LAPORAN KASUS
VARISELA DENGAN INFEKSI SEKUNDER
OLEH
Lisantiyas Nurani, S.Ked
H1A 009 002
PEMBIMBING:
dr. Dedianto Hidajat, Sp.KK
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
PENDAHULUAN 1
LAPORAN KASUS 3
PEMBAHASAN 9
RINGKASAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16
i
Varisela dengan Infeksi Sekunder
Laporan Kasus
Lisantiyas Nurani, S.Ked
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUP NTB – FK UNRAM
PENDAHULUAN
Varicella atau dalam Bahasa Indonesia biasa dituliskan sebagai varisela, ialah
infeksi akut yang menyerang kulit serta mukosa dengan kelainan berbentuk vesikula,
pustul, krusta dan terkadang sikatriks yang tersebar.1-4 Istilah lain untuk varisela adalah
chickenpox atau cacar air.1,4 Varisela merupakan penyakit yang tersebar kosmopolit
(luas), terutama menyerang anak-anak, bersifat mudah menular yang disebabkan oleh
virus Varicella-Zoster.1,2,4 Jika terjadi pada usia dewasa, dapat timbul komplikasi berupa
pneumonia, ensefalitis dan glomerulonefritis.1,2 Virus varisela bertransmisi secara
aerogen (droplet), masa penularannya sekitar 7 hari dihitung dari timbulnya gejala
kulit.3,4
Kasus varisela di Amerika Serikat, berdasarkan data dari Centers for Disease
Control and Prevention (CDC), semakin menurun kejadiannya sejak vaksin varisela
ditemukan pada tahun 1995. Sebelum vaksinnya ditemukan, varisela menjadi salah satu
penyebab terjadinya kematian akibat komplikasi ensefalitis.3 Indonesia sendiri belum
memiliki data nasional mengenai kejadian varisela, data yang tersedia masih merupakan
data dari pusat-pusat pendidikan di daerah tertentu. Data dari Poliklinik Rumah Sakit
Ciptomangunkusumo menyatakan jumlah pasien anak penderita varisela tanpa penyulit
mencapai 77 kasus dalam 5 tahun (2006-2010).5
Infeksi varisela akut secara umum adalah penyakit ringan dan dapat sembuh
dengan sendirinya (self-limited disease), namun kejadiannya sering berhubungan
dengan komplikasi tertentu. Infeksi bakteri sekunder pada lesi kulit oleh karena
Staphylococcus atau Streptococcus merupakan penyebab tersering pasien datang ke
pusat-pusat kesehatan.3
1
Penegakan diagnosis varisela dapat dilakukan melalui pemeriksaan Tzanck.
Metodenya adalah dengan cara membuat sediaan hapus yang diwarnai dengan
menggunakan Giemsa.4 Bahan atau spesimen diambil dari dasar vesikel dan akan
didapati sel datia berinti banyak (multinucleated giant acantholytic keratinocytes).1,4
Hasil positif didapatkan pada 75% kasus stadium awal. Pemeriksaan lain yang dapat
membantu penegakan diagnosis varisela antara lain deteksi antigen melalui hapusan
pada lesi, pemeriksaan dermatopatologi, kultur, pemeriksaan serologi serta polymerase
chain reaction pada jaringan, hapusan (smear) maupun sekret.1
Terapi untuk varisela dibedakan menjadi dua, yakni terapi umum (simptomatik)
dan terapi khusus (penyebab/causal). Terapi simptomatik yang dapat diberikan adalah
antipiretik, analgesik dan antihistamin/sedativa untuk mengurangi rasa gatal. Obat
simptomatik lokal dapat diberikan bedak yang mengandung anti gatal, sehingga
sekaligus berfungsi mencegah pecahnya vesikel secara dini. Terapi penyebab dapat
diberikan antivirus serta antibiotik jika ada kecurigaan terjadinya infeksi sekunder.2,4
Bakteri dapat menyebabkan infeksi sekunder, untuk menegakkan diagnosisnya
pemeriksaan yang dibutuhkan adalah pemeriksaan gram untuk mengetahui adanya
infeksi Staphylococcus atau Streptococcus.2
Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui dan memahami
alur diagnosa serta tatalaksana pada penderita varisela dengan infeksi sekunder.
