KOMPARASI PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN DAN K.H. HASYIM ASY’ARI TENTANG
PENDIDIKAN ISLAM
S K R I P S I
Oleh: Muh. Syamsul Arifin
06110113
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG Oktober, 2010
KOMPARASI PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN DAN K.H. HASYIM ASY’ARI TENTANG
PENDIDIKAN ISLAM
S K R I P S I
Diajukan kepada Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan guna Memperoleh
Gelar Strata Satu Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh: Muh. Syamsul Arifin
06110113
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG Oktober, 2010
HALAMAN PERSETUJUAN
KOMPARASI PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN DAN K.H. HASYIM ASY’ARI TENTANG
PENDIDIKAN ISLAM
S K R I P S I
Oleh Muh. Syamsul Arifin
NIM. 06110113
Telah disetujui Pada Tanggal, 04 Oktober 2010
Oleh Dosen Pembimbing
Dr. H. M. Mujab, M.A NIP. 196611212002121001
Mengetahui, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Drs. H.M. Padil, M. Pd. I NIP. 196512051994031003
MOTTO
� �� �� ���� ��� ���� �� ����� ���� �� ���� �� ��� ������� �� ��� ��� �� � ��� �� ��
��� ��� �� ���� � � ���� �� ���� ���
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya
orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran
(Q. S. Az-Zumar ayat 1)
“Belajarlah, karena seseorang tidak dilahirkan dalam
keadaan berilmu
Padahal orang yang berilmu tidaklah sama dengan mereka
yang dungu!
Para pembesarpun, jika ia tidak berilmu, Menjadi kecil saat
orang-orang dikumpulkan. Sementara orang kecil, jika ia
berilmu, Menjadi besar saat berada dalam perkumpulan”.
(Muhammad ‘Afif al Za’biy. 2003. Diwan Syafi’i, Untaian Syair
Imam Syafi’i, Yogyakarta: Kota Kembang)
PERSEMBAHAN
Aku persembahkan karya ini kepada:
Bapak (alm) dan Emak tercinta, yang dalam kondisi dan situasi apapun tetap
dengan ikhlas dan tulus memberikan curahan kasih sayang dan dukungan berupa
moral, material dan spiritual kepada putra tercintanya ini
Guru-guruku dan Dosen-dosenku yang telah memberikan bimbingan, arahan
dan selalu mentransformasikan keilmuannya sehingga menjadikanku mengetahui,
memahami dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Seluruh Keluargaku; Siti Nafisah (kakak tertua), Almarhum Miftahus Surur
(kakah kedua), dan adikku tercinta serta yang aku banggakan dan harapkan, Siti
Zahrotul Mila. Serta tak lupa kakak Iparku, Sepupu-Sepupuku, kakek dan
Nenekku, Paman dan Bibiku yang telah memberikan do'a, motivasi, dan bantuan
sehingga menjadi pemicu semangatku untuk meraih cita-cita dan untuk menjadi
seperti apa yang mereka harapkan.
Teman-temanku di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI),
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI) yang selalu mengajariku akan hausnya nafsu
intelektualitas dan idealisme gerakan.
Almamaterku Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
yang selalu Aku bangga-banggakan.
Dr. H. M. Mujab, M.A Dosen Fakutas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang NOTA DINAS PEMBIMBING Hal : Skripsi Muh. Syamsul Arifin Malang, 04 Oktober 2010 Lamp : 4 (Empat) Eksemplar
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim
di
Malang
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Sesudah melakukan beberapa kali bimbingan, baik dari segi isi, bahasa,
maupun tehnik penulisan, dan setelah membaca skripsi mahasiswa tersebut di
bawah ini:
Nama : Muh. Syamsul Arifin
NIM : 06110113
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : Komparasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.
Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam
Maka selaku Pembimbing, kami berpendapat bahwa skripsi tersebut sudah layak
diajukan untuk diujikan.
Demikian, mohon dimaklumi adanya.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
Pembimbing, Dr. H. M. Mujab, M.A NIP. 196611212002121001
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Malang, 14 Oktober 2010 Muh. Syamsul Arifin NIM. 06110113
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji bagi Allah, Dzat yang menguasai semua mahluk dengan segala
kebenaran-Nya. Dengan petunjuk dan pertolongan Nyalah penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Komparasi Pemikiran K.H.
Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari Tentang Pendidikan Islam”, walau
masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik mengenai isi maupun
sistematika penyusunannya. Sebab sebagai manusia biasa, penulis tidak lepas dari
salah dan lupa. Oleh karena itu, besar harapan kami atas tegur sapa dan kritik dari
semua pihak.
Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah limpahkan keharibaan
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan pelajaran,
tuntunan dan suri tauladan kepada kita semua, sehingga kita dapat menuju jalan
islam yang luruh dan penuh Ridha-Nya.
Banyak bantuan yang telah penulis terima dari berbagai pihak dalam
penyusunan skripsi ini, maka sepatutnyalah penulis ucapkan banyak terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak (alm) dan Emak tercinta yang telah dengan tulus dan ikhlas
memberikan kasih saying dan motivasi baik berupa matriil maupun spiritual,
serta telah membesarkan, membimbing dan membiayai penulis dalam
menyelesaikan studi hingga kejenjang perguruan tinggi.
2. Bapak Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang beserta staf rektoratnya yang selalu
memberikan kesempatan dan pelayanan kepada penulis.
3. Bapak Dr. H. M. Zainuddin, M.A, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah
Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
4. Bapak Drs. Moh Padil M. Pd. I, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik
Ibrahim Malang.
5. Dr. H.M. Mujab, M.A, selaku Dosen Pembimbing yang meluangkan
waktunya dan dengan ikhlas dan tulus memberikan bimbingan dan
pengarahan kepada penulis demi kebaikan dan terselesaikannya skripsi ini.
6. Dr. M. Fatah Yasin, M. Ag dan Muhammad Walid, M. Ag, selaku penguji
skripsi yang bersedia bertukar fikiran dalam rangka memperbaiki
kekurangan-kekurangan dalam skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat PMII Cabang dan Komisariat seKota Malang serta
khususnya PK PMII Sunan Ampel yang selalu menemani penulis untuk selalu
berdialektika dalam rangka memperluas khazanah keilmuan dan menemani
penulis dalam suka dan duka, serta mengajarkan akan arti hidup
sesungguhnya.
8. Sahabat-sahabat PMII Rayon Kawah Chondrodimuko, Perjuangan Ibnu Aqil,
Radikal Al-Faruq, Pencerahan Galileo, Penakluk Al-Adawiyah, dan Moch.
Hatta yang selalu menjadi kontroler bagi penulis dalam melakukan aktivitas
sehari-hari.
9. Kawan-kawan HMI, Bung dan Nona GMNI, dan Imawan-imawati IMM serta
akhi-ukhti KAMMI yang selalu berdialektika dengan penulis tentang nafsu
idealismenya.
Tiada kata yang patut penulis sampaikan selain untaian do’a, semoga Allah
membalas jasa-jasa baik beliau. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini
jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi atau isi dan sistematika pembahasan.
Oleh karena itu, saran dan kritik konstruktif untuk membenahi dan memenuhi
kekurangan dalam laporan-laporan selanjutnya.
Demikian yang bisa disampaikan oleh penulis, kurang lebihnya mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Semoga tulisan yang sederhana ini dapat berguna
dan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua pihak pada umumnya.
Amin.
Malang, 04 Oktober 2010
Muh. Syamsul Arifin NIM. 06110113
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini menggunakan
pedoman transliterasi berdasarkan keputusan bersama Menteri Agama RI dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 158 tahun 1987 dan no. 0543 b/ U/
1987 yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Huruf
� = a � = z � = q
� = b � = s � = k
� = t � = sy = l
= ts � = sh � = m
= j � = dl � = n
� = h � = th � = w
� = kh � = zh ? = h
� = d � = ‘ � = ,
� = dz � = gh � = y
� = r � = f
B. Vokal Panjang
Vokal (a) panjang = �
Vokal (i) panjang = î
Vokal (u) panjang = û
C. Vokal Diftong
�� = aw
�� = ay
�� = û
� = î
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Sumber dan Rujukan Penelitian ................................................. 56
Tabel 2 : Data Sekolah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan ..................... 195
Tabel 3 : Data Sekolah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan ................... I96
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Langkah-langkah atau prosedur penelitian ............................. 67
Gambar 2 : Silsilah K.H. Ahmad Dahlan .............................................. 71
Gambar 3 : Silsilah K.H. Hasyim Asy’ari .............................................. 100
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Bukti Konsultasi Bimbingan Skripsi ................................... xxii
Lampiran 2: Biodata Mahasisiwa ............................................................. xxiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN SAMPUL DALAM ........................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ iii
HALAMAN MOTTO ............................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. v
HALAMAN NOTA DINAS ................................................................... vi
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................ vii
KATA PENGANTAR ............................................................................ viii
HALAMAN TRANSLITERASI............................................................ x
DAFTAR TABEL .................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xiii
DAFTAR ISI .......................................................................................... xiv
HALAMAN ABSTRAK ........................................................................ xviii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 17
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 18
D. Manfaat Penelitian ............................................................ 18
E. Batasan Masalah ............................................................... 19
F. Definisi Operasional.......................................................... 20
G. Sistematika Pembahasan ................................................... 21
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu ......................................................... 24
B. Kondisi Pendidikan ........................................................... 25
1. Definisi Pendidikan ...................................................... 29
2. Definisi Pendidikan Islam ............................................. 33
3. Tujuan Pendidikan Islam .............................................. 36
4. Sumber dan Dasar Pendidikan Islam ............................. 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian ....................................................... 49
B. Jenis Penelitian ................................................................. 53
C. Data dan Sumber Data....................................................... 54
D. Tehnik Pengumpulan Data ................................................ 56
E. Analisis Data ..................................................................... 60
F. Pengecekan Keabsahan Data ............................................. 62
G. Tahap-Tahap Penelitian ..................................................... 64
H. Rancangan Penelitian ........................................................ 65
BAB IV PAPARAN HASIL PENELITIAN
A. K.H. Ahmad Dahlan .......................................................... 68
1. Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan ............................. 68
2. Riwayat Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan ..................... 72
3. Detik-detik Kepergian K.H. Ahmad Dahlan .................. 76
B. Pemikiran Pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan ............. 79
1. Definisi Pendidikan Islam ............................................. 86
2. Tujuan Pendidikan Islam .............................................. 89
3. Dasar Pendidikan Islam ................................................ 92
C. K.H. Hasyim Asy’ari ......................................................... 98
1. Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asy’ari ............................ 98
2. Riwayat Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari .................... 105
3. Detik-detik Kepergian K.H. Hasyim Asy’ari ................. 113
D. Pemikiran Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari ............ 118
1. Definisi Pendidikan Islam ............................................. 133
2. Tujuan Pendidikan Islam .............................................. 138
3. Dasar Pendidikan Islam ................................................ 145
BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Perbedaan dan Persamaan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.
Hasyim Asy’ari Tentang Pendidikan Islam ........................ 154
1. Perbedaan dan Persamaan Definisi Pendidikan Islam menurut
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari ............. 156
2. Perbedaan dan Persamaan Tujuan Pendidikan Islam menurut
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari ............. 165
3. Perbedaan dan Persamaan Dasar Pendidikan Islam menurut
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari ............. 174
B. Kontribusi K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari dalam
Bidang Pendidikan Islam ................................................... 184
1. K.H. Ahmad Dahlan ..................................................... 187
2. K.H. Hasyim Asy’ari .................................................... 198
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 208
B. Saran ................................................................................. 210
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ABSTRAK Muh. Syamsul Arifin, 2010. Komparasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam. Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Dr. H. M. Mujab, M.A.
Pendidikan merupakan icon fundamental dalam rangka membenahi
kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, terlebih-lebih pendidikan Islam. Karena hanya dengan pendidikan yang sesungguhnyalah manusia akan mampu merekontruksi pola pikir yang selama ini masih dibawah ketertindasan menuju pola fikir kemerdekaan yang cenderung konstruktif. Pendidikan Islam yang selam ini dalam bayangan manusia menjadi pilihan yang tepat dalam rangka menumbuhkembangkan fitrah dan potensi yang diberikan Tuhan untuk kemudian diekplorasikan dalam kehidupan nyata menjadi sebuah keharusan yang harus difikirkan oleh elemen pelaksana pendidikan.
Berangkat dari itulah penulis kemudian ingin membahas kembali pemikiran tokoh dan intelektual muslim Indonesia yang mencoba untuk merumuskan pendidikan Islam yang sesuai dengan haparan agama, bangsa dan Negara, seperti K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Maka dari itu penulis mengambil judul Komparasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam. Dengan harapan, konsepsi pendidikan Islam yang ditawarkan oleh kedua tokoh tersebut mampu menginspirasikan elemen pelaksana pendidikan dalam rangka mengembangkan pendidikan Islam agar kemudian pendidikan Islam mampu menjawab tantangan globalisasi dengan tetap mendasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam.
Fokus masalah dalam penelitian ini adalah persamaan dan perbedaan pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, serta kontribusi K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyiam Asy’ari dalam bidang pendidikan. Dari fokus masalah yang sudah disebutkan tadi, penulis mengambil langkag untuk kemudian menganalisis atau menelitinya dengan tujan mampu mengetahui, memahami, dan mampu mengambil kesimpulan dari pemikiran pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, sehingga hasil dari telaah tersebut mampu dijadikan kontribusi dalam terselenggaranya dan berkembangnya pendidikan Islam. Penelitian ini menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif dengan jenis library research. Sedangkan metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi dalam rangka mencari sumber dan data yang menunjang dalam penulisan ini. Kemudian dari dokumentasi tersebut dianalisis dengan menggunakan metode content analysis dan interpretasi sumber dan data yang didapat.
Dengan kerangka itu, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan adalah merupakan suatu sarana dan upaya sadar yang dilakukan dalam rangka mengentaskan pemikiran manusia yang statis menuju pemikiran yang dinamis yang bertujuan melahirkan manusia yang siap tampil sebagai ulama-intelek dan intelek-ulama yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, serta kuat jasmani dan rohani yang tetap mendasarkan semua itu pada Al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan pendidikan Islam dalam perspekti K.H.
Hasyim Asy’ari merupakan sarana dan upaya strategis yang dilakukan oleh manusia dalam rangka mencapai kemanuisannya, sehingga mampu mengetahui hakikat penciptaannya, penciptanya dan tugas serta tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi yang kemudian bertujuan agar dengan pendidikan Islam, manusia mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT., sehingga mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat yang juga tetap melandaskan pada Al-Qur’an dan Hadis.
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari memiliki persamaan dan perbedaan dalam memandang pendidikan Islam. Namun, secara umum mereka berdua sepakat bahwa pendidikan Islam merupakan sarana dan upaya yang tepat dan strategis dalam rangka menyelamatkan kehidupan manusia dari hal apapun. Sedangkan perbedaan yang terlihat dari kedua tokoh tersebut dalam memaknai pendidikan Islam adalah masalah substansi dari pendidikan Islam tersebut. K.H. Ahmad Dahlan cenderung bercorak modernis, sedangkan K.H. Hasyim Asy’ari cenderung bercorak tradisionalis.
Kontribusi K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari terhadp pendidikan Islam di Indonesia sangatlah banyak. K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammdiyahnya sudah mendirikan ribuan lembaga pendidikan, dan K.H. Hasyim Asy’ari dengan Nahdlotul Ulamanya juag sudah melahirkan lembaga pendidikan yang tersebar diseluruh Indonesia. Dan sampai sekarang sistem pendidikan Islam yang mereka berdua tawarkan masih dipergunakan dalam lembaga-lembaga pendidikan. Kata Kunci: Pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari
ABSTRACT
Muh. Syamsul Arifin, 2010. Thought comparison K.H. Ahmad Dahlan and K.H. Hasyim Asy'ari on Islamic Education. Thesis, Department of Islamic Religious Education, Faculty of Education, State Islamic University of Maulana Malik Ibrahim Malang. Advisor : Dr. H. M. Mujab, M.A.
Education is a fundamental icon in order to fix the religious life, nation
and state, even more Islamic education. Because only with education that indeed humans will be able to reconstruct the mindset that had been still under the oppression towards freedom of thought which tend to be constructive. Islamic education is so far in the shadow of man to be the right choice in order to develop nature and God-given potential for later explored in real life becomes a necessity that should be a lot of rethinking by implementing elements of education.
Departing from that author and then want to discuss the re-thinking leaders and Indonesian Muslim intellectuals who tried to formulate an appropriate Islamic education in the hope of religion, nation and the State, such as KH Ahmad Dahlan and K.H. Hasyim Asy’ari. Thus the writer take the title Comparison of Thought KH Ahmad Dahlan and KH Hasyim Asy’ari on Islamic Education. With hope, the conception of Islamic education offered by these two elements of character can inspire educators to develop the Islamic education for Muslim education and then be able to meet the challenges of globalization with a permanent base on the values of Islamic teaching.
Focus problem in this research are the similarities and differences in Islamic education by KH Ahmad Dahlan and K.H. Hashim Asy’ari, and the contribution K.H. Ahmad Dahlan and K.H. Hasyim Asy’ari in the field of education. From a focus problem that was mentioned earlier, the researcher took steps to then analyze or examine it in order be able to know, understand, and are able to draw conclusions from the Islamic schools of thought KH Ahmad Dahlan and K.H. Hasyim Asy’ari, so that the results of these studies can be used as contribution in the implementation and development of Islamic education. This study used a qualitative descriptive approach to the type of library research. While the method of data collection method in order to find the source documentation and data that support in writing this. Then, from the documentation was analyzed using content analysis and interpretation methods and data sources are obtained.
With that framework, it is known that Islamic education in the perspective of KH Ahmad Dahlan is a means and a conscious effort made in order to alleviate human thought that static towards dynamic thinking aimed at people who are ready to give birth appears as a scholar-intellectuals and scholars who have the intellect, firmness of faith and science are broad, and strong physical and spiritual still basing it on the Quran and Hadith. Meanwhile, Islamic education in perspekti K.H. Hasyim Asy’ari is a means and strategic efforts undertaken by humans in order to achieve humanity, so as to know the nature of its creation, its creator and the duty and responsibility of man as the Caliph on earth who then aimed for with
Islamic education, people can draw closer to Allah SWT ., so get happiness in this world and the hereafter is also fixed bases in the Qur'an and Hadith.
K.H. Ahmad Dahlan and K.H. Hasyim Asy’ari has similarities and differences in the view of Islamic education. However, in general, they both agree that Islamic education is a means and appropriate measures and strategic in order to save human life from it whatsoever. While the differences seen from both figures of understanding of Islamic education is a matter the substance of Islamic education. K.H. Ahmad Dahlan tend patterned a modernist, while KH Hasyim Asy’ari tend patterned traditionalists.
Contributions K.H. Ahmad Dahlan and K.H. Hasyim Asy’ari against Islamic education in Indonesia is very much. K.H. Ahmad Dahlan with Muhammadiyahnya already set up thousands of educational institutions, and KH Hasyim Asy’ari with Nahdlotul Ulamanya also been childbirth education institutions all over Indonesia. And until now the Islamic education system that they both offer is still used in educational institutions. Keywords: Islamic Education, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari
xviii �
ABSTRAK
Muh. Syamsul Arifin, 2010. Komparasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam. Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Dr. H. M. Mujab, M.A.
Pendidikan merupakan icon fundamental dalam rangka membenahi
kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, terlebih-lebih pendidikan Islam. Karena hanya dengan pendidikan yang sesungguhnyalah manusia akan mampu merekontruksi pola pikir yang selama ini masih dibawah ketertindasan menuju pola fikir kemerdekaan yang cenderung konstruktif. Pendidikan Islam yang selam ini dalam bayangan manusia menjadi pilihan yang tepat dalam rangka menumbuhkembangkan fitrah dan potensi yang diberikan Tuhan untuk kemudian diekplorasikan dalam kehidupan nyata menjadi sebuah keharusan yang harus difikirkan oleh elemen pelaksana pendidikan.
Berangkat dari itulah penulis kemudian ingin membahas kembali pemikiran tokoh dan intelektual muslim Indonesia yang mencoba untuk merumuskan pendidikan Islam yang sesuai dengan haparan agama, bangsa dan Negara, seperti K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Maka dari itu penulis mengambil judul Komparasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam. Dengan harapan, konsepsi pendidikan Islam yang ditawarkan oleh kedua tokoh tersebut mampu menginspirasikan elemen pelaksana pendidikan dalam rangka mengembangkan pendidikan Islam agar kemudian pendidikan Islam mampu menjawab tantangan globalisasi dengan tetap mendasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam.
Fokus masalah dalam penelitian ini adalah persamaan dan perbedaan pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, serta kontribusi K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyiam Asy’ari dalam bidang pendidikan. Dari fokus masalah yang sudah disebutkan tadi, penulis mengambil langkag untuk kemudian menganalisis atau menelitinya dengan tujan mampu mengetahui, memahami, dan mampu mengambil kesimpulan dari pemikiran pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, sehingga hasil dari telaah tersebut mampu dijadikan kontribusi dalam terselenggaranya dan berkembangnya pendidikan Islam. Penelitian ini menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif dengan jenis library research. Sedangkan metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi dalam rangka mencari sumber dan data yang menunjang dalam penulisan ini. Kemudian dari dokumentasi tersebut dianalisis dengan menggunakan metode content analysis dan interpretasi sumber dan data yang didapat.
Dengan kerangka itu, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan adalah merupakan suatu sarana dan upaya sadar yang dilakukan dalam rangka mengentaskan pemikiran manusia yang statis menuju pemikiran yang dinamis yang bertujuan melahirkan manusia yang siap tampil sebagai ulama-intelek dan intelek-ulama yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, serta kuat jasmani dan rohani yang tetap mendasarkan semua
xix �
itu pada Al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan pendidikan Islam dalam perspekti K.H. Hasyim Asy’ari merupakan sarana dan upaya strategis yang dilakukan oleh manusia dalam rangka mencapai kemanuisannya, sehingga mampu mengetahui hakikat penciptaannya, penciptanya dan tugas serta tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi yang kemudian bertujuan agar dengan pendidikan Islam, manusia mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT., sehingga mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat yang juga tetap melandaskan pada Al-Qur’an dan Hadis.
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari memiliki persamaan dan perbedaan dalam memandang pendidikan Islam. Namun, secara umum mereka berdua sepakat bahwa pendidikan Islam merupakan sarana dan upaya yang tepat dan strategis dalam rangka menyelamatkan kehidupan manusia dari hal apapun. Sedangkan perbedaan yang terlihat dari kedua tokoh tersebut dalam memaknai pendidikan Islam adalah masalah substansi dari pendidikan Islam tersebut. K.H. Ahmad Dahlan cenderung bercorak modernis, sedangkan K.H. Hasyim Asy’ari cenderung bercorak tradisionalis.
Kontribusi K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari terhadp pendidikan Islam di Indonesia sangatlah banyak. K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammdiyahnya sudah mendirikan ribuan lembaga pendidikan, dan K.H. Hasyim Asy’ari dengan Nahdlotul Ulamanya juag sudah melahirkan lembaga pendidikan yang tersebar diseluruh Indonesia. Dan sampai sekarang sistem pendidikan Islam yang mereka berdua tawarkan masih dipergunakan dalam lembaga-lembaga pendidikan. Kata Kunci: Pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan sangat cepat yang
mewarnai seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam rangka mengimbangi
perkembangan IPTEK tersebut pemerintah telah menetapkan suatu kebijaksanaan
untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi setiap warganya.
Pencapaian kualitas pendidikan merupakan langkah yang harus dilakukan
dengan usaha peningkatan kemampuan professional yang dimiliki oleh guru.
Utamanya guru pendidikan agama Islam.
Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan kualitas
manusia. Oleh karena itu, manusia merupakan kekuatan sentral dalam
pembangunan, sehingga mutu dan sistem pendidikan akan dapat ditentukan
keberhasilannya melalui peningkatan motivasi belajar siswa.
Kehidupan dan peradaban manusia di millenium ke-3 mengalami banyak
perubahan. Dalam merespon fenomena itu, lembaga pendidikan berlomba dan
berpacu mengembangkan kualitas pendidikan disegala bidang ilmu dan termasuk
juga penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Era yang demikian
memunculkan sebuah krisis dimensi spiritual dalam kehidupan individu,
masyarakat bahkan pada sektor yang lebih luas berbangsa dan bernegara.
Hal diatas menurut Abdul Majid disebabkan salah satunya dan yang sering
dijadikan sasaran adalah peranan serta efektivitas pendidikan agama di sekolah
sebagai pemberi nilai spiritual terhadap kesejahteraan dan perdamaian dalam
2
masyarakat. Dengan asumsi jika Pendidikan Agama Islam dilakukan dengan baik,
maka kehidupan masyarakat pun akan lebih baik.1
Paragraf diatas mengindikasikan betapa pentingnya peranan pendidikan
agama (Islam) dalam membangun moral suatu bangsa dan negara menuju gerbang
kesejahteraan dan perdamaian. Maka lembaga-lembaga pendidikan mulai dari
tingkat yang paling bawah sampai dengan perguruan tinggi selayaknya dan
menjadi sebuah keharusan untuk memberikan materi-materi pelajaran yang
bernuansa keagamaan.
Reorientasi pendidikan akhir-akhir ini menjadi perbincangan yang sangat
menarik untuk dicermati. Hal ini mengingat bahwa pendidikan memang
memegang peranan sangat penting dalam peningkatan dan pembangunan bangsa
tak terkecuali dalam pendidikan Islam yang saat ini berjalan belum mampu
memberika nuansa baru kepada peserta didik sebagai penerus pemegang estafet
kepemimpinan. Reorientasi ini tidak hanya bertujuan untuk menyempurnakan
kekurangan-kekurangan yang dirasakan, tetapi terutama merupakan suatu usaha
penelaahan kembali atas aspek-aspek sistem pendidikan yang berorientasi pada
rumusan tujuan yang baru.
Selain hal diatas, perkembangan sains dan teknologi yang semakin hari
semakin cepat sehingga tidak memungkinkan seseorang untuk mengikuti seluruh
proses perkembangannnya menuntut penguasaan sains dan teknologi informasi
bagi seluruh elemen bangsa dalam segala ranah kehidupan. Program peningkatan
kualitas sumber daya manusia (SDM) hendaknya menjadi prioritas utama lembaga
1 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurukulum 2004,. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), Hal. 81
3
pendidikan. Kualitas SDM terkait erat dengan kualitas pendidikan yang
merupakan produk dari lembaga pendidikan.
Paulo Freire beranggapan bahwa pendidikan merupakan ikhtiar untuk
mengembalikan fungsi seabagai alat untuk membebaskan pendidikan sebagai alat
untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan
yang dialami oleh masyarakat; baik dari soal kebodohan sampai ketertinggalan.
Tidak hanya tokoh Barat saja yang menungkan pikirannya dalam rangka
memperbaiki kondisi pendidikan Islam. Imam Al-Ghazali salah satunya, Al-
Ghazali beranggapan bahwa pendidikan Islam merupakan sarana untuk
tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada
Allah serta kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan
akhirat.2
Begitu amat pentingnya pendidikan Islam sampai menyedot banyak
perhatian dari intelektual pendidikan, baik dari Barat ataupun Islam. Pada
hakikatnya kaum-kaum intelektual yang berkecimpung dalam dunia pendidikan
menyepakati bahwa hanya dengan pendidikanlah umat manusia akan
mendapatkan pencerahan dalam perkembangannya. Dengan pendidikan manusia
akan mampu melihat sesuatu yang belum pernah mereka lihat, dan akan mampu
membedakan hal-hal yang baikdan buruk.
Secara garis besar pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan
individu berdasarkan ajaran–ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada
Nabi Muhammmad melalui proses di mana individu dibentuk agar dapat 2 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sitem Pendidikan Versi Al-Ghazali, (terj.) Fathur Rahmat May dan Syamsuddin Asyrafi, dari judul asli Al-Mazhabut Tarbawi ‘idn Al-Ghazali, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), cet. Ke-I, hlm. 14.
4
mencapai derajat yang tinggi sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai
kholifah di muka bumi, yang dalam rangka lebih lanjut mewujudkan kebahagiaan
dunia dan akhirat.3 Tegasnya, sebagaimana yang dikemukakan Ahmad D.
Mariban bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.4
Kalimat diatas adalah upaya yang seharusnya dilakukan oleh lembaga-
lembaga pendidikan dengan tetap mengutamakan ajaran-ajaran Islam agar
menjadi kosumsi primer yang diterima oleh peserta didik, sehingga peserta didik
menyadari tugas dan fungsi Tuhan menciptakannya dimuka bumi. Dimana tujuan
yang diharapkan adalah menjadi kholifah dimuka bumi yang mampu mewujudkan
kebahagian dunia dan akhirat.
Senada dengan hal diatas, Prof. Dr. Zuhairini mengungkapkan bahwa
pendidikan adalah pemberi corak hitam putihnya perjalanan seseorang. Oleh
karena itu, ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu
kewajiban bagi laki-laki dan wanita dan berlangsung seumur hidup. Dalam bahasa
lain disebut life long education���
Hitam dan putihnnya perjalanan hidup seseorang ditentukan dari salah
satunya adalah faktor pendidikan, dimana ketika manusia mengetahui tugas dan
kewajibannya melalui sarana pendidikan, maka dengan sendirinya dan sadar diri
3 Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma'arif, 1980) Hal. 94. 4 Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma'arif, 1980) hal. 23. 5 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksra, 1995) Hal.01. Pendidikan dalam hal Ini sebagaimana di utarakan Prof. Zuhairini bahwa ciri dari Pendidikan Islam adalah perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Dan untuk itu perlu adanya usaha, kegiatan, metode, alat dan juga lingkungan hidup yang menunjang keberhailan pendidikan. Singkatnya, Pendidikan Islam secara umum adalah pembentukan kepribadian muslim. Lihat dalam Zuhairini, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. Ke-4. Hal. 28.
5
manusia akan menjalankan sesuatu yang diperintah dan menjahui sesuatu yang
dilarang oleh Allah SWT. Oleh karena itu pendidikan untuk umat manusia tidak
mengenal ruang dan waktu, dimana manusia itu berada hendaknya dia melakukan
proses pendidikan.
Pendidikan mempunyai peranan yang amat penting untuk menjamin
perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa yang bersangkutan.6 Dengan
landasan pemikiran tersebut, pendidikan nasional disusun sebagai usaha sadar
untuk memungkinkan bangsa Indonesia mempertahankan kelangsungan hidupnya
dan mengembangkan dirinya secara terus menerus dari satu generasi kegenerasi
berikutnya.7
Dewasa ini perkembangan dunia modern menuntut bangsa Indonesia
untuk senantiasa berupaya meningkatkan mutu ilmu pengetahuan dan teknologi,
disamping untuk meningkatkan kualitas manusia dalam penguasaan dan
pemanfaatan sains dan teknologi guna kesejahteraan masyarakat Indonesia dimasa
depan.
Keberadaan sains dan teknologi yang maju secara tidak langsung
mempengaruhi tatanan kehidupan juga termasuk sistem pendidikan, tuntutan dan
kebutuhan dibidang pendidikan merupakan masalah yang penting dalam
kelangsungan suatu bangsa. Sistem pendidikan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang multidimensional ini akan menyebabkan
pendidikan kita berada lebih jauh tertinggal dengan kebutuhan dan perkembangan
bangsa Indonesia. Oleh karena itu penguasaan dan perkembangan ilmu 6 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No.02 Th 1989) (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), hlm. 23 7 Ibid. hlm. 24
6
pengetahuan dan teknologi perlu diarahkan untuk memajukan kecerdasan dan
kemampuan bangsa serta kesejahteraan seluruh masyarakat dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Keadaan pendidikan suatu bangsa sangat mempengaruhi bangsa itu,
misalnya Indonesia merupakan salah satu negara sedang berkembang yang tengah
giat-giatnya membangun dalam upaya memperbaiki dan memajukan pendidikan
yang ada agar menghasilkan generasi penerus dan pembangunan bangsa yang
profesional.
Mekanisme institusional fundamental untuk mengembangkan manusia
berpengetahuan luas dan profesional adalah pendidikan. Pendidikan tidak hanya
membekali manusia dengan pengetahuan dan keterampilan yang profesional saja
tetapi juga memungkinkan orang dapat belajar untuk memperbaiki tingkat
ekonominya, pendidikan juga merupakan nilai, cita-cita, sikap serta aspirasi yang
secara langsung berkaitan dengan kepentingan pembangunan suatu bangsa.
Adanya kontak-kontak politik dan militer kolonial antara dunia islam dan
Barat membawa akibat timbulnya kontak-kontak budaya dan pemikiran. Di dunia
Islam mulai diperkenalkan dan berkenalan dengan peradaban sekuler yang di
Barat sudah tidak asing lagi. Pendidikan sekuler yang memberikan tekanan pada
pembinaan pribadi yang demokrasi dengan dasar antroposentrik murni. Asas
theosentrik, masalah-masalah sepiritual manusia, hubungan yang ada antara
realisasi sepiritual dan esensi nilai-nilai moral, hubungan yang integral antara
nilai-nilai moral dan tindakan manusia, semua terkucil dari persoalan pendidikan
untuk kemudian menjadi masalah pribadi. Perbedaan-perbedaan pendidikan
7
sekuler mengenai pendidikan dan konsep Pendidikan Islam sangat mendasar
walaupun banyak konsep-konsep mikro yang dapat dimanfaatkan dari Barat.8
Seperti pernyataan M. Rusli Karim, bahwa pada saat ini posisi pendidikan
Islam berada pada posisi determinisme. Artinya, pada sejarah awalnya pendidikan
Islam pernah mencapai puncak kejayaannya, ketika itu dunia islam mampu
melahirkan banyak tokoh-tokoh ilmu pengetahuan yang berkaliber dunia dan
bersama dengan perkembangan ilmu tersebut berkembang dan maju dalam
peradaban Islam. tetapi sekarang ini, kondisi yang terjadi sebaliknya, artinya
dalam realitas praktis pendidikan Islam seakan-akan tidak berdaya, karena
dihadapkan dengan realitas perkembangan masyarakat industri modern.9
Hal diatas menggambarkan bagaimana kontribusi tokoh-tokoh Islam yang
pada waktu itu membawa Islam mencapai kejayaan pada masa itu, dimana dapat
diketahui sosok seperti Ibnu Arabi, Ibnu Farabi, Ibnu Khaldun, Ibnu Thufail, Ibnu
Sina, Ibnu Rusdy, dan Imam Ghazali serta tokoh Islam lainnya yang mampu
memberikan warna dalam perkembangan dan peradaban Islam pada waktu itu,
mulai dari pengetahuan pengetahuan theologi sampai pada sains dan teknologi.
Karena disiplin pengetahuan itulah yang menjadi sebuah syarat bagi bangsa dan
negara yang ingin mendapatkan predikat sebagai negara yang maju dan
berkembang. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman yang penuh
dengan nuansa kapitalisme, maka seiring itu pula kejayaan Islam melaui tergerus.
Islam pada dekade ini masih belum mampu melahirkan tokoh-tokoh seperti
pendahulunya. Hal ini disebabkan oleh lemahnya penghargaan terhadap tokoh 8 Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam (Yokyakarta: LKiS, 2004), hlm. 3 9 M. Rusli Karim, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Social Budaya, dalam Buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta (Yokyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 129
8
pendahulunya, sehingga masyarakat enggan untuk kemudian melestarikan dan
bahkan meneruskan pemikiran-pemikiran tokoh terdahulu.
Perlu kita ketahui bahwa kita hidup dalam lingkaran wacana pragmatisme
yang mau mendorong kita supaya menyesuaikan diri dengan fakta-fakta realitas.
Impian-impian dan utopia-utopia, disebutnya tidak tak berguna, tetapi sungguh
menghambat. (bagaimana pun juga, impian dan utopia merupakan bagian intrinsik
setiap praktek pendidikan dengan daya kekuatan untuk menyibak topeng-topeng
kebohongan yang dominan)10.
Disatu sisi yang lain, pendidikan memegang peranan yang sangat penting
dalam kehidupan ini, tidak ada satu hal pun kehidupan di dunia ini yang bisa
terlepas dari pendidikan, baik itu ekonomi, politik, hukum, dan yang lainnya.
Dalam setiap aspek kehidupan membutuhkan pendidikan meskipun pendidikan
yang dilakukan dalam setiap aspek berbeda-beda tergantung pada bidang yang
digeluti.
Begitu urgennya masalah pendidikan, sehingga begitu banyak para pakar
ataupun tokoh yang senantiasa berupaya untuk melahirkan pemikiran-pemikiran
tentang pendidikan. Baik yang sifatnya pengetahuan yang benar-benar baru yang
sebelumya belum ada ataupun pemikiran-pemikiran yang sifatnya pengembangan
atau diadakan inovasi dari pemikiran yang ada.
Hal ini dilakukan semuanya tidak lain adalah supaya pendidikan benar-
benar mengena pada sasaran, yakni dapat bermanfaat dalam kehidupan terlebih
lagi supaya peradaban yang ada semakin maju dan berkembang.
10 Paulo freire, Pedagogi Pengharapan, (Yogyakarta: KANISIUS,2005), hal.7.
9
John Vaisey maupun B.G. Tilak Jandhalaya dalam Fadjar mengemukakan
bahwa pendidikan adalah dasar dari pertumbuhan dan perkembangan ekonomi,
sains dan teknologi, menekan dan mengurangi kemiskinan dan ketimpangan
pendapatan, serta peningkatan kualitas peradaban manusia pada umumnya.
Selanjutnya, John Vaisey mengemukakan argumennya bahwa sejumlah besar dari
apa yang kita ketahui diperoleh dari proses belajar secara formal di lembaga-
lembaga pendidikan termasuk lembaga pendidikan Islam.11
Akan tetapi, di sini tidak akan dibicarakan secara panjang lebar mengenai
peranan pendidikan pada semua aspek kehidupan melainkan lebih dispesifikan
pada pendidikan Islam itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui sekarang ini dunia
sedang mengalami degradasi moral, yang mau tidak mau pendidikan Islam itu
sendiri mempunyai andil dalam hal ini.
Telah banyak contoh nyata yang dapat kita lihat dari degradasi moral itu
sendiri salah satunya yakni tercerabutnya nilai-nilai yang tertanam pada
masyarakat. Pada zaman sekarang ini kekerasan sudah biasa terjadi bahkan
dikalangan para pelajar yang sedang menuntut ilmu. Hal ini sebenarnya adalah
sebuah fenomena yang sudah dapat diramalkan oleh para praktisi pendidikan
karena pendidikan yang ada pada saat ini lebih banyak menekankan para peserta
didiknya pada kemampuan kognitifnya saja tanpa dibarengi dengan kemampuan
dalam bidang afektifnya. Pendidikan pada masa sekarang ini lebih bertujuan untuk
mencetak generasi yang dibutuhkan oleh pasar modal, lembaga-lembaga
pendidikan beramai-ramai mencetak lulusan yang hanya siap untuk bekerja
11 Mulyono, Desain Dan Pengembangan Pembelajaran PAI, Buku Diktat (Malang: 2007), hlm. 15.
10
sebagai bekal hidupnya. Fenomena ini sebanarnya juga tidak bisa dikatakan salah
sepenuhnya, karena kita ketahui kehidupan yang ada pada saat ini serba sulit.
Akan tetapi, keterampilan untuk bermasyarakat juga sangat dibutuhkan, hal ini
karena manusia selain sebagai makhluk individu juga merupakan makhluk sosial
yang senantiasa harus berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh
sebab itu kemampuan dalam bidang afektif juga harus dikembangkan seimbang
dengan kemampuan-kemampuan yang lainnya.
Kondisi pendidikan Isl;am yang demikian itu harus segera diatasi dengan
cara menumbuhkan dan mengembangkan pendidikan Islam melalui serangkaian
kajian dan penelitian, bahkan mugkin menghadirkan kembali tokoh-tokoh atau
intelektual muslim yang bergelut dalam pendidikan Islam. Tokoh-tokok
intelektual muslim dari zaman klasik, pertengahan sampai dengan zaman modern
ini. Tokoh-tokoh intelektual muslim pada era klasik seperti Ibn Miskawaih, Al-
Qabisi, Al-Mawardi, Ibn Sina, dan Al-Ghazali, juga ada tokoh yang berasal dari
abad pertengahan seperti, Burhanuddin az-Zarnuji dan Ibn Jama’ah. Sementara
tokoh-tokoh intelektual muslim modern dari Indonesia diwakili oleh Abdullah
Ahmad dari Sumatera Barat, Ahmad Sanusi dari Jawa Barat, dan Imam Zarkasyi
dari Jawa Timur.12
Tokoh-toko itulah yang pada perkembangan selanjutnya mampu
merekontruksi konsep pendidikan Islam yang disesuaikan dengan realitas dan
kebutuhan zaman, serta memberikan ruang seluas-luasnya pada peserta didik
untuk mengeksplorasikan segala potensi dan fitrah yang terkandung dalam dirinya
12 Dr. H. Abuddin Nata, Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), cet. Ke-3, hlm. 2-3.
11
agar kemudian peserta didik mampu mengembangkan potensi dasar yang sudah
dimilikinya tersebut dengan tidak melupakan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh
Islam.
Dalam Islam sendiri percaya bahwasannya setiap manusia mempunyai
potensi-potensi yang dibawahnya sejak lahir dan di sini pendidikan mempunyai
tugas untuk mengembangkan potensi tersebut sehingga dapat dijadikan bekal
untuk hidup di dunia ini.
Islam adalah syari’at yang diturunkan kepada umat manusia dimuka bumi
ini agar mereka beribadah kepada-Nya. Penanaman keyakinan terhadap Tuhan
hanya bisa dilakukan melalui proses pendidikan baik di rumah, sekolah maupun
lingkungan. Pendidikan Agama Islam merupakan kebutuhan manusia yang
dilahirkan dengan membawa potensi dapat dididik dan mendidik sehingga mampu
menjadi khalifah di muka bumi, serta pendukung dan pemegang kebudayaan.
Dalam pendidikan itu sendiri memang mencakup banyak hal yakni tujuan
dari pada diadakannya pendidikan itu sendiri, kurikulum yang dipakai dan lain
sebagainya yang tidak lain merupakan cara seorang pendidik untuk dapat
mengeluarkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik semenjak dia lahir.
Dari uraian yang panjang tersebut, pada hakikatnya Islam masih memiliki
sosok tokoh yang kemudian padam pandangan sejarah, tokoh tersebut banyak
memberikan kontribusi terhadap perkembangan sosial, budaya, dan bahkan
pendidikan Indonesia. Tokoh tersebut adalah K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.
Hasyim Asy’ari. Dimana kontribusi yang mereka berikan tidak hanya dalam
berkutat dalam masalah Theologi, akan tetapi jauh dari pada itu merak juga turut
12
serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dan salah satu kontribusi yang
meraka berikan adalah dalam pengembangan dunia pendidikan. Karena menurut
merka pendidikan adalh salah saru pilar yang harus dikembangkan dalam sebuah
bangsa dan negara.
Pendidikan Islam yang selanjutnya akan dikaji ini adalah berdasarkan pada
pemikiran tokoh yang mempunyai kontribusi besar terhadap pendidikan yang
berasal dari Indonesia yakni K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari,
penulis merasa tertarik untuk mengkaji pemikiran kedua tokoh tersebut, karena
kedua tokoh tersebut merupakan seorang pemikir kontemporer yang menaruh
perhatian besar terhadap upaya Islamisasi ilmu pengetahuan. Pemikirannya
mempunyai relevansi dengan perkembangan sains dan teknologi, serta mengikuti
perkembangan zaman, bahkan dalam tulisannya beliau berupaya mengantisipasi
masa depan. Tetapi perlu diketahui pengangkatan topik pada skripsi ini tidak
bertujuan untuk merendahkan para pakar pendidikan yang lainnya.
Dalam pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, beliau
percaya bahwa manusia mempunyai potensi bawaan semenjak lahir, selain itu
beliau juga berpendapat bahwa lingkungan sekitar manusia tinggal juga
mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya. Oleh sebab itu K.H. Hasyim
Asy’ari menyebutkan yang dituangkan dalam salah satu karya terbaiknya, Adam
al-‘Alim wa al-Muta’allim, K.H. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwasannya
pendidikan itu penting sebagai sarana untuk mencapai kemanusiaannya, sehingga
menyadari siapa sesunggunhnya penciptanya, untuk apa diciptakan, melakukan
segala perintahnya dan menjahui segala larangannya, untuk berbuat baik di dunia
13
dengan menegakkan keadilan, sehingga layak disebut makhluk yang lebih mulia
dibanding makhlu-makhluk lain yang diciptakan Tuhan.13
Menurut beliau, tujuan diberikannya sebuah pendidikan pada setiap
manusia ada dua, yaitu :
1. Menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.14
Setidakanya dua poin diataslah yang menjadi rujukan bagi K.H. Hasyim
Asy’ari tentang betapa pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia, karena
dengan pendidikan maka dengan sendirinya manusia akan terdidik untuk menjadi
manusia yang sempurna dalam memahami dirinya dan yang menciptakannya.
