LAPORAN AKHIR
PEMANFAATAN PATI KULIT PISANG SEBAGAI
BAHAN BAKU BIODEGRADBLE FOAM
MENGGUNAKAN PROTEIN NABATI DAN
HEWANI SEBAGAI BLOWING AGENT
Laporan Akhir ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Lulus
Program Diploma III JurusanTeknik Kimia
Di susun oleh :
YULIA IRNA LESTARI (1331410031)
PUTRI ANGGRAINI WULANSARI (1331410104)
JURUSAN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI MALANG
2016
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Polistirena atau yang biasa disebut Styrofoam kini telah banyak
digunakan dalam berbagai macam industri, seperti: industri makanan,
peralatan elektronik, minuman ringan hingga tempat menyimpan es.
Styrofoam banyak digunakan karena dapat mempertahankan suhu lebih
lama, daya tahannya cukup kuat dan juga harga yang sangat terjangkau.
Selain itu, Styrofoam juga sangat ringan sehingga cocok untuk
pengemasan alat elektronik yang berat.
Namun, Styrofoam sebagai packaging membutuhkan waktu
beratus-ratus tahun untuk bisa terurai dan dapat menyebabkan masalah
lingkungan yang cukup serius ( Mali et al., Schmith and Laurindo,
2010). Pada proses produksi styrofoam, limbah yang dihasilkan tidak
sedikit, sehingga dikategorikan sebagai penghasil limbah berbahaya ke-
5 oleh EPA (Environmental Protection Agency). Oleh karena itu, mulai
banyak dikembangkan produk polimer biodegradable, salah satunya
adalah membuat polipaduan berbasis pati ( Nanik hendrawati, dkk.,
2015).
Schmitd (2006) mengatakan bahwa, pati singkong mengandung
lebih dari 30% serat selulosa ditunjukkan dengan rongga-rongga yang
berpengaruh pada daya mekaniknya. Biodegradable foam yang
diproduksi dari pati singkong, 30% serat dan 4% kitosan memiliki
bentuk yang hampir sama dengan Styrofoam. Kitosan sangat
mempengaruhi daya serap air pada biodegradable foam, semakin tinggi
kitosan yang ditambahkan dalam adonan, maka akan semakin baik daya
serap airnya ( Nattapon K., dkk, 2012 ). Karena pati dari singkong lebih
banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan, maka kami memanfaatkan
pati dari limbah kulit pisang yang umumnya masih belum banyak
dikonsumsi oleh masyarakat luas. Komposisi kulit pisang memiliki air
68,9%, karbohidrat (zat pati) 18,5%, lemak 2,11%, protein 0,32% dan
komposisi kandungan kimia lainnya (Munadjim, 1983). Kulit pisang
digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodegradable foam karena
didalamnya terdapat karbohidrat (pati) yang dapat digunakan sebagai
bahan baku utama.
Pada percobaan yang dilakukan oleh Pablo, dkk (2008), protein
dari bunga matahari berbengaruh pada ketebalan, daya serap air dan
daya retak pada biodegradable foam. Magnesium stearat bertindak
sebagai agen pelepas jamur, mencegah jamur lengket pada pati (R.L.
Shogren, 2002). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh P.
Cinelli, dkk, (2006), serat jagung bukan serat yang dapat meperkuat
untuk pembuatan biodegradable foam menggunakan nampan berbasis
pati. Kekuatan daya tarik dan fleksibilitas akan menurun dengan
meningkatnya jumlah serat yang terkandung dalam adonan. Oleh karena
itu, dalam percobaan kali ini tidak digunakan serat sebagai bahan baku.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Anna Rubi dan Ilmi Nur
(2015), menunjukkan bahwa kandungan protein terbanyak yang terdapat
pada kacang kedelai sebesar 35 % mempengaruhi daya serap air, daya
urai dan daya tarik suatu biodegradable foam. foam yang dihasilkan dari
penelitian tersebut belum membentuk foam dengan baik, dikarenakan
protein yang bertindak sebagai blowing agent belum bekerja dengan
baik. Kecepatan dan waktu pengadukan juga perbengaruh perhadap
kekuatan tarik dan tercampurnya adonan biodegradable foam tersebut.
Oleh karena itu, untuk memperbaiki hasil penelitian terdahulu
kami menggunakan dua jenis protein yaitu, protein hewani dan nabati.
Protein hewani yag digunakan sebagai bahan eksperimen adalah isolate
protein dari tepung ikan yang mengandung 40%-58% protein (Soulina
Sitompul, 2004). Sedangkan untuk protein yang terkandung didalam
bungkil kedelai sebesar 52,075% dan kandungan protein yang terdapat
pada bungkil kacang tanah sebesar 36,397% ( Didik Yusuf, 2010 ).
Untuk kecepatan putar mixer dilakukan dengan kecepatan tinggi dan
waktu pengadukan dilakukan lebih lama lagi daripada percobaan
sebelumnya.