2
LAPORAN KASUS
Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun, diantar oleh kedua orang tuanya ke
Poliklinik Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara
Barat (RSUP NTB) pada tanggal 23 April 2013 dengan keluhan utama timbul
lentingan-lentingan berisi cairan di seluruh tubuh sejak satu hari yang lalu. Lentingan
yang timbul terasa gatal dengan ukuran bervariasi. Ayah pasien menyebutkan bahwa
lentingan-lentingan tersebut baru diketahui ketika pasien bangun tidur. Keluhan timbul
bersamaan di seluruh tubuh, namun lebih banyak di daerah wajah dan kulit kepala yang
kemudian diikuti dengan lentingan yang membesar di seluruh tubuh. Lentingan-
lentingan awalnya berukuran kecil, selanjutnya beberapa lentingan ada yang membesar
hingga lentingan yang berlokasi di daerah punggung pecah. Pasien merasakan nyeri di
lokasi lentingan yang telah pecah. Selain itu, pasien juga mengalami demam ringan
disertai dengan rasa meriang sejak dua hari sebelum datang ke RSUP NTB. Namun
tidak didapatkan adanya keluhan batuk, pilek, nyeri kepala, serta nyeri punggung
sebelum lentingan timbul. Pasien kesulitan memakai baju karena ukuran bintil yang
cukup besar serta takut jika bintilnya pecah dan menimbulkan rasa nyeri. Untuk
menutup tubuhnya digunakan sarung yang dililitkan di tubuhnya, dengan baju yang
hanya menutupi bagian leher hingga lengan atas.
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Adanya alergi obat
dan alergi makanan pada pasien disangkal, tidak didapatkan pula adanya riwayat asma
pada pasien dan keluarga. Riwayat penularan dari teman ataupun keluarga dekat
disangkal. Kedua orang tua pasien menyebutkan bahwa tidak ada keluarga maupun
teman di sekolah yang mengalami keluhan serupa, namun keluarga tidak mengetahui
adanya gejala serupa pada teman bermain di sekitar rumah. Sebelum berobat ke RSUP
NTB, keluarga pasien menyangkal telah memberikan obat apapun baik obat oles
maupun obat minum kepada pasien.
Riwayat kehamilan dan kelahiran, pasien adalah anak tunggal, lahir cukup bulan
spontan dengan berat lehir 2700 gram dan panjang lahir 48 cm. Pasien pernah dirawat di
RS Persahabatan pada usia tujuh bulan karena kejang demam. Riwayat imunisasi dasar
3
lengkap namun belum pernah mendapatkan vaksin varisela. Riwayat tumbuh kembang
dalam batas normal. Riwayat nutrisi terkesan kualitas dan kuantitas kurang.
Dari pemeriksaan fisik umum, keadaan umum pasien komposmentis, tidak sesak
maupun sianosis. Pasien tampak lemah namun masih bisa duduk serta berjalan. Pada
penimbangan berat didapatkan berat badan pasien 21,3 kg. Pada pemeriksaan status
dermatologi didapatkan lesi yang tersebar di seluruh tubuh. Lokasinya adalah wajah,
kulit kepala/scalp, badan, tungkai atas dan tungkai bawah. Ujud kelainan kulit (UKK)
dari masing-masing lokasi dibahas sesuai gambar berikut:
1. Wajah dan kulit kepala (scalp)
Gambar 1. Lokasi Bagian Wajah
Vesikel dan bula multipel dengan dasar eritem yang tersebar diskret, bula
hipopion dengan dasar eritem pada pipi sisi kiri dan tampak adanya ekskoriasi
dengan krusta kehitaman dan skuama warna putih.
4
2. Badan (perut dan punggung)
Gambar 2. Lokasi Bagian Perut
Vesikel multipel dengan dasar eritem yang tersebar diskret.
Gambar 3. Lokasi Bagian Punggung
Vesikel multipel dengan dasar eritem yang tersebar diskret, pada beberapa
daerah di bagian punggung tampak adanya bula dengan dasar eritem yang sudah
pecah meninggalkan erosi dan tertutup krusta kehitaman dan skuama putih.