Dengan demikian, manusia akan memahami tugas dan kewajiban sebagi hamba
Allah yang diciptakannya dan sebagai bagain dari rakyat Indonesia yang tetap
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Bila dilhat lebih jauh, tujuan pendidikan yang disampaikan oleh K.H.
Hasyim Asy’ari memang lebih mengarah pada aspek Theologi. Karena dengan
menjadikan aspek tersebut sebagai dasar, maka apapun aktiviats yang dilakukan
oleh manusia akan tetap berlandaskan dengan nilai-nilai keislaman yang nantinya
segala aktivitas tersebut mendapatkan ridho dari Allah SWT.
Kemudian, mengenai pemikiran K.H. Ahmad Dahlan. Dalam hal ini
penulis ingin mengungkapkan pembahasan mengenai pandangan K.H. Ahmad
Dahlan terhadap pendidikan, perlu kiranya sedikit menengok sejarah panjang
yang melatarbelakangi terbentuknya ide dan gagasan dari para pejuang dan guru 13 Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asy’ari : Biografi Singkat 1871-1947, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 85-86. 14 Ibid, hlm. 86.
14
bangsa kita. Kegelisahan para tokoh pendidikan semisal K.H. Ahmad Dahlan,
K.H. Hasyi Asy’ari dan lainnya merupakan bentuk jawaban dari ketidakpuasan
mereka terhadap kondisi bangsa yang terjajah.
Dunia pendidikan juga ternyata telah diracuni oleh penjajah demi
kepentingan pribadi dan kelangsungan hidup mereka di bumi pertiwi. Berangkat
dari keprihatinan itulah yang mendorong perjuangan melalui bidang pendidikan
menjadi perhatian serius para tokoh-tokoh pejuang bangsa ini. Karena hanya
dengan pendidikanlah bangsa ini bias maju dan terbebas dari cengkeraman kaum
imperialisme.
Inilah di antara sebab yang melatarbelakangi perlunya didirikan lembaga-
lembaga pendidikan melalui wadah organisasi Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad
Dahlan. Secara umum, pendidikan Islam pada masa penjajahan dapat dipetakan
dalam dua periode besar; masa penjajahan Belanda, dan masa penjajahan Jepang.
Sudah tidak digarukan lagi peran sosok K.H. Ahmad Dahlan pada masa
penjajahan dua periode tersebut, sehinggalayaklah K.H. Ahmad Dahlan
merupakan tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila beliau
mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu, untuk
menelusuri bagaiman orientasi filosofis pendidikan kiai mesti lebih banyak
merujuk pada bagaiman ia membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato
terakhir yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena
menunjukan secara eksplisit konsen kiai terhadap pencerahan akal suci melalui
filsafat dan logika. Setidaknya ada tiga kalimat kunci yang menggambatkan
tingginya minat kiai dalam pencerahan akal, yaitu :
15
1. Pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang
dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal
sehat dan istiqomah terhadap terhadap kebenaran akali dengan didasari
hati yang suci.
2. Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia.
3. Ilmi mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia
yang hanya akan dicapai jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah
SWT.15
Setidaknya tiga kalimat kunci diataslah yang menggambarkan betapa
pentingnya pencerahan akal dalam rangka sebagai dasar dalam melaksanakan
proses pendidikan. Dengan pengetahuan tertinggi, akal, dan ilmu mantiq sebagai
dasar yang harus dimiliki peserta didik dalam proses pembelajaran, karena
dengan itu peserta didik akan dengan mudah dan cepat dalam merespon dan
menangkap pelajaran atau materi yang disampaikan oleh pendidik.
Pada hakikatnya cita-cita pendidikan yang digagas oleh K.H. Ahmad
Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai
“ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang Muslim yang memiliki
ketaguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan ruhani.16
Sedikit berbeda dengan tujuan yang dikemukakan oleh K.H. Hasyim
Asy’ari. Dalam tujuan yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan lebih ke
ranah pembaharuan sosial. Karena beliau melihat carut marutnya kehidupan sosial
pada masa itu. Mulai dari ritual keagamaan yang sudah menyimpang dari 15 Adi Nugroho, KH. Ahmad Dahlan : Biografi Singkat 1869-1923, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 136. 16 Ibin, hlm. 137
16
syariatnya, sampai pada hubungan manusia satu dengan menusia yang lain yang
semakin lama semakit tidak bisa terkondisikan. Maka harapan besar dari K.H.
Ahmad Dahlan adalah menciptakan pribadi yang mempunyai wawasan
keagamaan yang tinggi dan mempunyai pengetahuan yang luas agar tebentuknya
ulama-intelek dan intelek-ulama.
Kedua tokoh tersebutlah yang menginspirasi penulis untuk kembali
menggungkap pemikiran-pemikiran yang sudah mereka lahirkan. Dengan harapan
pemikiran kedua tokoh tersebut menjadi referensi para pemikir lainnya dalam
rangka mengembangkan pola pendidikan Islam yang selama ini masih diniali
mengalami stagnasi yang berlebihan.
Akan tetapi disadari ataupun tidak, Indonesia memiliki banyak melahirkan
putra bangsa yang dalam kehidupannya dihabiskan dalam dan untuk memikirkan
pendidikan yang sesuai untuk bangsa ini. Karena pendidikan merupakan syarat
wajib yang harus terpenuhi dalam sebuah bangsa dan negara jika berkeinginan
mendapatkan predikat sebagai bangsa dan Negara maju dan berkembang. Maka
tidak lain jawabannya adalah memaksimalkan pendidikan yang menyeluruh pada
masyarakat Indonesia. Di tambah, pendidikan merupakan icon terpenting dalam
tatanan sebuah bangsa dan Negara.
Pada kenyataannya masih banyak para pakar, tokoh, dan peneliti yang
banyak mengunggkapkan sisi pemikiran kedua tokoh tersebut, maka dengan
demikian pemaparan diatas merupakan sedikit tentang pemikiran K.H. Ahmad
Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari mengenai konsep pendidikan Islam yang
menjadikan peneliti merasa tertarik untuk mengangkat topik yang berjudul
17
"Komparasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari
Tentang Pendidikan Islam" yang berusaha untuk menganalisa pendidikan Islam
dari sudut pandang kedua tokoh tersebut.
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tersebut merupakan salah
satu icon terbesar dan tersohor dari ribuan tokoh intelektual muslim yang pernah
dimiliki bangsa Indonesia, yang dalam kehidupannya menjadi sosok pejuang yang
mampu memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Salah satu bukti yang terekam oleh sejarah adalah kedua tokoh tersebut
memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negara khususnya dalam dunia
pendidikan. Dalam hal ini yang dimaksud kontribusi yang diberikan pada bangsa
dan negara adalah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan pesantren yang
sebagi wujud perlawanan dari penjajah yang pada waktu itu mendominasi sistem
pendidikan di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan di atas, maka perlu
kiranya diberikan suatu rumusan masalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam
pembahasan penelitian. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah:
1. Bagaimanakah definisi pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad
Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari?
2. Apa tujuan pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan
K.H. Hasyim Asy’ari?
3. Apa dasar atau landasan yang digunakan dalam pendidikan Islam
perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari?
18
4. Apa persamaan dan perbedaan pendidikan Islam dalam perspektif K.H.
Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah tertulis diatas, maka tujuan
penelitian yang diharapkan adalah sebagi berikut:
1. Untuk mendiskripsikan pendidikan Islam sesuai dengan pemikiran K.H.
Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari.
2. Untuk mengetahui dan memahami persamaan dan perbedaan pendidikan
Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari.
D. Manfaat Penelitian
Segala tindakan dan perbuatan diharapakan mengandung manfaat baik
bagi dirinya ataupun bagi orang lain. Oleh karena itu, berdasarkan tujuan
penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka penelitian ini diharapkan
mempunyai manfaat, antara lain:
1. Manfaat bagi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Sebagai bahan dokumentasi bagi pengembangan Pendidikan Agama Islam,
dan menjadi masukan bagi lembaga ini, agar mempunyai pandangan yang
lebih luas terhadap Pendidikan Islam.
2. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Sebagai alat atau sarana yang bisa dibaca atau dijadikan rujukan untuk
memperoleh informasi-informasi terkait dengan pendidikan Islam,
sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya
sudah pernah ada.
19
3. Manfaat bagi peneliti.
Menambah khazanah keilmuan tentang pendidikan Islam dalam perspektif
tokoh pendidikan Islam.
E. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penulisan kali ini dimaksudkan agar dalam proses
penulisan dan penelitian tidak keluar dari konteks yang diinginkan oleh penulis
dan juga agar pembahasan lebih fokus sesuai dengan keinginannya, sehingga
menghasilkan karya tulis yang sesuai dengan stsndar penulisan yang baku dan
benar.
Dalam penelitian ini, Peneliti membatasi kajiannya dengan mengkaji
tentang pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim
Asy’ari yang disesuaikan dengan rumusan masalah yang diangkat dalam
penulisan ini. Adapun batasan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini
menyakup beberapa dimensi-dimensi pendidikan, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Definisi pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.
Hasyim Asy’ari
2. Tujuan pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.
Hasyim Asy’ari
3. Dasar-dasar pendidikan Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan
K.H. Hasyim Asy’ari
4. Persamaan dan perbedaan pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.
Hasyim Asy’ari
20
Dari empat batasan masalah yang penulis angkat diatas tidak akan
dilepaskan dari perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari.
F. Definisi Operasional
Untuk mempermudah pemahaman dan kejelasan tentang arah penulisan
skripsi ini, maka penulis memaparkan definisi yang tertera dalam judul.
Dalam Kamus Ilmiah Populer disebutkan bahwa Komparasi adalah
perbandingan,17 yakni penulis ingin mengetahui letak persamaan dan perbedaan
pendidikan Islam sesuai dengan perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim
Asy’ari. Sedangkan menurut Winarno Surahmad metode komparatif adalah
meneliti faktor-faktor tertentu yang ada hubungannya dengan situasi yang
diselidiki dan dibandingkan dengan faktor yang lain.18 Metode komparatif dalam
penelitian ini akan berguna dalam mengkomparasikan dua ide yang berbeda guna
mengambil jalan tengah yang lebih baik.
Tidak hanya sekedar selesai pemahaman dalam pemikiran pendidikan
Islam yeng mereka lahirkan, akan tetapi komaparasi yang dimaksudkan dalam
penulisan kali ini adalah untuk mengetahui dan memahami setting sosial
keberadaan mereka pada masa itu, sehingga dapat diketahui latar belakang
pemikiran yang mereka lahirkan. Karena dengan mengetahui setting sosial pada
waktu itu, maka akan dapat diketahui maksud dan tujuan dari karya yang
dihasilkan oleh tokoh-tokoh tersebut.
17 Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer. (Surabaya: Arloka, 1994), hlm. 352. 18 Winarno Suharmad, Dasar Dan Tehnik Research Pengantar Metodologi Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1999), hlm. 135-136.
21
Selanjutnya tentang Pendidikan Islam, adalah usaha mengubah tingkah
laku dalam kehidupan, baik individu atau bermasyarakat serta berinteraksi dengan
alam sekitar melalui proses kependidikan berlandaskan Islam.19
KH. Hasyim Asy’ari adalah tokoh pendiri organisasi sosial keagamaan
yakni Nahdlotul Ulama. Begitu juga dengan KH. Ahmad Dahlan adalah tokoh
pendiri organisasi sosial keagamaan yakni Muhammadiyah.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan yang terdapat dibawah ini merupakan runtutan
pembahasan yang akan disajikan dalam penulisan ini, adapun sistematika
pembahannya sebagaimana berikut:
BAB I Pendahuluan
Dalam pendahuluan ini akan dikemukakan berbagai gambaran
singkat tentang sasaran dan tujuan sebagai tahap-tahapan untuk
mencapai tujuan dari keseluruhan tulisan ini. Serta mendiskripsikan
arah pada penulisan skripsi ini, agar dapat terlihat dengan jelas arah
tujuan penulisan. Pembahasan pada bab pendahuluan ini meliputi:
Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Definisi Operasional dan Batasan Masalah, serta
Sistematika Pembahasan.
BAB II Kajian Pustaka
Bab ini mendiskripsikan tentang tokoh-tokoh atau tema besar yang
19 M. Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an Integrasi Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani (Yogyakarta: Mikraj, 2005), hlm. 55.
22
akan diteliti oleh penulis dengan disertai acuan yang berisi penelitian
terdahulu tentang pendidikan Islam yang memaparkan pembahasan
pendidikan Islam dalam perspektif para tokoh pendidikan.
Pembahasan ini meliputi: Definisi Pendidikan Islam, Tujuan
Pendidikan Islam, Dasar Pendidikan Islam, serta Persamaan dan
Perbedaan Pendidikan Islam sesuai dengan perspektif kedua tokoh
yang diangkat dalam penulisan ini..
BAB III Metode Penelitian
Bab ini merupakan unsure terpenting dalm sebuah penelitian, karena
dengan berpatokan pada metode penelitian yang sudah tervalidasi
oleh standar penelitian, maka arah penulisan akan tersisitematis. Pada
bab ini berisikan tentang Pendekatan dan Jenis Penelitian, Data dan
Sumber Data, Tehnik Pengumpulan Data, Analisis Data,
Pengecekkan Keabsahan Data, dan Tahap-tahap Penelitian.
BAB IV Hasil penelitian
Bab ini berisi hasil penelitian dan telaah yang telah dilakukan oleh
peneliti terkait dengan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.
Hasyim Asy’ari yang kemudian akan dipaparkan secara naratif
diskriptif yang meliputi tentang pendidikan Islam, dan dalam
pembahasan atau bab ini meliputi: Definisi, Tujuan, Dasar
pendidikan Islam, dan Persamaan serta Perbedaan (komparasi)
pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim
Asy’ari.
23
BAB V Pembahasan Hasil Penelitian
Dalam Bab ini peneliti akan menganalisis tentang data yang sudah
didapatkan pada bab sebelumnya yang kemudian akan diuraikan
sesuai dengan apa yang akan dipaparkan dalam tulisan ini.
BAB VI Penutup
Bab ini mencoba untuk menguraikan secara singkat, padat dan
bersifat substansial tentang pembahasan pemikiran K.H. Ahmad
Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam dengan
menarik kesimpulan serta memberikan saran dalam penulisan..
24
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Peneliti mengakui bahwa penelitian tentang K.H. Hasyim Asy’ari bukan
merupakan kajian yang pertama kali dilakukan. Hal ini disebabkan karena K.H.
Hasyim Asy’ari adalah termasuk tokoh yang banyak bergelut dalam bidang
pendidikan yang cukup terkenal dan telah menghasilkan banyak karya-karya, baik
yang berhubungan dengan masalah kependidikan maupun yang lainnya.
Sebelumya penelitian mengenai pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari telah
dikaji oleh Rohinah, yang mengkaji tentang "Sistem Nilai dan Pendidikan (Studi
atas Pemikiran Pendidikan K.H.M. Hasyim Asy’ari)" yang di dalamnya
membahas tentang definisi, tujuan, bentuk dasar pendidikan Islam, metode
pengajaran dan komponen penilaian berdasarkan pemikiran K.H. Hasyim
Asy’ari.20 Namun, sepanjang hasil penelitian yang diketahui oleh penulis, masih
belum ada yang mencoba melakukan penelitian tentang pemikiran pendidikan
K.H Ahmad Dahlan, kemudian penulis juga belum menemuakan hasil penelitian
yang mencoba membandingkan (komparasi) pemikiran pendidikan K.H. Ahmad
Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari untuk menemukan persamaan dan perbedaan
dari dua tokoh tersebut.
Maka penulis di sini sifatnya bisa dikatakan melanjutkan penelitian
terdahulu yang pernah dilakukan yang sifatnya masih sangat umum dan mencoba
melakukan penelitian yang sekiranya belum dilakukan oleh para pakar dalam
20 Rohinah, Sistem Nilai dan Pendidikan: Studi atas Pemikiran Pendidikan K.H.M. Hasyim Asy’ari, (Jakarta: Tesis UIN Syarif Hidatullah, 2008).
25
dunia pendidikan dalam mengkaji pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.
Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam untuk menemukan dan memahami
persamaan dan perbedaan serta mampu merelevansikan pemikiran kedua tokoh
tersebut sesuan dengan perkembangan pendidikan modern.
B. Kondisi Pendidikan
Pendidikan sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan
individual, sosial dan cultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan
kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama
sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta
dalam keluarga antara suami dan istri, antara orang tua dan anak serta anak
lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu
berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik
dengan lengkap. Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik
yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai
kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya
individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya
perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan
skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi
manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara.
Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar
seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota,
masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro
masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan
26
harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi
muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam
arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat
berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan
sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama
komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah
dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh
peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat
konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar
kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.21
Kita menyadari bahwa selama ini kondisi pendidikan kita masih relatif
belum banyak mengalami perubahan, sehingga disini perubahan harus dilakukan
untuk memperbaharuhi pola belajar dan pembelajaran khususnya dilembaga-
lembaga pendidikan persekolahan dengan menciptakan kondisi belajar yang
memungkinkan belajar yang dapat mengembangkan keutuhannya sebagai pribadi
yang memiliki keluasan ilmu, mampu mengaplikasikan dan mengamalkan
ilmunya, dapat menemukan dan menjadi dirinya sendiri sebagai manusia
beragama, berilmu, bermoral dan bersosial serta dapat hidup dan memberikan
kemaslahatan dalam kehidupan bersama.
Pembelajaran diarahkan untuk memiliki wawasan global, wawasan yang
berprespektif masa depan, berfikir kritis, inovatif-kreatif, berimajinasi,
berinterpretasi, yaitu berfikir holistic, imperatif, produktif dan tidak dikotomis.
21 Munzir Hitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Riau: Infinite press, 2004), hlm. 12.
27
Jadi pengembangan pola belajar seutuhnya dapat diarahkan menjadi empat pilar
secara utuh yaitu, belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk
berbuat (learning to do), belajar untuk menjadi jati diri (learning to be), dan
belajar untuk hidup bersama,(learning to live together).22
Untuk meningkatkan mutu dan kualitas dari hasil pendidikan yang
berdasarkan pada pendidikan nasional, adalah melalui belajar dan pembelajaran.
Walaupun sebenarnya bahwa peningkatan kualitas dalam proses belajar dan
pembelajaran adalah menjadi suatu keniscayaan tapi ingat bahwa ada prosesnya
yaitu kita bisa melalui persepsi, penyimpanan informasi, pemanfaatan dan
penerapan kembali informasi yang diperoleh untuk memecahkan masalah yang
dihadapi. Belajar merupakan kegiatan aktif pembelajar dalam membangun makna
atau pemahaman dan pembentukan nilai-nilai. Karena itu dalam peningkatan
kualitas proses belajar dan pembelajaran dibutuhkan kemampuan penciptaan
situasi dan kondisi belajar untuk terus belajar sampai sepanjang hayat.
Beberapa prinsip pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas proses
pendidikan belajar-pembelajaran yaitu antara lain, satu, berpusat pada
pembelajaran, yakni pengelolaan pembelajaran dapat membuat para siswa belajar
sesuai karakteristik kemampuan, minat, kesenangan, pengalan cara dan gaya
belajar, dua, belajar dengan melakukan, yakni pembelajaran diupayakan
yangdapat memberikan pengalaman nyata siswa untuk mengaplikasikan konsep,
kaidah, prinsip dan dalil dalam dunia nyata (learning to do), ketiga,
mengembangkan kemampuan sosial, keempat, mengembangkan keinginantahuan,
22 E.Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Karakteristik dan Implementasinya, (Bandung: Rosda Karya, 2002), hlm. 5.
28
imajinasi dan fitrah bertuhan, yakni melatih modal dasar untuk bersikap, kelima,
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, keenam, mengembangkan
kreatifitas peserta didik, ketujuh, mengembangkan kemampuan menggunakan
ilmu dan teknologi, kedelapan, menuimbuhkan kesadaran sebagai warga negara
yang baik, kesembilan mendorong belajar sepanjang hanyat, kesepuluh,
membangun perpaduan kemampuan berkopetisi, bekerja sama dan solidaritas.23
Agar dapat melakukan prinsip-prinsip di atas, dibutuhkan penataan atau
pengelolaan suasana dan pengalaman belajar yang nyaman dan menyenangkan
(joyfull learning), yakni menciptakan suasana belajar yang aktif, kreatif dan
menyenangkan.
Dengan mempertimbangkan beberapa fenomena tentang pendidikan
seutuhnya dalam persepektif pendidikan nasional yang kaitannya pada pendidikan
menengah, sehingga objeknya adalah pribadi pada usia remaja serta kondisi
sosial-masyarakat dewasa ini, baik dalam skala regional, nasional dan global,
maka tantangan pendidikan dimasa depan makin memerlukan antisipasi secara
maksimal dari pendidikan nasional.
Di masa depan bahwa pendidikan seutuhnya, yang perlu menjadi perhatian
pemerintah dan masyarakat, termasuk dunia industri yaitu; sekolah membangun
proses pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak didik,
menekankan dan mengembangkan kecakapan hidup (life skill) baik yang bersifat
vocational atau pun kepribadian sosial sehingga tidak bisa lepas dari peran orang
tua dan masyarakat dalam proses pendidikan.
23 Ibid., hlm. 7-8.
29
Transformasi belajar dan pembelajaran dalam upaya meningkatkan
kualitas dan mutu pendidikan harus terus diupayakan sebagai konsekuensi dari
tuntutan belajar yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan suasana, watak, gaya belajar
yang seragam serta tidak memberdayakan peserta didik perlu dikembangkan
menjadi pola dan sikap belajar yang mengembangkan keutuhan peserta didik
secara aktif, produktif dan proaktif dalam membangun learning to know, learning
to do, dan learning to live together.
Selanjutnya dalam paragraf dibawah ini akan diterangkan lebih terperinci
mengenai dimensi-dimensi dalam pendidikan, yang tentunya disesuaikan dengan
batasan masalah yang sudah disampaikan dan dipaparkan diatas agar tidak
mengalami perluasan pembahasan.
a. Definisi Pendidikan
Problem mendasar yang dihadapi masyarakat dari negara berkembang
adalah keterbelakangan ekonomi sebagai akibat dari rendahnya tingkat kualitas
pendidikan. Masalah pendidikan sangat kompleks, sementara di sisi lain dominasi
peradaban Barat yang sekularistik terus merajalela. Upaya mengejar
ketertinggalan dari dunia Barat memang telah lama dilakukan. Hanya saja strategi
pembangunan yang mengadopsi Barat dan meletakkan model kapitalisme sebagai
kiblat yang harus ditiru telah memberikan implikasi terciptanya masyarakat yang
hedonis, individualis, dan materialistis. Negara-negara berkembang telah
meletakkan unsure ‘kebendaan’ sebagai tolok ukur keberhasilan dan kesuksesan
hidup.
30
Dalam keadaan demikian, pendidikan Islam menghadapi persoalan yang
cukup serius dan rentan terhadap terjadinya krisis nilai. Pola hidup materialisme
di tengah masyarakat dewasa ini tentunya sebuah tantangan berat bagi pendidikan
Islam yang berkarakteristik balancing antara kepentingan dunia dan akhirat.
Sebelum membahas tentang pengertian Pendidikan Islam secara lebih
khusus, maka akan kita bahas terlebih dahulu pengertian pendidikan secara
umum.
Istilah pendidikan dalam bahasa Inggris education, berasal dari basaha
latin educare, yang dapat diartikan pembimbingan keberlanjutan (to lead forth).
Jika diperluas, arti etimologis itu mencerminkan keberadaan pendidikan yang
berlangsung dari generasi kegenerasi sepanjang eksistensi kehidupan manusia.
Secara teoritis, ada pendapat yang mengatakan bahwa bagi manusia pada
umumnya, pendidikan berlangsung sejak 25 tahun sebelum kelahiran. Pendapat
itu dapat diartikan bahwa sebelum menikah, ada kewajiban bagi siapapun untuk
mendidik diri sendiri terlebih dahulu sebelum mendidik anak keturunannya.
Secara praktis ada yang berpendapat bagi manusia individual, pendidikan dimulai
sejak bayi lahir dan bahkan sejak masih di dalam kandungan. Memperhatikan
kedua pendapat itu, dapat disimpulkan bahwa keberadaan pendidikan melekat erat
pada dan di dalam diri manusia sepanjang zaman.24
Definisi diatas menggambarkan bahwa pada hakikatnya pendidikan
dilaksanakan jauh dari masa kelahiran. Dimana sebelum dan sesudah lahir,
manusia ditunutut untuk melaksanakan proses pendidikan. Semua manusia
24 Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 77.
31
dimanapun berada mendapatkan kewajiban untuk menuntut ilmu. Karena hanya
dengan ilmulah derat manusia akan dianggat oleh Allah SWT.
Telah banyak ahli yang membahas definisi pendidikan, tetapi dalam
pembahasannya mengalami kesulitan, karena antara satu definisi dengan definisi
yang lain sering terjadi perbedaan. Menurut Ahmad Marimba, “pendidikan adalah
bimbingan atau didikan secara sadar yang dilakukan oleh pendidik terhadap
perkembangan anak didik, baik jasmani maupun rohani, menuju terbentuknya
kepribadian yang utama”. Definisi ini sangat sederhana meskipun secara
substansial telah mencerminkan pemahaman tentang proses pendidikan. Menurut
definisi ini, pendidikan hanya terbatas pengembangan pribadi anak didik oleh
pendidik. Sedangkan Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan secara luas, yaitu:
“pengembangan pribadi dalam semua aspeknya”.25 Dengan catatan bahwa yang
dimaksud “pengembangan pribadi” sudah mencakup pendidikan oleh diri sendiri,
lingkungan dan orang lain. Sedangkan kata “semua aspek”, sudah mencakup
jasmani, akal, dan hati. Dengan demikian tugas pendidikan bukan sekedar
meningkatkan kecerdasan intelektual, tetapi juga mengembangkan seluruh aspek
kepribadian peserta didik. Definisi inilah yang kemudian lebih dikenal dengan
istilah tarbiyah, dimana peserta didik bukan sekedar orang yang mampu berfikir,
tetapi juga orang yang belum mencapai kedewasaan. Oleh karena itu tidak dapat
diidentikkan dengan pengajaran.26
Pada hakikatnya para pakar atau tokoh dalam mendefinisikan pendidikan
harus dilihat pada setting sosial yang terjadi pada waktu itu, karena definisi 25 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2005), hlm. 28 26 M. Suyudi, Op. Cit.,hlm. 52
32
tentang pendidikan yang mereka ungkapkan adalah mencakup kondisi dan
tuntutan sosial pada waktu itu, maka jelas banyak definisi pendidikan yang
berbeda antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Akan tetapi pada hakikatnya
tujuan yang mereka inginkan adalah sama, yakni ingin memanusiakan manusia.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.27 Dalam referensi yang lain disebutkan
bahwa pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai
dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarkat dan kebudayaan.28
Paragaraf definisi diatas lebih menekankan pada pengembangan potensi
peserta didik. Karena mereka yakin bahwa manusia diciptakan dengan segala
kemampuan dan kekurangan, maka sudah barang tentu tugas dan tujuan lembaga
pendidikan adalah memaksimalkan potensi yang diberikan Tuhan kepada peserta
didik. Dengan demikian, peserta didik aka mampu mengembangkan dan
mengeksplorasikan bakat dan potensi yang dimilikinya.
Dari definisi yang sudah diungkapkan oleh para ahli, secara umum dapat
dikelompokan menjadi dua, yaitu definisi secara sempit yang mengkhususkan
pendidikan hanya untuk anak dan hanya dilakukan oleh lembaga atau institusi
khusus dalam rangka mangantarkan anak didik pada kedewasaan, sedangkan 27 Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS (Bandung: Citra Umbara. 2006), hlm. 72 28 M. Djumransjah, Filasafat Pendidikan (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), hlm. 22
33
definisi pendidikan secara luas dimana pendidikan berlaku untuk semua orang dan
dapat dil;akukan oleh semua orang bahkan oleh lingkungan. Tetapi dari perbedaan
tersebut ada kesamaan tujuan yaitu untuk mencapai kebahagiaan dan nilai
tertinggi.
Dengan demikian, definisi-definisi tersebut dapat diverbalisasikan dalam
sebuah definisi yang komperhensif bahwa pendidikan adalah seluruh aktivitas
atau upaya secara sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik
terhadap semua aspek perkembangan kepribadian baik jasmani maupun rohani,
secara formal, informal maupun nonformal yang berjalan terus menerus untuk
mencapai kebahagiaan dan nilai yang tertinggi, baik nilai insaniyah maupun
ilahiyah.
b. Definisi Pendidikan Islam
Islam telah menyerukan adanya prinsip persamaan dan kesempatan yang
sama dalam belajar, sehingga terbukalah jalan yang mudah untuk belajar bagi
semua orang. Bila seseorang memiliki keinginan untuk belajar dan rasa cinta ilmu,
kegairahan untuk mengadakan penelitian dan pembahasan, pintu untuk belajar
terbuka luas baginya, bahkan Islam mendorong supaya mereka belajar, apalagi
bila seseorang itu pembawaan cerdas.
Dengan demikian pintu pendidikan terbuka seluas-luasnya bagi setiap
orang yang berkeinginan untuk belajar agama dan lain-lainnya kapan saja dan
dimana saja. Inilah dia demokrasi yang hakiki di dalam pendidikan dan
pengajaran.
34
Islam ternyata telah menyamaratakan anak-anak si kaya dan si miskin
dalam bidang pendidikan dan memberikan kesempatan yang sama kepada semua
untuk belajar tanpa diskriminasi. Islam juga tidak mengatakan kepada si miskin,
kamu dijadikan untuk menduduki tempat-tempat rendah sedang orang-orang kaya
dijadikan untuk menduduki tempat-tempat yang tinggi, seperti apa yang
disuarakan di Eropa sampai pada abad ke 19.
Kesimpulannya di dalam pendidikan Islam terwujud prinsip-prinsip
demokrasi, kebebasan, persamaan, dan kesempatan yang sama buat belajar, tanpa
diskriminasi antara si kaya dan si miskin.
Kata Islam yang berada di belakang kata pendidikan menunjukan warna,
model, benduk dan ciri dari pendidikan, yaitu pendidikan yang bernuansa Islam
atau pendidikan yang Islami. Secara psikologis, kata tersebut mengindikasikan
suatu proses untuk pencapaian nilai moral, sehingga subjek dan objeknya
senantiasa mengkonotasikan kepada prilaku yang bernilai, dan menjahui sikap
amoral.
Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah tarbiyah,
ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris. Masing-masing istilah tersebut memiliki
keunikan makna tersendiri ketika sebagian atau semuanya disebut secara
bersamaan. Namun, kesemuanya akan memiliki makna yang sama jika disebut
salah satunya, sebab salah satu istilah itu sebenarnya mewakili istilah yang lain.
Atas dasar itu, dalam beberapa buku pendidikan Islam, semua istilah itu
digunakan secara bergantian dalam mewakili peristilahan pendidikan Islam.29
29 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 10
35
Selanjutnya pada alenia ini akan mulai dibahas tentang definisi dari
pendidikan Islam itu sendiri. Yang dimaksud dengan pendidikan Islam jangan
cuma dipahami sebagai pendidikan yang berlabel Islam seperti madrasah-
madrasah ataupun pondok pesantren. Akan tetapi lebih dari itu pendidikan Islam
adalah mencakup semua proses pemikiran, penyelenggaraan dan tujuan, mulai
dari gagasan, visi, misi, institusi (pranata), kurikulum, buku pelajaran,
metodologi, SDM, proses belajar mengajar, lingkungan pendidikan, yang
disemangati dan bersumber pada ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam, yang secara
built-in (menyatu) mewarnai proses pendidikan tersebut.30
Dalam sebuah buku “Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an Integrasi
Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani” karangan M. Suyudi disebutkan
beberapa definisi pendidikan Islam menurut beberapa tokoh, yakni:
1. Muhammad Fadlil Al-Jamali. Pendidikan Islam adalah proses yang
mengarahkan manusia kepada kehidupan yang mengangkat derajat
kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan
kemampuan ajarnya.
2. Omar Mohammad Al-Toumy. Pendidikan Islam adalah usaha
mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu atau
bermasyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses
kependidikan berlandaskan Islam.
3. Muhammad Munir Mursyi. Pendidikan Islam adalah pendidikan fitrah
manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah,
30 Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Lantabora Press), hlm. 26
36
larangan dan kepatuhannya dapat mengantarkan mengetahui fitrah
ini.31
Banyak definisi pendidikan Islam yang sudah dipaparkan oleh beberapa
tokoh dan pakar pendidikan, akan tetapi pada hakikatnya pendidikan adalah upaya
sadar yang dilakukan untuk mengarahkan manusia pada derajat kemanusiaanya
yang disesuaikan dengan bakat, kemampuan dan potensi yang dimilikinya.
Dengan demikian manusia akan mengetahui tugan dan kewajiban sebagai hamba
Allah dan sebagai warga negara.
c. Tujuan Pendidikan Islam
Sejalan dengan penentuan prioritas pembangunan, lebih-lebih pada bidang
yang bersifat material, maka terdapat kecenderungan dalam bidang pendidikan
untuk menjejalkan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan bidang material
tersebut. Kecenderungan ini sebenarnya bertujuan baik. Ia bermaksud
menyesuaikan diri dengan iklim pembangunan dan kemajuan teknologi. Ia juga
bermaksud memenuhi kebutuhan tenaga-tenaga yang masih sangat kurang pada
bidang-bidang tersebut. Akan tetapi karena bahan-bahan yang diberikan umumnya
bersifat ekstern dari inti kepribadian manusia, dengan sendirinya ciri pendidikan
yang sangat nampak hanyalah lebih bersifat pengajaran. Sedangkan pada dasarnya
pendidikan tidak identik dengan pengajaran yang hanya terbatas pada upaya
pengembangan intelektualitas manusia. Tugas pendidikan bukan melulu
meningkatkan kecerdasan, melainkan mengembangkan seluruh aspek kepribadian
31 M. Suyudi, Op. Cit., hlm. 55.
37
manusia. Pendidikan merupakan sarana utama untuk mengembangkan
kepribadian manusia.
Faktor tujuan mempunyai peranan penting dalam pendidikan Islam, sebab
akan memberikan standar, arahan, batas ruang gerak, dan penilaian atas
keberhasialan kegiatan yang dilakukan. Dalam merumuskan tujuan pendidikan,
khusus untuk pendidikan Islam, disesuaikan dengan kriteria dan karakter ilmu
dalam Islam, yaitu terstruktur hierarkis dari tingkat konkreta sampai dengan
illata.32
Tujuan Pendidikan dalam meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan dan berdisiplin, beretos kerja,
profesional, bertanggung jawab, terampil serta mandiri. Jika kita mengamati
pendidikan kita yang sekarang ini, maka kita akan mendapatkan suatu kenyataan
bahwa Pendidikan Agama Islam ternyata masih jauh dari apa yang kita harapkan,
walaupun telah berbagai cara yang telah dilakukan dalam meningkatkan
keberhasilan Pendidikan Agama Islam.
Pada dasarnya, keberhasilan Pendidikan Agama Islam dapat terwujud
apabila seluruh aspek yang berhubungan langsung dengan pendidikan dapat
bekerjasama dan saling membantu dari berbagai pihak antara lain pihak sekolah
dengan orang tua siswa, lembaga dengan masyarakat dan lain sebagainya demi
meningkatkan keberhasilan Pendidikan Agama Islam.
Sedangkan tokoh dari Barat, Jhon Dewey mengungkapkan bahwa tujuan
pendidikan dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu means dan ends.
32 Jasa Ungguh Mulaiwan, Pendidikan Islam Integratif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 123.
38
Means merupakan tujuan yang berfungsi sebagai alat yang dapat mencapai ends.
Means adalah tujuan “antara”, sedangkan ends adalah tujuan “akhir”. Dengan dua
kategori ini, tujuan pendidikan harus memiliki tiga kriteria, yaitu:
1. Tujuan harus dapat menciptakan perkembangan yang lebih baik
daripada kondisi yang sudah ada.
2. Tujuan itu harus fleksibel, yang dapat disesuaikan dan menyesuaikan
dengan keadaan dan situasi dan kondisi apapun.
3. Tujuan itu harus mewakili kebebasan aktivitas.
Pada akhirnya, setiap tujuan harus mengandung nilai yang dirumuskan
melalui observasi, pilihan, dan perencanaan, yang dilaksanakan dari waktu ke
waktu. Apabila tujuan itu tidak mengandung nilai, bahkan dapat menghambat
pikiran sehat peserta didik, maka itu dilarang.33
Tujuan itu sendiri, menurut Zakiah Darajat, adalah sesuatu yang
diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Sedangkan menurut
H.M. Arifin, tujuan itu bisa jadi menunjukan kepada masa depan yang terletak
suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses
tertentu.34
Meskipun banyak pendapat yang merumuskan tentang pengertian dari
tujuan itu sendiri, akan tetapi tetap mempunyai unsur kesamaan yakni perbuatau
atau maksud yang hendak dicapai melalui perbuatan atau usaha-usaha.
Untuk mengetahui tujuan pendidikan, harus berdasarkan atas tinjauan
filosofis. Adapun tujuan pendidikan secara umum adalah:
33 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), hlm. 113-114. 34 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 64.
39
1. Jika pendidikan bersifat progresif, maka tujuannya harus diartikan
sebagai rekonstruksi pengalaman. Dalam hal ini, pendidikan bukan
sekedar menyampaikan pengetahuan kepada anak didik, tetapi juag
melatih kemampuan berpikir dan memberikan stimulan, sehingga
mampu berbuat sesuai dengan intelegent dan tuntutan lingkungan.
Aliran ini dikenal dengan progresivisme.
2. Jika yang dikehendaki adalah pendidikan nilai yang tinggi, maka
pendidikan pembawa nilai yang ada di luar jiwa anak didik, sehingga
ia perlu dilatih agar mempunyai kemampuan yang tinggi. Aliran ini
dikenal dengan essensialisme.
3. Jika tujuan pendidikan dikehendaki agar kembali kepad konsep jiwa
sebagai tuntunan manusia, maka prinsip utamanya iasebagai dasar
pegangan intelektual manusia yang dapat menjadi sarana untuk
menemukan evidensi sendiri. Aliran ini dikenal dengan perenialisme.
4. Menghendaki agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya
secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan
masyarakat karena adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan penyesuaian ini, anak didik tetap berada dalam
suasana aman dan bebas yang dikenal dengan aliran
rekonstruksionisme.35
Dari uraian diatas kiranya dapat memberikan gambaran luas tentang ruang
lingkup tujuan yang dikehendaki oleh pendidikan. Karena dalam hal ini manusia
35 M. Suyudi, Op. Cit., hlm. 62-63.
40
sebagai objek dan subjek pendidikan, maka pendidikan harus mampu
mengembangkan misi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
pribadi dan masyarakat. Orientasinya harus utuh (memperkokoh) keberadaan
manusia sebagai makhluk pribadi dan masyarakat. Dalam rangka peranannya itu,
maka fungsi tujuan pendidikan akhir maupun khusus, yang normatif maupun
operatif-praksis merupakan salah satu faktor penting, bukan saja sebagai
pendorong, motivasi bagi anak didik dalam cita-cita hidupnya, tetapi juga
menjadi isi pokok pendidikan dan akan menentukan metode pengajaran, sistem
dan organisasi kurikulum.
Adapun tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri menurut Abu Ahmadi
mempunyai tahapan-tahapan, yakni:
1. Tujuan tertinggi/terakhir
Tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan dan berlaku umum,
karena sesuai dengan konsep keTuhanan yang mengandung kebenaran mutlak dan
universal. Tujuan tertinggi ini pada akhirnya sesuai dengan tujuan hidup manusia
dan peranannya sebagai ciptaan Tuhan, yakni:
a) Menjadi hamba Allah
b) Mengantarkan subjek didik menjadi khalifah di muka bumi
c) Untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia
sampai akhirat, baik individu maupun masyarakat.
Dengan tiga tujuan yang sudah terpaparkan di atas, diharapkan pendidikan
mampu menjadi sarana yang paling tepat dan strategis dalam mewujudkan cita-
cita yang luhur.
41
2. Tujuan umum
Berbeda dengan tujuan tertinggi yang lebih mengutamakan pendekatan
filosofik, tujuan umum lebih bersifat empirik dan realistik. Tujuan umum
berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut
perubahan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik. Dikatakan umum karena
berlaku bagi siapa saja dan tanpa dibatasi ruang dan waktu, serta menyangkut diri
peserta didik secara total, baik aspek psikologi, sosiologi dan biologisnya.
3. Tujuan khusus
Tujuan khusus adalah pengkhususan atau operasionalisasi tujuan
tertinggi/terakhir dan tujuan umum. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga
dimungkinkan untuk diadakan perubahan di mana perlu sesuai dengan tuntutan
dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi/terakhir dan
umum itu. Pengkhususan tujuan tersebut dapat didasarkan pada:
a) Kultur dan cita-cita suatu bangsa
b) Minat, bakat, dan kesanggupan subyek didik
c) Tuntutan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu
Ketiga dasar dari tujuan tertinggi inilah yang kemudian menjadi orientasi
dalam pelaksanaan pendidikan dilembaga-lembaga pendidikan Islam. Dengan
berlandaskan ketiga tujuan tersebut, maka harapannya adalah agar supaya tujuan
dari pendidikan Islam tersebut dapat tercapai dan proses pembelajaran menjadi
lebih efektif, inovatif, dan menyenangkan sehingga mampu melahirkan putera-
puteri bangsa dan Negara yang mampu mengemban amanah serta
mengembangkan bangsa dan negara ini.
42
4. Tujuan sementara
Menurut Zakiah Darajat, tujuan sementara itu merupakan tujuan yang akan
dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan
dalam suatu kurikulum pendidikan formal.36
Pada pembahasan kali ini lebih kepada ruang aktualisasi pendidikan
tersebut, sehingga lembaga pendidikan mempu memberikan ruang aktualisasi
pada peserta didik untuk mengeksplorasikan bakat yang sesuan dengan potensi
yang dimiliki. Dimana sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh M. Tholha
Hasan tujuan makro pendidikan Islam dapat dipadatkan dalam tiga macam tujuan,
yaitu:
a) Untuk menyelamatkan dan melindungi fitrah manusia. Dalam
pengertian yang lebih luas, bahwa menurut awidah islamiyah,
setiap manusia yang lahir di bumi ini selalu berada dlam kondisi
fitrah, kondisi kemurnian yang original, yang memiliki naluri dan
kecenderungan beriman terhadap ke-Esaan Tuhan, yang secara
naluri cenderung untuk mengikuti kebaikan dan kebenaran. Fitrah
manusia tersebut sering mengalami gangguan dan tantangan dalam
perjalanan hidup manusia, karena dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, oleh pencemaran eksternal maupun internal, sehingga
dia melakukan penyimpangan, pengingkaran, dan perusakan pola
hidupnya yang benar, yang sesuai dengan fitrahnya. Maka untuk
menyelamatkan dan melindungi manusia itulah, diperlukan proses
36 Ramayulis, Op. Cit., hlm. 66-71
43
pendidikan sepanjang hidup, sejak lahir sampai ke liang kubur.
Proses pendidikan dalam pengertian ini, adalah menjaga agar
manusia tetap dalam kondisi keimanannya kepada Tuhan, selalu
dalam intensitas ketaatan mengikuti ajaran Tuhan (bertakwa), dan
selalu bersikap dan berprilaku yang etis dan terpuji (berakhlak ak-
karimah), agar manusia kompeten menjalankan salah satu dari
tujuan penciptaannya, seperti yang difirmankan dalam al-qur’an
surat Ad-Dzariyat ayat 56.
��� �� �������� ���� ���� ��� �� ���� � �� ���� � �� � ���
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Ad-Dzariyat: 56)37
b) Untuk mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia. Menurut
ajaran Islam, manusia dibekali seperangkat potensi dan
kemampuan yang luar biasa oleh Allah, berupa fisik, naluri,
pancaindera, akal fikiran, hati nurani, ditambah lagi dengan agama.
Maka untuk mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia agar
menjadi kompeten melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di
bumi, dibutuhkan pengetahuan dan keahlian yang bermacam-
macam, dibutuhka keterampilan dan pengalaman yang memadai,
dan semuanya itu membutuhkan pendidikan dan pelatihan dalam
37 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1998, hlm.862.
