BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Saat ini dengan mobilitas manusia yang semakin tinggi insidensi trauma otak
semakin tinggi. Insidensi tertinggi terjadinya trauma adalah pada usia produktif,
setelah usia produktif insidensi menurun. Usia terbanyak adalah 15-24 tahun. Laki-
laki lebih banyak mengalami trauma otak dua sampai tiga kali daripada perempuan.
Penyebab trauma otak adalah kecelakaan lalu lintas 50%, jatuh 20-25%; kekerasan,
olah raga, rekreasi 15-25%. Di Asia dilaporkan terjadi trauma otak 160 per 100.000
per tahun. Kematian akibat trauma tersebut rata-rata 20 per 100.000 per tahun. Di
Indonesia belum ada data mengenai kejadian trauma otak yang tercatat dengan baik.1
Disfungsi neurologis dan kematian pada trauma otak (TBI) disebabkan oleh
trauma pada parenkim otak, prolong koma dengan komplikasinya, fraktur basis cranii
yang terinfeksi, hidrocephalus karena perdarahan subarachnoid dan peningkatan
tekanan intra kranial. 1,2,3
Trauma pada parenkim otak umumnya diakibatkan oleh cedera fokal atau
difus. Contoh cedera fokal adalah epidural hematom, subdural hematom, dan
kontusio. Contoh cedera difus adalah concussion dan axonal injury. Saat energi
trauma yang menghantam tinggi umumnya terdapat kombinasi trauma parenkim fokal
dan difus dan yang terpenting, keduanya mengakibatan edema serebri juga hipertensi
intrakranial yang terjadinya tidak saat kejadian trauma. 1,2
Manajemen awal yang tepat dan cepat harus dilakukan namun tindakan bukan
hanya pada saat awal tersebut, cedera sekunder yang terjadi belakangan juga perlu
dicegah. Cedera tersebut akan memicu kerusakan metabolisme glioneuronal, dan
akhirnya sel mati. Tujuan akhir manajemen adalah mencegah dan mengobati iskemia
serebri. 1,2
1
1.2. Tujuan
Pengetahuan mengenai patofisiologi edema serebri, peningkatan tekanan
intrakranial, serta diagnosis dan manajemen yang tepat dan cepat seperti
dkraniektomi dekompresi akan menghasilkan angka kematian dan kesakitan yang
rendah.
2
BAB 2
EDEMA SEREBRI
DAN
PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL
2.1.Edema serebri
Edema serebri adalah peningkatan patologis jumlah total cairan di otak
sehingga terjadi peningkatan volume otak. Cairan yang bertambah dapat di
interselular, ekstraselular maupun di dalam sel jaringan otak. Istilah edema
dibedakan dari istilah swelling yaitu bertambahnya cairan dalam pembuluh
darah otak (intravaskular) akibat pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi).
Bertambahnya volume komponen jaringan otak akan mendesak dua komponen
lainnya yang memang bisa didesak, yaitu pembuluh darah dan cairan
serobrospinal (LCS), yang pada akhirnya akan menaikkan tekanan intrakranial
(TIK). Manifestasi klinis peninggian tekanan TIK berhubungan dengan
menurunnya aliran darah ke jaringan otak (iskemia). Proses iskemia otak
berdasarkan konsep tekanan perfusi otak (TPO) atau sering disebut cerebral
perfusion pressure (CPP). 1-4
Macam-macam edema serebri:
1. Edema serebri vasogenik
a. Edema serebri hidrostatis
b. Edema serebri dari kanker otak
c. Edema serebri karena berada ditempat yang tinggi / gunung (high
altitude edema serebri)
3
2. Edema serebri sitotoksik ( edema intracellular )
3. Edema serebri osmotik
4. Edema serebri interstitial 1,2,3
Gbr 1. Mekanisme edema 5
Penjabaran empat macam edema serebri 1-5
1. Edema serebri vasogenik
Edema serebri ini terjadi karena kerusakan ikatan endotel perivaskular
sehingga cairan plasma bergerak dari vaskular ke interstisial, kemungkinan
karena perubahan kanal aquaporin serta BBB. Protein intravaskular dan
cairan intravaskular secara normal bisa menembus ke dalam ruang
ekstraselular parenkim otak. Plasma melewati BBB, menyebabkan edema
yang meluas dengan sangat cepat. Cairan masuk substansia grisea bergerak
lewat sepanjang serat ekstrasellular. Edema jenis ini merupakan respon
terhadap trauma, tumor, fokus peradangan, abses, manipulasi operasi, tahap
akhir iskemia serebri dan hipertensi ensefalopati. Beberapa mekanisme
4
memberikan kontribusi bagi disfungsi BBB adalah gangguan arteri pada
hipertensi atau trauma, tumor memfasilitasi pelepasan zat-zat yang merusak
senyawa endotel (misalnya asam arakidonat, rangsang neurotransmiter,
eikosanoid, bradykinin, histamin dan radikal bebas).
