perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KOMUNIKASI DAN AKULTURASI
(Study Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antar Budaya Tionghoa dan Jawa
dalam Proses Akulturasi pada Kelompok Barongsai
di Yayasan Tripusaka Solo)
Disusun Oleh :
HENRICUS HANS S.P
D0206117
Skripsi
Disusun untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai Gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
ABSTRAK
HENRICUS HANS S.P, D 0206117, KOMUNIKASI DAN AKULTURASI (Study Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antar Budaya Tionghoa dan Jawa dalam Proses Akulturasi pada Kelompok Barongsai di Yayasan Tripusaka Solo), Skripsi Jurusan Ekstensi Ilmu Komunikasi Massa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilm Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011.
Barongsai sebagai salah satu budaya Tionghoa sudah selayaknya apabila dimainkan oleh orang dari etnis Tionghoa. Akan tetapi hal yang sebaliknya terjadi di yayasan Tripusaka Solo. Sehubungan dengan era reformasi ini, kelompok Barongsai yang dipimpin oleh Adjie Chandra ini hampir 80% pemainnya berasal dari etnis Jawa. Sebagai salah satu kebudayaan Tionghoa, dan bisa dikatakan telah menjadi symbol keberadaan dari etnis Tionghoa di Indonesia sungguh menarik mengetahui hal tersebut, suatu budaya khas Tionghoa namun dengan pemain mayoritas etnis Jawa.
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Populasinya adalah anggota (pemain) kelompok Barongsai yang terdiri dari etnis Tionghoa dan etnis Jawa. Narasumber dicari dengan teknik snowball sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisa data menggunakan interaktif (interactive model of analysis).
Pengakuan identitas kultural dan eksistensi etnis dalam kelompok Barongsai Tripusaka, dapat diketahui dari empat indikator, yaitu: 1) Penentuan peran, 2) Prasangka, 3) Membangun citra diri, 4) Hambatan dan solusi. Perkumpulan barongsai tak hanya didominasi oleh pemain dari Tionghoa tapi pembauran telah terjadi di setiap lini. Pemain barongsai Tripusaka merupakan masyarakat setempat dan memang pembauran sudah terlihat sekarang. Harapan ke depan, karena 90% pemain barongsai di Indonesia adalah etnis Jawa, maka diharapkan dapat memotivasi etnis Tionghoa untuk dapat turut serta mengembangkan kebudayaannya, dan hal-hal yang bisa lakukan untuk mewujudkan yaitu hubungan yang baik antar etnis yaitu harus bisa membatasi diri kita, harus saling memahami karakter tiap orang, dan saling instropeksi diri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
MOTTO
Orang-orang hebat bisa dikenali dari 3 hal :
Murah hati dalam perencanaan
Humanis dalam pelaksanaan
dan
Tidak berlebihan dalam keberhasilan
(Otto von Bismarck, 1815-1898, Kanselir Jerman)
Apa yang tidak dimulai hari ini tidak akan pernah selesai esok.
(Johann Wolfgang von Goethe ,1749-1832 , pujangga dan dramawan Jerman)
Jadilah diri Anda sendiri. Jika Anda menjadi orang lain, kemudian untuk apa
orang lain membutuhkan Anda?
(Bernadette Peters, aktris Amerika Serikat)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan pada Ayah dan Ibu tercinta
(Ya Tuhan terimakasih atas cinta-Mu yang telah mempersatukan kedua orang
tua saya, mereka sungguh baik hati telah melahirkan, mendidik, dan
menyekolahkan saya. Amin)
Kedua Adik saya
(Terimakasih ya Tuhan telah memberikan teman hidup selamanya bagi saya)
Dyah Purnamawati
Pak Hamid
Pak Adjie Chandra
Fredy Kurniawan
Teman-teman El Jomblo
(Ujang, Fahmi, Randy, Ella, Nopek, Intan, Dian)
Teman-teman Komunikasi 2006
(Kita saudara selamanya)
Teman-teman WIMAS
Teman-teman Tripusaka
(Mas Bony, Mas Agus, Sandy, dkk)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat
dan bimbinganNya sehingga penulis mampu menyusun dan menyelesaikan skripsi
yang berjudul : “KOMUNIKASI DAN AKULTURASI (Study Deskriptif
Kualitatif Komunikasi Antar Budaya Tionghoa dan Jawa dalam Proses
Akulturasi pada Kelompok Barongsai di Yayasan Tripusaka Solo)” ini.
Dalam penyusunan skripsi ini, banyak kendala yang dihadapi penulis. Namun
berkat bantuan berbagai pihak, kendala tersebut masih dapat diatasi. Maka dalam
kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas
bantuan dan bimbingan kepada :
1. Drs. H. Supriyadi SN, SU, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Drs. Hamid Arifin, M.Si, selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan.
3. Bapak dan Ibu dosen FISIP UNS yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan
kepada penulis.
4. Bapak dan Ibuku yang telah membantu penulis baik moril maupun spirituil
sehingga skripsi ini dapat selesai.
5. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan dalam penulisan skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
Dalam menyusun skripsi ini, meskipun sudah dengan penuh perhatian, namun
sudah pasti karya manusia tidaklah ada yang sempurna. Untuk itu penulis mohon
maaf bila masih terdapat kekurangan dan penulis juga mengharapkan kritik dan
saran yang membangun. Semoga karya ini dapat berguna bagi siapapun yang
membacanya.
Surakarta, Maret 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ............................................................................................................. i
ABSTRAK ....................................................................................................... ii
PERSETUJUAN .............................................................................................. iii
PENGESAHAN ............................................................................................... iv
MOTTO ........................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 6
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 7
1. Komunikasi .......................................................................... 7
2. Budaya dan Kebudayaan ...................................................... 14
3. Masyarakat Majemuk ........................................................... 16
4. Akulturasi ............................................................................. 17
5. Komunikasi Antar Budaya ................................................... 19
6. Etnis Tionghoa dan Etnis Jawa ............................................ 26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
F. Kerangka Pemikiran ................................................................. 29
G. Metode Penelitian .................................................................... 31
BAB II. GAMBARAN UMUM YAYASAN TRIPUSAKA....................... 37
A. Sejarah Perkembangan Yayasan Tripusaka ............................. 37
B. Atraksi Kesenian Barongsai ..................................................... 44
C. Unsur Pendukung Atraksi ........................................................ 50
BAB III. PENYAJIAN DATA ..................................................................... 55
BAB IV. ANALISIS DATA ......................................................................... 65
BAB V. KESIMIPULAN DAN SARAN .................................................... 79
A. Kesimpulan .............................................................................. 79
B. Saran......................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman 1. Model Komunikasi Antar Budaya ............................................................. 21
2. Skema Kerangka Pemikiran ....................................................................... 30 3. Model Analisis Interaktif ........................................................................... 34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini kesenian Barongsai yang berasal dari daratan Cina
semakin banyak menarik perhatian dan digemari masyarakat, dari Balita
hingga Manula dari para majikan sampai karyawan, dari masyarakat kelas
bawah sampai para pelajar kesemuanya akan berlomba memberikan Angpao
saat Barongsai selesai beratraksi dan berada didepan mereka.
Kesemuanya ini terjadi berkat kebijakan yang dikeluarkan oleh
mantan Presiden R.I saat itu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lewat
Keppres no. 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres 14 / 1967 yang isinya pen
Diskriminasian terhadap keturunan Tionghoa dengan dilarangnya pelaksanaan
segala macam kegiatan/ kepercayaan dan adat tradisi dan kebudayaan
Tionghoa yang imbasnya saat itu sangat terasakan pahit dan menderita bagi
etnis Tionghoa. Untunglah Keppres 6 / 2000 dari Gus Dur segera turun
sehingga terjadilah perubahan yang dratis bagi kaum minoritas Tionghoa
sehingga kini kita lihat (khususnya) Barongsai dan Liong bisa tampil kapan
saja dan dimanapun.
Kesenian Barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad 17,
ketika terjadi migrasi besar dari Cina Selatan. Barongsai di Indonesia
mengalami masa maraknya ketika zaman masih adanya perkumpulan Tiong
Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah
di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan Barongsai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Perkumpulan Barongsai di Indonesia sangat erat kaitannya dengan pasang
surut perkembangan etnis Tionghoa di Indonesia.
Pada era reformasi ini, sebuah Group Barongsai di Surakarta yang
bernaung di bawah Panji Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN)
Surakarta dan di bawah pembinaan Yayasan Pendidikan Tripusaka mulai
mencoba bangun untuk meraih prestasi dan mengangkat nama kota Surakarta
dan MAKIN Surakarta khususnya kepermukaan suara keberhasilan. Walaupun
berangkat dari nol (bawah), namun Group yang diberi nama Barongsai
Tripusaka ini sedemikian mengejutkan prestasinya bukan hanya sebagai juara
tingkat Kotamadya maupun Propinsi Jawa Tengah tetapi pernah pula meraih
prestasi sebagai Juara pertama Festival Barongsai se Jawa Bali yang
dilaksanakan di Purwokerto pada bulan Juni 2002, juga juara Harapan I pada
Borobudur Internasional Barongsai Festival tahun 2003. Bahkan mantan
Presiden Gus Dur berkenan menyempatkan tanda tangannya di kepala Lion
(Naga) dan 2 kepala Barongsai milik Group Tripusaka.
Barongsai merupakan suatu atraksi yang berbentuk tarian, dimana
para pemainnya yang berjumlah 2 (dua) orang mengenakan topeng kepala dan
kostum/badan berbentuk Singa yang disebut Sam Sie atau Barongsai, namun
ada juga berbentuk Ular Naga panjang (Liong) yang dibuat dari kerangka
bambu/rotan tertutup kain, diberi penyangga tongkat dari bambu (rotan) dan
dimainkan oleh 9 (sembilan) orang.
Untuk Barongsai gerakan yang ditampilkan saat pentas yang utama
bertumpu pada kekuatan kuda-kuda (Ma Shi) pemainnya oleh karena itu para
pemain Barongsai dan Liong biasanya terlebih dahulu harus berlatih jurus Wu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Shu (bela diri Cina) agar penampilannya semakin sempurna. Namun walaupun
demikian gerakan yang ditampilkan Barongsai sangat dominan dengan
gerakan akrobatik, hal tersebut bisa kita lihat pada permainan Barongsai diatas
bangku dan tonggak besi.
Dalam pementasannya Barongsai dan Liong dapat dipadukan (tampil
bersama) atau dimainkan terpisah. Menurut falsafah Cina Kuno tarian
Barongsai yang dipadukan dengan tari Liong bermakna memadukan/
menyelaraskan unsur Yin dan Yang (Negatif dan Positif), karena dunia ini
digambarkan terdiri dari 2 unsur Negatif dan Positif, Malam dan Siang, Hitam
dan Putih, Wanita dan Pria.
Kesenian Barongsai dan Liong biasanya ditampilkan pada hari raya
keagamaan Khonghucu (khusus) seperti Implek, Cap Go Meh, Tiong Chiu
atau hari kelahiran Nabi Khongcu (27 bulan 8 Implek) biasanya sekitar
September/ Oktober, kesenian ini dimainkan di sepanjang jalan karena
dipercaya mampu menghalau segala unsur jahat dan negatif di sepanjang jalan
yang dilewatinya sehingga akan membawakan kedamaian dan kesejahteraan
bagi yang melihatnya.
Khusus untuk Group Tripusaka Surakarta, yang anggotanya mayoritas
berasal dari etnis Jawa, mempunyai tiga misi, yaitu misi ritual, misi
entertaintment (show), dan misi olahraga. Dalam misi ritual, Barongsai dan
Liong yang dimainkan biasanya dominan dengan warna Hitam dasn Putih atau
Merah dan Putih sebagai simbol unsur Yin dan yang karena dipercaya bisa
menolak bala. Barongsai dan Liong yang akan dimainkan sebelumnya dibawa
ke Klenteng atau Lithang (tempat ibadah Khonghucu) untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
disembahyangkan dan diberi Hu (kertas kuning bertuliskan huruf Mandarin)
yang dipercaya sebagai jimat penolak bala di kepala Liong dan Barongsai
diikatkan seuntai daun Jeruk yang dipercaya akan membawa kesejukan bagi
manusia.
Selanjutnya Barongsai dan Liong akan dibawa/diarak berkeliling kota
dimana sepanjang jalan banyak orang yang memasang Angpao (bungkusan
Merah berisi uang) yang digantung di depan/diatas rumah dan kemudian akan
diambil/disambar oleh Liong dan Barongsai yang melewatinya. Masyarakat
percaya bahwa Angpao yang mereka berikan sebagai ungkapan kegembiraan
(warna Merah melambangkan ketulusan, kebahagiaan dan rejeki) dan tolak
bala ini akan mendapatkan balasan dari Tuhan berpuluh kali lipat, itulah
sebabnya Group Barongsai banyak memperoleh dana lewat Angpao pada hari
raya tertentu. Untuk Group Tripusaka sudah kesekian kalinya mendapat
giliran kirab Implek selalu di sekitar Coyudan, Singosaren dan Nonongan.
Dalam misi entertainment (show), warna yang digunakan Barongsai
maupun Liong bebas bahkan terkesan menyolok berwarna-warni, acara ini
bisa disaksikan setiap saat yaitu pada Pesta Pernikahan, Pesta Ulang Tahun,
Promosi dan lain sebagainya, tergantung kepada permintaan konsumen,
biasanya warna yang disukai adalah merah. Merah melambangkan
kebahagiaan, ketulusan dan rejeki berlimpah maka sering kita lihat warna
Merah dominan dalam kehidupan suku Tionghua. Kuning melambangkan
keagungan, kewibawaan dan kesuksesan, dan Biru melambangkan
keharmonisan dan kedamaian. Hijau melambangkan kesejukan dan
kerukunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Pada misi olahraga, setiap tahun biasanya Group Tripusaka mengikuti
berbagai lomba/festival yang diadakan baik oleh PBWI (Pengurus Besar
Wushu Indonesia), PERSOBARIN (Persatuan Seni Olah Raga Barongsai
Indonesia), PKBLSI (Persatuan Kungfu, Liong & Barongsai Seluruh
Indonesia) dan berbagai Federasi Barongsai lain baik tingkat Lokal, Propinsi,
Nasional bahkan ditingkat Internasional/dunia. Setiap tahunnya selalu ada
Festival Liong dan Barongsai di Malaysia.
Barongsai sebagai salah satu budaya Tionghoa sudah selayaknya
apabila dimainkan oleh orang dari etnis Tionghoa. Akan tetapi hal yang
sebaliknya terjadi di yayasan Tripusaka Solo. Sehubungan dengan era
reformasi ini, kelompok Barongsai yang dipimpin oleh Adjie Chandra ini
hampir 80% pemainnya berasal dari etnis Jawa. Sebagai salah satu
kebudayaan Tionghoa, dan bisa dikatakan telah menjadi symbol keberadaan
dari etnis Tionghoa di Indonesia sungguh menarik mengetahui hal tersebut,
suatu budaya khas Tionghoa namun dengan pemain mayoritas etnis Jawa.
Penelitian mengenai akulturasi komunikasi budaya antar etnis pernah
dilakukan oleh Jelena Durovic dari Roskilde University Denmark dalam jurnal
internasional yang berjudul “Intercultural Communiation and Ethni Identity”.1
Selain itu Robert Siburian, juga mengadakan penelitian yang sama dengan
judul: “Etnis Cina di Indonesia Fakta Komunikasi Antar Budaya”.2
Berdasarkan kenyataan ini sekiranya dapat memberikan sebuah
paradigma baru kepada masyarakat umum, dan juga membuat peneliti tertarik
untuk lebih mengetahui proses-proses komunikasi budaya etnis Tionghoa dan
1 Jelena Durovic. http://www.immi.se/intercultural/nr16/durovic.htm. 2 Robert Siburian. www.balitbang.depkominfo.go.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Jawa dalam proses akulturasi pada kelompok Barongsai di Yayasan Tripusaka
Solo.
B. Perumusan Masalah
Kebudayaan adalah suatu hal yang indah, namun juga terkadang
memunculkan sebuah permasalahan yang berujung pada konflik yang berbau
SARA. Selama ini di Indonesia telah banyak terjadi kerusuhan yang
didasarkan oleh permasalahan tersebut, seperti kerusuhan yang terjadi di
Ambon, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lainnya. Beberapa permasalahan
tersebut melibatkan etnis Tionghoa. Namun dengan adanya kelompok
Barongsai di Yayasan Tripusaka yang mayoritas pemainnya adalah etnis Jawa,
sekiranya dapat memberikan sebuah paradigma baru kepada orang banyak.