44
berbagai tingkatan dan bermacam-macam disiplin ilmu
pengetahuan.
c) Menyelaraskan langkah perjalanan fitrah mukhallaqoh (manusia
fitrah) dengan rambu-rambu fitrah munazzalah (agama fitrah/fitrah
Islam) dalam semua aspek kehidupannya, sehingga manusia dapat
lestari hidup di atas jalur kehidupan yang benar, atau di atas jalur
“as-shirat al-mustaqim”. Mereka menjadi orang-orang yang saleh
secara individual maupun saleh secara sosial, mereka yang
merasakan ketenangan, kepuasan dan kebahagian, apabila hidupnya
berjalan sesuai dengan ajaran dan arahan agama Allah (agama
Islam).38
d. Sumber dan Dasar Pendidikan Islam
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pembinaan
kepribadian, tentunya pendidikan Islam memerlukan landasan kerja untuk
memberi arah bagi programnya. Sebab dengan adanya dasar juga berfungsi sebagi
sumber semua peratuaran yang akan diciptakan sebagai pegangan langkah
pelaksanaan dan sebagai jalur langklah yang menentukan arah usaha tersebut.
Dalam istilah bahsa Indonesia, kata “sumber” berarti tempat keluar atau
asal dalam berbagi-bagi arti, sementara “dasar” berarti bagian yang terbawah,
pondasi atau pangkal dari suatu pendapat, dalam hal ini juga bersinonim kata asas,
sedangkan kata “asas” bermakna suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau
38 Muhammad Tholhah Hasan, Op. Cit., hlm. 23-34.
45
tumpuan berfikir. Dengan demikian, sumber pendidikan Islam adalah Al-Qur’an
dan Al-Hadits.
Dari penggalan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam hali ini,
sumber pendidikan Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan landasan, podasi
dan pangkal dalam rangka melaksanakan proses pendidikan. Sehingga dalam
perjalanan pendidikan dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan aturan-aturan
yang sudah ditetapkan dalam sumber tersebut.
Dasar pelaksanaan pendidikan Islam terutama adalah Al-Qur’an dan Al-
Hadits, dalam Al-Qur’an disebutkan sesuai dengan surat Asy-Syura, ayat 52:
���� �� �� � ���� ��� � �� �� ���� � ��� �� ��� ��� ����� � � �� ���� � �� � �� � �� ������� �� �� � ��
������ ���� ���� ���� ����� ��� �� ���� �� � ��� �� � ��� ��� � � �� �! �� � �� �� ��� � �� �� ���� �� � �� ����
�" �#�� ��� ���� �$%�� ���� �� �&�
“Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan
perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran)
dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu
cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara
hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk
kepada jalan yang lurus.” (Q.S. Asy-Syura: 52)39
Menurut Sa’id Ismail Ali, sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung,
sumber pendidikan Islam terdiri atas enam macam, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah,
kata-kata sahabat, kemashlahatan umat, tradisi adat kebiasaan masyarakat, dan
39 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1998, hlm.791.
46
hasil pemikiran para ahli Islam. Keenam sumber pendidikan Islam tersebut
didudukan secara hierarkis.40
Sistem dan pola pendidikan yang dicanangkan terkait dengan kebudayaan,
peradaban, dan tatanan kehidupan yang akan melibatkan semua komponen yang
ada, sementara metodenya didasarkan pada perkembangan psikologi anak didik
agar proses tersebut dapat memberikan hasil yang baik, yaitu mempersiapkan
individu agar dapat menentukan pola pikir dalam memenuhi kebutuhan hidup
yang tidak terbatas pada tempat dan waktu, yang selaras dengan kesiapan jiwa
subjek didik.
Pola tersebut juga terkait dengan falsafah, ideologi dan dasar kehidupan,
sementara dasar kehidupan muslim adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits, demikian
juga dasar pendidikannya yang merupakan bagian dari ajaran Islam, sehingga
tujuannya pun harus selaras dengan dengan tujuan Islam yaitu menciptakan
manusia yang bertaqwa dan mengabdi kepada Allah.
Dari ayat Al-Qur’an dan Hadits dapat diambil titik relevansinya dengan
atau sebagai dasar pendidikan agama, mengingat:
1. Bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi
petunjuk ke arah jalan yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan
petunjuk ke arah jalan yang diridloi Allah SWT.
2. Menurut hadis Nabi, bahwa diantara sifat orang mukmin ialah saling
menasihati untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat
diformulasikan sebagai usaha dalam bentuk pendidikan Islam.
40 Yasin Musthofa, EQ untuk Anak Usia Dini dalam Pendidikan Islam, (Jakarta: Sketsa, 2007), hlm. 32.
47
3. Al-Qur’an dan Hadits tersebut menerangkan bahwa Nabi adalah
benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga
beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk,
memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan Islam.41
Untuk negara Indonesia secara formal pendidikan Islam mempunyai dasar
atau landasan yang cukup kuat. Pancasila yang merupakan dasar setiap tingkah
laku dan kegiatan bangsa Indonesia, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
sila pertama, berarti menjamin setiap warga negara untuk memeluk, beribadah,
serta menjalankan aktivitas yang berhubungan dengan pengembangan agama. Di
samping itu mengingat bahwa tiap-tiap sila adalah merupakan kesatuan, berarti
sila-sila yang lain harus dijiwai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian secara konstitusional Pancasila dengan sila-silanya
secara total merupakan tiang penegak untuk dilaksanakannya usaha pendidikan,
bimbingan dan penyuluhan agama (Islam), karena mempersemaikan dan membina
ajaran Islam mendapat lindungan konstitusi dari Pancasila. Demikian pula UUD
1945 memberikan lindungan konstitusional bagi pelaksanaan pendidikan Islam.
Bagi umat Islam maka dasar agama Islam merupakan fondasi utama dari
keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran-ajaran Islam bersifat
universal yang mengandung aturan-aturan yang mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia dalam hubungannya dengan khaliqnya yang diatur dalam
ubudiyah, juga dalam hubungannya dengan sesamanya yang diatur dalam
41 Dra. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm.153-154.
48
muamalah, masalah berpakaian, jual beli, aturan budi pekerti yang baik dan
sebagainya.
49
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang sistematis, mempunyai tujuan
tertentu dengan menggunakan metodologi yang tepat dimana data yang
dikumpulkan harus ada relevansinya dengan masalah yang dihadapi. Baik
tidaknya dari hasil suatu kegiatan penelitian tergantung pada bagian teknik-teknik
pengumpulan data untuk memperoleh bahan-bahan yang relefan dan akurat.
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif-diskriptif, karena dalam pengumpulan
data sampai pada analisis data, peneliti berusaha memperoleh data subyektif yang
sebanyak mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada.
Setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah harus ditentukan dengan jelas
pendekatan/desain penelitian apa yang akan diterapkan, hal ini dimaksudkan agar
penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai landasan kokoh dilihat dari
sudut metodologi penelitian, disamping pemahaman hasil penelitian yang akan
lebih proporsional apabila pembaca mengetahui pendekatan yang diterapkan.
Obyek dan masalah penelitian memang mempengaruhi pertimbangan-
pertimbangan mengenai pendekatan, desain ataupun metode penelitian yang akan
diterapkan. Tidak semua obyek dan masalah penelitian bisa didekati dengan
pendekatan tunggal, sehingga diperlukan pemahaman pendekatan lain yang
berbeda agar begitu obyek dan masalah yang akan diteliti tidak pas atau kurang
sempurna dengan satu pendekatan maka pendekatan lain dapat digunakan, atau
bahkan mungkin menggabungkannya.
50
Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma
penelitian yang cukup dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif dan
penelitian kualitatif.
Dalam perkembangannya, belakangan ini nampaknya istilah penelitian
kualitatif telah menjadi istilah yang dominan dan baku, meskipun mengacu pada
istilah yang berbeda dengan pemberian karakteristik yang berbeda pula, namun
bila dikaji lebih jauh semua itu lebih bersifat saling melengkapi/memperluas
dalam suatu bingkai metodologi penelitian kualitatif.
Oleh karena itu dalam wacana metodologi penelitian, umumnya diakui
terdapat dua paradigma utama dalam metodologi penelitian yakni paradigma
positivist (penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik (penelitian kualitatif),
ada ahli yang memposisikannya secara diametral, namun ada juga yang mencoba
menggabungkannya baik dalam makna integratif maupun bersifat komplementer,
namun apapun kontroversi yang terjadi kedua jenis penelitian tersebut memiliki
perbedaan-perbedaan baik dalam tataran filosofis/teoritis maupun dalam tataran
praktis pelaksanaan penelitian, dan justru dengan perbedaan tersebut akan
nampak kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga seorang peneliti akan
dapat lebih mudah memilih metode yang akan diterapkan apakah menggunakan
metode kuantitatif ataukah menggunakan metode kualitatif dengan
memperhatikan obyek penelitian atau masalah yang akan diteliti serta mengacu
pada tujuan penelitian yang telah ditetapkan.
Metode adalah aspek yang sangat penting dan besar pengaruhnya terhadap
berhasil tidaknya suatu penelitian, terutama untuk mengumpulkan data. Sebab
51
data yang diperoleh dalam suatu penelitian merupakan gambaran dari obyek
penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif, di mana penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji
hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan “apa adanya” tentang suatu
variabel, gejala atau keadaan.42 Hal ini sesuai dengan statemen yang dikeluarkan
oleh Winarno Surahman bahwa metode penyelidikan deskriptif lebih merupakan
istilah umum yang mencakup berbagai tehnik deskriptif. Diantaranya ialah
penyelidikan yang menuturkan, menganalisa, dan mengklasifikasi.43 Hal ini sesuai
dengan penggunaan Lexy J. Moleong terhadap istilah deskriptif sebagai
karakteristik dari pendekatan kualitatif karena uraian datanya lebih bersikap
deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, menganalisis data secara
induktif dan rancangan yang bersifat sementara serta hasil penelitian yang dapat
dirundingkan.44
Pada dasarnya, definisi yang dikemukakan oleh para pakar penelitian
diatas adalah sama, dimana yang dimaksudkan adalh penelitian yang
menganjurkan penulis untuk memahami dan melakukan penelitian berdasarkan
sumber dan data yang berasal dari dokumen-dokumen tertentu dan wawancara
kepada sumber yang mendukung dalam proses penelitian. Artinya bahwa
penelitian ini dianjurkan menggambarkan secara deskriptif dari data-data yang
42 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rieneka Cipta, 1995), cet. Ke-3, hlm. 310. 43 Winarno Surahmad, Dasar Dan Tehnik Research Pengantar Metodologi Ilmiah, (Bandung: Tarsito), hlm. 131. 44 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja rosdakarya, 2004), cet. Ke-20, hlm. 8-12.
52
sudah diperoleh sehingga menghasilkan sebuah narasi yang dilengkapi dengan
data-data yang akurat.
Sedangkan, menurut Bodgan dan Taylor bahwa metodologi kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Menurut
mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar belakang dan individu tersebut secara
holistic. Sedangkan deskriptif yang dimaksud adalah penelitian yang menguraikan
secara teratur seluruh konsep yang dikemukakan oleh tokoh yang akan diteliti.45
Penguraian secara teratur dari seluruh konsep yang dikemukakan oleh
tokoh yang akan diteliti menggambarkan bahwa penelitian ini menggunakan
metode kamparasi, yakni membandingkan secara objektif dari pemikiran dua
tokoh atau lebih tentang substansi yang akan dikaji dalam tulisan ini. Oleh karena
itu, pendekatan studi komaratif memiliki dua pendekatan sebagai alat untuk
mengungkapkan persamaan dan perbedaan setra kemudian membandingkan
pemikiran dari dua tokoh tersebut. Adapun pendekatan studi komparatif yang
dimaksud adalah sebagi berikut:
1. Pendekatan Historis
Pendekatan historis merupakan pendekatan untuk mengkaji biografi K.H.
Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari dalam karyanya, khususnya yang
berkaitan dengan pendidikan Islam. Oleh karena itu, Dalam pengungkapan
sebuah pemikiran tokoh, maka aspek keseluruhan sejarah riwayat
kehidupan dan setting sosial pada waktu itu menjadi sebuah keharusan
45 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Konisius, 1990), hlm. 65.
53
yang hendaknya disampaikan dalam tulisan. Karena diakui ataupun tidak
latar belakang sejarah sangat mempengaruhi pemikiran yang dihasilkan
oleh tokoh tersebut.
2. Pendekatan Filosofis
Sebuah pendekatan yang digunakan untuk mengkaji pemikiran K.H.
Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari secara kritis, evaluative, dan
reflektif yang berkaitan dengan pendidikan Islam, sehingga meskipun
dengan pemikiran kedua tokoh tersebut berlainan, dengan pendekatan ini
akan ditemukan benang merah dari perbedaan pemikiran tokoh tersebut.
Dengan dua pendekatan di atas, diharapkan mampu menemukan sebuah
formulasi baru tentang pendidikan Islam yang mengupas dari pemikiran K.H.
Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari.
B. Jenis Penelitian
Berdasarkan penjelasan dari pendekatan di atas, tentang pendekatan
deskriptif kualitatif, penelitian ini merupakan penelitian tokoh. Maka, jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitiankepustakaan atau library research,
yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan),
baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari penelitian
terdahulu.46
Sesuai dengan apa yang sudah dikemukakan oleh M. Iqbal Hasan, bahwa
skripsi ini adalah library research, dimana data yang dipakai dalam penulisan
adalah bersumber dari literatur yang diambil dari dokumen atau buku-buku yang
46 M Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 11.
54
berhubungan dengan pemikiran kedua tokoh yang dikaji dalam skripsi ini.
Dengan demikian, penulis akan dapat mendeskripsikan serta mampu membuat
sebuah narasi yang panjang sesuai dengan acuan dalam penulisan.
Penulis menggunakan penelitian deskriptif kualitatif yang bersifat
kepustakaan yang berkaitan dengan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.
Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam dan pada skripsi ini sifatnya adalah
menggambarkan atau mendeskripsikan hasil dari penelitian yang telah diperoleh.
C. Data dan Sumber Data
Karena penelitian ini berbentuk library research, maka dalam
mengumpulkan data menggunakan metode dokumentasi. Suharsimi menjelaskan
bahwa metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen dan
sebagainya.47
Jadi, yang dimaksud dengan data dan sumber adalah sebuah bahan yang
digunakan peneliti dalam melengkapi penelitian yang dilakukannya, sehingga dpat
menghasilkan penelitian atau karya ilmiah yang sesuai dengan prosedur penelitian
dan dapat dikatakan sebagai karya ilmiah karena data yang diambil sudah valit
dan akurat, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Data yang dipakai dalam penelitian library reseach ini dapat
dikelompokan menjadi dua, yakni:
1. Sumber primer. Adalah berupa karya-karya yang ditulis langsung oleh
penulisnya yang berhubungan dengan pendidikan Islam dalam pemikiran
47 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. 12, hlm. 206.
55
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, yang berupa buku-buku
teks, dan karya ilmiah lainnya.
2. Sumber sekunder. Adalah mencakup kepustakaan yang berwujud buku-
buku penunjang, jurnal dan karya-karya ilmiah lainnya yang di tulis atau
diterbitkan oleh studi selain bidang yang dikaji yang membantu penulis
berkaitan dengan pemikiran yang dikaji.
Buku-buku yang penulis jadikan sebagai acuan dapat dikategorikan
sebagai berikut:
Sumber Acuan Primer Sumber Acuan Sekunder
Adabul al-‘Alim wa al-Muta’allim oleh K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Ahmad Dahlan : Biografi Singkat 1869-1923 oleh Adi Nugroho.
K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik, dan Pendiri Muhammadiyah oleh Hery Sucipto.
Fajar Kebangunan Ulam: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari oleh Drs. Lathiful Khuluq, M.A
Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial oleh Abdul Munir Mulkhan
Muhammadiyah Prakarsa Besar K.H. Ahmad Dahlan oleh Mohammad Riezam
Kiai Hasjim Asj’ari: Bapak Umat Islam Indonesia oleh Akarhanaf
K.H.M. Hasyim Asy’ari : Figur Ulama dan Pejuang Sejati oleh M. Ishom Hadzik.
K.H.M. Hasyim Asy’ari Ulama Besar Indonesia oleh Solichin
Alam Pikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, Asal-Usul Kutub Gerakan
56
Islam di Indonesia oleh T.H. Thalhas.
K.H. Hasyim Asy’ari :Biografi Singkat: Biografi Singkat 1871-1947 oleh Muhammad Rifa’i.
Pesan-pesan Dua Pemimpin Besar Islam Indonesia, Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Kyai Haji Hasyim Asy’ari oleh Abdul Qodir Mulkhan.
Dan buku-buku maupun jurnal yang lain.
Tabel 1. Daftar sumber atau rujukan penelitian
D. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan langkah atau prosedur yang sangat penting
dalam sebuah penelitian, karena itu seorang peneliti harus teliti dan terampil
dalam mengumpulkan data agar kemudian mendapatkan data yang valid.
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh
data yang diperlukan dalam melakukan sebuah penelitian atau pembuatan karya
ilmiah.
Selanjutnya, untuk mengetahui dan memperoleh data yang valid serta
aktual, khususnya yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini maka dipandang
perlu kiranya peneliti mengunakan dan menerapkan beberapa teknik pengumpulan
data yang sudah diatur dalam sistematika penulisan penelitian ataupun karya
ilmiah. Agar kemudian penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
dan rasional sesuai dengan standar tulisan.
Adapun teknik pengumpulan data yang dimaksudkan dan dikehendaki
adalah dengan menggunakan metode dokumentasi. Suharsimi Arikunto
berpendapat bahwa: Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal
57
atau variabel yang berupa catatan, transkrip buku, surat kabar, majalah, prasasti,
metode cepat, legenda dan lain sebaginya.11)
Dapat disimpulkan bahwa metode pengumpulan data ini dengan cara
mencari data, atau informasi, yang sudah dicatat/dipublikasikan dalam beberapa
dokumen yang ada, seperti buku induk, buku pribadi dan surat-surat keterangan
lainnya.
Data adalah bagian terpenting dalam suatu penelitian, untuk kegiatan
pengumpulan data ini peneliti akan berusaha memperoleh dan mengumpulkan
sebanyak-banyaknya. Dimana dalam hal ini peneliti menggunakan beberapa
metode. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini adalah Metode Dokumenter. Metode ini adalah suatu tehnik
pengumpulan data dengan menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku,
majalah-majalah yang di dasarkan atas penelitian data. Metode ini dilakukan
dengan cara mengutip berbagai dat melalui catatan-catatan, laporan-laporan,
kejadian masa lampau yang berhubungan dengan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan
dan K.H. Hasyim Asy’ari.
Teknik pengumpulan data, dalam hal ini penulis akan melakukan
identifikasi wacana dari buku-buku, makalah atau artikel, majalah, jurnal, web
(internet), ataupun informasi lainnya yang berhubungan dengan judul penulisan
untuk mencari hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat
kabar, majalah dan sebagainya yang berkaitan dengan kajian tentang pendidikan
11) Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian,Suatu pendekatan Praktik hal. 234
58
Islam dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Maka
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data-data yang ada baik melalui buku-buku, dokumen,
majalah internet (web).
2. Menganalisa data-data tersebut sehingga peneliti bisa menyimpulkan
tentang masalah yang diakaji.
Sebagaimana pemikiran M. Iqbal Hasan, studi dokumentasi adalah tehnik
pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada sebuah penelitian, namun
melalui dokumen. Dokumen yang digunakan dapat berupa buku harian, surat
pribadi, laporan, notulen rapat, catatan khusus dalam pekerjaan sosial dan
dokumen lainnya.48
Selanjutnya dalam rangka untuk menjawab persoalan-persoalan yang
dihadapi dalam perjalanan penulisan ataupun pada saat penelitian sebagai rencana
pemecahan masalah, maka penulis menggunakan metode pembahasan sebagai
berikut:
1. Metode Induktif
Berfikir induktif berangkat dari fakta-fakta yang khusus,
peristiwaperistiwa yang kongkrit, kemudian dari fakta-fakta atau
peristiwa-peristiwa yang khusus konkrit itu ditarik generalisasi-
generalisasi yang mempunyai sifat umum.49
Penggunaan metode induktif ini dimaksudkan untuk mengemukakan data
yang ada kaitannya dengan masalah-masalah yang penulis bahas dalam skripsi ini
48 Ibid, hlm. 87. 49 Ibid, hlm.42.
59
dengan bertitik tolak pada pengetahuan-pengetahuan yang bersifat khusus
kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum, sehingga menghasilkan
sebuah naratif panjang yang sesuai dengan kebutuhan penulisan dan penelitian
skripsi ini.
2. Metode Komparatif.
Yaitu suatu penyelidikan deskriptif yang berusaha mencari pemecahan
melalui analisa tentang perhubungan-perhubngan sebab-akibat, yakni yang
meneliti faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi atau
fenomena yang diselidiki dengan membandingkan satu faktor dengan yang
lain.50
Selain penjelasan di atas, pakar penelitian yang lain juga menjelaskan,
bahwa metode komparasi merupakan metode yang digunakan untuk
membandingkan data-data yang ditarik pada konklusi baru. Komparasi sendiri
berasal dari bahasa Inggris, yaitu compare, yang artinya membandingkan untuk
menemukan persamaan dari dua konsep atau lebih.
Menurut Winarno Suharmad, bahwa metode komparasi adalah suatu
penyelidikan yang dapat dilaksanakan dengan meneliti hubungan lebih dari satu
fenomena yang sejenis dengan menunjukkan unsure-unsur persamaan dan
perbedaan dari fenomena yang sejenis tersebut.51
Komparasi tidak hanya sekedar membandingkan persamaan dan perbedaan
pemikiran kedua tokoh yang dikaji atau diteliti oleh penulis. Akan tetapi jauh
lebih dari itu, dimana penulis ingin membandingkan kondisi sosial pada masa
50 Winarno Surahmad, Dasar dan Teknik Penelitian, (Bandung: Trasito. 1985), hlm. 143. 51 Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Penelitian, (Bandung: Trasitu, 1994), hlm. 105.
60
tokoh tersebut, sehingga nantinya akan diketahui latar belakang pemikiran yang
diciptakan oleh tokoh tersebut.
Untuk memperlancar dan memperjelas arah dan tujuan penelitian ini, maka
diberikan acuan kerja dari metode komparasi tersebut, langkah-langkah dari acuan
metode komparasi yang dimaksud adalah:52
1. Menelusuri permasalahan-permasalahan yang setara tingkat dan jenisnya.
2. Mempertemukan dua atau lebih permasalahan yang setara tersebut.
3. Mengungkapkan ciri-ciri dari objek yang sedang dibandingkan secara jelas
dan terperinci.
4. Menyusun atau memformulasikan teori-teori yang bias dipertanggung
jawabkan secara ilmiah.
E. Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh
penulis dari berbegai macam sumber. Dalam penelitian ini setelah dilakukan
pengumpulan data, maka data tersebut dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan,
bentuk teknik dalam teknik analisis data sebagai berikut:
1. Analisis deskriptif
Metode analisis deskriptif yaitu usaha untuk mengumpulkan dan
menyususn suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data
tersebut.53
52 Mujamil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional hingga Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 348-349. 53 Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik, (Bandung: Tarsita, 1990), hlm. 139.
61
Dari definisi yang dikemukakan diatas dapat dikatakan bahwa analisis
deskriptif adalah analisis yang menggambarkan dan menjelaskan data-data yang
dikumpulkan. Adapun data yang dimaksud adalah berupa kata-kata, gambar dan
bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif.
Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa
yang sudah diteliti.
Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data dan
pengolahan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut, kemudia
penulis memberikan penyimpulan dari masing-masing kutipan data yang diambil
dari sumber tersebut.
2. Content analisys atau analisis isi
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content
analysis). Di mana data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya,
dan karena itu analisis macam ini juga disebut analisis isi (content
analysis).54
Penjelasan diatas menggambarkan, bahwa analisis isi hanya meneliti atau
menjelaskan data yang diambil dari sebuag paragraf dari tulisan seseornag.
Sehingga analisis ini dibatasi hanya pada isi dari data yang akan dikutip.
Pendapat ini seperti yang dikemukakan oleh Hadari Nawawi yang dikutip
oleh Soejono dan Abdurrahman bahwa analisis isi dalam penelitian dilakukan
54 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), hlm. 94
62
untuk mengungkapkan isi sebuah buku yang menggambarkan situasi penulis dan
masyarakatnya pada waktu buku itu ditulis.55
Burhan Bungin mendefinisikan analisis isi (content analysis) adalah teknik
penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel), dan
sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan
komunikasi atau isi komunikasi.56
Dalam penelitian kualitatif, analisis isi ditekankan pada bagaimana peneliti
melihat keajegan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana peneliti
memaknakan isi komunikasi interaksi simbolik yang terjadi dalam komunikasi.57
Pada hakikatnya, analisis isi ini adalah salah satu model analisi yang
digunakan peneliti dalam mengungkap, mengetahui, dan memahami isi dari
literatur yang sudah dibaca. Dengan begitu, penulis akan dengan mudah
menempatkan data mana yang sesuai dengan kebutuhan penulisan dan
ppenelitian.
F. Pengecekan Keabsahan Data
Yang dimaksud dengan keabsahan data adalah bahwa setiap keadaan yang
harus mempu mendemonstrasikan nilai yang benar, mampu menyediakan dasar
agar hal itu dapat diterapkan, dan memperbolahkan keputusan luar yang dapat
dibuat tentang konsistensi dari prosedurnya dan kenetralan dari temuan dan
keputusan-keputusannya.58
55 Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Suatu Pemikiran Dan Penerapan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999), hlm. 14. 56 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis Kea Rah Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 231. 57 Ibid, hlm. 232. 58 Lexy J. Moleong, Op.Cit., hlm.320-321.
63
Dapat dikatakan, bahwa dalam penulisan karya ilmiah memerlukan data
atau literarur yang valid dan akurat, sehingga diperlukan hal-hal yang dapat
menegaskan bahwa data itu memang bebar-benar valid dan akurat. Maka
pengecekan keabsahan data dipandang penting untuk dilakukan, karena hal itu
merupakan salah satu syarat dalam sebuah penelitian.
Untuk menetapkan keabsahan data, diperlukan teknik pemeriksaan.
Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu.
Adapun kriteria pengecekkan keabsahan data sebagaimana diterangkan dibawah
ini:59
1. Kriteria Derajat Kepercayaan (Kredibilitas), pada dasarnya kriteria ini
menggantikan konsep validitas internal dari nonkualitatif. Kriteria ini
berfungsi untuk melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat
kepercayaan penemuannya dapat tercapai, untuk mempertunjukkan derajat
kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti
pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.
Kriteria ini pada hakikatnya menyerahkan sepenuhnya pada pribadi
peneliti yang lain, karena sifatnya hanya berdasarkan kepercayaan, maka seorang
peneliti diharuskan memaparkan data yang didapat dengan apa adanya, sehingga
dapat meyakinkan peneliti lain untuk memberikan kepercayaan kepada data yang
didapat. Oleh karena itu, langkah ini dilakukan dengan cara menggali sumber
literatur yang pernah ditulis oleh orang-orang yang benar-benar dapat dipercaya
keabsahan dan kefalidan dari tulisan tersebut.
59 Ibid, hlm.324-325
64
2. Kriteria Kebergantungan, kriteria ini merupakan substitusi istilah
reliabilitas dalam penelitian yang nonkualitatif.
Di jelaskan bahwa kriteria ini antara data dari penelitian satu dengan
penelitian yang lain saling bergantungan, dimana jika ada dua atau beberapa kali
diadakan pengulangan suatu studi dalam suatu kondisi yang sama dan hasilnya
secara esensial sama, maka dikatakan reliabilitasnya berhasil dan tercapai.
3. Kriteria Kepastian, kriteria ini berasal dari konsep objektivitas menurut
nonkualitatif.
Adapun penjelasannya adalah pengalaman seseorang itu subjektif, namun
jika disepakati oleh beberapa atau banyak orang, maka pengalaman itu dapat
dikatakan objektif dan dapat dijadikan data. Jadi objektivitas dan subjektivitas itu
tergantung pada seseorang. Dengan demikian, objekitvitas dan subjektivitas
merupakan sebuah kepastian yang digunakan dalam memperjelas pengabsahan
sebuah data yang diperoleh peneliti untuk melengkapi sebuah penelitian.
G. Tahap-Tahap Penelitian
1. Tahap pra penelitian
Dalam tahap pra penelitian ini kegiatan yang dilakukan oleh peneliti yakni
menyusun kerangka rancangan (proposal) penelitian agar dalam penelitian
selanjutnua tidak terjadi pelebaran pembahasan. Selanjutnya mengumpulkan
buku-buku dan semua bahan-bahan lain yang diperlukan untuk memperoleh data.
2. Tahap pekerjaan penelitian
Pada tahap yang kedua ini, peneliti membaca buku-buku atau bahan-bahan
yang berkaitan lalu mencatat dan menuliskan data-data yang diperoleh dari
65
sumber penelitian, lalu berusaha menyatukan sumber yang ada untuk dirancang
sebelumnya, kegiatan terakhir pada tahap ini peneliti membuat analisis
pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian yang
merupakan jawaban dari rumusan masalah.
3. Tahap analisis data
Pada tahap ini peneliti melakukan pengorganisasian data, lalu melakukan
pemeriksaan keabsahan data, selanjutnya yang terakhir adalah penafsiran dan
pemberian makna terhadap data yang diperoleh.
4. Penyusunan laporan penelitian berdasarkan data yang telah diperoleh
Dalam tahap ini yang merupakan tahap terakhir dari rangkaian tahap-tahap
yang dilakukan dalam suatu penelitian dilakukan kegiatan penyusunan laporan
penelitian, kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing, selanjutnya
melakukan perbaikan-perbaikan sampai pada terselesaikannya penyusunan
laporan ini.
H. Rancangan Penelitian
Sebagai penjelas dari tahap-tahapan penelitian, maka penulis akan
menyampaikan rancangan penelitian yang dilakukan ini, agar kemudian dapat
dilihat secara sistematis dan prosedural. Adapun rancangan penelitiannya adalah
sebagai berikut:
1. Menelaah pendidikan Islam untuk merefleksikan perkembangan
pendidikan sesuai dengan dialektika perkembangan zaman. Konsep-
konsep ini ditelaah dari buku-buku yang menjadi sumber dan data yang
berkaitan dengan judul penulisan.
66
2. Menelaah Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari
tentang pendidikan Islam. K.H, Ahmad Dahlan sebagai represantatif
intelektual muslim yang modernis, sedangkan K.H. Hasyim Asy’ari
sebagai representative intelektual muslim yang tradisionalis.
3. Mengadakan penelitian secara kritis dan objektif terhadap pemikiran K.H.
Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam,
kemudian dilanjutkan dengan mengkomparasikan, mensintesiskan kedua
konsep tersebut dan mengarahkan implikasinya dari sintesa konsep
pendidikan Islam dalam pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim
Asy’ari terhadap pendidikan Islam.
Dengan mengetahui implikasi tersebut, maka dapat ditetapkan pola-pola
pendidikan Islam yang selaras dengan ajaran Islam dan ilmu pengetahua modern.
Sedangkan dari hal tersebut maka dapat di gambarkan bagan dari rancangan
penelitian adalah sebagaimana dipaparka sebagai berikut:
67
Gambar 1. Prosedur atau sistematika penelitian
Konsep Pendidikan Islam perspektif
K.H. Ahmad Dahlan
Penelaahan Konsep Pendidikan Islam perspektif
K.H. Ahmad Dahlan
Penilaian Kritis dan Objektif Konsep Pendidikan Islam
perspektif K.H. Ahmad Dahlan
Konsep Pendidikan Islam perspektif
K.H. Hasyim Asy’ari
Penelaahan Konsep Pendidikan Islam perspektif
K.H. Hasyim Asy’ari
Penilaian Kritis dan Objektif Konsep Pendidikan Islam
perspektif K.H. Hasyim Asy’ari
Komparasi Konsep Pendidikan Islam dalam Perspektif
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari
Sintesa Konsep Pendidikan Islam dalam Perspektif
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari
Implikasi Sintesa Terhadap Pendidikan Agama Islam
68
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Biografi K.H. Ahmad Dahlan
1. Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan
“Jangan kamu anggap urusan kecil, Muhammadiyah adalah besar. Inilah pesanku…”
(Pesan terakhir K.H. Ahmad Dahlan. Disampaikan oleh istrinya, Nyai Ahmad Dahlan, dihadapan pertemuan para konsul daerah Muhammadiyah di Yogyakarta,
18 Agustus 1945).
Peran gerakan organisasi sosial-keagamaan Muhammadiyah dalam
perjalanan sejarah bangsa Indonesia memang tidak bias dikatakan tidak penting.
Melalui tridimensi gerakannya (keislaman, dakwah, dan pembaharuan) yang
masyhur itu, Muhammadiyah terbukti mampu menyentuh semua bidang
kehidupan. Muhammadiyah pun mendapat simpati banyak orang, dan tidak heran
jika ormas ini untuk selanjutnya mendulang jumlah anggota yang selalu
menunjukkan grafik naik pada tiap tahunnya.
Namun demikian, tidak lengkap kiranya jika membicarakan
Muhammdiyah tanpa menyebutkan kontribusi yang telah dilakukan sosok
pendirinya, K.H. Ahamad Dahlan, dalam mengawal keberlangsungan dan
keberhasilan Muhammadiyah di pentas sejarah keindonesiaan. Utang bangsa
terhadap peran K.H. Ahmad Dahlan dalam mengembangkan nilai-nilai
keagamaan dalam upaya mengarahkan bangsa ini semakin terbuka, demokratis,
sejahtera tanpa meninggalkan jatidiri pluralitas bangsa Indonesia, adalah untang
yang tidak terbayarkan.
69
Andai saja pada tahun 1868 tidak lahir seorang Muhammad Darwis di
Kauman, sebuah kampung disebelah barat Alun-alun Utara Yogyakarta, maka
sejarah pemikiran Islam di Indonesia tidak akan seperti sekarang. Kauman
menjadi nama besar sebagai kampung kelahiran K.H. Ahmad Dahlan alias
Muhammad Darwis, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah.60
Atas perenungan yang cukup banyak atas segala aktivitas beragama yang
dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, diantaranya banyak ditemui
masyarakat Islam yang melakukan praktik takhayul, bid’ah, dan khurafat, maka
Dahlan memeranginya. Untuk mempermudah jalannya, dia mendirikan
Muhammadiyah. Tujuan utamanya adalah untuk memperbaharui pemahaman
keislaman, khususnya di Indonesia.
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1869.
Kauman adalah sebuah kampung di jantung kota Yogyakarta yang berusia hampir
sama tuanya dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kampung Kauman
pada zaman kerajaan merupakan tempat bagi sembilan khatib atau penghulu yang
ditugaskan Keraton untuk membawahi urusan agama. Sejak ratusan tahun lampau,
kampung ini memiliki peran besar dalam gerakan keagamaan Islam. Di masa
perjuangan kemerdekaan, kampung ini menjadi tempat berdirinya Persyarikatan
Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan yang menjadi pendiri gerakan tersebut
merasa prihatin karena banyak warga yang terjebak dalam hal-hal mistik.61
Bisa dikatakan bahwa Kauman merupakan salah satu sentral ritus
keagamaan. Dimana pada masa-masa kemerdekaan Persyarikatan Muhammadiyah 60 Adi Nugroho, KH. Ahmad Dahlan : Biografi Singkat 1869-1923, (Jogjakarta : Garasi House of Book, 2010), hlm. 9. 61 Ibid, hlm. 13-14.
70
didirikan. Itu artinya, kauman sebagai basic kaderisasi dan pemantapan serta
ideologisasi nilai-nilai Islam kepada masyarakat setempat. Karena pada waktu itu
era penjajahan merajalela.
K.H. Ahmad Dahlan adalah putra K.H. Abu Bakar bin Kiai Sulaiman,
seorang khotib tetap di Masjid Agung. Ketika lahir, Abu Bakar memberi putranya
itu dengan nama Muhammad Darwis. Darwis merupakan anak keempat dari tujuh
orang bersaudara yang semua saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.
Lima perempuan saudara Darwis semuanya bersuami. Putri sulung menikah
dengan K.H. Khatib Arum di Kauman. Putri kedua menikah dengan K.H. Muhsin
dari Pasar Gede (Kotagede). Putri ketiga menikah dengan K.H. Muhammad Saleh.
Anak keempat adalah K.H. Ahmad Dahlan sendiri. Putri kelima menikah dengan
K.H. Muhammad Faqih, Kauman Yogyakarta. Dari putri bungsu menikah dengan
K.H. Abdurrahman bin Abdullah dari Pakualaman. Sedangkan Ibunda
Muhammad Darwis adalah Siti Aminah binti almarhum K.H. Ibrahim, Penghulu
Besar di Yogyakarta.62
Dalam silsilah, Darwis termasuk keturunan ke-12 dari Maulana Malik
Ibrahim, seorang wali terkemuka di antara Wali Songo yang merupakan pelopor
pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun
silsilahnya ialah Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) bin K.H. Abu Bakar bin
K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadla bin Kiai Ilsyas bin Demang
Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlulah
62 Ibid, hlm. 19.
71
(Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik
Ibrahim.63
Silsilah diatas ditegaskan kembali oleh Hery Sucipto dalam bukunya,
yakni K.H. Ahmad Dahlan termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana
Malik Ibrahim. Jika dirunut silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim,
Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan
Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribing (Djatinom), Demang Djurung
Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadlo, K.H.
Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (Ahmad
Dahlan).64
63 Ibid, hlm. 19-20. 64 Hery Sucipto. K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2010), hlm. 50.
Maulana Malik Ibrahim
Maulana Ishaq
Maulana ‘Ainul Yaqin
Maulana Muhammad Fadlullah
Maulana Sulaiman Ki Ageng G.
Demang Djurung Djuru Sapisan
Demang Djurung Djuru Kapindo
Kyai Ilyas
Kyai Murtadla
K.H. Muhammad Sulaiman
K.H. Abu Bakar
K.H. Ahmad Dahlan
72
Ketika Darwis berumur 18 tahun, orang tuanya bermaksud menikahkannya
dengan putri dari K.H. Muhammad Fadlil yang bernama Siti Walidah. Setelah
orang tua dari kedua belah pihak berunding, maka pernikahan dilangsungkan pada
bulan Dzulhijjah tahun 1889 dalam suasana yang tenang. Siti Walidah inilah yang
kelak dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, sosok pendiri Aisyiyah dan pahlawan
nasional.65 Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan
mendapat enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan
Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.66
Setelah menikahi Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan pernah menikahi
Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik K.H.
Munawwir dari Krapyak. K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putra dari
pernikahannya dengan Nyai Aisyah (Adik Adjengan Penghulu) dari Cianjur.
Anak laki-laki itu bernama Dandanah. K.H. Ahmad Dahlan bahkan pernah
menikah dengan Nyai Yasin dari Pakualaman.67
2. Riwayat Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Darwis mengawali pendidikan di pangkuan ayahnya di rumah sendiri.
Darwis mempunyai sifat yang baik, berbudi pekerti halus, dan berhati lunak,
tetapi juga berwatak cerdas. Sejak usia balita, kedua orang tua Darwis sudah
memberikan pendidikan agama. Sejak kecil Muhammad Darwis diasuh dalam
lingkungan pesantren, yang membekalinya pengetahuan agama dan bahasa Arab.
Disamping itu, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan
dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan 65 Adi Nugroho, Op.cit, hlm. 20-21. 66 http://udhiexz.wordpress.com/2009/04/25/pemikiran-kh-ahmad-dahlan/ 67 Adi Nugroho, Op.cit, hlm. 22.
73
kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Pada usia 15
tahun (1883), ia sudah menunaikan ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan
dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Ia
pun semakin intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam
dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn
Taimiyah. Interaksi dengan tokoh-tokoh Islam pembaharu itu sangat berpengaruh
pada semangat, jiwa dan pemikiran Darwis. Semangat, jiwa dan pemikiran itulah
kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama
melalui Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman
keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih
bersifat ortodoks (kolot). Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan
menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi
(keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang, pemahaman keagamaan
yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau
pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.68
Bisa dikatakan, bahwa sudah sejak kanak-kanak beliau diberikan pelajaran
dan pendidikan agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada dalam
masyarakat lingkungannya. Ini menunjukan bahwa rasa keagamaan K.H. Ahmad
Dahlan tidak berdasarkan naluri, melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang
diajarkan kepadanya.
Ketika berusia delapan tahun, Darwis sudah bisa membaca Al-Quran
dengan lancar sampai khatam. Darwis juga bisa mempengaruhi tema-teman
68 http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/ahmad-dahlan/index.html
74
sepermainannya dan menang dalam jenis-jenis permainan bersama teman-
temannya. Sejak kecil, Darwis hidup dalam lingkungan yang tenteram dan
masyarakat yang sejahtera. Dia selalu hidup berdampingan dengan kedua orang
tua, kerabat, dan alim ulama yang menyejukan. Tidak heran jika Darwis
mempunyai budi pekerti yang baik dan akhlak yang suci.69
Model pembelajaran homeschooling sesungguhnya bukan hal baru dalam
dunia pendidikan, karena banyak orang besar di negeri ini justru mendapatkan
ilmu bukan dari proses pendidikan formal di bangku sekolah. Demikian pula yang
terjadi pada K.H. Ahmad Dahlan. Dalam didikan ayahnya dan ditambah
lingkungan yang mendukung, kepiawaian dan potensi dasar yang dimiliki oleh
K.H. Ahmad Dahlan muncul dengan sendirinya sehingga terbentuklah pribadi
muslim Indonesia yang memiliki wawasan keilmuan yang luas dan memiliki
kedalaman spirirual dan keagungan akhlak yang menjadikan beliau disegani oleh
teman-teman sebayanya.
Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama
kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh
(ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H.
Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri
(qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainya.70
Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu
menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang
69 Adi Nugroho, Op.cit, hlm. 20. 70 http://udhiexz.wordpress.com/2009/04/25/pemikiran-kh-ahmad-dahlan/, Op.cit.
75
tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah
dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
Selelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890
Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana
selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama,
maka pada tahun 1903, ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap selama dua
tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan
muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di
antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai
Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu
pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan
melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn
Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din
al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya. Melalui
kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan
tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan
kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan saat
itu. Sekembalinya dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad
Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i
di Mekkah, yaitu Ahmad bin Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar
pengajian anak-anak. Keadaan ini telah menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan
76
semakin luas di masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai,
ia dikategorikan sebagai ngulomo (ulama) atau intelektual.71
Dan karena keuletan serta kesungguhan dalam belajar agama, sosok K.H.
Ahmad Dahlan pada waktu itu dikenal sebagai seorang ulama oleh kiai-kiai lain.
Hal ini disebabkan karena seorang Ahmad Dahlan tidak pernah merasa puas
dengan hanya belajar dari satu guru. Berbagai guru dari beragam disiplin ilmu
sudah dia temui, sebagaimana yang sudah disebutkan diatas.
Penjelasan diatas menerangkan bahwa, pada seumuran beliau waktu itu,
K.H. Ahmad Dahlan terkenal memiliki pemikiran yang cerdas dan bebas.
Memeiliki akal budi yang baik. Pendidikan agama yang diterimanya dipilih secara
selektif. Tidak hanya itu, tetapi sesudah dipikirkan dibawa dalam perenungan-
perenungan, ingin dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Disinilah yang
menentukan K.H. Ahmad Dahlan sebagai subyek yang nantinya mendorong
berdirinya Muhammadiyah. Jiwa agamanya bukan hanya berdasar semangat tetapi
juga berdasar ilmu dan pendidikan. Agama diterima dengan pemikiran yang
sungguh-sungguh dengan hati yang sebenar-benarnya. Sehingga lahir dan batin
diri K.H. Ahmad Dahlan itu betul-betul merupakan penghayatan agama.
3. Detik-detik Kepergian K.H. Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan tergolong orang yang tidak mengenal kata lelah.
Aktivitas yang begitu padat, mulai dari tanggung jawab sebagai seorang suami,
ayah dari beberapa anaknya, ulama panutan masyarakat, sampai penjadi pejuang
bangsa dan negara yang melakukan perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan
71 Ibid, http://udhiexz.wordpress.com/2009/04/25/pemikiran-kh-ahmad-dahlan/
77
yang sesungguhnya menjadi sebuah keseharian yang beliau lakukan. Sampai-
sampai beliau sendiri hampir melupakan bahwa dirinya adalah manusia biasa
yang membutuhkan istirahat.
