[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 1
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada tuhan Yang Maha Esa karena
berkat-Nya Penulis, yang tergabung dalam Kelompok Rufus Taku Sanu, dapat
menyelesaikan Program Pendidikan dan Pelayanan Khusus di Pulau Palue
dalam rangka melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Universitas Indonesia tahun
2011 dan dapat menyelesaikan laporan ini sebagai bentuk tanggung jawab
atas program yang telah dilaksanakan.
Pendidikan dan pelayanan khusus adalah salah satu program
kelompok yang dibawakan dalam rangkaian kegiatan K2N UI 2011. Program
pendidikan dan pelayanan khusus ini ditujukan untuk orang atau anak-anak
berkebutuhan khusus yang selama ini di’nomor dua’kan di tengah-tengah
masyarakat Palue maupun hampir di seluruh tempat di Indonesia. Minimnya
fasilitas dan sumber daya manusia yang terdapat di Palue untuk menangani
anak-anak atau orang berkebutuhan khusus ini semakin menguatkan
motivasi untuk menjalankan program ini. Pasalnya, sekolah-sekolah dasar
yang terdapat di Palue tidak selamanya mau dan mampu menampung anak-
anak berkebutuhan khusus ini. Padahal hak-hak mereka untuk mendapatkan
pendidikan bahkan sudah diatur dalam konstitusi negara Indonesia, yaitu
Undang-Undang dasar 1945.
Memberikan pendidikan dan pelayanan kepada orang berkebutuhan
khusus tidaklah mudah. Program ini juga tidak dapat dilakukan dalam waktu
yang singkat. Sebelum berangkat ke Palue untuk mengemban misi ini, penulis
sempat bertandang ke salah satu sekolah luar biasa di daerah Depok, Jawa
Barat. Karena keterbatasan ilmu dalam menangani anak-anak atau orang
berkebutuhan khusus, para guru di SLB tersebut memberikan beberapa
metode yang dapat dipakai untuk mendidik dan melayani ABK. Salah satu
caranya adalah mengajari mereka bermain musik, yang secara langsung kami
lihat di sekolah tersebut bagaimana anak-anak tuna rungu memainkan alat
musik angklung. Semua latihan ini dilakukan dalam kurun waktu dua tahun.
Waktu satu bulan yang kami miliki harus disiasati dengan berbagai agenda
yang fleksibel dan efisien untuk dilaksanakan di Palue setibanya kami di
sana.
Laporan ini adalah rangkuman jalannya kegiatan K2N UI 2011 yang
telah dilaksanakan pada 20 Juni s.d. 26 Juli 2011, bertempat di Pulau Palue,
Kecamatan Palue, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Laporan ini
disusun atas beberapa hasil kajian selama satu minggu awal di Palue, data
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 2
lapangan yang diperoleh selama program berlangsung, kendala, serta
analisis-analisis yang digunakan untuk membedah data-data yang diperoleh.
Data-data yang dihimpun dan media pembelajaran dalam K2N UI
2011 ini berasal dari lima orang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang
bertempat tinggal di Desa Rokirole, sehingga sudah sepatutnya penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mereka, disertai
harapan agar program-program yang sudah dijalankan dapat berguna dan
terus berlanjut khususnya bagi kelima ABK dan masyarakat Palue pada
umumnya.
Pada kesempatan ini juga kami ingin mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada Panitia K2N UI 2011 dan berbagai pihak yang turut
membantu dalam pelaksanaan program-program ini, terutama warga Desa
Tuanggeo dan Rokirole yang telah mendukung, berpartisipasi, dan
meneruskan program-program kerja ini sehingga K2N UI 2011 di Pulau
Palue dapat berjalan dengan baik dari awal hingga akhir.
Akhir kata, kami menyadari bahwa penulisan laporan
pertanggungjawaban ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
membuka peluang untuk menerima kritik dan masuknya saran dari berbagai
pihak untuk perbaikan di masa mendatang. Terima kasih dan salam
sejahtera.
Depok, September 2011.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 3
BAB I PENDAHULUAN
I.1. GAMBARAN UMUM
Pulau Palue merupakan sebuah pulau yang berada di utara Pulau
Flores dengan luas wilayah 41 km2 dan wilayah perairannya 345.45 km2.
Palue merupakan sebuah kecamatan yang masuk dalam Kabupaten Sikka di
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terletak di sebelah barat Kabupaten Sikka ±
93 km dari Ibukota Maumere, dan merupakan sebuah pulau tropis yang
berada dalam sebuah gugusan kepulauan dalam perairan Lautan Flores,
berada dalam posisi geografis 8º 17’ 31,54-8º 21’15,65 lintang selatan dan
121º4’36,00 – 121º 44’47,03 Bujur Timur.
Gambar 1.1 Peta Pulau Palue (Sumber : http.www.kabsikka.co.id)
Keadaan tropografis sebagian bergunung-gunung dan berbukit-bukit
dengan tingkat kemiringan ± 70-80º, untuk topografi datarnya pada
umumnya terletak di daerah pantai, dan sedikit di daerah pegunungan
dengan persentase ±0,7 dari total keseluruhan luas daerah Kecamatan Palue.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 4
Kecamatan Palue beriklim tropis, suhu berkisar antara 27ºC-29ºC pada
musim panas suhu maksimum 29oC dan pada musim hujan 23,8ºC atau rata-
rata 27,2ºC, kelembaban udara rata-rata 78% pertahun. Kecepatan angin
pada musim panas 12-13 knots. Musim panas 7-8 bulan (April/Mei-
Oktober/November) dan musim hujan yang lebih dari 4 bulan (November-
Desember, Maret-April). Curah hujan pertahun antara 1.000 mm-1.500 mm,
dengan jumlah hari hujan sebesar 60-120 hari pertahun. Penggunaan tanah
di Kecamatan Palue didominasi lahan pertanian yaitu 1.703 ha, sedangkan
penggunaannya lainnya yaitu kawasan hutan dan gunung Rokatenda seluas
352 ha atau sekitar 8,94 %, semak belukar dan lereng atau perbukitan seluas
2.65 ha atau sekitar 66,28 %. Secara administrasi pemerintahan Kecamatan
Palue terdiri dari 8 buah desa dan 24 dusun.
Di Pulau Palue terdapat beberapa kelompok suku bangsa yang
tersebar dari berbagai wilayah yang ada di sekitarnya. Adapun bebrapa
kelompok suku bangsa itu terdiri dari, Suku bangsa Maung, Muhang, Sikka, .
Suku bangsa Maung merupakan penduduk asli wilayah kabupaten Ngada,
provinsi NTT dengan bahasa kelompoknya yang disebut Ngada-Lio termasuk
ke dalam rumpun bahasa Bima-Sumba. Kemudian Suku bangsa Muhang yang
merupakan penduduk asal dalam wilayah kabupaten Sikka dengan
bahasanya yang disebut bahasa Muhang tergolong ke dalam rumpun bahasa
Ambon Timur. Suku bangsa selanjutnya adalah Sikka merupakan penduduk
asli dari dalam kabupaten Sikka yang berasal dari kata sikh yakni nama
sebuah kelompok yang terdapat di India.
I.2. POTENSI WILAYAH
a. Sumber Daya manusia
Berdasarkan sensus penduduk 2011, penduduk Kecamatan Palue
berjumlah 9939 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,25%.
Mayoritas penduduk Pulau Palue berada pada garis kemiskinan. Menurut
data dari Pemerintahan Kabupaten Sikka Kecamatan Palue, jumlah Kepala
Keluarga (KK) miskin sebanyak 1996 KK dari 2691 KK. Dapat dikatakan
pulau ini merupakan pulau yang tertinggal atau orang Palue biasa
mengatakan “Pulau yang Terlupakan”. Tingkat pendidikan pada tahun 2010
didominasi tidak tamat SD sebesar 23%, tamat SD sebesar 10,18%, tamat
SLTP sebesar 3,25%, tamat SLTA sebesar 1.6%, dan tamat PT/Akademi
0,38%. Jumlah sarana pendidikan sebanyak 12 unit meliputi SD sebanyak 10
unit dan SLTP sebanyak 2 unit. Puskesmas sebanyak 2 unit.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 5
b. Sumber Daya Alam
Pada sub sektor pertanian, Kecamatan Palue memiliki lahan kering
yang potensial, yang cukup subur karena merupakan jenis tanah vulkanik.
Pertanian seluas 1.078,21 ha atau 21,10%. Secara umum, petani Kecamatan
palue adalah petani subsistem yakni mengerjakan jenis tanaman umbi-
umbian, kacang-kacangan dan jagung, untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Sub sektor perkebunan seluas 2.267, 32 ha atau 57,99% terdiri dari kelapa,
kakao, dan mete. Sektor perternakan yang dominan di Kecamatan Palue
adalah kambing, babi, ayam, dan anjing. Sub sektor perikanan di Kecamatan
Palue belum dikelola secara maksimal. Nelayan Palue masih menggunakan
alat tangkapnya yang sederhana seperti pukat, pancing bahkan sebagian
masih menggunakan alat tangkap tradisional seperti bubu. Cara-cara
tersebut yang kemudian mempengaruhi jumlah hasil tangkapnya. Potensi
wisata di Kecamatan Palue dibedakan atas 2 yaitu: wisata alam dan wisata
budaya. Untuk wisata alam seperti, sumber air panas di Desa Kesokoja,
Rokirole, Nitunglea dan Reruwairere, juga potensi bahari di perairan seputar
Pulau Palue. Sedangkan wisata Budaya seperti Pati Karapau, yang terdapat di
Desa Nitunglea, Rokirole, Tuanggeo, dan Ladolaka, yaitu upacara
pemotongan hewan kurban berupa kerbau arwah leluhur yang terjadi pada
ritus lima tahunan, dan upacara Tu Teu atau usir tikus, yang terjadi di Desa
Maruriwu dan Reruwairere. Wisata alam seperti yang kami sampaikan di
atas dapat dijelaskan sesuai spesifikasi sebagai Gunung Api Rokatenda,
penyulingan uap bumi di Desa Reruwairere, mata air panas dan pantai pasir
putih.
I.3. SARANA DAN PRASARANA
Selain fasilitas pendidikan dan kesehatan yang telah disampaikan,
terdapat pula beberapa fasilitas lainnya seperti fasilitas peribadatan. Fasilitas
peribadatan yang ada di kecamataan Palue antara lain dua buah Gereja dan
tiga buah Kapela, seluruh masyarakat Kecamatan Palue 100% Katolik, yang
tersebar di dua paroki yaitu Paroki Keluarga Kudus Lei dan Paroki Ave Maria
Bintang Laut Uwa, yang akan merayakan pesta usia emasnya pada tahun
2012 mendatang. Fasilitas Perekomomian masyarakat Palue dari luar Palue
(Pasar Ropa, Kecamatan Maurole Kabupaten Ende) yang berlangsung setiap
Rabu atau dari Kota Maumere melalui pengangkutan kapal motor. Ada dua
pasar desa yaitu Pasar Desa Reruwairere dan Pasar Desa Tuanggeo yang
terjadi pada hari Sabtu, keberadaan pasar ini belum terlalu nampak
aktivitasnnya. Fasilitas perkantoran dimaksudkan untuk memberikan
pelayanan bagi kepentingan masyarakat Palue, antara lain berupa kantor
pemerintahan seperti kantor camat, kantor kepala desa, dan pos polisi.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 6
Bagunan rumah yang ada di Kecamatan Palue s.d. tahun 2011 berjumlah
2.497 buah yang terdiri dari 281 atau 11,67% rumah permanen, 673 unit
atau 23,51% rumah semi permanen dan sisanya 1.543 atau 64,52% rumah
temporer.
I.4. FASILITAS UMUM
Kebutuhan air bersih untuk keperluan masyarakat palue diperoleh
dari PAH (Penampung Air Hujan) yang ada pada masing-masing rumah.
Keberadaan PAH ini sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan air
bersih masyarakat. Jumlah PAH yang ada di Kecamatan Palue sampai dengan
tahun 2009 berjumlah 795 buah yang tersebar di seluruh Desa yang ada di
Kecamatan Palue. Pemenuhan kebutuhan daya listrik penduduk Kecamatan
Palue diperoleh dari tenaga generator yang menggunakan bahan bakar
minyak bumi berupa solar dan panel surya. Panel surya diperkenalkan di
Kecamatan Palue pada tahun 1999 untuk desa Nitunglea sebanyak 100
rumah tangga dan pada tahun 2003 dilanjutkan pada desa-desa lain yakni
Desa Maluriwu 401 KK, Desa Tuanggeo 301 KK, Desa Rokirole 225 KK, Desa
Nitunglea 204 KK, Desa Kesokoja 219 KK, dan Desa Lidi 193 KK. Untuk
fasilitas telekomunikasi telah ada tiang pemancar sinyal, namun belum
menjangkau seluruh desa, baru dua desa yang terjangkau. Sedangkan
transportasinya, jaringan transportasi darat yang ada di Kecamatan Palue
adalah jalan desa. Mobilisasi masyarakat mengunakan kendaraan roda dua.
Sarana transportasi laut adalah kapal motor, sebanyak ±10 unit yang
melayani jasa angkutan dari Palue ke Maumere maupun sebaliknya.
I.5. PERMASALAHAN
Permasalahan-permasalah saat ini yang dialami tiap sektor di
Kecamatan Palue seperti aksesbilitas ke kota Maumere sebagai ibukota
Kabupatren Sikka masih rendah hal ini dikarenakan kapal/perahu motor
terbatas, kapal/perahu motor dengan fasilitas tidak memadai dan motor
yang belum layak untuk mengangkut penumpang karena fasilitas yang tidak
memadai. Aksesbilitas antar desa belum dibangun infrastruktur jalan, jalan
yang dibangun baru enam desa, dua desa belum dibangun. Dibidang
pendidikan angka drop out sebesar 3, 17% dan mengulang kelas atau tinggal
kelas 5,9 %. Selain itu jumlah tenaga guru PNS maupun bukan PNS sangat
tidak memadai. Selain itu prasarana sekolah seperti buku pegangan siswa,
ruang perpustakaan masih kurang pula. Di bidang kesehatan, cakupan
pelayanan Kesehatan Ibu Bayi dan Balita dan pelayanan imunisasi masih
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 7
kurang, polindes tidak memiliki tenaga kesehatan, status gizi buruk dan gizi
kurang masih tinggi serta jenis penyakit menular seperti kusta dan frambusia
masih ada untuk Kecamatan Palue. Potensi laut belum dimanfaatkan secara
maksimal karena pengetahuan dan keterampilan nelayan masih rendah serta
fasilitas penangkapan masih kurang. Di bidang pertanian, produksi pertanian
masih rendah karena luas kepemilikan lahan rata-rata 0,20 ha serta topografi
yang relatif terjal sehingga usaha pertanian pangan menjadi tidak efisien.
Dalam kualitas SDM, masih banyak pengangguran serta motivasi dan etos
kerja rendah. Sehingga akumulasi dari permasalahan di atas menyebabkan
kemiskinan.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 8
BAB II DESKRIPSI PROGRAM
II.1. PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELAYANAN KHUSUS
Sejalan dengan tujuan Bangsa Indonesia yang tertuang dalam Alinea
keempat Undang-Undang Dasar 1945 mengenai memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam pelaksanaan visi ini,
diharapkan setiap individu yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI)
dapat menikmati terlaksananya pembangunan dan memberikan kontribusi
positif bagi pembangunan itu sendiri. Pembangunan tidak hanya dinikmati
bagi kelompok tertentu saja, namun diharapkan dapat menjangkau setiap
pihak, baik yang berkecukupan maupun tidak, yang berada di pusat ataupun
di daerah, tanpa memandang perbedaan-perbedaan yang ada dengan
berasaskan kesetaraan.
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat vital dan begitu erat
kaitannya dengan pembangunan serta visi yang ingin dicapai, karena dengan
pendidikanlah kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan, dan dengan
sumber daya manusia yang berkualitaslah suatu bangsa dapat melakukan
pembangunannya dengan maksimal dan merata. Pendidikan adalah usaha
sadar dan sistematis untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik (Prof.
Imam Barnadib, 1998). John Dewey menyata-kan bahwa tujuan pendidikan
sebagai suatu tempat untuk mendapatkan content knowledge dan sebagai
tempat untuk belajar bagaimana untuk hidup. Tujuan dari pendidikan
seharusnya tidak berkisar diantara penguasaan seperangkat kemampuan
yang telah ditentukan terlebih dahulu, tetapi lebih kepada realisasi potensi
sepenuhnya dari seseorang dan kemampuan untuk menggunakan skill
tersebut untuk kebaikan yang lebih besar. Untuk menyiapkan seorang murid
bagi kehidupan di masa depan berarti memberikan kepada dirinya komando
atas dirinya sendiri, yang berarti pula untuk melatihnya sehingga ia akan
memiliki kemampuan sepenuhnya atas kapasitasnya dan siap untuk
menggunakannya (Dewey, 1897).
Dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945 pun telah menjamin setiap warga
negara untuk mendapatkan pendidikan. Pemerataan akses terhadap
pendidikan merupakan suatu hal yang hingga saat ini masih terus menerus
diperjuangkan oleh Pemerintah, dan pemerataan terhadap pendidikan
merupakan hak dari setiap warga negara Indonesia, baik di pusat keramaian
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 9
maupun area yang terpencil, baik muda maupun dewasa, dan terutama baik
berkebutuhan khusus maupun normal.
Program pendidikan dan pelayanan khusus ini merupakan salah satu
program yang direncanakan untuk dapat diterapkan di dalam masyarakat
pada kegiatan K2N (Kuliah Kerja Nyata) UI tahun 2011. Program ini
ditujukan kepada orang-orang berkebutuhan khusus yang memiliki
keterbatasan untuk memperoleh akses pendidikan pada khususnya dan
kegiatan sehari-hari layaknya manusia normal pada umumnya. Anak
berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada
ketidakmampuan mental, emosi atau fisik (Mulyono, 1999). Anak dengan
kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami
kelainan/penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional)
dalam proses pertumbuh-kembangannya dibandingkan dengan anak-anak
lain yang seusia sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus
(Delphie, 2006).
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada
ketidakmampuan mental, emosi atau fisik1. Anak dengan kebutuhan khusus
adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan
(fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional) dalam proses
pertumbuhkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia
sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus2.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk
menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya
kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Karena karakteristik dan
hambatan yang dimiliki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan
khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka,
contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan
menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa
isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa
(SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing.SLB bagian A untuk
tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita,
1Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta.), hal 45.
2Delphie dan Bandi. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, (Bandung: Refika Aditama. 2006), hal 73.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 10
SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian
G untuk cacat ganda3.
Pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus membutuhkan suatu
strategi tersendiri sesuai dengan kebutuhan masing – masing.Dalam
penyusunan progam pembelajaran untuk setiap bidang studi hendaknya
guru kelas sudah memiliki data pribadi setiap peserta didiknya.Data pribadi
yakni berkaitan dengan karateristik spesifik, kemampuan dan kelemahannya,
kompetensi yang dimiliki, dan tingkat perkembanganya. Karakteristik
spesifik dari anak berkebutuhan khusus pada umumnya berkaitan dengan
tingkat perkembangan fungsional .Karakteristik spesifik tersebut meliputi
tingkat perkembangan sensoris motor, kognitif, kemampuan berbahasa,
keterampilan diri, konsep diri, kemampuan berinteraksi sosial serta
kreativitasnya.4
Untuk mengetahui secara jelas tentang karakteristik dari setiap siswa,
terlebih dahulu dilakukan skrining atau asessmentagar mengetahui secara
jelas mengenai kompetensi diri peserta didik bersangkutan. Tujuannya agar
saat melakukan program pembelajaran sudah dipikirkan mengenai bentuk
strategi pembelajaran yang di anggap cocok. Asessment di sini adalah proses
kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik
dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial, melalui
pengamatan yang sensitif. Kegiatan ini biasanya memerlukan penggunaan
pelayanan khusus.
II.2 PERENCANAAN PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS
Dalam tahap perencanaan yang akan dilakukan dalam menjalankan
program pendidikan dan pelayanan khusus, kegiatan observasi selama satu
minggu untuk beradaptasi dan melihat gambaran umum yang terkait dengan
pelaksanaan program ini. Lebih spesifik, hal ini terkait dengan:
1. menentukan dan mendata peserta yang relevan untuk ikut serta dalam
kegiatan ini;
2. menemukan karakteristik peserta dan permasalahan-permasalahan yang
ada baik secara kelompok maupun secara individu;
3Frieda Mangunsong. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus,(Jakarta : LPSP3 UI.2006), hal 128-145.
