LAPORAN RESMI PRAKTIKUM BIOFARMAKA
UJI MIKROBIOLOGI JAMU
Nama :
1. Kuswanti 31091184
2. Lusiana Hermawati I 31091190
3. Hutri Catur Sad Winarni 31091198
4. Arta Puspita Sari 31091206
5. Pradito Haryo Yudanto 31091215
Kelompok : 3
Asisten : Clara Nurmalasita
FAKULTAS BIOTEKNOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumbuhan obat merupakan sumber daya alam hayati yang memiliki nilai
ekonomi tinggi dan digunakan secara luas oleh masyarakat khususnya kelompok
masyarakat yang belum memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengobatan
moderen. Pemanfaatan obat tradisional pada umumnya lebih diutamakan sebagai
preventif untuk menjaga kesehatan, meskipun ada pula upaya sebagai
pengobatan suatu penyakit. Dengan semakin berkembangnya obat tradisional,
ditambah dengan imbauan di masyarakat untuk kembali ke alam, telah
meningkatkan popularitas obat tradisional.
Salah satu kelompok obat tradisional adalah jamu. Jamu sudah dikenal di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sebagai sarana perawatan kesehatan
sehari-hari maupun sebagai sarana pemulihan kesehatan bila telah sembuh dari
sakit. Ramuan yang ada di dalam jamu terdiri dari berbagai bagian tumbuh-
tumbuhan yang saling bekerja sama membantu perawatan dan untuk
pencegahan penyakit.
Pada pengujian kali ini akan diketahui seberapa besar cemaran mikrobia pada
sampel-sampel jamu. Jamu yang digunakan adalah jamu yang sudah dipatenkan
(buatan pabrik) maupun jamu yang belum dipatenkan (konvensional
pembuatannya). Metode yang digunakan adalah metode uji mikrobiologis
mikrobia, dengan menghitung koloni mikrobia dalam media NA dan PDA pada
serial pengenceran 10-1-10-3 sampel berturut-turut selama 4 hari. Hasil pengujian
ini akan dibandingkan dengan ambang batas cemaran mikrobia pada jamu.
B. Tujuan Praktikum
1. Menghitung banyak koloni mikrobia dalam media Na dan PDA.
2. Mengetahui masing-masing kualitas sampel jamu yang diuji.
3. Membandingkan kualitas antar sampel jamu yang diuji.
BAB II
DASAR TEORI
Obat bahan alam merupakan obat yang menggunakan bahan baku berasal
dari alam (tumbuhan dan hewan). Obat bahan alam dapat dikelompokkan menjadi 3
jenis yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu (Empirical based
herbal medicine) adalah obat bahan alam yang disediakan secara tradisional,
misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan
tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut dan digunakan secara tradisional.
Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi
cukup dengan bukti empiris saja. Obat herbal terstandar (Scientific based herbal
medicine) yaitu obat bahan alam yang disajikan dari ekstrak atau penyaringan bahan
alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral.. Proses ini
membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan mahal, serta ditunjang dengan
pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian pre-klinik. Fitofarmaka (Clinical based
herbal medicine) merupakan bentuk obat bahan alam dari bahan alam yang dapat
disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya telah terstandar
serta ditunjang oleh bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusiaketiga jenis
obat bahan alam tersebut sering disebut juga sebagai jamu. Namun ketiga jenis obat
bahan alam tersebut sering disebut juga sebagai jamu.
Sementara menurut keterangan BP POM; jamu adalah bahan atau ramuan
bahan yang berasal dari bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Pengolahan jamu antara
lain adalah direbus atau digodok, dikeringkan atau dikonsumsi langsung.
(Maheshwari, 2002)
Mikroorganisme dapat ditumbuhkan dan dikembangkan pada suatu substrat yang
disebut medium. Medium yang digunakan untuk menumbuhkan dan
mengembangbiakkan mikroorganisme tersebut harus sesuai susunannya dengan
kebutuhan jenis-jenis mikroorganisme yang bersangkutan. Beberapa
mikroorganisme dapat hidup baik pada medium yang sangat sederhana yang hanya
mengandung garam anargonik di tambah sumber karbon organik seperti gula.