Gbr 2. Edema vasogenik (area gelap) yang mengelilingi tumor otak 3
Beberapa subkategori khusus dari edema vasogenik meliputi:
1. Edema serebri hidrostatis
Edema serebri hidrostatis terjadi pada hipertensi berat. Edema ini
karena kerusakan BBB yang berakibat difusi air ke ruang interstisial.
2. Edema serebri dari kanker otak
Pada kanker otak, sel glial (glioma) meningkatkan sekresi Vascular
Endotel Growth Factor (VEGF) yang akan melemahkan ikatan
endotel BBB. Deksametason dapat bermanfaat dalam mengurangi
sekresi VEGF
3.. Edema serebri karena naik gunung (High Altitude Cerebral Edema)
5
High Altitude Edema serebri ( HACE ) merupakan edem serebri berat
(fatal) . HACE adalah hasil dari pembengkakan jaringan otak karena
kebocoran cairan kapiler akibat hipoksia sel endotel mitokondria BBB.
Gejala berupa sakit kepala, kehilangan koordinasi (ataksia), kelemahan
dan penurunan tingkat kesadaran termasuk disorientasi, kehilangan
memori, halusinasi, perilaku psikotik, dan koma. Hal ini biasanya terjadi
setelah seminggu atau lebih di dataran tinggi.
2. Edema serebri sitotoksik
Merupakan jenis edema serebri dengan BBB tetap utuh. Edema ini
disebabkan membran sel terganggu lalu terjadi gangguan gradient osmotic
transmembran lalu gangguan metabolisme sel. Terjadi pembengkakan
astrosit substansia alba dan astrosit substansia grisea. Edema ini terjadi pada
intoksikasi air, hipotermia, iskemia, ensefalopati, stroke atau hipoksia,
serangan jantung, pseudotumor serebri dan keracunan otak. Intoksikasi air
dan keadaan hiperosmolar lain menyebabkan perpindahan air secara difusi
ke ruang intraselular. Stroke mengakibatkan terjadi gangguan fungsi pompa
natrium dan kalium dalam membran sel glia, akhirnya mengakibatkan terjadi
retensi natrium dan air dalam sel.
3. Edema serebri osmotik
Biasanya osmolaritas CSF dan ECF otak sedikit lebih besar daripada
plasma. Ketika plasma diencerkan oleh asupan air yang berlebihan (seperti
saat hiponatremia), syndrome of inappropriate antidiuretic hormone
secretion (SIADH), hemodialisis, atau pengurangan cepat glukosa
darah dalam hiperosmolar hiperglikemi dimana sebelumnya asidosis non-
ketotik hiperosmolar (HONK); osmolalitas otak kemudian akan melebihi
6
osmolalitas serum menciptakan penurunan abnormal gradien tekanan di
mana air akan mengalir ke otak menyebabkan edema.
4. Edema serebri interstisial
Terjadi pada hidrosefalus obstruktif. Bentuk edema disebabkan ruptur CSF-
brain barrier sehingga terjadi aliran CSF trans-ependymal yang
mengakibatkan CSF menembus otak dan menyebar di ruang ekstraselular
dan substansia alba. Hal ini berbeda dari edema vasogenik dimana pada
edema serebri interstisial CSF tidak mengandung protein.