Kecintaannya terhadap agama, bangsa dan negara mengalahkan segalanya,
sampai-sampai pada awal tahun 1923, kesehatan K.H. Ahmad Dahlan mulai
sering terganggu. Selama dua bulan K.H. Ahmad Dahlan beristirahat di Tretes,
dengan harapan agar kesehatan beliau kembali pulih, karena pelaksanaan rapat
tahunan Muhammadiyah akan segera di gelar. Akan tetapi kondisinya justru kian
parah. Badannya semakin kurus, kakinya membengkak. Hanya roman wajahnya
yang berseri-seri. Melihat kondisi seperti itu, keluarga K.H. Ahmad Dahlan
terkejut dengan kesehatannya, maka sejak saat itu K.H. Ahmad Dahlan lebih
banyak beristirahat, dan adik iparnya yaitu K.H. Ibrahim selalu menemani dan
melayani kebutuhan sehari-hari. Dalam kesempatan ini pula Nyai Ahmad Dahlan
juga mencemaskan kesehatan suaminya. Ia khawatir K.H. Ahmad Dahlan akan
meninggal dunia dalam waktu dekat dan meninggalkan Muhammadiyah untuk
selamanya.72
Akhirnya, pada Jum’at malam, 7 Rajab tahun 134 Hijriyah, K.H. Ahmad
Dahlan menghembuskan nafas terakhir di hadapan keluarganya. Kemudian
jenazah K.H. Ahmad Dahlan dimandikan pada malam itu juga oleh anggota
keluarganya, setelah itu Jenazah itu ditempatkan di suarau milik keluarga Dahlan.
Shalat jenazah pun dilaksanakan dan dipimpin oleh K.H. Lurah Nur, kakak ipar
72 Adi Nugroho, Op.cit, hlm. 45.
78
K.H. Ahmad Dahlan. Jenazah kemudian diberangkatkan menuju makam
Karangkajen melalui Jalan Gerjen, Ngabean, dan Gondomanan.73
Pada satu catatan sejarah, K.H. Ahmad Dahlan pernah berwasiat pada
K.H. Ibrahim: “ Him, agama Islam itu aku misalkan gayung yang sudah rusak
pegangannya dan rusak pula kalengnya karena dimakan karat sehingga tidak
dapat digunakan pula sebagi gayung. Umat Islam memerlukan gayung tersebut,
tetapi tidak bisa dipakai karena sudah rusak. Aku tidak mempunyai alat untuk
memperbaikinya. Para tetangga dan kawan di sekitarkulah yang memegang dan
mempunyai alat itu, tetapi mereka juga tidak mengetahui dan tidak
menggunakannya untuk memperbaiki gayung yang dibutuhkan itu. Maka, aku
perlu meminjam untuk memperbaikinya. Siapakah tetangga dan kawan-kawan
yang ada disekitarku itu? Mereka adalah kaum cerdik, pandai dan orang-orang
terpelajar yang tidak memahami agama Islam. Padahal mereka pada dasarnya
merasa dan mengakui bahwa pribadinya adalah Muslim. Banyak dari mereka
adalah Muslimin, bahkan ada yang merupakan keturunan serta kiai terkemuka.
Tetapi, karena mereka melihat keadaan umat Islam pada umumnya sedang
berada dalam keadaan krisis dalam segala hal, mereka tidak ingin menjadi umat
yang bobrok. Oleh karena itu, dekatilah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya
sehingga mereka mengenal kita dan kita mengenal mereka sehingga perkenalan
kita bertimbal balik, sama-sama memberi dan sama-sama menerima.” Wasiat
inilah yang dijadikan pegangan oleh wakil-wakil dari cabang Muhammadiyah di
Jawa Barat dan Jawa Timur mengadakan perundingan bersama para pengurus
73 Ibid, hlm. 47.
79
Muhammadiyah cabang Yogyakarta untuk membahas susunan kepengurusan
Muhammadiyah. Hasilnya, mereka bersepakat perlunya pengurus ad interim
sebagai Wakil Ketua Muhammadiyah yang bertugas menjalankan kepemimpinan
Muhammadiyah sampai tiba waktunya rapat tahunan yang akan datang. Wakil ad
interim itu adalah K.H. Ibrahim.74
B. Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Sebelum memasuki pembahasan mengenai pandangan K.H. Ahmad
Dahlan terhadap pendidikan, perlu kiranya sedikit menengok sejarah panjang
yang melatarbelakangi terbentuknya ide dan gagasan dari para tokoh pejuang dan
guru bangsa kita. Kegelisahan para tokoh pendidikan semisal K.H. Ahmad
Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari dan lainnya merupakan bentuk jawaban dari
ketidakpuasan mereka terhadap kondisi bangsa yang terjajah.
Secara umum, pendidikan Islam pada masa penjajahan dapat dipetakan
dalam dua periode besar; masa penjajahan Belanda dan pada masa penjajahan
Jepang. Sebagaimana diketahuai pada abad 17 hingga 18 M, bidang pendidikan di
Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Dan pada masa
ini kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan
kepentingan komersial. Pendidikan diadakan hanya untuk memenuhi kebutuhan
para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja muda terlatih dari kalangan penduduk pribumi.
Pada masa pemerintahan Daendels, pihak penjajah beranggapan bahwa
sekolah-sekolah pemerintah tidak banyak memberikan manfaat bagi kepentingan
74 Ibid, hlm. 48.
80
penjajah. Bahkan menurutnya Mohammedaans gods dienst onderwys tidak perlu
diadakan, karena hanya merupakan alat meninggikan akhlak rakyat saja dan
dianggap sumber semangat perjuangan rakyat. Untuk itu, diadakanlah peraturan
umum yang mengatur tentang persekolahan (Sbtl. 1818 No.4) yang diantaranya
berisi mengenai larangan memberikan pelajaran dalam kelas tanpa izin dari
Gubernur Jendral.75
Akan tetapi, dalam praktek kesehariannya lembaga pendidikan ini pada
dasarnya memperoleh dukungan dan bantuan dari pemerintah penjajah. Sehingga
dalam proses pembelajarannya berjalan dengan maksimal dan sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh para penjajah. Diman mereka menyiapkan amunisi muda
berbakat sebagai pegawai dan budak penjajah. Sementara lembaga pendidikan
Islam, yakni pesantren dianaktirikan oleh mereka dan tidak mendapatkan
perhatian sama sekali dari penjajah, karena dipandang sebagai tempat untuk
memupuk semangat juang untuk memperoleh kemerdekaan. Oleh karena hal itu,
kegiatan di lembaga pendidikan Islam dirasa menjadi ancaman bagi para penjajah
pada saat berkuasa di Indonesia.
Walaupun demikian, lembaga pendidikan Islam tetap bertahan bahkan
semakin menunjukan eksistensinya. Terbukti pada awal abad 17, di pulau jawa
terdapat pesantren Sunan Malik Ibrahim di Gresik, selanjutnya Sunan Bonang di
Tuban, Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Sidomukti dan sebagainya.
Kemudian pada pertengahan abad 17, juga dapat diketahui dan dikenal tokoh-
tokoh daro Sumatra Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani (1693), Nuruddin
75 Hery Sucipto. K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2010), hlm. 104-105.
81
Arraniri (1658), Abdurrauf Singkil (1693) dan S. Burhanuddin (1693) di Sumatera
Tengah. Tidak hanya itu, pondok pesantren juga saat itu mulai menyebar di
daerah Madura, Lombok, Sulawesi, Ternate dan lainnya.76
Paragraf diatas menggambarkan bahwa meskipun pada waktu penjajah
mendominasi Indonesia, akan tetapi berkat kegigihan dan semangat untuk tetap
mempertahankan nilai-nilai Islam di bumi pertiwi, maka mereka tetap mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren, yang meskipun pada prakteknya
pesantren tersebut tidak mendapatkan respon dan bahwan dianaktirikan oleh
pemerintah penjajah dengan alibi akan mempersempit ruang gerak mereka dalam
menguasai bangsa Indonesia. Meskipun demikian pondok pesantren tersebut kian
lama kian meningkat di beberapa daerah yang sudah disebutkan diatas.
Secara umum sistem dan prinsip pendidikan yang digunakan dalam
lembaga pendidikan pada masa VOC terdiri dari:
1. Pendidikan Dasar
2. Sekolah Latin
3. Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
4. Academieder Marine (Akademi Pelayanan)
5. Sekolah Cina
6. Pendidikan Islam
Adapun prinsip yang digunakan oleh pemerintah Belanda yang diambil sebagai
dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu.
76 Ibid, hlm. 105-106.
82
2. Memerhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak
mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan
kolonial.
3. Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya
yang ada di Jawa.
4. Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melhirkan kelas elit masyarakat
yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan
ekonomi pemerintah kolonial.77
Sangat terlihat jelas bahwa pendidikan yang digawangi oleh pemerintahan
Belanda lebih bercorak politis. Dimana output yang dikehendaki adalah sebagai
pekerja yang siap mengabdikan dirinya pada pemerintah Belanda yang pada
akhirnya tidak memberikan peluang kepada masyarakat Indonesia untuk
menikmati pendidikan pada masa itu. Disamping itu, pendidikan yang di
tanamkan oleh pemerintah Belanda bersifat elitis, dimana masyarakta yang tingkat
perekonomiannya pada taraf menengah kebawah tidak diperbolehkan masuk
dalam lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah Belanda.
Selanjutnya adalah pendidikan pada masa penjajahan Jepang. Jika melihat
realitas yang terjadi pada masa penjajahan Belanda, maka itu sangat berbeda pada
masa penjajahan Jepang. Menurut sejarahnya, Jepang pada masa itu sedang
dihadapkan pada usaha untuk memenangkan perangnya, sehingga memaksakan
dirinya untuk mendekati umat Islam. bahwa dapat dikatakan kedudukan Jepang di
Indonesia sangat bergantung pada bantuan umat Islam dalam menghadapi luasnya
77 Ibid, hlm. 106.
83
daerah yang telah diduduki oleh sekutu dan antara umat Islam dan Jepang
mempunyai kepentingan yang sama yaitu menghadapi penjajahan Barat.
Pendidika Islam pada masa penjajahan Jepang dimulai pada tahun 1942-
1945 yang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait bidang pendidikan
yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era
kemerdekaan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan
dalam upaya menggantikan bahasa Belanda.
2. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem
pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.78
Secara kasab mata, kebijakan diatas merupakan kebijakan yang
menguntungkan bangsa Indonesia. Karena tidak disadari bahwa pada waktu itu
keberadaan bangsa Indonesia sudah diakui oleh Jepang dengan terbukti sekuruh
lembaga pendidikan yang dalam naungan pemerintahan Jepang harus
menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidik. Kemudian
tidak ada diskriminasi pendidikan, dimana seluruh masyarakat (baik yang miskin
maupun yang kaya) Indonesia di perbolehkan mengikut atau mengenyam
pendidikan.
Akan tetapi, penjajah tetaplah penjajah. Tanpa disadari oleh bangsa
Indonesia, bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jepang pada waktu
itu adalah sebuah bentuk desain politik. Dimana pada masa itu, Jepang dalam
usaha memenangkan peperangan dengan penjajah Barat. Oleh karena itu, mereka
78 Ibid, hlm. 107.
84
memanfaatkan masyarakat dengan memberikan kebijakan yang berpihak pada
mereka, agar masyarakat Indonesia memberikan simpatinya dan bahkan rela
bekerja sama dalam rangka melawan penjajah Barat.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa
kebijakan anatara lain:
1. Mengubah kantor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang
dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam
sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
2. Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pemerintah
Jepang.
3. Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan
dasar seni kemiliteran dabgi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal
Arifin.
4. Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan
K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
5. Mengizinkan kepada ulama dan nasionalis membentuk barisan Pembela
Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman
kemerdekaan.
6. Mengizinkan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi,
sekalipun kemudian dibubarkan dan kemudian diganti dengan Majlis
Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas Islam
Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlotul Ulama.79
79 Ibid, hlm. 108.
85
Terlepas dari tujuan semula (bekerja sama untuk mengalahkan penjajahan
Barat), pemerintah Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas pemuda Islam pada
waktu itu, sehingga dapat dilihat perkembangan Islam dan keadaan umatnya
setelah tercapai kemerdekaan. Namun apapun yang melatarbelakanginya,
sesungguhnya kaum penjajah itu sama saja, baik itu pada masa penjajah Portugis,
Inggris, Belanda, atau Jepang, pada intinya mereka tidak senang pendidikan Islam
berkembang pada masa pemerintahan mereka. Hal ini terbukti, pada akhir abad ke
19, pernah beberapa kali mengusulkan pondok pesantren dapat dijadikan sebagai
model pendidikan untuk seluruh penduduk Bumi Putera, akan tetapi usulan
tersebut ditolak oleh pemerintahan Belanda.
Padahal, selama ini pondok pesantren secara finansial mampu ditopang
secara mandiri kaum muslimin dan tidak pernah meminta bantuan dari pemerintah
penjajah. Logikanya, keberadaan pondok pesantren selama ini tidak memberatkan
dan merepotkan mereka, namun karena didasari rasa kekhawatiran kalua
pesantren akan berkembang pesat, justru akan menjadi kekuatan perlawanan
terhadap kaum penjajah, sehingga posisinya terancam, maka hal itu tidak
diluluskan oleh pemerintah Jepang.
Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa
merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan melanjutkan model sekolah
yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi
pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan
disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia
berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat
86
Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi
dunia secara realitis.
1. Definisi Pendidikan Islam
Dunia pendidikan juga ternyata diracuni oleh penjajah demi kepentingan
pribadi dan kelangsungan hidup mereka di bumi pertiwi. Berangkat dari
keprihatinan itulah yang mendorong perjuangan melalui bidang pendidikan yang
menjadi perhatian serius para tokoh-tokoh pejuang bangsa ini. Karena hanya
dengan pendidikanlah bangsa ini bisa maju dan terbebas dari cengkraman kaum
imperialisme. Hal inilah di antara menjadi salah satu sebab yang melatarbelakangi
perlunya didirikan lembaga-lembaga pendidikan melalui wadah organisasi
Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Melihat realitas pendidikan Islam yang saat itu dikuasai oleh kaum
penjajah, maka pada akhir abad 20, ketika banyak kaum cendikia muslim dari
Indonesia yang belajar di Timur Tengah, dan ada juga yang melakukan ibadah
haji ke Mekkah yang kemudian bermukim di sana dalam kurun waktu yang lama,
merasa tergugah untuk melakukan perubahan dan pembaharuan-pembaharuan
dalam bidang pendidikan. Mereka manyadari bahwa pendidikan yang dibangun
oleh kaum penjajah sama sekali tidak menguntungkan umat Islam khususnya dan
warga pribumi pada umumnya. Bahkan menimbulkan dampak terjadinya
dikotomi ilmu dan kastanisasi dalam dunia pendidikan.
Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi sosial tersebut, dan telaah
terhadap ajaran Islam serta pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh pembaharuan Islam
Timur Tengah seperti Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Ibn Taiymiyah, Syekh
87
Muhammad Abduh Rasyid Ridho dan lain-lain, serta didorong oleh teman-teman
dari Budi Utomo, maka K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah. Melalui lembaga inilah beliau melaksanakan ide pembaharuan di
segala bidang terutama bidang pendidikan. Sebab menurut K.H. Ahmad Dahlan
agama Islam tidak akan bisa tegak tanpa diperjuangkan melalui organisasi yang
rapi. Demikian pula untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan
Belanda, harus dengan meningkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan melalui
lembaga pendidikan. Itulah sebabnya gerakan Muhammadiyah pada awal
kelahirannya memprioritaskan kegiatannya pada bidang pendidikan.80
Keterangan diatas adalah sebuah bentuk sensitifitas sosial dan
keperihatinan yang mendalam dari para cendikiawan muslim yang melihat kondisi
pendidikan di Indonesia. Pada hakikatnya mereka menyadari bahwa pendidikan
merupakan salah satu tiang yang sangat penting untuk di perhatikan dengan serius
dan serta dikembangkan dengan maksimal. Karena hanya dengan pendidikanlah
martabat bangsa Indonesia akan dapat kembali.
Oleh karena itu, K.H. Ahmad Dahlan hadir di tengah-tengah keterpurukan
pendidikan di Indonesia. Beliau datang dengan segudang pemahaman tentang
agama, sosial, dan juga tentang ilmu pendidikan. Dengan rasa ikhlas dan penuh
dengan pengabdian kepada bangsa Indonesia, beliau mencoba memberikan
kontribusi dalam dunia pendidikan.
Di bawah ini akan sedik banyak akan diulas tentang pemikiran-pemikiran
K.H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan.
80 http://lppbi-fiba.blogspot.com/2009/03/filosofi-dasar-pemikiran-kh-ahmad.html�
88
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan adalah upaya strategis untuk
menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran
yang dinamis.81
Definisi tersebut sudah sangatlah jelas, bahwa kedatangan K.H. Ahmad
Dahlan membawa perubahan dan pembahuran dalam pemikiran masyarakat pada
waktu itu, dimana pola pikir masyarakat pada saat penjajah Belanda dan Jepang
menguasai Indonesia, pola pikir mereka statis dan sulit untuk berkembang. Karena
diakui atau tidak, itu semua adalah rekayasa yang dibuat oleh para penjajah agar
masyarakat Indonesia tidak melakukan hal-hal yang dikhawatirkan oleh penjajah,
seperti perlawanan, dll.
Kondisi yang dimaksudkan diatas diperjelas oleh Ramayulis dan Samsul
Nizar, hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap
situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam
kejumudan(stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini sangat
merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah
mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah
muncul sejak kunjungannya pertama ke Mekkah. Kemudian ide itu lebih
dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. Hal ini berarti, bahwa kedua
kunjungannya merupakan proses awal terjadinya kontak intelektualnya baik
secara langsung maupun tak langsung dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di
Timur Tengah pada awal abad XX.82
81 Dr. H. Samsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam : Pendidikan historis, teoritis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) hlm. 100. 82 http://lppbi-fiba.blogspot.com/2009/03/filosofi-dasar-pemikiran-kh-ahmad.html�
89
Kemudian, karena adanya spesifikasi kata Islam yang diinginkan dalam
pembahasan ini, maka definisi yang disampaikan oleh K.H. Ahmad Dahlan
tidaklah boleh keluar dari kaidah-kaidah Islam. dengan demikian dapat ditarik
dalam sebuah kesimpulan. Pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah
upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola pikir yang statis
menuju pola pikir yang dinamis dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai yang
sudah termaktub dalam syariat Islam.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Dari definisi pendidikan Islam yang sudah dikemukakan pada paragraf
sebelumnya, maka dapat dideskripsikan tentang beberapa tujuan yang dinginkan
oleh K.H. Ahmad Dahlan. Karena dengan mendeskripsikan beberapa tujuan
pendidikan Islam, maka dapat diketahui output yang sebenarnya diinginkan oleh
K.H. Ahmad Dahlan.
Pemikiran Ahmad Dahlan yang sudah dipaparkan diatas, merupakan
respon pragmatis terhadap kondisi ekonomi umat Islam yang tidak
menguntungkan di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa dibawah kolonial
Belanda, umat Islam tertinggal secara ekonomi karena tidak memiliki akses
kepada sektor-sektor pemerintahan dan perusahan-perusahan swasta. Kondisi
yang demikian itu menjadi perhatian oleh K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha
memperbaiki sistem pendidikan Islam.
Berangkat dari gagasan di atas, maka menurut Dahlan pendidikan Islam
hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi
pekerti luhur, ’alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu
90
keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Hal ini berarti
bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang
bertaqwa, baik sebagai ’abd maupun khalifah fi al-ardh. Untuk mencapai tujuan
ini, proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu
pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas
dan memperkokoh spritualitas peserta didik. Menurur Dahlan, upaya ini akan
terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Proses pendidikan yang
demikan pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni ”intelektual ulama”
yang berkualitas. Untuk menciptakan sosok peserta didik yang demikian, maka
epistemologi Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum
dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.83
Ungkapan diatas sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Adi Nugroho,
bahwa cita-cita atau tujuan pendidikan yang dikehendaki oleh K.H. Ahmad
Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia yang baru yang mampu tampil sebagai
“ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seseorang Muslim yang memiliki
keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan ruhani.84
Adapun intelek ulama yang berkualitas yang akan diwujudkan itu harus
memiliki kepribadian Al-Qur an dan Sunnah. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan
memiliki pandangan yang sama dengan Ahmad Khan mengenai pentingnya
pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan.
Dia berpendapat bahwa tidak seorangpun dapat mencapai kebesaran di dunia ini
dan di akhirat kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seorang yang
83 http://lppbi-fiba.blogspot.com/2009/03/filosofi-dasar-pemikiran-kh-ahmad.html�84 Adi Nugroho, Op.cit, hlm. 137.
91
berkepribadian yang baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur
an dan Hadis. Karena Nabi merupakan contoh pengamalan Al-Qur an dan Hadis,
maka dalam proses pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pada
kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi.
Berangkat dari pandangan di atas, sesungguhnya Ahmad Dahlan
menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional,
sehingga pendidikan yang dilakasanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta
didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu
membuka diri, inovatif, dan progresif.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa Ahmad Dahlan benar-benar seorang
pemikir dan pembaharu dalam dunia pendidikan. Pemikiran-pemikirannya tentang
pendidikan telah menjangkau pola pemikiran moderen sekarang ini. Misalnya
dalam pelaksanaan pendidikan yang terkait dengan penyempurnaan kurikulum,
Ahmad Dahlan telah memasukkan materi pendidikan agama dan umum secara
integratif kepada lembaga pendidikan sekolah yang dipimpinnya, kemudian
memperkokoh kepribadian intelek ulama. Hal ini sesuai dengan pole
pengembangan pendidikan mutaakhir yang meletakkan tiga validitas. Pertama
validitas luar, yaitu sejaumana produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan
pangsa pasar, kedua, validitas dalam yang menyangkut dengan proses
pembelajaran yang berkaitan dengan penyempurnaan kurikulum yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, ketiga, pembentukan kepribadian yang kokoh yang
sesuai dengan tuntutan dan tuntunan ajaran Islam.
92
Dari situ, nampaklah sekali bahwa langkah-langkah pembaruan yang
bersifat ”reformasi” yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan, dengan merintis
lembaga pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum.
gagasan pendidikan yang dipelopori K.H. Ahmad Dahlan, merupakan perubahan
dan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek nilai-nila agama dan
pengetahuan umum, iman dan kemajuan teknologi, sehingga dihasilkan sosok
generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah
kepribadiannya.
3. Dasar Pendidikan Islam
Dalam setiap ucapan, prilaku atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia
hendaknya mempunyai dasan ataupun landasan yang memperkuan dari setiap
ucapan, prilaku dan kegiatan yang dilakukannya. Karena dengan dasar atau
landasan itulah ucapan, prilaku dan kegiatan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam memahami agama, K.H. Ahmad Dahlan selalu berpegang pada
prinsip Al-Qur’an dan al-Sunna serta akal yang sehat sesuai dengan jiwa agama
Islam. karena hanya dengan itulah nilai-nilai Islam akan termanifestasi dalam
kegiatan dalam setiap kehidupan manusia. Dengan berlandaskan pada prinsip
pemahaman agama tersebut, maka akan dapat menimbulkan kesadaran yang
berupa kayakinan dan cita-cita yang terpancar dari diri K.H. Ahmad Dahlan,
sebagaimana yang ditulis Mohammad Riezam sebagai berikut:
1. Ajaran agama Islam yang sumbernya Al-Qur’an dan Al-Sunnah itu
risalah (pesan pengarahan) Allah pada manusia.
93
2. Ajaran agama Islam sebagaimana yang tersebut diatas harus
diamalkan dalam arti dan proporsi yang sebenarnya.85
Dari penjelasan diatas, maka untuk dapat mengamalkan ajaran agama
Islam dalam arti dan proporsi yang sebenarnya, orang-orang Islam harus dibina,
baik secara individu maupun secara kolektif dan kemudian digerakkan dan
diorganisir serta dipimpin untuk mengamalkan ajaran agama yang dimaksud dan
memperjuangkan dengan semangat jihad kaffah. Dalam hal ini wadah yang paling
representatif dan memungkinkan hal-hal yang diatas dapat tercapai adalah melalui
lembaga pendidikan. Karena didalamnya terdapat proses pembinaan untuk
menjadi insan yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan didasari dengan nilai-
nilai ajaran agama Islam.
Oleh karena itu, pendidikan hendaknya diletakkan pada skala prioritas
dalam proses pembangunan umat. Adapun kunci untuk meningkatkan
kemajemukan umat Islam adalah dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Al-
Sunnah, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif,
dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan, sehingga peradaban Islam
akan terus berkembang dan akan tetap dipandang oleh negara-negara lain.
Mengenai pelaksanaan pendidikan, K.H. Ahmad Dahlan memberikan
keterangan, bahwa pendidikan Islam hendaknya didasarkan pada landasan yang
kokoh yaitu Al-Qur an dan Sunnah. Landasan ini merupakan kerangka filosofis
bagi memrumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal
(khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada
85 Abdul Munir Mulkhan, K.H. Ahmad Dahlan, dan Muhammadiyah Dalam Perspektif Perubahan Sosial,(Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 42.
94
dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitusebagai abd Allah dan khalifah fi al-ardh.
Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah al-ruh dan al- aql. Untuk itu,
media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar penunjuk
pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia epada Khaliqnya. Di sini
eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara
dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoretis dan metodologis bagaimana
menata hubungan yana harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks
tujuan penciptannya.86
Islam menekankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua
kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam
semesata, baik alam makro maupun mikro. Meskipun dalam banyak tempat al-
Qur an senantiasa menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al-
Qur an juga juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Ada fenomena
yang tak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia. Hala in disebabkan,
karena wujud yang ada di alam ini memiliki dua dimensi, yaitu pisika dan
metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu
dimensi ruh dan jasad.
Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan
Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik (manusia)
mendayagunakan berbagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi inderawi,
akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan dalam
Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi
86 Hery Sucipto, Op.cit, hlm. 120.
95
pengembangan ke semua dimensi tersebut. Pengemabangan tersebut merupakan
proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan
menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengtahuan secara langsung, sesuai
prinsip-prinsip al-Qur an dan sunnah, bukan semata-mata dari kitab tertentu.
Dari sumber-sumber di atas, dapat dipahami bahwa landasan pendidikan
Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah Al-Qur an dan hadis, maka dalam
menetapkan tujuan pendidikan Islam juga sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
Al-Qur an yaitu sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai hamba
Allah dan khalifah Allah di muka bumi, dalam ungkapan lain disebut dengan
rehumanisasi yaitu mengembalikan kedudukan manusia kepada kedudukan yang
sebenarnya yaitu sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk
tercapainya tujuan pendidikan Islam tersebut, manusia harus mengembangkan
potenmsi dirinya melalui pendidikan. Potensi diri itu sebagaimana yang
dianugerahkan oleh Allah antara lain; fitrah beragama, potensi akal, roh, qalbu
dan nafs.
Prinsip Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang dipegang teguh oleh K.H. Ahmad
Dahlan tidak hanya terlihat dalam dunia pendidikan, akan tetapi juga terlihat
dalam kondisi sosial masyarakat pada waktu itu. Sebagaimana yang dikemukakan
olehnya, ajaran Islam tidak akan pernah membumi dan dijadikan pandangan hidup
pemeluknya, kecuali dipraktikan. Betapapun bagusnya suatu program, menurut
Dahlan, jika tidak dipraktikan, tidak akan bisa mencapai tujuan bersama. Karena
itu, K.H. Ahmad Dahlan dengan mencoba mengelaborasikan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan langsung mempraktikan dalam alam nyata dari hasil pemahan dari sebuah
96
ayat tersebut. Praktik amal nyata yang fenomenal ketika menerapkan apa yang
tersebut dalam surah Al-Ma’un ayat 1-3, yang secara tegas memberikan
peringatan kepada kaum Muslimin agara mereka menyanyangi anak-anak yatim
dan membantu fakir miskin. Maka dengan berlandaskan itu, K.H. Ahmad Dahlan
membentuk rumah-rumah yatim dan menampung orang-orang miskin.
� �� �� � � � � �� �! �!��� "� �'(#�� �� �� )� �� ��� �" *� � �� $# �� �� �$% $�% �� �� &�
��� %%�& �+ �" �,�� -���' �./�� �� ��� �� 0�
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1), Itulah orang yang
menghardik anak yatim (2), Dan tidak menganjurkan memberi Makan orang
miskin (3).(Q.S. Al-Maa’un: 1-3).87
Kemudian ketika menerapkan Al-Qur’an surat Asy- Syu’araa’ ayat 80,
yang mengatakan bahwa Allah menyembuhkan sakit seseorang, K.H. Ahmad
Dahlan mendirikan balai kesehatan masyarakat atau rumah sakit. Lembaga ini
didirikan tidak hanya memberikan perawatan pada masyarakat umum, akan tetapi
juga memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin, dan juga
untuk memberikan penyuluhan.
87 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1998, hlm.1108.
97
��(�� �� �� )���� �� �1 �" �'/* � �2 34�
Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku. (Q.S. Asy’
Syu’araa’: 80).88
Sedangkan amal nyata yang diterapkan oleh K.H. Ahmad Dahlan yang
terinspirasi dari ayat Al-Qur’an surat Al-‘Alaq ayat 1 yang memberi penekanan
arti pentingnya membaca, diterjemahkan dengan mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan. Dengan pendidikan, akan ada upaya pemberantasan buta huruf.
� ���5 �� �$ �+ ���� �� �&��� � � � �� �6���, )�
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,(Q.S. Al-
‘Alaq: 1).89
Dari penjelasan diatas, jelaslah sudah bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah
sosok yang mampu mengkolaborasikan antara perintah yang tertuang dalam teks
Al-Qur’an dengan kemudian menerapkannya dalam kehidupan sosial dalam upaya
untuk memberikan layanan yang terbaik bagi masyarakat agar mencapai
peradaban umat manusia saat ini.
Pada hakikatnya, K.H. Ahmad Dahlan tidak hanya berhenti dalam tataran
yang sudah disampaikan diatas, beliau mencurahkan sebagian hidupnya untuk
memikirkan bagaimana pendidikan yang ideal yang sesuai dengan karakter bangsa
Indonesia. Akan tetapi hanya rangkaian inilah, pembahasa pemikiran K.H. Ahmad
88 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1998, hlm.579. 89 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1998, hlm.1079.
98
Dahlan tentang pendidikan Islam yang bias disampaikan dan hanya dibatasi
beberapa dimensi-dimensi pendidikan, yakni definisi, tujuan, dan dasar
pendidikan Islam.
C. Biografi K.H. Hasyim Asy’ari
1. Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asy’sri
“Lembaga-lembaga pendidikan agama sepi, penghuninya yang tinggal paling-paling sekitar sepuluh persen dibanding tahun-tahun yang lalu. Sedangkan
sekolah-sekolah Islam (madrasah) banyak yang gulung tikar disebabkan oleh sedikitnya animo masyarakat dan sulitnya mencari orang-orang yang betul-betul
punya tanggung jawab dan kepedulian yang besar untuk menghidupkannya kembali.”
(K.H. Hayim Asy’ari: Naskah Pidato Pembukaan Muktamar XVII, Madiun 1947)
Ada kelakar dari aktivis NU yang bergerak dalam bidang politik praktis,
bahwasannya Pangeran Diponegoro berjuang habis-habisan melawan Belanda
sampai akhir hayatnya berawal dari upaya membela makam leluhurnya yang
terkena proyek pembangunan rel kereta api penjajah. Sementara itu, NU lahir dari
polemik gerakan wahabi di Timur Tengah yang sedang gencar mengkampanyekan
peminggiran situs-situs bersejarah Islam, seperti ziarah ke makam para aulia, wali,
dan kiai dengan dalih pemurnian ajaran Islam. Jadi, NU dan Pangeran Diponegoro
sebenarnya sama, yaitu sama-sama membela makam leluhur.90
Pembicaraan NU tanpa K.H. Hasyim Asy’ari adalah bentuk pencurian
secara terang-terangan tanpa malu. Hal ini disebabkan karenasalah satu pendiri
lahirnya NU pada 1926 adalah K.H. Hasyim Asy’ari. Tujuan organisasi ini adalah
ingin menempatkan tradisi dan nilai-nilai keislaman yang muncul dan
berkembang di Indonesia sejajar dengan khazanah keislaman Timur Tengah dan
90 Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asy’ari : Biografi Singkat 1871-1947, (Jogjakarta : Garasi House of Book, 2010), hlm. 11.
99
tidak ada yang mendominasi satu sama lain. Oleh sebab itu, Islam yang dibawa
adalah yang menghormati adat istiadat dan tradisi masyarakat lokal tanpa
menghilangkan identitas satu sama lain.
Kehidupan K.H. Hasyim Asy’sri mungkin dapat digambarkan dengan
kata-kata sederhana, “Dari pesantren kembali ke pesantren”. Ia dibesarkan di
lingkungan pesantren. Kemudian selama tujuh tahun di Mekkah melakukan
ibadah haji dan belajar di lingkungan seperti pesantren yaitu Masjid Al-Haram
dan Masjid Al-Nabawi, dia kembali ke Nusantara untuk mendirikan pesantren
sendiri dan menghabiskan sebagian besar waktunya mengajar para santri di
pesantren.
Diberi nama Muhammad Hasyim oleh orang tuanya, beliau lahir dari
keluarga elite kyai Jawa pada 24 Dzul Qo’dah 1287/ 14 Februari 1871 di desa
Gedang, sekitar dua kilometer sebelah timur Jombang, K.H.M. Hasim Asy’ari
adalah putra ketiga dari sebelas bersaudara. Nama lengkap beliau adalah
Muhammad Hasyim Asy’sri bin Abdul Wahid bin Abdul Halim, yang mempunyai
gelar pangeran Bona, bin Abdul Rohman Rahman, yang dikenal sebagai Jaka
Tingkir Sultan Hadiwijoyo, bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatih bin
Maulana Ishaq, dari Raden ‘Ain Al-Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.
Sedangkan menurut Akarhanaf menyebutkan didalam bukunya bahwa garis
silsilah dari ibu adalah sebagai berikut: Muhammad Hasyim Asy’ari bin Halimah
binti Layyinah binti Sichah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin
100
Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir (Mas Karebet) bin Prabu Brawijaya VII
(Lembu Peteng), Raja Majapahit Terakhir bin Prabu Brawijaya VI.91
Gambar 3: Silsilah K.H. Hasyim Asy’ari
91 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Lkis, 2001), hlm. 14-15.
Sunan Giri
Maulana Ishaq
Abdul Fatih
Abdul Aziz
Abdullah
Abdul Rohman Rahman
Abdul Halim
Abdul Wahid
Muhammad Asy’ari
Prabu Brawijaya VI
Prabu Brawijaya VII
Jaka Tingkir
Pangeran Benawa
Pangeran Sambo
Ahmad
Abdul Jabar
Sichah
Laiyinah
Silsilah dari Ayah Silsilah dari Ibu
K.H. Hasyim Asy’ari Halimah
K.H. Hasyim Asy’ari
101
Ibunya, Halimah adalah putri dari Kiai Utsman, guru ayah KH. Hasyim
Asy’ari sewaktu mondok di pesantren. Jadi, ayah KH. Hasyim Asy’ari adalah
santri pandai yang mondok di Kiai Utsman, hingga akhirnya karena kepandaian
dan akhlak luhur yang dimiliki, ia diambil menjadi menantu dan dinikahkan
dengan Halimah. Sementara Kiai Ustman sendiri adalah Kiai terkenal dan juga
pendiri pesantren Gedang yang didirikannya pada akhir abad ke-19. KH. Hasyim
Asy’ari adalah anak ketiga dari sebelas bersaudara, yaitu Nafiah, Ahmad Saleh,
Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan.92
Dari silsilah diatas, dapat dikatakan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari adalah
tokoh besar yang berasal dari dua golongan yang sangat dihormati dalam sejarah
tanah Jawa. Yakni nasab beliau adalah merupakan campuran dua darah atau trah,
satunya darah putih, kalangan tokoh agama, kyai, santri, sedangkan satunya
adalah darah biru, ningrat, priyayi, keraton.
Tanda-tanda kebesaran K.H. Hasyim Asy’ari, dari buku “Tentang Sejar
Hidup K.H. A Wahid Hasyim,” sebenarnya sudah terlihat pada waktu beliau di
dalam kandungan. K.H Muhammad Hasyim Asy’ari telah menunjukkan
keanehan-keanehan dan keajaiban sejak dalam kandungan. Kono, di awal
kandungannya, ibunya bermimpi melihat bulan purnama jatuh dari langit dan
tepat menimpa perutnya. Dan tidak hanya keajaiban dan keanehan itu, tapi
keanehan yang lainnya adalah lamanya mengandung sang ibu, yaitu selama 14
bulan. Dalam pandangan masyarakat Jawa, kehamilan yang sangat panjang
mengindikasikan kecemerlangan sang bayi di masa depan. Bisa dikatakan bahwa
92 H. Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 119.
102
penggodokan keilmuannya dalam kandungan lebih lama dibandingkan dengan
yang lainnya, umumnya hanya sekitar 9 bulan. Apalagi, di masa 14 bulanan
tersebut, ibunya sering melakukan puasa dan rajin melakukan ibadah shalat
malam dan berdzikir kepada Tuhan.93
Kemudian, pada waktu K.H. Hasyim Asy’ari dilahirkan, para bidan yang
merawat kelahiran itu juga melihat keanehan pada jabang bayi tersebut. Begitu
pula dikatakan oleh neneknya, Winih, yang turut hadir menyaksikan kelahiran itu,
bahwa selama ia menjadi dukun beranak, belum pernah menghadapi suatu
kelahiran sebagaimana yang dihadapi pada waktu itu. Neneknya melihat beberapa
tanda keistimewaan pada bayi yang disambutnya, yang meyakinkan dirinya,
bahwa anak itu kelak akan menjadi seseorang pemimpin, orang besar yang
terkenal di zamannya. Tanda-tanda itu tampak kepadanya ketika ia memandang
wajah anak itu, yang berlainan dengan wajah anak-anak yang pernah ditolongnya.
Selang berjalannya waktu, Muhammad Hasyim Asy’ari kecil pun mulai
berkembang. Sejak anak-anak K.H. Hasyim Asy’ari sudah menunjukkan bakat
kepemimpinan dan kecerdasannya. Misalnya saja dalam permainan, jika ia
melihat teman-temannya bermain kasar atau menyimpang dari peraturan-
peraturan yang berlaku dalam dunia kanak-kanak, maka dia tidak segan-segan
menegur dan memperingatkan mereka. Ia menyatakan bahwa tindakan bermain
curang itu tidak diperbolehkan karena kalau pelaku curang suatu saat akan
dicurangi.94
93 Solichin Salam, K.H. Hasjim Asj’ari, Ulama Besar Indonesia, (Jakarta: Daja Murni, 1963), hlm. 22. 94 M. Ishom Hadiq, K.H.M. Hasyim Asy’ari: Figur Ulama dan Pejuang Sejati, (Jombang: Pustaka Warisan Islam Tebuireng, 2007), hlm. 46.
103
Sikap yang digambarkan diatas inilah yang membuat beliau disenangi oleh
teman-temannya, sehingga teman-temannya sejak kecil banyak dan juga karena
beliau melindungi teman sepermainannya yang teraniyaya dan mungkin tidak
memiliki keberanian untuk melawan. Hal yang lebih disukai lagi oleh teman-
teman sepermainannya adalah teguran dan peringatan yang dilakukannya itu
dengan lemah lembut, kata-kata yang manis, dan tingkah laku yang tidak
menyakitkan hati. Ini menjadikan orang yang melakukan kesalahan tidak merasa
tersudutkan dan sakit hati, malah justru akan timbul kesadaran dalam dirinya
sendiri untuk memperbaikinya.
Prilaku yang tertanam seak kecil ini tetap bertahan sampai akhir hayatnya.
Hal ini menjadikan belaiu layak menjadi pemimpin yang kharismatik dengan
keadilannya menegakkan hukum dan sikap antikekerasan dalam mengubah
kejahatan menjadi kebaikan. Oleh sebab itu, tidak heran jika sejak kecil beliau
dipatuhi oleh teman-teman sepermainannya dan di masa matangnya menjadi
ulama tersohor dengan jutaan umat yang menghormatinya.
Sifat dan karakter pemberani yang tidak pernah takut untuk membenarkan
hal-hal yang beliau rasa salah dan mempunyai kecerdasan yang luar biasa inilah
yang kelak menjadikannya beliau disukai oleh guru-gurunya, yang pada akhirnya,
belay dinikahkan dengan putrid dari kyaikyai tersebut. Dalam catatan sejarah,
riwyat hidup K.H. Hasyim Asy’ari pernah menikah sebanyak tujuh kali,
diantaranya dengan Khadijah, putrid kyai Ya’qub Siwalan Panji, Nafisah, putrid
kyai Ramli Kediri, Nyai Priangan di Makkah, Masrurah, saudara kyai Ilyas
Kapurejo Kediri, Nafiqoh, putrid kyai Ilyas Sewulan Madiun.
104
Dari perkawinannya dengan Nyai Nafiqoh, putrid Wedana dari Madiun,
K.H. Hasyim Asy’ari memperoleh 10 anak, yaitu:
1) Hannah, lahir dan meninggal tahun 1905.
2) Khairiyah, lahir tahun 1908, kemudian menikah dengan kyao Maksum
Ali.
3) Aisyah, menikah dengan kyai Ahmad Badawi.
4) Ummu Abdul Haq, menikah dengan kyai Idris dari Cirebon.
5) Abdul Hawid Hasyim, lahir 1 Juni 1914, meninggal 15 April 1953. ia
menjadi tangan kanan ayahnya yang kemudian menjadi pimpinan umat
Islam dan beberapa kali menjadi Menteri Agama RI dan RIS.
6) Abdul Hafiz, lebih dikenal dengan kyai A. Khalik, lahir tahun 1917,
adalah mantan angota konstituante dan menjadi pimpinan Pondok
Pesantren Tebuireng Jombang.
7) Abdul Karim Hasyim, lahir tahun 1919, mantan dosen IAIN Sunan
Ampel Surabaya.
8) Ubaidillah, lahir dan meninggal tahun 1925.
9) Masrurah, lahir tahun 1926.
10) Yusuf Hasyim, lahir tahun 1929, mantan anggota DPR-RI dan PBNU
(Pengurus Besar Nahdhatul Ulama).
Sedangkan pada perkawinannya dengan Nyai Masrurah, Hasyim
mempunyai empat anak, yaitu: Abdul Kadir, Fatimah, Khadijah, dan Ya’qub.
Catatan lain dalam sejarah, konon Nyai Nafiqoh, istri kelima K.H. Hasyim
Asy’ari adalah berasal dari keturunan Kyai Ageng Tarub yang berhubungan darah
105
dengan Kyai Ageng Pemanahan yang menjadi mubaligh Islam di Mataram,
Yogyakarta. Ia adalah keturunan Panembahan Senopati Mataram.
Akan tetapi, perlu diketahuai bahwa perkawinan K.H. Hasyim Asy’ari
pada umumnya mempunyai latar belakang dakwah tersendiri dan dilakukan atas
dasar ukhuwah Islamiyah yang bersifat cultural. Beliau beriktikad baik untuk
mencontoh kehidupan Rosulullah Muhammad Saw. Atau mencontoh perjuangan
Wali Songo dalam mengislamkan tanah Jawa.
2. Riwayat Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari
Di dalam kehidupan manusia, masa kanak-kanak atau masa kecil dianggap
sebagai masa bermain atau bersenang-senang sehingga pendidikan yang diberikan
pada anak usia tersebut dilakukan sekadarnya. Artinya, pendidikan tersebut
dilakukan tergantung pada keinginan si anak karena kalau dipaksakan, maka
mereka menjadi mudah marah atau menangis.
Para tokoh pendidikan modern menyatakan bahwa pendidikan masa anak-
anak adalah penting dilakukan dengan slogannya “bermain sambil bermain”. Ini
digunakan untuk lebih mencerdaskan dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia. Asumsinya, pendidikan modern tidak lagi berpedoman pada bakat alami
atau tidak, akan tetapi menciptakan atau memunculkan bakat yang terpendam
pada diri seorang anak.
Namun, hal berbeda yang terjadi kepada K.H. Hasyim Asy’ari. Sejak
masih dalam usia kanak-kanak, bakat dan kepemimpinan dan kecerdasannya
memang sudah tampak. Hal inilah yang dijadikan sebuah dasar oleh K.H. Hasyim
Asy’ari dalam rangka memperkuat khazanah keilmuannya. Sebab ternyata tercatat
106
dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 12 tahun, KH.
Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk
mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri. Serta di
kemudian hari kita saksikan sepak terjang dan perjuangannya di berbagai bidang.
Pada tahun 1876, ketika KH. Hasyim Asy’ari berumur 6 tahun, ayahnya
mendirikan pesantren di sebelah Selatan Jombang, suatu pengalaman yang di
masa mendatang mempengaruhi beliau untuk kemudian mendirikan pesantren
sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa kehidupan masa kecilnya di lingkungan
pesantren berperan besar dalam pembentukan wataknya yang haus ilmu
pengetahuan dan kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan
baik.
Suasana ini tidak diragukan lagi mempengaruhi karakter KH. Hasyim
Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar. Minat bacanya sangat tinggi, hingga
yang dibaca bukan hanya buku-buku pelajaran dengan literatur-leteratur Islam,
tetapi juga buku-buku lain dan umum.