Sedangkan mikroorganime lainnya memerlukan suatu medium yang sangat
kompleks yaitu berupa medium ditambahkan darah atau bahan-bahan kompleks
lainnya.
(Volk, dan Wheeler,1993)
Akan tetapi yang terpenting medium harus mengandung nutrien yang merupakan
substansi dengan berat molekul rendah dan mudah larut dalam air. Nutrien ini
adalah degradasi dari nutrien dengan molekul yang kompleks. Nutrien dalam
medium harus memenuhi kebutuhan dasar makhluk hidup, yang meliputi air, karbon,
energi, mineral dan faktor tumbuh.
(Mila Ermila, 2005)
Adapun macam-macam media Pertumbuhan antara lain :
1. Medium berdasarkan sifat fisik :
a. Medium padat yaitu media yang mengandung agar 15% sehingga setelah
dingin media menjadi padat..
b. Medium setengah padat yaitu media yang mengandung agar 0,3-0,4%
sehingga menjadi sedikit kenyal, tidak padat, tidak begitu cair. Media semi solid
dibuat dengan tujuan supaya pertumbuhan mikroba dapat menyebar ke
seluruh media tetapi tidak mengalami percampuran sempurna jika tergoyang.
Misalnya bakteri yang tumbuh pada media NfB (Nitrogen free Bromthymol
Blue) semisolid akan membentuk cincin hijau kebiruan dibawah permukaan
media, jika media ini cair maka cincin ini dapat dengan mudah hancur.
Semisolid juga bertujuan untuk mencegah/menekan difusi oksigen, misalnya
pada media Nitrate Broth, kondisi anaerob atau sedikit oksigen meningkatkan
metabolisme nitrat tetapi bakteri ini juga diharuskan tumbuh merata diseluruh
media.
c. Medium cair yaitu media yang tidak mengandung agar, contohnya adalah NB
(Nutrient Broth), LB (Lactose Broth).
2. Medium berdasarkan komposisi :
a. Medium sintesis yaitu media yang komposisi zat kimianya diketahui jenis dan
takarannya secara pasti, misalnya Glucose Agar, Mac Conkey Agar.
b. Medium semi sintesis yaitu media yang sebagian komposisinya diketahui
secara pasti, misanya PDA (Potato Dextrose Agar) yang mengandung agar,
dekstrosa dan ekstrak kentang. Untuk bahan ekstrak kentang, kita tidak dapat
mengetahui secara detail tentang komposisi senyawa penyusunnya.
c. Medium non sintesis yaitu media yang dibuat dengan komposisi yang tidak
dapat diketahui secara pasti dan biasanya langsung diekstrak dari bahan
dasarnya, misalnya Tomato Juice Agar, Brain Heart Infusion Agar, Pancreatic
Extract.
3. Medium berdasarkan tujuan:
a. Media untuk isolasi.
Media ini mengandung semua senyawa esensial untuk pertumbuhan mikroba,
misalnya Nutrient Broth, Blood Agar.
b. Media selektif/penghambat
Media yang selain mengandung nutrisi juga ditambah suatu zat tertentu
sehingga media tersebut dapat menekan pertumbuhan mikroba lain dan
merangsang pertumbuhan mikroba yang diinginkan. Contohnya adalah Luria
Bertani medium yang ditambah Amphisilin untuk merangsang E.coli resisten
antibotik dan menghambat kontaminan yang peka, Ampiciline. Salt broth yang
ditambah NaCl 4% untuk membunuh Streptococcus agalactiae yang toleran
terhadap garam.
c. Media diperkaya (enrichment)
Media diperkaya adalah media yang mengandung komponen dasar untuk
pertumbuhan mikroba dan ditambah komponen kompleks seperti darah,
serum, kuning telur. Media diperkaya juga bersifat selektif untuk mikroba
tertentu. Bakteri yang ditumbuhkan dalam media ini tidak hanya membutuhkan
nutrisi sederhana untuk berkembang biak, tetapi membutuhkan komponen
kompleks, misalnya Blood Tellurite Agar, Bile Agar, Serum Agar, dll.
d. Media untuk peremajaan kultur
Media umum atau spesifik yang digunakan untuk peremajaan kultur.
e. Media untuk menentukan kebutuhan nutrisi spesifik.
