BAB 1PENDAHULUAN
Tetanus sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk,
juga penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit
(ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat.(2)
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Implementasi imunisasi tetanus global telah menjadi target WHO sejak
tahun 1974. Sayang imunitas terhadap tetanus tidak berlangsung seumur hidup
dan dibutuhkan injeksi booster jika seseorang mengalami luka yang rentan
terinfeksi tetanus. Akses program imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan
tingginya prevalensi penyakit ini di negara sedang berkembang.(6,11)
Penyakit ini ditandai dengan adanya kekakuan otot dan spasme yang
diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani.(3)
Tetanus dapat teradi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang
imunisasinya sebagian atau tidak lengkap dan telah diimunisasi lengkap tetapi
tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara
berkala.(7)
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi diseluruh
dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas berkisar dari 6 sampai 60%. Selama 30 tahun terakhir, hanya
terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai
pencegahan dan tatalaksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus
yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara termasuk didalamnya yang berisiko
tinggi tidak memiliki data serta sering kali tidak memiliki informasi yang lengkap.
Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus pada anak yang
dilaporkan. Berdasarkan data WHO dan penelitian yang dilakukan oleh Stanfield
dan Galazka diperkirakan insiden tetnus berkisar 700.000-1.000.000 kasus per
tahun diseluruh dunia.(5,1)
Beberapa tahun terakhir diperkiran bahwa insidensi tetanus telah
mengalami penurunan seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi. Namun
demikian, tidak semua negara memiliki kebijakan dilakukannya imunisasi pada
orang-orang yang lahir sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun
penyedian booster yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama, serta pada
orang-orang yang lupa melakukan jadwal imunisasi. Akibatnya anak dan dewasa
akan berisiko untuk mengalami tetanus.(8,11)
Di Amerika Serikat, tetanus sudah jarang ditemukan. Tetanus neonatorum
menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi.
Angka kejadian 6-7 kasus/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23 kasus/100
kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di
rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30%
kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya pada bayi <12 bulan.
(10)
Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar
penyebab kematian pada anak. Meskipun insidensi tetanus saat ini sudah
menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%.
Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun
penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan
imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu,
diperlukan kajian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus
guna menurunkan angka kematian penderita tetanus, khususnya pada anak.(7,3)
BAB 2LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : An. W
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 02 November 2011
Alamat : Ds. Matang Teungoh, Gampong Alue Bili
Rayeuk.Kec.Bakhtiya
Suku Bangsa : Aceh
Agama : Islam
No. MR : 07.01.10
Tanggal MRS : 21 September 2015
Tanggal Keluar : 22 September 2015
Nama Ayah : Tn.Mansyah
Umur : 44 tahun
Pekerjaan : Petani
Nama Ibu : Sari Banun
Umur : 32 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
2.2 Alloanamnesis
Alloanamnesis dengan orang tua pasien, tanggal 21 September 2015 pukul
14.00 WIB.
1. Keluhan Utama
Badan kaku
2. Keluhan Tambahan
Sulit membuka mulut, demam, sulit menelan dan sakit gigi
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUCM diantar oleh orang tua pasien dengan keluhan
badan kaku dan sulit membuka mulut sejak ± 4 jam SMRS. Badan kaku dialami
pada pukul 09.00 tanggal 21 September 2015 sampai tiba di Rumah Sakit pada
pukul 12.00 wib masih kaku. Kekakuan yang dialami pasien hampir pada seluruh
tubuh. Posisi punggung dalam keadaan melengkung, tangan menggenggam, perut
mengeras seperti papan, kaki menekuk, dan mulut hanya dapat membuka ± 1 cm.
Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran. Selain itu pasien juga mengalami
kejang seluruh badan apabila dirangsang, baik dengan suara ataupun cahaya.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami demam. Namun,
demam segera mereda setelah ibu pasien memberikan Sanmol dan demam muncul
kembali dalam perjalanan pasien menuju rumah sakit. Selain demam, pasien juga
mengalami sakit gigi. Sakit gigi timbul sejak 2 hari sebelum pasien mengalami
kekakuan. Keluhan ini juga disertai dengan sulit menelan sehingga pasien tidak
bisa makan dan minum. Pasien tidak mengeluh nyeri kepala, mual ataupun
muntah. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Diketahui bahwa ± 1 minggu SMRS
pasien pernah terinjak kawat yang sudah berkarat ketika sedang bermain. Luka
tidak dibersihkan dengan antiseptik. Luka hanya dibersihkan dengan air sumur.