2.2.Peningkatan tekanan intrakranial akibat trauma 1,3,4,6
Peningkatan intrakranial disebabkan oleh penambahan masa epidural,
subdural, dan intrakranial hematoma dan edem serebri yang berkembang
disekitarnya, dari diffuse vaskucar injury. Pada anak-anak, tulang tengkorak
dapat berkembang lebih luas, setelah sutura menutup tidak berkembang lagi,
tetapi otak dan cairan LCS tidak kompresibel. Penambahan volume masa
didalam kranium akan terlebih dahulu menggeser CSF kedalam spinal
subarachnoid space. Peningkatan tekanan intrakranial diatas 40-50 mm Hg
menyebabkan kolapsnya kapiler otak yang menyebabkan iskemia global.
Tekanan intrakranial saat istirahat adalah tekanan balans dari produksi
CSF dan absorpsinya. ICP rata-rata berproporsi pada resistensi aliran CSF,
tingkat produksi CSF, dan tekanan sinus sagitalis. Autoregulasi aliran darah
serebri (CBF) amat kompleks, tapi faktor-faktor yang dapat dimodifikasi adalah
tekanan intracranial (ICP), mean arterial pressure (MAP), tekanan CO2 arteri,
suhu dan osmolaritas serum. CBF tergantung pada tekanan perfusi serebri
(CPP), CPP = MAP – ICP, maka dari itu juga tergantung pada ICP. Kenaikan
7
ICP menyebabkan perubahan sekunder dan herniasi otak melalui lubang yang
fix pada dura dan tulang cranium sehingga terjadi iskemia batang otak.
Trauma pada parenkim otak diklasifikasikan sebagai fokal atau difus.
Epidural hematom disebabkan oleh robekan pembuluh darah dura, terutama
cabang-cabang arteri meningea media, dan terjadi akibat fraktur tulang
kranium. Subdural hematom sering kali terjadi karena robekan bridging veins
antara kortex dan sinus-sinus tapi juga kadang-kadang dari arteri. Kontusio
serebri dan hematom sering terjadi di lobus frontal dan temporal karena
benturan tulang kranium. Diffuse axonal injury terjadi karena tarikan neuron-
neuron di sambungan neurocortical white matter selama deselerasi yang cepat.
Pada trauma energi tinggi umumnya terdapat kombinasi trauma parenkim fokal
dan difus dan yang terpenting, keduanya berhubungan dengan edema serebri
dan hipertensi intrakranial yang terjadinya perlahan-lahan dan lambat.
Peningkatan ICP paling sering diakibatkan oleh evolusi hematom intra
atau ekstra aksial, hidrosefalus, atau edema sitotoksik/vasogenik. Hal-hal
tersebut bila tidak diterapi, ICP meningkat dan timbul iskemia serebri, lalu
kegagalan proses energi membuat sel rusak dan integritas blood brain barrier
rusak sehingga edema sitotoksik terjadi. Mekanisme kompensasi yang terjadi
adalah vasodilatasi serebri dan akhirnya masuk ke lingkaran siklus hipertensi
intrakranial yang akan semakin memburuk.
2.3.Monitoring dan manajemen segera 2,4,5-9
Penderita yang mengalami peningkatan intrakranial akan merasakan
sakit kepala, muntah dan gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan terjadi
karena edema papil atau lumpuh dari saraf kranial VI (diplopia lateral).
Selanjutnya penderita akan kehilangan kesadaran dan apneu.
8
Pasien segera masuk ke prinsip general advanced trauma dan life support
serta resusitasi cairan supaya MAP > 90 mmHg, normoksia, normoglikemia.
Penurunan kesadaran (GCS > 2 nilai) atau timbul herniasi (dilatasi pupil uni-
atau bilateral) dipertimbangkan pemberian terapi cairan hiperosmolar misalnya
manitol atau hypertonic saline.
