BAB I
DASAR TEORI
A. Hitung Jenis Leukosit
Hitung leukosit adalah menghitung jumlah leukosit per
milimeterkubik atau mikroliter darah. Leukosit merupakan bagian penting dari
sistem pertahanan tubuh, terhadap benda asing, mikroorganisme atau jaringan
asing, sehingga hitung julah leukosit merupakan indikator yang baik untuk
mengetahui respon tubuh terhadap infeksi.
Jumlah leukosit dipengaruhi oleh umur, penyimpangan dari keadaan
basal dan lain-lain. Pada bayi baru lahir jumlah leukosit tinggi, sekitar 10.000-
30.000/μl. Jumlah leukosit tertinggi pada bayi umur 12 jam yaitu antara
13.000-38.000 /μl. Setelah itu jumlah leukosit turun secara bertahap dan pada
umur 21 tahun jumlah leukosit berkisar antara 4500- 11.000/μl. Pada keadaan
basal jumlah leukosit pada orang dewasa berkisar antara 5000 — 10.000/μl.
Jumlah leukosit meningkat setelah melakukan aktifitas fisik yang sedang,
tetapi jarang lebih dari 11.000/μl. Peningkatan jumlah leukosit di atas normal
disebut leukositosis, sedangkan penurunan jumlah leukosit di bawah normal
disebut lekopenia.
Terdapat dua metode yang digunakan dalam pemeriksaan hitung
leukosit, yaitu cara automatik menggunakan mesin penghitung sel darah
(hematology analyzer) dan cara manual dengan menggunakan pipet leukosit,
kamar hitung dan mikroskop.
Hitung jenis leukosit digunakan untuk mengetahui jumlah berbagai
jenis leukosit. Terdapat lima jenis leukosit, yang masing-masingnya memiliki
fungsi yang khusus dalam melawan patogen. Sel-sel itu adalah neutrofil,
limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil. Hasil hitung jenis leukosit
memberikan informasi yang lebih spesifik mengenai infeksi dan proses
penyakit. Hitung jenis leukosit hanya menunjukkan jumlah relatif dari
1
masing-masing jenis sel. Untuk mendapatkan jumlah absolut dari masing-
masing jenis sel maka nilai relatif (%) dikalikan jumlah leukosit total (sel/μl).
Untuk melakukan hitung jenis leukosit, pertama membuat sediaan
apus darah yang diwarnai dengan pewarna Giemsa, Wright atau May
Grunwald. Amati di bawah mikroskop dan hitung jenis-jenis leukosit hingga
didapatkan 100 sel. Tiap jenis sel darah putih dinyatakan dalam persen (%).
Jumlah absolut dihitung dengan mengalikan persentase jumlah dengan hitung
leukosit, hasilnya dinyatakan dalam sel/μL.
Nilai Normal menurut Miller ;
1. Eosinofil : 1 – 4 %
2. Basofil : 0 – 1%
3. Stab : 2 – 5 %
4. Segmen : 50 – 70 %
5. Limfosit : 20 – 40 %
6. Monosit : 1 – 6 %
B. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit
Eritrosit adalah piringan bikonkaf dengan garis tengah 8µm, ketebalan
2 µm di tepi luar dan ketebalan sekitar 1 µm di tengah yang hamper
menyerupai donat. (Sherwood, 2013) Warna eritrosit kekuning-kuningan dan
dapat berwarna merah karena dalam sitoplasmanya terdapat pigmen warna
merah berupa Hemoglobin (Ira P, 2012). Bentuk bikonkaf dari eritrosit ini
berfungsi dalam menentukan efisiensi sel darah merah dalam melakukan
fungsinya sebagai pengangkut O2, selain itu bentuk bikonkaf ini juga akan
menghasilkan luas permukaan yang lebih luas untuk difusi O2 menembus
membrane jika di bandingkan dengan bentuk sel bulat dengan volume yang
sama. Selain bentuknya, ketebalan eritrosit juga memungkinkan O2 cepat
berdifusi antara bagian paling dalam sel dan eksteriior sel. (Sherwood, 2013)
Nilai standar eritrosit ;
1. Pria Dewasa : 4,5 – 6,5 juta/mm3
2
2. Wanita Dewasa : 3,9 – 5,6 juta/mm3
3. < 3 bln : 4,0 – 5,6 juta/mm3
4. 3 bln : 3,2 – 4,5 juta/mm3
5. 1 tahun : 3,6 – 5,0 juta/mm3
6. 12 tahun : 4,2 – 5,2 juta/mm3
Eritrosit juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Ketika sel darah
merah mengalami proses lisis oleh patogen atau bakteri, maka hemoglobin di
dalam sel darah merah akan melepaskan radikal bebas yang akan
menghancurkan dinding dan membran sel patogen, serta membunuhnya.
(Maria K, 2009)
Eritrosit dibentuk dalam sumsum merah tulang pipih, misalnya di
tulang dada, tulang selangka, dan di dalam ruas-ruas tulang belakang.
Pembentukannya terjadi selama tujuh hari. Pada awalnya eritrosit mempunyai
inti, kemudian inti lenyap dan hemoglobin terbentuk. Setelah hemoglobin
terbentuk, eritrosit dilepas dari tempat pembentukannya dan masuk ke dalam
sirkulasi darah. (Ira P, 2012). Sel darah merah yang sedang berkembang
dalam sumsum (eritroblas) memiliki nukleus(inti); inti memadat seiring
Maturasi, dikeluarkan sebelum sel darah merah lepas kedalam sirkulasi.
(Hoffbrand & Moss, 2013)
Masa hidup eritrosit hanya sekitar 120 hari atau 4 bulan, kemudian
dirombak di dalam hati dan limpa. Sebagian hemoglobin diubah menjadi
bilirubin dan biliverdin, yaitu pigmen biru yang memberi warna empedu. Zat
besi hasil penguraian hemoglobin dikirim ke hati dan limpa, selanjutnya
digunakan untuk membentuk eritrosit baru. Kira-kira setiap hari ada 200.000
eritrosit yang dibentuk dan dirombak. Jumlah ini kurang dari 1% dari jumlah
eritrosit secara keseluruhan.(Ira P, 2012).
C. Pemeriksaan Hematokrit
Hematokrit adalah nilai yang menunjukan persentase zat padat dalam
darah terhadap cairan darah. Dengan demikian, bila terjadi perembesan cairan
3
darah keluar dan pembuluh darah, sementara bagian padatnya tetap dalam
pembuluh darah, akan membuat persentase zat padat darah terhadap cairannya
naik sehingga kadar hematokritnya juga meningkat (Hardjoeno, H. 2007).
Nilai hematokrit atau PCV dapat ditetapkan secara automatik
menggunakan hematology analyzer atau secara manual. Metode pengukuran
hematokrit secara manual dikenal ada 2 yaitu;
1. Metode makrohematokrit
Metode ini menggunakan tabung wintrobe
2. Metode mikrohematokrit/kapiler
Metode ini menggunakan tabung kapiler
Adapun nilai standarnya adalah ;
1. Pria : 47 ± 7 %
2. Wanita : 42 ± 5 %
3. Bayi baru lahir : 54 ± 10 %
4. 3 bulan : 38 ± 6 %
5. 3 – 6 bulan : 40 ± 4 %
6. 10 – 12 tahun : 41 ± 4%
D. Nilai Indeks Eritrosit
Hitung eritrosit adalah jumlah eritrosit per milimeterkubik (mm3) atau
mikroliter dalah. Seperti hitung leukosit, untuk menghitung jumlah sel-sel
eritrosit ada dua metode, yaitu manual dan elektronik (automatik). Metode
manual hampir sama dengan hitung leukosit, yaitu menggunakan bilik hitung.
