VOLUME V NOMOR 8 EDISI AGUSTUS 2015 www.ekon.go.id
‘THE ALL NEW’
KREDIT USAHA RAKYAT
“LEBIH RINGAN, LEBIH FOKUS DAN LEBIH TEPAT SASARAN”
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
PEMBINA:
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
PENGARAH:
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan
Keuangan
KOORDINATOR:
Bobby Hamzar Rafinus
EDITOR:
Edi Prio Pambudi
Puji Gunawan
Ratih Purbasari Kania
ANALIS:
Puji Gunawan, Thasya Pauline, Sri Purwanti,
Susiyanti, Trias Melia, Desi Maola Ayu Saputri
KONTRIBUTOR:
FIEB UI
DAFTAR ISI
03 EDITORIAL
KEUANGAN
04 PAKET KEBIJAKAN OTORITAS JASA
KEUANGAN DALAM MENDUKUNG
PEMBANGUNAN DAN KETAHANAN
EKONOMI NASIONAL
LAPORAN TPI - TPID
07 ASPEK HUKUM KERJASAMA ANTAR
DAERAH
INFRASTRUKTUR
09 PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
PANGAN DALAM MENDUKUNG
KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFLASI
LAPORAN UTAMA
13 PROGRAM PEMERINTAH DALAM
PENGEMBANGAN UMKM
15 THE “ALL NEW” KUR
PANGAN
19 TOKO TANI INDONESIA
EKONOMI DOMESTIK
21 UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
DAN DUA SISI MATA UANG DISKRESI
PEJABAT
BUMN
24 PENGUATAN PERUM BULOG
02
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki posisi strategis dalam perekonomian Indonesia.
Hal ini ditunjukkan dari besarnya kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyediaan
lapangan pekerjaan. Keunggulan kompetitif UMKM lain yang mungkin merupakan faktor penyebab
relatif tahannya UMKM terhadap dampak goncangan ekonomi global adalah terkait pola sebaran
UMKM secara kewilayahan maupun diverisifikasinya secara sektoral. Namun di sisi lain, UMKM juga
menghadapi banyak sekali permasalahan. Beberapa diataranya meliputi terbatasnya modal kerja,
Sumber Daya Manusia yang rendah, dan minimnya penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi
(Sudaryanto dan Hanim, 2002)
Pemberdayaan UMKM dalam menghadapi era globalisasi dan tingginya persaingan, membuat UMKM
harus m ampu menghadapi tantangan global.. Hal ini perlu dilakukan untuk menambah nilai jual
UMKM itu sendiri, utamanya agar dapat bersaing dengan produk-produk asing yang kian membanjiri
sentra industri dan manufaktur di Indonesia.
Berbagai program yang diluncurkan Pemerintah untuk meningkatkan kapasitas dan mengembangkan
UMKM. Kementerian, Kepala Daerah dan Otoritas yang ada juga telah bersinergi untuk terus
mengembangkan UMKM. secara keseluruhan, dukungan yang diberikan bersifat terencana, sistematis
dan menyeluruh baik pada tataran makrodan mikro yang meliputi
1. penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta
menjamin kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi;
2. pengembangan sistem pendukung usaha untuk meningkatkan akses kepada sumber daya
produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya,
terutama sumber daya lokal yang tersedia;
3. pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif
4. pemberdayaan usaha skala mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak
dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang
masih berstatus keluarga miskin. Selain itu, peningkatan kualitas koperasi untuk berkembang
secara sehat sesuai dengan jati dirinya dan membangun efisiensi kolektif terutama bagi
pengusaha mikro dan kecil.
sisi dukungan anggaran yang tersebar di kementerian teknis dan dalam bentuk subsidi bunga kredit
program
EDITORIAL
ARTI PENTING UMKM BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA
03
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
PAKET KEBIJAKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN
DALAM MENDUKUNG
PEMBANGUNAN DAN
KETAHANAN EKONOMI
NASIONAL
oleh: Puji Gunawan
Dalam rangka Pencapaian tujuan
Pembangunan nasional yang telah digariskan
dalam Rencana Pembangunan jangka
menengah (RPJMN) 2015-2019 maupun yang
bersifat jangka pendek dalam rencana kerja
Pemerintah (RKP) tahun 2015, Pemerintah
memerlukan keterlibatan aktif dari berbagai
pihak. Keterbatasan ini disebabkan oleh
beberapa faktor seperti kapasitas fiskal dan
keterbatasan kewenangan. Keterbatasan kewenangan sendiri timbul dengan adanya pelimpahan
kewenangan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan Undang undang 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah ataupun berdasarkan peraturan perundang-undangan, beberapa sektor
pembangunan telah menjadi ranah insitutusi lain.
Sektor Keuangan misalnya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, maka pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara
terpadu, independen, dan akuntabel dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berdasarkan undang-
undang ini, OJK dirancang sebagai lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain.
Namun demikian, dengan semakin kompleks hubungan sektor-sektor dalam perekonomian, dan untuk
mencapai tujuan pembangunan serta dalam menghadapi kondisi ekonomi global yang melemah yang
akan mempengaruhi ekonomi domestik, maka sinergitas antar Otoritas dan Pemerintah adalah sebuah
keniscahyaan.
Ditahun 2014 misalnya. Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan enam peraturan di bidang
Perbankan. Kebijakan OJK ini diterbitkan sebagai bagian dari rangkaian kebijakan yang dikeluarkan OJK
dalam rangka memperkuat pengawasan sektor jasa keuangan, pendalaman pasar keuangan dan
perluasan akses keuangan masyarakat. Semua ini diharapkan dapat mendorong terwujudnya sektor jasa
keuangan yang kokoh, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, merata dan berkesinambungan.
