1Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
KOMUNIKATOR POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA
Bab IPendahuluan
Budaya politik di tanah air selama ini masih belum memberikan diskursus yang
positif. Ini dikarenakan posisi dan peran tradisional perempuan di ranah domestik lebih
kuat tertanam dalam masyarakat dibandingkan posisi dan kedudukan perempuan di
ranah publik, khususnya di bidang politik. Politik identik dengan laki-laki. Opini publik
terhadap eksistensi perempuan di dunia politik masih kurang mendukung. Perilaku
memilih para pemilih perempuan terhadap calon pemimpin perempuan belum kuat.
Budaya dan agama yang menguatkan dogma laki-laki adalah imam menjadikan para
pemilih perempuan enggan memilih kaumnya. Women’s roles often reflected similar
stereotypes about femininity. Over the years, the dominant roles for women have been
as mother/homemaker or sexual object (Croteau & Hoynes, 1997: 159). Demikian
kuatnya konstruksi ini sehingga di media massa perempuan selalu dikaitkan dengan
isu-isu domestiknya. Menurut Bystrom (Subiakti & Ida, 2012: 159) media massa
dianggap sering mengambarkan politisi perempuan memiliki masalah atau dikaitkan
dengan isu-isu domestik berkaitan dnegan perilaku anak dan suaminya. Namun uniknya
media tidak melakukan hal seperti ini terhadap politisi laki-laki.
Media massa juga membuat gambaran yang salah terhadap perempuan. Teknik
pengambilan gambar di televisi, picth suara di stasiun radio, bahkan saat kampanye di
lapangan luas terkadang perempuan tidak diuntungkan dalam pengaturan suara.
Televisions camera shots are more likely to feature women’s entire bodies while more
often showing men in close-ups of only their faces (Croteau & Hoynes, 1997: 159).
Ketidaksetaraan ini terbentuk karena konstruksi yang dibentuk oleh laki-laki. Misalnya
politisi perempuan akan dinilai dari pakaian, sepatu, make-up, model rambut seperti
yang pernah terjadi pada Angelina Sondakh. Di sisi lain keberhasilan perempuan di
kancah politik lebih ditekankan karena mereka memiliki laki-laki yang kuat yang
mengkonstruksi kehadiran mereka di ranah publik. Bagaimana pun juga ketika Hillary
Clinton maju menjadi kandidat presiden orang lebih melihat dia sebagai nyonya
2Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
Clinton. Inequality that women still face in society as a whole is clearly reflected in the
unequal treatment women receive in the media (Croteau & Hoynes, 1997: 159).
Di sisi lain Berger & Luckmann (Bungin, 2008: 212) menyatakan bahwa
konstruksi sosial itu dibangun oleh individu dan masyarakat secara dialektika.
Konstruksi sosial yang dimaksud adalah sebuah proses eksternalisasi, objektivasi dan
internalisasi yang terjadi antara individu di dalam masyarakat. Ketiga proses di atas
terjadi secara simultan membentuk dialektika, serta menghasilkan realitas sosial berupa
pengetahuan umum, konsep, kesadaran umum dan wacana publik. Kemajuan yang
dicapai oleh para perempuan komunikator politik ini tidak lepas dari kemauan
perempuan untuk mempelajari bahasa laki-laki yang lebih akrab didengar oleh
masyarakat. Seringkali perempuan calon legislatif tidak memiliki kemampuan public
speaking yang baik. Mereka terkesan malu-malu sehingga kurang mampu meyakinkan
para pemilihnya. Potensi perempuan sebagai komunikator politik perlu digarap.
Sebetulnya para perempuan tidak mampu berkomunikasi di depan khalayak karena
ketidakmampuan mengungkapkan dirinya secara pribadi, harapan dan keinginannya.
Kebanyakan perempuan lebih memilih kata-kata yang santun dan tidak menyela
ataupun menyerang pihak lain. Namun disisi lain perempuan cenderung didefinisikan
menurut hubungna mereka dengan kaum pria (Kramarae, Henley & Thorne, 1983).