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah ditarik perumusan masalahnya,
yaitu : “Bagaimana komunikasi antar budaya Tionghoa dan Jawa dalam
akulturasi pada kelompok Barongsai di Yayasan Tripusaka Solo? ”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan atau memaparkan
komunikasi antar budaya Tionghoa dan Jawa dalam akulturasi pada kelompok
Barongsai di Yayasan Tripusaka Solo, terutama pada aspek: pengirimnya
siapa, pesannya apa, saluran/medianya apa, penerimanya siapa, dan efeknya
apa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain :
1. Manfaat teoritis
Dapat memberikan gambaran tentang komunikasi antarbudaya etnis
Tionghoa dan etnis Jawa yang mendukung proses pembauran antar etnis
dengan melihat pada fokus kajian komunikasi budaya dan bentuk
akulturasi.
2. Manfaat praktis
a. Hasil penelitian ini kiranya dapat digunakan sebagai referensi bagi
masyarakat maupun bagi peminat kebudayaan untuk lebih memahami
bahwa pembauran antar etnis dapat melalui kebudayaan seni seperti
Barongsai.
b. Dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi peneliti berikutnya yang
mengadakan penelitian dengan tema serupa.
E. Tinjauan Pustaka
1. Komunikasi
Menurut kodratnya manusia secara pribadi masing-masing
merupakan individu-individu yang satu sama yang lainnya memiliki
kekhasan tetapi secara umum mempunyai kesamaan, yaitu sebagai mahluk
sosial. Sebagai mahluk sosial maka dalam setiap kehidupannya, manusia
tidak dapat hidup sendiri. Dengan kata lain manusia akan selalu
membutuhkan bantuan dari sesamanya agar dapat bertahan demi
kelangsungan hidupnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Aristoteles pernah mengatakan pendapatnya bahwa manusia itu
adalah zoom politicon, yang artinya adalah manusia merupakan mahluk
sosial yang selalu hidup berkelompok atau paling tidak cenderung mencari
teman untuk hidup bersama. Maka manusia tidak akan dapat hidup
menyendiri, sebab harkat dan martabatnya sebagai manusia normal tidak
mungkin tumbuh dan berkembang tanpa bantuan dari orang lain.
Hubungan antar manusia tersebut adalah interaksi sosial.
Sedangkan interaksi sosial dapat terlaksana karena adanya komunikasi
antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Dari sini maka
dapat diketahui bahwa komunikasi sebagai sebuah proses dijadikan sarana
yang efektif dalam berinteraksi.
Pada dasarnya manusia telah melakukan komunikasi sejak lahir di
dunia, tindakan komunikasi ini terus-menerus dilakukan selama proses
kehidupannya. Melalui komunikasi seseorang menyampaikan apa yang
ada dalam pemikirannya atau hati nuraninya kepada orang lain baik secara
lisan maupun tulisan.
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication
berasal dari kata Latin communication, dan berasal dari kata communis
yang berarti sama. Sama disini diartikan sebagai sama makna. Definisi
ringkas dari komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan yang
diajukan Harold Lasswell yaitu Who Says What In Which Channel To
Whom With What Effect atau Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?.3 Berdasarkan definisi
Laswell ini dapat diturunkan menjadi lima unsur penting komunikasi,
yaitu:
a. Sumber (source) sering disebut pengirim (sender) atau penyandi
(encoder), komunikator (communicator), pembicara (speaker), yaitu
pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk
berkomunikasi.
b. Pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima
c. Saluran atau media, yaitu alat atau wahana yang digunakan sumber
untuk menyampaikan pesannya kepada penerima.
d. Penerima (receiver) atau sarana (destination), komunikate
(communicatee), penyandi-balik (decoder), khalayak (audience),
pendengar (listener), penafsir (interpreter), yaitu orang yang menerima
pesan dari sumber.
e. Efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan
tersebut.
Pengertian komunikasi itu sendiri secara sederhana seperti yang
dirumuskan oleh Carl Hovland adalah sebagai berikut :
Komunikasi adalah suatu proses di mana seseorang atau komunikator mengoperasikan perangsang-perangsang (biasanya berupa lambang kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang lain atau komunikan.4 Dalam pengertian tersebut di atas, yang dimaksud dengan
pengoperan perangsang-perangsang yang berupa lambang kata-kata adalah
3 Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung, Remadja Rosdakarya, 2005), hal. 62-65. 4 Onong U. Effendy. Komunikasi dan Perubahan, (Bandung, Alumni, 2002) hal. 10.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
perangsang-perangsang yang dapat mempengaruhi pendapat, sikap serta
tingkah laku seseorang. Tetapi tidak selalu berupa lambang kata-kata
dalam perangsang orang lain, dapat juga berupa anggukan atau gelengan
kepala, senyuman, kedipan mata dan lain sebagainya dalam usaha
mengubah tingkah laku orang lain.
Komunikasi haruslah berusaha untuk menjadi efektif, komunikasi
efektif merupakan hasil pemahaman antara komunikator dan penerima.
Komunikasi berhasil hanya bila komunikator dapat menyampaikan
pengertian yang dimaksud kepada penerima. Komunikasi mencari upaya
untuk mencapai suatu “kesamaan” dengan penerima. Oleh karena itu,
dapat diartikan komunikasi sebagai pengalihan informasi dan pemahaman
melalui penggunaan simbol-simbol umum. Bisa verbal atau non verbal,
informasi bisa mengalir ke atas dan ke bawah (diagonal). Komunikasi
pengiriman informasi dan pemahaman menggunakan simbol-simbol verbal
atau non verbal.
“Proses komunikasi dapat diartikan sebagai transfer informasi atau
pesan-pesan (messages) dari pengirim pesan sebagai komunikator dan
kepada penerima pesan sebagai komunikan”5. Tujuan dari proses
komunikasi tersebut adalah tercapainya saling pengertian (mutual
understanding) antara kedua belah pihak. Sebelum pesan-pesan tersebut
dikirim kepada komunikan, komunikator memberikan makna-makna
dalam pesan tersebut (decode) yang kemudian ditangkap oleh komunikan
dan diberikan makna sesuai dengan konsep yang dimilikinya (encode).
5 Rosadi Ruslan. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, (Jakarta, Raja Grafindo, 2006), hal. 81.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Proses komunikasi menurut Schramm terdiri dari sembilan elemen,
yaitu :
a. Pengirim, pihak yang mengirim pesan kepada pihak lain (juga disebut sumber atau komunikator).
b. Penulisan dalam bentuk sandi (encoding) adalah proses mengungkapkan pendapat ke dalam bentuk simbolik.
c. Pesan, serangkaian simbol yang dikirim oleh pengirim. d. Media, saluran-saluran komunikasi yang dipakai untuk
menyampaikan pesan-pesan dari pengirim kepada penerima. e. Pembacaan sandi (decoding), proses ketika penerima mengartikan
simbol-simbol yang dikirim oleh pengirim. f. Penerima, pihak yang menerima pesan yang disampaikan oleh
pihak lain (disebut juga pendengar atau tujuan). g. Tanggapan, serangkaian reaksi dari penerima setelah melihat atau
mendengar pesan-pesan yang dikirimkan oleh pihak pengirim. h. Umpan balik, bagian dari tanggapan penerima bahwa penerima itu
mengkomunikasikan kembali kepada pengirim. i. Gangguan atau distorsi yang tak terduga selama proses komunikasi,
mengakibatkan penerima memperoleh pesan berbeda dari yang dikirimkan pengirim.6
Suatu proses komunikasi dapat dikatakan berhasil jika dapat
menimbulkan efek positif dan signifikan bagi penerimanya. Seperti
dipahami dari definisi komunikasi yang diajukan oleh Carl I. Hovland
yaitu komunikasi adalah proses yang memungkinkan seorang
(komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang
verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate).
Berdasarkan definisi Hovland tersebut tampak bahwa proses
komunikasi bukanlah semata-mata hanya proses penyaluran pesan saja
atau yang disebut komunikasi satu arah, namun lebih daripada itu
diharapkan muncul juga adanya efek atau dampak tertentu (feedback) dari
proses komunikasi yang dilakukan komunikator tersebut. Efek yang
diharapkan muncul dari proses komunikasi dibagi menjadi tiga yaitu, efek
6 Philip Kotler. Manajemen Pemasaran, (Jakarta, Erlangga, 1998), hal. 244).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
kognitif yang mengacu efek perubahan pada pikiran atau pertambahan
pengetahuan. Lalu efek afektif atau berhubungan dengan sikap dan persepsi
seseorang serta efek behaviorioral yaitu efek yang mengacu pada
perubahan perilaku dan tindakan.
Situasi-situasi sosial tertentu tersebut menyebabkan komunikasi
berada dalam konteks-konteks tertentu. Secara luas, konteks berarti semua
faktor di luar orang-orang yang berkomunikasi. Pertama, aspek bersifat
fisik seperti keadaan lingkungan, cuaca, suhu, bentuk, ruangan, dan jumlah
peserta komunikasi. Kedua, aspek psikologis, seperti sikap, prasangka, dan
emosi peserta komunikasi. Ketiga, aspek sosial, seperti norma kelompok,
nilai sosial, dan karakteristik budaya. Dan keempat, aspek waktu, yaitu
kapan waktu berkomunikasi.
Komunikasi dalam kategorisasi berdasarkan tingkat (level)
digunakan untuk melihat konteks komunikasi, dimulai dari komunikasi
yang melibatkan jumlah peserta komunikasi paling sedikit hingga yang
melibatkan jumlah peserta paling banyak. Terdapat empat tingkat
komunikasi yang disepakati para pakar, yaitu komunikasi massa,
komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi, dan komunikasi
kelompok. Tingkat-tingkat komunikasi tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa
modern, yang meliputi surat kabar, siaran radio, siaran televisi yang
ditujukan kepada umum dan film yang dipertunjukkan di gedung-
gedung bioskop7.
7 Onong Ucjana Effendy. Op.Cit, hal. 48
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Dari definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri
khusus dari komunikasi massa adalah penggunaan media massa,
seperti surat kabar, radio, televisi dan film dalam penyampaian pesan-
pesannya kepada khalayak. Sehubungan dengan ciri khusus dari
komunikasi massa tersebut di atas, bahwa penggunaan media massa
dapat menimbulkan feed back atau umpan balik bagi khalayak. Feed
back sendiri dalam ruang lingkup komunikasi adalah merupakan
bagian dari proses komunikasi.
b. Komunikasi Antarpribadi (Interpersonal Communication)
Komunikasi antarpribadi didefinisikan oleh Joseph A. Devito
dalam bukunya The Interpersonal Commuication Book, “Proses
pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antar dua orang atau
sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa
umpan balik seketika”. (The process of sending and receiving
messages between two persons, or among or small group of person,
with some effect and some immediate feedback).8
Komunikasi antarpribadi juga dapat didefinisikan sebagai
komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang
memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara
langsung, baik secara verbal maupun nonverbal.9
8 Onong Ucjana Effendy. Ilmu, Teori dan Filsafat. (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000) hal. 30. 9 Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. (Bandung, Remadja Rosdakarya), hal. 73.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
c. Komunikasi Organisasi
Komunikasi organisasi (organizational communication) terjadi
dalam suatu organisasi, bersifat formal dan juga informal, dan
berlangsung dalam suatu jaringan yang lebih besar daripada
komunikasi kelompok. Komunikasi juga melibatkan komunikasi
antarpribadi. Komunikasi formal adalah komunikasi menurut struktur
organisasi, yakni komunikasi horisontal, sedangkan komunikasi
informal tidak bergantung pada struktur organisasi.
d. Komunikasi Kelompok
Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan
bersama, yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan
bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka
sebagai bagian dari kelompok tersebut. Dengan demikian, komunikasi
kelompok tertuju pada komunikasi yang dilakukan kelompok kecil
tersebut (small-group communication). Komunikasi kelompok dengan
sendirinya juga melibatkan komunikasi antarpribadi, karena masing-
masing kelompok tersebut juga melakukan komunikasi.
2. Budaya dan Kebudayaan
Budaya merupakan suatu pola hidup yang menyeluruh, suatu cara
hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang dan diwariskan dari generasi.10 Budaya bukanlah sesuatu yang
10 Ibid, hal. 6-7.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
dimiliki sebagian orang yang tidak dimiliki oleh sebagian orang lainnya,
ini berarti budaya dimiliki oleh seluruh manusia dan dengan demikian
adalah sebagai suatu faktor pemersatu. E.B. Taylor mendefinisikan budaya
sebagai keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan,
seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan atau
kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh anggota-anggota suatu
masyarakat.11
Kata ‘budaya’ dalam kata ‘kebudayaan’ dari bahasa Sansekerta
‘buddhayah’ yang berarti akal budi. Akal budi tidak lain dalah kata
intelektual (kognitif) sekaligus di dalamnya terkandung unsur-unsur
perasaan (afektif).12 Koentjaraningrat menyebutkan bahwa ada tujuh unsur
kebudayaan yang universal, yaitu (1) bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3)
organisasi sosial; (4) sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata
pencaharian hidup; (6) sistem religi; (7) kesenian.13 Ketujuh unsur tersebut
menjelma menjadi tiga wujud kebudayaan, yaitu sebagai suatu kompleks
gagasan, konsep dan pikiran manusia, sebagai wujud suatu komplek
aktivitas, dan wujud sebagai benda.14
Budaya dalam hubungannya dengan komunikasi tidaklah dapat
dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa berbicara
dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna
11 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya (Bandung, Remadja Rosdakarya), hal. 56. 12 Andrik Purwanto. Komunikasi Multikultural (Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2003), hal. 95. 13 Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. (Jakarta, Rineka Cipta, 1990), hal. 203-204. 14 Alo Liliweri. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001), hal. 159.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim,
memperhatikan dan menafsirkan pesan.15
3. Masyarakat Majemuk
Dalam interaksi sosial, masyarakat adalah sebuah sistem di mana
terdapat interaksi antar komponen baik individu, kelompok, atau lembaga-
lembaga.16 Masyarakat dalam bahasa Inggris disebut dengan soiety yasng
berasal dari kata latin sosious yang berarti kawan. Istilah masyarakat
berasal dari akar kata arab “syaraka” yang berarti ikut serta, berpartisipasi,
atau “masyarakat” yang berarti saling bergaul, sehingga masyarakat dapat
didefinisikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terikat
oleh suatu rasa identitas bersama.17.
Lebih jelas lagi Kontjaraningrat memberikan penjelasan tentang
masyarakat, bahwa masyarakat memang sekumpulan manusia yang saling
“bergaul” atau istilah ilmiahnya saling “berinteraksi”. Suatu kesatuan
manusia dapat mempunyai prasarana melalui apa warga-warganya dapat
saling berinteraksi, tidak semua kesatuan manusia yang berinteraksi itu
disebut masyarakat karena suatu masyarakat harus mempunyai suatu
ikatan yang khusus. Ikata yang membuat suatu kesatuan manusia yaitu
pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam
15 Ibid, hal. 19. 16 Andrik Purwasito. Op.Cit. hal. 95. 17 Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta, Rineka Cipta, 1990), hal. 143.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
batas kesatuan itu.18 Dalam definisi tersebut dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup manusia atau bisa
disebut dengan sekelompok manusia yang mendiami suatu daerah tertentu
yang tidak dapat hidup sendiri-sendiri dengan kata lain mereka hidup
bersama dan saling membutuhkan di mana mereka mempunyai hubungan
baik antar sesama secara terus menerus dengan diikat oleh norma-norma
dan adat istiadat yang diakui ditaati dan dianut oleh warganya demi
keberlangsungan hidup bersama.
4. Akulturasi
Akulturasi banyak berkenaan dengan usaha menyesuaikan diri
dengan menerima pola-pola dan aturan-aturan komunikasi dominan.
Akulturasi secara umum dapat didefinisikan sebagai proses di mana suatu
kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada
unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa
sehingga unsur kebudayaan asing lambat laun dapat diterima dan diolah ke
dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu sendiri.
Akulturasi merupakan suatu proses yang dilakukan satu etnis
tertentu yang disebut Young Yun Kim sebagai ‘imigran’ untuk
menyampaikan informasi mengenai kebudayaannya agar dapat diterima
oleh masyarakat pribumi, yang akhirnya mengarah kepada asimilasi.
