LAPORAN KASUS
MYESTENIA GRAVIS
PEMBIMBING :
Dr. Fritz Sumantri, Sp.S, FINS
PENYUSUN :
Ibrahim Achmad,S.Ked
03009117
KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PERIODE 4 NOVEMBER 2013 – 8 DESEMBER 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah laporan kasus dengan judul “Myastenia Gravis”.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di
bagian Neurologi RSUP Fatmawati.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini, terutama kepada :
1. Dr. Fritz Sumantri, Sp.S, FINS , selaku pembimbing laporan kasus penulis
2. Seluruh dokter dan staff SMF Neurologi RSUP Fatmawati
3. Rekan-rekan kepaniteraan klinik Neurologi RSUP Fatmawati atas bantuan dan
dukungannya
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh
karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan makalah ini sangat diharapkan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam bidang
Neurologi.
Jakarta , November 2013
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi
neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa latin
untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius. Myasthenia Gravis termasuk
salah satu jenis penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu
sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri.
Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah
otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan
ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang
membantu pernafasan juga dapat terserang1,5.
Health Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia Gravis
sebagai penyakit autoimun kronis yang berakibat pada kelemahan otot skelet. Otot-otot
skelet adalah serabut-serabut otot yang terdiri dari berkas-berkas atau striasi (striasi otot)
yang berhubungan dengan tulang. Myasthenia Gravis menyebabkan kelelahan yang cepat
(fatigabilitas) dan kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas, dan membaik setelah
istirahat3.
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi
dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara
konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia
gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR
mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh5.
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbeda-
beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat
memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya, beberapa dari terapi ini justru
diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat
kurang5.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
No. RM : 01226866
Nama : Ny. SM
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 36 tahun
Tempat, tanggal lahir : Pandeglang, 1 Juni 1977
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Pendidikan : Tamat SLTA
Agama : Islam
Status perkawinan : menikah
Alamat : Cipayung, Ciputat,
Tangerang Selatan, Banten
II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada bangsal 421, gedung teratai, pada
tanggal 10 November 2013 pukul 09.00 WIB
Keluhan Utama : Sesak napas sejak 2 hari SMRS (masuk Rumah sakit 22 oktober)
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan keluhan sesak napas sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas dirasakan hilang timbul dan sesak napas
dirasakan bertambah berat, terasa berat pada dadanya seperti ditindih. Sesak napas
timbul pada saat pasien sedang beraktifitas dan dirasakan sesak napasnya semakin lama
semakin memberat. Pasien juga mengalami batuk berdahak dengan lendir berwarna
putih kuning tanpa disertai dengan darah. Pasien juga mengeluhkan adanya demam,
Demam dirasakan tidak terlalu tinggi dan terus menerus, dan biasanya pada malam hari
lebih terasa. 3 hari kemudian(25 Oktober 2013) pasien masuk ke ICU karena terjadi
gagal napas dan penurunan kesadaran, pasien pun tidak ingat kejadian tersebut, hanya
4
terasa sesak semakin berat seperti di cekik, Selama dirawat di ICU kondisi pasien
perlahan-lahan membaik, pasien dirawat di ICU selama 14 hari. Setelah kesadaran
membaik dan sudah tidak sesak lagi, kemudian pada tanggal 7 November 2013. Setelah
dipindahkan ke ruang perawatan biasa, keluhan sesak napas masih ada sedikit, tetapi
perbaikan dibandingkan dengan hari-hari awal masuk IGD dan pasien mengeluhkan
suaranya menjadi hilang dan serak, mau bicara terasa sakit pada leher. Pusing, mual dan
muntah di sangkal oleh pasien, pasien dapat tidur, makan dan minum seperti biasa
hanya pelan-pelan karena pasien batuk-batuk. BAB dan BAK biasa.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sebelumnya Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnnya.