Seperti dalam konsep konstruksi sosial yang dimaksud oleh Berger &
Luckmann (Bungin, 2008: 213), apabila diterapkan melalui media televisi, maka
kekuatan konstruksi sosial akan berlipat ganda, dan mempermudah kepentingan-
kepentingan tertentu untuk menggunakannya sebagai alat hegemoni. Di media massa
perempuan selalu dikaitkan dengan tampilan yang lembut keibuan dan legitimasi akan
kasih. Croteau & Hoynes, (1997: 151) menyatakan bahwa “women also appeared to
succeed through talent, enterprise, hardwork, and intelegence. But commonly cited
along with these attributes were emotion, luck, togetherness and family. Language is
never neutral”.
Citra perempuan di media seperti dijelaskan oleh Tomagola (Bungin, 2008: 122)
selain citra pilar, citra pinggan, citra pergaulan, ada citra maskulin sebagai bentuk
stereotipe laki-laki dalam realitas sosial nyata. Di televisi laki-laki dipertontonkan
sebagai sosok jantan, tangkas, ulet, berani, teguh dalam pendirian, pelindung dan
perkasa. Sementara wanita selain konsep kelembutan, keibuan, sumber informasi dan
3Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
legitimasi, tulang punggung keluarga dan pendamping suami. Perempuan digambarkan
dengan seksualitas, daya tarik seks, menarik perhatian, merendahkan lawan jenis, dan
gairah seks. Bahkan dalam kampanye politik konsep ini masih sering nampak. Sehingga
muncullah fenomena artis menjadi politisi karbitan. Misalnya Nurul Arifin yang
terkenal dalam film-film sitkom Warkop Dono, Kasino, Indro saat ini menjadi politisi
yang duduk di DPR RI. Kalau kita tarik ke belakang akan nampak bahwa Nurul sangat
seksi sebagai bintang film. Faktor itu pulalah yang menarik massa sehingga
membawanya ke ranah politik. Sungguh sangat disayangkan jika gambaran politisi
perempuan di media massa sedemikian timpang. Gambaran itu tentunya akan
mempengaruhi opini publik yang beredar di masyarkat.
4Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
BAB IIANALISIS PERMASALAHAN
a. PENGERTIAN KOMUNIKASI POLITIK
Seperti definisi politik dan komunikasi itu sendiri, dalam definisi komunikasi
politik juga terdapat keberagaman. Dan Nimmo mendefinisikan komunikasi politik
sebagai kegiatan komunikasi yang berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya (aktual
maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia di dalam kondisi-kondisi konflik.
Definisi ini menggunakan pendekatan konflik, dan biasanya meliputi hubungan antar
partai politik, antar pemerintah atau antar bangsa yang berhubungan dengan bidang
politik. Menurut Lasswell komunikasi politik mencakup : pesan politik, persuasi atau
ajakan politik, media politik, khalayak politik dan dampak politik. Deliar Noer dikutip
The Liang Gie (Efriza, 2008: 9) menyatakan Ilmu Politik sebagai suatu ilmu
pengetahuan kemasyarakatan mempelajari masalah kekuasaan dalam masyarakat: sikat-
hakikatnya, dasar landasannya, proses kelangsungannya, luas lingkungannya serta hasil
akibatnya. Kekuasaan sebagai konsep fundamentaldari Ilmu Politik tidaklah semata-
mata identik dengan kekuatan memaksa. Roelofs (Sumarno & Suhandi, 1993)
mendefinisikan komunikasi politik sebagai komunikasi yang materi pesan-pesan berisi
politik yang mencakup masalah kekuasaan dan penempatan pada lembaga-lembaga
kekuasaan (lembaga otoritatif). Definisi ini menggunakan pendekatan kekuasaan dan
kelembagaan (baca: pandangan politik). Secara sederhana dapat disimpulkan
komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan
pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan,
pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu
terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa
dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”.
Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah
dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan
seterusnya. Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan
sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak
berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian
komunikasi politik terutama jika kondisi pemerintahan seperti di Indonesia yang sangat
rawan. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar soal kenaikan BBM,
5Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk
menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat
persetujuan DPR.
b. PENGERTIAN KOMUNIKATOR POLITIK
Meskipun setiap orang boleh berkomunikasi tentang politik, namun yang
melakukannya secara tetap dan berkesinambungan jumlahnya relatif sedikit. Walaupun
sedikit, para komunikator politik ini memainkan peran sosial yang utama, terutama
dalam proses opini publik. Dan Nimmo (1989) mengklasifikasikan komunikator utama
dalam politik sebagai berikut: politikus; professional; dan aktivis.
