahwa terdapat
kekuatan-kekuatan yang bekerja pada manusia karena kehendaknya (kehendak daya-
13 Sidung Haryanto, Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Postmodern (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2015), 21 14 Allan Menzies., Sejarah Kepercayaan dan Agama-agama Besar Dunia (Yogyakarta: Indoliterasi, 2015), 4 15 Haryanto, Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Postmodern, 21 16 M.D. Koesoemosoesastro dan Soegiarto., diterjemahkan., ilmu Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia2003), 59
6
daya kekuasaan). Hal-hal yang diperbuat oleh daya-daya kekuasaan yang lebih tinggi
dari pada manusia itu, tidak dapat dimengerti oleh manusia primitif. Sikap yang
ditimbulkan terkadang baik namun terkadang tidak baik sehingga dalam hubungan
antar manusia primitif dan daya kekuasaan tersebut rasa takutlah yang berkuasa
karena makhluk-makhluk halus tersebut bersifat luar-insani dan atas-insani17
.
Animisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan pada makhluk-makhluk
adikodrati yang dipersonalisasikan. Manifestasinya adalah dari roh yang Mahatinggi
hingga pada roh halus yang tak terhitung banyaknya, roh leluhur, roh dalam objek-
objek alam. Kepercayaan pada roh biasanya termasuk suatu rasa kebutuhan akan
suatu bentuk komunikasi dengan mereka untuk menangkal kejahatan, menghilangkan
musibah atau menjamin kesejahteraan18
.
b. Dinamisme
Dinamisme berasal dari kata Yunani, dynamis yang berarti kekuasaan,
kekuatan, khasiat. Dalam dinamisme akan ditemukan daya-daya kekuasaan yang tidak
berpribadi, yang mengenakan dayanya yang otomatis kepada manusia19
. Dinamisme
ialah kepercayaan kepada suatu daya kekuatan atau kekuasaan yang keramat dan tidak
berpribadi, yang dianggap halus maupun berjasad, semacam fluidum, yang dapat
dimiliki maupun tidak dapat dimiliki oleh benda, binatang dan manusia. Kekuasaan
atau kekuatan, yang dibicarakan dalam dinamisme, di dalam ilmu pengetahuan lazim
disebut “mana”. Jika suatu benda atau seseorang tidak mengandung “mana” maka ia
tidak akan diperhatikan. Namun hal sebaliknya akan terjadi yakni jika suatu benda
atau seseorang mengandung “mana” maka perhatian istimewa akan diberikan bagi
mereka20
.
c. Monoteisme
Istilah monoteisme secara etimologi berasal dari kata Yunani monos (satu,
tunggal) dan theos (Tuhan), artinya suatu paham yang mengajarkan bahwa Tuhan itu
satu, sempurna, tak berubah, pencipta seluruh alam semesta. Dalam paham ini, Tuhan
secara radikal ontologis dianggap berbeda dari dunia. Ia juga dipahami sebagai
Pribadi yang terlibat dan menguasai dunia, serta pantas disembah dan dihormati oleh
segenap ciptaan. Monoteisme mengandaikan gagasan tentang Tuhan sebagai Pengada
Ilahi yang mempunyai pikiran dan kehendak, seorang Pribadi yang dapat dipahami
17 Koesoemosoesastro dan Soegiarto, diterjemahkan., ilmu Agama, 53-54 18 Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 67 19 Koesoemosoesastro dan Soegiarto, diterjemahkan., ilmu Agama, 53 20 Koesoemosoesastro dan Soegiarto, diterjemahkan., ilmu Agama, 34
7
oleh manusia dengan memakai gambaran yang diambil dari kehidupan manusia,dan
dapat didekati dengan doa dan ibadah21
.
d. Totemisme
Totemisme merupakan suatu bentuk kepercayaan yang menganggap binatang dan
tumbuh-tumbuhan mempunyai jiwa atau roh.
Pada saat ini, masyarakat telah beralih dari agma-agama primitif dan masuk dalam
agama-agama nasional (islam, kristen protestan, katolik, Buddha, hindu dan konghucu).
Namun terkadang ketika agama nasional telah dilakukan, akan tetapi kepercayaan akan
agama primitif pun masih ada dalam sebagian besar orang. Salah satu bentuk kepercayaan
yang masih ada ialah totemisme.
2.2 Totemisme
Istilah totemisme berasal dari kata Ojibwa (suku Algonkin dari Amerika Utara),
ditulis secara beragam totem, tatam, dodain. Dalam suku-suku Australia, kita akan mendapati
satu kelompok yang menduduki tempat istimewa dalam kehidupan kolektif: kelompok
tersebut adalah marga. Individu-individu yang menjadi anggota merasa terikat oleh hubungan
kekeluargaan, tapi ikatan ini sangat khas. Hubungan kekeluargaan ini lahir bukan karena
memiliki hubungan darah melainkan karena memakai nama yang sama. Nama yang dipakai
adalah nama dari benda-benda tertentu yang dianggap memiliki hubungan khusus. Spesies
benda-benda yang dipakai sebagai nama marga secara kolektif itulah yang menjadi totem
marga tersebut. Totem marga juga menjadi totem setiap anggotanya. Objek yang dijadikan
totem sebagian besar berasal dari dunia tetumbuhan atau binatang22
. Terkadang sekelompok
leluhur atau seorang leluhur juga dijadikan sebagai totem23
.
Totem bukan hanya sekedar sebuah nama, namun totem juga merupakan sebuah
lambang. Setiap kelompok marga di setiap suku seringkali menggunakan totem mereka
sebagai sebuah lambang dengan cara yang berbeda-beda. Terkadang totem mereka digambar,
diukir, dijadikan patung, dipahatkan di dinding-dinding dan kadang kala tubuh juga
digunakan untuk menggambarkan totem mereka24
. Dalam kepercayaan masyarakat Batak,
21 J. Sudarminta, Dunia, Manusia dan Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 70 22 Durkheim,The Elementary Forms of The Religious Life, 154-155,157
23 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 157, 159 24 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 170-174
8
kerbau dan cicak merupakan binatang totem. Adanya tanduk kerbau di depan rumah dan
gambar atau patung cicak di dalam rumah menjadi bukti bahwa kedua hewan ini adalah totem
bagi masyarakat. Kedua hewan ini merupakan lambang kehadiran dewa, yakni dewa yang
memberikan kesuburan, kemakmuran25
. Selain itu dalam suku-suku asli Australia binatang-
binatang totem di dipertahankan dan dipuja karena mereka melambangkan kesatuan dengan
klan mereka26
.
Totem dianggap sebagai hal yang suci sehingga mereka tidak akan memakannya27
.