Dari lingkungan pesantren inilah KH. Hasyim Asy’ari mendapat
pendidikan awal tentang berbagai hal yang berkaitan dengan ke-Islaman.
Sebagaimana santri lain pada masanya, KH. Hasyim mengenyam pendidikan
pesantren sejak usia dini. Sebelum beliau umur 6 tahun, Kiai Utsmanlah yang
merawat dan mendidik beliau. Pada tahun 1876, KH. Hasyim harus meninggalkan
kakeknya tercinta untuk mengikuti kedua orang tuanya ke Keras, sebuah desa di
bagian selatan Jombang. Hingga mencapai usianya 15 tahun, ayahnya
memberikannya dasar dasar-dasar Islam, khususnya membaca dan menghafal Al
107
Qur'an. KH. Hasyim adalah seorang santri yang cerdas, beliau selalu menguasai
apa yang diajarkan ayahnya, dan selalu melakukan muthala'ah dengan membaca
sendiri kitab-kitab yang belum pernah diajarkan oleh gurunya. Oleh karena alasan
terakhir inilah, beliau mampu mengajar bahasa Arab dan pelajaran-pelajaran
agama pada tingkat dasar terhadap para santrinya terhadap para santri yang lain,
ketika masih berusia 12 tahun, yakni pada tahun 1883.95
Di dalam bidang pendidikan, K.H. Hasyim Asy’ari terkenal memiliki
keinginan yang kuat untuk mendapatkan ilmu seluas-luasnya dan sebanyak-
banyaknya. Beliau tidak gampang puas dengan ilmu yang sudah didapatnya dan
guru yang sudah ditemuinya, sehingga tidak menjadi heran kalau beliau sering
berpindah-pindah dari guru satu ke guru yang lain, dari pesantren satu ke
pesantren yang lain.
Sejak kecil sampai berusia 14 tahun, K.H. Hasyim Asy’ari mendapat
pendidikan langsung dari ayah dan kakenya, kyai Usman. Hasrat yang besar untuk
menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Beliau termasuk anak
yang dengan mudah menyerap dan menghafal ilmu yang diberikan. Keistimewaan
beliau dalam menyerap dan menghafal ilmu, menjadikannya diberi kesempatan
oleh ayahnya pada usia masih terbilang remaja, 13-14 tahun, untuk membantu
mengajar dipesantren.
Ketidakpuasan dan rasa dahaga yang sangat tinggi terhadap ilmu,
membuat beliau berkeinginan untuk mencari sumber pengetahuan lain, diluar
pesantren yang diasuh oleh ayahnya. Oleh sebab itu, semenjak usia 15 tahun,
95 Abdurrahman Mas'ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama Dan Tradisi, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 57-58.
108
beliau berkelana dari pesantren satu ke pesantren yang lain. Dalam catatan
sejarah, beliau mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo),
Pesantren Langitan (Tuban), sampai menjadi santri di Pesantren Trenggilis
(Semarang). Merasa belum puas dengan ilmu yang sudah diperolehnya, dalam
situasi semacam inilah pada akhirnya membawanya kepada ketidakpuasan
intelektual hingga beliau menyeberangi lautan beliau melanjutkan belajar ke
Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura dalam asuhan kyai Kholil, yang akrab
dicebut Syaikhona Kholil. Namun tidak berlangsung begitu lama dalam asuhan
kyai Kholil, Upaya Hasyim ini didasarkan atas semangatnya untuk memperoleh
ilmu yang berbeda pada masing-masing pesantren, karena dalam kenyataannya
setiap pesantren memiliki spesialisasinya sendiri. Pesantren Tremas di Pacitan
misalnya, dikenal sebagai pesantren 'ilm al-alat (struktur dan tata bahasa serta
literatur Arab, dan logika), sementara di pesantren Jampes di Kediri dikenal luas
sebagai pesantren Tasawuf. Setelah itu beliau berpindah lagi ke Pesantren
Siwalan, Sidoarjo yang diasuh oleh kyai Ya’qub. Kyai Ya’qub dikenal sebagai
ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Dipesantren inilah,
K.H. Hasyim Asy’ari agak merasa benar-benar menemukan sumber pengetahuan
Islam yang beliau inginkan. Dari sekian pondok pesantren yang pernah disinggahi
oleh beliau, nampaknya di Pesantren Siwalanlah beliau belajar cukup lama, yaitu
lima tahun. K.H. Hasyim Asy’ari menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Namun
rupanya kyai Ya’qub kagum kepada pemuda yang cerdas dan alim itu, sehingga
K.H. Hasyim Asy’ari bukan saja mendapat ilmu di pondoknya, akan tetapi juga
dijadikan menantu oleh kyai Ya’qub. Sang kyai menawarkan putrinya, Khadijah,
109
kepada Hasyim yang kemudian dinikahi pada tahun 1982. Pernikahan semacam
ini sangat bisa terjadi dalam tradisi pesantren, terhadap seorang santri yang sangat
bisa diharapkan mengangkat kualitas pesantren di masa mendatang. Di samping
itu, pernikahan ini mengandung arti bahwa ikatan dari pesantren menjadi lebih
kuat, karena hubungan tersebut dibangun tidak hanya atas dasar elemen
keagamaan saja, tetapi melalui ikatan keluarga. Lebih dari itu, keluarga dipandang
sebagai sumber kemajuan, kesejahteraan, dan kekuatan kultur santri.96
Hadiah yang diberikan kyai Ya’qub kepada K.H. Hasyim Asy’ari tidak
berhenti sampai disitu. K.H. Hasyim Asy’ari kemudian diberangkatkan haji
bersama istrinya. Disini pulalah beliau juga belajar kembali. K.H. Hasyim Asy’ari
belajar ilmu Hadis pada ulama ternama, yakni Syekh Ahmad Khatib
Minangkabau. Beliau adalah menantu dari Syekh Shaleh Kurdi, seorang hartawan
yang mempunyai hubungan baik dengan pihak penguasa di Makkah. Syekh ini
berhasil menjadi ulama dan guru besar yang terkenal di Makkah dan menjadi
salah satu imam di Masjidil Haram untuk penganut Mazhab Syafi’i. bahkan
menurut Abdul Karim Hasyim, guru-guru K.H. Hasyim Asy’ari semenjak belajar
di Makkah bukan hanya itu, akan tetapi masih banyak lagi seperti Syekh Al-
‘Allamah Abdul Hamid Al-Darustany dan Syekh Muhammad Syu’aib.
Ketidakpuasan itulah yang kemudian membawa K.H. Hasyim Asy’ari bertemu
dengan berbagai literature hidup selama belajar di Makkah, modal pengetahuan
agama selama nyantri di tanah air memudahkan KH. Hasyim Asy’ari memahami
pelajaran selama di Makkah. Namun di sana beliau memperoleh pengalaman yang
96 Syaifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, (Yogyakarta: LKis, 2001), hlm. 134-135.
110
pahit. Karena sang istri tercinta yang menyertainya, meninggal dunia, karena
melahirkan. Dahaga Hasyim akan ilmu pengetahuan tidak surut karena duka cita
yang beliau alami, beliau menerima situasi tersebut sebagai musibah. Dalam
suasana duka, beliau menghibur diri dengan mengunjungi tempat-tempat suci
khusunya Bait Allah. Beliau tidak pernah lupa pesan istrinya supaya tetap
bersemangat dalam hidup. Istrinya memberikan inspirasi kepada beliau untuk
terus mengejar cita-citanya menjadi seorang Kiai penting, seorang 'Âlim, dan
pemimpin bagi kaum muslim Indosesia. Mungkin karena musibah ini beliau
memutuskan untuk pulang ke tanah air menengok keluarganya di Jawa.97
pada tahun 1893, beliau kembali ke Makkah bersama adiknya, Anis, dan
menetap di sana selama 6 tahun. Di kota suci ini, Hasyim menjadi murid dari:
a. Syekh Mahfudz At-Tarmizi. Beliau dikenal luas oleh para santrinya
sebagai para ahli dalam hal kitab Shahih Bukhari berikut seluruh
sanadnya. Dari gurunya ini, beliau memperoleh sebuah ijazah untuk
mengajar kitab tersebut.
b. Syekh An-Nawawi Al-Bantani
c. Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1334 H)
d. Syekh Abdul Hamid Ad-Dururstani
e. Syekh Muhammad Syu'aib Al-Maghribi
Rasa haus yang tinggi akan ilmu pengetahuan membawa KH. Hasyim
Asy’ari berangkat lagi ke tanah suci Makkah tahun berikutnya. Kali ini ia
ditemani saudaranya Anis. Dan ia menetap di sana kurang lebih tujuh tahun dan
97 Ibid, hlm. 137.
111
berguru pada sejumlah ulama, di antaranya Syekh Ahmad Amin Al-Aththar,
Sayyid Sultan Ibn Hasyim, Sayyid Abdullah Al-Zawawi, Syekh Shaleh Bafadhal
dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Minatnya begitu tinggi terhadap ilmu pengetahuan, terutama ilmu Hadits
dan Tasawuf. Hal ini yang membuat Hasyim di kemudian hari senang
mengajarkan Hadits dan Tasawuf. Pada masa-masa akhir di Makkah beliau
sempat memberikan pengajaran kepada orang lain yang memerlukan
bimbingannya, dan ini yang menjadi bekal tersendri yang kemudian hari
diteruskan setelah kembali ke tanah air.
Pada tahun 1899/1900 beliau kembali ke Indonesia dan mengajar di
pesantren ayah dan kakeknya, hingga berlangsung beberapa waktu. Masa
berikutnya KH. Hasyim Asy’ari menikah lagi dengan putri Kiai Ramli dari
Kemuning (Kediri) yang bernama Nafiah, setelah sekian lama menduda. Mulai itu
beliau diminta membantu mengajar di pesantren mertuanya di Kemuning, baru
kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah sekitar Cukir, pesantren
Tebuireng di Jombang, pada tanggal 6 Februari 1906. Pesantren yang baru
didirikan tersebut tidak berapa lama berkembang menjadi pesantren yang terkenal
di Nusantara, dan menjadi Chondrodimuko kader-kader ulama wilayah Jawa dan
sekitarnya.
Sejak masih di pondok, ia telah dipercaya untuk membimbing dan
mengajar santri baru. Ketika di Makkah, beliau juga sempat mengajar. Demikian
pula ketika kembali ke tanah air, diabdikannya seluruh hidupnya untuk agama dan
ilmu. Kehidupannya banyak tersita untuk para santrinya. Ia terkenal dengan
112
disiplin waktu (istiqamah). Tidak banyak para ulama dari kalangan tradisional
yang menulis buku. Akan tetapi tidak demikian dengan KH. Hasyim Asy’ari,
tidak kurang dari sepuluh kitab disusunnya.
Dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, beliau
digelari Hadrat Asy-Syekh (guru besar di lingkungan pesantren), karena
peranannya yang sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan
pesantren, misalnya Pesantren Asem Bagus Situbondo Jawa Timur, pesantren
Lirboyo Kediri Jawa Timur, dan lain-lain. Ketokohan beliau menjadi sentral dan
menjadi tipe ideal untuk menjadi pemimpin. Selain beliau mengembangkan Islam
melalui lembaga pesantren dan organisasi sosial keagamaan, beliau pun aktif
dalam organisasi politik melawan Belanda.98
KH. Hasyim Asy’ari bersama ulama besar lainnya di Jawa yaitu Syekh
Abdul Wahhab dan Syekh Bisri menjadi perintis dan pendiri organisasi
kemasyarakatan NU (Nahdhatul Ulama) pada tanggal 31 Januari 1926 bertepatan
dengan tanggal 16 Rajab 1334 H, sekaligus sebagai Rais Akbar. Organisasi social
keagamaan ini memiliki maksud dan tujuan memegang teguh salah satu mazhab
empat, serta mengerjakan apa saja yang menjadi kemashlahatan agama Islam.99
Pada bagian lain, ia juga bersikap konfrontatif terhadap penjajah Belanda.
Ia, misalnya menolak menerima penghargaan dari pemerintah Belanda. Bahkan
pada saat revolusi fisik, ia menyerukan jihad melawan penjajah dan menolak
98 Ahmad Taufik, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 2005), hlm. 140. 99 H. Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 119.
113
bekerja sama dengannya. Sementara pada masa penjajahan Jepang, ia sempat
ditahan dan diasingkan ke Mojokerto.
Akhirnya, dapat dilihat bagaimana keberhasilan ketokohan beliau memang
didasari oleh karakter seorang murid yang haus akan ilmu dengan semangat tinggi
serta penuh disiplin. Hal ini juga sebagai bukti kecintaan beliau akan petuah Rasul
Muhammad Saw., bahwasannya “menuntut ilmu itu diwajibkan sejak dari
kandungan sampai liang lahat” dan “belajarlah sampai ke negeri Cina”. Oleh
sebab itu, “siapa yang menanam, maka ia akan memanen.” Beliau menuai hasil
dari jerih payahnya, bukan hanya bagi kebesaran dan keterkenalan dirinya, tapi
juga mengharumkan nama keluarga besarnya, menjadi suri tauladan seorang
pejuang Islam dan pejuang nasional yang lebih mementingkan kepentingan
bersama atau umat yang sedang mengalami keterjajahan dan penindasan.
Hal ini membuktikan bahwa kerja keraslah yang menentukan ketokohan
seseorang dalam hidupnya. Meskipun dilahirkan sebagai keturunan “darah putih”
dan “darah biru”, tapi jikalau tidak mempunyai rasa dahaga yang tinggi terhadap
ilmu, rajin belajar, serta mengorbankan segala pikiran dan tenaga untuk
perjuangan yang diyakininya, belum tentu K.H. Hasyim Asy’ari bisa menjadi
tokoh yang sampai hari ini dihormati oleh semua umat Islam, bahkan di luar
Islam.
3. Detik-detik Kepergian K.H. Hasyim Asy’ari
Tepat pukul 9 malam, 7 Ramadhan 1336 Hijriah, turunlah beliau dari
sembayang tarawih, menjadi imam kaum muslimat. Ketika beliau sudah bersiap
duduk di kursi untuk memberikan pelajaran kepada para muslimat seperti
114
biasanya, datanglah seorang cucu menantunya mendekatinya dan berbisik di
telinga beliau: “Kakek, ada tamu utusan yang mulia panglima besar angkatan
perang Republik Indonesia, paduka tuan Jenderal Sudirman dan Bung Toma.”
Seketika itu, beliau diam sejenak, lalu berkata kepada para muslimat yang
sudah siap sedia menerima pelajaran itu: “Bahwa pada kali ini, tiada kita adakan
pelajaran, besok malam saja.” Demikian seraya ia bangkit dari tempat duduknya,
berjalan menuju ruang muka, ruang tamu. Di ruang tengah ia berkata kepada
seorang adik kandungnya perempuan: “Jaranglah air the dan sediakan makanan,
ada tamu.”
Kedua tamu tersebut menjelaskan kondisi saat itu yang sangat sulit setelah
Agresi Militer I Belanda. Kemudian diceritakan pula tentang betapa banyaknya
jumblah korban dari rakyat Indonesia dan jatuhnya perubahan para gerilyawan di
daerah pegunungan Malang. Ketika mendengar penjelasan tersebut, sekonyong-
konyong beliau berkata: “Masya Allah, masya Allah.”
Kedua tamu mengira beliau pingsan atau kelelahan bekerja dan mengajar,
sehingga tertidur karena kecapekan. Oleh sebab itu, karena begitu menghormati
beliau, mereka pamitan. Kemudian barulah disadari bahwa beliau telah meninggal
dunia, setelah sebelumnya didatangkan dokter angka. Sekitar pakul 03.45 dini hari
pada 26 Juli 1947 M/ 7 Ramadhan 1366 H, beliau berpulang kerahmatullah.100
KH. Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H
bertepatan dengan 25 Juli 1947 M di Tebuireng Jombang dalam usia 79 tahun,
karena tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah beliau mendengar berita dari
100 Muhammad Rifa’i, Op,cit, hlm. 38-39.
115
Jenderal Sudirman dan Bung Tomo bahwa pasukan Belanda di bawah pimpinan
Jenderal Spoor telah kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di
Singosari (Malang) dengan meminta banyak korban dari rakyat biasa. Beliau
sangat terkejut dengan peristiwa itu, sehingga terkena serangan stroke yang
menyebabkan beliau berpulang ke Rahmatullah. Demikianlah perjalanan dan
perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari sampai akhir hayatnya. Meskipun beliau telah
tiada, ruh perjuangan beliau masih dipegang oleh keluarga dan umat beliau untuk
menandaskan diri bahwa hidup adalah perjuangan.
Begitu juga dengan perjuangan politik beliau yang diteruskan oleh para
penerusnya, juga tidak pernah surut, entah itu melalui Masyumi, NU, PPP, PKB,
PKNU, maupun partai-partai lain, ataupun LSM. Kemudian warisan beliau yang
lainnya adalah seperti yang terlihat dalam karya-karyanya yang menjelaskan
tentang dunia pendidikan, sikap seorang murid, dan bagaimana menjadi seorang
pendidik yang baik. Selanjutnya dibidang tasawuf, pemikiran kesufian,
menunjukan sikap kehati-hatian yang sebenarnya. Adapun karya-karya yang
ditulis oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebenarnya sudah dikumpulkan oleh
keturunanya, yakni Muhammad Isham Hadziq, diantaranya adalah:
1) “Halqat Al-As’ilah wa Halqat Al-Ajwibah” (1930), dalam Swara
Nahdlatul Ulama, no. 1, t.p.
2) Al-Mawa’izh (1936), Surabaya: Hoofbestuur.
3) Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim (1940), Muhammad Isham Hadziq
(ed.), Jombang: Maktabah Al-Turats al-Islami bi Ma’had Tebuireng.
4) Al-Durrar al-Muntathirah fi al-Masail al-Tis’a ‘Asyarah (1940), t.p.
116
5) “Pradjoerit Pembela Tana Air” (1943), dalam Soeara Masjoemi, 1
Desember.
6) “Menginsafkan Para Oelama” (1944), dalam Soeara Masjoemi. 15
Mei.
7) “Pidato Ketoea Besar “Masjoemi”, K.H. Hasjim Asj’ari” (1944),
dalam Soeara Masjoemi, 1 Juli.
8) “Pidato Ketoea Besar “Masjoemi”, K.H. Hasjim Asj’ari” dalam
pertemuan oelama seluruh Jawa Barat di Bandung (1944), dalam
Soeara Masjoemi, 15 Agustus.
9) Ideologi Politik Islam, Amanat Kyai Hasyim Asy’ari dalam muktamar
partai politik Islam Masyumi (1946), dalam Harian Islam Adj-Djihad,
Yogyakarta: Februari.
10) “al-Mawa’izh Sjaich Hasjim Asj’ari” (1959), ter. Hamka (Haji Abdul
Malik Karim Amrullah), dalam Pandji Masyarakat.
11) Ihya’ ‘Ama’il al-Fudhala’ fi Tarjamat al-Qonun al-Asasi li al-
Jamiyyat an-Nahdhat al-Ulama” (1969), ter. H. A. Abdul Chamid,
Kudus: Menara Kudus.
12) “Pidato Pembukaan Muktamar NU ke-17 di Madiun” (1969), dalam
Ihya’ ‘Ama’il al-Fudhala’ fi Tarjamat al-Qonun al-Asasi li al-
Jamiyyat an-Nahdhat al-Ulama,” ter. H. A. Abdul Chamid, Kudus:
Menara Kudus.
13) “al-Qonun al-Asasi li Jam’iyyat an-Nahdhat al-Ulama” (1971), ter. H.
A. Abdul Chamid, Kudus: Menara Kudus.
117
14) Risalah fi Ta’aqqud al-Akhdh bi Mazhahib al-A’immah al-Arba’ah.
Lihat juga: al-Tibyan fi Nahy ‘an al-Muqata’at al-Arham wa al-Aqarib
wa al-Akhwan (1984), Muhammad Isham Hadziq (ed.), Jombang
Maktabah al-Turats al-Islami bi Ma’had Tebuireng.
15) al-Tibyan fi Nahy ‘an al-Muqata’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-
Akhwan (1994), Muhammad Isham Hadziq (ed.), Jombang Maktabah
al-Turats al-Islami bi Ma’had Tebuireng.
16) Al-Tanbihat al-Wajibat li man Yasna’ al-Mawlid bi al-Munkarat
(1995), Muhammad Isham Hadziq (ed.), Jombang Maktabah al-Turats
al-Islami bi Ma’had Tebuireng.
17) Ziyadat Ta’liqat ‘ala Manzhumat al-Syaikh ‘Abd Allah b. Yasin al-
Fasuruwani (1995), Muhammad Isham Hadziq (ed.), al-Tibyan fi Nahy
‘an al-Muqata’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Akhwan al-Tibyan fi
Nahy ‘an al-Muqata’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Akhwan (1994),
Muhammad Isham Hadziq (ed.), Jombang Maktabah al-Turats al-
Islami bi Ma’had Tebuireng.101
Tiadalah kata yang pantas untuk memberikan simbol karakteristik kepada
K.H. Hasyim Asy’ari selain kata bahwa beliau adalah manusia yang mendekati
sempurna. Akal yang luas dengan ditandai selalu kehausan dalam mencari ilmu,
seangkan budi perkerti yang luhur ditampakkan dalam kegiatan sehari-hari dengan
selalu menyayangi umat manusia yang lain meskipun berbeda keyakinan dengan
dirinya.
101 Thalhah Hasan, Alam Pikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari: Asal-Usul Kutub Gerakan Islam di Indonesia, (Jakarta: Galura Pase, 2002), hlm. 76.
118
D. Pemikiran Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari
Untuk melihat respon masyarakat, terutama dalam aspek pendidikan,
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah colonial abad XX, di antaranya dapat
dilihat dari dua sisi. Pertama, tradisi keagamaan yang bekembang di masyarakat
Indonesia sebagai konsekuensi dari persentuhan dengan ide-ide pembaharuan
Islam. Kedua, fenomena kebijakan pemerintah colonial dalam bidang pendidikan
yang kemudian direspon oleh masyarakat.
Asumsi di atas didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertumbuhan dan
perkembangan madrasah pada awal abad XX merupakan bagian dari gerakan
pembaharu Islam di Indonesia, yang memiliki kontak cukup intensif dengan
gerakan pembaharu di Timor Tengah. Sebagai agama yang universal, Islam
membawakan peradabannya sendiri, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan,
yang berakar pada tradisi yang sangat panjang sejak masa Rasulullah Saw. Ketika
bersentuhan langsung dengan situasi local dan particular, peradaban Islam tetap
mempertahankan esensinya yang sejati walaupun mungkin secara instrumental
menampakkan bentuk-bentuk yang kondisional. Dalam kaitannya dengan
pertumbuhan madrasah di Indonesia, aspek universal dari tradisi itu tidak bias
dilepaskan karena memang dalam kenyataannya eksistensi lembaga madrasah itu
sudah berkembang sejak masa Islam klasik, dan bahkan terus berkembang hingga
masa modern dengan segala bentuk penyesuaian dan pembaharuannya.
Di sisi lain, tradisi pendidikan Islam di Indonesia tidak sepenuhnya khas
Indonesia, kecuali hanya menambahkan muatan dan corak keislaman terhadap
tradisi pendidikan yang sudah ada, terutama yang bermula dari agama Hindu. IP
119
Simanjuntak berargumen bahwa “masuknya agama Islam tidak mengubah hakikat
pengajaran agama yang formil; yang berubah sejak pengembangan agama Islam,
ialah: isi agama yang dipelajari, bahasa yang menjadi wahana bagi pelajaran
agama itu, serta latar belakang pelajaran-pelajaran”.102 Mengikuti asumsi ini orang
tentunya akan mudah cenderung kepada anggapan bahwa pertumbuhan madrasah
di Indonesia sepenuhnya merupakan usaha penyesuaian atas tradisi persekolahan
yang dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Mengingat struktur dan
mekanismenya yang hamper sama, sekilas dapat diduga bahwa madrasah
merupakan bentuk lain dari sekolah yang hanya diberi muatan dan corak
keislaman.
Uraian di atas agaknya menyakinkan bahwa gerakan pembaharu Islam di
Indonesia memberi perhatian sangat serius dalam pembenahan pendidikan Islam
pada permulaan abad XX. Dalam batas yang cukup jauh, usaha pembenahan itu
dilakukan sejalan dengan gerakan pembaharu di Timur Tengah, sehingga dapat
dikatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia secara
cukup kuat dipengaruhi oleh tradisi pendidikan Timur Tengah masa modern.
Namun demikian, kenyataan politik di tanah air pada zaman Hindia Belanda
mengembangkan system pendidikan persekolahan sehingga cukup beralasan
untuk berasumsi bahwa perkembangan madrasah di Indonesia juga merupakan
respon atas kebijakan dan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada
masa itu. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa madrasah
102 IP Simanjuntak, Perkembangan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1972/1973), hlm. 24.
120
dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga persekolahan ala Belanda yang
diberi muatan keagamaan.
Ketika akan mengembangkan pendidikan bagi masyarakat bumi putera,
diperkirakan oleh beberapa ahli Belanda sendiri bahwa pemerintah Hindia
Belanda akan memanfaatkan tradisi pendidikan rakyat yang sudah berkembang,
yakni pendidikan Islam.103 Akan tetapi, secara teknis usulan itu sangat sulit
dipenuhi karena tradisi pendidikan Islam waktu itu dipandang memiliki
kebiasaan-kebiasaan yang dianggap jelek, baik dari sudut kelembagaan,
kurikulum, mapun metode pengajarannya. Akhirnya pemerintah Hindia Belanda
memilih bentuk persekolahan-persekolahan sebagaimana yang sudah
dikembangkan jauh sebelumnya, khususnya dalam rangka misionaris.104 Dengan
demikian, jika pada awal masa-masa penjajahan, sekolah merupakan pendidikan
yang eksklusif bagi kelompok-kelompok terpilih menurut ukuran pemerintah
Hindia Belanda, mulai awal abad XX atas perintah Gubernur Jendral Heutsz
sistem pendidikan itu mulai diselenggarakan bagi masyarakat yang lebih luas dam
bentuk sekolah-sekolah desa.
Dari banyaknya argumentasi tentang kebijakan pendidikan Islam yang
diambil oleh pemerintahan colonial Hindia Belanda yang sudah terkemuka diatas,
pada hakikatnya memiliki beberapa ciri-ciri. Dalam hal ini, S. Nasutian
memaparkan beberapa ciri pendidikan pada masa colonial Hindia Belanda,
diantaranya adalah:
103 Karel A Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), cet. Ke-2, hlm. 2. 104 Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Bandung: Jemmars, 1983), hlm. 4.
121
1. Gradualisme yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan anak-anak
Hindia Belanda. Gradualisme menjamin kedudukan yang menguntungkan
bagi masyarakat Belanda. Membatasi kesempatan belajar bagi masyarakat
Hindia Belanda antara lain berfungsi untuk menjaga agar anak-anak
Belanda selalu lebih maju. Anak-anak Belanda telah memasuki pendidikan
menengahsejak tahun 1860, sedangkan pendidikan lanjutan bagi anak-anak
Indonesia baru disediakan pada tahun 1914.
2. Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan pendidikan yang tajam
antara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi. Dualisme ini menjadi
ciri yang dominant dalam sistem pendidikan Hindia Belanda. Pendidikan
Belanda dan pendidikan pribumi memiliki perbedaan yang sangat jelas,
diantaranya dengan inspeksi, kurikulum, bahasa pengantar, dan
pembiayaan tersendiri. Pendidikan Belanda diselenggarakan dengan
menggunakan bahasa pengantar Belanda, sedangkan pendidikan pribumi
menggunakan bahasa pengantar Melayu dan bahasa daerah. Pendidikan
Belanda selama hampir seabad telah membuka kesempatan satu-satunya
untuk pendidikan lanjutan. Sedangkan pendidikan pribumi boleh dikatakan
tidak memberi kesempatan meneruskan pelajaran dan merupakan jalan
buntu.
3. Kontrol sentral yang kuat. Sampai tahun 1918 segala masalah pendidikan
diputuskan hanya oleh pegawai Belanda saja, tanpa konsultasi dengan
masyaraka Hindia Belanda. Sungguhpun telah dibentuk Volksraad
(semacam lembaga perwakilan rakyat), tetapi keputusan askhir ada pada
122
kekuasaan Gubernur Jendral. Oleh karena itu, pendidikan dikontrol secara
sentralistik, guru-guru dan orang tua tidak mempunyai pengaruh langsung
dalam politik pendidikan. Segala soal mengenai sekolah, kurikulum, buku
pelajaran, persyaratan guru, jumlah sekolah, jenis sekolah, dan
pengangkatan guru ditentukan oleh pemerintah pusat.
4. Keterbatasan tujuan pendidikan pribumi dan peranan sekolah untuk
menghasilkan pegawai sebagai factor penting dalam penrkembangan
pendidikan. Sekolah pertama untuk anak Indonesia didirikan oleh
pemerintah Belanda dengan tujuan mendidik anak-anak aristokrasi di Jawa
unutk menjadi pegawai perkebunan pemerintah yang senantiasa
berkembang selama masa Taman Paksa. Boleh dikatakan hanya karena
terpaksa maka pemerintah akhirnya melibatkan diri dengan pendidikan
masyarakat Hindia Belanda.
5. Adanya prinsip konkordansi. Prinsip ini bertujuan untuk menjaga agar
sekolah-sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar
yang sama dengan sekolah-sekolah di negeri Belanda. Hal ini
dimaksudkan untuk mempermudah perpindahan murid-murid dari Hindia
Belanda ke sekolah-sekolah di negeri Belanda.
6. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan
anak pribumi. Sekitar tahun 1910 terdapat berbagai ragam sekolah rendah
bagi anak-anak Hindia Belanda, seperti Sekolah Desa untuk anak-anak di
daerah pedesaan, Sekolah Kelas Dua untuk anak biasa di kota-kota,
Sekolah Kelas Satu untuk anak-anak ningrat dan golongan kaya, Sekolah
123
Khusus untuk anak militer juga untuk golongan aristokrasi di Sumatera, di
samping itu sejumlah sekolah untuk pendidikan pegawai dan dokter Jawa.
Ciri khas dari sekolah-sekolah ini adalah bahwa masing-masing berdiri
tanpa hubungan organisasi antara yang satu dengan yang lain dan tanpa
ada kesempatan untuk melanjutkan.105
Paragraf selanjutnya akan menerangkan secara singkat tentang kondisi
pendidikan Islam pada masa pemerintahan Jepang, yang dalam catatan sejarah
dapat diketahui bahwa pada Perang Pasifik (Perang Dunia II), Jepang
memenagkan peperangan dan pada tahun 1942 berhasil merebut Indonesia dari
kekuasaan Belanda. Perpindahan kekuasaan itu terjadi ketika colonial Belanda
menyerah tanpa syarat kepada sekutu.106
Kebijakan politik Jepang tampaknya tidak jauh dari skenario yang dibuat
oleh Snouck Hurgronje, yaitu memisahkan Islam dan politik praktisnya. Jepang
mulai menerapkan pengawasan secara kuat dan ketat terhadap organisasi-
organisasi Islam, terutama terhadap pendidikan Islam. Namun paradok dengan
yang pertama, rezim pendudukan Jepang juga membuka peluang bagi pemimpin-
pemimpin Islam terlibat dalam organisasi-organisasi politik yang diciptakannya.
Dalam memobilisasi Islam Indonesia, pemerintah Jepang menciptakan hubungan
yang sangat kuat dengan elit Muslim.
Dengan semangat untuk memperkuat peta Asia Timur Raya dan
menggalang semua kekuatan anti-Belanda, Jepang tampaknya lebih memilih elit
105 S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet, ke-1, hlm. 20-33. 106 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), cet. Ke-1, hlm. 85.
124
Muslim dan memberikan berbagai peluang bagi tuntutan umat Islam daripada
memenuhi keinginan para elit nasionalis, apalagi terhadap keinginan elit-priyayi.
Namun, politik Jepang kurang banyak mengapresiasikan Islam ke tingkat sosio-
religius. Alasannya adalah politisasi untuk mempertahankan status-quo dan
menggalang massa.
Pada awalnya Jepang membentuk sebuah perhimpunan politik melalui
“Gerakan Tiga A”, yaitu Jepang Pemimpin Asia, Pelindung Asia, dan Cahaya
Asia, di bawah komando Syamsuddin, bekas pemimpin Parindra. Pembentukan
organisasi ini dimaksudkan untuk mencari simpati masyarakat Indonesia untuk
membantu dalam Perang Pasifik dan mensukseskan propaganda “Kemakmuran
Asia Timur Raya”. Karena Gerakan Tiga A dianggap gagal, akhirnya dibubarkan
dan diganti dengan “Putera” (Pusat Tenaga Rakyat). Organisasi ini dipimpin oleh
empat serangkai: Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansyur,
dengan tujuan untuk menggalang massa.107
Di luar kesibukan pemerintah Jepang yang membahas tentang gerakan
politisasi pendidikan Islam yang, dimana muncul organisasi-organisasi yang ingin
mempertahankan kultur pendidikan Islam di Indonesia. Di sisi lain, MIAI (Majelis
Islam A’la Indonesia) sebagai organisasi independent yang didukung oleh NU dan
Muhammadiyah, pada waktu itu menghadapi tantangan tersendiri. Independensi
MIAI mengakibatkan tidak lagi memiliki anggota-anggota dari organisasi Islam
seperti awal berdirinya. MIAI tidak lagi bersifat federatif karena organisasi-
organisasi Islam banyak yang dibekukan. Akhirnya, pada September 1942, MIAI
107 Ibid, hlm. 86.
125
dibubarkan oleh Jepang. Menurut Harry J. Benda, pembubaran ini pada dasarnya
reaksi Jepang terhadap agitasi bait al-mal yang terus menerus dan secara gencar
dilancarkan oleh pengurus MIAI tanpa melibatkan Shumubu (kantor urusan
Agama yang dibentuk Jepang).108 Sebagai pengganti MIAI, Jepang membentuk
organisasi federatif baru, yaitu Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia)
tanggal 22 November 1943, dan sebagai ketua organisasi yang baru dibentuk ini
adalah K.H. Hasyim Asy’ari. Kemudian, dalam perjalanan pada tahun pertama,
Masyumi semakin kokoh. Tepat pada tanggal 1 Agustus 1944, pemerintah Jepang
mengeluarkan pengumuman reorganisasi Shumubu yang bertujuan agar semua
maslah keagamaan yang dirasakan penting dapat diatur dengan mudah.
Konsekuensi reorganisasi ini adalah Husein Djajadiningrat mengundurkan diri
dari kepala Shumubu, lalu digantikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Dengan
demikian, kegiatan keagamaan keislaman di bawah kontrol elit muslim.
Akan tetapi, tampaknya pada perkembangan selanjutnya kekuasaan Jepang
semakin memudar. Pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Koiso
menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam waktu dekat. Janji ini kemudian
dikenal dengan Deklarasi Koiso. Masyumi yang diwakili oleh K.H. Hasyim
Asy’ari sebagai juru bicara Islam pada waktu itu, langsung menaggapi deklarasi
itu dengan menempatkan gerakan Islam di belakang tujuan-tujuan nasionalisme
Indonesia. Puncak dari usaha itu adalah deklarasi 1 Maret 1945 yang
menghasilkan suatu panitia yang bertugas untuk menyelidiki apa yang harus
dipersiapkan untuk menyongsong kemerdekaan. Panitia ini bernama, dalam 108 Harry J. Benda, “The Cresent and the Rising Sun, Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942-1945”. Terjemah Bulan Sabit dan Matahari, Terbit Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 181.
126
bahasa Jepang Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai (BPUPKI: Badan Penyelidikan Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) diresmikan di Jakarta taggal 21 April 1945
dan mulai melaksanakan sidangnya pada tanggal 21 Mei sampai 1 Juni 1945, dan
siding kedua pada tanggal 10-16 Juli 1945.109
Melihat kenyataan di atas, agaknya perkembangan sosial politik masa
pendudukan Jepang hanya terjadi dalam masa yang relative singkat. Usaha-usaha
pemerintahan Jepang lebih difokuskan kepada ambisinya untuk menguasai
wilayah Asia Pasifik, sehingga kebijakan terkait dengan pendidikan yang
dikeluarka oleh pemerintahan Jepang lebih diorientasikan untuk menguatkan
kekuasaannya di Indonesia. Pemerintah Jepang memegang kendali yang sangat
ketat dalam program-program pendidikan di Indonesia, walaupun pada
kenyataannya menghadapi kendawa kurangnya pengajar yang memenuhi criteria.
Usaha memutuskan hubungan dengan pemerintah Hindia Belanda, pemerintah
Jepang menghapuskan sekolah-sekolah berbahasa Belanda. Bahasa Indonesia
bahkan digunakan secara luas di lingkungan pendidikan. Kurikulum dan struktur
pendidikan pun diubah.110
Pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan
dana bagi sekolah dan madrasah.111 Berbeda dengan pemerintah Hindia Belanda
pada waktu menduduki Indonesia, pemerintah Jepang membiarkan dibukanya
kembali madrasah-madrasah yang pernah hidup pada masa pemerintahan
109 Mastuki HS, Perguruan Tinggi Islam di Indonesia 1945-1975: Sejarah dan Peranannya, tesis, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1997), hlm. 114-117. 110 Lee Kam Hing, Education and Politics in Indonesia 1945-1965, (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1995), hlm. 23-25. 111 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1957), hlm. 122.
127
sebelumnya. Hal ini dilakukan karena pada kenyataannya bahwa pengawasan
pemerintah Jepang sendiri tidak dapat menjangkau madrasah dan pesantren yang
sebagian besar berlokasi di desa-desa terpencil. Namun demikian, pemerintah
Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi
perlawanan yang membahayakan bagi pendudukan Jepang di Indonesia.
Catatan sejarah yang dapat dilaporkan bahwa pada masa penjajahan
pemerintah Jepang, pengembangan Madrasah Awaliyah digalakkan secara luas.
Majelis Islam Tinggi menjadi penggagas dan sekaligus penggerak utama untuk
berdirinya madrasah-madrasah Awaliyah yang diperuntukkan bagi anak-anak
yang berusia minimal 7 tahun. Program pendidikan pada madrasah-madrasah
Awaliyah itu lebih ditekankan pada pembinaan keagamaan dan diselenggarakan
pada sore hari. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan bagi anak-
anak yang pada umumnya mengikuti sekolah rakyat pada pagi hari.
Perkembangan madrasah-madrasah itu telah ikut mewarnai pola pengorganisasian
pendidikan agama yang lebih sistematis. Sungguhpun demikian, dilaporkan
bahwa ketika Jepang masuk di wilayah Padang pada Maret 1942 dan memerintah
Indonesia tercatat hanya mengizinkan membuka sekolah atau madrasah dari
tingkat dasar sampai tingkat menengah saja. Sedangkan pendidikan tingkat tinggi
tidak diberlakukan.112 Tidak ditemukan penyebab secara pasti pelarangan itu.
Namun, dari perkembangan setting social politi yang terjadi ketika itu, memang
Jepang belum menunjukkan sistem pemerintahan yang mapan.
112 Mahmud Yunus, Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: IAIN Jakarta, 1977), hlm. 41.
128
Uraian diatas sedikit banyak membeberkan situasi dan kondisi Indonesia
pada masa pendudukan Hindia Belanda yang diteruskan oleh pemerintahan
Jepang. Dimana faktor pendidikan menjadi bidikan pertama oleh mereka, karena
diakui atau tidak, pendidikan menjadi icon penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan suatu bangsa. Oleh krena itu, salah satu tokoh Islam Indonesia,
K.H. Hasyim Asy’ari merasa terpanggil untuk tetap mempertahankan pendidikan
(sekolah atau madrasah) yang sesuai dengan kultur Indonesia. Sekolah atau
madrasah adalah sebagai tumpuan atas pendidikan sumber daya manusia
Indonesia. Dalam kesempatan itu, K.H. Hasyim Asy’ari menjadi juru bicara dari
perwakilan lembaga keagamaan, yakni Masyumi, yang ketika itu Indonesia akan
mendeklarasikan kemerdekaannya atas janji yang disampaikan oleh Perdana
Menteri Koiso.
Pada paragraf selanjutnya akan dikupas lebih dalam pemikiran K.H.
Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam, yang mana sudah tidak dapat
dipungkiri, bahwa beliau adalah salah satu tokoh yang benar-benar
memperhatikan dunia pendidikan. Saking perhatiannya beliau terhadap
pendidikan Islam beliau menulis kitab dengan judul Adab al-‘Alim wa al-
Muta’allim.
K.H. Hasyim Asy’ari memiliki keluasan dan kedalaman ilmu pengetahuan,
khususnya kependidikan Islam dan pada umumnya pengetahuan agama. Dalam
hal ini Hasan Langgulung mencoba mempolarisasikan pemikiran K.H. Hasyim
Asy’ari terhadap karakteristik pemikiran pendidikan. Polarisasi itu didasarkan atas
literature-literatur yang ditulis oleh sejumlah penulis Muslim. Menurutnya ada
129
empat corak pemikiran pendidikan Islam yang dapat difahami. Pertama, corak
pemikiran pendidikan yang awalnya adalah sajian dalam spesifikasi fiqih, tafsir
dan hadis yang kemudian mendapat perhatian tersendiri dengan mengembangkan
aspek-aspek pendidikan. Model ini diwakili oleh Ibn Hazm (384-456 H) dengan
karyanya al-Mufashshal fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nibal. Kedua, corak
pemikiran pendidikan yang bermuatan sastra. Model ini diwakili oleh Abdullah
ibn Muqaffa (106-142 H /724-759 M) dengan karyanya Risalah al-Shahabab.
Ketiga, corak pemikiran pendidikan filosofis. Corak ini diwakili oleh pemikiran
pendidikan aliran Mu’tazilah, ikhwan al Ahafa dan para filosof. Keempat, corak
pemikiran pendidikan yang berdiri sendiri dan berlainan dengan beberapa corak di
atas, tetapi corak ini tetap berpegang pada semangat Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Corak yang terakhir ini diwakili Muhammad ibn Sahnun (wafat 256 H /871 M)
dengan karyanya Adab al-Muta’allim.113
Keempat hasil polarisasi diataslah yang kemudian dapat memberikan
kemudahan bagi pemerhati pendidikan Islam untuk mengklasifikasikan sebuah
pengetahuan tentang pendidikan Islam yang kemudian dicarikan formula untuk
dapat menjawab problematika yang dihadapi dan mengembangkan pendidikan
Islam itu sendiri, sehingga tujuan besar yang digagas oleh K.H. Hasyim Asy’ari
dapat dengan mudah terwujud.
Di sisi lain, karakter pemikiran pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari dapat
dimasukkan ke dalam garis mazhab Syafi’iyah. Bukti yang cukup kuat untuk
menunjukkan hal itu adalah banyaknya ulama Syalafi’iyah, termasuk imam al-
113 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), cet. Ke-2, hlm. 123-129.
130
Syafi’I sendiri, yang seringkali dikutip oleh penulis kitab ini ketimbang ulam
mazhab lain. Dengan pengungkapan ide-ide mazhab yang dianutnya, menurut
‘Abd al-Mu’idz Khan, pasti mempengaruhi pemikirannya tentang pendidikan.114
Bias dikatakan bahwa corak pemikiran pendidikan Islam K.H. Hasyim
Asy’ari adalah ala Syafi’iyah. Karena disadari atau tidak hamper segala bentuk
tindakan syar’I yang dilakukan oleh K.H. Hasyim Asy’ari adalah berdasarkan
pada mazhab Syafi’i. Maka, tidak heran apabila ide-ide atau gagasan pendidikan
yang dikeluarkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari lebih kental dengan Syafi’i.
Kecenderungan lain dalam pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang
pendidikan Islam adalah mengetengahkan nilai-nila estetis yang bernafaskan
sufistik. Kecenderungan ini dapat terbaca dalam gagasan-gagasannya. Misalnya
dalam keutamaan menuntut ilmu. Untuk mendukung itu dapat dikemukakan
bahwa K.H. Hasyim Asy’ari ilmu yang sangat istimewa adalah bagi orang yang
benar-benar li Allah Ta’ala. Kemudian, ilmu dapat diraih jika jiwa orang yang
mencari ilmu tersebut suci dan bersih dari segala sifat yang jahat dan aspek-aspek
keduniawian. Kecenderungan yang demikian agaknya lebih didominasi oleh
pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari yang juga menekankan pada dimensi sufistik
sehingga cukup kentara nuansa-nuansa demikian pada karya-karya itu. Bahkan
kecenderungan ini merupakan wacana umum bagi literature-literatur kitab kuning
yang tidak bias dihindari dari persoalan-persoalan sufistik, yang secara umum
merupakan bentuk replikasi atas prinsip-prinsip sufisme al-Ghazali.
114 Affandi Mochtar, The Method of Muslim Learning as Illustrated in al-Zarnuji’s Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, Tesis, (Montreal: McGill University, 1993), hlm. 22-23.
