KONSEP- KONSEP DASAR PIDATO
JENIS-JENIS PIDATO
Berdasarkan pada ada tidaknya persiapan, sesuai dengan cara yang dilakukan waktu
persiapan, kita dapat membagi jenis pidato kedalam empat macam, yaitu: impromtu, manuskrip,
memoriter, dan ekstempore.
1. Pidato impromtu
adalah pidato yang dilakukan secara tiba-tiba, spontan, tanpa persiapan sebelumnya.
Apabila Anda menghadiri sebuah acara pertemuan, tiba-tiba Anda dipanggil untuk
menampaikan pidato, maka pidato yang Anda lakukan disebut impromtu.
Bagi juru pidato yang berpengalaman, impromtu memiliki beberapa keuntungan:(1)
Impromtu lebih dapat mengungkapkan perasaan pembicara yang sebenarnya, karena
pembicara tidak memikirkan lebih dulu pendapat yang disampaikannya, (2) Gagasan dan
pendapatnya dating secara spontan, sehingga tampak segar dan hidup, dan (3) Impromtu
memungkinkan Anda terus berpikir.
Tetapi bagi juru pidato yang masih “hijau”, belum berpengalaman, keuntungan-
keuntungan di atas tidak akan tampak, bahkan dapat mendatangkan kerugian sebagai
berikut: (1) Impromtu dapat menimbulkan kesimpulan yang mentah, karena dasar
pengetahuan yang tidak memadai, (2) Impromtu mengakibatkan penyampaian yang
tersendat-sendat dan tidak lancar, (3) gagasan yang disampaikan bisa “acak-acakan” dan
ngawur, dan (4) Karena tiadanya persiapan, kemungkinan “demam panggung” besar sekali.
Jadi, bagi yang belum berpengalaman, impromtu sebaiknya dihindari daripada Anda tampak
“bodoh” di hadapan orang lain.
2. Pidato Manuskrip
adalah pidato dengan naskah. Juru pidato membacakan naskah pidato dari awal sampai
akhir. Di sini lebih tepat jika kita menyebutnya”membacakan pidato” dan bukan
“menyampaikan pidato”. Pidato manuskrip perlu dilakukan jika isi yang disampaikan tidak
boleh ada kesalahan. Misalnya, ketika Anda diminta untuk melaporkan keadaan keuangan
DKM, berapa pemasukan, dari mana saja sumbernya, dan berapa pengeluaran serta untuk
apa uang dikeluarkan, Anda perlu menuliskannya dalam bentuk naskah dan baru kemudian
membacakannya.
Pidato manuskrip tentu saja bukan jenis pidato yang baik walaupun memiliki
keuntungan-keuntungan sebagai berikut: (1) Kata-kata dapat dipilih sebaik-baiknya
sehingga dapat menyampaikan arti yang tepat dan pernyataan yang gamblang, (2)
Pernyataan dapat dihemat, karena manuskrip dapat disusun kembali, (3) Kefasihan bicara
dapat dicapai karena kata-kata sudah disiapkan, (4) Hal-hal yang ngawur atau menyimpang
dapat dihindari, dan (5) Manuskrip dapat diterbitkan atau diperbanyak.
Namun demikian, ditinjau dari proses komunikasi, pidato manuskrip kerugiannya cukup
berat: (1) Komunikasi pendengar akan akan berkurang karena pembicara tidak berbicara
langsung kepada mereka, (2) Pembicara tidak dapat melihat pendengar dengan baik karena
ia lebih berkonsentrasi pada teks pidato, sehingga akan kehilangan gerak dan bersifat kaku,
(3) Umpan balik dari pendengar tidak dapat mengubah, memperpendek atau
memperpanjang pesan, dan (4) Pembuatannya lebih lama.
3. Pidato Memoriter
adalah pidato yang ditulis dalam bentuk naskah kemudian dihapalkan kata demi kata,
seperti seorang siswa madrasah menyampaikan nasihat pada acara imtihan. Pada pidato
jenis ini, yang penting Anda memiliki kemampuan menghapalkan teks pidato dan
mengingat kata-kata yang ada di dalamnya dengan baik. Keuntungannya (jika hapal), pidato
Anda akan lancar, tetapi kerugiannya Anda akan berpidato secara datar dan monoton,
sehingga tidak akan mampu menarik perhatian hadirin.
Pidato Ekstempore adalah pidato yang paling baik dan paling sering digunakan oleh juru
pidato yang berpengalaman dan mahir. Dalam menyampaikan pidato jenis ini, juru pidato
hanya menyiapkan garis-garis besar (out-line) dan pokok-pokok bahasan penunjang
(supporting points) saja. Tetapi, pembicara tidak berusaha mengingat atau
menghapalkannya kata demi kata. Out-line hanya merupakan pedoman untuk mengatur
gagasan yang ada dalam pikiran kita. Keuntungan pidato ekstempore ialah komunikasi
pendengar dan pembicara lebih baik karena pembicara berbicara langsung kepada
pendengar atau khalayaknya, pesan dapat fleksibel untuk diubah sesuai dengan kebutuhan
dan penyajiannya lebih spontan. Pidato jenis ini memerlukan latihan yang intensif bagi
pelakunya.
Jenis-jenis pidato juga dapat kita identifikasi berdasarkan tujuan pokok pidato yang kita
sampaikan. Berdasarkan tujuannya, kita mengenal jenis-jenis pidato: pidato informatif,
pidato persuasif, dan pidato rekreatif. Pidato informatif adalah pidato yang tujuan utamanya
untuk menyampaikan informasi agar orang menjadi tahu tentang sesuatu. Pidato pesuasif
adalah pidato yang tujuan utamanya membujuk atau mempengaruhi orang lain agar mau
menerima ajakan kita secara sukarela bukan sukar rela. Pidato rekreatif adalah pidato yang
tujuan utamanya adalah menyenangkan atau menghibur orang lain. Namun demikian, perlu
kita sadari bahwa dalam kenyataannya ketiga jenis pidato ini tidak dapat berdiri sendiri,
melainkan saling melengkapi satu sama lain. Perbedaan di antara ketiganya semata-mata
hanya terletak pada titik berat (emphasis) tujuan pokok pidato kita.
