KERAGAAN KONSUMSI PANGAN, STATUS KESEHATAN, TINGKAT DEPRESI DAN STATUS GIZI LANSIA PESERTA
DAN BUKAN PESERTA PROGRAM HOME CARE DI TEGAL ALUR, JAKBAR
Anne Puspitasari
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ABSTRACT
ANNE PUSPITASARI. Food Consumption, Health Status, Depression Level and Nutritional Status of Elderly Participant and Non Participants Home Care in Tegal Alur, West Jakarta. Under direction CLARA M KUSHARTO.
Home care is a service system which is used to overcome problems arising from the increasing number of elderly population, such as malnutrition. The purpose of this study was to identify food consumption, health status, depression level and nutritional status of elderly participants and non participants Home Care, as well as to analyze the relationship. A cross sectional study was conducted on elderly people aged 60 years and above in Tegal Alur, West Jakarta. A total of 60 elderly (30 participant and 30 non participants) were actively followed as participants. They were interviewed on demography and social economic status, one-month semi-quantitative food frequency questionnaire, health status, geriatric depression scale (GDS) short version, and assessed by anthropometric measures. Average level of adequacy energy, protein, calcium, phosphorus dan vitamin C of participant relatively lower than non participants (87,5% vs 95,5%; 80% vs 90%; 51,4% vs 59,2%; 104% vs 116,1% and 73,1% vs74,9%, respectively). The study showed that no significant difference in term food consumption, health status, depression level, and nutritional status between the elderly participant vs non participants. And as much as 63,3 % participant and 53,3% non participants experienced more than one type of health complaince and most of them are well nourished and not depressed. The statistical analysis with correlation test showed that health status of elderly significantly positive with the level of depression. While other variables such as duration of illness significantly negative with level of adequacy of energy, protein, minerals, and nutritional status. Percent RDA of energy, protein and minerals are positively associated with nutritional status. Key words: elderly, home care, health status
RINGKASAN
ANNE PUSPITASARI. Keragaan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan, Tingkat Depresi dan Status Gizi Lansia Peserta dan Bukan Peserta Program Home Care di Tegal Alur, Jakbar. Dibawah bimbingan CLARA M KUSHARTO.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia peserta dan bukan peserta program home care di Tegal Alur, Jakbar. Adapun tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi penyelenggaraan home care di Tegal Alur; 2) mengidentifikasi karakteristik lansia peserta dan bukan peserta home care; 3) membandingkan konsumsi pangan lansia peserta dan bukan peserta home care; 4) membandingkan status kesehatan lansia peserta dan bukan peserta home care, 5) membandingkan tingkat depresi lansia peserta dan bukan peserta home care; 6) membandingkan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care; 7) menganalisis hubungan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi, dan status gizi lansia. Penelitian dilakukan di Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat pada bulan September sampai November 2010 dengan menggunakan desain cross sectional study. Contoh dalam penelitian ini diambil secara purposive dengan kriteria inklusi lansia berusia 60 tahun atau lebih, tidak mengidap stroke atau gangguan ingatan (masih dapat mengingat kejadian lampau dengan cukup baik), dapat berkomunikasi dengan baik, dan bersedia diwawancara sebagai responden. Jumlah contoh dalam penelitain ini adalah 60 orang lansia, masing-masing 30 orang untuk lansia peserta dan bukan peserta home care.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder yang dikumpulkan melalui wawancara dan pengukuran langsung. Data primer meliputi data karakteristik responden (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan, status pernikahan, living arrangement), konsumsi pangan, status kesehatan (keluhan kesehatan, lama sakit, frekuensi sakit, dan tindakan pengobatan) sebulan terakhir, tingkat depresi satu minggu terakhir dan data status gizi. Data sekunder meliputi pelaksanaan home care di Tegal Alur. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell 2007 dan SPSS for Windows versi 16.
Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan dan perawatan lanjut usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lansia lansia yang rentan, sakit, kesepian, dan tinggal sendiri dengan mengutamakan peran masyarakat berbasis keluarga. Proses/ tahapan penyelenggaraan home care di Tegal Alur meliputi sosialisasi, seleksi calon pendamping, pemantapan pendamping, pendataan lansia calon penerima layanan, implementasi program serta monitoring, evaluasi dan pelaporan. Pelayanan yang diberikan berkembang tiap tahunnya, tahun 2004 pelayanan yang diberikan hanya pelayanan sosial berupa kunjungan pendamping 1x/minggu kemudian berkembang pada tahun 2009 dengan program pelayanan kesehatan, ramah lansia, senam lansia, pemberian sembako 1x/bulan dan pinjaman modal UEP (Usaha Ekonomi Produktif). Tahun 2010, bantuan JSLU (Jaminan Sosial Lanjut Usia) dari Depsos dan perbaikan kamar lansia dari PT Sido Muncul dapat dilaksanakan.
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar lansia peserta dan bukan peserta berada pada kelompok usia lanjut (60-74 tahun) berjenis kelamin perempuan. Persentase terbesar tingkat pendidikan lansia peserta dan bukan peserta adalah tidak pernah sekolah. Sebagian besar lansia peserta dan bukan peserta tidak bekerja dengan sumber pendapatan utama diperoleh dari anak.
Status pernikahan lansia peserta dan bukan peserta sebagain besar berstatus cerai mati sehingga lansia lebih banyak yang tinggal bersama keluarga.
Lansia pada kedua kelompok mengonsumsi nasi lebih dari satu kali dalam 1 hari dengan lauk tempe dan tahu. Pangan sumber protein hewani, sayur-mayur dan buah-buahan hanya dikonsumsi secara mingguan oleh lansia pada kedua kelompok. Jenis pangan lainnya yang dikonsumsi satu kali dalam satu hari adalah kopi (lansia peserta) dan bakwan (lansia bukan peserta).
Rata-rata konsumsi nasi pada lansia bukan peserta home care (386,7 gram/hari) jumlahnya lebih banyak dibandingkan lansia peserta home care (375 gram/hari) dengan lauk tempe dan tahu. Ikan basah, telur, dan susu dikonsumsi sebagai protein hewani yang terbesar jumlahnya dikonsumsi. Sayur berdaun hijau dan sayur lain dikonsumsi dengan kuantitas terbesar. Buah-buahan yang dikonsumsi dengan kuantitas terbesar adalah mangga (198,4 g/minggu) pada lansia peserta dan pepaya (298,6 g/minggu) pada lansia bukan peserta. Selain itu, pangan lainnya yang dikonsumsi dengan kuantitas terbesar pada lansia peserta dan bukan peserta adalah bakwan.
Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein lansia peserta temasuk defisit tingkat ringan dan normal pada lansia bukan peserta. Tingkat kecukupan kalsium pada kedua kelompok termasuk dalam kategori kurang, sedangkan tingkat kecukupan fosfor pada kedua kelompok cukup. Tingkat kecukupan vitamin A pada kedua kelompok cukup, sedangkan tingkat kecukupan vitamin C termasuk dalam kategori kurang. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata tingkat kecukupan gizi antara kedua kelompok (p>0,05).
Lebih dari separuh lansia peserta (63,3%) dan bukan peserta (53,3%) mengalami lebih dari satu jenis keluhan kesehatan dalam satu bulan terakhir. Uji Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata keluhan kesehatan yang dialami lansia peserta dan bukan peserta (p>0,05). Jenis penyakit infeksi yang paling banyak diderita lansia peserta dan bukan peserta adalah ISPA (infeksi saluran pernapasan akut). Penyakit non infeksi yang paling banyak diderita lansia peserta adalah hipertensi, katarak dan rematik, sedangkan pada lansia bukan peserta adalah hipertensi, asam urat dan maag. Jenis keluhan yang paling banyak dirasakan lansia peserta dan bukan peserta adalah pegal-pegal. Rata-rata lama sakit terpanjang pada lansia peserta adalah penyakit ISPA, sedangkan pada lansia bukan peserta adalah TBC. Frekuensi sakit yang paling sering diderita dalam satu bulan terakhir, baik oleh peserta maupun bukan peserta adalah demam. Berdasarkan tindakan pengobatan, persentase terbesar lansia peserta memilih pergi ke puskesmas, sedangkan lansia bukan peserta memilih untuk menggunakan obat warung dalam mengatasi gangguan kesehatan yang dialami.
Menurut kategori tingkat depresi, sebanyak 73,3% lansia peserta dan 66,7% lansia bukan peserta tergolong kategori normal. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) tingkat depresi pada kedua kelompok. Bagian terbesar status gizi lansia peserta (46,7%) dan lansia bukan peserta (56,7%) berstatus gizi normal. Hasil uji T menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) status gizi pada kedua kelompok.
Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan negatif antara lama sakit infeksi dengan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor. Artinya semakin lama durasi sakit maka tingkat kecukupan kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor semakin rendah. Terdapat hubungan yang nyata dan positif antara keluhan kesehatan dengan tingkat depresi. Artinya semakin banyak keluhan kesehatan yang dialami maka tingkat depresi akan semakin tinggi. Tetapi tidak
terdapat hubungan yang nyata antara tingkat depresi dengan tingkat kecukupan zat gizi. Terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor dengan status gizi. Artinya semakin tinggi tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor maka status gizi akan semakin tinggi. Terdapat hubungan yang nyata dan negatif antara lama sakit infeksi dengan status gizi.
KERAGAAN KONSUMSI PANGAN, STATUS KESEHATAN, TINGKAT DEPRESI DAN STATUS GIZI LANSIA PESERTA
DAN BUKAN PESERTA PROGRAM HOME CARE DI TEGAL ALUR, JAKBAR
ANNE PUSPITASARI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Judul : Keragaan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan, Tingkat Depresi dan Status Gizi Lansia Peserta dan Bukan Peserta Program Home Care di Tegal Alur, Jakbar
Nama : Anne Puspitasari NIM : I14061204
Disetujui :
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Drh. Clara M. Kusharto, M.Sc NIP 19510719 198403 2 001
Diketahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulisan skripsi yang berjudul “Keragaan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan,
Tingkat Depresi dan Status Gizi Lansia Peserta dan Bukan Peserta Program
Home Care di Tegal Alur, Jakbar” dilakukan sebagai salah satu syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. drh. Clara M Kushatro, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing dan
mengarahkan penulis selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi.
2. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pemadu seminar dan penguji
atas masukan dan kritikan yang telah diberikan.
3. Dra. Eva A. J. Sabdono, MBA selaku ketua Yayasan Emong Lansia (YEL)
beserta staff lainnya, terutama Ibu Dida Soerodjo, yang telah memberikan
izin penulis untuk melakukan penelitian
4. Drs. Sofyan Manurung selaku koordinator lapang YEL, Ibu Suciati selaku
koordinator pendamping, ibu-ibu pendamping home care yang telah
membantu kelancaran penelitian serta para lansia yang telah bersedia
diwawancarai.
5. Bapak, mamah, adik, kakak serta keluarga tercinta atas doa, dukungan
dan nasihat yang tiada henti diberikan.
6. Fitria Dwinanda dan Sulastri yang telah meluangkan waktu dan
membantu penulis saat pengambilan data.
7. Karlina, Merita, Siti Masturoh dan Lutfhi selaku pembahas seminar
8. Teman-teman Pondok Assalamah (Mba Tatik, Dewi, Ninda, Evi, Siti, Mey,
Mai, Fathin, Ayu) yang telah memberikan dukungan dan bantuannya
selama penulisan skripsi serta terima kasih atas kehangatan seperti
keluarga yang telah dihadirkan selama kebersamaan kita.
9. Bebeh-bebeh (Hany, Fitri, Yessica, Mpie) dan teman seperjuangan
(Andris, Arina) atas doa, dukungan dan bantuan selama ini, semoga
persaudaraan kita selalu terjaga.
10. Teman – teman Gizi Masyarakat 43 atas segala dukungan yang telah
diberikan serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu
yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis
berharap penelitian ini dapat memberikan informasi baru dan bermanfaat bagi
semua.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Bogor, Mei 2010
Anne Puspitasari
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 9 Mei 1988. Penulis
merupakan anak ke empat dari lima bersaudara dari keluarga Bapak Dede
Setiawan dan Ibu Ai Sumiati. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1994 – 2000
di SDN Tarogong 2. Penulis melanjutkan sekolah di SLTPN 1 Garut pada tahun
2000 – 2003. Pendidikan menengah atas ditempuh penulis pada tahun 2003 –
2006 di SMA 1 Tarogong Kidul.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006. Pada tahun 2007,
penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis
tercatat sebagai staf Divisi Klub Peduli Pangan dan Gizi (KPPG) HIMAGIZI
2007/2008. Penulis juga tercatat sebagai sekertaris OMDA (Organisasi
Mahasiswa Daerah) Garut 2008/2009. Selain itu, penulis aktif dalam berbagai
kepanitiaan yang diselenggarakan oleh HIMAGIZI, BEM Fakultas Ekologi
Manusia dan OMDA Garut.
Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Petir,
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor pada tahun 2009. Penulis juga
melaksanakan Internship Dietetika di RSIJ Pondok Kopi Jakarta pada tahun
2010. Sejak tahun 2010 – 2011 penulis aktif mengajar di pusat bimbingan belajar
Genpi (Generasi Prestasi) sebagai pengajar Matematika dan IPA/IPS.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................. x
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................... 1 Tujuan ................................................................................................ 2 Kegunaan .......................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4
Lansia ................................................................................................ 4 Konsumsi Pangan .............................................................................. 5
Status Kesehatan ............................................................................... 9 Tingkat Depresi .................................................................................. 11
Status Gizi ......................................................................................... 13 Home Care ........................................................................................ 16
KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................... 19
METODE PENELITIAN ............................................................................. 21
Desain, Tempat, dan Waktu ............................................................... 21 Jumlah dan Cara Penarikan Contoh .................................................. 21
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................... 21 Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... 22 Definisi Operasional ........................................................................... 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 28
Gambaran Umum Lokasi ................................................................... 28 Home Care di Tegal Alur .................................................................... 29
Latar Belakang Penyelenggaraan Home Care .............................. 29 Tahapan Penyelenggaraan Home Care ....................................... 30 Sasaran Pelayanan Home Care ................................................... 32 Jenis Pelayanan Home Care ......................................................... 33 Pendamping Home Care ............................................................... 35 Peserta dan Bukan Peserta Home Care ...................................... 36 Penyelenggaraan Home Care di Negara Lain .............................. 37
Karakteristik Lansia ............................................................................ 39 Usia ............................................................................................. 39 Jenis Kelamin ............................................................................... 40 Tingkat Pendidikan ....................................................................... 40 Pekerjaan ..................................................................................... 41 Sumber Pendapatan .................................................................... 42 Status Pernikahan ........................................................................ 42 Living Arrangement ...................................................................... 43
Konsumsi Pangan .............................................................................. 44 Frekuensi, Jumlah, dan Jenis Konsumsi Pangan ......................... 44 Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi .................................. 50
Status Kesehatan ............................................................................... 53 Keluhan Kesehatan ...................................................................... 53 Jenis Penyakit dan Keluhan Kesehatan ....................................... 54 Lama dan Frekuensi Sakit ............................................................. 55 Tindakan Pengobatan .................................................................. 56
Tingkat Depresi .................................................................................. 57 Status Gizi ......................................................................................... 60 Hubungan Antarvariabel ....................................................................... 61
Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan Tingkat Kecukupan Zat Gizi ...................................................................... 61 Hubungan Status Kesehatan (Keberadaan Keluhan) dengan Tingkat Depresi ............................................................................ 61 Hubungan Tingkat Depresi dengan Tingkat Kecukupan Zat Gizi ........................................................................................ 62 Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Gizi ................................................................................... 62 Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan Status Gizi ................................................................................... 62
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 63
Kesimpulan .......................................................................................... 63 Saran ................................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 65
LAMPIRAN ................................................................................................ 68
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Angka kecukupan gizi untuk lansia per orang per hari ................. 7
2 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia ......... 15
3 Variabel dan indikator data yang dianalisis .................................. 24
4 Perbedaan pelayanan yang diperoleh lansia peserta dan bukan peserta home care ............................................................
37
5 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut usia .... 40
6 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut jenis kelamin .................................................................................
40
7 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut tingkat pendidikan .........................................................................
41
8 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut pekerjaan ......................................................................................
41
9 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut sumber pendapatan ......................................................................
42
10 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut status pernikahan .........................................................................
43
11 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut living arrangement .......................................................................
43
12 Frekuensi dan jumlah konsumsi pangan sumber karbohidrat peserta dan bukan peserta home care .........................................
44
13 Frekuensi dan jumlah konsumsi pangan sumber protein hewani peserta dan bukan peserta home care .........................................
45
14 Frekuensi dan jumlah konsumsi pangan sumber protein nabati peserta dan bukan peserta home care .........................................
46
15 Frekuensi dan jumlah konsumsi sayur-mayur peserta dan bukan peserta home care .............................................................
47
16 Frekuensi dan jumlah konsumsi buah-buahan peserta dan bukan peserta home care .............................................................
49
17 Frekuensi dan jumlah konsumsi pangan lainnya peserta dan bukan peserta home care .............................................................
50
18 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi peserta dan bukan peserta home care .............................................................
51
19 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut keberadaan keluhan kesehatan ...................................................
53
20 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut jenis penyakit dan keluhan ....................................................................
55
Nomor Halaman
21 Rata-rata lama dan frekuensi sakit selama satu bulan terakhir ..........................................................................................
56
22 Tindakan pengobatan yang dilakukan peserta dan bukan peserta home care.........................................................................
56
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Alat pengukur tinggi lutut, kaliper (kiri) dan papan kayu pembentuk 900 .........................................................................
14
2 Posisi lutut membentuk 900 ...................................................... 14
3 Cara pengukuran tinggi lutut posisi terlentang ......................... 14
4 Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi status gizi pada lansia ...............................................................................
20
5 Sebaran jawaban SDG per pertanyaan ................................... 57
6 Sebaran tingkat depresi lansia peserta dan bukan peserta home care ...............................................................................
59
7 Sebaran status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care menurut IMT ...........................................................
60
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Jenis pangan yang biasa dikonsumsi peserta dan bukan peserta home care ...................................................................
68
2 Rata-rata konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan zat gizi peserta dan bukan peserta home care ........................
69
3 Dokumentasi kegiatan ............................................................. 70
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia di Indonesia, terutama
di bidang kesehatan berdampak pada penurunan angka kelahiran, penurunan
kematian bayi, penurunan fertilitas dan peningkatan usia harapan hidup.
Peningkatan usia harapan hidup menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk
usia lanjut. Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2010)
melaporkan bahwa Indonesia memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia
(aging structured population) karena pada tahun 2000 jumlah penduduk yang
berusia diatas 60 tahun sebesar 7,18 persen. Pada tahun 2010 diperkirakan usia
harapan hidup penduduk Indonesia adalah 67,4 tahun dengan jumlah lansia
mencapai 23,9 juta jiwa (9,77%) dan diperkirakan akan menjadi 28 juta lebih
pada tahun 2020.
