1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Thalassemia merupakan suatu kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal
resesif. Pada thalassemia terjadi proses hemolisis, sehingga terjadi anemia kronis. Penyakit
thalassemia membawa banyak sekali masalah bagi penderitanya, mulai dari kelainan darah
sampai kelainan berbagai organ tubuh akibat proses penyakitnya maupun akibat usaha
pengobatannya, karena penderita thalassemia akan sangat memerlukan transfusi darah seumur
hidupnya.(1)
Secara klinis dibedakan antara thalassemia mayor dan thalassemia minor. Pasien
thalassemia mayor umumnya menunjukkan gejala klinis yang berat, berupa anemia,
hepatosplenomegali, pertumbuhan yang terhambat dan gizi kurang sampai gizi buruk.
Pasien thalassemia mayor memerlukan transfusi darah terus-menerus. Gejala anemia
bahkan sudah dapat terlihat pada usia kurang dari satu tahun. Bentuk heterozigot biasanya
secara klinis sukar dikenal karena tidak memperlihatkan gejala klinis yang nyata dan
umumnya tidak memerlukan pengobatan. (1)
Akibat pemberian transfusi darah berulang dan penggunaan deferoksamin
untuk kelasi besi, yang tidak teratur akan terjadi penimbunan besi. Kadar besi
yang berlebihan dalam tubuh akan diubah menjadi feritin, Gangguan berbagai
fungsi organ dapat terjadi bila kadar feritin plasma lebih dari 2000 mg/m1., Kadar
feritin plasma yang bnggi dapat menyebabkan penurunan kadar seng dalam darah,
karena besi dan seng bersaing pada saat akan berikatan dengan transferin (binding
site). Setelah diabsorpsi pada mukosa jejunum dan ileum.(1)
Penderitanya mengalami ketidakseimbangan dalam produksi hemoglobin
(Hb). Hemoglobin adalah komponen sel darah merah yang berfungsi sebagai
pengangkut oksigen. Hemoglobin terdiri dari beberapa jenis protein, diantaranya
protein alpha dan protein beta. Penderita thalassemia tidak mampu memproduksi
salah satu dari protein tersebut dalam jumlah yang cukup. Sehingga sel darah
merahnya tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya hemoglobin tidak dapat
mengangkut oksigen dalam jumlah yang cukup. Hal ini berujung dengan anemia
2
(‘kekurangan darah’) yang dimulai sejak usia anak-anak hingga sepanjang hidup
penderitanya.(1)
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa definisi thalassemia?
2. Bagaimana epidemiologi thlassemia?
3. Bagaimana klasifikasi thlassemia?
4. Bagaimana patofisiologi thalassemia?
5. Bagaimana manifestasi klinis thalassemia?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang pada thalassemia?
7. Apa diagnosis banding thalassemia?
8. Bagaimana penatalaksanaan thalassemia?
9. Bagaimana skrining dan pencegahan pada thalassemia?
10. Bagaimana prognosis thalassemia?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui definisi thalassemia.
2. Mengetahui epidemiologi thlassemia.
3. Mengetahui klasifikasi thlassemia.
4. Mengetahui patofisiologi thalassemia.
5. Mengetahui manifestasi klinis thalassemia.
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada thalassemia.
7. Mengetahui diagnosis banding thalassemia.
8. Mengetahui penatalaksanaan thalassemia.
9. Mengetahui skrining dan pencegahan pada thalassemia.
10. Mengetahui prognosis thalassemia.
1.4. Manfaat
Makalah ini diharapkan mampu memberikan tambahan pengetahuan dan
landasan teori mengenai thalassemia dan prinsip penanganannya.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Tn. A
Usia : 45 tahun
Pekerjaan : Guru
Alamat : Kanigoro Blitar
Tanggal MRS : 3 Oktober 2012
B. Anamnesis
1) Keluhan utama
Badan terasa lemas
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Badan terasa lemas sejak 3 hari yang lalu. Selain itu pasien juga
mengeluh letih, lesu, dan cepat lelah.
Satu bulan yang lalu, pasien dirawat di RS dengan keluhan kaki
bengkak, sesak nafas, dan badan terasa lemas. Pasien didiagnosis
thalassemia beta intermedia. Saat di RS pasien mendapat transfusi
darah 6 labu. Pasien di jadwalkan kontrol cek lab Hb setiap satu
bulan sekali.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Usia 4 tahun : wajah sering pucat, lemas, dan perut
membesar.
Usia 15 tahun : wajah pucat, lemas, demam, dirawat di RS
dan mendapat transfusi darah 3 labu.
Usia 40 tahun : wajah pucat, lemas, dirawat di RS dan
mendapat transfusi darah 6 labu.
Usia 44 tahun : wajah pucat, lemas, dirawat di RS dan
mendapat transfusi darah 4 labu.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah meninggal pada usia 32 tahun di RS. Keluhan saat itu
BAB berdarah dan badan lemas.
4
Kakak perempuan meninggal pada usia 6 tahun di RS. Keluhan
saat itu pucat, lemas, perut membesar. Sejak kecil badan
lemas, demam, dan sakit-sakitan.
