TUGAS MAKALAH AGAMA
PANDANGAN ISLAM TERHADAP EUTHANASIA
OLEH :
FEBRIANA RAHMADANI
140100162
KELAS A
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
terselesaikannya makalah EUTHANASIA. Makalah ini memberi perhatian besar
terhadap ilmu pengetahuan di masyarakat. Oleh karena itu, selain menyajikan
penjelasan-penjelasan mengenai hukum euthanasia di Indonesia, makalah ini juga
menyajikan tentang latar belakang serta baik buruknya atau dampak dari euthanasia
itu sendiri. Setiap bab yang dibahas akan mudah untuk dipahami.
Dalam menyusun makalah ini, kami banyak mendapatkan bantuan
bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu melalui kesempatan ini kami
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ramadhan Syahmedi Siregar, S.Ag, MA selaku Dosen Agama Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
2. Rekan-rekan yang telah banyak membantu serta yang telah memberikan
masukan-masukan dalam penyususnan makalah ini.
Di dalam bab dapat kita temukan informasi yang berguna untuk mengetahui
dan menambah wawasan mahasiswa tentang “EUTHANASIA”. Makalah ini jauh
dari kata sempurna, maka dari itu penulis membutuhkan kritik dan saran yang
membangun.
Medan, 11 Juni 2015
Penyusun
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................1
KATA PENGANTAR ..............................................................................................2
DAFTAR ISI .............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................4
A. Latar Belakang ..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah .........................................................................................8
C. Tujuan ...........................................................................................................8
D. Manfaat .........................................................................................................8
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................10
A. Pengertian Euthanasia..................................................................................10
B. Macam-Macam Euthanasia..........................................................................10
C. Contoh Kasus Euthanasia.............................................................................13
D. Euthanasia menurut Kode Etik Kedokteran ................................................15
E. Euthanasia menurut Pandangan Syariah Islam............................................15
F. Kriteria Mati Menurut Pandangan Ilmu Kedokteran Dan Para Fuqaha
Menurut ilmu kedokteran.............................................................................21
G. Pandangan Hukum Positif Tentang Euthanasia...........................................22
H. Hukum Euthanasia menurut UUD...............................................................23
I. Hukum Euthanasiamenurut Islam................................................................26
J. Motivasi Euthanasia.....................................................................................26
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................27
A. Kesimpulan..................................................................................................27
B. Saran.............................................................................................................28
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia yang semakin maju, peradaban manusia tampil
gemilang sebagai refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
persoalan-persoalan norma dan hokum kemasyarakatan dunia bisa bergeser,
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Didalam
masyarakat modern seperti dibarat, kebutuhan dan aspirasi masyarakat
menempati kedudukan yang tinggi, sehingga berdasarkan itu, suatu produk
hokum yang baru dibuat.
Dari sini dapat digambarkan bahwa apabila terjadi pergeseran nilai dalam
masyarakat, maka interfretasi terhadap hokum pun bisa berubah. Masalah
euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh kalangan kedokteran dan para
praktisi hokum di Negara-negara barat. Di Indonesia ini juga pernah dibahas,
seperti yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam seminar tahun
1985 yang melibatkan para ahli kedokteran ahli hokum positif dan hokum
islam. Mengenai pembahasan euthanasia ini masih terus di perdebatkan,
terutama ketika masalahnya dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan
mati itu hak sapa, dan dari sudut mana ia dilihat. Dengan adanya makalah ini,
kami berharap dapat mengungkapkan suatu pandangan konprehensif mengenai
euthanasia menurut hukum islam, hukum positif dari segi ilmu kedokteran.
Di dalam Al qur’an surat Al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan
mati adalah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan
ketaatan manusia terhadap Tuhan. Karena itu, islam sangat memperhatikan
keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia berada di rahim ibunya
sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk melindungi keselamatan hidup dan
kehidupan manusia itu, islam menetapkan berbagai norma hukum perdana dan
4
perdata beserta sangsi – sangsi hukumannya, baik di dunia berupa hukuman had
dan qisas termasuk hukuman mati, diyat (denda), atau ta’zir, ialah hukuman
yang ditetapkan oleh ulul amr atau lembaga peradilan, maupun hukuman di
akhirat berupa siksaan Tuhan di neraka kelak. Karena hidup dan mati ditangan
Tuhan, maka islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik terhadap
orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.
Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu
pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu satunya jawaban tersedia di
dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia
ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk
menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu
kematiannya
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik,
kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para
dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa
tidak dan jika sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan.Tugas
seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat
lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka
kadang akan menambah penderitaan seorang pasien. Penghentian pertolongan
tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia. Berdasarkan pada cara
terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis:
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah,
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar,
3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak
dengan pertolongan dokter,
5
Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang
dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan
biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga denagn hal
demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan euthanasia negative
Euthanasia masih hangat diperbincangkan sampai saat ini. Mulai dari
sudut pandang etik sampai sudut pandang berbagai agama di Indonesia.
Euthanasia menurut sebagian besar orang masih dianggap tabu dan menyalahi
aturan atau etik yang ada. Di lihat dari sudut pandang agama pun Euthanasia
memang masih diperdebatkan oleh para pemuka agama di Indonesia. Para
pemuka agama ini biasanya memperdebatkan tentang hukum – hukum agama
yang berlaku.
Euthanasia sebenarnya di kategorikan menjadi dua jenis yang pertama
adalah Euthanasia Aktif. Euthanasia Aktif adalah suatu tindakan mempercepat
proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-
alat pembantu medika . Sedangkan kategori yang kedua di sebut Euthanasia
Pasif. Euthanasia Pasif ini adalah suatu tindakan membiarkan pasien/penderita
yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan
maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda
kehidupan tidak terdapat lagi padanya.
6
Faktor – faktor Euthanasia sendiri sebenarnya ada bermacam – macam.
Faktor yang pertama adalah Faktor kemanusiaan . Maksudnya adalah
Euthanasia tersebut dilakukan oleh seorang dokter karena merasa kasihan
terhadap penderitaan pasiennya yang berkepanjangan yang secara medis sulit
untuk disembuhkan. Di sini dokter tersebut memutuskan sendiri tindakan yang
akan dilakukannya menurut pertimbangan kesehatan pasien. Sedangkan faktor
yang kedua adalah Faktor Ekonomi . Maksud dari faktor ini adalah Euthanasia
dilakukan karena faktor ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan apabila
pasien terlalu lama dirawat dirumah sakit. Jadi pada kasus ini keluarga pasien
memang sudah tidak mampu menanggung biaya rumah sakit karena pasien
sudah terlalu lama dalam masa komanya. Pada kondisi ini pihak keluargalah
yang meminta agar alat – alat penyokong kehidupan pasien dicabut.
Euthasia sebenarnya memang merupakan kasus kontroversial yang
masih banyak diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Jika dilihat dari dua
kategori Euthanasia yang sudah dijabarkan diatas kita sebagai manusia tentu
dapat merasakan bahwa Euthanasia kategori Euthanasia aktif pasti terdengar
lebih kejam daripada Euthanasia Pasif. Di Euthanasia Aktif ini seorang dokter
yang melakukannya bisa dikatakan sebagai pembunuh oleh sebagian besar
orang. Hal tersebut tentu sangat tidak enak di dengar dan dapat menurunkan
martabat dokter.
Saya sebagai seorang mahasiswa kedokteran tidak menyetujui adanya
fenomena Euthanasia Aktif dikarenakan hal tersebut memang tidak manusiawi,
7
sangat kejam serta hukumnya haram dalam Agama Islam. kami sebenarnya juga
kurang begitu menyukai Euthanasia Pasif, namun dibandingkan dengan
Euthanasia Aktif, kategori ini lebih manusiawi. Jika dilihat dari persepsi kami
sebagai seorang calon dokter profesional kami akan lebih memilih merawat
pasien dengan baik sampai sembuh atau pun sampai meninggal dengan tenang
dengan cara yang wajar tanpa adanya Euthanasia karena sampai sekarang pun
fenomena Euthanasia masih diperdebatkan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Euthanasia?