4Frieda Mangunsong. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus,(Jakarta : LPSP3 UI.2006), hal 128-145.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 11
3. menentukan kemampuan peserta dan hambatnnya pada awal program
sebagai tolok ukur;
4. menentukan sosok atau tokoh kunci untuk dijadikan kader seperti, orang
tua, keluarga, dan warga sekitarnya;
5. adaptasi teknis;
6. menentukan tempat yang memungkinkan untuk pelaksanaan program.
Observasi dilakukan dengan mendatangi rumah-rumah warga,
berkunjung, bertanya, dan bekerjasama dengan pemerintah setempat dan
tokoh-tokoh yang dituakan dalam masyarakat, mencoba untuk masuk dan
berinteraksi dengan masyarakat yang merupakan sasaran pendidikan dan
pelayanan khusus.
Waktu pelaksanaan observasi ini adalah minggu pertama dari
keseluruhan periode program (sekitar tanggal 20 Juni s.d. 3 Juli 2011).
Seandainya ditemukan masyarakat yang membutuhkan pelayanan
pendidikan khusus setelah minggu pertama dan kedua tidak menutup
kemungkinan, masyarakat tersebut tetap dilayani sebagai peserta.
Dengan strategi sosialisasi dilakukan dengan melihat adanya dua
kemungkinan, yaitu berkoordinasi dengan sekolah yang ada, pemerintah
desa setempat, tokoh adat, dan/atau mengunjungi dari rumah ke rumah
untuk mencari tahu peserta pendidikan dan pelayanan khusus. Sosialisasi
dilakukan pada saat assessment, yaitu pada satu minggu pertama kehadiran
Peserta K2N di Pulau Palue. Sosialisasi juga tetap dilakukan tanpa menutup
kemungkinan dilakukan sepanjang program K2N berlangsung sambil
program kelompok pendidikan dan pelayanan khusus tetap berlangsung.
Tujuan dari pelaksanaan program pendidikan dan pelayanan khusus
ini adalah:
1. Meningkatkan kepercayaan diri anak-anak berkebutuhan khusus di
Pulau Palue;
2. Membiasakan anak-anak berkebutuhan khusus Pulau Palue
mengekspresikan pemikiran dan harapannya dalam bentuk-bentuk
yang dimengerti oleh orang-orang awam;
3. Memperkenalkan dan mengakrabkan penggunaan metode-metode
pelayanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus; serta
4. Melakukan kaderisasi dan meningkatkan kesadaran keluarga tentang
pentingnya pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 12
II.3. PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS
Berdasarkan penjelasan pada gambaran umum mengenai program
pendidikan dan pelayanan khusus, program dimulai dengan melakukan
assessment sepanjang waktu keberadaan kelompok di pulau Palue,
menentukan sasaran yang dapat memperoleh akses dalam program,
menentukan jadwal pelaksanaan program, dan membentuk kaderisasi
program.
Teknis pelaksanaan program, pada minggu pertama kedatangan
kelompok di Pulau Palue tanggal 22-26 Juni dilakukan pengkajian awal
dengan menggunakan metode pengamatan dan mencari data sekunder baik
melalui kunjungan ke rumah kepala desa dimana kami tinggal, juga
berkunjung langsung ke rumah sasaran dari program untuk dapat melihat
secara nyata kondisi dan keadaan dari sasaran program. Pada minggu
pertama (berkisar tanggal 23-26 Juli) dilakukan di Desa Tuanggeo, hasil dari
pengkajian ini didapatkan tiga orang berkebutuhan khusus yang dapat
dijadikan sebagai sasaran dalam program. Dua dari tiga orang berkebutuhan
khusus sudah lanjut usia dan keseharian mereka disibukkan dengan kegiatan
berkebun dari pagi hingga petang. Sedangkan pada malam harinya dijadikan
sebagai waktu mereka untuk istirahat tidur. Hal ini yang membuat kelompok
cukup sulit untuk menerapkan program pada kedua orang berkebutuhan
khusus yang sudah lanjut usia tersebut. Sedangkan yang satunya lagi
bernama Monalisa, perempuan usia 14 tahun ini mengalami kelainan mental
atau dapat diklasifikasikan ke dalam tuna grahita. Pertemuan pada Monalisa
dilakukan dua kali yakni, pada hari sabtu, 25 Juni 2011 dan hari Senin, 27
Juni 2011. Dari hasil yang diperoleh kelompok dalam memberikan
pendidikan dan pelayanan khusus pada Monalisa, kelompok tidak
menemukan perubahan atau perkembangan. Hal ini dikarenakan kelainan
pada diri Mona yang sudah sangat parah sehingga dirasa oleh kelompok
cukup sulit untuk memperoleh hasil yang memuaskan dari pengaplikasian
program pada Monalisa. Selain itu, dikarenakan faktor keahlian dari setiap
anggota kelompok tidak ada yang berbasis pada penanganan anak
berkebutuhan khusus dan faktor waktu karena dalam menangani kasus
seperti Monalisa ini dibutuhkan pendampingan yang cukup lama dan waktu
yang sangat banyak. Sedangkan ada program-program K2N UI 2011 lainnya
yang harus dijalankan sehingga kelompok memilih untuk melanjutkan
assessment dan mencari orang berkebutuhan khusus lainnya.
Pada minggu kedua, pengkajian kembali dilakukan dengan tujuan
Desa terdekat dari Desa Tuanggeo (tempat tinggal kelompok) yakni Desa
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 13
Rokirole. Dengan menggunakan metode yang sama, kelompok mendapatkan
kurang lebih 33 orang berkebutuhan khusus di Desa itu (data terlampir).
Dari hasil data assessment yang diperoleh dari Desa Rokirole, kelompok
mulai menentukan orang yang menjadi sasaran untuk memperoleh akses
program. Dari hasil assessment yang sudah dilakukan, akhirnya kelompok
memutuskan dengan menentukan orang yang menjadi sasaran dalam
program berupa 1 orang berkebutuhan khusus ditangani oleh 1 anggota
kelompok sehingga didapatkan 5 orang berkebutuhan khusus berdasarkan
jumlah anggota dalam kelompok. Untuk dapat melaksanakan dengan baik
antara program pendidikan dan pelayanan khusus dengan program rutin
yang sudah dibentuk selama di Pulau Palue, kelompok mulai membentuk
kesepakatan dan melakukan sinkronisasi jadwal. Dari hasil kesepakatan yang
diperoleh, waktu pendidikan dan pelayanan khusus dilakukan setiap hari
senin dan rabu. Kemudian untuk indikator orang yang menjadi sasaran
dalam program sebagai berikut :
Anak Usia 5-20 tahun yang berkebutuhan khusus seperti, tunarungu,
tunawicara, dan tunagrahita
Karena jumlah sumber daya manusia dalam kelompok dan waktu
pelaksanaan program yang terbatas, ditentukan penanganan hanya
kepada 5 ABK yang ada di Desa Rokirole.
Dalam pelaksanaan program pendidikan dan pelayanan khusus, di
pertemuan akhir pelaksanaan program pendidikan dan pelayanan khusus
masing-masing ABK yang ditangani dan diketahui oleh calon kader dari
masing-masing ABK kelompok akan
memberikan benda kenang-kenangan
berupa alat tulis seperti, Buku, pulpen,
pensil, spidol, penghapus, dan topi K2N
UI 2011 kepada kelima ABK berdasarkan
kesepakatan kelompok yang sudah
direncanakan untuk diberikan. Dan
adapun teknis pelaksanaan program di
lapangan untuk orang berkebutuhan
khusus yang menjadi sasaran dalam
program pendidikan dan pelayanan
khusus terdiri dari:
1. Laurensius Laju Pio
Laurensius Laju Pio atau sering
dipanggil dengan nama Laju adalah Gambar 2.1 Foto Diri Laurensius Lajupio (Sumber : doc. Kelompok rufus taku , 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 14
anak 11 tahun yang kita layani. lahir di kampung Ngaruh, Dusun Cawalo,
Desa Rokirole. Laju tinggal bersama Neneknya sejak dia lahir.Orang tua Laju
pergi untuk merantau ke negeri Malaysia sebagai tenaga kerja upahan di
negeri tersebut.Sehingga Nampak jelas sekali Laju dan Neneknya memiliki
hubungan yang sangat dekat layaknya hubungan seorang ibu dan anaknya.
Selain itu orang-orang di lingkungan laju dapat menerima keadaan Laju, ini
terlihat dengan penerimaan yang hangat dari masyarakat sekitar Laju
selama proses pelaksanaan pendidikan dan pelayanan khusus. Berdasarkan
informasi yang didapatkan dari warga sekitar, kebutuhan khusus Laju telah
muncul sejak lahir .Observasi awal dilakukan oleh Anju Hasiholan dan
Margaretha Quina di desa Rokirole. Anggota kelompok mendatangi kantor
kepala desa Rokirole. Data yang
didapatkan anggota kelompok sangat
mengejutkan dikarenakan Orang
Berkebutuhan Khusus yang tinggal di
desa Rokirole berjumlah 33 orang yang
terdiri dari berbagai usia. Dari hasil
assessment yang dilakukan usia
termuda yang didapatkan adalah tujuh
tahun dan yang tertua adalah 50an
tahun. Karena target awal yang akan
dilayani adalah anak berkebutuhan
khusus dengan rentangan usia 6 sampai
18 tahun, dilakukan observasi lanjutan
dengan mengobservasi anak
berkebutuhan khusus dari usia anak
yang telah tentukan. Metode
observasi yang dilakukan adalah
kelompok dengan mendapatkan data
dari orang-orang yang ada di
lingkungan sekitar Laju Pio yang
dilakukan pada hari Rabu tanggal 29
Juni 2011. Dari hasil observasi awal didapatkan bahwasannya Laju Pio
memiliki keterbutuhan khusus berupa retardasi mental atau tuna
grahita.Tunagrahita merupakan kata lain dari retardasi mental yang berarti
keterbelakangan mental. Suatu batasan yang dikemukakan oleh AAMR
(American Association Mental Retardation) menjelaskan bahwa
keterbelakangan mental menunjukan adanya keterbatasan yang signifikan
dalam berfungsi, baik secara intelektual maupun prilaku adaktif yang
Gambar 2.2 Laju Pio dan neneknya (Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu,2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 15
terwujud melalui kemampuan adatif konseptual, sosial, dan praktikal.
Keadaan ini muncul sebelum usia 18 tahun5.
Ada dua poin penting dalam pernyataan tersebut yaitu bahwa
keterbelakangan mental mencangkup tidak hanya fungsi intelektual
melainkan juga tingkah laku adaptif, Serta bagaimana keduanya masih dapat
dikembangkan pada seseorang dengan keterbelakangan mental.Perlu
diketahui juga, bahwa fungsi intelektual ditentukan melalui tes intelegensi
yang menunjukan pada kemampuan yang berhubungan dengan kinerja
konseptual, sosial, dan praktikal yang dipelajari seseorang untuk dapat
berfungsi dalam kehidupannya sehari-hari6. Sebagaimana ketunaan yang
lain, para ahli juga mengklasifikasikan anak tunagrahita berdasarkan tingkat
keparahan masalahnya.
The American Phychological Association (APA), misalnya, membuat
klasifikasi anak tunagrahita yaitu ringan, sedang, berat, dan sangat berat7.
Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tingkat kecerdasan yaitu untuk anak
tunagrahita digolongkan kedalam Ringanmemiliki rentangan IQ 55-70,
Menengah 40-55, Berat 22-40, dan Sangat Berat di bawah 25. Dalam
perkembangannya, penggolongan tidak berdasarkan sekor IQ saja tetapi juga
berdasarkan seberapa besar dukungan/bimbingan yang diperlukan oleh
anak tunagrahita. Tampaknya klasifikasi ini dianggap lebih berarti bagi anak
tunagrahita, karena anak yang mengalami keterbelakangan mental ternyata
dapat menunjukan beberapa kemajuan melalui dukungan maupun
bimbingan yang tepat. Berdasarkan beberapa klasifikasi, tampak bahwa
semakin rendah tingkat kecerdasan anak tunagrahita, maka bimbingan
maupun pendampingan yang diperlukan juga semakin besar.
Dari hasil observasi dan berdasarkan penggolongan tadi walaupun
tidak dilakukan pengukuran IQ secara kuantitatif namun dengan
mengunakan ciri-ciri yang dilihat dari Laju, ia dapat digolongan kedalam
kelasmenengah. Anak-anak golongan menengah menampakan kelainan fisik
yang merupakan gejala bawaan, namun kelainan fisik tersebut tidak seberat
yang dialami anak-anak pada kategori beratdansangat berat. Seringkali
mereka juga mereka memiliki koordinasi fisik yang buruk dan akan
mengalami masalah banyak di situasi social.8 Mereka juga menampakan
5Hallahan D.P dan Kauffman, J.M, Exceptional children : Introduction to special education. 6 th Ed, (Boston : Allyn & Bacon, 1994), hal 76.
6Hallahan D.P. dan Kauffman J.M, Exeptional learner : An introduction to special education. 10 th Ed. (USA : Pearson Education, Inc, 2006), hal 136.
7Hallahan D.P. dan Kauffman J.M, Ibid., hal 137.
8Hallahan D.P dan Kauffman, Op.cit., hal 76.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 16
adanya gangguan pada fungsi bicaranya. Defisit yang dialami anak
tunagrahita mencangkup beberapa area utama yaitu atensi (perhatian)
sangat diperlukan dalam proses belajar. Dari keterangan literatur
diatasseperti kebanyakan anak Tunagrahita diikuti dengan cacat fisik seperti
terhambatnya perkembangan tangan dan kaki serta penampakkan wajah
tidak simetris dan sering kali mengeluarkan air liur. Dari komunikasi awal
didapatkan hasil yang cukup baik. Laju dapat berkomunikasi dengan baik
dandapat dengan dua arah, namun karena Laju hanya dapat berkomunikasi
dengan bahasa Palue (bahasa daerah) setempatdikarenakan Lajutidak dapat
berbahasa Indonesia. Komunikasi kebanyakan dibantu oleh orang-orang
disekitar Laju seperti tante, nenek dan ibu-ibu penenun kain yang ada
disekitaran rumah Laju. Berdasarkan literaturkaraktersistik anak cacat
mental menegah adalah mereka digolongkan sebagai anak yang mampu latih,
dimana dapat dilatih untuk beberapa keterampilaan tertentu. Meski sering
kali berespon lama terhadap pendidikan dan pelatihan tertentu, jika diberi
kesempatan pendidikan yang sesuai Laju Pio dapat dididik untuk melakukan
pekerjaan yang membutuhkan kemampuan-kemampuan tertentu.9 Laju Pio
dapat dilatih untuk mengurus dirinya serta dilatih beberapa kemampuan
membaca (melafalkan alphabet A, B, dan C) dan menulis sederhana seperti
membuat garis dan pola tertentu.Mereka memiliki kekurangan dalam
kemampuan untuk mengingat, menggeneralisasi, bahasa, konseptual, dan
kreativitas, sehingga perlu diberikan tugas yang sederhana singkat,
berurutan, dan dibuat untuk keberhasilan mereka.10
Adapun
pelaksanaan program
dilakukan sebanyak enam
kali pertemuan pada hari
Senin dan Rabu yaitu pada
tanggal 4 Juli 2011, 6 Juli
2011, 11 Juli 2011, 13 Juli
2011, 18 Juli 2011 dan 21
Juli 2011.
Senin, 4 Juli 2011
Pertemuan pertama
dan Pendidikan dan
Pelayanan Khusus bagi
9Hasson & Aller,Journal of Shellfish research.(Chicago : University of Chicago, 1992), hal 165.
10Hasson & Aller, Ibid., hal 166.
Gambar 2.3 Buku pelajaran dan coretan-coretan Laju Pio dalam proses pembelajaran
(Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 17
Laju dilakukan pada pukul 10.00 sampai 12.00 WITA.Pendidikan pertama
yang dilakukan adalah melakukan assessment lanjutan dan membuat
komunikasi awalan yang baik dengan laju pio.Metode pendidikan yang
digunakan adalah belajar sambil bermain. Dengan pembelajaran ini
diharapkan tujuan dari pendidikan khusus ini dapat tercapai dan mengingat
anak dengan berkebutuhan khusus yang dilayani menurut literatur memiliki
konsentrasi belajar yang rendah sehingga jika diterapkan pembelajaran
anak-anak normal lainya sepertinya akan sangat sulit diterima oleh peserta
didik. Pada pertemuan pertama ini juga melakukan assessment lanjutan
untuk mengetahui metode pembelajaran apa yang dapat diterapkan kepada
Laju, tentunya disesuaikan dengan kapasitas guru yang mendampingi.
Rabu, 6 Juli 2011
Pada pertemuan kedua ini pendidikan yang dilakukan kepada Laju
adalah Membuat garis lurus, lengkung, lingkaran, segitiga dan segi
panjang.Selain itu pada pertemuan ini juga diperkenalkan huruf A, B, C, D, E,
O, dan I serta melatih gerakan tangan dengan tujuan untuk meningkatan
kemampuan motorik Laju. Pertemuan kedua ini dilakukan selama 2 jam dan
dibagi menjadi beberapa sesi, mengingat konsentrasi Laju rata-rata hanya
bertahan selama 15 menit. Dari evaluasi yang didapatkan untuk
pembelajaran hari ini dapat dikatakan bahwasannya Laju belum mengenal
huruf-huruf dasar diatas serta dalam membuat garis lurus masih mengalami
kesulitan, namun daya tangkap Laju lumayan baik, dia dapat mengulang
huruf maupun garis yang telah
dikatakan sebelumnya.Dalam
pembelajaran juga diselingi dengan
nyanyian atau musik-musik
sederhana yang dihasilkan dari
benda-benda sekitar seperti kayu,
besi, atau suara dari handphone.Dari
sini diketahui Laju dapat dibantu
dengan stimulus musik atau lagu
sehingga dapat meningkatkan
konsentrasi dalam mengikuti
pembelajaran.
Senin, 11 Juli 2011
Pada pertemuan ketiga ini
direncanakan akan melanjutkan
pembelajaran yang telah dilakukan.
Kali ini Laju pio hanya dilayani oleh
satu guru, tidak seperti biasa
Gambar 2.4 Laju Pio dimandikan oleh anggota kelompok
(Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 18
dikarenakan salah satu guru berhalangan hadir.Kegiatan pertama yang
dilakukan adalah melakukan kebersihan diri yaitu mandi.Laju untuk kegiatan
ini harus dibantu karena secara fisik sulit untuk melakukannya
sendiri.Selanjutnya dilanjutkan dengan pembelajaran huruf dan membuat
garis, melanjutkan pertemuan yang terdahulu serta melakukan gerakan
senam tangan untuk meningkatkan kemampuan motorik.Pada pertemuan ini
juga telah tampak kemampuan motorik Laju semakin baik dengan ditandai
dengan kemampuan laju dalam membuat garis lurus dan bentuk sederhana
semakin baik. Karena dalam pendidikan dan pelayanan khusus dialokasikan
hanya dua kali dalam seminggu, sehingga untuk itu peranan orang-orang
disekitar laju untuk melatih gerakan tangan dan latihan mengenal huruf agar
dilakukan setiap hari sehingga dapat mempercepat dan mendukung proses
pembelajaran. Namun dalam pertemuan ini dipertengahan proses
pembelajaran, tiba-tiba Laju enggan untuk melanjutkan pembelajaran. Telah
dilakukan berbagai macam cara agar laju dapat melanjutkan pembelajaran,
namun tepat saja, Laju enggan untuk melanjutkan proses pembelajaran. Dari
evaluasi pembelaran ini Pendidik merasa kesulitan dalam menjaga
konsentrasi belajar Laju yang mudah sekali terpecah, terutama dalam
memberikan arahan bahan ajar, apa lagi dalam pertemuan sebelumnya laju
dilayani oleh dua orang guru. Untuk evaluasi hari ini laju sebaiknnya dilayani
oleh dua guru untuk menjaga konsentrasi Laju agar tidak mudah terpecah
dan memberikan arahan pembelajaran.
Rabu, 13 Juli 2011
Pada pertemuan
selanjutnya dilakukan
kegiatan alphabet, latihan
motorik dan pengenalan
akan lingkungan sekitar.
Pada kegiatan alphabet
pendidik merasa sangat
senang karena terdapat
kemajuan yang cukup baik
dari Laju sendiri, dia dapat
mengingat huruf dari A
sampai E, kemampuan
motoriknya juga
berkembang dengan baik,
perkembangan ini
ditandai dengan Laju dapat
membuat garis lurus secara konstan dan konsisten serta membuat bentuk
Gambar 2.5 Laju Pio sedang berlatih motorik bersama anggota kelompok (Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 19
yang sederhana. Perkembangan ini terjadi karena ada bantuan dari nenek
dan orang sekitar untuk melakukan kegiatan yang kita lakukan seperti
mengajarkan huruf A sampai E dan melakukan senam tangan, yang kita
rasakan saya berperan dalam kemajuan kemampuan dari Laju. Pembelajaran
selanjutnya dilakukan pembelajaran pengenalan lingkungan seperti kita
membawa alat atau benda peraga, video, dan gambar sehingga laju dapat
mengetahui nama-nama benda yang terdapat di lingkungannya.Benda-benda
itu seperti hewan-hewan, batu,bunga, gunung, lautan, dll. Kita berharap
dengan kita melakukan kegiatan diatas dapat meningkatkan sense dari Laju
akan lingkungan sekitarnya dan diharapkan dapat meningkatkan kemajuan
dari pendidikan khusus ini. Secara umum dari evaluasi hari ini terjadi
kemajuan yang berarti dan ini membuat kita sebagai guru menjadi sangat
senang dan berharap dengan adanya program pelayanan khusus ini dapat
berguna untuk Laju kelak.
