Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam
(Studi Komparatif Undang-undang Hukum Keluarga Indonesia_Tunisia)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
DINDA CHOERUL UMMAH
1110044100005
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M
v
ABSTRAK
Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam
(Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia_Tunisia)
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library reseach), yaitu
penelitian yang dilakukan dengan jalan menelaah bahan-bahan pustaka baik berupa
buku, jurnal, maupun sumber lainnya. Teknik dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan, sedang pengumpulan datanya adalah menggunakan data primer dan
sekunder. Pendekatan penelitian digunakan adalah pendekatan normatif serta
filosofis, yaitu pendekatan dengan melihat persoalan yang dikaji dengan
berlandaskan pada teks-teks Al-Qur’an, Al-Hadis serta pendapat ulama yang
berkaitan dengan poligami. Pendekatan filosofis dengan memahami masalah
tersebut dengan hikmah-hikmah dan tujuan yang terkandung dalam suatu
penetapan hukum.
hasil dari penelitian ini adalah pengetahuan perbandingan hukum keluarga
Islam ini sangat penting di Indonesia, karena seringkali kita memperdebatkan
sesuatu hal yang orang lain di Negara lain telah menyelesaikan masalah itu
puluhan tahun sebelumnya. Meskipun kriminalisasi poligami belum menjadi potret
umum dari hukum/undang-undang yang berlaku di negara-negara Muslim, namun
keberadaannya semakin dipertimbangkan dan tetap menjadi salah satu topik hangat
masyarakat Muslim Dunia saat ini. Adalah menarik jika kriminalisasi poligami di
Indonesia juga dapat ditelaah lebih dekat, dan melihat bagaimana sebagian negara
Muslim lain memberlakukannya, kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam
konteks doktrin Hukum Islam konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai
salah satu citra dinamisasi dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara
Muslim modern. Seperti halnya di Negara Tunisia yang penduduknya hampir 97%
memeluk Agama Islam tetapi dalam hal poligami negara tunisia ini mutlak
melarang dan menerapkan sanksi hukum terhadap pelaku poligami dengan
kurungan penjara selama 1 tahun dan denda 240.000 Malim. Pemerintah Indonesia
meregulasi prosedur poligami dengan persyaratan alternatif dan kumulatif yang
harus dipenuhi oleh para pihak yang ingin berpoligami. Sampai saat ini undang-
undang perkawinan belum mengatur sanksi pidana bagi suami yang berpoligami
tanpa seizin pengadilan agama, adapun rencana pemberlakuan sanksi hukumnya
termuat dalam rancangan undang-undang hukum materiil Pengadilan Agama
(RUU HMPA) tahun 2008), ng hingga saat ini masih belum diputuskan.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah,
dan kenikmatan, terutama nikmat jasmani berupa kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa kita sanjungkan kepada
jungjungan kita, tauladan kita, yaitu baginda Nabi agung Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari zaman jahiliyyah menuju zaman ilmiah seperti sekarang ini,
mudah-mudahan kita semua akan menjadi salah satu bagian dari ummat beliau yang
akan mendapatkan syafaatnya di hari kiamat nanti. Aamiin.
Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis
jumpai tapi syukur alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya, kesungguhan kerja
keras, do’a, serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak
langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya pada akhirnya skripsi
ini dapat terselesaikan.
Oleh karena itu sudah sewajarnya penulis pada kesempatan ini ingin
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. DR. Komarudin Hidayat,
MA.
2. Bapak Dr. Phil. JM. Muslimin, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
3. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A., selaku
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Segenap Bapak dan Ibu dosen, pada lingkungan Program Studi Ahwal
Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah memberikan banyak ilmu selama penulis duduk di bangku kuliah.
5. Bapak Dr.H.M. Nurul Irfan, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing skripsi.
6. Pimpinan dan staf Perpustakaan umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum atas pelayanan dan penyediaan buku-
bukunya.
7. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak H. Muchobar HAS dan Hj. Oyok Masruhah
yang telah banyak membantu penulis baik berupa materi dan spirit utamanya
do’a serta tak bosan-bosan memberikan semangat tuk terus belajar, yang pada
akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi.
8. H. Ahmad Tahsinul Faiz Syarofi, S.S.I. seseorang yang selalu memberikan
semangat serta pengalaman tentang “Apa Arti Hidup” semoga harapan kita kan
tercapai.
9. Teman-teman Peradilan Agama dan sahabatku Aidah Nur’arafah, Fadhilatunnisa,
Sahro Batubara, Iku Den Yu’fa, Occa, teh Eni, ka Lia, ka Ayu, yang selalu
menemani dan membantu penulis dalam suka dan duka serta tak pernah bosan
dalam memberikan motivasi pada penulis.
viii
Semoga amal baik mereka dibalas dengan balasan yang berlipat ganda oleh
Allah SWT, dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi pembaca yang budiman. Kritik serta saran atas
kekurangan dalam penulisan skripsi ini penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya
sebagai penyempurna atas karya ilmiah ini.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 9
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 10
E. Metode Penelitian ........................................................................................ 12
F. Sistematika Penulisan .................................................................................. 14
BAB II: POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA
DAN TUNIASIA
A. Sekilas Tentang Kriminalisasi Praktik Poligami ......................................... 15
1. Pengertian Kriminalisasi Praktik Poligami ........................................... 15
2. Sekilas Tentang Poligami ...................................................................... 15
B. Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
x
1. Sekilas Gambaran Umum Hukum Islam di Indonesia .......................... 18
2. Poligami di Indonesia ............................................................................ 19
3. Poligami dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia .............. 23
a. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .................................... 23
b. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 ...................................................................................... 25
c. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil ...................................... 27
d. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP
NO. 10 Tahun 1983 ......................................................................... 32
e. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (KHI) ....................................................................................... 36
f. KUHPer (BW) .................................................................................. 38
C. Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam di Tunisia
1. Sekilas tentang Negara Tunisia ............................................................. 39
2. Poligami di Tunisia ............................................................................... 42
3. Poligami dalam Regulasi Perundang-undangan di Tunisia ................... 44
BAB III: KOMPARASI PEMBERLAKUAN SANKSI POLIGAMI ANTARA
INDONESIA DAN TUNISIA
A. Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami di Indonesia .................................. 47
1. Poligami dalam UUD No. 1 Tahun 1974 .............................................. 47
xi
2. Poligami dalam PP No. 9 Tahun 1975 .................................................. 49
3. Poligami dalam PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990 .... 49
4. Poligami dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (KHI) ........................................................................................... 51
B. Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami di Tunisia ..................................... 57
C. Komparasi Sanksi Poligami Antara Indonesia dan Tunisia ........................ 61
BAB IV: PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 66
B. Saran-saran .................................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan.
Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan
adalah untuk dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Maka untuk
menegakkan keluarga yang bahagia dan menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.
Setiap orang mendambakan keluarga yang bahagia. Kebahagiaan harus
didukung oleh rasa cinta kepada pasangan. Cinta yang sebenarnya menuntut agar
seseorang tidak mencintai orang lain kecuali pasangannya. Cinta dan kasih
sayang merupakan jembatan dari suatu pernikahan dan dasar dalam pernikahan
adalah memberikan kebahagiaan. Namun kenyataannya dalam menjalani
kehidupan perkawinan pasti selalu ada permasalahan-permasalahan yang muncul
yang mana hal ini dapat memicu timbulnya keinginan suami untuk melakukan
poligami. Persoalan yang muncul biasanya mencakup tiga hal yaitu kekurangan
ekonomi, hubungan keluarga yang kurang harmonis, seks dan perselingkuhan.1
Poligami merupakan salah satu pembahasan penting yang mendapatkan
perhatian khusus. Karena itu tidak mengherankan jika pembahasan masalah
poligami diletakkan di awal surat An-Nisa`[4] ayat ketiga. Sebagaimana bisa
1Repository.usu.ac.id/Latar Belakang Masalah Perkawinan, artikeldiakses pada 19 November 2013.
Dari http://repository.usu.ac.id/bitstream.html.
2
dilihat pada ayat ketiga dan merupakan satu-satunya ayat dalam at-tanzil yang
membicarakan masalah ini, akan tetapi para mufasir dan para ahli fiqih,
terkadang seringkali telah mengabaikan keterkaitan erat asbabun nuzul dengan
kontek sosial historis serta sosiologis atas masalah poligami.
Beberapa pemikir muslim kontemporer, seperti Muhammad Abduh
seorang ulama reformis dari Mesir berpendapat bahwa praktek poligami adalah
suatu tindakan yang dilarang atau diharamkan jika tujuannya untuk kesenangan
dan hanya pemenuhan kebutuhan seksual.Sebab, jika manusia mempertuturkan
hasrat biologis ini harkat manusia tidak berbeda dengan sikap binatang.2
Poligami mengandung pandangan yang kontroversial.Poligami
merupakan masalah problematik tersendiri, krusial dan kontroversial dalam
masyarakat modern di berbagai negara khususnya Indonesia. Para fuqaha klasik
Imam Syafi‟i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa laki-laki boleh berpoligami
secara mutlak tanpa persyaratan apapun.Bagi as-Syafi‟i poligami diperbolehkan
secara mutlak selama jumlahnya tidak melebihi empat orang, tidak
menyinggung tentang keadilan maupun hak isteri terhadap suaminya kecuali
penggiliran isteri-isteri, nafkah dan warisan.Ulama Hanafiah, berpendapat
bahwa keadilan suami pada isteri lebih ditekankan pada masalah lahiriah, seperti
pembagian giliran, makanan, dan pergaulan.Akan tetapi suami tidak dituntut
2Anif Rahmawati, ”Kriminalisasi Praktek poligami di Indonesia”. Artikel diakses pada 19 November
2013 dari http://Aneifrahmawati.blogspot.com/2011_11_archive.html.
3
berlaku adil dalam hal yang berkaitan kepuasan psikis, misalnya dalam
hubungan seks.
Dalam konteks Negara Indonesia, masalah poligami diatur dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia. Pasal 3
dari Undang-undang tersebut bahwa pada prinsipnya asas perkawinan di
Indonesia adalah monogami. Selanjutnya pasal 4 menyatakan bahwa pengadilan
yang memutus boleh tidaknya seorang suami beristeri lebih dari satu, apabila
memenuhi syarat tertentu. Izin poligami akan diberikan oleh pengadilan apabila:
1. Isteri tidak menjalankan kewajiban sebagai isteri
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Isteri tidak bisa memberikan keturunan
Pemerintah Indonesia meregulasi prosedur poligami dengan persyaratan
alternatif dan kumulatif yang harus dipenuhi oleh para pihak yang ingin
berpoligami melihat dari kenyataan perilaku masyarakat yang berubah sehingga
ketentuan poligami di Indonesia diperketat agar ketika seseorang hendak
melakukan poligami akan lebih berfikir ulang daripada konsekuensinya.