2. Apa saja macam Euthanasia?
3. Bagaimana Kriteria Mati Menurut Pandangan Ilmu Kedokteran Dan Para
Fuqaha Menurut ilmu kedokteran?
4. Bagaimana hukum Euthanasia?
5. Apakah motivasi Euthanasia?
C. Tujuan Umum
Nilai umum:
1. Memahami urgensi peran intektualitas, emosional, dan spiritual dalam
kesehatan jiwa
2. Urgensi nilai-nilai spiritual dalam kesehatan jiwa.
Nilai Khusus:
1. Menjelaskan yang dimaksud dengan euthanasia
2. Menjelaskan bagaimana pelaksanaan euthanasia
8
3. Menjelaskan bagaimana cara menangani masalah euthanasia
4. Menggambarkan bagaimana islam memandang euthanasia.
D. Manfaat
1. Dapat memahami penerapan nilai spiritual dan kemanusiaan dalam dunia
kedokteran.
2. Menyadari bahwa peran EQ, IQ dan SQ sangat penting dalam dunia
kedokteran.
3. Mengetahui seluk beluk euthanasia.
4. Dapat mengatasi masalah euthanasia dan solusi yang terbaik
9
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Eutanasia
Euthanasia berasal dari kata Yunani eu berarti baik/gampang dan thanatos
artinya mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara mudah dan tanpa
rasa sakit. Oleh karna itu, euthanasia sering di sebut juga dengan istilah mercy
killing / a good death (mati dengan tenang). Istilah untuk pertolongan medis
adalah agar kesakitan atau penderitaan yang di alami seseorang yang akan
meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada
dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
Hal ini dapat terjadi karna pertolongan dokter atas permintaan pasien atau
keluarganya karna penderitaan yang sangat hebat, dan tiada akhir ataupun
tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien yang sedang sakit tanpa
menentu tersebut, tanpa memberikan pengbatan seperlunya. Euthanasia pada
hakikatnya adalah pencabutan nyawa seseorang yang menderita penyakit parah
atas dasar permintaan atau kepentingan orang itu sendiri. Euthanasia masih
menimbulkan problem keagamaan, hukum, dan moral di semua budaya dan
tradisi keagamaan.
2. Macam-macam Euthanasia
a. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan sengaja yang dilakukan oleh medis
untuk mengakhiri hidup pasiennya. Tindakan ini dilakukan untuk
mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan ataupun
melepaskan alat- alat pembantu medika, seperti melepaskan saluran zat asam,
melepas alat pemacu jantung dan sebagainya. Yang termasuk tindakan
10
mempercepat proses kematian disini adalah jika pasien berdasarkan ukuran
dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker
ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan.
Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia.
Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang
sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
b. Euthanasia Sukarela
Euthanasia sukarela adalah tindakan seorang pasien yang sakit keras
meminta pada petugas medis yang merawatnya untuk segera mengakhiri
hidupnya sebagai jalan keluar bagi rasa sakit yang dideritanya, maka
permintaan itu disebut euthanasia sukarela atau bunuh diri. Al - qur’an
melarang keras tindakan tersebut dalam Q.S. al- Nisa 4:29 yang artinya:
”janganlah membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah maha
Penyayang kepadamu.
Bunuh diri, baik dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang
lain. Menurut syariat adalah tindak kejahatan dan karenanya meerupakan dosa
di mata Allah Swt. Bunuh diri adalah dosa besar, karena adanya ancaman
khusus baginya, sebagaimana sabdanya:
“Barangsiapa bunuh diri dengan besi, maka di neraka jahanam nanti besi itu
selalu di tangannya, ia menusuk-nusukkannya ke perutnya selama-lamanya.
