TUGAS PRESENTASI KASUS
RHINITIS VASOMOTOR DAN SINUSITIS MAKSILARIS
DENTOGEN MOLAR 3 DEXTRA
Tutor :
dr. Anton Budhi D, Sp.THT, M.Kes
Kelompok B
Disusun oleh
Ryan Aprilian Putri
G1A009025
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
2012
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
Telah dipresentasikan dan disahkan presentasi kasus dengan judul:
“RHINITIS VASOMOTOR DAN SINUSITIS MAKSILARIS
DENTOGEN MOLAR 3 DEXTRA”
Disusun Oleh :
Ryan Aprilian Putri G1A009025
Pada tanggal Desember 2012
Pembimbing,
dr. Anton Budhi D, Sp.THT, M.Kes
BAB I
PENDAHULUAN
A. Rhinitis Vasomotor
Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik
lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas
parasimpatis. Rinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang
ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada
mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan ini merupakan
keadaan yang non-infektif dan non-alergi (Mangunkusumo, 2001).
Rinitis vasomotor disebut juga dengan vasomotor catarrh, vasomotor
rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific allergic rhinitis, non - Ig
E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis.Rinitis vasomotor mempunyai gejala
yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit untuk dibedakan. Pada
umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang banyak
dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. Etiologi yang pasti belum
diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi
vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan.
Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara,
perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan
normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu
tersebut (Soepardi, 2008).
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan THT serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan
kemungkinan jenis rinitis lainnya. Penatalaksanaan rinitis vasomotor
bergantung pada berat ringannya gejala dan dapat dibagi atas tindakan
konservatif dan operatif (Sopeardi, 2008).
B. Sinusitis Maksilaris
Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan
bagian lateral kavum nasi.Sinus–sinus ini membentuk rongga
di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai dengan
tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus
frontalis dan sinus etmoidalis. Sinus yang dalam keadaan fisiologis
adalah steril, apabila klirens sekretnya berkurang atau tersumbat
akan menimbulkan lingkungan yang baik untuk
perkembanganorganisme patogen.Apabula terjadi infeksi, bakteri
ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah
sinusitis (Mangunkusumo, 2001).
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sinusitis
sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Penyebab utamanya adalah infeksi
virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Sinus yang paling
sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila.
Sinusitis adalah penyakit yang banyak ditemukan di seluruh dunia,
teerutama di tempat dengan polusi udara tinggi, iklim yang lemban, dingin,
dengan konsentrasi pollen yang tinggi terkait dengan prevalensi yang lebih
tinggi dari sinusitis. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan
bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50
pola penyakit peringkat utama. Di Amerika Serikat, sekitar 33 jutaorang yang
menderita sinusitis pertahun yang menghabiskan biaya pengobatan hingga 6
milyar dolar.
Perempuan lebih sering terkena sinusitis dibandingkan laki-
laki karena mereka lebih sering kontak dengan anak kecil. Angka
perbandingannya yaitu 20 % perempuan :11,5 % laki-laki. Sinusitis lebih
sering diderita oleh anak-anak dan dewasa muda akibat rentannya usia ini
dengan infeksi Rhinovirus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rinitis Vasomotor
1. Definisi
Rinitis vasomotor adalah suatu inflamasi mukosa hidung yang
bukan merupakan proses alergi, bukan proses infeksi, menyebabkan
terjadinya obstruksi hidung dan rinorea. Etiologi dari Rinitis Vasomotor
dipercayai sebagai akibat dari terganggunya keseimbangan dari saraf
autonom pada mukosa hidung yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi
dan hipersekresi (Soepardi, 2008).
Rinitis vasomotor adalah infeksi kronis lapisan mukosa hidung
yang disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf
parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis menjadi lebih dominan sehingga
terjadi pelebaran dan pembangkakan pembuluh darah di hidung. Gejala
yang timbul berupa hidung tersumbat, bersin dan ingus yang encer
(Soepardi, 2008).
2. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat
gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat
tertentu (Wanwright, 2004).
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor
(soepardi, 2008) :
a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis,
seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat
vasokonstriktor topikal.
b. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban
udara yang tinggi dan bau yang merangsang.
c. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil
anti hamil dan hipotiroidisme.
d. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue (Wanwright, 2008).
3. Patofisiologi
Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang
menyebabkan terjadinya rinitis vasomotor pada berbagai kondisi
lingkungan. Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam
mukosa nasal dan sekresi mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh
saraf simpatis sedangkan saraf parasimpatis mengontrol sekresi glandula
dan mengurangi tingkat kekentalannya, serta menekan efek dari pembuluh
darah kapasitan (kapiler).. Efek dari hipoaktivitas saraf simpatis atau
hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh darah
tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan
akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung
tersumbat. Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi
mukus yang menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif (Wanwright,
2008).
Teori lain meyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang
dikeluarkan sel – sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin,
leukotrien, prostaglandin dan kinin. Peningkatan peptida vasoaktif ini
tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang meyebabkan
kongesti, hidung tersumbat, juga meningkatkan efek dari asetilkolin pada
sistem saraf parasimpatis pada sekresi nasal, yang meningkatkan
terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida ini bukan diperantarai oleh IgE
seperti pada rinitis alergika. Pada beberapa kasus rinitis vasomotor,
eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada mukosa
hidung . Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada
terjadinya rinitis vasomotor. Banyak kasus rinitis vasomotor berkaitan
dengan agen spesifik atau kondisi tertentu. Contoh beberapa agen atau
kondisi yag mempengaruhi kondisi tersebut adalah ; perubahan
temperatur, kelembaban udara, parfum, aroma masakan yang terlalu kuat,
asap rokok, debu, polusi udara dan stress (fisik dan psikis) (Wanwright,
2008)..
Mekanisme terjadinya rinitis vasomotor oleh karena aroma dan
emosi secara langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang
kuat akan merangsang sel – sel olfaktorius terdapat pada mukosa
olfaktorii. Kemudian berjalan melalui traktus olfaktorius dan berakhir
secara primer maupun sesudah merelay neuron pada dua daerah utama
otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan olfaktoris lateral. Daerah
olfaktoris medial terletak pada bagian anterior hipotalamus. Jika bagian
anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta
emosi, maka akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer sehingga
terjadi dominasi fungsi syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di hidung
yang dapat menimbulkan manifestasi klinis berupa rhinitis vasomotor
(Wanwright, 2008).
4. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi
keseimbangan vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rinitis
alergi.1 Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam
keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa. Beberapa pasien
hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan
tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar
(Soepardi, 2008).
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik
berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah
gelap atau merah tua ( karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai
berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol ( tidak
rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit.
Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat
serosa dengan jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior dapat
dijumpai post nasal drip (Soepardi, 2008).
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif,
demikian pula test RAST, serta kadar Ig E total dalam batas normal.
Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan
tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang
ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret. Pemeriksaan
radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin
tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat
(Soepardi, 2008).
Tabel 1. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor
(Soepardi, 2008).
5. Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan
dibagi dalam (Wheeler, 2005). :
1) Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2) Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
a. Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk
mengurangi keluhan hidung tersumbat. Contohnya :
Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral ) serta
Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ).
b. Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
c. Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat,
rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal
yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan
paling sedikit elama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang
memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone,
Flunisolide atau Beclomethasone
d. Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai
keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray )
3) Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal )
(Wheeler, 2005):
a. Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25%
atau triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara
elektrik ( electrical cautery ).
b. Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the
inferior turbinate )
c. Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
d. Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate
resection.
e. Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )
f. Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu de.ngan
melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas
tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien
dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan,
dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat
menimbulkan berbagai komplikasi (Moentanaro, 2001)
6. Prognosis
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-
kadang dapat membaik dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga resisten
terhadap pengobatan yang diberikan. Prognosis pengobatan golongan
obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan
rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis dan
pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya (Soepardi 2008).