Asimilasi merupakan derajat tertinggi akulturasi yang secara teoritis
18 Ibid, hal. 144.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
mungkin terjadi.19 Hal ini berarti bahwa secara bertahap masyarakat
pribumi belajar menciptakan situasi-situasi dan relasi-relasi yang tepat
dalam menerima budaya imigran sejalan dengan berbagai transaksinya
yang dilakukan dengan orang lain. Sehingga pada saatnya, masyarakat
pribumi akan menggunakan cara-cara berperilaku orang imigran untuk
menyesuaikan diri dengan pola-pola yang sesuai dengan orang imigran.
Perubahan perilaku juga terjadi ketika seorang pribumi menyimpang dari
pola-pola budaya lama yang dianutnya dan mengganti pola-pola lama
tersebut dengan pola-pola baru dalam budaya imigran.
Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang pribumi.
Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang
masyarakat imigran yang signifikan. Sebagaimana orang-orang imigran
memperoleh pola-pola budayanya sendiri lewat komunikasi, seorang
pribumi juga memperoleh pola-pola budaya imigran lewat komunikasi.
Seorang pribumi akan mengatur dirinya sendiri untuk mengetahui dan
diketahui dalam berhubungan dengan orang lain.
Bila akulturasi dipandang sebagai proses mengembangkan
kecakapan berkomunikasi dalam sistem sosio-budaya pribumi, maka perlu
bahwa kecakapan berkomunikasi demikian diperoleh melalui pengalaman-
pengalaman komunikasi.20 Proses akulturasi yang berjalan baik dapat
menghasilkan integrasi antara unsur kebudayaan asing dan unsur
kebudayaan sendiri. Dengan demikian unsur kebudayaan asing tidak lagi
19 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001) hal. 139. 20 Ibid, hal. 140
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
dirasakan sebagai hal yang berasal dari luar, tetapi telah dianggap sebagai
unsur kebudayaan sendiri. Pola-pola akulturasi tidaklah seragam di antara
individu-individu, mereka merespon perubahan harus berdasarkan
pengalaman masing-masing dan bergantung pada potensi akulturasi yang
dimiliki tiap individu atau kelompok. Potensi akulturasi ditentukan
kemiripan antara budaya asli (imigran) dan budaya pribumi. Selain itu,
ditentukan juga oleh usia dan latar belakang pendidikan yang terbukti
berhubungan dengan potensi akulturasi. Yang terakhir yang menentukan
juga potensi akulturasi adalah pengetahuan pribumi tentang budaya
imigran sebelum memasuki wilayah budaya pribumi (kontak budaya).21
5. Komunikasi Antar Budaya
Komunikasi antar budaya di samping memang tidak mungkin lagi
dapat dihindari, juga sesungguhnya sangat penting bagi penduduk semua
negeri diera globalisasi dewasa ini. Kemunculannya sangat mendesak
karena interdependensi antarbangsa semakin nyata, apakah itu di bidang
ekonomi, iptek, politik, kebudayaan dan lain-lain. Di samping tentu saja
karena mobilitas penduduk dunia ini semakin tinggi dan luas, kemajuan
teknologi komunikasi yang luar biasa pesat. Suatu hal yang juga perlu
disadari adalah di dalam proses komunikasi antarbudaya itu antar sumber
dan komunikan (yaitu mereka yang terlibat di dalam komunikasi) berasal
21 Ibid, hal. 144-145.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
dari latar belakang kebudayaan yang berbeda. Dari sinilah kadang-kadang
muncul sifat-sifat keunikan dari komunikasi antarbudaya tersebut.22
Dalam kehidupan sosio-budaya, kita mengenal adanya komunikasi
antarbudaya. Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di
antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa ras,
etnik, agama, atau sosio ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan
ini). Hal tersebut juga diperkuat oleh Stuward L. Tubbs yang dikutib oleh
Andrik Purwasito bahwa komunikasi antarbudaya dilihat sebagai
komunikasi antar dua anggota dari latar budaya yang berbeda, yakni
berbeda secara rasial, etnik, atau sosio-ekonomis (intercultural
communication between members of different cultures whether defined in
terms of racial, etnis, or socioeconomic differences).23
Komunikasi antarbudaya terjadi apabila produsen pesan adalah
anggota suatu budaya dan penerimanya adalah anggota budaya yang
lainnya. Jadi, interaksi berkisar pada orang-orang yang berbeda budaya
sehingga antara orang yang memiliki budaya dominan sama tetapi
subkultur atau subkelompok yang berbeda. Proses komunikasi
antarbudaya dapat digambarkan sebagai berikut:
22 Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi Teori dasn Praktek ((Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009) hal. 297. 23 Andrik Purwasito, Komunikasi Multikultural (Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2003) hal. 105.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Gambar 1. Model Komunikasi Antar Budaya
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa ada tiga budaya
yang berbeda digambarkan dengan tiga geometrik yang berbeda. Budaya
A dan budaya B relatif serupa yang masing-masing diwakili oleh suatu
segi empat. Budaya C sangat berbeda dari budaya A maupun budaya B.
pesan dilukiskan dengan gambar panah yang menghubungkan budaya-
budaya itu. Panah tersebut menunjukkan pengiriman pesan dari budaya
satu ke budaya lainnya.24 Model ini menunjukkan bahwa pesan yang
disampaikan dalam komunikasi antarbudaya bisa saja terjadi perubahan,
bisa terdapat banyak ragam perbedaan budaya. Komunikasi antarbudaya
terjadi dalam banyak ragam situasi yang berkisar dari interaksi antara
orang-orang yang memiliki perbedaan budaya yang ekstrem ataupun
orang-orang yang memiliki budaya dominan yang sama atau serupa tetapi
subkulturnya berbeda.
24 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001) hal. 21.
Budaya A
Budaya B
Budaya C
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
a. Hakikat Komunikasi Antarbudaya
DeVito menegaskan, bahwa untuk mendefinisikan komunikasi
antarbudaya, perlu terlebih dahulu memahami hakikat kultur itu sendiri.
Kultur dapat didefinisikan sebagai gaya hidup yang relatif khusus dan
suatu kelompok masyarakat, yang terdiri atas nilai-nilai, kepercayaan,
artefak, cara berperilaku, serta cara berkomunikasi yang ditularkan dari
satu generasi ke generasi berikutnya.25
Sementara itu, enkulturasi mengacu pada proses dengan mana
kultur ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kultur
ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua,
kelompok teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga
pemerintahan merupakan guru-guru utama di bidang kultur. Enkulturasi
tersebut terjadi melalui mereka.
Akulturasi mengacu pada proses di mana kultur seseorang
dimodifikasi melalui kontak-kontak ataupun pemaparan langsung
dengan kultur lain, misalnya melalui media massa. Sebagai contoh, bila
sekelompok imigran kemudian berdiam di Amerika Serikat (kultur tuan
rumah), kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah
ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berperilaku, serta kepercayaan
dari kultur tuan rumah semakin menjadi bagian dari kelompok imigran
itu. Pada waktu yang sama, tentu saja, kultur tuan rumah berubah juga.
Tetapi pada umumnya, kultur imigranlah yang banyak berubah. DeVito
25 Marhaeni Fajar, Op.Cit, hal. 300,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
menyebutkan, seperti juga dikatakan Young Yun Kim, “Sebab
terjadinya peruahan yang praktis satu arah ini adalah perbedaan jumlah
pendatang dengan jumlah masyarakat tuan rumah”.26
Menurut Kim penerimaan kultur baru bergantung pada sejumlah
faktor. Imigran yang datang dari kultur yang mirip dengan kultur tuan
rumah akan terakulturasi lebih mudah. Demikian pula, mereka yang
lebih mudah dan terdidik, lebih cepat terakulturasi dibandingkan
mereka yang lebih tua dan kurang berpendidikan. Faktor kepribadian
juga berpengaruh, orang yang senang mengambil risiko dan berpikiran
terbuka, misalnya akan lebih mudah terakulturasi. Akhirnya, orang
yang terbiasa dengan kultur tuan rumah sebelum berimigrasi, apakah
melalui kontrak antar pribadi ataupun melalui media massa, akan lebih
mudah terakulturasi. Komunikasi antarbudaya mengacu pada
komunikasi antara orang-orang dari kultur yang berbeda, antara orang-
orang yang memiliki kepercayaan, nilai atau cara berperilaku kultural
yang berbeda.
b. Bahasa Sebagai Cermin Budaya
Bahasa itu mencerminkan budaya, semaksin besar perbedaan
budaya, semakin besar perbedaan komunikasi, baik dalam bahasa
maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Semakin besar perbedaan
antara budaya (dan karenanya, semakin besar perbedaan komunikasi,
semakin sulit komunikasi dilakukan). Kesulitan tersebut mengakibatkan
26 Ibid, hal. 301.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
misalnya, lebih banyak kesalahan komunikasi, lebih banyak kesalahan
kalimat, lebih besar kemungkinan salah paham, makin banyak salah
persepsi, dan makin banyak potong kompas (bypassing).
c. Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya
Semakin besar perbedaan antarbudaya, semakin besar pula
kesadaran diri para partisipan komunikasi. Hal ini mempunyai
konsekuensi positif dan negatif. Positifnya adalah kesadaran diri
membuat lebih waspada. Ini mencegah mengatakan hal-hal yang
mungkin terada tidak peka atau tidak patut. Adapun negatifnya adalah,
hal ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang
percaya diri.27
Dengan semakin mengenal, maka perasaan terlalu berhati-hati
akan hilang dan menjadi lebih percaya diri dan spotan. Hal demikian ini
pada gilirannya akan menambah kepuasan dalam komunikasi. Masalah
sebenarnya bukanlah pada bagaimana menjaga interaksi dan
mengupayakan saling pengertian, melainkan terlalu mudah menyerah
setelah terjadinya kesalahpahaman di saat awal.
d. Interaksi Awal dan Perbedaan Antarbudaya
Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal
dan secara berangsur berkurang tingkat kepentingannya ketika
berhubungan menjadi lebih akrab. Walaupun selalu menghadapi
27 Ibid, hal. 304.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
kemungkinan salah persepsi dan salah menilai orang lain. Penilaian
yang dilakukan secara dini biasanya didasarkan pada informasi yang
terbatas. Oleh karena itu, perlu lebih fleksibel untuk memperbaiki
pendapat yang dibuat berdasarkan informasi yang sangat terbatas itu.
Prasangka dan bias bila dipadukan dengan ketidakpastian yang tinggi
akan menghasilkan penilaian yang nantinya perlu diperbaiki.
e. Memaksimalkan Hasil Interaksi
Sunnafrank sebagaimana dikutip oleh DeVito mengatakan
bahwa dalam semua komunikasi, demikian pula dalam komunikasi
antarbudaya, senantiasa berusaha memaksimalkan hasil interaksi.
Berusaha memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya
minimum.
Tiga konsekuensi yang dibahas oleh Sunnafrank mengisyaratkan
implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya. Sebagai contoh,
orang akan berinteraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan
memberikan hasil positif. Karena komunikasi antarbudaya itu sulit,
mungkin akan menghindarinya. Dengan demikian, akan memilih
berbicara dengan rekan kelas yang banyak kemiripannya dibandingkan
orang yang sangat berbeda. Tetapi memperluas pergaulan mungkin
akan memberikan kepuasan yang lebih besar setelah beberapa waktu.
Kedua, bila mendapatkan hasil yang positif, terus melibatkan
diri dalam komunikasi dan meningkatkan komunikasi. Bila
memperoleh hasil negatif, mulai menarik diri dan mengurangi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
komunikasi. Implikasinya jelas, jangan cepat menyerah, terutama dalam
situasi antarbudaya.
Ketiga, membuat prediksi tentang mana perilaku yang akan
memberikan hasil positif. Dalam komunikasi berusaha memprediksi
hasil, misalnya dari pilihan topik, posisi yang diambil, perilaku
nonverbal yang ditunjukkan, banyaknya pembicaraan yang dilakukan,
dibandingkan dengan tindakan mendengarkan, dan sebagainya.
Kemudian melakukan apa yang kira akan memberikan hasil yang
positif dan berusaha tidak melakukan apa yang memberikan hasil yang
negatif.28
6. Etnis Tionghoa dan Etnis Jawa
Etnis Tionghoa dan etnis Jawa adalah yang menjadi subjek pokok
penelitian ini. Istilah Tionghoa dibuat oleh orang Indonesia yang berasal
dari kata Zhonghua dalam bahasa Mandarin Zhonghua dalam dialek
Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.29 Apabila dilihat dari ciri fisik etnis
Tionghoa sangat mudah sekali untuk dikenali seperti mata sipit, kulit putih
pucat, dan berambut lurus. Dilihat dari sudut kebudayaan masyarakat
Tionghoa dikategorikan menjadi dua masyarakat Tionghoa “Peranakan”
dan “Totok”.30 Orang Tionghoa Peranakan terdiri dari orang Tionghoa
yang sudah terasimilasi sebagian ke dalam masyarakat Indonesia, sebagian
dari mereka telah menikah dengan masyarakat pribumi dan memiliki
28 Ibid, hal. 305-306. 29 http://id.wikipedia.org.wiki/Tionghoa-Indonesia diakses 7 Agustus 2010. 30 Rustopo, Menjadi Jawa : Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta 1895-
1998, (Surakarta, Ombak, 2007), hal. 68.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
keturunan dengan masyarakat pribumi, orang Tionghoa ini sudah lama
tinggal di Indonesia dan pada umumnya sudah berbaur. Mereka
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat sebagai
bahasa sehari-hari dan bertingkah laku seperti pribumi. Sedangkan orang
Tionghoa Totok adalah orang Tionghoa yang secara budaya dan turunan
masih berasal dari Tionghoa, mereka adalah pendatang baru, umumnya
baru satu sampai dua generasi dan masih berbahasa Tionghoa akan tetapi
dengan terhentinya imigrasi dari daratan Tionghoa, jumlah Tionghoa
Totok semakin menurun, dan keturunan Totok sudah mengalami
peranakanisasi.31
Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah salah etnis penting dalam
sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan
terbentuk. Setelah Negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang
Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan
dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-
buku bangsa lainnya yang membentuk Negara Indonesia Republik
Indonesia.
Suku Jawa adalah suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku Jawa
sebagian besar menggunakan bahasa Jawa bertutur sehari-hari. Garis
keturunan dalam masyarakat Jawa diturunkan lewat ayah dan ibu. Bahasa
Jawa merupakan bahasa yang sangat sopan dan menghargai orang yang
diajak berbicara khususnya bagi orang yang lebih tua dan bahasa Jawa
juga sangat mempunyai arti yang luas. Orang Jawa sebagian besar secara
31 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, (Jakarta, Pustaka LP3ES, 1999),
hal. 252.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
nominal menganut agama Islam. Tetapi yang menganut agama Kristen
Protestan dan Katolik juga banyak. Mereka juga terdapat di daerah
pedesaan. Penganut agama Budha dan Hindu juga ditemukan pula diantara
masyarakat Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini
terutama berdasarkan kepercayaan Anismisme dengan pengaruh Hindu-
Budha yang kuat.
Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya.
Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai. Orang Jawa
memiliki stereotip sebagai sukubangsa yang sopan dan halus. Tetapi
mereka juga terkenal sebagai sukubangsa yang tertutup dan tidak mau
terus terang. Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang ingin
menjaga keserasian dan menghindari konflik, karena itulah mereka
cenderung untuk diam dan tidak membantah apabila terjadi perbedaan
pendapat. Yang dimaksud dari kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang
dianut oleh masyarakat Jawa yang hidup di daerah Jawa Tengah bagian
selatan dengan sentranya pada Keraton Yogyakarta dan Surakarta.32
Kebudayaan Jawa yang hidup di Surakarta merupakan kebudayaan
peradaban yang berakar di Keraton, kebudayaan yang mengutamakan
aspek kehalusan dan keindahan.33 Kebudayaan keraton meliputi
kesusastraan (bahasa), seni tari, seni suara, dan upacara-upacara termasuk
upacara keagamaan yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan
sejak empat tahun atau lima abad yang lalu. Akan tetapi lambat laun
32 P. Haryono, Kultur dan Jawa Pemahaman Menuju Asimilasi Kulturasi (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1994), hal. 32. 33 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta, Balai Pustaka, 1984), hal. 20.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
perjalanan budaya Jawa mengalami transformasi juga. Transpormasi dapat
diandaikan sebagai pengalihan menuju budaya baru yang mapan, juga bisa
sebagai proses yang lama dan bertahap-tahap, atau sebaliknya sebagai titik
balik yang begitu cepat.