TAHAP PERSIAPAN PIDATO
Sebelum berpidato, berdakwah, atau berceramah, kita harus mengetahui lebih dulu apa
yang akan kita sampaikan dan tingkah laku apa yang diharapkan dari khalayak kita; bagaimana
kita akan mengembangkan topik bahasan. Dengan demikian, dalam tahap persiapan pidato, ada
dua hal yang harus kita lakukan, yaitu: (1) Memilih Topik dan Tujuan Pidato dan (2)
Mengembangkan Topik Bahasan.
1. Memilih Topik dan Tujuan Pidato
Seringkali kita menjadi bingung ketika harus mencari topik yang baik, seakan-
akan dunia ini kekeringan bahan pembicaraan, seakan-akan kita tidak memiliki keahlian
apa-apa. Jangan bingung, karena sebenarnya setiap orang memiliki keahlian masing-
masing, hanya kita seringkali tidak menyadarinya. Mang Endang mungkin tidak dapat
berbicara tentang hukum waris dengan baik, tetapi Mang Endang dapat dengan lancar
berbicara tentang cara memperbaiki mobil yang rusak. Pak Haji Holis mungkin akan
sangat lancar berbicara tentang hukum waris, tetapi hampir pasti beliau akan gagap jika
diminta menjelaskan bagaimana caranya memperbaiki mobil yang mogok. Inilah yang
disebut keahlian spesifik. Setiap orang punya potensi untuk ahli di bidangnya masing-
masing. Hal yang akan menjadi masalah bagi seseorang ketika harus berpidato adalah
jika orang itu memaksakan diri berbicara tentang persoalan yang tidak dikuasainya, hal
yang tidak dipahaminya (Numawi kitu, ulah maksakeun anjeun nyarios anu urang nyalira
henteu ngartos kana naon anu dicarioskeun!).
Untuk membantu Anda menemukan topik bahasan dalam pidato, Profesor Wayne
N. Thompson menyusun sitematika sumber topik sebagai berikut:
1) Pengalaman Pribadi:
a. Perjalanan
b. Tempat yang pernah dikunjungi
c. Wawancara dengan tokoh
d. Kejadian luar biasa
e. Peristiwa lucu
f. Kelakukan atau adat yang aneh
2) Hobby dan Keterampilan:
a. Cara melakukan sesuatu
b. Cara bekerja sesuatu
c. Peraturan dan tata cara
3) Pengalaman Pekerjaan dan Profesi
a. Pekerjaan tambahan
b. Profesi Keluarga
4) Masalah Abadi:
a. Agama
b. Pendidikan
c. Masalah kemasyarakatan
d. Persoalan pribadi
5) Kejadian Khusus:
a. Perayaan atau peringatan khusus (Misalnya, Maulud Nabi)
b. Peristiwa yang erat kaitannya dengan peringatan
6) Minat Khalayak:
a. Pekerjaan
b. Rumah tangga
c. Kesehatan dan penampilan
d. Tambahan ilmu
Kriteria Topik yang Baik
Untuk menentukan topik yang baik, kita dapat menggunakan ukuran-ukuran sebagai
berikut:
1. Topik harus sesuai dengan latar belakang pengetahuan Anda
Topik yang paling baik adalah topik yang memberikan kemungkinan Anda lebih
tahu daripada khalayak, Anda lebih ahli dibandingkan dengan kebanyakan
pendengar. Jika Anda merupakan orang yang paling tahu tentang tata cara sholat
yang baik dibandingkan dengan orang lain, maka berpidatolah dengan tema atau
topik itu; sebaliknya jika Anda tidak begitu paham tentang tata cara sholat yang baik,
jangan pernah Anda memaksakan diri untuk berbicara tentang masalah itu.
2. Topik harus menarik minat Anda
Topik yang enak dibicarakan tentu saja adalah topik yang paling Anda senangi
atau topik yang paling menyentuh emosi Anda. Anda akan dapat berbicara lancar
tentang kaitan berpuasa dengan ketentraman hati, sebab Anda pernah merasa tidak
tenang ketika pernah tidak berpuasa secara sengaja di bulan ramadhan.
3. Topik harus menarik minat pendengar
Dalam berdakwah atau berpidato, kita berbicara untuk orang lain, bukan untuk
diri kita sendiri. Jika tidak ingin ditinggalkan pendengar atau diacuhkan oleh hadirin,
Anda harus berbicara tentang sesuatu yang diminati mereka. Walaupun hal-hal yang
menarik perhatian itu sangat tergantung pada situasi dan latar belakang
khalayak/hadirin, namun hal-hal yang bersifat baru dan indah, hal-hal yang
menyentuh rasa kemanusiaan, petualangan, konflik, ketegangan, ketidakpastian, hal
yang berkaitan dengan keluarga, humor, rahasia, atau hal-hal yang memiliki manfaat
nyata bagi hadirin adalah topik-topik yang akan menarik perhatian.
4. Topik harus sesuai dengan pengetahuan pendengar
Betapapun baiknya topik, jika tidak dapat dicerna oleh khalayak, topik itu bukan
saja tidak menarik tetapi bahkan akan membingungkan mereka. Oleh karena itu,
sebelum Anda menentukan topik dakwah, ketahuilah terlebih dahulu bagaimana rata-
rata tingkat pengetahuan pendengar yang menjadi khalayak sasaran pidato Anda.
Gunakanlah bahasa, gaya bahasa, dan istilah-istilah yang dimengerti oleh hadirin,
bukan istilah-istilah yang hanya dipahami oleh Anda (meskipun istilah itu keren
sekali).