Namun di satu sisi, adanya peningkatan jumlah lansia berdampak
timbulnya berbagai masalah jika tidak ditangani dengan segera. Salah satu
masalah yang mungkin terjadi adalah terkait gizi. Beberapa kelompok dalam
populasi lansia beresiko terkena malnutrisi. Malnutrisi pada lansia sama halnya
seperti pada balita atau dewasa, lansia dapat mengalami gizi kurang maupun gizi
lebih. Boedhi-Darmoyo (1995) diacu dalam Muis (2006) melaporkan bahwa
lansia di Indonesia yang ada dalam keadaan kurang gizi sejumlah 3,4 persen,
berat badan kurang sebesar 28,3 persen, berat badan ideal berjumlah 42,4
persen, berat badan lebih ada 6,7 persen dan obesitas sebanyak 3,4 persen.
Masalah gizi pada lansia dapat disebabkan oleh perubahan lingkungan
dan status kesehatan mereka. Secara alamiah lansia akan mengalami
kemunduran (degenerasi) fungsi organ-organ tubuh. Sari (2006) menambahkan
dengan semakin bertambahnya usia maka kemampuan indera penciuman dan
pengecapan mulai menurun. Selain itu, hilangnya sebagian geligi sering
menimbulkan lansia tidak nafsu makan dan menyebabkan berkurangnya asupan
makanan pada lansia. Faktor kesehatan yang berperan dalam masalah gizi
adalah naiknya insidensi penyakit degeneratif dan nondegeneratif yang berakibat
pada perubahan asupan makanan, perubahan absoprsi dan utilisasi zat-zat gizi
pada tingkat jaringan serta penggunaan obat-obat tertentu yang harus diminum
lansia karena penyakit yang sedang diderita (Muis 2006).
Perubahan kondisi ekonomi akibat masa pensiun, isolasi sosial berupa
hidup sendiri setelah pasangannya meninggal dan rendahnya pemahaman gizi
menyebabkan memburuknya keadaan gizi lansia (Muis 2006). Perubahan-
perubahan pada tingkat demografi, lingkungan fisik serta sosial dapat
menempatkan lansia pada posisi yang sulit sehingga memungkinkan lansia
mengalami gejala depresi. Harris (2004) menyatakan bahwa depresi dapat
mempengaruhi nafsu makan, asupan makanan, berat badan dan kesejahteraan
secara keseluruhan.
Home care atau pelayanan berbasis keluarga merupakan salah satu
sistem pelayanan yang dicoba oleh Depsos untuk mengatasi keterbatasan
PSTW (Panti Sosial Tresna Werdha) dalam memberikan pelayanan pada lansia
terlantar. Saat ini home care sudah berjalan di 10 provinsi di Indonesia, salah
satunya di Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat. Home care di Tegal Alur telah
menyelenggarakan berbagai pelayanan untuk meningkatkan kualitas hidup
lansia peserta home care seperti pelayanan sosial, pelayanan kesehatan dan
pemenuhan kebutuhan lansia. Akan tetapi karena keterbatasan pendamping,
belum seluruhnya lansia terlantar di Tegal Alur mendapatkan pelayanan yang
sama. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mempelajari
konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia
peserta dan bukan peserta home care di Tegal Alur, Jakarta Barat.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari keragaan konsumsi
pangan, status kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia peserta dan
bukan peserta home care.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi penyelenggaraan home care di Tegal Alur
2. Mengidentifikasi karakteristik contoh, meliputi usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan, status pernikahan, dan living
arrangement lansia peserta dan bukan peserta home care
3. Membandingkan konsumsi pangan lansia peserta dan bukan peserta
home care
4. Membandingkan status kesehatan lansia peserta dan bukan peserta
home care
5. Membandingkan tingkat depresi lansia peserta dan bukan peserta home
care
6. Membandingkan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care
7. Menganalisis hubungan antara konsumsi pangan, status kesehatan, dan
tingkat depresi dengan status gizi lansia.
Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai konsumsi
pangan, status gizi, status kesehatan, dan tingkat depresi bagi lansia. Selain itu,
hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak terkait
dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan bagi lansia.
TINJAUAN PUSTAKA
Lansia
Istilah usia lanjut menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
ke atas. World Health Organization (WHO) diacu dalam Komnas Lansia (2008)
menggolongkan lansia berdasarkan aspek kronologis (batasan usia) menjadi:
1. usia pertengahan (middle age): usia 45-59 tahun
2. usia lanjut (elderly): 60-74 tahun
3. usia tua (old): 75-90 tahun
4. usia sangat tua (very old): diatas 90 tahun
Dahlan diacu dalam Arisman (2004) menyatakan bahwa di Indonesia
orang dikatakan lansia jika telah berumur di atas 60 tahun. Jika mengacu pada
usia pensiun, lansia ialah mereka yang telah berusia di atas 56 tahun.
Proses Penuaan
Penuaan merupakan proses yang terjadi dari awal kelahiran hingga
kematian. Penuaan, periode hidup setelah usia 30 tahun, adalah proses yang
melibatkan seluruh tubuh. Selama periode pertumbuhan, proses anabolik
melebihi perubahan katabolik. Ketika tubuh mencapai kedewasaan fisiologis, laju
katabolik atau perubahan degeneratif mungkin lebih tinggi dibanding laju
anabolik. Hasil akhir berkurangnya sel dapat membawa pada penurunan efisiensi
dan gangguan fungsional pada berbagai tingkat. (Harris 2004).
Secara alami fungsi fisiologis dalam tubuh lansia menurun seiring
pertambahan usianya. Perubahan fungsi fisiologis yang terjadi pada lansia pada
dasarnya meliputi penurunan kemampuan sistem syaraf, yaitu pada indera
penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman. Selanjutnya
perubahan ini juga mengakibatkan penurunan sistem pencernaan, sistem syaraf,
sistem pernapasan, sistem endokrin, sistem kardiovaskular hingga penurunan
kemampuan muskuloskeletal (Fatmah 2010).
Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 –
3% perdekade. Sarkopenia, kehilangan massa otot yang berkaitan dengan usia,
berkontribusi terhadap penurunan kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan
dan keseimbangan, kehilangan fungsi fisik, dan meningkatnya resiko penyakit
kronis. Fungsi imunitas juga mengalami penurunan pada lansia, sehingga
kemampuan melawan infeksi berkurang dan meningkatnya kejadian penyakit
infeksi pada lansia. (Harris 2004).