5) Riwayat Pengobatan
Sering mendapat transfusi darah sejak kecil hingga saat ini.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : tampak lemah
Kesadaran : composmentis
Vital sign :
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 72 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36 ⁰C
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 46 Kg
Review of System
Kepala :
Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+
Leher
dBN
Thoraks :
Jantung
Batas jantung kesan melebar, murmur (+) sistolik
Paru-paru
dBN
Abdomen :
Hepatomegali, Spleenomegali Schuffner II
Ekstremitas :
dBN
5
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah rutin
Hemoglobin 7,86 gr/Dl L : 13-17, P : 11,5-16
Hematokrit 26,7 % L : 40-50%, P : 35-47%
Leukosit 4.740/mm3 4.000-11.000
Trombosit 150.000/mm3 150.000-450.000
LED 40-76/jam L : 0-15, P : 0-20
MCV 79,8 fl 80-97
MCH 23,8 pg 27-31
MCHC 29,4 % 32-36
Diff Count 2/1/2/44/43/8 1-2/0-1/3-5/54-62/25-33/3-7
Hb Elektroforesa
Hb F 19,0 0-0,8
Hb A1 5,7 97
Hb A2 18,2 2,2-3,7
Hb H -
Hb Bart -
Hb E -
Hb S -
Hb C -
Fenotip Thalassemia beta
intermedia
Kimia Darah
Albumin 3,9 g/dl 3,8-5,1
SGOT 28 u/L L : 37, P : 31
SGPT 21 u/L L : 40, P : 31
Pemeriksaan Radiologi Thoraks PA :
Severe Cardiac Hypertrophy
6
USG Abdomen :
Hepatomegali Ringan dan Spleenomegali
E. Resume
Pasien datang ke RSMW dengan keluhan badan terasa lemas sejak
3 hari yang lalu. Selain itu pasien juga mengeluh letih, lesu, dan cepat
lelah. Satu bulan yang lalu, pasien dirawat di RS dengan keluhan kedua
kaki bengkak, sesak nafas, dan badan terasa lemas. Pasien didiagnosis
thalassemia beta intermedia. Saat di RS pasien mendapat transfusi darah 6
labu. Sejak kecil pasien sering pucat, lemas, demam, perut membesar, dan
sering mendapat transfusi darah. Ayah dan kakak perempuan pasien
meninggal di usia muda dengan keluhan serupa.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya anemis, ikterik,
cardiomegali, murmur sistolik, hepatomegali, spleenomegali schuffner II.
Dari hasil pemeriksaan penunjang darah lengkap didapatkan penurunan
kadar Hb, MCV, dan MCH (anemia hipokrom mikrositer). Hasil
pemeriksaan Hb elektroforesa didapatkan thalassemia beta intermedia.
Foto toraks PA menunjukkan hipertrofi jantung berat. USG menunjukkan
hepatomegali ringan dan spleenomegali.
F. Diagnosis
Anemia e.c. Thalassemia Beta Intermedia
Anemia Heart Disease
G. Penatalaksanaan
a) Usulan Pemeriksaan
DL post transfusi
Pemeriksaan hapusan darah tepi
Pemeriksaan SI, TIBC, Ferritin
Pemeriksaan Billirubin T/D/I
Pemerksaaan EKG
Pemeriksaan echocardiography
b) Rencana Pengobatan
Diet TKTP
IVFD NS 12 tpm
7
Transfusi darah PRC 2 kolf/hari sampai dengan Hb ≥ 10 gr/dl
Furosemid 40 mg (IV) pre transfusi kolf II
Asam folat 1x 3 tab
B kompleks 1 x 1
Chelating Agent Deferoksamin (DFO) dimulai bila kadar
feritin serum 1000 ng/ml atau bila sudah menerima 3-5
liter darah atau setelah 10-20 kali transfusi. Diberikan
deferoksamin 30-50 mg/kgbb/hari, 5-7 kali seminggu
subkutan selama 8-12 jam dengan syringe pump.
c) Rencana edukasi dan diet
Mengurangi konsumsi bahan makanan yang menjadi sumber
besi seperti hati, daging, kuning telur, polong, biji-bijian
utuh, udang, tiram, dan sayuran berwarna hijau tua.
Mengonsumsi makanan yang dapat menurunkan absorbsi
besi misalnya sereal, teh hitam, kopi, produk susu.
H. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Thalassemia adalah kelaianan herediter akibat adanya mutasi gen globin
yang menyebabkan berkurangnya atau tidak adanya sintesis satu atau lebih rantai
globin.(1)
3.2. Epidemiologi
Thalassemia terdiri atas beberapa tipe. Mereka yang tidak mampu
memproduksi protein alpha dalam jumlah yang cukup disebut thalassemia alpha.
Sedangkan mereka yang kekurangan produksi protein beta, menderita thalassemia
beta. Di Indonesia lebih banyak ditemukan kasus thalassemia beta. Insiden
pembawa sifat thalassemia di Indonesia berkisar antara 6-10%, artinya dari setiap
100 orang 6-10 orang adalah pembawa sifat thalassemia.(2)
Gen Thalassemia sangat luas tersebar, dan kelainan ini diyakini
merupakan penyakit genetik manusia yang paling prevalen. Distribusi utama
meliputi daerah-daerah perbatasan Laut mediterania, sebagian besar Afrika, Timur
Tengah, subbenua India, dan Asia Tenggara. Dari 3% sampai 8% orang Amerika
keturunan Itali atau Yunani dan 0,5% dari kulit hitam Amerika membawa gen
untuk thalassemia β. Di beberapa daerah Asia Tenggara sebanyak 40% dari
populasi mempunyai satu atau lebih gen thalassemia. Daerah geografi dimana
thalassemia merupakan prevalen yang sangat paralel dengan daerah dimana
Plasmodium falciparum dulunya merupakan endemik.(3)
Resistensi terhadap infeksi malaria yang mematikan pada pembawa gen
thalassemia agaknya menggambarkan kekuatan selektif yang kuat yang menolong
ketahanan hidupnya pada daerah endemik penyakit ini.(3)
Mortalitas dan Morbiditas
Thalassemia-α mayor adalah penyakit yang mematikan, dan semua janin
yang terkena akan lahir dalam keadaan hydrops fetalis akibat anemia berat.