Senin, 18 Juli 2011
Pertemuan ini merupakan pertemuan terakhir kegiatan pembelajaran
untuk Laju pio mengingat peserta K2N UI Palue harus meninggalkan pulau
Palue pada tanggal 22 Juli.Pertemuan ini menitik beratkan pada pelatihan
Kaderisasi yang telah ditetapkan
sebelumnya yaitu nenek dan orang-orang
disekitar Laju Pio.Kelompok Pendidikan
dan Pelayanan Khusus memberikan
pelatihan bagaimana mengajarkan Laju
dengan berbagai media yang efektif dan
sederhana sehingga pendidikan Laju
tidak terhenti setelah kepergian kami
dari Pulau Palue.Dalam pertemuan ini
juga kita memberikan semangat kepada
orang-orang disekitar Laju bahwasannya
kesempatan Laju untuk sukses sangat
terbuka luas, karena banyak orang-orang
yang memiliki keterbatasan fisik dan
mental dapat eksis dan memberikan
teladan kepada orang banyak. Dalam
pembelajaran ini juga dilakukan
pengulangan bahan ajar yang diberikan
kepada Laju Pio.
Kamis, 21 Juli 2011
Hari ini merupakan kunjungan terakhir ke rumah Laju Pio. Hal yang
dilakukan adalah pesan terkhir kepada Laju dan Kader (Nenek Laju) dan
Gambar 2.6 Buku pelajaran dan isinya yang dibuat oleh Laju Pio
(Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu ,2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 20
pemberian kenang-kenangan.Kenangan indah yang telah terjadi serta
pembelajaran yang telah dirasakan semoga dapat dijadikan sebagai
pembelajaran dalam hidup agar menjadi manusia yang lebih dewasa dan
terbaik.
2. Yosep Andriano Lengga
Laki-laki kecil bernama lengkap Yosep Andriano Lengga, biasa
dipanggil dengan nama belakangnya
Lengga. Lengga berusia delapan
tahun. Ia anak pertama dari dua
bersaudara dari pasangan Marselus
Pio dan Vinsensia Paku. Pio dan
Paku adalah nama fam atau
keluarga dari kedua orangtuanya.
Keluarga itu tinggal di Dusun
Cawalo, Desa Rokirole. Lengga
tinggal bersama ibu, seorang adik
laki-laki, juga neneknya. Mereka
tinggal di rumah sederhana yang
berdindingkan bambu dan berlantai
tanah. Jumlah air di rumah keluarga
itu amat sedikit. Kegiatan mandi
tidak dilakukan sering-sering,
terutama paska gempa Gunung
Rokatenda yang baru saja meletus
pada Juni 2011 lalu yang
menyebabkan banyak bak PAH
(Penampung Air Hujan) yang retak
atau bocor.
Ayah Lengga (Marselius Pio) bekerja sebagai TKI di Malaysia. Keluarga
itu ereka hidup rukun dan saling membantu dengan tetangga sekitar yang
juga merupakan bagian dari keluarga besarnya. Diantara tetangganya itu
antara lain ada bibi, paman, nenek, dan sepupu-sepupu Lengga.
Lengga bersekolah di SDK Cawalo dan baru saja naik ke kelas dua.
Secara sekilas Lengga terlihat normal seperti anak-anak SDK lainnya. Namun
bila diperhatikan lebih seksama, akan ditemukan bahwa Lengga memiliki
wajah yang asimetris terutama pada wajah sebelah kanan dan matanya.
Ekspresi wajahnya cenderung datar namun kontak mata tetap terjaga. Fungsi
Gambar 2.7 Foto diri Lengga
(Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 21
tubuh sebelah kanannya juga kurang maksimal, seperti pandangan mata
sebelah kanannya yang agak kabur, juga tangan kanannya yang kurang
lincah, meski begitu Lengga masih dominan menggunakannya. Kondisi
lainnya adalah Lengga memiliki enam jari pada kaki kanannya yang dalam
istilah kedokteran disebut sebagai polydactyls.11 Berdasarkan keterangan
keluarga, keadaan Lengga seperti itu sudah terjadi sejak lahir. Keluarga
belum mengetahui kejadian atau penyebab selainnya.
Dilihat dari kemampuan sosialnya, Lengga adalah seorang anak yang
pemalu seperti kebanyakan anak-anak Palu’e lainnya. Jika bertemu dengan
orang asing atau yang baru dikenalnya Lengga cenderung pendiam. Lengga
memiliki hobi bernyanyi dan lagu favoritnya adalah kasih ibu. Di sekolah
Lengga termasuk anak yang jago berolah raga, terutama sepak bola. Lengga
juga sering melakukannya dengan teman-teman sepermainannya di rumah.
Nilai olah raga Lengga
di kelas, termasuk
diatas rata-rata.
Kedekatan
Lengga dengan ibu dan
adiknya amat baik.
Lengga sering
menceritakan
aktivitasnya sehari-
hari dengan ibunya.
Lengga mampu
mengolah emosinya
dengan baik.
Hubungan dengan
teman-temannya
berlangsung dengan
baik. Mereka selalu
bermain bersama-sama dan tidak ada diskriminasi yang dirasakan karena
kekurangannya itu. Kelompok melihat bahwa anak-anak di Palu’e cenderung
rukun, jarang sekali terlihat perselisihan kecil antara satu dengan lainnya.
Hal ini boleh jadi disebabkan mereka memiliki hubungan kekerabatan yang
dekat sehingga nilai-nilai kerukunan yang diturunkan oleh orangtua mereka
terasa kuat.
11 “Bayi Laki-laki Lahir Dengan 24 Jari”, http://tempointeraktif.com/hg/luarnegeri/ 2009/02/05/brk,20090205-158692,id.html (5 Februari 2009, 20.50 WIB)
Gambar 2.8 Lengga dan temannya pada saat diminta membacakan puisi di depan kelas
(Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 22
Kekhasan family atau hubungan
keluarga dalam memperlakukan Lengga bisa
dikatakan sangat baik. Tidak hanya ibu
Lengga yang sebagai wali namun juga
keluarga besar berperan aktif dalam
membantu, seperti bibi yang mengajarinya
membaca, menulis, berhitung, juga sepupu-
sepupu seusia yang yang menemani dan
mengajaknya bermain bersama-sama. Bisa
dikatakan nilai-nilai kerukunan dan tolong
menolong sangat terasa sebagai kekhasan
keluarga atau hubungan family ini.
Secara umum, pandangan positif
masyarakat di Palu’e terhadap anak-anak
berkebutuhan khusus masih kurang. Hal
ini disebabkan pengetahuan warga yang
masih sangat minim, sebagai contoh anak yang memiliki penyakit epilepsi
juga dikategorikan sebagai anak-anak berkebutuhan khusus sehingga anak
itu tidak terlalu diperhatikan pendidikannya. Beruntungnya untuk kasus
Lengga tidak terjadi seperti itu. Bisa dikatakan kekhasan nilai-nilai positif
dalam hubungan keluarga atau family mengatasi hal tersebut.
Selain halnya dari keluarga, lingkungan sekolah pun sangat
membantu. Lengga memiliki guru yang amat memahami dan mendukung
kegiatan belajar-mengajar yang dibutuhkan di sekolah. Begitu juga sosialisasi
Lengga dengan teman-teman di sekolah yang berjalan dengan baik. Oleh
karena itu, dari sekolahnya kelompok mendapat laporan bahwa Lengga
tergolong anak yang tidak mengalami masalah di kelas, meski Lengga
digolongkan sebagai anak berkebutuhan khusus oleh masyarakat awam.
Pengkajian terhadap Lengga dilakukan oleh Margaretha Quina dan
Anju Hasiholan D.P. pada tanggal 27 Juni 2011. Sementara anggota tim lain
dibagi untuk pengkajian kepada ABK lainnya. Dari proses tersebut selain
Lengga ditemukan 33 ABK lainnya di Desa Rokirole.
Acara pembukaan rumah kreatif 30 Juni 2011 adalah kesempatan
pertama untuk mengenal sosok Lengga dan mengetahui kemampuannya. Dwi
Susilo mengenalkan Lengga kepada Risa Rizania untuk yang pertama kali.
Dari situlah kemudian Risa Rizania mulai mengakrabkan diri dengan Lengga.
Gambar 2.9 Saat pertemuan pertama di Rumah Kreatif
(Sumber : doc.Pribadi Nathaly Endah Ziletta, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 23
Pada perkenalan ini anggota kelompok memperhatikan Lengga.
Secara sekilas, Lengga yang pada saat itu hadir di rumah kreatif dengan
penampilan yang bersih dan rapi terlihat seperti anak-anak normal lainnya.
Namun, bila diperhatikan lebih dekat akan tampak wajahnya yang asimetris.
Lengga amat pendiam ketika itu dan agak sulit untuk mengajaknya berbicara.
Bukannya Lengga tidak bisa
berbicara, hanya saja ia
seperti enggan, mungkin
baginya masih terasa asing.
Untuk mengetahui
kemampuan yang telah
dimiliki oleh Lengga,
anggota kelompok
mengajaknya untuk menulis
dan membaca, dan Lengga
tidak menolaknya. Setelah
itu anggota kelompok
meminta Lengga untuk
menuliskan namanya, dari
situ diketahui bahwa
ternyata ia sudah bisa
menulis meskipun pada
beberapa huruf seperti
huruf “e” dan huruf “g” ia memiliki proyeksi yang terbalik. Kemudian Lengga
diberi sebuah buku cerita anak-anak yang berjudul “Perjalanan Para Lobster”
dan meminta ia untuk membaca judulnya. Ia berusaha keras untuk
membacanya, meskipun lama dan terbata-bata tapi hal itu cukup
menyimpulkan bahwa Lengga telah mengenal huruf dan memperoleh
pendidikan atau latihan yang pada pikiran anggota saat itu entah dari orang
tua, teman, atau keluarganya. Selanjutnya, usai kebersamaan Risa Rizania
dengan Lengga, Dwi Susilo menambahkan informasi bahwa ternyata Lengga
memang di sekolahkan oleh orang tuanya dan saat ini ia baru saja menaiki
kelas dua SDK.
Pada rapat kelompok selanjutnya didiskusikan ABK mana yang akan
ditangani oleh seluruh anggota kelompok dan siapa yang akan bertanggung
jawab terhadap ABK tersebut. Untuk Lengga tanggung jawab pelayanan
dipegang oleh Risa Riza
Senin, 4 Juli 2011
Menjadi kali pertama Risa Rizania selaku perwakilan tim dan
penanggung jawab terhadap pelayanan khusus untuk Lengga mengunjungi
Gambar 2.10 Belajar membaca buku di rumah Lengga ( Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 24
rumah. Setelah minggu sebelumnya anggota kelompok melakukan
pengkajian untuk menentukan ABK yang akan fokus untuk ditangani. Pada
hari itu anggota kelompok melakukan pengamatan lebih mendalam tentang
Lengga termasuk juga wawancara dengan ibunya.
Dari hasil wawancara dan pengamatan itu ditemukan bahwa Lengga
mengalami masalah pada tubuh bagian kanannya. Lengga memiliki enam jari
pada kaki kanannya. Wajahnya asimetris dan hal itu nampak jelas pada
matanya. Meski begitu Lengga masih mampu menulis dengan tangan
kanannya.
Dari kemampuannya, Lengga sesungguhnya bisa membaca meski
masih sulit dalam melafalkannya. Saat membuat tulisan terdapat beberapa
huruf yang proyeksinya masih terbalik. Nilai rata-rata rapotnya di sekolah
cukup baik.
Melihat kemampuan sosialnya, Lengga sesungguhnya adalah anak
yang pemalu. Lengga amat dekat dengan ibu dan adiknya, sedangkan
ayahnya bekerja di Malaysia. Lengga sering menceritakan aktivitas sehari-
hari kepada ibunya. Dengan teman-teman, ia cukup akrab dan berteman
dengan baik namun masih sulit untuk beradaptasi dengan orang-orang baru.
Lengga suka menyanyi. Ia juga mampu mengungkapkan emosinya dengan
baik. “kalo bermain dengan teman, Lengga memang lebih sering mengalah.”
Menurut pengakuan Pepet Tuanoko, guru kelas 1 Lengga di sekolah.
Untuk proses belajarnya, selain dibantu oleh Ibu, Lengga juga sering
dibantu oleh tetangga yang juga masih dalam ikatan saudara dengannya
(bibi). Mereka inilah yang kemudian kelompok pendidikan dan pelayanan
khusus harapkan sebagai kader untuk terus membimbing Lengga. “Mata
sebelah kanannya kabur-kabur. Kalau menulis, tangannya lamban.” Ibu Pepet
yang akrab dengan panggilan Ibu Pet, menerangkan kesulitan Lengga belajar
di kelas. Informasi ini diperoleh melalui wawancara pada kesempatan lain.
“Biasanya dia dan beberapa teman yang masih ketinggalan, saya beri
perhatian khusus. Saya beri pelajaran tambahan tiap sore atau sepulang
sekolah.” Ibu Pet menjelaskan metode yang digunakan terhadap murid-
muridnya. “Namun secara keseluruhan Lengga mampu belajar di kelas.
Makanya ia saya naikkan ke kelas dua, padahal teman-temannya yang lain ada
yang tidak naik kelas. Kalau memang menurut saya Lengga tidak mampu, saya
tidak ingin memaksakan ia untuk naik kelas.” Ibu Pet menegaskan. “Saya yakin
dia akan sukses nantinya.”
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 25
Pada pertemuan pertama di rumahnya ini, anggota kelompok juga
memonitor kemampuan menulis Lengga dimana pada saat berkenalan di
rumah kreatif ia diajari menulis namanya dengan baik. Hasilnya, ia mampu
menuliskan namanya dengan benar. Selanjutnya anggota kelompok
mengajaknya membaca namun ia hanya bertahan selama setengah jam saja.
Selanjutnya ia terlihat bosan.
Kemudian anggota kelompok memberikan tugas sebagai PR yang
harus ia kerjakan. Anggota kelompok memintanya menulis kalimat “saya
sangat suka membaca” satu halaman penuh buku tulis bergaris. Tak lupa
anggota kelompok meminjami Lengga buku tulis, penghapus, pensil, dan
buku cerita bergambar “Si Tangan Tak Berkuman” sebagai bahan bacaannya
untuk waktu senggang.
Selama proses ini berlangsung, Lengga masih terkesan menutup diri
dengan kehadiran anggota kelompok. Hal itu bukan masalah, target anggota
kelompok saat itu adalah
perkenalan pada Lengga
tentang apa yang akan
diajarkan padanya. Ketika
anggota kelompok mengajak
adiknya bercanda, terlihat
respon riang pada wajah
Lengga. Pada akhirnya
Lengga memperlihatkan
senyumnya yang pertama
kali hingga anggota
kelompok merasa
memperoleh peluang
kesempatan dan
penerimaan darinya. Tak
lama setelah itu anggota
kelompok pamit dan
berjanji untuk kembali pada
hari rabu.
Rabu, 6 Juli 2011
Seperti pertemuan
sebelumnya, anggota
kelompok disambut oleh
Ibu Lengga. Anggota
kelompok menagih tugas
yang senin kemarin
Gambar 2.11 Nilai raport Lengga
(Sumber : doc.Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 26
diberikan. Ternyata, Lengga mengerjakan dengan baik tugas menulis. Ia
menuliskan kalimat “saya sangat suka membaca” satu halaman penuh.
Sebagai penghargaan atas usahanya, anggota kelompok menghadiahi Lengga
minuman kemasan. Ia menyukainya. Hampir setiap pertemuan tiap anggota
kelompok membawa makanan ringan seperti biskuit terkadang juga
minuman kemasan sebagai selingan untuk menjaga semangat dan fokus
belajar.
Kemudian anggota kelompok memberikan Lengga empat buah spidol
berwarna merah, hijau, merah muda, dan ungu. Lengga diminta untuk
menggambar menggambar rumah dan ia melakukannya dengan baik. Bahkan
ia juga menambahkan pot bunga di samping gambar rumah dan menamainya
dengan “taman bunga”. Lengga berkonsentrasi menggambar rumah itu
selama 17 menit dari pukul 10.18 s.d. 10.35 WITA.
Selesai menggambar, kegiatan dilanjutkan dengan membaca puisi
yang ditulis dan dibukukan oleh peserta K2N tahun lalu. Lengga diminta
mendengarkan dan mengikuti ejaannya. Lengga melakukannya cukup baik
dengan sedikit terbata-bata. Anggota kelompok menulis puisi itu dibuku PR
Lengga dan meminta ia membaca puisi itu ketika nanti ia belajar sendiri.
Pada pertemuan
selanjutnya Lengga
diminta untuk
membaca puisi
tersebut dan ia
menyanggupinya.
Untuk melihat
peningkatan
kepercayaan diri
Lengga, ia diminta
untuk menyanyikan
lagu. Pada pertemuan
sebelumnya Lengga
menolak permintaan
ini. Namun kali ini
Lengga mau bernyanyi
tanpa ada kesulitan
sama sekali
memintanya. Ia
menyanyi dengan
keras dua buah lagu
berjudul “kasih ibu”
Gambar 2.12 Tulisan Lengga dalam proses pembelajaran yang menunjukkan kedekatannya dengan Sang Ibu
(Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 27
yang merupakan lagu favoritnya dan lagu “anjing menggonggong”. Anggota
kelompok menawarkan Lengga apabila ada kesempatan untuk tampil
menyanyikan lagu di depan bersama-sama, apakah ia mau? Dan Lengga
menjawab tawaran itu dengan sebuah anggukan. Anggota kelompok
berharap agar Lengga benar-benar mau melakukannya nanti.
Selanjutnya, anggota kelompok meraih buku “si tangan tak berkuman”
yang kemarin dipinjamkan kepada Lengga. Ia mengaku bahwa ia sudah
membaca dua halaman dari buku bergambar itu. Mengetahui hal ini tidaklah
mudah karena anggota kelompok berkomunikasi secara bertahap dan
perlahan dengan Lengga yang memang sedikit berbicara. Hal ini ditangkap
ini dari perilakunya dan potongan-potongan kata yang dikeluarkan olehnya
hingga membentuk kesimpulan sebuah kalimat yang mengandung makna
dan arti. Untuk membuktikan perkataannya, anggota kelompok menanyakan
ini kepada ibunya dan beliau membenarkan.
Anggota kelompok meminta Lengga melanjutkan buku itu untuk
dibaca. Anggota kelompok mendengar dan memperbaiki ejaannya yang
masih salah. Dalam usahanya kali ini, Lengga bertahan cukup lama. Nyaris
satu jam saya menemani Lengga membaca, dari pukul 10.35 s.d. 11.21 WITA
dari halaman tiga sampai dengan halaman enam.
Lengga terlihat jenuh membaca ketika para tetangga berdatangan dan
berkumpul di depan pintu rumah. Mereka memperhatikan dan melihat
Lengga yang sedang membaca. Lengga dan anggota kelompok menjadi bahan
tontonan. Inilah salah satu tantangan buat seluruh anggota kelompok ketika
melakukan pelayanan untuk anak-anak ABK. Rasa penasaran warga cukup
merepotkan anggota kelompok ketika mendampingi anak-anak didik. Anak-
anak didik ini menjadi kehilangan konsentrasi. Kelompok menghimbau dan
meminta pengertian kepada warga yang menonton untuk menghentikan
tontonannya. Bersyukur para warga berhenti dan bubar setelah dijelaskan,
namun tidak lama setelah itu mereka datang lagi, kembali menonton.
Kembali pada deskripsi awal, anggota kelompok masih meminta
Lengga untuk bertahan. Sebagai pengalih kejenuhannya, anggota kelompok
mengganti materi dengan mengajaknya berhitung. Tercatat bahwa Lengga
sudah bisa menghitung angka mulai dari satu hingga seratus ke atas. Untuk
kemampuan matematikanya, ternyata Lengga baru menguasai penjumlahan
satuan. Anggota kelompok memberikan lima soal matematika, dari kelima
soal tersebut ia berhasil menjawab tiga soal dengan benar.