Bahasa Jawa adalah bahasa yang sering digunakan oleh orang Jawa
di Surakarta ini. Bahasa Jawa memiliki tiga strata pokok, yaitu ngoko,
(strata tak resmi), madyo (strata setengah resmi) dan krama (strata resmi).
Bahasa Jawa logat Surakarta dianggap sebagai bahasa Jawa yang beradasb,
tetapi dengan adanya perubahan sosial awal abad-20 sebagai akibat
pendidikan dan kemajuan ekonomi telah mengubah struktur kelas sosial.
Perubahan yang besar dalam penggunaan bahasa Jawa oleh masyarakat
Surakarta tidak membuat kehilangan kejawaannya. Meskipun tutur kata
yang kasar tetapi melalui bahasannya mereka dapat diidentifikasi sebagai
orang Jawa yang berlogat Surakarta.
F. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini difokuskan pada para anggota (pemain) Barongsai
dalam kelompok Barongsai di Yayasan Tripusaka Solo, sebagai contoh
berlangsungnya akulturasi dan komunikasi antarbudaya yang efektif antar
etnis Tinghoa dan Jawa di Kota Surakarta.
Barongsai merupakan salah satu budaya Tionghoa yang sudah
selayaknya bila dimainkan oleh orang dari etnis Tionghoa. Namun dalam hal
ini di Yayasan Tripusaka Solo yang mayoritas anggotanya adalah orang-
orang Jawa memainkan kesenian Barongsai tersebut. Dengan adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
sekelompok ini akan mempertemukan individu-individu baik dari etnis
Tionghoa maupun etnis Jawa dalam berinteraksi mewujukan suatu bentuk
komunikasi. Kelompok Barongsai inilah merupakan tempat berlangsungnya
komunikasi yang efektif. Dalam kelompok inilah individu-individu akan
melakukan proses komunikasi, komunikasi yang terjadi apabila komunikator
dan komunikan saling berinteraksi dan terjadi hubungan yang timbal balik.
Dengan dimainkannya kesenian Barongsai oleh etnis Jawa, tentunya tidak
akan mengeser kebudayaan kita sendiri, justru malah akan menambah
kekakayaan kebudayaan kita.
Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
Etnis Jawa Etnis Tionghoa
Kelompok Barongsai di Yayasan Tripusaka
Proses Komunikasi dalam Akulturasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
G. Metode Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana
peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada
generalisasi.34
Penelitian kualitatif biasanya tidak dimaksudkan untuk
memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-
gejala komunikasi, mengemukakan prediksi, atau untuk menguji teori,
tetapi lebih dimaksudkan untuk mendeskrispikan dan/atau pemahaman
mengenai bagaimana suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi.35
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada kelompok Barongsai di Yayasan Tripusaka
Solo.
3. Subyek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah anggota (pemain) kelompok
Barongsai yang terdiri dari etnis Tionghua dan etnis Jawa. Narasumber
dicari dengan teknik snowball sampling. Snowball sampling adalah teknik
penentuan sampel yang mula-mula kecil kemudian membesar. Ibarat bola
salju yang menggelinding yang lama-lama menjadi besar. Dalam
34 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung, Alfabeta, 2007), hal. 1. 35 Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Menuju Paradigma Baru Penelitian Komunikasi (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999), hal. 91.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
penentuan sampel, pertama-tama dipilih satu atau dua orang, tetapi karena
dengan dua orang ini belum merasa lengkap terhadap data yang diberikan,
maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat
melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya. Begitu
seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin banyak. 36
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan orang-orang yang dianggap memiliki
kapasitas seperti para tokoh kunci yang bisa memberikan informasi
yang dapat dipertanggungjawabkan.
b. Observasi
Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Metode observasi
yang dilakukan adalah observasi partisipatif. Dalam observasi
partisipatif, peneliti mengamati apa yang dikerjakan kelompok
Barongsai Tripusaka, mendengarkan apa yang mereka ucapkan, dan
berpartisipasi dalam aktivitas mereka.37
c. Dokumentasi
Metode dokumentasi digunakan untuk melengkapi penelitian yang
dilakukan dengan melihat dokumen-dokumen seperti otobiografi,
catatan harian, artikel, brosur dan lain-lain yang ada di Yayasan
Tripusaka Solo. Dokumen-dokumen tersebut dapat mengungkapkan
36 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung, Alfabeta, 2008) hal. 85. 37 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung, Alfabeta, 2007), hal. 65.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
bagaimana subjek mendefinisikan dirinya sendiri, lingkungan, dan
situasi yang dihadapinya pada suatu saat, dan bagaimana kaitan
definisi-definisi tersebut dalam hubungan dengan orang-orang di
sekelilingnya dengan tindakan-tindakannya.38
5. Analisis Data
Dalam menganalisa data penulis menggunakan analisa interaktif
(interactive model of analysis). Model ini mempunyai tiga komponen yaitu
data reduction, data display dan data conclusion drawing.39
Data reduction adalah suatu bentuk analisis yang mempertegas,
memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting dan
mengatur data sedemikian rupa untuk membuat kesimpulan akhir. Data
display adalah suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan
kesimpulan riset dapat dilakukan, sedangkan data conclution drawing
adalah mengambil suatu kesimpulan.
Ketiga komponen tersebut bila digambarkan dengan diagram
seperti dibawah ini :
38 Deddy Mulyana, Op.Cit, hal. 68 39 Miles dan Huberman dalam Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung, Alfabeta, 2007) hal. 92
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Gambar 3. Model Analisis Interaktif
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk
itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Semakin lama peneliti ke
lapangan, maka jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit.
Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data, sajian
data, dan penarikan simpulan dan verifikasi.
a. Reduksi data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.
Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran
yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan
pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Setelah
data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data.
b. Sajian data
Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan,
hubungan antar kategori, flowcharti dan sejenisnya. Penyajian data
Pengumpulan Data
Sajian Data Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teks yang bersifat
naratif. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan untuk
memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya
berdasarkan apa yang telah difahami tersebut.
c. Penarikan Simpulan dan Verifikasi
Simpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan benar-benar bisa
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu perlu dilakukan aktivitas
pengulangan untuk tujuan pemantapan, penelusuran data kembali
dengan cepat, mungkin sebagai akibat pikiran kedua yang timbul
melintas pada peneliti pada waktu menulis sajian data dengan melihat
kembali sebentar pada catatan lapangan.
6. Validitas Data
Validitas data adalah derajad ketepatan antara data yang terjadi
pada obyek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti.
Dengan demikian data yang valid adalah data yang tidak berbeda antara
data yang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi
pada obyek penelitian.40 Sedangkan untuk validitas data triangulasi
merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data pada sifat valid dan
reliable. Validitas data lebih menunjuk pada tingkat sejauhmana data yang
diperoleh telah secara akurat mewakili realitas atau gejala yang diteliti.
40 Sugiyono, Op.Cit, hal. 117
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Reliabilitas berkenaan dengan tingkat konsistensi hasil dari penggunaan
cara pengumpulan data.41
Ada empat macam teknik triangulasi, yaitu (1) triangulasi data atau
sering disebut dengan triangulasi sumber, (2) triangulasi metodologis, (3)
triangulasi peneliti, dan (4) triangulasi teori.42 Dalam penelitian ini
menggunakan triangulasi data, suatu pemeriksaan dengan membandingkan
dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini dapat
dicapai dengan (1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data
hasil wawancara, (2) Membandingkan apa yang dikatakan di depan umum
dengan apa yang dikatakan secara pribadi, (3) Membandingkan apa yang
dikatakan saat situasi penelitian dengan apa yang dilakukan sehari-hari, (4)
Membandingkan apa yang menjadi perspektif responden dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang banyak atau lawan interaksi objek
penelitian, (5) Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang
berkaitan.
41 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta, LkiS, 2008), hal. 97 42 HB. Sutopo. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Surakarta, Sebelas Maret University Press, 2002), hal. 78.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
BAB II
GAMBARAN UMUM YAYASAN TRIPUSAKA
A. Sejarah Perkembangan Yayasan Tripusaka
Di kota Surakarta Perkumpulan Wushu, Liong dan Barongsai
Tripusaka (MAKIN Sala) merupakan Group Liong dan Barongsai satu-
satunya yang mampu beratraksi dengan penampilan yang memukau antara lain
permainan Barongsai diatas bangku setinggi ± 3 meter dan permainan lantai,
permainan diatas bola raksasa dan lain-lain. Perkumpulan ini baru berusia
sekitar 11 tahun (didirikan 5 Februari 1999), tetapi dalam prestasinya
perkumpulan Tripusaka ini mampu membuat prestasi dalam berbagai Acara,
Festival dan Kejuaraan.
Perkumpulan yang merupakan seksi olah raga dan kesenian di bawah
Panji Majelis Agama Khonghucu Indonesia Surakarta dan Yayasan
Pendidikan Tripusaka ini mulai karirnya saat untuk pertama kalinya di
Surakarta berlangsung perayaan Implek 1999, bersama Group Barongsai Jien
Hoo Tong dan Hoo Hap dari Semarang serta Group Kiem Liong (Naga Emas)
dari Salatiga, 4 (empat) perkumpulan ini menampilkan kebolehannya
beratraksi di Stadion Sriwedari yang diawali dengan kirab diberbagai ruas
jalan utama Surakarta.
Berbagai suka dan duka di alami oleh Group Tripusaka yang mulai
dari Nol (tak punya apa-apa) dibantu oleh seorang tokoh dari Solo Baru yaitu
Bapak Hendra Yauw yang memberikan Barongsai bekas, anak-anak Tripusaka
mulai belajar memainkan Barongsai, dari pinjaman yang diberikan MAKIN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Sala sebesar 3 juta, Group Tripusaka memesan sebuah tambur dan
perlengkapan musik sederhana untuk berlatih, pelan-pelan namun pasti
(karena saat itu Tripusaka hanyalah satu-satunya Group Barongsai yang ada),
berbagai permintaan untuk pentas/ tampil berdatangan, baik dari perorangan,
Instansi Pemerintah, perkumpulan dan swasta mulai dilayani.
Dari hasil pentas tersebut Group Tripusaka mulai dapat menambah
inventarisnya, kini tidak kurang dari 14 buah Barongsai, Sepasang
Shantungsai, 3 (tiga) Liong, 2 set Bangku, 1 set Tonggak, Bola Raksasa dan
Tambur buatan Cina serta peralatan lainnya ada di Tripusaka.
Sekitar tahun 1999 akhir Group Tripusaka mendapatkan pinjaman
sebuah gedung untuk berlatih yaitu gedung Hok Bo atau bekas gedung
wanita/gedung bilyard yang terletak di jalan Sorogenen (sebelah barat gedung
PMS), tempat ini saat itu dikontrak/ disewa oleh Perkumpulan Fu Jing dari
pihak pemerintah (dulu disita karena milik organisasi Tionghoa), dan karena
belum digunakan maka dipinjamkan kepada Tripusaka sebagai sarana latihan.
Sayang sekitar tahun 2002 awal, tempat tersebut mulai digunakan oleh
Perkumpulan Fu Jing yang kabarnya berhasil membelinya dari pihak
pemerintah, akibatnya Group Tripusaka harus kembali berlatih di tempat
asalnya di halaman Lithang (tempat ibadah Khonghucu) sampai saat ini.
Pada mulanya anggota yang aktif lewat latihan Wushu tercatat sekitar
200 orang, 60% diantaranya kemudian yang kemudian menjadi cikal bakal
para pemain Liong dan Barongsai Tripusaka. Para pemain tidak dipungut
iuran sama sekali, tetapi bahkan mereka (setelah dinilai layak tampil) akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
memperoleh pembagian Angpao manakala Barongsai / Liong selesai dipanggil
untuk pentas dengan honor yang cukup lumayan.
Tercatat pada pentas di bulan Januari 2004 yang bertepatan dengan
bulan Imlek, Group Barongsai Tripusaka pentas hampir selama 10 hari
berturut-turut dengan 14 kali Show, maka untuk para pemain Barongsai dan
Liong tentunya memperoleh honor yang cukup lumayan.
Sejak didirikan hingga saat ini ke pengurusan tidak banyak mengalami
perubahan, karena hanya mereka-mereka sajalah yang mau bekerja keras
tanpa pamrih membimbing, membina dan mengarahkan para pemain Liong
dan Barongsai Tripusaka membawa nama harum perkumpulan khususnya dan
kota Surakarta pada umumnya dalam ajang/ skala tingkat umum maupun
Nasional Susunan ke pengurusan terdiri dari :
- Penasehat : Xs. Tjhie Tjay Ing
Ws. Indarto (Tan Gik Hien)
Dq. Hendra Yauw (Yauw Peng Hie)
Dq. Ny Tan Swie Hay
- Ketua : Js. Heru Subiyanto (Soei Tie Bian)
- Sekretaris : Js. Ir. Tintin Luisiana Dewi (Tan Loei Tien)
- Bendahara : Dq. Andriani Chandra (Tan Kwok Ing)
- Pembina : Ws. Adjie Chandra (Go Djien Tjwan)
Js. Hasan Widjayadi (Khoe Hiang Lok)
Js. Hermawan Budi Susanto (Sie Siep Hing)
- Koordinator : Dq. Hengky, Dq. Ivo Bernadin, Dq. Titi Ariwibowo
Dq. Hananto Nugroho, Dq. Eko Supramono
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Latihan dilaksanakan 3 (tiga) kali dalam seminggu yaitu hari Rabu,
Jum’at dan Minggu mulai jam 16.00 WIB – selesai. Dimulai dengan
pemanasan sekitar 20 menit dilanjutkan dan latihan dasar yaitu pemantapan
jurus kuda-kuda, kemudian dipilah-pilah ada yang latihan Barongsai lantai,
Tonggak, Bangku, juga beberapa pemain anak-anak dan putri berlatih
memainkan musik. Namun terkadang dalam persiapan untuk menghadapi
perlombaan, jadwal latihan ditambah harinya sehingga sampai 5 atau 6 kali
dalam seminggu. Pada setiap latihan Perkumpulan selalu menyediakan
minuman dan konsumsi untuk para anggotanya, dan setiap sekali para pemain
mendapatkan jatah minum Susu Sapi segar, juga berbagai Vitamin dari
perkumpulan.
Diakhir latihan Pengurus/ Pembina biasanya menyampaikan beberapa
pengumuman (kalau ada) dan setiap bulan sekali terkadang juga diadakan
Briefing (pengarahan) untuk para pemain Liong dan Barongsai. Sedangkan
untuk latihan Wushu sementara ini ditiadakan karena pelatihnya yang berasal
dari luar kota ini tidsak bisa lagi mengajar di Solo, sementara untuk
mengundang pelatih lokal belum ada, dari luar kota cukup mahal biayanya,
perlu diketahui terakhir Tripusaka mendatangkan guru Wushu dari
Purwokerto sekali datang honornya Rp 600.000,- (latihan ditunggui sang guru
seminggu sekali saat gurunya datang saja).
Sementara untuk pelatih Barongsai maupun Liong, hingga kini
Tripusaka juga belum memilikinya, pernah oleh Klenteng Kudus dan Lasem
yang kebetulan mengundang 1 guru/ pelatih dari Malaysia menawarkan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
juga bisa melatih di Tripusaka, selama 1 Minggu honor yang diminta Rp 30
juga.
Berbagai prestasi yang diraih Group/ Sasana Tripusaka antara lain :
1. Tahun 1999 :
Pada kejuaraan Daerah Wushu tingkat Propinsi Jawa Tengah tahun 1999
yang lalu, dari 20 atlit Wushu yang dikirim, 14 orang diantaranya
memperoleh medali Perunggu, Perak dan Emas, bahkan Barongsai
Tripusaka berhasil menjadi juara I tingkat Jawa Tengah untuk jenis
permainan bangku, ini merupakan piala pertama bagi Perkumpulan Barong
Tripusaka.