Sebelum pemberlakuan UU Perkawinan No. 1/1974 di Indonesia,
seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan poligami.
Ia hanya diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas
pencatat perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Secara substansial
Hukum Perkawinan merubah keadaan ini, namun sesungguhnya masih bersifat
4
mendua.Di satu sisi, prinsip yang menyatakan bahwa perkawinan yang
merupakan institusi monogami dianggap telah mendasari ketentuan-ketentuan
hukum tersebut (Pasal 3); dan memang salah satu tujuan utama dari UU
Perkawinan adalah untuk menekan tingkat perkawinan poligami. Di sisi lain,
UU tersebut memperkenankan laki-laki untuk mempunyai lebih dari seorang
istri jika ia mampu memenuhi persyaratan dari sejumlah ketentuan UU tersebut,
diperbolehkan oleh agamanya, dan memperoleh izin dari Pengadilan Agama.3
Ketentuan yang sama tetap dipertahankan dalam Kompilasi Hukum
Indonesia (KHI) yang ditetapkan pada tahun 1991. Pengadilan dalam hal ini
memainkan peran penting dalam pemberian izin kepada suami untuk
berpoligami. Meskipun demikian baik UU No. 1 /1974 maupun KHI tidak
mencantumkan sanksi hukum terhadap pihak yang melakukan pelanggaran.
Sanksi poligami baru dapat ditemui dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun
1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974, disebutlkan bahwa pelaku poligami
tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-.Sanksi hukum
juga dikenakan kepada petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan
seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan hukuman
kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-.
Selain itu, hukuman yang relatif berat dijatuhkan bagi Pegawai Negeri
Sipil yang berpoligami di luar ketentuan yang ditetapkan. Disebutkan dalam
3Ibid., hal. 3
5
Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990
tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
Pegawai Negeri Sipil, bahwa PNS dan atau atasan/pejabat, kecuali Pegawai
Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat
berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.
Meskipun kini perkawinan poligami telah dan agaknya akan menjadi hal
yang jarang terjadi di Indonesia, namun efektifitas hukum yang mengatur
poligami kelihatannya masih diragukan. Di antara faktor penyebabnya adalah
sanksi hukum atas pelanggaran UU ini, denda Rp. 7.500,- atau kurungan 3
bulan, sudah dianggap tidak sesuai kondisi saat ini. Hukuman tersebut tidak
cukup keras mencegah pelanggaran hukum tersebut. Selain itu masih terjadinya
dualisme hukum di Indonesia: Hukum Islam tradisional versus hukum negara,
mengakibatkan para pelaku poligami lebih memilih berlindung pada hukum
Islam tradisional yang mengabsahkan poligami tanpa khawatir akan dijatuhi
hukuman seperti yang diberlakukan oleh Hukum Islam “produk negara”.
Sedangkan pemberlakuan sanksi bagi PNS meskipun cukup berat namun
disayangkan hanya untuk kalangan terbatas.4
Walaupun sudah diatur dalam berbagai peraturan, nampaknya
masyarakat Indonesia belum mematuhi peraturan ini sebagaimana meskinya.
4Ibid., hal. 5.
6
Namun kenyataannya dilapangan, masih banyak orang Islam yang melakukan
poligami liar dengan berbagai alasan dan kepentingan.5
Salah satu trend reformasi hukum keluarga di Dunia Islam modern
adalah diberlakukannya sanksi hukum (kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum
klasik yang cenderung tidak memiliki sanksi hukum, misalnya, beralih kepada
aturan-aturan dan hukum produk negara yang tidak saja membatasi dan
mempersulit, namun bahkan melarang dan mengkategorikan suatu masalah
seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal. Seperti
dalam hal poligami, meskipun kriminalisasi poligami belum menjadi potret
umum dari hukum/undang-undang yang berlaku di negara-negara Muslim,
namun keberadaannya semakin dipertimbangkan dan tetap menjadi salah satu
topik hangat masyarakat Muslim Dunia saat ini. Adalah menarik jika
kriminalisasi poligami di Indonesia juga dapat ditelaah lebih dekat, dan melihat
bagaimana sebagian negara Muslim lain memberlakukannya, kemudian
dikomparasikan satu sama lain dalam konteks doktrin Hukum Islam
konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai salah satu citra dinamisasi
dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara Muslim modern.6
5 Yayan Sopyan, Islam Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional),
Jakarta , PT. Wahana Semesta Intermedia, cet. Kedua, hal. 166. 6 Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”. Artikel diakses pada 19 November 2013
dari http://publik-syariah.blogspot.com/2011/04/Kriminalisasi-trend-reformasi.html.
7
Pengetahuan perbandingan hukum keluarga Islam ini sangat penting di
Indonesia, karena seringkali kita memperdebatkan sesuatu hal yang orang lain di
Negara lain telah menyelesaikan masalah itu puluhan tahun sebelumnya.
Walaupun agak distinctive, apa yang ditetapkan di Indonesia bukanlah
sesuatu hal yang baru. Di beberapa negara Muslim, praktik poligami juga masih
boleh dilakukan dengan beberapa pembaharuan dalam praktik atau
pemberlakuannya. Di Mesir misalnya, poligami masih diperbolehkan untuk
dilakukan sesuai ketentuan dan syarat yang telah diberlakukan.7
Turki dan Tunisia adalah dua di antaranegara-negara berpenduduk
mayoritas beragama Islam yang melakukan pelarangan terhadap kaum prianya
melakukan poligami. Melalui Majallah al-ahwal-Sykhsiyyah No. 66 tahun 1956
(dimodifikasi pada tahun 1959,1964,1981 dan 1993), Tunisia melarang praktik
poligami secara mutlak. Dan, melalui UU civil Turki Tahun 1926, Turki juga
secara jelas melarang praktik poligami.8 Namun tidak diberlakukannya sanksi
hukum. Berbeda dengan Negara Tunisia. Negara Tunisia mutlak melarang
poligami dan diberlakukannya sanksi hukum terhadap pelaku poligami. Inilah
yang menarik dari Negara Tunisia. Apa yang melatar belakangi negara Tunisia
melakukan sanksi terhadap pelaku poligami yang memang bukan isu baru dalam
wacana dan perdebatan hukum islam.
7 Asep Saeupuddin Jahar,dkk, Hukum Keluarga, Pidana&Ekonomi, Kajian Perundang-Undangan
Indonesia, fikih dan Hukum Internasional, Jakarta, Kencana, 2003, Cet. Pertama, hal. 33. 8 Ibid., hal. 34.
8
Untuk itu penulis tertarik dengan masalah tersebut di atas maka penulis
akan menuangkan dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Kriminalisasi
Poligami Dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam (Studi Komparatif
Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia_Tunisia)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Meniadakan adanya kajian yang menjadi luas dan tidak terbatas,
disebabkan terlalu banyaknya negara Islam yang ada di dunia ini, maka
penulis membatasi permasalahan dan akan menjelaskan mengenai
kriminalisasi terhadap pelaku poligami di Indonesia dan Tunisia. Berdasarkan
latar belakang dan permasalahan di atas, maka penulis dapat menarik
beberapa rumusan masalah untuk menemukan jawaban-jawaban di atas:
“Dalam teks syari‟ah maupun fiqh terdapat perbedaan untuk berpoligami,
sekalipun tingkat kebebasan dan kemutlakannya berbeda di kalangan ulama.
Dalam peraturan hukum keluarga Tunisia mutlak dilarang dan menerapkan
sanksi hukum terhadap pelaku poligami, sedang dalam peraturan
perundangan Indonesia diperbolehkan dengan syarat-syarat yang ketat. Untuk
inilah penulis ingin menelusuri lebih jauh analisis perbandingan terhadap
peraturan perundangan Hukum keluarga Tunisia dan Indonesia”.
9
2. Perumusan Masalah
Rumusan tersebut di atas dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
a. Bagaimana poligami menurut Hukum Perkawinan Islam di Indonesia dan
Tunisia?
b. Bagaimana bentuk sanksi pelaku poligami di Indonesia dan Tunisia?
c. Apa perbedaan dan persamaan sanksi poligami di Indonesia dan Tunisia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui poligami menurut hukum perkawinan Islam di
Indonesia dan Tunisia
b. Untuk mengetahui bentuksanksi pelaku poligami di Indonesia dan
Tunisia
c. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan sanksi poligami di
Indonesia dan Tunisia
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi peneliti/penulis sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar strata
satu (S1) dan dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang
ini.
10
b. Penulisan skripsi ini diharapkan mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan, menambah khazanah keilmuan dibidang hukum islam
khususnya bidang perkawinan.
c. Penelitian ini diharapkan akan menjadi pelengkap penelitian-penelitian
sebelumnya.
d. Memberikan sumbangan kepada mahasiswa atau siapa saja yang konsen
dengan permasalahan ini.
D. Tinjauan Pustaka
Setelah penyusun melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap
karya-karya ilmiah (skripsi) yang ada, terdapat beberapa skripsi yang membahas
aturan poligami namun hanya terdapat satu yang membahas poligami dalam
hukum keluarga di dunia muslim tentunya mempunyai hubungan dengan judul
skripsi ini. Di antaranya adalah :
1. Aris Munandar, Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam (Studi
Perbandingan Hukum Keluarga Indonesia-Turki), Fakultas Syariah dan
Hukum, 2007.
Skripsi ini lebih ditekankan dalam hal perbandingan poligami di negara
Indonesia_Turki dengan studi perbandingan hukum keluarga Indonesia No 1
Tahun 1974 (Indonesia : The Law On Marrieg 1974). Dan Turkey : Fifty
Years of Personal Reform 1915-1965 (Turki : 50 Tahun Pembaharuan
Hukum Tentang Pribadi 1915-1965) .
11
Perbedaan dengan skripsi ini yaitu skripsi ini lebih menekankan dalam hal
kriminalisasi terhadap pelaku poligami yang dikomparasikan dengan negara
Tunisia.
2. Arifin, Kontroversi atas Wacana Revisi Aturan Poligami di Indonesia,
Fakultas Syariah dan Hukum, 2008.
Skripsi ini membahas Kontroversi publik antara yang pro dan kontra
terhadap aturan poligami di indonesia
Perbedaan dengan skripsi ini yaitu melihat dari adanya pro dan kontra dari
aturan poligami dan dari kenyataan poligami di Masyarakat Indonesia
sehingga perlunya melihat aturan hukum di negara muslim lainnya yakni
penulis khususkan mengenai negara Tunisia yang mutlak melarang poligami.