1.2 Ruang Lingkup Masalah
Penelitian ini dilakukan dengan eksperimen pembuatan
biodegradable foam. Proses pembuatan Styrofoam ini meliputi 1)
pembuatan pati dari limbah kulit pisang, 2) pembuatan isolat protein, 3)
pembuatan biodegradable foam, 4) analisa data.
Eksperimen pembuatan biodegradable foam ini dilakukan
dengan bahan baku pati dari limbah kulit pisang, kitosan dan isolate
protein dari ikan gurami, kacang polong dan kacang hijau.Bahan
additive yang digunakan dalam eksperimen biodegradable foam ini
adalah magnesium stearat, karagenan dan gliserol.
Metode analisa yang dilakukan adalah uji daya serap air, uji
kemampuan terurai, uji kekuatan tarik, dan uji SEM (Scanning Electron
Microscopy). Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan
biodegradable foam adalah kadar protein yang dicampurkan, jumlah
magnesium stearat dan kitosan yang ditambahkan.
1.3 Batasan Masalah
Pembuatan biodegradable foam berbahan baku pati limbah kulit
pisang ini dilakukan dengan metode baking process. Adapaun bahan baku
yang digunakan adalah pati limbah kulit pisang, isolate protein dan kitosan.
Berdasarkan ruang lingkup masalah yang telah dijelaskan diatas, maka dalam
penelitian ini digunakan batasan masalah sebagai berikut:
1. Variabel tetap
a. Jenis Bahan Baku : Pati kulit pisang
b. Jumlah Bahan Baku : 36 gram
c. Jenis Pelarut : Air
Asam Asetat 1%
d. Jumlah Pelarut : Air : 40 gram
Asam Asetat 1% : 100 gram
e. Aditif : Gliserol (6% w/w)
Karagenan (1.5% w/w)
Magnesium stearat (4%w/w)
f. Suhu Oven : 50 °C
2. Variabel berubah
a. Jenis protein : tepung ikan
bungkil kedelai
bungkil kacang tanah.
b. Jumlah kitosan dalam setiap proses: 8 g, 10 g, 12 g, 14 g.
1.4 Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai pembuatan Biodegradable Foam
dari pati kulit pisang, kitosan dengan isolate protein hewani dan nabati dengan cara
Baking Process. Adapun rumusan masalah yang akan diteliti meliputi :
1) Bagaimana pengaruh isolate protein yang ditambahkan terhadap
karakteristik biodegradable foam?
2) Bagaimana pengaruh penambahan kitosan terhadap karakteristik
biodegradable foam?
3) Bagaimana sifat mekanis, biodegradability, dan kemampuan water
absorption terhadap biodegradable foam?
4) Bagaimana struktur morfologi biodegradable foam terhadap uji mekanis,
biodegradability, water absorption yang terbaik?
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini meliputi :
1) Mengetahui pengaruh isolate protein yang ditambahkan terhadap
karakteristik biodegradable foam.
2) Mengetahui pengaruh penambahan kitosan terhadap karakteristik
biodegradable foam.
3) Mengetahui sifat mekanis, biodegradability, dan kemampuan water
absorption pada biodegradable foam.
4) Mengetahui struktur morfologi biodegradable foam terhadap uji mekanis,
biodegradability dan water absorption yang terbaik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Biodegradable foam
Biodegradable foam merupakan bahan alternatif untuk menggantikan
polistirena untuk pengemasan bahan elektronik dan wadah makanan agar
tidak mencemari lingkungan yang terbuat dari bahan alam. Biodegradable
foam akan terurai di alam dengan bantuan mikroorganisme. Tingkat
penguraian Biodegradable foam yang dapat terdegradasi dengan lebih mudah
daripada polistirena biasa menyebabkan Biodegradable foam merupakan
polisitrena alternatif yang ramah lingkungan. Penggunaan pati sebagai bahan
utama pembuatan foam memiliki potensi yang besar karena di Indonesia
terdapat berbagai tanaman penghasil pati. Untuk memperoleh biofoam, pati
ditambahkan dengan plastisizer gliserol, sehingga diperoleh foam yang lebih
fleksible dan elastic.
Ada tiga jenis produk biodegradable foam, yaitu 1) foam berupa
butiran kecil (loose fill foam) yang umumnya digunakan sebagai penyerap
getaran atau bantalan pada produk-produk yang mudah rusak seperti barang
elektronik, 2) foam berbentuk lembaran yang selanjutnya akan dibentuk atau
dimolding, dan 3) foam dengan bentuk khusus seperti mangkok yang dibuat
dengan proses pemanggangan.(Iriani, dkk. 2011).
b. Pati Kulit Pisang
Pati ( amilum ) adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa
dan terdiri atas amilosa dan amilopektin ( Jacobs dan Delcour 1998). Pati
disebut juga polisakarida paling melimpah kedua yang merupakan hasil
sintesis dari tanaman hijau melalui proses fotosintesis. Pati terdiri dari dua
fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa
( 10-20%) dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin ( 80-90% ) (Fessenden,
1994).