Namun, hitung eritrosit lebih sukar daripada hitung leukosit.
Prinsip hitung eritrosit manual adalah darah diencerkan dalam larutan
isotonis untuk memudahkan menghitung eritrosit dan mencegah hemolisis.
Larutan Pengencer yang digunakan adalah ;
1. Larutan Hayem : Natrium sulfat 2.5 g, Natrium klorid 0.5 g, Merkuri klorid
0.25 g, aquadest 100 ml. Pada keadaan hiperglobulinemia, larutan ini tidak
4
dapat dipergunakan karena dapat menyebabkan precipitasi protein,
rouleaux, aglutinasi.
2. Larutan Gower : Natrium sulfat 12.5 g, Asam asetat glasial 33.3 ml,
aquadest 200 ml. Larutan ini mencegah aglutinasi dan rouleaux.
3. Natrium klorid 0.85 %
Indeks eritrosit adalah batasan untuk ukuran dan isi hemoglobin
eritrosit. Istilah lain untuk indeks eritrosit adalah indeks kospouskuler. Indeks
eritrosit terdiri atas ;
1. MCV ( Mean Corpusculum Volume )
MCV = Hematokrit / jumlah eritrosit (dalam juta) x 10
Nilai normal = 82 – 92 femtoliter
2. MCH (Mean Corpusculum Hemoglobin )
MCH = Hemoglobin/Jumlah eritosit (dalam juta) x 10
Nilai normal = 27 – 32 pikogram
3. MCHC (Mean Corpusculum Hemoglobin Concentration )
MCHC = Hb/Ht x 100%
Nilai normal = 32 – 37 %
Red Blood Cell Distribution Width (RDW) adalah perbedaan/variasi
ukuran (luas) eritrosit. Nilai RDW berguna memperkirakan terjadinya anemia
dini, sebelum nilai MCV berubah dan sebelum terjadi gejala. Peningkatan
nilai RDW dapat dijumpai pada anemia defisiensi (zat besi, asam folat, vit
B12), anemia hemolitik, anemia sel sabit. Ukuran eritrosit biasanya 6-8µm,
semakin tinggi variasi ukuran sel mengindikasikan adanya kelainan.
1. RDW = standar deviasi MCV / rata-rata MCV x 100
Nilai normal rujukan 11-15%.
5
BAB II
METODE PRAKTIKUM
A. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit
Alat :
Alat untuk mengambil darah vena / kapiler
Hemositometer :
- Bilik hitung Neubauer Improve.
- Kaca penutup.
- Pipet Eritrtosit : pipet dengan bola merah dengan skala
0,5 – 1 – 101.
- Mikroskop.
Reagen :
- Lar. Hayem tdd :
- Na2SO4 kristal : 5,0 gram.
- NaCl : 1,0 gram.
- HgCl2 : 0,5 gram.
- Aquadest : 200,0 ml.
6
Cara Pemeriksaan:
7
1.Cari kotak kecil bilik hitung di
bawah mikroskop(5)
2.hisap darah sampai angka
0,5(200x) usap ujung
pipet
4.Kocokbuang 3 tetes pertama
5.tuang pada celah bilik hitungtutup
dengan kaca penutup
6.Baca di mikroskop
3.Hisap larutan Hayem
dengan pipet yang sama
sampai angka 101
B. Pemeriksaan Hematokrit
Nilai Hematokrit adalah :
Besarnya volume sel – sel eritrosit seluruhnya didalam 100 mm3 darah dan
dinyatakan dalam %.
Prinsip pemeriksaan :
Darah dengan antikoagulan diputar / disentrifuge, kemudian dibandingkan
panjang kolom merah dengan kolom total.
Terdapat 2 metode pemeriksaan :
Makro Hematokrit tabung Wintrobe.
Mikro Hematokrit tabung kapiler.
Mikro Hematokrit
Alat :
Alat untuk memeperoleh darah vena / kapiler.
Pipet Hematokrit : panjang 7,5 cm.
diameter 1,2 mm.
Lampu spiritus / vasellin.
Sentrifuge yang dapat memutar dengan kecepatan 16.000 rpm.
Skala pembaca Ht.
Reagensia :
Heparin ( biasanya sudah melapisi lumen pipet kapiler Ht )
Bahan :
Darah vena / darah kapiler.
8
Cara Pemeriksaan:
9
1.Isi tabung darah
sampai 3/4
2.Sumbat ujung
dengan vaselin
3.Sentrifuge 16000 selama
3-5 menit
4.Baca skala Ht
C. Hitung Jenis Leukosit
Cara pemeriksaan:
Arah perhitungan tertentu seperti dibawah ini :
Gambar :
10
1.Siapkan preparat
dapusan darah
2.Amati di
mikrosko
p10x40x100
x
3.Tetesi permkaan apusan
dengan minyak imersi
IMERS
I
4.Amati
Bandingkan ukuran masing – masing sel dan amati bentuk inti, granula.
Stab / batang.
Segmen.
Eosinofil. Basofil
Limfosit. Monosit.
11
BAB III
HASIL
A. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit
Berdasarkan pemeriksaan jumlah eritrosit didapatkan 391 jumlah eritrosit
pada 80 kotak kecil sehingga didapatkan jumlah eritrosit :
Jumlah eritrosit= Sel eritrosit yangdihitungJumlahkotak kecil yangdihitung
× 400× 10 ×200=39180
× 400 ×10 × 200
= 3.910.000 juta/mm3
B. Pemeriksaan Hematokrit
Berdasarkan hasil pemeriksaan hematokrit, didapatkan hasil sebesar 39 %
setelah membandingkan panjang kolom merah dengan panjang kolom total. Hasil
tersebut menunjukan interpretasi hasil pemeriksaan hematokrit dari sampel darah
yang diperksa adalah normal karena nilai rujukan atau normal hematokrit untuk
wanita dewasa adalah 42 ± 5 %.