5
3. Tungkai atas
Gambar 4. Lokasi Bagian Tungkai Atas
Vesikel multipel dengan dasar eritem yang tersebar diskret, pada lengan kanan
dan kiri bagian luar tampak bula hipopion berdinding kendor dengan dasar eritem.
6
4. Tungkai bawah
Gambar 5. Lokasi Bagian Tungkai Bawah
Vesikel multipel dengan dasar eritem yang tersebar diskret.
Berdasarkan data yang diperoleh dari heteroanamnesis dan pemeriksaan fisik,
terdapat tiga macam diagnosis banding yang dapat diajukan, yakni Varisela dengan
Infeksi Sekunder, Impetigo Bulosa dan Herpes Zoster Diseminata. Dari ketiga diagnosis
banding ini, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah pemeriksaan Tzanck dan pemeriksaan
7
gram.2 Pada pemeriksaan Tzanck dengan pewarnaan Giemsa, hasil yang diharapkan
adalah adanya gambaran sel datia berinti banyak (multinucleated giant cells).4,6
Sedangkan pada pemeriksaan Gram, diharapkan hasil berupa temuan kokus gram positif
dengan warna ungu akibat adanya infeksi sekunder oleh Staphylococcus.1 Dengan
demikian, diagnosis kerja untuk pasien ini adalah varisela disertai infeksi sekunder.
Prediksi hasil akhir bagi pasien adalah bonam (baik) untuk ketiga jenis prognosis, yakni
ad vitam (hidup), ad functionam (fungsi) dan ad sanationam (sembuh).
Manajemen yang diberikan pada pasien ini adalah berupa obat-obatan
farmakologis serta edukasi mengenai penyakitnya. Terapi farmakologis yang diberikan
antara lain Acyclovir 4 x 400 mg selama 5 hari, Paracetamol 4 x 250 mg bila perlu,
Chlorpheniramine maleate 3 x 2 mg bila perlu dan Erythromycin 4 x 500 mg selama 7
hari.
Penulisan resep:
Ɍ/ Tab. Acyclovir mg 400 No. XX
ʃ 4.d.d Tab I
¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯₰
Ɍ/ Tab. Paracetamol mg 500 No. X
ʃ p.r.n 4.d.d Tab ½
¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯₰
Ɍ/ Tab. CTM mg 4 No. V
ʃ p.r.n 3.d.d Tab ½
¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯₰
Ɍ/ Tab. Erythromycin mg 500 No. XXVIII
ʃ 4.d.d Tab 1 p.c
¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯₰
Edukasi yang disampaikan pada pasien adalah istirahat di rumah agar virus tidak
menyebar. Selain itu pasien juga perlu menjaga higienitas diri dengan mandi dua kali
sehari menggunakan sabun (tetapi tidak digosok) dan memakai baju yang bersih.2 Perlu
ditekankan juga pemberian makanan bergizi, terkait dengan infeksi sekunder pasien.
8
PEMBAHASAN
Varisela ialah infeksi akut akibat virus Varicella-Zoster yang penyebarannya ada
di seluruh dunia, namun insidensinya bervariasi sesuai iklim dan suhu serta status
imunisasi/vaksin varisela.3,4,6 Indonesia secara umum dan Mataram khususnya sudah
tidak lagi secara pasti dapat menentukan datangnya musim penghujan serta musim
kemarau akibat adanya pengaruh global warming. Saat ini, curah hujan yang tinggi juga
mempengaruhi sektor kesehatan di Indonesia.7
Pasien Tn. A berusia 8 tahun diantar oleh keluarganya karena timbul bintil-bintil
berisi cairan yang gatal di seluruh tubuhnya. Dari heteroanamnesis didapatkan bahwa
keluhan tersebut baru diketahui satu hari sebelumnya ketika bangun tidur, sebelumnya
pasien juga mengalami demam. Keluhan ini belum pernah dialami oleh pasien
sebelumnya. Informasi yang diperoleh dari anamnesis ini mengarahkan diagnosis
banding kepada Varisela, Impetigo Bulosa dan Herpes Zoster Diseminata. Diagnosis ini
diperoleh dari keluhan utama pasien berupa bintil-bintil berisi cairan.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, ditemukan adanya vesikel dasar eritem yang
penyebarannya diskret di seluruh tubuh, serta bula dinding kendor berdiameter hingga 5
cm di beberapa lokasi dengan dasar eritem. Pada bagian punggung juga tampak adanya
erosi dan ekskoriasi akibat bula yang sudah pecah, tertutup krusta kehitaman dengan
dasar eritem di sekitarnya.
