POLITIK ISLAM
Dosen Pembimbing : Nurhasan, S.Ag, M. Ag
OLEH
KELOMPOK : IX
Nama Anggota:
1. Azan Farid Wajdi (04011181320094)
2. Celcius Butandy (04011181320012)
3. M. Imam Mulia (04011181320034)
4. Tri Wulandari (04011181320054)
5. Triza Ahmad Praramadhan (04011181320074)
6. Siti Evi Marissa (04011181320114)
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karunia-Nya tugas Makalah Pendidikan Agama Islam ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam
yang merupakan bagian dari Mata Kuliah Dasar Umum di Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Dan tak lupa penyusun mengucapkan terimakasih kepada dosen
pembimbing Pendidikan Agama Islam serta semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari pembaca akan sangat kami harapkan guna
perbaikan di masa yang akan datang.
Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu
dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Amin.
Tim Penyusun
Kelompok IX
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG.............................................................................1
1.2. RUMUSAN MASALAH........................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN.......................................................................................3
2.1. Pengertian Politik dan Kepemimpinan Dalam Islam...........................3
2.2. Prinsip-Pinsip Politik dalam Pandangan Islam.....................................8
2.3. Sistem Pemilihan Khalifah......................................................................9
2.4. Kontribusi Umat Islam terhadap Kehidupan Politik di Indonesia....14
2.5. Paradigma Hubungan Agama dan Negara Dalam Islam....................17
2.6. Pemikiran Politik Islam Kontemporer.................................................21
2.7. Garis-Garis Besar Politik (Siyasah) Menurut Islam...........................30
BAB III : PENUTUP.............................................................................................36
3.1. KESIMPULAN......................................................................................36
3.2. SARAN....................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................38
iii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Umat muslim dalam hidupnya berpegang teguh pada Al Qur’an dan Al
Hadist sebagai pedoman hidupnya. Dari kedua pedoman tersebut, umat muslim
tidak perlu khawatir dalam menjalani persoalan hidup. Segala apa yang menjadi
persoalan, solusi, peringatan, kebaikan dan ancaman termuat di dalam pedoman
tersebut. Bahkan dalam Al Qur’an dan Al Hadits permasalahan politik juga
tertuang di dalamnya.
Di setiap negara memiliki sistem politik yang berbeda-beda. Namun, islam
memiliki aturan politik yang bisa membuat negara itu adil. Dalam Al-Qur’an
memang aturan politik tidak disebutkan, tetapi sistem politik pada zaman
Rasullullah SAW sangatlah baik. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang
mendorong masyarakatnya menjalankan syariat Islam Indonesia adalah sebuah
negara islam terbesar di dunia, namun bila dikatakan negara islam, dalam
prakteknya islam kurang di aplikasikan dalam sistem pemerintahan baik itu
politik maupun demokrasinya, hal itu berpengaruh besar dalam berbagai aspek
kehidupan manusia di Indonesia, terutama pada system yang berlaku dalam
pemerintahan Indonesia, contoh kecil adalah maraknya korupsi yang dikarenakan
kurang transparannya pemerintahan di Indonesia. Hal tersebut di atas membuat
penulis membahas tentang islam dalam aspek politik dan demokrasi dalam suatu
Negara dalam laporan ini.
Disini kita akan membahas tentang peranan agama Islam dalam
perkembangan politik di dunia saat ini, dengan mengkaji berbagai informasi
berdasarkan Al-Qur’an, Al Hadits dan sejarah sistem politik di masa Rasulullah
SAW. Dengan mengetahui dan mempelajari tentang politik Islam, dimana semua
prinsip-prinsip yang terkandung telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, maka
sepatutnya kita juga mengikuti alur dari prinsip-prinsip politik Islam sehingga
segala persoalan politik negara di era globalisasi tidak menjadi kacau dan dapat
terlaksana dengan baik.
1
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a) Apa pengertian Politik dan kepemimpinan dalam Islam?
b) Sebutkan prinsip-prinsip dasar politik (siyasah) Islam?
c) Bagaimana sistem pemilihan khalifah?
d) Apa konstribusi umat islam dalam perpolitikan nasional?
e) Bagaimana paradigma hubungan agama dan negara dalam islam?
f) Bagaimana pemikiran politik islam kontemporer?
g) Jelaskan garis-garis besar politik (siyasah) menurut Islam?
2
BAB II : PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Politik dan Kepemimpinan Dalam Islam
2.1.1. Pengertian Politik Islam
Kata politik berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa Yunani
Politicos, artinya sesuatu yang berhubungan dengan warga negara atau warga
kota. Kedua kata itu berasal dari kata polis maknanya kota (Ali, 1998:167).
Dalam bahasa Arab politik disebut siyasah, yang berasal dari kata
saasa-yasuusu. Secara etimologis siyasah artinya mengatur, aturan dan
keteraturan. Fiqih siyasah adalah hukum islam yang mengatur sistem
kekuasaan dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala urusan dan
tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu
negara, dan kebijakan suatu negara terhadap negara lain. Politik juga berarti
kebijakan atau cara bertindak suatu negaradalam menghadapi atau menangani
suatu massalah. Jadi pengertian politik secara etimologis bermakna mengurus
atau mengelola, sedangkan secara terminologi politik berarti cara dan upaya
menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk
mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi
kepentingan manusia.
Politik menurut para ahli:
1) Ibnu Qoyyim, politik adalah sesuatu kegiatan yang menjadi umat manusia
mendekat kepada hidup maslahat dan menjauhkan dari kerusakan.
2) Abdul Hamid Al Ghozali, politik adalah keahlian memerintah dan
menjalankan negara.
Berdasarkan beberapa pengertian politik diatas, dapat dirumuskan
bahwa Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang
menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basa solidaritas berkelompok serta
penanganan urusan umat baik urusan dalam negeri maupun luar negeri
berdasarkan kaidah-kaidah syariat islam. Pendukung perpolitikan ini belum
tentu seluruh umat Islam. Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat
disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme
3
keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambangan Islam dan
istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan,
serta wacana politik.
Islam bukanlah semata-mata agama (a religion) namun juga
merupakan sistem politik (a political sistem), Islam lebih dari sekedar agama.
Islam mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Islam
merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan
Negara secara bersamaan (M.Dhiaduddin Rais, 2001:5).
Nabi Muhammad SAW adalah seorang politikus yang bijaksana. Di
Madinah beliau membangun Negara Islam yang pertama dan meletakkan
prinsip-prinsip utama undang-undang Islam. Nabi Muhammad pada waktu
yang sama menjadi kepala agama dan kepala Negara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian politik sebagai kata
benda ada tiga, yaitu: (1) pengetahuan mengenai kenegaraan (tentang sistem
pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan); (2) segala urusan dan tindakan
(kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan atau terhadap
negara lain; dan (3) kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau
menangani suatu masalah).
Politik itu identik dengan siasah, yang secara pembahasannya artinya
mengatur. Dalam fikih, siasah meliputi :
1. Siasah Dusturiyyah (Tata Negara dalam Islam)
2. Siasah Dauliyyah (Politik yang mengatur hubungan antara satu
negara Islam dengan negara Islam yang lain atau dengan negara
sekuler lainnya)
3. Siasah Maaliyah (Sistem ekonomi negara)
Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi yang dapat mempersatukan
kekuatan-kekuatan dan aliran-aliran yang berbeda-beda di masyarakat. Dalam
konsep Islam, kekuasaan tertinggi adalah Allah SWT. Ekrepesi kekuasaan dan
kehendak Allah tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu
penguasa tidaklah memiliki kekuasaan mutlak, ia hanyalah wakil (khalifah)
Allah di muka bumi yang berfungsi untuk membumikan sifat-sifat Allah
dalam kehidupan nyata. Di samping itu, kekuasaan adalah amanah Allah yang
4
diberikan kepada orang-orang yang berhak memilikinya. Pemegang amanah
haruslah menggunakan kekuasaan itu dengan sebaik-baiknya. Sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan Al-Quran dan Sunnah Rasul.
2.1.2. Kepemimpinan Dalam Islam
Dalam Islam prinsip kepemimpinan dirumuskan dalam prinsip
khalifah. Dalam prinsip khalifah, manusia diturunkan ke bumi untuk
memimpin sekaligus pemelihara alam semesta. Walau menjadi pemimpin
namun tidak diperkenankan untuk berbuat seenaknya terhadap alam dan
seiisinya. Dari prinsip tersebut, Islam memberi saran agar memilih pemimpin
yang membimbing kehidupannya. Imam Mawardi memberikan sejumlah
kriteria pemimpin yang baik, yakni memiliki ilmu, sehat panca indra, serta
dapat menangkap masalah masyarakat dengan benar dan cepat.