Sebelum pamit, anggota kelompok memberi PR dan tugas untuk
Lengga. Diantaranya, sepuluh soal berhitung, kemudian Lengga juga diminta
untuk melanjutkan bacaan “si tangan tak berkuman” dan membaca lagi puisi
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 28
yang telah ditulis di bukunya agar memperlancar kemampuan membacanya.
Serta menulis kalimat “aku sangat gemar menulis” sebanyak dua halaman.
Tugas yang diberikan kali ini memang banyak, mengingat jeda untuk
pertemuan selanjutnya yang cukup lama.
Seperti inilah cara yang diterapkan kepada Lengga. Menemani
membaca, menulis, berhitung, dan bernyanyi dari satu pertemuan ke
pertemuan lainnya. Untuk kegiatan mengajar ini biasanya anggota kelompok
hanya ditinggal berdua oleh Lengga untuk menjaga fokus perhatian.
Terkadang terfikir bahwa apa dilakukan ini lebih mirip dengan tugas guru
privat dibandingkan dengan relawan pendidikan khusus. Tidak ada yang
khusus dari metode atau trik yang ditawarkan dalam kasus Lengga. Anggota
kelompok dalam hal ini lebih menawarkan semangat yang ditularkan kepada
Lengga dan orang-orang disekitarnya.
Senin, 11 Juli 2011
Anggota kelompok tiba dirumah Lengga sembari membuka obrolan
ringan dengan Ibu Lengga sebelum memulai aktivitas seperti biasa.
Kemudian anggota kelompok memeriksa tugas yang sebelumnya diberikan
seperti pada biasa. Hasilnya mengecewakan. Lengga tidak sepenuhnya
melakukan perintah yang diberikan. Ia hanya mengerjakan satu dari dua
halaman tugas menulis yang diberikan. Ia memang mengerjakan sepuluh soal
matematikanya, namun diragukan apakah ia mengerjakan sendiri ataukah
dibantu orang lain, misal: ibunya? Selain itu Lengga juga tidak membaca
sama sekali bacaan yang diberikan, entah itu puisi yang dicatat dibukunya
ataupun buku cerita bergambar “Si Tangan Tak Berkuman” dan “Ada Sampah
di Sekolah”. Pada pertemuan kali ini terjadi penurunan. Satu lagi informasi
tambahan, semangat belajar anak itu naik-turun.
Anggota kelompok segera memberikan materi pertama. Lengga diajak
untuk menggambar laut, tapi itu masih sulit olehnya. Kemudian Lengga
dibebaskan Lengga untuk menggambar apapun, sebagai gantinya ia membuat
garis dan bidang yang ia ikuti dari penggaris busur yang ia miliki. Setelah
menggambar, dilanjutkan dengan membaca. Kegiatan membaca masih
menggunakan buku yang sama “Si Tangan Tak Berkuman” yang dibaca dari
halaman tujuh hingga halaman sepuluh. Lengga membaca dari pukul 11.31
sampai dengan 12.00 WITA.
Setelah menggambar dan membaca, selanjutnya anggota kelompok
mengajak Lengga untuk bernyanyi tapi Lengga hanya diam. Anggota
kelompok menyadari Lengga kurang bergairah untuk belajar pada
pertemuan ini. Selanjutnya Lengga ditugaskan untuk menulis dan berhitung
itu pun sebagai PR. Anggota kelompok agak kewalahan hari ini menghadapi
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 29
lemahnya semangat Lengga. Anak itu emosi dan semangatnya sering naik-
turun.
Rabu, 13 Juli 2011
Anggota kelompok mempersiapkan rencana berbeda pada pertemuan
kali ini. Ketimbang mendampingi Lengga, anggota kelompok ingin lebih
banyak lagi memperoleh informasi, tentang emosi seorang Lenggga,
bagaimana mereka mengolah dan menjaganya. Hal ini mengingat rententan
kejadian di tiap pertemuan yang menjadi salah satu masalah mendasar untuk
menghadapi Lengga. Informasi ini diharapkan tidak hanya dari keluarganya,
tapi juga dari sekolahnya. Rencana ini menjadi penting terkait program
kaderisasi. Tidak lama lagi waktu yang kelompok miliki untuk berada di
pulau ini. Anggota kelompok ingin mengumpulkan sebanyak-banyaknya
pengetahuan tentang Lengga, mungkin ada yang masih terlewatkan.
Berdasarkan informasi, SDKK Tomu di Tuanggeo hari ini telah aktif
untuk kegiatan belajar-mengajar dimana sebelumnya mereka sedang dalam
masa libur kenaikan kelas. Hal inilah yang kelompok jadikan patokan bahwa
kemungkinan SDK Cawalo tempat Lengga dan Mimi (ABK yang ditangani
Julia) bersekolah juga telah aktif. Kelompok berencana mendatangi sekolah
itu untuk menemui kepala sekolah dan guru yang mengajar Lengga di kelas
satu. Sayangnya, ketika tiba di SDK Cawalo tempat itu sepi. Akhirnya rencana
itu dibatalkan. Ketika bertanya pada penduduk yang sepintas lewat,
kelompok memperoleh informasi bahwa SDK Cawalo kemungkinan akan
aktif kembali dari masa libur pada minggu selanjutnya.
Kelompok tidak berdiam lama di SDK Cawalo dan segera menuju
rumah ABK masing-masing. Rencana selanjutnya, anggota kelompok ingin
berbicara dengan Ibu Lengga, berbagi informasi, cerita, dan menemukan
metode bersama yang bisa digunakan secara lebih efektif untuk membimbing
Lengga. Tadinya anggota kelompok berharap apa yang diperoleh dari
sekolahnya bisa disampaikan kepada Ibu Lengga yang memang sejak dari
awal dibidik sebagai kader dalam program pendidikan khusus untuk Lengga.
Patut disyukuri bahwa Ibu Lengga merupakan ibu yang amat perhatian
terhadap anak-anaknya. Dan sesungguhnya bukan hanya ibunya, Lengga
dikelilingi oleh banyak orang-orang yang mencintainya baik itu adik, bibi,
nenek, guru, juga teman-teman sepermainan yang selalu mendukungnya.
Ketika anggota kelompok tiba di rumah Lengga, didapati bahwa
ibunya juga sedang tidak ada di rumah. Beliau sedang mengurusi sesuatu di
Maumere. Sebagai ganti ibu, anggota kelompok bertemu dengan neneknya
yang malah memiliki kesulitan komunikasi dalam bahasa Indonesia.
Walhasil, rencana berbagi informasi sebagai bagian dari proses kaderisasi
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 30
dibatalkan. Kelompok berharap semoga pada pertemuan selanjutnya yang
merupakan pertemuan terakhir dengan Lengga, bisa didapat informasi dari
sekolah dan disampaikan kepada Ibu Lengga.
Kemudian, diputuskan untuk mendampingi Lengga seperti biasa. Pada
hari ini, ia nampak lebih bersemangat dibandingkan pertemuan sebelumnya.
Ketika anggota kelompok tiba, ia segera mengambil buku-bukunya.
Seperti sebelumnya, anggota kelompok memberi materi menulis,
membaca, berhitung, juga menggambar. Anggota kelompok menanyakan,
“setelah membaca Lengga mau apa? Menggambar, berhitung, atau apa?” dan
Lengga menjawab “Menggambar”. Selanjutnya ia dibebaskan Lengga untuk
menggambar apapun yang ia inginkan.
Pada awalnya, Lengga seperti sedang menggambar kepala manusia
seperti dalam tokoh cerita di komik. Ketika gambar itu telah selesai,
nampaklah keseluruhan wujud seorang anak laki-laki dengan gambar buku
dan pensil disampingnya. Ia memberikan gambarnya dengan nama “Yoseph
Andriano Lengga”. Ternyata ia sedang menggambar dirinya sendiri. Pada
bagian bawah namanya ia menambahkan kalimat “terimakasih ibu” sekalipun
ejaannya belum sempurna, tapi maksudnya bisa dipahami. Lengga mampu
mengungkapkan perasaan terima kasih yang merupakan bagian dari
emosinya. Hal ini cukup membuktikan bahwa meskipun pendiam, pemalu,
dan cenderung tanpa ekspresi tapi Lengga mampu mengekspresikan
perasaannya dengan baik.
Senin, 18 Juli 2011
Merupakan jadwal pertemuan terakhir untuk program kelompok
pelayanan dan pendidikan khusus. Kelompok melanjutkan rencana pada hari
rabu kemarin yang sempat tertunda. Kali ini SDK Cawalo telah aktif kembali
secara kehadiran meskipun pembelajarannya belum sepenuhnya dimulai.
Pada awalnya anggota kelompok ingin mengintip Lengga dari luar kelas
untuk mengamati interaksi sosialnya dengan teman-temannya di sekolah.
Sayang, usaha ini gagal karena anak-anak SDK itu sendiri telah heboh dengan
kehadiran kelompok. Anak-anak SDK itu malah berbondong-bondong
menghadapkan Lengga kepada anggota kelompok meskipun tidak diminta.
Maka anggota kelompok menghindar dari anak-anak namun tetap
memperhatikan Lengga. Dari jarak tertentu anggota kelopok melihat Lengga
bermain, kejar-kejaran, bahkan berteriak dan memanggil kawan-kawannya.
Dari sini kelompok menyimpulkan sosialisasi Lengga berjalan dengan baik.
Selanjutnya kelompok menemui kepala sekolah SDK Cawalo untuk
bertanya tentang anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di SDK Cawalo
termasuk Lengga dan Mimi yang kelompok tangani. Dari kepala seolah
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 31
diperoleh informasi bahwa Lengga, “selama ini tidak ada laporan dari
gurunya tentang anak itu, berarti anak itu baik-baik saja.” Tidak ada masalah
dengan Lengga di sekolah, pun hal nya dengan sosialisasi lingkungannya.
Hingga pertanyaan muncul, masalah sebenarnya dimana? Penelusuran
tentang Lengga tidak hanya berhenti disitu. Anggota kelompok juga menemui
Ibu Pepet Tuanoko, guru SDK yang mengajar Lengga di kelas satu. Saat itu
beliau sedang beristirahat di rumahnya karena sedang sakit gigi, beruntung
Ibu Pet panggilan akrabnya, tidak menolak kunjungan itu.
Saat anggota kelompok bertanya tentang emosi Lengga selama di
kelas, Ibu Pet menjelaskan bahwa tidak ada masalah dengan Lengga terkait
hal itu. Ibu Pet juga menambahkan, “kalo bermain dengan teman-temannya,
Lengga memang lebih sering mengalah.”
Untuk proses belajarnya di kelas memang terdapat kendala,
diantaranya seperti yang dijelaskan Bu Pet, “Mata sebelah kanannya kabur-
kabur makanya ia agak kesulitan membaca. Kalau menulis, tangannya lamban.
Untuk itu memang saya memberikan perhatian khusus di kelas.” Papar Ibu Pet,
“Biasanya dia dan beberapa teman yang masih ketinggalan, saya beri
pelajaran tambahan tiap sore atau sepulang sekolah.” Ibu Pet menjelaskan
metode yang digunakan terhadap murid-muridnya, “Namun secara
keseluruhan Lengga mampu belajar di kelas. Ia juga anak yang rajin. Lengga
mengerjakan PR yang saya berikan. Makanya ia saya naikkan ke kelas dua,
padahal teman-temannya yang lain ada yang tidak naik kelas. Kalau memang
menurut saya Lengga tidak mampu, saya tidak ingin memaksakan ia untuk
naik kelas.” Ibu Pet menegaskan, “Saya yakin dia akan sukses nantinya.”
Dari wawancara dengan Ibu Pet, anggota kelompok mendapat
tambahan informasi baru terutama masalah metode pengajaran yang baik
untuk disampaikan kepada keluarganya. Setelah dari rumah Ibu Pet,
kemudian dilanjutkan menuju rumah Lengga dan ternyata ibu Lengga masih
belum pulang dari Maumere. Dirumah itu yang ada adalah neneknya juga
bibi-bibi yang menghampiri dari rumah sebelah. Kepada mereka anggota
kelompok bercerita dan berbagi informasi yang selama ini diperoleh saat
mendampingi Lengga dan pesan untuk disampaikan kepada ibu Lengga, juga
lebih banyak kalimat motivasi kepada ibu-ibu untuk lebih mendukung anak
mereka agar lebih berani dan bersemangat mengejar pendidikan dan cita-
cita.
Pada hari itu tidak ada rencana untuk mengajari Lengga. Anggota
kelompok datang sekedar untuk memeriksa dan mengambil kembali alat-alat
yang kelompok pinjamkan. Sebagai gantinya, kelompok memberikan buku
dan alat tulis yang masih baru kepada Lengga. Tak lupa pula anggota
kelompok berfoto dengan Lengga sebagai dokumentasi untuk laporan.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 32
Anggota kelompok perlu memastikan apakah Lengga masih ingin untuk
tampil di Ragam Ekspresi Palu’e besok, khawatir anak ini jadi berubah
pikiran, namun ternyata tidak. Lengga bersedia datang dan tampil esok di
Rumah Kreatif. Setelah berbincang-bincang kemudian anggota kelompok
mengucapkan salam perpisahan. Satu hal yang masih disayangkan karena
anggota kelompok belum bertemu dan berpamitan dengan Ibu Lengga yang
merupakan kader utama bagi program yang kelompok pegang ini.
Selasa, 19 Juli 2011
Di Paroki Lei seluruh kelompok menggelar acara bertemakan Ragam
Ekspresi Palu’e. Acara ini merupakan acara penutup dan persembahan yang
kelompok berikan kepada seluruh warga Pulau Palu’e. Diantara isi acara yang
ditampilkan yaitu kelompok mempresentasikan seluruh kegiatan baik itu
program khusus maupun program rutin yang dilakukan selama kurang lebih
satu bulan di Pulau Palu’e.
Untuk kelompok UKM makanan dan minuman, serta kelompok VCO
selain presentasi mereka juga menampilkan contoh makanan dan VCO yang
menjadi karyanya. Untuk kelompok II yaitu pendidikan dan pelayanan
khusus, selain presentasi kelompok juga mengajak beberapa ABK yang
memungkinkan untuk tampil agar memberikan persembahan bersama
kepada seluruh hadirin pada acara itu. ABK yang memungkinkan tampil saat
itu adalah Lengga dan Mimi yang akan bernyanyi, serta Ruti yang ikut
menemani di depan bersama Dwi Susilo, Margaretha Quina, Julia Ikasarana,
dan Risa Rizania.
Adalah hal yang amat penting dan berharga bagi kelompok tatkala
bisa menampilkan Mimi dan Lengga sebagai bentuk apresiasi kepada seluruh
ABK di Palu’e dan ajang pembuktian kepada masyarakat bahwa mereka yang
selama ini berada pada stigma “kurang di mata masyarakat” juga memiliki
kemampuan dan keberanian seperti halnya anak-anak normal lainnya
asalkan masyarakat mau berkerja sama dan memberikan perhatian kepada
mereka. Mereka berhak mendapat kesempatan yang sama seperti anak-anak
normal lainnya. Dan sesungguhnya menunjukan pembuktian ini adalah
sebuah tantangan bagi kelompok.
Usaha ini memang tidak mudah bagi kelompok. Julia Ikasarana telah
berusaha keras untuk membimbing Mimi seorang gadis cilik yang amat
pemalu dan memiliki ketergantungan kepada ibunya agar mau bernyanyi,
menghafal teks lagu selama satu bulan, hingga kemudian ia berani tampil
dihadapan teman-temannya untuk pertama kali termasuk membawa Mimi
pada acara ini. Begitu pula tantangan Risa Rizania dengan Lengga seorang
anak pendiam yang perilakunya cenderung sulit di tebak. Bagi kelompok bisa
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 33
membawa mereka tampil sebagai perwakilan dari ABK yang kami tangani
adalah sebagai salah satu parameter keberhasilan dari program ini.
Berdasarkan kesepakatan dengan Lengga dan Mimi, pada awalnya
Mimi akan menyanyikan lagu “Indonesia Pusaka” sementara Lengga akan
membawakan dua buah lagu berjudul “kasih ibu” dan “anjing
menggonggong”. Begitu tiba giliran kelompok pendidikan dan pelayanan
khusus tampil, kelompok menyerahkan mikrofon kepada Lengga sebagai
yang pertama untuk bernyanyi. Tatkala mikrofon ia pegang, Lengga sempat
hening sementara kemudian ia berteriak mengucapkan dua buah kata, “oh
bulan...” kelompok sempat terkejut, sementara Lengga terus melanjutkan
kalimat-kalimatnya, hingga kelompok menahan sorak kegirangan. Sungguh
tak disangka ternyata Lengga yang seharusnya menyanyikan lagu yang telah
disepakati ternyata ia melakukan yang lebih dari itu, ia membaca puisi.
Anggota kelompok yang selama ini mendampingi Lengga tidak menyangka
bagaimana Lengga yang pendiam itu ternyata bisa membacakan puisi. Apa
yang dilakukannya kali itu jauh melebihi ekspektasi kelompok terhadapnya.
Setelah menyelesaikan puisinya, Lengga kemudian bernyanyi “Kasih Ibu” dan
“Anjing Menggonggong” juga dilanjutkan Mimi dengan lagunya “Indonesia
Pusaka”. Hingga kemudian banyak tepuk tangan terdengar sebagai apresiasi
dan kami keluar dari panggung.
Kamis, 21 Juli 2011
Satu hari sebelum kepergian kelompok meninggalkan Pulau Palu’e.
Kelompok menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah anak didik untuk
yang terakhir kali. Kelompok berharap semoga bisa bertemu dengan Ibu
Lengga.
Hari itu anggota kelompok mengucapkan salam perpisahan. Tetangga
sekitar pun datang menyaksikan. Isak tangis membersamai dalam
percakapan. Anggota kelompok berbicara dan menyemangati ibu-ibu
terhadap pendidikan anak-anak, tentang masa depan Palu’e. Anggota
kelompok juga menitipkan Lengga dan berusaha meyakinkan bahwa anak
seperti Lengga memiliki banyak kesempatan yang bisa diambil seperti anak-
anak normal lainnya.
Dari percakapan dengan para ibu itu pulalah anggota kelompok
mengetahui hal yang amat mengejutkan. Ternyata sekitar dua minggu dari
hari itu, Ibu Lengga akan pergi ke Malaysia menyusul Bapak Lengga untuk
mengurusi masalah keluarga yang maaf, dalam laporan ini tidak bisa saya
sebutkan. Tidak ada kepastian kapan Ibu Lengga akan kembali.
Selama kepergian beliau nanti Lengga dan adiknya akan tinggal di
rumah itu bersama pengasuhan dari neneknya. Keadaan ini sangat
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 34
memprihatinkan. Untuk itulah kelompok memohon kepada bibinya agar
memperhatikan Lengga terutama setelah Ibu Lengga di Malaysia. Maka,
akhirnya kader utama ini kelompok serahkan kepada bibi yang memang
selama ini juga giat mengajari dan
mendampingi Lengga.
3. Maria Clarita Meti (Mimi
Meti)
Mimi Meti atau yang
memiliki nama lengkap Maria
Klarita Meti adalah seorang gadis
kecil yang berusia 11 tahun. Mimi
saat ini masih duduk di kelas 2
sekolah dasar, tepatnya SDK Cawalo
yang terletak di Dusun Cawalo,
dekat Dusun Tudu, tempat Mimi dan
keluarganya tinggal. Untuk
umurannya, Mimi terlalu tua untuk
duduk di kelas 2. Ada beberapa
alasan yang pada akhirnya kami
mengkategorikan Mimi sebagai
anak berkebutuhan khusus.
Pertama, Mimi lahir di Palue dengan
disfungsi hampir di seluruh bagian
tubuh sebelah kanan. Telinga kanan
Mimi sering mengeluarkan darah, dan kaki serta tangan kanan yang tidak
berfungsi dengan sempurna. Kedua, Mimi baru dapat berbicara pada usia 9
tahun dan baru bisa berjalan pada saat usianya menginjak 10 tahun. Ini
menjadi pertimbangan keluarga Mimi untuk menyekolahkannya di usia yang
lebih tua dari teman-teman sebayanya. Dari hasil wawancara kami dengan
mama angkat Mimi (mereka menyebutnya mama tua), Mimi sudah ditinggal
keluarganya pergi ke Malaysia sejak umur 5 tahun dan keberadaan sang ayah
yang tidak pernah diketahui oleh anggota keluarga yang lain. Mimi memiliki
sifat yang sangat pendiam, tidak bisa jauh dari mama angkatnya, cengeng,
pemalu, dan susah mengingat, terutama pelajaran. Data-data tersebut kami
peroleh dari hasil pengkajian yang dilakukan pada kali pertama kelompok
program pendidikan dan pelayanan khusus bertemu dengan Mimi, yaitu
tanggal 29 Juni 2011. Hasil pengkajian ini diperoleh dengan mewawancara
langsung ibu angkat Mimi sebagai sosok yang sangat dekat dan mengetahui
secara jelas kepribadian Mimi.