Dan barangsiapa bunuh diri dengan minum racun, maka di neraka jahanam
nanti ia akan terus meminumnya selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri
dengan menjatuhkan diri dari gunung, maka di neraka jahanam nanti, ia akan
menjatuhkan (dirinya) selama-lamanya.” (HR. Muslim, 109)
Jika Allah berkehendak, dosa bunuh diri bisa diampuni, sebagaimana firman-
Nya:
11
�ن� إ �ه� الل ال� �غ�ف�ر� ي �ن� أ ك� ر� �ش� ي �ه� ب �غ�ف�ر� و�ي م�ا د�ون� ذ��ل�ك� �م�ن� ل اء �ش� ي
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni
dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki.” (QS. An-Nisa: 48)
c. Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif adalah ketiadaan penanganan yang seharusnya
diberikan oleh petugas medis untuknya, atau suatu tindakan membiarkan
pasien atau penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena
berdasarkan pengalaman maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan
hidup atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karna
salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah.
Contohnya, bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke
otak (stroke) akibat tekanan darah yang terlaruh tinggi atau tidak memasang
alat bantu pernafasan pada pasien yang sakit parah, sehingga berdampak
kematian pada si pasien. Dalam konteks ini, petugas medis tersebut tidak
dikenai tanggungjawab atas tindakannya yang mengakibatkan kematian si
pasien.
Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan berikut :
1. Dari pihak pasien, meminta kepada dokter karena sudah tidak tahan
dengan penyakit yang dideritanya atau karena tidak ingin meninggalkan
beban ekonomi bagi keluarganya, dan pasien merasa bahwa harapan untuk
hidup sangat jauh. Dan apabila ini terjadi, maka hal tersebut merupakan
suatu refleksi iman. Sakit adalah ujian keimanan, jadi tidak tepat kalau di
selesaikan dengan mengakhiri hidup dengan euthanasia (aktif), kalaupun
pandangan medis bahwa pasien tidak dapat di sembukan lagi, atau biaya
terlalu mahal, maka tidaklah salah kalau ia meminta pulang saja dari
12
rumah sakit. Jadi jelas, bahwa islam tidak membenarkan seorang yang
sakit berkeinginan mempercepat kematiannya.
2. Dari pihak keluarga atau wali, yang merasa kasihan terhadap penderitaan
si pasien dan tidak sanggup memikul biaya pengobatan, sementara pasien
masih terlihat menyimpan tanda- tanda kehidupan ( belum mati batang
otak ) Maka apabila dilakukan euthanasia, berarti perbuatan itu tergolong
pembunuhan sengaja. Surah An- nisa : 93 yang artinya: “Dan Barangsiapa
yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”.
3. Dari pihak keluarga bekerja sama dengan dokter, karena menginginkan
harta pasien. Maka tindakan ini jelas sekali sebagai pembunuhan sengaja.
Dalam KUHP perbuatan ini di kategorikan sebagai pembunuhan
berencana . Jadi apapun alasannya, apabila tindakan itu berupa euthanasia
aktif yang berupa suatu tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat
yang bersangkutan islam mengharamkannya.
Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli baik dari kalangan
kedokteran, ahli hukum pidana maupun para ulama sepakat
membolehkannya. Kebolehan euthanasia ini didasarkan atas pertimbangan
bahwa pasien sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-
organ yang memberi kepastian hidup( mati batang otaknya)
3. Contoh Kasus
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker
ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan.
Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia.
Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang
13
sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan
pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak
mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti
mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah
karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan
untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut
perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa
digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan
terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan
yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi
ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat
tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis,
orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak
yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan
penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita.
Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat
mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177). Menurut Deklarasi Lisabon
1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi
pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam
praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala.
Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut
membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter
menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran
itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak
pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178)
14
4. Euthanasia Menurut Kode Etik Kedokteran
Masalah euthanasia ini di negara indonesia adalah perbuatan yang dilarang.
Sebagaimana yang tertulis di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan: “Barang siapa
menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh, dihukum penjara selama-
lamanya dua belas tahun.” Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bias dituntut
oleh penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas
permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut
merupakan perbuatan melawan hukum.