Media ini digunakan unutk mendiagnosis atau menganalisis metabolisme suatu
mikroba. Contohnya adalah Koser’s Citrate medium, yang digunakan untuk
menguji kemampuan menggunakan asam sitrat sebagai sumber karbon.
f. Media untuk karakterisasi bakteri
Media yang digunakan untuk mengetahui kemempuan spesifik suatu mikroba.
Kadang-kadang indikator ditambahkan untuk menunjukkan adanya perubahan
kimia. Contohnya adalah Nitrate Broth, Lactose Broth, Arginine Agar.
g. Media diferensial
Media ini bertujuan untuk mengidentifikasi mikroba dari campurannya berdasar
karakter spesifik yang ditunjukkan pada media diferensial, misalnya TSIA
(Triple Sugar Iron Agar) yang mampu memilih Enterobacteria berdasarkan
bentuk, warna, ukuran koloni dan perubahan warna media di sekeliling koloni.
Meskipun telah dijabarkan berbagai macam jenis dari medium, perlu diiingat
bahwa tidak ada satupun perangkat kondisi yang memuaskan bagi kultivasi untuk
semua bakteri di laboratorium. Bakteri amat beragam, baik dari persyaratan nutrisi
maupun fisiknya. Beberapa berapa bakteri memiliki persyaratan nutrient yang
sederhana, sedang yang lain memiliki persyaratan yang rumit. Karena alsan ini
kondisi harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga bisa menguntungkan bagi
kelompok bakteri yang sedang ditelaah.
(Pelczar, 1986)
Komposisi medium Potato Dextrose Agar (PDA) untuk 1000 ml :
Kentang : 200 gram
Dextrose : 15 gram
Agar : 15 gram
Aquadest : 1000Ml
Komposisi medium Nutrient Agar (NA) untuk 1000 mL :
Daging : 3 gram
Pepton : 15 gram
Agar : 15 gram
Aquadest : 1000mL
Sterilisasi yaitu proses atau kegiatan membebaskan suatu bahan atau benda dari
semua bentuk kehidupan. Pada prinsipnya sterilisasi dapat dilakukan dengan 3 cara
yaitu secara mekanik, fisik dan kimiawi.
1. Sterilisai secara mekanik (filtrasi) menggunakan suatu saringan yang berpori
sangat kecil (0.22mikron atau 0.45 mikrob) sehingga mikroba tertahan pada
saringan tersebut. Proses ini ditujukan untuk sterilisasi bahan yang peka panas,
misal nya larutan enzim dan antibiotik.
2. Sterilisasi secara fisik dapat dilakukan dengan pemanasan & penyinaran.
a. Pemanasan
Pemijaran (dengan api langsung): membakar alat pada api secara langsung,
contoh alat : jarum inokulum, pinset, batang L, dll.
Panas kering: sterilisasi dengan oven kira-kira 60-1800C. Sterilisasi panas
kering cocok untuk alat yang terbuat dari kaca misalnya erlenmeyer, tabung
reaksi dll.
Uap air panas: konsep ini mirip dengan mengukus. Bahan yang
mengandung air lebih tepat menggungakan metode ini supaya tidak terjadi
dehidrasi.
Uap air panas bertekanan : menggunalkan autoklaf
b. Penyinaran dengan UV
Sinar Ultra Violet juga dapat digunakan untuk proses sterilisasi, misalnya untuk
membunuh mikroba yang menempel pada permukaan interior Safety Cabinet
dengan disinari lampu UV
3. Sterilisaisi secara kimiawi biasanya menggunakan senyawa desinfektan antara
lain alkohol.