5. Topik harus jelas ruang lingkup dan pembatasannya
Topik yang baik tidak boleh terlalu luas, sehingga setiap bagian hanya
memperoleh ulasan sekilas saja, atau “ngawur”. Misalnya, Anda memilih topik
Agama, tetapi kita tahu agama itu luas sekali. Agama bisa menyangkut moralitas,
sistem kepercayaan, cara beribadat, dan lain-lain. Agar topik kita jelas, ambilah
misalnya tentang cara beribadat, lebih jelas lagi ambilah topik tentang sholat yang
khusuk, dan seterusnya.
6. Topik harus sesuai dengan waktu dan situasi
Maksudnya, kita harus memilih topik pidato atau topik dakwah yang sesuai
dengan waktu yang tersedia dan situasi yang terjadi. Jika Anda diberikan waktu
untuk berbicara selama 10 menit, janganlah Anda memilih topik yang terlalu luas
yang tidak mungkin dijelaskan dalam waktu 10 menit. Jika Anda harus berbicara di
hadapan para santri yang rata-rata usianya belum akil baligh, janganlah Anda
memilih topik dakwah tentang tata cara hubungan suami-istri, bicaralah tentang
kebersihan sekolah, misalnya.
7. Topik harus dapat ditunjang dengan bahan yang lain
Jika Anda memilih topik tentang Hadits Shahih dan Dhoif, lengkapi bahan
pembicaraan Anda dengan sumber-sumber rujukan (bisa berupa: kitab, buku, atau
perkataan ulama) yang sesuai.
2. Merumuskan Judul Pidato
Hal yang erat kaitannya dengan topik adalah judul. Bila topik adalah pokok
bahasan yang akan diulas, maka judul adalah nama yang diberikan untuk pokok bahasan
itu. Seringkali judul telah dikemukakan lebih dahulu kepada khalayak, karena itu judul
perlu dirumuskan terlebih dahulu. Judul yang baik harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
relevan, propokatif, dan singkat. Relevan artinya ada hubungannya dengan pokok-pokok
bahasan; Propokatif artinya dapat menimbulkan hasrat ingin tahu dan antusiasme
pendengar; Singkat berarti mudah ditangkap maksudnya, pendek kalimatnya, dan mudah
diingat.
3. Menentukan Tujuan Pidato
Ada dua macam tujuan pidato, yakni: tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
umum pidato biasanya dirumuskan dalam tiga hal: memberitahukan (informatif),
mempengaruhi (persuasif), dan menghibur (rekreatif).
Tujuan khusus ialah tujuan yang dapat dijabarkan dari tujuan umum. Tujuan
khusus bersifat kongkret dan sebaiknya dapat diukur tingkat pencapaiannya atau dapat
dibuktikan segera.
Hubungan antara topik judul, tujuan umum, dan tujuan khusus dapat dilihat pada contoh-
contoh di bawah ini:
1. Topik : Faedah memiliki sifat pemaaf
Judul : Pemaaf Sumber Kebahagiaan
Tujuan Umum : Informatif (memberi tahu)
Tujuan Khusus: Pendengar mengetahui bahwa:
a. Sifat dendam menimbulkan gangguan jasmani dan rohani
b. Sifat pemaaf menimbulkan ketentraman jiwa dan kesehatan
2. Topik : Keuntungan mengikuti sholat berjamaah
Judul : Sholat berjamaah adalah keutamaan sholat
Tujuan Umum : Mempengaruhi (Persuasif)
Tujuan Khusus :
a. Pendengar memperoleh keyakinan tetantang keutamaan sholat berjamaah
b. Pendengar berbondong-bondong sholat berjamaah di masjid
3. Topik : Kisah-kisah lucu zaman Nabi dan Khalifah
Judul : Yang benar menang, yang salah kalah
Tujuan Umum : Menghibur (rekreatif)
Tujuan Khusus : Pendengar dapat menikmati kisah lucu Ratu Balqis dikerjai oleh Nabi
Sulaiman, Siti Zulaikha menggoda Nabi Yusuf, atau Abu Nawas menjawab teka-teki
raja, dan lain-lain.
Perlu diingat, bahwa dalam kenyataannya tidak ada pidato yang berdiri sendiri. Sebuah
pidato atau topik pidato bisa berisi ketiga-tiganya; artinya, dalam pidato atau dakwah bisa ada
unsur informatif, sekaligus persuasif dan rekreatif. Dengan kata lain, dalam sebuah kegiatan
berdakwah, bisa ada unsur memberitahu, mempengaruhi (mengajak), dan juga menghibur. Coba
Anda ingat kembali, bagaimana K.H. Zainudin M.Z. berdakwah, di samping memberi ceramah,
beliau pun menyeru dan ngabodor. Dakwah yang baik adalah yang mengandung ketiga unsur
tujuan tersebut.
Teknik Mengembangkan Pokok Bahasan
Bila topik yang baik sudah ditemukan, kita memerlukan keterangan untuk menunjang
topik tersebut. Keterangan penunjang (supporting points) dipergunakan untuk memperjelas
uraian, memperkuat kesan, menambah daya tarik, dan mempermudah pengertian.
Ada enam macam teknik pengembangan bahasan dalam berpidato:
1. Penjelasan
Penjelasan adalah memberikan keterangan terhadap istilah atau kata-kata yang
disampaikan. Memberikan penjelasan dapat dilakukan dengan cara memberikan
pengertian atau definisi. Misalnya, istilah Iman kepada Allah Anda jelaskan dengan
kalimat: “Iman adalah rasa percaya dan yakin akan kebenaran adanya Allah di dalam hati
dan dibuktikan dengan perbuatan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya.”
2. Contoh
Contoh adalah upaya untuk mengkongkretkan gagasan, sehingga lebih mudah untuk
dipahami. Contoh dalam pidato dapat berupa cerita yang rinci yang disebut ilustrasi.
Untuk memberikan contoh tetantang kesabaran, misalnya Anda menggunakan cerita
tentang kesabaran Nabi Ayub dalam menghadapi cobaan Allah melalui penyakit kulit
yang dideritanya.