Pasien memiliki riwayat panyakit myastenia gravis yang sudah di diagnosis sejak
September 2012 dan sudah diberi obat berupa mestinon diminum secara rutin 5 kali
dalam sehari. Pasien tidak memiliki riwayat Hipertensi. Riwayat kencing manis atau DM
dan batuk-batuk lama disangkal. Riwayat alergi terhadap obat dan makanan disangkal.
Penyakit Asma juga di sangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga :
keluarga tidak ada yang memiliki keluhan seperti inin. Riwayat darah tinggi dan
kencing manis dalam keluarga disangkal. Tidak ada riwayat Hipertensi , diabetes dan
asma pada keluarga pasien.
Aktifitas pasien sehari-hari adalah bekerja sebagai pegawai swasta. Pasien tidak
merokok, pasien tidak mengkonsumsi alkohol dan pasien jarang melakukan
berolahraga.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 11 November 2013 pada pukul 08.20 WIB
Keadaan Umum
Kesadaran :Compos Mentis
Sikap : Berbaring
Koperasi : Kooperatif
Keadaan Gizi : Kurang
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 96 x/menit
5
Suhu : 36,8oC
Pernapasan : 20 x/menit
Keadaan Lokal
Trauma Stigmata : -
Pulsasi arteri karotis : Cukup, regular, equal kanan dan kiri
Perdarahan perifer : Capilary refill time < 2 detik
KGB : Tidak teraba membesar
Columna vertebralis : Letak ditengah, skoliosis ( - ), lordosis ( - )
Kulit : Warna kuning langsat, sianosis ( - ), ikterik ( - )
Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut, jejas ( - ), nyeri tekan perikranial ( - )
Mata : Konjungtiva anemis - / -, sklera ikterik - / -, ptosis - / -,
lagoftalmus - / -, pupil bulat isokor, diameter 5mm/5mm,
refleks cahaya langsung + / +, refleks cahaya tidak
langsung + / +
Telinga : Normotia + / +, perdarahan - / -
Hidung : Deviasi septum - / -, perdarahan - / -
Mulut : Bibir sianosis ( - ), lidah kotor ( - ),
Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba
pembesaran KGB dan tiroid
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di ICS V 2 jari medial linea midklavikularis
sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V 2 jari medial linea midklavikularis
sinistra
Perkusi : Pinggang jantung ICS III linea parasternalis sinistra, batas kanan ICS
IV linea sternalis dextra, batas kiri ICS V5 2 jari medial linea
midklavikularis sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 normal reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pemeriksaan Paru
Inspeksi : Pergerakkan dada simetris pada statis dan dinamis
Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri sama
6
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler + / +, ronkhi + / +, wheezing - / -
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan ( - ), hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus ( + ), 3x/menit
Pemeriksaan Ekstremitas
Superior : Akral hangat + / +, edema - / -
Inferior : Akral hangat + / +, edema - / -
IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
GCS : E4V5M6 = 15
Tanda rangsang meningeal
Kaku kuduk : -
Laseque : >700 / >700
Kerniq : > 1350 / > 1350
Brudzinsky I : -
Brudzinsky II : - / -
Nervus Kranialis
N. I (Olfaktorius)
Normosmia : + / +
N. II (Optikus)
Acies visus : Baik / baik
Visus campus : Baik / baik
Lihat warna : Baik / baik
Funduskopi : Tidak dilakukan
N. III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducens)
Kedudukkan bola mata : Ortoposisi + / +
Pergerakkan bola mata : Baik ke segala arah
7
Oculi Dextra Oculi Sinistra
Lagofthalmus : - / -
Ptosis : + / +
Nystagmus : - / -
Pupil
Bentuk : Pupil Bulat, isokor, diameter
4mm/4mm
Reflek cahaya langsung : + / +
Reflek cahaya tidak langsung : + / +
N. V (Trigeminus)
Cabang Motorik
Gerakan rahang : Baik
Menggigit : Baik
Cabang sensorik
Ophtalmicus : Baik / baik
Maksilaris : Baik / baik