Adapun prinsip dasar kepemimpinan dalam islam antara lain:
a. Musyawarah
Dalam Islam mekanisme pemilihan pemimpin dilalui melalui jalan
musyawarah. Pemimpin yang terpilih dalam musyawarah patut ditaati
selama tidak melanggar hukum dan ajaran agama. Pemimpin yang terpilih
bukan hanya bertanggung jawab kepada masyarakat yang memilihnya,
tetapi juga akhirat. Rasulullah mensejajarkan pemimpin dengan para rasul
yang mewakili Tuhan di bumi. Pemimpin yang melanggar aturan dan
perintah Allah, maka status kepemimpinannya hanya sebatas simbol saja,
dan tak patut untuk dipatuhi. Pemimpin yang melanggar amanah hanya
menimbulkan keresahan dan ketidakpastian. Ketentuan ini termaktub
dalam QS. Asy-Syuura : 38, Allah SWT berfirman :
Artinya : “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
5
dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
b. Keadilan
Seorang pemimpin haruslah memiliki sifat adil. Rasulullah SAW
pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi
ini ada.” Imam Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai
menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Keadilan bak hukum
umum yang dapat diterapkan kepada manajemen dari semua urusan
masyarakat. Keuntungannya bersifat universal dan serba mencakup. Ia
suatu jalan raya yang melayani semua orang dan setiap orang. Penerapan
sifat keadilan oleh seorang pemimpin ini dapat dilihat dari cara ia
membagi ruang-ruang ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya pada
rakyat yang dipimpinnya. Misalkan tidak ada diskriminasi dengan
memberikan hak ekonomi (berdagang) pada yang beragama Islam,
sementara yang beragama kristen tidak diberikan hak ekonomi, karena
alasan agama. Terkecuali memang dalam berdagang orang tersebut
melakukan kecurangan maka ia diberikan hukuman, ini berlaku bagi
agama apapun. Allah berfirman dalam QS. An-Nahl : 90
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Keadilan perlu ditegakkan oleh para pemimpin dalam semua level.
Membuat sebuah keputusan dengan mengedepankan rasa keadilan bagi 6
semua pihak bukanlah pekerjaan mudah, apalagi konsep pemimpin dalam
catatan Islam adalah pelayan bagi rakyatnya. Ketika rakyat merasa “tidak
dilayani” melalui “keputusan yang tidak adil” maka pemimpin itu jelas
gagal dalam konteks ajaran Islam. Ketika “rakyat” (anak buah) tidak
terlayani dengan baik segala urusannya maka orang tersebut gagal menjadi
pemimpin yang adil meskipun dalam aspek lain mungkin memiliki
prestasi. Dalam hadist riwayat Tirmidzi di jelaskan bahwa : “Orang-orang
yang akan dikasihi Allah dan yang paling dekat di sisi-Nya adalah
pemimpin yang adil, dan yang bakal menerima azab yang sangat pedih
adalah pemimpin yang dzalim” (HR Tirmidzi).
c. Kebebasan berpikir sesuai syariah
Pemimpin Islam hendaklah memberikan ruang dan mengundang
anggota kelompok untuk dapat mengemukakan kritiknya secara
konstruktif. Mereka dapat mengeluarkan pandangan atau keberatan-
keberatan mereka dengan bebas, serta mendapat jawaban dari segala
persoalan yang mereka ajukan. Al-Khulafa' al-Rasyidin memandang
persoalan ini sebagai unsur penting bagi kepemimpinan mereka. ketika
seorang wanita tua berdiri untuk mengoreksi Saidina Umar ibn al-Khattab
waktu beliau berpidato di sebuah masjid, beliau dengan rela mengakui
kesalahannya, dan bersyukur kepada Allah SWT, karena masih ada orang
yang mau membetulkan kesalahannya. Pada suatu hari Saidina Umar
pernah pula bertanya kepada umat Islam mengenai apa yang dilakukan
oleh mereka jika beliau melanggar prinsip-prinsip Islam. Seorang lelaki
menyebut bahwa mereka akan meluruskan dengan sebilah pedang, Saidina
Umar bersyukur kepada Allah karena masih ada orang di lingkungan umat
yang akan mengoreksi kesalahannya.
Pemimpin hendaklah berjuang menciptakan suasana kebebasan
berpikir dan pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, saling kritik dan
saling menasehati satu sama lain sedemikian rupa, sehingga para
pengikutnya merasa senang mendiskusikan masalah atau persoalan yang
menjadi kepentingan bersama. Seorang muslim diminta memberikan
nasihat yang ikhlas apabila diperlukan. Tamim bin Aws meriwayatkan
7
bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:"Agama adalah nasihat", Kami
berkata: "Kepada siapa?" Beliau menjawab: "Kepada Allah, Kitab-kitab-
Nya, Rasul- Nya, pemimpin umat Islam dan kepada masyarakat
kamu" (HR. Muslim).
Secara ringkas kepemimpinan Islam bukanlah kepemimpinan tirani
dan tanpa kordinasi. Pemimpin Islam, setelah mendasari dirinya dengan
prinsip-prinsip Islam, bermusyawarah dengan sahabat-sahabat secara obyektif
dan dengan penuh rasa hormat, membuat keputusan seadil-adilnya. Dia
bertanggungjawab bukan hanya kepada para pengikutnya tetapi juga yang
lebih penting adalah kepada Allah SWT.
2.2. Prinsip-Pinsip Politik dalam Pandangan Islam
2.2.1. Prinsip-prinsip dasar politik Islam
System politik berdasarkan atas tiga (3) prinsip yaitu:
a. Tauhid berarti mengesakan Allah SWT selaku pemilik kedaulatan
tertinggi. Pandangan Islam terhadap kekuasaan tidak terlepas dari
ajaran tauhid bahwa penguasa tertinggi dalam kehidupan manusia,
termasuk dalam kehidupan politik dan bernegara adalah Allah
SWT (QS.5:18)
b. Risalah merupakan medium perantara penerimaan manusia
terhadap hukum-hukum ALLah SWT. Manusia baik dia pejabat
pemerintah atau rakyat jelata adalah Khalifah-Nya, mandataris atau
pelaksana amanah-Nya dalam kehidupan ini (QS.2:30).
c. Khalifah berarti pemimpin atau wakil Allah di bumi. Pemerintahan
baru wajib di patuhi kalau politik dan kebijaksanaannya merujuk
kepada Al-Quran dan hadist atau tidak bertentangan dengan
keduanya.
Prinsip-prinsip dasar siasyah dalam Islam meliputi antara lain :
a. Musyawarah.
b. Pembahasan Bersama.
c. Tujuan bersama, yakni untuk mencapai suatu keputusan.
8
d. Keputusan itu merupakan penyelesaian dari suatu masalah yang
dihadapi bersama.
e. Keadilan.
f. Al-Musaawah atau persamaan.
g. Al-hurriyyah (kemerdekaan/kebebasan).
h. Perlindungan jiwa raga dan harta masyarakat .
2.2.2. Prinsip-prinsip politik luar negeri dalam Islam (Siasah Dauliyyah)
Dalam Al-Quran, ditemui beberapa prinsip politik luar negeri dalam
Islam, yaitu :
a. Saling menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat, lihat QS.8:58,
QS.9:4, QS.16:91, QS.17:34.
b. Kehormatan dan Integrasi Nasional, lihat QS.16:92
c. Keadilan Universal (Internasional), lihat QS. 5:8.
d. Menjaga perdamaian abadi, lihat QS.5:61.
e. Menjaga kenetralan negara-negara lain, lihat QS.4:89,90.
f. Larangan terhadap eksploitasi para imperialis, lihat QS.6:92.
g. Memberikan perlindungan dan dukungan kepada orang-orang
Islam yang hidup di negara lain, lihat QS.8:72.
h. Bersahabat dengan kekuasaan-kekuasaan netral, lihat QS.60:8,9.
i. Kehormatan dalam hubungan Internasional, lihat QS.55:60.
j. Persamaan keadilan untuk para penyerang, lihat QS.2:195,
QS.16:126, dan QS.42:40.
2.3. Sistem Pemilihan Khalifah
Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan bertanggung
jawab atas apa yang dipimpinnya. Inilah salah satu hadist yang seharusnya
dipahami oleh setiap pemimpin yang sedang dan yang akan memimpin dimasa
depan. Pemahaman inilah yang dipahami oleh shahabat-shahabat Rasulullah
yang pernah menjadi Khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Bahwa tampuk dan tugas kepemimpinan adalah amanat yang sangat besar
yang harus dilaksanakan dan akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah
9
swt kelak. Sehingga menjadikan mereka pemimpin-pemimpin yang amanah,
taat, serta kuat yang telah mampu mensejahterakan dan memajukan peradaban
Islam pada masanya.
Allah tidak menjelaskan secara detil tentang tata cara pemilihan
pemimpin dan begitu juga dengan Rasulullah, sehingga sistem pemilihan yang
pernah dilaksanakan pada masa shahabat merupakan hasil pemikiran shahabat
sendiri. Pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama Islam adalah hasil dari
perdebatan yang sangat alot antara kaum Anshar dan Muhajirin. Pada
awalnya, kaum Anshar menawarkan Sa’ad bin Ubadah sebagai khalifah,
namun kemudian Abu Bakar menawarkan Umar dan Abu Ubaidah sebagai
khalifah dan berkata bahwa kaum Muhajirin telah diistimewakan oleh Allah
karena pada permulaan Islam mereka telah mengakui Muhammad sebagai
Nabi dan tetap bersamanya dalam situasi apapun, sehingga pantaslah jika
khalifah muncul dari kaum Muhajirin. Umar menolak usulan Abu Bakar dan
mengatakan bahwa Abu Bakarlah orang yang paling baik dari kaum
Muhajirin. Kemudian, umar melakukan sumpah setia kepada Abu Bakar yang
kemudian diikuti oleh Sa’ad bin Ubadah dan khalayak ramai lainnya.
Ketika Abu Bakar sedang dalam keadaan sakit, ia meminta Usman
untuk menuliskan wasiat bahwa yang akan menggantikan dirinya sebagai
khalifah adalah Umar bin Khattab. Keputusan tersebut bukanlah keputusan
pribadi Abu Bakar, melainkan keputusan yang telah dimusyawarahkan
denganbeberapa shahabat lainnya.