C. Hitung Jenis Leukosit
Berdasarkan hasil hitung jenis leukosit didapatkan bahwa,
Jenis 1 2 3 4 5 Persentase NilaiRujukan
Eosinofil I 2 % 1 – 4 %
Basofil 0 – 1 %
Stab II 4 % 2 – 5 %
Segmen IIIII
II
IIIII
IIIII
IIIII
IIIII
IIIII
IIIII
III 80 % 50 – 70 %
Limfosit IIIIII 12 % 20 – 40 %
Monosit I 2% 1 – 6 %
Jumlah 10 10 10 10 10 100%
Diff Count 2 / - / 4 / 80 / 12 / 2
12
D. Indeks Eritrosit
Pada hasil pemeriksaan indeks eritrosit didapatkan keadaan,
1. Mean Corpusculum Volume
MCV= HematokritJumlah Eritrosit (dalam juta )
×10= 393,9
x10
MCV=100 fL(N :82−92 fL)
Interpretasi : Tidak normal
2. Mean Corpusculum Hemoglobin
MCH= HemoglobinJumlahEritrosit (dalam juta )
×10= 103,9
x 10
MCH=25,6 pikogram (N :27−32 pikogram)
Interpretasi : Tidak normal
3. Mean Corpusculum Hemoglobin Concentration
MCHC= HemoglobinHematokrit
× 100 %=1039
×100 %=25 %
(N :32−37 % )
Interpretasi : Tidak normal
BAB IV
13
PEMBAHASAN
A. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit
Pada praktikum pemeriksaan jumlah eritrosit, kami mendapatkan hasil
akhir bahwa jumlah eritrosit yang kami temukan dalam 5 kotak sedang yakni
3.910.000/mm3. Jumlah eritrosit ini termasuk masih dalam batas normal sesuai
dengan nilai rujukan sebagai berikut (Gandasoebrata, 2006) :
a. Dewasa laki-laki : 4.50 – 6.50 (x106/μL)
b. Dewasa perempuan : 3.80 – 4.80 (x106/μL)
c. Bayi baru lahir : 4.30 – 6.30 (x106/μL)
d. Anak usia 1-3 tahun : 3.60 – 5.20 (x106/μL)
e. Anak usia 4-5 tahun : 3.70 – 5.70 (x106/μL)
f. Anak usia 6-10 tahun : 3.80 – 5.80 (x106/μL)
Hitung eritrosit adalah jumlah eritrosit per milimeterkubik atau
mikroliter darah. seperti hitung leukosit, untuk menghitung jumlah sel-sel eritrosit
ada dua metode, yaitu manual dan elektronik (automatik). Metode manual hampir
sama dengan hitung leukosit, yaitu menggunakan bilik hitung. Namun, hitung
eritrosit lebih sukar daripada hitung leukosit.
Prinsip hitung eritrosit manual adalah darah diencerkan dalam larutan
isotonis untuk memudahkan menghitung eritrosit dan mencegah hemolisis.
Larutan Pengencer yang digunakan adalah:
a. Larutan Hayem : Natrium sulfat 2.5 g, Natrium klorid 0.5 g, Merkuri klorid
0.25 g, aquadest 100 ml. Pada keadaan hiperglobulinemia, larutan ini tidak
dapat dipergunakan karena dapat menyebabkan precipitasi protein, rouleaux,
aglutinasi.
b. Larutan Gower : Natrium sulfat 12.5 g, Asam asetat glasial 33.3 ml, aquadest
200 ml. Larutan ini mencegah aglutinasi dan rouleaux.
c. Natrium klorid 0.85 %
Penurunan eritrosit
14
kehilangan darah (perdarahan), anemia, leukemia, infeksi kronis, mieloma
multipel, cairan per intra vena berlebih, gagal ginjal kronis, kehamilan, hidrasi
berlebihan.
Peningkatan eritrosit
Peningkatan eritrosit dapat meyebabkan polisitemia era,
hemokonsentrasi/dehidrasi, hipertensi , penyakit kardiovaskuler.
Menghitung jumlah eritrosit yang terkandung dalam darah memang
bukan suatu hal yang mudah karena sel-sel darah merah yang terkandung
dalam darah berukuran sangat kecil sehingga dibutuhkan seperangkat alat
yang dinamakan dengan Haemocytometer dengan bantuan mikroskop. Dalam
proses penghitungan sel-sel darah merah dibutuhkan juga ketelitian dan
konsisten dalam cara menghitung. Penghitungan sel-sel darah merah dihitung
di dalam kamar hitung yang bersakala atau berukuran kecil dengan jumlah 80
buah. Namun pada saat dilakukan percobaan bisa saja kita mendapatkan
kesalahan, yang mana akan sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan, oleh
karena itu ketelitian sangat diperlukan dalam praktikum ini.
Sumber kesalahan :
a. Jumlah darah/larutan Heyem yang diisap kedalam pipet tidak tepat.
b. Memakai pipet yang basah
c. Berkurangnya darah dalam pipet pada waktu penghapusan darah yang
melekat pada bagian luar ujung pipet.
d. Terjadinya gelembung udara dalam pipet pada waktu menghisap
darah/larutan pengencer.
e. Adanya bekuan darah
f. Darah tidak homogen
g. Kamr hitung/kaca penutup kotor
h. Ada gelembung udara yang masuk pada waktu pengisian kamar
hitung
i. Letak kaca penutup tidak tepat
15
j. Meja mikroskop tidak datar
k. Menghitung sel yang menyinggung garis batas tidak benar
l. Kaca penutup bergeser karena tersebtuh oleh lensa mikroskop
m. Larutan pengencer kotor
n. Menghitung eritrosit tidak memakai lensa obyektif 40x sehingga
kurang teliti.
B. PEMERIKSAAN HEMATOKRIT
Pada praktikum pemeriksaan hematokrit, hasil akhir yang didapatkan
yakni 39 %. Hasil ini termasuk normal sesuai dengan nilai rujukan menurut
Dacie :
1. Pria : 47 ± 7%
2. Wanita : 42 ± 5 %
3. Bayi baru lahir : 54 ± 10 %
4. 3 bulan : 38 ± 6 %
5. 3-6 bulan : 40 ± 45 %
6. 10-12 bulan : 41 ± 4 %
Prinsip pemeriksaan hematokrit cara manual yaitu darah yang
mengandung antikoagulan disentrifuse dan total sel darah merah dapat dinyatakan
sebagai persen atau pecahan desimal Penetapan nilai hematokrit cara manual dapat
dilakukan dengan metode makrohematokrit atau metode mikrohetokrit. Pada cara
makrohematokrit digunakan tabung Wintrobe yang mempunyai diameter dalam
2,5 – 3 mm,panjang 110 mm dengan skala interval 1 mm sepanjang 100 mm dan
volumenya ialah 1 ml. pada cara mikrohematokrit digunakan tabung kapiler yang
panjangnya 75 mm dan diameter dalam 1 mm, tabung ini ada dua jenis, ada yang
dilapisi antikoagulan Na2EDTA atau heparin dibagian dalamnya dan ada yang
tanpa koagulan. Tabung kapiler dengan anti koagulan dipakai bila menggunakan
darah tanpa anti koagulan seperti darah kapiler, sedangkan tabung kapiler dengan
antikoagulan dipakai bila menggunakan darah dengan anti koagulan seperti darah
16
vena. Metode mikrohematokrit mempunyai keunggulan lebih cepat dan sederhana
(Harjdjoeno, 2007).
Penurunan kadar hematokrit dapat terjadi pada beberapa kondisi tubuh,
seperti anemia kehilangan darah akut, leukemia, kehamilan,malnutrisi,gagal ginjal.
