LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN KRITIS
INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST (NSTEMI)
A. KONSEP PENYAKIT
1. Pengertian
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) merupakan sebagian dari spektrum
sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa
elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST.
Infark miokardium menunjukan terbentuknya suatu daerah nekrosis miokardium
akibat iskemia total. MI akut yang dikenal sebagai “serangan jantung”, merupakan
penyebab tunggal tersering kematian diindustri dan merupakan salah satu diagnosis rawat
inap tersering di negara maju (Kumar, 2007)
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka
terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis
koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk
pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat
cepat.
2. Etiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lesi vaskuler,
di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi
lipid. Oklusi koroner akut dengan iskemia miokard berkepanjangan yang pada akhirnya
akan menyebabkan kematian miosit kardiak. Kerusakan miokard yang terjadi bergantung
pada letak dan lamanya sumbatan aliran darah, ada atau tidaknya kolateral dan luas
wilayah miokard yang diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat.
3. Manifestasi klinis
Pada hampir setengah kasus, terdapat factor pencetus sebelum terjadi STEMI,
seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun
STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi
hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat. Seringkali
ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit
dan banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI. Tanda fisik lain pada disfungsi
ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas jantung pertama dan split
paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik
apikal yang bersifat sementara (Alwi, 2006).
a. Nyeri dada
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri dada
atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan
SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu
membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal
dalam pengelolaan pasien SKA.
Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut :
1) Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
2) Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
3) Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula, dan
dapat juga ke lengan kanan.
4) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
5) Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan
6) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas.
b. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan terapi
karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat mengidentifikasi pasien
yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik
untuk STEMI tapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI,
EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara
kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.
Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan presentasi
awal STEMI mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
didiagnosis sebagai infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi
infark miokard non-gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi
bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi
segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI.
c. Laboratorium
Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah
creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan
dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien
STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan
diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard) :
1) CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung,
miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB
2) cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari
3) Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic dehidrogenase
(LDH), reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang
dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari.
Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL.
4. Patofisiologi
NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau
peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.
NSTEMI terjadi karena thrombosis akut atau vasokonstriksi koroner. Trombosis akut
pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak
stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah,
fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang
cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak
tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan
limposit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan
sel sitokin proinflamasi seperti IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran
hsCRP di hati. (Harun & Idrus 2006, dalam Sudoyo).
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di
cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid. Pada
sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau
ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian
histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai
fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran
patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar
sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi
ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboxan A2
(vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan
konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa.
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi
terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von
Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang
dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang
platelets dan agregasi. Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel
endotel yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner
yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat
trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh
emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit
inflamasi sistemik (Alwi, 2006).
5. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST kurang
lebih 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau kurang lebih
1mm pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang
meningkat, memperkuat diagnosis (Alwi, 2006).
6. Penatalaksanaan
Harus Istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG guna pemantauan
segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi yang harus
dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu :
a) Terapi antiiskemia
- Nitrat ( ISDN )
- Penyekat Beta Obat Selektivitas Aktivitas Agonis Parsial
b) Terapi Antitrombolitik
- Antitrombolitik (Streptokinase, Urokinase, rt-PA)
c) Terapi anti platelet
- Antiplatelet (Aspirin, Klopidogrel, Antagonis Platelet GP IIb/IIIa)
d) Terapi antikoagulan
- LMWH (low Molekuler weight Heparin)
e) Terapi invasive (kateterisasi dini/revaskularisasi)
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan strategi
invasif dini (arteriografi koroner dini dilanjutkan dengan revaskularisasi
sebagaimana diindikasikan oleh temuan arteriografi) dengan strategi konservatif
dini (kateterisasi dan jika diindikasikan revaskulaisasi, hanya pada yang
mengalami kegagalan terhadap terapi oral/obat-obatan)
f) Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sudah perawatan RS.
1) Tes stres noninvasive
2) Hasil tes menunjukkan gambaran resiko tinggi sebaiknya menjalani arteriografi
koroner dan berdasarkan temuan anatomis, revaskularisasi dapat dilakukan
3) Arteriografi koroner dapat dipilih pada pasien-pasien tes positif tapi tanpa temuan
risiko tinggi.
g) Tatalaksana Predischarge dan pencegahan sekunder
Tatalaksana terhadap faktor resiko antara lain :
1) Mencapai berat badan optimal
2) Nasehat diet
3) Penghentian merokok
4) Olah raga
5) Pengontrolan Hipertensi
6) Tatalaksana Diabetes Melitus dan deteksi Diabetes Melitus yang tidak dikenali
sebelumnya
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN EMERGENCY DAN KRITIS
1. Pengkajian Emergency
a. Primery Survey
1) Circulation
a) Nadi lemah/tidak teratur.
b) Takikardi.
c) TD meningkat/menurun.
d) Edema.
e) Gelisah.
f) Akral dingin.
g) Kulit pucat atau sianosis.
h) Output urine menurun.