9
Beberapa laporan pernah mendeskripsikan adanya neonatus dengan thalassemia-α
mayor yang bertahan setelah mendapat transfusi intrauterin. Penderita seperti ini
membutuhkan perawatan medis yang ekstensif setelahnya, termasuk transfusi
darah teratur dan terapi khelasi, sama dengan penderita thalassemia-β mayor.
Terdapat juga laporan kasus yang lebih jarang mengenai neonatus dengan
thalassemia-α mayor yang lahir tanpa hydrops fetalis yang bertahan tanpa
transfusi intrauterin. Pada kasus ini, tingginya level Hb Portland, yang merupakan
Hb fungsional embrionik, diperkirakan sebagai penyebab kondisi klinis yang
jarang tersebut.(3)
Pada pasien dengan berbagai tipe thalassemia-β, mortalitas dan morbiditas
bervariasi sesuai tingkat keparahan dan kualitas perawatan. Thalassemia-β mayor
yang berat akan berakibat fatal bila tidak diterapi. Gagal jantung akibat anemia
berat atau iron overload adalah penyebab tersering kematian pada penderita.
Penyakit hati, infeksi fulminan, atau komplikasi lainnya yang dicetuskan oleh
penyakit ini atau terapinya termasuk merupakan penyebab mortalitas dan
morbiditas pada bentuk talasemia yang berat. Mortalitas dan morbiditas tidak
terbatas hanya pada penderita yang tidak diterapi mereka yang mendapat terapi
yang dirancang dengan baik tetap berisiko mengalami bermacam-macam
komplikasi. Kerusakan organ akibat iron overload, infeksi berat yang kronis yang
dicetuskan transfusi darah, atau komplikasi dari terapi khelasi, seperti katarak,
tuli, atau infeksi, merupakan komplikasi yang potensial.(3)
3.3. Klasifikasi(4)
1. Alpha thalassemia
a. Silent alpha thalassemia
Delesi pada satu gen (-α/αα).
b. Alpha thalassemia trait
Delesi pada dua gen (αα/-- atau –α/-α).
c. Hemoglobin H disease
Delesi pada tiga gen (--/-α).
d. Hemoglobin Bart’s hydrops fetalis
Mengenai seluruh gen (--/--).
2. Beta thalassemia
10
a. Beta thalassemia trait
b. Beta thalassemia intermedia
c. Beta thalassemia mayor (Cooley’s anemia)
2.4. Patofisiologi
Gen yang mengalami defek pada thalassemia berperan dalam mengontrol
produksi protein pada hemoglobin. Hemoglobin mengikat oksigen dan
melepaskannya ketika eritrosit mencapai jaringan perifer, misalnya ke jaringan
hepar. Pengikatan dan pelepasan oksigen oleh hemoglobin adalah proses yang
sangat penting dalam hidup manusia.(5)
Setiap molekul hemoglobin terdiri dari empat sub unit protein. Dua sub
unit protein disebut alpha dan dua lainnya disebut beta. Hemoglobin akan bekerja
mengikat dan melepaskan oksigen dengan optimal apabila dua sub unit alpha
terhubung dengan dua sub unit beta. Sepasang gen pada kromosom 16 berperan
mengontrol produksi sub unit alpha. Sebuah gen (tunggal) pada kromosom 11
berperan mengontrol produksi sub unit beta.(5)
Gambar 1. Molekul Hemoglobin
Semua sel terdiri dari kromosom yang berpasangan, masing-masing
berasal dari ayah dan ibu. Setiap orang memiliki 2 gen beta globin, satu dari ayah
dan satu dari ibu. Karena setiap kromosom 16 memiliki 2 gen alpha globin, maka
setiap orang memiliki 4 gen alpha globin. Satu kromosom 16 dari ayah
11
menyumbangkan 2 gen alpha globin dan dua lainnya disumbangkan oleh
kromosom 16 dari ibu.(5)
Molekul hemoglobin yang lengkap memiliki empat sub unit, dua alpha
dan dua beta. Kedua gen beta globin memiliki kontribusi yang sama dalam
produksi sub unit protein beta. Keempat gen alpha juga memproduksi sejumlah
protein alpha yang sama jumlah dengan protein beta. Karena terdapat empat alpha
globin dan dua beta globin, maka setiap alpha globin menghasilkan setengah dari
jumlah protein yang dihasilkan beta globin. Dengan demikian jumlah protein yang
dihasilkan dari kedua gen pada satu set kromosom adalah sama.(5)
Karena dua tipe rantai globin (α dan non-α) berpasangan antara satu sama
lain dengan rasio hampir 1:1 untuk membentuk Hb normal, maka akan terjadi
produksi berlebihan dari rantai globin yang normal dan terjadi akumulasi rantai
tersebut di dalam sel menyebabkan sel menjadi tidak stabil dan memudahkan
terjadinya destruksi sel. Ketidakseimbangan ini merupakan suatu tanda khas pada
semua bentuk thalassemia. Karena alasan ini, pada sebagian besar thalassemia
kurang sesuai disebut sebagai hemoglobinopati karena pada tipe-tipe thalassemia
tersebut didapatkan rantai globin normal secara struktural dan juga karena
defeknya terbatas pada menurunnya produksi dari rantai globin tertentu.(5)
Tipe thalassemia biasanya membawa nama dari rantai yang tereduksi.