Mandibularis : Baik / baik
Refleks
Kornea : + / +
Jaw reflex : - / -
N. VII (Fascialis)
Motorik
Sikap wajah : Kesan mencong tidak ada
Angkat alis : Baik / baik
Mengerutkan dahi : Baik / baik
Menutup mata : Baik / baik
Menyeringai : Baik / baik
Plika nasolabialis : Tidak ada bagian yang lebih mendatar
Sensorik
8
Pengecapan lidah 2/3 depan : Baik
N. VIII (Vestibulocochlearis)
Vestibular
Vertigo : -
Nistagmus : -
Koklearis : Baik / baik
N. IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)
Motorik
Kedudukan uvula : Berada di tengah
Kedudukan arcus faring : Tidak ada deviasi
Menelan : Baik / baik
Sensorik : Baik
N. XI (Accesorius)
Mengangkat bahu : Baik / baik
Menoleh : Baik / baik
N.XII (Hypoglossus)
Pergerakkan lidah : Baik
Menjulurkan lidah : Lurus ke depan
Atrofi : -
Fasikulasi : -
Tremor : -
Sistem Motorik
Trofi : eutrofi
Tonus : normotonus
Kekuatan otot :
Ekstremitas superior : 5555/5555
Ekstremitas inferior : 5555/5555
Gerakkan involunter :
Tremor : - / -
Chorea : - / -
Atetose : - / -
Miokloni : - / -
9
Tics : - / -
Sistem Sensorik
Propioseptif
Getar : Tidak dilakukan
Sikap : Baik / baik
Eksteroseptif
Nyeri : Baik / baik
Suhu : Baik / baik
Raba : Baik / baik
Refleks Fisiologis
Kornea : + / +
Biceps : +2 / +2
Triceps : +2 / +2
Dinding perut : + / +
Patella : +2 / +2
Achilles : +2 / +2
Refleks Patologis
Hoffman Tromer : - / -
Babinsky : - / -
Chaddok : - / -
Gordon : - / -
Schaefer : - / -
Klonus patella : - / -
Klonus achilles : - / -
Fungsi Serebelar
Ataxia : -
Tes Romberg : Baik
Disdiadokokinesia : Baik
Jari-jari : Baik
Jari-hidung : Baik
Tumit-lutut : Baik
Rebound phenomenon : Baik
10
Hipotoni : - / -
Fungsi Luhur
Astereognosia : -
Apraxia : -
Afasia : -
Fungsi Otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Sekresi keringat : Baik
Keadaan Psikis
Intelegensia : Baik
Tanda regresi : Tidak ada
Demensia : Tidak ada
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
7 November 2013
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Hb
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
11,8
34
12,4
276
4,17
11,7 – 15,5 g/dL
33-45 %
5,0-10,0 ribu/uL
150-440 ribu/uL
4,40-5,90 juta/uL
VER/KHER/HER/RDW
VER
HER
KHER
RDW
81,6
28,3
34,6
16,6
80,0-100,0 fl
26,0-34,0 g/dL
32,0-36,0 pg
11,5-14,5 %
Fungsi Ginjal
Ureum darah
Kreatinin darah
43
0,4
20-40 mg/dL
0,6-1,5 mg/dL
11
Diabetes
Gula Darah Sewaktu 129 80-140 mg/dL
Elektrolit Darah
Natrium
Kalium
Klorida
126
4,19
100
135-147 mmol/L
3,10-5,10 mmol/L
95-108 mmol/L
Pemeriksaan Sputum
Hasil pemeriskaan BTA pada sputum 3 waktu adalah negatif
Foto Thoraks: 7 Oktober 2013
Kesan : Cor dan pulmo dalam batas normal
VI. RESUME
Pasien perempuan datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan keluhan sesak napas sejak 2
hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas dirasakan hilang timbul dan semakin
memberat, sesak napas pada saat menarik napas dan membuang napas. Selain itu
terdapat batuk berlendir dan deman yang dirasa tidak terlalu tinggi. Pasien selanjutnya
dirawat di ICU selama 14 hari karena gagal napas dan penurunan kesadaran, pada saat
dirawat di ICU kondisi pasien semakin lama semakin membaik dan selanjutnya dilakukan
perawatan di ruang rawat biasa. Setelah keluar dari ICU pasien masih mengeluhkan
sesak napas dan suaranya menjadi serak. Pasien memiliki riwayat penyakit myastenia
gravis dan pasien rutin minum obat untuk mengatasi penyakitnya. Pada pemeriksaan
fisik Tekanan darah : 110/70 , nadi: 92 x/menit , suhu : 36,8. kondisi umum baik dan
pada pemeriksaan neurologis tidak didapatkan adanya kelainan. Pada pemeriksaan
laboratorium terkahir didapatkan leukositosis ringan, peningkatan kadar ureum dalam
darah dan penurunan kadar kreatinin darah, hiponatremi.