Sedangkan peningkatan kadar dapat terjadi pada beberapa kondisi : dehidrasi,
diare berat, luka baker, pembedahan. Pemeriksaan hematokrit merupakan salah
satu pemeriksaan laboratorium dalam mendiagnosa penyakit demam berdarah,
dimana pada kasus tersebut terjadi penurunan kadar trombosit (trombositopeumia)
secara derastis sampai dibawah 100.00 / mm3 yang diikuti dengan peningkatan
kadar hematokrit 20 % atau lebih yang menunjukkan terjadi perembesan plasma
atau lebih, dianggap menjadi bukti definitive adanya peningkatan permiabelitas
vaskuler. Pada kasus tersebut kadar hematokrit dapat dipengaruhi baik pada
pergantian volume tubuh secara dini atau oleh perdarahan.
Hematokrit biasanya tiga kali nilai Hb, kecuali bila ada bentuk dan besar
eritrosit abnormal. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai hematokrit ialah
jumlah lekosit yang cukup tinggi, nilai glukosa dan natrium darah yang tinggi,
hemolisis, dan kesalahan tehnik misalnya penggunaan antikoagulan yang tidak
tepat (Hardjoeno, H. 2007).
Variabel-variabel yang cenderung meningkatkan dan menurunkan nilai
Hematokrit :
1. Meningkatnya nilai Hematokrit dapat disebabkan oleh dehidrasi, waktu tornikuet
berkepanjangan, terpapar suhu dingin, peningkatan aktivitas otot, posisi berdiri
tegak,diare berat, luka bakar, pembedahan dan teknik centrifugasi.
2. Menurunnya nilai hematokrit dapat terjadi pada beberapa kondisi tubuh seperti:
anemia, leukimia, malnutrisi dan gagal ginjal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan Hematokrit:
a. Kecepatan centrifuge
17
Makin tinggi kecepatan centrifuge semakin cepat terjadinya
pengendapan eritrosit dan begitu pula sebaliknya, semakin rendah kecepatan
centrifuge semakin lambat terjadinya pengendapan eritrosit. Pengaruh
kecepatan centrifuge, dapat kita lihat pada hasil pemeriksaan hematokrit
dengan menggunakan kecepatan centrifuge 16.000 rpm dan selama 2-3 menit
yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna.
b. Waktu centritugasi
Selain radius dan kecepatan centrifuge, lamanya centrifugasi juga
berpengaruh terhadap hasil pemeriksaan hematokrit. Makin lama centrifugasi
dilakukan maka hasil yang diperoleh semakin maksimal.
Beberapa sumber kesalahan dan pemeriksaan hematokrit yang
mungkin terjadi pada pemeriksaan hematokrit terdiri dari :
1. Tahap pra analitik
Pada proses pengambilan sampel misalnya ujung jari yang masih basah
oleh alkohol akan mempengaruhi hasil pemeriksaan.
2. Tahap analitik
Pada tahap ini, kesalahan dapat berasal dari :
a. Alat: apabila alat yang digunakan kurang bersih dan tidak kering.
b. Sampel: kesalahan dan sampel dapat berasal dari apabila Pemeriksaan
hematokrit tidak dikerjakan dalam waktu yang cepat
setelah pengambilan darah, karena sampel darah yang dibiarkan terlalu
lama akan berbentuk sferik sehingga sukar membentuk reuleux dan
hasil pemeriksaan hematokrit menjadi lebih lambat, sampel yang
digunakan hemolisis dan membeku.
c. Metode: kesalahan dapat berasal dari waktu sentrifugasi, kecepatan
cenntrifuge tidak sesuai.
d. Tenaga analis: apabila pembacaan skala yang kurang akurat atau tepat.
18
3. Tahap pasca analitik
Kesalahan pada tahap ini biasanya bersifat administratif, misalnya salah
menuliskan hasil (Hardjoeno, H. 2007).
C. Pemeriksaan Indeks Leukosit
Pada praktikum ini, kami menghitung tiga macam indeks eritrosit, yakni
:
1. MCV/VER
Hasil akhir : 100 Fl
Hasil ini tidak normal karena tidak sesuai dengan nilai normalnya yakni 82-92
fL.
2. MCH/HER
Hasil akhir : 25,6 pg
Hasil ini tidak normal karena tidak sesuai dengan nilai normalnya yakni 27-32
pg.
3. MCHC/KHER
Hasil akhir : 25 %
Hasil ini tidak normal karena tidak sesuai dengan nilai normal yakni 32 – 37 %
a. Volume eritrosit rata-rata (VER) atau mean corpuscular volume (MCV)
MCV mengindikasikan ukuran eritrosit : mikrositik (ukuran kecil), normositik
(ukuran normal), dan makrositik (ukuran besar). Nilai MCV diperoleh dengan
mengalikan hematokrit 10 kali lalu membaginya dengan hitung eritrosit.
MCV = (hematokrit x 10) : hitung eritrosit
Nilai rujukan :
1. Dewasa : 82-92 fL (baca femtoliter)
2. Bayi baru lahir : 98 - 122 fL
3. Anak usia 1-3 tahun : 73 - 101 fL
19
4. Anak usia 4-5 tahun : 72 - 88 fL
5. Anak usia 6-10 tahun : 69 - 93 fL
Masalah klinis :
Penurunan nilai : anemia mikrositik, anemia defisiensi besi (ADB),
malignansi, artritis reumatoid, hemoglobinopati (talasemia, anemia sel sabit,
hemoglobin C), keracunan timbal, radiasi.
Peningkatan nilai : anemia makrositik, aplastik, hemolitik, pernisiosa;
penyakit hati kronis; hipotiroidisme (miksedema); pengaruh obat (defisiensi vit
B12, antikonvulsan, antimetabolik).
b. Hemoglobin eritrosit rata-rata (HER) atau mean corpuscular hemoglobin
(MCH)
MCH mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa
memperhatikan ukurannya. MCH diperoleh dengan mengalikan kadar Hb 10
kali, lalu membaginya dengan hitung eritrosit.
MCH = (hemoglobinx10) : hitung eritrosit
Nilai rujukan :
1. Dewasa : 27-32 pg (baca pikogram)
2. Bayi baru lahir : 33 - 41 pg
3. Anak usia 1-5 tahun : 23 - 31 pg
4. Anak usia 6-10 tahun : 22 - 34 pg
MCH dijumpai meningkat pada anemia makrositik-normokromik atau
sferositosis, dan menurun pada anemia mikrositik-normokromik atau anemia
mikrositik-hipokromik.
20
c. Kadar hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER) atau mean corpuscular
hemoglobin concentration (MCHC)
MCHC mengindikasikan konsentrasi hemoglobin per unit volume
eritrosit. Penurunan nilai MCHC dijumpai pada anemia hipokromik, defisiensi
zat besi serta talasemia. Nilai MCHC dihitung dari nilai MCH dan MCV atau
dari hemoglobin dan hematokrit.
MCHC = ( MCH : MCV ) x 100 % atau MCHC = ( Hb : Hmt ) x 100 %
Nilai rujukan :
1. Dewasa : 32 - 36 %
2. Bayi baru lahir : 31 - 35 %
3. Anak usia 1.5 - 3 tahun : 26 - 34 %
4. Anak usia 5 - 10 tahun : 32 - 36 %
Cara perhitungan inilah yang sering mendasari index wintrobe dapat
diperhitungkan dari nilai variable yang didapat pada pemeriksaan darah rutin.