Susunan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan gizi tubuh, dapat
menciptakan dua kemungkinan, yaitu keadaan gizi kurang dan keadaan gizi lebih
(kegemukan/ obesitas). Keadaan obesitas ini banyak dipengaruhi oleh kegiatan
yang berlebihan dari kelenjar hipotalamus, banyaknya sel-sel lemak tubuh, umur
para lanjut usia, aktivitas jasmani yang kurang, faktor psikologis, faktor
keturunan, dan faktor endokrin. Keadaan ini sering pula menimbulkan gangguan
dalam tubuh secara mekanis, secara metabolik, traumata/ kecelakaan, maupun
gangguan kardiovaskuler (Astawan & Wahyuni 1988).
Menurut Arisman (2004) terjadi beberapa kemunduran dan kelemahan
yang bisa diderita oleh lansia yaitu:
1. pergerakan dan kelemahan lansia
2. intelektual terganggu (demensia)
3. isolasi diri (depresi)
4. inkontinensia dan impotensia
5. defisiensi imunologis
6. infeksi, konstipasi, dan malnutrisi
7. latrogenesis dan insomnia
8. kemunduran penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan,
komunikasi, dan integritas kulit
9. kemunduran proses penyembuhan.
Konsumsi Pangan dan Zat Gizi
Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang
dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu.
Konsumsi pangan erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan serta
perencanaan produksi pangan. Jenis dan jumlah pangan merupakan hal yang
penting dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi (Hardinsyah &
Briawan 1994). Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi
kebutuhan tubuh akan zat gizi, pada gilirannya zat gizi tersebut berfungsi untuk
menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses dalam tubuh, dan
pertumbuhan serta memperbaiki jaringan tubuh.
Konsumsi makanan haruslah beragam karena tidak ada satu jenis
makanan yang mengandung komposisi zat gizi yang lengkap. Oleh karena itu,
kekurangan gizi pada jenis makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan
susunan zat gizi jenis makanan yang lain sehingga diperoleh asupan yang
seimbang. Selain itu, konsumsi makanan yang lebih beragam dapat memperbaiki
kecukupan akan zat-zat gizi dan menunjukkan perlindungan terhadap serangan
berbagai penyakit kronik yang berhubungan dengan proses penuaan
(Wirakusumah 2001).
Metode Food Frequency Questionnaire (FFQ)
Food Frequency Questionnaire (FFQ) bertujuan untuk menilai frekuensi
pangan atau kelompok pangan yang dikonsumsi pada selang waktu tertentu.
Sebenarnya FFQ didisain untuk menyediakan data mengenai pola konsumsi
pangan secara deskriptif kualitatif. Akan tetapi dengan menambahkan perkiraan
jumlah porsi yang dikonsumsi, metode menjadi semi-kuantitatif sehingga
memungkinkan penghitungan energi dan zat gizi terpilih (Gibson 2005). Metode
ini terdiri dari dua komponen dasar yaitu daftar makanan dan frekuensi konsumsi
untuk melaporkan seberapa sering suatu makanan dikonsumsi.
Keuntungan FFQ terletak pada beban kerja yang relatif rendah bagi
responden disamping analisis kuesioner ini yang cukup sederhana dan murah
karena dapat dilakukan sendiri serta dapat dipindai dengan mesin. Kerugian FFQ
terdapat pada keharusan responden melakukan tugas kognitif yang levelnya
cukup tinggi untuk memperkirakan frekuensi dan ukuran takaran saji yang lazim
(Pietinen & Patterson 2009).
Pengukuran asupan makanan pada lansia secara retrospektif yang
memerlukan konfirmasi kurang tepat dilakukan. Tidak satupun metode dietary
assessment menghasilkan estimasi kebutuhan energi umum yang akurat pada
lansia karena adanya defisit memori atau gangguan lainnya. Dietary history dan
dietary record tampaknya menghasilkan nilai under-estimate pada makanan yang
dikonsumsi lansia. Penggunaan FFQ lebih tepat digunakan bagi lansia untuk
menilai rata-rata asupan zat gizi daripada metode food weighing yang
memerlukan waktu lama dan biaya yang mahal. Metode FFQ yang
menggunakan ukuran porsi (semi-kuantitatif) dapat memberikan estimasi jumlah
makanan atau zat gizi yang dikonsumsi pada masa lampau (Sanjur & Maria 1997
dalam Fatmah 2010).
Perhitungan asupan zat gizi secara keseluruhan pada metode FFQ semi
kuantitatif diperoleh dengan jalan menjumlahkan kandungan zat gizi masing-
masing pangan. Sebagian kuesioner frekuensi justru memasukan pertanyaan
tentang bagaimana makanan biasanya diolah, penggunaan makanan suplemen,
penggunaan vitamin dan mineral tambahan serta makanan bermerek lain.
(Arisman 2004).
Kebutuhan gizi pada lansia secara umum sedikit lebih rendah
dibandingkan kebutuhan gizi di usia dewasa. Kondisi ini merupakan konsekuensi
terjadinya penurunan tingkat aktivitas dan metabolisme basal tubuh para lansia.
Angka kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan patokan bagi lansia yang
sehat. Akibatnya, kecukupan gizi tersebut bersifat fleksibel dan tidak mutlak
(Wirakusumah 2001). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004)
mengelompokkan angka kecukupan yang dianjurkan untuk usia 50-64 tahun dan
diatas 65 tahun sebagai berikut:
Tabel 1 Angka kecukupan zat gizi untuk lansia per orang per hari
Zat Gizi
Angka Kecukupan Gizi
Pria Wanita
50-64 tahun >65 tahun 50-64 tahun >65 tahun
Energi (Kal) 2250 2050 1750 1600 Protein (g) 60 60 50 45 Kalsium (mg) 800 800 800 800 Fofor (mg) 600 600 600 600 Vitamin A (RE) 600 600 500 500 Vitamin C (mg) 90 90 75 75
Energi
Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang
pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi yang dibutuhkan lansia
berbeda dengan energi yang dibutuhkan oleh orang dewasa karena perbedaan
aktivitas fisik yang dilakukan. Selain itu, energi juga dibutuhkan oleh lansia untuk
menjaga sel-sel maupun organ-organ dalam tubuh agar bisa tetap berfungsi
dengan baik walaupun fungsinya tidak sebaik seperti saat masih muda (Fatmah
2010).
Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada di dalam
makanan. Kandungan karbohidrat, lemak dan protein suatu bahan makanan
menentukan nilai energinya. Sumber energi berkonsentrasi tinggi adalah bahan
makanan sumber lemak seperti lemak dan minyak, kacang-kacangan dan biji-
bijian. Selain itu bahan makanan sumber karbohidrat seperti padi-padian, umbi-
umbian, dan gula murni (Almatsier 2004).
