LAPORAN PENDAHULUAN
EMPIEMA
Disusun Untuk Tugas Kelompok
Mata Kuliah KMB Pernafasan
Dosen Pengampu : Ika Karunianingsih, S.Kep
Disusun oleh:
1. Dita Aprilia
2. Esa Erlangga
3. Intan Endyka
4. Nuzulul W
5. Rakanata Danu
6. Wisnu Hermawan S
AKADEMI KEPERAWATAN PRAGOLAPATI PATI
TAHUN AKADEMI 2010 / 2011
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
Empiema adalah penyakit yang ditandai dengan adanya penumpukan cairan terinfeksi atau pus
pada kavitas pleural.
(Brunner & Suddarth, 2002)
Empiema adalah keadaan terkumpulnya nanah (pus) di dalam rongga pleura dapat setempat dan
mengisi seluruh rongga pleura.
(Ngastiyah, 1997)
Empiema adalah penumpukan cairan terinfeksi atau pus pada kavitas pleura.
(Diane. C Baugman, 2000)
Empiema adalah penumpukan materi purulen pada areal pleural.
(Hundak & Gallo, 1997)
B. ETIOLOGI
1. Pneumonia
Empiema biasanya menunjukkan suatu ketidaktahuan pengobatan antibiotik yang
terlambat atau inadekuat. Empiema mungkin berkembang sebagai gejala sisa dari suatu
infeksi yang terjadi pada karsinoma bronkhus.
2. Infeksi Subdiafragma
Biasanya menyebabkan suatu efusi pleura serosa, tetapi organisme abdominal mungkin
pula menembus diafragma dan menyebabkan terjadinya empiema.
3. Aspirasi Efusi Pleura
Terjadinya demam setelah aspirasi cairan pleura selalu dianggap sebagai empiema.
4. Organisme Anaerob
Banyak empiema akut mengandung organisme anaerob dan mungkin dinyatakan steril
jika tidak dilakukan kultur bakteri anaerob.
(Stark, 1990)
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Empiema akut
a. Panas tinggi dan nyeri pleuritik
b. Adanya tanda-tanda dalam rongga purulen
c. Bila dibiarkan sampai beberapa minggu akan menimbulkan toksemia, anemia, dan
clubbing finger
d. Nanah yang tidak segera dikeluarkan akan menimbulkan fistel bronco pleural
e. Gejala adanya fistel ditandai dengan batuk produktif bercampur dengan darah dan nanah
banyak sekali
2. Empiema kronis
a. Disebut kronis karena lebih dari 3 bulan
b. Badan lemah, kesehatan menurun
c. Pucat, clubbing finger
d. Dada datar karena adanya tanda-tanda cairan pleura
e. Terjadi fibro thoraks, trachea dan jantung tertarik ke arah yang sakit
f. Pemeriksaan radiologi menunjukkan cairan
(Stark, 1990)
A. PATOFISIOLOGI
Perkembangan keadaan empiema dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase eksudat
Pada keadaan ini cairan pleura biasanya jernih meskipun viskositas lebih tinggi
dibandiing transudat. Pemeriksaan kimia darah akan terlihat kenaikan protein, LDH, dan
glukosa yang rendah. Pemeriksaan mikroskopis akan terlihat leukosit yang meninggi dan
pada tuberculosis lebih banyak limfosit dari pada netrofil, mungkin pula ditemukan
kuman.
2. Fase fibropurulen
Pus kental dan mengandung fibrin-fibrin yang menyulitkan pengeluaran pus dengan
fungsi atau bahkan WSD (Water Scaled Drainage).
3. Fase Organisasi
Organisasi pus menyebabkan pus akan bersepta-septa atau lokulasi. Dengan adanya
organisasi juga menyebabkan penebalan pleura viseralis yang akan menyebabkan
hambatan pengembangan paru.
( Mansjoer, Arif 2000)
Ada 3 stadium dari empiema yaitu:
1. Stadim pertama disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-
hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura memyebabkan peningkatan permeabilitas dan
terjadi penimbunan cairan pleura namun masih sedikit yang dihasilkan mengandung
elemen seluler yang kebanyakan terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi selama 24-72
jam dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura mengalir
bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah sel darah putih yang rendah dan enzim laktat
dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH normal. Drainase yang
dilakukan sendiri mungkin dapat mempercepatperbaikan.