Gambar 2.13 Mimi Meti dan anggota kelompok (Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 35
Mimi adalah anak yang manja, ibu angkatnya memberitahukan
bahwa setiap kali ibunya hendak pergi ke ladang, Mimi selalu meminta untuk
ikut. Jika ditinggal oleh ibunya, ia akan menangis. Jika diganggu oleh teman-
teman sebayanya maka dengan mudah ia akan menangis dan mengadu
kepada ibunya. Mimi tinggal di lingkungan keluarga yang berkecukupan.
Rumah yang ditinggali bersama keluarga besar ibunya terbuat dari dinding
semen, lantai
keramik, dan atap
rumah asbes.
Meskipun ditinggal
oleh ayah
kandungnya, Mimi
tidak terlantar. Di
rumah tersebut juga
terdapat seorang
sepupu perempuan
Mimi bernama Nova,
yang juga bersekolah
di SDK Cawalo
namun duduk di
bangku kelas 3 SD.
Meskipun duduk di
kelas yang lebih
senior dari Mimi, Nova justru berumur lebih muda dari Mimi. Nova adalah
orang terdekat dengan Mimi selain ibu angkatnya. Ketika tidak dijemput oleh
ibunya di sekolah, maka Mimi akan pulang sekolah bersama Nova. Meskipun
kemandirian dan keberaniannya kurang, sesekali Mimi terlihat akrab
bermain dengan teman-temannya yang lain. Kemampuan adaptasi Mimi juga
terbilang cukup baik, karena pada kehadiran kami yang kedua kali di
rumahnya, Mimi menyambut dengan wajah senang, walaupun masih sedikit
malu-malu.
Pada saat pengkajian awal dilakukan, Mimi dikategorikan sebagai
salah satu Anak Berkebutuhan Khusus. Penilaian tersebut merekat kepada
Mimi karena pertama, fungsi organ tubuh Mimi yang tidak normal, kedua,
perkembangan psikis (emosional) dan fisik yang lebih lambat dari anak-anak
normal seumurannya. Meskipun mendapat cap ABK, Mimi mendapat
perlakuan yang wajar dari masyarakat, seperti memperlakukan anak-anak
normal lainnya.
Gambar 2.14 Foto diri Mimi Meti (Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 36
Rabu, 29 Juni 2011 hari pertama bertemu dengan Mimi, kelompok
mencoba mendekatkan diri dengan seorang Mimi yang pemalu dan agak
susah mengakrabkan diri dengan orang baru. Mimi adalah seorang siswa
sekolah dasar yang baru saja naik ke kelas 2. Kondisi ini cukup memudahkan
kelompok karena bisa mendekati Mimi dengan mengajaknya bernyanyi.
Kami menyanyikan beberapa lagu kebangsaan yang diajarkan kepadanya di
sekolah. Tujuan pada pertemuan hari ini bukan hanya untuk mengakrabkan
diri dengan Mimi tetapi juga mendeteksi sejauh mana Mimi dapat mengenal
huruf dan angka, karena berdasarkan laporan dari orang tua angkatnya, Mimi
adalah anak yang pelupa. Setelah kelompok mengujinya untuk mengenali
huruf dan angka, serta menuliskan namanya dalam selembar buku, maka
kelompok menemukan fakta bahwa Mimi tidak dapat mengenali huruf
dengan sempurna, sebagian besar huruf tidak dapat diingat dengan baik.
Mimi hanya bisa menuliskan namanya sendiri. Sebaliknya, dalam mengenali
angka-angka, Mimi memiliki kemampuan yang cukup baik. Mimi dapat
menyebutkan dan mengenali angka 0 sampai 9 dengan baik. Hasil dari
pengkajian ini digunakan sebagai acuan untuk membuat agenda di
pertemuan selanjutnya dengan Mimi Meti. Ada beberapa hambatan yang
ditemukan pada pertemuan pertama ini. Lingkungan tempat tinggal Mimi
yang cukup ramai dengan anak-anak kecil. Mereka berdatangan saat
kelompok mulai mengajar Mimi. Hal ini mempersulit terciptanya suasana
belajar yang nyaman dan membuatnya
fokus pada materi yang kami ajarkan.
Mimi yang pemalu pun tidak susah
untuk mengeluarkan suara saat ditanya
karena semua orang di sekeliling saat
itu menonton kegiatan ini. Kondisi ini
tidak hanya menyulitkan Mimi untuk
belajar, tapi juga mempersulit kelompok
untuk menjaga konsentrasi dalam
menjalankan program. Tetapi ada
beberapa kelebihan yang dimiliki oleh
Mimi, yaitu Mimi dapat mengerti dan
berkomunikasi menggunakan Bahasa
indonesia, karena proses belajar
mengajar di sekolah tetap
menggunakan Bahasa Indonesia. Serta
beberapa ruangan di rumah keluarga
Mimi yang bisa dimanfaatkan untuk
melakukan pelayanan khusus, agar
terbangun suasana belajar yang tenang,
Gambar 2.15 Mimi saat diminta bernyanyi di depan kelas
(Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 37
yang hanya ada kelompok, Mimi, dan anggota keluarga yang nantinya akan
dijadikan sebagai kader dalam program pendidikan dan pelayanan khusus.
Senin, 4 Juli 2011 dari hasil pengkajian pada pertemuan pertama,
Mimi dikenal sebagai seorang anak yang suka menyanyi, sama seperti anak-
anak kebanyakan di Palue. Maka cara yang efektif untuk mengajarinya
mengenali dan menghafal 26 huruf adalah dengan menuliskan lirik lagu.
Tujuan dari penulisan lirik lagu ini ada dua, pertama, dengan mendiktekan
lirik lagu kepada Mimi diharapkan akan menjadi latihan agar Mimi dapat
dengan mudah mengingat huruf. Setelah satu bait lagu berhasil ditulis, maka
bait tersebut dinyanyikan. Kedua, tidak hanya belajar dan mengingat huruf,
tetapi juga mengajarkan Mimi agar menjadi anak yang lebih berani. Setelah
menuliskan lagu secara lengkap, direncanakan untuk menguji Mimi untuk
tampil di depan teman-teman sekelasnya saat masuk sekolah nanti. Jika Mimi
dapat tampil dengan baik di hadapan teman-teman sekelasnya nanti, ujian
selanjutnya adalah tampil di Pentas Kreatif, dimana Mimi akan dituntut
untuk berani tampil di hadapan banyak orang, bukan hanya anak-anak tetapi
juga orang dewasa. Dua tujuan tersebut adalah indikator keberhasilan yang
akan digunakan untuk membentuk Mimi agar menjadi anak yang lebih
mandiri dan berani.
Pada pertemuan kedua ini dipakai sebuah ruangan di rumah Mimi
agar tidak ada gangguan
seperti pertemuan pada
hari pertama. Memisahkan
Mimi dengan teman-
temannya cukup efektif
dilakukan untuk
menunjang kondisi
jalannya program. Lagu
yang didiktekan kepada
Mimi dapat diselesaikan
setengah lagu. Lagu yang
digunakan untuk kegiatan
belajar kami adalah lagu
“Indonesia Pusaka”.
Durasi yang diperlukan
untuk memberikan
pelayanan kepada Mimi adalah 2 x 60 menit. Pertemuan kedua ini dimulai
pada pukul 11.00 WITA dan selesai tepat pukul 12.00 WITA. Sesuai rencana,
setelah menuliskan lagu dilakukan pengujian kepada Mimi untuk membaca
dan menyanyikan lirik lagu tersebut di hadapan anggota keluarga lainnya.
Gambar 2.16 (01) Mimi saat diminta bernyanyi di depan kelas (Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 38
Pada pertemuan kedua ini, didapatkan hasil yang cukup memuaskan.
Kelompok berhasil mendekatkan diri dengan Mimi yang membuat dirinya
menjadi lebih terbuka dan bisa diajak berkomunikasi, membicarakan
beberapa hal tentang sekolah dan teman-temannya. Kelompok juga cukup
puas karena Mimi bisa menyanyikan lagu “Indonesia Pusaka” dengan suara
lantang meskipun baru setengah lagu yang selesai dituliskan dan hanya
tampil dihadapan keluarganya. Ini merupakan suatu perkembangan yang
cukup memuaskan jika dibandingkan pertemuan yang lalu. Metode belajar
ini akan dilanjutkan sampai akhir pertemuan dengan Mimi Meti.
Pertemuan ketiga dan keempat seharusnya dilaksanakan pada Rabu,
6 Juli 2011 dan Senin 11 Juli 2011, namun Mimi tidak berada di rumahnya
ketika kelompok datang kesana, karena Mimi dibawa oleh keluarganya ke
Rumah Sakit di Maumere. Setelah dicari tahu penyebabnya ternyata Mimi
sudah beberapa hari mengeluarkan kotoran (feses) yang mengandung darah.
Dari keterangan anggota keluarga lain yang tinggal di rumah Mimi, dia akan
kembali lagi ke Palue pada hari Rabu.
Rabu, 13 Juli 2011 kondisi kesehatan Mimi yang sudah membaik
menambah semangat kelompok untuk belajar. Ini adalah pertemuan terakhir
sebelum menguji Mimi untuk tampil bernyanyi di hadapan teman-teman
sekelasnya. Pada pertemuan kali ini kelompok akan menyelesaikan penulisan
lagu hingga selesai dan menjadi teks yang utuh. Metode yang digunakan
masih sama, yaitu dengan mendiktekan lirik lagu yang harus dituliskan oleh
Mimi. Meskipun masih sulit untuk mengenali dan mengingat huruf dengan
baik, namun kepercayaan diri dan keberaniannya untuk bernyanyi di
hadapan orang-orang baru seperti Romo Budi, membuat kelompok semakin
optimis untuk menampilkan Mimi pada acara Pentas Kreatif nanti. Meskipun
acara belajar hari ini harus molor hingga 45 menit karena harus menunggu
Mimi kembali dari kebun, tetapi proses belajar tetap berjalan dengan lancar.
Setelah selesai menuliskan lagu, kelompok mengajari Mimi
berhitung. Dengan menggunakan standar berhitung siswa kelas 1 SD karena,
proses belajar di kelas 2 baru akan dijalani oleh Mimi pada hari pertama
masuk sekolah yaitu tanggal 18 Juli 2011 mendatang. Kemampuan Mimi
dalam mengenali angka memang lebih baik daripada mengenali 26 huruf,
tetapi pada pertemuan ini ditemukan lagi kelemahan Mimi, yaitu sulit
membedakan simbol tambah (+) dan kali (x). Sedangkan untuk menghitung,
tidak menemukan kesulitan yang berarti. Mimi diajarkan berhitung dengan
bantuan jari-jari tangan seperti yang lazin diajarkan pada murid kelas 1
sekolah dasar. Materi yang diberikan cukup mudah dipahami dan diterapkan
oleh Mimi, meskipun terbatas pada hitung-hitungan yang menghasilkan nilai
atau jumlah 10 (karena menggunakan 10 jari). Materi ini bertujuan agar
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 39
dapat membantu Mimi belajar menjumlahkan atau mengurangi bilangan atau
angka-angka saat belajar di sekolah. Sisa pertemuan pada hari ini adalah
dengan memberikan pekerjaan rumah kepada Mimi agar dapat menerapkan
cara berhitung dengan sepuluh jari yang sudah diajarkan.
Senin, 18 Juli 2011 pertemuan ini diadakan tepat pada H-1
dilaksanakannya Pentas Kreatif. Tanggal 18 Juli juga bertepatan dengan hari
pertama masuk sekolah. Kelompok menemui Mimi langsung di sekolahnya,
yaitu SDK Cawalo. Pada hari pertama masuk sekolah ini, kegiatan belajar
mengajar belum intensif dilakukan dan kelompok tidak melihat ada guru di
sekolah tersebut. Hanya ada seorang kepala sekolah. Kelompok mengunjungi
beberapa kelas, termasuk di kelas Mimi yang juga satu kelas dengan ABK
kami yang lain, yaitu Lengga. Di kelas 2 ini rencana kelompok untuk menguji
keberanian Mimi untuk tampil dihadapan teman-teman sekelasnya akan
dilaksanakan. Untuk membangun suasana yang akrab, diajak Mimi dan
teman-teman sekelasnya untuk bernyanyi bersama, setelah itu menawarkan
beberapa kali kesempatan untuk para siswa kelas 2 untuk maju ke depan
kelas dan membawakan sebuah lagu. Setelah beberapa orang teman Mimi
tampil, termasuk Lengga, saatnya mengajak Mimi untuk tampil ke depan.
Tidak ada penolakan sebelumnya oleh Mimi, meskipun suara yang keluar
kurang lantang dan sedikit malu-malu untuk diajak bernyanyi di depan kelas,
akhirnya Mimi berani untuk tampil dihadapan teman-teman sekelasnya.
Selesai bertemu dengan Mimi di sekolahnya, kelompok melanjutkan
proses belajar ini di rumah Mimi. Setelah menunggu Mimi pulang dari
sekolah, sekitar pukul 13.00 WITA kelompok memulai kembali kegiatan
belajar. Agendanya adalah melatih Mimi bernyanyi tanpa melihat catatan
lirik lagu yang sudah ditulis olehnya, menghafal kata demi kata yang terdapat
pada lirik lagu tersebut, dan membahas pekerjaan rumah serta mengulang
kembali pelajaran berhitung yang sudah diajarkan pada pertemuan
sebelumnya. Perkembangannya dalam menghitung dengan sepuluh jari
semakin membaik meskipun masih sulit baginya untuk membedakan tanda
tambah (+) dengan tanda kali (x).
Selasa, 19 Juli 2011 adalah acara puncak dari salah satu program
kelompok di Rumah Kreatif, yaitu Pentas Kreatif-Ragam Ekspresi Palue. Pada
acara yang dihadiri oleh masyarakat berbagai desa, empat kelompok K2N UI
2011 Pulau Palue akan mempresentasikan hasil kerja selama satu bulan di
Palue, termasuk kelompok 2 yang membawakan program Pendidikan dan
Pelayanan Khusus. Kelompok membawa Mimi dan Lengga sebagai
perwakilan dari ABK untuk menunjukkan keberaniannya di depan panggung.
Mimi berhasil bernyanyi dengan suara lantang di panggung, dihadapan
puluhan warga, pejabat desa dan kecamatan, serta disaksikan langsung juga
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 40
oleh Wakil Bupati Sikka, Wera Damianus, yang berasal dari Desa Nitunglea.
Melalui keberanian Mimi yang tampil di acara Pentas Kreatif ini, indikator
keberhasilan untuk menjadikan Mimi anak yang lebih berani dan mandiri
sudah tercapai.
4. Tika Mere
Tika Mere adalah seorang gadis berusia 16 tahun yang memiliki
keterbatasan pada fisik yakni, kaki lumpuh, tidak dapat berdiri, dan tangan
kanannya lemah seperti kelainan pada otot dan sarafnya. Selain itu,
keterbatasan pada kemampuan berbicara juga proyeksi dalam menulis
terbalik menjadikan Tika termasuk dalam target sasaran. Secara pendidikan
Tika tidak pernah memperoleh pendidikan baik itu membaca, menulis, dan
menghitung.
Gadis yang tinggal bersama kakek-neneknya di dusun Tudu-Desa
Rokirole ini berkelahiran Malaysia tahun 1994 pada saat kedua orang tuanya
pergi merantau. Dalam kesehariannya, Tika ditinggal kakek-neneknya pergi
berkebun dari pagi sampai dengan sore hari. Sedangkan orang tua Tika,
ayahnya sedang berada di perantauan Malaysia sampai dengan saat ini dan
Ibunya tinggal di rumah yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal Tika.
Dalam memenuhi kebutuhan seperti untuk melakukan buang air dan makan-
minum, Tika melakukannya secara mandiri. Tika dapat melakukan mobilisasi
dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kedua tangannya yang
menyeret anggota badannya yang lain.
Tika adalah anak kedua dari empat bersaudara. Berbeda dengan
Tika, ketiga saudara-saudarinya tinggal dan hidup dalam satu rumah
bersama Ibu kandungnya. Setelah dilakukan pengkajian oleh kelompok pada
minggu pertama, didapatkan data mengenai Tika. Dari data yang diperoleh,
Tika diperkenalkan huruf juga angka. Kemampuan untuk menyebutkan huruf
per huruf dan dari angka 0 sampai dengan 9 serta perkenalan menulis alfabet
sangat sulit dilakukan oleh Tika. Dalam program pendidikan sendiri,
pemberian materi menulis dan menyebutkan huruf dari A-Z, angka 0-9,
penulisan nama lengkap Tika, nama keluarga Tika, beberapa nama hewan,
dan menggambar dilakukan dari pertemuan kedua sampai dengan akhir
program pada tanggal 18 Juli 2011.
Metode dari program yang diterapkan pada Tika dilakukan di luar
rumah tinggal Tika. Kehadiran dari teman dan tetangga dimana Tika tinggal,
ikut serta meramaikan jalannya program. Keberadaan orang-orang disekitar
Tika dalam pelaksanaan program membantu berjalannya program seperti
bernyanyi bersama dan melakukan candaan dalam interaksi antara Tika,
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 41
anggota kelompok, dan masyarakat di sekitarnya karena membuat suasana
lebih bermasyarakat dengan keadaan Tika yang tidak pernah mendapatkan
akses pendidikan serta pelayanan yang seharusnya. Tambahan peralatan dan
perlengkapan yang disediakan kelompok berupa pengadaan buku, alat tulis
seperti pensil, pulpen, spidol warna, dan penghapus, juga membawakan
sedikit makanan ringan dalam setiap kali pertemuan seperti, coklat dan
biskuit untuk menambah suasana berjalannya program tidak terlalu formal.
Rabu, 29 Juni 2011 Pada pertemuan pertama ini, kelompok
berkunjung ke rumah Tika, melihat ada Nenek Tika dan sepupunya yang
bernama Ngaji Usia 20 tahun. Pada kegiatan awal ini pelaksanaan pendidikan
dan pelayanan khusus kepada Tika dilaksanakan dengan sepengetahuan dari
Nenek dan sepupunya dimana Tika tinggal bersama di rumah mereka.
Dengan membawa poster berisikan tulisan huruf A-Z dan angka 0-9 menjadi
sarana untuk menguji kemampuan menyebutkan huruf oleh Tika. Dalam
pelafalan huruf alfabet dengan dibantu pelafalan huruf sebelumnya untuk
diikuti oleh Tika, semuanya terdengar samar dan sama, begitu juga dengan
angka 0-9. Program pendidikan yang dilakukan kepada Tika hari ini berupa
latihan memegang alat tulis (pulpen) dan penggunaannya di dalam buku tulis
kosong yang dibawa oleh tim. Kemudian dilanjutkan dengan latihan menulis
huruf A-Z, angka 0-9, dan latihan membaca. Karena proyeksi dalam menulis
terbalik dan kesulitan dalam menulis beberapa huruf juga angka, tim
berusaha terus berupaya untuk dapat membantu Tika dalam menulis.
Contohnya yang sulit dalam penulisan huruf C, G, J, N, P, V, Y, Z untuk angka 4,
6, 7, 9. Sedangka huruf dan angka yang dalam penulisannya terbalik seperti,
K, L, R, S, Z, 2, 3, 5. Selain itu, bersama dengan tetangga-tetangga Tika yang
hadir dalam pelaksanaan program diadakan nyanyi bersama sambil Tika
latihan menepokkan kedua telapak tangannya meski itu dilihat amat sulit.
Sepanjang kegiatan bersama Tika berlangsung, kelompok sedikit banyak
berbincang-bincang dengan Nenek dan sepupu Tika. Tika memang masih
mempunyai orang tua, Ayahnya sedang merantau di Malaysia dan belum
kembali ke Palue, sedangkan Ibu dan kakak juga adik-adik Tika tinggal di
rumah yang berbeda tempatnya namun lokasi antara rumah Nenek dan Ibu
kandungnya Tika dapat terlihat jelas karena tidak berjauhan. Menurut
Neneknya Ibu kandung Tika tidak pernah mau menyapa Tika sekalipun
mereka papasan bertemu dan hal ini menjadi faktor salah satu yang
membuat Tika tidak mau tinggal di rumah Ibu kandungnya.
Senin, 4 Juli 2011 pada hari ini belajar mengajar dilakukan dengan
mengulang cara menulis atas huruf dan angka yang sudah diajarkan pada
pertemuan sebelumnya. Penulisan A-Z dan 0-9 belum dapat dilakukan Tika
secara mandiri, dibutuhkan bantuan instruksi untuk mengikuti kelompok
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 42
yang memberikan pengajaran dalam menuliskan huruf juga angka.