Riwayat digigit binatang ataupun bekas luka operasi disangkal. Riwayat imunisasi
tidak lengkap.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat
penyakit dahulu pasien hanya mengalami sakit demam dan batuk pilek. Tidak ada
riwayat penyakit yang diderita sejak lahir.
5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
a. Riwayat antenatal
Selama kehamilan ibu memeriksa kehamilan ke bidan
Frekuensi : Trimester 1 : 1 kali
Trimester II : 1 kali
Trimester III : 1 kali
Selama kehamilan ibu pasien mengaku tidak pernah sakit berat/rawat inap di
rumah sakit. Riwayat muntah berlebih (-) tekanan darah tinggi (-), kejang (-),
asma (-), diabetes militus (-), infeksi (-), perdarahan dan trauma selama kehamilan
disangkal.
b. Riwayat natal
Lahir secara : spontan pervaginam
Berat badan lahir : 3000 gram
Panjang badan lahir : 45 cm
Lingkar kepala lahir : (-)
Tempat : Di rumah dengan pertolongan bidan
6. Riwayat Imunisasi
1x di lengan kanan
1x di tetes mulut
7. Riwayat Makanan
Pasien mendapatkan ASI sejak lahir sampai usia 1 tahun. Pasien mulai diberi
makan pisang, bubur Milna, dan air tajin sejak usia 3 bulan sampai usia 2 tahun.
Namun sejak usia 3 tahun pasien tidak lagi mengkonsumsi pisang, bubur milna
dan air tajin. Pasien hanya mengkonsumsi makanan dan minuman manis seperti
the manis, permen, bubur kacang hijau, roti, kue coklat,dll. Pasien tidak pernah
mengkonsumsi nasi sampai saat ini
8. Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang pernah mengalami keluhan yang sama.
9. Riwayat Psikososial
Pasien adalah anak ke 2 dari 2 bersaudara. Anak tinggal serumah dengan ibu,
ayah dan 1 orang kakak dalam rumah semi permanen, ventilasinya baik, air
minum, mandi dan cuci sehari-hari berasal dari air sumur. Keluarga termasuk ke
dalam golongan sosio-ekonomi rendah.
10. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Umur 2 bulan os mulai bisa bersuara seperti bilang aaaaaaa.
Umur 4 bulan os mulai bisa telungkup
Umur 6 bulan os mulai bisa merangkak
Umur 10 bulan os mulai bisa berdiri dan sudah mulai bisa mengeluarkan
banyak ocehan walaupun belum jelas seperti maaammm.
Umur 1 tahun os mulai bisa berjalan dengan tertatah tatah dan sudah bisa
memanggil yah dan maak.
Umur 2 tahun os sudah kokoh berjalan dan juga berlari
Hingga saat ini pertumbuhan dan perkembangan os tidak mengalami
gangguan maupun keterlambatan.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : lemah
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tanda Vital
Nadi : 121 kali/menit
Respirasi : 42 kali/menit
Suhu : 38,5 oC
Tekanan darah : Tidak dievaluasi
4. Data Antropometri
Berat Badan : 11 kg
Tinggi badan : 98 cm
5. Status Gizi
Berdasarkan Rumus Status Gizi menurut Waterlow (1972)
BB/TB % = BB Aktual x 100%
BB Baku untuk TB aktual
= (11 x 100%) / 15 = 73,33 % Interpretasi Gizi Kurang
6. Status General
a. Kulit
Kulit berwarna sawo matang, efloresensi primer (-), eflurosensi skunder (-),
Jaringan parut (-), Pigmentasi normal, Keringat (umum), Turgor (normal), Ikterus
(-), Pertumbuhan rambut normal, pembuluh darah normal, lapisan lemak
(menurun), edema (-).
b. Pembesaran KGB
Submandibula (-), region coli (-/-), supraklavikula (-), aksila (-), inguinal (-).
a. Kepala
Ekspresi wajah tampak lemah dan adanya tampilan wajah rhisus
sardonicus, wajah simetri, deformitas (-), rambut hitam tidak mudah dicabut,
pembuluh darah temporal tampak normal, nyeri tekan sinus (-).