2. Tahun 2000 :
Pada festival Liong & Barongsai serta Kejuaraan Daerah Wushu Jateng
tahun 2000, Group Tripusaka harus puas dengan diperolehnya antara lain:
a. Juara I (kesatu) untuk Permainan Liong (Naga)
b. Juara II (kedua) untuk Permainan Barongsai diatas tonggak
c. Juara III (ketiga) untuk Permainan Barongsai Lantai
d. Juara I & II untuk Lomba Barongsai Kanak-kanak
e. Rangking IV (empat) untuk Atlit Wushu se Jateng & DIY
3. Tahun 2001 :
Pada Kejurnas Wushu Tahun 2001 yang diadakan di Jogyakarta, beberapa
atlit Wushu Tripusaka kembali menyabet beberapa piala :
a. Peringkat III Tai Chi Putra atas nama Muslih Sidiq
b. Peringkat IV Tai Chi Putri atas nama Noviana Dewi Yuwono
c. Peringkat V Tai Chi Putri atas nama Murdiyati
4. Tahun 2002 :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Untuk berbagai event lomba, kembali Perkumpulan Barongsai Tripusaka
berhasil meraih kejuaraan antara lain :
a. Juara ke 1 permainan lantai pada festival se Jawa & Bali
b. Pada Kejurnas Wushu berhasil menduduki peringkat ke 3.
c. Pada Borobudur Internasional Festival meraih juara harapan 1.
5. Tahun 2003 :
a. Pada Festival Liong se Indonesia di Vihara Gunung Kalong Ungaran
team Liong Tripusaka seharusnya menjadi juara ke 3, sayang hanya
karena sepatu salah seorang pemainnya terlepas saat berlomba dewan
juri memotong nilai sehingga akhirnya hanya menjadi juara Harapan 1.
b. Pada Bandung Open Turnament Festival Nasional Barongsai,
Tripusaka seharusnya kembali meraih juara 1, sayang ada salah
konfirmasi antar beberapa Juri sehingga pada saat lomba, ketinggian
Bangku yang saat tehnical meeting tak ada masalah di complaint,
akibatnya pemain Tripusaka harus merubah posisi bangku tanpa
latihan lebih dahulu dan harus puas menjadi juara harapan 1, sementara
team Liongnya juga masih bertahan pada posisi juara Harapan 1.
6. Tahun 2004 :
Juara ke II (dua) jenis permainan Lantai dari 25 team yang ikut bertanding
pada Kejurda Barongsai yang diadakan Pengda Persobarin Jateng di
G.O.R Bhineka Surakarta 18-19 September 2004.
7. Tahun 2005 :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
a. Juara ke I (satu) jenis permainan Lantai dari sekitar 17 perwakilan
Sasana Wushu & Barongsai Jateng pada Kejurda Wushu & Barongsai
yang diadakan di Tegal Juni 2005.
b. Juara ke II (dua) jenis permainan tonggak Kejurda Wushu & Barongsai
di Tegal Juni 2005.
c. Juara ke II (dua) jenis permainan Lantai dari sekitar 19 Team
Barongsai berbagai daerah dalam Kejuaraan Barongsai President Cup
(Piala Presiden) yang diadakan di Ancol 7 – 8 Juli 2005.
d. Juara ke III (tiga) jenis Permainan Tonggak President Cup 2005 yang
diadakan di Ancol 7 – 8 Juli 2005.
e. Juara ke II (Dua) jenis permainan Tonggak dalam ajang Porda Jateng
yang diadakan di Kendal, September 2005.
Perkumpulan Wushu, Liong & Barongsai Tripusaka beralamat di Jalan
Jagalan No. 15 (TK & SD Tripusaka) telpon 637488 – 661989 Surakarta.
Pengurus secara bergiliran/ bergantian datang ke kantor setiap harinya, tetapi
yang selalu stand by di kantor adalah Ws. Adjie Chandra yang memang
bekerja menangani sekolah Tripusaka dan kegiatan dari MAKIN (Majelis
Agama Khonghucu Indonesia) Surakarta.
Penampilan Barongsai Tripusaka banyak digemari masyarakat
Surakarta khususnya dengan atraksinya di atas Bangku yang disusun
bertumpuk dengan ketinggian sekitar 4 meter, Barongsai ber atraksi diatasnya
dengan memiringkan posisi bangku yang diinjaknya, menyambar daun untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
dimakan dan membuka gulungan kain merah dengan tulisan Mandarin Emas
(yang disesuaikan dengan eventnya).
B. Atraksi Kesenian Barongsai
Barongsai merupakan suatu atraksi yang berbentuk tarian, dimana para
pemainnya yang berjumlah 2 (dua) orang mengenakan topeng Kepala dan
kostum/ badan berbentuk Singa yang disebut Sam Sie atau Barongsai, namun
ada juga berbentuk Ular Naga panjang (Liong) yang dibuat dari kerangka
bambu/ rotan tertutup kain, diberi penyangga tongkat dari bambu (rotan) dan
dimainkan oleh 9 (sembilan) orang.
Untuk Barongsai gerakan yang ditampilkan saat pentas yang utama
bertumpu pada kekuatan kuda-kuda (Ma Shi), oleh karena itu para pemain
Barongsai dan Liong biasanya terlebih dahulu harus berlatih jurus Wu Shu
(bela diri Cina) agar penampilannya semakin sempurna. Namun walaupun
demikian gerakan yang ditampilkan Barongsai sangat dominan dengan gerak
akrobatik, hal tersebut bisa dilihat pada permainan Barongsai diatas Bangku
dan Tonggak besi.
Dalam pementasannya Barongsai dan Liong dapat dipadukan (tampil
bersama) atau dimainkan terpisah. Menurut falsafah Cina kuno tarian
Barongsai yang dipadukan dengan tari Liong bermakna memadukan/
menyelaraskan unsur Yin dan Yang (Negatif dan Positif, Malam dan Siang,
Hitam dan Putih, Wanita dan Pria.
Biasanya kesenian Barongsai dan Liong ditampilkan pada hari raya
keagamaan Khonghucu (khusus) seperti Imlek, Cap Go Meh, Tiong Chiu atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
hari kelahiran Nabi Khongcu (27 Bulan 8 Imlek) biasanya sekitar September /
Oktober, kesenian ini dimainkan di sepanjang jalan karena dipercaya mampu
menghalau segala unsur jahat dan negatif di sepanjang jalan yang dilewatinya
sehingga akan membawakan kedamaian dan kesejahteraan bagi yang
melihatnya.
Khusus untuk Group Tripusaka Surakarta, kesenian Barongsai yang
kembali dihidupkan sekitar Februari 1999 ini mempunyai 3 (tiga) misi yaitu :
1. Misi / Acara Ritual
Untuk acara ini Barongsai maupun Liong yang dimainkan biasanya
dominan dengan warna Hitam & Putih atau Merah & Putih sebagai simbol
unsur Yin dan Yang karena dipercaya bisa menolak bala. Barongsai dan
Liong yang akan dimainkan sebelumnya dibawa ke Klenteng atau Lithang
(tempat ibadah Khonghucu) untuk disembahyangkan dan diberi Hu (kertas
Kuning bertuliskan huruf Mandarin) yang dipercaya sebagai jimat penolak
bala dikepala Liong dang Barongsai dikaitkan seuntai daun Jeruk yang
dipercaya akan membawa kesejukan bagi manusia.
Untuk Barongsai baru (belum pernah dipakai) dalam tradisi
(kepercayaan) Tridharma / Klenteng / Taoisme biasanya sebelum
digunakan terlebih dahulu diadakan upacara pemberkatan dengan urutan
acara sebagai berikut :
a. Barongsai baru yang akan dipakai diletakkan diatas altar khusus
dengan mata ditutup kain merah, mulut juga ditutup.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
b. Pimpinan upacara/pendeta Klenteng mengawali dengan
bersembahyang kealtar Tuhan (menghadap keluar klenteng) dan altar
utama di bagian tengah Klenteng.
c. Badan Barongsai diperciki dengan air klenteng, kemudian pada kepala
Barongsai diteteskan darah Ayam jago putih, sebagai sarana agar
iblis/roh jahat lari ketakutan melihat sang Barongsai.
d. Kemudian kain merah penutup mata dan mulut Barongsai dilepas,
pada mata Barongsai diberi tanda dengan cat Merah, juga pada telinga,
hidung dan mulutnya, ada juga yang memberi tanda pada kaki
Barongsai (celana berbulu sama dengan badan Barongsai yang dipakai
pemainnya).
e. Selanjutnya pada tanduk Barongsai diikatkan kain merah dan daun
jeruk.
Kemudian Barongsai dan Liong akan dibawa/ diarak berkeliling
kota dimana sepanjang jalan banyak orang yang memasang Angpao
(bungkusan Merah berisi uang) yang digantung di depan/ di tas rumah dan
kemudian akan diambil/ disambar oleh Liong dan Barongsai yang
melewatinya. Masyarakat percaya bahwa Angpao yang mereka berikan
sebagai ungkapan kegembiraan (warna Merah melambangkan ketulusan,
kebahagiaan dan rejeki) dan tolak bala ini akan mendapat balasan dari
Tuhan berpuluh kali lipat, itulah sebabnya Group Barongsai banyak
memperoleh dana lewat Angpao pada hari raya tertentu. Untuk Group
Tripusaka sudah yang kesekian kalinya mendapat giliran kirab Imlek
selalu di sekitar Coyudan, Singosaren dan Nonongan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
2. Misi / Acara Entertaiment (Show)
Dalam acara ini warna yang digunakan pada Barongsai maupun
Liong bebas bahkan terkesan menyolok berwarna warnai, acara ini bisa
disaksikan setiap saat yaitu pada Pesta Pernikahan, Pesta Ulang Tahun,
Promosi dan lain sebagainya, tergantung kepada permintaan konsumen,
biasanya warna yang disukai adalah :
a. Merah melambangkan kebahagiaan, ketulusan dan rejeki berlimpah
maka sering kita lihat warna Merah dominan dalam kehidupan suku
Tionghwa misalnya kain merah di atas pintu rumah (saat rumah
tersebut mantu), hiasan dari lampu, lampion, kartu ucapan selamat dan
lain sebagainya.
b. Kuning melambangkan keagungan, kewibawaan dan kesuksesan
c. Biru lambang keharmonisan dan kedamaian
d. Hijau lambang kesejukan dan kerukukan
e. Orange seperti pada Barongsai yang dipakai Xiao Yen Zhe pada serial
Film di Televisi yatu Putri Huan Zhu.
Berbeda dengan acara ritual, untuk Entertaiment/ show Barongsai
atau Liong tidak wajib untuk disembahyangkan lebih dahulu, tetapi tiada
salahnya apabila sebelum berangkat ke tempat atraksi, semua pemain
berdoa mohon kepada Tuhan agar acara yang mereka laksanakan bisa
berjalan dengan lancar.
Dalam penampilannya untuk acara pernikahan, Barongsai dan
Liong pertama tama akan beratraksi menyambut dan mengantar mempelai
menuju ke kursi pelaminan, selanjutnya akan hadir lagi dengan membawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Pedang untuk diserahkan kepada kedua mempelai yang akan melakukan
acara pemotongan kue pengantin. Kemudian Barongsai akan beratraksi
diatas panggung/ bangku untuk memeriahkan acara pesta pernikahan
kedua mempelai, dan selanjutnya mengantar mempelai menuju ke pintu
masuk saat acara sudsah selesai.
3. Misi / Acara Olah Raga
Untuk acara ini setiap Tahun biasanya Group Tripusaka mengikuti
berbagai lomba/ festival yang diadakan baik oleh PBWI (Pengurus Besar
Wushu Indonesia), PKBLSI (Persatuan Kungfu, Liong & Barongsai
Seluruh Indonesia) dan berbagai Federasi Barongsai lain baik tingkat
Lokal, Propinsi, Nasional bahkan di tingkat Internasional / dunia setiap
Tahunnya selalu ada Festival Liong dan Barongsai di Malaysia, satu
catatan penting yang perlu diketahui Indonesia di wakili Team Barongsai
Padang untuk tahun 2003 sudah masuk urutan 5 besar. Untuk festival /
perlombaan ini Barongsai dibagi menjadi 2 kategori yaitu :
a. Barongsai Permainan Lantai
Kejuaraan dinilai dari permainan Barongsai diatas lantai, kedua
pemain yang di depan berfungsi memegang kepala dan memainkan
mimik Barongsai kaget, marah, sedih, gembira mengantuk dan lainnya
sementara pemain belakang berfungsi sebagai badan Barongsai serta
menggerakkan ekor sehingga dengan kekompakan yang serius dan
indah kita akan menyaksikan seolah seekor Singa sedang beraksi di
depan kita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Adegan yang diperagakan kedua pemain untuk dinilai ini juga
berdasarkan aturan yang telah disepakati baik tingkat nasional ataupun
internasional, misal :
1) Lama atraksi sekitar 10 sampai 12 menit
2) Jumlah personil 10 personil terdiri dari (2 pemain, 4 atau 6
pemusik, 1 ketua, 1 pelatih).
3) Tidak boleh memakai alat bantu lebih dari ketentuan (biasanya
hanya boleh dengan bangku, kursi dengan ketinggian kurang dari 1
meter, guci mainan berbentuk binatang dan lain sebagainya).
4) Tidak boleh memakai Pawang, yaitu pemain yang bertugas sebagai
pasangan lomba sehingga Barongsai lebih mudah diarahkan
mimiknya.
5) Arena yang digunakan berukuran 10 x 10 meter
6) Harus ada adegan Barongsai makan sayur
7) Peserta harus melampirkan sinposis adegan yang diperagakan.
b. Barongsai Permainan Tonggak
Untuk jenis perlombaan ini pemain Barongsai diwajibkan
beratraksi diatas Pilar/ Tonggak besi yang ditata berderet memanjang,
setiap deret memiliki tingkat kesulitan berbeda, misalnya deret pertama
hanya untuk awal Barongsai beratraksi dengan memulai memanjat dan
bersikap untuk maju. Deret kedua biasanya untuk jembatan tali, yaitu
dari ujung tonggak satu ke ujung lainnya dipasang memanjang sebuah
tali yang akan digunakan Barongsai lewat ke deret di ujung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
seberangnya, sementara deret berikutnya biasanya yang paling sulit
tingkat permainannya karena selain tinggi, ditonggak paling ujung
biasanya Barongsai akan menyambar daun di bawah untuk
disantapnya.
Baik untuk permainan Lantai maupun Tonggak, kekompakan
antara pemusik dengan penampilan Barongsai serta adegan yang
mendebarkan biasanya akan memperoleh tambahan nilai.
Sama dengan permainan Lantai, pada permainan Tonggak
kedua pemain harus berusaha menampilkan aktivitas seekor Singa
yang sedang marah, kaget, sedih, gembira dan lain sebagainya tetapi
kesemua adegan itu dilakukan diatas tonggak besi.
C. Unsur Pendukung Atraksi
Dalam pementasan Barongsai dan Liong diperlukan unsur pendukung
untuk bisa tampil lebih bagus dan sempurna, yaitu unsur instrument dan
peralatan serta unsur tari/pelakunya. Unsur instrument ata peralatan terdiri
atas :
1. Unsur instrument musik
a. Tambur dalam bahasa Mandarin disebut Khu (baca Gu), sama dengan
tambur buatan Jawa kebanyakan dibuat dari sulit Sapi/Kerbau
dimainkan dengan dipukul, namun berbeda dengan tambur Jawa/
kendang yang harus disetel/ dikencangkan/ dijemur/ dihangatkan dulu
untuk menabuhnya, maka tambur buatan Cina setiap saat bisa ditabuh
dengan suara yang keras, tak perlu dijemur atau dipanaskan dulu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Tetapi harganya cukup mahal, saat Tripusaka membelinya tahun 2000
untuk ukuran tanggung (diameter sekitar 80 cm).
b. Simbal dalam bahasa Mandarin disebut Ba (baca Pa), terbuat dari
Kuningan/ Tembaga/ Logam berbentuk bundar seperti pada
perlengkapan Drum Band, dimainkan oleh 4 atau 6 pemain. Cara
memainkannya dengan saling ditepuk tepukkan antara Ba ditangan kiri
dan tangan kanan pemain mengikuti irama Tambur.
c. Bende/ Gong dalam bahasa Mandarin disebut Ling, dimainkan dengan
di pukul, untuk Ling permainan Barongsai berbeda dengan pada
permainan Liong karena suara Ling Liong lebih terkesan klasik tidak
nyaring seperti pada Ling Barongsai, dan dimainkan mengimbangi
irama Tambur.
d. Ada juga yang melengkapi permainan Liong & Barongsai dengan alat
musik Suling/ Terompet, tetapi biasanya hanya untuk Show saja.
2. Unsur peralatan
a. Barongsai/ Sam Sie, yaitu topeng dan kostum Singa yang dipakai oleh
2 pemain digerakkan dengan tangan dan badan, terbuat dari kerangka
Bambu atau Rotan dibungkus kertas dan kain, dicat berwarna warni.