131
Kemudian sisi lain pendidikan yang cukup menarik perhatian dalam
konsep pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari adalah sikapnya yang sangat
mementingkan ilmu dan pengajaran. Kekuatan dalam hal ini terlihat pada
penekanannya bahwa eksistensi ulama, sebagai orang yang memiliki ilmu,
menduduki tempat yang tinggi. Karena itu, dalam bab pertama kitab Adab al-
‘Alim wa al-Muta’allim, K.H. Hasyim Asy’ari mengawali pembahasannya
mengenai hal itu dengan urutan-urutan argumentasi nasb (Al-quran) kemudian
hadis dan pendapat para ulama.
Ketegasan tingginya derajat orang yang berilmu ini seringkali diulang,
misalnya dengan argumentasi hadis al-‘ulama waratsat al-anbiya’. Hadis ini
sesungguhnya menyatakan secara jelas bahwa derajat para ulama adalah setingkat
lebih rendah di bawah derajat para nabi. Sementara menurut K.H. Hasyim
Asy’ari, tidak ada derajat yang lebih mulia daripada derajat nabi. Oleh karena itu,
derajat ahli ibadah lebih rendah daripada ulama. Bahkan, K.H. Hasyim Asy’ari
sering mengutip hadis dan pendapat para ulama serta menyatakan pendapatnya
tentang perbandingan ibadah dengan ilmu. Menurut nabi, tingginya derajat ulama
jika disbanding dengan ahli ibadah, pertama, bagaikan utamanya nabi disbanding
dengan manusia selainnya, kedua, bagaikan terangnya bulan purnama disbanding
dengan cahaya bintang, dan ketiga, bagi setan lebih sulit menggoda seorang
cendikiawan daripada seribu ahl ibadah.115
Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari di atas tampaknya mengikuti pemikiran
tokoh-tokoh Islam terkemuka, seperti al-Ghazali. Sebab, pemikiran K.H. Hasyim
115 Suwendi, op,cit., hlm. 149.
132
Asy’ari ini sama dengan hierarki yang dibuat oleh al-Ghazali, yakni ahl al-ilm
lebih utama daripada ahl al-ibadah, dengan menyajikan alasan-alasan ayat
Alquran, hadis, dan pendapat para ulama.116
Pemikiran K.H. Hayim Asy’ari di atas ini tampaknya menyiratkan sebuah
pengertian bahwa yang menjadi sentral pendidikan adalah hati. Penekanan pada
hati ini dengan sendirinya membedakan diri dari corak pemikiran pendidikan
progresivisme dan esensialisme. Aliran progresivisme yang dipelopori oleh Jhon
Dewey, menyatakan bahwa sentral pendidikan adalah pikiran dan kecerdasan.
Pikiran dan kecerdasan ini merupakan motor penggerak dan penentu kea rah
kamajuan sekaligus penuntun bagi subjek untuk mampu menghayati dan
menjalankan sebuah probram.117 Dengan demikian, aliran progresivisme menitik
beratkan pada kecerdasan. Sedangkan aliran esensialisme menyatakan bahwa
materi utamalah yang menentukan dan memantapkan pikiran serta kecerdasan
manusia. Materi (bahan pengajaran) itulah yang sekaligus menjadi unsure-unsur
yang hakiki dalam sebuah perkembangan peradaban dan kebudayaan.118
Atas dasar pemikiran diataslah, menjadi semakin kuat dan jelas bahwa
pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari menempatkan corak kependidikannya sebagai
corak yang berbeda dari corak-corak kependidikan yang lain, yakni tidaklah
bercorak progresif ataupun esensialis. Perbedaan-perbedaan itu dimungkinkan
oleh karena adanya titik pandang yang tidak sama dalam memahami manusia.
116 Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, juz I, (Kairo: Muhthafa al-Babi al-Halabi, 1939), hlm. 6-7. 117 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Suatu Tinjauan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1986), hlm. 11. 118 Maslani, Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari dalam karyanya Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim: Suatu Upaya Pengungkapan Belajar Mengajar, Tesis, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1997), hlm. 47.
133
Baik aliran progresivisme maupun esensialisme, sama-sama mendasarkan
pandangannya pada penelitian-penelitian yang bersifat fisik-empiris. Sedangkan
K.H. Hasyim Asy’ari yang identik dengan pemikiran al-Ghazali menyimpulkan
substansi manusia bukan terletak pada unsure fisiknya, tetapi pada hatinya.
Sebagai pandangan kependidikan yang didasarkan atas hati, memang dengan
sendirinya akan menghadapi kesulitan tersendiri, terutama pada saat dikontekskan
dalam usaha verifikasi dan pembuktian ilmiah. Sebab, usaha verifikasi dan
pembuktian ilmiah membutuhkan kerangka empiris sehingga agak sulit untuk
mencari titik temunya.
Sungguhpun demikian, dalam kenyataan banyak dijumpai bahwa tugas
kependidikan lebih banyak difokuskan pada aspek yang terakhir itu, yakni
bagaimana membentuk orang-orang yang saleh dalam perspektif Tuhan, tentunya
Tuhan dalam sesuatu yang difahaminya. Sementara aspek yang lain, tang tidak
kalah pentingnya, yakni penguatan kecerdasan dan penguasaan materi pelajaran,
menjadi terabaikan. Hal ini dimungkinkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah
cukup intennya intervensi pemahaman keagamaan yang kurang memberi
penghargaan terhadap aspek kecerdasan dalam aplikasi kependidikan. Kenyataan
ini semakin mempermudah dalam menafikan dimensi-dimensi kependidikan yang
kritis.
1. Definisi Pendidikan Islam
Pendidikan atau al-Tarbiyah, menurut pandangan Islam, adalah merupakan
bagian dari tugas kekhalifahan manusia. Allah adalah rabb al-‘alamin, juga rabb
al-nas. Tuhan adalah yang mendidik makhluk alamiah dan juga yang mendidik
134
manusia. Karena manusia adalah khalifah Allah, yang berarti manusia mendapat
kuasa dan limpahan wewenang dari Allah untuk melaksanakan pendidikan
terhadap alam dan manusia, maka manusialah yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan pendidikan tersebut.
Pendidikan, sebagai bagian dari tugas kekhalifahan manusia, menurut
pandangan Islam, pendidikan harus dilaksanakan oleh manusia secara
bertanggung jawab. Pertanggungjawaban baru bias dituntut kalau ada aturan dan
pedoman pelaksanaannya. Dan oleh karenanya Islam tentunya memberikan garis-
garis besar tentang pelaksanaan pendidikan tersebut. Islam memberikan konsep-
konsep yang mendasar tentang pendidikan, dan menjadi tanggung jawab manusia
untuk menjabarkan dan mengaplikasikan konsep-konsep dasar tersebut dalam
praktek kependidikan.
Pendidikan merupakan suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh
aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata lain
pendidikan tidak hanya dilaksanakan dan berlangsung dalam kelas, melainkan
berlangsung pula di luar kelas. Pendidikan dalam hal ini tidak hanya bersifat
fprmal saja, akan tetapi mencakup pula yang non formal.
Kembali kepada pembahasan definisi pendidikan Islam. Dalam hal ini,
banyak para tokoh Islam yang mencoba mendefinisikan pendidikan Islam itu
sendiri. Di antara tokoh yang dipandang berperan dalam pembaharuan pendidikan
Islam adalah K.H. Hasyim Asy’ari. Beliau telah memperkenalkan pola pendidikan
madrasah di lingkungan pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Karena
posisi beliau sangatlah sentral dalam jaringan pesantren di pulau Jawa,
135
pembaharuan yang terjadi di pesantren itu cepat menyebar ke pesantren-pesantren
lain. Terlebih-lebih setelah pembentukan perkumpulan Nahdlatu Ulama pada
tahun 1926, apa yang dilakukan oleh K.H. Hasyim Asy’ari itu dijadikan madel
bagi usaha perkumpulan itu dalam bidang pendidikan.
Kecenderungan, ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan
dalam persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah
kehidupan K.H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan
bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih
organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif
melakukan usaha-usaha sosial politik. Akan tetapi, K.H. Hasyim Asy’ari sejatinya
merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan.
Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K.H. Hasyim Asy’ari mau tiak mau bisa
dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan
pesantren, terutama di Jawa.
Sebagai bentuk kepeduliannya dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Agar kemudian masyarakat Indonesia mampu memiliki kapasitas keilmuan yang
disiapkan untuk mengabdikan dirinya demi perkembangan dan kemajuan bangsa
dan Negara ini. Maka, tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6
Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh
karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu
pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan
terkenal.119
119 A. Mujib, Dkk. Entelektualisme Pesantren, (Jakarta: PT. Diva Pustaka,2004), hlm. 319
136
Tidak hanya yang sudah tertulis diatas, sesungguhnya tulisan ini berusaha
mengangkat tokoh kependidikan yang hidup pada abad modern dengan objek
kajian K.H. Hasyim Asy’ari. Pemikiran tokoh ini patut diangkat kembali karena,
pertama, K.H. Hasyim Asy’ari telah menyediakan sebuah risalah kependidikan
yang disusun secara khusus, yang berjudul adab al-‘alim wa al-muta’allim. Di
dalam kitab tersebut, terkandung muatan-muatan kependidikan (Islam) yang patut
dipertimbangkan. Kedua, ketokohan K.H. Hasyim Asy’ari masih belum banyak
dikaji oleh kaum intelektual. Padahal beliau merupakan salah satu tokoh yang
memiliki pengaruh cukup kuat pada zamannya. Ketiga, karya kependidikan K.H.
Hasyim Asy’ari, adab al-‘alim wa al-muta’allim, dalam banyak hal, terutama
sistematika dan redaksinya, memiliki sejumlah kesamaan dengan karya Ibn
Jama’ah Tadzkirat al-Sami’.120
Dari uraian diatas sudahlah cukup jelas, bahwa K.H. Hasyim Asy’ari
memang benar-benar salah satu tokoh yang mengabdikan dirinya untuk
pendidikan, agar seluruh masyaraka dan umat Islam dapat merasakan jenjang
pendidikan yang kemudian akan membawa manusia pada puncak
kemanusiaannya.
Menurut K.H. Hasyim Asy’ari, yang membedakan anatara manusia
dengan binatang, antara lain adalah ilmu. Ilmu tersebut dapat didapat dengan salah
satu perantara pendidikan, karena pendidikan merupakan proses manusia untuk
dapat mengetahui segala sesuatu yang ingin diketahui, dan yang belum diketahui.
Oleh karena itu, dunia pendidikan atau mencari ilmu itu penting bagi sebuah
120 Badr al-Din Ibn Jama’ah al-Kinani, Tadzkirat al-Sami’ fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1354 H)
137
identitas manusia. Dalam salah satu karya populernya, Adab al-‘Alim wa al-
Muta’allim, K.H. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa pendidikan adalah sarana
mencapai kemanusiaannya, sehingga menyadari siapa sesungguhnya penciptanya,
untuk apa diciptakan, melakukan segala perintahnya dan menjahui segala
larangannya, untuk berbuat baik di dunia dan menegakkan keadilan.121
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai yang hendak
dibeberkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalm mendefinisikan pendidikan Islam
adalah nilai-nilai illahiyah atau lebih bersifat ketauhidan (teologinya). Dimana,
dapat definisi itu dapat dimaknai bahaw dengan pendidikan manusia akan sadar
dengan sendirinya serta mengetahuai hakikat manusia diciptakan oleh Tuhan.
Maka, harapannya dengan pendidikan agar manusia mengetahui tugas dan
tanggung jawabnya sebagai khalifah dimuka bumi.
Bagi umat Islam, agama merupakan dasar utama dalam melaksanakan
ritual kependidikan (belajar mengajar) melalui sarana-sarana pendidikan. Karena
dengan menanamkan nilai-nilai agama akan sangat membantu terbentuknya sikap
dan kepribadian anak kelak pada masa dewasa. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan
kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran
Islam, memikir, memutuskan dan berbuat dengan bedasarkan nilai-nilai Islam,
serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dalam pelaksanaan pendidikan tentunya terdapat proses belajar mengajar.
Disitulah titik tekan yang harus benar-benar dapat dilaksnakan sesuai dengan
121 Muhammad Rifa’i, op., cit. hlm. 85.
138
aturan atau pedoman pendidikan yang sudah disyariatkan oleh Islam. Karena
proses belajar mengajar adalah proses awal manusia untuk mengetahui dan
memahami segala hal yang ingin difahami.
Oleh karena itu, belajar menurut K.H. Hasyim Asy’ari merupakan ibadah
untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk
mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar
menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat
manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai
kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus
bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat
Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.122
Demikianlah rumusan definisi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh
K.H. Hasyim Asy’ari. Terlihat cukup kental nuansa ketauhidannya dalam
mendefinisikan pendidikan Islam. Karena diakui ataupun tidak tujuan akhir dari
sebuah proses pendidikan adalah mengabdikan sepenuhnya kepada sang khaliq.
Dengan demikian manusia akan menyadari dan memahafi fungsi dan tujuan
manusia diciptakan oleh Tuhan.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan.
Dalam tujuan pendidikan suasana ideal itu nampak pada tujuan akhir, ultimate
122 http//habibah-kolis.blogspot.com/200801/hasyim-asyari.html
139
aims of sducation. Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat,
seperti “…terbintuknya kepribadian muslim…”.123
Sebagai dunia cita, kalau sudah ditetapkan, ia adalah ide statis. Tapi
sementara itu kualita dari tukuan itu adalah dinamis dan berkembang nilai-
nilainya. Lebih-lebih tujuan pendidikan yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai
yang bersifat fundamental, seperti: nilia-nilai sosial, nilai ilmiah, nilai moral dan
nilai agama. Di sini kiranya orang berkeyakinan bahwa pendidikan menyimpan
kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup
dan dapat memberi informasi yang paling berharga mengenai pegangan hidup
masa depan di dunia, serta membantu anak didik dalam mempersiapkan
kebutuhan yang esensial untuk menghadapi perubahan.124
Dalam sejarah pendidikan Indonesia maupun dalam studi kependidikan,
sebutan “pendidikan Islam” umumnya difahami hanya sebatas sebagai “cirri
khas”, jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Demikian pula
batasan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Dari itu, Zarkowi Soejoeti yang memberikan pengertian lebih terperinci.
Pertama, jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggarannya didorong oleh
hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam. Baik
yang tercermin dalam nama lembaga maupun dalam kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakannya. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang
123 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1962), hlm. 43. 124 Christopher J. Lucas, Challenge and Choice in Comtemporary Education Six Mayor Ideological Perspective, (New York: Mac Millan Publishing Co-Inc, 1976), hlm. 103.
140
akan diwujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikan. Kedua, jenis pendidikan
yang memberikan perhatian yang sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai
pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakannya. Dalam rangkaian ini,
kata Islam ditempatka sebagai bidang studi, sebagai ilmu, dan diperlakukan
sebagaimana ilmu yang lain. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua
pengertian tersebut di atas. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai
sekaligus sebagai bidang studi yang ditawarkan lewat program studi yang
diselenggarakannya.125
Dari pengertian yang diberikan oleh Zarkowi tersebut kiranya bias lebih
difahami bahwa keberadaan pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut
persoalan ciri khas, melainkan lebih mendasar lagi. Yaitu tujuan yang diidamkan
dan diyakini sebagai yang paling ideal. Tujuan pendidikan itu sekaligus
mempertegas bahwa misi dan tanggung jawab yang diemban pendidikan Islam
lebih berat lagi.
Dengan demikian, segala sesuatu di dunia ini, termasuk pendidikan harus
mempunyai tujuan yang jelas dan sesuai dengan tantangan zaman. Karena jikalu
tidak, pendidikan Islam yang selama ini dilselenggarakan tidak ubahnya seperti
paguyuban yang hanya melakukan ritual kumpul-kumpul tanpa ada tujuan yang
jelas.
Adalah niscaya bahwa kehadiran lembaga pendidikan yang berkualitas
dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan itu sesungguhnya sangat diharapkan
oleh berbagai pihak, terutama umat Islam. Bahkan kini terasa sebagai kebutuhan
125 Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si, Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan, (Malang: UIN-Press,2006), hlm. 7.
141
yang sangat mendesak terutama bagi kalangan muslim kelas menengah ke atas
yang secara kuantitatif terus meningkat belakangan ini. Fenomena sosial yang
sangat menarik ini mestinya dapat dijadikan tema sentral kalangan pengelola
lembaga pendidikan Islam yang dalam melakukan pembaharuan dan
pengembangannya. Namun yang terjadi hari ini justru sebaliknya, di berbagai
tempat banyak lembaga pendidikan Islam, terutama yang tergolong “kelas
pinggiran” satu persatu mangalami penyusutan karena kehilangan kepercayaan
dari umat maupun peminatnya. Sementara itu lembaga-lembaga pendididkan yang
latar belakang keagamaannya berbeda namun dikelola secara professional dan
menempatkan pada konteks kemasyarakatan yang lebih luas, memperlihatkan
perkembangan yang demikian pesat, sehingga keberadaan lembaga pendidikan
tersebut semakin dikenal dan kokoh.
Kenyataan itu secara tidak langsung menuntut para pengelola pendidikan
Islam untuk lebih bersifat rasional dan lebih berorientasi kepada kebutuhan
masyarakat luas. Apalagi sekarang ini yang menjadi mainstream pemikiran
pendidikan adalah mempersiapkan sumber daya manusia di masa mendatang dan
bukan semata-mata sebagai alat untuk membangun pengaruh politik atau sebagai
alat dakwah dalam arti sempit. Kalau persepsi yang terakhir ini yang diacu dan
dijadikan dalih untuk tetap bertahan, maka boleh jadi pendidikan bukan saja tidak
menolong masa depan peserta didik, tetapi jauh kebalikan dari itu, dapat dinilai
sebagai perbuatan yang merugikan. Oleh karena itu, persoalan dunia pendidikan
sebenarnya termasuk peka dan rawan. Pendidikan yang tidak didasarkan pada
142
oreintasi yang jelas dapat mengakibatkan kegagalan dalam hidup secara berantai
dari generasi ke generasi.
Sedikit keluar dari keberlanjutan paragraf diatas, bahwa dalam struktur
pendidikan (persekolahan) di Indonesia. Pendidikan agama (Islam) mendapat
tempat terhormat. Mata pelajaran agama bersifat wajib dan menjadi bagian yang
integral dari kurikulum lembaga persekolahan di semua jenjang pendidikan, mulai
tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Di luar lembaga pendidikan umum,
juga tersedia dan tersebar sedemikian banyak lembaga pendidikan Islam yang
tentu saja lebih terkonsentrasi atau setidak-tidaknya memberikan porsi yang lebih
besar kepada mata pelajaran agama (Islam). Hal itu merupakan cerminan
kentalnya sifat religiusitas masyarakat di bumi nusantara ini dan sudah seharusnya
dimaknai secara positif dengan menyuguhkan praktik pendidikan agama yang
sebaik mungkin, baik dalam segi kualitas maupun relevansinya. Hal tersebut
menjadi kepedulian para ahli, perencana, dan praktisi pendidikan agama (Islam) di
Indonesia.
Sesuai dengan tuntutan era reformasi sebagaimana yang telah dipaparkan
di muka, pendidikan agama (Islam) di lembaga persekolahan rasanya perlu
diposisikan sebagai program andalan dan ruh bagi pembentukan moralitas warga
Negara yang berdasarkan pemahaman nilai-nilai dasar keagamaan. Dengan lain
perkataan, pendidika agama (Islam) perlu diposisikan sebagai “Rasul
Pembangunan Bangsa” yang misi utamanya pembangunan watak, pembinaan
akhlak, pendidikan moral atau pendidikan nilai. Posisi demikian itu juga
dikedepankan oleh Ahmad Watik Pratiknya yang menyatakan bahwa “…
143
Pendidikan Islam adalah (lebih merupakan) suatu proses alih nilai (transfer of
value) yang dikembangkan dalam rangka perubahan prilaku…”. Dalam konteks
ini, agama (Islam) tentu saja lebih dimaknai sebagai sumber nilai dan pegangan
hidup. Ukuran keberhasilannya terletak pada indeks perbaikan moral (akhla al-
karimah) yang tentu saja harus terpancar secara kaffah dalam segenap segi
kehidupan sehingga tidak ada celah bagi munculnya Darwinisme sosial liar.
Dengan begitu, pendidikan agama (Islam) tidak hanya tampil dan berperan
sebagai pegangan hidup pada level masing-masing individu, tetapi juga sebagai
pemberi kesejukan dan keselamatan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan
Negara secara keseluruhan. Bila misi dan orientasi tersebut dapat terpenuhi,
niscaya pandidikan agama (Islam) akan tercatat dan dikenang sebagai pengkokoh
fundamen kultural masyarakat Indonesia baru yang berwajah religius, demokratis,
maju, adil dan makmur.126
Gambaran tujuan pendidikan diatas sangat sejalan dengan pemikiran K.H.
Hasyim Asy’ari tentang tujuan pendidikan Islam. Di dalam buku “99 Kyai
Karismatik Indonesia,” disebutkan bahwa kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim
merupakan kitab tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun pada hari
Ahad tanggal 22 Jumada al-Tsaniyah 1343 H. K.H. Hasyim Asy’ari menulis kitab
ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literature yang membahas tentang
pendidikan. Kemudian K.H. Hasyim Asy’ari juga merumuskan tujuan pendidikan
Islam. Menurut beliau, tujuan diberikannya sebuah pendidikan pada setiap
manusia adalah menjadi insane purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada
126 Ibid, hlm. 41-42
144
Allah SWT., dan insan purna yang mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan
dunia dan akhirat.127
Terlihat sangat kental sekali nuansa teologi atau ketauhidan dari pemikiran
K.H. Hasyim Asy’ari. Tidak hanya ditunjukkan dalam aktivitas kesehariannya,
bahkan sampai merembet kepada pemikiran pendidikannya. Di atas juga sudah
dipaparkan mengenai definisi pendidikan Islam yang sangat kentara sekali nilai-
nilai ilahiyahnya. Dan sekarang merumuskan tujuan pendidikan Islam juga
mengedepankan nilai-nilai ketuhanan. Dengan mengedepankan nilia-nilai
tersebut, haparannya semua manusia yang dalam melaksanakan dan ikut dalam
proses pendidikan selalu menjadi insan purna yang bertujuan selalu mendekatkan
diri kepada Allah SWT. sehingga mendapatkan kebahagian dalam kehidupan
dunia dan akhirat.
Di samping itu, dalam Islam, tujuan pendidikan Islam yang dikembangkan
adalah mendidik budi pekerti. Oleh karenanya, pendidikan budi perkerti dan
akhlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang
sempurna adalah tujuan yang sesungguhnya dari proses pendidikan. Pemahaman
ini tidak berarti bahwa pendidikan Islam tidak memperhatikan terhadap
pendidikan jasmani, akal, dan ilmu pengetahuan (science). Namun, pendidikan
Islam memperhatikan segi pendidikan akhlak seperti memperhatikan segi-segi
lainnya.128 Untuk itu, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Fadhil al-Djamaly,
umat Islam harus mampu menciptakan sistem pendidikan yang didasari atas
keimanan kepada Allah, karena hanya dengan iman yang benarlah yang menjadi 127 Muhammad Rifa’i, op. cit. hlm. 86. 128 Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyat al-Islamiyah wa Falasafatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), hlm. 22.
145
dasar pendidikan yang benar dan membimbing umat kepada usaha mendalami
hakikat menuntut ilmu yang benar, dan ilmu yang benar akan membimbing umat
kearah amal saleh.129
Pembahasan yang dikemukakan diatas, yakni tentang pendidikan budi
pekerti dan akhlak merupakan sebuah turunan dari tujuan pendidikan Islam yang
dikemukakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada paragraf sebelumnya. Dimana
dalam proses pendidikan Manusia diarakan kepada nilai-nilai ketuhanan agar
kemudian segala aktifitas dalam kehidupan mampu melahirkan budi pekerti dan
akhlak yang sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Islam.
3. Dasar Pendidikan Islam
Bertolak dari tujuan pendidikan yang telah dipaparkan di atas serta
perubahan yang akan terjadi dalam kehidupan kultural, sosial-politik, ekonomi,
hukum, dan pendidikan untuk menuju masyarakat madani Indonesia, secara macro
persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam
mampu menghadirkan suatu kontruksi wacana keagamaan yang kontekstual
dengan perubahan masyarakat.
Untuk dapat menghadirkan wacana yang dikehendaki di atas, maka
menjadi sebuah kewajiban untuk dapat memahami sumber utama ajaran Islam.
yakni Al-Qur’an dan Al-Hadis. Karena hanya dengan mampu memahami secara
menyeluruh teks sumber utama ajaran Islam itulah manusia akan mendapatkan
khazanah keilmuan yang luas dan tanpa keluar dari jalur yang sudah tertera dalam
ajaran Islam, terlebih-lebih tentang pendidikan Islam. 129 Muzayin Arifin, Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat: Suatu Pendekatan Filosofis, Pedagogis, Psikososial, dan Kultural, (Jakarta: Golden Terayon Press, 1988), cet. Ke-1, hlm. 66.
146
Sampai saat ini para ilmuwan muslim yang menaruh minat kepada ilmu
pendidikan Islam telah mulai mempelajari pendidikan Islam, tidak hanya dilihat
sebagai pengalaman praktis dalam sejarah perkembangannya, melainkan mereka
juga telah mempelajari pendidikan Islam sebagai ilmu yang akademik, dimana
pengkajian dari segi teoritis menjadi dasar pengembangannya. Oleh karena itu,
dalam jangka waktu yang tertentu Ilmu Pendidikan Islam masih berada dalam
kondisi rintisan ilmiah-akademis seperti saat ini, akan tetapi dalam tahapan proses
kesempurnaannya sebagai ilmu yang akademis dengan segenap perangkat
ilmiahnya.
Dalam melengkapi persyaratan ilmiah yang akademis, pendidikan Islam
sebagai ilmu, selalu terbuka pada analisis atau pengkajian dari beberapa disiplin
keilmuan yang relevan dengan tuntutan pendidikan Islam dimana pokoknya
adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW.
Dari sumber pokok pendidikan Islam itu, para ilmuan muslim mengkajinya
dapat menemukan mutiara-mutiara kebenaran dari konsepsi ilahi yang
mengandung nilai pedagogis baik dilihat dari segi teoritis maupun operasional,
kecuali sejalan dengan prinsip-prinsip pandangan ilmiah dari para ahli didik
modern, konsepsi kependidikan Islam juga mengkoreksi terhadap kekurangan-
kekurangan studi mereka dalam ketetapan menganalisis faktor-faktor manusia
didik sebagai objek studi, bahkan dalam beberapa aspek potensial rohaniah
manusia didik seperti iman dan taqwa, para ilmuan mendapatkan petunjuk baru
tentang sasaran-sasaran studi penting lainnya yang tidak mereka ketahui
sebelumnya, karena mereka mementingkan gejala lahiriah.
147
Sebagai sumber pokok pedoman pendidikan Islam bagi umat manusia, Al-
Qur’an mengandung dan membawakan nilai-nilai yang membudayakan manusia,
hampir dua pertiga ayat-ayat Al-Qur’an mengandung motivasi kependidikan
Islam bagi umat manusia. Pola dasar pendidikan Islam yang mengandung tata
nilai Islam merupakan pondasi sturktural pendidikan Islam. Ia melahirkan asas,
strategi dasar, dan sistem pendidikan yang mendukung, menjiwai, memberi corak
dan bentuk proses pendidikan Islam yang berlangsung dalam berbagai model
kelembagaan pendidikan yang berkembang sejak 14 abad yang lampau sampai
sekarang.130
Bila diamati secara mendalam tentang bagaimana Tuhan mendidik alam
ini, akan tampak bahwa Allah sebagai Yang Maha Pendidik (murabby al-a’dham)
dengan kodrat iradat-Nya telah mepolakan suatu suprasistem apapun. Sebagai
maha pendidik menghadapi segala sesuatu yang menyangkut kehidupan di alam
ini berjalan dalam suatu sistem, suatu proses kehidupan yang terjadi secara alami.
Hal demikian menjadi contoh bagi makhluk-Nya yang berusaha mengembangkan
kehidupan secara manusiawi dan alami sesuai dengan garis yang diletakkan oleh
Allah, yang kemudian selalu menjalankan proses pendidikan untuk mendapatkan
kehidupan yang bahagia dalam dunia maupun akhirat.
Sejalan dengan apa yang sudah dipaparkan panjang di atas, bahwa Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad (hadis) menjadi dasar utama dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam, karena hanya dengan berlandaskan Al-Qur’an
dan Hadis proses berjalannya pendidikan Islam pada suatu lembaga pendidikan
130 Prof. H.M. Arifin, M. Ed, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), cet. Ke-2, hlm. 21.
148
akan mampu menghantarkan peserta didik yang sesuai dengan tujuan pendidikan
Islam menurut K.H. Hasyim Asy’ari. Begitu juga dengan dasar pendidikan Islam,
sebagaiman yang dikemukakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari, bahwa pemikiran
pendidikan Islam yang berdiri sendiri dan belainan dengan beberapa corak, tetapi
pendidikan Islam tetap berpegang teguh pada semangat Al-Qur’an dan Hadis,
yang terlihat pada karya monumental tentang pendidikan Islam, yakni Adal al-
‘Alim wa al-Muta’allim.131
Begitu kentalnya nuansa religius pada pola pemikiran K.H. Hasyim
Asy’ari tentang pendidikan Islam. mulai dari mendefinisikan pendidikan Islam
sampai pada dasar pendidikan Islam yang tetap menjaga nilai-nilai dari ajaran
Islam. Al-Qur’an dan Hadis menjadi dasar atau landasan yang digunakan dalam
proses penyelenggaraan pendidikan Islam merupakan pilihan yang tepat. Karena
disadari atau tidak, akhir-akhir ini banyak lembaga pendidikan dalam
penyelenggaraannya sedikit sudah melupakan ajaran-ajaran yang tertuang dalam
Al-Qur’an dan Hadis, yang meskipun lembaga pendidikan tersebut terfavorit akan
tetapi tidak mampu mengeluarkan dan menghantarkan peserta didik yang
memiliki keagungan akhlak dan kedalaman spiritual. Hal tersebut dikarenakan
kurangnya mengenyam pendidikan yang berbasiskan Al-Qur’an dan Hadis.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan pendidikan Islam pada poros ajaran
Islam adalah dengan memberikan materi-materi pelajaran yang mengambil dan
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis yang selanjutnya teks-teks dari Al-Qur’an
dan Hadis tersebut disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, agar kemudian
131 Muhammad Rifa’i, op.,cit, hlm. 91.
149
peserta didik dalam memahami teks-teks tersebut tidak terkesan kolot. Dengan
keilmuan yang dimiliki oleh peserta didik, harapannya peserta didik yang sedang
dalam proses pembelajaran mampu menginterpretasikan teks-teks tersebut dalam
rangka memehami situasi dan kondisi yang terjadi saat ini dan yang akan datang.
Dari itu, setiap usaha dan tindakan (kegiatan) yang disengaja untuk
mencapai suatu tujuan harus mempunyai dasar atau landasan untuk tempat
berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sesuai dengan apa
yang disampaikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai suatu usaha dan tindakan
membentuk manusia seutuhnya, harus mempunyai dasar atau landasan ke mana
semua kegiatan dan semua perumusan tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan.
Landasan dan dasar yang dimaksud di atas adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW (Hadis) yang dapat dan selalu ditumbuhkembangkan dengan
ijtihad untuk menyesuaikan kondisi dan situasi.
Dalam paragraf di bawah ini akan sedikit dipaparkan terkait dasar atau
landasan yang digunakan sebagai acuan dan rujukan dalam proses
penyelenggaraan pendidikan Islam yang sesuai dengan apa yang sudah
dikemukakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari:
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril
kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat
dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran
yang terkandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang
150
berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut aqidah, dan yang
berhubungan dengan amal yang disebut syari’ah.132
Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman tidak begitu banyak
dibicarakan dalam Al-Qur’an, tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan amal
perbuatan. Hal ini menunjukkan amal itulah yang seharusnya banyak dilakukan,
sebab semua amal perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan
dirinya sendiri, dengan manusia sesamanya (masyarakat), dengan alam dan
lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal
saleh (syari’ah).
Pendidikan, karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk
membentuk manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup mu’amalah, pendidikan
sangat penting karena ia ikut menentukan corak dan bentuk amal dan kehidupan
manusia, baik pribadi maupun masyarakat.
Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ajaran yang berisikan tentang prinsip-
prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan. Sebagai contoh dapat
dibaca kisah Lukman mengajari anaknya dalam surat Luqman ayat 12-19. Cerita
itu menggariskan prinsip materi ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan
hidup dan tentang nilai suatu kegiatan amal saleh. Itu berarti bahwa kegiatan
pendidikan Islam harus mendukung tujuan hidup tersebut. Oleh karena itu
pendidikan Islam harus menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam
merumuskan berbagai teori tentang pendidikan Islam. dengan kata lain,
pendidikan Islam harus berlandaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang penafsirannya
132 Dr. Zakiah Daradjat,dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996), cet. Ke-3, hlm. 19.
151
dapat dilakukan berdasarkan ijtihad yang disesuaikan dengan perubahan dan
pembaharuan.133
b. As-Sunnah
As-Sunnah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasul Allah
SWT. Yang dimaksud dengan pengakuan itu adalah kejadian atau perbuatan orang
lain yang diketahui oleh Rasulullah dan beliau membiarkan saja kejadian atau
perbuatan itu berjalan. Sunnah merupakan sumber ajaran kedua setelah Al-
Qur’an. Seperti Al-Qur’an, Sunnah juga berisi aqidah dan syari’ah. Sunnah berisi
petunjuk (pedoman) untuk kemashlahatan hidup manusia dalam segala aspeknya,
untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa.
Untuk itu Rasul Allah menjadi guru dan pendidik utama. Beliau sendiri mendidik,
pertama dengan menggunakan rumah Al-Arqam ibn Abi Al-Arqam, kedua dengan
memanfaatkan tawanan perang untuk mengajar baca tulis, ketiga dengan
mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang baru masuk Islam. semua itu adalah
pendidikan dalam rangka pembentukan manusia muslim dan masyarakat Islam.134
Oleh karena itu Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan
pribadi manusia muslim. Sunnah selalu membuka kemungkinan penafsiran yang
berkembang. Itulah sebabnya, mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam
memahaminya termasuk sunnah yang bekaitan dengan pendidikan.
Perlu kiranya ditegaskan kembali bahwa dasar atau landasan yang
digunakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalam kaitannya pendidikan Islam adalah
Al-Qur’an dan Sunnah (hadis). Akan tetapi untuk dapat memahami isi Al-Qur’an
133 Nashir Ali, Dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta: Mutiara, 1979), hlm. 20. 134 Dr. Zakiah Daradjat, dkk, op,.cit, hlm. 20-21.
152
dan Hadis perlu kiranya adanya ijtihad, terlebih-lebih ijtihad dalam memahami
teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah (hadis) yang berkaitan dengan pendidikan Islam.
Ijtihad dalam pendidikan Islam harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah
yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam. ijtihad tersebut
haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup pada
kondisi dan situasi tertentu.
Terlepas dari perbincangan di atas. Bahwa, kegiatan pendidikan dan
pengajaran yang merupakan tugas setiap warga negara dan pemerintah, harus
berlandaskan falsafah dan pandangan hidup bangsa ini (pancasila), dan harus
dapat membina warna negara yang berfalsafah dan berpandangan hidup yang
sama. Oleh karena itu, landasan pendiidkannya harus sesuai dengan falsafah dan
pandangan hidup itu (pancasila). Dan sebagai penganut ajaran agama yang taat,
seluruh aspek kehidupannya harus disesuaikan dengan ajaran agamanya (Al-
Qur’an dan Sunnah). Maka, warganegara yang setia pada bangsa dan taat pada
agama, harus dapat menyesuaikan falsafah dan pandangan hidup pribadinya
dengan ajaran agama serta falsafah dan pandangan hidup bangsanya. Namun bila
ternyata ada ketidaksesuaian atau pertentangan, maka para mujtahid dalam bidang
pendidikan harus berusaha mencari jalan keluarnya dengan menggunakan ijtihad
yang sudah digariskan oleh agama, dengan ketentuan bahwa ajaran agama yang
prinsip tidak boleh dilanggar atau ditinggalkan.135
Sejalan dengan itu maka pendidikan agama (Islam) sebagai suatu tugas
dan kewajiban pemerintah dalam mengemban aspirasi rakyat, harus
135 Prof. Dr. Muhammad Athiyah Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 23-24.
153
mencerminkan dan menuju ke arah tercapainya masyarakat pancasila dengan
warna agama. Dalam kegiatan pendidikan, agama dan pancasila harus dapat isi
mengisi dan saling menunjang. Pancasila harus dapat meningkatkan dan
mengembangkan kehidupan beragama, termasuk pendidikan agama. Ini berarti
bahwa pendidikan Islam itu, selain belandaskan Al-Quran dan Sunnah, juga
berlandaskan pancasila yang kemudian dengan didasari ijtihad dalam
menyesuaikan kebutuhan bangsa yang selalu berubah dan berkembang. Dengan
ijtihad itu, dapat ditemukan penyesuaian antara pancasila dengan ajaran agama
(Al-Qur’an dan Sunnah) yang secara bersamaan dijadikan landasan pendidikan,
termasuk pendidikan agama.
154
BAB V
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.
Hasyim Asy’ari Tentang Pendidikan Islam
Mengamati pendidikan yang berkembang saat ini, maka akan diperoleh
gambaran, yang dalam beberapa hal kurang menyenangkan. Pendidikan, selain
bersifat parsial, pragmatis, tetapi dalam banyak hal bersifat paradoks. Fenomena
yang tampak parsial, terlihat lebih sebatas mengembangkan intelektual dan
keterampilan. Kehidupan seseorang tidak cukup jika hanya dibekali dengan ilmu
dan keterampilan. Cukup banyak bukti, seseorang yang memiliki kekayaan ilmu
dan keterampilan, jika tidak dilengkapi dengan kekayaan akhlak (pengetahuan
agama Islam) atau moral yang mencukupi, maka justru ilmu dan keterampilan
yang disandang akan melahirkan sikap-sikap individualistik dan materialistik. Jika
dua sifat itu semakin jauh tumbuh dan berkembang pada diri peserta didik, maka
akan menampakkan prilaku yang kurang terpuji.
Pendidikan yang berorientasi pada hal-hal yang praktis dan pragmatis
seperti tergambar diatas, tampak jelas dari orientasi pendidikan yang
dikembangkan saat ini. Isu pendidikan yang dikembangkan lebih banyak
mengarah pada lapangan kerja. Maka muncullah kemudian konsep-konsep
pendidikan yang terkait dengan lulusan yang siap pakai, siap kerja, siap latih, dan
sejenisnya. Selain itu orang akan mengukur hasil pendidikan dengan ukuran-
ukuran yang sederhana, seperti berapa indeks prestasi atau NEM yang sudah
daraih, dan sejenisnya. Pendidikan dikatakan berhasil jika mampu memunculkan
155
alumni atau sarjana yang cepat diterima di lapangan kerja, dan bergaji tinggi.
Padahal, bukankah ukuran-ukuran seperti itu sesungguhnya adalah jauh dari
konsep pendidika Islam yang lebih luhur, misalnya agar bertaqwa, beriman,
berbudi luhur, berpengetahuan luas, terampil dan seterusnya. Jika ukuran-ukuran
yang dikembangkan seperti orientasi sederhana yang terjelaskan di atas, maka
sesungguhnya pendidikan Islam selama ini masih belum menyentuh aspek yang
lebih substansial atau yang lebih bersifat hakiki.
Pada hakikatnya, semua hal ataupun aktifitas akan dapat berjalan sesuai
dengan tujuan yang diharapkan, jikalau hal ataupun aktifitas itu mempunyai
makna yang baik. Dalam hal ini adalah kemampuan untuk mendefinisikan
kembali hal ataupun aktifitas yang dilakukan tersebut, begitu pula dengan
pendidikan Islam. tujuan pendidikan Islam tidak akan pernah tercapai dan bahkan
mungkin akan menemui kegagalan pada saat proses pembelajaran, jika elemen
yang berkaitan dengan pendidikan belum mampu mendefinisikan pendidikan
Islam itu sendiri.
Hal-hal ataupun perbuatan-perbuatan negatif yang sudah dikemukakan
diparagraf atas merupakan salah satu kegagalan elemen pendidikan dalam
memaknai pendidikan Islam. ibarat kata, jika pendidik tidak mangetahui apa itu
gunting, maka bias jadi gunting tersebut akan dijadikan sebagai alat untuk
membunuh, dan sebagainya.
Oleh karena itu, ketidakberhasilan pendidikan Islam pada akhir-akhir ini
mengundang kembalinya atau mengembalikan makna pendidikan Islam itu
kepada jalur yang sesuai dengan ajaran Islam. Namun sesungguhnya, bila bukan
156
untuk kepentingan ilmu, tidaklah begitu penting membuat pembahasan atau
mendefinisikan kembali apa pendidikan itu. Semua orang sudah mengetahui
makna pendidikan itu. Pendidikan menurut orang awam adalah mengajari murid
di sekolah, melatih peserta didik hidup sehat, menekuni penelitian, membawa
peserta didik ketempat-tempat ibadah, melatih peserta didik untuk bernyanyi, dan
sebagainya. Akan tetapi, tidak hanya sebatas itu, dalam rangka untuk memenuhi
kepentingan ilmu, dalam hal ini ilmu pendidikan Islam, perumusan definisi yang
teliti tidak dapat dihindari. Karena dengan mampu mendefinisikan pendidikan
Islam itu sendiri, maka akan dengan mudah dalam pelaksanaannya dan dengan
sendirinya tujuan dari pendidikan tersebut akan mudah tercapai.
Maka dengan demikian, paragraf dibawah ini akan sedikit mengupas
kembali definisi pendidikan Islam dalam perspektif pemikiran K.H. Ahmad
Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari yang kemudian akan didapatkan persamaan-
persamaan dan bahkan mungkin perbedaan dari definisi pendidikan Islam
tersebut. Karena diakaui atau tidak, dalam pandangan sejarah, kedua tokoh
tersebut hidup pada tahun yang berbeda, dan tentunya setting sosialpun berbeda.
Karena latar belakang kondisi social juga merupakan salah satu factor
pembentukan pola fakir manusia.
1. Definisi Pendidkan Islam
Perlu dijelaskan terlebih dahulu pada awal pembahasan ini, bahwa
pembahasan masalah pendidikan Islam disini adalah diarahkan pada masalah
pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah di Indonesia dan sesuai dengan
ajaran Islam yang dipeluk bangasa Indonesia serta diakui oleh pemerintah.
157
Dengan memfokuskan pembahasan pada masalah pendidikan Islam saja, maka
pembahasan tidak terlalu luas serta agar mudah difahami arah pembicaraannya.
Oleh karena itu, dalam pembahasan pendidikan Islam selalu menghubungkan
dengan agama Islam, baik dalam pengertian, dasar pendidikan, tujuan pendidikan
agama dan seterusnya.
Pendidikan mempunyai ruang lingkup yang cukup luas, yang selalu
mengandung fikiran para ahli dan pecinta pembaharuan. Para cendekiawan di
bidang pendidikan masing-masing memberi pandangan tentang masalah yang
berhubungan dengan pendidikan. Sekalipun mereka berlainan pendapat dalam
memberi batasan tentang pendidikan, akan tetapi ada kesepakatan diantara mereka
bahwa pendidikan itu dilaksanakan untuk mengembangkan potensi yang ada pada
dirinya, demi kesempurnaan pribadinya.
Untuk membahas pengertian pendidikan Islam, maka harus dimengerti
terlebih dahulu apa sebenarnya yang disebut dengan pendidikan itu sendiri.
Sehubungan dengan hal ini penulis mencoba mengemukakan teori pendapat yang
berkaitan dengan pengertian pendidikan.
Mendefinisikan sesuatu hal tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial pada
saat itu. Dalam cacatan sejarah, K.H. Ahmad Dahlan hidup pada masa penjajahan
Belanda dan Jepang. Penjajahan itu dilakukan oleh mereka tidak hanya dalam
bentuk fisik, akan tetapi mulai dari penjajahan pemikiran, fisik, dan bahkan
sampai penguasaan sumber alam dan sumber manusia.
Penjajahan pemikiran dilakukan oleh mereka dengan cara tidak
memberikan sedikitpun ruang-ruang kepada meraka untuk mengeksplorasikan
158
ide-ide ataupun gagasan. Karena pemerintahan Belanda dan Jepang sangat
mengkhawatirkan akan terjadi perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh rakyat
Indonesia. Dengan tidak memberikan ruang-ruang kebebasan berfikir, pemerintah
Belanda dan Jepang dengan mudah mengeksploitasi sumber daya alam dan
sumber daya manusia untuk kepentingan bangsa mereka tanpa ada perlawanan.