b. Mata
Deformitas (-), gerakan (normal), kelopak (normal), mata cekung (-/-),
konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil dilatasi, reflex cahaya (+/+)
c. Telinga
Deformitas (-), tanda radang (-/-), tofi (-/-), serumen (-/-) membran timpani
utuh.
d. Hidung
Bentuk normal, konka hiperemis (-/-), pernapasan cuping hidung (+/+),
abses (-)
e. Mulut dan Tenggorokan
Bibir sianosis (-), mukosa (kering), faring (normal), tonsil (T1/T1), gigi
(berlubang) dan gusi (normal), lidah (normal).
f. Leher
Trakea (normal), kaku kuduk (+)
g. Toraks : tulang rusuk tampak jelas
Pulmo
Inspeksi : Retraksi dinding dada (+), pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Stem fremitus tidak dilakukam
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Dalam batas normal, Vesikuler dikedua lapangan paru.
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-).
h. Abdomen
Inspeksi : Bentuk simestris, Defans Muscular (+/+)
Palpasi : Hepar tidak teraba, limpa tidak teraba.
Perkusi : Timpani (+), asites (-)
Auskultasi : Bising usus normal
i. Ekstremitas : Akral dingin
Superior Inferior
kanan Kiri kanan kiri
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
Ikterik - - - -
Anggota gerak : Tidak ditemukan kelainan
Otot : mengalami spasme
7. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis ditemukan adanya fotofobia, reflek messeter
meningkat, kaku kuduk, trismus.
8. Pemeriksaan Khusus
Pada saat dilakukan pemeriksaan didapatkan bahwa pada pasien ini dijumpai
adanya trismus (+) 1 cm. Selain itu juga terdapat adanya opistotonus (+) dan juga
adanya bentuk wajah rhisus sardonicus, serta kaku kuduk (+).
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah rutin (+) 22 September 2015
2. Urin rutin (+) 22 September 2015
2.5 DIAGNOSA
Diagnosa banding : Tetanus
Kejang Demam Kompleks
Meningoencefalitis
Keracunan Striknin, Rabies,dll
Diagnosa Kerja : Tetanus
2.6 PENATALAKSAAN AWAL
O2 2-4 L/menit
IVFD Dextrose 5% + Nacl 0,45% 12gtt/ menit
Inj. Ampicillin 250mg/ 6 jam
Inj. Diazepam 1cc/ 8 jam
Inj. Tetagam 1500 IU
Paracetamol infus 12,5 cc (kp)
Metronidazol dianjurkan namun belum sempat diberikan.
2.7 RESUME
Pasien datang ke IGD RSUCM diantar oleh orang tua pasien dengan
keluhan badan kaku dan sulit dapat membuka mulut sejak ± 4 jam SMRS. Badan
kaku dialami pada pukul 09.00 tanggal 21 September 2015 sampai tiba di Rumah
Sakit pada pukul 12.00 wib masih kaku. Kekakuan yang dialami pasien hampir
pada seluruh tubuh. Posisi punggung dalam keadaan melengkung, tangan
menggenggam, perut mengeras seperti papan, kaki menekuk, dan mulut hanya
dapat membuka ± 1 cm. Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami demam. Namun,
demam segera mereda setelah ibu pasien memberikan Sanmol dan demam muncul
kembali dalam perjalanan pasien menuju rumah sakit. Selain demam, pasien juga
mengalami sakit gigi. Sakit gigi timbul sejak 2 hari sebelum pasien mengalami
kekakuan. Keluhan ini juga disertai dengan sulit menelan sehingga pasien tidak
bisa makan dan minum. Pasien tidak mengeluh nyeri kepala, mual ataupun
muntah. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Diketahui bahwa ± 1 minggu SMRS
pasien pernah terinjak kawat yang sudah berkarat ketika sedang bermain. Luka
tidak dibersihkan dengan antiseptik. Luka hanya dibersihkan dengan air sumur.
Riwayat digigit binatang ataupun bekas luka operasi disangkal. Riwayat imunisasi
tidak lengkap.