Amilosa merupakan bagian protein linear dengan ikatan α-(1-4) unit
glukosa. Derajat polimerisasi amilosa berkisar antara 500-6.000 unit glukosa,
bergantung pada sumbernya. Amilopektin merupakan polimer α-(1-6) unit
glukosa. Namun, jumlah molekul dengan rantai yang bercabang, yaitu
amilopektin, sangat banyak dengan derajat polimerisasi 105 – 3x106 unit
glukosa ( Jacobs dan Delcour 1998).
Sumber: Wibowo, 2007
Sumber: Wibowo, 2007
Menurut Basse ( 2000 ), jumlah dari kulit pisang cukup banyak, yaitu
kira-kira 1/3 dari buah pisang yang dikupas. Buah pisang banyak mengandung
karbohidrat baik isinya maupun kulitnya. Didalam kulit pisang memiliki
kandungan vitamin C, B, kalsium, protein dan juga lemak yang cukup.
Komposisi zat gizi kulit pisang dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, Jatim, Surabaya (1982).
Karbohidrat atau hidrat arang yang dikandung oleh kulit pisang adalah amilum. Amilum tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk
No. Zat Gizi Kadar
1 Air (g) 68,90
2 Karbohidrat (g) 18,50
3 Lemak (g) 2,11
4 Protein (g) 0,32
5 Kalsium (mg) 715
6 Fosfor (mg) 117
7 Zat besi (mg) 1,60
8 Vitamin B (mg) 0,12
9 Vitamin C (mg) 17,50
menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang (Johari dan Rahmawati, 2006). Oleh karena itu, limbah kulit pisang dapat dijadikan bahan baku dalam pembuatan biodegradable foam karena terdapat amilum atau pati didalam kulit pisang tersebut.
c. Kitosan
Kitosan biasanya diperoleh dari proses deasetilasi kitin dalam kondisi
basah. Kitin merupakan salah satu bahan organik yang paling berlimpah
kedua setelah selulosa.Kitin merupakan bahan penyusun penting dari struktur
cangkang pada hewan yang bertulang belakang, terutama di krustasea,
moluska danserangga.(Alves, Mano. 2008).
Gambar 2.3 Struktur Kitin
Gambar 2.4 Struktur Kitosan
Kitosan merupakan produk biologis yang bersifat kationik, nontoksik,
biodegradable dan biokompatible. Kitosan memiliki gugus amino (NH2) yang
relatif lebih banyak dibandingkan kitin sehingga lebih nukleofilik dan bersifat
basa. Kitosan tidak larut dalam air dan beberapa pelarut organik seperti
dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida (DMF), pelarut alkohol organik
dan piridin. Kitosan larut dalam asam organik atau mineral encer melalui
protonasi gugus amini bebas (NH2 NH3+) pada pH kurang dari 6,5.
Pelarut yang baik untuk kitosan adalah asam format, asam asetat dan asam
glutamat. Kelarutan kitosan menurun dengan bertambahnya berat molekul
kitosan (Gyliene dkk., 2003).
d. Protein
a. Istilah
Istilah protein diperkenalkan pada tahun 1830-an oleh pakar kimia Belanda
bernama Mulder, ia menyimpulkan Protein merupakan makromolekul yang
menyusun lebih dari separuh bagian dari sel. Semua jenis protein mempunyai jumlah
dan urutan asam amino yang khas. Protein merupakan rantaian gabungan 22 jenis
asam amino. Protein ini memainkan berbagai peranan dalam benda hidup dan
bertanggung jawab untuk fungsi dan ciri-ciri benda hidup ( Anonim. 2008 )
http://www.wikipedia.com.protein. Diakses tanggal 02 maret 2016).
Keistimewaan lain dari protein ini adalah strukturnya yang mengandung N
(15,30-18%), C (52,40%), H (6,90-7,30%), O (21-23,50%), S (0,8-2%), disamping
C,H,O (seperti juga karbohidrat dan lemak), dan S kadang-kadang P, Fe dan Cu
(sebagai senyawa kompleks dengan protein). Dengan demikian maka salah satu cara
terpenting yang cukup spesifik untuk menentukan jumlah protein secara kuantitatif
adalah dengan penentuan kandungan N yang ada dalam bahan makanan atau bahan
lain ( Sudarmaji, S, dkk. 1989 ).
b. Struktur Molekulnya
Struktur protein terdiri dari empat macam:
1. Struktur Primer (struktur utama)
Struktur ini terdiri dari asam-asam amino yang dihubungkan satu sama
lain secara kovalen melalui ikatan peptida.