Oleh karena itu, definisi yang dikemukakan oleh K.H. Ahamd Dahlan
sangat kental dengan aroma pembebasan berfikir yang statis karena penjajahan
yang dilakukan oleh pemerintah Belanda dan Jepang munuju pemikiran yang
kritis dan dinamis sebagai upaya perlawanan dan menyelamatkan umat Islam dari
kedua penjajah tersebut. Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan adalah upaya
strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju
pada pemikiran yang dinamis.136
Dari definisi tersebut nampak jelas pola berfikir K.H. Ahmad Dahlan
tentang pendidikan Islam, bahwa harapannya dengan menjadikan pendidikan
sebagai upaya stratgis atau sarana untuk merubah pola fikir masyarakat pada
waktu itu yang terkekang oleh penjajahan Belanda dan Jepang. Karena hanya
dengan mampu berfikir kritis dan dinamislah masyaratkat Indonesia bisa keluar
dari pembodohan yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang.
Selanjutnya, pembahasan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang
pendidikan Islam pun tidak bisa dilepaskan dari setting sosial pada saat itu. Dapat
diketahui, bahwa pada saat penjajahan oleh pemerintah Belanda dan Jepang
kepada rakyat Indonesia, tak terkecuali K.H. Hasyim Asy’ari untuk melakukan
136 Dr. H. Samsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam : Pendidikan historis, teoritis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) hlm. 100
159
tradisi seikeirei, yaitu setiap pagi harus membungkukkan badan pada simbol-
simbol pemerintahan mereka. Beliau menolak tradisi tersebut dipaksakan kepada
beliau. Karena beliau berkeyakinan bahwa seorang muslim punya Tuhan yang
disembah, bukan simbol-simbol kekuasaan mereka yang harus disembah.
Dari situlah dapat sedikit ditelisik tentang beberapa pemikiran K.H.
Hasyim Asy’ari mengenai pendidikan Islam, bahwa Menurut K.H. Hasyim
Asy’ari, yang membedakan anatara manusia dengan binatang, antara lain adalah
ilmu. Ilmu tersebut dapat didapat dengan salah satu perantara pendidikan, karena
pendidikan merupakan proses manusia untuk dapat mengetahui segala sesuatu
yang ingin diketahui, dan yang belum diketahui. Oleh karena itu, dunia
pendidikan atau mencari ilmu itu penting bagi sebuah identitas manusia. Dalam
salah satu karya populernya, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, K.H. Hasyim
Asy’ari menyebutkan bahwa pendidikan adalah sarana mencapai
kemanusiaannya, sehingga menyadari siapa sesungguhnya penciptanya, untuk apa
diciptakan, melakukan segala perintahnya dan menjahui segala larangannya,
untuk berbuat baik di dunia dan menegakkan keadilan.137
Dengan pendidikan manusia akan memperolah pengetahuan yang luas dan
ilmu yang banyak, maka dengan ilmu yang banyak akan dapat dibedakan antara
manusia dan bintang yang tidak dengan mudah dapat disuruh menyembah sesuatu
selain kepada Tuhannya, seperti tindakan yang diperintahkan oleh pemerintah
penjajah pada saat itu. Dengan pendidikan, harapan besar dari K.H. Hasyi Asy’ari
137 Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asy’ari : Biografi Singkat 1871-1947, (Jogjakarta : Garasi House of Book, 2010), hlm. 85.
160
adalah agar rakyat Indonesia tidak terlalu mudah untuk dibodohi dengan
diperintah melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari pemaparan tentang definisi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari di atas, maka akan dengan mudah
dilihat persamaan dan perbedaannya. Persamaan dan perbedaan itu muncul karena
latar belakang biografi sampai dengan kondisi pada waktu itu.
Pada hakikatnya, pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim
Asy’ari memiliki persamaan, hal itu dikarenakan dalam catatan sejarha mereka
sama-sama hidup pada era penjajahan pemerintah Belanda dan Jepang, meskipun
pada tahun yang berbeda. Tetapi, minimal ada kesamaan pemikiran karena dilatar
belakangi kondisi yang hampir sama. Adapun kesamaan pendefinisian pendidikan
Islam antara K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari adalah bahwa:
1. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai upaya untuk mengeluarkan rakyat Indonesia
dari cengkraman penjajah.
2. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai upaya penyadaran bahwa betapa pentingnya
pendidikan sebagai sarana untuk memperluas khazanah keilmuan
rakyat Indonesia dan umat Islam.
3. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari mendefinisikan
pendidikan Islam upaya menyelamatkan umat Islam dari jurang
kebodohan, yang mampu berfikir dinamis untuk kemudian mengetahui
jatidiri dirinya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dan
161
kemudian tuntutan untuk menghambakan dirinya kepada pencipta-
Nya.
Minimal ketiga point itulah yang menjadi kesamaan dari pemikiran K.H.
Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang definisi pendidikan Islam,
karena pada hakikatnya pendidikan Islam merupakan upaya untuk membebaskan
umat manusia dari segala macam ketertindasan untuk mencapai kemerdekaan
(dalam segala hal), dan untuk memaksimalkan potensi kefitrahannya sebagai
makhluk ciptaan Tuhan.
Oleh karena itu, pendidikan Islam merupakan suatu proses bimbingan dari
pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah
terbentuknya pribadi muslim yang baik. Karena ia merupakan sebagai alat yang
dapat difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup
manusia (sebagai makhluk pribadi dan sosial) kepada titik optimal
kemampuannya untuk memperoleh kesejateraan hidup di dunia dan kebahagiaan
hidup di akhirat.
Kendati dalam peta pemikiran Islam tentang pendidikan Islam yang
diwakili oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari dalam rangka
menghubungkan Islam dengan pendidikan masih diwarnai banyak perdebatan.
Namun, yang pasti relasi Islam dengan pendidikan bagaikan dua sisi mata uang.
Mereka sejak awal mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar baik
secara ontologis, epistimologis, maupun aksiologis.
Yang dimaksud dengan pendidikan Islam sesuai dari hasil komparasi
pemikirannya K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari disini adalah :
162
pertama ia merupakan suatu upaya atau proses yang dilakukan secara sadar dan
terencana membantu peserta didik melalui pembinaan, asuhan, bimbingan, dan
pengembangan potensi mereka secara optimal agar nanti dapat memahami
menghayati dan mengamalkan ajaran islam sebagai keyakinan dan pandangan
hidup demi keselamatan (kemerdekaan dalam segala hal) di dunia dan akhirat.
Kedua merupakan usaha yang sistimatis, dinamis, dan metodologis dalam
membimbing anak didik atau tiap individu dalam memahami menghayati dan
mengamalkan ajaran islam secara utuh demi terbentuk kepribadian yang utama
menurut ukuran islam. Dan ketiga merupakan segala upaya pembinaan dan
pengembangan potensi anak didik untuk diarahkan mengikuti jalan yang islami
demi memperoleh keutamaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Selanjutnya, karena sifat dari karya tulis ini adalah komparasi, maka
setelah mengetahui persamaan definisi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, pembahasan selanjutnya adalah
mencari dan mengetahui perbedaannya. Dal hal ini akan dilihat dalam sudut
pandang substansi dari definisi pendidikan Islam tersebut dan tidak ada maksud
untuk mencari sebuah kebenaran dari sebuah perbedaan dikalangan ulama ataupun
para pakar pendidikan Islam yang dibaha dalam tulisan ini.
Pada paragraf ini, akan dikupas pemikiran K.H. Ahmad Dahlan. Hampir
setengah dari kehidupan K.H. Ahmad Dahlah diabdikan untuk memikirkan
pendidikan Islam. Oleh karena itu, tidak menjadi sebuah keheranan jikalau
mendengar bahwa beliau adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam
pendidikan Islam di Indonesia. Mengenai definisi pendidikan Islam dalam
163
pandangan K.H. Ahmad Dahlan terdapat kata kunci yang menunjukkan sedikit
perbedaan dengan K.H. Hasyim Asy’ari, yaitu penyelamatan umat Islam dari
kestatisan berfikir.
Kalimat tersebut sangat identik dengan slogan “pembaharuan” yang
dibawah oleh K.H. Ahmad Dalan. Kestatisan berfikir akan mengakibatkan
produktivitas manusia akan berkurang, bahkan mungkin akan tidak mampu lagi
untuk memproduksi baik dalam bentuk ide-ide atau gagasan sampai pada
perbuatan dalam keseharian. Ketika manusia tidak mampu lagi untuk berfikir dan
berbuat, maka yang terjadi adalah manusia (seperti yang di atas) akan menjadi
objek penindasan-penindasan oleh orang-orang yang tidak dapat menggunakan
pengetahuannya pada jalan yang sebenarnya.
Oleh karena itu, dengan semangat pembaharuan yang dibawah oleh K.H.
Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan Islam. Pendidikan dijadikan sebagai alat
yang mampu memberikan kesadaran pada umat Islam, bahwa betapa pentingnya
pendidikan Islam dalam rangka menyelamatkan umat Islam dari keterpurukan.
Dan dengan pendidikan yang proses pembelajarannya berjalan dengan baik, maka
akan terlahir peserta didik yang akan mampu berfikir dinamis dan sistematis
sebagai jawaban dari tantangan globalisasi hari ini.
Kemudian, agak sedikit berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh
K.H. Hasyim Asy’ari. Dari sudut pandang substansi definisi tersebut, agaknya
definisi yang dipaparkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari lebih kental dengan nuansa
religius. Bagaimana tidak, definisi pendidikan Islam dengan uraian bahwa
pendidikan Islam sebagai sarana mencapai kemanusiaannya, sehingga menyadari
164
siapa sesungguhnya penciptanya, untuk apa diciptakan merupakan bukti nilai-nilai
ketauhidan yang sangat kental terdapat pada definisi tersebut.
Pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk menyadarkan kembali
umat Islam, bahwa manusia dilahirkan dengan fitrah kemanusiaannya yang
memiliki potensi yang harus dikembangkan sesuai dengan kemauan dan
kemampuannya sehingga mampu melaksanakan segala perintah dan menjahui
segala larangan yang sudah digariskan oleh penciptanya.
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang paling sempurna dari
sekian banyak makhluk ciptaan Tuhan. Manusia dengan segala kelebihan dan
kekurangan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk kemudian mencari titik
puncak kemanusiaannya agar manusia mengetahui sejatinya maksud dan tujuan
Tuhan menciptakan manusia. Proses pencarian tersebut dapat dilakukan hanya
dengan pelaksanaan pendidikan, baik pendidikan di dalam lembaga pendidikan
ataupun di luar lembaga pendidikan.
Nuansa ketauhidan yang begitu kental dengan sengaja dipaparkan K.H.
Hasyim Asy’ari dalam mendefinisikan pendidikan Islam, karena dengan harapan
pendidikan dengan proses pembelajarannya mampu melahirkan manusia-manusia
(peserta didik) yang memiliki khazanah keilmuan yang luas dengan tanpa
meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagi makhluk ciptaan Tuhan, yakni
mampu mendekatkan diri kepada sang pencipta dengan melakukan segala perintah
dan menjahui semua hal yang dilarang olehNya.
Dan peserta didik yang seperti itulah yang hari ini sangat dibutuhkan oleh
masyarakat karena melihat keterpurukan bangsa dalam menghadapi perubahan
165
zaman yang begitu cepat ini. Arus globalisasi menuntut para elemen yang bergelut
dalam dunia pendidikan untuk kembali merumuskan pendidikan yang baik dan
tepat dengan tetap mengedepankan nilai-nilai keislaman yang sesuai dengan
rumusan K.H. Hasyim Asy’ari.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan adalah aspek
tujuan. Merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam
mendefiniskan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep
dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip
prinsip dasarnya. Hal tersebut disebabkan pendidikan adalah upaya yang paling
utama, bahkan satu satunya untuk membentuk manusia menurut apa yang
dikehendakinya. Karena itu menurut para ahli pendidikan, tujuan pendidikan pada
hakekatnya merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun
keinginan manusia.
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar
dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya
memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-
institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-
institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab.
Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia
yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.
Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai
kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya
166
yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri
bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk
melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan
materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara.
Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi.
Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya
modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan
seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status
pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka
sebagai individu-individu yang beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan
ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang
sekular.
Perbincangan tentang tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya merupakan
realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi kesejahteraan
umat manusia sebagai hamba Allah SWT., lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Tujuan akhir pendidikan Islam telah disusun oleh para ulama dan ahli pendidikan
Islam dari semua golongan dan mazhab dalam Islam. Tak terkecuali oleh K.H.
Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari.
Pertanyaan yang perlu diajukan terhadap masalah tujuan adalah, benarkah
pendidikan itu mempunyai tujuan? Apakah tujuan pendidikan itu hanya hasil
pikiran pendidik? Kajian fenomenologi dengan tegas mengatakan bahwa setiap
gejala pendidikan itu mempunyai tujuan akhir. Memang pendidik memegang
peranan penting dalam merumuskan tujuan pendidikan tersebut. Demikian pula
167
pendidik memegang peranan pula dalam mengarahkan situasi pendidikan,
sehingga mencapai tujuan yang positif dan konstruktif. Gejala sosial dapat
menjadi gejala mendidik, manakala gejala tersebut mengandung tujuan yang
bermanfaat bagi pendidikan. Tujuan akhir pendidikan itu secara universal ialah
kedewasaan.
Maka, pada penjelasan di bawah ini akan memaparkan tentang persamaan
dan perbedaan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan
dan K.H. Hasyim Asy’ari, yang kemudian dapat dijadikan acuan pada perumusan
pendidikan Islam saat ini yang sesuai dengan tuntunan zaman.
Sedikit mengingatkan kembali, bahwa tujuan yang dikemukakan oleh
K.H. Ahmad Dahlan adalah sebagai bentuk eksisitensi umat Islam yang pada
waktu itu mengalami penjajahan dari pemerintahan Belanda dan Jepang. Sebagai
bukti perlawanan terhadap simbol-simbol penjajahan, maka K.H. Ahmad Dahlan
menjadikan pendidikan Islam sebagai benteng pertama untuk melindungi budaya
dan kultur umat Islam pada waktu itu.
Jelas sudah seperti yang dipaparkan oleh Adi Nugroho dalam bukuny,
bahwa cita-cita atau tujuan pendidikan yang dikehendaki oleh K.H. Ahmad
Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia yang baru yang mampu tampil sebagai
“ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seseorang Muslim yang memiliki
keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan ruhani.138
Kata “lahirnya manusia yang baru” dalam rangkaian tujuan yang
dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan merupakan sebuah harapan pada
138 Adi Nugroho, KH. Ahmad Dahlan : Biografi Singkat 1869-1923, (Jogjakarta : Garasi House of Book, 2010), hlm. 137.
168
pendidikan Islam agar supaya mampu mencetak generasi baru yang memiliki
keahlian sesuai dengan potensi yang dimilikinya agar kemudian mampu menjadi
pemimpin dimuka bumi ini. Kemudian kata “mampu tampil sebagai ulama-
intelek atau intelek-ulama” merupakan sebuah tujuan akhir dari proses
dilaksanakannya pendidikan Islam, agar peserta didik yang sedang menjalani
proses pendidikan mempunyai kapasitas keilmuan yang tinggi dan mampu
menjadi sosok yang memiliki pemahaman keagamaan yang luas.
Beranjak kepada tujuan pendidikan Islam yang diharapkan oleh K.H.
Hasyim Asy’ari. Dalam hal ini, Muhammad Rifa’i menjelaskan bahwa tujuan
pendidikan yang disampaikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari adalah terwujudnya
insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT., dan insan purna
yang mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat.139
Istilah “insan purna” digunakan sebagi simbol bahwa pendidikan Islam
mampu melahirkan, menamatkan, mencetak alumni-alumni yang sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik itu sendiri. Dalam artian, bahwa
pendidikan sebagai sarana untuk memberikan ruang kepada peserta didik untuk
mengeksplorasikan potensi-potensi yang dimilikinya. Kemudian di tambah
dengan kata “bertujuan mendekatkan diri kepada Allah agar mendapatkan
kebahagiaan dunia akhirat” mengisyaratkan bahwa tujuan akhir dari sebuah
pendidikan adalah kembali pada sang pencipta. Harapannya, pendidikan mampu
menghantarkan peserta didik untuk kembali sadar bahwa dirinya dan segala apa
yang ada disekelilingnya adalah ciptaan Tuhan, termasuk pendidikan Islam. Oleh
139 Muhammad Rifa’i, op. cit. hlm. 86.
169
karena itu, pendidikan Islam harus berorientasi kepada nilai-nilai ketauhidan agar
manusia mendapatkan kebahagian dunia akhirat.
Sudah dapat dilihat, dari dua tujuan yang disampaikan oleh K.H. Ahmad
Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari di atas, pada hakikatnya memiliki persamaan,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan Islam diharapkan mampu mencetak manusia-manusia
(insan) yang memiliki kapasitas keahlian sesuai dengan potensi yang
dimilikinya.
2. Pendidikan Islam diharapkan berorientasi kepada kebutuhan masa
depan dengan tidak meninggalkan nilai-nilai keagamaan atau nilai-
nilai yang sudah diajarkan oleh Islam agar mendapatkan kebahagian
dunia akhirat.
3. Pendidikan Islam sebagai upaya penyadaran kembali bahwa segala
sesuatu akan kembali pada sang pencipta.
Setidaknya tiga persamaan tujuan pendidikan Islam itulah yang bisa
diambil, karena hanya dengan sarana pendidikan Islam yang berorientasi pada
pembentukan peserta didik dengan segala potensi yang dimilinya, dan dengan
memberikan nilai-nilai keagamaan pada proses pembelajaran, maka dengan
sendirinya peserta didik akan terlahir sebagai manusia baru atau insan purna yang
mampu tampil sebagi intelek-ulama yang mendekatkan diri kepada Allah untuk
mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, hakikat pendidikan tiada lain
adalah humanisasi yang benuansa teologi. Tujuan pendidikan adalah terwujudnya
170
manusia ideal atau manusia yang dicita-citakan sesuai nilai-nilai dan norma-
norma agama yang dianutnya. Contoh manusia ideal yang menjadi tujuan
pendidikan tersebut antara lain: manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, terampil, dst. Sebab itu, pendidikan
bersifat normatif dan mesti dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat hal di atas,
pendidikan tidak boleh dilaksanakan secara sembarang melainkan harus
dilaksanakan secara bijaksana. Maksudnya, pendidikan harus dilaksanakan secara
disadari dengan mengacu kepada suatu landasan yang kokoh, sehingga jelas
tujuannya, tepat isi kurikulumnya serta efisien dan efektif cara-cara
pelaksanaannya. Implikasinya, dalam pendidikan.
Dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan islam merupakam usaha untuk
membentuk akhlakul karimah, membantu peserta didik dalam mengembangkan
kognisi afeksi dan psikomotori guna memahami menghayati dan mengamalkan
ajaran islam sebagai pedoman hidup sekaligus sebagai kontrol terhadap pola fikir
pola laku dan sikap mental, membantu peserta didik mencapai kesejahteraan lahir
batin dangan membentuk mereka menjadi manusia beriman bertaqwa berakhlak
mulia memiliki pengetahuan dan keterampilan berkepribadian integratif mandiri
dan menyadari sepenuh peranan dan tanggung jawab diri di muka bumi ini
sebagai abdulloh dan kholifatulloh.
Selanjutnya adalah pembahasn mengenai perbedaan dari tujuan pendidikan
Islam yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari.
Seperti yang sudah dikemukakan diawal, bahwa pemikiran K.H. Ahmad Dahlan
cenderung pada slogan yang selama ini masing menepel pada dirinya, yakni
171
membawa pembaharuan dalam segala aspek kehidupan, tidak terkecuali
pendidikan Islam.
Sedangkan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari lebih condong kepada
penyelamatan atau pelestarian budaya-budaya umat Islam, yang cenderung
bersifat tradisionalis dengan harapan budaya-budaya umat Islam masih dapat
dipertahankan sampai akhir kehidupan manusia. Kesan tradisionalis itupun terlihat
dalam pemikirannya tentang pendidikan Islam.
Dalam paragraf ini, akan dikupas mengenai rumusan tujuan pendidikan
Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan. Bila dirunut dari sejarah panjang perjuangan
K.H. Ahmad Dahlan dalam membangun dan memajukan umat Islam dari
keterbelakangan, sangat terasa gigihnya memperjuangkan cita-cita besarnya. Dan
menurut K.H. Ahmad Dahlan, perjuangan itu akan berhasil manakala ditopang
oleh dua komponen utama yang melandasinya, yakni pendidikan dan dakwah.
Dari sinilah tampak K.H. Ahmad Dahlan begitu semangat untuk melakukan
terobosan pembaharuan melewati dua elemen tersebut (pendidikan dan dakwah).
Sebab lembaga pendidikan Islam masih dianggap sebagai media yang paling
strategis dalam menyampaikan cita-cita perubahan.140
Pendidikan memang memegang peranan penting dalam pembentukan,
perubahan dan perkembangan bangsa, tidak terkecuali pendidika Islam. Karena
dengan mengedepankan pendidikan Islam, maka bangsa ini akan menjadi bangsa
yang bermartabat dan memiliki moralitas yang baik dalam kacamata bangsa lain.
Akan tetapi, akibat adanya dikotomi ilmu, pemisahan antara pendidikan agama
140 Hery Sucipto, K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2010), hlm. 112.
172
(Islam) dan pendidikan sains Barat tidak dapat terelakkan. Di satu pihak lembaga-
lembaga pendidikan Islam saat ini belum bisa menghasilkan ilmuwan yang
mempunyai otoritas karena mementingkan masalah akhirat semata, dan di pihak
lain pendidikan yang diselenggarakan oleh kolonial penjajah sama sekali tidak
memperhatikan masalah-masalah kehidupan keakhiratan, hanya mementingkan
kehidupan keduniawian. Akibatnya terjadi jurang pemisahan (dikotomi) yang
sangat lebar antara lulusan lembaga pendidikan Islam dan lulusan lembaga
pendidikan Barat yang sekuler.
Untuk itulah, melihat kondisi sosial pendidikan umat Islam pada saat itu,
K.H. Ahmad Dahlan merasa tergerak untuk melakukan aktivitas yang menerapkan
sistematika kerja organisasi ala Barat. Melalui pelembagaan amal usahanya, K.H.
Ahmad Dahlan melakukan penangkalan budaya atas penetrasi pengaruh kolonial
Belanda dalam kebudayaan, peradaban, dan keagamaan.
Sistem Pendidikan yang hendak dibangun oleh K.H. Ahmad Dahlan
adalah pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan
menggunakan system klasikal. Dimana beliau mencoba menggabungkan sistem
pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan Islam secara integral. Dengan
harapan pendidikan Islam yang modern dengan tetap mengedepankan aspek-aspek
keislaman ini dapat melahirkan peserta didik yang mampu tampil sebagai ulama-
intelek dan intelek-ulama yang sesuai dengan kebutuhan pada zamannya.
Maka, kalau dilihat secara kasap mata, akan dapat disimpulakan, bahwa
tujuan pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari memiliki
beberapa perbedaan. Dari pengamatan yang sudah dilakukan, rumusan pendidikan
173
Islam yang sudah dikemukakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari lebih pada upaya
mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat, menghambakan diri kepada Allah,
memperkuat keislaman, malayani kepentingan masyarakat Islam, dan berakhlak
mulia. Rumusan tujuan dan orientasi pendidikan Islam ini lebih bersifat metafisik,
dan lebih ditekankan pada usaha membimbing kea rah pembentukkan kepribadian
muslim, yaitu manusia yang berilmu, beriman, beramal sholeh, manusia yang
berfikir, bersikap, bertindak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang lebih
bersifat metafisik.141
Dengan kerangka di atas, dapat diartikan bahwa tujuan pendidikan Islam
bukan seharusnya bagaimana membuat manusia sibuk untuk mengurus dan
memuliakan Tuhan saja, dan justru melupakan kepekaannya kepada kemanusiaan,
tetapi sesungguhnya rumusan pendidikan yang disampaikan oleh K.H. Hasyim
Asy’ari adalah upaya memuliakan Tuhan dengan sibuk memuliakan manusia dan
dunianya, serta memuliakan dan memberdayakan manusia dengan segala potensi
yang dimilikinya.
Rumusan tujuan pendidikan Islam ala K.H. Hasyim Asy’ari lebih
diorientasikan kepada kehidupan akhirat, dan memang cenderung bersifat
defensive, yaitu supaya menyelamatkan kaum muslimin dari pencemaran dan
pengrusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan Barat yang dating melalui
berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam akan
meledakkan standar-standar moralitas tradisional Islam. Oleh karena itu, K.H.
Hasyim Asy’ari hadir dalam rangka menyelamatkan budaya-budaya Islam
141 Drs. Ismail Thoib, M. Pd, Wacana Baru Pendidikan: Meretas Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), cet. Ke-2, hlm. 181-182.
174
tradisionalis dengan tetap mengedepankan nilai-nilai yang sudah di ajarkan oleh
Islam.
3. Dasar Pendidikan Islam
Sebagaimana sudah diketahui bahwa pendidikan Islam terdiri dari dua
buah kata, yaitu Pendidikan dan Islam. Terminology “pendidikan” banyak
dikemukakan oleh para ahli sesuai dengan pandangan yang mereka gunakan.
Definisi yang dianggap paling sesuai adalah bahwa pendidikan merupakan usaha
manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan baik
jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Terminology kedua adalah “Islam”. Kata Islam dalam Pendidikan Islam
menunjukkan warna atau corak pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang
bercorak Islam atau Islami, yaitu pendidikan yang berlandaskan Islam. Dengan
demikian ada pendidikan selain Islam yang konsekuensinya bahwa pendidikan itu
berbeda dengan pendidikan Islam.
Dari kerangka di atas yang menyebutkan bahwa terdapat dua lembaga
pendidikan, yakni pendidikan Islam dan ada pendidikan yang diluar Islam, maka
akan dapat diketahui hal yang membedakan pendidikan tersebut, yakni pada aspek
landasan dan dasar dari pendidikan tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia sebagaimana yang dikuti oleh Hery Noer Aly, bahwa kata dasar secara
bahasa berarti alas, fundamen, pokok atau pangkal segala sesuatu (pendapat,
ajatran atau aturan).142
142 Drs. Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 29.
175
Apa yang sudah disampaikan di atas mengisyaratkan bahwa dasar atau
landasan dari sebuah tindakan menjadi sangat penting untuk kemudian diketahui
dean bahkan mugking harus dikaji. Karena dengan mengetahui dasar atau
landasan dari sebuah kegiatan tersebut, maka akan dapat difahami substansi yang
dibawa dari kegiatan atau tindakan tersebut, begitupun dengan pendidikan Islam.
Dasar atau landasan dari pendidikan Islam harus dikupas dan dikaji untuk
mengetahui substansi dari pendidikan Islam tersebut, dan dengan dasar atau
landasan yang jelas, maka tujuan dari pendidikan Islam itupun akan menjadi jelas
pula.
Berangkat dari pembahasan yang sudah dipaparkan di atas, bahwa begitu
pentingnya untuk mengetahui dasar atau landasan dari pendidikan Islam. Maka,
sesuai dengan apa yang sudah dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.
Hasyim Asy’ari mengenai dasar pendidikan Islam. Yang mana dalam pandangan
kedua tokoh tersebut, bahwa pendidikan Islam haruslah bersumber dari Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul SAW. Karena hanya dengan mengembalikan segala sesuatu
kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul SAW., manusia akan menemukan sebuah
kebenaran yang hakiki. Begitu juga dengan mendasarkan pendidikan Islam pada
Al-Qur’an dan sunnah Rasul SAW., maka diharapkan pendidikan Islam mampu
mencetak peserta didik yang memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi dengan
tetap berlandaskan atau berdasar pada nilai-nilai yang termaktub dalam Al-Qur’an
dan sunnah Rasul SAW.
Dalam tiap aktivitas manusia sebagai instrumen transformasi ilmu
pengetahuan budaya dan sebagai agen perubahan sosial pendidikan memerlukan
176
satu landasan fundamental atau basik yang kuat. Adapaun dasar yang di maksud
adalah dasar pendidikan Islam suatu totalitas pendidikan yang wajib bersandar
pada landasan dasar. Pendidikan Islam baik sebagai konsep maupun sebagai
aktivitas yang bergaerak dalam rangka pembinaan kepribadian yang utuh
memerlukan suatu dasar yang kokoh. Kajian tentang pendidikan Islam tak lepas
dari landasan yang terkait dengan sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
Menurut K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari bahwa semua
materi kehidupan sudah terangkum dalam Al-Qur’an dan dijelaskan kembali oleh
sunnah Rasul SAW., seakan-akan Al-Qur’n adalah sebuah “buku sejarah” yang
mampu membuka segala peristiwa yang terjadi dalam alam semesta, baik dari
zaman dulu sampai zaman yang akan dating semua sudah terselip dalam Al-
Qur’an. Tidak ketinggalan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang
pendidikan, karena sejatinya Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang
membutuhkan arahan dalam mengarungi kehidupan.
Memang tidak diragukan bahwa ide mengenai prinsip-prinsip dasar
pendidikan banyak tertuang dalam ayat-ayat al Qur’an dan hadits nabi. Dalam hal
ini akan dikemukakan ayat ayat atau hadits hadits yang dapat mewakili dan
mengandung ide tentang prinsip prinsip dasar tersebut, dengan asumsi dasar,
seperti dikatakan an Nahlawi bahwa pendidikan sejati atau maha pendidikan itu
adalah Allah yang telah menciptakan fitrah manusia dengan segala potensi dan
kelebihan serta menetapkan hukum hukum pertumbuhan, perkembangan, dan
interaksinya, sekaligus jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya.
177
Hal-hal yang sudah tersampaikan di atas merupakan gagasan yang
disampaikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Kedua tokoh
tersebut bersepakat bahwa dasar atau landasan pendidikan Islam harus bersumber
kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul SAW., karena sesuai yang termaktub dalam
Al-Qur’an surat Al-Luqman yang menjelaskan tentang pendidikan Islam.
��� �� �� ��� 7 ���� ��� ���� �� �8�� '� &�� �� � � ���� - �� �. � ����� ���9 � �� � ���� �/ �" "��� � �2
���� �*�� � ( ��� �� ��* � ��/ �" �. �� �: �;0 )��� �� )&� �( ���� �<� �5 ��� ���� �� � ���� � �� *= ��
> �� +1 �� ,: �;����� � '?�� 2*3 �.�� �� ( -@�� ?��#2� �� .$ ��+1 �� /$% 1�� )0� ����% ,4 ����
��� �! ���� � ��� �� ���� �� 5 ���A 6 >���� 0 �1� =�� �" �, �� 2�= �� >�� *�� 7 "�� " �8 �. /��� �9 � � ���9 -��
"�# �� � ���� ������ 3"�# �� ��B�7 �� �� �� )C� ���� ����� �1� �� �"�, �� � �� �� � *3 " �: ���
���% �� �� �� �� �� 4D��9 �E�" ��� �1 ; *� ( ��� �1�� �� 4 �� " �8 � ��� $�� �� � 5"�"� �� ( < � ������
�F� ���+ ��� �!� �� � 3" �# �� � ,$ *= 3" �#�� �D�� " ������ D�9"G �6>��0? �" � �� �� �$�5��� �� *��� �� )��
178
Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah),
Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang
tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (12),
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar" (13), Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (14), Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya,
dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. Al-Luqma: 12-
15).143
Begitu jelasnya nilai-nilai pengajaran ataupun pembelajaran (pendidikan
Islam) yang tersampaikan dalam ayat tersebut. Maka, tidak menjadi kesalahan
jikalau menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar atau landasan pendidikan Islam.
Tidak berhenti pada dasar ajaran Islam yang pertama. K.H. Ahmad Dahlan
dan K.H. Hasyim Asy’ri pun menuturkan, bahwa untuk menjelaskan teks-teks Al-
143 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1998, hlm.654.
179
Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan Islam harus menggunakan Hadis
(Sunnah Rasul SAW). Dalam hadis pun banyak terkandung nilai-nilai pendidikan
Islam, banyak tindakan mendidik yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW
dalam pergaulannya bersama para sahabatnya. Rasul menganjurkan agar
pembicaraan yang diarahkan kepada orang lain hendaknya disesuaikan dengan
tingkat kemampuan berfikir mereka. Beliau selalu memperhatikan setiap orang
sesuai dengan sifatnya : wanita atau lelaki, orang tua atau anak-anak. Kepada
orang yang menyenangi harta, beliau akan memberinya harta agar hatinya menjadi
lunak. Kepada orang yang menyenangi kedudukan, beliau akan menempatkan
kedudukan orang itu dekat dengannya, karena dimata kaumnya beliau adalah
orang yang berkedudukan. Dalam pada itu, beliau tidak pernah lengah untuk
menyeru agar beribadah kepada Allah dan melaksanakan syari’at-Nya.
Seiring dengan fungsi hadis atau sunnah Rasulullah SAW yang sudah
tersampaikan di atas, maka Implementasi dan implikasi dalam lapangan
pendidikan Islam, hadis atau sunnah Rasulullah SAW mempunyai dua faidah di
dalamnya, yaitu:
1. Menjelaskan sistem pendidikan Islam sebagaimana yang terdapat di
dalam Al-Qur’an dan menerangkan hal-hal rinci yang tidak terdapat di
dalamnya.
2. Menggariskan metode-metode pendidikan yang dapat dipraktekkan.144
Selanjutnya, terlepas dari persamaan persepsi yang dikemukakan oleh
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang dasar atau landasan
144 Drs. Hery Noer Aly, op.,cit. hlm. 43.
180
pendidikan Islam. Jika diteliti lebih mendalam, maka akan ditemukan perbedaan
persepsi dalam pengungkapan tentang dasar atau landasan pendidikan Islam harus
bersumber pada Al-Qur’an dan hadis. Karena pada hakikatnya, perbedaan itu
dilatar belakangi oleh pemahaman dan penafsiran yang berbeda tentang Al-Qur’an
dan hadis itu sendiri.
Maka, bila dilihat dari visi yang dibawah oleh K.H. Ahmad Dahlan, yakni
pembaharuan Islam. Dalam artiyan pemurnian nilai-nilai dan ajaran Islam.
Berangkat dari praktek keagamaan masyarakat pada saat itu yang dianggap
menyimpang dari nilai-nilai Islam seperti praktek takhayul, bid’ah dan khurafat,
maka K.H. Ahmad Dahlan berusaha mendobrak dan memerangi kemapanan
tradisi yang sudah berurat akar dalam masyarakat tersebut dengan meniscayakan
adanya tajdid (pembaruan) sebagai soko guru gerakannya.
Pembaharuan dalam perspektif K.H. Ahmad Dahlan mempunyai makna
kembali pada ajaran pokok yang asli dan esensialitas Islam. Pada ranah ini ia
menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak bersikap anti secara mutlak terhadap
budaya dan tradisi, tetapi juga tidak dapat menerima budaya dan tradisi yang
merusak kejernihan agama, terutama menyangkut hubungan manusia dengan
Tuhan.
Corak pemikiran Islam dari K.H. Ahmad Dahlan pada umumnya berkisar
pada penekanan praktik Islam salaf sebagai kritik atas Islam tradisional (taqlid)
yang bercorak sinkretis karena pengaruh adat istiadat lokal. Dengan kata lain,
singularitas Islam direkonstruksi lagi menjadi Islam sebagaimana mestinya. Oleh
181
karena itu, pembaruan dalam K.H. Ahmad Dahlan berarti memperbarui
pemahaman (Islam) dengan kembali kepada keaslian Islam.145
Begitu juga dalam hal pendidikan Islam, konsepsi dasar yang
dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan tentang dasar pendidikan Islam harus
kembali pada Al-Qur’an yang substansial tanpa ada penafsiran-penafsirang yang
sama sekali tidak sesuai dengan inti ajaran yang diinginkan oleh Islam. Hal itu
dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlam dalam rangka memberikan kesadaran bahwa
sumber pokok ajaran Islam hanyalah Al-Qur’an dan Hadis yang sesunggugnya.
Salah satu contoh yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan tentang
pemurnian Al-Qur’an yang tampak dalam bidang pendidikan adalah yang
terinspirasi dari ayat Al-Qur’an surat Al-‘Alaq ayat 1 yang memberi penekanan
arti pentingnya membaca, diterjemahkan dengan mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan. Dengan pendidikan, akan ada upaya pemberantasan buta huruf.
� ���5 �� �$ �+ ���� �� �&��� � � � �� �6���, )�
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,(Q.S. Al-
‘Alaq: 1).146
Namun, hal yang demikian itu agaknya sedikit berbeda dengan yang
disampaikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. beliau terkenal sebagai ulama yang
mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi
keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam Al-Qur’an dan
145 http://prodibpi.wordpress.com/2010/08/05/pemikiran-k-h-ahmad-dahlan-dalam-bidang-pendidikan-dan-dakwa/ 146 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1998, hlm.1079.
182
hadis dan beliau sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan
di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.
Akan tetapi, menurut K.H. Hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-
ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek
tarikat.
Bagi kalangan nahdliyin akan terasa kental sekali dengan slogan Al-
Muhafadzatu ‘Ala Qodimi As-Sholih, Wa Ahdzu bi Jadiidi Al-Aslah, dimana K.H.
Hasyim Asy’ari menyerukan untuk menjaga tradisi atau nilai-nilai lama yang
masih baik, yang masih memiliki dasar dan landasan yang jelas untuk
dipertahankan dan kemudian mengambil tradisi atau nilai-nilai baru yang
dianggap lebih baik. Oleh karena itu, banyak kalangan intelektual muslim yang
menyatakan bahwa gerakan yang dibawa oleh K.H. Hasim Asy’ari adalah gerakan
Islam tradisionalis.
Maka dari pada itu, menurut K.H. Hasyim Asy’ari konsepsi dasar atau
pendidikan Islam agaknya berbeda dengan konsepsi yang dikemukakan oleh K.H.
Ahmad Dahlan, dimana untuk memahami Al-Qur’an dan Hadis tidak serta merta
saklek dengan apa yang tertuang didalamnya, akan tetapi masih perlu untuk
kemudian dijelaskan oleh beberapa hal yang dalam kalangan NU biasa disebut
dengan Ijma ataupun Qiyas. Karena pada dasarnya Al-Qur’an masih memerlukan
penafsiran-penafsiran kembali untuk merelevankan dengan situasi dan kondisi
yang terjadi pada kehidupan manusia, tidak luput juga dalam dunia pendidikan.
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan betapa pentingnya
pendidikan pun masih perlu dijelaskan kembali tentang hal-hal teknis yang
183
menyangkut hal itu. Oleh karena itu, dengan bantuan tradisi dan budaya-budaya
lama yang masih relevan untuk kemudian diterapkan dalam teknis pelaksannan
pendidikan Islam pun menjadi sangat penting.
Bahasa yang paling mudah untuk menyimpulkan pemikiran K.H. Hasyim
Asy’ari adalah pemikiran yang tradisional akan tetapi tidak kolot. Artinya bahwa
meskipun dalam ritual keseharian terkesan tradisional dengan tradisi dan budaya
lama, akan tetapi dalam pemahan Al-Qur’an tidak terkesan kaku dan kolot yang
harus saklek dengan teks Al-Qur’an tersebut.
Oleh karena itu, dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis yang
disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tetap mempertahankan pada tradisi
dan nilai-nilai lama dalam pelaksanaan pendidikan Islam, diharapkan mampu
melahirkan insan purna yang mempunyai kapasitas keilmuan yang tinggi yang
berlandaskan pada nilai-nilai ajaran Islam serta mempu menjadi garda depan
untuk menyelamatkan, mempertahankan, serta mengembangkan budaya dan
tradisi-tradisi yang dianggap masih relevan untuk kemudian dilaksanakan dalam
proses pelaksanaan pendidikan Islam.
Maka jelaslah sudah, bahwa menggembalikan dan menyandarkan segala
aktivitas kepada Al-Qur’an dan hadis menjadi sebuah kewajiban bagi pelaksanaan
pendidikan Islam. Pendidikan sebagai usaha pembentukan moral manusia yang
sebagai representasi dari bangsa, sedangkan Islam sebagai ajaran yang dianut oleh
manusia dan sekaligus sebagai warna dari pendidikan itu sendiri. Maka, pilihan
yang tepat adalah seperti yang sudah dibahas panjang dalam tulisan ini, yakni
menjadikan Al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar dan landasan pendidikan Islam.
184
B. Kontribusi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari
Terhadap Pendidikan Islam
Jauh sebelum pembahasan tentang UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas, dinyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama (Islam) di Indonesia
gagal membentuk manusia-manusia atau peserta didik yang mempunyai budi
pekerti sebagaimana diajarkan oleh agamanya masing-masing. Kendatipun sulit
dibantah bahwa keterkaitan antara pendidikan di satu sisi dan keberadaan agama
serta peluang mengajarkan doktrin-doktrin agama di sisi lain di sekolah-sekolah
agama atau umum, namun realitas yang terjadi menyatakan kegagalan-kegagalan
pendidikan agama (Islam).
Semua orang Islam (muslim) berkeinginan memiliki anak (peserta didik)
yang shalih, berakhlak mulia, yang dapat mendoakan kedua orang tuanya, birrul
walidain. Islam memberi petunjuk bahwa anak adalah amanah yang dibebankan
kepada masing-masing orang tua agar dididik sebaik-baiknya.
Menunaikan amanah yang telah disebutkan di atas tidaklah mudah,
kesulitan itu dirasakan hampir semua orang tua. Tidak sulit menemukan keluhan
dari orang tua mengenai tindak tanduk dari anaknya (peserta didik), seperti
misalnya anaknya sering membolos, berani kepada orang tua, serba menuntut
yang berlebihan, shalat lima waktu tidak tertib, belum dapat membaca Al-Qur’an
secara lancar, dan bahkan mungkin lebih dari itu, tidak sedik anak-anak ditengarai
melalukan prilaku yang menyimpang dari ajaran yang diajarakan oleh agamanya,
seperti minum obat terlarang, dan sebagainya.
185
Ada sinyalemen bahwa prilaku yang sudah diperbuat oleh peserta didik
seperti yang sudah dipaparkan diatas dipengaruhi oleh faktor pendidikan Islam
yang dinilai gagal menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Dan itu dianggap
yang paling cukup banyak mempengaruhi peserta didik. Diantaranya, informasi
yang semakin terbuka luas, yang disalurkan melewati media massa, masyarakat
yang semik terpengaruh oleh budaya materialisme, nilai-nilai religius ataupun
budaya luhur yang semakin terabaikan dan bahkan mungkin ditinggalkan oleh
pelaksana pendidikan, ditambah pendidikan Islam yang sangat sulit ditingkatkan
kualitasnya.
Oleh karena itu, orang tua, para tokoh masyarakat, dan juga para pemuka
agama merasa terpanggil untuk mencari jalan keluar dari persoalan semua itu.
Dan rupanya pendidikan dianggap sebagai variabel yang harus memperoleh
perhatian lebih. Karena disadari ataupun tidak, pendidikan merupakan variabel
yang sangat penting dan berpengaruh dalam rangkan membentuk kepribadian
peserta didik.
Dari permasalahan-permasalahan di ataslah yang kemudian menuntut K.H.
Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari untu berperan serta dalam rangka
menuntaskan permasalah-permasalahn tersebut. Dan dalam perjalanan sejarah,
sedikit banyak kedua tokoh tersebut sedah memberikan solusi-solusi dari
permasalahan pendidikan Islam di Indonesia. Separuh hidup kedua tokoh tersebut
diabdikan untuk memikirkan dan mengurusi pendidikan Islam, karena bagi
mereka pendidikan Islam merupakan pondasi yang fundamen untuk terus
dipertahankan dan dikembangkan. Dengan pendidikanlah, masyarakat Indonesia
186
dan umat Islam akan memiliki kridibilitas yang tinggi untuk mempertahankan
bangsa dan Negara ini.
Sosok K.H. Ahmad Dahlan yang dikenal sebagai tokoh dengan gerakan
pembaharu dan reformis Islam, dengan gagah dan sungguh-sungguh meletakkan
pendidikan sebagai sarana dan upaya yang strategis untuk menyelamatkan umat
Islam dari pemikiran yang statis, karena pada waktu itu masyarakat Indonesia
mengalami penjajahan dari kolonial Belanda dan Jepang, menuju pemikiran yang
dinamis untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Semangat perjuangan yang
digagas dan dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan diimplementasikan dengan
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang kemudian lembaga itu digunakan
sebagai sentral kaderisasi bagi umat Islam Indonesia.
Begitu juga dengan sosok K.H. Hasyim Asy’ari, meskipun tidak dilahirkan
pada tahun yang sama, akan tetapi mereka berdua hidup pada masa yang hamper
bersamaan, yakni masa penjajahan Belanda dan Jepang. K.H. Hasyim Asy’ari pun
sependapat dengan K.H. Ahmad Dahlan, bahwa pendidikanlah yang mampu
menghantarkan umat manusia menjadi manusia yang sempurna. Karena menurut
K.H. Hasyim Asy’ari, pendidikan merupakan upaya untuk memanusiakan
manusia, agar manusia dapat mencapai tingkat kemanusiannya, sehingga
menyadari keberadaan diriny, Tuhan penciptanya, serta alam yang ada di
sekelilingnya.