VII. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis klinis : Dypsnoe , disfonia, ptosis dextra dan sinistra, hiponatremi
Diagnosis etiologis : Myastenia gravis
Diagnosis topis : Neuromuscular Junction(motor end plate)
12
VIII. PENATALAKSANAAN
Non-medikaMentosa :
- Nacl 0,9% + 2 ampul bicasma (Terbutaline sulfat) / 24 jam
MedikaMentosa :
- Mestinon (Pyridostigmine) 5 x 1 tablet PO
- Ambroxol 3 x 1 tablet PO
- Meropenem 3 x 1 gram IV
- Fluconazole 2 x 200 mg IV
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-
menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas4.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission
atau pada neuromuscular junction,2,4.
2. Epidemiologi
Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih jarang
ditemukan. Umumnya menyerang wanita dewasa muda dan pria tua. Penyakit ini
bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang bisa menular. Kasus MG
adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per tahun, yang mengakibatkan kelaziman di
Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus. MG betul-betul dipertimbangkan sebagai
penyakit yang jarang, artinya MG kelihatannya menyerang dengan sembarangan dan
tanpa disengaja dan tidak dalam hubungan keluarga. Tidak ada kelaziman rasial, tapi
13
orang-orang yang terkena MG pada usia < 40 tahun, 70 % nya adalah wanita. Yang >
40 tahun, 60 % nya adalah pria. Pola ini sering disimpulkan dengan menyebutkan
bahwa MG adalah penyakit wanita muda dan pria tua. Pada pasien yang mengalami
MG sebagai akibat karena memiliki thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis
kelamin5.
Menurut James F.Howard, Jr, M.D, kelaziman dari Myasthenia Gravis di
Amerika Serikat diperkirakan sekitar 14/100.000 populasi, kira-kira 36.000 kasus.
Tetapi Myasthenia Gravis dibawah diagnosa dan kelaziman, mungkin lebih tinggi.
Sebelum dipelajari, terlihat bahwa wanita lebih sering terserang disbanding pria. Usia
yang paling umum terserang adalah pada usia 20 dan 30-an pada wanita dan 70 dan
80-an pada pria. Berdasarkan populasi umur, rata-rata usia yang terserang meningkat,
dan sekarang pria lebih sering terserang dibanding wanita, dan permulaan munculnya
tanda-tanda biasanya setelah usia 505.
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi) dari
ibu yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia bayi
adalah sementara dan gejala-gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa
minggu setelah kelahiran. Myasthenia Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun
menular. Adakalanya, penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam
keluarga yang sama5.
3. Anatomi, Fisiologis dan Biokimia Neuromuscular Junction
a. Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang
anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-
tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga
hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu
sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuskular9.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang
disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
14
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction9.
b. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran
post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina
basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat
dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi6,9.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat
diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal
terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)6,9.