Protein
Protein adalah suatu substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari
serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Protein dalam makanan di dalam
tubuh akan berubah menjadi asam amino yang sangat berguna bagi tubuh yaitu
untuk membangun dan memelihara sel, seperti sel otot, tulang, enzim, dan sel
darah merah (Fatmah 2010).
Rekomendasi asupan protein pada lansia tidak berubah, beberapa studi
menunjukkan bahwa asupan protein 1g/kg berat badan dibutuhkan untuk
mempertahankan keseimbangan nitrogen tubuh. Akan tetapi konsumsi protein 1-
1,25g/kg berat badan secara umum aman untuk lansia. Kebutuhan akan protein
akan meningkat sejalan dengan adanya penyakit akut dan kronis (Harris 2004).
Bahan makanan hewan merupakan sumber protein yang baik, dalam
jumlah maupun mutu seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang.
Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tahu dan
tempe serta kacang-kacangan lainnya. Kacang kedelai merupakan sumber
protein nabati yang mempunyai mutu tertinggi (Almatsier 2004).
Mineral
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh,
yaitu 1,5-2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1 kg. Lebih dari 99
persen, berada di tulang dan gigi bersama fosfor membetuk kalsium fosfat, zat
keras yang memberikan kekakuan pada tubuh. Kalsium juga hadir dalam serum
darah dalam jumlah kecil namun memegang peranan penting (Latham 1997).
Secara umum, fungsi kalsium bagi lansia adalah sebagai komponen utama
tulang dan gigi, berperan dalam kontraksi dan relaksasi otot, fungsi saraf, proses
penggumpalan darah, menjaga tekanan darah agar tetap normal serta sistem
imunitas tubuh (Fatmah 2010).
Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil susu, seperti keju. Ikan
dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium yang
baik. Serealia, kacang-kacangan dan hasil kacang-kacangan, tahu dan tempe,
dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan
makanan ini mengandung zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti
serat, fitata, dan oksalat (Almatsier 2004).
Fosfor merupakan mineral kedua yang paling banyak di dalam tubuh dan
jumlahnya 6,5-11 g/kg berat badan dewasa. Sekitar 85% fosfor berada dalam
tulang bersama kalsium (Latham 1997). Fosfor mempunyai berbagai fungsi
dalam tubuh seperti klasifikasi tulang dan gigi, mengatur pengalihan energi,
absorpsi dan transportasi zat gizi, bagian dari ikatan tubuh esensial, dan
pengaturan keseimbangan asam-basa. Fosfor terdapat di dalam semua
makanan, terutama makanan kaya protein seperti daging, ayam, ikan, telur, susu
dan hasil olahannya, kacang-kacangan dan hasil olahannya, serta serealia
(Almatsier 2004).
Vitamin
Vitamin merupakan senyawa kimia yang sangat esensial bagi tubuh
walau ketersediaannya dalam tubuh dalam jumlah sedemikian kecil dan
diperlukan bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh yang normal. Terdapat
beberapa jenis vitamin yang bermanfaat bagi sistem imunitas tubuh dan
mencegah timbulnya radikal bebas pada lansia, misalnya vitamin A dan vitamin
C (Fatmah 2010).
Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A
esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Vitamin A
berperan dalam berbagai fungsi tubuh seperti penglihatan, diferensiasi sel, fungsi
kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pencegahan kanker
dan penyakit jantung, dan lain-lain (Almatsier 2004).
Sumber vitamin A yang sudah terbentuk (performed) hanya terdapat pada
pangan hewani seperti hati, minyak hati ikan, kuning telur sebagai sumber
utama. Sayuran, terutama sayuran berdaun hijau dan buah berwarna kuning-
jingga mengandung karotenoid provitamin A (Gibson 2005).
Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim
atau kofaktor. Pada lansia, vitamin C bermanfaat menghambat berbagai
penyakit. Fungsinya antara lain meningkatkan kekebalan tubuh, melndungi dari
serangan kanker, melindungi arteri, meremajakan dan memproduksi sel darah
putih, mencegah katarak, memperbaiki kualitas sperma, dan mencegah penyakit
gusi (Fatmah 2010).
Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu
sayur dan buah terutama yang asam seperti, nenas, rambutan, jeruk, pepaya,
gandaria, dan tomat. Vitamin C juga terdapat di dalam sayuran daun-daunan dan
jenis kol (Almatsier 2004).
Status Kesehatan
World Health Organization (WHO) pada tahun 1947 mendefinisikan
kesehatan adalah keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani) dan
sosial dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan
kelemahan. Status kesehatan adalah keadaan kesehatan pada waktu tertentu
(Smet 1994). Secara umum, status kesehatan pada lansia tidak sebaik saat usia
muda. Seringkali lansia menderita berbagai penyakit yang umumnya terjadi
akibat penurunan fungsi organ tubuh (McKenzie et. al. 2008).
Penyakit adalah kegagalan tubuh dalam beradaptasi. Secara jelas
penyakit adalah terganggu atau tidak berlangsungnya fungsi-fungsi psikis dan
fisik, yaitu ada kelainan dan penyimpangan yang mengakibatkan kerusakan dan
bahaya pada organ/ tubuh sehingga bisa mengancam kehidupan (Sarafino
1994). Beberapa pengarang membagi pengertian penyakit ini menjadi penyakit
communicable (yang dapat menular) dan non-communicable (yang tidak dapat
menular) (WHO-SEARO 1986, Diekstra 1989). Akan tetapi ada juga yang
membagi penyakit menjadi penyakit infeksi dan penyakit kronis (Smet 1994).
Penyakit-penyakit infeksi adalah penyakit-penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme seperti bakteri atau virus di dalam tubuh (Sarafino 1994).
Sebagai contoh malaria, cacar air, diare, influenza, tipus, dll. Penyakit-penyakit
kronis adalah penyakit-penyakit degeneratif yang berkembang selama kurun
waktu yang lama seperti jantung, kanker dan stroke. Umumnya, penyakit kronis
adalah non-communicable (tidak menular) sedangkan penyakit infeksi adalah
communicable (menular). Akan tetapi, tidak semua penyakit ini cocok untuk
kategori penyakit infeksi maupun kronis seperti AIDS. AIDS adalah penyakit
infeksi (communicable) karena disebabkan oleh virus dan penyakit kronis (ciri-ciri
degeneratif dan waktu lama) (Smet 1994).