1. Politikus
Politikus adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan
pemerintah, tidak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak
mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudukatif. Daniel Katz
(Nimmo, 1989) membedakan politikus ke dalam dua hal yang berbeda berkenaan
dengan sumber kejuangan kepentingan politikus pada proses politik. Yaitu: politikus
ideolog (negarawan); serta politikus partisan.
a). Politikus ideolog adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih
memperjuangkan kepentingan bersama/publik. Mereka tidak begitu terpusat
perhatiannya kepada mendesakkan tuntutan seorang langganan atau kelompoknya.
Mereka lebih menyibukkan dirinya untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas,
mengusahkan reformasi, bahkan mendukung perubahan revolusioner-jika hal ini
mendatangkan kebaikan lebih bagi bangsa dan negara.
b). Politikus partisan adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih
memperjuangan kepentingan seorang langganan atau kelompoknya.
Dengan demikian, politikus utama yang bertindak sebagai komunikator politik
yang menentukan dalam pemerintah Indonesia adalah: para pejabat eksekutif (presiden,
menteri, gubernur, dsb.); para pejabat eksekutif (ketua MPR, Ketua DPR/DPD, Ketua
Fraksi, Anggota DPR/DPD, dsb.); para pejabat yudikatif (Ketua/anggota Mahkamah
Agung, Ketua/anggota Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung, jaksa, dsb.).
6Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
2. Profesional
Profesional adalah orang-orang yang mencari nafkahnya dengan berkomunikasi,
karena keahliannya berkomunikasi. Komunikator profesional adalah peranan sosial
yang relatif baru, suatu hasil sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya
mempunyai dua dimensi utama: munculnya media massa; dan perkembangan serta
merta media khusus (seperti majalah untuk khalayak khusus, stasiun radio, dsb.) yang
menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Baik media
massa maupun media khusus mengandalkan pembentukan dan pengelolaan lambang-
lambang dan khalayak khusus. Di sini masuklah komunikator profesional ”yang
mengendalikan keterampilan yang khas dalam mengolah simbol-simbol dan yang
memanfaatkan keterampilan ini untuk menempa mata rantai yang menghubungkan
orang-orang yang jelas perbedaannya atau kelompok-kelompok yang dibedakan”.
James Carey (Nimmo, 1989) mengatakan bahwa komunikator profesional
adalah makelar simbol, orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat
suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa yang lain ang berbeda
tetapi menarik dan dapat dimengerti. Komunikator profesional beroperasi (menjalankan
kegiatannya) di bawah desakan atau tuntutan yang, di satu pihak, dibebabankan oleh
khalayak akhir dan, di lain pihak , oleh sumber asal. Seperti politikus yang dapat
dibedakan politikus ideolog dan partisan, profesional mencakup para jurnalis pada satu
sisi, dan para promotor pada sisi lain.
a). Jurnalis : Kita membicarakan jurnalis sebagai siapun yang berkaitan dengan
media berita dalam pengumpulan, persiapan, penyajian, dan penyerahan laporan
mengenai peristiwa-peristiwa. Ini meliputi reporter yang bekerja pada koran, majalah,
radio, televisi, atay media lain; koordinator berita televisi; penerbit; pengarah berita;
eksekutif stasiun atau jaringan televisi dan radio; dan sebagainya. Sebagai komunikator
profesional, jurnalis secara khas adalah karyawan organisasi berita yang
menghubungkan sumber berita dengan khalayak. Mereka bisa mengatur para politikus
untuk berbicara satu sama lain, menghubungkan politikus dengan publik umum,
menghubungkan publik umum dengan para pemimpin, dan membantu menempatkan
masalah dan peristiwa pada agenda diskusi publik.
7Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
b). Promotor adalah orang yang dibayar untuk mengajukan kepentingan
langganan tertentu. Yang termasuk ke dalam promotor adalah agen publisitas tokoh
masyarakat yang penting, personel hubungan masyarakat pada organisasi swasta atau
pemerintah, pejabat informasi publik pada jawatan pemerintah, skretaris pers
kepresidenan, personel periklanan perusahaan, manajer kampanye dan pengarah
publisitas kandidat politik, spesialis teknis (kameraman, produser dan sutradara film,
pelatih pidato, dsb.) yang bekerja untuk kepentingan kandidat politik dan tokoh
masyarakat lainnya, dan semua jenis makelar simbol yang serupa.