Keadaan umum lemah, kesadaran compos mentis, frekuensi jantung 121
kali/menit, frekuensi nafas 36 kali/menit, temperatur 38,2 oC. Pasien pulang
dengan kondisi badan masih kaku, trismus sudah berkurang dari 1 cm menjadi 3
cm, sakit gigi (+), sulit menelan (+), demam (-), mual dan muntah (-)
2.8 FOLLOW UP PASIEN
Tanggal SOAP Terapi
21/9/2015 S: Kaku (+), demam (+), sakit
gigi (+), sulit menelan (+),
sesak (+), nyeri kepala (-),
batuk (-), tidak nafsu makan (+)
O: T (38,5˚C)
HR (121x/i)
O2 2-4 L/I
IVFD Dextrose 5% + Nacl 0,45% 12
gtt/ menit
Inj.Ampicillin 250mg/ 6 jam
Inj. Diazepam 1cc/ 8 jam
Inj. Tetagam 1500 IU
Paracetamol infus 12,5 cc (kp)
RR (36x/i)
Trismus 1 cm
Opistotonus (+)
Rhisus Sardonicus (+)
Kaku kuduk (+)
A: Tetanus anak
P: Pro darah rutin dan urin rutin
22/9/2015 S: Kaku (+)↓↓, demam (-), sakit
gigi (+), sulit menelan (+),
sesak (+) ↓↓, nyeri kepala (-),
batuk (-), tidak nafsu makan (+)
O: O: T (37,0˚C)
HR (102 x/i)
RR (29 x/i)
Trismus 3 cm
Opistotonus (-)
Rhisus Sardonicus (-)
Kaku kuduk (-)
A: Tetanus Anak
P: Darah rutin (+)
Urin rutin (+)
O2 2-4 L/I
IVFD Dextrose 5% + Nacl 0,45% 12
gtt/ menit
Inj.Ampicillin 250mg/ 6 jam
Inj. Diazepam 1cc/ 8 jam
Inj. Tetagam 1500 unit/ 6 amp
Paracetamol infus 12,5 cc (kp)
Hasil Laboratorium darah rutin tanggal 21/9/2015
Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin: 9,8 g% P: 12-16
Eritrosit: 3,6x105/mm3 P: 3,8 – 5,8
Leukosit: 6,1x 103/mm3 4 -11
Hematokrit: 30,9% 37- 47
MCV: 84fl 76 -96
MCH: 26,7 pg 27 – 32
MCHC: 31,79 g% 30 – 35
RDW: 12,7 % 11- 15
Trombosit: 316x103/mm3 150-450
Hasil laboratorium urin rutin 22 September 2015
Nilai Rujukan
Kekeruhan Jernih
Warna Kuning muda
Berat Jenis 1,010 -1,035
PH (6) 4,6 -8,0
Protein 75 mg/dl (+2) Negatif
Keton (+4) Negatif
Sediment Mikroskopis
Eritrosit 0 – 3/ LPB
Leukosit 0 – 5/ LPB
Epitel 0 – 5/ LPK
BAB 3TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit infeksi akut dengan tanda utama kekakuan dan
kejang otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh
kuman Clostridium tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung,
tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman
pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan
neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom.(3,5)
Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hipocrates. Pada abad II Areanus
the Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama berabad-
abad penyakit ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone
menggambarkan transmisi tetanus pada kelinci percobaan.(9)
Kitasato (1889) pertama kali mengisolasi Clostridium Tetani. Setahun
kemudian bersama dengan von Behring melaporkan adanya anti–toksin spesifik
pada serum binatang yang telah disuntikkan dengan toksin tetanus. Pada tahun
1926, mulai dikembangkan toksoid yang dapat merangsang pembentukan
imunitas.(6)
3.2 Etiologi
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang
yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, termasuk
gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe
lain berdasarkan flagella antigen.(3)
Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan
ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick). Sifat spora ini tahan
dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila
dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka
spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat
merupakan flora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus,
ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob
dan kemudian berkembang biak.(2,5)
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia
dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas
dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya,
dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu
bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam
lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8
°F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan
agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan
secara fisik dan biologik.(1,4,8)
Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptic
Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17°C dalam media kaldu daging dan
media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus
tidak dapat memfermentasikan glukosa.(9)
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya
luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan.
Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus
dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga
tengah, pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau
subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam
yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau
sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser
yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.(7,11)
Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam
eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein
dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan
cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan
kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui
beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala
berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang. Tetanolisin
menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.(4,6)
3.3 Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada
jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik
lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa.