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke
bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh
tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf
dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan
berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada
membran post sinaptik6,9.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu6:
1) Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan
menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi
berikut ini: Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA
2) Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran
yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3) Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta
tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi
satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan
potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami
15
depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan
aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini
memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan
asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4) Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah
sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan
bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor
asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan
terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor,
maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka
saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi
membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot
sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan
menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial
aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul
kontraksi otot.
5) Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis
oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps
6) Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport
aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis
asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan
saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri
dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta,
delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak
secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial
dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan
16
potensial setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic
potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah
mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang
selanjutnya menyebabkan kontraksi otot
4. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis
rheumatoid, dan lain-lain8.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada
serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot.
Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita
dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor
nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan
miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah
dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis
generalisata8.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan
gejala miastenik5,8.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area
imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari
asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara
17
lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan
mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor
asetilkolin yang baru disintesis8.
5. Manifestasi Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat4. Gejala klinis miastenia
gravis antara lain4,5 :
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis .Ptosis yang merupakan salah satu
gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita
miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas
lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada
tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis
miastenia gravis7. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan
kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala4.
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan
tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke
otot ekstremitas4.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan
dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau.
Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya4.
6. Klasifikasi Miastenia Gravis
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:
a. Klas I
18
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
b. Klas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
e. Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Klas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
h. Klas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Klas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-
otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding
tube tanpa dilakukan intubasi.
19
k. Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-
gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah
ini :
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.
7. Diagnosis Miastenia Gravis
a. Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua
anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas
normal4,8.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like
face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)
serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain
itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada
20
miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga
dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami
kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher8.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh
atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh
bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari
tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat
melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan
dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki8.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas
akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi
cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya
hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran
napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia
gravis fase akut sangat diperlukan8.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan
terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata
yang melakukan abduksi8.
b. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti4,7
1. Pemeriksaan Laboratorium
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari
21
penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan
miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi
yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi
false positive anti-AChR antibody
Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma
dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia
lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk
anti-MuSK Ab.
Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein
titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien
muda dengan miastenia gravis.
2. Imaging
a. Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen
thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
b. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
c. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.
MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
22
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak.
3. Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik :
i. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
ii. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam
serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor
unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya
defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber
density yang normal.
c. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain8:
- Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
Paralisis pasca difteri
Pseudoptosis pada trachoma
Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan
adanya suatu sklerosis multipleks.
Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot-
otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-
23
detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering
kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada
transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi
ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia
gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi
pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan
normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran
postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.
8. Penatalaksanaan4,5,7
a. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara
lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila
diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),
didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat
menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak
segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal,
sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian
antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan
IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan
pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien
untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat
yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari
krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek
muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti
bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
24
b. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari
efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap
(5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila
obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala
terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang
berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari,
dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat
segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat
kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara
perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang
efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.
c. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang
baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama
berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu
harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu
pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon
bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
d. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita
beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian
antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini
harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
e. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg
BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.
Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan
sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang
25
jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita
mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi
miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor
asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, Myasthenia Gravis. Available at:
http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd . Diakses pada tanggal 08
April, 2013.
2. Frotscher, M., M. Baehr. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS : Anatomi, Fisiologi,
Tanda dan Gejala, Ed. 4. EGC. Jakarta.
3. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm.
Diakses pada tanggal 08 April, 2013.
4. Mardjono, M., 2004. Neurologi Klinis Dasar 9th ed. Dian Rakyat, Jakarta.
5. Miastenia Gravis Indonesia. 2013. http://www.mgindonesia.org/myasthenia-gravis.html.
Diakses pada tanggal 08 April 2013.
6. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa
Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29. EGC. Jakarta.
7. Ngoerah, I. G. N. G, 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press.
8. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit ed. 6 vol.2. EGC. Jakarta.
9. Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5. EGC. Jakarta.
26
Top Related