3. Aktivis
Aktivis adalah komunikator politik utama yang bertindak sebagai saluran
organisasional dan interpersonal. Pertama, terdapat jurubicara bagi kepentingan yang
terorganisasi. Pada umumnya orang ini tidak memegang ataupun mencita-citakan
jabatan pada pemerintah; dalam hal ini komunikator tersebut tidak seperti politikus
yang membuat politik menjadi lapangan kerjanya. Jurubicara ini biasanya juga bukan
profesional dalam komunikasi. namun, ia cukup terlibat baik dalam politik dan
semiprofesional dalam komunikasi politik. Berbicara untuk kepentingan yang
terorganisasi merupakan peran yang serupa dengan peran politikus partisan, yakni
mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi. dalam hal lain jurubicara ini sama
dengan jurnalis, yakni melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota
suatu organisasi. Kedua, terdapat pemuka pendapat yang bergerak dalam jaringan
interpersonal.
Sebuah badan penelitian yang besar menunjukkan bahwa banyak warga negara
yang dihadapkan pada pembuatan keputusan yang bersifat politis, meminta petunjuk
dari orang-orang yang dekat atau dihormati mereka (significant others). Apakah untuk
mengetahui apa yang harus dilakukannya atau memperkuat putusan yang telah
dibuatnya. Orang yang dimintai petunjuk dan informasinya itu adalah pemuka pendapat
(opinion leader). Mereka tampil dalam dua bidang:
a. Mereka sangat mempengaruhi keputusan orang lain; artinya, seperti
politikus ideologis dan promotor profesional, mereka meyakinkan orang
lain kepada cara berpikir mereka.
8Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
b. Mereka meneruskan informasi politik dari media berita kepada masyarakat
umum. Dalam arus komunikasi dua tahap gagasan sering mengalir dari
media massa kepada pemuka pendapat dan dari mereka kepada bagian
penduduk yang kurang aktif banyak studi yang membenarkan pentingnya
kepemimpinan pendapat melalui komunikasi interpersonal sebagai alat
untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang penting.
Di bidang politik, dalam pemilihan presiden, banyak pemberi suara yang
membawa kepada kampanye pemilihan konsepsi tentang sifat-sifat yang paling
diinginkan kepada pemegang jabatan pemerintah. Citra tentang pemegang jabatan yang
ideal ini memberikan garis besar, atau standar, yang digunakan oleh pemberi suara
untuk dibandingkan dan menilai sifat-sifat yang dipersepsinya pada kandidat yang
benar-benar mencalonkan diri untuk jabatan. Beberapa studi melaporkan, para pemilih
mencari sifat abstrak seperti kedewasaan, kejujuran, kesungguhan, kekuatan, kegiatan
dan energi. Gabungan ini sebenarnya merupakan gabungan sifat hero, dengan dimensi
kepribadian yang kuat (Nimmo dan Savage, dalam Nimmo, 1989 : 210). Kepribadian
ini menjadi faktor utama tumbuhnya kredibilitas seorang calon presiden.
Dalam kaitannya dengan kredibilitas ini, studi lain, yakni studi Miller
dan Jackson (1976) menemukan, pertama, struktur citra rakyat tentang pemegang
jabatan sangat stabil, dan memiliki dimensi-dimensi yang jelas, termasuk bagaimana
orang membayangkan sifat pribadi. Latar belakang profesional, afiliasi partai, dan
pendirian ideologis kandidat yang ideal; kedua, perbandingan citra ideal pemberi suara
dengan persepsi mereka tentang kandidat pada dimensi-dimensi sifat personal dan
latar belakang profesional menyajikan perkiraan yang akurat tentang hasil pemilihan
umum (dalam Nimmo, 1989 : 210). Faktor ketiga adalah konsonansi (kesesuaian). Anda
mungkin pernah merasakan, bahwa ada tokoh yang anda sukai di samping yang tidak
disukai. Untuk tokoh yang tidak anda sukai, begitu muncul di televisi, misalnya, setiap
pesan yang disampaikan tidak pernah sampai ke memori anda. Anda memiliki
predisposisi untuk menolaknya, karena tidak adanya ketidaksesuaian antara pesan yang
datang dengan informasi yang ada dalam memori anda. Sebaliknya, pada tokoh yang
anda sukai, pesan darinya akan mudah anda terima, karena sudah ada kesesuaian antara
pesan yang datang dengan simpanan informasi di memori anda. Faktor inilah yang
menjadi salah satu alasan banyak artis terkenal (penyanyi, pemain sinetron dll) tertarik
9Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
untuk terjun ke dunia politik dan banyak partai politik yang tergoda mengambil jalan
pintas dengan merekrut artis sebagai calon anggota legislative.