Gambar 2.5 Struktur Primer Protein
2. Struktur Sekunder
Protein sudah mengalami interaksi intermolekul, melalui rantai
samping asam amino. Ikatan yang membentuk struktur ini, didominasi oleh
ikatan hidrogen antar rantai samping yang membentuk pola tertentu
bergantung pada orientasi ikatan hidrogennya. Adapun dua jenis struktur,
yaitu α-heliks dan β-sheet.
Gambar 2.6 Struktur Sekunder Protein
3. Struktur Tersier
Terbentuk karena adanya pelipatan membentuk struktur yang
kompleks. Pelipatan distabilkan oleh ikatan hidrogen, ikatan disulfida,
interaksi ionik, ikatan hidrofobik, ikatan hidrofolik.
Gambar 2.7 Struktur Tersier Protein
4. Struktur Kuarter Protein
Terbentuk dari beberapa bentuk tersier, dengan kata lain multi sub
unit. Interaksi intermolekul antar sub unit protein ini membentuk struktur
keempat /kuarter.
Gambar 2.8 Struktur Kuarter Protein
c. Asam-asam Amino
Asam amino ialah asam karboksilat yang mempunyai gugus amino.
Asam amino yang terdapat sebagai komponen, protein mempunyai gugus
−NH2 pada atom karbon α dari posisi gugus −COOH. Rumus umum untuk
asam amino ialah :
Gambar 2.9 Rumus Asam Amino
Pada umumnya asam amino larut dalam air dan tidak larut dalam
pelarut organik non polar seperti eter, aseton, dan kloroform. Sifat asam
amino ini berbeda dengan asam karboksilat maupun dengan sifat amina.
Asam karboksilat alifatik maupun aromatik yang terdiri atas beberapa atom
karbon umumnya kurang larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik.
Demikian amina pula umumnya tidak larut dalam air, tetapi larut dalam
pelarut organik (Poejiadi. A, 1994). Asam amino adalah senyawa yang
memiliki satu atau lebih gugus karboksil (−COOH) dan satu atau lebih
gugus amino (−NH2) yang salah satunya terletak pada atom C tepat
disebelah gugus karboksil (atom C alfa). Asam-asam amino bergabung
melalui ikatan peptida yaitu ikatan antara gugus karboksil dari asam amino
dengan gugus amino dari asam amino yang disampingnya (Sudarmadji. S,
1989).
d. Jumlah dan Jenis Asam Amino pada Protein Kacang Bungkil Kedelai,
Bungkil Kacang Tanah, Ikan Gurami
Berikut ini adalah Tabel Jumlah Asam Amino pada Ketiga Sumber Protein
tiap 100 gram.
e. Bungkil Kedelai
Bungkil kedelai merupakan hasil ikutan atau bahan yang tersisa setelah
kedelai diolah dan diambil minyaknya. Bungkil kedelai merupakan sumber
protein yang baik bagi ternak. Kandungan protein bungkil kedelai sekitar 44-51%
dan merupakan sumber protein yang amat bagus sebab keseimbangan asam amino
yang terkandung didalamnya cukup lengkap dan tinggi. Asam amino yang tidak
terkandung di dalam protein bungkil kedelai adalah metionin dan sistein, yaitu
asam amino yang biasanya ditambahkan pada pakan campuran jagung-kedelai.
Tetapi bungkil kedelai memiliki kandungan lisin dan triptofan yang tinggi
sehingga dapat melengkapi defini pada protein jagung dan memberikan
kebutuhan asam amin esensial bagi ternak.
Komposisi Asam Amino pada Kacang Tanah
Gambar 2.10 Bungkil Kedelai
Sekitar 50% protein untuk pakan unggas berasal dari bungkil kedelai dan
pemakaiannya untuk pakan ayam pedaging berkisar antara 15-30%, sedangkan untuk
pakan ayam petelur 10-25% (Wina, 1999). Kandungan protein bungkil kedelai
mencapai 43-48%.
Gambar 2.11 Kandungan Nutrisi Bungkil Kedelai
f. Bungkil Kacang Tanah
Bungkil kacang tanah merupakan limbah dari pengolahan minyak kacang
tanah. Bungkil kacang tanah disukai ternak dan merupakan supplemen protein
tumbuhan yang berkualitas baik. Kualitas bungkil kacang tanah secara kuantitatif
dapat dilakukan di laboratorium dengan menggunakan menggunakan metode
proksimat. Bungkil kacang tanah mengandung protein kasar 46,62% dan serat kasar
5,5%. Bila serat serat kasar lebih tinggi maka telah terjadi pemalsuan sekam dan
arena itu produk tersebut tidak disebut bungkil kacang tanah tetapi bungkil kacang
tanah dan sekam. Bungkil kacang tanah mempunyai protein tercerna (DP) 42,4%
dan TDN 84,5%. Nilai ini lebih tinggi dari bungkil kedelai. Bungkil kacang tanah
dan sekam mengandung protein kasar (PK) 41%. Protein tercerna 36,6% dan total
nutrient tercerna (TDN) 73,3% lebih tinggi dari PK, DP, dan TDN. Salah satu
pembatas pemanfaatan bungkil kacang tanah pada ternak adalah adanya
kontaminasi aflatoksin (Orskov, 1988).