Pada acara-acara tertentu yakni upacara-upacara keagamaan maka binatang totem digunakan
sebagai kurban. Para anggota klan akan berkumpul dan memberitahukan perkembangan
totemnya. Dalam upacara tersebut binatang totem ditangkap, kemudian disembelih dan
dimakan dalam sebuah perjamuan sakral. Hal ini dilakukan karena tindakan ini merupakan
bentuk paling awal dari proses kurban, yang dalam beberapa agama dikemudian hari
menempati posisi yang penting. Dalam penyembahan terhadap totem ini, setiap orang
merayakan keberadaan totem tersebut dan menyatakan kesetiaan kepadanya. Dan pada
gilirannya, dengan memakan daging totem tersebut, setiap orang menerima kembali pancaran
kekuatan ilahiyah dari tuhan dan memperbaharui kehidupan ilahiyah dalam jiwa mereka28
.
Totemisme dapat dibedakan atas totemisme perseorangan dan totemisme golongan.
Totemisme perseorangan yakni seekor binatang menjadi pelindung orang tertentu, dan
totemisme golongan yakni jenis binatang tertentu dianggap dekat hubungannya dengan suatu
golongan atau suku bangsa tertentu. Dalam kedua hal ini, yang menjadi pokok ialah semacam
persekutuan, partisipasi, saling menjadi bagian antar manusia dan binatang, di dalam
persekutuan mana orang mengalami suatu daya kekuasaan yang luar biasa29
.
Totemisme merupakan fenomena yang sangat beraneka ragam dan luwes. Hal ini
dapat dilukiskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik yang mewujudkan gagasan
tertentu dari suatu hubungan “mistik” atau ritual antar anggota-anggota kelompok sosial dan
suatu jenis binatang atau tumbuhan. Fenomena tersebut mengandung perintah-perintah yang
dijunjung tinggi, seperti larangan membunuh atau makan daging binatang totem atau
menggangu tanaman totem. Namun pada upacara-upacara maka para anggota klan dapat
25 Ivan Napitupulu, “Pengaruh Kepercayaan terhadap Okultisme dalam Pertumbuhan Iman Jemaat HKBP Nauli Danohorbo”
(UKSW: Fakultas Teologi, 2017), 21 26
Dhavamony, Fenomenologi Agama, 74-75 27 Menzies., Sejarah Kepercayaan dan Agama-agama Besar Dunia,61 28 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2011), 158 29 Koesoemosoesastro dan Soegiarto, diterjemahkan., ilmu Agama, 55
9
memakannya. Para anggota dari kelompok sosial itu juga percaya bahwa mereka diturunkan
dari satu leluhur totem yang mistis30
.
Pada berbagai bangsa yang tersebar di seluruh dunia, terdapat manusia yang
mengalami suatu hubungan yang sangat istimewa antar dirinya sendiri dan binatang-binatang.
Karena adanya hubungan erat tersebut maka tak jarang manusia mengakui bahwa binatang
sebagai nenek moyangnya. Pada banyak bangsa dapat dikatakan bahwa manusia menganggap
dirinya sendiri sebagai makhluk yang masih dekat dengan binatang dan bahwa manusia
menyangka dapat beroleh daya kekuatan keagamaan yang magis atau keselamatan dari
hubungannya dengan binatang. Dalam ilmu agama hal ini disebut totemisme31
.
Totemisme menurut Durkheim adalah kepercayaan kepada suatu kekuatan yang tak
bernama dan impersonal, yang meskipun terdapat pada diri makhluk-makhluk manusia,
hewan dan benda atau tetumbuhan, tidak dapat dicampurbaurkan dengan mereka. Ia
merupakan suatu kekuatan yang bebas. Kekuatan ini akan hidup terus dan tetap sama
walupun individu telah meninggal dunia atau pun generasi telah berlalu dan digantikan
dengan yang baru (lain). Ia dapat disebut dewa dalam kepercayaan totemik, bersifat
impersonal, tanpa nama, tanpa hikayat, imanen di dunia ini dan tersebar melekat pada benda
yang tak terhitung jumlahnya32
.
2.3 Simbol, Mitos, dan Ritual
Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolos yang berarti tanda atau ciri yang
memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang33
. Simbol adalah barang atau pola yang
apapun sebabnya, bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampaui
pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harafiah dalam bentuk yang
diberikan itu. Ia juga berpendapat bahwa simbol memiliki makna sendiri atau nilainya sendiri
dan bersama dengan ini daya kekuatan sendiri untuk menggerakan manusia. Daya kekuatan
simbol bersifat emotif, yang merangsang orang untuk bertindak dipandang sebagai ciri
hakikinya34
.
Dalam kehidupan beragama, simbol memainkan peran penting untuk menjelaskan
realita adi-kodrati, yang transenden, Allah yang diimani. Meskipun tidak seluruh realitas itu
30 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 74 31 Koesoemosoesastro dan Soegiarto, diterjemahkan., ilmu Agama, 54-55 32 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 9 33 Budioni Harusatato, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta: Ombak, 2008), 17 34 F.W. Dillistone, The Power Of Symbol, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 19
10
terungkap, namun oleh simbol realitas yang tidak kelihatan bisa dijelaskan. Simbol
mengungkap dan membahasakan yang ilahi dan simbol juga dipergunakan untuk
menghadirkan yang tidak kelihatan yang bersifat roh dan Yang Mahatinggi35
.
Simbolisme dari pelbagai masyarakat yang bebeda-beda menunjukkan kebutuhan
khusus mereka dalam situasi hidup maupun orientasi keberadaan mereka. manusia mau untuk
hidup dalam suatu dunia yang ideal, di mana mereka bisa ambil bagian dalam model
kehidupan para dewa dan makhluk-makhluk adikodrati pada awal segala waktu, ketika alam
semesta lahir, untuk menirukan ucapan dan tindakan mereka, untuk mengalami kehidupan
pada awal segala sesuatu. Manusia religius menyadari bahwa alam semesta ini, maupun tata
tertib manusia di dalamnya, berasal dari tindakan para makhluk adikodrati dan ilahi36
.
Mitos merupakan simbol-simbol yang berwujud narasi. Mitos bukan hanya sekedar
sebuah imajinasi atau pertanda-pertanda, melainkan imajinasi-imajinasi yang dimuat ke
dalam bentuk cerita yang mengisahkan dewa-dewa, leluhur, para kesatria atau dunia
supernatural lainnya37
. Kata Mitos berasal dari bahasa Yunani mutos, yang secara harafiah
diartikan sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang; dalam pengertian yang lebih
luas bisa berarti suatu pernyataan, sebuah cerita, ataupun alur suatu drama. Kata mythology
dalam bahasa Inggris menunjuk pengertian, baik sebagai studi atas mitos atau isi mitos,
maupun bagian tertentu dari sebuah mitos38
.