Regulasi tersebut terkait dengan :
1. Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan
2. Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan
3. Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai)
4. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
5. Penyediaan Modal Minimum Perbankan Syariah
6. Kualitas Aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Menghadapi perlambatan ekonomi global dan mengantisipasi pengaruhnya kepada sektor keuangan
Indonesia, Di tahun 2015 OJK juga kembali mengeluarkan berbagai paket kebijakan diantaranya :
KEUANGAN
04
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Sektor Perbankan
1. Tagihan atau kredit yang dijamin oleh Pemerintah Pusat dikenakan bobot risiko sebesar 0
(nol) persen dalam perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk risiko kredit;
2. Bobot risiko untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) ditetapkan sebesar 75% dalam
perhitungan ATMR untuk risiko kredit;
3. Penerapan penilaian Prospek Usaha sebagai salah satu persyaratan restrukturisasi kredit tanpa
mempertimbangkan kondisi pasar maupun industri dari sektor usaha debitur;
4. Pelaksanaan restrukturisasi kredit sebelum terjadinya penurunan kualitas kredit;
5. Penurunan bobot risiko kredit beragun rumah tinggal non program pemerintah ditetapkan
sebesar 35%, tanpa mempertimbangkan nilaiLoan To Value (LTV) dalam perhitungan ATMR
untuk risiko kredit;
6. Penurunan bobot risiko KPR Rumah Sehat Sejahtera (RSS) dalam rangka program Pemerintah
Pusat Republik ditetapkan sebesar 20%, tanpa mempertimbangkan nilai Loan To Value
(LTV) dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit;
7. Penurunan bobot risiko Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dijamin oleh Jamkrida dapat
dikenakan bobot risiko sebesar 50%;
8. Penilaian kualitas kredit kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek hanya berdasarkan
ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga dinaikkan dari paling tinggi Rp 1 milyar
menjadi paling tinggi Rp 5 milyar hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan
atau/ bunga;
9. Penilaian kualitas kredit kepada UMKM dengan jumlah lebih dari Rp 5 milyar yang dikaitkan
dengan pering kat penilaian Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) dan Peringkat
Komposit Tingkat Kesehatan bank;
10. Penetapan kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi;
11. Penetapan kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi dengan tenggat waktu
pembayaran (grace period) pokok, selama masa grace period;
12. Persyaratan Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan bagi bank yang melakukan penyertaan
modal dalam rangka:
Sektor Pasar Modal
1. Pengembangan Infrastruktur Pasar Repurchase Agreement (REPO), mencakup pengaturan
mengenai Repo, pengembangan produk Repo, serta layanan settlement transaksi REPO yang
dilengkapi monitoring dan konsep 3rd party Repo 2. Pengembangan UKM untuk Go Public, mencakup penyusunan ketentuan untuk
pengembangan UKM, serta Pembuatan papan khusus untuk UKM;
3. Penetapan Electronic Trading Platform (ETP), mencakup pengembangan trading platform surat
utang terintegrasi yang digunakan oleh pelaku dan dimanfaatkan untuk kebutuhan
pengawasan;
4. Penggunaan Bank Sentral untuk Penyelesaian Transaksi, mencakup implementasi penggunaan
Bank Sentral selain pengunaan Bank Pembayaran untuk layanan jasa penyelesaian dana di
pasar modal;
5. Rencana penerbitan produk derivatif Indonesia Government Bond Futures (IGBF), dalam rangka
pengembangan Pasar Surat Berharga Negara (SBN);
6. Pengembangan Obligasi Daerah dalam rangka mendukung program pemerintah terkait
pembangunan infrastruktur;
7. Penggunaan Bond Index Surat Utang sebagai indikator acuan di pasar surat utang Indonesia
yang digunakan secara luas oleh pelaku pasar;
8. Perluasan produk investasi di Pasar Modal melalui Penerbitan Efek Beragun Aset Surat
Partisipasi (EBA-SP), untuk meningkatkan pertumbuhan pembiayaan perumahan di Indonesia
05
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
serta membantu Lembaga Jasa Keuangan dalam memperoleh likuiditas dari pasar modal
sebagai sumber pembiayaan yang terjangkau bagi masyarakat menengah dan kecil;
9. Peraturan Segmentasi Perizinan Wakil Perantara Pedagang Efek (WPPE) yang meliputi 3 (tiga)
tingkatan, yaitu WPPE, WPPE khusus pemasaran, dan WPPE khusus agen pemasaran;
10. Peraturan Tentang Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu, dalam rangka mengoptimalisasi dan
melakukan efisiensi atas proses transaksi dan operasional di dalam industri pengelolaan
investasi;
11. Penerapan Extensible Business Reporting Language (XBRL) dalam rangka penyediaan informasi
yang akurat dan dapat diandalkan;
12. Peningkatan BUMN dan anak BUMN yang Go Public, dalam rangka membantu BUMN dalam
penggalangan dana untuk kegiatan pengembangan usaha, sekaligus mendorong likuiditas
pasar; Implementasi Electronic Book Building, dalam rangka meningkatkan transparansi dan
fairness antar investor;
13. Peraturan terkait Pasar Modal Syariah, dalam rangka memberikan relaksasi pengaturan dan
kepastian hukum terkait efek syariah sehingga mempunyai level of playing field dengan efek
konvensional;
14. Penerbitan Pedoman Tata Kelola Emiten atau Perusahaan Publik, dalam rangka mendorong
perusahaan untuk mempraktikkan tata kelola perusahaan yang baik;
Sektor Industri Keuangan non Bank
1. Relaksasi Kebijakan Non Performing Financing (NPF) Perusahaan Pembiayaan, dalam rangka
mendorong pertumbuhan piutang pembiayaan oleh industri Perusahaan Pembiayaan (PP);
2. Pengembangan Asuransi Pertanian, untuk meningkatkan akses para petani ke sistem
keuangan sehingga sektor pertanian nasional dapat terus tumbuh dan berkembang;
3. Pembentukan Rating Agency Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dalam rangka
mengurangi isu asymmetric information dalam pendanaan UMKM dan menghadapi era
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA);
4. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro, yang difokuskan pada upaya mendorong LKM
yang belum berbadan hukum agar segera mengajukan permohonan pengukuhan menjadi
LKM sesuai UU LKM.
Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen
1. Peningkatan Budaya Menabung, dalam rangka mendukung peningkatan akses keuangan
masyarakat;
2. Edukasi dan Akses Keuangan UMKM, dalam rangka mendorong peningkatan akses
pembiayaan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) kepada UMKM dan mendorong capacity
building UMKM di bidang pengelolaan keuangan;
3. Pemberdayaan Konsumen, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
Industri Jasa Keuangan maupun LJK;
4. Pencegahan Penghimpunan Dana/In vestasi Tanpa Izin, dalam rangka meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga jasa keuangan formal
06
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Oleh Susiyanti
Payung hukum dalam kerjasama antar daerah
sejatinya telah di siapkan dalam Undang-
Undang nomor 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah, dimana daerah harus
mampu menjamin keserasian hubungan antar
daerah dan membangun kerjasama dalam
meningkatkan kesejahteraan bersama serta
mencegah ketimpangan antar daerah. Karena
pada kenyataanya tidak ada daerah yang
dapat berkembang sendiri tanpa dukungan
maupun keberadaan daerah yang lainnya.
Rasanya akan sulit bagi daerah-daerah di
Indonesia untuk tidak menjalin kerjasama.
Indonesia yang begitu luas dengan keragaman
potensi yang ada pun keragaman persoalan
yang dihadapi. Dari sisi geografi saja,
Indonesia sebagai negara kepulauan telah
memberikan bayak pengaruh dalam beragam
aspek, termasuk pengaruh pada pertumbuhan
ekonomi hingga penyebab inflasi di daerah.
Belum lagi berbagai permasalah struktural
yang dialami daerah, ketergantungan pasokan
satu daerah dengan daerah lain, struktur pasar
yang tak efisien sampai panjangnya jalur
distribusi barang. Kondisi ini membuat
penguatan kerjasama antar daerah menjadi
alternatif dalam menjamin ketersediaan
barang dan jasa sehingga laju inflasi rendah
dan stabil.
Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir
tekanan inflasi IHK di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh komponen inflasi
administered price dan inflasi volatile food.
Kondisi ini menunjukan bahwa inflasi di
Indonesia lebih banyak karena faktor shock.
Inflasi administered price disebabkan adanya
kenaikan harga BBM dan tariff dasar listrik.
Sementara inflasi administered disebabkan
adanya kenaikan dari bahan pangan seperti
beras, daging sapi, cabai, bawang merah dan
produk hortikultura lainnya.
Tingginya inflasi karena gejolak harga bahan
pangan membuat daerah sadar terhadap
dampak inflasi bagi kegiatan pembangunan
dan kesejahteraan rakyat mulai tinggi seiring
dengan pembentukan TPID di daerah-daerah.