Tetanus pada anak tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi
dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki
lebih tinggi daripada anak perempuan dengan perbandingan 3:1, akibat perbedaan
aktivitas fisiknya (2). Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia.
Tabel 3.1 Data insidens tetanus menurut WHO
3.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran
lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack
rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port d’entree
tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui (8)
1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar
yang luas.
2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan
kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan
penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan
terjadinya kasus tetanus neonatorum.
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke
dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi
anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat
tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya
disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C.
tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini.
Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin
melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate di otot
rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem
saraf simpatis. Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5
nanogram per kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar gram), atau 175
nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg.(11)
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang
lebih penting, mungkin keduanya terlibat.
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular
junction lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara
transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport
secara retrograd menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang merupakan
zincdependent endopeptidase memecah vesicleassociated membrane protein II
(VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptide tunggal. Molekul ini
penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini
mengganggu transmisi sinaps.(7)
Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin
dan γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor
neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks
motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan
peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan
potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena
paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis
terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak.(3,10)
Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom
menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan
peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel,
pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga
memanjangkan durasi penyakit ini (2,5)
Dampak toksin antara lain :
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida
serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi,
aritmia, heart block, atau takikardia.
3.5 Gejala Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari (rata-rata 7 hari), tetapi bisa
lebih pendek (1 hari atau hingga beberapa bulan). Selang waktu sejak munculnya
gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset. Periode
onset maupun periode inkubasi secara signifikan menentukan prognosis. Makin
singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari) menunjukkan makin
berat penyakitnya.(1,4)
Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya
kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar
jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek
masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian. (7,6)
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni : (2)
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka
bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang
terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari
jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens.
Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher,
kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa
trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan
dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah,
hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot
punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal,
mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang
kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga
3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi
serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang
tidak umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga
beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal
dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan.
Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah
infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik
(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga
tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis
biasanya buruk.
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada
negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian
neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang
terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi.
Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum
ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus
dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan.
Tabel 3.2. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus
Derajat Manifestasi Klinis
I : Ringan Trismus ringan sampai sedang (± 3cm);spastisitas umum tanpa spasme atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan
II : Sedang Trismus sedang (3cm); rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit; disfagia ringan
III: Berat Trismus berat (1cm); spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia berat
IV : Sangat Berat (derajat III + gangguan sistem otonom
termasuk kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap
3.6 Diagnosis
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat
penyakit dan temuan saat pemeriksaan. Laporan singkat The American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki
spesifisitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien
terinfeksi menunjukkan hasil positif). Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal
biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif ), dan
hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi.(5,1)
Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat
adalah meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia
temporomandibular yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani
hipokalsemia, histeri, encefalitis, terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan
rabies.(2,8)
3.6.1. Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain: (4)
Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan
nanah atau gigitan binatang?
Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
Apakah pernah menderita gigi berlubang?
Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang
terakhir?
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?
3.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :
Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk
membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut mencucu
seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai
kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak
dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah.
Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot
punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat
dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena
sinar yang kuat. Lambat laun sampai masa istirahat‖ spasme makin pendek
sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.
Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan
cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak
bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi kaku
serta terdapat spasme intermiten.
Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat
spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat
menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom
menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan
pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau
berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi
retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan
kompresi tulang belakang.
Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan
menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika
terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa
refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji spatula memiliki
spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi
(94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang positif).18
3.6.3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.(10,11)
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.
Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak
mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.
Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain
mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya
sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari
pasien yang tidak mengalami tetanus.
Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai
imunisasi dan bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah
potensial aksi.
Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG
3.7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.
Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut (3,9):
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak
dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan
terdapat kelainan likuor serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme
karpopedal.
3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada
anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media
supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.