Mitos dalam kaitannya dengan agama, menjadi penting karena mitos memiliki fungsi
eksistensial bagi manusia. Mitos merupakan kisah yang diceritakan untuk menetapkan
kepercayaan tertentu, berperan sebagai peristiwa pemula dalam suatu upacara atau ritus, atau
sebagai model tetap dari perilaku moral maupun religius. Mitos adalah cerita sejati mengenai
kejadian-kejadian yang bisa dirasa telah membentuk dunia dan hakikat tindakan moral,serta
menentukan hubungan ritual antara manusia dengan penciptanya atau dengan kuasa-kuasa
yang ada. Fungsi utama dari mitos dalam kebudayaan primitif ialah mengungkapkan,
mengangkat dan merumuskan kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas,
menjamin efisiensi dari ritus, serta memberi peraturan-peraturan praktis untuk menuntun
manusia39
.
35 Cristologus Dhogo, SU’I UWI: Ritus Budaya Ngadha dalam Perbandingan dengan Perayaan Ekaristi, (Yogyakarta:
Ledalero,2009), 53-54 36 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 163 37 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2011), 241-242 38 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 147 39 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 150-151
11
Ritus merupakan salah satu bagian penting dalam tata upacara atau perayaan
keagamaan. Ritus selalu dihubungkan dengan gejala-gejala yang mempunyai ciri-ciri mistik.
Dalam ritus, relasi-relasi yang menghubungkan manusia dengan yang melampaui dirinya
terbuka dan bisa dijembatani. Artinya, ritus berusaha untuk menghadirkan dan
mengungkapkan pengalaman mistik kepada orang-orang yang menjalaninya40
.
Fungsi ritus adalah menjadi sarana pengungkapan emosi terutama ritus-ritus yang
berhubungan dengan saat-saat krisis seperti kematian, penderitaan dan bencana. Ritus
menjadi sarana untuk menenangkan hati mereka yang mengalaminya. Seringkali saat-saat
krisis mengungkap ketidakberdayaan manusiawi di hadapan Yang Ilahi. Sebab itu, ritus
berfungsi untuk memohon kepada Yang Ilahi untuk menghentikan atau menjauhkan krisis
tersebut, sehingga ritus mampu mengarahkan manusia menuju kepada hal-hal yang sakral,
yang kudus dan yang ilahi41
.
Dari penjelasan di atas maka kita dapat melihat bahwa simbol, mitos dan ritus
merupakan tiga hal yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Mitos merupakan
kisah yang diceritakan untuk menetapkan kepercayaan tertentu. Ketika kepercayaan tersebut
telah hadir dalam suatu masyarakat maka ritual merupakan hal yang hadir untuk
mengukuhkan kembali keyakinan-keyakinan yang ada dalam mitos. Ketika kepercayaan
tersebut telah ada dan dipegang teguh oleh masyarakat hingga dikukuhkan dalam sebuah
ritual maka simbol hadir untuk menjelaskan mengenai Allah yang mereka percaya.
3. Kepercayaan Terhadap Buaya dalam Pemahaman Masyarakat Bu’at
3.1 Sejarah Gereja Embun Hermon Bu’at
Bu‟at merupakan salah satu tempat yang terletak di kelurahan Karang Siri, Kecamatan
Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Luas wilayah Timor Tengah Selatan sekitar 3.955.36 kilometer persegi, wilayah Kabupaten
Timor Tengah Selatan berupa daratan.42
Bu‟at terletak di kelurahan Karang Siri yang memiliki luas 4,2 KM2 dengan batas-
batasnya ialah43
:
40 Dhogo., SU’I UWI, 48 41 Dhogo., SU’I UWI, 49 42 http://ttskab.go.id/ 43 Laporan Penduduk Kelurahan Karangsiri Bulan April 2018
12
Utara : Desa Noinbila
Selatan : Kelurahan Soe
Timur : Kelurahan Kota Baru dan Kelurahan Kampung Baru
Barat : Desa Kesetnana
Gereja Embun Hermon merupakan gereja yang terletak di Bu‟at. Awal mula
berdirinya Gereja Embun Hermon, berkat dari seorang guru agama di Sekolah Dasar (SD)
yang bernama Gustaf Nenobais. Sekitar tahun 1990, ketika Pak Gustaf mencari kayu bakar di
Hutan Lindung Bu‟at, ia bertemu dengan warga Bu‟at, mereka bercakap-cakap dan dalam
pembicaraan itu, mereka juga berbicara mengenai tempat ibadah. Melalui pembicaraan
tersebut maka Pak Gustaf pun mengetahui bahwa warga Bu‟at ternyata tidak memiliki tempat
ibadah bahkan mereka belum termasuk anggota jemaat gereja manapun. Setelah itu Pak
Gustaf pun mengusulkan untuk mereka beribadah dan usul beliaupun diterima sehingga
beberapa minggu kemudian mereka mulai berkumpul untuk ibadah. Warga dikumpulkan dan
ibadah perdana dipimpin oleh Pak Gustaf. Pada awalnya tempat yang digunakan untuk
ibadah ialah rumah jemaat. Awalnya jemaat terdiri dari 13 kk.44
Pada saat itu meskipun
mereka sudah membentuk persekutuan namun mereka belum menjadi anggota gereja,
sehingga pada akhirnya atas bantuan pak Gustaf mereka menjadi mata jemaat dari gereja
Efata Soe. Sejak saat itu Pak Gustaf dipercaya sebagai Penangung Jawab (PJ) pada tahun
1991-2004, lalu diganti dengan Pak Welem Sonbai hingga saat ini45
. Pada saat ini Gereja
Embun Hermon Bu‟at masih berdiri dengan memiliki dua mata jemaat yakni BLK
Ebenhaizer (Balai Pelatihan Kehutanan) dan Petra Nonohonis.
3.2 Kepercayaan orang Timor
Dalam kepercayaan suku Atoni, mereka menganggap dunia, manusia, binatang,
seluruh ciptaan dan juga benda-benda mati sebagai yang berjiwa. Mereka berpendapat bahwa
langit dan bumi dipenuhi dengan roh-roh yang tak terhitung jumlahnya. Keadaan sakit atau
sehat, berkelimpahan atau bencana, hujan maupun panas, semua itu adalah buah kerja dari
roh-roh. Mereka mengaku adanya daya tertinggi yakni Uisneno, Tuhan Allah, akan tetapi
campur tangan dan kepeduliannnya pada kehidupan di bumi sangat kecil46
. Uisneno dan roh-
roh adalah kekuatan-kekuatan yang berasal dari dunia yang tersembunyi. Dunia yang
tersembunyi di sini maksudnya ialah dunia riil yang mengelilingi mereka. Tetapi dunia itu
44 Wawancara Bapak Gustaf Nenobais, pada 18 januari 2018, pukul 16:30 45 Wawancara bapak Abed Snae, pada 16 Januari 2018, 16:00 46 Nuban Timo, Kupang Punya Cerita: Orang Kupang di Sekitar Injil 150 Tahun Lalu (Salatiga: Fakultas Teologi, 2017), 85
13
tersembunyi dalam pengertian bahwa ia adalah misterius dan karena itu kudus(le’u).