Laporan
tpi-tpid
Foto: www.ciputranews.com
ASPEK HUKUM
KERJASAMA ANTAR DAERAH
07
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Inisiatif pembentukan TPID sendiri dimulai
sejak 2008 dan hingga saat ini telah terbentuk
93 TPID di 33 provinsi yang kemudian
melahirkan Kelompok Kerja Nasional
(Pokjanas) TPID April 2011. Keanggoatanya
terdiri dari Bank Indonesia (BI), Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko),
dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Keberadaan TPID dengan pojaknas TPID juga
menekankan pentingnya kerangka kerjasama
yang lebih bersinergi antar daerah. Pokjanas
TPID bersama TPID sendiri telah melakukan
pemetaan surplus defisit tiga komoditas
pangan yang menjadi sumber utama
penyebab inflasi di Indonesia yakni beras,
daging sapi, dan daging ayam. Hasil pemetaan
inilah yang diharapkan dapat menjadi dasar
bagi daerah untuk melihat potensi kerja sama
perdagangan antar daerah dengan daerah
lainnya.
Sejumlah perangkat hukum sejatinya telah
disiapkan pemerintah dalam mengatur
bagaimana hubungan kerjasama antar daerah
ini akan dilakukan. selain Undang-Undang
nomor 32 tahun 2004 sebagai salah satu
payung hukum terbesarnya, sejumlah
perangkat aturan hukum lain yang menjadi
turunanyapun telah disaipakan.
Dalam rangka menjaga stabilitas harga pangan
melalui kerjasama antar daerah, aspek hukum
dalam pelaksanaan kerjasama antar daerah
setidaknya melingkupi pada tiga dominasi
besar kerjasama antar daerah. Yakni terkait
dengan objek kerjasama antar daerah,
kelembagaan kerjasama serta dalam
pembiayaan kerjasama itu sendiri.
Dalam hal objek kerjasama, ketahanan pangan
menjadi salah satu objek penekanan dalam
pelaksanan kerjasama antar daerah ini. Secara
ekplisit dalam PP no 50/2007 dan UU no
23/2014 meyebutkan bahwa objek kerjasama
antar daerah adalah pangan. Perangkat hukum
tersebut juga diperkuat dengan UU no
18/2012 dimana Pemerintah Daerah wajib
mewujudkan keterjangkauan dan ketersedian
pangan.
Selain objek, aspek hukum lain yang telah
disiapkan dan diatur pemerintah adalah terkait
dengan kelembagaan kerjasama antar daerah.
Dalam sejumlah peraturan yang diterbitkan,
pemerintah telah mengatur dan memberikan
kekuatan hukum pada format kelembagaan
dalam kerjasama sama antar daerah yang
dilakukan.
Setidaknya ada tiga kelembagaan yang diatur
dan diakui dalam undang-undang. Yakni
dalam bentuk sekertariat kerjasama
sebagaimana yang di amanatkan dalam UU no
23/2014 pasal 364 ayat 6 dimana Pemda dapat
membuat sektertariat kerjasama dalam format
kelembagaan kerjasama antar daerah yang
dilakukan.
Pemda juga dapat berkerjasama dengan
BUMD sebagai penyedia kebutuhan
masyarakat termasuk salah satunya adalah
kebutuhan pangan sebagaimana di atur dalam
pasal 331 UU no 23/2014. Dalam Kepmendagri
43/2000 pasal 6 perusahaan dagang bisa
melakukan kerjasama dalam bentuk joint
operation dan joint venture. Bahkan dalam
format kelembagaan kerjasama, UU no
23/2014 pasal 363 ayat 2 memberikan jaminan
hukum kerjasama pemda dengan pihak ketiga
dalam skema kerjasama antar daerah tersebut.
Terkait dengan mekanisme pembayaran, UU
no 23/2014 memberikan ruang bagi program
kerjasama antar daerah untuk mendapatkan
alokasi dana dari APBD sebagaimana
diterangkan dalam pasal 281 ayat 2 undang-
undang tersebut. Dimana sekteratriat
kerjasama dapat dibiayai antar daerah yang
bekerjasama melalui pos hibah. Sementara
pembiayaan kerjasama antar daerah dengan
menggunakan jasa pihak ketiga dapat dibiayai
dengan pos pengadaan jasa lainnya.
08
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan
perekonomian nasional. Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian dapat tercermin dari
kemampuan negara dalam swasembada pangan atau paling tidak ketahanan pangan. Oleh sebab itu,
buruknya kinerja di sektor pertanian dapat berdampak pada terancamnya ketahanan pangan nasional.
Data dari Kementrian Pertainan menunjukkan pada tahun 2020 dan 2025 kebutuhan beras diperkirakan
masing-masing sebesar 62,3 juta ton dan 65,8 juta ton. Upaya pemenuhan kebutuhan beras nasional
hingga tahun 2025 akan ditempuh melalui dua cara yaitu peningkatan produktivitas padi dengan laju
pertumbuhan 1,0-1,5% per tahun dan peningkatan areal panen padi melalui peningkatan intensitas
tanam yang tentunya didukung dengan infrastruktur di sektor pangan khususnya irigasi.
Namun dalam perjalanannya, sektor pertanian banyak menghadapi permasalahan yang berdampak
pada penurunan produktivitas dan produksi pertanian. Salah satunya adalah terbatasnya aspek
INFRASTRUKTUR
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PERTANIAN
DALAM MENDUKUNG
KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFLASI
Oleh Susiyanti
09
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian. Infrastruktur pertanian yang berperan penting dalam
peningkatan produksi pangan khususnya beras adalah irigasi. Saluran irigasi merupakan hal yang vital
dalam pembangunan pertanian. Karena dengan ketersediaan saluran irigasi yang baik, diharapkan dapat
meningkatkan volume produksi dan kualitas komoditas pertanian, terutama tanaman pangan.
Sebagaimana data inventarisasi jaringan irigasi yang dilansir oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam
pada 2014 maka tercatat total luas areal pertanian sebanyak 9.136.028 ha yang terdiri dari areal irigasi
sebanyak 7.302.998 ha dan rawa sebanyak 1.833.030 ha. Dari luas areal pertanian itu, yang menjadi
kewenangan pusat sebanyak 33% (2.376.521 ha), dengan 79% irigasi dalam kondisi baik dan 21% irigasi
dalam kondisi rusak. Luas areal irigasi yang menjadi kewenangan Provinsi sebanyak 16% (1.105.475 ha),
39% (555.056 ha) dalam kondisi baik dan 61% (868.166 ha) dalam kondisi rusak. Luas areal irigasi yang
menjadi kewenangan Kabupaten/Kota sebanyak 51% (3.663.172 ha), 48% (1.670.141 ha) irigasi dalam
kondisi baik dan 52% (1.815.820 ha) dalam kondisi rusak. Sebaran areal sawah beririgasi tersebut terdiri
dari waduk sebanyak 797.971 ha (11%) dan non waduk sebanyak 6.432.212 ha (89%).
Selain itu, saat ini banyak kondisi waduk yang memprihatinkan. Setidaknya, dari Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa 42 waduk saat ini dalam kondisi waspada akibat
berkurangnya pasokan air selama kemarau. Sepuluh waduk telah kering, sementara hanya 19 waduk
masih berstatus normal. Padahal keberadaan waduk sangat penting dalam menopang produksi
pertanian. Masih rendahnya kesadaran dari para pemangku kepentingan di daerah-daerah untuk
mempertahankan lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab keberadaan infrastruktur
pertanian itu menjadi buruk.
Padahal irigasi merupakan infrastruktur yang mempunyai peranan sangat penting dalam mendukung
produksi padi nasional. Berdasarkan data dari BPS ATAP di tahun 2009, 2010, dan 2011, tercatat rata-
rata kontribusi irigasi terhadap produksi padi nasional selama tiga tahun kurang lebih sebesar 85%.