(Pelczar, 1986)
Autoklaf (Autoclave)
Diagram autoklaf vertical
1. Tombol pengatur waktu mundur
(timer)
2. Katup pengeluaran uap
3. Pengukur tekanan
4. Klep pengaman
5. Tombol on-off
6. Termometer
7. Lempeng sumber panas
8. Aquades (dH2O)
9. Sekrup pengaman
10. Batas penambahan akuades
Autoclave adalah alat untuk mensterilkan berbagai macam alat dan bahan yang
digunakan dalam mikrobiologi menggunakan uap air panas bertekanan. Tekanan
yang digunakan pada umumnya 15 Psi atau sekitar 2 atm dan dengan suhu 121oC
(250oF). Jadi tekanan yang bekerja ke seluruh permukaan benda adalah 15 pon tiap
inchi2 (15 Psi = 15 pounds per square inch). Lama sterilisasi yang dilakukan
biasanya 15 menit untuk 121oC.
Teknik penanaman dari suspensi
Teknik penanaman ini merupakan lajutan dari pengenceran bertingkat.
Pengambilan suspensi dapat diambil dari pengenceran mana saja tapi biasanya
untuk tujuan isolasi (mendapatkan koloni tunggal) diambil beberapa tabung
pengenceran terakhir. Salah satu teknik penanaman dari suspensi adalah Spread
Plate (agar tabur ulas). Spread plate adalah teknik menanam dengan menyebarkan
suspensi bakteri di permukaan agar diperoleh kultur murni. Adapun prosedur kerja
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
Ambil suspensi cairan senamyak 0,1 ml dengan pipet ukur kemudian teteskan
diatas permukaan agar yang telah memadat.
Batang L atau batang drugal diambil kemudian disemprot alkohol dan dibakar
diatas bunsen beberapa saat, kemudian didinginkan dan ditunggu beberapa
detik.
Kemudian disebarkan dengan menggosokannya pada permukaan agar supaya
tetesan suspensi merata, penyebaran akan lebih efektif bila cawan ikut diputar.
Hal yang perlu diingat bahwa batang L yang terlalu panas dapat menyebabkan
sel-sel mikroorganisme dapat mati karena panas.
Menentukan jumlah mikroorganisme (enumerasi)
Penghitungan jumlah bakteri hidup (tidak langsung) dengan metode Plate Count
(hitungan cawan). Plate count / viable count didasarkan pada asumsi bahwa setiap
sel mikroorganisme hidup dalam suspensi akan tumbuh menjadi satu koloni setelah
ditumbuhkan dalam media pertumbuhan dan lingkungan yang sesuai. Setelah
diinkubasi, jumlah koloni yang tumbuh dihitung dan merupakan perkiraan atau
dugaan dari jumlah mikroorganisme dalam suspensi tersebut. Koloni yang tumbuh
tidak selalu berasal dari satu sel mikroorganisme karena beberapa mikroorganisme
tertentu cenderung membentuk kelompok atau berantai. Berdasarkan hal tersebut
digunakan istilah Coloni Forming Units (CFU’s) per ml. Koloni yang tumbuh berasal
dari suspensi yang diperoleh menggunakan pengenceran bertingkat dari sebuah
sampel yang ingin diketahui jumlah bakterinya. Syarat koloni yang ditentukan untuk
dihitung adalah sebagai berikut :
Satu koloni dihitung 1 koloni.
Dua koloni yang bertumpuk dihitung 1 koloni.
Beberapa koloni yang berhubungan dihitung 1 koloni.
Dua koloni yang berhimpitan dan masih dapat dibedakan dihitung 2
koloni.
Koloni yang terlalu besar (lebih besar dari setengah luas cawan)
tidah dihitung.
Koloni yang besarnya kurang dari setengah luas cawan dihitung 1
koloni.