2. Stadium kedua disebut juga stadium fibropurulen atau stadium transisional yang
dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas bertumbuhnya kekentalan dan
kekeruhan cairan dapat berisi banyak leukosit polimono nuklear, bakteri debris seluler.
Akumulasi protein dan fibrin yang membentuk bagian/ lokulasi dalam ruang pleura.
Saat stadium ini berlanjut, ph cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedang LDH
meningkat. Stadium ini berakhir setelah 7-10 hari. Dan sering membutuhkan penanganan
yang lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube.
3. Stadium ketiga disebut juga stadium organisasi atau kronik. Terjadi pembentukan kulit
fibrinosa pada membran pleura. Membentuk jaringan yang mencegah ekspansi dada dan
membentuk lokulasi antra pleura yang menghalangi jalannya tuba thorakostomi untuk
drainase kulit pleura yang kental terbentuk dari reabsorsi cairan dan merupakan hasil dari
ploliferasi fibroblas. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi pembentukan
fibrothorak. Stadium ini terjadi selama 2-6 minggu setelah gejala awal.
(http://hajardaku.wortpress/2010/01/04/empiema)
B. PATH WAY
Pneumia
Resiko infeksi
Infeksi subdiafragma Aspirasi efusi pleura Organisme anaerob
Empiema
Fase eksudat /akut
Fase fibropurulen/ transisional
Fase organisasi/ kronik
Stadium kronik
Inflamasi pleura
PUS kental Produksi PUS
meningkat
Penimbunan cairan
pleura
Tidak dapat keluar / tersumbat
Penebalan plaura viseralis
Kadar laukosit
Dalam darah
Peningkatan tekanan
Pada paru
Batuk + sesak nafas
Frekwensi batuk meningkat
Hambatan pengembangan paru
Gangguan pertukaran gas
Ketidaknyaman diafragma
Penurunan nafsu makan
Penurunan BB
Gangguan kebutuhan nutrisi
Nyeri
Bersih jalan nafas tidak
efektif
C. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Sinar X
Mengidentifikasi distribusi struktural (misal:lobar,bronkial): dapat juga menyatakan
abses luas/infiltrat, empiema (stapilicoccus); infiltrasi menyebabkan atau terlokalisasi
(bakterial) atau penyebaran/perluasan infiltrat nodul (lebih sering virus). Pada
pneumonia mikoplasma, sinar x dada mungkin bersih.
2. Leukosit
Leukosit biasanya ada meskipun sel darah putih rendah, terjadi pada infeksi virus,
kondisi tekanan imun seperti AIDS memunginkan berkenbngnya pneumonia
bakterial.
3. Pemeriksaan serologi
Membabtu dalam membedakan diagnosis oranisme khusus.
4. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah
Dapat diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal bronkoskopi fibrotik atau
biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab, lebih dari satu
organisme ada. Bakteri yang umum meliputi Diplococcus pneumonia, Staphilococcus
aureus, hemolitik Streptococcus, Haemophillus influenza.
( Doengoes Marilyn E, 2000)
D. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan keperawatan
a. Mengintruksikan latihan bernafas (pernafasan dengan bibir dirapatkan dan
diafragmatik) yang membantu untuk memulihkan fungsi pernafasan normal.
b. Memberikan asuhan spesifik terhadap metode drainase cairan pleura, seperti
aspirasi jarum, drainase dada tertutup atau reseksi iga dan drainase.
2. Penatalaksanaan medis
a. Pemberian antibiotik yang sesuai berdasarkan organisme penyebab.
b. Aspirasi jarum(torasentesis) dengan karakter yang kecil jika cairan tidak
terlalu banyak.
c. Drainase dada tertutup menggunakan selang intrakostal dengan diameter
besar yang disambungkan ke drainase water seal.
d. Drainase terbuka dengan cara reseksi iga untuk mengangkat pleura yang
mengalami penebalan, pus dan debris serta untuk mengangkat jaringan paru
yang sakit dibawahnya.