Sebelum Umar wafat akibat ditikam oleh seorang budak bangsa Persia,
dia telah membentuk suatu dewan yang terdiri dari Usman, Ali, Thalhah,
Zubair, Abdurrahman bin Auf, dan Said bin Abi Waqqas yang bertugas
memilih khalifah pengganti Umar. Setelah Umar wafat, dewan tersebut
mengadakan pemilihan. Abdurrahman mengundurkan dirinya sebagai calon
khalifah, sehingga tinggallah calon kuat yaitu Ali dan Usman. Tetapi Ali
menunjuk Usman dan Usman pun menunjuk Ali sebagai calon khalifah Islam.
Abdurrahman pun kemudian meminta persetujuan dewan agar pemilihan
ditunda agar ia dapat menanyakan kepada masyarakat siapakah yang lebih
disukai antara Ali dan Usman. Pada akhirnya, Abdurrahman menyatakan
10
bahwa Usmanlah yang menjadi khalifah menggantikan Umar karena
mayoritas suara dimenangkan oleh Usman.
Karena rasa tidak puas masyarakat terhadap kepemimpinan Usman,
terjadilah pemberontakan yang mengakibatkan terbunuhnya Usman. Setelah
Usman mangkat, banyak permintaan dari para shahabat seperti Abdurrahman,
Zubair, dan juga Said bin Abi Waqqas agar Ali bersedia menjadi khalifah
menggantikan Usman. Pada awalnya ia menolak tetapi pada akhirnya ia
menerima tawaran tersebut. Namun pemberontakan terhadap Ali baik dari
Muawiyah yang tidak setuju Ali menjadi khalifah dan Aisyah yang menuntut
agar pembunuhan Usman segera diusut semakin gencar. Ketika perang
Shiffin, terjadilah perundingan antara Ali dan Muawiyah. Pada awalnya, pihak
pendukung Ali tidak ingin melakukan perundingan, tetapi Ali memutuskan
agar perundingan tetap terjadi sehingga ia mengirimkan delegasinya Abu
Musa Al-Asyari untuk bertemu juru runding dari pihak Muawiyah.
Perundingan yang penuh dengan tipu daya politik dari pihak Muawiyah
tersebut menghasilkan bahwa Ali diberhentikan sebagai khalifah dan
Muawiyah sebagai pemimpin Islam yang baru. Dengan naiknya Muawiyah
sebagai Khalifah, berubahlah sistem pemerintahan Islam menjadi sistem
kerajaan yang turun temurun.
Merujuk pada beberapa sistem pemilihan Islam masa Shahabat,
maka ada beberapa hal menarik untuk disimak. Pertama, substansi dari sistem
demokrasi telah dilaksanakan oleh shahabat yaitu ketika pemilihan Abu Bakar
dan khususnya Usman. Ketika pemilihan Usman, Abdurrahman bin Auf
menemui masyarakat dan menanyakan siapakah yang lebih pantas antara Ali
dan Usman yang menjadi khalifah dan hasilnya menunjukkan bahwa
masyarakat lebih memilih Usman dan daripada Ali. Selain itu, menjadi
khalifah bukanlah keinginan pribadi dari khalifah-khalifah tersebut, akan
tetapi karena kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka
sehingga Islam dapat berkembang dan berjaya dimasa awal-awal
berkembangnya Islam.
Pemilihan Imam (Khalifah)
Jika anggota ahlu al-aqdi wa al-hal (parlemen) mengadakan sidang
11
untuk memilih imam (khalifah), mereka haru mempelajari data pribadi orang-
orang yang memiliki kriteria-kriteria imamah (kepemimpinan), kemudian
mereka memilih siapa diantara orang-orang tersebut yang paling banyak
kelebihannya, paling lengkap kriterianya, paling segera ditaati rakyat, dan
mereka tidak menolak membaitnya. Jika diantara hadirin ada orang yang
paling ahli berijtihad dan ia layak dipilih, ahlu al-aqdi wa al-hal (Parlemen)
menawarkan jabatan imam (khalifah) kepadanya. Jika ia bersedia menjadi
imam (khalifah), mereka segera mengangkatnya. Dengan pembaiatan mereka,
ia secara resmi menjadi imam (khalifah) yang sah, kemudian seluruh ummat
harus segera membaitnya dan taat kepadanya. Namun jika ia menolak
dijadikan imam (khalifah), dan tidak memberi jawaban, ia tidak boleh dipaksa
untuk menerima jabatan imam (khalifah), karena imamah (kepemimpinan)
adalah akad atas adasar kerelaan, dan tidak boleh ada unsur paksaan di
dalamnya. Untuk selanjutnya, jabatan imam (khalifah) diberikan kepada orang
lain yang layak menerimanya.
Jika yang memenuhi kriteria ada dua orang, maka yang dipilih ialah
orang yang lebih tua – kendati usia bukan termasuk kriteria sah juga kalau
yang dipilih ialah calon yang paling muda diantara keduannya.
Jika calon pertama lebih pandai dan calon kedua lebih berani, maka
yang dipilih adalah siapa yang paling tepat pada zaman tersebut. Jika pada
zaman
Cara Pengangkatan Khalifah
Cara pengangkatan khalifah yang telah terjadi dalam sejarah politik
Islam, pada garis besarnya ada tiga jalan yaitu:
1. Pemilihan oleh mereka yang berhak memilih.
2. Penyerahan oleh khalifah terdahulu kepada puterannya atau seseorang
familinya yang lazim disebut “waliyatul’ahdi” (keputera-mahkotaan)
3. Perebutan jabatan khilafah oleh seseorang dengan kekerasan.
Ini adalah cara-cara yang telah terjadi sepanjang perjalanan sejarah
Islam, sedangkan cara sepanjang ajaran Islam, yaitu Jabatan Khalifah itu
adalah haknya semua orang Islam. Karena itu, kaum muslimin yang berhak
memilih khalifahnya, sesuai dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan
12
perinsip ini.
Al-Mawardi yang lebih menitik-beratkan pendapatnya pada kejadian
sejarah, menulis sebagai berikut:
J abatan Imamah terisi dengan dua jalan:
1. Dengan pemilihan “ahlul hilli wal ‘aqdi” (orang cerdik pandai yang
ditetapkan).
2. Dengan janji penyerahan dari Imam sebelumnya (sistem wilayatul
‘ahdi atau keputera-mahkotaan).
Tentang pengisian lowongan jabatan Imamah dengan cara pemilihan
“ahlul hilli wal ‘aqdi” para ulama terpecah dalam beberapa mazhab tentang
jumlah para cerdik pandai itu.
Satu golongan ulama berpendapat, tidak akan sah pengisian lowongan
jabatan Imamah itu, kecuali dengan pemilihan oleh jumhur cerdik pandai dari
semua penjuru Negara, supaya persetujuan itu merata serta pengangkatannya
dengan ijma’. Penfdapat ini terletak dalam pengangkatan Abu Bakar menjadi
Khalifah dengan pemilihan orang-orang yang hadir saja dengan tidak
menunggu kedatangan orang-orang dari jauh.
Golongan ulama yang lain berpendapat, bahwa sekurang-kurang nya
jumlah cerdik pandai yang berhak mengangkat Imam, yaitu lima orang,
dimana mereka berkumpul untuk mengangkaatnya atau diangkat oleh salah
seorang mereka dengan persetujuan empat orang temannya yang lain.
Mereka ini berdalihkan dua peristiwa, yaitu:
1. Bahwa bai’at Abu Bakar berlaku dengan hanya lima orang yang
mengangkatnya, kemudian baru diikuti oleh jamaah manusia. Mereka
yang lima itu, yaitu Umar Ibnul khattab, Abu Ubaidah Ibnul-Jarrah,
Usaid bin hadhir, Bashar bin sa’ad dan salim, budak abu Huzaifah.
2. Bahwa Umar menjadikan Musyawarah antara enam orang, agar
diangkat salah seoarang diantara mereka dengan persetujuan lima yang
lain. Pendapt ini adalah pendapat kebanyakan Fuqaha dan
mutakallimin (ahli hukum dan failasuf) dari penduduk basrah.
13
2.4. Kontribusi Umat Islam terhadap Kehidupan Politik di Indonesia
Kontribusi umat Islam terhadap kehidupan politik di Indonesia
memiliki sejarah panjang, dimulai sejak masuknya Islam di Indonesia pada
abad ke tujuh. Sebagaimana dikemukakan Hamka dalam Anwar Harjono
(1997:2) bahwa di zaman khulafaur Rasyidin, perniagaan bangsa Arab telah
sangat maju. Dari laut Merah melalui selat Malaka, terus ke Tiongkok. Dalam
satu almanak Tiongkok disebutkan bahwa pada tahun 674 Masehi terdapat
satu kelompok masyarakat Arab di Sumatera Barat. Kalau diingat bahwa Nabi
Muhammad saw wafat pada tahun 632 Masehi, nyatalah bahwa hanya 42
tahun sesudah Nabi wafat, orang Arab telah mempunyai perkampungan di
Sumatera Barat. Kenyataan ini memberi petunjuk sangat kuat bahwa sebelum
Nabi lahir, hubungan perdagangan antara orang-orang Arab dengan Cina telah
terbina dengan sangat bagus. Mungkin sekali nama Kota Pariaman di
Sumatera Barat erasal dari bahasa Arab Barri Aman yang berarti “tanah
daratan yang aman sentosa”. Proses membentuk sebuah perkampungan
dengan penduduk berasal dari negeri yang amat jauh, tentulah memerlukan
waktu dan proses yang panjang.