Total produksi dari areal dengan irigasi sebanyak 64.544.500,55 ton (84,70%) tahun 2009, sebesar
56.441.642,53 ton (84,48%) tahun 2010 dan sebesar 55.741.818,86 ton (84,77%) tahun 2011. Peran
penting irigasi dalam meningkatkan produksi pertanian juga didukung oleh hasil penelitian JICA pada
tahun 2014 yang menemukan bahwa irigasi memberikan dampak langsung terhadap produktivitas
pertanian yang pada akhirnya memberikan dampak terhadap rumah tangga. Oleh karena itu, perlu
dilakukan evaluasi potensi peran irigasi dan efektivitas pembangunan dan manajemen irigasi. Selain itu
juga perlu untuk dilakukan perbaikan kondisi jalan di pedesaan untuk mempermudah distribusi
(konektivitas) hasil pertanian.
Oleh karenanya, upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi pertanian khususnya padi
dengan intesifikasi pertanian adalah melalui penyediaan sistem irigasi yang andal. Sistem irigasi yang
andal itu ditentukan oleh keandalan air irigasi yang diwujudkan melalui pembangunan waduk,
bendungan, pompa dan jaringan drainase yang memadai. Keandalan prasarana irigasi harus diwujudkan
melalui peningkatan operasi dan pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi.
Peningkatan produksi pertanian khususnya padi untuk ketahanan pangan dapat dilakukan dengan
meminimalisir alih fungsi lahan dan meningkatkan pembangunan irigasi. Total potensi pengembangan
irigasi di Indonesia saat ini sebesar 10.865.200 ha. Dengan adanya perbaikan infrastruktur pangan
diharapkan produktivitas padi meningkat menjadi 5,15 ton per hektar gabah kering giling (GKG) pada
10
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
tahun 2019, naik 0,12 ton per hektar GKG dibandingkan tahun 2014 yang hanya sebesar 5,04 ton per
hektar GKG.
Upaya Pemerintah dalam mendukung intensifikasi sektor pertanian terus dilakukan melalui perbaikan
infrastruktur pangan. Pemerintah menargetkan pembangunan 65 bendungan pada 2015 hingga 2019.
Pembangunan bendungan itu diperkirakan akan membutuhkan dana sebesar 89,5 triliun, dengan
volume total irigasi mencapai 7,78 milyar m3 dengan kemampuan irigasi sebanyak 571.559 ha. Sebaran
bendungan tersebut ada di Sumatera (12 bendungan), Jakarta (27 bendungan), Kalimantan (4
bendungan), Sulawesi (9 bendungan), Bali (3 bendungan), Nusa Tenggara (4 bendungan), Nusa
Tenggara Timur (5 bendungan), Papua (1 bendungan). Selain pembangunan bendungan, Pemerintah
juga menargetkan kebutuhan pembangunan 49 waduk baru, dengan kebutuhan anggaran mencapai
73,9 triliun. Saat ini baru 33 waduk yang sudah diselesaikan dengan volume total 1,88 milyar m3 dengan
kemampuan irigasi sebanyak 178.303 ha.
Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian tahun 2015 mengemukakan, ada sebanyak 1 juta ha
jaringan irigasi yang harus direhab pada tahun 2015. Sebanyak 143,1 ribu ha menjadi kewengan Pusat,
sebanyak 281,6 ribu ha menjadi kewenangan Provinsi, dan sebanyak 575,4 ribu ha menjadi kewenangan
Kabupaten/ Kota. Program Rehabilitasi Jaringan Irigasi juga didukung dengan penyediaan benih, pupuk,
alsintan dan penyuluhan. Dengan adanya program ini diharapkan akan diperoleh produksi padi 73,40
juta ton GKG, sehingga surplus beras 9,63 juta ton dengan asumsi tingkat konsumsi 124,89
kg/kapita/tahun.
Infrastruktur pangan yang baik juga akan mampu mengendalikan inflasi. Tentu saja dengan didukung
pembangunan infrasturuktur lain yang menunjang konektivitas dan pasokan energi secara simultan.
Mengingat sektor pangan masih mempengaruhi secara signifikan angka inflasi di Indonesia. Tingkat
produksi yang rendah akan berpengaruh pada pasokan bahan pangan di pasar, ditambah dengan tata
niaga yang buruk di sektor pertanian akan membuat harga-harga kebutuhan pangan menjadi tidak
terkendali. Dibutuhkan sinergi Pusat dan Daerah dalam pengendalian inflasi yang disumbang oleh
bahan pangan. Rehabilitasi infrastruktur pangan termasuk irigasi dan waduk yang telah menjadi
kewenangan Pusat dan Daerah menjadi tantangan utama sinergi tersebut.
11
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
L A P O R A N U T A M A
PROGRAM PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN UMKM
THE “ALL NEW” KUR 2015
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Dalam perekonomian Indonesia, UMKM merupakan kelompok usaha yang memiliki jumlah paling besar
dan terbukti tahan terhadap berbagai macam goncangan krisis ekonomi. Kriteria usaha yang termasuk
dalam UMKM telah diatur dalam payung hukum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
tentang UMKM ada beberapa kriteria yang dipergunakan untuk mendefinisikan pengertian dan kriteria
UMKM. Perkembangan UMKM di Indonesia tidak terlepas dari dukungan perbankan dalam penyaluran
kredit kepada UMKM. Setiap tahun kredit kepada UMKM mengalami pertumbuhan dan secara umum
pertumbuhannya lebih tinggi dibanding total kredit perbankan. Kredit UMKM adalah kredit kepada
debitur usaha mikro, kecil dan menengah yang memenuhi definisi dan kriteria usaha mikro, kecil dan
menengah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 Tentang UMKM. Berdasarkan UU tersebut,
UMKM adalah usaha produktif yang memenuhi kriteria usaha dengan batasan tertentu kekayaan bersih
dan hasil penjualan tahunan. Keberhasilan UMKM di Indonesia juga tidak terlepas dari dukungan dan
peran pemerintah dalam mendorong penyaluran kredit kepada UMKM. Berbagai skim
Kredit/pembiayaan UMKM diluncurkan oleh pemerintah dikaitkan dengan tugas dan program
pembangunan ekonomi pada sektor sektor usaha tertentu, misalnya ketahanan pangan, perternakan
dan perkebunan. Teknologi informasi merupakan bentuk teknologi yang digunakan untuk menciptakan,
menyimpan, mengubah, dan menggunakan informasi dalam segala bentuknya. Melalui pemanfaatan
teknologi informasi ini, perusahaan mikro, kecil maupun menengah dapat memasuki pasar global.
Perusahaan yang awalnya kecil seperti toko buku Amazon, portal Yahoo, dan perusahaan lelang
sederhana Ebay, ketiganya saat ini menjadi perusahaan raksasa hanya dalam waktu singkat karena
memanfaatkan teknologi informasi dalam mengembangkan usahanya. Pemanfaatan teknologi informasi
dalam menjalankan bisnis atau sering dikenal dengan istilah e-commerce bagi perusahaan kecil dapat
memberikan fleksibilitas dalam produksi, memungkinkan pengiriman ke pelanggan secara lebih cepat
untuk produk perangkat lunak, mengirimkan dan menerima penawaran secara cepat dan hemat, serta
mendukung transaksi cepat tanpa kertas. Pemanfaatan internet memungkinkan UMKM melakukan
pemasaran dengan tujuan pasar global, sehingga peluang menembus ekspor terbuka luas.
Pemerintah sebagai regulator, pada dasarnya telah banyak mengeluarkan program atau skim yang telah
disediakan untuk memberdayakan UMKM. Program ini hendaknya terus dioptimalisasikan. Program-
program tersebuta antara lain. 1. Kredit Usaha Rakyat (KUR), sebagaimana telah di bahas di atas. 2.