Pemain depan memegang kepala Sam Sie yang dibelakang memegang
badan dan ekor Sam Sie, biasanya pemain belakang berpostur tubuh
lebih kuat dan besar sebab ia terkadang harus mengangkat pemain
depan saat beratraksi.
b. Liong / Naga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Yaitu semacam kostum Ular Naga yang terbuat dari kerangka Bambu/
Rotan yang dihubungkan dengan tali, terbungkus kain lalu dicat
berwarna warni, diberi penopang kayu/ almunium/ rotan untuk
dipegang dan dimainkan pemainnya dengan ketentuan (untuk
perlombaan) panjang minimal 18 meter, diameter badan 35 cm, berat
kepala Naga minimal 3 Kg, panjang tongkat minimal 1,5 meter. Liong
ini dimainkan oleh 9 orang pemain ditambah 1 pemain yang berperan
sebagai pembawa Cu/ Mustika yang bertugas mengarahkan agar
permainan Liong ini kelihatan lebih hidup dan indah.
c. Bangku
Dibuat untuk melengkapi atraksi Barongsai di pesta pernikahan dan
lain-lain yang sifatnya show, karena dalam berbagai perlombaan
permainan Bangku tidak dissertakan/ dinilai.
d. Tonggak/ Pilar Besi
Untuk perkumpulan tertentu (terutama yang dananya banyak) disetiap
perlombaan mereka akan membuat panggung dari kayu dibentuk
sedemikian rupa untuk dijadikan tempat berpijak dasn ber atraksi para
anggota/ team pemusik.
e. Panggung Musik
Untuk perkumpulan tertentu (terutama yang dananya banyak) disetiap
perlombaan mereka akan membuat panggung dari kayu dibentuk
sedemikian rupa untuk dijadikan tempat berpijak dan ber atraksi para
anggota/ team pemusik.
f. Kostum/ Seragam Pemain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Untuk seragam umum biasanya dibuat sama, dari bahan kaos dengan
logo perkumpulan berwarna sesuai identitas perkumpulan tersebut,
sedangkan untuk pemusik pada saat Show biasanya berseragam lain,
terbuat dari bahan Sutera dan Kain Saten bermotif/model “Chinese
Style” agar lebih menarik dipandang biasanya berwarna Merah,
Kuning, Orange, Biru, Hijau dan lain sebagainya.
g. Panji/ Bendera
Digunakan sebagai tanda pengenal/ simbol dari perkumpulan tersebut,
biasanya dibuat dari bahan kain sutera/ saten dengan sablon/ sulaman
dari benang Emas dan lain-lain agar kelihatan lebih indah. Saat
perlombaan Panji dan Bendera digunakan dan dipasang dibelakang
(sebagai back ground) penampilan pemusik.
Dalam pentas Ritual, biasanya Bendera digunakan mengawali jalannya
acara yaitu seorang pemain akan mengibar-kibarkan bendera di depan
tempat ibadah/ arena acara diiringi dengan musik khas sebagai
simbolis mengusir/ membuang hal-hal negatif.
3. Unsur Tari / Pelaku/ Pemain
Pendukung dari keberhasilan dan keindahan baik kesenian Liong
maupun Barongsai adalah para pemainnya, untuk Barongsai 2 orang
pemain sedangkan untuk Liong 9 orang pemain, selain tentunya team
musik yang mengiringnya. Para pemain ini harus melewati tahapan
tertentu untuk dapat memainkan kesenian ini sampai berhasil dengan baik
dan sempurna, yaitu harus dimulai dari berlatih kuda-kuda, pemanasan
sebelum memulai latihan dan pentas dan berlatih rutin (untuk Group
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Tripusaka) setiap Rabu, Jumat dan Minggu dari jam 16.00 – 18.30 WIB.
Para pemain terdiri dari para remaja berbagai usia, mulai dari usia 8 tahun
sampai remaja berusia 25 tahun, selama mau berlatih dengan tekun akan
mampu memainkan Liong & Barongsai dengan baik.
Mereka terdiri dari berbagai Etnis, 40% diantaranya dari suku Jawa
Asli, sisanya dari Etnis Tionghwa, agamapun tidak menjadi masalah, ada
yang beragama Khonghucu, Kristen, Islam, Budha dan Khatolik. Di
bawah bimbingan pelatih, para pemain ini berlatih dengan tekun dan serius
sehingga akhirnya mereka mampu beratraksi dengan indah dan sempurna
dan meraih prestasi membawa nama harum Perkumpulan maupun kota dan
tentunya untuk kebanggaan diri pribadi dengan berhasil mengumpulkan
piala, medali dan sertifikat penghargaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
BAB III
PENYAJIAN DATA
Penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teks
yang bersifat naratif. Data yang dikumpulkan berupa komunikasi verbal
(wawancara) antara peneliti dengan orang-orang yang berkompeten di Tripusaka
Solo. Hal-hal yang dijadikan sebagai bahan wawancara dalam komunikasi antar
budaya Tionghoa dan Jawa dalam akulturasi pada kelompok Barongsai di
Yayasan Tripusaka Solo, meliputi :
1. Pengalaman komunikasi
Faktor pengalaman komunikasi terdiri atas dua indikator, yaitu intentis
komunikasi, dan suasana komunikasi.
2. Pengakuan identitas kultural dan eksistensi etnis dalam kelompok Barongsai
Tripusaka.
Dalam faktor pengakuan identitas kultural dan eksistensi etnis dalam
kelompok Barongsai Tripusaka, terdiri atas empat indikator, antara lain :
a. Penentuan peran
b. Prasangka
c. Membangun citra diri
d. Hambatan dan solusi
3. Harapan hubungan komunikasi yang selaras antar etnis
Berdasarkan atas beberapa indikator dalam proses komunikasi antara
budaya Tionghoa dan Jawa dalam akulturasi pada kelompok Barongsai di
Yayasan Tripusaka Solo, tersebut dapat digunakan sebagai gambaran tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Jawa yang mendukung proses
pembauran antar etnis dengan melihat pada fokus kajian komunikasi budaya dan
bentuk akulturasi.
Berikut hasil wawancara penulis dengan beberapa nara sumber yang
berada di perkumpulan Tri Pusaka Solo.
1. Bapak Danu
Bapak Danu adalah seorang anggota Tripusaka yang berusia 24 tahun,
masuk sejak tahun 2002. Dalam status etnis, bapak Danu berasal dari etnis
Tionghoa, dan status perkawinannya, sekarang ini Bapak Danu sudah
berkeluarga. Dalam antraksi Barongsai Bapak Danu berada pada posisi
belakang. Wawancara dengan bapak Danu dilaksanakan pada hari Minggu
tanggal 24 Oktober 2010 jam 08.15 sampai 09.00 di Kantor Yayasan
Tripusaka Solo.
Dalam hal bergaul dengan pemain Barongsai dari etnis Tionghoa,
Bapak Danu mengatakan bahwa:
Dahulu setiap hari berkumpul dengan teman-teman di Tripusaka, tetapi sekarang mulai berkurang karena sudah berkeluarga. Walaupun sekarang saya jarang berkumpul, namun tetap selalu berkomunikasi dengan teman-teman di Tripusaka dengan menggunakan media telepon. Selama bergaul dengan teman-teman di Tripusaka, tentunya banyak
hal-hal yang dibicarakan. Seperti yang dilakukan oleh Bapak Danu, beliau
mengatakan bahwa:
Biasanya yang diobrolkan waktu bertentu dengan teman-teman di Tripusaka antara lain barongsai, lomba-lomba, dan juga gojegan, dan yang memulai melalukan pembicaraan kadang-kadang saya, kadang-kadang juga teman-teman dari etnis Tionghoa. Etnis Jawa di Tripusaka sendiri sudah mulai menyatu dengan budaya Tionghoa begitu juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
sebaliknya etnis Tionghoa menyatu dengan budaya Jawa, ga ada yang dominan, sama semua. Selain itu dalam bergaul antara etnis Jawa dengan etnis Tionghoa di
Tripusaka tidak ada hal-hal yang ditutupi. Hal ini seperti yang nyatakan oleh
Bapak Danu, sebagai berikut:
Waktu bergaul tidak ada yang ditutupi, malahan mereka sering curhat karena biasanya di barongsai tripusaka umur pemainnya tidak terpaut jauh dan sepantaran. Oleh karena itu ketika mengobrol lebih enak karena nyambung. Ya walaupun pernah dapat gosip, namun tingkatannya masih sebatas bercanda, walaupun sampai masalah etnis tapi tidak apa-apa karena namanya juga bercanda. Kalau bercanda masalah etnis kata-katanya antara lain “lha kwe chino ow mas”. Dalam bertemanan antara etnis harus bisa saling memahami. Sehubungan dengan faktor-faktor yang memotivasi untuk ikut menjadi
pemain di Barongsai Tripusaka, seperti halnya yang diungkapkan oleh Bapak
Danu, yaitu “Motivasi di barongsai antara lain: olahraga, kepuasan ikut lomba
karena dilihat banyak orang, dan apabila menang bisa bangga pada orang
banyak”.
Ikut menjadi pemain Barongsai tidak lepas dari peran. Di Tripusaka
penentuan peran tidak ditentukan oleh pelatih atau pimpinan, justru pihak
pimpinan Tripusaka membebaskan bagi anggotanya, khususnya anggota baru
untuk memilih posisi yang disukainya. Hal senada seperti yang diungkapkan
oleh Bapak Danu, yaitu : “Setiap anak baru di Barongsai Tripusaka
dibebaskan untuk memilih posisi, baru setelah besar diarahkan oleh senior
untuk posisi yang tepat untuk mereka”.
Di samping itu mengenai hal-hal lain seperti penilaian, tanggapan,
ataupun pandangan kepada orang lain yang beretnis Tionghoa dalam
berbagaul baik-baik saja. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Danu, bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
“Pandangan dengan etnis Jawa selama bergaul dengan mereka, enjoy saja,
ibaratnya kita mempunyai batasan-batasan sendiri.”
Nilai kehidupan yang telah memotivasi Bapak Danu, yang dapat
diperoleh dari kehidupan anggota lain (etnis Tionghoa), yaitu nilai pertemanan
yang didapat selama bergaul dengan etnis Jawa adalah sama-sama
menghargai. Namun tidak semua orang berpandangan seperti itu, biasanya
punya pandangan seperti ini, “kwe wong chino dolano karo wong chino”. Tapi
di Tripusaka tidak seperti itu. Tradisi barongsai yang kurang ditaati oleh etnis
Jawa tidak ada. Selain itu hal dari etnis Jawa yang kurang pas dengan budaya
China, tidak ada. Tetapi biasanya etnis Jawa suka minum-minuman keras,
sedangkan etnis China tidak semua suka minum, namun baiknya di Tripusaka
tidak ada pemaksaan untuk minum. Di Barongsai Tripusaka ada aturan kalau
sebelum bertanding dilarang minum-minuman keras, oleh karena kegemaran
etnis Jawa minum-minuman keras diharapkan dapat mengontrol
kegemarannya agar dapat terus menaati peraturan. Dan selama melakoni
peran dalan permainan Barongsai di Tripusaka, kadang diberikan masukan
oleh teman yang lebih senior, seperti “Nu, mainmu kurang gini…kurang gitu.”
Namun juga memberikan timbale balik untuk saling memberikan masukan.
Dalam menghadapi masalah atau ketika harus mengambil suatu
keputusan, di Barongsai Tripusaka adalah bersama-sama. Tidak ada yang
dominan. Atasan hanya sebagai pemberi usul, keputusan tetap bersama.
Sehubungan dengan harapan kedepannya untuk kelangsungan dan
regenerasi Barongsai Tripusaka, Bapak Danu mengatakan, bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Harapan ke depan, karena 90% pemain barongsai di Indonesia adalah etnis Jawa, maka diharapkan dapat memotivasi etnis Tionghoa untuk dapat turut serta mengembangkan kebudayaannya, dan hal-hal yang bisa lakukan untuk mewujudkan yaitu hubungan yang baik antar etnis yaitu harus bisa membatasi diri kita, harus saling memahami karakter tiap orang, saling instropeksi diri.
2. Erwin
Erwin adalah salah satu anggota Tripusaka yang berasal dari etnis
Jawa berusia 23 tahun. Menjadi anggota Tripusaka sejak tahun 2002.
Wawancara dengan saudara Erwin pada hari Minggu tanggal 24 Oktober 2010
jam 09.00 sampai 10.00 di Kantor Yayasan Tripusaka Solo. Adapun hasil
wawancara dengan saudara Erwin sebagai berikut:
Dalam hal berbaul dengan teman-teman dari etnis Tionghoa, saudara
Erwin mengatakan, “hampir setiap hari kumpul dengan orang etnis Tionghoa”.
Hal-hal yang menyebabkan sering atau tidaknya bergaul dengan mereka,
saudara Erwin mengatakan “Awal mula waktu kelas 1 SMP lihat latihan
barongsai, kemudian merasa tertarik dan ikut latihan sampai sekarang.”
Sehubungan dengan komunikasi yang dilakukan dengan teman-teman
di Tripusaka, saudara Erwin mengatakan, bahwa:
Biasanya media komunikasinya telephone, tatap muka, mendatangi rumah. Hal-hal yang sering dibicarakan pada setiap kesempatan bergaul dengan mereka, yaitu barongsai, gossip tentang teman-teman, dan yang biasa memulai pembicaraan, biasanya teman dari etnis China. Dalam bergaul sama sekali gak ada yang ditutupi. Dalam bergaul dengan teman-teman di Tripusaka, kadang mengalami
ketidakmulusan, seperti halnya yang dilalami oleh saudara Erwin. Saudara
Erwin mengatakan, bahwa “Pernah digosipin, antara lain: Maen salah dikit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
trus diprotes padahal dia tidak merasa salah. Yang memprotes itu orang Jawa.
Orang Tionghoa itu malah jarang protes.”
Masuk menjadi anggota Tripusaka dan menjadi pemain Barongsai,
tentunya ada hal-hal yang memotivasinya, seperti halnya yang lakukan
saudara Erwin, yaitu ingin mendalami barongsai secara lebih lanjut.
Di samping itu mengenai hal-hal lain seperti penilaian, tanggapan,
ataupun pandangan kepada orang lain yang beretnis Tionghoa dalam
berbagaul dengan teman di Barongsai Tripusaka, seperti yang diungkapkan
oleh saudara Erwin, bahwa “Tanggapan selama bergaul dengan Tionghoa
antara lain, etnis Tionghoa suka apabila barongsai dimainkan oleh orang Jawa.
Namun ada juga orang etnis Jawa yang mengejek kok wong Jowo main
barongsai.”
Harapan kedepannya untuk kelangsungan dan regenerasi Barongsai
Tripusaka, saudar Erwin menyatakan:
Harapan di barongsai adalah agar barongsai lebih maju ke depannya dan ingin agar orang lain tertarik main barongsai. Dan hal-hal yang perlu dilakukan menjalin hubungan yang selaras antar etnis yaitu dengan cara mengobrol bareng-bareng apabila ada suatu masalah.
3. Sandy
Sandy merupakan salah satu anggota Tripusaka yang berasal dari etni
Jawa, masuk di Tripusaka sejak tahun 2002. Sandy sekarang masih berstatus
sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Surakarta. Dalam bermain
barongsai, saudara Sandy termasuk pemain yang berada di posisi depan.
Menjadi pemain Barongsai sejak dari duduk di bangku SD.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Waktu wawancara dengan saudara Sandy yaitu pada hari Minggu
tanggal 24 Oktober 2010 jam 10.10 sampai 11.00 di Kantor Yayasan
Tripusaka Solo. Adapun hasil wawancaranya sebagai berikut:
Dalam hal berbaul dengan pemaian Barongsai dari etnis Tionghoa,
saudara Sandy mengatakan: “Dulu sering kumpul tiap hari, tapi sekarang
sudah jarang karena kesibukan kuliah.” Media komunikasi yang sering
digunakan saudara Sandy dengan teman-teman di Tipusaka, antara lain : lewat
tatap muka, Facebook, telepon.
