BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan
membutuhkan pengobatan operasi segera yang mempunyai insiden puncak pada
anak remaja dan dewasa muda. Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi
daripada di negara berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat
perubahan pola makan di Negara berkembang yang banyak mengonsumsi
makanan berserat. Di Amerika Serikat, jumlah kasus apendisitis dilaporkan oleh
lebih dari 40.000 rumah sakit tiap tahunnya. Laki-laki memiliki rasio tinggi terjadi
apendisitis, dengan rasio laki-laki:perempuan yaitu 1,4:1, dengan risiko seumur
hidup apendisitis yaitu pada laki-laki 8.6% dan 6.7% pada perempuan.1
Apendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka diperlukan
tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Apendisitis
perforasi adalah perjalanan kondisi apendisitis akut yang lama tertangani.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT scan. Tingkat akurasi
diagnosis apendisitis berkisar 76-92%. Pengobatan untuk apendisitis adalah
pembedahan, apendektomi. Sebelum pembedahan, pasien diberikan antibiotik
perioperatif yang spectrum luas untuk menekan insiden infeksi luka postoperasi
dan pembentukan abses intraabdominal.2
Setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang tepat,
termasuk dalam tindakan apendektomi kasus apendisitis. Kata anesthesia berarti
pembiusan yang merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani an-"tidak,
tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Secara umum berarti
suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah
1
2
anesthesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846.3
Terdapat beberapa jenis anesthesia, antara lain local/infiltrasi,
blok/regional, umum/general. Anesthesia umum adalah tindakan meniadakan
nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali
(reversibel). Komponen anesthesia yang ideal terdiri dari: hipnotik (hilang
kesadaran), analgesia (hilang rasa sakit), dan relaksasi otot.3
Persiapan prabedah harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya
kesalahan anesthesia. Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk
mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan. Persiapan prabedah yang kurang memadai
merupakan faktor penyumbang sebab-sebab terjadinya kesalahan anesthesia.
Dokter spesialis anesthesiologi melakukan kunjungan pasien sebelum pasien
dibedah untuk memantau kondisi pasien agar pasien dalam kondisi yang optimal
pada waktu menjalani operasi. Berbagai penilaian harus dilakukan seperti
anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sehingga
kodisi pasien dapat dinilai.3
Pada saat operasi, dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat satu
hingga dua jam sebelum induksi anesthesia. Setelah itu, dilakukan induksi
anesthesia yaitu membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar sehingga
memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Sebelum memulai
induksi anesthesia sebaiknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan
sehingga seandainya terjadi kegawatan dapat diatasi dengan cepat dan baik.
Setelah itu rumatan anesthesia dapat dikerjakan dengan secara intravena atau
dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.3
Setelah pembedahan, pemulihan dari anesthesia umum atau dari analgesia
regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau unit perawatan pasca anesthesia
(RR, Recovery Room atau PACU, Post Anesthesia Care Unit). Idealnya ketika
pasien sadar secara bertahap, tanpa keluhan. Namun sering ditemukan beberapa
hal akibat stres pasca bedah atau pasca anesthesia yang berupa gangguan napas,
3
gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan
kadang-kadang perdarahan.3
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai
tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis perforasi.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Anestesi Pre-operatif
2.1.1 Penilaian Preoperatif
Sebelum tindakan operasi dilakukan, penting diperhatikan
persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan pasien sebelum
dibedah sehingga dapat diketahui kelainan di samping kelainan yang
akan dioperasi.
Tujuannya adalah :
1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien
2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya
riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik
berupa dyspneu maupun urtikaria).
3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan
status praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)
5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi
(informed consent) kepada pasien.
6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi
dosis obat induksi.4
Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang
berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma,
alergi, atau decompensatio cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan
pasien secara keseluruhan. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa
menghindarkan kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi
preoperasi meliputi history taking (AMPLE : pada pasien trauma),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium,
EKG, USG, foto thorax, dan sebagainya. Selanjutnya dokter anestesi
harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang
5
manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam
informed consent.4
a. History Taking
History taking dapat dimulai dengan menanyakan riwayat
alergi terhadap makanan, obat-obatan dan suhu. Alergi (manifestasi
dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan intoleransi
(biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang
dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan
(termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat
dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa
menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang
review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit
atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama
lain. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan
asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah,
nadi, laju pernapasan, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-
paru, dan sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan neurologis juga
penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila
ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan.
Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar,
leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk
anestesi harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas
wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu
dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia,
Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau
6
vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi
kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.
Skoring Mallampati:
I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
IV. Hanya terlihat palatum durum
Gambar 2.1. Kriteria Mallampati
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko
anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari
efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan
menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk
ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA
secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas
perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak
faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi perioperatif, maka
tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna.
Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam
perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.5
7
Tabel 2.1 Klasifikasi ASAKelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau
psikiatri.Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang,
tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi
aktivitas normal.Kelas IV Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa
dengan maupun tanpa operasi.Kelas V Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi
tetap dilakukan operasi sebagai upaya resusitasi.Kelas VI Pasien dengan kematian batang otak yang organ
tubuhnya akan diambil untuk tujuan donorE Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI
diatas.
c. Pemeriksaan Penunjang
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung
pada umur pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama
seperti dasar dan luas dari prosedur bedah yang direncanakan.
Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang DibutuhkanPemeriksaan rutin IndikasiUrinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi
glukosa darah jika glukosa urine positif)FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun;
semua bedah mayorUreum, Creatinin, Elektrolit
Bedah mayor
ECG Umur > 50 tahunFoto Torak Umur > 60 tahunTes fungsi hati (Liver Function Test)
Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.
8
Tabel 2.3 Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya:
No Test Indikasi1 Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya
Penyakit ginjalPasien yang menjalani kemoterapi
2 Ureum, creatinin dan konsentrasi elektrolit
Penyakit ginjalPenyakit metabolik misalnya; diabetes mellitusNutrisi abnormalRiwayat diare, muntahObat-obatan yang merubah keseimbangan elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik, diuretic, antihipertensi, kortikosteroid, hipoglikemik agent.
3 Konsentrasi glukosa darah
Diabetes MellitusPenyakit hati yang berat
4 Elektrokardiografi
Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru kronikDiabetes Mellitus
5 Chest X-ray Penyakit respirasiPenyakit kardiovaskuler
6 Arterial blood gases
Pasien sepsisPenyakit paruPasien dengan kesulitan respirasiPasien obesitasPasien yang akan thorakotomi
7 Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomiPenyakit paru sedang sampai berat seperti COPD, bronchiectasis
8 Skreen koagulasi Penyakit hematologicPenyakit hati yang beratKoagulopatiTerapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral (warfarin) atau heparin
9 Test fungsi hati Penyakit hepatobilierRiwayat penyahgunaan alkoholTumor dengan metastase ke hepar
10 Tes fungsi thyroid Bedah thyroidRiwayat penyakit thyroidCuriga abnormalitas endokrin seperti tumor pituitari
9
Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode
waktu, jarak dari yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin,
konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG), sampai 6
bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam
keadaan berikut:
Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah
Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium
untuk hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis
untuk pasien dengan gagal ginjal, produk darah untuk koreksi
koagulopati.
d. Informed Consent
Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah
informed consent. Informed consent yang tertulis mempunyai aspek
medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam
proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan
informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan
risikonya.
2.1.2 Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan
risiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.
10
Tabel 2.4 Fasting Guideline Pre-operatif 6
Usia pasien
Intake oral Lama puasa (jam)
∑ puasa yg diberikan
< 6 bln Clear fluidBreast milkFormula milk
234
20 cc/kg
6 bln – 5 thn
Clear fluidFormula milkSolid
246
10 cc/kg
>5 thn Clear fluidSolid
26
10 cc/kg
Adult, op. Pagi
Clear fuid Solid
2Puasa mulai jam 12 mlm
Adult, op. Siang
Clear fluidSolid
2Puasa mulai jam 8 pagi
2.1.3 Terapi Cairan
Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan
sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti
pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan
elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat dan insensible water losses yang terus
menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat
diperkirakan dari tabel dibawah:
Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal 7
Berat Badan Jumlah
10kg pertama 4 mL/kg/jam
10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam
Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan
mengalami defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung
dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
11
2.1.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anesthesia diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk PremedikasiNo. Jenis Obat Dosis (Dewasa)1 Sedatif:
Diazepam
Difenhidramin
Promethazin
Midazolam
5-10 mg
1 mg/kgBB
1 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
2 Analgetik Opiat
Petidin
Morfin
Fentanil
Analgetik non opiat
1-2 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 µg/kgBB
Disesuaikan
3 Antikholinergik:
Sulfas atropine 0,1 mg/kgBB
4 Antiemetik:
Ondansetron
Metoklopramid
4-8 mg (iv) dewasa
10 mg (iv) dewasa
5 Profilaksis aspirasi
Cimetidin
12
Ranitidine
Antasid
Dosis disesuaikan
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan
intramuskuler, diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b)
suntikan intravena diberikan 5-10 menit sebelum induksi anestesia.