Faktor keempat, adalah signifikansi. Dalam media massa, ada informasi yang
penting dan sangat berarti bagi anda, tetapi ada yang tidak. Informasi yang
signifikansinya bisa berlaku lebih luas, dan bisa pada khalayak.
Faktor lain yang juga penting adalah dukungan komunikasi antarpribadi. Dalam
teori ”komunikasi dua tahap” (two step flow), dikatakan bahwa
komunikasi massa sering tidak efektif. Dalam berbagai penelitian terbukti,
komunikasi massa akan lebih efektif bila disertai dan didukung komunikasi
antarpersona. Kedekatan akan membantu proses komunikasi.
c. Komunikator Politik Perempuan
Di Indonesia peran politik kaum perempuan masih sangat kurang. Kendala
utamanya karena laki-laki dan perempuan masih memandang dan memperlakukan
perempuan dari segi budaya patriarkat yang mengakar dan mendominasi di masyarakat.
Perempuan dipersepsikan sebagai warga negara kelas dua yang seharusnya di rumah
dan dininabobokan oleh batasan-batasan tabu serta adat. Selain itu, perempuan yang
lemah tidak sepatutnya bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan
kekasaran permainan kekuasaan. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan
membuat kebijakan karena patron yang membentuk perempuan sangat tendensius,
yakni mengutamakan perasaan sehingga jauh dari sikap rasionalitas. Perempuan
dilupakan sebagai ahli prokreasi dan ibu yang membesarkan laki-laki maupun
perempuan. Aktor mental setiap pemimpin entah laki-laki ataupun perempuan.
Perempuan sebenarnya mempunyai otonomi mutlak atas dirinya, yakni sebagai manusia
dengan kedudukan setara di muka bumi. Perempuan memiliki hak dan kewajiban yang
sama sebagai warga negara. Namun politik masih identik dengan laki-laki. Usaha untuk
memperjuangkan jumlah perempuan yang duduk di lembaga parlemen dan
pemerintahan masih sebatas kuantitas. Ditinjau dari jumlah dan perbandingan masih
dinilai tidak adil. Namun bagi sebagian kalangan perempuan wacana tersebut disambut
sebagai langkah maju untuk memberi ruang gerak bagi perekrutan kaum perempuan
dalam dalam dunia politik, karena selama ini hanya 12% perempuan yang berkiprah
10Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
dalam ruang Senayan. Ironis memang, di satu sisi ingin mengakui persamaan peran
antara laki-laki dan perempuan, namun dalam praktisnya ruang itu di kunci rapat-rapat
bagi perempuan. Dominannya pernyataan politik yang diberikan oleh para aktor laki-
laki baik di depan khalayak ataupun di media massa semakin menyurutkan eksistensi
perempuan.
Hadirnya Megawati sebagai Presiden RI perempuan pertama tidak mampu
mewarnai percaturan politik Indonesia, malah kehadirannya justru menjadi isu
kontroversial di masyarakat. Sosok kepemimpinannya seakan belum mewakili
keseluruhan perempuan untuk mendapatkan penghidupan yang layak dari sektor publik.
Dalam realitas empiris, ketimpangan perempuan dan laki-laki sangat terasa di
masyarakat. Peran politik perempuan dalam dunia politik seakan beraneka ragam.
Wilayah politik yang mampu dimainkan masih sebatas wacana dalam diskusi dan
pelatihan. Dalam pergumulan politik sebenarnya perempuan belum terbukti bisa
menembus apa saja dengan kualitas yang dimilikinya. Sebut saja Sri Mulyani, Marie
Pangestu, Nafsiah Mboi, Khofifah Indar Parawansa. Semua perempuan itu hanya
sedikit perempuan yang mampu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di
republik ini.