3. Eri Prima, Kritik Feminisme Terhadap Aturan Poligami di Indonesia,
Fakultas Syariah dan Hukum, 2010.
Skripsi ini menekankan pada Aturan Poligami di Indonesia ditinjau dari
Perspektif Feminisme. Yakni dalam aturan yang ada, peluang untuk berpoligami
masih terbuka walau tidak terlalu besar. Namun pada kenyataan di lapangan
masihmelahirkan kekerasan terhadap wanita dalam rumah tangga.
Perbedaan dengan skripsi ini yakni skripsi ini lebih menekankan pada hal
aturan sanksi hukum terhadap pelaku poligami di Indonesiayang di
komparasikan dengan negara Tunisia.
12
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa aspek metode penelitian yang
akan digunakan yaitu:
1. Jenis Penelitian
Penelitian skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian
kepustakaan (Library Reseach) yaitu dengan meneliti berbagai buku, majalah,
surat kabar, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya
dengan judul yang dibahas dalam skripsi ini.
2. Data Penelitian
a. Sumber Data
Undang-undang perkawinan di Indonesia Nomor 1 Tahun 1974,
Kompilasi Hukum Islam. Dan The Code Of Personal Status and
Supplementari Laws 1956-1981 ( Tunisia: Kitab Undang-undang Hak
Pribadi dan Hukum-hukum Tambahan 1956-1981).
b. Jenis Data
Ada dua jenis data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini.
1) Data Primer: yaitu data yang berasal dari al-Qur‟an, kitab hadis, dan
buku-buku yang membahas masalah poligami dan aturan poligami.
2) Data Sekunder: yaitu data yang berupa dokumen-dokumen yang
terdapat dalam majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, dan artikel yang
relevan dengan tema dalam skripsi ini.
13
c. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah studi
naskah atau pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data yang membahas
tentang poligami, Undang-undang poligami, serta sanksi poligami di
negara Indonesia-Tunisia.
d. Teknik Pengolahan Data
Setelah data terkumpul dari berbagai sumber maka penulis akan
memaparkan data tersebut, kemudian penulis analisa. Secara teknis
penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” tahun
2007 cet.1.
e. Analisis data
Adapun analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis
komparatif. Penelitian Komparatif adalah penelitian yang bersifat
membandingkan. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan
persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek
yang diteliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu.
14
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini untuk mempermudah memahami isi skripsi,
maka penulis membagi isi skripsi ini ke dalam empat bab yang masing-masing
bab terdiri dari sub bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:
Bab Pendahuluan. Yang terdiri atas uraian latar belakang masalah,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Sekilas tentang kriminalisasi praktik poligami, Poligami dalam
hukum keluarga Islam di Indonesia, Poligami dalam hukum keluarga di Tunisia.
Bab III Berisi tentang sejarah terbentuknya aturan poligami di Indonesia,
Sejarah terbentuknya aturan poligami di Tunisia, Komparasi sanksi poligami
antara Indonesia dan Tunisia.
Bab IV Kesimpulan dan penutup.
15
BAB II
POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA
ISLAM DI INDONESIA DAN TUNIASIA
A. Sekilas Tentang Kriminalisasi Praktik Poligami
1. Pengertian Kriminalisasi Praktik Poligami
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kriminalisasi berarti proses
yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa
pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh
masyarakat.9 Dengan demikian kriminalisasi praktik poligami di sini
dipahami sebagai sikap yang mengategorikan praktik/perbuatan poligami
sebagai sebuah tindak pidana (crime), yang diancam dengan bentuk pidana
tertentu, baik pidana kurungan maupun pidana denda.10
2. Sekilas Tentang Poligami
Poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan
dari dua kata yakni “poli” atau “polus” yang artinya banyak, dan kata
“gamein” atau “gamos” yang artinya kawin atau perkawinan [Webster:1974).
Jika digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak. Kalau
dipahami dari definisi ini, maka sah untuk mengatakan bahwa arti poligami
adalah perkawinan banyak.
9 Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Balai Pustaka, Jakarta, 2001. hal. 600.
10 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta,1991), hal. 5.
16
Ada istilah lain yang maknanya mendekati makna poligami yaitu
“poligini”. Kata ini berasal dari “poli” atau “polus” artinya banyak dan “gini”
atau “gene” artinya istri, jadi poligini artinya beristeri banyak. Dalam bahasa
arab, poligami disebut ta’addud az-zaujat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan poligami atau poligini adalah
suatu sistem perkawinan di mana seorang pria mengawini lebih dari seorang
isteri dalam waktu yang bersamaan.11
Poligami memang bukan isu baru dalam wacana dan perdebatan
hukum Islam. Namun karena aturan-aturannya terus berkembang di beberapa
negara, termasuk di Indonesia, dan karena perbedaan cara pandang dari para
ulama dan ahli hukum terkait dengan hukumnya, isu poligami menjadi
menarik dan penting untuk didiskusikan.
Poligami merupakan salah satu bentuk pernikahan yang diatur dalam
hukum Islam. Mengacu pada hukum Islam (fiqh), poligami merupakan bentuk
pernikahan yang diperbolehkan. Mayoritas ulama memperbolehkan
pernikahan poligami, dan pandangan kebolehan pernikahan poligami ini
didasarkan pada ayat al-Qur‟an yang menyatakan bahwa seorang muslim
laki-laki boleh melakukan pernikahan dengan satu, dua, tiga, dan empat
wanita yang baik, seperti tercantum dalam ayat keempat Surat an-Nisa:
11
Yayan Sopyan, Islam Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam danal Hukum Nasional), hal.
139.
17
إن وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فاوكحوا ما طاب لكم مه الىساء مثىى وثلاث ورباع ف
اذلك أدوى ألا تعولواحدة أو ما ملكت أيماوكم خفتم ألا تعدلوا فو
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah
perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu
khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau
hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat
agar kamu tidak berbuat zalim”.
Ayat tersebut dipahami sebagai sebuah aturan kebolehan pernikahan
poligami, meskipun turunnya ayat tersebut dilatari oleh praktik pernikahan
yang dilakukan laki-laki dengan motivasi penguasaan harta anak dan atau
perempuan yatim. Tidak menghendaki adanya pernikahan dengan motivasi
tersebut, Allah menurunkan ayat tersebut untuk menghalangi praktik tersebut.
Namun, ayat tersebut kemudian dipahami sebagai sebuah dasar pembolehan
praktik pernikahan poligami secara umum. Meskipun beberapa kalangan
menafsirkan kebolehan dengan penekanan pada kalimat berikutnya yang
menyinggung tentang keadilan yang harus dipenuhi suami, mayoritas ulama
menganggap keharusan berlaku adil tersebut tidak terlalu penting mengingat
keadilan merupakan hal yang sangat abstrak. Para ulama Sunni-Malikiyah,
Syafi‟iyah, Hanabilah, dan Hanafiyah, menegaskan bahwa dalam poligami
18
tidak disyaratkan keadilan hati dan cinta. Terlebih, keadilan dalam masalah
nafkah juga tidak ditekankan.
Namun, sejalan dengan perkembangan zaman dan cara berfikir
tentang perlindungan hak-hak individu manusia, aturan poligami yang
ditemukan dalam buku-buku fikih mengalami penafsiran ulang dan
pembaharuan baik di Indonesia maupun di negara muslim lainnya.12
B. Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
1. Sekilas Gambaran Umum Hukum Islam di Indonesia
Negara Indonesia adalah merupakan negara kesatuan yang berbentuk
Republik dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar13
. Pancasila adalah dasar ideal negara dan
Undang-undang Dasar 1945 adalah dasar struktural negara yang
menggambarkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang menghargai dan
menghormati kehidupan beragama.
Sampai saat sekarang ini di negara Republik Indonesia berlaku
berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, hukum Islam serta hukum
Barat (baik itu civil law maupun common law atau hukum anglo sakson).
Indonesia adalah salah satu negara yang secara konstitusional tidak
menyatakan diri sebagai negara Islam tetapi mayoritas penduduknya
12
Asep Saeupuddin Jahar,dkk, Hukum Keluarga, Pidana&Ekonomi, Kajian Perundang-Undangan
Indonesia, fikih dan Hukum Internasional, hal. 29-30 13
Pasal 1 UUD 1945
19
menganut agama Islam. Secara sosiologis, hukum Islam dapat dikatakan telah
berlaku di Indonesia, sebab sebagian hukum Islam telah hidup dan
berkembang di masyarakat sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam, kemudian
berlaku pada masa penjajahan kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan.
Secara yuridis, sebagian hukum Islam telah dilaksanakan. Namun, perlu
diketahui penerapan prinsip berangsur-angsur dalam pengundangan hukum
Islam di Indonesia.14
2. Poligami di Indonesia
Indonesia yang dikenal sebagai negara muslim terbesar, menerapkan
hukum poligami relatif lebih longgar dibandingkan negara-negara muslim
lain.15
Ini disebabkan karena masih adanya praktik kawin bawah tangan yang
biasa dikenal dengan nikah siri, yakni nikah yang hanya dilaksanakan secara
Islam, tetapi tidak dicatat di KUA. Nikah seperti ini dianggap sah menurut
agama tetapi tidak memiliki kekuatan hukum.16
Masyarakat menganggap
perkawinan ini sah secara agama, meskipuntidak sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Di Indonesia
dalam hal poligami dibatasi dengan ketat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menggunakan istilah
“poligami” yang sudah populer dalam masyarakat. Menurut Undang-Undang
14
Supriyadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam ( Bandung:
Pustaka Al-Fikriis) 2009, hal. 183-184. 15
Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 9-10. 16
H.M. Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: AMZAH, 2013), hal. 211.
20
perkawinan ini adalah perkawinan yang bersifat monogami, namun demikian
beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan
dengan hukum agama yang dianutnya. Beristeri lebih dari satu orang dapat
dibenarkan asalkan dipenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang
ditetapkan oleh undang-undang. Perkawinan lebih dari satu orang dapat
dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu. Dalam
pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang
harus ada alasan-alasan yaitu (1) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai istri; (2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak dijelaskan
secara rinci apakah ketentuan tersebut ini bersifat kumulatif atau alternatif.
Oleh karena itu, penggunaan-penggunaan alasan tersebut diserahkan kepada
hakim.17
Apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut di atas sudah terpenuhi,
maka Pengadilan Agama juga harus meneliti apakah ada atau tidaknya syarat-
syarat tertentu secara kumulatif yaitu (1) persetujuan dari istri atau istri-
istrinya, kalau ada harus diucapkan di muka majelis hakim; (2) kemampuan
dari material dari orang bermaksud menikah lebih dari satu orang; (3)
jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan
17
Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 9-10.