Pemeriksaan computed tomography (CT) non kontras otak dan bone window
cukup untuk mendiagnosis juga mendasari keputusan apakah operasi segera
diperlukan. Indikasi operasi segera dipaparkan pada table di bawah ini.
Tabel 1. Kriteria operasi segera 4
Penggunaan monitor ICP invasive perlu dipikirkan jika operasi tidak
harus segera dilakukan. Pasien pasca resusitasi dengan GCS < 9 tanpa lesi masa
yang perlu dievakuasi dianjurkan memakai monitor ICP. Pemilihan keputusan
terapi sering kali sulit untuk pasien dengan GCS 8-14, umumnya mereka
gelisah dan memerlukan sedasi, atau intubasi untuk pengobatan cedera sistemik
lain yang menyertainya. Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan serial CT
dan menilai sisterna basalis yang menghilang cukup untuk memonitor pasien
9
berusia dibawah 40 tahun, bagaimanapun dengan monitoring ICP yang terbukti
beresiko kecil dan mengingat hasil buruk serta irreversibel bila hipertensi
intrakranial tak terdeteksi, ahli-ahli lain menganjurkan pemakaian monitor ICP
untuk pasien yang sulit dinilai neurologisnya karena sedasi. ICP dipertahankan
< 25 mmHg dan CPP 60-70 mmHg.
Manajemen bukan hanya pada terapi saat awal namun juga harus
mencegah terjadinya cedera sekunder. Cedera tersebut akan memicu kerusakan
metabolisme glioneuronal, dan akhirnya kematian sel. Tujuan akhir manajemen
adalah mencegah dan mengobati iskemia serebri.
Hipotermia dan pemberian obat anestesi pada ICP bertujuan
menurunkan kebutuhan metabolism serebri. Terapi edema dengan solusi
hipertonik. Menurunkan volume darah serebri dengan memberikan
hiperventilasi moderat secara hati-hati untuk menginduksi kontrol
vasokonstriksi serebri dan mencegah iskemia. Selanjutnya ventrikulostomi
untuk eksternal drainase cairan serebrospinal (CSF) dapat memperbaiki
komplians secara signifikan. ICP yang tetap meningkat walaupun telah
dilakukan hal tersebut di atas hanya dapat diobati dengan meningkatkan ukuran
rongga kranium secara kraniektomi dekompresi.
Operasi kraniektomi dipertimbangkan bila pengobatan dan ventrikulostomi
drainase tidak dapat menolong serta hipertensi intracranial menetap.
10
Gbr 3. Protokol penanganan 4
2.4.Komplikasi peningkatan tekanan intrakranial 2,3,5
11
Komplikasi terakhir dari peningkatan tekanan intrakranial adalah
herniasi. Herniasi terjadi karena rongga cranium terbagi atas tentorium cerebelli
dan falx serebri. Ketika sebagian dari otak terdesak oleh lesi ekstrinsik
misalnya subdural hematoma atau lebih luas lagi karena tumor otak, abses, atau
oleh lesi intrinsik lain, hal ini berakibat menggeser tekanan kompartemen
lainnya. Tiga herniasi mayor dapat terjadi sendirian atau bersama-sama yaitu
herniasi subfacial, herniasi uncal (transtentorial), dan herniasi tonsil
serebellum.
Herniasi subfalcial adalah pergeseran dari gyrus cingulate dari satu
hemisfer bergeser ke hemisfer lainnya, dibawah falx serebri. Herniasi dapat
menekan arteri pericallosal, yang menyebabkan infark daerah yang
diperdarahinya.
Herniasi uncal (transtentorial) adalah herniasi lobus temporo medial
ke fossa posterior melewati bagian tentorial yang terbuka. Uncus lobus
temporal menekan celah antara midbrain tepi tentorium. Hal ini akan
menekan nervus oculomotorius, yang menyebabkan fixasi dan dilatasi pupil,
dan menyebabkan kolapsnya ipsilateral arteri serebri posterior, yang
menyebabkan lesi infark pada daerah yang diperdarahinya. Cortical blindness
karena infark ini memberi tanda lokasi palsu yang seolah olah lesi primer di
lobus occipital. Selama terjadi herniasi uncal midbrain tergeser kelateral,
contralateral peduncle cerebri tertekan hingga tepi tentorium serebri.