Dipercaya bahwa Uisneno, roh-roh dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi mengontrol
nasib manusia47
.
Dalam sistem kepercayaan orang Atoni, Uisneno (tuhan langit) merupakan Tuhan
tertinggi atau Tuhan yang maha kuasa. Orang Atoni sering menyembah Uisneno dalam
berbagai cara sebagaimana ia memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk dan wujud.
Misalnya sebagai buaya, bulan atau matahari yang menganugerahkan kebenaran (tetus),
memberi kedamaian (mainikin), kesejukan (oetene), hikmat atau kepandaian (Apinat,
aklaat)48
. Uisneno mencakup tuhan langit dan tuhan bumi dan karena itu Uisneno dipahami
dan diyakini dalam dua wujud kehadiran yaitu uisneno mnanu dan uisneno pala. Uisneno
mnanu yaitu tuhan langit yang yang tidak kelihatan Uisneno Mnanu yang di langit ia selalu
memberikan kehangatan menyebabkan pergantian musim dan waktu yang di dalamnya petani
menanam dan menuai. Uisneno Mnanu adalah Ilah tertinggi maka tugas Uisneno Pala adalah
menyampaikan doa-doa yang disampaikan oleh orang Atoni kepada Uisneno Mnanu.
Uisneno pala yang mengidentifikasikan diri dalam bentuk buaya dalam air sungai atau danau
(Nifu) sebagai tuan air (Uis Oe) berbentuk ular piton atau sebagai uis meto (tuhan dari tanah
kering). Kadang-kadang Uisneno Pala itu diidentifikasikan dengan roh atau arwah para
leluhur agar dapat menyampaikan doa-doa tersebut49
.
Dalam budaya suku timor, corak buaya menduduki tempat yang cukup penting karena
corak buaya tidak hanya muncul dalam kain tenun ikat orang timor, tetapi corak ini juga
muncul dalam berbagai ukiran di tempat siri (oko mama), tempat kapur (tiba). Selain itu
figure buaya juga dapat dilihat pada bangunan-bangunan instansi50
. Dalam mitos suku timor,
buaya adalah pemberi kerbau, sapi, kambing, babi dan ayam untuk menopang kehidupan
mereka51
. Dalam kehidupan orang Timor, bagi mereka tidak ada satu binatang yang lebih
dihormati dan disembah dibanding buaya. Buaya disebut-sebut oleh masyarakat Timor
sebagai penguasa laut, sungai, hujan atau tuhan atas air. Binatang ini sangatlah penting bagi
ternak dan manusia di Timor. Buaya dihormati dan bahkan disembah sehingga kepadanya
juga selalu dibayar korban berupa sesajen52
. Dalam topografi pulau Timor yang kering dan
47 Andreas A. Yewangoe, Pendamaian (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 47 48 H.G. Schulte-Nordholt, The Political System of the Atoni of Timor, trans. M.J.L. van Yperen (The Hague: Martinus Nijhoff,
1971). 142 49 Aulia W Konay, “Waktu dalam Kosmologi Orang Boti Dalam di Timor Sebuah Studi dari Perspektif “Waktu Suci” Menurut
Mircea Eliade” (UKSW: Salatiga,2017), 17 50 Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalam Budaya, 139 51 Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalam Budaya, 141 52 Nuban Timo, Kupang Punya Cerita, 184
14
gersang (pah meto), air merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat tersebut.
Penyembahan terhadap buaya adalah kebajikan karena kepercayan bahwa buaya adalah
penguasa air. Ketika binatang tersebut hidup maka kemakmuran, kesejahteraan, kesuburan
akan menjadi bagian dari para penyembah buaya. Untuk dapat mempertahankan kehidupan
buaya maka masyarakat memberikan sesajen.53
Dalam pemberian sesajen kepada buaya, maka seringkali sejumlah kambing, kerbau,
babi, dan ayam dipersembahkan secara tetap setiap tahun kepada buaya untuk memohon
hujan, kesehatan dan hal-hal baik lainnya yang diharapkan manusia atas hidupnya. Binatang
kurban disembelih dan diiringi sebuah pidato atau secara diam-diam dipersembahkan kepada
buaya di tepi sungai atau danau tempat buaya berada. Binatang kurban itu selanjutnya
diletakkan di sisi danau atau sungai. Dalam waktu yang tidak terlalu lama binatang tersebut
akan keluar untuk menghabisi sesajen tersebut54
.
Penghormatan terhadap buaya tidak terbatas ketika ia hidup saja namun sikap hormat
terhadap binatang tersebut juga terlihat ketika binatang tersebut mati. Jika ada seekor buaya
mati, maka orang-orang akan mengadakan perkabungan seperti yang kadang dilakukan jika
seseorang pembesar meninggal dunia. Pada saat hal tersebut terjadi maka akan diadakan
pesta kematian yang besar dan sejumlah kerbau, kambing, ayam dan nasi dijadikan sesajen.
Masyarakat percaya bahwa jika hal tersebut tidak dilakukan maka akan terjadi kelaparan,
krisis air atau berbagai bencana lainnya55
.
Dalam lingkungan masyarakat Bu‟at terdapat buaya yang dipelihara oleh masyarakat
yang merupakan binatang pemberian dari Bupati Kab TTS terdahulu pada tahun 1987. Buaya
tersebut tidak hanya dibiarkan di kolam yang telah disediakan, namun buaya tersebut juga
diperhatikan oleh masyarakat dan pemerintah sekitar (bagian kehutanan). Ketika buaya
tersebut dilepaskan maka tidak ada yang bertanggung jawab secara khusus untuk perawatan
buaya tersebut. Pada awal peletakan buaya di lokasi sekitaran Bu‟at, biasanya pemerintah
sekitar (bagian kehutanan) yang memberi makan namun lama kelamaan dibiarkan sehingga
akhirnya masyarakat dan para pengunjung yang ingin melihat yang memberi makanan untuk
buaya tersebut56
. Pada tanggal 29 Jun 2017 buaya tersebut mati karena terjatuh ke dalam
lubang ketika mengejar seekor anjing dan karena bobot yang cukup besar maka buaya sulit
53 Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalam Budaya, 140 54 Nuban Timo, Kupang Punya Cerita, 185 55 Nuban Timo, Kupang Punya Cerita, 185 56 Wawancara Bapak Naitboho (Tokoh Masyarakat), pada tanggal 08 Januari 2018, pukul 17:00
15
membebaskan diri sehingga pada akhirnya buaya pun mati57
. Ketika buaya tersebut mati,
maka buaya tersebut dikuburkan di sekitar kolam tempatnya diletakkan. Hal tersebut
dilakukan karena banyaknya tawaran dari berbagai pihak luar yang ingin membeli bagian-
bagian tubuh buaya tersebut dengan bayaran yang tinggi namun ditolak karena masyarakat
sekitar merasa tidak memiliki hak atas binatang tersebut karena itu adalah milik pemerintah
serta adanya rasa khawatir ketika harus menjual binatang tersebut yang dalam kepercayaan
nenek moyangnya merupakan binatang yang sangat dihargai. Kekhawatiran tersebut juga
terjadi karena ketika mereka hidup di sekitaran tempat buaya tersebut, masyarakat juga
seringkali melihat berbagai kejadian yang menimpa orang-orang yang memiliki maksud jahat
sehingga mereka khawatir hal-hal tersebut akan tertimpa pula pada mereka58
.