7. Komplikasi
a. Sinusitis
b. Eritema pada hidung sebelah luar
c. Pembengkakan wajah
B. Sinus Maksilaris
1. Definisi
Sinusitis adalah kondisi klinis yang karakteristiknya adalah radang
pada mukosa sinus paranasalis. mukosa sinus maksilaris. Sinusitis
maksilaris diklasifikasikan menjadi akut, sub akut dan kronik. Sinusitis
akut bila gejalanya berlangsung beberapa hari sampai 4 minggu, sinusitis
subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan, dan sinusitis
kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan.4 Dalam menentukan secara
pasti apakah sinusitis tersebut akut, sub akut atau kronis, harus
menggunakan pemeriksaan histopatologis. Sinusitis akut bila terdapat
tanda-tanda radang akut, sinusitis subakut bila tanda-tanda radang akut
sudah reda, dan sinusitis kronik bila terjadi perubahan histologis mukosa
sinus yang irreversible. Diagnosis sinusitis digunakan sebagai diagnosis
infeksi sinus oleh bakteri (Kumar dan Clark, 2005).
2. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Penyebab tersering dari Sinusitis maksilaris adalah infeksi saluran
nafas atas karena virus, seperti rinitis akut, campak, dan batuk rejan.
Hanya 10% diakibatkan oleh radang pada gigi molar atau premolar.8
Etiologi sinusitis ini adalah :
a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi
dari gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih
sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus
oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi
mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal (Ross, 1999).
b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan
terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi
(Saragih, 2007).
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi
dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus
(Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan
sinus maksila (Ross, 1999).
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan
tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan (Saragih, 2007).
f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusomo;
Rifki, 2001).
g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista
radikuler dan folikuler (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat
menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis (Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007).
Faktor – faktor predisposisi sinusitis maksilaris adalah obstruksi
mekanik, rhinitis kronis, serta rinitis alergi, polusi, udara dingin dan
kering, riwayat trauma, menyelam, renang, naik pesawat, riwayat infeksi
pada gigi, infeksi pada faring. Rinitis adalah faktor predisposisi yang
paling penting dalam terbentuknya sinusitis.
3. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks
osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa
yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous
superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel
epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta
mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus
secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya
sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi
ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang
menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan
mukus dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004).
Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada
sinus (Kieff dan Busaba, 2004)..
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar,
2009). Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan
pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini
meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan
iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini
kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses
alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu
inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus, serta
abnormalitas seksresi mukus menyebabkan akuulasi cairan dalam sinus
sehingga terjadinya sinusitis maksilaris (Drake, 1997). Dengan ini dapat
disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga
faktor, yaitu Patensi ostium, funsi sillia, dan kualitas sekresi hidung.
Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan
menyebabkan sinusitis.
4. Penegakan Diagnosis
Anamnesis
a. Rhinorrhea yang kental dan bewarna agak hijau dan kadang berbau 7
hari hingga 14 hari.
b. Sakit pada wajah
c. Hidung buntu
Gejala yang disebutkan di atas ini adalah gejala klasik dari sinusitis
akut, gejala klasik tersebut sering juga disertai dengan gejala lain seperti
yang tersebut di bawah in (Saragih, 2007):
a. Sakit pada pipi dan dapat juga pada kepala
b. Demam dan rasa lesu
c. Batuk
d. Nyeri pada telinga
e. Penurunan atau gangguan penciuman (decreased or altered sense of
smell)
Bila telah menjadi kronik dapat juga terdapat komplikasi di paru-
pari berupa bronchitis atau bronkiektasis atau asma bronkiale sehingga
terjadi penyakit sinobronkitis.
Pemeriksaan fisik
a. Tampak pembengkakan di daerah pipi dan kelopak mata bawah sisi
yang terkena.
b. Pada rinoskopi anterior, mukosa konka tempak hiperemi dan edema,
selain itu tampak mukopus atau nanah di meatus media.
c. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring.