Cara menghitung sel relatif / CFU’s per ml
CFU’s / ml = jumlah koloni X faktor pengenceran
(Indra., 2008)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Alat dan Bahan
1. Alat :
a. Erlenmeyer 1000 ml
b. Batang pengaduk
c. Neraca analitik
d. Kompor listrik
e. Cawan petridish
f. Tabung reaksi
g. Bunsen
h. Becker glass 50 ml
i. Pipet ukur 1 ml
j. Pipet ukur 5 ml
k. Pipet ukur 10 ml
l. Autoklaf
m. Propipet
n. Oven
o. Batang L
2. Bahan :
a. Medium PDA
b. Medium NA
c. Aquadest
d. Alkohol
e. Jamu serbuk
f. Jamu gendong (pahitan)
g. Kiranti
B. Cara Kerja
a. Pembuatan Medium
Disiapkan medium PDA dan medium NA
Ditimbang sesuai kebutuhan*
Dilarutkan dengan aquadest
Disterilisasi
Dituang ke cawan petridish secara aseptis
Diinkubasi paada oven pada suhu 40°C selama 2 jam
* Perhitungan kebutuhan medium PDA dan medium NA :
Kebutuhan masing-masing medium = 12ml x 56
2
=672ml2
= 336 ml
≈ 340 ml
Medium PDA = 39 gr/l x 0,34 l
= 13,26 gr
Medium NA = 28 gr/l x 0,34 l
= 9,52 gr
b. Pembuatan Sampel
Disiapkan sampel jamu**
Dilakukan 3x pengenceran untuk masing-masing sampel dengan
penambahan akuades steril
Diinokulasi untuk sampel dengan pengenceran 10-3
Dibuat 2x pengulangan masing-masing jaamu setiaap medium
Diinkubasi pada suhu kamar
** persiapan jamu :
Kiranti = diambil 1 ml kemudian diencerkan dengan 9 ml akuades
steril, divortex
Jamu serbuk = ditimbang 1 gr kemudian diencerkan dengan 9 ml
akuades steril, divortex
Jamu pahitan = diambil 1 ml kemudian diencerkan dengan 9 ml
akuades steril, divortex
c. Pengamatan
Masing-masing petridish diamati setiap hari selama 4 hari
Dihitung jumlah pertumbuhan bakteri dan jamur masing-masing medium
Dicatat dan dibandingkan dengan kontrol
Kelompok Jamu MediumHari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4
Ul 1 Ul 2 Ul 1 Ul 2 Ul 1 Ul 2 Ul 1 Ul 2
1 dan 2
Serbuk PDA 38 2 SPR SPR SPR SPR SPR SPRNA SPR 0 SPR SPR SPR SPR SPR SPR
Antangin PDA SPR 0 SPR - SPR - SPR -NA SPR SPR SPR SPR SPR SPR SPR SPR
Kunir asem
PDA 0 SPR SPR SPR SPR SPR SPR SPRNA SPR SPR SPR SPR SPR SPR SPR SPR
KontrolPDANA
3
Kiranti PDA 0 0 1 0 1 0 1 1NA 1 0 3 0 3 1 4 1
Pahitan PDA 40 SPR SPR SPR SPR SPR SPR SPRNA SPR SPR SPR SPR SPR SPR SPR SPR
Serbuk PDA 5 0 5 1 6 2 6 2NA 0 0 5 11 8 13 9 14
Kontrol PDA 1 2 2 2NA 1 1 1 1
4 dan 5
Simplisia PDA 0 0 0 2 0 3 0 4NA 0 1 0 2 0 2 0 2
Kencur PDA 2 38 6 63 6 +++ 6 +++NA 2 11 3 12 12 18 15 33
Godog PDA 0 0 1 1 1 2 1 2NA 0 0 24 13 30 20 32 20
KontrolPDA 0 1 2 2NA 0 1 1 1
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
B. Pembahasan
Pada praktikum biofarmaka kali ini yang kita lakukan adalah melakukan uji
mikrobiologi pada jamu. Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
pencemaran mikrobia pada jamu secara kualitatif. Jamu yang digunakan yaitu
jamu serbuk, antangin, kiranti, jamu godog, simplisia, dan jamu gendong. Jamu
gendong sendiri terdiri dari jamu pahitan, beras kencur, dan kunir asem.