Hidup di tengah-tengah masyarakat yang menganut budaya patriarki membuat
perempuan menjadi sulit untuk terjun di ranah politik. Adanya stereotip bahwa
perempuan tidak mampu untuk terjun di bidang politik dan anggapan bahwa mereka
hanya boleh mengurusi urusan domestik, membuat perempuan menjadi tidak percaya
diri akan kemampuannya. Hal ini mengakibatkan partisipasi perempuan dalam politik
seolah dibatasi. Namun, dewasa ini, partisipasi perempuan dalam politik semakin
terlihat. Terbukti dengan adanya penambahan jumlah calon legislative dari pemilu 2004
dibandingkan dengan pemilu 2009. Dengan dikeluarkannya kebijakan baru berupa
Undang-Undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu pasal 65 ayat 1, yang
memperhatikan keterwakilan perempuan dalam tiap parpol sebesar 30 %, dan Undang-
Undang No.2 tahun 2008, serta Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang jaminan
peluang peningkatan keterwakilan perempuan di arena politik, telah meyakinkan
perempuan untuk berani terjun di kancah politik. Hal ini seolah akan meruntuhkan
stereotype mengenai tertutupnya peluang bagi perempuan. Dengan adanya kebijakan
11Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
ini, diharapkan akan semakin banyak perempuan yang berani menunjukkan
kemampuannya untuk bisa menjadi politisi laiknya kaum laki-laki. Dalam hal ini,
peran media tidak dapat dipungkiri turut bermain dalam upaya membantu proses
persuasive, pembentukan pesan untuk meyakinkan perempuan terjun ke ranah ini.
Media sebagai agen sosialisasi dan alat propaganda, memuat informasi mengenai
kebijakan baru yang dibuat oleh pemerintah. Selain itu media kerap kali memuat
informasi yang bisa mempengaruhi perempuan untuk berani terjun ke ranah ini
Memang perjuangan menuju keadilan merupakan perjuangan yang lama dan
berat. Selain itu perjuangan tersebut juga membutuhkan perempuan-perempuan yang
mau bekerja keras, teliti dan fokus terhadap tujuannya serta membutuhkan kekuatan
jiwa dan raga yang besar. Tetapi yang paling penting ialah membutuhkan keberanian
moral untuk menyatakan keyakinan apabila diperlukan dalam situasi tertentu. Kaum
laki-laki Indonesia terutama para pejabatnya lebih dapat mentolelir kritik-kritik dari
kaum wanita. Dengan kata lain sebagai komunikator, perempuan diharapkan tidak
selalu mengatakan “ya” dalam setiap situasi hanya untuk menyenangkan orang lain,
melainkan pada waktunya ia harus berani menyatakan “tidak” meskipun orang lain
bahkan atasannya menjadi tidak senang.
Muted Group Theory merupakan salah satu kajian teori media yang bisa
dijadikan alasan mengapa perempuan seolah dibatasi partisipasinya dalam bidang
politik. Cheris Kramarae (1981) adalah profesor speech communication dan sosiolog di
Universitas Illinois. Dalam penelitiannya mengenai cara-cara perempuan
berkomunikasi dilukiskan di dalam kartun, Kramarae menyimpulkan bahwa bahasa
yang ada adalah merupakan hasil konstruksi dari kaum lelaki.
Oleh karena itu pada teori ini diyakini bahwa perempuan menjadi kaum yang
subordinat sehingga tidak memiliki kekuatan untuk dapat mengungkapkan apa yang
mereka pikirkan. Bahasa sebagai bagian dari budaya tidak digunakan secara sama pada
semua pembicara, karena tidak semua pembicara berkontribusi pada cara formulasi
yang sama. Perempuan (dan anggota kelompok subordinat lainnya) tidak bebas atau
tidak berani laki-laki untuk mengungkapkan apa yang mereka inginkan, kapan dan
dimana mereka menginginkan, karena kata-kata dan norma yang mereka gunakan telah
12Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
diformulasi oleh kelompok laki-laki yang dominan dalam budaya. Asumsi-asumsi yang
ada pada teori ini yaitu:
1. Perempuan memiliki cara pandang yang berbeda dengan laki-laki, hal ini
disebabkan oleh perbedaan pengalaman dan aktivitas antara laki-laki dan
perempuan. Selama ini dominasi politik dimiliki oleh laki-laki dan
menyebabkan keterbatasan perempuan dalam mengekspresikan dirinya dalam
bidang politik. Agar dapat berpartisipasi dalam masyarakat perempuan harus
mentransformasi cara mereka menjadi cara-cara yang dapat diterima oleh laki-
laki.