Ketika buaya tersebut masih hidup terdapat beberapa pengunjung yang menjadi
korban gigitan buaya tersebut. Akibat dari gigitan buaya tersebut maka ada pengunjung yang
terluka maupun meninggal. Korban gigitan buaya dari berbagai usia yakni dari anak-anak
hingga orang tua59
. Pada saat buaya tersebut masih hidup seringkali masyarakat dari luar
Bu‟at datang untuk melihat buaya tersebut. Selain datang untuk melihat, seringkali ada juga
yang pergi ke sekitaran kolam buaya untuk memancing. Ada satu kasus di mana seorang
pengunjung datang untuk memancing namun ketika pengunjung tersebut sedang memancing,
tiba-tiba buaya terebut menarik tali pancing dari pengunjung tersebut sehingga membuat
pengunjung tersebut marah dan ia pun mengancam buaya tersebut bahwa ia akan kembali
dengan membawa parang. Keesokan harinya pengunjung tersebut kembali ke kolam buaya
untuk memancing dan ia pun membawa parang yang telah ia siapkan untuk memotong buaya
tersebut. Ketika pengunjung tersebut sedang asik memancing, tiba-tiba buaya tersebut
muncul dan menggigit pengunjung tersebut dan menariknya masuk ke dalam kolam.
Masyarakat sekitar hendak membantu untuk mengeluarkan korban tersebut namun karena
buaya tersebut tetap mengitari korban maka akhirnya yang bisa dilakukan hanyalah dengan
cara tutur adat. Setelah tutur adat maka buaya tersebut pun melepaskan korbannya sehingga
masyarakat pun dapat mengambil pengunjung yang menjadi korban tersebut. Tutur adat
dilakukan karena mereka menyadari bahwa buaya tersebut dibawa secara adat dan diterima
juga secara adat60
.
57
Bapak Charles Boling 58 Wawancara Bapak Naitboho 59
Wawancara Bapak Abed Snae 60
Wawancara Bapak Naitboho
16
Pada saat buaya tersebut mati, maka hal yang dilakukan oleh masyarakat ialah
memakamkannya dengan cara adat lalu mendoakannya. Ketika hendak melakukan
pemakaman dan sebelum melakukan pemakaman terdapat berbagai hal yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat yang hadir untuk melihat buaya tersebut. Ketika orang-orang hadir
untuk melihat kematian serta pemakaman buaya tersebut maka ada sebagian orang yang
memberikan kain tenun (salemut atau salendang), kain (putih dan hitam) untuk menutupi
tubuh buaya tersebut dan ada juga yang melemparkan uang ke dalam kubur buaya tersebut.
Hal ini dilakukan karena masih adanya sedikit kepercayaan turun temurun perihal buaya
sebagai raja air dan adanya anggapan bahwa ketika mereka melakukan hal tersebut maka
ketika mereka melewati laut maka tidak akan ada kecelakaan yang akan mereka alami. Selain
kepercayaan masa lampau perihal raja air, mereka juga masih mengingat kepercayaan masa
lampau bahwa nenek moyang mereka berasal dari buaya61
.
Dalam pelaksanaan pemakaman buaya tersebut masyarakat sekitar mengundang tokoh
adat (tua adat) di wilayah tersebut untuk memimpin pemakaman buaya yang akan dilakukan
secara adat dan tua adat yang memimpin pemakaman tersebut ialah Bapak Tasekeb.
Pemakaman diawali dengan tutur adat yang diucapkan dengan bahasa Timor untuk melepas
kembali binatang tersebut kembali ke alam. Dalam proses adat yang dilakukan, tua adat tidak
hanya “tutur” namun ia juga memasukan uang perak ke dalam mulut buaya tersebut62
. Koin
perak sendiri merupakan salah satu simbol penghargaan bagi orang Timor63
. setelah
pemakaman secara adat mereka meminta untuk didoakan. Setelah tutur adat tersebut selesai
dilakukan maka dilanjutkan dengan doa singkat. Ketika tetua adat meminta untuk berdoa
maka seorang warga (penatua dari luar Gereja Embun Hermon) pun berdoa untuk melepas
buaya tersebut. Doa singkat yang diucapkan dalam pemakaman buaya dilakukan oleh Bapak
Charles Boling. Dalam doa tersebut didoakan bahwa buaya tersebut merupakan binatang
yang berasal dari alam sehingga kami menyerahkannya kembali kepada alam. Setelah tutur
adat dan doa selesai dilakukan maka masyarakat sekitar pun melanjutkan dengan
menguburnya64
.
Kepercayaan terhadap buaya bukan merupakan hal baru bagi Bapak Charles karena
dalam keluarga (nenek moyang dari kakek) mereka pun memelihara buaya dan memberi
makan sehingga dapat dikatakan bahwa saya (Bapak Charles) pun memiliki kaitan dengan
61 Wawancara Bapak Naitboho 62
Wawancara Bapak Tasekeb (tua adat), pada tanggal 11 Januari 2018, pukul 17:00 63
Wawancara Bapa Charles Boling 64 Wawancara Bapak Tasekeb
17
buaya jika dikaitkan dengan nenek moyang kami. Saya (Bapak Charles) pun seringkali
menyempatkan waktu untuk memberi makan buaya tersebut berupa seekor ayam65
.
Kepercayaan akan buaya sebagai tuan air merupakan kepercayaan yang dipegang oleh
masyarakat Timor pada masa lalu. Namun pada saat ini, tidak dipungkiri bahwa kepercayaan
tersebut masih ada dalam beberapa kelompok marga. Masyarakat Bu‟at pada saat ini sudah
tidak terlihat sebagai masyarakat yang menyembah binatang tersebut. Namun jika melihat
masyarakat di luar Bu‟at kita dapat menemukannnya karena kisah mengenai penyembahan
buaya pun masih terdengar bahwa ada keluarga-keluarga tertentu yang masih menyembah
buaya karena adanya kepercayaan bahwa nenek moyang mereka berasal dari binatang
tersebut66
.