Sebagaiman dicatat oleh H.A Mukti Ali dalam H.A Muin Umar dkk
yang dikutip oleh Anwar Harjono (1997: 3) bahwa Hamka hendak
menunjukkan bahwa Islam datang ke Indonesia langsung dari Arab, bukan
melalui para pedagang seperti yang dengan gigih dipopulerkan oleh berbagai
sumber barat. Bagi Hamka, berbagai penulisan sejarah yang menyatakan
bahwa Islam tidak datang langsung dari Arab adalah sebuah percobaan yang
sangat teratur untuk menghilangkan keyakinan penduduk di negeri-negeri
Melayu tentang hubungan ruhani yang mesra antara mereka dengan tanah
Arab atau orang Arab sebagai sumber pertama masuknya Islam di Indonesia.
Sejak lahirnya Kerajaan Islam Demak dimulailah zaman Islam di
Nusantara. Islam mulai membangun jati diri penduduk di kepulauan
Nusantara. Lahirnya Islam Demak telah memunculkan Islam sebagai elemen
integratif yang mampu mengkorporasikan kekuatan ekonomi, politik dan
agama dalam wadah negara. Para penguasa di Nusantara dengan kesadaran
penuh menggunanakan idiom-idiom Islam pada dirinya. Sultan, Sayyidin dan
14
Khalifatullah melekat menjadi sebutan para penguasa di Nusantara
(Harjono,1997 : 8).
Kedatangan kaum penjajah di kepulauan Nusantara, ternyata tidak
mampu menghapuskan Islam dari jiwa penduduk kepulauan Nusantara.
Sepanjang catatan yang ada, sampai sebelum tahun 1882, pemerintah kolonial
Belanda tetap mengakui eksistensi Peradilan Agama Islam di masayarakat
kepulauan Nusantara. Tahun 1820,Stbl. No 22 pasal 33, menentukan bahwa
para Bupati wajib memperhatikan soal-soal Agama Islam dan menjaga supaya
para peuka agama dapat melakukan tugas mereka. Pada tahun 1835 keluar
Stbl No 58 dan tahun 1855 Stbl nc 2 yang mendukung pelaksanaan hukum
Islam oleh orang-orang Islam melalui cara-cara Islami. Pada tahun 1882,
Pengadilan Agama di Jawa-Madura diresmikan. Peresmian ini berlangsung
sesudah berkembangnya pendapat di kalangan orang Belanda sendiri bahwa
hukum yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli adalah undang-undang
agama mereka sendiri, yakni hukum Islam. Inilah yang dikenal dengan teori
Receptio in complexu. Akan tetapi, pengakuan terhadap hukum Islam bagi
masayarakat kepulauan Nusantara mengalami penentangan dari kalangan
kolonian Belanda sendiri, diantaranya Cornelis van Vollenhoven dan Christian
Snouck Hurgronje yang memunculkan teori Receptie bahwa sesungguhnya
yang berlaku di Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Hukm
Islam baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima menjadi hukum adat.
Tidak syak lagi perkenalannya teori Receptie ini semata-mata dimaksudkan
untuk menahan gerak laju hukum Islam. Banih kekacauan yang ditanamkan
penjajah Belanda ini baru terasa oleh beberapa generasi kemudian berupa
konflik tiga sistem hukum : Islam, Adat dan Barat (Harjono,1997:11-12).
Pada masa perjuangan kemerdekaan muncullah banyak organisasi
masyarakat yang merupakan cikal bakal bagi keberhasilan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Muncullah berbagai organisasi sosial kemasyarakatan ini
tidak terlepas dari semangat keislaman. Beberapa organisasi ini secara
perlahan menjadi sebuah organisasi politik yang tidak dapt dilepaskan dan
dilupakan jasa-jasanya bagi terselenggaranya kemerdekaan negara Indonesia.
Anwar Harjono mengidentifikasikan beberapa organisasi massa yang
15
merupakan cikal bakal bagi secara politis turut memperjuangkan
kemerdekaan. Salah satu diantaranya adalah :
1. Sarikat dagang Islam (SDI)
Yang didirikan oleh Haji Samanhoedi tahun 1911, semula
dimaksudkanuntuk sekedar menjadi koperasi pedagang batik, tetapi gaung
kehadirannya mampu melintasi kawasan ekonomi menjadi simbol
perlawanan bangsa melawan kesewenang-wenangan bangsa asing. Pada
tahun 1912, SDI berubah nama menjadi Sarikat Islam (SI), walaupun pada
masa itu organisasai politik masih dilarang oleh undang-undang
pemerintah kolonial namun SI dengan cepat menjadi satu-satunya
pergerakan nasional yang paling berpengaruh pada awal abad ke-20.
2. Muhammadiyah.
Meskipun Muhammadiyah tidak pernah menyatakan diri sebagai
organisasi sosial politik, akan tetapi, seperti dikatakan Bousquet, sangat
salah kalau menduga bahwa para anggota Muhammadiyah tidak timbul
bias tertentu dalam politik. Berbagai pemikiran tentang reformasi Islam
yang dikembangkan Muhammadiyah, mustahil dilepaskan sama sekali dari
kaitan politik. Muhammadiyah mengembangkan kesadaran politik pada
para anggotanya dan juga pada murid yang belajar di sekolah-sekolah
Muhammadiyah. Karena itu George McT Kahin menyebut apa yang
dilakukan Muhammadiyah dalam arus nasionalismepolitik ibarat anak
sungai yang tenang tetapi dalam, dengan diam-diam namun terus-menerus
menghidupkan dan memperkuat arus nasionalisme politik tersebut.
Pada awal kemerdekaan (1945-1950an), para pemimpin Muslim
tergabungdalam Masyumi, telah mengkonsentrasikan perjuangan politik
mereka untuk mempromosikan Islam sebagai dasar negara. Sebaliknya,
golongan Nasionalis-sekuler menolak Islam dan mengusulkan Pancasila untuk
digunakan sebagai dasar negara. Terjadi perdebatan yang runcing dan panjang
di Dewan Konstituante antara kelompok Nasionalis-sekuler mengenai apakah
Islam atau Pancasila yang akan digunakan sebagai dasar negara. Kedua
kelompok ini mencapai kesepakatan politik dalam bentuk Piagam Jakarta pada
tanggal 22 Juni 1945 (Ismail, 1999:173).
16
Akan tetapi kesepakatan dalam Piagam Jakarta yang dihasilkan pada
sidang anggota BPUPKI dibatalkan pada sidang PPKI. Dalam PPKI golongan
Islam hanya diwakili oleh Ki Bagus Hadikusumo dan K.H. Wahid Hasyim.
Tuntutan-tuntutan golongan Islam sebelumnya semuanya dibatalkan. Bahkan
sehari setelah proklamasi tujuh patah kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan,
kata Allah dalam mukaddimah diganti dengan Tuhan dan mukaddimah diubah
menjadi pembukaan (Thaba,1996:156).
Pada masa pemerintahan Orba dan kaum militer menjalin hubungan
yang harmonis dan kerjasama dengan rapi dengan umat Islam pada masa
penumpasan G30S/PKI, namun kerjasama ini tidak berlangsung lama karena
tampaknya pemerintah masih menaruh kecurigaan politik terhadap kembali
eksisnya partai Islam seperti Masyumi. Meskipun pada satu dekade terakhir
umat Islam mulai diperhatikan aspirasinya dalam bidang hukum, diantaranya
berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI), dilaksanakan restrukturisasi
Pengadilan Agama pada tahun 1985, berdirinya ICMI pada tahun 1991 (al
Ismail, 1999:170).
Di era reformasi kontribusi umat Islam dalam perpolitikan di Indonesia
mulai semakin tampak dengan banyaknya partai Islam yang mengikuti pemilu.
Meskipun kekuatan politik umat Islam yang besar itu tidak diikuti oleh
kesepakatan dan persatuan sehingga dalam menjalankan visi dan misi Islam,
partai-partai Islam itu seringkali berseberangan dan tidak saling mendukung.
Bahkan dalam intern partai itu sendiri sering kali berbeda prinsip dan
pandangan sehingga menimbulkan perpecahan dalam partai itu sendiri.
2.5. Paradigma Hubungan Agama dan Negara Dalam Islam
Dalam islam, hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang
cukup panjang diantara pakar islam hingga kini. Bahkan menurut Azra
perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung
hingga dewasa ini. Lebih lanjut Azra mengatakan bahwa ketegangan
perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan
yang agak canggung antara islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah),
berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara din dengan
17
konsep dan kultur politik masyarakat muslim, dan eksperimen tersebut dalam
banyak hal sangat beragam.
Dalam lintasan historis islam, hubungan agama dan negara dan sistem
politik menunjukan fakta yang sangat beragam. Banyak para ulama tradisional
beragumen bahwa islam merupakan sistem kepercayaan dimana agama
memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia
dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang
ini maka pada dasarnya dalam islam tidak ada pemisahan antara agama (din)
dan politik (dawlah). Argumentsi ini sering dikaitkan dengan posisi nabi
Muhammad ketika berada di Madinah yang membangun sistem pemerintahan
dalam sebuah negara kota (city-state). Di Madinah Rasulullah berperan
sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala agama.