Cara Manual lebih menghemat biaya. Namun memerlukan sampel banyak,
waktu lama dan kesalahan lebih besar baik dari perhitungan maupun
pemeriksaan hasil dari variabel – variabel tersebut dimana metode manual
kurang akurat. ( R Gandasoebrata, 2006 ).
D. Hitung Jenis Leukosit
Pada praktikum ini, hasil akhir yang kami dapat yakni :
Eos/Baso/Stab netro/Segmen netro/Limfo/Mono
2 / - / 4 / 80 / 12 / 2
Nilai normal menurut Miller :
Eusinofil : 1-4 %
Basofil : 0-1 %
Stab : 2-5 %
21
Segmen : 50-70 %
Limfosit : 20-40 %
Monosit : 1-6 %
Interpretasi:
Eusinofil : Normal
Basofil : Normal
Stab Netrofil : Normal
Segmen Netrofil : Abnormal
Limfosit : Abnormal
Monosit : Normal
Hitung jenis leukosit adalah penghitungan jenis leukosit yang ada dalam
darah berdasarkan proporsi (%) tiap jenis leukosit dari seluruh jumlah
leukosit. Untuk mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel
maka nilai relatif (%) dikalikan jumlah leukosit total (sel/µl). Sebagai
contohnya, dengan limfosit 30% dan leukosit 10.000, limfosit mutlak adalah
30% dari 10.000 atau 3.000. Hasil pemeriksaan ini dapat menggambarkan
secara spesifik kejadian dan proses penyakit dalam tubuh, terutama penyakit
infeksi. Tipe leukosit yang dihitung ada 5 yaitu basofil, eosinofil, neutrofil,
monosit, dan limfosit (Gandosoebrata, 2010).
Untuk melakukan hitung jenis leukosit, pertama membuat sediaan
apus darah yang diwarnai dengan pewarna Giemsa, Wright atau May
Grunwald. Amati di bawah mikroskop dan hitung jenis-jenis leukosit hingga
didapatkan 100 sel. Tiap jenis sel darah putih dinyatakan dalam persen (%)
(Gandosoebrata, 2010).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam hitung jenis leukosit adalah
(Gandosoebrata, 2010) :
a. Pilihlah sediaan yang cukup tipis dengan persebaran leukosit yang
merata.
22
b. Mulailah menghitung pada pinggir atas sediaan dan berpindahlah
ke arah pinggir bawah sediaan dan setelah itu geser ke kanan
kemudiaan ke arah pinggir atas lagi. Sesampai di pinggir atas
geser ke kanan lagi kemudian ke arah pinggir bawah.
c. Lakukan pengerjaan itu sampai 100 sel leukosit terhitung menurut
jenisnya.
d. Selain menghitung, catatlah adanya kelainan morfologi pada
leukosit.
e. Hendaknya pelaporan jumlah leukosit sesuai urutan yang pasti
dimulai dari sel basofil, eosinofil, neutrofil menurut stadiumnya,
limfosit dan terakhir monosit.
Ciri sediaan yang baik sebagai berikut (Gandosoebrata, 2010) :
1. Sediaan tidak melebar samoa tepi kaca objek. Panjang 1/2 - 2/3
panjang objek glass.
2. Mempunyai bagian yang cukup tipis untuk diperiksa. Pada bagian
ini eritrosit terletak berdekatan tidak bertumpukan atau
menggumpal atau membentuk Roleaux.
3. Pinggir sediaan rata dan tidak berlubang-lubang/bergaris-garis.
4. Penyebaran leukosit baik tidak berkumpul pada pinggir atau tepi
sediaan.
Jika lebih dari 24 jam penundaan maka sel akan mengalami lisis,
vakuolisasi, degranulasi, hipersegmentasi inti dan karioreksis. Efek
antikoagulan EDTA (Gandosoebrata, 2010) :
a. bila jumlah yang dipakai kurang maka darah membeku.
b. bila jumlah pemakaian berlebih maka akan mempengaruhi
morfologi leukosit.
23
Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang terlibat dalam reaksi alergi
jangka panjang seperti asma, alergi kulit, dan lain-lain. Nilai normal dalam
tubuh: 0 - 1%. Sel ini jarang ditemukan dalam darah tepi normal. Sel ini
mempunyai banyak granula sitoplasma yang gelap menutup inti serta
mengandung heparin dan histamin. Pada reaksi antigen-antibodi basofil akan
melepaskan histamin dari granulanya. Di dalam jaringan basofil berubah
menjadi sel mast basofil mrmpunyai tempat perlekatan immunoglobulin E
(IgE) dan degranulasinya disertai dengan pelepasan histamin. Basofil terutama
bertanggung jawab untuk memberi reaksi alergi dan antigen dengan jalan
mengeluarkan histamin kimia yang menyebabkan peradangan (Hoffbrand,
2012).
Basofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah basofil lebih dari
100/µl darah. Peningkatan basofil terdapat pada proses inflamasi(radang),
leukemia, dan fase penyembuhan infeksi. Penurunan basofil terjadi pada
penderita stress, reaksi hipersensitivitas (alergi), dan kehamilan (Hoffbrand,
2012).
Eosinofil
Eosinofil merupakan jenis leukosit yang terlibat dalam alergi dan
infeksi (terutama parasit) dalam tubuh. Nilai normal dalam tubuh: 1 - 3%. Sel
ini mirip dengan neutrofil kecuali granula sitoplasmanya lebih kasar, lebih
berwarana merah tua, jarang dijumpai lebih dari 3 lobus inti. Sel ini memasuki
eksudat inflamatorik dan berperan khusus dalam respon alergi, pertahanan
terhadap parasit, dan pembuangan fibrin yang terbentuk selama inflamasi
(Hoffbrand, 2012).
Eosinofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah eosinofil lebih
dari 300/µl darah. Eosinofilia terutama dijumpai pada keadaan alergi, infeksi
parasit. Histamin yang dilepaskan pada reaksi antigen-antibodi merupakan
substansi khemotaksis yang menarik eosinofil. Penyebab lain dari eosinofilia
24
adalah penyakit kulit kronik, dan kanker tulang, otak, testis, dan ovarium
(Hoffbrand, 2012).
Eosinopenia adalah suatu keadaan dimana jumlah eosinofil kurang
dari 50/µl darah. Hal ini dapat dijumpai pada keadaan stress seperti syok, luka
bakar, perdarahan dan infeksi berat, juga dapat terjadi pada hiperfungsi koreks
adrenal dan pengobatan dengan kortikosteroid. Pemberian epinefrin akan
menyebabkan penurunan jumlah eosinofil dan basofil, sedang jumlah monosit
akan menurun pada infeksi akut. Walaupun demikian, jumlah basofil,
eosinofil dan monosit yang kurang dari normal kurang bermakna dalam
klinik. Pada hitung jenis leukosit pada pada orang normal, sering tidak
dijumlah basofil maupun eosinophil (Hoffbrand, 2012).
Neutrofil
Neutrofil merupakan sel yang paling cepat bereaksi terhadap
radang dan luka dibanding leukosit yang lain dan merupakan pertahanan
selama fase infeksi akut. Sel ini mempunyai inti padat khas yang terdiri atas
2-5 lobus dan sitoplasma yang pucat dengan batas tida beraturan, mengandung
banyak granula merah-biru (azurofilik) atau kelabu - biru. Granula terbagi
menjadi granula primer yang muncul pada stadium promielosit, dan sekunder
yang muncul pada stadium mielosit dan terbanyak pada neutrofil matang.