Reduksi bervariasi dari mulai sedikit penurunan hingga tidak diproduksi sama
sekali (complete absence). Sebagai contoh, apabila rantai β hanya sedikit
diproduksi, tipe thalassemianya dinamakan sebagai thalassemia-β+, sedangkan
tipe thalassemia-β° menandakan bahwa pada tipe tersebut rantai β tidak
diproduksi sama sekali. Konsekuensi dari gangguan produksi rantai globin
mengakibatkan berkurangnya deposisi Hb pada sel darah merah (hipokromatik).
Defisiensi Hb menyebabkan sel darah merah menjadi lebih kecil, yang mengarah
ke gambaran klasik thalassemia yaitu anemia hipokromik mikrositik. Hal ini
berlaku hampir pada semua bentuk anemia yang disebabkan oleh adanya
gangguan produksi dari salah satu atau kedua komponen Hb : heme atau globin.
Namun hal ini tidak terjadi pada silent carrier, karena pada penderita ini jumlah
Hb dan indeks sel darah merah berada dalam batas normal.(5)
12
Alpha Thalassemia
Alpha thalassemia timbul karena adanya satu gen alpha globin atau lebih
gagal memproduksi protein alpha. Defek ini terjadi pada kromosom 16.
Penurunan sifat alpha thalassemia sangat rumit karena tiap orang tua berpotensi
menurunkan dua dari empat alpha globin yang mereka miliki kepada penderita
(resesif). Satu hal yang dapat mempermudah prediksi adalah bahwa gen alpha
berada pada komosom yang sama dan diturunkan berpasangan.(5)
Titik permasalahannya adalah apakah kedua gen alpha pada kromosom
yang sama mengalami delesi (pengrusakan). Jika hal itu terjadi, maka penderita
(resesif) akan memiliki gejala klinis yang sangat berat, dimana dua gen alpha
pada satu kromosom 16 hilang dan satu gen alpha pada komosom lainnya
sehinggga penderita hanya memiliki satu gen alpha yang masih berfungsi normal.
Manifestasi klinis dari keadaan ini adalah penyakit hemoglobin H, yang sangat
bergantung pada transfusi. Jika keempat gen alpha hilang, maka terjadi kematian
in utero (hydrops fetalis). Keadaan ini banyak dijumpai pada orang Asia kuno.(5)
Gambar 2. Probabilitas yang terjadi pada kedua orang tua dengan alpha
thalassemia trait dan silent alpha thalassemia
13
Gambar diatas menujukkan bahwa kedua orang tua yang pada gennya
terdapat masing-masing gen yang sudah termutasi, yakni alpha thalassemia trait
dan silent alpha thalassemia. Maka anaknya : 25% normal, 25% silent alpha
thalassemia, 25% alpha thalassemia trait, 25% hemoglobin H disease.
Beta Thalassemia
Timbulnya gangguan pada proses produksi protein globin adalah penyebab
yang paling sering dari beta thalassemia. Kedua gen beta globin dijumpai pada
sel, namun gagal memproduksi protein dalam jumlah yang cukup (pada alpha
thalassemia, satu atau lebih gen alpha tidak dijumpai). Jika satu gen beta globin
gagal maka jumlah beta globin dalam sel berkurang setengahnya. Kondisi ini
disebut thalassemia trait atau thalassemia minor. Jika kedua gen gagal, maka tidak
ada protein beta globin yang diproduksi. Keadaan ini disebut dengan thalassemia
mayor. (5)
Pada beberapa kasus, kegagalan yang dijumpai tidak bersifat total. Gen
beta globin masih memproduksi sejumlah kecil protein beta yang normal.
Kadangkala seseorang mewarisi dua gen thalassemia, produksi protein dari dua
gen beta berkurang namun tidak mencapai nol. Keadaan klinis yang ditimbulkan
lebih berat dari thalassemia minor, dimana satu gen gagal namun yang lainnya
bekerja normal. Di sisi lain, kondisi klinisnya lebih ringan dari thalassemia mayor,
dimana kedua gen gagal secara total. Keadaan ini disebut dengan thalassemia
intermedia.(5)
Thalassemia intermedia adalah kondisi klinis yang sangat bervariasi dan
harus dievaluasi secara konstan oleh hematologis. Dua orang penderita
thalassemia intermedia dapat sangat berbeda manifestasi klinisnya.(5)
14
Gambar 3. Probabilitas yang muncul pada kedua orang tua dengan
thalasemia minor
Thalassemia minor (trait) biasanya hanya ditandai dengan anemia ringan.