21
berlaku adil ini dibuat dalam persidangan majelis hakim. Apabila syarat-
syarat ini sudah terpenuhi secara kumulatif, maka barulah Pengadilan Agama
memberi izin kepada pemohon untuk melaksanakan perkawinan lebih dari
satu orang. Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan
sebagaimana ketentuan tersebut di atas, maka perkawinan tersebut tidak
berdasarkan hukum dan kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi
sebagaimana tersebut dalam pasal 44 dan 45 undang-undang perkawinan.
Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal
yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau
kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya
secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam
menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan isteri muda
(madunya istri tua) menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan
ibu itu menjurus kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan
hidupnya, hal ini terjadi biasanya kalau ayah meninggal dunia. Agar hal-hal
yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang
kawin lebih dari satu orang, maka undang-undang perkawinan ini membatasi
secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan
mengantisipasi lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan
alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu. Undang-undang perkawinan
22
memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanankan itu betul-
betul membawa manfaat kepada mereka yang melaksanakannya.18
3. Poligami dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
a. UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kendatipun UUP perkawinan menganut asas monogami. Seperti
yang terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan, seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki
seorang suami. Namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam
keadaan tertentu poligami dibenarkan. Klausul kebolehan poligami
didalam UUP sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-
pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan tersebut.19
Dalam Pasal 4 UUP dinyatakan, seorang suami yang akan beristri
lebih dari seorang apabila:
1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dengan adanya bunyi pasal-pasal yang membolehkan untuk
poligami kendatipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas
18
Ibid., hal. 10. 19
Nuruddin, Amir dan Akma, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana, 2004, hal. 161.
23
yang dianut UU perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan
disebut monogami terbuka atau meminjam bahasa Yahya Harahap,
monogami yang tidak bersifat mutlak. Poligami ditempatkan di status
hukum yang darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa
(extra ordinary circumstance). Di samping itu lembaga poligami tidak
semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari hakim
(pengadilan).20
Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 di katakan bahwa:
“Pengadilan dapat memberi izin kepada sorang suami untuk
beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan”.
Dengan ayat ini, jelas sekali UUP telah melibatkan Pengadilan
Agama sebagai institusi yang cukup penting untuk mengabsahkan
kebolehan poligami bagi seorang. Di dalam penjelasan pasal 3 ayat 2
tersebut dinyatakan bahwa:
“Pengadilan dalam memberikan putusan selain memeriksa apakah
syarat yang tersebut pada pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat
pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami
mengizinkan adanya poligami”.
Berkenaan dengan pasal 4 di atas setidaknya menunjukan ada tiga
alasan yang dijadikan dasar mengajukan permohonan poligami.
20
Ibid., hal. 162.
24
Ternyata UU Perkawinan juga memuat syarat-syarat untuk
kebolehan poligami. Seperti yang termuat dalam pasal 5 ayat 1 UUP,
syarat-syarat yang dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan
poligami ialah:
1) Adanya persetujuan dari istri.
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka.
3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan
anak-anak mereka.
Untuk membedakan persyaratan yang ada di pasal 4 dan 5 adalah,
pada pasal 4 disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya satu harus
ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedanagkan pasal 5
adalah persyaratan komulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi
suami yang akan melakukan poligami.
Pada pasal 5 ayat 2 kembali di tegaskan bahwa:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila istri-istrinya tidak mungkin
dimintai persetujuanya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,
atau tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun, atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari
hukum pengadilan.
25
b. PP No 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974
Menyangkut prosedur melaksanakan poligami aturannya dapat
dilihat dalam PP No. 9 th 1975. Pada pasal 40 dinyatakan bahwa:
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari
seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis pada
pengadilan.Sedangkan tugas pengadilan diatur dalam pasal 41 PP No. 9 th
1975 sebagai berikut:
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
1) Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami
kawin lagi.
2) Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan
maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan
lisan, persetujuan itu harus di ucapkan di depan sidang pengadilan.
3) Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
a) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang
ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja.
b) Surat keterangan pajak penghasilan.
c) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
26
4) Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau
janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk
itu.
Berikutnya pada pasal 42 juga dijelaskan keharusan pengadilan
memanggil para istri untuk memberikan kejelasan atau kesaksian. Di
dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa pengadilan diberi waktu selam 30
hari untuk memeriksa permohonan poligami setelah diajukan oleh suami
lengkap dengan persyaratannya.21
Pengadilan agama memiliki wewenang untuk memberikan izin
kepada seseorang untuk melakukan poligami. Hal ini dinyatakan di dalam
pasal 43 yang berbunyi:
Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi
pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan
putusan yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.
Selain menjelaskan tentang prosedur permohonan untuk beristri
lebih dari seorang dalam PP ini juga diatur tentang ketentuan pidana bagi
yang melanggar pasal-pasal tersebut diatas. Pasal 45 menyebutkan:
21
Pasal 42 ayat 2 PP No. 9 tahun 1975: Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim
selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
27
Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3,
10 atau 40 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda
setinggi-tingginya Rp 7500,- (Tujuh ribu lima ratus rupiah).
c. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
Secara umum pernikahan dan perceraian bagi seluruh warga negara
Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975. Selain itu
khusus bagi warga negara Indonesia yang berstatus sebagai Pegawai
Negeri Sipil yang akan melangsungkan perkawinan dan perceraian juga
harus tunduk pada ketentuan lain, ketentuan yang dimaksud adalah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1983 tentang
Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 tahun 1990 tentang perubahan
atas PP No. 10 Tahun 1983.
Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil, dijelaskan Pegawai Negeri Sipil adalah unsur
aparatur negara, abadi negara, dan abadi masyarakat yang harus menjadi
tauladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan
ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
28
Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka
Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan berkeluarga yang
serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya
tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya.
Sehubungan dengan contoh dan tauladan yang diberikan oleh
Pegawai Negeri Sipil kepada bawahan dan masyarakat, maka kepada
Pegawai Negeri Sipil dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi. Untuk
melakukan perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil harus terlebih
dahulu memperoleh izin dari pejabat yang bersangkutan. Pegawai Negeri
Sipil Pria yang akan beristri lebih dari seorang dan Pegawai Negeri Sipil
wanita yang akan menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari seorang yang
bukan Pegawai Negeri Sipil diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu
dari pejabat. Demikian juga Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan
perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat. Sedangkan
Pegawai Negeri Sipil yang tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua,
ketiga, keempat dari Pegawai Negeri Sipil.
Dalam Peraturan Pemerintah ini pengertian Pegawai Negeri Sipil
selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang pokok-pokok kepegawaian termasuk juga pegawai bulanan
disamping pegawai pensiun, pegawai bank milik Negara, Pegawai Badan
Usaha Milik Negara, Pegawai Bank Milik Daerah, Pegawai Badan Usaha
29
Milik Daerah, dan Kepala Desa, perangkat desa serta petugas yang
menyelenggarakan urusan pemerintah desa. Dalam PP tersebut pasal yang
mengatur tentang poligami terdapat dalam pasal 4, 9, 10 dan 1122
.
disebutkan:
Pasal 4
1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/
ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.
3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3)
diajukan secara tertulis.
5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan
izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat.
22
www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 09 Januari 2014.
30
Pasal 9
1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari
seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-
alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan
pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam
permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus
meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang
mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat
memberikan keterangan yang meyakinkan.
3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil Pegawai Negeri
Sipil yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya
untuk diberi nasehat.
Pasal 10
1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh
Pejabat apabila memenuhi sekurang kurangnya salah satu syarat
alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.
2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah
a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
31
b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; atau
c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah
a) Ada persetujuan tertulis dari isteri;
b) Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai
penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri
dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak
penghasilan;dan
c) ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat
apabila :
d) bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan;
e) tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);
f) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
g) alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau
h) ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
32
Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama
atau Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi duda/janda yang
melangsungkan perkawinan lagi wajib memberitahukannya secara tertulis
kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya
1 (satu) tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan (PP No. 10 Tahun
1983 pasal 2)23
. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil Pria yang akan beristri
lebih dari seorang, wajib memperoleh izin dahulu dari pejabat caranya
permintaan izin harus diajukan oleh yang bersangkutan secara tertulis
kepada pejabat melalui saluran hierarki dan harus mencantumkan alasan
lengkap yang mendasari keinginan beristri lebih dari seorang.
d. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP
No 10 Tahun 1983
Dalam penjelasan PP No. 45 tahun 1990 terdapat beberapa alasan
mengapa PP tersebut harus diubah diantaranya: dalam pelaksanaannya ada
beberapa peraturan yang tidak jelas, PNS tertentu yang seharusnya terkena
PP No 10 Tahun 1983 dapat menghindar baik secara sengaja maupun
tidak, terhadap ketentuan tersebut. Disamping itu adakalanya pejabat tidak
dapat mengambil tindakan yang tegas karena ketidak jelasan rumusan
23
Ahmad Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2006), hal. 44.
33
ketentuan PP No. 10 Tahun 1983.24
Dalam PP ini aturan tentang poligami
diatur dalam pasal 4, 9, 12, dan 15.
Pasal 4
1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri
kedua/ketiga/keempat
3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara
tertulis.
4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan
izin untuk beristri lebih dari seorang.
Pasal 9
Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri lebih dari
seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib
memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam
surat pemintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan.
24
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam (Jakarta: Pt Raja Grafindo
Persada, 2004), Cet 1, hal. 496.
34
Pasal 12
Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan
perceraian atau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan untuk beristri
lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-
lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin
tersebut."
Pasal 15
1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih kewajiban/
ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1),
Pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu
selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian,
dan tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam
jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak
perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman
disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
2) Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2)
dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil;
35
3) Atasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2), dan Pejabat yang
melanggar ketentuan Pasal 12, dijatuhi salah satu hukuman disiplin
berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil."
Pegawai Negeri Sipil Pria yang akan beristeri lebih dari seorang,
wajib memperoleh izin dahulu dari pejabat caranya permintaan izin harus
diajukan oleh yang bersangkutan secara tertulis kepada pejabat melalui
saluran hierarki oleh yang bersangkutan, dan harus mencantumkan alasan
lengkap yang mendasari keinginan beristri lebih dari seorang (PP No. 45
Tahun 1990 pasal 4 ayat 1,3,4, sedangkan Pegawai Negeri Sipil wanita
tidak diizinkan untuk mempunyai istri kedua/ketiga/keempat (PP No. 45
Tahun 1990 pasal 4 ayat2).
Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri
Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau untuk
beristri lebih dari seorang wajib memberikan pertimbangan dan
meneruskan kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu
selambat-lambatnya tiga bulan, mulai tanggal ia meneria permintaan izin
tersebut. Sedangkan pemberian atau penolakan pemberian izin untuk
melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang dilakukan oleh
pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan
terhitung dari menerima permintaan dimaksud.
36
Sebelum mengambil keputusan pejabat yang menerima permintaan
izin untuk melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang
wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan
dalam surat izin. Jika alasan yang dikemukakan kurang meyakinkan maka
pejabat tersebut harus meminta keterangan tambahan dari istri/suami
Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin itu atau dari pihak
yang lain yang dipandang dapat memberikan keterangan meyakinkan.
Untuk memberikan rasa adil maka Pegawai Negeri Sipil yang
melanggar ketentuan yang dimuat dalam PP No 45 Tahun 1990 akan
dijatuhi salah satu disiplin berat dalam PP No. 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil tergantung faktor pelanggarannya.
Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan pasal
4 ayat 2 (menjadi istri kedua/ketiga/keempat) dijatuhi disiplin
pemberhentian tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
e. Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI)
KHI memuat masalah poligami ini pada bagian IX dengan judul,
beristri lebih dari satu orang yang diungkap dari pasal 55 sampai 59.25
Pasal 55 dinyatakan:
25
Nuruddin, Amir dan Akma, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI., hal. 167.
37
1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya
sampai empat orang istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku
adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari satu orang.
Lebih lanjut dalam KHI pasal 56 dijelaskan:
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin
dari Pengadilan Agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan
menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII PP No. 9 Tahun
1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pada pasal 57 dijelaskan:
Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri
lebih dari seorang apabila:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
38
Pasal 58 menegaskan:
(1) Selain syarat utama yang disebut
Selanjutnya pada pasal 59 juga digambarkan betapa besarnya
wewenang Pengadilan Agamadalam memberikan keizinan. Sehingga bagi
istri yang tidak mau memberikan persetujuan kepada suami untuk
berpoligami, persetujuan itu dapat diambil alih oleh Pengadilan Agama.26
Lebih lengkap bunyi pasal tersebut sbb:
Dalam hal istri tidak dapat memberikan persetujuan dan permohonan izin
untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan
yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat
menetapkan tentang memberikan izin setelah memeriksa dan mendengar
istri yang bersangkutan dipersidangan Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding ataupun kasasi.
f. KUHPer (BW)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur adanya
perkawinan poligami karena asas dalam KUHPer adalah monogami.
Seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 27 bab perkawinan disebutkan
26
Ibid., hal. 168.
39
“Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan
mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan
hanya satu orang laki-laki sebagai sumainya”.27
Sebenarnya pasal ini hampir sama dengan pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan yeng memberikan definisi tentang perkawinan. perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa). Definisi ini
sebenarnya memberikan pemahaman perkawinan adalah akad antara
seorang pria dan wanita yang disimpulkan ini prinsip monogami.
C. Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam di Tunisia
1. Sekilas tentang Negara Tunisia
Tunisia merupakan salah satu negara yang terletak di Afrika Utara,
sebelah Barat berbatasan dengan Algeria, Utara dan Timur dengan
Mediterania dan selatan Libya. Tunisia termasuk kepulauan Karkunna untuk
daerah Timur, sementara di bagian Tenggara termasuk kepualauan Djerba.
Tunisia mempunyai penduduk 7.424.000 (data tahun 1986), dan hampir 97%
memeluk agama Islam. Negara yang memiliki luas wilayah 163.610 km
memperoleh kemerdekaan pada tahun1956. Tunisia merupakan negara
27
Subekti dan Tjicrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT. Pradya Pramitra,
1996), hal. 8.
40
berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Dengan presiden
pertama Habib Bourguiba, yang membawahi 23 propinsi. Sebelumnya,
Tunisia merupakan wilayah Otonom dari Pemerintahan Turki Usmani dan
pada tahun 1883 menjadi negara persemakmuran Perancis berdasarkan
perjanjian la marsa, dan pada tahun 1956 Tunisia memperoleh status
merdeka.28
Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni,
bermazhab Maliki dan sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata,
kedua mazhab tersebut sama-sama dipergunakan. Namun banyak di antara
berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli
Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda-beda, seperti Dinasti Syi‟ah
Fatimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang, praktisi kaum Syi‟ah
menjadi kelompok minoritas. Demikian pula mazhab Hanafi yang
membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun memberi pengaruh penting di
negeri ini sampai protektorat Perancis datang pada tahun 1883.29
Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan
elit intelektual yang dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan
mengasimilasi (memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka
28
M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern : Studi
Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab fikih (Jakarta: Ciputat Press, 2003),
hal. 83. 29
Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”.
41
dapat mengatur negara mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat
egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya secara serius. Langkah
yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang terjadi hanya sesaat
sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan yang dipimpin
oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an saat
seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan
DESTOUR PARTY dan memproklamasikan Neo-Destour. Prancis mengakui
otonomi Tunisia pada tahun 1955 dan kemerdekaannya pada Maret 1956.
Pada tahun 1957 negara Tunisia memilih Bourguiba sebagai presiden
pertamanya.30
Setelah merdeka pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun
berbagai pembaharuan dan kodifikasi hukum berdasarkan mazhab Maliki dan
Hanafi. Upaya pembaharuan ini didasarkan pada penafsiran liberal terhadap
Syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat
al-Ahwal asy-Syakhsiyyah yang kontroversial. Di bawah kepemimpinan
Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi negara Arab pertama yang
melarang poligami. Majallat itu sendiri mencakup materi hukum
perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak, yang berbeda dengan
ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallat atau
Undang-Undang Status Personal tahun 1956 ini telah mengalami beberapa
30
Ibid., hal. 40.
42
kali perubahan, penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen
Undang-undang sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia
pada saat itu membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh al-
Islam yaitu Muhammad Ju„ayad untuk memberlakukan undang-undang
secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite
tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-
hasil komite Lai‟hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria, dan Turki
Utsmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum
keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang
tersebut pada tahun 1956.31
2. Poligami di Tunisia
Pasal 18 Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia menyatakan
bahwa beristri lebih dari seorang adalah perbuatan yang dilarang. Demikian
pula, undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa seorang pria yang
telah menikah, dan nikahnya belum putus secara hukum, menikah lagi, dapat
diancam hukuman penjara satu (1) tahun atau denda setinggi-tingginya
240.000 Malim.
Adapun dasar larangan poligami yang digunakan Pemerintah Tunisia,
menurut John L. Esposito, adalah: (1) bahwa poligami, sebagaimana
perbudakan, merupakan instituti yang selamanya tidak dapat diterima
31
Ibid.,hal. 41.
43
mayoritas umat manusia di manapun; (2) Ideal al-Qur‟an tentang perkawinan
adalah monogami. Di sini, menurut Esposito, pandangan Muhammad Abduh
tentang ayat poligami dirujuk oleh pemerintah Tunisia. Menurut Abduh, al-
Qur‟an (IV:3) memberi izin utuk beristeri 4 orang secara serius telah dibatasi
oleh al-Qur‟an sendiri (IV:129). Dengan demikian, ideal al-Qur‟an adalah
monogami, lebih dari itu, syarat yang diajukan, supaya suami berlaku adil
terhadap istri-istrinya, adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak
mungkin dapat terealisasi dengan sepenuhnya.32
Sebelum kehadiran hukum ini para kadi di Tunisia terdiri dari kadi-
kadi bermazhab Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada
umumnya menganut mazhab Maliki. Namun sekarang hukum baru yang
bercorak eklektik ini justru dinyatakan berlaku bagi semua orang Islam (dan
lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan berlaku bagi orang-orang
Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan semua jurisdiksi
peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional. Presiden
Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku
di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati nurani
manusia—misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur
dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam
kehidupan modern saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan
32
M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern : Studi
Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab fikh, hal. 84.
44
jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama
sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai
manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari
kalangan Salaf.33
Selain itu, para reformis di Tunisia menegaskan bahwa di samping
seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para
istri, Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil
kepada mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya
sekedar sebuah desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum
bagi poligami, dalam artian bahwa tidak satupun perkawinan kedua dapat
diizinkan kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama (egaliter) dimana
para istri diperlakukan dengan adil. Namun melihat kondisi sosial dan
ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil.
Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara
singkat menyatakan “poligami adalah dilarang.34
3. Poligami dalam Regulasi Perundang-undangan di Tunisia
Hukum keluarga Tunisia telah direformasi dan dikodifikasi setelah
negeri itu memperoleh kemerdekaan. Pada akhir tahun empat puluhan,
beberapa ahli hukum terkemuka Tunisia berfikir bahwa dengan melakukan
33
Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”. 34
Ibid., hal. 5.
45
fusi terhadap mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, sebuah ketentuan hukum
baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan yang disesuaikan
dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial Tunisia. Sekelompok ahli
hukum mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum, Hanafi
dan Maliki, dan dipublikasikan dibawah judul Laihat Majallat al Ahkam al
Syar’iyyah (Draft Undang-Undang Hukum Islam). Akhirnya, pemerintah
membentuk sebuah komite dibawah pengawasan Syekh Islam, Muhammad
Ja‟it, guna merancang Undang-Undang secara resmi.
Bersumber dari Laihat dan Undang-Undang Hukum keluarga Mesir,
Jordania, Syiria dan Turki Usmani, panitia tersebut mengajukan Rancangan
Undang-Undang Hukum Keluarga kepada Pemerintah. Rancangan tersebut
akhirnya diundangkan di bawah judul Majallah al Ahwal al Syahsiyyah
(Code of Personal Status) 1956, berisi 170 pasal, 10 buku dan diundangkan
keseluruh wilayah Tunisia pada tanggal 1 januari 1957.Undang-undang
tersebut berisi tentang perkawinan diantaranya mengenai (usia untuk
menikah, perjanjian perkawinan, poligami, pernikahan yang tidak sah
(invalid), perceraian, talak tiga (Tripel Divorce), nafkah bagi isteri,
pemeliharaan anak), hukum waris, ketentuan wasiat (Bequest).Namun, dalam
perjalannya, undang-undang ini mengalami modifikasi dan perubahan
(amandemen) beberapa kali, yaitu melalui UU No. 70/1958, UU No. 41/1962,
46
UU No. 1/1964, UU No. 77/1969, dan terakhir, menurut catatan Tahir
Mahmood, mengalami amandemen pada tahun 1981 melalui UU No. 1/1981.