Penyakit atau gangguan kesehatan pada orang usia lanjut umumnya
berupa penyakit-penyakit kronik-menahun dan degeneratif, seperti penyakit
hipertensi, diabetes mellitus, osteoporosis, demensia, gangguan jantung,
gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, gangguan keseimbangan,
gangguan penglihatan, gangguan pengunyahan dan sebagainya. Selain itu, pada
usia lanjut di Indonesia penyakit-penyakit infeksi akut juga masih sering terjadi,
misalnya infeksi saluran pernapasan atas (radang tenggorokan, influenza) atau
infeksi saluran pernapas bawah (pneumonia, tbc), infeksi saluran kemih, infeksi
kulit (Rahardjo et al. 2009).
Status gizi berhubungan langsung dengan status kesehatan, khususnya
keberadaan penyakit, terutama penyakit infeksi. Kurang gizi dapat meningkatkan
risiko infeksi saluran pernapasan dan masalah jantung, tekanan luka, kematian
dini dan gangguan multi organ (Azad 2002). Malnutrisi merupakan penyebab
utama kesakitan dan kematian untuk banyak penyakit infeksi primer. Namun, di
sisi lain keberadaan penyakit, penyakit infeksi, akan meningkatkan kebutuhan
tubuh terhadap zat gizi. Seseorang yang mengalami peyakit akan kehilangan
nafsu makan sehingga berdampak pada menurunnya asupan energi dan zat gizi.
Hal ini akan memperburuk kondisi tubuh dan membawa pada kondisi kurang gizi.
Suhardjo (2008) menambahkan bahwa antara infeksi dan status gizi kurang
terdapat pola interaksi bolak-balik. Infeksi menimbulkan efek langsung pada
katabolisme jaringan. Walaupun hanya terjadi infeksi ringan sudah menimbulkan
kehilangan nitrogen.
Tingkat Depresi
Lansia merasa khawatir dengan kesehatan mental mereka, khususnya
mereka fokus pada mulai menurunnya ingatan. Menurunnya ingatan
memungkinkan berdampak negatif mempengaruhi kemampuan merawat diri dari
hari ke hari dan berfungsi secara independen. Salah satu masalah mental yang
dialami lansia adalah depresi (Mezey et. al 1993). Depresi adalah istilah yang
akrab digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Depresi adalah penyakit medis
yang ditandai dengan kesedihan terus menerus, kekecewaan dan hilangnya
harga diri. Depresi mungkin disertai dengan menurunnya energi dan konsentrasi,
masalah tidur (insomnia), menurunnya nafsu makan, kehilangan berat badan,
dan sakit jasmani (Medical Encyclopedia 2010).
Depresi bukanlah bagian normal dari penuaan. Depresi merupakan sakit
yang dapat menimbulkan dampak serius jika tidak dikenali dan diobati. Depresi
merupakan masalah yang meluas diantara lansia, akan tetapi seringkali tidak
dapat secara baik dikenali atau dideteksi pada lansia. Gejala seperti rasa sedih,
gangguan tidur dan nafsu makan atau perubahan suasana hati mungkin
dianggap sebagai bagian normal pada lansia. Orang-orang terakadang
menganggap bahwa masalah dengan ingatan atau konsentrasi disebabkan oleh
perubahan berpikir terkait penuaan dibandingkan karena depresi. Lansia
mengalami kesulitan untuk berbicara mengenai perasaan sedih atau depresi
(Better Health Channel 2010).
Smith (2010) menyebutkan beberapa faktor risiko yang dapat memicu
depresi. Namun, tidak semua depresi dapat ditelusuri penyebabnya. Faktor risiko
depresi pada lansia diantaranya:
1. Kesepian dan isolasi. Tinggal sendirian, berkurangnya aktivitas sosial,
berkurangnya mobilitas karena sakit
2. Hilangnya tujuan hidup. Perasaan hilangnya tujuan hidup atau identitas diri
karena masa pensiun atau keterbatasan aktivitas fisik
3. Masalah kesehatan. Sakit, disabilitas, penyakit kronis, menurunnya fungsi
kognitif, serta berbagai penyakit lain yang mengakibatkan perubahan tubuh
4. Pengobatan. Penggunaan beberapa obat dapat meningkatkan risiko
terkena depresi
5. Takut. Rasa takut akan kematian atau kekhwatiran tentang masalah
keuangan serta kesehatan
6. Kehilangan mendadak. Kehilangan pasangan hidup, teman, keluarga
bahkan binatang peliharaan dapat memicu rasa tertekan pada lansia
Wirakusumah (2001) menyebutkan bahwa perubahan lingkungan sosial,
kondisi yang terisolasi, kesepian dan berkurangnya aktivitas menjadikan para
lansia mengalami rasa frustasi dan kurang bersemangat. Akibatnya, selera
makan terganggu dan pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan
berat badan. Oleh karena itu, kondisi mental yang tidak sehat secara tidak
langsung dapat memicu terjadinya status gizi yang buruk.
Skala Depresi Geriatrik
Skala depresi dapat bermanfaat untuk memeriksa depresi atau distres
psikologi menyeluruh. Skala Depresi Geriatrik (SDG) didisain sebagai alat tes
skrining depresi pada lansia. Konsep dasar dari SDG, depresi pada lansia sama
halnya seperti pada orang muda (gangguan tidur, hilangnya berat badan, pesimis
akan masa depan) sebagai efek penuaan atau karena sakit jasmani. Skala
depresi geriatrik (SDG) didisain secara sederhana, jelas, dan skala pelaporan
sendiri. Meskipun secara normal, SDG didisain sebagai skala pelaporan sendiri,
SDG juga dapat dibacakan oleh pewawancara dan wawancara melalui telepon.
Rentang waktu yang digunakan untuk pengukuran SDG adalah satu
minggu terakhir. Skala depresi geriatrik (SDG) terdiri dari 30 pertanyaan yang
harus dijawab “ya” atau “tidak”. Sheikh dan Yesavage mengusulkan bentuk
singkat dari SDG. Hal ini ditujukan untuk mengurangi masalah kelelahan
terutama pada responden dengan sakit fisik atau demensia. Bentuk singkat SDG
hanya berisi 15 pertanyaan terpilih. Skala depresi geriatrik (SDG) fokus pada
aspek perasaan dari depresi. Skala ini mudah digunakan dan dilaporkan secara
cepat. Skala depresi geriatrik (SDG) telah digunakan baik pada contoh komunitas
ataupun pasien, dan hasilnya memiliki reliabilitas dan sensitivitas yang tinggi
diantara lansia. Selain itu, SDG versi pendek telah divalidasi untuk kebutuhan
klinis dan penelitian. Validasi dibandingkan dengan SDG versi panjang dengan
nilai r=0,84 (McDowell 2006). Penelitian Matsubayashi et al. (2003) yang
dilakukan di Bandung dan Karawang menyebutkan bahwa SDG versi pendek
memiliki nilai sensitivitas (88% - 92%) dan spesifisitas (62% - 81%) yang cukup
tinggi.