Keadaan yang lebih berat dijumpai pada orang yang mewarisi dua gen
thalassemia. Gambar diatas menunjukkan bahwa kedua orangtua merupakan
carier/trait. Maka anaknya 25% normal, 50% carier/trait, 25% mewarisi 2 gen
yang termutasi (thalasemia mayor).(5)
Tingkat keparahan secara klinis pada penderita thalassemia yang mewarisi
dua gen thalassemia sangat dipengaruhi oleh jumlah protein beta globin yang
diproduksi oleh gen yang mengalami defek. Gen thalassemia yang sama sekali
tidak memproduksi protein beta globin disebut gen beta-0 thalassemia. Seseorang
yang memiliki dua gen ini akan sangat bergantung pada transfusi darah dan
disebut thalassemia mayor.(5)
Sering kali gen thalassemia memproduksi sejumlah protein beta globin,
namun dalam jumlah yang sangat sedikit (kurang). Gen thalassemia ini disebut
15
beta+. Seseorang dengan satu gen beta+ dan gen beta0 thalassemia akan mengidap
thalassemia mayor. Biasanya seseorang dengan dua gen beta+ akan membutuhkan
terapi transfusi kronik dan juga disebut thalassemia mayor.(5)
Terkadang kedua gen beta+ thalassemia dapat memproduksi protein beta
globin dalam jumlah yang cukup sehingga pasien tidak memerlukan transfusi.
Keadaan ini disebut thalassemia intermedia. Seseorang secara klinis dapat
berubah dari thalassemia intermedia menjadi thalassemia mayor, meskipun secara
genetika kemungkinan itu tidak terlihat.(5)
Pada tipe trait thalassemia-β yang paling umum, level Hb A2 (δ2/α2)
biasanya meningkat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan rantai δ
oleh rantai α bebas yang eksesif, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan
rantai β adekuat untuk dijadikan pasangan. Gen δ, tidak seperti gen β dan α,
diketahui memiliki keterbatasan fisiologis dalam kemampuannya untuk
memproduksi rantai δ yang stabil; dengan berpasangan dengan rantai α, rantai δ
memproduksi Hb A2 (kira-kira 2,5-3% dari total Hb). Sebagian dari rantai α yang
berlebihan digunakan untuk membentuk Hb A2, dimana sisanya (rantai α) akan
terpresipitasi di dalam sel, bereaksi dengan membran sel, mengintervensi divisi
sel normal, dan bertindak sebagai benda asing sehingga terjadinya destruksi dari
sel darah merah. Tingkat toksisitas yang disebabkan oleh rantai yang berlebihan
bervariasi berdasarkan tipe dari rantai itu sendiri (misalnya toksisitas dari rantai α
pada thalassemia-β lebih nyata dibandingkan toksisitas rantai β pada thalassemia-
α). (5)
2.5. Manifestasi Klinis(5)
1. Thalasemia α
a) Silent alpha thalassemia
Bentuk heterozigot silent thalassemia α+ (–α/αα). Memiliki gambaran
darah yang abnormal (penurunan MCV dan MCHC) tetapi dengan
elektroforesis normal. Saat lahir 50% kasus memiliki Hb Bart’s 1-3%
tapi tidak adanya Hb Bart’s tidak menyingkirkan diagnosa kasus ini.
Biasanya asimtomatik.
16
b) Alpha thalassemia trait
Bisa berasal dari thalasemia α0 (-/αα) atau thalasemia (-α/-α).
Biasanya asimptomatis, didapatkan anemia mikrositik hipokrom
ringan dengan penurunan MCH dan MCV yang bermakna. Hb
elektroforesis normal dan pasien hanya bisa didiagnosis dengan
analisa DNA. Pada masa neonatus, Hb Bart’s 5-10 % tapi tidak
didapatkan HbH pada masa dewasa dan kadang bisa didapatkan
inklusi pada eritrosit karier thalasemia α.
c) Hemoglobin H disease
Ditandai anemia mikrositik hipokrom yang cukup berat (7-11 g/dL)
dan splenomegali sedang dimana Hb H (β4) dapat dideteksi dalam sel
darah merah dengan elektroforesis atau pada sediaan retikulosit. Pada
kehidupan janin ditemukan Hb Bart (γ4). HbH bisa diketahui dengan
bantuan brilian cresil blue yang akan menyebabkan pengendapan dan
pembentukkan badan inklusi. Setelah splenektomi, umumnya
bentukkan ini makin banyak di eritrosit. Pada beberapa kasus,
penderita bisa tergantung transfusi sedangkan sebagian besar kasus
umumnya penderita bisa tumbuh normal tanpa transfusi.
d) Hemoglobin Bart’s hydrops fetalis (α0)
Sindrom hidrops Hb Bart’s biasanya terjadi dalam rahim. Bila hidup
hanya dalam waktu pendek. Gambaran klinisnya adalah hidrops fetalis
dengan edema permagna dan hepatosplenomegali. Kadar Hb 6-8 g/dl
dengan eritrosit hipokromik dan beberapa berinti. Kadar Hb Bart’s
80% dan sisanya Hb portland. Biasanya keadaan ini disertai toksemia
gravidarum, perdarahan post partum dan masalah karena hipertrofi
plasenta. Pada pemeriksaan otopsi memperlihatkan adanya
peningkatan kelainan bawaan. Beberapa bayi berhasil diselamatkan
dengan transfusi tukar dan berulang serta pertumbuhannya bisa
mencapai normal.
17
Gambar 4. Ilustrasi hydrops fetalis
2. Thalasemia β
a) Beta thalassemia trait
Hampir tanpa gejala, umumnya dengan anemia ringan (< 10 g/dl) dan
jarang didapatkan splenomegali. Adanya penurunan ringan kadar Hb
dengan penurunan MCV dan MCH yang bermakna. Terjadi
peningkatan retikulosit dan HbA2. Pada pemeriksaan darah tepi
didapatkan hipokrom, mikrositer, dan kadang tampak sel target.