Komposisi dan dosis obat premedikasi yang akan diberikan kepada
pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang
dijumpai pada pasien.8
2.1.5 Persiapan Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin,
natrium bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi,
misalnya; “Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.
i. Kartu catatan medic anestesia
j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
Tabel 2.7 Komponen STATICSS Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan
13
jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang
sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
mengelakkan sumbatan jalan napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik
(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
2.2 Pemilihan Teknik Anestesi
Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan
keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam hal ini adalah:
1. Usia pasien
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada
pasien dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermukaan dapat
dilakukan teknik anestesi lokal atau umum.
2. Status fisik pasien
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui
apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi.
Apakah ada komplikasi anestesi dan paska pembedahan yang dialami
saat itu. Pertanyaan mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan
14
pada ada tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok,
meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus menjadi suatu perhatian
saat pasien memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati
atau dicurigai adanya penyakit neuromuskular, antara lain
poliomielitis dan miastenia gravis. Sebaiknya tindakan anestesi
regional dicegah untuk pasien dengan neuropati diabetes karena
mungkin dapat memperburuk gejala yang telah ada.
b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari
penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi
lokal atau regional.
c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan
gangguan jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering
timbul gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik
anestesi regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal.
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan
anestesi umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan.
Demikian juga dengan pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan
dan kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk
mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian
adrenalin untuk bedah plastik, dan lain-lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat
menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan
teknik anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
15
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan
dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak
membahayakan keberhasilan operasi.
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah
pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.
8. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan
lama karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen,
mahasiswa, atau perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah
anestesi umum atau bila dengan anestesi spinal atau regioal perlu
diberikan sedasi yang cukup.4
2.3 General Anesthesia
General anesthesia atau anestesi umum adalah tindakan menghilangkan
rasa nyeri secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih
kembali (reversibel). Komponen anestesi ideal (trias anestesi) terdiri dari
hipnotik, analgesi, dan relaksasi. Trias anestesi ini dapat dicapai dengan
menggunakan obat yang berbeda secara terpisah. Sekarang anestesi umum
tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut namun lebih luas,
hypnosis (hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit), arefleksia
(hilangnya reflek-reflek motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien),
relaksasi otot (memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi
trakeal), amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalan prosedur)
Perjalanan anestesi umum terdiri dari enam bagian yang berbeda yang
meliputi: premedikasi, induksi, pemeliharaan, pengembalian, pemulihan dan
masa pasca operasi. Obat yang dipakai pada masing – masing bagian
berinteraksi dengan obat yang dipakai pada bagian lain dan interaksi obat ini
merupakan hal yang penting. Anestesi umum bukan hanya masalah
farmakologi melainkan juga merupakan suatu keseimbangan antara kerja obat
dan rangsangan pembedahan.3
16
Pada tahap premedikasi ada dua tujuan jelas dalam penggunaan obat
premedikasi yang pertama, adalah mencegah efek parasimpatometik anastesi,
dan yang kedua berhubungan dengan kebutuhan untuk menghilangkan sedasi
aktif atau untuk menimbulkan amnesia. Tahap Induksi adalah bagian kedua
anestesi, tujuan dari tahap ini bukan untuk menganestesi tetapi hanya untuk
memulai agar proses anestesi cepat dan nyaman. Masa pemeliharaan
merupakan tahap ketiga, masa pemeliharaan adalah masa sesudah induksi dan
ketika prosedur pembedahan atau prosedur lain dilaksanakan. Sesudah masa
pemeliharaan dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu masa pengembalian.