LAPORAN
UTAMA
PROGRAM PEMERINTAH
DALAM
PENGEMBANGAN UMKM
Oleh Desi Maola
13
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), KKPE adalah kredit investasi atau modal kerja yang
diberikan dalam rangka mendukung program ketahanan pangan, dan diberikan melalui kelompok tani
atau koperasi. 3. Program Usaha Agrobisnis Pertanian (PUAP) 5 Andang Setyobudi, dalam Buletin
Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 5, nomor 2, Agustus 2007 berjudul “Peran serta Bank
Indonesia dalam Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)”. 21 PUAP merupakan
fasilitasi bantuan modal usaha untuk petani anggota, baik petani pemilik, petani penggarap, buruh tani
maupun rumah tangga tani yang dikoordinasikan oleh gabungan kelompok tani (Gapoktan). 4. Kredit
Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) 5. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM)
Demikian juga program-program yang dikeluarkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam
bentuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Program ini berangkat dari kepedulian dari
BUMN untuk memberdayakan UMKM melalui bagian laba sebesar 2,5% yang digunakan untuk
pemberdayaan UMKM. Disisi lain Kementrian Koperasi dan UMKM dan Kementrian lainnya langsung
melakukan pembinaan terhadap UMKM di seluruh wilayah tanah air. Termasuk Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan langsung melakukan pembinaan dan pemberian fasilitas pajak kepada UMKM.
Menurut Badan Kebijakan Fiskal, Secara rinci beberapa insentif fiskal yang telah terssedia untuk
mendorong perkembangan UMKM di Indonesia antara lain pemberian Tax Holiday, Tax Allowance,
batasan Harga Rumah Sederhana Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, PPh
Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk komoditas panas bumi dan bunga imbal hasil atas SBN yg
diterbitkan di pasar internasional, Pembebasan/pengurangan PPnBM untuk kendaraan bermotor (hybrid
dan low cost green car). Demikian juga diberikan fasilitas tidak dipungut PPN dan PPnBM terhadap
barang kena pajak (BKP) yang mendapatkan pembebasan bea masuk, sesuai dgn kriteria tertentu, misal
impor barang untuk eksplorasi hulu migas dan panas bumi. Termasuk penurunan beberapa tarif Bea
Masuk, pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Modal dalam Rangka Pembangunan dan
Pengembangan Industri Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum serta Pemberian Bea Masuk
Ditanggung Pemerintah (BMDTP).
14
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
THE
“ALL NEW”
KUR 2015
Sektor Keuangan memiliki
peran vital dalam mendukung
perekonomian suatu negara.
Dari sisi penawaran, lembaga
keuangan yang kuat dapat
menopang penuh kebutuhan
sektor lain dari sisi
pembiayaan, investasi dan
mitigasi resiko. Dari sisi
permintaan, masyarakat dan
pelaku usaha yang terlibat dan
memanfaat produk-produk
keuangan dapat memperkuat
fundamental permodalan
institusi sektor keuangan,
mengurangi biaya, mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan serta stabilitas sistem keuangan.
Jika melihat kondisi sektor keuangan Indonesia, maka dari sisi penawaran data pada triwulan III Tahun
2015 menunjukkan bahwa Industri Perbankan masih sangat dominan dibanding dengan industri lainnya
dalam sektor keuangan. Porsi aset perbankan terhadap PDB masih berada pada angka 54,1%. Sisanya
dibagi atas pasar modal (49,6%) dan Industri Keuangan Non bank (IKNB) sebesar 14%.
Jika dari sisi permintaan, Survei Bank Dunia pada tahun 2010 menunjukkan hanya 49% rumah tangga Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal. Hal serupa ditemukan Bank Indonesia dalam Survei Neraca Rumah Tangga di tahun 2011 yang menunjukkan bahwa persentase rumah tangga yang menabung di lembaga keuangan formal dan non lembaga keuangan sebesar 48%. Kedua survei tersebut saling menguatkan dan mendukung bahwa akses keuangan masyarakat Indonesia ke lembaga keuangan formal dan non formal masih relatif rendah sehingga penduduk Indonesia yang memiliki akses yang terbatas terhadap sistem jasa keuangan masih perlu ditingkatkan.
Data OJK dan BPS (2014) juga menunjukkan bahwa Tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia
masih menunjukkan tingkat yang rendah. Tingkat literasi masyarakat terhadap produk asuransi masih
berada di level 18%, pegadaian 15%, perusahaan pembiayaan 10%, dan dana pensiun 7%.
Jika kita melihat dukungan sektor keuangan kepada UMKM, data Perkembangan kredit UMKM di
Indonesia pada triwulan III-2015 menunjukkan porsi kredit Perbankan kepada UMKM baru mencapai
18,5%. Penyaluran kredit UMKM sebagian besar besar pada sektor perdagangan, diikuti industri
pengolahan, dan pertanian. Sebaran penyaluran kredit UMKM sebagian besar masih terpusat di Pulau
Jawa dan Sumatera dengan total porsi mencapai 58,1%. Hal ini berbeda dibandingkan dengan
penyebaran di wilayah Indonesia Bagian Tengah dan Timur hanya mencapai 22,3%.
Melihat kondisi sektor keuangan dan dukungannya terhadap UMKM yang masih rendah, maka
Pemerintah terus melakukan upaya-upaya perbaikan. Salah satu terobosan yang dilakukan adalah
melalui program kredit usaha rakyat. Pada tanggal 5 November 2007, Presiden saat itu meluncurkan
Kredit dengan fasilitas penjaminan kredit dari Pemerintah melalui PT Askrindo dan Perum Jamkrindo.
oleh Puji Gunawan
LAPORAN
UTAMA
15
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Program KUR secara umum adalah kredit/pembiayaan yang diberikan oleh perbankan kepada UMKMK
yang feasible tapi belum bankable atau dengan kata lain usaha tersebut memiliki prospek bisnis yang
baik dan memiliki kemampuan untuk mengembalikan kredit. Penyaluran KUR dapat dilakukan langsung
di Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank Pelaksana atau secara tidak langsung, melalui
Lembaga Keuangan Mikro dan koperasi simpan pinjam, atau melalui kegiatan linkage program lainnya
yang bekerjasama dengan Bank Pelaksana.
Dalam skema awal KUR, KUR dibagi atas
(1) KUR Mikro dengan plafon sampai dengan Rp 20 Juta dikenakan suku bunga kredit maksimal 22%
per tahun
(2) KUR Ritel dengan plafon dari Rp 20 Juta sampai dengan Rp 500 Juta dikenakan suku bunga kredit
maksimal 13% per tahun,
(3) KUR Linkage dengan plafon sampai dengan Rp 2 milyar. KUR Linkage biasanya menggunakan
lembaga lain, seperti Koperasi, BPR, dan Lembaga Keuangan Non-bank, untuk menerus-pinjamkan
KUR dari Bank Pelaksana kepada UMKMK
Dalam perkembangannya, maka dalam kurun waktu 2007 – 2014, data dari Komite Kebijakan KUR
menunjukkan total penyaluran KUR telah mencapai sebesar Rp 178,85 triliun dengan NPL sebesar 3,3%.