Menyikapi realitas empitik tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
posisi nabi saat itu adalah sebagai rasul yang bertugas menyampaikan ajaran
(al kitab) bukan sebagai penguasa. Kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah
sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan hanyalah sebagai alat
bagi agama bukan suatu ekstensi dari agama. Pandapat Ibnu Taimiyah ini
dipertegas dengan ayat Al-Quran yang artinya : “sesungguhnya kami telah
mengutus Rasul-rasul kami yang disertai keterangan-keterangan, dan kami
turunkan bersama mereka kitab dan timbangan, agar manusia berlaku adil, dan
kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat
bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan
(menolong, Rasul-nya yang ghaib (daripadanya) (Q.S 57 : 25). Dari ayat ini,
ibnu Taimiyah mengatakan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku
petunjuk dan pedang penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik
yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama,
tetapi kekuasaan inti bukanlah agama itu sendiri.
Syafi’I Maarif menegaskan bahwa istilah dawlah yang berarti negara
tidak dijumpai dalam Al-Quran. Istilah dawlah memang ada di Al-Quran,
surat QS. 59 (al Hasyr) ayar 7, tetapi bukan bermakna negara. Istilah tersebut
dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan
dari kekayaan.
18
Sama halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad
Husein Haikal. Menurutnya prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan
yang diberikan masyarakat yang diberikan oleh Al-Quran dan al-sunnah tidak
ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa dalam islam tidak terdapat suatu sistem pemerintahan yang
baku. Umat islam bebas menganut sistem pemerintahan yang bagaimanapun
asalkan sistem tersebut menjamin persamaan antara para warga negaranya,
baik hak dan kewajiban dan juga dimuka hukum serta pengelolaan urusan
negara diselenggarakan atas syara atau musyawarah dengan berpegang kepada
tata nilai moral dan etika yang diajarkan islam.
Dalam lintas sejarah dan opini para teoritis politik Islam ditemukan
beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan
negara, antara lain dapat dirangkum ke dalam (tiga) 3 paradigma, yakni
integralistik, simbiotik dan sekuleristik.
2.5.1. Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan
agama dan negara yang menganggap bahwa agama dan negara merupakan
suatu kesatuan yang tidak dapat tidak dipisahkan. Keduanya merupakan dua
lembaga yang menyatu (interated). Ini juga memberikan pengertian bahwa
negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
Konsep ini menegaskan kembali bahwa islam tidak mengenal pemisahan
antara agama dan politik atau negara. Konsep seperti ini sama dengan konsep
teokrasi.
Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara.
Yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan
hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik
dikenal juga dengan paham islam : din wa dawlah. Yang sumber positifnya
adalah hukum agama. Paradigma integralistik ini anatara lain dianut oleh
kelompok islam Syi’ah. Hanya saja Syi’ah tidak menggunakan term dawlah
tetapi dengan term imamah. Dan juga ulama-ulama terkemuka lainnya yakni,
Al-Mawardi, Imam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, serta dikalangan ulama
19
kontemporor seperti Rayid Ridho, kelompok-kelompok Ikhwanul Muslimin
seperti Hasan Al-Bana, Syaid Qutub, dan lain sebagainya.
2.5.2. Paradigma Simbiotik
Menurut konsep ini, hubungan agama dan negara dipahami saling
membutuhkan dan bersifat timbal balik. Dalam kontek ini, agama
membutuhkan negara sebagai instrument dalam melestarikan dan
mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan
agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika,
dan spiritualitas.
Dalam paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban
agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak
bisa berdiri tegak (Taimiyah, al Siyasah al Syar’iyyah: 162). Pendapat Ibnu
Taimiyah tersebut meligitimasi bahwa antara agama dan negara merupakan
dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya,
konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya
social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama (syari’at).
Pemikiran ini di anut kalangan-kalangan ulama islam yakni Ibnu Taimiyah,
Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani, Yusuf Al-Qardawi dan lain-lain.
2.5.3. Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan (disparitas)
antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang
berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing,
sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain
melakukan intervensi. Berada pada pemahaman yang dikotomis ini, maka
hukum yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan
manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum agama
(syari’ah).
Konsep sekularistik ini bisa dilihat dari pendapat Ali Abdul Raziq
yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW pun tidak
20
ditemukan keinginan Nabi Muhammad SAW untuk mendirikan agama.
Rasulullah SAW hanya penyampaian risalah kepada manusia dan
mendakwahkan ajaran agama kepada manusia. Paradigma ini dianut beberapa
ulama kontemporer yakni Ali Abdul Raziq, Muhammad Husain Haikal dan
lain-lain.
2.6. Pemikiran Politik Islam Kontemporer
Periode modern ditandai kolonialisme yang melanda negeri-negeri
muslim. Hampir seluruh dunia Islam berada di bawah penjajahan barat. Dunia
islam tidak mampu bangkit dari kemunduraan yang berkepanjangan. Ada tiga hal
yang melatarbelakangi pemikiran islam modern atau kontemporer:
a. Kemunduran Islam disebabkan oleh faktor-faktor internal dan yang
berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian.
b. Rongrongan barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan dunia Islam
yang berakhir dengan penjajahan.
c. Keunggulan barat dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi.
Kecenderungan yang seperti itu membuat sebagian pemikir ada yang
mencoba meniru barat, ada juga yang menolak barat dan menghendaki kembali
kepada kemurnian Islam. Maka, dalam periode ini ada tiga kecenderungan
pemikiran politik islam, yaitu integralisme, interseksion dan sekularisme.
Kelompok pertama memiliki pandangan bahwa agama dan politik adalah
menyatu dan tidak terpisahkan. Karena tugas negara adalah menegakkan sehingga
negara Islam menjadi cita-cita bersama. karena itu syariat Islam menjadi hukum
negara yang dipraktikkan oleh seluruh umat Islam.
Kelompok ini diwakili oleh:
1) Muhammad Rasyid Ridha, yang menulis Al-Khilafah wa al-Imamah al-
Uzhma dan tafsir Al-Manar.
2) Hasan Al-Bana, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin.
3) Abu al- A’la al-Maududi, yang menulis Al-Khilafah wal Mulk dan Islamic
Law and Constitution.
4) Sayyid Quthb, ideolog gerakan Ikhwanul Muslimin yang menulis
Al’adalah al-ijtima’iyah fi al-islam.
21
5) Imam Khomeini, pemimpin revolusi islam Iran 1979.
Kelompok kedua berpendapat bahwa agama dan politik melakukan
hubungan timbal balik yang saling bergantung. Agama membutuhkan negara
untuk menegakkan syariat. sementara negara membutuhkan agama untuk
mendapat legitimasi.
Kelompok ini diwakili oleh:
1) Muhammad Abduh, tokoh pembaharu Mesir
2) Muhammad Iqbal, bapak pendiri negeri Pakistan.
3) Muhammad Haykal, yang menulis Al-Humumat al-Islamiyat.
4) Fazlur Rahman, bapak pembaharu Pakistan yang mnulis Islam and
Modernity.
Kelompok ketiga memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan
dengan negara dengan argumen Nabi Muhammad Saw tidak pernah
memerintahkan mendirikan negara. Terbentuknya negara dalam masa awal
Islam hanya faktor alamiah dan histois dalam kehidupan masyarakat, sehingga
tidak perlu mendirikan negara Islam.
Kelompok ini diwakili oleh:
1) Ali Abd al-Raziq, yang menulis Al-Islam wa Ushul al-Hukm.
2) Thaha Husein yang menulis Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr.
3) Mustafa Kemal Attaturk, pendiri republic Turki Modern.
Pokok-pokok pemikiran para tokoh Ali Abdul Raziq, Muhammad
Husain Haikal, dan Abdul Wahab Kholaf
1. Ali Abdul Raziq
Dalam masa pemerintahan Ali Abdul Raziq dalam bukunya al-
Islam wa Ushul al-Hukm menyebutkan bahwa seluruh apa yang dibawa
oleh Rasulullah hanyalah semata-mata syariat keagamaan yang murni
untuk Allah. Ia tidak memiliki kepentingan apapun dengan masalah yang
bersifat keduniaan sama sekali. Akan halnya masalah masyarakat, politik
maupun pemerintahan. Semuanya itu adalah persoalan dunia. Oleh karena
itu, dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan tentang corak negara. Nabi
Muhammad SAW menurutnya hanya mengemban tugas dan misi rasul dan
22
tidak membawa misi untuk membentuk negara.
Persoalan kemudian adalah apakah pendirian negara di Madinah
oleh Nabi berikut pengawasannya yang dapat diartikan sebagai tugas
pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tugas-tugas
kerasulannya? Pertanyaan seperti ini dijawabnya dengan mengemukakan
bahwa pemerintahan Nabi bukanlah bagian dari tugas kerasulannya,
melainkan tugas yang terpisah dan berada di luar dari misi yang
diembannya. Pemerintahan yang pernah dibentuk oleh Nabi, kata Ali
Abdul Raziq adalah urusan dunia yang tidak ada kaitannya dengan tugas
kerasulannya. Untuk memperkuat pendapatnya ini, Ali Abdul Raziq
mengutip beberapa ayat Alquran, antara lain sebagai berikut:
a) Surat Ali Imran (3): 144, yang artinya, Muhammad Saw.
hanyalah seorang Rasul yang kelak didahului oleh wafatnya
rasul-rasul yang lain.
b) Surat al-Ghasyiah (88): 21, yang maksudnya, Rasulullah
hanyalah bertugas menyampaikan risalah Allah kepada umat
manusia.