3.8. Komplikasi Tetanus
Tabel 3.3 menggambarkan beberapa komplikasi akibat tetanus.(7,5)
Sistem tubuh Komplikasi
Jalan Nafas *Laserasi*Laringospasme/obstruksi
Respirasi *Apnea*Hipoksia*Emboli Paru,dll
Kardiovaskular *Takikardi, Hipertensi,Iskemia*Hipotensi, Bradikardia*Takiaritmia,Bradiaritmia*Gagal jantung
Ginjal *Gagal ginjal*Stasis Urin
Gastrointestinal *Stasis Lambung*Ileus,*Diare, perdarahan
Lain-lain *Status Konvulsius*Dehidrasi*Tromboemboli*Sepsis dan gagal organ multiple*Avulsi tendon selama spasme
3.9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut (9,10,1):
1. Penanganan spasme.
2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.
3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan
dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis
tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin
tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan.
Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar
dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan.
4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman,
untuk memusnahkan pabrik penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum
eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan.
5. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena
biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme
berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus
yang berat, disfagia atau hidrofobia.
Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri
dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi,
mengatasi spasme, perawatan luka atau port’d entree lain yang diduga seperti
karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian
antibiotik dan serum anti tetanus.
3.9.1 Tatalaksana Umum
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian
obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda
dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian
khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.
3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan
pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3
mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang
direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral
dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan
pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk
anak dengan BB ≥10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3
mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan
dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi
(tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk
menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari.
Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat
diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari.
Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku,
kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis
diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih spasme atau mengalami
spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan
intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan
mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah
memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari.
Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan secara bertahap (berkisar antara 20%
dari dosis setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan morfin
dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di ICU karena
terdapat risiko depresi pernapasan.
5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’entree, maka diperlukan
konsultasi dengan dokter gigi/THT.
3.9.2 Tatalaksana Khusus
1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG). Dosis ATS yang
dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian
ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak, pemberian anti
serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah
sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara
intramuskular (IM) dalam dosis tunggal atau 100-300 IU/kgbb. Untuk bayi,
dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan
secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin
tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline
(IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak
tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap
imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline sebelumnya;
trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian secara IM. Pada keadaan tetanus berat memerlukan
perawatan di perawatan intensif. Selain penatalaksanaan diatas, berikan tambahan
penatalaksanaan berikut :
HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari 4-
30%).
Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.
Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.
Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui infus iv.
Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi yang
berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan labetolol,
magnesium, klonidin atau nifedipin.
Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain
dapat diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin
diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare serta
menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu
spasme yang berpotensi menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit
yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur terapeutik harus
dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan tetanospasmin dapat
berkurang hingga minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah pasien
mendapat sedasi dan relaksasi optimal. Karena toksin tetanus sangat kuat,
penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi dengan toksoid tetanus
harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi tetanus pada anak
merupakan infeksi yang akut sehingga relative tidak mengganggu tumbuh
kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum dapat terjadi gangguan
tumbuh kembang akibat hipoksi berat. Selanjutnya pasien diberikan imunisasi
tetanus.
2. Antibiotika. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah
menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan.
Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan
dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari.
Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif.
Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari
selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan
tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin
membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G
secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam
selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap
tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).
Tabel 3.4 menggambarkan perbandingan antara penisilin dan metronidazol.
Tabel 3.4. Perbedaan Penisilin dan Metronidazol
Penisilin Metronidazol
Spektrum Spektrum luas, bakteri Gram (+), anaerob
Spektrum sempit, obligat anaerob
Mekanisme Kerja Menghambat sintesis dinding sel
Menghambat sintesis DNA
Stabilitas Tidak Stabil Stabil
Reaksi Alergi Sering Jarang
Resistensi Sering Jarang
Struktur Menyerupai GABA: menginduksi spasme
Akses IM Oral, rektal, IV
b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang
sesuai. Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan klostridium di
tempat luka yang dapat memproduksi toksin.