Pemakaman terhadap buaya yang dilakukan oleh masyarakat Bu‟at diikuti oleh sebagian
besar jemaat gereja Embun Hermon Bu‟at. Namun hal tersebut tidak berarti bahwa gereja
menerima dan terlibat dalam pelaksanaan pemakaman tersebut. Dalam pelaksanaannya gereja
termaksud majelis tidak mengambil bagian dalam acara tersebut, karena majelis pun
menyadari bahwa pemakaman yang dilakukan oleh masyarakat tersebut merupakan hal yang
menyimpang karena pemakaman yang dilakukan merupakan pemakaman bagi seekor
binatang yang seharusnya tidak dikuburkan secara berlebihan dan pada umumnya
pemakaman seharusnya hanya dilakukan bagi manusia ketika meninggal dunia67
.
Ketika mendengar bahwa pemakaman dilakukan dan dalam pemakaman tersebut
mereka mendoakan buaya dengan diwakili oleh warga sekitar (penatua) maka sebagai
pendeta pertanyaan yang diajukan kepada mereka ketika bertemu dengan mereka yakni
mengenai alas an mereka melakukannya dan jawaban yang seringkali ditemukan ketika
pertanyaan tersebut terlontar ialah adanya rasa tanggung jawab untuk menguburkan binatang
tersebut karena itu merupakan pemberian pemerintah beberapa tahun lalu. Selai itu
pemakaman tersebut juga dilakukan secara adat karena pada awal didatangkan dan
ditempatkan/diletakkan maka hal itu juga dilakukan secara adat maka ketika melepasnya
maka mereka juga harus melakukannya secara adat. Dalam pemakaman tersebut mereka
melakukannya dengan tambahan berdoa hanya sekedar berdoa tanpa pujian apapun. Sikap
masyarakat perihal pemakaman buaya merupakan hal yang bertentangan dengan iman
65
Wawancara Bapa Charles Boling 66
Wawancara Bapak Naitboho 67
Wawancara Ibu Mariyance Tamelan (majelis gereja), pada tanggal 14 Januari 2018, pukul 10:30
18
kristiani karena itu saya (pendeta) sangat menolak akan perlakuan mereka terhadap binatang
tersebut. Dalam gereja seringkali penegasan bahwa buaya adalah sekedar seekor binatang
yang merupakan ciptaan sehingga tidak boleh binatang tersebut dijadikan seperti tuhan
karena binatang tersebut hanyalah sebatas ciptaan. Binatang tersebut hanyalah sekedar
ciptaan yang seharunya tidak disembah layaknya tuhan karena sebagai umat Kristen
penyembahan seharusnya hanya kepada Tuhan sang pencipta68
.
Dalam kepercayaan masa lalu buaya dianggap sebagai raja air, karena kepercayaan
tersebut maka buaya haruslah dihargai sehingga ketika kita berada di laut maka tidak ada hal-
hal yang tidak diinginkan terjadi pada kita. Kepercayaan atau anggapan bahwa buaya sebagai
raja air membuat buaya tersebut diperlakukan layaknya manusia sehingga buaya tersebut
dimakamkan. Selain kepercayaan tersebut, ada juga kepercayaan bahwa binatang tersebut
akan mendatangkan berkat bagi mereka. Sebagai umat Kristen maka kita akan menganggap
bahwa buaya tersebut adalah binatang biasa yang tak berarti apapun, namun di lain sisi
terdapat pihak yang menghargai binatang tersebut karena kepercayaan masa lampau bahwa
binatang tersebut adalah raja air yang akan memberikan mereka berkat69
. Pada saat ini kita
sudah menjadi umat Kristen yang berarti kita mengimani Yesus sebagai Tuhan kita.
Sedangkan jika kita melakukan pemakaman buaya tersebut maka seolah kita masih
mempercayai sang raja air tersebut yang tentunya dapat mempengaruhi iman percaya kita.
Dalam kepercayaan sebagai umat Kristen, Hukum Tuhan dalam Perjanjian Lama pun
mengajarkan bahwa “jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku”, ketika kita mengingat
akan hal ini maka kita pun harus menyadari bahwa ketika kita hadir dalam pemakaman
tersebut maka hadirlah hanya untuk sekedar menghargai sebagai ciptaan Tuhan bukan hadir
karena adanya anggapan bahwa buaya tersebut memiliki kuasa yang lebih70
.
4. Analisa
Setelah menguraikan hasil penelitian pada bagian sebelumnya, maka pada bagian ini
penulis mencoba untuk menganalisa antara teori dan temuan lapangan mengenai kepercayaan
terhadap buaya dalam suku meto khususnya di wilayah Bu‟at.
Pada saat ini, perkembangan agama semakin meninggalkan kepercayaan akan agama-
agama primitif dan mulai beralih kepada agama-agama nasional. Saat ini terdapat enam
68
Wawancara Ibu Maria Benu (pendeta), 05 Januari 2018, pukul 15:00 69
Wawancara Bapak Daud Selan (Majelis Gereja), pada tanggal 14 Januari 2018, 11:30 70
Wawancara Ibu Kase (majelis gereja), pada tanggal 14 Januari 2018, 11:00
19
agama yang telah diakui secara nasional yang diantaranya ialah agama Islam, Kristen
Protestan, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Setiap agama ini memiliki ajaran dan
kepercayaannya masing-masing. Walaupun agama-agama tersebut telah ada, sikap beralih
dari agama primitif tidak sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat karena ada kelompok
masyarakat tertentu yang masih mempraktekkannya walaupun agama nasional telah menjadi
bagian dalam kehidupan mereka. Hal tersebut terlihat ketika mereka masih melakukan
praktik-praktik seperti halnya yang terdapat pada agama primitif.
Kepercayaan kepada buaya merupakan suatu bentuk kepercayaan nenek moyang suku
meto yang masih terdengar hingga kini. Kepercayaan tersebut hadir karena pada masa lampau
nenek moyang suku meto mempercayai bahwa buaya adalah raja air yang dapat memberikan
kehidupan bagi suku meto seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya pada bagian III.
Kepercayaan kepada buaya memang merupakan bentuk kepercayaan nenek moyang suku
meto pada masa lampau. Namun bukan berarti bahwa kepercayaan tersebut benar-benar
hilang karena kepercayaan tersebut masih ada hingga kini dan dilakukan oleh kelompok-
kelompok tertentu yang mempercayai bahwa nenek moyang mereka berasal dari buaya.