Di samping mengutip ayat-ayat Alquran, ia juga menggunakan
argumen hadis nabi riwayat Muslim. Hadis tersebut berbunyi: اعلم انتم
دنياكم Dari (Kamulah yang paling tahu tentang urusan duniamu) بأمور
ayat-ayat dan hadis, Ali Abdul Raziq memahami bahwa soal negara atau
pemerintahan adalah urusan dunia, karena itu terserah kepada manusia
dengan cara apa dan bagaimana mengaturnya.
Sehubungan dengan pikiran-pikiran Ali Abdul Raziq ini, kembali
Dhiyauddin memberikan kritikan yang tajam. Menurutnya, Ali Abdul
Raziq memulai pokok-pokok pikiran dan keyakinannya yang keliru, yakni
suatu keyakinan atau motivasi yang sepenuhnya menafikan hakikat sistem,
syariat dan tujuan Islam. Dengan demikian, maka Islam dipahami
hanyalah seruan keagamaan belaka tanpa ada pelaksanaannya.
Argumentasi yang digunakan Ali Abdul Raziq adalah ayat-ayat Alquran
periode Mekah, sedangkan pada periode ini kaum muslimin masih berada
di bawah tekanan pemerintah kafir Quraisy, sehingga tidak mungkin bagi
23
mereka untuk melaksanakan syariat dalam kehidupan nyata. Akan halnya
periode sesudah itu, negara Islam sudah terbentuk dan syariat pun telah
sempurna diturunkan, sehingga Rasulullah SAW dan kaum muslimin
dapat melaksanakan perintah-perintah yang disyariatkan Allah yang
dibuktikan oleh sejarah.
Selanjutnya, Dhiyauddin mengutip beberapa ayat Alquran yang
memerintahkan Rasulullah Saw. untuk merealisasikan risalahnya, seperti
QS. al-Tahrim (66) : 9, QS. al-Anfal (8) : 57 dan QS. al-Maidah (5) : 58.
Pendirian penulis, kehidupan agama (dalam hal ini Islam) dengan
kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan. Keduanya mempunyai
hubungan yang erat. Salah satu doktrin Alquran yang memperkuat doktrin
ini adalah hablun min Allah wa hablun hablun min al-nas (QS. Ali Imran
(3): 112), artinya hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia
dengan manusia merupakan satu kesatuan. Untuk itu, masalah hubungan
agama (Islam) dan negara harus ditempatkan dalam konteks ini. Meskipun
Alquran dan sunnah Rasul tidak menentukan bagaimana bentuk
pemerintahan Islam, tetapi prinsip-prinsip umumnya sudah digariskan.
Karena itu, manusia diberikan kewenangan dan kebebasan untuk memilih
dan menentukan sendiri bentuk pemerintahan apa yang paling baik bagi
mereka.
Pemikiran Ali Abdul Raziq, tampaknya mendapat kritikan keras
dari kalangan ulama Mesir, khususnya al-Azhar. Tantangan dan protes
keras itu terjadi dalam rapat Majelis Ulama Besar al-Azhar pada tanggal
12 Agustus 1925, yang dihadiri sebanyak 24 orang ulama al-Azhar. Di
sinilah diputuskan bahwa isi buku al-Islam wa Ushul al-Hukm telah
bertolak keluar dari seorang muslim, apalagi dari seorang ulama. Ali
Abdul Raziq akhirnya dikeluarkan dari jajaran ulama al-Azhar.
2. Muhammad Husain Haikal
Dalam masalah pemerintahan Husein Haikal termasuk dalam
paham kelompok yang berpendapat bahwa Islam tidak menentukan sistem
dan bentuk pemerintahan yang harus diikuti oleh Umat. Kalaupun ingin
24
mengetahui sistem pemerintahan Islam, menurut Haikal kita harus kembali
kepada prinsip-prinsip utama yang telah ditetapkan dan yang dijadikan
sebagai landasan kehidupan manusia. Manakala kita sudah mengetahui
dan mencamkan prinsip-prinsip tersebut, tidak ada lagi keraguan bahwa
sesungguhnya Islam dan demokrasi sinkron dalam semua hal yang
esensial. Kita juga tidak meragukan bahwa sesungguhnya sistem mana
saja yang tidak mengakui kebebasan individu, solidaritas sosial, dan
pengambilan keputusan berdasrkan suara mayoritas adalah tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam. Singkatnya, setiap sistem yang tidak berdiri
di atas prinsip-prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
utama yang ditetapkan dan diserukan oleh Islam.
Haikal sendiri menyatakan sistem pemerintahan yang berdasarkan
permusyawaratan. model Islam harus dapat mewujudkan kebebasan,
persaudaraan dan persamaan bagi manusia- sebanding atau bahkan
melebihi dari yang dapat diberikan oleh sistem-sistem demokrasi dalam
pengertian sekarang.
1) Prinsip-prinsip Negara Islam Demokrasi
a) Prinsip persaudaraan
Dalam menetapkan prinsip ini, wawasan Islam luas sekali.
Islam tidak memasang rintangan dan batasan apapun. Persaudaraan
dalam Islam tidak hanya merupakan pemanis bibir atau sekadar
basa-basi, melainkan suatu prinsip yang sangat esensial.
Persaudaraan Islam juga suatu akidah yang harus ditumbuhkan
dalam jiwa setiap muslim dan tercermin dalam tindakan manusia.
Atau, kalau tidak, ia akan menjadi orang yang lemah imannya.
Sebenarnyalah, selama ini arti solidaritas manusia yang kita
semua dambakan dan kita kampanyekan dengan sungguh-sungguh,
sampai beberapa hal berikut ini terwujud. Yaitu, persaudaraan di
antara sesama manusia dan di antara bangsa-bangsa. Sampai setiap
individu dan setiap bangsa benar-benar menyadari bahwa
sesungguhnya kewajiban persaudaraan menuntut seseorang merasa
bahagia melihat saudaranya mendapat kebahagiaan yang sama
25
seperti apa yang ia rasakan.
b) Persamaan Dalam Islam
Adapun persamaan dalam Islam merupakan contoh yang
tertinggi yang patut diteladani. Bagi Islam, persamaan tidak hanya
sebatas yang ditetapkan undang-undang, tetapi lebih dari itu juga
mencakup persamaan di hadapan Allah. Persamaan Islam sama
sekali tidak memperhitungkan keterpautan rezeki, keterpautan
ilmu, dan berbagai keterpautan lain yang bersifat duniawi. Apabila
kepercayaan terhadap konser persamaan di depan undang-undang
adalah salah satu sendi demokrasi, apalagi kepercayaan terhadap
konsep persamaan di hadapan Allah. Allah adalah sumber setiap
hukum dan segala sesuatu, kekuatan satu-satunya yang
menciptakan dan mengatur alam.
c) Kebebasan,
Prinsip Islam Yang Termulia Dewasa ini, kebebasan bisa
berarti mempunyai hak dan boleh menggunakan sekehendak anda,
asal Anda tidak merugikan dan tidak mengganggu kebebasan orang
lain. Dalam kenyataannya, Islam memang memberikan kebebasan
penuh kepada manusia, kecuali, tentu dalam hal-hal yang dikenai
sanksi dan syara’nya.
Hanya saja, menurut Haikal bentuk kebebasan yang tersurat
dan tersirat dalam semboyan Revolusi Perancis adalah yang
terpenting, kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat. Orang
mungkin tidak percaya bahwa kebebasan ini juga telah ditetapkan
dalam ajaran Islam, justru dalam bentuk dan makna yang lebih
luas. Secara historis kebebasan ini lebih banyak dipraktekkan
dalam dunia Islam pada zaman klasik dan pertengahan. Pada masa-
masa itu, tulis Haikal tidak dikenal adanya batasan bagi kebebasan
berpikir, selama kebebasan berpikir itu tetap berada dalam jalur
benar. Kita lihat misalnya bagaimana di kalangan kaum muslimin
Ahli Sunnah terdiri dari empat madzhab. Seluruh kaum Muslimin
menghormati keempat madzhab tersebut, kendati di antara mereka
26
ada perbedaan dalam berpikir dan berpendapat. Madzhab-madzhab
ini ditetapkan oleh para imam yang diakui kelebihannya oleh
segenap kaum musllimin, dalam tingkat keimanan dan kedudukan
mereka yang tinggi.
2) Implementasi Prinsip-Prinsip Negara Islam Demokrasi
a) Tasyri’ (Perbuatan Undang-undang) dan Hukum Kebebasan
Persaudaraan dan persamaan yang merupakan semboyan
demokrasi dewasa ini juga termasuk di antara prinsip-prinsip
utama Islam. Prinsip-prinsip itulah yang menjadi dasar terciptanya
solidaritas sosial dan bagi tegaknya sistem pemerintahan
demokrasi atau pemerintahan Islam.
Prinsip-prinsip ini secara nyata menuntut suatu bangsa
melakukan pengambilan keputusan melalui suatu lembaga
perwakilan yang benar, perdebatan yang bebas dan menerima
prinsip suara mayoritas. Dalam hal pengambilan keputusan ini
gejala pertama yang tampak adalah tentang masalah tasyri’
(legislation) dan masalah hukum. Karenanya, seseorang, betapa
tinggi kedudukannya, tidak berhak menetapkan sesuatu keputusan
secara paksa. Atau menetapkan undang-undang suatu Negara yang
tidak dikehendaki oleh kehendaknya yang bebas.