Dari penjelasan sebelumnya, penatalaksanaan tetanus dapat digambarkan
secara lebih ringkas dan sistematis seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 3.5. Pengelolaan Tetanus
Eradikasi bakteri penyebab
Pembersihan luka
Antibiotik Metronidazol 15-30 mg/kgbb/hari dibagi tiap 8-12 jam ; tidak melebihi 2g/hari
Antitoksin netralisasi terhadap luka
Antitoksin kuda atau manusia
Human tetanus immune globulin (3000-6000 IU/kg i.m)Anti tetanus serum (ATS) 50000 IU im dan 50000 IU iv(untuk tetanus neonatorum 10000 IU iv)
Terapi suportif fase akut
Kontrol spasme otot
Diazepam (iv bolus) 0,1-0,3 mg/kgBB/kali i.v. tiap 2-4 jam, tetanus neonatorum dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari Dalam keadaan berat diazepam drip 20 mg/kgBB/hari dirawat di PICU/NICU. Dosis pemeliharaan 8 mg/kgBB/hari p.o. dibagi dalam 6-8 dosisMidazolam (iv infus/bolus)Vekuronium Bila spasme sangat hebat pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB iv diikuti 0,05 mg/kgBB/dosis diberikan setiap 2-3 jam
Sedasi Diazepam (iv bolus)Midazolam (iv infus/bolus)Morfin (im/iv)Klorpromazin
Pemeliharaan jalan napas / ventilasi
TrakeostomiTekanan positif intermiten Ventilasi
Pemeliharaan hemodinamik
Penggantian volum yang cukupSedasi (seperti di atas)Inotropik
*Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan diberikan beta bloker seperti propanolol atau alfa dan beta bloker (labetolol)
Rehabilitasi &Imunisasi
NutrisiFisioterapiTerapi primer penuh dari TT
3.10 Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi
angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan
kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis
tetanus. (6) Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan
keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya
menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis.
Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam
menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus
neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena
mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis
baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan
hidup, meskipun terjadi tetanus.(3)
Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan prognosis
tetanus menurut sistem skoring Bleck:
Tabel 3.6. Sistem Skoring Bleck
Sistem Skoring 1 0Masa Inkubasi < 7 hari ≥ 7 hariAwitan Penyakit < 48 jam ≥ 48 jamTempat Masuk Luka bakar, luka operasi,
bagian dari fraktur, aborsi septik, tali pusat, dll
Selain tempat tersebut
Spasme (+) (-)Suhu*Aksila*Rektal
>38,4 ˚> 40 ˚
≤ 38,4˚≤ 40 ˚
Takikardi (>120x/i) (+) (-)Tetanus Umum (+) (-)Adiksi Narkotika (+) (-)
Skor total menunjukkan derajat keparahan penyakit seperti diuraikan pada tabel
berikut ini:
Total Skor Derajat Keparahan Tingkat Mortalitas0-1 Ringan < 10%2-3 Sedang 10-2-%4 Berat 20-40%5-6 Sangat Berat >50%
3.11 Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan
mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan (2,10):
1. Imunisasi aktif.
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang
sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Toksoid tetanus
pertama kali diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus
digunakan secara luas pada militer selama Perang Dunia II. Terdapat dua
jenis toksoid tetanus yang tersedia –adsorbed (aluminium salt
precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam
kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai
DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT.
Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf
dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin
pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.
Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam penelitian.
Kesimpulan bahwa kadar antitoksin bersifat protektif setelah diberikan
toksoid tetanus yang lengkap terlihat manfaatnya secara klinis hingga
100%; jarang ditemukan kasus tetanus pada orang yang telah diimunisasi
secara lengkap dalam waktu 10 tahun setelah dosis terakhir. Pada beberapa
orang, imunitas dapat terjadi seumur hidup atau pada sebagian besar orang
memiliki kadar antitoksin yang minimal setelah 10 tahun. Akibatnya,
diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang rutin dilakukan setiap 10
tahun. Oleh karena itu, peranan pencegahan dengan imunisasi sangatlah
penting. Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan bahwa kasus
tetanus hanya terjadi pada anak-anak yang tidak diimunisasi karena orang
tua menolak memberikan vaksinasi.25 Ibu yang mendapat TT 2 atau 3
dosis ternyata memberikan proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir dari
tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup
untuk memberi proteksi terhadap bayinya. Pada bayi imunisasi tetanus
dapat diberikan dalam bentuk imunisasi kombinasi yaitu DPT. Diberikan
sebanyak 3x yaitu pertama kali diberikan ketika berumur 2 bulan (2,4,6)
atau tidak boleh diberikan sebelum usianya mencapai 6 minggu, dan
dengan interval 4-8 minggu.
2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka
kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan
luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan
nekrotik dan benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus
neonatorum sangat bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak
aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada
perawatan tali pusat penting diperhatikan hal berikut:
- Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan
apapun kedalamnya
- Mengoleskan povidon/sejenisnya iodine masih diperkenankan tetapi
tidak dikompreskan karena dapat menyebabkan tali pusat lembab.