3. Analogi
Analogi adalah perbandingan antara dua hal atau lebih untuk menunjukkan persamaan
atau perbedaannya. Ada dua macam analogi: analogi harfiyah dan analogi kiasan.
Analogi harfiyah (literal analogy) adalah perbandingan di antara objek-objek dari
kelompok yang sama, karena adanya persamaan dalam beberapa aspek tertentu.
Misalnya, membandingkan manusia dengan monyet secara biologis. Analogi kiasan
adalah perbandingan di antara objek-objek di antara kelompok yang tidak sama.
Misalnya, membandingkan ke-Esaan Allah dengan menggunakan ayat Al-Quran dan
Injil.
4. Testimoni
Testimoni ialah pernyataan ahli yang kita kutip untuk menunjang pembicaraan kita.
Pendapat ahli itu dapat kita ambil dari pidato seorang ahli, tulisan di surat kabar, acara
televisi, dan lain-lain, termasuk kutipan dari kitab suci, hadits, dan sejenisnya.
5. Statistik
Statistik adalah angka-angka yang dipergunakan untuk menunjukkan perbandingan kasus
dalam jenis tertentu. Statistik diambil untuk menimbulkan kesan yang kuat, memperjelas,
dan meyakinkan. Misalnya, untuk melukiskan betapa bokbroknya akhlak generasi muda
di Indonesia, Anda menggunakan kalimat, “Wahai saudara-saudara, menurut hasil
penelitian, saat ini lebih dari 65 persen remaja di Indonesia telah melakukan hubungan
seks sebelum nikah…”
6. Perulangan
Perulangan adalah menyebutkan kembali gagasan yang sama dengan kata-kata yang
berbeda. Perulangan berfungsi untuk menegaskan dan mengingatkan kembali.
Dengan menggunakan keenam teknik pengembangan pokok bahasan tersebut (secara
berganti-ganti), maka pidato atau dakwah yang Anda sampaikan insya Allah tidak akan
membosankan pendengar, tapi sebaliknya dakwah Anda akan tampak penuh variasi dan tidak
membosankan untuk didengar.
TAHAP PENYUSUNAN PIDATO
Seringkali kita mendengar seseorang yang berpidato panjang tanpa memperoleh apa-apa
daripadanya selain kelelahan dan kebosanan. Hal ini biasanya disebabkan pembicara
mempunyai bahan yang banyak tetapi tidak mampu mengorganisasikannya. Pidato yang tidak
teratur, bukan hanya menjengkelkan pendengarnya, tetapi juga akan membingungkan
pembicaranya itu sendiri. Ibarat pakaian yang harganya sangat mahal, pasti akan membuat orang
yang melihatnya tertawa sisnis jika dipakai secara acak-acakan. Herbert Spencer pernah berkata,
“Kalau pengetahuan orang itu tidak teratur, maka makin banyak pengetahuan yang dimilikinya,
makin besar pula kekacauan pikirannya.”
Pada pidato, keteraturan merangkai kata-kata akan sangat menentukan daya tarik pidato
itu sendiri. Bila tentara bermain-main dengan peluru, maka orator (jago pidato) bermain dengan
kata-kata. Bagaimana kata-kata itu harus kita mainkan dalam pidato? Kita akan membahasnya
secara teknis.
Prinsip-prinsip Komposisi Pidato
Banyak cara menyusun pesan pidato, tetapi semuanya harus didasari dengan tiga prinsip
komposisi. Prinsip-prinsip ini mempengaruhi seluruh organisasi pesan. Raymond S. Ross
berkata, “These three great rhetorical principles…have a profound bearing upon how we should
organize messages.” Ketiga prinsip itu adalah: kesatuan (unity), pertautan (coherence), dan titik
berat (emphasis).
1. Kesatuan (unity)
Komposisi yang baik harus merupakan kesatuan yang utuh, yang meliputi
kesatuan dalam isi, tujuan, dan sifat (mood). Dalam isi, harus ada gagasan tunggal yang
mendominasi seluruh uraian, yang menentukan dalam pemilihan bahan-bahan
penunjang. Bila tema dakwah kita adalah “Pembuktian Adanya Tuhan Secara Aqliyah”,
maka kita tidak membicarakan sifat-sifat Tuhan, macam-macam Tuhan, atau dalil-dalil
naqli tentang adanya Tuhan. Di sini kita mungkin hanya membicarakan argumentasi
logika dan moral tentang keberadaan Tuhan dihubungkan dengan mahluk ciptaan-Nya;
setiap benda ciptaan dihubungkan dengan yang menciptakannya; ada ciptaan pasti ada
pencipta.
Komposisi juga harus mempunyai satu macam tujuan. Satu tujuan di antara yang
tiga -memberitahukan, mempengaruhi, dan menghibur- harus dipilih. Dalam pidato
mempengaruhi (persuasif) boleh saja kita menyelipkan cerita-cerita lucu, sepanjang
cerita lucu itu menambah daya persuasi. Bila cerita lucu itu tidak ada hubungannya
dengan persuasi, betapa pun menariknya ia harus kita buang. Dalam pidato informatif,
humor dipergunakan dengan pertimbangan dapat memperjelas uraian.
Kesatuan juga harus tampak dalam sifat pembicaraan (mood). Sifat pembicaraan
mungkin serius, informal, formal, anggun, atau bermain-main. Kalau Anda memilih sifat
informal, maka suasana formalitas harus mendominasi seluruh uraian. Ini menentukan
pemilihan bahan, gaya bahasa, atau pemilihan kata-kata. Misalnya, dalam suasana
informal gaya pidato seperti bercakap-cakap (conversational) dan akrab (intimate) lebih
tepat untuk digunakan dibanding gaya pidato ceramah.
Untuk pempertahankan kesatuan dalam pidato, bukan saja diperlukan ketajaman
pemikiran, tetapi juga kemauan untuk membuang hal-hal yang mubazir. Kurangnya
kesatuan akan menyebankan pendengar menilai pidato kita sebagai pidato yang
“ngawur” bertele-tele, tidak jelas apa yang dibicarakan, “meloncat-loncat”.