Tenaga kerja yang berhasil diserap dari program KUR adalah sebanyak 20.344.639
Memasuki era Pemerintahan Presiden Joko Widodo, Program KUR yang sebelumnya sempat dihentikan
pelaksanaannya telah diputuskan untuk dilanjutkan. Hal ini tentunya tidak terlepas dari dampak positif
program KUR terhadap pengembangan UMKM, pengentasan kemiskinan serta perekonomian secara
nasional. Pada tahap kedua pelaksaaan KUR ini, diputuskan untuk dilakukan penguatan regulasi dan
perbaikan skemanya.
Skema KUR yang baru juga diupayakan tepat sasaran, baik dalam hal keberpihakan Pemerintah maupun
dari sektor yang dianggap penting untuk dikembangkan. Beberapa upaya perbaikan skema KUR dapat
disarikan dalam tabel di bawah ini :
A. KUR MIKRO
NO. URAIAN LAMA BARU
1 Suku Bunga KUR Mikro maksimal 22% efektif
per tahun
KUR Mikro maksimal 12% efektif per
tahun
2 Plafon Pinjaman KUR Mikro maksimal Rp 20 juta KUR Mikro maksimal Rp 25 juta
3 Maksimal Plafon Tidak diatur Maksimal Rp 75 juta
4 Cakupan Penjaminan • Sektor Prioritas (pertanian,
perikanan, industri kecil, dan
TKI) = 80%
• Sektor Non Prioritas = 70%
Kesepakatan Bank Pelaksana dan
Perusahaan Penjamin
5 Target Group Usaha yang produktif, layak,
namun belum bankable
Usaha mikro yang produktif , layak dan
belum memenuhi persyaratan agunan.
6 Pengecekan SID KUR Mikro tidak perlu
pengecekan SID
KUR Mikro perlu pengecekan SID
16
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
NO. URAIAN LAMA BARU
7 Basis Data Menjadi tanggung jawab
Kementerian Teknis
Pengembangan Sistem Informasi
Kredit Program (SIKP) secara bertahap
dengan server dari Kementerian
Keuangan.
8 Jangka Waktu Kredit • KI = 5 tahun
• KMK = 3 tahun
• KI = 4 tahun
• KMK = 2 tahun
9 Jangka Waktu
Perpanjangan
• KI = 10 tahun
• KMK = 6 tahun
• KI = 8 tahun
• KMK = 4 tahun
10 Tarif dan
Perhitungan IJP
3,25% , dihitung berdasarkan
plafon
Kesepakatan Bank Pelaksana dan
Perusahaan Penjamin
11 Penyaluran Linkage Linkage Executing
Linkage Channelling
Linkage Chanelling)
12 Agunan Pokok
Agunan Tambahan
Kegiatan usaha
Tidak ada
Kegiatan usaha.
Sesuai penilaian Bank Pelaksana KUR
Mikro namun tanpa perikatan.
13 Online Sistem Tidak diatur Bank Pelaksana dan Perusahaan
Penjamin berkewajiban untuk
membangun online sistem
14 Sektor Seluruh sektor usaha mikro Usaha mikro di sektor pertanian,
perikanan, industri pengolahan dan
perdangangan yang terkait
17
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
B. KUR RITEL
NO. URAIAN LAMA BARU
1 Suku Bunga KUR Ritel maksimal 13% efektif
per tahun
KUR Ritel maksimal 12% efektif
2 Plafon Pinjaman > Rp 25 juta s.d. Rp 500 juta > Rp 25 juta s.d. Rp 500 juta
3 Maksimal Plafon Tidak diatur Tidak diatur
4 Cakupan Penjaminan • Sektor Prioritas (pertanian,
perikanan, industri kecil, dan
TKI) = 80%
• Sektor Non Prioritas = 70%
Kesepakatan Bank Pelaksana dan
Perusahaan Penjamin
5 Target Group Usaha yang produktif, layak,
namun belum bankable
Usaha mikro dan atau usaha kecil
yang produktif , layak dan belum
memenuhi persyaratan agunan.
6 Basis Data Menjadi tanggung jawab
Kementerian Teknis
Pengembangan Sistem Informasi
Kredit Program (SIKP) secara bertahap
dengan server dari Kementerian
Keuangan.
7 Jangka Waktu Kredit • KI = 5 tahun
• KMK = 3 tahun
• KI = 4 tahun
• KMK = 2 tahun
8 Jangka Waktu
Perpanjangan
• KI = 10 tahun
• KMK = 6 tahun
• KI = 8 tahun
• KMK = 4 tahun
9 Tarif dan
Perhitungan IJP
3,25% , dihitung berdasarkan
plafon
Kesepakatan Bank Pelaksana dan
Perusahaan Penjamin
10 Penyaluran Linkage Linkage Executing
Linkage Channelling
Linkage Chanelling)
11 Agunan Pokok
Agunan Tambahan
Kegiatan usaha
Tidak ada
Kegiatan usaha.
Sesuai penilaian Bank Pelaksana.
12 Online Sistem Tidak diatur Bank Pelaksana dan Perusahaan
Penjamin berkewajiban untuk
membangun online sistem
13 Sektor Seluruh sektor usaha Usaha mikro dan atau usaha kecil di
sektor pertanian, perikanan, industri
pengolahan dan perdangangan yang
terkait
18
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
oleh Puji Gunawan
RPJMN 2015-2019 masih menjadikan pertanian sebagai sektor strategis dalam pembangunan ekonomi
nasional. Peran strategis sektor pertanian tersebut diwujudkan dalam bentuk penyediaan bahan pangan
dan bahan baku industri, penyumbang Produk Domestik Bruto, penghasil devisa negara, penyerap
tenaga kerja, sumber utama pendapatan rumah tangga perdesaan, penyedia bahan pakan dan
bioenergi, serta berperan dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
Dengan sasaran strategis tersebut,
maka salah satu strategi yang akan
dijalankan Kementerian Pertanian
melakukan penguatan jaringan
pasar produk pertanian. Dalam lima
tahun mendatang, arah penguatan
tersebut dilakukan melalui :
1. Penyusunan peta jalur
pemasaran komoditas strategis
termasuk komoditas yang sering
terkendala distribusi guna
membangun pasar yang
terintegrasi dengan baik dari
daerah produksi hingga ke
konsumen.
2. Memperkuat kelembagaan dan
sistem pelayanan informasi pasar
dan jaringan pasar produk
pertanian
3. Fasilitasi kelembagaan pasar dan
sistem resi gudang
4. Membuka target pasar baru
PANGAN
TOKO TANI INDONESIA SEBAGAI PEMUTUS RANTAI DISTRIBUSI BARANG KEBUTUHAN POKOK
MASYARAKAT
19
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Dalam tataran implementasinya, jaringan pasar produk pertanian akan diwujudkan dalam bentuk Toko
Tani Indonesia (TTI). Adapun tujuan Program TTI adalah menyerap produk pertanian nasional
khususnya bahan pangan pokok dan strategis, mendukung stabilisasi harga dan memberikan
kemudahan akses konsumen/masyarakat terhadap bahan pangan pokok dan strategis.
Adapun lokasi dari TTI sendiri diarahkan kepada daerah-daerah konsumen, utamanya yang menjadi
barometer fluktuasi harga dan pasokan komoditas pangan pokok dan strategis. Untuk tahun Tahun
2015 di rencanakan akan dibangun di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI.
Yogyakarta dan JawaTimur. Sedangkan untuk tahun 2016-2019 akan dilanjutkan di 34 Provinsi lainnya.
Dalam APBN-2016 yang telah disepakati Pemerintah dengan DPR, sebanyak Rp200 Milyar telah
dialokasikan untuk membangun jaringan 1.000 TTI di seluruh Indonesia.