Proses pembuatan bungkil sangat sederhana. Kacang tanah dipres (dikempa)
hingga minyaknya keluar. Hasil kempaan dari produk biji-bijian itu berupa minyak
nabati dan ampasnya yang disebut sebagai bungkil.
Gambar 2.12 Kandungan Nutrisi Bungkil Kacang Tanah
Bungkil atau oil meal diperoleh dari expeller process pada ekstraksi minyak.
Proses pembuatan oil meal ini pada prinsipnya adalah dilakukan penyaringan
minyak terlebih dahulu, kemudian akan tersisa bungkilnya. Proses pembuatan
bungkil yaitu bahan yang akan disaring minyaknya dikeringkan terlebih dahulu
kemudian dilakukan pemanasan. Setelah bahannya masak kering, kemudian bahan
tersebut digiling dan dilakukan pengepresan atau penyaringan.
g. Ikan Gurami
Ikan gurami (Osphronemus gouramy) umumnya hidup dan banyak dipelihara
di perairan tawar, terutama pada perairan yang tenang dan dalam. Ikan gurami dapat
tumbuh dan berkembang pada perairan tropis dan subtropis. Ikan ini mempunyai
daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan, tetapi lebih cocok hidup pada ketinggian
maksimal 800 m di atas permukaan laut. Selanjutnya keduanya mengatakan, bahwa
suhu ideal untuk pertumbuhan gurami antara 24 – 29 ̊C, derajat keasaman (pH)
antara 6,5 – 8,0, kandungan oksigen terlarut 3 – 5 ppm, dan air yang tidak terlalu
keruh dengan kecerahan pada pengukuran alat secchi disk (Djarijah dan
Puspowardoyo, 1992).
Pada ikan gurami yang memiliki ukuran tubuh 3cm-15cm kadar abu yang
diberikan 12%, sedangkan ikan gurami yang memiliki ukuran tubuh >15cm kadar
abu yang diberikan 13%. Pada kadar protein ukuran ikan gurami 3cm-5cm
diberikan kadar protein 38%, ukuran 5cm-15cm diberikan kadar protein 32% dan
ukuran ikan gurami >15cm diberikan kadar protein 28%. Pada kadar lemak, ukuran
ikan gurami 3cm-5cm diberikan kadar lemak 7%, ukuran 5cm-15cm 6% dan ukuran
>15cm 5%. Kadar serat kasar pada ikan yang berukuran 3cm-5cm diberikan 5%,
ukuran 5cm-15cm 6% dan ukuran >15cm 8%. Nitrogen bebas ( N-Amoniak) pada
ukuran tubuh 3cm - >15cm 0,20%. Diameter pakan pada ukuran ikan 3cm-5cm
sebesar 1-2mm, ukuran 5cm-15cm sebesar 2-3mm, ukuran >15cm sebesar 3-6mm.
Kandungan cemaran mikroba/toksin (aflatoksin 50 ppb, kapang 50 kol/g,
salmonella neg kol/g) pada ukuran 3cm- >15cm. Dan pada kandungan antibiotik
ukuran ikan 3cm- >15cm diberikan 0 ppb.
e. Karagenan
Salah satu sumber alam biopolimer adalah karagenan. Karagenan merupakan
polisakarida sulfat, diekstrak dari beberapa spesies rumput laut merah
(Rhodophyceae). Berdasarkan kandungan sulfatnya, karaginan diklasifikasikan
menjadi kappa (ҡ), iota (ϊ) dan lamda (λ) dengan jumlah sulfatnya berturut-turut 20%,
33% dan 42% (Herliany, dkk. 2009). Karagenan dibuat dari rumput laut yang
dikeringkan, rumput laut diayak untuk menghilangkan kotoran - kotoran seperti pasir
dan kemudian dicuci. Setelah melalui perlakuan dengan larutan basa panas
(contohnya 5 - 8% kalium hidroksida), selulosanya dihilangkan dari karagenan
dengan menggunakan prose sentrifugasi dan filtrasi. (Raton and Smooley, 1993)
Gambar 2.13 Struktur Karagenan
f. Magnesium Stearat
Magnesium stearat, juga disebut asam oktadekanoat, merupakan garam
magnesium, adalah zat putih yang padat pada suhu kamar. Senyawa ini memiliki
rumus kimia Mg(C18H35O2)2. Ini adalah garam mengandung dua stearat (anion dari
asam stearat) dan satu kation magnesium (Mg2+). Magnesium stearat meleleh pada
sekitar 120 °C, tidak larut dalam air, dan umumnya dianggap aman untuk
dikonsumsi manusia pad tingkat di bawah 2500 mg/kg per hari (Denny Indra Praja,
2015. Zat Aditif Makanan Manfaat dan Bahayanya. Penerbit Garudhawaca,
Yogyakarta).