Pembelajaran pada hari ini ditambahkan juga dengan menuliskan nama
“TIKA” pada buku kosong yang dibawakan kelompok khusus sebagai buku
belajarnya Tika. Penulisan rangkaian huruf untuk menjadi nama TIKA sulit
sekali dilakukan sehingga bantuan seperti contoh dan instruksi terus
dilakukan kelompok dalam memberikan pelayanan belajar menulis kepada
Tika. Dalam menulis nama TIKA sendiri terbentuk tulisan AKIT atau tulisan
dimulai T dan huruf I, K dan A nya berada disebelah kiri dari huruf T sampai
seterusnya. Hal ini membuat tim mengupayakan Tika untuk dapat
menuliskan tulisan TIKA dengan baik. Setelah kegiatan bersama Tika selesai
kurang lebih pukul 14.45 WITA, kelompok mengunjungi Ibu kandung Tika di
rumahnya yang berbeda dengan tempat Tika tinggal. Saat berjumpa dengan
Ibu kandungnya, pembelaannya kalau Tika dulu pernah tinggal bersama Ibu
kandungnya sekitar 2 hari namun, setelah itu Tika sendiri yang memilih
untuk keluar dari rumah Ibu kandungnya dan memilih untuk kembali tinggal
bersama Neneknya.
Rabu, 6 Juli 2011 mengawali pertemuan bersama Tika di tempat
tinggalnya bersama biskuit coklat yang dibawa oleh kelompok untuk
memulai pelaksanaan program. Pukul 10.30-12.30 belajar mengajar
dilakukan bersama Tika secara privat di sekitar rumahnya. Pada hari ini
dilakukan pengajaran dengan mengulas kembali menulis huruf A-Z, angka 0-
9, dan tulisan “TIKA”. Kemudian satu halaman kosong buku diinstruksikan
kepada Tika untuk menulis tulisan “TIKA MERE” (nama lengkapnya Tika)
dari bagian atas halaman buku sampai bawah yang didapatkan sebanyak 7
tulisan “TIKA MERE” meskipun dalam satu tulisan yang pertama mengalami
proyeksi terbalik, tulisan “TIKA MERE” yang ke-2 diberikan contoh oleh
anggota kelompok yang kemudian diikuti oleh Tika, dan tulisan ke-3 sampai
dengan yang ke-7 Tika menulis tulisan “TIKA MERE” sendiri melalui contoh
pada tulisan TIKA yang ke-2. Pengajaran dilanjutkan dengan menggambar
oleh Tika tanpa diberikan contoh seperti, gambar boneka, bunga, dan pohon
kelapa (nio).
Senin, 11 Juli 2011 pukul 11.00 WITA di depan tempat tinggal Tika.
Dari hasil 3 kali pertemuan sebelumnya dengan Tika, dimana sudah
dilakukan pengajaran berupa perkenalan mengeja dan menulis huruf, angka,
dan menggambar, Tika sudah mampu menulis “TIKA MERE” secara mandiri
di halaman buku yang bawa oleh kelompok tanpa instruksi petunjuk contoh
tulisan sebelumnya dan menulisnya dengan baik dari arah kiri ke kanan
setiap rangkaian hurufnya. Meskipun begitu, ada beberapa huruf alfabet dan
angka yang masih sama seperti diawal, sulit untuk ditulis oleh Tika. Sehingga
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 43
masih membutuhkan petunjuk contoh dan instruksi untuk menulis beberapa
huruf dan angka itu serta bantuan untuk melafalkannya.
Rabu, 13 Juli 2011 setibanya di tempat tinggal Tika sekitar pukul
10.45 WITA, Tika sedang bermain bersama 3 anak perempuan, usianya
sekitar dibawah 10 tahun. Kelompok langsung ikut bergabung bersama
mereka dan berkenalan juga bercanda bersama lalu dilanjutkan dengan
mengajak Tika kembali untuk belajar, mau atau tidak? Tika bilang mau.
Diawal pengajaran diinstruksikan Tika untuk menulis nama lengkapnya dan
hasilnya pun cukup baik. Tulisan “TIKA MERE” terbentuk di satu halaman
kosong buku belajar Tika tanpa ada contoh dan petunjuk tulisan “TIKA
MERE” yang dilihatnya. Kemudian anggota kelompok melanjutkan dengan
menginstruksikan Tika menulis huruf alfabet sampai dua kali, yang pertama
penulisan dilakukan dengan menggunakan petunjuk tangan mengarah ke
huruf dalam lembar contoh huruf alfabet yang akan ditulis Tika dan yang
kedua menggunakan lembar contoh huruf alfabet tadi tanpa digunakan
tangan fasilitator dalam menunjuk ke arah huruf alfabet. Dari hasil yang
diperoleh, masih ada beberapa huruf yang sulit ditulis oleh Tika seperti,
huruf G, J, V, dan Y juga angka 5, 6 , 7, dan 9. Dalam sela-sela menulis nama
dan huruf juga angka, Tika bersama teman-temannya diinstruksikan untuk
bernyanyi bersama sambil bertepuk tangan. Pertemuan hari ini diakhiri
dengan menggambar rumah, pohon kelapa (nio), boneka, dan bunga bersama
dengan potnya.
Senin, 18 Juli 2011 pelaksanaan program pendidikan dan pelayanan
khusus hari ini mendampingi Tika dilaksanakan setelah kegiatan kunjungan
ke SD Cawalo dimana Mimi (ABK yang dipegang oleh Julia Ikasarana) dan
Lengga (ABK yang dipegang oleh Risa Rizania) bersekolah. Kegiatan belajar-
mengajar hari ini diawali dengan menulis nama lengkap Tika dan terus
mengulas pelajaran pada pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan menulis
huruf A-Z, angka 0-9, menggambar, dan menyanyi. Kebetulan kegiatan
bersama Tika hari ini didampingi oleh sepupunya yang bernama Ngaji yang
sudah tidak lagi mengenyam bangku sekolah. Sepupu Tika ini ditargetkan
akan menjadi kader dari perjalanan program pendidikan dan pelayanan
khusus pada Tika yang sudah dilakukan selama 6 kali pertemuan termasuk
hari ini. Hal ini menjadi pertimbangan karena Ngaji adalah orang yang paling
dekat dengan Tika selain antara Tika dengan Neneknya. Ngaji sudah
mengetahui bentuk program pendidikan dan pelayanan khusus yang
dilaksanakan dalam program karena sudah dijelaskan di awal pertemuan
pertama program ini dijalankan dan dibawakan kepada Tika. Ngaji pernah
duduk di bangku sekolah sampai dengan kelas 3 SMP sehingga dapat
membantu dan mendukung program yang telah disampaikan kepada Tika
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 44
untuk dapat terus dilanjutkan. Pelaksanaan program pendidikan dan
pelayanan khusus kepada Tika hari ini selesai kurang lebih sampai dengan
pukul 15.20 WITA yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan sedikit
kenang-kenangan yang sudah disepakti oleh kelompok berupa buku, pensil,
pulpen, spidol, dan topi K2N UI 2011 kepada Tika yang disampaikan melalui
sepupunya Ngaji untuk dapat membantu program terus berkesinambungan.
5. Ruti
Ruti adalah seorang anak laki-laki berusia 9 (sembilan) tahun yang
bertempat tinggal di Dusun Tudu, Desa Rokirole. Ia tinggal bersama Ibunya
dalam sebuah rumah sederhana di perkampungan yang padat dengan jarak
yang berdekatan dengan tetangga-tetangga lainnya, sementara ayahnya
sudah meninggal. Ia memiliki seorang kakak berumur 20 tahun, namun
menurut keterangan tetangga-tetangganya, kakaknya enggan terlihat
bersama Ruti dan tidak ingin diketahui beradikkan Ruti. Ruti menderita
Cereberal palsy; ia mengalami lumpuh pada sebagian tubuh sebelah kirinya
dan tingkat kecerdasannya di bawah rata-rata. Wajah Ruti tampak normal
seperti anak-anak lainnya, hanya saja terdapat permasalahan dengan
kelenjar liurnya sehingga saliva terus
menerus mengalir dan bibirnya tampak
sulit untuk mengatup. Ia tidak dapat
berbicara dengan sempurna (biasa
disebut gagu) terutama untuk
pengucapan beberapa konsonan tertentu.
Namun, ia dapat berkomunikasi baik
dengan orang-orang di sekitarnya.
Berawal dari periode pengkajian
pada Ruti yang dilakukan sesuai metode
yang digunakan oleh kelompok, yakni
pengamatan dan wawancara secara
langsung kepada tetangga-tetangganya
pada hari Rabu, 29 Juni 2011 oleh
margaretha Quina dan Anju Hasiholan.
Pada saat dilakukan assessment, Ibu Ruti
sedang berkebun sehingga tanya-jawab
secara mendalam dengan Ibu Ruti tidak
dapat dilakukan. Selain itu, terhadap Ruti
dilakukan pula beberapa tes sederhana
untuk mengetahui kemampuan awal Ruti,
diantaranya adalah meminta Ruti untuk
Gambar 2.20 Ruti menangis saat Anggota kelompok berpamitan
(Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 45
menyebutkan angka 1-10, meminta Ruti untuk menggambar orang secara
lengkap, menunjukkan huruf-huruf dan mencari tahu pengenalan Ruti
terhadap huruf, mencari tahu kemampuan Ruti untuk melafalkan bunyi dan
kepekaannya terhadap nada, mencari tahu kemampuan dan preferensi
motorik tangan, serta mencari tahu kemampuan komunikasi dan sosial Ruti.
Dari hasil pengkajian, diketahui bahwa Ruti belum pernah
mengenyam pendidikan formal sama sekali. Berdasarkan penuturan dari
Kepala Desa Rokirole, Bapak Yoseph Tekka, pernah terdapat suatu wacana
untuk memasukkan Ruti ke sekolah normal, namun pada akhirnya tidak
terlaksana karena faktor kenyamanan kegiatan belajar mengajar dimana
para guru khawatir bahwa
keberadaan Ruti di kelas akan
menyebabkan anak-anak dan
guru-guru lainnya merasa
jijik12. Ruti tidak mengenal
bahasa Indonesia, sehingga
komunikasi dengan Ruti
membutuhkan penerjemah, di
samping fasilitator berusaha
untuk menyesuaikan dengan
menggunakan bahasa Palu’e
sederhana. Ruti memiliki
keinginan untuk belajar, yang
diakui sendiri olehnya dan
juga diperkuat dengan keterangan dari para tetangganya. Belakangan,
neneknya juga menceritakan bahwa terkadang Ruti kerap diajari pelajaran
sekolah sederhana oleh anak-anak seusianya. Ruti mengaku gemar bermain
bola kaki dan bermain oto13 di waktu senggangnya bersama anak-anak lain di
dusun Tudu.
Selain itu, dari assessment pula diketahui bahwa Ruti tidak mengenal
huruf, baik untuk membaca maupun menulis. Huruf yang ia kenal sebatas A
dan B, dan ia tidak dapat menuliskan namanya. Ruti juga memiliki
keterbatasan dalam mengucapkan huruf tertentu semisal C, J, G dilafalkan ‘Je’,
dan daya tangkapnya tergolong lebih lambat dibandingkan anak rata-rata
12 Berdasarkan hasil bincang-bincang dengan Bapak Thomas Tekka (Kepala Desa Rokirole)
13 Mainan anak-anak di pulau Palue yang berupa ban bekas yang digelindingkan. Dibuat dari ban sepeda dan sebuah tongkat untuk menjaga perputaran ban tersebut, anak-anak biasa memainkannya dengan menggiring ban tersebut bersama-sama beberapa anak lainnya yang melakukan hal yang sama.
Gambar 2.21 Keadaan Dusun Tudu
(Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 46
yang disimpulkan dari tes sederhana terhadap penghafalan huruf AIUEO dan
beberapa tes sederhana lainnya. Namun Ruti memiliki pengenalan yang
cukup baik terhadap angka. Sebelum pendidikan dan pelayanan khusus
diberikan, ia telah mengetahui angka 1-10 dalam bahasa Indonesia dan cara
penulisannya. Ia juga telah dapat menjawab pertanyaan sederhana terkait
penjumlahan dan pengurangan dengan alat bantu14. Ia dapat menirukan
tulisan atau gambar dengan cukup baik pula, meskipun ia belum tentu dapat
mengingat penamaan atau penyebutan dari hal yang digambar/ditulis
tersebut. Dari hasil assessment pula, diketahui bahwa Ruti memiliki preferensi
motorik tangan kanan, dan kemampuan
motorik kanan yang cukup baik dilihat
dari kemampuannya untuk melakukan
kombinasi tepuk tangan.
Pelaksanaan program yang
dilakukan pada Ruti 5 kali pertemuan,
yaitu pada Selasa (5/7/2011), Rabu
(6/7/2011), Senin (11/7/2011), Rabu
(13/7/2011), dan Kamis (21/7/2011).
Terdapat 2 pertemuan yang terpaksa
disesuaikan karena Ruti turun ke pantai,
yaitu pada hari Senin (4/7/2011) yang
digeser menjadi hari Selasa; dan hari
Senin (18/7/2011).
Selasa, 5 Juli 2011 Pertemuan
pertama untuk Pendidikan dan
Pelayanan Khusus bagi Ruti ini
dilaksanakan mulai pukul 14.30 s.d.
16.30, bertempat di dalam rumah Ruti.
Aktivitas bersama Ruti pada pertemuan pertama adalah memperkenalkan
huruf A-Z kepada Ruti, melatih mengucapkan alfabet dan membetulkan
ucapan-ucapan yang salah. Pengenalan huruf A-Z dilaksanakan dalam dua
termin, yang pertama adalah A-J dan dilanjutkan K-Z, dengan
menggambarkan tulisan A-Z dan membacakannya, lalu meminta Ruti untuk
mengulangi pelafalan A-Z tersebut. Setelah itu, Ruti diajak mengenali dan
menjelajahi bentuk huruf dengan cara mengikuti garis huruf yang telah saya
buat dengan menimpa langsung garis tersebut di atasnya.
14 Pada saat dilakukan assessment pada Rabu, 29 Juni 2011, Ruti ditanyai operasional ringan berupa penjumlahan dan pengurangan di bawah sepuluh. Ia dapat menjawab dengan baik dengan bantuan peraga tangan. Namun, ketika tidak ada alat bantu atau penjumlahan telah lebih dari sepuluh, Ruti belum dapat menjawab.
Gambar 2.22 Warga yang mengerumun pada saat dilakukan assessment di Dusun Tudu
(Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 47
Selain itu, Ruti juga belajar menuliskan angka 1-30. Pembelajaran
dilakukan dengan
meminta Ruti menulis 1-
10, dan kemudian
mengajarkan dengan
contoh untuk menulis
angka belasan.
Fasilitator hanya
mencontohkan beberapa
angka pertama seperti
11 dan 12, selanjutnya
memberanikan Ruti
untuk menulis sendiri
angka 13-19. Demikian
pula dengan angka 20
dan 21 yang dilanjutkan
Ruti sampai dengan 30.
Rabu, 6 Juli 2011 Kegiatan belajar mengajar berjalan pukul 12.00
s.d. pukul 13.45, bertempat di balai-bali rumah Ruti. Cukup banyak anak-
anak yang turut serta memperhatikan pada saat kegiatan pembelajaran
berlangsung. Dengan kegiatan pada hari ini, Ruti belajar menghafalkan
alfabet dan membetulkan pengucapan yang salah. Pembelajaran dilakukan
dengan mengucapkan alfabet secara berulang-ulang. Pada hari ini, alfabet
yang dicoba untuk dihafalkan adalah A-J. Target pembelajaran adalah Ruti
dapat mengingat bentuk dan pengucapan alfabet tersebut.
Pada hari itu, anggota kelompok juga mengajarkan Ruti untuk
menulis AIUEO dan menulis namanya sendiri yaitu RUTI. Pembelajaran
dilakukan dengan menuliskan terlebih dahulu huruf tertentu kemudian
meminta Ruti untuk menuliskannya kembali. Pada awalnya, Ruti diminta juga
untuk melafalkan huruf tersebut sambil menulis. Hal ini dilakukan berkali-
kali hingga Ruti menunjukkan perkembangan. Setelah itu, anggota kelompok
memberikan tes bagi Ruti dengan menyebutkan huruf tertentu dan meminta
Ruti untuk menuliskannya, atau menunjuk tulisan huruf tertentu dan
meminta Ruti untuk melafalkannya. Kemudian dilanjutkan daengan
menuliskan angka 31-50. Pembelajaran hari ini di tempat Ruti dengan
memberikannya pekerjaan rumah untuk menuliskan namanya.
Senin, 11 Juli 2011 program dijalankan lebih lambat dari biasanya
dikarenakan anggota kelompok terlebih dahulu belanja di Pantai Uwa
sehingga aktivitas belajar mengajar baru dimulai pukul 11.00 dan berakhir
pukul 12.30 sesuai ketahanan ABK. Aktivitas yang dilakukan pada hari ini
Gambar 2.23 Anggota kelompok saat memberikan pendidikan dan pelayanan khusus bagi Ruti
(Sumber : doc. Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 48
adalah mengulang materi membaca dan melafalkan huruf A-Z. Pada setiap
pertemuan, materi ini diulang terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke
materi selanjutnya. Hal ini bertujuan agar Ruti dapat meningkatkan
kemampuannya mengenali huruf. Kemudian juga menulis angka 51-150, dan
mengenal angka puluhan serta ratusan
Rabu, 13 Juli 2011
Kegiatan Ruti berpusat pada
mengulangi huruf AIUEO,
mengulangi angka puluhan
dan melanjutkan pengenalan
atas bentuk. Program
dilaksanakan pukul 12.00 s.d.
pukul 13.30, dengan durasi
1,5 jam dan istirahat sekitar
15 menit dengan deskripsi
aktivitas pada hari ini
meliputi review penulisan
huruf A-J. Hal ini merupakan
pengulangan materi yang
dipelajari sebelumnya yang
dilakukan oleh pendidik dengan mendiktekan huruf secara berurutan dan
Ruti menuliskan huruf tersebut. Secara umum, pendidik tidak memberikan
contoh kepada Ruti sehingga Ruti tidak mengkopi dari manapun namun
harus mengingat hasil pembelajaran. Namun, pada huruf tertentu pendidik
masih memberitahukan bantuan dengan menggerakkan jari untuk
merangsang ingatan Ruti. Serta me-review AIUEO dan BaBiBuBeBo dilakukan
dengan menuliskan huruf tersebut dan melakukan tes secara acak dengan
meminta Ruti untuk mendengar dan menuliskan. Setelah itu, memeriksa
pekerjaan rumah Ruti yaitu angka 51-150, review angka puluhan s.d. 150 dan
melanjutkan s.d. 200.
Pengenalan bentuk dengan memasangkan bentuk-bentuk tertentu.
Di sini, pendidik menggambarkan bentuk-bentuk tertentu pada dua lajur, dan
meminta ABK untuk memasangkan bentuk-bentuk yang sama dari lajur kiri
terhadap lajur kanan. Tujuannya adalah agar ABK mengenal bentuk-bentuk
dan melatih intelegensi ABK. Untuk gerakan motorik, pendidik melatih
tepukan tangan dan tepuk silang, dengan pendidik sebagai pasangan
melakukan tepukan. Dilanjutkan dengan berlatih menuliskan kata-kata
sederhana seperti nama-nama binatang, yaitu SAU, WIDI, WAWI, MANU,
KOLO, ULE, dan bahasa Indonesianya. Pendidik menuliskan terlebih dahulu
tulisan tersebut untuk kemudian ditulis kembali oleh Ruti.
Gambar 2.24 Ruti saat sedang berusaha menirukan tulisan yang dibuat oleh anggota kelompok
(Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 49
BAB III
PEMBAHASAN PROGRAM KELOMPOK
III.1 Mimi Meti
Berdasarkan hasil temuan yang kami lihat hari ini, Mimi dapat
digolongkan sebagai anak berkesulitan belajar spesifik (ABBS). Salah satu
definisi ABBS tertera dalam Federal Law atau hukum federal (IDEA,1997)
bahwa, Istilah “kesulitan belajar spesifik” menerangkan semua anak yang
mengalami gangguan pada satu atau lebih proses psikologis dasar yang
melibatkan pemahaman atau penggunaan bahasa, lisan atau tulisan dimana
gangguan yang terjadi dapat termanifestasikan menjadi kemampuan yang
tidak sempurna untuk mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis,
mengeja, atau mengerjakan perhitungan matematika. Yang termasuk di
dalam istilah ini diantaranya gangguan perseptual, cedera otak, disfungsi
minimal otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Istilah ini tidak termasuk
kondisi-kondisi seperti permasalahan belajar yang penyebab utamanya
adalah gangguan penglihatan, pendengaran atau motorik, retardasi mental,
gangguan emosional, atau ketidakberuntungan lingkungan, budaya atau
ekonomi.15
Berdasarkan pengertian tersebut, ada beberapa karakteristik ABBS.