SYARAT LOKASI
Untuk dapat dibangun TTI, setidaknya terdapat 4 syarat yang harus dipenuhi, yaitu Daerah tersebut
merupakan sentra produksi 2 (dua) atau lebih komoditas pangan pokok strategis, Daerah sentra
konsumen dan sering mengalami gejolak harga, Merupakan pasar regional yang mempengaruhi
stabilitas harga dan pasokan pangan di wilayah sekitar pasar yang ditetapkan dan Merupakan pasar
pencatatan inflasi BPS
Terdapat beberapa kriteria pelaku usaha / individu yang dapat menerima penugasan pembukaan TTI :
1. Pedagang tetap dan Memiliki tempat usaha milik pribadi atau sewa
2. Berlokasi strategis yang mudah dijangkau konsumen.
3. Memiliki SIUP / NPWP / UD (surat izin usaha dari desa)
4. Pengalaman usaha minimal 4 tahun.
5. Tidak sedang bermasalah dalam hutang/piutang dengan pihak manapun.
6. Bersedia kerja sama dengan PerumBULOG/Mitra perumBULOG yang tertuang dalam kontrak.
7. Bersedia menjual produk pangan TTI
8. Bersedia membuat catatan transaksi penjualan khusus kegiatan TTI
20
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
UU Administrasi Pemerintahan
dan
Dua Sisi Mata Uang Diskresi Pejabat
Oleh Susiyanti
Dalam keterangan resminya Mei lalu, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Biorkarasi
Yuddy Chrisnandi mengatakan Undang Undang (UU) 30/2014 tentang administrasi pemerintahan
menjadi pilar keempat dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia, setelah UU Nomor 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara, UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Keempat UU tersebut berkaitan dengan implementasi tata
kelola pemerintaha yang baik untuk masa depan Indonesia.
Ada tujuan mulia di balik pengesahan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Para
wakil rakyat menginginkan terciptanya sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi hak-hak warga
negara. Dapat dikatakan bahwa UU tersebut merupakan wujud dari komitmen pemerintah untuk tetap
melaksanakan reformasi birokrasi di semua aspek, khususnya lingkup ketatalaksanaan pemerintahan dan
pelayanan publik.
Secara keseluruhan, UU 30/2014 ini memuat 89 pasal dengan ruang lingkup meliputi semua aktifitas baik
itu badan atau pejabat pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintahan (eksekutif, legislatif maupun
yudikatif), hak kewajiban pejabat, kewenangan pemerintah, administrasi pemerintahan dan lain
sebagainya. Dalam UU tersebut termasuk tentang penyelenggaraan administrasi pemerintahan, aparatur
pengawasan internal pemerintah mendapat porsi kewenangan strategis serta wajib berperan aktif
memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi badan/pejabat pemerintah dalam pengambilan
keputusan.
EKONOMI
DOMESTIK
21
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Kehadiran UU ini juga dimaksudkan antara lain untuk menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi
pemerintahan, menciptakan kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, dan
menjamin akuntabilitas badan dan/atau pejabat pemerintahan. Tujuan lain adalah memberikan
perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintahan dalam melaksanakan
ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan dan menerapkan azas-azas umum pemerintahan
yang baik (AUPB), serta memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat.
UU ini memuat kejelasan jenis-jenis kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat. Kejelasan tanggung
jawab terhadap kewenangan agar terdapat kejelasan tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap
pelaksanaan kewenangan. Selain itu, UU ini mengatur larangan penyalahgunaan wewenang, sehingga
badan atau pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan atau tindakan sesuai dengan batas
kewenangan yang dimiliki.
Salah satu ruang lingkup yang dibahas dalam UU Nomor 30 tahun 2014 ini adalah terkait dengan
persoalan diskresi. Pembahasan ini tidak lepas dari kriminalisasi kebijakan publik akhir-akhir ini yang
sering terjadi dimana pejabat banyak menjadi korban atas terjadinya kriminalisasi tersebut.
Penjelasan mengenai diskresi dalam UU Nomor 30/2014 adalah keputusan dan atau tindakan yang
ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Ruang lingkup diskresi pejabat pemerintahan sebagai mana diatur dalam Pasal 23, yakni meliputi,
pengambilan keputusan dan atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan; pengambilan keputusan dan/atau tindakan
karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur; pengambil keputusan dan/atau tindakan karena
peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan pengambilan keputusan dan/atau
tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Adapun tujuan diskresi adalah demi melancarakan penyelenggaraan pemerintahaan, mengisi kekosongan
hukum, memberikan kepastian hukum serta mengatasi stagnasi pemerintahaan dalam kondisi tertentu
guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Dengan demikian, diskresi tak lain adalah kebebasan mengambil keputusan sendiri yang dimungkinkan
oleh pejabat. Tentunya dalam syarat dan kondisi yang telah diatur dalam undang-undang tersebut.
Beberapa diskreasi ada yang harus meminta ijin atasan sesuai dengan tata aturan di perudangan-
undangan. Namun ada juga di diskresi yang dilaksanakan sendiri.
22
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari
atasan atau pejabat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sementara dalam kondisi darurat,
mendesak dan bencana alam, diskresi tidak memerlukan persetujuan namun diperlukan pelaporan atas
penggunaan diskresi tersebut.
Meski demikian, penggunaan diskresi harus oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan tujuannya.
Pejabat pemerintahan yang dimaksud yaitu unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di
lingkungan pemerintahan maupun penyelenggara negara lainnya.
Contoh sederhana dari diskresi yang jelas dan dapat dilihat di kehidupan sehari-hari adalah seorang polisi
lalu lintas yang mengatur lalu lintas di suatu perempatan jalan, yang mana hal ini sebenarnya sudah diatur
oleh lampu pengatur lalu lintas (traffic light). Menurut UU Lalu Lintas, polisi dapat menahan kendaraan
dari satu ruas jalan meskipun lampu hijau atau mempersilakan jalan kendaraan meskipun lampu merah.
Diskresi juga dapat dilakukan oleh penyelenggara negara yaitu pejabat negara yang menjalankan fungsi
eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang kepala daerah dapat mengambil keputusan apapun
meski melanggar peraturan, sepanjang itu bertujuan demi keuntungan rakyatnya, bukan keuntungan
pribadi.
Hal ini mestinya membuat kepala daerah memunculkan langkah terobosan untuk mengatasi
permasalahan di daerah mereka masing-masing. Ambil contoh ancaman kekeringan yang dialami oleh
Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Dalam catatan Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian, hingga kini,
ada sekitar 4.000 hektar tanaman padi yang gagal panen.
Meski demikian, masih ada ketakutan dari para kepala daerah dalam mengaplikasikannya. Kepala daerah
rata-rata takut gunakan anggaran. Jadi lebih baik anggaran itu disimpan di dalam bank daerah, bahkan
terjadi peningkatan sebelumnya di April Rp 253 triliun dapat membengkak menjadi Rp273 triliun. Hal itu
berdampak pada rendahnya penyerapan APBD. Hingga bulan Agustus ini, serapan anggaran pemerintah
baru 20%.
Dalam pertemuan dengan Presiden, banyak Gubernur, Bupati dan Walikota mengaku tak berani
menggunakan APBD karena masih ada ketakutan dikriminalisasi dalam persoalan hukum. Oleh karena itu
diperlukan payung hukum dalam peraturan perlaksanan yang lebih rinci terutama dalam kasus-kasus
yang sifatnya mendesak dan perlu penanganan darurat. Bahkan Presiden Joko Widodo menyatakan
bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan, administratif dalam kondisi darurat untuk kepentingan
rakyat sebaiknya jangan dipidanakan.