K.H. Hasyim Asy’ari pun mengabdikan dirinya untuk melestarikan
pendidikan Islam lewat lembaga-lembaga pendidikan yang pada waktu itu disebut
dengan pesantren. Lewat pesantren itulah, K.H. Hasyim Asy’ari melakukan
187
dakwa dan pengajaran kepada masyarakat serta menyiarkan betapa pentingnya
pendidikan Islam.
Maka dari pada itu, dalam paragraf selanjutnya akan dibeberkan beberapa
kontribusi atau jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari dalam
bidang pendidikan Islam. Kontribusi dari kedua tokoh tersebut sangat mewarnai
dunia pendidikan Islam pada waktu itu, meskipun dalam kondisi penjajahan
Belanda dan Jepang, akan tetapi lembaga-lembaga yang didirikan oleh kedua
tokoh tersebut masih mampu bertahan.
1. K.H. Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan adalah salah satu pembaharu pemikiraan pendidikan
Islam yang mampu menangkap pesan Al-Qur’an dan mengkontekstualisasikannya
dengan perkembangan zaman sebagaimana yang dikatakan oleh Nurcholis
Madjid, bahwa buya melakukan pembaharuan yang bersifat break throught,
bahwa pembaharuannya tidak mengalami prakondisi sebelumnya dan bersifat
lompatan. Orientasinya pada amal dan pembaharuannya yang bersifat alamiah
inilah yang menempatkan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang beredar
bukan hanya di Indonesia tapi juga di dunia Islam. Oleh karena itu usaha dan jasa-
jasa besar K.H. Ahmad Dahlan sampai hari ini masih dapat ditemukan, dirasakan,
dan bahkan masih dapat dinikmati, yakni dengan berdirinya lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang tersebar diseluruh Indonesia.
Menurut K.H. Ahmad Dahlan upaya strategis untuk menyelamatkan umat
Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah
melalui pendidikan. Oleh karena itu pendidikan hendaknya di tempatkan pada
188
skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya
dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memeta
dinamikan kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan
kemajuan umat islam adalah kembali kepada Al-Qur’an dan hadits. Mengarahkan
umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, menguasai berbagai
disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui
pendidikan.
Selanjutnya adalah jasa-jasa besar KH. Ahmad Dahlan dapat diuraikan
sebagai berikut:147
1. Mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut
semestinya. Umumnya Masjid-masjid dan langgar-langgar di
Yogyakarta menghadap ke timur dan orang-orang shalat menghadap
ke arah barat lurus. Pada hal kiblat yang sebenarnya menuju Ka’bah
dari tanah Jawa miring ke utara kurang lebih 24 derajat dari sebelah
barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang ilmu falaq itu, orang
tidak boleh menghadap kiblat menuju barat lurus, melainkan harus
miring ke utara 24 derajat. Oleh sebab itu K.H. Ahmad Dahlan
mengubah bangunan pesantrennya sendiri, supaya menuju kearah
kiblat yang betul. Perubahan yang diadakan oleh K.H. Ahmad Dahlan
itu mendapat tantangan keras dari pembesar-pembesar masjid dan
kekuasaan kerajaan (Abuddin Nata, 2004: 106-107).
147 Abuddin Nata. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 106-108.
189
2. Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam dengan popular, bukan
saja di pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain dan
mendatangi berbagai golongan. Bahkan dapat dikatakan bahwa K.H.
Ahmad Dahlan adalah bapak muballigh Islam di Jawa Tengah,
sebagaimana Syekh M. Jamil Jambek sebagai bapak muballigh di
Sumatera Tengah.
3. Memberantas bid’ah-bid’ah dan khurafat serta adat istiadat yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam.
4. Mendirikan perkumpulan/persyarikatan Muhammadiyah pada tahun
1912 M yang tersebar di seluruh Indonesia sampai sekarang. Pada
permulaan berdirinya, Muhammadiyah mendapat halangan dan
rintangan yang sangat hebatnya, bahkan K.H.Ahmad Dahlan
dikatakan telah keluar dari mazhab, meninggalkan ahli sunnah wal
jama’ah. Bermacam-macam tuduhan dan fitnahan yang dilemparkan
kepadanya, tetapi semuanya itu diterimanya dengan sabar dan
tawakal, sehingga Muhammadiyah menjadi satu perkumpulan yang
terbesar di Indonesia serta berjasa kepada rakyat dengan mendirikan
sekolah-sekolah, sejak dari taman kanak-kanak hingga perguruan
tinggi.
Keempat faktor di atas merupakan kontribusi yang monumental dalam hal
keagamaan, karena dengan kehadiran dan sumbangsi K.H. Ahmad Dahlan pada
saat itu, ritus-ritus keagamaan dapat diluruskan oleh beliau dengan tetap
berlandaskan kepada Al-Qur’an dan hadis.
190
Jasa termashur selanjutnya yang diberikan beliau kepada Islam Idonesia
adalah pendirian organisasi sosial keagamaan, yakni Persyarikatan
Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan salah satu tokoh pendidikan Islam yang
terkenal. Beliau hidup pada zaman Belanda. Beliau hidup di tengah-tengah
keluarga yang alim ilmu agama. K.H. Ahmad Dahlan adalah tokoh penting yang
tidak mengenyam pendidikan formal, meski seperti itu beliau gigih dalam belajar
dan memperjungkan pendidikan Islam sehingga Ia mampu mendirikan suatu
gerakan yang diberi nama Muhammadiyah.148
Adapun Faktor-faktor yang mendorong berdirinya Muhammadiyah dilator
belakangi oleh ada dua faktor, yakni:149
1. Faktor Subjektif
Faktor yang pertama ini bersifat subjek yang dapat diartikan bahwa
pelakunya sendiri, dan ini merupakan faktor sentral. Artinya kalau mau
mendirikan Muhammadiyah maka harus dimulai dari orangnya sendiri. Lahirnya
Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan K.H. Ahmad Dahlan, tokoh
kontroversial pada zamannya. Dengan pemahaman agama Islam yang mendalam,
maka semua ilmu agama yang selama ini diperoleh baik di Indonesia maupun di
Mekkah, maka beliau menyebarkan ilmunya itu melalui persyarikatan
Muhammadiyah yang didirikannyan itu. Paham dan keyakinan agama K.H.
Ahmad Dahlan yang dilengkapi dengan penghayatan dan pengamalan agamanya,
148 ,Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm. 123-124.�149 Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Muhammadiyah Sejarah,Pemikiran dan Amal Usaha, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang dan PT.Tiara Wacana Yogya, 1990), hlm. 4-9.�
191
inilah yang membentuk K.H. Ahmad Dahlan sebagai subjek yang mendirikan
amal jariah Muhammadiyah.
2. Faktor Objektif
Faktor objektif yang dimaksud adalah keadaan dan kenyataan yang
berkembang saat itu. Apa yang ada dalam pikiran K.H. Ahmad Dahlan merupakan
kesadarannya, dinyatakan, disulut dengan api yang ada di dalam masyarakat.
Faktor objektif ini dibagi dalam dua bagian yakni internal umat Islam, dan
eksternal umat Islam.
Faktor internal di kalangan umat Islam adalah kenyataan bahwa ajaran
agama Islam yang masuk ke Indonesia, kemudian menjadi agama umat Islam,
ternyata sebagai akibat perkembangan agama Islam pada umumnya, sudah tidak
utuh dan tidak murni lagi. Tidak murni artinya tidak diambil dari sumber yang
sebenarnya. Hanya bagian-bagian tertentu yang difahami, dipelajari, kemudian
diamalkan. Kalau ajaran sudah tidak murni, tidak diambil dari sumbernya yang
asli, sudah dicampur dengan ajaran-ajaran yang lain, maka ketika Islam dipahami
dan dilaksanakan seperti itu, maka sudah tidak tidak bisa memberikan manfaat
yang dijanjikan oleh Islam terhadap pemeluknya. Faktor objektif yang seperti
itulah, K.H. Ahamad Dahlan segera mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah
untuk dijadikan sarana memperbaiki agama dan umat Islam Indonesia.
a. Faktor Objektif Eksternal
Pemerintah Hindia Belanda merupakan keadaan objektif ekstern
umat Islam pertama yang melatar belakangi berdirinya
persyarikatan Muhammadiyah. Pemerintah Hindia Belanda
192
memegang kekuasaan yang menentukan segala-galanya. Agama
pemerintah Belanda menurut resminya adalah Protestan, dengan
demikian sudah tidak menghendaki agama Islam. Demi
kelangsungan kekuasaannya di Indonesia, pemerintah penjajah
Hindia Belanda berpendirian bahwa ajaran agama Islam yang utuh
dan murni tidak boleh hidup dan tidak boleh berkembang di tanah
jajahan. Maka ajaran agama Islam yang tidak utuh dan tidak murni
itulah yang dikehendaki pemerintah Hindia Belanda.
Belanda mempunyai keyakinan, kalau umat Islam di tanah jajahan
bisa memahami Islam yang sebenarnya, meyakini agama Islam
berdasarkan pahamnya yang benar, kemudian bisa melaksanakan
ajaran Islam yang benar, maka pemerintah penjajah Belanda tidak
akan bisa bertahan. Usaha mereka adalah menjauhkan umat Islam
dari Al-Qur’an, menjauhkan dari As-Sunnah,, menjauhkan dari
kesanggupan memahami Islam yang sebenarnya dan mampu
menggunakan akal pikiran serta akal budinya untuk memahami
Islam.
b. Faktor Objektif di luar Umat Islam lainnya
Dari angkatan muda (antek-antek Belanda) yang sudah mendapat
pendidikan Barat, lalu mengadakan gerakan-gerakan untuk
memusuhi apa yang menjadi maksud gerakan Muhammadiyah.
193
c. Faktor lainnya
Gerakan-gerakan kristenisasi pada waktu itu sangatlah marak, salah satu
contohnya adalah Kaum nasrani pada waktu itu mendapatkan bantuan dari
pemerintah Belanda untuk mengadakan kegiatan-kegiatan atau melakukan
tindakan-tindakan yang pada tujuan akhirnya sangat tidak sefaham dan bahkan
menentang gerakangerakan yang dilakukan oleh Muhammadiyah.
Setelah mengetahui latar belakang didirikannya, maka selanjutnya akan
disampaikan maksud dan tujuan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah.
Adapun maksud dan tujuannya yang dibawa oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam
pendirian Persyarikan Muhammadiyah adalah untuk menegakkan dan menjunjung
tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya. Usaha untuk mencapai maksud dan tujuan ini adalah dengan:
1. Mengadakan dakwah Islam.
2. Memajukan pendidikan dan pengajaran.
3. Menghidupsuburkan masyarakat tolong menolong.
4. Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf.
5. Mendidik dan mengasuh anak-anak dan pemuda-pemuda, supaya
kelak menjadi orang Islam yang berarti.
6. Berusaha dengan segala kebijkasanaan, supaya kehendak dan
peraturan Islam berlaku dalam masyarakat.
7. Berusaha kearah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai
dengan ajaran Islam.���
150 H. Suja, Muhammadiyah dan Pendirinya, (Yogyakarta: Majelis Pustaka, 1989), hlm. 46-48.�
194
Amal usaha di ataslah yang menjadi ciri khas bagi Persyarikatan
Muhammadiyah. Dimana jika disimpulkan, dakwa dan pendidikan yang menjadi
sentral amal dan usaha yang dilaksanakan sampai detik ini. Karena amak dan
usaha tersebut memang sesuai dengan apa yang dibawa oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Menurut beliau pendidikan yang akan dikembangkan adalah pendidikan modern
yang tidak melupakan nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul SAW. Oleh karena itu, pendidikan dalam Persyarikatan
Muhammadiyah sangat mementingkan pendidikan dan pengajaran yang
berdasarkan Islam, baik pendidikan di sekolah/madrasah ataupun pendidikan
dalam masyarakat. Oleh sebab itu tidak heran, bila Muhammadiyah sejak mulai
berdirinya membangun sekolah-sekolah/madrasah-madrasah dan mengadakan
tabligh-tabligh, bahkan menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah yang
berdasarkan Islam.
Dibawah ini akan disebutkan lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan
oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya yang tertua dan memiliki
jasa yang besar dalam mendidik masyarakat Indonesia, diantaranya ialah:
1. Kweekschool Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Muallimin Muhammadiyah, Solo, Jakarta.
3. Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta.
4. Zuama/Zaimat Yogyakarta.
5. Tabligschool Yogyakarta.
6. Kulliyah Muballighin/Muballighat Padang Panjang (Sumatera
Tengah).
195
7. HIS Muhammadiyah Yogyakarta.
Selain itu, banyak lagi HIS Muhammadiyah, Mulo, AMS Muhammadiyah,
Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah/Wustha Muhammadiyah, dan lain-lain.
Semuanya itu didirikan pada masa penjajahan Belanda dan Pendudukan Jepang
dan tersebar pada tiap-tiap cabang Muhammadiyah seluruh kepulauan Indonesia.
Pada masa Indonesia merdeka, Muhammadiyah mendirikan sekolah-
sekolah/madrasah-madrasah berlipat-lipat ganda banyaknya dari masa penjajahan
Belanda dahulu. Madrasah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan
Muhammadiyahnya pada masa kemerdekaan adalah sebagai berikut:151
No. Sekolah Jumlah
1. Madrasah Ibtidaiyah 412 buah
2. Madrasah Tsanawiyah 40 buah
3. Madrasah Diniyah (Awaliyah) 82 buah
4. Madrasah Mu’allimin 73 buah
5. Madrasah Pendidikan Guru Agama 75 buah
Jumlah 692 buah lembaga
Tabel 2. Data Sekolah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan
Selain sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan yang
konsentrasi pada materi-materi keagamaan, banyak juga sekolah-sekolah umum
oleh K.H. Ahmad Dahlan bersama Muhammadiyahnya, seperti:
No. Sekolah Jumlah
1. Sekolah Rakyat 445 buah
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) 230 buah
151 BP3K, Sejarah Pendidikan Swasta di Indonesia: Pendidikan Muhammadiyah, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976), hlm.112-115.�
196
3. Sekolah Menengah Atas (SMA) 30 buah
4. Sekolah Taman Kanak-Kanak 66 buah
5. SGB 69 buah
6. SGA 16 buah
7. Sekolah Kepandaian Putri 9 buah
8. Sekolah Menengah Ekonomi Pertama 3 buah
9. Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak 2 buah
10. Sekolah Menengah Ekonomi Atas 1 buah
11. Sekolah Guru Kepandaian Putri 1 buah
12. Sekolah Guru Pendidikan Jasmani 1 buah
13. Sekolah Pendidikan Kemasyarakatan 1 buah
14. Sekolah Puteri Aisyiyah 1 buah
15. Fakultas Hukum dan Falsafat 1 buah
16. Perguruan Tinggi Pendidikan Guru 1 buah
Jumlah 877 buah
Tabel 3. Data Sekolah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan
Jumlah semua Madrasah dan sekolah Muhammadiyah adalah 1569 buah.
Sekolah-sekolah umum dan perguruan tinggi umum yang didirikan oleh K.H.
Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya diberikan pelajaran agama Islam.
Karena dengan memberikan pelajaran agama Islamlah masyarkat Indonesia
menjadi sadar bahwa manusia diciptakan Tuhan dan akan kembali kepada sang
pencipta.
197
Data di atas belum termasuk taman kanak-kanak/raudhatul athfal yang
ribuan banyaknya. Hal ini menggambarkan bahwa keterlibatan K.H. Ahmad
Dahlan dan Muhammadiyah dalam pengembangan pendidikan di Indonesia
memiliki akses yang cukup besar bagi masyarakat Indonesia. Angka partisipasi
dibidang pendidikan dapat menjadi modal yang signifikan bagi kemampuaan
Muhammadiyah untuk mengambil inisiatif bagi pelibatan berbagai organisasi
kemasyarakatan (Ormas), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), penyelenggara
pendidikan, serta menjadi modal bargaining position terhadap pemerintah.
Keluasan jaringan, jenjang pendidikan yang dikelola, serta integrasinya beberapa
jenjang pendidikan akan berpengaruh besar untuk meningkatkan partisipasi
pengembangan masyarakat menuju masyarakat madani.
Perlu kiranya kembali ditegaskan, bahwa semua lembaga-lembaga
pendidikan yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan lewat Muhammadiyah
merupakan pengejawantahan dari pemikiran pendidikan Islam yang selama ini
digelutinya. Semua lembaga pendidikan Islam dan umum bertujuan untuk
menyelamatkan umat Islam dari pemikiran yang statis karena terkena hegemoni
dari penjajah Belanda dan Jepang agar kemudian mampu berfikir kritis, sitematis,
serta dinamis sehingga terwujudnya peserta didik yang mampu tampil sebagai
ulama-intelek dan intelek-ulama yang memiliki khazanah keilmuan yang luas
dengan tetap berlandaskan pada ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-
Qur’an dan sunnah Rasul SAW.
Oleh karena itu, diharapkan semua lembaga pendidikan Islam beserta
elemen pelaksananya mampu merumuskan kembali beberapa dimensi-dimensi
198
pendidikan Islam itu sendiri, seperti meredefinisi pendidikan Islam, membuat
formulasi yang tepat mengenai tujuan pendidikan Islam yang disesuaikan dengan
kebutuhan zaman, serta mengembalikan kembali dasar ataupun landasan
pendidikan Islam kepada sumber pokok ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul SAW.
Dengan melakukan hal-hal yang sudah pernah dilakukan K.H. Ahmad
Dahlan seperti yang telah disebutkan di atas, maka dengan sendirinya pendidikan
Islam akan mengalami kejayaan seperti pada masa dulu. Sehingga pendidikan
Islam kembali diminati oleh masyarakat karena dipercaya akan mampu
mengantarkan perserta didik sesuai dengan harapan mereka, yakni memiliki
kedalaman spiritual. Keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan
professional yang siap tampil mengisi kekosongan-kekosongan yang selama ini
menjadi kebutuhan masyarakat.
2. K.H. Hasyim Asy’ari
Pembahasan konsep pendidikan sampai dewasa ini nampaknya belum
menghasilkan suatu perumusan yang mantap. Hal ini benar, dan kenyataan
tersebut disebabkan bukan saja oleh kompleksnya masalah pendidikan, melainkan
juga karena dunia pendidikan juga dituntut terus untuk memberikan jawaban baru
yang relevan terhadap perubahan sosial yang bergerak begitu cepat.
Sementara apresiasi pemikiran Islam, setidak-tidaknya sampai saat ini
ternyata masih banyak ditandai oleh dikotomi pemikiran antara warna Barat dan
Timur Tengah. Kondisi ini, kemudian menjadi potensi pemicu ‘perseteruan’ yang
hebat di kalangan pemikir Islam. Hal semacam itu sesungguhnya menjadi sah-sah
199
saja, bila itu dijadikan sebagai wahana dinamisasi pemikiran Islam. Tetapi
menjadi terlalu naif bila ternyata yang nampak adalah proses pengkafiran satu
sama lain.
Perseteruan semacam ini sangatlah merugikan, sebab sikap tersebut
mempertentangkan secara dikotomik terhadap tradisi dan modernisasi. Semata-
mata mengandalkan pada adekuasi tradisi, akan menjadikan umat Islam
terperangkap pada sikap tradisionalisme, yang akan mengisolasi umat Islam dari
proses dinamika zaman. Lebih dari itu, sikap yang demikian akan menjadikan
Islam kehilangan elan vitalnya dalam berdialektika dengan perkembangan
eksternal. Sebaliknya, sikap berlebihan dalam menerima modernisasi akan
mengakibatkan umat Islam tercerabut dari akar tradisinya.
Misalnya, membagi pengetahuan ke dalam pengetahuan yang filosofis-
intelektual dan pengetahuan yang diturunkan. Walaupun pembagian ini tidak
lantas harus dipahami sebagai fragmentasi atau keterpecahan pengetahuan, akan
tetapi dalam kenyataannya, pembagian tersebut telah menciptakan polarisasi
pemikiran ke dalam dua arus pemikiran besar (mainstream) yang saling
kontradiktif, yakni agamis dan sekular.
Dalam perkembangannya, pendidikan Islam telah melahirkan dua pola
pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik
pada aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun,
sebagai akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa
terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud
adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dan pendidikan Islam yang
200
bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam
perkembangannya lebih menekankan pada aspek doktriner normatif yang
cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis,
lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh mendasarnya. Tentu saja
semua faktor kelemahan tradisi ilmiah di kalangan Muslim tidak tampil secara
merata pada semua periode pemikiran dan kelompok ilmuwan. Namun, pada
umumnya bebannya masih sangat terasa dewasa ini. Jika ini terjadi, secara
teoretis, pendidikan Islam tidak akan pernah mampu memberikan jawaban
terhadap tuntutan liberasi, dan humanisasi.152
Dua corak yang dimaksud di atas dapat disimpulkan seperti yand sedang
ada dalam pembahasan karya ini, dimana corak pendidikan Islam yang trdisionalis
diwakili oleh K.H. Hasyim Asy’ari, sedangkan corak pendidikan Islam yang
modernis diwakili oleh K.H. Ahmad Dahlan yang sudah dibahas dalam paragraf
sebelumnya. Kedua corak tersebut pada hakikatnya tidak mengalami dikotomi
yang lebar, karena pada substansi pelaksanaannya, kedua corak lembaga
pendidikan Islam tersebut mempunyai visi yang sama.
K.H. Hasyim Asy’ari selaku salah satu yang mewakili model pendidikan
Islam yang lebih cenderung dengan budaya-budaya dan nilai-nilai tradisional
banyak memberikan ide dan gagasan untuk mewujudkan pendidikan yang selama
ini diidamkan oleh Islam itu sendiri dan serta mampu menjawab tantangan zaman.
Dari itulah K.H. Hasyim Asy’ari merasa terpanggil dan menjadi tanggung jawab
sejarah untuk mengembalikan kejayaan pendidikan Islam.
152 Prof. Dr. H. Faisal Ismail, MA, Masa Depan Pendidikan Islam di Tengah Kompleksitas Tantangan Modernitas, (Jakarta: PT. Bhakti Aksara Persada, 2003), hlm. 98-97.
201
K.H. Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan
pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung di
dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua yang
dialami dan dirasakan beliau selama itu menjadi pengalaman dan mempengaruhi
pola pikir dan pandangannya dalam masalah-masalah pendidikan. Salah satu
karya monumental Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah
kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al
Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat
Ta’limih.153
Pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih beliau tekankan pada
masalah etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek
pendidikan lainnya, seperti mendefinisikan kembali pendidikan Islam,
merumuskan tujuan pendidikan Islam, serta mengembalikan Al-Qur’an dan hadis
sebagai dasar atau landasan pendidikan Islam. Beliau mengungkapkan bahwa
Pendidikan Islam hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju
kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam
hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan
norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat
Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus
berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
Menurut K.H. Hasyim Asy’ari, Pendidikan mempunyai peran besar sekali
untuk menimbulkan perubahan pada diri umat Islam. Melalui pendidikan dapat
153 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), hlm. 45.
202
dibentuk kondisi mental yang lebih kondusif untuk mengembangkan kebangkitan
moral-spiritual yang dikehendaki. Demikian pula penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi dapat diusahakan melalui pelaksanaan pendidikan yang tepat.
Namun harus pula disadari bahwa hasil dari proses pendidikan baru terasa secara
sungguh-sungguh setelah berlalunya satu generasi. Oleh karena Kebangkitan
Islam sekarang sudah berjalan maka pendidikan harus dibarengi dengan
terbentuknya kepemimpinan yang dapat menjalankan proses perubahan tersebut
sejak sekarang. Bahkan Kepemimpinan itu sangat penting untuk menimbulkan
proses pendidikan yang diperlukan.
Demikian sebagian dari pemikiran mengenai pendidikan yang dikemukan
oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Kelihatannya pemikiran tentang pendidikan ini sejalan
dengan apa yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Imam Ghazali, misalnya
saja, K.H. Hasyim Asy’ari mengemukakan bahwa tujuan utama pendidikan itu
adalah mengamalkannya, dengan maksud agar ilmu yang dimiliki menghasilkan
manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Imam Ghazali juga
mengemukakan bahwa pendidikan pada prosesnya haruslah mengacu kepada
pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani. Oleh karena itu tujuan
pendidikan menurut al-Ghazali adalah “tercapainya kemampuan insani yang
bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang
bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat”. Dan senada pula dengan pendapat
Ahmad D. Marimba bahwa, “pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara
sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik
menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.
203
Proses pendidikan meliputi banyak sekali segi dan sebenarnya setiap
kegiatan manusia mengandung unsur pendidikan. Namun secara umum dapat
dikatakan bahwa pendidikan meliputi sistem sekolah dan pendidikan luar sekolah.
Dua hal itu harus saling mendukung untuk mencapai hasil yang optimal. Dalam
pendidikan luar sekolah yang amat besar perannya adalah pendidikan di
lingkungan keluarga. Sebab di lingkungan keluarga manusia lahir dan tumbuh di
masa yang paling menentukan bagi pembentukan kepribadiannya.
Dalam rangka memajukan masyarakat yang masih terbelakang yang
disebabkan kurangnya pendidikan yang memadai untuk membentuk masyarakat
yang mempunyai akhlak yang mulia, maka K.H. Hasyim Asy’ari bersama NU
sebagai organisasi sosial keagamaan yang lahirnya dari pesantren mencoba untuk
memajukan masyarakat melewati jalur pendidikan. Tidak heran jika kehadiran
pesantren sebagai basis atau sumber yang mampu menyediakan tenaga-tenaga
untuk menjadi dua fungsi yaitu Ualam dan politisi. Beberapa ulama dan politisi
direkrut dari pesantren-pesantren baik untuk kepengurusan NU ditingkat lokal
maupun ditingkat pusat.154
Sekitar tahun 1938 (1356 H), komisi perguruan NU berhasil melahirkan
reglemen tentang susunan Madrasah-Madrasah NU yang harus dijalankan mulai
tanggal 2 Muharram 1357 H). Adapun susunan Madrasah tersebut yaitu:
1. Madrasah Awaliyah dengan lama belajar 2 tahun
2. Madrasah Ibtidaiyah dengan lama belajar 3 tahun
3. Madrasah Tsanawiyah dengan lama belaar 3 tahun
154 Drs. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1995), hlm.111
204
4. Madrasah Muallimin Wustha dengn lama belajar 2 tahun
5. Madrasah Muallimin Ulya dengan lama belajar 3 tahun.155
Dewasa ini K.H. Hasyim Asy’ari dan NU bergerak di bidang sosial dan
pendidikan Islam menurut faham yang diyakini, yaitu Ahlusunnah Waljama’ah.
K.H. Hasyim Asy’ari dan NU mempunyai sekolah umum dari tingkat TK sampai
perguruan tinggi. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran formal, K.H. Hasyim
Asy’ari dan NU membentuk salah satu bagian khusus yang menanganinya, yaitu
yang disebut Ma’arif, bertugas untuk membuat perundangan dan program
pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang berada dalam
naungan NU.
Berdasarkan hasil rapat kerja Ma’arif yang dielenggarakan pada tahun
1978, disebutkan tentang program-program kerja Ma’arif antara lain:
1. Pemantapan sistem Pendidikan Ma’arif yang meliputi:
a. Tujuan Pedidikan Ma’arif
1) Menumbuhkan jiwa pemikiran dan gagasan yang dapat
membentuk pandangan hidup bagi anak didik sesuai dengan
ajaran ahlussunnah wal jamaah
2) Menanamkan sikap terbuka, watak mandiri, kemampuan bekerja
sama dengan pihak untuk lebih baik, keterampilan untuk
menggunakan ilmu dan teknologi, uang kesemuanya dalah
perwujudan pengabdian diri kepada Allah
155 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (JJakarta: Darma Bhakti, 1985), cet. Ke-2, hlm. 242.
205
3) Menciptakan sikap hidup yang berorientasi kepada kehidupan
duniawi dan ukhrawi sebagai sebuah kesatuan
4) Mananamkan penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama
Islam sebagai ajaran yang dinamis.156
b. Penataan kembali orientasi pendidikan Ma’arif, dari orientasi
pencapaian pengetahuan scholastik yang diakhiri dengan
pembagian ijazah, ke orientasi kemampuan melakukan kerja nyata
dalam bidang kemanusiaan dan kemasyarakatan
c. Mengkaitkan pelajaran agama di sekolah-sekolah Ma’arif dengan
persoalan-persoalan hukum, lingkungan hidup, solidaritas sosial,
wiraswasta dan sebagainya
d. Mengembangkan watak kultural ke-NU-an
e. Secara makro, memberikan porsi yang lebih besar terhadap
pendidikan non-formal.
2. Peningkatan organisasi Ma’arif
3. Penyediaan data dan informasi tentang sekolah-sekolah Ma’arif
4. Penerbitan
5. Peningkatan mutu guru Ma’arif.157
Usaha-usaha NU di bidang pendidikan Islam memang cukup
menggembirakan. Nu mempunyai banyak pondok pesantren madrasah yang
tersebar di eluruh pelosok tanah air, terutama pada umumnya di daerah pedesaan.
156 Drs. Hasbullah, op., Cit.,, hlm. 111-112 157 Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN, (Jakarta, _________, 1986), hlm. 36.
206
Di samping itu NU juga memiliki sekolah umum dai tingkat Taman kanak-kanak
(TK) sampai tingkat Perguruan Tinggi (PT).
Berdasarkan data tahun 1981, jumlah lembaga pendidikan yang dikelolah
NU ini adalah sebagai berikut:
1. Pondok Pesantren dengsn jumlsh 3.745 buah
2. Madrasah dengan jumlah 18.938 buah
3. Sekolah umum dengan jumlah 3.102.158
Dari data tersebut belum termasuk perguruan tingginya, dan untuk
pesantren pun yang tercatat hanya di Jawa. Padahal tidak sedikit pesantren-
pesantren NU yang berada di luar Pulau Jawa. Sedangkan untuk kondisi sekarang,
tentu saja lembaga pendidikan NU terus bertambah.
Dari gambaran dan data yang sudah terpaparkan di atas, maka sudah
sangatlah jelas bahwa pendidikan merupakan ruh dari sebuah peradaban bangsa.
Dengan mengutamakan pendidikan, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang
beradab. Tidak terkecuali pola fikir K.H. Hasyim Asy’ari. Dimana hampir dari
separuh hidupnya digunakan untuk memikirkan dan menberikan sumbangsi atas
terwujudnya pendidikan Islam yang ideal bersama Nahdlotul Ulama.
Semua lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh K.H. Hasyim
Asy’ari bersama NU bertujuan untuk mencetak peserta didik yang mampu
mndekatkan diri kepada Allah SWT., agar mendapatkan kebahagian di dunia dan
akhirat yang tentunya dengan tetap berlandaskan dengan pokok ajaran Islam,
yakni Al-Quran dan sunnah Rasul SAW.
158 Pengurus Besar Nahdlotul Ulama, Program dasar Pembangunan NU 1979-1983 Dalam Rancangan Materi Muktamar NU ke-26, hlm. 109.
207
Dengan menggunakan konsep yang dikemukakan oleh K.H. Hasyim
Asy’ari, mulai dari mendefinisikan pendidikan Islam, merumuskan tujuan
pendidikan Islam dan dasar atau landasan pendidikan Islam yang berpijak pada
Al-Qur’an dan Hadis maka diharapkan pendidikan Islam mampu mencetak
peserta didik yang memiliki pengetahuan yang laus sebagai tuntutan
perkembangan zaman serta dilandasi dengan kuatnya nilai-nilai keagamaan yang
melekat pada diri peserta didik agar kemudian mampu mengabdikan dirinya untuk
Negara dan agama.
208
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan Demikianlah hasil pembahasan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.
Hasyim Asy’ari tentang pendidikan Islam. Dari hasil penelitian di atas, rasanya
tidak ada yang menafikan arti dan makna pentingnya pendidikan Islam. Hampir
semua orang akan sepakat bahwa pendidikan itu memiliki manfaat yang besar
dalam kehidupan manusia. Banyak pihak yang meyakina bahwa pendidikan
merupakan instrument yang paling penting skaligus yang paling strategis untuk
mencapai tujuan individual maupun sosial. Jika seorang individu membangun
mimpi-mimpi masa depan yang indah dan menjanjikan dalam kehidupannya,
maka ia membutuhkan alat bantu untuk mewujudkannya. Alat yang dimaksud
dalam hal ini adalah dengan dan melalui pendidikan. Dengan pendidikan yang
melewati jenjang sekolah yang akan memberikan peluang besar untuk
mencapainnya dan mewujudkannya. Sebab sekolah lebih sistematis dan terpola
untuk dapat tercapainya mimpi-mmimpi tersebut.
Selanjutnya kesimpulan mengenai pendidikan Islam yang sudah
dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:
1. Definisi pendidikan Islam. K.H. Ahmad Dahlan berpendapat, bahwa
pendidikan Islam merupakan sarana dan upaya yang strategis dalam
rangkan menyelamatkan umat Islam dari kungkungan pemikiran statis
menuju kemerdekaan berfikir yang dinamis. Sedangkan menurut K.H.
Hasyim Asy’ari pendidikan Islam merupakan sarana atau upaya sadar
yang dilakukan manusia dalam rangka ingin mengetahuai
209
kemanusiaannya, sehingga dapat memahami hakikat Tuhan menciptakan
dirinya serta sesuatu yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya sebagai
makhluk Tuhan dan khalifah di muka bumi.
2. Tujuan Pendidikan Islam. Daalam pandangan K.H. Ahmad Dahlan, tujuan
pendidkan Islam adalah melahirkan manusia-manusia baru yang siap
tampil sebagai insan ulama-intelek dan intelek-ulama, yakni manusia baru
yang memiliki keteguhan iman dan pengetahuan agama yang begitu luas
serta memiliki keterampilan dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya,
dan juga kuat jasmani dan ruhaninya. Sedangkan tujuan pendidikan Islam
menurut K.H. Hasyim Asy’ari adalah menciptakan manusia yang selalu
berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah agar mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yakni melahirkan manusia yang
dalam kehidupannya selalu dan setiap saat ingat kepada Tuhan yang
menciptakannya serta menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
khalifah yang diciptakan oleh Tuhan di muka bumi.
3. Dasar atau landasan pendidikan Islam. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.
Hasyim Asy’ari bersepakat bahwa dasar atau landasan pendidikan Islam
harus kembali pada sumber primer umat Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadis
(sunnah Rasul).
Dari ketiga dimensi pendidikan yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad
Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, maka terlihat persamaan dan perbedaan
pandangan kedua tokoh besar tersebut. K.H. Ahmad Dahlan cenderung bercorak
pembaharuan sosial, sedangkan K.H. Hasyim Asy’ari dengan tetap
210
mempertahankan budaya dan nilai-nilai tradisional yang telah dimiliki Islam dan
Indonesia.
Dengan definisi, tujuan dan dasar atau landasan pendidikan Islam yang
dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari diharapakan
lembaga pendidikan mendapatkan kepercayaan lagi dari masyarakat dalam rangka
mengemban amanah untuk menumbuhkan dan menggerkkan potensi dasar yang
dimiliki peserta didik dengan tetap tidak meninggalkan nilai-nilai dan norma-
norma yang terdapat pada ajaran Islam.
B. Saran Makna penting pendidikan sudah diketahui oleh sebagian besar orang.
Akan tetapi kesadaran untuk menjadikan pendidikan sebagai bagian yang tidak
bias terpisahkan dari kehidupan manusia masih menjadi agenda besar yang harus
terus menerus diperjuangkan. Sebab, kesadaran itu baru tumbuh di sebgaian kecil
kalangan masyarakat. Sementara sebagian besarnya masih memahami pendidikan
sebagi sebatas formalitas sekolah sampai jenjang tertentu.
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa kharismatik K.H. Ahmad Dahlan dan
K.H. Hasyim Asy’ari sangat diakui dalam dunia internasional, khususnya Islam.
Kontribusi terhadap perkembangan dunia pendidikanIsla di Indonesia sudah tidak
diragukan lagi. Hal ini menunjukan dan memberikan kesadaran bagikaum
akademis untuk memperluas khazanah keilmuan, maka barang tentu kedua tokoh
tersebut harus dikaji dan diteliti lebih mendalam. Oleh karena itu, dalam proses
pengkajian dan penelitian kedua tokoh besar tersebut, penulis memberikan saran-
saran yang kiranya patut dipaparkan sabagi berikut:
211
Pertama, terkait dengan karya asli yang ditulis oleh K.H. Ahmad Dahlan,
spanjang pengetahuan penulis, K.H. Ahmad Dahlan tidak menuangkan idea tau
gagasannya dalam bentuk kitab ataupun buku, hanya saja ditulis dalam media
cetak, yang ini dirasa menjadi kesulitan tersendiri bagi penulis. Sedangkan karya
asli yang ditulis oleh K.H. Hasyim Asy’ari berbentuk kitab yang bebahasa Arab,
oleh karena itu penulis juga sedik merasa kesulitan untuk memhami isi dan
maksud dari teks asli tersebut. Oleh karena, dalam pengkajian dan penelitian
penulis menggunakan literatus-literatur yang ditulis oleh tokoh lain yang
menggambarkan biografi lengkap dengan pola pemikirannya. Karenanya, dalam
penelitian selanjutnya mampu mendapatkan karya asli baik itu daalam bentuk
kitab, buku ataupun tulisan dimedia cetak, sehingga isi dan substansi dari tulisan
tersebut sudah tidak perlu diragukan lagi dan harus ditambahi dengan bahasa yang
sederhana tetaoi ilmiah agar kemudian steiap kalangan dapat membaca tulisan
tersebut.
Kedua, besar keyakinan penulis tentang konsepsi pendidikan Islam yang
dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari masih sangat
relevan untuk dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalm rangka
mendefinisikan, merumuskan serta mendasarka pendidikan Islam pada Al-Qur’an
dan Hadis. Meskipun kemajuan teknologi hari ini menjadi sebuah kewajiban yang
harus dikonsumsi oleh masyarakat, akan tetapi bagaiman kemudian elemen
pelaksana pendidikan tetap mampu menumpangkan serta mendasakan aktivitas
teknologi informasi yang berbasis pada nilai-nilai Islam.
212
Oleh kerena itu, pemberian doktrin kepada peserta didik akan pentingnya
melaksanakan pendidikan yang berbasis teknologi informasi dengan tetap
memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma Islam akan mampu menjadikan
lembaga pendidikan yang memiliki dua keunggulan, dimana pserta didik memiliki
pengethuan yang luas berbasis teknologi informasi, ditambah dengan keagungan
kahlak yang sangat tinggi.
Ketiga, penelitian ini masih sangtlah luas, karena hanya dapat mencakup
tiga dimensi dalam pendidika Islam yang dikemukakan sesuai dengan pandangan
K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, yakni definisi pendidikan Islam,
tujuan pendidikan Islam, dan dasar atau landasan pendidikan Islam, maka untuk
peneliti selanjutnya yang berkeinginan melakukan pengkajian dan penelitian
tentang K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim asy’ari diharapkan mampu
menyajikan semua dimensi pendidikan Islam, seperti definisi, tujuan, dasar tau
landasan, pendidik, peserta didik, materi, evalusi, dan sarana prasarana dalam
pendidikan yang dikemukakan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim
Asy’ari.
Dengan begitu, maka nilai-nilai dan substansi dari pemikiran kedua tokh
tersebut benar-benar dapat terealisasikan dalam lembaga-lembaga pendidikan,
karena memang konsep pendidikan yang disampaikan oleh K.H. Ahmad Dahlan
dan K.H. Hasyim Asy’ari masih relevan untuk diterapkan dalam lembaga
pendidikan.
Terakhir, perlu diakui bahwa meskipun meskipun Barat mempunyai tokoh
atau pakar dalam pendidika, namun Islam Indonesia pun tidak ketinggalan. Dan
213
hal itu terbukti, dengan kehadiran K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari
wajah pendidikan Islam di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dan
fundamental. Oleh karena itu, sebagai kaum akademis yang berlatar belakang
Islam Indonesia harus memiliki hasrat yang tinggi untuk kemudian menggali lebih
dalam kembali pemikiran-pemikiran tokoh Islam Indonesia, termasuk K.H.
Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari.
214
DAFTAR PUSTAKA
Abdussami, Humaidy dan Ridwan Fakla AS, 1995. Biografi 5 Rois ‘Am Nahdlotul
Ulama, Yogyakarta: LTn-NU & Pustaka Pelajar.
Arikunto, Suharsimi. 1995. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. Rieneka Cipta
Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik,
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Arifin, Muzayyin, 2005, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara
Bungin, Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis
Kea Rah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Dhofier, Zamarkhasi, 1995. K.H. Hasyim Asy’ari: Penggalang Islam Tradisional,
Yogyakarta: LTn-NU & Pustaka Pelajar.
Djaja, Tamar, 1966. Pustaka Indonesia: Riwayat Hidup Organ-organ Tanah Air,
Jakarta: Bulan Bintang.
Djumransjah, Muhammad. 2004. Filasafat Pendidikan. Malang: Bayumedia
Publishing
Djumhur, I dan H. Dana Saputra, 1976. Sejarah Pendidikan, cet. Ke-IX, Bandung:
CV Ilmu
Fajar, A Malik, 1998, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarta: LP3NI
Freire, Paulo. 2005. Pedagogi Pengharapan. Yogyakarta: KANISIUS
Hasan, Muhammad Tolhah. 2001. Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan
Islam. Jakarta: Lantabora Press
Hasan, M Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian Dan
Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia
215
Hamzah, Amir, 1965. Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah dalam Masa
Pembaharuan Semesta, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Hitami, Munzir. 2004. Mengonsep Kembali Pendidikan Islam. Yogyakarta: LKiS
Idris, Muhammady, 1975. Kyai Haji Ahmad Dahlan: Hislife and Thounght.
M.A.thesis, McGill University.
Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan, 2001, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV.
Pustaka Setia
Jainuri, A, 1981. Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal
Abad ke-20, Surabaya: Bina Ilmu
Kamal, Musthofa, 1976 . Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta:
Persatuan.
Karim, M. Rusli. 1991. Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Social
Budaya, dalam Buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan
Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana
Langgulung, Hasan. 1980. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam.
Bandung: Al-Ma'arif
Majid, Abdul., Dian Andayani. 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi Konsep Dan Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Marimba, Ahmad D. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-
Ma'arif
Margono, S, 2005, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta
216
Mendiknas. 2006. Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003
Tentang SISDIKNAS. Bandung: Citra Umbara
Mendiknas. 1999. Undang-undang Republik Indonesia nomor 02 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
rosdakarya. cet. Ke-20
Mujib, Abdul., Jusuf Mudzakir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Mulaiwan, Jasa Ungguh. 2005. Pendidikan Islam Integratif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Mulyono. 2007. Desain Dan Pengembangan Pembelajaran PAI, Buku Diktat.
Malang: Tarbiyah
Mulkhan, Abdul Munir, 1994. Pesan-pesan Dua Pemimpin Besar Islam
Indonesia: Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Kyai Haji Hasyim Asy’ari.
Yogyakarta: LKPSM.
Musthofa, Yasin. 2007. EQ untuk Anak Usia Dini dalam Pendidikan Islam.
Jakarta: Sketsa
Nata, Abuddin. 1999. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Nugroho, Adi. 2010. KH. Ahmad Dahlan : Biografi Singkat 1869-1923.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Partanto, Puis A., M. Dahlan Al-Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Arloka
Ramayulis, 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
217
Rifai, Muhammad. 2010. KH. Hasyim Asy’ari : Biografi Singkat 1871-1947.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Rohinah. 2008. Sistem Nilai dan Pendidikan: Studi atas Pemikiran Pendidikan
K.H.M. Hasyim Asy’ari. Jakarta: Tesis UIN Syarif Hidatullah
Rukiati, Enung K dan Fenti Hikmawati, 2006, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, Bandung: Pustaka Setia
Soejono., Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Suatu Pemikiran Dan
Penerapan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Sukardi, Heru, 1985. Kiyai Hasyim Asy’ari: Riwayat Hidup dan Perjuangannya,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sukmadinata, Nana Syaodid, 2007, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Surahmad, Winarno. 1999. Dasar Dan Tehnik Research Pengantar Metodologi
Ilmiah. Bandung: Tarsito
Surachman, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik.
Bandung: Tarsita
Suryabrata, Sumadi. 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali
Suwendi, 2004, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
Suwito dan Fauzan, 2005, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana
218
Suyudi, Muhammad. 2005. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an Integrasi
Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani. Yogyakarta: Mikraj
Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosda
Karya
Zuhairini, dkk. 2000. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Top Related