Dari uji mikrobiologi jamu ini, dapat dilihat bahwa tingkat pencemaran
mikrobia terhadap jamu pada medium NA lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan pencemaran mikrobia yang terjadi pada medium PDA dan kontrol.
Dimana pada medium NA terjadi adanya kontaminasi mikrobia yang tinggi pada
jamu antangin, kunir asem, dan jamu pahitan dimana hasilnya adalah spreader.
Komposisi pada jamu antangin terdiri atas royal jelly, ginseng, daun sembung
(Blumae folia), dan mint (Menthae folia), dan seharusnya pada jamu ini tidak
terjadi kontaminasi, kalaupun ada kontaminasi tidak spreader seperti hasil yang
diperoleh, karena bahan dan pembuatan jamu dilakukan dalam keadaan steril.
Kontaminasi bakteri pada antangin dapat terjadi karena terjadinya kontak antara
jamu dengan oksigen pada waktu menanam ke dalam medium NA, selain itu
dapat juga disebabkan oleh alat yang digunakan tidak steril, selain itu dapat juga
terjadi karena bahan baku yang digunakan sudah berjamur. Sedangkan pada
jamu gendong kunir asem, dan jamu pahitan adanya kontaminasi
mikroorganisme dapat terjadi karena pada proses pembuatan jamu gendong
menggunakan alat-alat yang sedernana yang kurang memperhatikan tingkat
sanitasi dan higienis. Dapat juga karena bahan baku yang digunakan sudah
berjamur, dan sanitasi lingkungan serta kebersihan air yang digunakan dalam
proses pembuatan jamu gendong. Sedangkan hasil terbaik untuk medium NA
yaitu pada jamu kiranti, serbuk, dan simplisia. Pemilihan bahan baku yang
digunakan untuk membuat jamu dan pengolahannya sangat mempengaruhi
teradinya kontaminan. Salah satu komposisi jamu kiranti yaitu kunyit (Curcuma
Domestica Rhizoma), sedangkan pada jamu serbuk kontaminasi yang terjadi
juga rendah, karena bentuknya yang berupa serbuk dapat meminimalisasi
terjadinya kontaminan, pada simplisia (sirih merah) rendahnya kontaminan dapat
dikarenakan pada proses pembuatan simplisia sendiri diberi tiga perlakuan, yaitu
di jemur, diangin-anginkan, dan di oven sehingga lebih awet dan kontaminan
yang terjadi juga lebih rendah. Pada kontrol medium NA juga terjadi mikrobia,
hal ini dapat terjadi karena ada kontak dengan oksigen.
Pada medium PDA terjadinya kontaminan mikrobia tertinggi terjadi pada jamu
serbuk, kunir asem, dan pahitan dengan hasil spreader. Pada jamu serbuk dapat
terjadi tingginya kontaminasi mikroorganisme, karena pada saat penanaman ke
dalam medium alat yang digunakan tidak steril, atau dapat juga karena adanya
kontak langsung dengan oksigen. Sedangkan pada jamu gendong, yaitu jamu
pahitan dan kunir asem, kontaminasi dapat terjadi karena bahan baku yang
digunakan sudah menjamur, atau karena kebersihannya kurang (tidak steril).