Dalam kepercayaan suku meto masa lampau hingga kini (sebagian kecil), suku meto
mempercayai bahwa buaya merupakan raja air sehingga buaya menjadi binatang yang
dijadikan binatang penyembahan dan dalam penyembahan yang dilakukan selalu diberikan
sesajen. Karena kepercayaan masa lampau ini, maka pada saat ini pun hal tersebut masih
dipegang teguh oleh sebagian besar suku meto dengan cara yang berbeda-beda. Pada saat ini
terdapat sekelompok kecil orang yang memegang teguh kepercayaan terhadap buaya
sehingga penyembahan dan pemberian sesajen pun masih diberikan demi mendapatkan
“berkat”. Selain itu, ada juga kelompok yang mengetahui akan cerita masa lampau mengenai
buaya sebagai raja air sehingga mereka pun menghormati binatang tersebut tanpa melakukan
ritual penyembahan seperti pada masa lampau. Kepercayaan terhadap buaya dihadirkan
melalui corak-corak buaya dalam kain-kain tenun suku meto. Dalam pembahasan bagian II,
penulis telah mengemukakan mengenai kepercayaan-kepercayaan primitif yakni animisme,
dinamisme, monoteisme dan totemisme. Dari keempat kepercayaan tersebut, penulis melihat
bahwa kepercayaan totemisme merupakan bentuk kepercayaan yang sejalan dengan
kepercayaan suku meto terhadap buaya. Totemisme merupakan suatu bentuk kepercayaan
terhadap binatang atau pun tumbuh-tumbuhan. Dalam kepercayaan ini, mereka percaya
bahwa totem yang mereka sembah dapat memberikan kekuatan dan keselamatan dari
hubungan mereka dengan totem. Hal ini sejalan dengan keprcayaan suku meto masa lampau
20
yakni mereka percaya bahwa buaya (totem) yang mereka sembah dapat memberikan hal-hal
baik atas hidup mereka. Jika melihat hal ini maka dari keempat kepercayaan tersebut maka
totemisme merupakan bentuk kepercayaan yang sesuai dengan praktik yang dilakukan oleh
orang-orang suku meto.
Totem merupakan sejenis roh pelindung manusia yang berwujud binatang71
. Dalam
kepercayaan suku meto, mereka juga mempercayai buaya (totem) sebagai roh pelindung
mereka. Penulis berpendapat demikian karena hal ini terkait dengan legenda pulau timor itu
sendiri yang telah dipaparkan dalam bagian latarbelakang. Selain itu, pada bagian II penulis
juga memaparkan bahwa totem terbagi atas dua yakni totemisme perseorangan dan
totemisme golongan. Dari kedua hal ini penulis menyimpulkan bahwa suku meto termasuk
dalam kepercayaan totemisme dan dalam kepercayaan mereka totem yang mereka sembah
tidak hanya terkait dengan orang-orang tertentu saja namun totem yang mereka sembah ada
hubungannya dengan suku mereka.
Kepecayaan terhadap buaya pada awalnya hadir karena adanya mitos bahwa pulau
timor yang didiami oleh suku meto merupakan tubuh buaya yang berubah menjadi daratan
dan pulau timor jika dilihat maka terlihat seperti buaya yang tertidur. Mitos ini menimbulkan
kepercayaan akan buaya sehingga pada masa lampau buaya menjadi objek penyembahan.
Mitos akan buaya pada saat ini tidak telalu diketahui olah sebagian orang suku meto namun
bukan berarti hal tersebut ditinggalkan. Mitos tersebut tidak hilang begitu saja karena hingga
pada saat ini hal tersebut dihidupkan melalui simbol-simbol yang dihadirkan dalam ukiran-
ukiran dan pintalan-pintalan benang dalam kain adat suku meto (sarung dan salemut). Ritual
pun masih dilakukan namun hanya dilakukan bagi mereka yang masih dengan teguh
mempercayai akan mitos tersebut.
Masyarakat Bu‟at mengetahui akan kepercayaan kepada buaya. Hal tersebut terlihat
penulis melakukan wawancara dalam pengumpulan data. Kepercayaan terhadap buaya
merupakan bentuk kepercayaan yang dimiliki oleh nenek moyang mereka. Penghormatan
kepada buaya mereka lakukan karena mereka menyadari bahwa buaya adalah binatang yang
pada masa lampau memiliki kaitan dengan nenek moyang mereka. Selain itu mereka
menyadari bahwa buaya merupakan raja air sehingga ketika mereka menghormati buaya
tersebut maka ketika mereka melewati laut maka tidak akan ada kecelakaan yang menimpa
mereka. Pemakaman buaya yang dilakukan oleh masyarakat Bu‟at juga merupakan suatu
71
Koesoemosoesastro dan Soegiarto, diterjemahkan., ilmu Agama, 55
21
bentuk penghormatan bagi buaya dan juga suatu cara mereka menghargai bahwa buaya pada
awalnya telah diletakkan di tempat tersebut telah diletakkan secara adat sehingga pada
akhirnya mereka pun juga haruslah melepaskannya secara adat. Dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan pemakaman tersebut dilakukan oleh masyarakat Bu‟at karena hal tersebut
sejalan dengan langkah awal peletakan buaya tersebut di mana ketika diletakkan secara adat
maka melepaskannya juga haruslah secara adat. Penulis pun melihat bahwa hal ini dilakukan
bukan karena mereka memposisikan buaya sebagai tuhan melainkan hanya sebatas
menghormatinya secara adat.
Masyarakat menyadari akan kepercayaan masa lampau nenek moyang mereka, namun
mereka tidak mempraktekan hal tersebut dalam kehidupan mereka karena mereka pun
menyadari bahwa kekristenan sudah menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Kepercayaan
terhadap buaya sudah tidak menjadi bagian dalam hidup mereka (masyarakat Bu‟at) namun
mereka pun menyadari bahwa hal tersebut merupakan warisan dari nenek moyang yang harus
dihormati.
Kepercayaan terhadap buaya (totemisme) tidak menjadi hal utama bagi jemaat Embun
Hermon Bu‟at. Jemaat Embun Hermon menyadari bahwa kepercayaan tersebut merupakan
bentuk kepercayaan masa lampau yang pernah dilakukan nenek moyang mereka karena pada
saat ini yang menjadi pusat kepercayaan mereka ialah Yesus Kristus. Jemaat menyadari
bahwa mereka telah mengimani Yesus Kristus yang merupakan sang pencipta di mana dalam
mengimani Yesus maka sikap ketaatan akan ajaran-Nya harus dipraktekkan dalam kehidupan
mereka sebagai umat percaya.
5. Penutup
Melalui penelitian ini, penulis melihat bahwa kepercayaan terhadap buaya merupakan
suatu bentuk kepercayaan totemisme. Kepercayaan terhadap buaya merupakan suatu warisan
budaya yang telah ada sejak masa lalu yang diwariskan oleh nenek moyang suku meto
sehingga kepercayaan tersebut hingga kini masih ada dan dipraktekkan dengan cara yang
berbeda-beda (percaya secara penuh dan hanya sebatas menghormati). Pada saat ini
kepercayaan tersebut masih ada namun kepercayaan tersebut bukan menjadi bentuk
kepercayaan yang diutamakana karena mereka telah memeluk agama Kristen dan mereka
menyadari bahwa Tuhanlah yang harus mereka sembah. Kepercayaan terhadap buaya pada
saat ini masih dilakukan oleh sebagian kecil orang Timor. Pada saat ini bentuk kepercayaan
tersebut hadir tidak sepenuhnya karena adanya kepercayaan secara penuh, namun hadir
22
karena adanya rasa untuk menghormati dan menjaga kebudayaan tersebut. Pada saat ini kisah
masa lampau ini hadir dalam bentuk corak-corak yang ada dalam kain tenun suku meto.