Pertama pada masa kanak-kanak, antara lain:
Kesulitan mengekspresikan diri, membicarakan sesuatu tidak berarti,
sulit mencari kata-kata yang tepat.
Lambat dalam mengerjakan tugas seperti mnegikat sepatu dan
menyebutkan waktu. Mengikat sepatu menjadi sulit bukan disebabkan
karena motorik yang lemah namun karena kebingungan arah.
Tidak perhatian, mudah terganggu
Ketidakmampuan mengikuti arahan karena ketidakmampuan memahami
instruksi lisan.
Kebingungan kanan-kiri.
Kesulitan dalam belajar huruf, waktu, kata-kata dan irama dalam lagu.hal
ini karena urutan huruf tidak bersifat tidak logis sehingga sulit
memahami ABBS.
15 Pujianingsih, M. Pd. “Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar Spesifik”, diakses dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/materi%20untuk%20diklat%20dinas% 20dikpora%20DIY.pdf. Pada 10 September 2011, pukul 09:34 WIB.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 50
Lemah dalam keterampilan bermain di lapangan.permasalahan
perseptualberdampak pada moto planning (perencanaan gerak motorik)
sehingga tampak tidak lincah saat bermain.
Kesulitan membaca.
Campur aduk dalam mengatur urutan huruf atau angka ketika menulis.
Anak tidak paham mengapa harus diurutkan I-B-U bukan B-U-I.
Berbagai permasalahan perilaku dan kesulitan belajar muncul
sebagai rangkaian masalah yang saling terkait satu sama lain. Disamping itu,
motivasi belajar yang rendah juga muncul dlam rangkaian masalah tersebut.
Pada anak dengan hambatan membaca maka ia akan memepunyai
kecenderungan untuk enggan dan bahkan menolak untuk belajar membaca.
Kegagalan-kegagalan yang dialami oleh anak dengan metode pembelajaran
konvensional menjadi pemicu ketakutan dan penolakan tersebut.16
III.2. Laurensius Lajupio
Karaktersistik anak cacat mental tingkat menengah adalah mereka
digolongkan sebagai anak yang mampu latih, dimana mereka dapat dilatih
untuk beberapa keterampilaan tertentu. Meski sering kali merespon lama
terhadap pendidikan dan pelatihan tertentu, jika diberi kesempatan
pendidikan yang sesuai Laju Pio dapat dididik untuk melakukan pekerjaan
yang membutuhkan kemampuan-kemampuan tertentu.17 Laju Pio dapat
dilatih untuk mengurus dirinya serta dilatih beberapa kemampuan membaca
(melafalkan alphabet A, B, dan C) dan menulis sederhana.Mereka memiliki
kekurangan dalam kemampuan untuk mengingat, menggeneralisasi, bahasa,
konseptual, dan kreativitas, sehinga perlu diberikan tugas yang sederhana,
singkat, berurutan, dan dibuat untuk keberhasilan mereka.Anak-anak
golongan menengah menampakan kelainan fisik yang merupakan gejala
bawaan, namun kelainan fisik tersebut tidak seberat yang dialami anak-anak
pada kategori beratdansangat berat. Seringkali mereka juga memiliki
koordinasi fisik yang buruk dan akan mengalami masalah dibanyak di situasi
sosial.Mereka juga menampakan adanya gangguan pada fungsi bicaranya.
Defisit yang dialami anak tunagrahita mencangkup beberapa area utama
yaitu atensi (perhatian) sangat diperlukan dalam proses belajar. Seseorang
harus dapat memusatkan perhatiannya sebelum ia mempelajari sesuatu.
16 Ibid.
17Hasson & Aller,Journal of shellfish research.(Chicago : University of Chicago, 1992), hal 165.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 51
Selama bertahun-tahun, banyak penelitian menunjukan bahwa
kesulitan belajar pada mereka yang mengalami keterbelakangan mental,
lebih disebabkan karena masalah dalam memusatkan perhatian pada benda
yang salah, serta sulit mengalokasikan perhatian mereka dengan tepat.Lalu
selanjutnya adalah kemampuan daya ingat.Kebanyakan mereka yang
menderita keterbelakangan mental mengalami kesulitan dalam mengingat
suatu informasi. Masalah ingatan yang dialami adalah yang berkaitan dengan
kemampuan untuk mengingat, yaitu kemampuan menyimpan informasi
tertentu, sementara melakukan tugas konigtif lain. Perkembangan bahasa
oleh mengungkapkan bahwa secara umum, anak tunagrahita mengalami
perkembangan bahasa yang sama dengan anak normal, tetapi perkembangan
bahasa mereka biasa terlambat muncul, lambat mengalami kemajuan, dan
berakhir pada tingkat perkembangan yang lebih rendah. Mereka juga
mengalami masalah dalam memahami dan menghasilkan bahasa18.Lalu
pengontrolan diri salah satu alasan yang utama mengapa penderita
keterbelakanganmental memiliki masalah dalam daya ingatnya adalah
mereka mengalami kesulitan dalam mengontrol diri sendiri, yaitu
kemampuan seseorang untuk mengatur tingkah lakunya sendiri. Jadi bila
Laju Pio diberikan sejumlah daftar kata-kata yang perlu diingat, kebanyakan
diaakan mengulangi dengan cara menghafal dan menyimpannya dalam
ingatan. Keadaan ini menunjukan bahwa Laju Pio secara aktif mengatur
tingkah lakunya untuk menentukan strategi pengontrolan diri-nya, seperti
pengulangan dalam suatu materi.Mereka yang keterbelakangan mental juga
mengalami kesulitan dalam metakognisi yang berhubungan erat dangan
kemampuan regulasi diri.Perkembangan bahasa yang buruk dan masalah
dalam mengontrol diri saling berhubungan. Karena banyak stategi
pengontrolan diri berdasarkan pada dasar-dasar ilmu bahasa, anak yang
buruk keterampilan bahasanya akan terhambat dalam menggunakan taktik
pengontrolan diri-nya. Perkembangan anak tunagrahita cenderung sulit
mendapatkan teman dan mempertahankan pertemanan tersebut karena
setidaknya dua alasan yaitu bahwa mulai usia prasekolah, mereka tidak tahu
bagaimana memulai interaksi sosial dengan orang lain, mereka mungkin
menampilkan tingkah laku yang membuat teman-teman mereka menjauh,
misalnya karena perhatian yang tidak fokus dan menggangu. Selain itu,
konsep diri anak tunagrahita buruk dan kemungkinan besar mereka tidak
mendapatkan kesempatan untuk bersosialisasi dengan orang lain. Dengan
demikian peranan orang tua dan orang terdekat anak tunagrahita sangatlah
besar dalam pembentukan konsep diri dari anak tunagrahita tersebut.
18Hallahan D.P dan Kauffman, J.M, Exceptional children : Introduction to special education. 6 th Ed, (Boston : Allyn & Bacon, 1994), hal 146.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 52
III.3. Yosep Andriano Lengga
Yosep Andriano Lengga atau biasa dipanggil dengan Lengga adalah
seorang anak yang menurut stigma masyarakat Palue memiliki kebutuhan
khusus. Lengga memiliki kelainan berupa wajah asimetris yang nampak jelas
pada mata sebelah kanannya. Ekspresi wajah yang dimiliki Lengga cenderung
datar. Meski begitu kontak mata yang terjadi antara Lengga dengan lawan
bicaranya cukup baik. Fungsi tubuh sebelah kanan Lengga kurang maksimal
dan ia memiliki enam jari pada kakinya. Kelainan tubuh dengan memiliki
enam jari atau lebih ini dalam istilah kedokteran disebut sebagai
polydactyls.19
Secara fisik, Lengga memang memiliki keterbatasan “Mata sebelah
kanannya kabur-kabur. Kalau menulis, tangannya lamban.” Menurut
pengakuan Pepet Tuanoko, guru kelas satu Lengga di sekolah menjelaskan
kondisi Lengga dalam sebuah wawancara.
Secara psikologis Lengga memang cenderung sebagai anak yang
pemalu terutama untuk bertemu dengan orang baru. Meskipun begitu
Lengga mampu mengolah dengan baik informasi yang ia terima kemudian
memberikan respon balik. Selama ini Lengga dapat memahami dan
melaksanakan dengan baik perintah-perintah yang diajukan kelompok
selama masa pelayanan. Kedekatan emosional Lengga dengan ibu dan
adiknya amat baik. Menurut pengakuan ibunya, Lengga sering menceritakan
aktivitasnya sehari-hari. Itu artinya, Lengga tidak mempunyai masalah dalam
berkomunikasi.
Jika dilihat dari kemampuan sosialnya, Lengga mampu bersosialisasi
baik dengan teman-temannya. “Lengga akrab dengan kawan-kawannya,
kalau bermain dengan teman, Lengga memang lebih sering mengalah.” Ibu
Pepet yang juga akrab dipanggil Bu Pet menjelaskan.
“Sama temannya dia main, kalau sudah sore biasanya dia baru
pulang.” Ibu Vinsensia, ibunya Lengga menjelaskan kedekatan Lengga dengan
temannya dalam bermain.
Meski memiliki keterbatasan fisik, namun itu bukanlah penghalang
yang besar bagi Lengga dalam menempuh pendidikan. “Biasanya dia dan
19 “Bayi Laki-laki Lahir Dengan 24 Jari”, http://tempointeraktif.com/hg/luarneger i/2009/02/05/brk,20090205-158692,id.html (5 Februari 2009 pukul 20.50 WIB.)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 53
beberapa teman yang masih ketinggalan, saya beri perhatian khusus. Saya
beri pelajaran tambahan tiap sore atau sepulang sekolah.” Ibu Pet
menjelaskan metode yang digunakan terhadap murid-muridnya. “Namun
secara keseluruhan Lengga mampu belajar di kelas. Makanya ia saya naikkan
ke kelas dua, padahal teman-temannya yang lain ada yang tidak naik kelas.
Kalau memang menurut saya Lengga tidak mampu, saya tidak ingin
memaksakan ia untuk naik kelas.” Ibu Pet menegaskan. “Saya yakin dia akan
sukses nantinya.”
Jika dilihat dari wawancara diatas, maka dapat diketahui bahwa
sekalipun memiliki keterbatasan namun Lengga memiliki kesempatan cukup
besar untuk berprestasi seperti anak normal lainnya. Hal inilah yang
mendorong kami untuk memilih Lengga sebagai anak yang kami berikan
pendampingan agar bisa dijadikan contoh oleh ABK lain dan masyarakat
Palu’e pada umumnya. Hal lain yang bisa dijadikan pertimbangan adalah
fakta bahwa Lengga menempuh pendidikan formal di sekolah umum dimana
hal ini tidak banyak didapatkan oleh ABK Palu’e lainnya.
Adapun kelainan yang terjadi pada tubuh Lengga bagian kanan, hal
ini bisa dikaitkan dengan fungsi otak besar (cerebrum). Otak besar
(cerebrum) terdiri dari dua belahan, yaitu belahan kiri dan kanan. Setiap
belahan mengatur dan melayani tubuh yang berlawanan, belahan kiri
mengatur tubuh bagian kanan dan sebaliknya. Jika otak belahan kiri
mengalami gangguan maka tubuh bagian kanan akan mengalami gangguan,
bahkan kelumpuhan.
Dukungan keluarga dan lingkungan sekitar memang menjadi faktor
utama yang mendorong setiap anak untuk terus berprestasi. Hal ini pulalah
yang diterima Lengga dari Lingkungannya, baik itu ibunya sendiri, bibi,
tetangga, teman sepermainan, juga guru di sekolah. Seperti dikemukakan
Johnstone & Jiono (Aldita, 2004) yang mengemukakan bahwa dimensi proses
dari latar belakang keluarga ternyata memberikan kontribusi yang paling
besar terhadap motivasi dan prestasi belajar anak yang berpengaruh
terhadap aspek psikologis seperti aspirasi, motivasi, dan sikap anak.20
Jika dilihat secara keseluruhan, maka kasus yang dialami Lengga bisa
disimpulkan sebagai kasus kelainan biologis yang terjadi pada otaknya yang
kemudian berpengaruh pada peranan atau fungsi fisiknya saja. Namun hal itu
20 Yanwar Pamungkas, Motivasi Belajar Ditinjau Dari Dukungan Orang Tua Pada Siswa SMA (skripsi), (Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2010), hlm. 4
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 54
tidak mempengaruhi perkembangan Lengga dalam hal kejiwaan (psikologis),
sosial, dan kemampuannya untuk berkomunikasi.
III.4. Tika Mere
Terdapat beberapa istilah yang sering digunakan mereka yang
mengalami keterbelakangan mental antara lain feeble mindedness (lemah
pikiran), mental subnormality, cacat mental, bodoh, dungu, pandir (imbecile),
dan sebagainya (Ashman dalam Ashman & Elkins, ed., 1998; Tunagrahita,
n.d.). Dalam penanganan kasus Tika Mere didapatkan kemampuan dalam
menulis, membaca, dan diisntruksikan mengenai suatu hal dirasa lambat
untuk dapat diterima dan dipahami olehnya. Karena ada dua poin penting
mengenai tunagrahita yaitu bahwa keterbelakangan mental mencakup tidak
hanya fungsi intelektual melainkan juga tingkah laku adaptif, serta
bagaimana keduanya masih dapat dikembangkan pada seorang dengan
keterbelakngan mental.
Pendampingan Tika melalui metode pengajaran sebagai umumnya
anak yang belum pernah mengenyam bangku pendidikan menjadi satu hal
yang mampu memberikan perubahan besar dikemudian hari. Sehingga
belajar dan berkembang dapat terjadi seumur hidup bagi semua orang
begitupundengan anak tuna grahita juga dapat belajar dan berkembang. Hal
ini dikarenakan anak berkebutuhan khusus dalam klasifikasi tunagrahita
harus belajar lebih keras dan lebih baik untuk dapat berintegrasi secara
intelektual dengan anak normal lainnya.
III.5. Ruti
Baik keluarga dan
masyarakat sekitar secara
umum cukup menerima Ruti
sebagai bagian dari mereka
tanpa merasa terganggu
dengan kecacatannya.
Sehari-hari, Ibu Ruti
berkebun seperti wanita
Palu’e pada umumnya, pergi
dari rumah pada pukul 6-7
pagi dan kembali ke rumah
petang, sekitar pukul 4-5
Gambar 3.2 Rumah Ruti (Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 55
sore. Pada awalnya, Ibu Ruti merasa malu karena anaknya cacat,
sebagaimana pula anggota keluarga Ruti yang lainnya. Namun seiring dengan
tumbuh dan bersosialisasinya Ruti, anggota keluarga mulai menerima
keadaan Ruti. Dalam hal ini penerimaan masyarakat juga memiliki kaitan
yang sangat erat dengan penerimaan keluarganya, di mana keluarga Ruti
sendiri lebih terbuka menerima keadaan Ruti juga karena tidak ada stereotip
atau desas-desus negatif di masyarakat. Dibandingkan dengan Ibunya, Ruti
justru lebih dekat dengan neneknya karena waktu yang lebih banyak
dihabiskan dengan sang Nenek dibandingkan dengan Ibunya. Nenek Ruti
tidak lagi bekerja di ladang setiap hari, hanya terkadang saja ia berladang
bersama Ibu Ruti. Anggota kelompok pun lebih banyak memperoleh
informasi dari Nenek Ruti dibandingkan dari Ibu Ruti, yang disebabkan jam
yang tersedia untuk pendidikan dan pelayanan khusus merupakan saat Ibu
Ruti sedang berkebun. Sayang sekali Nenek Ruti tidak dapat berbicara
bahasa Indonesia dengan lancar, sehingga komunikasi yang dibangun antara
tim dengan sang Nenek tidak dapat dilakukan secara mendalam.
Hanya ada satu anggota
keluarga inti Ruti yang tidak
ingin terlihat bersama-sama
dengan Ruti karena malu,
yaitu kakak kandungnya.
Bahkan, saat tim melakukan
assessment, warga sekitar
memberitahukan bahwa
kakak kandung Ruti
sebenarnya berada di sekitar
lokasi, namun lari karena
malu. Ketika anggota
kelompok meminta tolong
agar kakak Ruti dipanggilkan,
ia pun tidak muncul. Hingga
berakhirnya masa tugas
Kelompok Pendidikan dan
Pelayanan Khusus di Pulau
Palu’e, kakak Ruti tidak juga
berhasil ditemui.
Keluarga Ruti
memperlakukan anaknya
selayaknya memperlakukan
anak normal. Dibandingkan
Gambar 3.3 Ruti dan Pele berjanji kepada anggota kelompok bahwa mereka akan tetap belajar
(Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 56
anak-anak lainnya, tidak ada perbedaan perlakuan yang mencolok bagi Ruti
selain penampilannya yang kotor. Tidak ada perlakuan menghalang-halangi
Ruti untuk bermain, yang terlihat dari bebasnya Ruti bermain setiap hari
dengan anak-anak seusianya. Bahkan, Ruti kerap bermain ke pantai bersama
pamannya atau teman-temannya yang lain, yang notabene jaraknya cukup
jauh (sekitar 2 km menuruni bukit yang masih dipenuhi pepohonan) dari
tempat Ruti tinggal. Hanya saja, tidak dapat diketahui dengan pasti apakah
hal ini merupakan indikator negatif akan kurangnya keperdulian orangtua
terhadap Ruti ataukah indikator positif sebagai bentuk kepercayaan kepada
Ruti untuk dapat tumbuh berkembang seperti anak normal lainnya.
Membiarkan anaknya bermain seharian hingga ke tempat yang jauh tanpa
pengawasan yang terlalu ketat sebenarnya adalah kebiasaan masyarakat
Palu’e. Yang membedakan, Ruti terlihat jauh lebih kotor dibandingkan
dengan anak-anak lainnya. Selain liurnya yang terus menetes, secara kasat
mata memang tampak bahwa Ruti diselimuti debu, menggunakan pakaian
yang warnanya usang atau berlubang, berambut gondrong, serta kotor baik
di tangan, wajah, maupun sekujur tubuhnya. Mengenai rambutnya yang
panjang, keluarganya memang mengakui bahwa Ruti sendirilah yang enggan
setiap kali disuruh memotong rambut, tanpa alasan yang jelas. Telah begitu
sering keluarganya, bahkan tetangganya, mengingatkan bahkan
menghardiknya dengan bentakan untuk memotong rambutnya; karena pria
berambut panjang dinilai kewanita-wanitaan oleh masyarakat Palu’e. Ketika
ditanyakan pada Ruti, ia pun hanya senyum-senyum saja. Namun pada hari
terakhir sebelum kepulangan tim, selain memotong rambutnya Ruti pun juga
berpakaian rapih dan bersih. Sementara mengenai frekuensi mandi dari Ruti,
keluarganya enggan memaksa Ruti untuk mandi, karena cukup sulit
menyuruh Ruti mandi dan bersih-bersih.
Di usianya yang kesembilan, Ruti termasuk anak yang cukup mandiri.
Pada saat ibunya bekerja, rumahnya biasanya tertutup dan ia bermain
bersama teman-teman atau duduk di luar bersama neneknya. Ketika
melakukan pendidikan dan pelayanan khusus, Ruti sendirilah yang
membukakan pintu rumah. Jika mandi, maka ia menimba air dan mandi
sendiri. Ia juga makan sendiri, namun tampaknya belum mampu untuk
menyiapkan makan sendiri selain mengambil air putih. Semua itu
dilakukannya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya tidak
dapat menggenggam atau menarik, lemas sama sekali. Ia pun dapat bermain
oto, di mana anak-anak mengendalikan roda yang digelindingkan dengan
sebilah kayu sepanjang jalan.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 57
Rumah Ruti sederhana, berukuran kira-kira 6m x 6m, dengan sebuah
kamar, sebuah dapur, dan sebuah ruang keluarga. Material dindingnya
terbuat dari anyaman bambu, begitu pula dengan pintunya; sementara
atapnya dari daun-daun yang dikeringkan. Di dusun Tudu, masih banyak tipe
rumah seperti ini
dibandingkan dengan
rumah berdinding beton
yang biasa ditemui di
wilayah Tuanggeo.
Kegiatan pendidikan dan
pelayanan khusus biasa
dilakukan di ruang
keluarga yang terdiri
dari satu kursi (seperti
bale-bale) bambu yang
menempel dengan
dinding tepat di sebelah
pintu masuk dan diapit
oleh dapur dan kamar.
Terkadang, pendidikan
dan pelayanan khusus dilakukan di bale-bale luar rumah Ruti yang berada di
pelataran sebelah kanan pintu masuknya, menghadap langsung ke lereng
terjal berhutan yang mengarah ke dusun Ko’a dan pantai.