Hakim yang adil di Negara Islam selalu memiliki
kekuasaan dan tidak memihak, seperti yang juga dimiliki oleh
hakim adil di semua Negara demokrasi. Tak seorangpun dapat
menguasai atau mendikte hakim semacam ini, yang kekuasaannya
menjangkau seluruh masyarakat. Dan selama masyarakat dapat
menerima keadilannya, sang hakim dibenarkan melakukan ijtihad
kalau memang menemukan caranya.
b) Islam, dan Bentuk-bentuk Pemerintahan Demokrasi
Haikal menyatakan secara jelas, bahwa ada sementara
orang yang mencoba menggambarkan Islam dengan cara yang
berbeda. Dan untuk menopang pendapatnya, ia mengatakan bahwa
sesungguhnya tasyri’ dan hukum Islam sangat terikat oleh al-
27
Qur’an. Dan itu, katanya, merupakan kendala bagi perkembangan
yang amat tidak disukai oleh sistem demokrasi.
Sebenarnya menurut Haikal apabila kita menyimak kembali
pemerintahan islam dari era-era permulaan, tepatnya dari 1.400
tahun lebih yang lalu, kita akan menemukan bahwa prinsip utama
demokrasi sebenarnya prinsip milik Islam. Boleh jadi bentuk
sistem pemerintahannya berbeda dengan yang kita kenal sekarang,
namun dan tujuan dan prinsipnya tetap sama. Kalau menengok
kembali peristiwa pembai’atan Abu Bakar, Umar dan Utsman kita
akan menemukan secara gamblang maknanya yang hakiki. Dimana
para khalifah hanya memiliki kekuasaan eksekutif, sebagaimana
dalam sistem demokrasi. Boleh jadi kekuasaan eksekutif itu tidak
memiliki lembaga pengawasa, yang memungkinkan mereka
bertindak sebagai dictator tanpa harus mempertanggung
jawabkannya kepada siapa pun. Atau harus mempertanggung-
jawabkannya, mereka diawasi oleh sebuah lembaga pengawasan
seperti fungsi parlemen seperti di Negara-negara Eropa, atau
lembaga legislative seperti di Amerika. Jika tindak-tanduk khalifah
diawasi, apapun bentuknya, tak perlu diragukan lagi bahwa
pemerintahan Islam itu juga menerapkan sistem demokrasi.
Meskipun bentuknya tidak sama seperti yang kita kenal sekarang,
namun prinsip dan dasarnya sungguh ideal.
c) Masa Jabatan Pemimpin Islam
Masa-masa pertama masa jabatan seorang pemimpin Islam
tidak dibatasi seperti yang berlaku pada pemimpin republik
sekarang. Yang jelas pemikiran kea rah itu belum dirasakan
penting oleh orang-orang Islam terdahulu, lantaran adanya
pertimbangan yang cukup penting. Kemudian mengenai kehidupan
Internasional yang jelas, Islam tidak melalaikan hubungan dengan
dunia internasional, yang telah dikenalnya sejak awal
pertumbuhannya. Hubungan internasional ini dikenal ratusan
bahkan ribuan tahun sebelum Islam. Akan tetapi yang
28
mengherankan sementara orang adalah seruan Islam menjalin
hubungan dan kerjasama internasional. Inilah kemudian
diwujudkan oleh Negara-negara demokrasi pada tahun 1919.
Salah satu prinsip penting yang ditetapkan oleh Islam adalah
menghormati perjanjian dan tidak merusaknya. Prinsip ini sangat
esensial dalam kehidupan internasional Islam. Begitu pentingnya,
sampai kaum muslim terdahulu rela berkorban besar demi
menghormati perjanjian. Bagaimana Islam dan demokrasi bertemu
dalam segala hal yang mendasar. Dalam pembahasan terdahulu
sudah ditegaskan, bahwa keduanya bertemu dalam prinsip-prinsip
umum. Juga dalam asas legislative (tasyri’) dan hukum, dalam
sistem pemerintahan, serta dalam aturan tentang hubungan
internasional.
3. Abdul Wahab Kholaf
Dalam masalah Pemerintahan Abd al-Wahhab Khallaf seorang
pakar hukum Islam pada fakultas hukum Universitas Kairo di Mesir,
sejauh ini kita mengenal Prof. Abd al-Wahhab Khallaf sebagai ahli
dalam bidang hukum Islam terutama kajian ushul al-Fiqh (dasar-dasar
hukum Islam) bukan yang lain. Akan tetapi, disanalah uniknya, ternyata
Prof. Abd al-Wahhab Khallaf juga banyak mengamati persoalan hukum
tata negara Islam dan aliran politik Islam. Hal itu dapat dilihat dalam
bukunya berjudul Al-Siyasah al-Syar’iyyah, beliau membahas dasar-
dasar politik dan pemerintahan dalam perspektif Islam. Pembahasan
beliau dalam buku tersebut banyak berkaitan dengan upaya pelaksanaan
prinsip-prinsip syariat Islam dan kemaslahatan umat. Artinya, untuk
melaksanakan dua aspek ini dari segi siyasah syar’iyah memerlukan
adanya lembaga sebagai instrument pelaksanaannya, yaitu pemerintahan.
Menurut Khallaf, pembagian kekuasaan adalah sebuah keniscayaan,
sebagai konsekuensi dari pemerintahan konstitusional yang bersendikan
musyawarah. Kewenangan kepala negara berasal dari rakyat dan adanya
pertanggung jawaban kepala negara. Lebih lanjut Khallaf menegaskan
29
bahwa kekuasaan negara dapat didelegasikan kepada, kekuasaan
membuat undang-undang (al-sulthat at-tasyri‟iyat), kekuasaan peradilan
atau kekuasaan kehakiman (al-sulthat al-qadhaiyat), dan kekuasaan
melaksanakan undang-undang (al-sulthat al-tanfiziyat) masing-masing
istilah dapat diidentikkan dengan istilah kekuasaan legislatif, eksekutif
dan kekuasaan yudikatif.
Adapun sumber hukum bagi pemerintahan Islam terdiri dari
hukum dasar Ilahi yang disyariatkan oleh Allah dalam kitab-Nya dan
yang ditetapkan oleh lisan Rasul-Nya. Sumber ketiga menurut Khallaf
adalah hukum produk ijtihad penguasa (wulat al-amr) yang tidak
bertentangan dengan hukum dasar untuk mewujudkan kemaslahatan
rakyat.
2.7. Garis-Garis Besar Politik (Siyasah) Menurut Islam
Garis-garis besar politik/ siasah Islam meliputi tiga Aspek:
a. Siyasah Dusturiyyah, adalah siyasah yang mengatur hubungan warga
Negara dengan lembaga Negara yang satu dengan warga Negara dan
lembaga Negara yang lain dalam batas-batas administrasi suatu
Negara.
b. Siyasah Dauliyyah, ialah siyasah yang mengatur antara warga Negara
dengan lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga Negara
dan lembaga Negara dari Negara lain.
c. Siyasah Maliyyah, ialah siyasah yang mengatur tentang pemasukan,
pengelolaan, dan pengeluaran uang milik Negara.
2.7.1. Siyasah Dusturiyah
Siyasah Dusturiyyah, adalah siyasah yang mengatur hubungan warga
Negara dengan lembaga Negara yang satu dengan warga Negara dan lembaga
Negara yang lain dalam batas-batas administrasi suatu Negara.
Permasalahan di dalam siyasah dusturiyah adalah hubungan antara
pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan dalam
masyarakatnya. Ruang lingkup pembahasan siyasah dusturiyah itu sendiri
30
dibatasi hanya dalam pembahasan tentang pengaturan dan perundang-
undangan yang dituntut oleh halihwal kenegaraan dari segi persesuaian
dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia
serta memenuhi kebutuhanya. Kata “dusturi” berasal dari bahasa persia.
Semula artinya adalah seorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang
politik maupun agama.
Sumber-sumber siyasah Dusturiyah diantaranya ialah:
a. Al-Quran, yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip-prinsip
kehidupan masyarakat.
b. Hadits, terutama yang berhubungan dengan imamah dan
kebijaksanaan Rasulullah dalam menerapkan hukum Negara.
c. Kebijakan-kebijakan khilafa rasyidin dalam mengendalikan
pemerintahan.
d. Ijtihad para ulama.
e. Adat kebiasaan suatu bangsa yang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip al-Quran dan Hadits.
2.7.2. Siyasah Dauliyah
Siyasah Dauliyah ialah siyasah yang mengatur antara warga Negara
dengan lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga Negara dan
lembaga Negara dari Negara lain.
Siyasah dauliyah mengatur hubungan antara warga Negara dengan
lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga Negara dan lembaga
Negara dari Negara lain. Dalam hubungan Internasional asas damai
merupakan asas hubungan international, alasanya adalah perang itu
diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak kezaliman, menghilang
fitnah, dalam rangka mempertahankan diri. Konsekuensi dari asas damai
sebagai hukum asal dalam hubungan internasional adalah perdamaian saling
membantu dalam kebaikan. Maka:
a. Perang tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
b. Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai
musuh.
31
c. Segera menghentikan perang apabila salah satu pihak cenderung
kepada damai
d. Memperlakukan tawanan perang dengan cara manusiawi.