Pada bagian pemulihan ini biasanya sangat cepat, tetapi sangat penting dan
berbahaya. Masa pengembalian ini merupakan bagian pertama pemulihan dan
dikerjakan dibawah pengawasan langsung dokter ahli anestesi dan biasanya
dilakukan didalam ruang operasi dan tahap terakhir dari anestesia umum
adalah masa pasca operasi.
2.3.1 Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4
stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu :
Stadium I (analgesi):
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut
Stadium analgesia, tapi sensasi terhadap rangsang sakit tidak
berubah, biasanya operasi-operasi kecil sudah bisa dilakukan.
Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu
mata.
Stadium II (eksitasi):
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang
irreguler, pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola
mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri
dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
Stadium III (pembedahan):
17
Plana 1: Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan
torakal sama kuat dgn pernafasan abdominal, pergerakan bola
mata terhenti, kadang-kadang letaknya eksentrik, pupil
mengecil lagi dan refleks cahaya (+), lakrimasi akan
meningkat, refleks farings dan muntah menghilang, tonus
otot menurun.
Plana 2: Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal
menurun dan frekuensi pernafasan naik. Mulai terjadi
depresi pernafasan torakal, bola mata terfiksir ditengah,
pupil mulai midriasis dengan refleks cahaya menurun dan
refleks kornea menghilang. Reflek kornea dan laring hilang.
Plana 3: Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih
dominan daripada torakal karena paralisis otot interkostal
yang makin bertambah sehingga pada akhir plana 3 terjadi
paralisis total otot interkostal, juga mulai terjadi paralisis
otot-otot diafragma, pupil melebar dan refleks cahaya akan
menghilang pada akhir plana 3 ini, lakrimasi refleks faring &
peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin menurun.
Plana 4: Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi
abdominal. Pernafasan tidak adekuat, irreguler, ‘jerky’
karena paralisis otot diafragma yg makin nyata, pada akhir
plana 4, paralisis total diafragma, tonus otot makin menurun
dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan refleks cahaya (-),
refleks sfingter ani menghilang.
Stadium IV (paralisis medulla oblongata):
Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium
III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur,
denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian.
Kelumpuhan pernafasan pada stadium ini tidak dapat diatasi
dengan pernafasan buatan.3
18
Komplikasi general anestesi meliputi durante operasi dan pasca
operasi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada durante operasi
dapat meliputi obstruksi respirasi, batuk, depresi respirasi,
hipotensi, hipertensi, aritmia, hiccup (cegukan), gigi patah, mual
muntah, menggigil.
2.4 Intubasi
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam
trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau
dikendalikan. Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu
memudahkan atau mengurangi trauma pada waktu intubasi trakea adalah :
Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit).
Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala).
Relaksasi otot yang baik.
Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal penting
yang harus diperhatikan untuk memastikan keamanan proses intubasi yang
disebut SALT, yaitu:
Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring
pasien terdapat benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara.
Disamping itu, aspirasi dari paru juga harus dihindari.
Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah
jatuhnya lidah ke bagian belakang faring.
Laryngoscope. Merupakan alat yang paling penting untuk membantu
penempatan pipa endotracheal.
Tube. Pipa Endotrakeal memiliki berbagai macam ukuran. Umumnya
pada orang dewasa menggunakan ukuran 7 atau 8.9
Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk:
Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta bunyi
udara inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan
memakai stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam seringkali pipa masuk
19
ke bronkus kanan sehingga bunyi nafas hanya terdengar pada satu paru.
Pipa harus ditarik sedikit, lalu periksa kembali dengan stetoskop.
Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat
diketahui dengan mendengar bunyi di mulut pada saat paru di
inflasi/ditiup).
Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak
bergerak (malposisi).
2.5 Monitoring
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
- Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya
- Warna membran mukosa, dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
2.6 Manajemen Anestesi Post-Operasi
2.6.1 Recovery dari General Operasi
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus
diperiksa tiap 5 menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse
oximetry harus dimonitor terus menerus pada pasien yang masih berada
dalam proses recovery dari general anestesi, paling tidak sampai pasien
mulai sadar. Fungsi neuromuskuler juga harus dinilai misalnya
mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian nyeri (skala
deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan
output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.
Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus
mendapatkan oksigen 30-40% karena bisa terjadi transient hipoksemia
20
pada pasien yang sehat sekalipun. Resiko hipoksemia meningkat pada
pasien-pasien yang menjalani operasi di daerah upper abdominal atau
toraks, sehingga harus terus dimonitor dengan pulse oxymeter dan
mungkin memerlukan oksigenasi dalam waktu yang lebih lama.
Keputusan rasional untuk meneruskan suplementasi oksigen ketika
mengeluarkan pasien dari Post Anesthesia Care Unit (PACU) bisa
dibuat berdasarkan SpO2 dengan udara ruangan. Pasien dimotivasi
untuk nafas dalam dan batuk.
2.6.2 Kriteria Discharge dari PACU
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU
berdasarkan kriteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan
adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan
di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.
Tabel 2.8 Aldrete ScoreObjek Kriteria NilaiAktivitas 1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas
2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas3. Tidakmampu menggerakkan
ekstremitas
2
1
0Respirasi 1. Mampu nafas dalam dan batuk
2. Sesak atau pernafasan terbatas
3. Henti nafas
2
1
0Tekanan Darah 1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah
2. Berubah 20-50% dari pra bedah3. Berubah > 50% dari pra bedah
210
Kesadaran 1. Sadar baik dan orientasi baik2. Sadar setelah dipanggil3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang
210
Warna Kulit 1. Kemerahan2. Pucat agak suram3. Sianosis
210
Nilai Total
21
2.6.3 Kunjungan Post-Operatif
Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24 – 48 jam setelah
operasi dan dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus
meliputi review dari rekam medis, anamnesis terkait perasaan atau
keluhan subjektif post operasi, dan pemeriksaan fisik serta penunjang,
termasuk pemeriksaan kemungkinan komplikasi seperti muntah, nyeri
tenggorokan, kerusakan gigi, cedera saraf, cedera okular, pneumonia,
atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus dilakukan terapi
atau konsultasi lebih lanjut.9
22
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. C
Usia : 36 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Panca Usaha Lr. Keluarga RT 58 RW
14, Palembang
Pekerjaan : Buruh
No. Register : 116839
Berat Badan : 70 kg
Tinggi Badan :168 cm
Tanggal dilakukan Anesthesia : 11 Oktober 2014
Lama anesthesia : ±1 jam 20 menit (10.45-12.05)
Diagnosa pra bedah : Appendicitis perforasi
Jenis pembedahan : Appendectomy per laparotomi
Jenis anesthesia : General Anesthesia
Anesthesia dengan : Induksi dengan Propofol, Analgesia
dengan Fentanyl, Maintenance
dengan Sevofluran + O2 + N2O
Pre-op
Anamnesis Pre op
Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS.
Nyeri perut disertai mual (+), muntah (-), demam (-). Pasien dibawa ke
IGD RSUD Palembang Bari. Riwayat pengobatan sebelumnya (-), obat
hipertensi (-), Alergi Makanan (-), Alergi Obat (-). Riwayat Asma (-),
Riwayat DM (-), merokok (-), konsumsi alkohol (-). Makan/minum
terakhir pukul 02.00 11 Oktober 2014.