( Brunner & Suddarth, 2002)
E. FOKUS PENGKAJIAN
1. Aktifitas / istirahat
Gejala : keletihan kelelahan malaise
2. Sirkulasi : pembengkakan ekstreminitas bawah.
3. Integritas ego : peningkatan faktor resiko, perubahan pola hidup.
4. Makanan/cairan : mulai muntah, nafsu makan akan menurun.
5. Higine : penurunan kemampuanmelakukan aktivitas dan latihan.
6. Pernafasan : nafas pendek, bantuk menetap, dengan produksi sputum, riwayat
pneumoni berulang, episode batuk hilangg timbul.
7. Keamanan : riwayat reaksi alergi atu sensitif terhadap zat/ faktor lingkungan.
8. Seksualitas : penurunan libido
9. Interaksi sosial: hibungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, penyakit lama.
( Doengoes Marilyn E, 2000)
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme bronchus, peningkatan
prodksi sekret.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen, kerusakan
alveoli
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispneu,
kelemahan, anoreksia, mual, muntah dan sesak nafas.
4. Resiko infeksi berhubingan dengan proses penyakit.
5. Ganguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan inflamasi pada pleura.
( Doengoes Marilyn E, 2000)
G. FOKUS INTERVENSI
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme bronchus, peningkatan
prodoksi sekret.
a. Tujuan :1) Bersih jalan nafas efektif.
2) Mengeluarkan sekresi secara efektif.
3) Mempunyai fungsi paru dalam batas normal.
4) Mudah untuk bernafas.
b. Kriteria hasil : 1) Pertahankan bunyi nafas dengan bunyi napas bersih.
2) Menunjukkan perilaku batuk efektif
3) Kegelisahan, sianosis dan dispnea tidak ada.
4) Mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan di rumah.
c. Intervensi
1) Awasi frekuensi atau kedalaman pernafasan, catat kemudahan bernafas.
Auskultasi bunyi nafas, selidiki kegelisahan, dispnea, terjadi sianosis.
Rasional : perubahan pada pernafasan , adanya ronki atau mengi diduga
adanya retensi sekret. Obstruksi jalan nafas dapat menimbulkan tidak
efektifnya pola pernafasan dan gangguan pertukaran gas.
2) Tinggikan kepala 30- 45 derajat
Rasional : memudahkan drainase sekret, kerja pernafasan dan ekspansi
paru.
3) Dorong batuk efektif dan nafas dalam.
Rasional : memobilisasi sekret untuk membersihkan jalan nafas.
4) Observasi karakteristik batuk.
Rasional : batuk dapat menetap tetapi tidak efektif khususnya bila pasien
lansia, sakit akut atau kelemahan.
5) Tingkatkan masukan cairan sampai 300 ml per hari sesuai toleransi
jantung.
Rasional : hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret,
mempermudah pengeluaran.
6) Memberikan obat sesuai indikasi.
Rasional : merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal,
menurunkan spasme jalan nafas, mengi dan produksi mukosa.
7) Bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
Rasional : memberikan pasien berbagai cara untuk mengatasi atau
mengontrol dispneu, dan menurunkan jebakan udara.
8) Dorong menelan, bila pasien mampu.
Rasional : mencegah pengumpulan sekret oral menurunkan resiko aspirasi.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penumpukan sekret, gangguan suplai
oksigen.
a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pertukaran gas dapat
dipertahankan.
b. Kriteria Hasil : 1) Tidak mengalami nafas dangkal / ortopnea
2) Mempunyai fungsi pernafasan dalam batas normal.
3) Tidak mengguankan pernafasan mulut.
c. Intervensi
1) Kaji frekuensi kedalaman pernafasan.
Rasional : derguna dalan efaluasi derajat distress pernafasan dan atau
kronisnya penyakit.
2) Tinggikan kepala tempat tidur.
Rasional : pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi tinggi dan
latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan nafas.
3) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara, bunyi
tambahan.
Rasional : bunui nafas redup karena penurunan aliran udara, mengi,:
indikasi spasme bronkhus/ tertahannya sekret,krekels basah, menyebar
menunjukkan cairan pada dekompensasi jantung.