Subjek hukum dalam siyasah dauliyah adalah Negara, setiap Negara
mempunyai kewajiban. Kewajiban terpenting adalah menghormati hak-hak
Negara lain dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuat. Semua Negara
yang ada di dunia ini adalah bertetangga, karena itu dalam hubungan antar
Negara diterapkan kewajiban menghormati Negara sebagai tetangga Negara
kita. Landasan dari kewajiban tersebut adalah
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.” (QS An-Nisaa: 36)
Sedangkan mengenai perjanjian antar Negara yang diistilahkan
dengan al-ittifak (kesepakatan) terdapat syarat-syarat tertentu yang mengikat
suatu perjanjian.
a. Yang mengadakan perjanjian memiliki kewenangan.
b. Kerelaan dari kedua belah pihak.
c. Isi perjanjian dan objeknya tidak dilarang oleh syariat islam.
d. Penulisan perjanjian.
e. Menaati perjanjian
Hubungan internasional dalam peperangan juga diatur dalam siyasah
dauliyah ini, dalam kondisi perang keadaan darurat itu sangat nyata pilihanya
hanya dua membunuh dan dibunuh. Itulah hukum perang yang nyata hanya
saja kaum muslimin yang berjihad fisabilillah tahu persis sesuai dengan
pandangan hidupnya, untuk agama dia berperang, dan apa makna syahid di
medan perang, karena itu sangat penting untuk diketahui kenapa perang harus
terjadi:
a. Perang dalam islam untuk mempertahankan diri.
b. Perang dalam rangka dakwah.
32
c. Perang untuk melindungi hak Negara yang sah yang dilanggar oleh
suatu Negara lainnya tanpa sebab yang dapat diterima.
Perang yang tidak sah menurut Ali Mansur adalah suatu peperangan
yang bermaksud untuk memperluas wilayah, perluasan pengaruh, dan
keinginan untuk menduduki dan menguasai Negara lain. Peperangan dalam
siyasah dauliyah disertai dengan aturan-aturan yang dibenarkan dalam Islam,
diantaranya yaitu:
a. Adanya pengumuman perang yang memungkinkan sampainya berita
itu kepada musuh.
b. Adanya etika dan aturan dalam peperangan seperti dilarang membunuh
anak-anak, dilarang membunuh wanita-wanita yang tidak ikut
berperang juga dilarang memperkosa.
c. Dilarang membunuh orang yang sudah tua apabila orang-orang tua itu
tidak ikut berperang.
d. Tidak merusak pohon, sawah, dan ladang.
e. Tidak merusak binatang ternak.
f. Tidak menghancurkan rumah-rumah peribadatan.
g. Dilarang mencincang mayat musuh.
h. Dilarang membunuh pemuka agama.
i. Tidak melampaui batas
Peperangan bisa dihentikan dengan upaya-upaya untuk segera
memberhentikan peperangan. Perhentian peperangan bisa terjadi dengan
berbagai kemungkinan antara lain:
a. Peperangan bisa dihentikan karena tercapainya tujuan perang.
b. Peperangan dihentikan dengan adanya perjanjian damai. Sedangkan
perjanjian dapat dibatalkan apabila musuh menghianati janji yang telah
dibuat dan disetujui.
2.7.3. Siyasah Maliyyah
Siyasah Maliyah ialah siyasah yang mengatur tentang pemasukan,
pengelolaan, dan pengeluaran uang milik Negara.
Pengaturan dalam siyasah maliyah di orientasikan untuk mengatur
33
kemashlahatan masyarakat. Di dalam siyasah maliyah diantaranya mengatur
hubungan dengan masyarakat yang menyangkut harta. Konsep tentang
sumber-sumber pemasukan dan kaidah-kaidah dalam pembelanjaan keuangan
Negara ini merupakan salah satu butir pemikiran fuqaha' yang cukup penting.
Menurut Ibn Taimiyah dalam bukunya Al-Siyasah, sumber keuangan
negara terdiri dari zakat, ghanimah, danfai'. Sumber-sumber lainnya yang
tidak termasuk kategori zakat dan ghanimah, dimasukkan dalam istilahfai'.
Sedangkan prinsip dalam pembelanjaan keuangan negara berpijak pada skala
prioritas menurut tingkat kemaslahatan yang paling tinggi bagi rakyat, yang
alokasinya diberikan dalam bentuk gaji, subsidi, pembangunan, dan lain-lain.
Berbeda dengan pandangan Ibnu Taimiyah diatas, pandangan al-
Mawardi relative lebih detail dan operasional. Bagi al-Mawardi, sumber-
sumber pemasukan keuangan negara sangat beragam, baik yang bersifat
normative seperti zakat, ghanimah, danfai', maupun yang ijtihadi,
seperti jizyah, kharaj, 'usyr dan lain-lain. Pemaparan yang operasional terlihat
dalam penjelasan al-Mawardi bahwa seluruh kegiatan pemasukan dan
pembelanjaan keuangan Negara dilakukan dengan system pengadministrasian
(diwan) yang ketat dalam hubungannya dengan kedudukan bait al-mal.
Menurutnya, adminitrasi negara terdiri dari empat bagian, yaitu bagian yang
mengurusi data diri tentara dan besaran gajinya, bagian pencatatan wilayah-
wilayah yang berada dalam kekuasaan negara Islam, bagian pencatatan
pegawai negara dan bagian pencatatan bait al'mal.
Pengaturan harta dalam Siyasah Maliyah mengacu pada prinsip-prinsip
yang digalidari Al-Qur'an dan Hadits. Prinsip-prinsip tersebut adalah;
a. Prinsip tauhid dan isti'mar, yaitu pandangan bahwa hanya Allah yang
menciptakan alam semesta dan disediakan untuk manusia.
b. Prinsip distribusi rizki, yaitu pandangan bahwa harta kekayaan adalah
rizki dari Allah.
c. Prinsip mendahulukan kemaslahatan umum, yaitu pandangan bahwa
hartake kayaan itu hakikatnya milik Allah.
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam
sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh
34
para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain
dating menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak
para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim).
Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah
mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti
memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan
kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh
kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa
dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya,
menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada
saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan)
Perlu diketahui bahwa, selain sebagai rasul Allah, Muhammad SAW
juga berperan sebagai kepala negara dan pemerintaha. Seperti yang sudah
diapaparkan diatas, beliaulah yang menentukan dilaksanakannya perang,
dikirimkannya duta perdamaian ke negara tetangga, pengaturan
perekonomian, memimpin musyawarah, dengan tidak melupakan Sang Maha
Suci Allah SWT sebagai pelindungnya, penganugerah keamanan, dan
pensejahtera masyarakatnya.
35
BAB III : PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah kami kaji, kami dapat menyimpulkan bahwa
Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam
sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok serta penanganan urusan
umat baik urusan dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan kaidah-kaidah
syariat islam. Politik islam identik denga siasah (mengatur). Prinsip-prinsip dasar
siasah dalam islam meliputi mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, keharusan
musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyah, selalu amanah
dan menetapkan hukum secara adil, mentaati Allah SWT, Rasul SAW dan ulil
amri (pemeggang kekuasaan), mendamaikan konflik antar kelompok dalam
masyarakat islam, mempertahankan kedaulatan Negara dan larangan melakukan
agresi dan invasi, mementingkan perdamaian dari pada permusuhan,
meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan, menepati
janji dan beredarnya harta pada seluruh lapisan masyarakat.
Di dalam objek pembahasan politik islam meliputi: Siyasah dusturiyah
(hukum tata negara), Siyasah dauliyah (hukum internasional), Siasah maaliyah
(hukum yang mengatur pemasukan, pengelolahan dan pengeluaran uang milik
negara). Islam merupakan agama yang serba lengkap, selain mencakup persoalan
spiritual juga politik. Oleh karena itu, umat Islam melalui ajarannya telah
memberikan konstribusi yang dapat dikatakan cukup signifikan terhadap
kehidupan politik dunia internasional maupun nasional. Islam telah membentuk
Civic Culture, yaitu budaya bernegara yang meliputi solidaritas nasional, ideologi
jihad dan kontrol sosial.
3.2. SARAN
Semoga di masa depan sistem politik islam dapat lebih di pahami dan di
terapkan tidak hanya sebagai kover namun juga menjadi acuan dalam berpolitik
agar dalam berpolitik kita dapat sesuai ketentuan Allah swt. Umat Islam di
36
Indonesia seharusnya berani untuk mengambil alih pemerintahan sehingga nilai-
nilai Islam akan terwujud di masyarakat Indonesia sendiri.
37
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar Effendi. 1998. Islam dan Negara. Jakarta : Paramadina
Baiquni.2009.”Pemilihan Khalifah” https://baiquni337.wordpress.com/
2009/03/22/ pemilihan-khalifah-islam/.
Hamzah, Lukman.2012.” Sistem Pemilihan Khalifah”. Diambil dari
https://luqmanhamzah. wordpress.com/2012/06/15/sistem-pemilihan-
khalifah/.
Munawir, Sjadzali. 1990. Islam dan Tata Negara : ajaran, sejarah dan pemikiran.
Jakarta : UI-Press. Cet. Ke- II
Meutia.2010.http://meutzolkin.blogspot.com/2010/12/makalah-agama-tentang-
politik-islam.html (diakses tanggal 3 maret 2015)
Nurhasan, dkk. 2011. Buku Ajar Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
Agama Islam. Palembang : Unsri.
Suteja, Amar.2012.”Sistem Pemilihan Khilafah”. Diambil dari http://amarsuteja.
blogspot.com/2012/12/sistem-pemilihan-khilafah.html.
Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press. 1993
Syafie`ie, Inu Kencana. Ilmu Pemerintahan & Al-Quran. Jakarta: Bumi Aksara.
2004
Tahqiq, Nanang. Politik Islam. Jakarta: Prenada Media. 2004
Thaba,Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara. Jakarta : Gema Insani Press
38