Nilai normal dalam tubuh adalah 1 – 5% untuk neutrofil batang dan 50 – 70%
untuk neutrofil segmen (Hoffbrand, 2012).
Netrofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil lebih dari
7000/µl dalam darah tepi. Penyebab biasanya adalah infeksi bakteri,
keracunan bahan kimia dan logam berat, gangguan metabolik seperti uremia,
nekrosia jaringan, kehilangan darah dan radang Banyak faktor yang
mempengaruhi respons netrofil terhadap infeksi, seperti penyebab infeksi,
virulensi kuman, respons penderita, luas peradangan dan pengobatan. Pada
anak-anak netrofilia biasanya lebih tinggi dari pada orang dewasa.
Rangsangan yang menimbulkan netrofilia dapat mengakibatkan dilepasnya
25
granulosit muda ke peredaran darah dan keadaan ini disebut pergeseran ke kiri
atau shift to the left. Infeksi tanpa netrofilia atau dengan netrofilia ringan
disertai banyak sel muda menunjukkan infeksi yang tidak teratasi atau respons
penderita yang kurang. Pada infeksi berat dan keadaan toksik dapat dijumpai
tanda degenerasi, yang sering dijumpai pada netrofil adalah granula yang
lebih kasar dan gelap yang disebut granulasi toksik (Hoffbrand, 2012).
Netropenia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil kurang
dari 2500/µl darah. Penyebab netropenia dapat disebabkan karena
pemindahan netrofil dari peredaran darah misalnya umur netrofil yang
memendek karena penggunaan obat, gangguan pembentukan netrofil yang
dapat terjadi akibat radiasi atau obat-obatan dan yang terakhir yang tidak
diketahui penyebabnya. Penurunan jumlah neutrofil terdapat pada infeksi
virus, leukemia, anemia defisiensi besi, dan Iain-Iain (Hoffbrand, 2012).
Limfosit
Limfosit adalah jenis leukosit agranuler dimana sel ini berukuran
kecil dan sitoplasmanya sedikit. Salah satu leukosit yang berperan dalam
proses kekebalan dan pembentukan antibodi. Nilai normal: 20 - 40% dari
seluruh leukosit. Limfosit adalah sel yang kompeten secara imunologik dan
membantu fagosit dalam petahanan tubuh terhadap infeksi dan invasi asing
lain. Limfosit lebih umum dalam sistem limfa. Darah mempunyai tiga jenis
limfosit, yaitu (Hoffbrand, 2012) :
a. Sel B.
Berfungsi membuat antbodi yang mengikat patogen lalu
menghancurkannya (sel B tidak hanya membuat antibodi yang dapat mengikat
patogen tetapi setelah adanya serangan, beberapa sel B akan mempertahankan
kemampuannya dalam menghasilkan antibodi sebagai layanan sistem
'memori').
b. Sel T = CD+4 (pembantu)
26
Berfungsi mengkoordinir tanggapan ketahanan (yang bertahan dalam
infeksi HIV) serta penting untuk menahan bakteri intraseluler. CD+8
(sitotoksik) dapat membunuh sel yang terinfeksi virus
c. Sel natural killer = sel pembunuh alami (NK, Natural Killer) dapat
membunuh sel tubuh yang tidak menunjukkan sinyal bahwa dia tidak boleh
dibinuh karena telah terinfeksi virus atau telah menjadi kanker.
Limfositosis adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan
jumlah limfosit lebih dari 8000/µl pada bayi dan anak-anak serta lebih dari
4000/µl darah pada dewasa. Limfositosis dapat disebabkan oleh infeksi virus
seperti morbili, mononukleosis infeksiosa; infeksi kronik seperti tuberkulosis,
sifilis, pertusis dan oleh kelainan limfoproliferatif seperti leukemia limfositik
kronik dan makroglobulinemia primer (Hoffbrand, 2012).
Pada orang dewasa limfopenia terjadi bila jumlah limfosit kurang
dari 1000/µl dan pada anak-anak kurang dari 3000/µl darah. Penyebab
limfopenia adalah produksi limfosit yang menurun yang disebabkan oleh
kortikosteroid dan obat-obat sitotoksis (Hoffbrand, 2012).
Monosit
Monosit merupakan salah satu leukosit yang berinti besar dengan
ukuran 2x lebih besar dari eritrosit sel darah merah, terbesar dalam sirkulasi
darah dan diproduksi di jaringan limpatik. Nilai normal dalam tubuh: 2 - 8%
dari jumlah seluruh leukosit. biasanya berukuran lebih besar dari leukosit
darah tepi lainnya dan mempunyai inti sentral berbentuk lonjong atau
berlekuk dengan kromatin yang menggumpal. Sitoplasmanya yang banyak
berwarna biru dan mengandung banyak vakuola halus sehingga memberikan
gambaran kaca asah (ground-glass-apperance). Granula sitoplasma juga sering
d-glass-apperance. granula sitoplasma juga sering dijumpai. Monosit
membagi fungsi 'pembersih vakum' (fagositosis) dari neutrofil tetapi lebih
jauh dia hidup dengan tugas tambahan yaitu memberikan potongan patogen
27
kepada sel T sehingga patogen tersebut dapat dihafal dan dibunuh atau dapat
membuat tanggapan antibodi untuk menjaga (Hoffbrand, 2012)
Monositosis adalah suatu keadaan dimana jumlah monosit lebih
dari 750/µl pada anak dan lebih dari 800/µl darah pada orang dewasa.
Monositosis dijumpai pada beberapa penyakit infeksi baik oleh bakteri, virus,
protozoa maupun jamur. Penurunan monosit terdapat pada leukemia limposit
dan anemia aplastic (Hoffbrand, 2012).
28
BAB V
APLIKASI KLINIS
1. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya
cadangan besi tubuh sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang,
yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini ditandai
oleh anemia hipokromik mikrositer, besi serum menurun, TIBC (total iron
binding capacity) meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum menurun,
pengecatan besi sumsum tulang negative dan adanya respon terhadap pengobatan
dengan preparat besi.
Klasifikasi Defisiensi Besi Menurut Berat Defisiensi
Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi
besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
a. Deplesi besi (iron depleted state) : cadangan besi menurun, tetapi penyediaan
besi untuk eritropoesis belum terganggu.
b. Eritopoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis) : cadangan besi
kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul
anemia secara laboratorik.
c. Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi.
Etiologi Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi,
gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang didapat berasal
dari :
29
a. Saluran cerna : akibat dari tukak peptic, kanker lambung, kanker
kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang;
b. Saluran genitalia wanita : menorrhagia atau metrorhagia;
c. Saluran kemih : hematuria;
d. Saluran nafas : hemoptoe.
2. Factor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau
kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat,
rendah vitamin C, dan rendah daging).
3. Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan.
4. Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau colitis kronik.