Pemeriksaan penunjang
a. Dengan pemeriksaan tranluminasi, sinus yang sakit akan terlihat
suram atau gelap.Akan lebih bermakna hasilnya bila hanya salah satu
sisi sinus saja yang sakit, sehingga terlihat sekali perbedaanya antara
yang suram atau sakit denganyang normal. Hanya sinus frontal dan
maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan
menjadi suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat
diketahui sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya faktor
etiologi lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media pada
sinusitis maksila, etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus
superior pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoidalis (Mehra dan
Murad, 2004; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Selain itu, nasal
endoskopi dilakukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis akut dimana
pus mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior
membentuk post nasal drip (Ross, 1999).
b. Pemeriksaan radiologi, yaitu foto Waters, PA, dan lateral. Akan
tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau air- fluid level
pada sinus yang sakit.CT scan merupakan tes yang paling sensitive
dalam mengungkapkan kelainan anatomis selain melihat adanya
cairan dalam sinus, tetapi karena mahal, CT scan tidak dipakai sebagai
skrining dalam mendiagnosis sinusitis.
c. Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau
CT-scan. Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya
hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan
frontal. Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan, batas udara-
cairan (air-fluid level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa
(Mehra dan Murad, 2004). CT-scan sinus merupakan gold standard
karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam
hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena
mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik
yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai
panduan operator saat melakukan operasi sinus (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).
d. Pemeriksaan kultur,.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat
antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang
keluar dari pungsi sinus maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Kebanyakan sinusitis disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik
dari sinusitis yang berasal dari gigi geligi didominasi oleh infeksi gram
negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk dan akibatnya timbul
bau busuk dari hidung (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
5. Penatalaksanaan
Prinsip terapi :
a. Atasi masalah gigi
b. Konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau irigasi
c. Operatif
Prinsip penatalaksanaan dari sinusitis adalah: mengembalikan fungsi silia
mukosa, memperbaiki drainase, eradikasi bakteri, dan menghilangkan
keluhan nyeri. Seringkali sinusitis, tidak perlu dirujuk ke ahli THT, tetapi
bila gagal dengan pengobatan medikamentosa, maka harus dirujuk ke ahli
THT untuk penanganan lebihlanjut seperti terapi bedah, irigasi
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
a. Medikamentosa
1) Antibiotika golongan penisilin selama 10-14
a) Ampisilin 4x500mg
b) Amoksisilin 3x500mg
c) Eritromisin 4x500mg
d) Kotrimoksasol 2x1tablet
e) Doksisiklin 2x100mg/hari diikuti 100 mg/hari hari ke 2 dan
berikutnya.
2) Vasokonstriktor local dan dekongestan lokal untuk memperlancar
drainase sinus.
a) Solusio efedrin 1-2% tetes hidung
b) Solusio Oksimetasolin HCl 0,05% semprot hidun (untuk anak-
anak memakai 0,025%)
c) Tablet pseudoefedrin 3x60mg (dewasa
3) Analgetika untuk menghilangkan rasa nyeri
a) Parasetamol 3x500mg
b) Metampiron 3x500mg
Bila dengan pengobatan medikamentosa gagal, maka harus konsultasi
dengan ahli (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
b. Tindakan non invasif
Diatermi dengan gelombang pendek, digunakan pada sinusitis
subakut sebanyak 5- 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki
vaskularisasi sinus. Bila belum membaik dilakukan pungsi sinus dan
irigasi sinus yang harus dilakukan oleh ahli THT (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).
c. Tindakan pembedahan
Dilakukan bila pengobatan konservatif gagal, yaitu dengan
mengangkat mukosa yang patologis dan membuat drainase sinus yang
terkena. Tipe pembedahan yang dilakukan adalah antrostomi intra nasal
dan operasi Caldwell-Luc. Selain itu ada pembedahan non radikal yaitu
dengan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF), yang telah menjadi
tindakan pembedahan utama untuk menangani sinus, yang prinsipnya
dengan membuka dan membersihkan daerah ostio-meatal yang menjadi
sumber penyumbatan dan infeksi hingga ventilasi dan drainase menjadi
lancar kembali melalui ostium alami. Tingkat keberhasilan BSEF
mencapai 90% dengan tanpa meninggalkan jaringan parut
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
6. Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada
tindakan pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika,
drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka
pasien mempunyai prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).