Asam stearat diproses dengan memperlakukan lemak hewan dengan air pada
suhu dan tekanan tinggi. Asam ini dapat pula diperoleh dari hidrogenasi minyak
nabati. Dalam bidang industri asam stearat dipakai sebagai bahan
pembuatan lilin, sabun, plastik,kosmetika, dan untuk melunakkan karet. Titik lebur
asam stearat 69.6 °C dan titik didihnya 361 °C. Reduksi asam stearat
menghasilkan stearil alkohol. (Susan, 1989)
Gambar 2.5 Struktur Magnesium Stearat
g. Gliserol
Gliserol ialah suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas 3 atom karbon. Jadi
tiap atom karbon mempunyai gugus –OH. Satu molekul gliserol dapat mengikat satu,
dua, tiga molekul asam lemak dalam bentuk ester, yang disebut monogliserida,
digliserida dan trigliserida. Adapun rumus molekul gliserin dapat ditunjukkan pada
gambar berikut
Gambar 2.6 Struktur Gliserol
Sifat fisik dari gliserol :
a) Tidak berbau
b) Merupakan cairan tidak berwarna
c) Cairan kental dengan rasa yang manis
d) Densitas 1,261
e) Titik lebur 18,2C
f) Titik didih 290 C
Gliserol yang diperoleh dari hasil penyabunan lemak atau minyak
adalah suatu zat cair yang tidak berwarna dan mempunyai rasa yang agak
manis. Gliserol larut baik dalam air dan tidak larut dalam eter. Gliserol
digunakan dalam industri farmasi dan kosmetika sebagai bahan dalam
preparat yang dihasilkan. Di samping itu penggunaan gliserol pada
biodegradable foam berguna sebagai plasticsizer. (Poedjiadi, 2006).
BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1 Metode Percobaan
Pada penelitian kali ini kami menggunakan Metode baking process,
dimana semua bahan baku dan aditif dicampur kemudian dituang kedalam
cetakan dipanaskan. Memvariasikan formula dilakukan untuk mendapatkan
hasil biodegradable foam yang paling baik. Variabel yang diubah pada
penelitian kali ini adalah penambahan kitosan dan jenis protein yang
digunakan Penelitian ini bertujuan menghasilkan produk biodegradable foam
yang mampu terdegradasi dan dilakukan pada skala laboratorium.
3.2 Alat dan Bahan
a. Bahan:
1. Pati Kulit Pisang
2. Kitosan
3. Protein Bungkil Kedelai
4. Protein Bungkil Kacang Tanah
5. Protein Ikan Gurami
6. Asam Asetat
7. Asam sitrat
8. Air
9. Magnesium Stearat
10. Karagenan
11. Gliserol
b. Alat
1. Neraca Analitik
2. Kaca Arloji
3. Spatula
4. Pisau
5. Kain penyaring
6. pengayak
7. Gelas Kimia
8. Batang pengaduk
9. Gelas ukur
10. Loyang
11. Mixer
12. Desikator
13. Kertas Saring
14. Alat SEM
15. Alat Uji Tarik
16. Tanah
17. Box Kayu
3.3 Prosedur Percobaan
A. Pembuatan Pati Kulit Pisang
Pembuatan pati dari kulit pisang dilakukan dengan cara mencuci
kulit pisang dengan menggunakan air bersih kemudian kulit pisang yang
telah bersih dipotong-potong dengan menggunakan pisau. Cacahan kulit
pisang yang sudah memiliki ukuran yang lebih kecil direndam dalam
larutan asam sitrat 2000 ppm selama 24 jam untuk menghasilkan pati
berwarna putih. Kulit pisang yang telah direndam dalam larutan asam
sitrat dihancurkan dengan menggunakan blender. Kulit pisang yang telah
lumat di saring dan di peras dengan menggunakan kain penyaring ke
dalam wadah hingga ampas tidak mengeluarkan air perasan lagi. Filtrat
yang dihasilkan kemudian di dekantasi atau diendapkan selama 24 - 48
jam hingga pati mengendap sempurna.
Setelah pati mengendap sempurna, akan terjadi dua lapisan yaitu
lapisan atas berupa cairan supernatan dan lapisan bawah berupa endapan.