4) Palpitasi primitus.
Rasional: penurunan getaran fibrasi diduga adanya pengumpulan cairan
atau udara terjebak.
5) Awasi tanda vital dan irama jantung.
Rasional : tachikardia, perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
6) Bantu klien untuk batuk efektif.
Rasional : batuk efektif membantu mengeluarkan sputum sebagai
sumberutama gangguan pertukaran gas.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelemahan, anoreksia, mual, muntah.
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan status nutrisi dapat
dipertahankan.
b. Kriteria Hasil : 1) berat badan tidak mengalami penurunan.
2) intake makanan dan cairan adekuat.
3) nafsu makan meningkat.
c. Intervensi
1) Kaji kebiasaan diit, cacat derajat kesulitan makan.
Rasioal : pasien distress pernafasan akan sering anoreksia karena dispneu,
produksi sputum.
2) Auskultasi bunyi usus.
Rasional : penurunan atau hipoaktif bising usus menunjukkan motilitas gaster
dan konstipasi yang berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan,
pilihan makanan buruk, penurunan aktivitas dan hipoksemia.
3) Hindari makaman yang mengandung gas dan minuman carbonat.
Rasional : dapat menimbulhan distensi abdomen dan gerakan diafragma yang
dapat meningkat dispnea.
4) Hindari makanan yang sangat panas atau dingin.
Rasional : suhu ekstrim dapat mencetuskan /meningkatkan spasme batuk.
5) Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional : berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan
berat badan dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
6) Kolaborasi dengan ahli gizi/nitrisi.
Rasional : metode makan dan kebutuhan dengan kalori didasarkan pada
kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal dengan upaya
minimal pasien /penggunaan energi.
7) Dorong klien untuk makan tinggi kalori tinggi protein.
Rasional : peningkatan pemenuhan kebutuhan dan kebutuhan pertahanan
tubuh.
8) Anjurkan makan dalam porsi kecil dan sering.
Rasional : distensi abdomen akibat makanan bamyak mungkin merangsang
adanya nyeri.
9) Observasi intake dan output / 8 jam. Jumlah makanan dikonsumsi tiap hari
dan timbang berat badab setiap hari.
Rasional : mengidentifikasi adanya kemajuan/ penyimpangan dari tujuan
yang diharapkan.
10) Ciptakan suasana yang menyenangkan, lingkungan yang bebas bau selama
makan.
Lakukan perawatan mulut sebelum makan dan setelah makan.
Bersihkan lingkungan tenpat penyajian makanan
Hindari penggunaan pengharum berbau menyengat.
Lakukan chest terapi dan nebulizer satu jam sebelum makan.
Sediakan tempat yang tepat untuk membuang tissue / sekret batuk.
Rasional : bau-bauan dan pemandangn yang tidak menyenangkan selama
waktu makan dapat manyebabkan anoreksia. Obat-obatan yang diberikan
segera setelah makan dapat mencetuskan mual dan muntah.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan proses penyakit.
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan resiko infeksi menurun,
b. Kriteria Hasil : 1) mengidenifikasi intervensi untuk mencegah /menurunkan
infeksi.
2) menunjukkan tehnik perubahan pola hidup untuk meningkatkan
lingkungan yang nyaman.
3) terbebas dari tanda dan gejala infeksi.
c. Intervensi :
1) Awasi suhu.
Rasional : demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.
2) Observasi warna dan bau sputum.
Rasional : sekret berbau, kuning atau kehijauan menunjukkan adanya infeksi
paru.
3) Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
Rasional : menurunkan konsumsi/ kebutuhan keseimbangan oksigen dan
memperbaiki pertahanan pasien terhadap infeksi, peningkatan penyembuhan.
4) Diskusi masukan nutrisi adekuat.
Rasional : malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan
tahana terhadap infeksi.
5) Kolaborasi pemeriksaan sputum.
Rasional : dilakukan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan
kerentanan terhadap anti mikrobial.
5. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan inflamasi pada pleura.
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan rasa nyaman
(nyeri) dapat teratasi
b. Kriteria hasil : 1) menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik.