2. Pertautan (coherence)
Pertautan menunjukkan urutan bagian uraian yang berkaitan satu sama lain.
Pertautan menyebabkan perpindahan dari pokok yang satu kepada pokok yang lainnya
berjalan lancar. Sebaliknya, hilangnya pertautan menimbulkan gagasan yang tersendat-
sendat atau pendengar tidak akan mampu menarik gagasan pokok dari seluruh
pembicaraan. Ini biasanya disebabkan perencanaan yang tidak memadai, pemikiran yang
ceroboh, dan penggunaan kata-kata yang jelek.
Untuk memelihara pertautan dapat dipergunakan tiga cara: ungkapan
penyambung (connective phrases), pararelisme, dan gema (echo). Ungkapan
penyambung adalah sebuah kata atau lebih yang digunakan untuk merangkaikan bagian-
bagian. Contoh-contoh ungkapan penyambung: karena itu, walaupun, jadi, selain itu,
sebaliknya, misalnya, sebagai contoh, dengan perkataan lain, sebagai ilustrasi, bukan
saja, … dan sebagainya.
Paralelisme ialah mensejajarkan struktur kalimat yang sejenis dengan ungkapan
yang sama untuk setiap pokok pembicaraan. Misalnya, “Ulama sebagai Pemuka
Pendapat memiliki empat ciri: Ia mengetahui lebih banyak, ia berpendidikan lebih tinggi,
ia mempunyai status sosial yang lebih terhormat, dan ia lebih sering bepergian ke luar
sistem sosial dibandingkan dengan anggota masyarakat yang lain.”
Gema (echo) berarti kata atau gagasan dalam kalimat terdahulu diulang kembali
pada kalimat baru. Pada contoh di bawah ini, yang dicetak miring adalah “gema”.
Keempat ciri ulama di atas sangat menentukan tingkat partisipasinya dalam
mengemukakan pendapat. Yang disebut terakhir, yaitu sering bepergian ke luar sistem
sosial, sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan ulama dalam menyerap ide-ide
pembaruan.
Gema dapat berupa persamaan kata (sinonim), perulangan kata, kata ganti seperti
itu, itu, hal tersebut, ia, mereka, atau istilah lain yang menggantikan kata-kata yang
terdahulu.
3. Titik Berat (emphasis)
Bila kesatuan dan pertautan membantu pendengar untuk mengikuti dengan
mudah jalannya pembicaraan, titik berat menunjukkan mereka pada bagian-bagian
penting yang patut diperhatikan. Hal-hal yang harus dititikberatkan bergantung pada isis
komposisi pidato, tetapipokok-pokoknya hampir sama. Gagasan utama (central ideas),
ikhtisar uraian, pemikiran baru, perbedaan pokok, hal yang harus dipikirkan khalayak
pendengar adalah contoh-contoh bagian yang harus dititikbrratkan, atau ditekankan.
Dalam pesan tertulis, titik berat dapat dinyatakan dengan tanda garis bawah, huruf
miring, huruf tebal, atau huruf besar. Dalam uraian lisan, titik berat dapat dinyatakan
dengan hentian, tekanan suara yang dinaikkan, perubahan nada (intonasi), isyarat, dan
sebagainya. Dapat pula didahului dengan keterangan penjelas seperti “Akhirnya
sampailah pada inti pembicaraan saya”, atau “Saudara-saudara, yang terpenting bagi kita
adalah …”, dan sebagainya.
Teknik Menyusun Pesan Pidato
H.A. Overstreet, seorang ahli ilmu jiwa untuk mempengaruhi manusia, berkata, “let your
speech march”. Suruh pidato Anda berbaris tertib seperti barisan tentara dalam suatu pawai.
Pidato yang tersusun tertib (well-organized) akan menciptakan suasana yang favorable,
membangkitkan minat, memperlihatkan pembagian pesan yang jelas, sehingga memudahkan
pengertian, mempertegas gagasan pokok, dan menunjukkan perkembangan pokok-pokok pikiran
secara logis. Pengorganisasian pesan dapat dilihat menurut isi pesan itu sendiri atau dengan
mengikuti proses berpikir manusia. Yang pertama kita sebut organisasi pesan (messages
organization) dan yang kedua disebut pengaturan pesan (message arrangement).
Organisasi Pesan
Organisasi pesan dapat mengikuti enam macam urutan (sequence), yaitu: deduktif,
induktif, kronologis, logis, spasial, dan topikal. Urutan deduktif dimulai dengan menyatakan
dulu gagasan utama, kemudian memperjelasnya dengan keterangan penunjang, penyimpulan,
dan bukti. Sebaliknya, dalam urutan induktif kita mengemukakan perincian-perincian dan
kemudian menarik kesimpulan. Jika Anda menyatakan dulu mengapa perlu menghentikan
kebiasaan merokok, lalau menguraikan alasan-alasannya, Anda menggunakan urutan deduktif.
Tetapi bila Anda menceritakan sekian banyak contoh dan pernyataan dokter tentang akibat
buruk merokok dan kemudian Anda menyimpulkan bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan,
maka Anda menggunakan urutan induktif.
Dalam urutan kronologis, pesan disusun berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa.
Bila Anda diminta untuk berbicara tentang perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa
Isra dan Mi’raj, Anda dapat membagi pesan sebagai berikut: (1) Kisah Perjalanan Nabi
Muhammad dan Malaikat Jibril dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan (2) Kisah Perjalan
Nabi dan Malaikat Jibril dari Masjidil Aqsa ke Mustawan.
Dalam urutan logis, pesan disusun berdasarkan sebab ke akibat atau dari akibat ke sebab.