Pathogenesis
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehinggan
cadangan besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut
iron depleted state. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka penyediaan
besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk
eritrrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai :
iron deficient erythropoeiesis. Selanjutnya timbul anemia hipokromik mikrositer
sehingga disebut sebagai iron deficient anemia. Pada saat ini juga terjadi
kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan
gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.
Gejala Anemia Defisiensi Besi
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan
besar, yaitu :
1. Gejala umum anemia
30
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di
bawah 7-8g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata
berkunang-kunang., serta mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena
penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali
sindrom anemia tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan anemia lain
yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat.
2. Gejala khas akibat defisiensi besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tidak dijumpai pada
anemia jenis lain, seperti :
a. Koilonychias : kuku sendok (spoon nail) : kuku menjadi rapuh, bergaris-
garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip, seperti sendok.
b. Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang.
c. Stomatitis angularis : adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak bewarna pucat keputihan.
d. Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring;
e. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
3. Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit
yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya, pada
anemia akibat cacing tambang dijumpai dyspepsia, parotis membengkak, dan
kulit telapak tangan bewarna kuning, seperti jerami. Pada anemia karena
perdarahan kronik akibat kanker dijumpai gejala tergangtung pada lokasi
kanker tersebut.
31
Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dpaat
dijumpai adalah :
1. Kadar hemoglobin dan ideks eritrosit : didapatkan anemia hipokromik
mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai
berat. MCV, MCHC, dan MCH menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan
pada anemia defisiensi besi dan thalassemia mayor. RDW meningkat yang
menandakan adanya anisositosis. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami
perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering
turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena
anemia timbul perlahan-lahan.
2. Kadar besi serum menurun < 50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC)
meningkat >350 mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.
3. Kadar serum feritin < 20 µg/dl. Jika terdapat inflamasi maka feritin serum
sampai dengan 60 µ/dl masih dapat menunjukn adanya defisiensi besi.
4. Rotoporfirin eritrosit meningkat ( > 100 µg/dl).
5. Sumsum tulang : menunjukan hyperplasia normoblastik dengan normablast
kecil-kecil (micronormoblast) dominan.
6. Pada laboratorium yang maju dapat diperiksa reseptor transferin : kadar
reseptor transferin meningkat pada anemia defisiensi bsi, normal pada anemia
akibat penyakit kronik dan thalassemia.
7. Pengecatan besi sumsum tulang denga biru prusia menunjukan cadangan besi
yang negative.
8. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi.
32
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium
yang tepat. Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi
besi dapat dipakai criteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari
criteria Kerlin et al) sebagai berikut :
Anemia hipokromik mikrositer pada apusann darah tepi, atau MCV < 80 fl
dan MCHC < 31 % dengan salah satu dari a, b, c atau d.
1. Dua dari tiga parameter dibawah ini :
a. Besi serum <50 mg/dl
b. TIBC > 350 mg/dl
c. Saturasi transferin : < 15 %
2. Feritin serum < 20 µg/dl
3. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia menunjukan cadangan besi
negative.
4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari selama 4 minggu disertai
kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.
Terapi
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi.
Terapi terhadap anemia defisiensi besi dapat berupa :
1. Terapi kausal : tergantung penyebabnya, misalnya : pengobatan cacing
tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menoragia. Terapi kausal harus
dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh lagi.
2. Pemeberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh :
a. Besi per oral : merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah dan
aman. Preparat yang tersedia, yaitu :
33
i. Ferrous sulphat : preparat pilihan pertama (murah dan efektif). Dosis
3x200 mg.
ii. Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous
succinate, harga lebih mahal, tetapi eektivitas dan efek samping hamper
sama.
Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong,
tetapi efek samping lebih banyak dibandingkan dengan pemberian
setelah makan. Efek samping dapat berupa mual, muntah, serta
konstipasi. Pengobatan diberikan sampai 6 bulan setelah kadar
hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi btubuh. Kalau tidak,
anemia kambuh lagi.
b. Besi parenteral
Efek samping lebih berbahaya, serta harganya lebih mahal.
Indikasi, yaitu :
i. Intoleransi oral berat;
ii. Kepatuhan berobat kurang;
iii.Colitis ulserativa;
iv. Perlu peningkatan Hb secara cepat (missal preoperasi, hamil trimester
akhir).
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol
citric acid complex. Dapat diberikan secara intramuscular dalam atau
intravena pelan. Efek samping : reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala,
flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop. Dosis besi parenteral :
harus dihitung dengan tepat karena besi berlebihan akan membahayakan
pasien.
34
3. Pengobatan lain
a. Diet : sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama
yang berasal dari protein hewani.
b. Vitamin C : vitamin c diberikan x 100 mg per hari untuk meningkatkan
absorpsi besi.
c. Transfuse darah : anemia kekurangan besi jarang memerlukan transfuse
darah. Indikasi pemberian transfuse darah pada anemia kekurangan besi
adalah :
i. Adanya penyakit jantung anermik dengan ancaman payah jantung
ii. Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing
yang sangat mencolok.
iii.Penderita memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat,
seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi.
Jenis darah yang diberikan adalah PRC untuk mengurasngi bahaya
overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid
intravena.
2. Leukemia Myeloid Kronik
Leukemia myeloid kronik merupakan leukemia kronik, dengan gejala
yang timbul perlahan-lahan dan sel leukemia berasal dari transformasi sel
induk myeloid. LMK termasuk kelainan klonal dari pluripotent stem cell dan
tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif.
LMK terdiri atas enam jenis leukemia, yaitu :
1. Leukemia myeloid kronik, Ph positif
2. Leukemia myeloid kronik, Ph negative
3. Juvenile chronic myeloid leukemia
4. Chronic neutrophilic leukemia
35
5. Eosinophilic leukemia
6. Chronic myelomonocytic leukemia
Epidemiologi
1. LMK merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik
yang paling sering dijumpai di Indonesia.
2. Insiden LMK di Negara barat : 1-1,4/100.000 / tahun.
3. Umumnya LMK mengenai usia pertengahan dengan puncak pada umur
40-50 tahun. Pada anak-anak dapat dijumpai bentuk juvenile LMK.
Pathogenesis
Pada LMK dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu
reciprocal translocation 9,22 (t 9;22). Pada t(9;22) terjadi translokasi
sebagian materi genetik pada lengan panjang kromosom 22 ke lengan panjang
kromosom 9 yang bersifat resiprokal. Sebagian akibatnya sebagian sebesar
onkogen ABL pada resiprokal. Sebagian akibatnya sebagian besar onkogen
ABL pada lengan panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung)
dengan onkogen BCR pada lengan panjang 22. Akibatnya terjadi gabungan
onkogen baru (chimeric oncogen) yaitu bct-abl oncogen. Gen baru akan
mentranskripsikan chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric protein (protein
210 kd). Timbulnya protein baru ini akan mempengaruhi transduksi sinyl
terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan
dorongan proliferasi pada sel-sel myeloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini
menyebabkan proliferasi pada seri myeloid.
Gejala Klinik
Gejala klinik LMK tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit
tersebut, yaitu :
36
a. Fase kronik terdiri atas :
1. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia,
berkeringat malam.