Di mata masyarakat sekitar, Ruti merupakan pribadi yang rajin dan
kalem. Selain itu tetangga-tetangga Ruti juga berhubungan intens dan akrab
dengan Ruti dan keluarganya. Bahkan tak jarang tetangganya
memperhatikan dan mengkomunikasikan hal-hal detail kepada Ruti seperti
untuk memotong rambut, untuk mandi, dan sebagainya. Para tetangga pun
sangat penasaran dengan pendidikan dan pelayanan khusus yang diberikan
Kelompok kepada Ruti, bahkan hampir setiap kali pendidikan dan pelayanan
khusus dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar rumah Ruti, masyarakat
pasti mengerubung ingin tahu. Hal ini cukup dimanfaatkan anggota
kelompok untuk membuat kaderisasi agar program ini dapat berjalan secara
berkesinambungan. Dalam proses belajar, anak-anak yang menonton
pembelajaran diberi kesempatan dan turut dilibatkan untuk mengajari Ruti
ataupun sekedar menerjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Palu’e.
Seorang gadis kelas 4 SD bernama Cinde, yang merupakan tetangga Ruti,
bahkan dapat memberikan instruksi dalam menulis lebih baik daripada yang
diberikan oleh anggota kelompok. Misalnya untuk instruksi mengguratkan
garis miring, meneruskan garus, berhenti membuat garis, atau meniru
sebuah garis; yang merupakan rangkaian pembelajaran dalam menulis huruf.
Gambar 3.4 Anak-anak yang kerap mengikuti proses pembelajaran Ruti
(Sumber : doc. KelompokRufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 58
Dengan instruksi dalam bahasa Palu’e, Ruti lebih cepat menyerap dan
mempraktekkannya. Untuk kaderisasi, anggota kelompok menyusun catatan
dalam bahasa sederhana mengenai keadaan awal, analisis kebutuhan khusus
yang diderita Ruti, pendidikan dan pelayanan yang diberikan (baik
kurikulum maupun metode), serta target-target yang diharapkan dapat
dicapai Ruti di kemudian hari. Turut diberikan pula saran mengenai
kurikulum dan metode yang diperkirakan akan cocok digunakan dalam
pengajaran bagi Ruti, serta beberapa materi pembelajaran bagi Ruti dalam
jangka pendek masa mendatang.
Di Tudu, kontrol sosial dan intensitas hubungan masyarakat memang
cukup erat. Salah satu faktornya adalah lokasi dusun yang cukup jauh dari
wilayah lainnya, dan rumah warga yang mengelompok dan berdekatan satu
dengan lainnya. Tudu merupakan dusun yang baru berkembang, dilihat dari
tipe rumah yang tergolong tradisional diiringi cukup banyaknya proyek yang
baru dibangun. Penerimaan masyarakat satu dengan lainnya juga cukup baik
termasuk pula untuk golongan minoritas seperti anak berkebutuhan khusus
dan juga trangender. Selain anak berkebutuhan khusus, ditemui juga seorang
transgender bernama Mbak Yuyun yang juga diterima masyarakat secara
baik.
Latihan yang diberikan bagi Ruti adalah pembiasaan agar Ruti secara
mandiri dapat melakukan
gerakan-gerakan tertentu
seperti cara memegang
ballpoint, cara membuka
tutup ballpoint dengan
satu tangan, latihan
gerakan motorik berupa
ketepatan dan kecepatan
respon tangan, serta
latihan pengucapan dan
penyempurnaan vokal
dan konsonan.
Pendidikan yang
diberikan bagi Ruti meliputi pembelajaran mengenal huruf, angka, dan
bentuk. Dalam penyampaian materi latihan maupun pendidikan, kurikulum
disesuaikan dengan progress dari Ruti pada akhir pertemuan dengan
menggunakan fasilitas seadanya yang dapat ditemukan di lapangan.
Gambar 3.5 Ruti dan Anak Berkebutuhan Khusus lainnya di Dusun Tudu
(Sumber : doc. Kelompok Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 59
Pada hari pertama, masih terdapat beberapa pengucapan yang salah,
yaitu huruf D, F, G, N, Q, R, S, V, X, Z. Beberapa huruf lainnya pada awalnya
diucapkan secara salah, namun mengalami perbaikan setelah dilatih
berulang-ulang walaupun pelafalannya juga tidak sempurna, yaitu huruf C, K,
L, M, O, P, T, W. Ruti memiliki keterbatasan dalam mengucapkan vokal
maupun konsonan, baik
alfabet maupun dalam
rangkaian kata atau kalimat.
Perlu diselidiki lebih lanjut
apakah memang huruf-huruf
tersebut tidak dapat
dilafalkan atau dapat namun
perlu latihan. Dalam
‘mengkopi’ huruf A-Z, Ruti
dapat melakukannya dengan
baik dengan keadaan
terdapat contoh yang ditiru
tepat di bawah garis yang Ruti
buat. Mengenai angka,
ternyata Ruti telah belajar sendiri menulis angka 1-20, sehingga ia dapat
lebih mudah mengikuti pembelajaran. Terdapat beberapa penulisan yang
terbalik, misalnya angka 9 dan 6 yang tertukar. Namun setelah fasilitator
memberitahukan cara penulisan yang benar, Ruti segera mengingat dan
menuliskan angka-angka tersebut secara benar. Ruti memiliki ketertarikan
yang lebih besar terhadap angka dari pada terhadap huruf, di mana
antusiasmenya dan kecepatan belajarnya sedikit meningkat ketika belajar
angka dibandingkan ketika belajar huruf.
Terkait dengan lokasi pembelajaran, sedari awal kelompok telah
mencoba untuk melakukan pembelajaran di rumah secara privat agar
suasana dapat kondusif, namun anak-anak lain bahkan orang-orang dewasa
di Dusun Tudu sangat ingin tahu dengan kegiatan pembelajaran tersebut.
Pada akhirnya, walaupun kegiatan belajar dilakukan di dalam rumah, namun
pintu terbuka dan para tetangga menonton sepanjang kegiatan. Hal ini
menyebabkan anggota kelompok harus bekerja keras untuk mengontrol
kerumunan serta Ruti dan Pele, agar konsentrasi belajar ABK tidak
terganggu.
Dari hari kedua pembelajaran, diketahui Ruti mengalami kesulitan
untuk menghafalkan alfabet, terutama untuk mengingat pasangan bentuk-
pengucapan alfabet tersebut. Dalam pertemuan kali ini, anggota kelompok
berusaha untuk mengulangi kembali pembelajaran di pertemuan
Gambar 3.6 Ruti sedang bermain dengan Pele, temannya di dekat rumahnya
(Sumber : doc. Rufus Taku Sanu, 2011)
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 60
sebelumnya. Ternyata, Ruti masih belum mampu untuk mengingat bentuk
dan pelafalan alfabet baik dari A-J maupun K-Z. Untuk melafalkan sendiri,
terdapat beberapa huruf yang harus diulang dari awal, misalnya pelafalan C
sebagai ‘Je’. Biasanya, dalam metode pembelajaran baca tulis, seseorang
diperkenalkan terlebih dahulu untuk dapat membaca huruf. Namun,
tampaknya Ruti mengalami kesulitan untuk mengenali huruf secara tepat.
Diperlukan latihan berulang-ulang agar Ruti dapat secara lancar dan tepat
mengenali huruf. Dengan mempertimbangkan bahwa Ruti memiliki
ketertarikan dan kemampuan yang cukup baik dalam menirukan bentuk,
maka pendidik mencoba mengkombinasikan pelafalan dengan penulisan
dalam mempelajari huruf. Selain agar Ruti tidak bosan, kombinasi metode ini
juga diharapkan dapat memudahkan Ruti dalam mengingat huruf. Ruti dapat
mengikuti dengan baik dalam menirukan bentuk tulisan AIUEO maupun
RUTI, dan ia dapat melakukannya secara berulang-ulang meskipun diacak.
Namun, untuk membaca huruf tertentu ketika ditunjuk secara acak,
terkadang Ruti masih mengalami kesalahan. Dalam menulis dan membaca
angka, Ruti jauh lebih baik dibandingkan menulis dan membaca huruf. Ruti
tidak memerlukan contoh dalam menuliskan angka, dan cenderung lebih
tepat dalam membaca angka.
Dari pertemuan ketiga, anggota kelompok menemui fakta bahwa Ruti
masih mengalami kesulitan untuk mengenali huruf tertentu, terutama setelah
huruf E. Ketika diminta mengenali huruf secara mandiri, kemampuan Ruti
sangat terbatas sampai dengan ABCDE, sedangkan huruf-huruf lainnya sulit
sekali diingat. Hal ini mungkin berhubungan dengan kemampuan intelegensi
Ruti. Dalam hal pelafalan, Ruti mengalami kemajuan yang sangat sedikit;
ketika ditunjukkan suatu huruf dan diminta mengulangi pelafalan, ia dapat
melakukan dengan benar untuk huruf-huruf tertentu saja karena
permasalahan pada organ berbicaranya. Dalam menulis AIUEO serta Ba-Bi-
Bu-Be-Bo, juga ABCDEFGHIJ, Ruti dapat menirukan dengan baik selama ada
contoh. Namun ketika tidak diberikan contoh atau dilakukan tes secara acak,
Ruti belum dapat menuliskan atau membaca huruf-huruf tersebut dengan
benar. Di sisi lain, Ruti mengalami kemajuan yang cukup baik dalam hal
menulis, yaitu ia telah dapat menuliskan namanya dengan baik meskipun
belum rapih. Dalam menuliskan nama, perkembangan yang dibuat jauh lebih
cepat dibandingkan dibandingkan penulisan huruf-huruf lainnya. Sementara
itu untuk ejaan Ba-Bi-Bu-Be-Bo, Ruti sangat lambat dalam memahami.
Dibutuhkan pengulangan yang terus menerus namun sampai dengan akhir
pembelajaran Ruti masih belum dapat mengenali huruf-huruf ejaan tersebut.
Terkadang ia dapat ‘menebak’ dengan benar, namun ketika diacak, seringkali
ia salah ‘menebak’ angka yang dimaksud. Sementara, terkait dengan angka,
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 61
kemajuan yang dibuat Ruti cukup baik, di mana ia telah berhasil menuliskan
angka 51-80 dengan baik, namun Ruti memiliki masalah dalam mengisi
angka-angka yang dikosongkan secara acak, misalnya ketika pendidik
memberikan soal 80 __ 82 __ __ 85 __ 87 88 89 __. Namun, pada hari ini Ruti
telah selangkah lebih maju dalam mengenali angka puluhan dan ratusan.
Sebelumnya ia tidak tahu cara membaca bilangan di atas 100, namun setelah
diperkenalkan untuk membaca 100-150, Ruti segera dapat mengingat
dengan benar. Ia tergolong cukup cepat dalam menyerap pembelajaran
tentang angka, walaupun aktivitasnya baru sekedar mengenali angka.
Dari pertemuan pada hari ini, didapatkan tambahan fakta yang
memperkuat analisa penulis bahwa ia cenderung meniru tulisan atau gambar
(visual-kinetik) dibandingkan audio/bicara . Namun, Ruti memiliki
keterbatasan atau mungkin belum mampu untuk menuliskan secara acak
huruf yang diminta dengan kemampuannya sendiri. Pendidik masih harus
memberikan sedikit bantuan untuk mengingatkan Ruti terkait bentuk dan
lafal. Selain itu, pada hari ini dilaksanakan lagi ‘tes bermain bola’ untuk
melatih motorik Ruti, yaitu suatu permainan sederhana dengan memegang
pensil mencoba untuk memasukan dan menghalau bola buatan yang terbuat
dari kertas yang diremas berbentuk bundar. Ruti memiliki gerakan motorik
yang cukup lincah dan refleksnya baik, serta gerakannya cukup terarah.
Pada pertemuan keempat, mengingat pula bahwa dalam pertemuan
belakangan, pengenalan huruf ditekankan pada cara tertulis dibandingkan
verbal bagi Ruti, salah satunya dikarenakan keterbatasan kemampuan Ruti
untuk melafalkan huruf tertentu. Dalam pertemuan ini, Ruti dapat
menuliskan A-J secara benar tanpa mengkopi tulisan pendidik. Ini
merupakan progress yang sangat baik karena sebelumnya ia tidak dapat
sama sekali secara mandiri mengingat huruf di luar RUTI, ABC, dan AIUEO.
Perlu pengulangan dulu sebelum Ruti kembali ingat AIUEO dan BaBiBuBeBo,
namun frekuensi pengulangan semakin rendah dan pengenalan AIUEO sudah
mulai teratur. Pekerjaan rumah kali ini tidak dikerjakan sama sekali.
Sepertinya karena Ruti tidak memahami instruksi pendidik, sehingga yang
dikerjakan justru yang tidak diinstruksikan yaitu angka 20-an. Sementara itu,
Ruti masih mengingat bilangan 20 s.d. 150 dengan baik, dan dapat
melanjutkan s.d. 200. Selain itu juga dilakukan pembelajaran angka 101, 102,
dst, dan 201, 202 dst s.d. 210. Dalam hal ini pembelajaran mengenai bentuk,
Ruti dapat memasangkan bentuk-bentuk tersebut secara benar dengan
kecepatan yang hampir mendekati anak normal. Ketika diminta untuk
menggambarkan bentuk-bentuk tersebut, ia pun dapat meniru bentuk-
bentuk tersebut dengan baik. Selain itu, dalam hal menulis, Ruti dapat
menuliskan kata-kata tersebut dengan baik selama ada contoh, namun
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 62
pendidik tidak mengetahui apakah Ruti dapat menuliskan kata tersebut
secara mandiri dan mengerti cara penulisan huruf per huruf.
Dari fakta-fakta dalam diri Ruti, maka tim menyimpulkan bahwa Ruti
termasuk dalam kategori mampu latih dan mampu didik. Hal ini menjadi
salah satu pertimbangan dipilihnya Ruti sebagai subjek pembelajaran
pendidikan dan pelayanan khusus di Pulau Palue, yaitu agar masyarakat
dapat melihat bahwa terdapat anak-anak yang selama ini diberi stereotype
bodoh dan tidak akan dapat diajari sesungguhnya dapat dilatih, dididik,
menerima pembelajaran tersebut, dan mengalami perkembangan baik secara
intelektual maupun dari segi kepribadiannya sebagai manusia. Pertimbangan
lainnya adalah umur Ruti yang masih belia sehingga ia masih memiliki jalan
yang sangat panjang dalam kehidupannya, sehingga diharapkan dengan
dilakukannya pendidikan dan pelayanan khusus terhadap Ruti dapat
mengarahkan masa depannya ke arah yang lebih baik. Selain itu, Ruti
memiliki kehidupan sosial serta kemampuan berinteraksi yang cukup baik
dengan teman-teman sebayanya, sehingga membuka kesempatan bagi
teman-temannya untuk terlibat dalam pendidikan dan pelayanan khusus
yang diberikan kepada Ruti. Lebih dari semua itu, Ruti diharapkan dapat
menjadi contoh dan acuan bagi pendidikan dan pelayanan khusus di Palue.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 63
BAB IV PENUTUP
Seringkali anak berkebutuhan khsusus dipandang tidak dapat
menjalin kerjasama atau bersaing dengan anak normal, maka ada anggapan
bahwa pendidikan anak berkebutuhan khusus perlu dipisahkan dari
pendidikan untuk anak normal. Untuk keperluan pendidikan sedapat
mungkin anak berkebutuhan khusus dididik terintegrasi dengan anak
normal, kecuali jika pengintegrasian dapat membahayakan anak
berkebutuhan khusus dengan anak normal. Sebab, pemisahan antara anak
berkebutuhan khusus dengan anak normal dalam pendidikan dapat
dipandang mengingkari hakikat penciptaan manusia.
Pada program penididkan dan pelayanan khusus yang diadakan di
Pulau Palue dalam rangka Kuliah Kerja Nyata Universitas Indonesia tahun
2011 ini, terdapat lima anak berkebutuhan khusus yang menjadi target
program. Mereka adalah Mimi Meti (11 tahun), Lajupio (11 tahun), Lengga (8
tahun), Tika mere (16 tahun), dan Ruti (9 tahun). Lima anak berkebutuhan
khusus ini ditemukan di Desa Rokirole. Kekurangan fisik dan psikis yang
diderita oleh para ABK ini bermacam-macam, sehingga penanganan terhadap
mereka dilakukan secara khusus. Selain itu, agar program ini tetap dapat
berjalan dan berkesinambungan, dilakukan pula kaderisasi yang target
utamanya adalah keluarga ABK itu sendiri.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan program
pendidikan dan pelayanan khusus selama satu bulan, di dapatkan sebuah
hasil analisis singkat terhadap kelima ABK. Pertama, Mimi Meti yang dapat
dikategorikan sebagai Anak Berkesulitan Belajar Spesifik (ABBS) karena
kesulitannya mengenali huruf dan membedakan simbol, meskipun saat ini ia
duduk di bangku kelas 2 SD. Kemudian Lajupio yang memenuhi karakteristik
cacat mental moderate (menengah) karena kelainan fisik yang dideritanya
sejak lahir ditambah dengan kemampuannya yang kurang dalam hal
mengingat, menggeneralisasi, bahasa, konseptual dan kreatifitas. Ketiga
adalah Lengga, meskipun sedang duduk di bangku kelas 2 SD, namun
kemandirian dan kepercayaan dirinya perlu dilatih kembali agar kecacatan
fisik tidak menghalanginya untuk berkarya. Keempat, tika Mere yang kurang
diperhatikan oleh keluarganya karena menderita keterbelakangan mental
sejak lahir dan feeble mindedness. Meskipun perkembangannya sangat
lambat, Tima Mere masih dapat digolongkan sebagai anak berkebutuhan
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 64
khusus yang mampu didik. Terakhir adalah Ruti, penderita Celeberal palsy
yang dapat dikategorikan sebagai anak yang mampu didik dan mampu latih.
Penyelenggaraan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus ditujukan
untuk membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan mental,
perilaku, dan sosial, agar mampu mengembangkan kelainan fisik dan atau
mental, perilaku dan sosial, agar mampu mengembangkan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan, sebagai pribadi maupun anggota
masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik. Perlu dipahami
bahwa pendidikan anak berkebutuhan khusus bukan pendidikan yang secara
menyeluruh berbeda dari pendidikan untuk anak-anak pada umumnya.
Pendidikan anak berkebutuhan khusus menunjukan hanya pada aspek-aspek
pendidikan yang unik dan/atau dalam penembahan program-program
pembelajaran untuk anak. Pendidikan Bekebutuhan Khusus adalah bagian
terpadu dari sistem pendidikan nasional yang secara khusus diselenggarakan
di taman kanak-kanak, sekolah dasar luar biasa, sekolah lanjutan tingkatan
tingkat pertama, dan sekolah menengah luar biasa.
Pendidikan berkebutuhan khusus diselenggarakan ke arah cipta
yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya sesuai dengan
tingkat kelaianan serta memperoleh kesiapan fisik, mental, perilaku,dan
sosial. Pengolahan pendidikan Berkebutuhan khusus di Indonesia khususnya
di daerah terpencil seperti di kecamatan Palue nampakknya harus
dikembangkan dan disempurnakan secara makro (global nasional dan
regional), tingkat meso (kelembagaan) maupun secara makro (dalam proses
belajar mengajar). Untuk mengatasi keadaan ini tidak mungkin diselesaikan
secara pragmentaris tradisional dalam waktu yang singkat, tetapi
memerlukan suatu pendekatan perpektif terpadu secara intergalistik
longitudinal yaitu pendekatan yang bertitik tolak pada keadaan saat ini,
memperhatikan pengalaman masa silam dan berorienasi ke masa depan,
dalam berbagai dimensi dengan skala tertentu.
[LPJ PROGRAM PENDIDIKAN & PELAYANAN KHUSUS] Palu’e, Juni - Juli 2011
K2N Universitas Indonesia 2011 | Kelompok Rufus Taku Sanu 65
Daftar Pustaka
1. Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar.
Jakarta: Rineka Cipta.
2. Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung:
Refika Aditama.
3. Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. 1994. Exceptional children : Introduction to
special education. 6 th Ed. Boston : Allyn & Bacon.
4. _________. 2006. Exeptional Learner : An introduction to special education. 10
th Ed. USA : Pearson Education, Inc.
5. Mangunsong, Frieda. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus. Jakarta : LPSP3 UI.128-145.
6. Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku bangsa Di Indonesia.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI.
7. Pamungkas, Yanwar. 2010. Motivasi Belajar Ditinjau Dari Dukungan
Orang Tua Pada Siswa SMA (skripsi). Surakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sumber Internet
1. “Bayi Laki-laki Lahir Dengan 24 Jari”, diaskes dari
http://tempointeraktif.com/hg/luarnegeri/2009/02/05/brk,20090205-
158692,id.html pada 9 September 2011 pukul 20.50 WIB
2. Pujianingsih, M. Pd. “Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar Spesifik”,
diakses dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/materi%20untuk%20dikla
t%20dinas%20dikpora%20DIY.pdf. Pada 10 September 2011, pukul
09:34 WIB.