Bila Anda menjelaskan proses kekufuran dari sebab-sebabnya lalu ke gejala-gekalnya, maka
Anda mengikuti urutan logis dari sebab ke akibat. Tetapi jika Anda memulai pembicaraan dari
gejala-gejala atau tanda-tanda kekufuran, seperti seringnya seseorang bebuat syirik,
meninggalkan kewiban sholat, memuja kuburan, lalu kemudian menjelaskan sebab-sebabnya,
maka Anda mengikuti urutan logis dari akibat ke sebab.
Dalam urutan spasial, pesan disusun berdasarkan tempat. Cara ini dipergunakan jika
pesan berhubungan dengan subjek geografis atau keadaan fisik lokasi. Ceramah tentang kisah
perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan agama Islam, dapat disusun: (1) Kisah
perjuangan Nabi di ketika di Mekah dan (2) Kisah Perjuangan Nabi di Madinah.
Dalam urutan topikal, pesan disusun berdasarkan topik pembicaraan: klasifikasinya, dari
yang penting ke yang kurang penting, dari yang mudah ke yang sukar, dari yang dikenal ke yang
asing. Ketika Anda diminta untuk berceramah tentang “Tiga Mutiara Hidup”, Anda menyusun
topik pembicaraan mulai dari membicarakan masalah: Iman, Islam, dan Ikhsan, maka pidato
Anda dapat dikatakan menggunakan urutan secara kronologis.
Pengaturan Pesan
Bila pesan sudah terorganisasi dengan baik, kita masih perlu menyesuaikan organisasi
pesan ini dengan cara berpikir khalayak pendengar. Urutan pesan yang sejalan dengan proses
berpikir manusia disebut oleh Alan H. Monroe sebagai motivated sequence (urutan bermotif).
Menurut Monroe, ada lima tahap urutan bermotif: perhatian (attention), kebutuhan (needs),
pemuasan (satisfaction), visualisasi (visualization), dan tindakan (action).
Dengan demikian, pidato yang baik dan efektif adalah pidato yang sejak awal mampu
membangkitkan perhatian khalayak pendengar, mampu membuat pendengar merasakan adanya
kebutuhan tertentu, memberikan petunjuk bagaimana cara memuaskan kebutuhan tersebut, dapat
menggambarkan dalam pikirannya penerapan usul yang dianjurkan kepadanya, dan akhirnya
mampu menggerakkan khalayak untuk bertindak sesuai anjuran kita.
Misalnya, kita akan mengajak seseorang untuk memotong rambutnya yang gondrong.
Anda memuali pembicaraan dengan melontarkan perkataan: “Lihat rambutmu!!! Kutu-kutu
bergelantungan dengan bebasnya…” Anda sedang memasuki tahap perhatian. Lalu Anda
berkata lagi, “Kutu-kutu itu tentu membuat kepalamu gatal dan kamu pasti tidak bisa tidur
nyenyak…” Anda tengah berada pada tahap membangkitkan kebutuhan. “Memotong rambut itu
mudah dan murah, cukup dengan uang Rp 3.000 atau bahkan gratis…” Anda masuk pada tahap
pemuasan. “Jika kamu tetap membiarkan rambutmu jabrig begitu dan membebaskan kutu-kutu
menyedot darahmu, kamu tampak seperti orang kurang waras dan mustahil gadis-gadis di desa
ini akan tertarik kepadamu…, tapi jika kamu cepat memotong dan merapihkan rambutmu, kutu-
kutu itu akan segera mengucapkan selamat tinggal pada kepalamu dan gadis-gadis cantik akan
mengucapkan selamat datang arjunaku…” Anda sudah masuk pada tahap visualisai. “Ayo,
cukurlah rambutmu sekarang…!!!” Anda melakukan tahap tindakan.
Membuat Garis-garis Besar Pidato
Garis-garia besar (out-line) pidato merupakan pelengkap yang amat berharga bagi
pembicara yang berpengalaman dan merupakan keharusan bagi pembicara yang belum
berpengalaman. Garis besar pidato ibarat peta bumi bagi komunikator yang akan memasuki
daerah kegiatan retorika. Peta ini memberikan petunjuk dan arah yang akan dituju. Garis besar
yang salah akan mengacaukan “perjalanan” pembicaraan, dan garis besar yang teratur akan
menertibkan “jalannya” pidato.
Garis-garis besar pidato yang baik terdiri dari tiga bagian: pengantar, isi, dan penutup.
Dengan menggunakan urutan bermotif dari Alan H. Monroe, kita dapat membaginya menjadi
lima bagian: perhatian, kebutuhan, pemuasan, visualisasi, dan tindakan. Perhatian ditempatkan
pada pengantar; kebutuhan, pemuasan, dan visualisasi kita tempatkan pada isi; dan tindakan kita
tempatkan pada penutup pidato.
TAHAP MENYAMPAIKAN PIDATO
Kita seringkali menyaksikan seseorang yang berpidato di mimbar bergetar (dalam bahasa
Sunda: ngadegdeg), suaranya tersendat-sendat, muka dan badanya basah kuyup karena guyuran
keringat yang mengalir deras. Hadirin diam, terkesima…bukan karena kagum pada
penampilanny tetapi karena ………. kasihan dan tidak tega melihatnya. Dalamilmu komunikasi,
keadaan seperti itu disebut kecemasan berkomunikasi (communication apprehension).
Kecemasan berkomunikasi adalah batu sandungan yang besar bagi seorang pembicara. Ia
menghilangkan kepercayaan diri. Kecemasan berkomunikasi amat mempengaruhi kredibilitas
komunikator. Betapa pun bagusnya pesan yang Anda sampaikan, betapa pun sistematisnya
organisasi pesan yang Anda buat, tanpa kepercayaan diri dan kredibilitas, Anda akan kehilangan
pengaruh dan pendengar sekaligus.