Perlu dicatat pula bahwa walaupun secara umum berlandaskan
mazhab Maliki, UU ini memasukkan pula beberapa prinsip yang berasal dari
mazhab-mazhab hukum Islam lain. Lagi pula, jika dibanding dengan negara-
negara Arab lain, reformasi bidang hukum yang diintroduksikan di Tunisia
lebih revolusioner.35
35
M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern : Studi
Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab fikih , hal. 85-86.
47
BAB III
KOMPARASI PEMBERLAKUAN SANKSI POLIGAMI ANTARA
INDONESIA DAN TUNISIA
A. Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami di Indonesia
Sejarah terbentuknya aturan poligami di Indonesia tidak lepas dari
sejarah pembentukan aturan tentang perkawinan, hal ini disebabkan poligami
merupakan bagian integral dari perkawinan yang tidak dapat dipisahkan antara
yang satu dengan yang lainnya. Di Indonesia aturan poligami termuat dalam
Undang-Undang No 1 tahun 1974, PP No. 10 tahun 1983 tentang izin
perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), PP No. 45 tahun
1990 tentang perubahan atas PP No 10 tahun 1983, dan yang selanjutnya adalah
Inpres No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
1. Poligami dalam UUD No. 1 Tahun 1974
Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang berlaku bagi semua warga negara RI tanggal 02 Januari 1974 untuk
sebagian besar telah memenuhi tuntutan Masyarakat Indonesia. Tuntutan ini
sudah dikumandangkan sejak Kongres perempuan Indonesia pertama tahun
1928 yang kemudian dikedepankan dalam kesempatan-kesempatan lainnya,
berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dan perkawinan. Masalah-
masalah yang menjadi pusat perhatian pergerakan wanita waktu itu adalah
48
masalah: (1) perkawinan paksa; (2) poligami (3) Talak yang sewenang-
wenang.36
Tahun 1950 pemerintah RI telah berusaha memenuhi dengan
membentuk panitia yang membuat RUU Perkawinan kemudian dibahas
dalam sidang DPR pada tahun 1958/1959, tapi tidak berhasil berwujud
undang-undang.
Tahun 1973 pemerintah kembali mengajukan RUU tersebut kepada
DPR dan setelah mendapatkan tanggapan pro dan kontra akhirnya dicapailah
satu konsensus yang membawa pengaruh pada sidang-sidang selanjutnya
sehingga tercapai kata mufakat di antara Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah mendapat persetujuan dari DPR, pemerintah mengundangkan
undang-undang perkawinan tanggal 02 januari 1974.
Pada 01 April 1975, setelah satu tahun 3 bulan undang-undang
perkawinan diundangkan, lahir peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 yang
memuat peraturan pelaksana undang-undang perkawinan tersebut. Dan
dengan demikian, mulai 1 oktober 1975 undang-undang nomor 1 tahun 1974
itu telah dapat berjalan secara efektif.
Pasal 3 ayat (2) RUU ini menyatakan bahwa, pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, selanjutnya dalam undang-undang ini disebut
pengadilan dapat memberi izin pada seorang suami untuk beristeri lebih dari
36
Zuhriah Erfaniah, Peradilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut
(Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal.127-128.
49
seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Berdasarkan rumusan pasal (3) ayat 2 dan menjelaskan pasal 73 ayat 2 RUU
perkawinan ini jelas jelas bahwa masalah perkawinan akan menjadi
wewenang pengadilan umum.37
2. Poligami dalam PP No. 9 Tahun 1975
PP No. 9 tahun 1975 mengatur tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun
1974. Dalam hal ini, PP No 9 tahun 1975 berperan penting dalam menyokong
pelaksanaan UU Perkawinan. PP No 9 tahun 1975 diundangkan pada tanggal
1 april 1975 yang bertujuan untuk melancarkan pelaksanaan undang-undang
tersebut secara efektif.
PP ini memuat beberapa bab yang memuat pasal-pasal yang masih
berkaitan erat dengan perkawinan. Namun, PP ini lebih spesifik mengatur
tentang prosedural perkawinan itu dan dijelaskan secara spesifik dan
terperinci.
3. Poligami dalam PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990
PP No. 10 tahun 1983 ini mengatur tentang izin perkawinan dan
perceraian Pegawai Negeri Sipil . PP No. 10 tahun 1983 ini mengatur secara
terperinci tentang prosedur perkawinan dan perceraian dikalangan Pegawai
37
Djalil Basiq, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam, Hk. Barat,
dan Hk. Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga
Lahirnya Peradilan Syriat Islam Aceh (Jakarta : Kencana, 2010), hal. 83.
50
Negeri Sipil (PNS).38
PP ini dibuat sebagai pelaksana dari undang-undang
perkawinan. Dalam PP ini diatur Pegawai Negeri Sipil yang berniat bercerai
atau menikah lagi harus memperoleh izin dari atasannya, pegawai negeri juga
dilarang “hidup bersama diluar nikah” bila dilanggar sangsinya
pemecatan.39
PP ini terbit tanggal 21 April 1983.
Sedangkan PP No. 45 tahun 1990 terbit pada tanggal 6 september
1990 yang bertujuan memperkuat PP No. 10 tahun 1983. PP ini dinilai tidak
banyak manfaatnya, karena dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa
Pegawai Negeri Sipil perempuan dilarang sama sekali menjadi istri kedua,
ketiga, dan keempat hal ini dianggap memperlemah posisi pegawai
perempuan bila dihadapkan pada situasi harus menjadi istri kedua suatu hal
yang sering tak terhindarkan.40
Pada tanggal 5 desember 2006 Presiden berencana memberlakukan
PP No. 10 tahun 1983 dan PP No.45 tahun 1990 untuk seluruh masyarakat,
tak hanya Pegawai Negeri Sipil, rencana rencana ini ditentang oleh sejumlah
tokoh Islam. presiden kemudian minta agar masalah perkawinan dan
poligami ini dikembalikan ke UU dan PP yang ada.
38
Sudirman Tebba, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum
Keluarga dan Pengkodifikasiannya, (Bandung: Mizan, 1993), hal . 359. 39
Nunuy Nurhayati, “Pasang Surut Aturan Poligami, Tempo, (Desember 2006), hal. 110. 40
Nurhayati, Pasang Surut Aturan Poligami, hal. 110.
51
4. Poligami dalam Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (KHI)
Kebutuhan akan adanya KHI bagi pengadilan agama sudah lama
menjadi catatan dalam sejarah Departemen Agama. Usaha dalam penyusunan
KHI adalah merupakan bagian upaya kita dalam rangka mencari pola fikih
yang bersifat khas Indonesia atau fiqih yang bersifat kontekstual, maka proses
ini telah berlangsung lama sekali sejalan dengan perkembangan hukum Islam
di Indonesia. Menurut Bustanul Arifin seorang ketua Hakim Agung
mengatakan bahwa ide-ide Kompilasi Hukum Islam timbul setelah berjalan
dua setengah tahun Mahkamah Agung membina bidang teknik yudistial
Pengadilan Agama.
Dari upaya-upaya tersebut ada beberapa tahapan-tahapan sehingga
lahirnya KHI:
a. Periode awal sampai tahun 1945
Pada zaman penjajahan VOC kedudukan Hukum Islam dalam
bidang kekeluargaan diakui bahkan dikumpulkan dalam sebuah peraturan
yang dikenal dengan frever Compendium (1760 M). Selain itu telah dibuat
pula kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah
Cirebon, Semarang, Makasar.
Di Indonesia kita mengenal adanya hukum adat dimana hukum
adat menjadi sebuah patokan sehingga timbulnya hukum Islam.
52
Belakangan aliran hukum adat yang dipelopori oleh Voller Hoven, Ferhar
dan juga Snouck Hourgrounye, menentang teori Receptie In Complexu.
Dengan teori resepsinya yang menyatakan bahwa hukum Islam baru
diberlakukan bagi pribumi apabila sudah diterima oleh hukum adat.
Mereka berhasil memasukan prinsip teori itu kedalam UUD Hindia
Belanda yang baru (IS-Indisches Staatregeling 1919) dalam pasal 134 ayat
2 yang berbunyi:
Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan
diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila keadaan tersebut telah
diterima oleh hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh
ordonansi.
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 membentuk sebuah
komisi untuk meninjau kedudukan dan wewenang dari priesterrad.
Diketuai oleh wakil penasehat urusan pribumi dan Islam, dua orang bupati,
dua orang penghulu, seorang tokoh pergerakan Islam dan juri Belanda
(Terhater). Setelah bekerja selama empat tahun maka pada tahun 1926
komisi itu menyampaikan hasil kerjanya, berupa sebuah rancangan
ordonansi tentang penghoeleogerecht (pengadilan penghulu) yang baru
diumumkan dengan stb. 1931 No. 153.
Kemudian pada saat yang bersamaan penguasa Hindia Belanda
melakukan tindakan yang dapat diambil manfaatnya oleh Al-Tasyrifil
53
Munakahat yaitu mempertegas kebiasaan pencatatan nikah, talak, rujuk
(NTR) dengan adanya berbagai ordonansi.
b. Periode 1945 sampai dengan tahun 1985
Pemerintah Republik Indonesia menemukan kenyataan bahwa
hukum Islam yang berlaku itu tidak tertulis dan terserak-serak di berbagai
kitab yang sering berbeda tentang hal yang sama antara satu dnegan yang
lain. Pada tanggal 22 November 1946 di Linggarjati (Cirebon) oleh
presiden RI ditetapkan UU No. 22 tahun 1946 tentang penyatuan
pencatatan NTR (Nikah, Talaq, Cerai) menggantikan ordonansi-ordonansi
perkawinan yang sebelumnya. Ini merupakan undang-undang pertama
dalam sejarah kemerdekaan, yang jelas menyangkut pelaksanaan syariat
Islam, sekalipun belum memasuki materi hukum perkawinannya sendiri.
Pada saat itu dipisahlah fungsi penghulu selaku kepala pencatat nikah
dengan hakim atau ketua pengadilan agama dengan penetapan menteri No.
6 tahun 1947 atas usul konferensi jawatan urusan agama se-Jawa dan
Madura tanggal 12-16 Desember 1947 di Yogyakarta. Setelah pengakuan
kedaulatan dengan terbentuknya RIS serta Negara kesatuan. Pelaksanaan
UU No.22 tahun 1946 tentang pencatatan NTR ini. Diberlakukan untuk
seluruh Indonesia dengan UU No. 32 tahun 1954.
Pada tahun 1970 dalam pola pembangunan nasional sementara
berencana disebutkan adanya lingkungan peradilan yang harus didasarkan
54
pada kriteria zakelijk yaitu (a) Umum (b) Agama dan (c) Militer yang
kemudian ditambah dengan saran MPRS tentang diadakannya peradilan
administrasi dan pokok fikiran yang disusun oleh para praktisi hukum.