Sering dianggap anemia defisiensi besi, namun bedanya kadar besi
serum dan ferritin biasanya normal atau meningkat.
b) Beta thalassemia intermedia
Sindroma klinik yang disebabkan oleh sejenis lesi genetik. Gejalanya
mirip dengan talasemia mayor, namun dengan anemia tingkat sedang.
Manifestasinya anemia hipokrom mikrositik (Hb 7-10 gr/dl),
hepatomegali dan splenomegali, deformitas menurun, kelebihan beban
besi (iron over load).
c) Beta thalassemia major (Cooley’s anemia)
Hampir semua anak dengan thalasemia β homozigot dan heterozigot
memperlihatkan gejala klinis sejal lahir yaitu gagal tumbuh, infeksi
berulang, kesulitan makan, kelemahan umum. Bayi tampak pucat dan
terdapat splenomegali. Bila menerima transfusi berulang,
pertumbuhannya bisa normal hingga pubertas. Pada anak yang
18
mendapat transfusi dan terapi chelasi (pengikat besi), anak bisa
mencapai pubertas dan terus mencapai usia dewasa dengan normal.
Bila terapi chelasi tidak adekuat, secara bertahap akan terjadi
penumpukkan besi yang efeknya mulai nampak pada dekade pertama.
Adolscent growth spurt tidak akan tercapai, komplikasi ke hati,
endokrin, dan jantung.
Gambaran klinis pasien yang tidak mendapat terapi adekuat yaitu :
Facies cooley
Terjadi keaktifan sumsum tulang yang luar biasa pada tulang
muka dan tulang tengkorak hingga nengakibatkan perubahan
perkembangan tulang tersebut dan umumnya terjadi pada anak
usia lebih dari 2 tahun.
Gambar 5. Gambaran Facies Cooley
Pucat yang berlangsung lama
Merupakan gejala umum pada penderita thalassemia, yang
berkaitan dengan anemia berat. Penyebab anemia pada
thalassemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah
berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif
disertai penghancuran sel-sel eritrosit intramedular. Sedangkan
yang sekunder mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit
oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati.
Perut membuncit
Pada anak yang besar tampak perut yang membuncit akibat
pembesaran hati dan limpa. Hati dan limpa membesar akibat dari
19
hemopoisis ekstrameduler dan hemosiderosis. Dan akibat dari
penghancuran eritrosit yang berlebihan itu dapat menyebabkan
terjadinya peningkatan biliribin indirek, sehingga menimbulkan
kuning pada penderita thalassemia dan kadang ditemui
trombositopenia.
Gambar 6. Hepatospleenomegali
Gagal tumbuh dan mudah terkena infeksi.
Karena pendeknya umur eritrosit menyebabkan hiperurikemi dan
gout sekunder sering timbul.
Sering terjadi gangguan perdarahan akibat rombositopenia
maupun kegagalan hati akibat penimbunan besi, infeksi dan
hemapoiesis ekstramedular.
Bila pasien ini mencapai pubertas, akan timbul komplikasi akibat
penimbunan besi yaitu Keterlambatan menarke (pada anak
perempuan) dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder
akibat dari hemosiderosis yang terjadi pada kelenjar endokrin.
Selain pada kelenjar endokrin, hemosiderosis pada pankreas dapat
menyebabkan diabetes mellitus. Siderosis miokardium
menyebabkan komplikasi ke jantung.
Temuan Laboratorium
Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalassemia-β° yang
tidak ditransfusi adalah ekstrem. Disamping hipokromia dan
mikrositosis berat, banyak ditemukan poikilositosit yang
terfragmentasi, aneh (bizarre), nucleated RBC, dan sel target.
20
Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama
setelah splenektomi. Inklusi intraeritrosit, yang merupakan
presipitasi dari kelebihan rantai α, juga terlihat pasca splenectomi.
Kadar Hb turun secara cepat menjadi kurang dari 5 g/dL kecuali
jika transfusi diberikan. Kadar retikulosit meningkat. Penurunan
kadar MCV dan MCHC. Kadar bilirubin serum tidak terkonjugasi
meningkat. Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi kapasitas
pengikat besi. Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya
kadar Hb F yang sangat tinggi dalam eritrosit. Senyawa dipiridol
menyebabkan urin berwarna coklat gelap, terutama pasca
splenektomi.
2.6. Pemeriksaan Penunjang(1)
Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis
thalasemia ialah:
1. Darah
Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita
thalasemia adalah
Darah rutin
Kadar hemoglobin ,MCV ,MCH, dan MCHC menurun. Dapat ditemukan
peningkatan jumlah lekosit, ditemukan pula peningkatan dari sel PMN.
Bila terjadi hipersplenisme akan terjadi penurunan dari jumlah trombosit.
Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.
Gambaran darah tepi
Anemia pada thalassemia mayor mempunyai sifat mikrositik hipokrom.
Pada gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan retikulosit,
poikilositosis, tear drops sel dan target sel.
21
Gambar 7. Hapusan darah tepi pada thalassemia
Serum Iron & Total Iron Binding Capacity
Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
anemia terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan
menurun, sedangkan TIBC akan meningkat.