23
Pemeriksaan Fisik Pre-op
B1 : Airway paten, napas spontan simetris, RR 22 x/mnt, Rh (-),
Wh(-), Struma (-), Stiffness (-), Buka mulut > 3 jari,
Mandibulahyoid < 2 cm, Mallampati score I, pernafasan cuping
hidung (-), gigi geligi dbN, oklusi dbN, gerak leher bebas,nyeri
telan (-), massa di leher (-), trakea di tengah, saturasi O2 95%
room air
B2 : Akral hangat, kering, merah, CRT < 2 “, nadi 80 x/mnt kuat
angkat, TD 120/80, S1 S2 tunggal regular, murmur (-), T.axilla :
36,5o C
B3 : GCS 456, PBI 3mm/3mm, Reflek Kornea +/+, Reflek Cahaya +/+
B4 : BAK (+), Catheter (+), Produksi Urin 250 ml dalam 3 jam,
kuning jernih
B5 : Flat, soefl, Bising Usus (+) Normal, nyeri tekan perut kanan
bawah (+)
B6 : Mobilitas (+), anemis (-),ikterik (-), sianosis (-), edema (-)
Pemeriksaan Laboratorium (11 Oktober 2014)
Darah Lengkap
o Hb :14,6 gr/dl
o Leukosit : 13.400/ul
o Trombosit : 208.000 /µl
o Hematokrit : 45 %
o Diff Count : 0/0/0/82/10/8
24
3.2 Laporan Anestesi Preoperatif
Assessment: ASA 1, emergensi
Diagnosa pra bedah : Appendecitis perforasi
Keadaan pra bedah (11 Oktober 2014):
TD: 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, RR 22x/menit, suhu 36,5o C
Hb: 14,6 gr/dl
Pasien puasa pre-operasi
Jenis pembedahan : Appendectomy per laparotomi
3.3 Durante Operasi
Jenis anesthesia : General Anastesi
Teknik anesthesia : Intubasi oral
Lama anesthesia : 10.45 – 12.05
Lama operasi : 11.00 – 12.00
Posisi : Supine
Infus : RL 500 ml
Obat-obatan yang diberikan :
Obat premedikasi : Inj. Ondancetron 2 mg (diberikan di kamar operasi)
Obat induksi:
1. Inj. Fentanil 100 μg
2. Inj. Propofol 100 mg titrasi
3. Inj. Atracurium 50 mg IV
Obat maintenance anesthesia : Sevofluran dan O2
Obat analgetik durante operasi : N2O
Ekstubasi : inj. Neostigmin 0,5 mg IV
Medikasi post op : Dexametason inj 10 mg IV
Obat analgetik postoperasi: Inj. Ketorolac 30 mg IV
Cairan masuk:
Pre operatif : RL 1500 cc
Durante operatif : RL 600 cc
25
Cairan keluar:
Perdarahan : +200 cc
Produksi urin : Preoperatif : 400 cc (dibuang)
Durante operatif : 200 cc
3.4 Postoperatif di RR jam 12.10
Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit RH(-),Wh(-),
saturasi oksigen 96% dengan O2 nasal canul 3 lpm.
B2 : Akral hangat, CRT < 2 detik, kulit merah, nadi 81x/menit, TD
120/80 mmHg, S1S2 tunggal regular, murmur(-), T.ax: 36,4o C
B3 : GCS 456, PBI 3mm/3mm, Reflek Cahaya +/+, Reflek kornea
+/+
B4 : Catheter (+), Produksi Urin 600cc
B5 : Bising Usus (+) Normal, mual (-), muntah (-)
B6 : Mobilitas normal, detik, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-)
Terapi Pasca Bedah
o Infus: infus RL 1500cc/24 jam
o Antibiotika: Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr IV
o Obat-obatan: Inj. Ranitidin 3x 50 mg iv, Inj. Ketorolac 3x 30 mg iv,
Inj. ondancetron 3x10 mg iv
o Bila mual/muntah : Kepala miring, head down, suction k/p. Inj
Ondansetron 4mg iv.
o Minum/makan: bertahap, jika tidak didapatkan mual dan muntah.
Bising usus
26
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Tn. C umur 36 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD
Palembang BARI pada tanggal 11 Oktober 2014 pukul 01.30 dengan keluhan
mual yang disertai nyeri perut kanan bawah. Berdasarkan history taking
didapatkan bahwa pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan, belum makan sejak
pukul 02.00. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendeteksi abnormalitas yang
tidak muncul pada anamnesa. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien in
meliputi tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, laju pernafasan, serta suhu.
Dilakukan juga pemeriksaan airway, jantung dan paru-paru. Tidak ditemukan
kelainan.
B1 – Breathing
Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi yang perlu
diperhatikan. Lain-lain dalam breathing dalam batas normal.
B2 – Blood
Pada blood, dalam batas normal, perfusi baik, tidak didapatkan kelainan
anatomis dan fungsional dari sistem sirkulasi.
B3 – Brain
Dalam batas normal.
B4 – Bladder
BAK dengan menggunakan kateter, produksi urin ditampung berwarna
kuning jernih.
B5 – Bowel
Pada bowel, didapatkan bising usus normal.
B6 – Bone
Tulang dan sendi pasien termasuk mobilitas dalam batas normal.
Luas cakupan pemeriksaan penunjang preanestesi telah sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan pasien, kondisi co-morbid saat ini, dan prosedur bedah
27
yang direncanakan. Pada pasien ini didapatkan leukositosis (13.400). Dari hasil
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien dalam kondisi
sehat fisik tanpa penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari, sehingga
diklasifikasikan dengan ASA-1 emergensi.
Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama
anestesi, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah
menjalani puasa selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa
pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American
Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi,
makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8 jam
preoperasi, dimana pasien tidak mengkonsumsi makanan sejak pukul 02.00 (8 jam
sebelum operasi). Premedikasi pada pasien ini diberikan 1 jam sebelum operasi,
dengan obat premedikasi Obat premedikasi Inj. Ondancetron 2 mg (diberikan di
kamar operasi). Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid,
atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low
molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid
juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa
polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk
sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan
dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.7
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Ringer laktat umumnya memiliki efek
yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi
cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah
28
durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga 4 kali
jumlah volume darah yang hilang.7
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan
darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon
ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap
100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap
tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah, namun pada
operasi pasien ini tidak dilakukan.
Pada pasien ini jumlah darah yang hilang didapatkan dari suction + kassa
besar + kassa kecil dengan perkiraan total 200cc.
Operasi ini termasuk bedah sedang sehingga menggunakan rumus cairan 4
ml/kg. Sehingga O2 x berat badan pasien adalah 280 cc.
Oleh karena operasi berlangsung selama 1 jam, maka kebutuhan cairan
selama operasi adalah:
Kebutuhan cairan rumatan/maintenance : 110 cc/jam x 1 jam = 110 cc
Cairan yang hilang O2 : 280 cc/jam x 1 jam = 280 cc
Jumlah produksi urine durante operasi : = 200 cc
Jumlah darah yang hilang x 3 RL : 200 cc x 3 = 600 cc +
1190 cc
Pada pasien ini diberikan input cairan durante operasi:
RL : 600 cc
Proses monitoring pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen
pesien tidak pernah <95%, tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S:
110 - 130, D: 50 - 70), nadi antara 70-90x/menit. RR : 16-20 x/menit.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa di
RR OK sentral sampai pasien stabil. Monitoring tambahan didapatkan tidak ada
mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, dan
perdarahan dalam batas normal. Pasien mendapatkan oksigen 3 lpm melalui NC
serta dimonitor dengan pulse.
29
Satu jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum
dikeluarkan dari RR berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini
didapatkan Aldrete score dengan total 10. Dengan nilai total aldrete score pasien
kemudian dipindahkan ke ruang perawatan bedah.
Evaluasi post operatif dilakukan dalam 24 jam setelah operasi dan telah
dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini meliputi review dari rekam
medis, anamnesa terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan
pemeriksaan fisik post operasi. Pada kunjungan postoperatif pasien ini dari
anamnesa tidak didapatkan keluhan dan pada pemeriksaan fisik dan penunjang
secara keseluruhan dalam batas normal.
BAB V
KESIMPULAN
30
Pasien adalah pria usia 36 tahun dengan apendisitis perforasi, yang
dilakukan operasi apendektomi per laparotomi pada tanggal 11 Oktober 2014.
Tindakan anestesi yang dilakukan adalah general anestesi dengan intubasi. Hal ini
dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi general anestesi.
Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan
kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya general anestesi.
Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif
stabil sampai operasi selesai.
Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak
didapatkan keluhan. Selama di RR pasien cukup stabil dengan Aldrete Score
bernilai 10 dan tidak terdapat score 0, sehingga pasien dapat dipindahkan ke ruang
rawat biasa. Seluruh tatalaksana pasien dilakukan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
31
1. Cole MA, Maldonado N. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based
Management of Suspected Appendicitis In The Emergency Department
Vol.13 Number 10. 2011:1-32
2. Frogat, P. Harmston, C. 2011. Acute Appendicitis. North American Journal
of Surgery 29:8.
3. Soenarto, Ratna F dan Chandra, Susilo. 2012. Buku Ajar Anestesiologi.
Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI, Jakarta.
4. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI
5. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins.
6. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for
Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce
Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures:
An Updated Report by The American Society of Anesthesiologists Committee
on Standards and Practice parameters. USA: Lippincott Williams & Wilkins
7. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology.
4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
8. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Miller’s
Anesthesia 7th ed. US : Elsevier
9. Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison,
Jean Kwo, dan Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The
Massachusets General
LAMPIRAN
32
33
34