Melalui corak ini maka kisah ini pun akan tetap terwariskan jika tetap dijaga.
Melalui tulisan ini maka saran yang dapat saya berikan bahwa kepercayaan terhadap
buaya memang merupakan hal yang tidak sesuai ketika pada saat ini Kekristenan telah
menjadi bagian dalam kehidupan jemaat Embun Hermon Bu‟at, namun kepercayaan tersebut
merupakan suatu bentuk tradisi yang haruslah tetap dijaga sehingga warisan budaya tersebut
bisa terus ada dan didengar oleh para penerus kita. Ketika bentuk kepercayaan tersebut ada
dan dijaga maka bukan berarti ritual masa lampau pun harus dilakukan namun hal tersebut
dapat dijaga melalui corak-corak yang dihadirkan dalam tenun-tenun suku meto.
Masyarakat
Masyarakat harus menyadari bahwa kepercayaan tersebut merupakan identitas mereka
sehingga kebudayaan tersebut harus tetap dijaga dengan cara menceritakan dan
mengajarkan budaya yang ada pada generasi-generasi penerus sehingga budaya yang
ada dapat tetap diketahui dan dilakukan. Hal ini juga dapat diperkuat melalui
pembelajaran di sekolah serta pengadaan buku dari pemerintah sehingga budaya-
budaya yang ada dapat terus dipelajari. Namun dalam melestarikannya masyarakat
tentunya harus sadar bahwa mereka telah hidup dalam kekristenan sehingga nilai
kekristenan tidak boleh hilang sebagai identitas mereka saat ini.
Gereja
Gereja harus memahami bahwa agama dan budaya adalah dua identitas yang melekat
dalam masyarakat setempat oleh karena itu, gereja seharusnya menjadikan budaya
sebagai kekayaan dan peluang bagi gereja untuk mewartakan injil yang lebih kreatif,
relevan dan kontekstual. Gereja dapat juga membantu melestarikan budaya jemaat
melalui pembentukan sanggar budaya dimana dalam sanggar tersebut mereka dapat
melestarikan budaya yang ada. Pelestarian budaya tersebut dapat dilakukan dengan
cara pembentukan-pembentukan simbol buaya baik dalam bentuk tenunan maupun
ukiran serta pahatan. Ketika adanya perencanaan pembentuka sanggar maka gereja
juga dapat membantu jemaat dalam penyediaan tempat yang layak.
23
DAFTAR PUSTAKA
Andreas A. Yewangoe, Pendamaian (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983)
Budioni Harusatato, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta: Ombak, 2008)
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif
(Jogjakarta: IRCiSoD,2011)
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995)
Dhogo, Cristologus. SU’I UWI: Ritus Budaya Ngadha dalam Perbandingan dengan
Perayaan Ekaristi, (Yogyakarta: Ledalero,2009)
Émile Durkheim., The Elementary Forms of The Religious Life (Jogjakarta: IRCiSoD, 2011)
F.W. Dillistone, The Power Of Symbol, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002)
Haryanto, Sidung. Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Postmodern (Yogyakarta: AR-
RUZZMEDIA, 2015)
H.G. Schulte-Nordholt, The Political System of the Atoni of Timor, trans. M.J.L. van Yperen
(The Hague: Martinus Nijhoff, 1971)
J. Sudarminta, Dunia, Manusia dan Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2008)
M.D. Koesoemosoesastro dan Soegiarto., diterjemahkan., ilmu Agama (Jakarta: BPK
Gunung Mulia2003)
Menzies, Allan. Sejarah Kepercayaan dan Agama-agama Besar Dunia (Yogyakarta:
Indoliterasi, 2015)
Middelkoop, P.Atoni pah meto: Pertemuan Injil dan kebudayaan di kalangan suku Timor
asli.Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1982
24
Nuban Timo, Eben. Kupang Punya Cerita: Orang Kupang di Sekitar Injil 150 Tahun Lalu.
Salatiga: UKSW, 2017.
Nuban Timo, Eben. Sidik Jari Allah dalam Budaya: Upaya Menjajaki Makna Allah dalam
Perangkat Budaya Suku-suku di Nusa Tenggara Timur. Maumere: Ledalero,2009.
Raco, J. R. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulan. Jakarta:
Grasindo, 2013
Sidung Haryanto, Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Postmodern (Yogyakarta: AR-
RUZZMEDIA, 2015)
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2012)
Jurnal dan Skripsi
Banamtuan, Maglon Ferdinand.“Upaya Pelestarian Natoni (Tuturan Adat) Dalam Budaya
Timor Dawan (Atoni Meto)” Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol.6, No.1 (2016):
81-82, diakses November 2, 2017.
(paradigma.ui.ac.id/index.php/paradigma/article/download/82/pdf)
Faot, Ananda I. “Suatu Tinjauan sosio-Teologis Terhadap Makna Corak Buaya dalam Tenun
dan Ukiran Budaya Timor di Niki-Niki Kecamatan Amanuban Tengah” Universitas
Kristen Satya Wacana, 2012
Konay, Aulia W. “Waktu dalam Kosmologi Orang Boti Dalam di Timor Sebuah Studi dari
Perspektif “Waktu Suci” Menurut Mircea Eliade” (UKSW: Salatiga,2017)
Napitupulu, Ivan. “Pengaruh Kepercayaan terhadap Okultisme dalam Pertumbuhan Iman
Jemaat HKBP Nauli Danohorbo” (UKSW: Fakultas Teologi, 2017)
25
Wawancara
1. Wawancara via telepon, Bapak Charles Boling (Salatiga, 01 November 2017, pukul
17.20 WIB).
2. Wawancara Ibu Maria Benu (pendeta), pada tanggal 05 Januari 2018, pukul 15:00
3. Wawancara Bapak Naitboho (Tokoh Masyarakat), pada tanggal 08 Januari 2018,
pukul 17:00
4. Wawancara Bapak Tasekeb (tua adat), pada tanggal 11 Januari 2018, pukul 17:00
5. Wawancara Ibu Mariyance Tamelan (majelis gereja), pada tanggal 14 Januari 2018,
pukul 10:30
6. Wawancara Ibu Kase (majelis gereja), pada tanggal 14 Januari 2018, 11:00
7. Wawancara Bapak Daud Selan (majelis gereja), pada tanggal 14 Januari 2018, 11:30
8. Wawancara bapak Abed Snae, pada 16 Januari 2018, 16:00
9. Wawancara Bapak Gustaf Nenobais, pada 18 januari 2018, pukul 16:30
Internet
1. http://ttskab.go.id/
2. paradigma.ui.ac.id/index.php/paradigma/article/download/82/pdf
Sumber lain-lain
Laporan Penduduk Kelurahan Karangsiri Bulan April 2018