Pada herpes zoster diseminata, rasa gatal biasanya timbul sebelum adanya
kelainan kulit atau vesikel. Rasa gatal ini bervariasi hingga yang paling parah dapat
menyebabkan rasa seperti terbakar, dengan lokasi utama sesuai dermatom tubuh.
Kelainan kulit yang timbul setelahnya ialah berupa vesikel bergerombol di antara kulit
sehat, yang nyeri pada salah satu dermatom, disertai vesikel/bula yang tersebar diskret
di lokasi lainnya.6 Fakta ini tidak sesuai dengan ujud kelainan kulit yang ada pada
pasien. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya vesikel bergerombol seperti
pada manifestasi klinis dari herpes zoster, serta keluhan yang dominan pada pasien
bukan nyeri melainkan rasa gatal.
9
Herpes zoster diseminata terjadi pada sekitar 25-50% pasien dengan keadaan
immunocompromised, seperti pada pasien yang terinfeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV), dengan riwayat varisela sebelumnya.6 Dari heteroanamnesis yang telah
dilakukan, pasien belum pernah mengalami keluhan serupa. Fakta-fakta berdasarkan
heteroanamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut dapat menyingkirkan herpes zoster
diseminata sebagai diagnosis.
Pada impetigo bulosa, lesi yang timbul terutama di daerah intertrigo atau lipatan.
Lokasi tersering adalah di daerah lipatan siku.1 Bula yang timbul pada impetigo bulosa
dapat bertahan hingga 2-3 hari, sehingga dapat dikatakan tidak mudah pecah. Selain itu,
bula yang sudah pecah akan menampilkan gambaran lesi sirsiner dengan tepi yang
meluas dan bagian sentral yang sembuh.2 Gejala lain yang terlihat pada pasien namun
bukan termasuk gambaran dari impetigo bulosa adalah adanya halo (eritem) yang luas
pada lesi.1 Beberapa hal inilah yang kemudian menyingkirkan impetigo bulosa sebagai
diagnosis.
Tanda dan gejala yang dialami oleh pasien paling cocok dengan varisela. Pada
anak-anak, gejala prodormal jarang timbul. Namun bila timbul, keluhannya yang utama
adalah berupa demam ringan. Lesi timbul berawal dari wajah dan kulit kepala.6 Masa
inkubasi varisela adalah sekitar 10-20 hari (rata-rata 14 hari).1,2 Pada masa inkubasi,
pertahanan tubuh yang berperan adalah imunitas bawaan (innate) seperti interferon dan
natural killer cells, dengan mengembangkan respon imun yang spesifik terhadap virus
Varicella-Zoster.6 Erupsi biasanya keluar setelah 2-3 hari. Gejala prodormal pada orang
dewasa lebih berat dan lebih lama. Panas badan timbul sesuai dengan luasnya lesi,
bahkan terkadang mencapai 40-420C selama 4-5 hari. Pada beberapa penderita sering
juga disertai rasa gatal dan nyeri punggung.1,2
Stadium selanjutnya setelah prodormal adalah timbulnya banyak makula/papula
yang dengan cepat berubah menjadi vesikula superfisial berdinding tipis. Bentuknya
sangat khas, dikenal dengan istilah fenomena tetesan air (drops of water) atau dewdrops
on a rose petal. Kulit sekitar lesi berwarna eritematus. Vesikel mengalami bentukan
umbilikasi (delle), kemudian dengan cepat berubah menjadi pustul dan krusta (8-12
10
jam). Selama beberapa hari akan timbul vesikula baru sehingga umur dari lesi tidak
sama, sehingga dalam satu waktu dapat terlihat papul, vesikel, pustul serta krusta di
lokasi yang berbeda.1,2
Informasi lain yang bisa diperoleh dari anamnesis adalah adanya riwayat kontak
dengan penderita varisela atau herpes zoster.1,2 Varisela merupakan penyakit yang
sangat menular. Kemungkinannya adalah sekitar 87% pada individu yang tinggal
serumah dan sekitar 70% kemungkinan penularan pada pasien di rumah sakit.6 Pada
kasus ini, keluarga pasien menyangkal adanya riwayat kontak. Hal ini dapat terjadi jika
orang lain yang menularkan virus tersebut masih belum mengeluarkan gejala atau justru
sudah hampir sembuh dan gejala yang timbul sudah tidak terlalu terlihat lagi. Virus
varisela dapat menular sejak 1-2 hari sebelum lesi timbul hingga 4-5 hari setelah lesi
terakhir timbul dan tidak lagi menular ketika lesi terakhir telah berubah menjadi krusta.6
Patogenesis varisela sangat bergantung pada droplet dari orang yang terinfeksi.