LFT
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila
angka tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan
hepatitis, obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan
SGPT akan meningkat dan menandakan adanya kerusakan hepar. Akibat
dari kerusakan ini akan berakibat juga terjadi kelainan dalam faktor
pembekuan darah.
2. Hb Elektroforesis
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis
hemoglobin. Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita thalassemia
saja, namun juga pada orang tua, dan saudara sekandung jika ada. Pemeriksaan ini
untuk melihat jenis hemoglobin dan kadar Hb A2. petunjuk adanya thalassemia α
adalah ditemukannya Hb Barts dan Hb H. Pada thalassemia β kadar Hb F
bervariasi antara 10-90%, sedangkan dalam keadaan normal kadarnya tidak
melebihi 1%.
22
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat aktif
sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan normal
biasanya nilai perbandingannya 10 : 3.
4. Pemeriksaan roentgen
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak
mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi
berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala.
Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari
korteknya. Pada tulang-tulang pendek tangan dan kaki terbentuk trabekulasi kasar,
tulang menjadi berbetuk pipa serta tampak adanya abnormalitas kistik. Pelebaran
kavitas medulla pada metacarpal, metatarsal dan phalanges memberi gambaran
bentuk rectangular dengan konkavitas normal menghilang. Pada tulang panjang
dan ekstremitas memperlihatkan korteks yang menipis dan dilatasi kavitas
medulla sehingga mengakibatkan tulang-tulang tersebut sangat rapuh dan mudah
mengalami fraktur patologik. Pada kranium ditandai dengan pelebaran ruang
diploe dan garis-garis vertikal trabekula akan memberi gambaran “hair on end”
yaitu menyerupai rambut berdiri potongan pendek pada anak besar.
Gambar 8. Foto roentgen pada thalassemia
Abnormalitas gambaran radiologik lainnya pada kranium yaitu sinus
paranasalis tampak tidak berekmbang sempurna, terutama sinus maksilaris. Hal
ini disebabkan karena penebalan dari tulang sinus akibat hyperplasia yang akan
memberi gambaran “thalassemia facies” dengan maloklusi. Korpus vertebra
mengalami deminerlisasi yang ditandai dengan trabekulasi yang kasar
Trabekula tulang jelas
Hair on end
23
disekelilingnya. Pada stadium lanjut, tepi superior dan inferior corpus vertebra
berbentuk bikonkaf atau dapat terjadi fraktur kompresi. Kadang pula massa
hemopoesis ekstramedulla tampak pada mediastinum memberi gambaran
bayangan jaringan lunak di antara kosta depan dan belakang pada posisi
posteroanterior. Jantung tampak pula mengalami pembesaran. Pada kosta tampak
bayangan densitas radiopak didalam kosta (a rib within a rib appearance).
2.7. Diagnosis Banding
Thalassemia sering kali didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi Fe.
Hal ini disebabkan oleh karena kemiripan gejala yang ditimbulkan, dan gambaran
eritrosit mikrositik hipokrom. Namun kedua penyakit ini dapat dibedakan, karena
pada anemia defisiensi Fe didapatkan :
Pucat tanpa organomegali
Terdapat penurunan Hb disertai penurunan besi serum dan ferritin serta
peningkatan TIBC.
Tidak tedapat besi dalam sumsum tulang
Bereaksi baik dengan pengobatan dengan preparat besi
2.8. Penatalaksanaan(6)
Prinsip pengobatan pada pasien talasemia adalah :
Terapi tranfusi darah untuk mencegah komplikasi dari anemia kronis
Pencegahan dari resiko kelebihan besi akibat terapi transfusi
Penatalaksanaan splenomegali
Pada anak dengan thalassemia mayor beta membutuhkan pelayanan
kesehatan yang terus menerus seumur hidupnya.
A. Tranfusi darah
Pemberian tranfusi darah ditujukan untuk mempertahankan dan
memperpanjang umur atau masa hidup pasien dengan cara mengatasi komplikasi
anemia, memberi kesempatan pada anak untuk proses tumbuh kembang,
memperpanjang umur pasien. Terapi tranfusi darah dimulai pada usia dini ketika
ia mulai menunjukkan gejala simtomatik. Transfusi darah dilakukan melalui
pembuluh vena dan memberikan sel darah merah dengan hemoglobin normal.
Untuk mempertahankan keadaan tersebut, transfusi darah harus dilakukan secara
24
rutin karena dalam waktu 120 hari sel darah merah akan mati. Khusus untuk
penderita beta thalassemia intermedia, transfuse darah hanya dilakukan sesekali
saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta thalssemia mayor (Cooley’s
Anemia) harus dilakukan secara teratur
Tranfusi darah diberikan bila Hb anak < 7 gr/dl dyang diperiksa 2x berturut
dengan jarak 2 mingg dan bila kadar Hb > 7 gr/dl tetapi disertai gejala klinis
seperti Facies Cooley, gangguan tumbuh kembang, fraktur tulang curiga adanya
hemopoisis ekstrameduler. Pada penanganan selanjutnya, transfusi darah
diberikan Hb ≤8 gr/dl sampai kadar Hb 11-12 gr/dl. Darah diberikan dalam
bentuk PRC, 3 ml/kgBB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dL.
B. Kelasi Besi
Pasien thalasemia dengan terapi tranfusi biasanya meninggal bukan karena
penyakitnya tapi karena komplikasi dari tranfusi darah tersebut. Komplikasi
tersebut adalah penumpukan besi diberbagai organ.