23
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
oleh Susiyanti
Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu hak asasi manusia yang harus terpenuhi.
Sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia maka panganpun harus tersedia dalam jumlah yang
cukup dan dalam kualitas yang baik. Sayangnya, selama ini justru persoalan pangan di Indonesia
sendiri tidak dapat dipisahkan dari berbagai persoalan, terutama masalah harga pangan yang
menjadi salah satu aspek yang mencerimnakan ketersedian atau produksi pangan nasional.
Sebagaimana diketahui, salah satu persoalan dalam pemenuhi pangan di Indonesia adalah
persoalan harga pangan. Hampir setiap tahun, persoalan pangan di Indonesia selalu dihadapkan
pada kondisi harga pangan yang selalu mengalami gejolak. Beberapa komoditas seperti beras,
bawang merah, cabai dan daging sapi menjadi contoh komoditas yang terus silih berganti
bergejolak.
Kenaikan harga pangan jelas berdampak besar pada masyarakat sebagai konsumen. Tidak
terjangkaunya pangan, membuat kelompok keluarga miskin atau keluarga dengan kemampuan
di bawah rata-rata tidak mampu lagi membeli makanan bergizi. Akibatnya, mereka akan
membeli makan yang lebih murah dan tak bergizi. Kondisi ini tentu memberikan dampak buruk
pada jangka panjang. Selain itu, tak sedikti dari mereka yang terpaksa harus mengeluarkan anak-
anak mereka dari sekolah karena beban ekonomi yang semakin tinggi akibat pangan yang terus
melambung naik.
Indonesia sejatinya memiliki sebuah badan yang diharapkan dapat menjadi stabilitator harga komoditi
pangan nasional agar tetap stabil yakni Badan Urusan Logistik atau sering disingkat dengan Bulog.
Perjalanan Perum BULOG sendiri dimulai saat dibentuknya BULOG pada tanggal 10 Mei 1967 berdasarkan
keputusan presidium kabinet No.114/U/Kep/5/1967, dengan tujuan pokok untuk mengamankan
penyediaan pangan dalam rangka menegakkan eksistensi Pemerintahan baru.
BUMN
PENGUATAN PERUM BULOG
24
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Peraturan tentang Bulog terus mengalami beberapa revisi untuk menyesuaikan tugas dan peran Bulog
dari masa ke masa. Temasuk salah satunya tugas bulog dalam meningkatkan mutu gizi pangan
sebagaimana tercantum dalam Keppres No. 103 tahun 1993. Penyempurnaan peran Bulog kembali
ditungkan dalam Keppres No 50 tahun 1995 dimana tanggung jawab BULOG lebih difokuskan pada
peningkatan stabilisasi dan pengelolaan persediaan bahan pokok dan pangan. Tugas pokok BULOG
sesuai Keppres tersebut adalah mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras, gula, gandum,
terigu, kedelai, pakan dan bahan pangan lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam
rangka menjaga kestabilan harga bahan pangan bagi produsen dan konsumen serta memenuhi
kebutuhan pangan berdasarkan kebijaksanaan umum Pemerintah.
Hanya berselang dua tahun, seiring dengan keluarnya Keppres No. 45 tahun 1997, kewenangan Bulog
dibatasi dan hanya tinggal beras dan gula. Keppres ini malah di kemudian di kuatkan dengan Keppres No
19 tahun 1998 tanggal 21 Januari 1998 dimana Pemerintah mengembalikan tugas BULOG seperti Keppres
No 39 tahun 1968. Ruang lingkup komoditas yang ditangani BULOG kembali dipersempit seiring dengan
kesepakatan yang diambil oleh Pemerintah dengan pihak IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI).
Saat ini, seperti diketahui Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) hanya bisa melakukan stabilisasi harga
beras dan tidak bisa untuk komoditas pangan lain seperti cabai, bawang merah ataupun kedelai yang
sempat melonjak dan komodtas lainnya. Tidak hanya persoalan komoditas yang terbatas, beberapa
kendala lain juga di hadapi bulog dalam menjalankan tugasnya. Termasuk keterbatasan dalam sumber
daya manusia, terbatasnya anggaran dana hingga dalam hal intstumen hukum, pembagian fungsi dan
kewenangan.
Sebagai contoh, selama ini Bulog menampung beras dari petani saat panen raya sebagai cadangan beras
pemerintah. Meski memiliki Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang cukup banyak, namun Bulog tidak
bisa mengeluarkan atau mendistribusikan beras tersebut untuk menstabilkan harga breas di pasar karena
bulog tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan tersebut.
Dalam berbagai kesempatan, Direktur Utama Perum Bulog, Djarot Kusumayakti kerap menyerukan agar
peran-peran Bulog bisa diperluas. Tidak hanya sebatas pada beras semata. Djarot meminta pemerintah
segera memberikan payung hukum untuk memperkuat peran Bulog dalam menstabilkan harga pangan
secara menyeluruh tidak hanya sebatas beras. Seperti Jagung, Kedelai, Minyak goreng, daging sapi,
daging ayam, bawang merah, cabai bahkan hingga telur.
25
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
"Komoditas bahan pokok tidak melulu beras. Keterbatasan wewenang yang dimiliki membuat peran
Perum Bulog sebagai stabilisator masih terbatas. Untuk itu, kewenangan yang ada pada Perum Bulog
masih harus ditingkatkan untuk dapat menjalankan peran strategisnya sebagai penjaga stabilitas harga.
Sebagai direktur utama Bulog, Djarot menilai Bulog telah siap jika dilimpahi kewenang untuk
mengamankan harga kebutuhan bahan bokok selain beras. Dari aspek infrastruktur, menurut Djarot Bulog
telah memiliki sejumlah infrastruktur penunjang seperti gudang-gudang, cold storage, drying center dan
sebagainya yang direncanakan akan di bangun mulai 2016 mendatang.
Penguatan kembali peran Bulog tidak hanya disuarakan oleh Djarot. Sebagai mana dikutip dari sebuah
portal berita nasional, Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron juga melihat perlunya pemerintah
memperkuat Perum Bulog dengan mengintegrasikan Bulog dalam Badan Ketahanan Pangan yang
pembentukannya telah diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU
Pangan).
Sebenarnya Pemerintah tidak perlu membuat lembaga baru untuk pembentukan Badan Ketahanan
Pangan, cukup 'menaikkan kelas' Bulog menjadi Badan Ketahanan Pangan. Dengan begitu, Bulog bisa
lebih leluasa dalam menstabilkan harga pangan. Integrasi Bulog dalam Badan Ketahanan Pangan, bukan
hanya sebagai operator, namun juga pengambil kebijakan pangan sesuai dengan kewenangan yang
diberikan.
Keinginan untuk merevitalisasi fungsi Bulog nampaknya menjadi kebutuhan yang dirasa perlu dilakukan
saat ini. Bulog harus dikembalikan pada peranannya sebagai stabilitator harga pangan, bukan lagi hanya
menangani cadangan beras saja. Fenomena melonjaknya harga komoditas pangan seharusnya dapat
dikurangi karena Bulog mampu berperan sebagai buffer stock. Jika revitalisasi Bulog akan dilakukan
pemerintah, peran bulog seharunya bisa lebih luas dan optimal dari apa yang bisa dilakukan saat ini.
26
Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
REDAKSI TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Gd. PAIK II) Lantai 4
Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2 – 4 Jakarta, 10710
Telp. 021-3521843, Fax. 021-3521836
Email: [email protected]
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat diunduh pada website
www.ekon.go.id
Top Related