Virus varisela masuk ke dalam tubuh calon penderita melalui traktus respiratorius dan
konjunctiva, dapat juga melalui kontak langsung dengan penderita.3,6 Virus tersebut
kemudian bereplikasi di nasofaring dan limfonodi regional. Viremia primer terjadi 4-6
hari setelah infeksi dan menyebarkan virus ke organ-organ lain, seperti hepar, lien serta
ganglia sensoris. Replikasi selanjutnya berlangsung pada organ dalam yang diikuti
dengan viremia sekunder.3
Viremia sekunder terjadi karena sistem pertahanan tubuh, yakni respon imun
humoral dan seluler, tidak dapat mengatasi banyaknya virus yang beredar di dalam
tubuh.6 Pada viremia sekunder infeksi virus juga menyebar pada kulit. Jika ingin
melakukan kultur pada kulit, virus bisa didapatkan sejak 5 hari sebelum keluarnya rash
hingga 1-2 hari setelahnya.3 Dari kulit, virus varisela kemudian masuk ke dalam saraf
melalui ujung saraf bebas, yang kemudian ditransportasikan secara sentripetal pada
serabut saraf sensoris menuju ke ganglia sensoris. Ganglia sensoris inilah yang menjadi
tempat hidup virus varisela selama fase laten. Virus ini dapat bertahan di lokasi tersebut
seumur hidup dan dapat timbul sebagai herpes zoster oleh karena pemicu tertentu.6
11
Diagnosis varisela biasanya didasarkan pada gambaran lesi serta evolusi atau
perubahan dari lesi tersebut. Jika gambaran klinis meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk penegakan diagnosis. Salah satu pemeriksaan yang
konfirmatif dan paling mudah dilakukan adalah pemeriksaan Tzanck. Virus varisela
bersirkulasi dalam leukosit mononuklear, terutama limfosit.6 Selain itu, virus varisela
juga dapat masuk dan bereplikasi di dalam keratinosit.1 Hal inilah yang menyebabkan
adanya gambaran berupa sel datia berinti banyak atau gambaran limfosit berukuran
besar yang terinfeksi oleh virus varisela.
Gambar 6. Contoh Gambaran Hasil Pemeriksaan Tzanck 1 (Sel keratinosit
multinuklear
Pada pasien telah dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan Tzanck,
namun tidak didapatkan adanya gambaran khan untuk varisela. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh kesalahan prosedur dalam pengambilan spesimen ataupun pembuatan
preparat. Namun, diagnosis varisela masih dapat ditegakkan melalui gambaran klinis
pasien, karena merupakan informasi utama dalam penegakan diagnosis varisela.6
Varisela merupakan penyakit yang jarang menyebabkan komplikasi, terutama
pada anak-anak normal. Komplikasi yang biasa terjadi adalah infeksi bakteri sekunder
12
oleh karena staphylococci atau streptococci.6 Hal ini dapat dipastikan melalui
pemeriksaan Gram untuk mengetahui adanya infeksi oleh bakteri gram positif ataupun
negatif.2 Namun, pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan Gram. Oleh sebab itu,
diagnosanya hanya bisa ditegakkan melalui gambaran klinis dari lesi pada pasien.