7. Komplikasi
Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital disebabkan oleh sinus
paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering ialah sinusitis
etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi
melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul
ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan
selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus (Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007). Komplikasi lain adalah infeksi orbital menyebabkan
mata tidak dapat digerakkan serta kebutaan karena tekanan pada nervus
optikus.
Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat
sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada
osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada
pipi (Tucker dan Schow, 2008). Infeksi otak yang paling berbahaya
karena penyebaran bakteri ke otak melalui tulang atau pembuluh darah.
Ini dapat juga mengakibatkan meningitis, abses otak dan abses ekstradural
atau subdural (Ballenger, 2009).
Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronki
Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis
kronis dan bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan
kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan
kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan (Ballenger, 2009).
BAB III
KESIMPULAN
1. Pasien datang dengan keluhan pilek pada saat udara dingin, namun ingus
tidak bisa dikeluarkan dari lubagn hidung kanan.
2. Rinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik neurovascular
mukosa hidung dengan gejala hidung tersumbat, rinore yang hebat dan
kadang – kadang dijumpai adanya bersin – bersin.
3. Penyebab pastinya tidak diketahui. Diduga akibat gangguan keseimbangan
sistem saraf otonom yang dipicu oleh faktor-faktor tertentu.
4. Rinitis vasomotor sering tidak terdiagnosis karena gejala klinisnya yang
mirip dengan rinitis alergi, oleh sebab itu sangat diperlukan pemeriksaan -
pemeriksaan yang teliti untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis lainnya
terutama rinitis alergi dan mencari faktor pencetus yang memicu terjadinya
gangguan vasomotor
5. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara konservatif dan apabila gagal
dapat dilakukan tindakan operatif.
6. Sinusitis adalah kondisi klinis yang karakteristiknya adalah radang pada
mukosa sinus paranasalis. mukosa sinus maksilaris.
7. Penyebab tersering dari Sinusitis maksilaris adalah infeksi saluran nafas
atas karena virus, seperti rinitis akut, campak, dan batuk rejan. Hanya 10%
diakibatkan oleh radang pada gigi molar atau premolar.
8. patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu Patensi
ostium, funsi sillia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari
faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.
9. Diganosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.
10. Prinsip terapi sinusitis adalah atasi masalah gigi, kKonservatif dilakukan
dengan memberikan obat-obatan atau irigasi Operat
DAFTAR PUSTAKA
Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. 2001 Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. 5 th Ed. Jakarta: Gaya Baru.
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK UI, hal : 118-122.
Montanaro. 2001. A Studies Confirm Effectiveness of Thefapy for Rhinitis. Med Students.
Ondery, Frank G, Wright, Smon K. 2009.Neoplasms of The Nasopharynx.
Ballnger’s Ptprhinolaryngology Head and Neck Surgery.
Soepardi , E. A., dkk. 2008. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Wainwright M., Gombako LA.2004. Vasomotor Rhinitis: School of Medicine at New Orleans.
Wheeler PW, Wheeler SF. September 2005. Vasomotor Rhinitis. America Academy Of Family Physcians. Vol. 72/No. 6
Rukmini, Sri. 2000. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan.
Jakarta : EGC.
Lampiran 1
Foto Rontgen
Keterangan:
1. Deviasi septum nasi
2. Kesuraman pada sinus maxillaris kanan
3. Tidak tampak kesuraman pada sinus maksilaris kiri, sinus frontalis kanan
dan kiri, sinus ethmoidalis kanan dan kiri.
4. Mastoid air cell kanan kiri baik