2) Airway
a) Sumbatan atau penumpukan secret.
b) Gurgling, snoring, crowing.
3) Breathing
a) Sesak dengan aktivitas ringan atau istirahat.
b) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal.
c) Ronki,krekels.
d) Ekspansi dada tidak maksimal/penuh.
e) Penggunaan obat bantu nafas.
4) Disability
a) Penurunan kesadaran.
b) Penurunan refleks.
5) Eksposure
Nyeri dada spontan dan menjalar.
b. Secondary Survey.
1) TTV
a) Tekanan darah bisa normal/naik/turun
(perubahan postural di catat dari tidur sampai duduk/berdiri.
b) Nadi dapat normal/penuh atau tidak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan
pengisian kapiler lambat, tidak teratur (disritmia).
c) RR lebih dari 20 x/menit.
d) Suhu hipotermi/normal.
2) Pemeriksaan fisik
a) Pemakaian otot pernafasan tambahan.
b) Nyeri dada.
c) Peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak, bunyi nafas (bersih, krekels,
mengi), sputum.
d) Pelebaran batas jantung.
e) Bunyi jantung ekstra; S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal
jantung/penurunan kontraktilitas atau komplain ventrikel.
f) Odem ekstremitas.
3) Pemeriksaan selanjutnya
a) Keluhan nyeri dada.
b) Obat-obat anti hipertensi.
c) Makan-makanan tinggi natrium.
d) Penyakit penyerta DM, Hipertensi
e) Riwayat alergi.
c. Tersier
1) Pemeriksaan Laboratorium
a) CPKMB, LDH, AST
b) Elektrolit, ketidakseimbangan (hipokalemi).
c) Sel darah putih (10.000-20.000).
d) GDA (hipoksia).
2) Pemeriksaan Rotgen
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung di duga GJK atau
aneurisma ventrikuler.
3) Pemeriksaan EKG
T inverted, ST elevasi, Q patologis.
4) Pemeriksaan lainnya
a) Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner.
b) Pencitraan darah jantung (MVGA)
Mengevaluasi penampilan ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding
regional dan fraksi ejeksi (aliran darah).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri
b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan faktor-faktor listrik,
penurunan karakteristik miokard.
c. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan , iskemik, kerusakan otot jantung,
penyempitan / penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria
d. Resiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan penurunan
perfusi ginjal, peningkatan natrium / retensi air , peningkatan tekanan hidrostatik,
penurunan protein plasma.
e. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke
alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar- kapiler (atelektasis,
kolaps jalan nafas/ alveolar edema paru/efusi, sekresi berlebihan / perdarahan aktif).
f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen
miokard dan kebutuhan, adanya iskemik/ nekrosis jaringan miokard ditandai dengan
gangguan frekuensi jantung, tekanan darah dalam aktifitas, terjadinya disritmia,
kelemahan umum.
3. Rencanaan Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri
Tujuan : Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
No Intervensi Rasional
1 Beri O2 sesuai terapi Pemberian O2 dapat menambah supplay O2 miokard dengan tujuan
mengurangi nyeri karena hipoksia yang disebabkan oleh kuranngnya O2.
2 Beri posisi semifowler Posisi semifowler dapat meningkatkan ekspansi dada sehingga
mengirangi sesak napas dan sirkulasi darah meningkat. dengan lancarnya
sirkulasi akan membantu pengantaran oksigen ke seluruh tubuh serta
mengurangi kerja jantung dan paru.
3 Berikan terapi tirah baring (bedrest) selama
24 jam pertama post serangan.
Tirah baring dapat mengurangi konsumsi O2 miokard sehingga membantu
jantung tidak bekerja lebih keras.
4 Berikan obat sesuai indikasi, contoh :
a. Antiangina, contoh nitrogliserin
b. Penyekat β, contoh atenolol
(Tenormin), pindolol (visken),
propanolol (inderal)
a. Nitrat berguna untuk kontrol nyeri dengan efek vasodilatasi koroner
yang meningkatkan aliran darah koroner dan perfusi miokardia.
b. Agen penting kedua untuk mengontrol nyeri melalui efek hambatan
rangsang simpatis dengan begitu menurunkan FJ, TD sistolik dan
kebutuhan oksigen miokard.