Sebab-sebab Kecemasan Komunikasi
Orang mengalami kecemasan komunikasi disebabkan beberapa hal. Pertama, tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Ia tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan. Ia tidak dapat
memperkirakan apa yang diharpkan pendengar. Ia menghadapi sejumlah ketidakpastian. Untuk
mengatasi sebab pertama ini, latihan dan pengalaman sangat diperlukan. Pengetahuan tentang
retorika akan memberikan kepastian ke[adanya untuk memulai, melanjutkan, dan mengakhiri
pembicaraan. Latihan-latihan akan memberikan pengalaman. Melalui latihan, ia akan dapat
memastikan, atau paling tidak menduga, reaksi pendengarnya. Resepnya: “Bisa karena biasa”.
Dale Carnegie memberikan nasihat yang singkat, “Lakukan apa yang Anda takut
melakukannya”. Jadi, jika Anda takut berbicara di depan khalayak (orang banyak), cobalah
berbicara di depan mereka.
Sayang sekali, orang yang takut berpidato justru selalu menghindari kesempatan untuk
itu. Makin sering ia menghindari bicara, makin sulit ia untuk melakukannya. Bila suatu saat ia
“terjebak” untuk berbicara, ia tentu akan mengalami peristiwa yang sangat traumatis. Terjadilah
lingkaran setan, ia makin membenci pidato, dan karena kebenciannya itu ia akan gagal terus
dalam berpidato. Akhirnya, terbentuklah citra diri (self image): Saya tidak mempunyai bakat
untuk berpidato. Saya tidak mampu berpidato. Saya memang tidak dilahirkan untuk berpidato,
tetapi untuk mendengar. Dengan citra diri seperti itu, ia tidak akan memiliki kepercayaan diri
(self confidence). Tanpa kepercayaan diri, ia gagal. Kegagalan akan memperburuk lagi citra diri.
Begitulah seterusnya, seperti lingkaran setan.
Kedua, orang menderita kecemasan komunikasi karena tahu ia akan dinilai oleh orang
lain. Berhadapan dengan penilaian membuat orang menjadi gugup atau nervous. Penilaian dapat
mengangkat dan menjatuhkan harga dirinya. Tetapi pada umumnya kita memperhatikan yang
kedua. Bagaimana bila kita dipermalukan orang? Alangkah malunya bila humor yang kita buat
tidak membuat orang tertawa, tetapi justru membuat orang menertawakan kita? Bagaimana
kalau kita kelihatan tolol dan bodoh di hadapan orang banyak? Semua yang dutakutkan itu
sebenarnya lebih banyak terdapat di dalam pikiran dan perasaan kita daripada dalam kenyataan.
Seandainya pidato kita gagal, harga diri kita tidaklah akan jatuh serendah itu. Apalagi,
berdasarkan pengalaman, kegagalan itu hanya terjadi pada percobaan-percobaan yang pertama
saja, dan khalayk pendengar pun pasti memakluminya. Bukankah kita dulu waktu kecil pernah
jatuh berkali-kali sebelum dapat berjalan dan berlari kencang seperti sekarang ini?
Ketiga, kecemasan komunikasi dapat menimpa pemula, bahkan mungkin juga menimpa
orangorang yang terkenal sebagai pembicara yang baik. Hal ini dapat terjadi jika pembicara
berhadapan dengan situasi yang asing dan ia tidak siap. Misalnya, ia diminta berbnicara
dihadapan khalayak yang tidak ia kenal dan mereka tidak mengenalnya; atau ia harus berbicara
tentang persoalan yang sama sekali tidak dikuasainya; atau ia tidak punya cukup waktu untuk
membuat persiapan. Cara mengatasinya: lakukan analisis situasi dan analisis khalayak, carilah
topik pembicaraan yang paling Anda kuasai sehingga Anda tampak kredibel.
Cara-cara Penyampaian Pidato
Tahapan yang dilakukan dalam menyampaikan pidato secara garis besar terdiri dari tiga
tahap: (1) Tahap Membuka Pidato, (2) Tahap Mengembangkan Isi Pidato, dan (3) Tahap
Menutup Pidato.
Pembukaan pidato adalah bagian penting dan menentukan. Kegagalan dalam membuka
pidato akan menghancurkan seluruh komposisi dan presentasi pidato. Tujuan utama pembukaan
pidato adalah membangkitkan perhatian , memperjelas latar belakang pembicaraan, dan
menciptakan kesan yang baik mengenai komunikator. “Perhatian akan menentukan tindakan,”
kata William James. Tetapi kesan pertama akan menentukan sikap. Karena itu seorang
pembicara harus memulai pembicaraannya dengan penuh kesungguhan, sehingga ia kelihatan
mantap, berwibawa, dan mampu. Ucapan-ucapan apologetis seperti minta maaf atau sikap
merendahkan diri semuanya harus Anda hindari. Walaupun demikian, tidak baik pula Anda
menepuk dada dan menyombongkan diri.
Hal pertama kali yang harus Anda lakukan dalam tahap ini (tahap pembukaan) adalah
mengesankan agar pendengar siap untuk memperhatikan Anda. Bangkitkan perhatian pendengar
pada Anda dan topik yang akan Anda sampaikan! Bagaimana caranya? Di bawah ini diuraikan
pedoman dalam membuka pidato, Anda dapat memilih salah satu di antara cara-cara di bawah
ini:
1. Langsung menyebutkan pokok persoalan.
Komunikator (orang yang melakukan pidato) menyebutkan ahal yang akan
dibicarakannya dan memberikan kerangka pembicaraannya. Cara ini biasanya dilakukan bila
topik adalah pusat perhatian khalayak. Di depan hadirin yang sudah lama menanti penjelasan
tentang hukum waris (faro’id), seorang mubaligh memulai pidatonya sebagai berikut:
Saudara-saudara, pagi ini saya akan membicarakan cara-cara mengatur dan membagi-
bagikan harta warisan kepada ahli waris menurut hukum Islam.