Hal-hal yang sering dibicarakan pada setiap kesempatan anda bergaul
dengan mereka, saudara Erdwin mengataka, bahwa:
Yang dibicarakan kalau bertemu antara lain; tanya kabar, lomba, barongsai, dan yang mulai pembicaraan adalah etnis China. Selama bergaul tidak ada yang ditutupi karena semua adalah sama, bahkan pernah dimarahi teman-teman karena salah. Hal-hal yang memotivasi untuk turut serta menjadi pemain di
Barongsai Tripusaka, saudara Sandy mengatakan, “Motivasi ikut barongsai,
awal mulnya karena suka film jet li, kemudian ditawrai latihan wushu dan
kemudian dari wushu dikembangkan ke barongsai.” Sehubungan dengan hal
tersebut penilaian, tanggapan, pandangan kepada anggota lain yang beretnis
Tionghoa dalam pengalaman bergaul dengan mereka di Barongsai, Sandy
mengatakan, “asik dan tidak ada perbedaan.”
Nilai kehidupan yang telah memotivasi, yang dapat diperoleh dari
kehidupan anggota lain (etnis Tionghoa), menurut pernyataan saudara Sandy,
yaitu “Nilai kehidupan etnis Tionghoa yang dapat menjadi motivasi, saklek,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
cuek, senang makan bersama dan hal-hal yang tidak atau kurang sesuai
dengan falsafah hidup orang Jawa, adalah sama dan tidak ada bedanya.”
Selama melakoni peran, hambatan-hambatan yang pernah dialami oleh
saudara Sandy, antara lain waktu mau lomba grogi, dan stress. Dalam
menghadapi masalah atau ketika harus mengambil suatu keputusan, yang
sering menjadi pengambil keputusan, menurut saudara Sandy adalah semua
diobrolib bareng dahulu.
Harapan kedepannya untuk kelangsungan dan regenerasi Barongsai
Tripusaka, saudara Sandy mengatakan, bahwa:
Harapan ke depannya untuk barongsai, besok dapat menyaingi barongsai Malaysia karena Malaysia adalah juara 1 lomba Internasional dengan cara komunikasi antar etnis yang baik yaitu antara lain, jangan sok-sokan, mengalir apa adanya, jangan ada gap, serasi. Di Tripusaka tidak ada gap, namun di tempat lain masih ada gap. “Kita semua manusia, saya piker ga ada masalah, asal kita maennya bagus, mereka bagus, ya hasilnya bagus mas. Orang Jawa, Orang China, Orang Batak ya sama saja”.
Dari ketiga orang anggota Tripusaka Surakarta yang diwawancarai
tersebut, semua menunjukkan bahwa proses akulturasi di Tripusaka berjalan
dengan baik. Saling menghargai dan tidak memandang etnis. Antara orang China
dengan Jawa saling mempunyai peran di kelompok barongsai tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
BAB IV
ANALISIS DATA
Suatu proses komunikasi dapat dikatakan berhasil jika dapat menimbulkan
efek positif dan signifikan bagi penerimanya. Komunikasi merupakan proses yang
memungkinkan seorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya
lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate).
Namun demikian proses komunikasi bukanlah semata-mata hanya proses
penyaluran pesan saja atau yang disebut komunikasi satu arah, akan tetapi lebih
daripada itu diharapkan muncul juga adanya efek atau dampak tertentu (feedback)
dari proses komunikasi yang dilakukan komunikator tersebut. Efek yang
diharapkan muncul dari proses komunikasi dibagi menjadi tiga yaitu, efek kognitif
yang mengacu efek perubahan pada pikiran atau pertambahan pengetahuan. Lalu
efek afektif atau berhubungan dengan sikap dan persepsi seseorang serta efek
behaviorioral yaitu efek yang mengacu pada perubahan perilaku dan tindakan.
Proses komunikasi semacam ini seperti halnya pada komunikasi antar budaya
yang ada di Yayasan Tripusaka Solo, di mana Yayasan Tripusaka ini merupakan
perkumpulan Liong dan Barongsari. Liong dan Barongsari merupakan
kebudayaan kesenian yang berasal dari Negeri Tionghoa.
Budaya dalam hubungannya dengan komunikasi tidaklah dapat dipisahkan
oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang
apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan,
dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Barongsai sebagai salah satu budaya Tionghoa sudah selayaknya apabila
dimainkan oleh orang dari etnis Tionghoa. Akan tetapi hal yang sebaliknya terjadi
di yayasan Tripusaka Solo. Sehubungan dengan era reformasi ini, kelompok
Barongsai yang dipimpin oleh Adjie Chandra ini hampir 80% pemainnya berasal
dari etnis Jawa. Sebagai salah satu kebudayaan Tionghoa, dan bisa dikatakan telah
menjadi symbol keberadaan dari etnis Tionghoa di Indonesia sungguh menarik
mengetahui hal tersebut, suatu budaya khas Tionghoa namun dengan pemain
mayoritas etnis Jawa.
Budaya merupakan suatu pola hidup yang menyeluruh, suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi. Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki sebagian orang
yang tidak dimiliki oleh sebagian orang lainnya, ini berarti budaya dimiliki oleh
seluruh manusia dan dengan demikian adalah sebagai suatu faktor pemersatu.
Dalam kehidupan sosio-budaya, kita mengenal adanya komunikasi
antarbudaya. Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di antara
orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda bisa ras, etnik, agama, atau
sosio ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini.
Akultrasi merupakan proses sosial yang timbul bila ada golongan-
golongan manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda-beda, saling bergaul
langsung secara intensif untuk jangka waktu yang relatif lama sehingga
kebudayaan-kebudayaan dari golongan-golongan tadi masing-masing berubah
saling menyesuaikan diri menjadi kebudayaan campuran.
Dalam akulturasi, inti yang terpenting adalah penggabungan golongan-
golongan yang berbeda latar belakang kebudayaannya menjadi satu kebulatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
sosiologis dan budaya. Dalam kehidupan sehari-hari, suatu kebudayaan tidak
dapat lepas sepenuhnya dari pengaruh budaya lain. Suatu masyarakat, meskipun
itu mayoritas tidak bisa sama sekali lepas dari pengaruh budaya lain, asal saja
pengaruh itu tidak merugikan atau merusak kepribadian mayoritas, bahkan dapat
membantu terbentuknya kultur yang lebih sesuai dengan semangat pembangunan,
sehingga dapat menunjang keberhasilan pembangunan.
Rasa saling menerima, memahami dan menghormati dari kedua kultur
yang berbeda merupakan suatu konsekuensi yang harus dapat diterima. Sebagai
indikasi penerimaan kultur yang harmonis adalah tidak adanya pihak yang
dirugikan perasaan dan jiwanya. Untuk itu sebenarnya harus ada sikap terbuka
dari kedua belah pihak. Ketertutupan dari salah satu pihak justru akan merusak
keagungan dari pengertian suatu akulturasi. Seiring dengan keterbukaan yang
sedang dijalankan dan bila di masa-masa mendatang, momen ini sangat tepat
untuk membicarakan masalah pembauran.
Akulturasi membutuhkan suatu proses, proses ini pertama-tama
membutuhan prasyarat. Prasyarat tersebut bila terjadi saling penyesuaian diri
sehingga memungkinkan terjadinya kontak dan komunikasi sebagai landasan
untuk dapat berinteraksi dan memahami di antara kedua etnis. Seperti halnya yang
terjadi pada kelompok Barongsai di Yayasan Tripusaka Solo. Kelompok ini
terdapat dua etnis, yaitu etnis Jawa dan etnis Tionghoa, dimana orang Jawa selaku
etnis pribumi ikut memainkan kebudayaan Tionghoa yang berupa kesenian
Barongsai.
Dalam aktivitasnya di Yayasan Tripusaka, etnis Jawa dan Tionghoa selalu
mengadakan komunikasi, terutama saat bermain kesenian Barongsai. Komunikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
antara etnis Tionghoa dan Jawa dalam akulturasi pada kelompok Barongsai di
Yayasan Tripusaka Solo, meliputi: 1) Pengalaman komunikasi, 2) Pengakuan
identitas kultural dan eksistensi etnis dalam kelompok Barongsai Tripusaka, dan
3) Harapan hubungan komunikasi yang selaras antar etnis.
A. Pengalaman Komunikasi
Dalam berkomunikasi bukanlah semata-mata hanya proses penyaluran
pesan saja atau yang disebut komunikasi satu arah, namun lebih daripada itu
diharapkan muncul juga adanya efek atau dampak tertentu (feedback) dari
proses komunikasi yang dilakukan komunikator tersebut. Efek yang
diharapkan muncul dari proses komunikasi dibagi menjadi tiga yaitu, efek
kognitif yang mengacu efek perubahan pada pikiran atau pertambahan
pengetahuan. Lalu efek afektif atau berhubungan dengan sikap dan persepsi
seseorang serta efek behaviorioral yaitu efek yang mengacu pada perubahan
perilaku dan tindakan.
Situasi-situasi sosial tertentu tersebut menyebabkan komunikasi berada
dalam konteks-konteks tertentu. Secara luas, konteks berarti semua faktor di
luar orang-orang yang berkomunikasi. Pertama, aspek bersifat fisik seperti
keadaan lingkungan, cuaca, suhu, bentuk, ruangan, dan jumlah peserta
komunikasi. Kedua, aspek psikologis, seperti sikap, prasangka, dan emosi
peserta komunikasi. Ketiga, aspek sosial, seperti norma kelompok, nilai sosial,
dan karakteristik budaya. Dan keempat, aspek waktu, yaitu kapan waktu
berkomunikasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Dengan memperhatikan empat aspek komunikasi tersebut, tentunya
proses komunikasi akan dapat berhasil dengan baik. Berhasilnya proses
komunikasi, di samping memperhatikan aspek komunikasi, juga perlu adanya
faktor pengalaman komunikasi. Pengalaman komunikasi dapat diketahui dari
intensitas komunikasi, dan suasana komunikasi.
1. Intensitas komunikasi
Seseorang akan memperoleh pengalaman komunikasi, apabila
didukung dengan intensitas komunikasi yang tinggi. Intensitas
komunikasi mengandung maksud sering tidaknya seseorang melakukan
komunikasi. Komunikasi yang terjadi di Yayasan Tripusaka Solo, seperti
yang dilakukan oleh Danu, bahwa dahulu setiap hari berkumpul dengan
teman-teman di Tripusaka, tetapi sekarang mulai berkurang karena sudah
berkeluarga. Walaupun sekarang jarang berkumpul, namun tetap selalu
berkomunikasi dengan teman-teman di Tripusaka dengan menggunakan
media telepon. Ini menunjukkan bahwa dengan adanya situasi-situasi
sosial tertentu, seperti yang dialami oleh Danu yaitu karena sudah
berkeluarga, menyebabkan frekuensi berkumpul dengan teman-teman di
Tripusaka menjadi berkurang.
Begitu juga komunikasi yang dilakukan oleh Sandy, dulu sering
kumpul tiap hari, tapi sekarang sudah jarang karena kesibukan kuliah. Dan
apabila tidak berkumpul dengan teman-teman di Tripusaka, Sandy masih
menyempatkan untuk selalu berkomunikasi dengan berbagai media. Media
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
komunikasi yang sering digunakan Sandy dengan teman-teman di
Tripusaka, antara lain : lewat tatap muka, Facebook, dan telepon.
Lain halnya dengan Erwin, hampir setiap hari kumpul dengan
orang etnis Tionghoa. Bila tidak sempat berkumpul, Erwin menyempatkan
diri untuk melakukan komunikasi. Komunikasi yang dilakukan Erwin
dengan teman-teman di Tripusaka tersebut melalui berbagai cara,
diantaranya menggunakan media telepon, tatap muka, maupun mendatangi
rumahnya.
Intensitas komunikasi yang dilakukan oleh para pemain Barongsai
di Yayasan Tripusaka Solo ini tergolong tinggi, terlihat apabila tidak
bertemu langsung di Yayasan Tripusaka, mereka selalu melakukan
komunikasi dengan menggunakan media, seperti telepone dan facebook.
2. Suasana komunikasi
Tercapainya pengalaman komunikasi, selain didukung dari
intensintas komunikasi juga didukung dari suasana komunikasi. Suasana
komunikasi mengandung maksud suatu keadaan dalam berkomunikasi,
apakah itu menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Suasana komunikasi seperti yang diketahui penulis, bahwa apabila
ada kesalahan saat berlatih barongsai mereka menyikapinya dengan
bercanda, tidak ada marah-marahan. Yang marah-marah biasanya adalah
pelatihnya namun hal itu wajar karena memang pelatih terkadang harus
tegas. Namun demikian pelatih tidak asal memarahi saja, dia
melakukannya dengan cara sedikit bercanda, agar para anggota tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
menjadi tertekan. Komunikasi seperti inilah yang dapat menciptakan
suasana komunikasi yang menyenangkan.
Demikian juga komunikasi yang dilakukan oleh Danu, Danu
mengatakan :
Waktu bergaul tidak ada yang ditutupi, malahan mereka sering curhat karena biasanya di Barongsai Tripusaka umur pemainnya tidak terpaut jauh dan sepantaran. Oleh karena itu ketika mengobrol lebih enak karena nyambung. Ya walaupun pernah dapat gosip, namun tingkatannya masih sebatas bercanda, walaupun sampai masalah etnis tapi tidak apa-apa karena namanya juga bercanda. Kalau bercanda masalah etnis kata-katanya antara lain “lha kwe chino ow mas”. Dalam bertemanan antara etnis harus bisa saling memahami.
Komunikasi yang dilakukan oleh Danu dengan teman-teman di
Tripusaka ini menunjukkan suasana komunikasi yang penuh keakraban,
terlihat tidak ada hal-hal yang ditutup-tutupi, saling curhat, bercanda dan
bisa saling memahami. Komunikasi semacam inilah yang dapat
menciptakan suasana komunikasi yang menyenangkan.
B. Pengakuan Identitas Kultural dan Eksistensi Etnis Dalam Kelompok
Barongsai Tripusaka
Akulturasi banyak berkenaan dengan usaha menyesuaikan diri dengan
menerima pola-pola dan aturan-aturan komunikasi dominan. Akulturasi
merupakan suatu proses yang dilakukan satu etnis tertentu yang disebut
Young Yun Kim sebagai ‘imigran (Tionghoua)’ untuk menyampaikan
informasi mengenai kebudayaannya agar dapat diterima oleh masyarakat
pribumi (Jawa), yang akhirnya mengarah kepada asimilasi. Asimilasi
merupakan derajat tertinggi akulturasi yang secara teoritis mungkin terjadi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Hal ini berarti bahwa secara bertahap masyarakat Jawa belajar menciptakan
situasi-situasi dan relasi-relasi yang tepat dalam menerima budaya Tionghoa
(Barongsai) sejalan dengan berbagai transaksinya yang dilakukan dengan
orang lain. Sehingga pada saatnya, masyarakat Jawa akan menggunakan cara-
cara berperilaku orang Tionghoa untuk menyesuaikan diri dengan pola-pola
yang sesuai dengan orang Tionghoa. Perubahan perilaku juga terjadi ketika
seorang etnis Jawa menyimpang dari pola-pola budaya lama yang dianutnya
dan mengganti pola-pola lama tersebut dengan pola-pola baru dalam budaya
Tionghoa.
Akulturasi dipandang sebagai proses mengembangkan kecakapan
berkomunikasi dalam sistem sosio-budaya pribumi, maka perlu kecakapan
berkomunikasi. Proses akulturasi yang berjalan baik dapat menghasilkan
integrasi antara unsur kebudayaan Tionghoa dan unsur kebudayaan Jawa.
Dengan demikian unsur kebudayaan Tionghoa tidak lagi dirasakan sebagai hal
yang berasal dari luar, tetapi telah dianggap sebagai unsur kebudayaan sendiri.
Pola-pola akulturasi tidaklah seragam di antara individu-individu, mereka
merespon perubahan harus berdasarkan pengalaman masing-masing dan
bergantung pada potensi akulturasi yang dimiliki tiap individu atau kelompok.
Potensi akulturasi ditentukan kemiripan antara budaya asli (Tionghoa)
dan budaya pribumi (Jawa). Selain itu, ditentukan juga oleh usia dan latar
belakang pendidikan yang terbukti berhubungan dengan potensi akulturasi.