2. Asumsi ketidakpedulian terhadap pengalaman wanita merupakan masalah unik
gender. Arderner kemudian sadar bahwa mutedness (kebisuan) disebabkan
karena kekurangan kekuasaan (power). Orang-orang yang memiliki sedikit
kekuatan tidak menyadari bahwa masalah bahasa yang mereka gunakan untuk
mengungkapkan persepsi mereka mengalami tekanan. Menurut Kramarae,
pengabaian terus-menerus terhadap kata-kata, dapat membuat pengalaman itu
menjadi unspoken, bahkan unthought. Akibatnya, lama-kelamaan, muted women
akan meragukan validitas pengalaman dan legitimasi perasaan mereka.
3. Pria sebagai gatekeeper komunikasi. Meskipun memiliki begitu banyak
kosakata untuk mendeskripsikan pengalaman feminin, wanita akan tetap di-
muted ketika mode of expression mereka diabaikan. Dalam masyarakat terjadi
pembangunan kultural tentang peran luar biasa pria dengan tidak mengakui atau
mempublikasikan seni, puisi, skenario, public address, dan esay akademik
wanita.
4. Mengasumsikan bahwa dominansi maskulin dalam komunikasi publik adalah
sebuah realitas yang tengah terjadi, Kramarae menyatakan, untuk berpartisipasi
dalam masyarakat, wanita harus mentranslasikan model mereka ke dalam sistem
ekspresi pria yang dipakai masyarakat selama ini. Seperti bicara dengan bahasa
kedua, translasi ini butuh proses yang terus-menerus. Apa yang ingin dikatakan
wanita tidak dapat diungkapkan secara benar-benar tepat dan diterima karena
bahasa yang ada bukanlah buatan mereka.
13Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
Selain teori the Mute Group, Spiral Of Silence Theory dari Noelle-Neumann
(1991,1993) merupakan teori yang menjelaskan mengenai mengapa perempuan
mengalami kebisuan individu/kelompok jika memiliki opini yang menyimpang dari
masyarakat. Hal ini disebabkan oleh ketakutan akan isolasi yang diberikan oleh
masyarakat setelah mereka mengungkapkan pendapatnya. Oleh karena itu, untuk
mendukung opini yang berbeda tersebut, individu/kelompok mencari dukungan dari
lingkungannya dan menggunakan media massa sebagai alat untuk menyampaikan
opini yang mereka miliki. Dalam politik hal tersebut sangat membantu proses
penyampaian opini-opini kritis yang mengusung tema perbaikan kondisi
perempuan.
Contoh Kasus:
Dengan dikeluarkannya kebijakan baru berupa Undang-Undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu pasal 65 ayat 1, yang memperhatikan keterwakilan perempuan dalam tiap parpol sebesar 30 %, dan Undang-Undang No.2 tahun 2008, serta Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang jaminan peluang peningkatan keterwakilan perempuan di arena politik, telah meyakinkan perempuan untuk berani terjun di kancah politik. Hal ini seolah akan meruntuhkan stereotip mengenai tertutupnya peluang bagi perempuan. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan akan semakin banyak perempuan yang berani menunjukkan kemampuannya untuk bisa menjadi politisi sebaiknya laki-laki. Dalam hal ini, peran media tidak dapat dinafikkan dalam upaya membantu proses persuasive untuk meyakinkan perempuan terjun ke ranah ini. Media sebagai agen sosialisasi dan alat propaganda, memuat informasi mengenai kebijakan baru yang dibuat oleh pemerintah. Selain itu media kerap kali memuat informasi yang bisa mempengaruhi perempuan untuk berani terjun ke ranah ini.