Desferoxamine diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000
mg/L atau saturasi transferin sudah mencapai 50 %, atau sekitar setelah 10 -20
kali transfusi. Pemberian dilakukan secara subkutan melalui pompa infus dalam
waktu 8-12 jam dengan dosis 25-35 mg/kg BB/hari, minimal selama 5 hari
berturut-turut setiap selesai transfusi darah. Dosis desferoxamine tidak boleh
melebihi 50 mg/kg/hari. Evaluasi teratur terhadap toksisitas desferoxamin
direkomendasikan pada semua pasien yang mendapat terapi ini.
Saat ini sudah tersedia kelasi besi oral, namun penggunaannya di Indonesia
belum dilakukan.
C. Suplemen Asam Folat
Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu pembangunan sel-sel
darah merah yang sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di samping melakukan
transfusi darah ataupun terapi khelasi besi.. Asam Folat 2x1 mg/hari untuk
memenuhi kebutuhan yang meningkat.
D. Splenektomi
Indikasi :
25
Limpa yang terlalu besar sehingga membatasi gerak pasien,
menimbulkan peningkatan tekanan intra-abdominal dan bahaya
terjadinya ruptur
Meningkatnya kebutuhan tranfusi yang melebihi 250ml/kgBB dalam 1
tahun terakhir
D. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang untuk talasemia pertama kali dilakukan
tahun 1982. Transplantasi sumsum tulang merupakan satu-satunya terapi
definitive untuk talasemia. Jarang dilakukan karena mahal dan sulit.
2.9. Skrining dan Pencegahan(2)
Skrining
Bila populasi tersebut hendak memiliki pasangan, dilakukan skrining
premarital. Penting sekali menyediakan program konselin verbal dan tertulis
mengenai hasil skring.
Alternatif lain, memeriksakan setiap wanita hamil muda berdasarkan ras.
Skrining yang efektif adalah melalui eritrosit. Bila MCV dan MCH sesuai
gambaran thalasemia, perkiraan kadar HbA harus diukur. Bila kadarnya normal,
pasien dikirim ke pusat yang menganalisis gen. Penting untuk memeriksa Hb
elektroforesa pada kasus-kasus ini untuk mencari kemungkinan variasi struktural
Hb.
Pencegahan
Ada 2 pendekatan untuk menghindari thalasemia, yaitu :
Karena karier thalasemia β bisa diketahui dengan mudah, skrining
populasi dan konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot
menikah, 1 dari 4 anak mereka bisa menjadi homozigot atau gabungan
heterozigot.
Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangan bisa
diperiksa dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis
prenatal dan terminasi kehamilan pada fetus dengan thalasemia β berat.
26
2.10. Prognosis(1)
Thalassemia beta homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan
jarang mencapai usia dekade ke 3, walaupun digunakan antibiotik untuk
mencegah infeksi dan pemberian chelating agent untuk mengurangi
hemosiderosis. Apabila di kemudian ahri transplantasi sumsum tulang diterapkan
maka prognosis akan menjadi baik, karena diperoleh penyembuhan.
27
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Thalassemia merupakan penyakit genetik yang disebabkan oleh
ketidaknormalan pada protein globin yang terdapat di gen. Dapat menyerang siapa
aja dengan berbagai etnik ras di seluruh dunia dan termasuk salah satu penyakit
genetik kelainan darah yang terbanyak di Indonesia. Jika globin alfa yang rusak
maka penyakit itu dinamakan alfa-thalassemia dan jika globin beta yang rusak
maka penyakit itu dinamakan alfa thalassemia. Gejala yang terjadi dimulai dari
anemia hingga gangguan tumbuh kembang. Pemeriksaan thalasemia bisa
dilakukan melalui pemeriksaan darah, Hb elektroforesa, pemeriksaan sumsum
tulang dan roentgen. Thalassemia harus sudah diobati sejak dini agar tidak
berdampak fatal. Pengobatan yang dilakukan adalah dengan melakukan transfusi
darah, meminum beberapa suplemen asam folat, terapi kelasi besi, splenektomi,
hingga transplantasi sumsum tulang. Thalasemia bisa diketahui sedini mungkin
dengan proses skrining.
4.2. Saran
1. Sebaiknya dilakukan pemantauan fungsi organ secara berkala agar
berbagai dampak transfusi dapat dideteksi secara dini.
2. Perlu adanya kerjasama dan komunikasi yang baik dari dokter dan pasien
agar tujuan terapi dapat tercapai dengan maksimal.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Supandiman, Iman. 2003. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi
Onkologi Medik. Bandung : Q-Communication, h. 195-201
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2004. Standard Pelayanan Medis Kesehatan
Anak Edisi I. Jakarta : IDAI, h. 82-4
3. Hoffbrand, Pettit JE, Moss PAH. 2002. Kapita Selekta Hematologi( Essential
Haematology) Edisi 4. Jakarta : EGC, h.66-75
4. Provan, Drew. 2004. Oxford Handbook of Clinical Haematology Second
edition. United States : Oxford University Press
5. Ilyas, Muhammad, Winansih Gubali. 2012. Thalassemia : Cooley Anemia.
http://med.unhas.ac.id/datajurnal/thn06no3/LK-3-Ilyas%20(thalassemia).pdf
6. Oliveri, Nancy. 1999. The Beta Thalassemia. The New England Journal of
Medicine. 342 (2) : 99-107