Sedangkan pada jamu kiranti, simplisia, dan jamu godog kontaminan
mikroorganismenya rendah, hal ini dikarenakan pada jamu godog sebelum
ditanam ke dalam medium dilakukan proses penggodogan, ini juga dapat
mengurangi kontaminan, selain itu bahan bakunya menggunakan rempah-
rempah yang sudah dikeringkan terlebih dahulu sehingga akan lebih tahan lama,
demikian juga pada simplisia yang digunakan sudah diberi tiga perlakuan yaitu
di oven, di jemur, dan di angin-anginkan sehingga simplisia ini mampu tahan
lebih lama. Sedangkan pada jamu kiranti pemilihan bahan baku dan proses
pembuatannya sangat mempengaruhi, selain itu juga sedikitnya kontak langsung
dengan oksigen mampu meminimalkan adanya kontaminasi. Kontrol medium
PDA-pun tidak terlepas dari adanya kontaminasi bakteri. Pada kelima kelompok
juga dibuat kontrol yaitu PDA dan NA namun terdapat kontaminan, hal ini
mungkin disebabkan karena pada saat pembuatan medium tidak steril karena
mungkin pada saat penuangan terlalu lama kontak dengan udara atau pada saat
penuangan medium tidak didekat bunsen atau api. Menurut kelompok kami ada
beberapa faktor dari luar yang mempengaruhi kontaminan yaitu : dari alat yang
dipakai tidak steril, dari praktikan sendiri yang tidak steril, tidak menggunakan
ruang steril mengakibatkan angin berhembus dan membawa bakteri atau jamur,
pada saat menuangkan jamu kedalam medium tidak didekat bunsen sehingga
kontaminan.
Untuk menunjang kualitas jamu gendong, serbuk maupun cair kemasan,
pemerintah mensyaratkan batas angka bakteri dan kapang/khamir tertentu yang
masih dianggap aman untuk dikonsumsi, yaitu < 104 koloni per ml untuk
kapang/khamir dan < 106 koloni per ml untuk bakteri. Hasil penghitungan angka
lempeng total dan angka kapang / khamir total dibandingkan dengan standar uji
cemaran mikroba SNI 19-2897-1992, sehingga dalam pembuatan jamu dapat
mengikuti ambang batas cemaran yang terjadi.
Pencemar dalam sediaan jamu dapat disebabkan selain akibat proses
pembuatan jamu yang kurang memperhatikan unsur sanitasi dan higien, dapat
pula diakibatkan oleh adanya kontaminasi mikroba udara pada saat
pengemasan atau penjualan. Jamu gendong umumnya dikemas dalam botol-
botol baik yang terbuat dari kaca ataupun plastik. Kurangnya kebersihan dari
botol ataupun tempat minum dari jamu gendong tersebut sangat mempengaruhi
besarnya jumlah kontaminan mikroba pada produk jamu gendong. Penggunaan
air yang tercemar sebagai bahan baku mempunyai risiko untuk menyebabkan
kontaminasi pada produk akhir sebesar 3,5 kali dibanding apabila digunakan air
yang tidak tercemar. Penggunaan empon-empon yang tercemar sebagai bahan
baku mempunyai risiko untuk menyebabkan kontaminasi pada produk akhir
sebesar 3,4 kali dibanding apabila digunakan empon-empon yang tidak
tercemar. Untuk jamu serbuk, pencemaran yang terjadi lebih sedikit
dibandingkan jamu gendong karena jamu serbuk mengalami semprot udara
panas untuk mencapai bentuk serbuk dan potensial juga untuk meminimalisasi
pencemaran.
Hal lain yang berpengaruh adalah pengetahuan para pengolah jamu yang
rendah terutama mengenai higiene sanitasi produksi dan penyakit tular air
menyebabkan terjadinya kontaminasi 3,1 kali dibanding pengetahuan yang
cukup.
Pengaruh faktor lokasi penjualan jamu juga sangat mempengaruhi besarnya
kontaminasi. Selain menjual jamu gendong dengan menawarkannya dari rumah
ke rumah melewati jalan yang berdebu, beberapa penjual jamu gendong
menjual jamu gendongnya di area yang tidak higienis seperti misalnya pada
pasar-pasar tradisional yang memungkinkan banyak terjadinya kontaminasi dari
mikroba yang terdapat di udara. Untuk jamu serbuk dan jamu kemasan,
penjagaan kualitas saat distribusi juga harus dipantau.