5 Anjurkan dan bimbing pasien untuk tarik
nafas dalam (teknik relaksasi), telnik
distraksi, dan bimbingan imajinasi.
Teknik relaksasi dibutuhkan untuk meminimalkan konsumsi O2 miokard
dan meningkatkan supply O2 jaringan , teknik distribusi dan imajinasi
membantu mengalihkan fokus perhatian dari rasa nyeri.
No Intervensi Rasional
6 Lakukan pemeriksaan ECG tiap hari dan saat
nyeri dada timbul.
Pemeriksaan ECG tiap hari dan saat nyeri dada timbul berguna untuk
mendiagnosa luasnya infark.
b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan faktor-faktor listrik, penurunan karakteristik miokard.
Tujuan : Curah jantung membaik / stabil setelah dilakukan tindakan keperawatan
No Intervensi Rasional
1 Kaji adanya bunyi tambahan pada Auskultasi. Bunyi S3 biasanya dihubungkan dengan kelebihan kerja ventrikel
kiri dan S4 berhubungan dengan ischemik miokard.
Murmur menunjukkan gangguan aliran darah normal pada jantung.
2 Auskultasi bunyi nafas Krekles menunjukkan kongesti paru akibat penurunan fungsi
miokard.
3 Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi Meningkatkan jumlah sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard,
menurunkan iskemia dan disritmia lanjut.
4 Pertahankan cara masuk IV /heparin-lok sesuai
indikasi.
Jalur yang paten penting untuk pemberian obat darurat pada adanya
disritmia atau nyeri dada.
5 Ukur dan catat tanda vital tiap jam. Penurunan curah jantung dapat dimanifestasikan dengan
peningkatan nadi, TD, HR.
6 Pantau frekuensi dan irama jantung dan catat
adanya irama disritmia melalui monitor (bedside
monitor ECG).
Adanya nekrose/ kematian otot jantung dapat menyebabkan
gangguan sistim konduksi dan penurunan curah jantung.
No Intervensi Rasional
7 Observasi perfusi jaringan :Acral, kelembaban
kulit dan perubahan warna kulit dan ujung-ujung
jari dan nilai Capilary RefillTime (SPO2).
Penurunan cardiac output dapat mempengaruhi sirkulasi darah
(perifer).
8 Pantau data laboratorium contoh enzim jantung,
GDA, elektrolit.
Enzim memantau perbaikan/perluasan infark.
c. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan iskemik, kerusakan otot jantung, penyempitan / penyumbatan pembuluh darah
arteri koronaria.
Tujuan : Gangguan perfusi jaringan berkurang / tidak meluas selama dilakukan tindakan perawataN
No Intervensi Rasional
1 Pantau perubahan tiba-tiba tau gangguan mental
kontinu contoh cemas, bingung, letargi, pingsan
Perfusi serebral secara langsung sehubungan dengan curah jantung dan
juga dipengaruhi oleh elektrolit/variasi asam basa, hipoksia, atau emboli
sistemik.
2 Pantau pernapasan, catat kerja pernapasan Pompa jantung gagal dapat mencetuskan distres pernapasan.
3 Pantau data laboratorium contoh GDA, BUN,
Kreatinin, elektrolit
Indikator perfusi/fungsi organ.
4 Berikan obat sesuai indikasi :
a. Heparin/natrium warfarin (Coumadin)
b. Simetidin , ranitidin, antasida
a. Dosis rendah heparin mungkin diberikan secara profilaksis pada pasien
risiko tinggi dapat menurunkan risiko tromboflebitis atau pembekuan
trombus mural.
b. Menurunkan atau menetralkan asam lambung, mencegah
ketidaknyamanan dan iritasi gaster, khususnya adanya penurunan
sirkulasi mukosa.
5 Lihat pucat, sianosis, belang, kulit
dingin/lembab. Catat kekuatan nadi perifer.
Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung mungkin
dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit dan penurunan nadi.
d. Resiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium / retensi air ,
peningkatan tekanan hidrostatik, penurunan protein plasma.
Tujuan : Keseimbangan volume cairan dapat dipertahankan selama dilakukan tindakan keperawatan di RS
No Intervensi Rasional
1 Auskultasi bunyi napas untuk adanya krekels Dapat mengindikasikan edema paru sekunder akibat dekompensasi
jantung.
2 Pertahankan masukan total cairan 2000 ml/24 jam
dalam toleransi kardiovaskuler
Memenuhi kebutuhan cairan tubuh orang dewasa tetapi memerlukan
pembatasan pada adanya dekompensasi jantung.