Salah satu media yang sangat mendukung kesetaraan gender dalam bidang politik adalah Jurnal Perempuan. Selain Jurnal Perempuan, berbagai situs atau blog yang ada di internet banyak yang memuat artikel mengenai partisipasi politik perempuan. Peluang yang dijamin oleh Undang-undang ini dan didukung peran media yang sangat signifikan dalam proses sosialisasi dan propaganda, telah mempengaruhi kaum perempuan untuk berani terjun ke ranah politik. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah calon legislative perempuan pada pemilu 2004 dan pemilu 2009. Data mengenai perbandingan jumlah calon legislative tahun 2004 dan 2009 yaitu tercatat pada tahun 2004, jumlah calon Legislatif perempuan DPR RI adalah 1845 orang (30.53
14Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
%). Kenaikan jumlah partisipasi politik perempuan untuk menjadi calon legislative terlihat pada pemilu 2009. Total Calon legislative pada Daftar Calon Lagislatif Tetap yang dikeluarkan oleh KPU adalah sebanyak 11.301 orang. Dari jumlah itu, 7.391 di antaranya laki-laki, sedangkan 3.910 adalah perempuan dengan prosentase caleg perempuan 34,60 persen. Dari pemaparan di atas terlihat kenaikan jumlah partisipasi politik perempuan untuk menjadi calon legislative DPR RI pada pemilu 2004 dan 2009. Hal ini terjadi karena ada peran media di dalamnya, sehingga perempuan Indonesia memiliki keyakinan untuk mewakili kelompoknya dan meningkatnya media komunikasi politik serta alat persuasive serta alat propaganda dalam kampanye.
15Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jika perempuan didukung untuk menjadi komunikator politik maka akan terjadi
kenaikan yang signifikan dalam jumlah perempuan yang berpartisipasi di bidang
politik, maka nuansa politik akan lebih lembut dan menyejukkan seiring dengan
konsep bahasa feminim, serta dapat mengurangi kekerasan dan konflik. Untuk
mencapainya banyak upaya harus dilakukan, misalnya merumuskan undang-undang
politik yang ramah perempuan, dan melakukan gerakan penyadaran bagi
peningkatan representasi melalui pelatihan dan media informasi secara berimbang.
Pada kenyataannya, seorang perempuan yang terdidik akan semakin tinggi
kesadaran politiknya. Keterdidikan memberi pengaruh pada harga diri, rasa percaya
diri, citra diri,serta pandangan positif terhadap dirinya dan dunia luar. Kesadaran
perempuan dalam berpolitik dapat menentukan kemajuan bangsa, dengan
menciptakan nuansa politik baru yang membantu penyelesaian masalah-masalah
sosial, politik dan kemasyarakatan.
B. Saran
Dengan harapan yang besar bahwa dengan adanya tulisan ini dapat membantu
agar perempuan bisa lebih diperhitungkan lagi dalam segala aspek kehidupan. Bukan
hanya menjadi seorang yang mengurus rumah dan lemah di mata laki-laki. Diskriminasi
terhadap perempuan harus dihapuskan karena ketidaksetaraan yang muncul antara
perempuan dan laki-laki dikonstruksi oleh budaya setempat. Kegiatan politik dapat
dilakukan oleh perempuan, mulai dari sikap diam yang mengerti, kemudian berani
bicara, menjadi pressure groups, sampai menjadi aktivis penuh dalam partai politik.
16Tugas minggu ke dua KOMUNIKASI POLITIK
Daftar Pustaka:
1. Nimmo, Dan. 2006. Komunikasi Politik, khalayak dan Efek. Remaja
Rosdakarya. Bandung
2. Comb, James E. & Dan Nimmo. 1993. Propaganda Baru – kediktatoran
perundingan politik. Remaja Rosdakarya. Bandung
3. Samovar, Larry & Richard E. Porter, Nemi Jain. 1981. Understanding
Intercultural Communication. Wadsworth. California
4. Croteau & Hoynes, 1997. Media/Society.
5. Subiakto, Henry & Rachmah Ida. 2012. Komunikasi Politik, Media, dan
Demokrasi. Kencana Prenada Media Grup. Jakarta
6. Luhulima, Sudiarti Achie, 2007. Hak Asasi Perempuan, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta
7. Primariantari, Rika P, Ilsa N, Gail M, 1998. Perempuan Dan Polotik Tubuh
Fantastis, Kansius, Yogyakarta
8. Najlah Naqiyah, 2005. Otonomi Perempuan , Bayumedia Publishing, Bandung
9. http://teddykw1.wordpress.com/2008/03/03muted-group-theory-teori-
kelompok-yang-dibungkam/
Top Related