Menyebabkan paralisis ipsilateral pada lesi primer, yang merupakan tanda palsu
lainnya. Pergeseran kaudal brainstem dan peregangan pembuluh darah
menyebabkan lesi hemoragik dalam midbrain dan pons (secondary brainstem
hemorrhages) yang dapat merusak aktivasi substansi retikular dan pusat
brainstem lain, yang menghasilkan defisit neurologi fokal dan koma.
Pemindahan caudal brainstem dan stretching pembuluh darah menyebabkan
lesi berfariasi di midbrain dan pons (secondary brainstem hemorrhages).
12
Hal ini dapat menghancurkan substansi penggerak reticular dan pusat batang
otak yang lain, menghasilkan focus deficit neurologi dan coma. Memberi
tekanan isi fossa posterior dari atas atau dari dalam tekanan pons berlawanan
dengan clivus dan menggeser tonsil serebri sampai foramen magnum
(cerebellar tonsillar herniation). Hal ini mungkin menyebabkan kekakuan leher
dan kekakuan memiringkan kepala. Tekanan pada pons dan medulla
membahayakan pusat organ vital respirasi dan fungsi jantung yang
mengakibatkan cardiorespiratory arrest.
BAB 3
KRANIEKTOMI DEKOMPRESI
13
Tindakan kraniektomi dekompresi pada pasien edema serebri merupakan
prosedur bedah saraf dimana mengangkat sebagian tulang kranium untuk memperluas
ruang cranium, tindakan kraniektomi dekompresi berhasil memperbaiki kesadaran
penderita dan menurunkan tekanan intrakranial / intra cranial pressure (ICP), tekanan
dalam tengkorak. Peningkatan tekanan intrakranial sangat fatal karena menyebabkan
kompresi pada otak dan membatasi aliran darah serebral. Tujuan kraniektomi
dekompresi adalah untuk mengurangi tekanan ini. Sebuah studi menunjukkan bahwa
semakin luas lubang kraniektomi, ICP semakin berkurang. Efek lain kraniektomi
dekompresi meningkatkan tekanan perfusi serebral dan aliran darah serebral pasien.
Indikasi operasi kraniektomi dekompresi adalah edema serebri dengan penurunan
kesadaran. Sedang yang merupakan kontra indikasi operasi kraniektomi dekompresi
adalah keadaan umum pasien yang jelek. Yang merupakan komplikasi kraniektomi
dekompresi adalah infeksi seperti meningitis atau abses otak.
Setelah kraniektomi dekompresi, risiko cedera otak meningkat, terutama setelah
beraktivitas. Oleh karena itu, ada tindakan khusus melindungi otak, seperti helm
atau implan sementara. Ketika pasien sembuh, lubang di tengkorak ditutup dengan
kranioplasti. Fragmen tengkorak asli digunakan untuk kranioplasti 5,7,8,10,12
3.1.Teknik Operasi
Posisi 11,12
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head up kurang
lebih 15 derajat (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring
kontralateral lokasi lesi. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya
kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
14
Gbr 4. Posisi staf dan peralatan 11
Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka,
penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek steril
di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi
Markering
Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk kosmetik, sinus – untuk
menghindari perdarahan, sutura – untuk mengetahui lokasi, zygoma – sebagai
15
batas basis cranii, jalannya N VII ( kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai
dengan canthus lateralis orbita)
Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000
yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.
Operasi
Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung. Pasang
haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat. Buka flap
secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa basah. Di
bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak tertekuk
(bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap dan fiksasi pada
doek. Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan
rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan
rawat perdarahan. Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s
Brace) kemudian dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah
menembus tabula interna. Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan
merkering. Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup
lubang boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan
sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian
masukkan penuntun gigli sampai menembus lubang boorhole di sebelahnya.
Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.
Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara tulang
dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator
kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.
Setelah terdekompresi fragmen tulang dapat di simpan di subgaleal atau di
dinding abdomen kemudian lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis
dengan cara sebagai berikut. Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan
16
silk 3.0 menembus keluar kulit. Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl
2.0. Pasang drain subgaleal. Jahit galea dengan vicryl 2.0. Jahit kulit dengan
silk 3.0. Hubungkan drain dengan vacum drain (Redon drain).
3.2.Komplikasi operasi 12
Komplikasi berupa infeksi luka operasi dikepala maupun di dinding
abdomen tempat menyimpan tulang.
3.3.Perawatan pascabedah dan follow up 12
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Perawatan luka dilakukan pada luka operasi dikepala dan pada dinding
abdomen. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen
tulang atau cranioplasty dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
.
17
BAB 4
KESIMPULAN
Kemajuan pengetahuan patofisiologi mekanisme mengenai edema serebri dan
manajemen untuk pengobatannya makin efektif. Namun masih diperlukan adanya
manajemen baru yang diharapkan semakin efektif lagi.
Tindakan kraniektomi dekompresi diharapkan berhasil memperbaiki
kesadaran penderita dan menurunkan tekanan intrakranial (ICP), tekanan dalam
tengkorak. Peningkatan tekanan intrakranial sangat fatal karena menyebabkan
kompresi pada otak dan membatasi aliran darah serebral. Tujuan kraniektomi
dekompresi adalah untuk mengurangi tekanan ini, semakin luas lubang kraniektomi,
ICP semakin berkurang. Efek lain kraniektomi dekompresi meningkatkan tekanan
perfusi serebral dan aliran darah serebral pasien. Indikasi operasi kraniektomi
dekompresi adalah edema serebri dengan peningkatan tekanan intracranial yang tetap
tidak menurun dengan pengobatan lain dan disertai penurunan kesadaran. Kontra
indikasi operasi kraniektomi dekompresi adalah keadaan umum pasien yang jelek.
Komplikasi kraniektomi dekompresi adalah infeksi seperti meningitis atau abses otak.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Holts vH. Traumatic brain injury. In: Handbook of Clinical Neuroepidemiology.
Feigin VL, Bennet DKA, editors. Nova; 2007. p.197-229.
2. Koenig MA. Cerebral edema and intracranial hypertension. In: Handbook of
Neurocritical Care. Bhardwaj A, Mirski MA, editors. Second ed. New York:
Springer; 2011. p.73-88.
3. Cerebral Edema. Diambil dari, the free encyclopedia. Diambil dari:
http://en.wikipedia.org/wiki/Cerebral_edema.
4. Hutchinson PJA. Cranial trauma in adults. In: Practical Handbook of Neurosurgery.
Sindou M, editor. New York. Springer-Verlag; 2009. p.411-24.
5. Critical Care Neurology and Neurosurgery. Suarez JI, editor. New Jersey. Humana
Press; 2004. p.47-90.
6. Patro A, Mohanty S. Pathophysiology and treatment of traumatic brain
edema. IJNT. 2009;6(1):11-16.
7. Rabinstein AA. Treatment of cerebral edema. The Neurologist.
2006;12(2):59-72.
8. Jha S. Cerebral edema and its management. MJAFI. 2003;59(4):326-331.
9. Pickard JD, Czosnyka M, Striner LA. Raised intracranial pressure. In: Neurological
Emergencies. Hughes PAC, editor. 4th Edition. London.BMJ; 1994. p.188-246.
10. Decompressive Craniectomy, the free encyclopedia. Diambil dari:
http://en.wikipedia.org/wiki/Decompressive_craniectomy.
11. Rhoton AL. General principles of and instrumentation for cranial surgery. In:
Atlas of Neurosurgical Techiniques. Sekhar LN, editor. New York:Thieme;
2006. p.3-4.
12. Modul bedah saraf.
19
Top Related