Cairan supernatan di buang dan endapannya di cuci berulang-ulang
dengan air hingga diperoleh endapan pati yang lebih jernih. Kemudian
endapan pati dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu ± 50°C
selama 2 jam hingga kering. Endapan serbuk pati yang sudah kering
kemudian di ayak dengan menggunakan pengayak untuk mendapatkan
partikel yang lebih halus dan seragam. Serbuk pati kulit pisang yang lolos
dari ayakan siap untuk digunakan. Sedangkan partikel yang tidak lolos
dalam ayakan dihaluskan kembali. (Widianingsih dkk ,2012)
B. Pembuatan Isolat Protein
Bungkil Kacang tanah atau kacang kedelai yang dijadikan sumber
protein ditimbang sebanyak 500 gram. Tambahkan air dengan
perbandingan kacang : air sebanyak 1:3. Setelah terbentuk dua lapisan
yaitu endapan (pati) dan cairan (filtrat) pisahkan kedua lapisan tersebut
hingga didapatkanlah filtratnya. Panaskan filtrat hingga suhu 80oC.
Tambahkan asam asetat hingga pH larutan mencapai 4.5. Endapan yang
terbentuk dari penambahan asam asetat kemudian dipisahkan dan disaring
menggunakan kertas saring.
C. Pembuatan Biodegradable Foam
Pertama pati kulit pisang dikeringkan didalam oven pada suhu 80 oC selama 24 jam kemudian disimpan dalam desikator. Pati kulit pisang
yang telah dikeringkan dan protein ditimbang dengan perbandingan 1:9,
dan variasi kitosan sebanyak 8,10,12,14 gram. Larutkan kitosan kedalam
100 gram Asam asetat 1% lakukan pengadukan selama 5 menit agar
homogen dan membentuk gel. Pati singkong sebanyak 36 gram dilarutkan
kedalam 40 gram air. Kemudian campurkan larutan pati dan kitosan,
tambahkan protein dan bahan aditif. Bahan aditif yang ditambahkan
adalah Magnesium Stearat 4% (w/w), karagenan (1.5% w/w), dan gliserol
(6% w/w) dengan pengadukan cepat menggunakan mixer selama 5 menit
hingga terbentuk adonan yang homogen. Tuang adonan kedalam cetakan.
Kemudian masukkan adonan kedalam oven dengan suhu 50 oC selama 60
menit untuk menghilangkan kadar air. Setelah 1 jam, keluarkan
biodegradable foam. Dinginkan disuhu ruang selama 4 hari. Lakukan uji
water absorption, uji tarik, uji biodegradability, dan uji SEM.
3.4 Skema Kerja
a) Pembuatan Pati Kulit Pisang
Gambar 3.1 Skema Pembuatan Pati Kulit Pisang
Kulit buah pisang Kepok
Kulit pisang dicuci dan dipotong-potong dan direndam dalam larutan asam sitrat 4000 ppm.
Rendaman kulit pisang diblender dan disaring.
AmpasFiltrat
Filtrat diendapakan selama 24 – 48 jam
Cairan Supernatan Endapan
Endapan dicuci dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50°C selama 2 jam
Pati Kulit Pisang Kepok
Dipanaskan hingga 80 oC
Cairan (filtrat)Asam Asetat
Endapan (pati) Cairan (filtrat)
Endapan yang terbentukDisaring
Protein isolat
Bungkil Kacang tanah / kacang kedelaiDitimbang 250 gram
Bungkil Kacang tanah / kedelai/tepung ikan
Dihaluskan
Ditambahkan air dengan perbandingan
kacang : air = 1:3
b) Pembuatan Isolat Protein
Gambar 3.2 Skema Pembuatan Isolate Protein
c) Pembuatan Biodegradable foam
Diaduk hingga homogen
Adonan foamGliserol
Diaduk hingga homogen
Adonan foam
Adonan foam dicetak dan dioven pada suhu 50oC selama 1 jam
Foam yang dihasilkan
Uji SEMUji BiodegradabilityUji Water Absorbtion Uji Tarik
d)
Magnesium Stearat dan Karagenan
Larutan pati
Diaduk hingga homogen
Protein
KitosanAsam Asetat 1%
Larutan kitosan – asam asetat
Diaduk hingga
homogen
Pati kulit pisang dipanaskan (80oC selama
24 jam)Air
Adonan foam
Foam yang dihasilkan
Diamkan selama 4 hari
Sampel
Ditimbang untuk mengetahui penambahan berat yang terjadi
Ditimbang
Sampel
Rendam dalam air selama 1 menit
Sampel dengan ukuran 2.5x5 cmDinginkan dalam desikator selama 20 menitBerat awal sampel
Dihilangkan sisa air di permukaan foam menggunakan tisu
Gambar 3.3 Skema Pembuatan Biodegradable Foam
e) Uji Water Absorption
Gambar 3.4 Skema Uji Water Absorbtion
Sampel dipendam didalam tanah Sampel yang sudah dipendam