2. Melukiskan latar belakang masalah
Komunikator menerangkan sejarah topik, membatasai pengertian, dan menyatakan
masalah-masalah utamanya. Mengapa timbul persoalan itu, apa hubungannya dengan khalayak,
dan mengapa dipilih masalah itu. Seorang mubaligh yang berbicara tentang pentingnya infak
memulai pidatonya seperti ini:
Saudara-saudara, sudah lama kita mengetahui bahwa banyak usaha amal shalih yang
tidak dapat dijalankan karena kekuarangan dana. Islam mengajarkan cara mengumpulkan
dana yang disebut infak. Infak adalah kelebihan harta yang digunakan untuk proyek yang
produktif bagi masyarakat. Al Quran mengatakan bahwa infak adalah satu ciri orang
yang takwa, ciri saudara-saudara yang beriman kepada Allah dan hari akhir…
3. Menghubungkan dengan peristiwa mutakhir atau kejadian yang tengah menjadi
pusat perhatian khalayak
Dengan menambatkan pembicaraan kepada fokus perhatian khalayak, kita mempunyai
peluangyang baik untuk memasukkan ide-ide kita dan menimbulkan kesan yang kuat. Sebagai
contoh, pada tanggal 8 Desember 1941, Franklin D. Roosevelt, Presiden Amerika Serikat,
menyamoaikan pidato pernyataan perang kepada Jepang di depan kongres dengan pidato seperti
ini:
Kemarin, 7 Desember 1941 –tanggal yang akan tetap abadi- Amerika Serikat tiba-tiba
dan secara sengaja diserang oleh Angkatan Laut dan Angkatan Udara Kerajaan Jepang…
4. Menghubungkan dengan peristiwa yang sedang diperingati
Ini biasanya dilakukan dalam pidato untuk memperingati hari bersejarah, bangunan baru,
atau orang besar yang sudah tiada. Cara ini dapat pula dipakai pada pesta kelahiran, perkawinan,
selamatn, atau upacara kematian. Seorang mubaligh muda memulai pidatonya dalam peringatan
maulud nabi sebagai berikut:
Saudara-saudara, hadirin sekalian!
Alangkah bahagianya kita, kaum muslimin, pada hari ini. Pada hari ini, kita masih
diberikan kesempatan umur sehingga kita dapat memperingati kelahiran orang yang
paling kita junjung tinggi, Nabi Besar Muhammad SAW. Banyak hikmah yang dapat kita
petik dari sejarah kelahiran Rasulullah…
5. Menceritakan pengalaman pribadi
Pengalaman pembicara yang menarik dapat membuka minat pendengar. Pengalaman
tersebut akan terasa “dekat” dan “nyata”, sebab orang yang mengalaminya hadir ditengah-tengah
khalayak. Dalam sebuah kampanye Pemilu tahun 1977, seorang juru kampanye memulai
pidatonya seperti ini:
Dua hari yang lalu saya berpidato di tengah-tengah rakyat kecil di Sukabumi. Udara terik
membakar, lapangan penuh sesak, dan panggung tempat saya berdiri dipenuhi pemuda-
pemuda belasan tahun. Tidak jauh dati panggung berdiri seorang kakek. Mukanya sudah
keriput, punggungnya sudah bongkok, tapi… pada matanya saya lihat cahaya harapan
yang menyala-nyala untuk turut berjuang dengan partai saya…
6. Membuat humor
Pembukaan jenis ini adalah yang paling sukar. Bahkan beberapa penulis buku teknik
berpidato tidak menganjurkannya. Tetapi bila berhasil, pembukaan seperti ini amat berkesan
bagi pendengar. Seorang Jenderal pensiunan berpidato di hadapan para purnawiraan dengan
pembukaan seperyti ini:
Saudara-saudara, sesama purnawiraan!
Sebagai mantan prajurit kita patut berbangga hati, sebab tentara itu serba bisa. Tentara
Indonesia itu bisa menjalankan fungsi apa saja: jadi bupati, bisa; jadi gubernur, bisa; jadi
presiden, bisa; yang tidak bisa adalah menjalankan fungsi utama yaitu…berperang!
Dengan pembukaab seperti itu, hadirin mungkin tertawa terpingkal-pingkal atau
mungkin juga …marah dan memaki pembicara.
Banyak sekali cara yang dapat kita lakukan untuk membuka pidato. Coba lihat kembali
hal-hal yang dapat dijadikan topik bahasan pidato pada halaman 3, itu pun dapat dijadikan
sumber untuk membuka pidato.
Pengembangan isi pidato pada dasarnya dilakukan dengan cara memberikan uraian-
uraian penjelasan terhadap hal-hal yang disampaikan dalam tahap pembukaan. Dalam tahap
mengembangkan isi pidato, gunakan teknik-teknik pengembangan poko bahasan yang sudah
diuraikan di halaman 6, yakni: penjelasan, contoh, analogi, statistik, testimoni, dan perualangan.
Penutupan pidato adalah sama pentingnya den gan pembukaan pidato, dan sangat
menentukan keberhasilan pidato yang kita lakukan. Penutupan pidato dapat dilakukan dengan
cara-cara:
1. Menyimpulkan atau mengemukakan ikhtisar pembicaraan
2. Menyatakan kembali gagasan utama dengan kalimat dan kata yang berbeda
3. Mendorong khalayak untuk bertindak
4. Mengakhiri dengan klimaks
5. Mengutamakan kutipan dari kitab suci, peribahasa, atau ucapan seorang ahli
6. Menceritakan contoh yang berupa ilustrasi dari tema pembicaraan
7. Menerangkan maksud sebenarnya pribadi pembicara
8. Memuji dan mengharghai khalayal
9. Membuat pernyataan yang humoris atau anekdot lucu.
PRINSIP-PRINSIP PENYAMPAIAN PIDATO
Dalam menyampaikan pidato ada tiga prinsip atau rukun pidato, yakni:
1. Pelihara kontak visual dan kontak mental dengan khalayak pendengar (Kontak).
2. Gunakan Lambang-lambang auditif; atau usahakan agar suara Anda memberikan makna
yang lebih kaya pada bahasa Anda (Olah Vokal).B
3. erbicaralah dengan seluruh kepribadian Anda; dengan wajah, tangan, dan tubuh Anda
(Olah Visual).
Top Related