3 Kolaborasi : pemberian diet rendah natrium, berikan
diuretik.
Natrium meningkatkan retensi cairan dan harus dibatasi.
4 Ukur masukan / haluaran, catat penurunan ,
pengeluaran, sifat konsentrasi, hitung keseimbangan
cairan
Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal,
retensi natrium/air, dan penurunan haluaran urine.
5 Timbang BB tiap hari Perubahan tiba-tiba pada berat badan menunjukkan gangguan
keseimbangan cairan.
e. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran
alveolar- kapiler ( atelektasis , kolaps jalan nafas/ alveolar edema paru/efusi, sekresi berlebihan / perdarahan aktif ).
Tujuan : Pertukaran gas adekuat
No Intervensi
1 Tinggikan kepala / tempat tidur sesuai kebutuhan / toleransi pasien
2 Lakukan tindakan untuk memperbaiki / mempertahankan jalan nafas misalnya , batuk, penghisapan lendir dll.
3 Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan / tidak adanya bunyi nafas dan adanya bunyi tambahan misal krakles, ronki
dll.
4 Catat frekuensi & kedalaman pernafasan, penggunaan otot bantu pernafasan
5 Kaji toleransi aktifitas misalnya keluhan kelemahan/ kelelahan selama kerja atau tanda vital berubah.
a. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dan kebutuhan, adanya iskemik/
nekrosis jaringan miokard ditandai dengan gangguan frekuensi jantung, tekanan darah dalam aktifitas, terjadinya disritmia,
kelemahan umum.
Tujuan : Terjadi peningkatan toleransi pada klien setelah dilaksanakan tindakan keperawatan
No Intervensi Rasional
1 Beri penjelasan pentingnya tirah baring
(bedrest).
Menambah pengetahuan pasien,bahwa tirah baring dapat mengurangi
konsumsi oksigen miocard sehingga pasien dapat kooperatif selama
perawatan.
2 Hentikan aktivitas saat pasien mengeluh nyeri
dada, sesak,sakit kepala, pusing, keringat dingin.
Istirahat dibutuhkan untuk mengurangi kebutuhan oksigen miokard.
3 Bantu pasien dalam memenuhi ADL. Kebutuhan ADL pasien dapat terpenuhi dengan bantuan perawat untuk
No Intervensi Rasional
mengurangi beban jantung pasien.
4 Evaluasi respon pasien saat setelah aktivitas
terhadap nyeridada, sesak, sakit kepala,pusing,
keringat dingin.
Adanya tanda-tanda tersebut merupakan tanda adanya ketidakseimbangan
supply dan kebutuhan oksigen miokard.
5 Jelaskan akibat jika pasien banyak beraktivitas
selama 24 jam pertama post serangan.
Pada fase akut supply oksigen menurun oleh karena adanya sumbatan pada
miokard, aktivitasdapat memperburuk hemodinamik.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, E.J. (2009). Handbook of pathophysiology. Alih bahasa: Pendit,BU. Jakarta: EGC.
Doengoes, M.E. (2006). Rencana Asuhan Keperawatan:Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta :EGC.
Hazinski Mary Fran (2004), Handbook of Emergency Cardiovaskuler Care for Healthcare Providers, AHA, USA.
Herdman, T. H. (2012). NANDA internasional. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. alih bahasa Made Sumarwati, Dwi Widiarti, Estu Tiar, editor bahasa Indonesia Monica Ester. Jakarta : EGC.
Joewono Budi Prasetyo (2003), Ilmu Penyakit Jantung, Airlangga University Press, Surabaya
Joyce Levefer (1997), Buku Saku Pemeriksaan Labotatorium dan Diagnostik dengan Implikasi. Keperawatan, EGC, Jakarta
Kalim Harmani, dkk (2004), Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Tanpa ST Elevasi, PERKI
Rokhaeni, H. (2003). Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler edisi pertama. Jakarta: Bidang Diklat Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita.
Smeltzer. C.S & Bare.B (2006). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC.
Sudoyo Aru W , Setiyohadi B dkk, (2006).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke Empat-Jilid III. Universitas Indonesia.Jakarta
Suyono, S et al. (2003). Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Tambayong. J.(2007). Patofisiologi Keperawatan editor Monica Ester, S.Kep. Jakarta: EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN KRITIS
ST ELEVASI MIOKAR INFARK (STEMI)
DI RUANG ICVCU RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA
OLEH
RIDA NURHAYANTI
(070112b026)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
STIKES NGUDI WALUYO
UNGARAN
2013
Top Related