2. Splenomegali hamper selalu ada, sering massif.
3. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
4. Gejala gout, gangguan penglihatan dan priapismus.
5. Anemia pada fase awal sering hanya ringan.
6. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat
check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.
b. Fase transformasi akut terdiri atas :
1. Perubahan terjadi pelan-pelan dengan prodroml selama 6 bulan,
disebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru : demam, lelah,
nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons terhadap
kemoterapi menurun, leukositosis meningkat dan trombosit menurun
dan akhirnya menjadi gambaran leukemia akut.
2. Pada sepertiga penderita, perubahan terjadi secara mendadak, tanpa
didahului masa prodromal keadaan ini disebut krisis blastik. Tanpa
pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2 bulan.
Terapi
Terapi LMK tegantung dari fase penyakit, yaitu :
1. Fase kronik
Obat pilihan :
37
a. Basulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit
diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya. Obat
dihentikan jika leukosit 20.000/mm3. Terapi dimulai jika leukosit
naik menjadi 50.000/mm3. Efek samping dapat berupa aplasia
sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya
leukemia akut.
b. Hydroxiurea, memerlukan pengaturan dosis lebih sering, tetapi
efek samping minimal. Dosis mulai dititrasi dari 500 mg sampai
2000 mg. kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai
leukosit 10.000-15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit dan
bahaya, keganasan hamper tidak ada.
c. Interferon α biasanya diberikan setelah jumlah leukosit terkontrol
oleh hidroksiurea. Pada LMK fase kronik interferon dapat
memberikan remisi hematologic pada 80% kasus, tetapi remisi
sitogenetik hanya mencapai pada 5-10% kasus.
2. Terapi fase akselerasi : sama dengan terapi leukemia akut, tetapi
respons sangat rendah.
3. Transplantasi sumsum tulang : memberikan harapan penyembuhan
jangka panjang terutama untuk penderita yang berumur kurang dari 40
tahun.
3. Penyakit Hodgkin
Penyakit Hodgkin atau limfoma Hodgkin adalah limfoma maligna yang khas
ditandai oleh adanya sel Reed Sternberg dengan latar belakang sel radang
pleomorf.
38
Epidemiologi
Penyakit Hodgkin merupakan penyakit yang relative jarang di jumpai, hanya
merupakan 1% dari seluruh kanker. Insidennya di Negara barat dilaporkan
laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 2:1. Seperti
halnya dengan keganasan lain, penyebab penyakit Hodgkin mungkin belum
diketahui secara pasti. Tetapi genom virus Epstein-Barr dijumpai pada lebih
dari 50% kasus, tetapi perannya pada pathogenesis penyakit Hodgkin belum
jelas.
Patologi
Susunan histopatologik penyakit Hodgkin bersifat khas, dimana sel ganas (sel
R-S) merupakan minoritas, latar belakang sekelilingnya adalah sel-sel
inflamasi yang bersifat nonneoplastik. Sel ganas dari penyakit Hodgkin terdiri
atas :
1. Sel Reed Sternberg = sel R-S merupakan sel yang besar, berinti banyak
dan polipoid. Jika khas menunjukan dua buat inti dan menyerupai mata
burung hantu (owl eye). Hanya sel R-S yang patognomonik untuk
diagnostic penyakit Hodgkin.
2. Sel Hodgkin = H-cell merupakan sel pre Reed Sternberg.
3. Lacunar cell = sel lacuna dijumpai pada limfoma Hodgkin tipe nodular
sclerosis.
4. Varian L & H = the L & H variant
5. Varian pleomorf
Sel ganas penyakit Hodgkin, seperti halnya pada neoplasma ganas lainnya
bersifat monoclonal, sedangkan sel-sel latar belakang merupakan sel inflamasi
yang bersifat reaktif.
39
Diagnosis
Diagnosis harus dibuat berdasarkan pemeriksaan histopatologik dengan
menemukan adanya sel R-S dengan latar belakang histologik yang sesuai
(appropriate). Diagnosis awal dapat dibuat secara akurat dari bahan kelenjar
getah bening hasil biopsy eksisi, bukan dari biopsy aspirasi. Setelah diagnosis
ditegakkan maka harus dilanjutkan dengan penentuan derajat penyakit, karena
hal ini akan menentukan strategi terapi dan prognosis penderita.
Terapi
Terapi untuk penyakit Hodgkin terdiri atas terapi spesifik dan terapi suportif.
Modalitas terapi spesifik untuk penyakit Hodgkin terdiri atas :
1. Radioterapi
2. Kemoterapi
3. Kombinasi radioterapi dan kemoterapi.
40
DAFTAR PUSTAKA
Bakta Made. 2006. Buku Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta:EGC.
Efendi, Zukesti, dr. 2009. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik Dalam
Tubuh. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1-7.
Gandasoebrata.R. 2006. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian Rakyat.
Harjdjoeno, H. 2007. Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik Edisi III.
Makassar: LPI UNHAS.
Hasyimzoem, N. C. 2014. Leukemia Limfoblastik Akut pada Dewasa Dengan
Multiple Limfadenopati. Medula 2.01: 36-42.
Hoffbrand,A.V.2012.Kapita Selekta Hematologi edisi keempat.Jakarta:EGC
Imamullah, Adil Yuni. 2014. Analisis Jumlah Leukosit pada Darah Penderita Infark
Miokardial Akut (Penelitian Observasional Klinis).
Kartamihardja, Emmy. 2009. Anemia Defisiensi Besi. Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Kurniawan, Indra. 2011. Iron defi ciency anemia in the elderly. Med J Indones, Vol.
20, No. 1, Februari 2011:71-77.
Lubis, Ramona Dumasari, dr. 2009. Anemia pada Penyakit Kusta. Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. 1-10.
Margina, Dina Sophia, Sianny Herawati, And I. W. P. Sutirta Yasa. 2014. Diagnosis
Laboratorik Anemia Defisiensi Besi. E-Jurnal Medika Udayana 3.1: 58-69.
Mehta, Atul. 2006. At Glance Hematologi edisi Kedua.
Muhammad, Adang, dkk. 2010. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit Kronis
Menggunakan Peran Indeks sTfR-F. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada /RS Dr. Sardjito, Yogyakarta. 9-16.
Muslim, Azhari, dkk. 2006. Buku Penuntun Praktikum Hematologi. Tanjung
Karang : Poltekkes.
41
Nugrohowati, Annta Kern. 2014. Korelasi Status Gizi, Asupan Zat Besi Dengan
Kadar Feritin Pada Anak Usia 2-5 Tahun Di Kelurahan Semanggi Surakarta.
Jurnal Kesehatan Masyarakat (Journal of Public Health) 8.1.
Pangesti, Ira. 2012. Eritrosit. Jakarta : Penerbit UniMus.
Pradhana, Theofilus Ardy. 2011. Pencucian Eritrosit Darah Manusia Untuk
Mengoptimalkan Pertumbuhan Haemophilus Influenzae Pada Media Agar
Coklat Dari Darah Manusia. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Price, Sylvia A., dan Lorraine M. Wilson. 2013. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
42
LAMPIRAN 1
Gb. 1. Pemeriksaan Hitung Jenis Leukosit
Gb. 2. Pemeriksaan Jumlah
Hematokrit
43