Selain itu, juga tertulis di dalam pasal 388 yang berbunyi: “Barang siapa
dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati,
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Sedangkan euthanasia yang diatur didalam Kode Etik Kedokteran yang
ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983, disebutkan
pada pasal 10: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya
melindungi hidup makhluk insani.” Maka dari penjelasan pasal 10 itu dengan
tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa,
termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan
tugas seorang dokter.
5. Euthanasia Menurut Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala
persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap
euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
15
1) Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk
dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya
baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram,
walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-dalil
dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri
sendiri.
Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS
Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min
(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter
melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana
(jarimah) dan dosa besar.Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya
dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam
akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh
pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
16
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan
qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya
mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau
memaafkan/menyedekahkan.Firman Allah SWT :
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40
ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat
An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang
emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau
senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham,
atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki,
1990: 113). Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering
dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian
dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah
(empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui
dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien
dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari
ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa.
Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim
suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun
penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan
kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR
Bukhari dan Muslim).
17
2) Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk
dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan
berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada
gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena
itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah
hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita
tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu
wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan
pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya
mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang
mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah,
seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo,
2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah
mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada
satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi
lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas
(wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah). Di antara hadits-hadits
tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan
penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR
Ahmad, dari Anas RA)
18
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk
berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi
makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-
wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.”
(An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita
berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan
itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru
menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain
itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa
seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu
berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering
tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan
akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar
Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan
bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap
[saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak
tersingkap.”
Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari) Hadits di atas
menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan
hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir
ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah
19
sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah
sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya
sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika
memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak
mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum
(1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si
pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan
pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya.
Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk
aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak
tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya
kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa
berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien,
karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi. Berdasarkan
penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien
adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah.
Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan
pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah
matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi
dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter
tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung
jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500;
Utomo, 2003:182). Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter,
disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah
orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien
tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
20
6. Kriteria Mati Menurut Pandangan Ilmu Kedokteran Dan Para Fuqaha
Menurut ilmu kedokteran
Masalah euthanasia berkaitan erat dengan definisi mati. Dan definisi
mati itu sendiri mengalami perkembangan dikarenakan semakin majunya ilmu
pengetahuan, terutama dibidang teknologi kedokteran. Adapun perkembangan-
perkembangan definisi mati ialah:
- Dilihat pada nafas,
- berfungsinya jantung
- Gerak nadi
- Batang otak
Jadi, dari perkembangan definisi diatas. Para ahli kedokteran sepakat bahwa
yang menjadi patokan dalam menentukan kematian adalah batang otak. Jika
batang otak betul-betul sudah mati, maka harapan hidup seseorang sudah
terputus.
Menurut Dr. Yusuf Misbach (ahli saraf)terdapat dua macam kematian otak,
yaitu kematian korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual, dan
kematian batang otak. Kerusakan pada batang otak lebih fatal, karena dibagian
itulah terdapat pusat saraf penggerak yang merupakan motor semua saraf tubuh.
Menurut para Fuqaha
Menurut Dr. Peunoh Daly, menentukan ukuran hidup seseorang dengan empat
kriteria yaitu:
- Masih adanya gerak/nafas, baik gerakan sedikit maupun banyak
- Adanya suara maupun bunyi. Biasa terdapat pada mulut, jeritan tangis, rasa
haus dll
- Mempunyai kemampuan berfikir, terutama bagi orang dewasa
- Mempunyai kemampuan merasakan lewat panca indra dan hati.
Dari keempat kriteria diatas, dapat diterapkan bagi rumah sakit yang
memiliki peralatan medis yang sederhana.
21
7. Pandangan Hukum Positif Tentang Euthanasia
1. Menurut Aspek Medis
Dalam bidang kedokteran, euthanasia merupakan sebuah dilema
yang menempatkan seorang dokter dalam posisi yang serba sulit.
Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan atau mati cepat tanpa
derita. Dalam perkembangannya pengertian ini berkembang menjadi
pembunuhan atau pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing)
dan membiarkan seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy
death).
Selain tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat
mempertanggung jawabkan semua perbuatannya terhadap pasien menurut
hukum yang berlaku. Para dokter harus menyadari bahwa euthanasia
ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah teknis-
medis lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran,
euthanasia tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II
(1969)Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada
pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut
kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang
yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan
sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian
batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien
tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih
berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter
yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan
sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang
berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien,
kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan
22
demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah
memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri
hidup pasien.
2. Menurut Aspek Hukum
Dari sudut hukum pidana KUHP mengatur masalah euthanasia
melalui beberapa pasal khususnya pasal 344 yang sering disebut sebagai
“pasal euthanasia”. Pasal ini berbunyi “barangsiapa menghilangkan nyawa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan
nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12
tahun” . Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau tidak melakukan
suatu tindakan medis (euthanasia pasif), dokter dapat dituntut berdasarkan
pasal 304 KUHP. Pasal tersebut berbunyi:
“barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan
seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara....”.
Sebaliknya jika dilakukan suatu tindakan medis lalu pasien
meninggal, dokter itu bisa dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain.
Selain itu pasal 35 mengatakan “barang siapa sengaja mendorong orang lain
untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana
kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun
kalau orang itu jadi bunuh diri.”
8. Hukum Euthanasia menurut UUD
Tindakan dokter yang sudah lepas tangan terhadap pasien yang gawat
dengan menyuruhnya pulang atau tetap di Rumah Sakit tanpa dilakukan tindakan
23
medis lebih lanjut dapat dikategorikan sebagai euthanasia pasif sesuai dengan
pembagian di atas. Namun, Anda tidak menyebutkan apakah ada persetujuan
pihak keluarga maupun pasien dalam hal ini.
Jika dikaitkan kembali dengan hak asasi manusia, euthanasia tentu
melanggar hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup. Dalam salah satu artikel
hukumonline Meski Tidak Secara Tegas Diatur, Euthanasia Tetap Melanggar
KUHP, pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran Komariah Emong
berpendapat, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengatur
tentang larangan melakukan euthanasia. yakni dalam Pasal 344 KUHP yang
bunyinya:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.”
Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa yang diatur dalam KUHP adalah
euthanasia aktif dan sukarela. Sehingga, menurut Haryadi, dalam praktiknya di
Indonesia, Pasal 344 KUHP ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan
euthanasia sebagai tindak pidana, sebab euthanasia yang sering terjadi di negara ini
adalah yang pasif, sedangkan pengaturan yang ada melarang euthanasia aktif dan
sukarela.
Pada sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun KUHP tidak secara tegas
menyebutkan kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP
seharusnya dokter menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa,
sekalipun keluarga pasien menghendaki. Menurutnya, secara hukum, norma sosial,
agama dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.
Berkaca dari pengalaman di Belanda, Komariah mengatakan
prosedur euthanasia yang diberlakukan di Belanda tidak sembarangan. Diperlukan
penetapan pengadilan untuk melakukan perbuatan tersebut. Meskipun keluarga
24
pasien menyatakan kehendaknya untuk melakukan euthanasia, namun pengadilan
bisa saja menolak membuat penetapan. Dalam sebuah kasus di sekitar 1990 di
Belanda, kata Komariah, seorang keluarga pasien yang ingin
melakukan euthanasia sempat ditolak oleh pengadilan walaupun akhirnya
dikabulkan. Untuk itu, menurut Komariah apabila tidak ada jalan lain, tidak lagi
ada harapan hidup dan secara biomedis seseorang terpaksa dicabut nyawanya
melalui euthanasia, harus ada penetapan pengadilan untuk menjalankan proses
tersebut.