2) dapat mengetahui intensitas nyeri
3) dapat bernafas tanpa rasa nyeri.
c. Intervensi :
1) Kolaborasi dengan individu untuk menentukan metode yang
dapat digunakan untuk intensitas nyeri.
Rasional : nyeri yang diakibatkan dari inflamasi pleura
menyebabkan ketidaknyamanan.
2) Tunjukkan pada klien penerimaan tentang respon klien terhadap
nyeri. Akui adanya nyeri, dengarkan dengan penuh perhatian
ungkapan klien tentang nyerinya.
Rasional : klien harus mencoba meyakinkan pemberi pelayanan
kesehatan bahwa ia mengalami nyeri.
3) Kolaborasi pemberian analgetik.
Rasional : mengontrol nyeri dan memblok jalan rangsang nyeri.
4) Kaji tingkat nyeri dan kemampuan adaptsi.
Rasional : memantau tingkat nyeri dan respon klien terhadap
nyeri yang timbul.
( Doengoes Marilyn E, 2000)
PERTANYAAN
1. Pada fase organisasi, apakah yang dimaksud dengan pus bersepta-septa/ lokulasi?
Jawab : pus yang mengisi rongga-rongga dalam pleura sehingga pleura menebal dan
menghambat pengembangan paru. Terjadinya pus diakibatkan oleh bakteri patogen yang
berkembang biak dalam cairan pleura.
Evaluasi : Pus bersepta-septa atau lokulasi yaitu pus berlapis-lapis dan menyebar ke
seluruh bagian pleura bahkan sampai ke seluruh bagian paru dan menyebabkan sulit
bernafas.
2. Bagainama cara mengeluarkan pus dari cairan pleura?
Jawab : pengeluaran pus dari cairan pleura dengan cara:
a. Aspirasi jarum (torasentesis) dengan kateter yang sangat kecil jika cairan tidak
terlalu banyak.
b. Drainase dada tertutup menggunakan selang intra kostal dengan diameter
besar yang disambungkan ke drainase water seal.
c. Drainase dada terbuka dengan cara reseksi iga untuk mengangkat pleura yang
mengalami penebalan, pus, dan debris serta untuk mengangkat jaringan paru
yang sakit dibawahnya.
Evaluasi :
a. Pemberian antibiotik yang sesuai berdasarkan organisme penyebab.
b. Aspirasi jarum (torasentesis) dengan kateter yang sangat kecil jika cairan tidak terlalu
banyak.
c. Drainase dada tertutup menggunakan selang intra kostal dengan diameter besar yang
disambungkan ke drainase water seal. Pemasangan drainase dada tertutup merupakan
pamasangan sementara karena pus yang ada pada pleura sedikit. Selang dimasukkan
pada interkosta atau sela iga ke 4&5,3&4 dll. Berdasarkan pada cairan yang tampak
pada foto thorak.
d. Drainase dada terbuka dengan cara reseksi iga untuk mengangkat pleura yang
mengalami penebalan, pus, dan debris serta untuk mengangkat jaringan paru yang
sakit dibawahnya. Drainase dada terbuka merupakan pemasangan drainase yang
mentap karena pus yang terlalu banyak.
3. Pada infeksi sub diafragma, apa yang dimaksud dengan efusi pleura serosa?
Jawab: cairan yang berada pada rongga pleura yang dapat menyebar atau meluas sampai
ke selaput peritonium.
Evaluasi: Cairan dalan cavum pleura yang meluas sampai lapisan peritonium yang
membungkus viseral abdominal dan mungkin dapat menembus diafragmaSsehingga
sampai ke peritonium. Mungkin juga dapat menyebabkan peritonitis, gastritis.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner , S dkk.2002.Keperawatan Medikal Bedah Volume 1. Jakarta : EGC
Diana C,Baugman. 2000. Patofisiologi. Jakarta:EGC
Doengoes,Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta:EGC
Hundak & Gallo.1997. Keperawatan Kritis : Suatu Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit . Jakarta : EGC
Mansjoer,Arief. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media Aescilapius
Stark, John E. 1990. Manual Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Binarupa Aksara
http://hajardaku.wortpress/2010/01/04/empiema