Penyusuan perundang-undangan semasa orde lama itu ternyata dapat
bertahan sampai orde baru, sehingga lahirnya UU No. 14 tahun 1970 yang
menegaskan adanya empat lingkungan peradilan.
Proses penyusuan undang-undang perkawinan 1974 merupakan
sebuah uji coba bagi pemerintah orde baru dan Golkar tentang pandangan
dan penilaian mereka terhadap Islam. maka setelah presiden Soeharto
menegaskan pendiriannya (Isra Mi‟raj di Masjid Istiqlal 26 agustus 1973)
bahwa tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau pemerintah mengajukan
yang bertentangan dengan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat yang
ada di Indonesian dan bahwa tidak benar RUU perkawinan yang diajukan
oleh pemerintah itu bertentangan dnegan agama Islam. Maka tidak ada lagi
perbedaan pandangan diantara anggota yang beragama Islam baik ia
Golkar, PPP, PDI, atau ABRI.
Menjelang akhir tahun 1987 telah terbentuk instansi Peradilan
Agama di seluruh Indonesia (kecuali Timor Timur). Sesuai dengan
pemekaran daerah tingkat II, dan hampir di semua ibukota propinsi sudah
dibentuk Pengadilan Tinggi Agama yang secara fisik sekitar 92% telah
menempati gedungnya sendiri. Adapun penyusunan RUU Peradilan
55
Agama sampai pada pengesahan di Forum DPR merupakan hasil kerja
sama yang kompak sekali antara Departemen Agama, Mahkamah Agung
dan Departemen Kehakiman suatu suasana yang tidak mungkin
terbayangkan dapat tejadi pada masa orde lama.
c. Periode 1985 sampai sekarang
Periode ini dimulai sejak ditandatangani surat keputusan bersama
ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI tentang penunjukan
pelaksanaan proyek pembangunan hukum Islam melalui Yurisprudensi
No. 07/KMA/1985 DAN No. 25 tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 di
Yogyakarta.
Di dalam bukunya Bustanul Arifin mengatakan bahwa ide KHI
timbul setelah berjalan dua setengah tahun Mahkamah Agung membina
bidang teknis yustisial peradilan agama. Berdasarkan keterangan tersebut
telah tampak bahwa ide untuk mengadakan KHI ini memang baru muncul
sekitar tahun 1985 dan kemunculannya ini merupakan hasil kompromi
antara pihak Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Tugas
pembinaan ini didasarkan pada UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman pasal 11 ayat 1 yang mengatakan bahwa
orgnaisasi administrasi dan keuangan pengadilan dilakukan oleh
departemen masing-masing. Sedangkan pembinaan teknis yustisial
dilakukan oleh MA. Selama pembinaan teknis yustisial Peradilan Agama
56
oleh Mahkamah Agung terasa adanya beberapa kelemahan antara lain soal
hukum Islam yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama yang
cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat ulama dalam
hampir setiap persoalan.
Melalui keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 No. 25 tahun 1985
tentang penunjukkan pelaksanaan proyek pembangunan hukum Islam
melalui yurisprudensi dimulailah kegiatan proyek dimaksud yang
berlangsung untuk jangka waktu dan tahun. Menurut lampiran surat
keputusan bersama tanggal 21 maret 1985 ditentukan bahwa tugas-tugas
proyek tersebut adalah untuk melaksanakan usaha pembangunan hukum
Islam melalui yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum. Sasarannya
mengkaji kitab yang digunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim
agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju
hukum nasional. seperti yang sudah diketahui Kompilasi Hukum Islam
(KHI), terdiri atas tiga buku. Buku I tentang perkawinan, Buku II tentang
kewarisan, Buku III tentang perwakafan.
Keberanian KHI mengambil alih aturan tersebut merupakan
langkah maju secara dinamis, aktualisasi hukum Islam di bidang poligami,
keberanian untuk mengaktualkan dan membatasi kebebasan poligami
57
didasarkan atas alasan ketertiban umum.41
Hukum poligami adalah boleh,
dan kebolehan itupun harus ditelusuri sejarah digantungkan, pada situasi
dan kondisi masa permulaan Islam.42
B. Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami di Tunisia
Latar belakang terjadinya reformasi dan kodifikasi hukum Islam di
Tunisia, tidak banyak berbeda dengan proses yang terjadi di Mesir dan negara-
negara Timur Tengah lain. Sebelum dominasi Turki Usmani di Tunisia, sebagian
besar umat Islam Tunisia mengikuti ketentuan-ketentuan hukum Islam menurut
mazhab Maliki. Akan tetapi setelah secara resmi pemerintah Turki mengadopsi
mazhab Hanafi untuk wilayah Tunisia, akhirnya mazab Hanafi pun berpengaruh
juga di Tunisia. Konsekuensinya kasus-kasus tertentu harus diputuskan menurut
sistem hukum yang dianut oleh para pihak yang mengajukan perkara ke
pengadilan. Karena itu, dalam lembaga peradilan terdapat dua majlis hakim,
yaitu dari mazhab Hanafi dan dari mazhab Maliki yang berwenang terhadap
yurisdiksi masing-masing.
Sejak tahun 1883, Tunisia berada dalam dominasi politik Prancis, yang
ternyata berpengaruh pula dalam bidang hukum. Selama periode ini, budaya
hukum di Tunisia mengalami pem-Barat-an secara luas. Hukum perdata, hukum
pidana, hukum dagang dan hukum Acara yang berlaku sampai tahun 1956
41
Dadan Muttaqien, dkk, Peradilan Agama dan Kompilasi hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal.101. 42
Ibid.,hal. 101.
58
menggambarkan secara jelas prinsip-prinsip yurisprudensi dan Hukum Perdata
Prancis. Alam kemerdekaan membawa Tunisia mempunyai kesempatan
memodifikasi beberapa ketentuan hukum pra kemerdekaan di samping membuat
hukum-hukum baru, baik hukum perdata maupun hukum pidana.43
Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut,
yaitu:
1) Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;
2) Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada
lagi perbedaan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri;
3) Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
4) Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang
diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
5) Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan
modernitas;
Undang-Undang Tunisa tersebut berlaku bagi semua warga negara
Tunisia, khususnya setelah tercapai kesepakatan dengan Perancis pada 1 Juli
1957.dari berbagai pembaharuan yang terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal
yang (awalnya) mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan, yaitu larangan
poligami dan keharusan perceraian di pengadilan.
43
M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern : Studi
Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab fikih, hal. 85.
59
Berkaitan dengan kriminalisasi poligami di Tunisia, pasal 18
menyatakan:
1) Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan
pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan
hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau
kedua-duanya.
2) Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3
Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan
kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan
hukuman yang sama.
3) Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman,
menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang
sama.
UU mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara tegas
menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan
hukum pada ayat lain dalam Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki
wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil
kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa [4] : 3). Ternyata, baik dari pengalaman
maupun pernyataan wahyu (Q.S. an-Nisa [4]: 129), keadilan yang dimaksud
tidak akan dapat dipenuhi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqaha’
salaf, dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat
60
begitu saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan
yang dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal
yang dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.44
Pelarangan poligami ini terkait dengan prinsip pernikahan yang
diperdebatkan kalangan ulama Tunisia dan para pembaharu di negeri itu.
Menurut para pembaharu Tunisia, prinsip pernikahan dalam Islam adalah
monogami, bukan poligami. Praktik poligami di Tunisia, menurut para
pembaharu Tunisia, selalu menyuguhkan fenomena kehidupan yang tidak
menyenangkan. Banyak kaum perempuan dan anak-anak yang terlantar. Karena
itu, beberapa negara Islam seperti Maroko, Aljazair, dan Mesir memperketat
praktik poligami. Tunisia bahkan secara tegas melarangnyadan menghukum
pelakunya dengan hukuman penjara dan atau denda dengan sejumlah uang.45
Tunisia dapat dianggap contoh terdepan bagaimana, pasca 1945,
pembaruan cenderung lebih didasarkan pada hal yang dinyatakan sebagai hak
negara Muslim, lewat penguasanya, untuk berijtihad. Tunisia menghapus hak
poligami melalui Pasal 18 UU Status Personal Tunisia 1956, yang didasarkan
pada penafsiran ulang Surat an-Nisa ayat 3. Tunisia menyamakan keadilan tidak
saja dengan nafkah (topangan finansial), namun juga dengan cinta dan kasih
sayang. Dinyatakan pula bahwa hanya Nabi saw. yang dapat berlaku adil kepada
44
Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”. 45
Supriyadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam (Bandung: Pustaka
Al-Fikriis, 2009), hal. 110.
61
dua orang istri dengan cara demikian; oleh karena itu, dalam kondisi sekarang,
anggapan tak terbantahkannya adalah bahwa seorang suami muslim tidak
mungkin memenuhi persyaratan Alquran.
Apa yang dilakukan oleh Tunisia dengan menerapkan UU tersebut,
menurut Atho Mudzhar sebagaimana dikutip Fauzul Iman, bukan berarti telah
keluar dari hukum Islam, akan tetapi lebih dilihat dari apa yang
melatarbelakangi lahirnya UU tersebut.46
C. Komparasi Sanksi Poligami Antara Indonesia dan Tunisia
Dari uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa langkah
kriminalisasi poligami di dua negara muslim Indonesia dan Tunisia di atas telah
menunjukkan suatu keberanjakan Hukum Keluarga dari aturan doktrin hukum
Islam konvensional. Pemberlakuan sanksi hukum menjadi salah satu ciri dalam
UU hukum keluarga di negara-negara Muslim modern.
Salah satu langkah reformasi Hukum Keluarga di negara-negara Muslim
modern adalah meninjau kembali sejumlah ketentuan hukum Islam klasik yang
dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi sosial dan tuntutan perubahan
modern. Demikian pula halnya dalam masalah poligami. Aturan fikih
konvensional yang menjadi referensi selama berabad-abad kini ditinjau kembali
46
Ibid., hal. 5.
62
dan digantikan dengan produk legislasi yang tampaknya diarahkan pada upaya
mengangkat status wanita dan merespon tuntutan dan perkembangan zaman.47
Begitupun di Negara Indonesia yang dikenal sebagai negara muslim
terbesar, dalam hal poligami sangat diperketat dengan sejumlah alasan yang
disusun dalam Undang-undang. Beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan
asalkan dipenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh
undang-undang. Asas yang dianut UU Perkawinan di Indonesia yakni asas
monogami. Menurut Yahya Harahap monogami yang tidak bersifat mutlak.
Poligami ditempatkan di status hukum yang darurat (emergency law), atau dalam
keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumstance). Di samping itu lembaga
poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari
hakim (pengadilan). Hal ini bertujuan mengatur, membatasi dan berusaha lebih
melindungi dan menjamin hak-hak kaum perempuan yang sering berada dalam
posisi yang lebih lemah.