Kelayakan konsumsi jamu tradisional dapat dikendalikan dengan
memperhatikan faktor risiko yang secara langsung berhubungan dengan
terjadinya kontaminasi E. coli, yaitu dengan menekankan pada kebersihan /
sanitasi empon-empon dan air. Untuk empon-empon, sebelum diolah sebaiknya
dikupas dan dicuci menggunakan air matang. Apabila bahan baku mengalami
penyimpanan sebaiknya disimpan dalam tempat yang terbuat dari kaca, kaleng
atau plastik dan jangan dalam tempat yang terbuat dari kayu atau kantong
kertas agar bahan baku tidak mudah terganggu oleh hama di tempat
penyimpanan (serangga, tikus dll). Tempat penyimpanan hendaknya juga dijaga
agar keadaannya tetap bersih, beratap tidak bocor, kedap tikus dan hama
lainnya, Dalam penyimpanan bahan baku pemakaian insektisida dalam
pembrantasan hama dan fungisida untuk melenyapkan jamur hendaknya
dihindari. Air yang digunakan sebagai bahan baku seharusnya memenuhi
persyaratan air minum yang memenuhi persyaratan Permenkes RI. No
416/MenKes/Per/IX/1990, antara lain tidak mengandung cemaran bakteri E.coli.
Untuk itu pemanasan harus dilakukan hingga benar-benar mendidih. Untuk
menekan perkembangbiakan mikroba pada produk dapat ditambahkan asam
jawa sampai pH sekitar 5,0. Selain dapat mempertahankan keawetan produk
(tidak cepat mengalami pembusukan) juga berasa lebih segar. Selain itu
pengetahuan para pengolah jamu gendong perlu ditingkatkan terutama
mengenai kebersihan diri seperti memperhatikan kebersihan diri seperti
memotong kuku pendek, sering mencuci tangan, memakai pakaian yang bersih,
memakai tutup kepala,sanitasi produksi dan penyakit tular air, serta Proses
penyajian yang diamati meliputi air yang digunakan untuk mencuci gelas, botol,
serbet dan higiene penjual, sehingga perilaku memproduksi jamu gendong
menjadi lebih baik untuk menghindari kontaminasi silang
BAB V
KESIMPULAN
1. Besarnya kontaminan pada medium NA lebih tinggi bila dibandingkan dengan
medium PDA dan kontrol.
2. Kontaminasi tertinggi pada medium NA yaitu pada jamu antangin, kunir asem,
dan jamu pahitan. Sedangkan jamu kiranti, serbuk, dan simplisia merupakan
jamu yang mempunyai tingkat pencemaran rendah.
3. Pada medium PDA kontaminasi rendah terdapat pada jamu kiranti, simplisia,
dan jamu godog. Sedangkan kontaminan tertinggi terdapat pada jamu serbuk,
kunir asem, dan pahitan.
DAFTAR PUSTAKA
Indra., 2008, http//ekmon-saurus/bab-2-Media- pertumbuhan/.htm . diakses pada
tanggal 18 oktober 2011, yogyakarta.
Label, Caray.,2008, http//Caray label makalah –dan – skripsi pembuatan-media-
agar dan-sterilisasi/htm . diakses pada tanggal 18 oktober 2011, yogyakarta.
Pelczar, Michael, 1986, Dasar- Dasar Mikrobiologi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Volk, dan Wheeler., 1993, Dasar- Dasar Mikrobiologi, Erlangga, Jakarta.
Ardiansyah. 2004. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Bogor : Universitas
Djuanda.
Dwidjoseputro.1964. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Malang : Djambatan
Mulyana, dkk. 1992. Penuntun Praktikum Dasar-Dasar Mikrobiologi. Bogor :
Universitas Djuanda.
Yanny Priantieni, E. 2004. Penuntun Praktikum Mikrobiologi. Bogor : SMAKBO.
Top Related