Sebab, penetapan pengadilan tersebut akan digunakan agar keluarga atau
pihak yang memohon tidak bisa dipidana. Begitu pula dengan peranan dokter,
sehingga dokter tidak bisa disebut malpraktik. Selain penetapan pengadilan,
keterangan dari kejaksaan juga harus diminta agar di kemudian hari negara tidak
menuntut masalah euthanasia tersebut. Terlepas dari masalah di atas, menurutnya
hidup mati seseorang hanya dapat ditentukan oleh Tuhan.
Di Indonesia, upaya pengajuan permohonan euthanasia ini pernah terjadi di
penghujung 2004, suami Ny. Again mengajukan permohonan euthanasia ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri penderitaan istrinya, namun
permohonan itu ditolak oleh pengadilan. Menurut pakar hukum pidana Indriyanto
Seno Adji, tindakan euthanasia harus memenuhi persyaratan medis dan bukan
karena alasan sosial ekonomi. Menurutnya, sifat limitatif ini untuk mencegah agar
nantinya pengajuan euthanasia tidak sewenang-wenang. Lebih jauh simak artikel
Euthanasia Dimungkinkan Dengan Syarat Limitatif dan Permohonan Euthanasia
Menimbulkan Pro dan Kontra.
Jadi, euthanasia memang dilarang di Indonesia, terutama untuk euthanasia
aktif dapat dipidana paling lama 12 (dua belas) tahun penjara. Akan tetapi, dalam
praktiknya tidak mudah menjerat pelaku euthanasia pasif yang banyak terjadi.
25
9. Hukum Euthanasia Menurut Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala
persoalan di segala waktu dan tempat. Syariah Islam mengharamkan euthanasia
aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad),
walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya
tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-
dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
بالحق� � إال الله م حر� التي النفس تقتلوا وال
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam :
151)
خضئا إلا مؤمنا يقتل أن لمؤمن كان وما“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
10. Motivasi Euthanasia
Para pendukung euthanasia menjustifikasi pendirian mereka berdasarkan
hal-hal berikut:
a. Factor Ekonemi
b. Pertimbangan ruangan, tempat tidur, petugas, dan peralatan medis di
rumah sakit yang justru dapat dimanfaatkan oleh pasien-pasien yang lain
c. Mati dengan layak
26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan,
individu secara sadar dan berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk
mati. Perilaku bunuh diri meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman
verbal, yang akan mengakibat kan kematian, luka atau menyakiti diri sendiri.
Euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara
harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya
menghilangkan nyawa seseorang.
Macam-Macam Euthanasia:
1. Euthanasia Aktif
2. Euthanasia Pasif
3. Euthanasia Sukarela
Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi Kode Etik
Kedokteran, Undang-undang Hukum Pidana, lebih-lebih menurut islam, yang
menghukumkannya haram, terhadap keluarga yang menyuruh, maupun dokter
yang melaksanakan, dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja dengan
ancaman qishash-diyat. Sedangkan dokter yang melaksanakan euthanasia aktif
atas permintaan pasien, dipandang sebagai membantu terlaksananya bunuh diri.
Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ organ
utama pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal.
Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, cortex otak dalam dunia
kedokteran sekarang masih bisa diatasi, artinya belum dapat dikatakan pasien
27
sudah mati, karena masih ada harapan untuk disembuhkan, terutama rumah sakit
yang mempunyai peralatan yang lengkap. Maka tindakan euthanasia terhadap
pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.
B. Saran
Saran yang dapat saya berikan yaitu :
1. Bagi teman-teman janganlah kalian melakukan suntik mati, karena itu
dilarang oleh agama sesuai dengan (Q.S Al-an’am: 151) yang
berbunyi : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan
sesuatu (sebab) yang benar”.
2. Untuk akademik seharusnya lebih dapat memfasilitasi
mahasiswa/i dengan referensi-referensi buku yang terbaru
agar pengetahuan yang di dapat juga terbaru
3. Untuk masyarakat setelahnya dapat lebih mengembangkan
pengetahuan yang telah di dalam serta dapat meningkatkan
keingintahuan akan suatu hal.
28
Top Related