Yang terakhir yang menentukan juga potensi akulturasi adalah pengetahuan
etnis Jawa tentang budaya Tionghoa sebelum memasuki wilayah budaya
pribumi (kontak budaya).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Pengakuan identitas kultural dan eksistensi etnis dalam kelompok
Barongsai Tripusaka, dapat diketahui dari empat indikator, yaitu :
1. Penentuan peran
Penentuan peran sangat penting dalam permainan Barongsai. Di
Tripusaka penentuan peran tidak ditentukan oleh pelatih atau pimpinan,
justru pihak pimpinan Tripusaka membebaskan bagi anggotanya,
khususnya anggota baru untuk memilih posisi yang disukainya. Hal
senada seperti yang diungkapkan oleh Danu, yaitu : “Setiap anak baru di
Barongsai Tripusaka dibebaskan untuk memilih posisi, baru setelah besar
diarahkan oleh senior untuk posisi yang tepat untuk mereka”. Dari
perkataan Danu tersebut diperjelas lagi oleh Boni dan Agus. Boni dan
Agus mengatakan bahwa:
Di Tripusaka tidak ada pembedaan antara anggota lama maupun dengan yang baru. Anggota yang lama harus rela tergusur dengan yang baru apabila memang secara kualitas masih bagus yang baru. Dalam hal ini terbukti dengan semakin berkurangnya anggota dari etnis Tionghoa salah satunya akibat kalah bersaing.
2. Prasangka
Dalam berkomunikasi timbul suatu prasangka itu merupakan hal
yang biasa. Apalagi komunikasi antar etnis, dalam hal ini etnis Tionghoa
dan etnis Jawa. Prasangka yang muncul dalam komunikasi antar etnis
Tionghoa dan etnis Jawa ini seperti nilai kehidupan yang diperoleh dari
kehidupan anggota lain (etnis Tionghoa), yaitu nilai pertemanan yang
didapat selama bergaul dengan etnis Jawa adalah sama-sama menghargai.
Namun tidak semua orang berpandangan seperti itu, biasanya punya
pandangan seperti ini, “kwe wong chino dolano karo wong chino”. Selain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
itu hal dari etnis Jawa yang kurang pas dengan budaya China, tidak ada,
hanya saja biasanya etnis Jawa suka minum-minuman keras, sedangkan
etnis China tidak semua suka minum. Di Barongsai Tripusaka ada aturan
kalau sebelum bertanding dilarang minum-minuman keras, oleh karena
kegemaran etnis Jawa minum-minuman keras diharapkan dapat
mengontrol kegemarannya agar dapat terus menaati peraturan.
Selama melakoni peran dalam permainan Barongsai di Tripusaka,
kadang diberikan masukan oleh teman yang lebih senior, seperti “Nu,
mainmu kurang gini…kurang gitu.” Namun juga memberikan timbal balik
untuk saling memberikan masukan.
Sehubungan dengan hal tersebut, penilaian, tanggapan, dan
pandangan kepada anggota lain yang beretnis Tionghoa dalam pengalaman
bergaul dengan mereka di Barongsai, Sandy mengatakan, “asik dan tidak
ada perbedaan.”
Lain halnya menurut Erwin, tanggapan, ataupun pandangan
kepada orang lain yang beretnis Tionghoa dalam bergaul dengan teman di
Barongsai Tripusaka. Erwin mengatakan: “Tanggapan selama bergaul
dengan Tionghoa antara lain, etnis Tionghoa suka apabila barongsai
dimainkan oleh orang Jawa. Namun ada juga orang etnis Jawa yang
mengejek kok wong Jowo main barongsai.”
3. Membangun citra diri
Manusia bukan dibentuk oleh lingkungan tetapi cara
menerjemahkan pesan-pesan lingkungan yang diterimanya.
Kepribadiannya terbentuk sepanjang hidup kita. Selama itu pula
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
komunikasi menjadi penting untuk pertumbuhan pribadi kita. Melalui
komunikasi kita menemukan diri kita, mengembangkan konsep diri dan
menetapkan hubungan kita dengan dunia di sekitar kita. Hubungan kita
dengan orang lain akan menentukan kualitas hidup kita. Seperti halnya
pada komunikasi antar budaya, dalam hal ini budaya Tionghoa yang
berupa kesenian Barongsai yang dimainkan oleh orang dari etnis Jawa.
Barongsai dan liong menjadi hiburan tersendiri yang tidak pernah
absen di saat perayaan Imlek. Pemain kesenian khas Tiongkok ini pun
biasanya kebanjiran order, meski mereka butuh pengorbanan besar untuk
menjaga penampilannya.
Pemain barongsai Tripusaka Solo, Agus Yulianto mengatakan, saat
imlek seperti sekarang inilah barongsai terlihat eksis di masyarakat umum,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
dengan bejibunnya beberapa kegiatan yang dilakoni. Tapi diluar tersebut,
order untuk pentas sangat sepi, bahkan tidask ada sama sekali.
Para pemain barongsai terpaksa banting stir untuk menjaga
kemampuannya. Salah satunya dengan tetap berlatih. Tapi hal ini justru
sering membuat kebosanan bagi pemain. Merekapun akhirnya lebih
memilih untuk mengikuti kejuaraan di berbagai daerah. Berbagai
informasi dari media massa atau pun pengurus tentang kejuaraan barongsai
terus dipantau.
Untuk mengikuti sebuah kejuaraan, para pemain terbentur dengan
minimnya jadwal kegiatan. Meski begitu, perkumpulan barongsai
Tripusaka langsung bisa menasng. Dengan menang, bisa terpuaskan tidak
hanya dari penampilan, tapi juga menjaga eksistensi perkumpulan
barongsai yang sekarang sudah diterima berbagai lapisan masyarakat.
4. Hambatan dan solusi
Komunikasi antar budaya, tentu saja menghadapi hambatan dan
masalah yang sama seperti yang dihadapi oleh bentuk-bentuk komunikasi
yang lain. Seperti halnya hambatan komunikasi yang terjadi saat bermain
Barongsai. Selama melakoni peran sering mengalami hambatan-hambatan.
Hambatan-hambatan yang pernah dialami oleh Sandy, antara lain waktu
mau lomba grogi, dan stress.
Dalam menghadapi masalah atau ketika harus mengambil suatu
keputusan, yang sering menjadi pengambil keputusan, menurut saudara
Sandy adalah semua diobrolin bareng dahulu atau melalui musyawarah.
Jadi di perkumpulan Barongsai ini tidak ada yang dominan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
mengambil suatu keputusan, semua masalah dipecahkan secara bersama-
sama melalui musyawarah.
C. Harapan Hubungan Komunikasi yang Selaras Antar Etnis
Dalam proses komunikasi antara budaya Tionghoa dan Jawa dalam
akulturasi pada kelompok Barongsai di Yayasan Tripusaka Solo tersebut dapat
digunakan sebagai gambaran tentang komunikasi antar budaya etnis Tionghoa
dan etnis Jawa yang mendukung proses pembauran antar etnis dengan melihat
pada fokus kajian komunikasi budaya dan bentuk akulturasi. Apalagi
barongsai sekarang ini sudah membudaya. Permainan ketangkasan ini sudah
bisa dinikmati diberbagai kegaitan.
Para pemain tidak perlu lagi khawatir ditangkap petugas setelah
mendapat kebebasan dan jaminan dari pemerintah. Hasilnya banyak diantara
masyarakat sengaja menyewanya untuk memeriahkan acara yang dimiliki.
Menurut pendapat Erwin, harapan di barongsai adalah agar barongsai lebih
maju ke depannya dan ingin agar orang lain tertarik main barongsai. Dan hal-
hal yang perlu dilakukan menjalin hubungan yang selaras antar etnis yaitu
dengan cara mengobrol bareng-bareng apabila ada suatu masalah.
Perkumpulan barongsai tak hanya didominasi oleh pemain dari
Tionghoa tapi pembauran telah terjadi di setiap lini. pemain barongsai
Tripusaka merupakan masyarakat setempat dan memang pembauran sudah
terlihat sekarang. Menurut Danu, Harapan ke depan, karena 90% pemain
barongsai di Indonesia adalah etnis Jawa, maka diharapkan dapat memotivasi
etnis Tionghoa untuk dapat turut serta mengembangkan kebudayaannya, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
hal-hal yang bisa lakukan untuk mewujudkan yaitu hubungan yang baik antar
etnis yaitu harus bisa membatasi diri kita, harus saling memahami karakter
tiap orang, saling instropeksi diri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Wujud akulturasi budaya Cina-Jawa telah berlangsung ratusan tahun
hingga menghasilkan berbagai karya seni bermutu, seperti kesenian
Barongsai. Di Solo, salah satu kelompok Barongsai yang tetap eksis adalah
kelompok Barongsai Tripusaka. Barongsai kelompok Tripusaka ini populer
karena sering diminta untuk tampil menghibur sejumlah pejabat Tanah Air.
Kelompok seni Barongsai Tripusaka Solo ini, selain menjadi favorit pejabat,
juga memiliki keunikan yang menonjolkan kekuatan akulturasi, dimana
kelompok seni Barongsai binaan Adjie Chandra ini 80 persennya, justru
dimainkan masyarakat lokal dari suku Jawa.
Kelompok seni Barongsai yang dinaungi organisasi MAKIN (Majelis
Agama Khonghucu Indonesia) ini memiliki tiga misi. Pertama, misi ritual,
entertainment, dan yang terakhir olahraga. Untuk acara ritual, biasanya
Barongsai dan Liong yang dimainkan berwarna hitam dan putih atau merah
dan putih sebagai simbol unsur Yin dan Yang karena dipercaya dapat menolak
bala.
Untuk misi entertainment sendiri, Barongsai maupun Liong bebas
bahkan terkesan menyolok berwarna warnai, acara ini bisa disaksikan setiap
saat yaitu pada Pesta Pernikahan, Pesta Ulang Tahun, Promosi dan lain
sebagainya, tergantung kepada permintaan konsumen. Sedangkan untuk misi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
olahraga setiap tahunnya grup Tripusaka ini mengikuti berbagai perlombaan.
Dari ketiga misi ini merupakan wujud dari komunikasi antar budaya.
Komunikasi antar budaya di Yayasan Tripusaka Solo, meliputi
beberapa hal, antara lain:
1. Pengalaman Komunikasi
Berhasilnya proses komunikasi, di samping memperhatikan aspek
komunikasi, juga perlu adanya faktor pengalaman komunikasi.
Pengalaman komunikasi dapat diketahui dari intensitas komunikasi, dan
suasana komunikasi.
Bagi para anggota Tripusa, dalam menjalin komunikasi selain
bertatap muka, juga menggunakan sarana komunikasi, seperti telepon, dan
maupun menggunakan facebook. Komunikasi yang dilakukan penuh
dengan suasana keakraban.
2. Pengakuan Identitas Kultural dan Eksistensi Etnis Dalam Kelompok
Barongsai Tripusaka
Potensi akulturasi ditentukan kemiripan antara budaya asli
(Tionghoa) dan budaya pribumi (Jawa). Selain itu, ditentukan juga oleh
usia dan latar belakang pendidikan yang terbukti berhubungan dengan
potensi akulturasi. Yang terakhir yang menentukan juga potensi akulturasi
adalah pengetahuan etnis Jawa tentang budaya Tionghoa sebelum
memasuki wilayah budaya pribumi (kontak budaya). Pengakuan identitas
kultural dan eksistensi etnis dalam kelompok Barongsai Tripusaka, dapat
diketahui dari empat indikator, yaitu: 1) Penentuan peran, 2) Prasangka,
3) Membangun citra diri, 4) Hambatan dan solusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
3. Harapan Hubungan Komunikasi yang Selaras Antar Etnis
Harapan di barongsai adalah agar barongsai lebih maju ke
depannya dan ingin agar orang lain tertarik main barongsai. Dan hal-hal
yang perlu dilakukan menjalin hubungan yang selaras antar etnis yaitu
dengan cara mengobrol bareng-bareng apabila ada suatu masalah.
Perkumpulan barongsai tak hanya didominasi oleh pemain dari
Tionghoa tapi pembauran telah terjadi di setiap lini. pemain barongsai
Tripusaka merupakan masyarakat setempat dan memang pembauran sudah
terlihat sekarang. Harapan ke depan, karena 90% pemain barongsai di
Indonesia adalah etnis Jawa, maka diharapkan dapat memotivasi etnis
Tionghoa untuk dapat turut serta mengembangkan kebudayaannya, dan
hal-hal yang bisa lakukan untuk mewujudkan yaitu hubungan yang baik
antar etnis yaitu harus bisa membatasi diri kita, harus saling memahami
karakter tiap orang, dan saling instropeksi diri.
B. Saran
1. Agar komunikasi dapat berhasil, hendaknya memperhatikan tiga aspek
komunikasi, yaitu efek kognitif, efek afektif, dan efek behaviorioral,
serta perlu memperhatikan faktor pengalaman komunikasi yang meliputi
intensits komunikasi dan suasana komunikasi.
2. Supaya tercipta hubungan yang selaras antar etnis, hendaknya setiap ada
masalah dibicarakan secara bersama-sama, dan juga saling memahami
karakter tiap orang, serta saling instropeksi diri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
3. Penelitian mengenai komunikasi antar budaya, diharapkan akan terus
dilakukan, mengingat komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang
terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda
(bisa ras, etnik, agama, atau sosio ekonomi, atau gabungan dari semua
perbedaan ini), maka dengan dilakukan penelitian lanjutan diharapkan
akan ditemukan wawasan baru yang dapat memperluas dan memperkaya
pandangan tentang komunikasi antar budaya. Bagi pihak lain yang ingin
melakukan penelitian serupa, diharapkan memilih etnis yang lain seperti
etnis dari Timur Tengah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
PEDOMAN WAWANCARA
A. Pengalaman Komunikasi
1. Intensitas Komunikasi
a. Seberapa sering Anda bergaul dengan pemain Barongsai dari etnis
Tionghoa?
b. Hal-hal yang menyebabkan sering atau tidaknya Anda bergaul dengan
mereka?
c. Melalui media komunikasi apa Anda bergaul dengan mereka ?
d. Hal-hal apa yang sering dibicarakan pada setiap kesempatan Anda
bergaul dengan mereka ?
2. Suasana komunikasi
a. Adakah hal-hal yang harus Anda tutupi ketika bergaul dengan pemain
Barongsai dari etnis Tionghoa ?
b. Bagaimana suasana yang terjalin ketika Anda berkesempatan
berkomunikasi dengan mereka ?
c. Apakah Anda pernah mendapatkan perlakuan, perkataan, gunjingan
yang tidak mengenakkan ketika bergaul dengan mereka ?
B. Pengakuan Identitas Kultural
1. Penentuan peran
a. Sudah berapa lama Anda menjadi pemain Barongsai Tripusaka ?
b. Hal-hal apa saja yang memotivasi Anda untuk turut serta menjadi
pemain di Barongsai Tripusaka ?
c. Dalam penentuan peran, Anda sendiri yang menentukan peran atau
ditentukan pelatih Anda ?
2. Prasangka
a. Bagaimana penilaian, tanggapan, pandangan Anda kepada anggota lain
yang beretnis Tionghoa dalam pengalaman Anda bergaul dengan
mereka di Barongsai Tripusaka ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
b. Nilai kehidupan apa yang telah memotivasi Anda, yang dapat Anda
peroleh dari kehidupan anggota lain (etnis Tionghoa)?
c. Hal-hal apa dari anggota lain (etnis Tionghoa) yang Anda anggap tidak
atau kurang sesuai dengan falsafah hidup Anda sebagai orang Jawa ?
3. Membantun citra diri
a. Selama melakoni peran tersebut, bagaimana tanggapan pemain lain?
Pernah mendapat kritikan negatif, gunjingan, protes, tidak puas? Atau
baik-baik saja dan malah mendukung? Siapa ?
b. Bagaimana Anda memainkan peran Anda jia harus berdampingan
dengan pemain Barongsai Tionghoa ?
4. Hambatan dan solusi
a. Selama melakoni peran tersebut, hambatan-hambatan apa saja yang
pernah Anda alami? Hambatan apa yang terberat bagi Anda ?
b. Bagaimana Anda mengatasi hambatan-hambatan tersebut ? Apakah
anda mendapat dukungan dan motivasi dari anggota lain, atau malah
sebaliknya ?
c. Dalam menghadapi masalah atau ketika harus mengambil suatu
keputusan, siapa yang sering menjadi pengambil keputusan ?
C. Harapan Hubungan Komunikasi
1. Apa harapan Anda kedepannya untuk kelangsungan dan regenerasi
Barongsai Tripusaka ?
2. Hal-hal apa saja yang telah Anda lakukan untuk mewujudkan harapan
Anda ?
3. Apakah anggota lain (etnis Tionghoa) juga memiliki harapan yang sama
seperti Anda ?
4. Bagaimana seharusnya menurut Anda, hubungan komunikasi yang selaras
antara anggota dari etnis Tionghoa dan etnis Jawa, begitu juga sebaliknya?
Top Related