Dalam hal sanksi Sampai saat ini, UU Nomor 1 Tahun 1974 memang
belum mengatur sanksi pidana bagi suami yang menikah lagi tanpa izin
Pengadilan Agama (PA).48
Ada ketentuan sanksi yang khusus diatur hanya untuk
kalangan tertentu yakni PNS (Pegawai Negeri Sipil)/atasan ketentuan inidiatur
dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU
47
Ibid., hal. 32. 48
Lia Noviana, Persoalan Praktik Poligami dalam Masyarakat
Islam,ejournal.umum.ac.id/.../1184_umum_Screntific_journal. Diakses pada 09 januari 2014 jam
18:59
63
No.1/1974, disebutkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat
dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-.49
Sanksi hukum juga dikenakan kepada
petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang
akan berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan hukuman kurungan maksimal 3
bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-.50
Ketentuan sanksi baru akan ditetapkan dalam draf Rancangan Undang-
Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang
masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010. RUU
itu memuat ketentuan pidana (pasal 143-153) hukuman pidana tersebut mulai
dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.51
Sedangkan di Tunisia, poligami menjadi barang terlarang bagi pria.
Ketentuan yang melarang poligami di Tunisia diatur dalam Undang-Undang
Status Perorangan (The Code of Personal Status) tahun 1956 pasal 18. Dalam
pasal ini dinyatakan dengan tegas bahwa poligami dalam bentuk apapun dan
dengan alasan apapun dinyatakan sebagai hal yang terlarang dan siapa yang
melanggarnya maka ia dapat dipenjara selama 1 tahun atau denda 24.000 Francs.
Presiden Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang
berlaku di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati
nurani manusia” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan jiwa dan
49
Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 1975 Pasal 45 ayat (1) 50
Peraturan Pemerinta Pasal 45 ayat (2) 51
Nasional.Kompas, “Program Legislasi Nasional”, artikel ini diakses pada 24 februari 2014 dari
http//:Nasional.Kompas.Com.
64
menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga
mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai manusia.
Selain itu, para reformis di Tunisia menegaskan bahwa di samping
seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri,
Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada
mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah
desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam
artian bahwa tidak satupun perkawinan kedua dapat diizinkan kecuali dan
sampai terbukti dapat berlaku sama (egaliter) dimana para istri diperlakukan
dengan adil. Namun melihat kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya
sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami
tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara singkat menyatakan “poligami
adalah dilarang.
Tabel Komparasi poligami
No Komparasi Indonesia Tunisia
1
Poligami Diperketat dengan
persyaratan alternatif dan
komulatif yang ditentukan
dalam UU
Mutlak dilarang
2 Sanksi Hanya berlaku untuk
PNS/TNI/POLRI
Berlaku untuk semua warga
Tunisia
3
UUD yang
mengatur
PP No. 9 tahun 1975 tentang
pelaksanaan UU No. 1/1974
Pasal 45
Majallah al-ahwal al-
syahsiyyah (code of personal
status) 1956 Pasal 18
4
Hukuman Denda Rp 7.500,- dan
kurungan penjara maks. 3
bulan
Denda 240.000 Maliin dan
kurungan penjara selama satu
tahun
65
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari Uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya,
maka sebagai akhir dari bagian penelitian ini penulis akan menarik kesimpulan
untuk menjawab permasalahan yang penulis teliti.
Pertama, Poligami menurut aturan hukum di Indonesia dibatasi dengan
ketat. Beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan dipenuhi beberapa
alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Asas yang
dianut UU Perkawinan di Indonesia yakni asas monogami. Menurut Yahya
Harahap monogami yang tidak bersifat mutlak. Poligami ditempatkan di status
hukum yang darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra
ordinary circumstance). Hal ini bertujuanmengatur, membatasi dan berusaha
lebih melindungi dan menjamin hak-hak kaum perempuan yang sering berada
dalam posisi yang lebih lemah.Pemerintah Indonesia meregulasi prosedur
poligami dengan persyaratan alternatif dan kumulatif yang harus dipenuhi oleh
para pihak yang ingin berpoligami melihat dari kenyataan perilaku masyarakat
yang berubah sehingga ketentuan poligami di Indonesia diperketat agar ketika
66
seseorang hendak melakukan poligami akan lebih berfikir ulang daripada
konsekuensinya.
Sedangkan di Negara Tunisia, Poligami mutlak dilarang. Adapun dasar
larangan poligami yang digunakan Pemerintah Tunisia, menurut John L.
Esposito, adalah: (1) bahwa poligami, sebagaimana perbudakan, merupakan
instituti yang selamanya tidak dapat diterima mayoritas umat manusia di
manapun; (2) Asas mendasar Al-Qur‟an tentang perkawinan adalah monogami.
Di sini, menurut Esposito, pandangan Muhammad Abduh tentang ayat poligami
dirujuk oleh pemerintah Tunisia. Menurut Abduh, Al-Qur‟an (IV:3) memberi
izin utuk beristeri 4 orang secara serius telah dibatasi oleh Al-Qur‟an sendiri
(IV:129). Praktik poligami di Tunisia, menurut para pembaharu Tunisia, selalu
menyuguhkan fenomenakehidupan yang tidak menyenangkan. Banyak kaum
perempuan dan anak-anak yang terlantar. Karena itu, Tunisia secara tegas
melarang praktik poligami dan menghukum pelakunya dengan hukuman penjara
dan atau denda dengan sejumlah uang.
Kedua, Di Indonesia, ketentuan poligami termuat dalam Undang-Undang
No 1 tahun 1974, PP No. 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), PP No. 45 tahun 1990 tentang perubahan atas
PP No 10 tahun 1983, dan yang selanjutnya adalah Inpres No 1 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sedangkan di Tunisia Ketentuan yang
melarang poligami diatur dalam Majallah al Ahwal al Syahsiyyah (Code of
67
Personal Status) 1956, berisi 170 pasal, 10 buku dan diundangkan keseluruh
wilayah Tunisia pada tanggal 1 januari 1957.UU mengenai Status Perorangan
tahun 1957 pasal 18 secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang dan
menerapkan sanksi hukum terhadap pelaku poligami.
Ketiga, sampai saat ini, di Indonesia UU Nomor 1 Tahun 1974 memang
belum mengatur sanksi pidana bagi suami yang menikah lagi tanpa izin
Pengadilan Agama. ketentuan sanksi di Indonesia hanya berlaku untuk kalangan
tertentu yakni PNS (Pegawai Negeri Sipil)/atasan. ketentuan ini diatur dalam
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974,
disebutkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman
denda Rp. 7.500,-. Sanksi hukum juga dikenakan kepada petugas pencatat yang
melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa
izin Pengadilan dengan hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda
maksimal Rp. 7.500,-.Sedangkan di Tunisia aturan sanksi poligami berlaku bagi
seluruh warga Tunisia, aturan ini diatur dalam pasal 18 yang menyatakan, (1)
Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan
pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman
penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
(2) Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3
Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan
kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman
68
yang sama. (3) Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai
hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman
yang sama.
B. Saran-saran
Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran:
Aturan poligami di Indonesia atau dalam hal ini aturan perkawinan ke depan
diharapkan bisa menampung semua aspirasi berbagai pihak terutama pihak
perempuan.
Masalah denda atau hukuman bagi pelanggar aturan poligami perlu ditinjau
kembali, selama ini denda atau hukuman bagi pelaku poligami yang tidak
sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku terlalu kecil. Sedangkan
kalau kita perhatikan praktik poligami banyak sisi negatifnya, karena
poligami sering menimbulkan masalah dalam keluarga, selain itu sebagai
negara hukum kepastian hukum harus ada dan supermasi hukum harus benar-
benar ditegakkan dan hukum bukan hanya sebagai hiasan belaka.
Pengetahuan Perbandingan Hukum Keluarga Islam ini sangat penting di
Indonesia, karena seringkali kita memperdebatkan sesuatu hal yang oranglain
di Negara lain telah menyelesaikan masalah ini puluhan tahun.
RUU MPA yang sudah mengatur tentang Kriminalisasi Poligami hendaklah
segera diajukan untuk disahkan menjadi Undang-Undang, sebagai
kelengkapam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
69
Daftar Pustaka
Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006)
Ahmad Sutarmadi, Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga,
(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2006
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Anif Rahmawati,”Kriminalisasi Praktek poligami di Indonesia”, Artikel diakses
pada 19 November
2013darihttp://Aneifrahmawati.blogspot.com/2011_11_archive.html.
Asep Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam, (Jakarta:
Pt Raja Grafindo Persada, 2004), Cet Pertama
Dadan Muttaqien, dkk, Peradilan Agama dan Kompilasi hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2000).
Djalil Basiq, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam,
Hk. Barat, dan Hk. Adat) da;am Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut
Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syriat Islam
Aceh. (Jakarta : Kencana, 2010)
H.M. Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: AMZAH,
2013)
Kitab Undang-Undang Dasar 1945
70
Lia Noviana, Persoalan Praktik Poligami dalam Masyarakat Islam,
ejournal.umum.ac.id/.../1184_umum_Screntific_journal. Diakses pada 09
januari 2014 jam 18:59
M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern : Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-
kitab fikih
Nunuy Nurhayati, “Pasang Surut Aturan Poligami, Tempo, (Desember 2006).
Nuruddin, Amir dan Akma, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI.
Jakarta: Kencana, 2004
Repository.usu.ac.id/Latar Belakang Masalah Perkawinan, artikeldiakses pada 19
November 2013, dari http://repository.usu.ac.id/bitstream.html
Saeupuddin Jahar,dkk, Hukum Keluarga, Pidana&Ekonomi, Kajian Perundang-
Undangan Indonesia, fikih dan Hukum Internasional, Jakarta, Kencana,
2003, Cet. Pertama
Subekti dan Tjicrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.
Pradya Pramitra, 1996)
Sudirman Tebba, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi
Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, (Bandung: Mizan,
1993)
71
Supriyadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam.
Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009
Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Balai Pustaka, Jakarta,
2001.
Yayan Sopyan, Islam Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional), Jakarta , PT. Wahana Semesta Intermedia, cet. Kedua
Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”. Artikel diakses pada 19
November 2013 dari http://publik-
syariah.blogspot.com/2011/04/Kriminalisasi-trend-reformasi.html
Zuhriah Erfaniah, Peradilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan
Pasang Surut (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.127-128
Nasional.Kompas.Com/read/.../sitemap.artikel ini diakses pada 24 februari 2014, dari
http//:Nasional.Kompas.com
www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 09 Januari 2014