3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam)
dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS
profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka.
Dosis untuk anak < 7 tahun : 4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis
untuk anak ≥ 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal.
BAB 4PEMBAHASAN
Pasien ini didiagnosis dengan tetanus anak. Berdasarkan anamnesis
diketahui bahwa pasien ini mengalami kekakuan pada seluruh tubuh dan tidak
bisa membuka mulut, dimana ditinjau dari riwayat terdahulu ibu pasien
mengatakan bahwa 1 minggu sebelum timbul gejala pasien memiliki riwayat
trauma yaitu tertusuk kawat pada bagian telapak kakinya. Ibu pasien juga
mengatakan bahwa pasien tidak mendapatkan imunisasi yang lengkap. Penegakan
diagnosis pada pasien ini didasarkan pada anamnesa dan temuan klinis yaitu
terdapatnya trias dari penyakit tetanus yang berupa adanya trismus, rhisus
sarrdonicus dan opistotonus.
Dari keluhan dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa derajat keparahan
dari tetanus pasien ini adalah derajat berat. Oleh karena itu pasien ini diberikan
tetagam untuk mencegah tetanospasmin yang dihasilkan oleh kuman tetanus
menyebar lebih lanjut, antibiotik diberikan karena penyebab dari tetanus ini
adalah bakteri, sedangkan diazepam diberikan untuk mengatasi kejang/kaku pada
pasien ini.
BAB 5KESIMPULAN
Tetanus adalah penyakit infeksi akut dengan tanda utama kekakuan dan
kejang otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh
kuman Clostridium tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung,
tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman
pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan
neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom.
Pemeriksaan penunjung seperti laboratorium dan radiologis tidak perlu
dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis,
gejala klinis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang yang memiliki
manfaat cukup bearti adalah kultur kuman C.tetani.
Penggunaan Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG) terbukti
efektif dalam mencegah penyebaran toksin dari kuman tetanus lebih lanjut.
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi
angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan
kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis
tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan
status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi
semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dawn MT, Elisson RT. Tetanus. In: Irwin RS, Rippe JM, editors. Irwin and Rippe’s intensive care medicine. 6th ed. Massachusetts: Lippincot Williams & Wilkins. 2008.1140-1.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penatalaksanaan tetanus pada anak.Jakarta: DEPKES RI.
3. Pusponegoro HD, Hadinegoro ARS, Firmanda D, Tridjaja AAP. 2004. Standar pelayanan medis kesehatan anak, edisi ke-1. hlm. 99-108.
4. Quasim S. Management of tetanus.World Anaesthesia Tutorial of the Week. Vol 87 No.3 [Internet]. 2001 [cited 2013 Oct 20]. Available from: http://www.aagbi. org/sites/default/fi les/17-management-of-tetanus.pdf.
5. Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. 2008. Buku ajar infeksi dan penyakit tropis, edisi ke-2. Jakarta: Penerbit IDAI.
6. Towesy R. Tetanus: a review.Update in Anesthesia. Vol 43 No. 19.2005 [cited 2013 Oct 20].Availablefrom : http :// www .update . anaesthesiologist.org/wp-content/tetanus-areview
7. Thwaites CL, Farrar JJ. 2003. Preventing and treating tetanus. BMJ. 326:117-8.
8. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian emergencies. WHO Tech Note. [Internet]. 2010 [cited 2013 Oct 20]. Available at: http://www.whqlibdoc.
9. WHO Immunization surveillance, assessment and monitoring . Diunduh pada 15 Agustus 2008 dari http://www.who.int/vaccines/globalsummary
10. World Health Organization. 2011. Progress towards the global elimination of neonatal tetanus. Wkly Epidemiol Rec. 74:73-80.
11. Witt MD, Chu LA. Infections in the critically ill. In: Bongard FS, Sue DY, eds. Current critical care diagnosis and treatment. 2nd ed. California: McGraw-Hill; 2003.p.432-4.
12. Garna H, 2013, Pedoman Diagnosis Dan Terapi, Edisi 5, Departemen /SMF Ilmu Kesehatan Anak fakultas Kedokteran UNPAD, Bandung.