Ditimbang untuk menggetahui
pengurangan berat yang terjadi
Sampel awal
direndam hingga jenuh
dan ditimbang sebagai berat
awal
Dengan waktu pemendaman 2 minggu
f) Uji Biodegradable
Gambar 3.5 Skema Uji Biodegradable
Potong spesimen sesuai dengan ukuranJepit pada
alat
SpesimenTarik dengan beban
hingga spesimen putus
Catat beban maksimum dan
hitung kuat tariknya
Siapkan Spesimen
Letakkan sampel di holder mikroskop
Masukkan ke SEM dalam mode optik
Ubah ke mode SEM untuk analisa, sesuaikan perbesaran, fokuskan, dan ambil gambar
Gambar hasil uji
g) Uji Tarik
h) Uji SEM
Gambar 3.6 Skema Uji SEM
3.5 Variable Percobaan
Adapun variabel yang digunakan pada penelitian kali ini adalah:
A. Variabel Tetap
Jumlah Pati yang digunakan : 36 gram
Jumlah Protein yang digunakan : 4 gram
Jumlah magnesium stearate : 2 gram
Jumlah Air yang digunakan : 40 gram
Jumlah Asam Asetat yang digunakan : 100 gram
Jumlah Karagenan yang digunakan : 0,75 gram
Jumlah Gliserol yang digunakan : 6 gram
Suhu Pengovenan : 500 ˚C
B. Variabel Berubah
Jumlah penambahan kitosan : 8 gram; 10 gram; 12
gram; 14 gram
Jenis Protein yang digunakan : Protein tepung ikan
Protein bungkil kedelai
Protein bungkil kacang
tanah
3.6 Teknik Pengumpulan Data
A. Uji Water Absorption
Pengujian water absorbtion pada produk biodegradable foam
mengacu pada standart ABNT NBR NM ISO 535, 1999. Foam dipotong
dengan ukuran 2,5 x 5 cm, dilakukan penimbangan dan dicatat sebagai berat
foam awal. Kemudian foam direndam didalam air selama 60 detik. Angkat
foam, kemudian keringkan menggunakan tisu untuk menghilangkan sisa air
yang menempel pada foam. Lakukan penimbangan lagi dan catat sebagai berat
akhir foam. Perbedaan berat foam awal dan akhir dicatat sebagai banyaknya
air yang terserap oleh biodegradable foam.
Perhitungan pertambahan berat :
Pertambahan berat (%) = ( W0-W1) X 100%
W0
Keterangan:
W0 = Berat awal (gram)
W1 = Berat Akhir (gram)
B. Uji Biodegradability
Biodegradable foam yang dihasilkan dari pati kulit pisang diuji
kemampuan terdegradasi dengan cara memendamnya didalam tanah selama
14 hari. Dilakukan penimbangan awal untuk mengetahui berat foam sebelum
dipendam didalam tanah. Setelah dipendam didalam tanah, ditimbang kembali
untuk mengetahui biodegradable foam yang terdegradasi. (Ghorpade,
Gennadios, and Hanna. 2001)
Perhitungan weight loss :
weight loss ( % ) = ( W0-W1) X 100%
W0
Keterangan:
W0 = Berat awal
W1 = Berat Akhir
C. Uji Tarik
Analisis mengacu pada Technical Association of the Pulp and Paper
Industry (TAPPI) No. T404. Pada aplikasinya, foam dipotong sesuai dengan
ukuran. Kemudian foam dijepitkan pada alat uji tarik hasil modifikasidan
ditarik hingga putus. Lalu dicatat beban saat penarikan (g). Besarnya tegangan
maksimum yang mampu ditahan oleh foam hingga titik putusnya dihitung
menggunakan persamaan sebagai berikut:
Fmaks=m . a (1)
Keterangan:
Fmaks = Tegangan maksimum (N)
m = Beban saat ditarik (Kg)
a = Percepatan gravitasi (m/s2)
Besarnya nilai kuat tarik dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan berikut ini:
σ=Fmaks
A (2)
Keterangan:
σ = Kuat tarik (MPa)
Fmaks = Tegangan maksimum (N)
A = Luas penampang film yang dikenai tegangan (mm2)
D. Uji SEM
Mikroskop elektron digunakan sebagai alat pendeteksi objek pada
skala yang amat kecil. Analisis sifat permukaan dilakukan menggunakan
Scanning Electron Microscope (SEM) untuk mengetahui morfologi
biodegradable foam yang dihasilkan. Prinsip kerja SEM adalah deteksi
elektron yang dihamburkan oleh suatu sampel padatan ketika ditembak oleh
berkas elektron berenergi tinggi secara kontinyu yang dipercepat di dalam
electromagnetic coil yang dihubungkan dengan Cathode Ray Tube (CRT)
sehingga dihasilkan suatu informasi mengenai keadaan permukaan suatu
sampel senyawa. Jenis mikroskop SEM yang digunakan untuk pengujian
sampel adalah Phenom type G2 Pro.
Top Related