Lesi bulosa dapat berkembang ketika vesikel terinfeksi oleh staphylococci yang
toksin eksfoliatif.6 Gambaran ini sesuai dengan lesi yang ada pada pasien, dengan bula
ukuran besar di beberapa tempat yang menunjukkan adanya infeksi sekunder oleh
staphylococci. Berdasarkan hal tersebut, diagnosis kerja untuk pasien ini adalah varisela
dengan infeksi sekunder.
Terapi untuk varisela dengan infeksi sekunder adalah antivirus, antipiretik,
antihistamin dan antibiotik.4 Terapi farmakologis yang diberikan antara lain Acyclovir 4
x 20 mg/kgBB selama 5 hari, Paracetamol bila perlu 4 x 10 mg/kg, Chlorpheniramine
maleate bila perlu 3 x 0.09 mg/kgBB dan Erythromycin 4 x 12,5-50 mg/kgBB setelah
makan selama 7 hari.2,4,6 Dengan berat badan 21,3 kg maka terapi yang diberikan adalah
Acyclovir 4 x 400 mg selama 5 hari, Paracetamol 4 x 250 mg bila perlu,
Chlorpheniramine maleate 3 x 2 mg bila perlu dan Erythromycin 4 x 500 mg selama 7
hari.
Varisela merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri tanpa perlu diberikan
terapi penyebab berupa antivirus. Namun, antivirus dianjurkan diberikan pada fase awal
timbulnya gejala, atau dalam 1-3 hari di awal timbulnya lesi kulit.2 Antivirus yang
diberikan adalah Acyclovir dengan dosis sesuai dosis anak.2,6 Untuk antipiretik dan
antihistamin, diberikan jika ada keluhan demam dan gatal yang mengganggu.
Antipiretik yang dipilih adalah Paracetamol karena aman bagi anak. Sementara untuk
antihistamin dipilih yang memiliki efek sedativa untuk membantu anak istirahat, yaitu
Chlorpheniramine maleate.4 Untuk antibiotik, dipilih antibiotik yang memiliki spektrum
luas dengan efektifitas utama pada bakteri gram positif dan aman bagi anak, yakni
Erythromycin.8
Manajemen lain yang perlu diperhatikan pada pasien ini adalah kecukupan gizi.
Hal ini sangat penting, karena infeksi sekunder pada varisela sering menyerang anak
13
dengan daya tahan tubuh yang rendah.9 Anak Indonesia usia 8 tahun dengan gizi yang
baik memiliki berat badan 25 kg.10 Pasien di skenario memiliki berat badan kurang dari
25 kg, hal mengindikasikan adanya kaitan antara infeksi sekunder yang dialami dengan
status gizi atau daya tahan tubuh pasien. Kebutuhan gizi harian untuk protein dan
vitamin C pada anak usia 8 tahun adalah 45 gr protein dan 45 mg vitamin C.10 Jumlah
tersebut setara dengan konsumsi tujuh butir telur sehari dan satu buah mangga. Kedua
zat ini penting dalam respon tubuh untuk menghadapi agen asing yang menyerang.
Penyakit varisela dapat dicegah kejadiannya, yakni dengan pemberian vaksin
varisela pada usia 12-18 bulan. Pemberian booster dapat dilakukan pada usia 12 tahun.6
Keamanan vaksin ini telah diteliti di Indonesia dengan sampel anak Indonesia usia 1-12
tahun sebanyak 300 orang pada tahun 1998. Kesimpulannya adalah bahwa vaksin
varisela menggunakan virus hidup yang dilemahkan dapat ditoleransi dengan baik dan
memberikan tingkat perlindungan tinggi pada pemberian dosis tunggal bagi anak sehat
usia 1-12 tahun.11
14
RINGKASAN
Tn. A, berusia 8 tahun, diantar oleh keluarganya ke Poliklinik Kesehatan Kulit
dan Kelamin Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan keluhan
timbulnya bintil-bintil berisi cairan yang gatal di sekujur tubuhnya. Bintil-bintil tersebut
timbul sejak kemarin ketika bangun tidur. Sehari sebelumnya os mengalami demam dan
meriang yang tidak disertai dengan batuk, pilek dan gejala nyeri sendi. Tidak ada
riwayat kontak dengan penderita yang memiliki keluhan serupa.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya lesi pada daerah wajah, kulit kepala,
badan, tungkai atas dan tungkai bawah. Ujud kelainan kulit yang tampak adalah berupa
vesikel dan bula dinding kendor dengan dasar eritem yang tersebar diskret. Bula dengan
ukuran sekitar 5 cm di daerah wajah, ekstremitas atas dan punggung. Di daerah
punggung tampak bula dasar eritem yang sudah pecah meninggalkan erosi serta tertutup
krusta dan skuama.
Pemeriksaan penunjang berupa pewarnaan Tzanck telah dilakukan, namun tidak
mendapatkan hasil apapun. Diagnosa tetap mengarah pada infeksi varisela berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan. Selain itu, terdapat juga kemungkinan
adanya infeksi sekunder berdasarkan lesi berbentuk bula pada beberapa lokasi dengan
ukuran/diameter yang relatif besar.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
telah dilakukan, dapat ditentukan diagnosis kerja os adalah varisela dengan infeksi
sekunder. Terapi yang diberikan adalah Acyclovir 4 x 400 mg selama 5 hari,
Paracetamol 4 x 250 mg bila perlu, Chlorpheniramine maleate 3 x 2 mg bila perlu dan
Erythromycin 4 x 500 mg selama 7 hari. Saran yang disampaikan adalah terkait
penularannya agar pasien istirahat di rumah, serta menjaga kebersihan diri dan pakaian
untuk mencegah perburukan infeksi. Os belum kembali untuk kontrol.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick’s color atlas & synopsis of clinical
dermatology. 5th ed. Austria: McGraw-Hill’s; 2007.
2. Murtiastutik D, Ervianti E, Agusni I, Suyoso S, editors. Atlas penyakit kulit &
kelamin. 2nd ed. Surabaya: FK Unair; 2009. p. 11-3.
3. Centers for Disease Control and Prevention. Varicella: Epidemiology and
prevention of vaccine-preventable disease. [Online]. 2012 [cited 2013 Apr 25];
Available from: URL: http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/varicella.html
4. Handoko RP. Penyakit virus. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2011. p. 115-6.
5. Theresia, Hadinegoro SRS. Terapi asiklovir pada anak dengan varisela tanpa
penyulit. Sari Pediatri 2010 Apr [cited 2013 Apr 25]; 11(6):440-7. Available from:
URL: http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/11-6-10.pdf
6. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill Medical; 2008.
p. 1885-89.
7. Supangat A. Perubahan iklim di Indonesia. [Online]. Kompas 2013 Apr 13 [cited
2013 Apr 27]; Available from: URL:
http://sains.kompas.com/read/2013/04/01/11290330/Perubahan.Iklim.di.Indonesia
8. Katzung BG, editor. Basic and clinical pharmacology. 10th ed. San Fransisco:
McGraw Hill Lange; 2006.
9. Lubis RD. Varicella dan herpes zoster. [Online]. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Universitas Sumatera Utara 2009 [cited 2013 Apr 24]. Available from:
URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3425/1/08E00895.pdf
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Tabel angka kecukupan gizi 2004 bagi
orang Indonesia. [Online]. 2004 [cited 2013 Apr 30]. Available from: URL:
http://gizi.depkes.go.id/download/AKG2004.pdf
16
11. Satar HI, Hadinegoro SR, Tumbelaka AR, Abdoerrachman H, Han HH, Bock H.
Imunogenitas dan keamanan vaksin varisela pada anak sehat. Sari Pediatri 2002 Mar
[cited 2013 Apr 29]; 3(4):202-5. Available from: URL:
http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/3-4-2.pdf
17