Status Gizi
Status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan
yang masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient
output) akan zat gizi tersebut. Kebutuhan akan zat gizi ditentukan oleh banyak
faktor, seperti tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik dan
faktor yang bersifat relatif yaitu gangguan pencernaan (ingestion), perbedaan
daya serap (absorption), tingkat penggunaan (utilization), dan perbedaan
pengeluaran dan penghancuran (excretion and destruction) dari zat gizi tersebut
dalam tubuh (Supariasa et al. 2001).
Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan
keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang
bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku
yang telah tersedia. Data objektif dapat diperoleh dari data pemeriksaan
laboratorium perorangan serta sumber lain (Arisman 2004). Penilaian status gizi
dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung
dapat dibagi menjadi empat yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik
sedangkan secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu, survei konsumsi
pangan, statistika vital, dan faktor ekologi (Supariasa et al. 2001).
Pemeriksaan antropometri adalah pengukuran variasi berbagai dimensi
fisik dan komposisi tubuh secara umum pada bebagai tahapan umur dan derajat
kesehatan. Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan, tinggi badan,
lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit dan khusus pada lansia
adalah pola distribusi lemak (Muis 2006).
Penilaian status gizi lansia diukur dengan antopometri atau ukuran tubuh,
yaitu berat badan dan tinggi badan. Namun, pada usia lanjut terjadi penurunan
tinggi badan karena kompresi vertebra, kifosis, dan osteoporosis. Pengukuran
tinggi badan pada usia lanjut harus dilakukan dengan teliti dalam posisi berdiri
tegak. Bila hal ini tidak dapat dilakukan maka dapat digantikan dengan
pengukuran tinggi lutut (menggunakan kaliper tinggi lutut) atau pengukuran
rentang lengan (arm span) (Sari 2006). Tinggi lutut memiliki korelasi yang tinggi
dengan tinggi badan dan mungkin digunakan untuk memprediksi tinggi badan
seseorang dengan kifosis atau seseorang yang tidak mampu berdiri (Gibson
2005).
Tinggi lutut direkomendasikan oleh WHO (1995) untuk digunakan sebagai
prediktor dari tinggi badan pada seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
(lansia). Tinggi lutut diukur dengan sebuah kaliper berupa tongkat pengukur yang
dilengkapi dengan papan kayu untuk membentuk sudut 90 derajat. Gambar di
bawah menunjukkan alat pengukur tinggi lutut:
Gambar 1 Alat pengukur tinggi lutut, kaliper (kiri) dan papan kayu 900(kanan)
Tinggi lutut terlentang diukur pada kaki kiri yang dibengkokan pada lutut
dengan sudut 90 derajat (Gambar 2). Salah satu ujung kaliper diposisikan di
bawah, dibagian tumit, sedangkan yang satu lagi diposisikan di bagian atas
bagian lutut (Gambar 3). Batang kaliper disejajarkan dengan tibia dan kemudian
sedikit ditekan pada bagian ujung atas (tempurung lutut).
Gambar 2 Posisi lutut membentuk sudut 900
Gambar 3 Cara pengukuran tinggi lutut posisi terlentang
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau
status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal
memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang.
Penggunaan IMT hanya berlaku bagi orang dewasa berumur di atas 18 tahun.
Indeks massa tubuh (IMT) tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu
hamil, dan olahragawan. Selain itu, IMT juga tidak bisa diterapkan pada keadaan
khusus (penyakit) lainnya seperti adanya edema, aitesis dan hepatomegalia
(Supariasa et.al 2001). Nilai IMT diperoleh dengan membagi berat badan dalam
kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Berikut merupakan kategori
ambang batas IMT menurut WHO:
Tabel 2 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia
Klasifikasi IMT kg/m2)
Underweight <18,5 Normal 18,5-25 Overweight >25 Obesitas >30
Sumber: WHO 2004 diacu dalam PDGKI 2008
Keadaan Gizi Lansia
Lansia merupakan golongan yang rawan mengalami malnutrisi. Azad
(2002) mendefinisikan malnutrisi sebagai keadaan yang diakibatkan oleh terlalu
rendahnya intake makronutrien (defisiensi protein, mineral, vitamin), terlalu
banyak intake makronutrien (obesitas) atau berlebihannya jumlah zat-zat yang
tidak diperlukan, seperti alkohol. Malnutrisi secara nyata dapat mempengaruhi
kesejahteraan lansia, menyebabkan penurunan status fungsional dan membuat
masalah medis semakin buruk.
Terjadinya kekurangan gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang
bersifat primer maupun sekunder. Sebab-sebab primer meliputi ketidaktahuan,
isolasi sosial, hidup seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan
fisik, gangguan indera, gangguan mental, dan kemiskinan hingga kurangnya
asupan makanan. Sebab-sebab sekunder meliputi malabsorpsi, penggunaan
obat-obatan, peningkatan kebutuhan zat gizi serta alkoholisme (Muis 2006).
Faktor-faktor ini dapat menyebabkan malnutrisi pada lansia dan jika bergabung
maka akan mengakibatkan keburukan nutrisi yang akhirnya dapat
membahayakan status kesehatan mereka (Watson 2003).
Kehilangan berat badan dianggap sebagai indikator yang banyak
digunakan untuk mendiagnosa kurang gizi. Kehilangan berat badan 10 persen
dalam 6 bulan, 7,5 persen dalam 3 bulan atau 5 persen dalam 1 bulan dianggap
sangat serius, karena berhubungan langsung dengan kesakitan dan kematian
(Morley et al. 2009).
Kelebihan gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan kemakmuran
dan gaya hidup pada usia sekitar 50 tahun. Kondisi ekonomi yang makin
membaik dan tersedianya makanan siap saji yang enak terutama sumber lemak,
asupannya melebihi kebutuhan tubuh. Keadaan kelebihan gizi yang dimulai awal
usia 50 tahun ini akan membawa lansia pada keadaan obesitas dan dapat pula
disertai dengan munculnya berbagai penyakit metabolisme seperti diabetes
mellitus dan dislipidemia (Muis 2006).
Home care
Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan dan perawatan lanjut
usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lanjut usia dengan
mengutamakan peran masyarakat berbasis keluarga (Depsos 2009a). Sabdono
(2010) menambahkan bahwa home care merupakan pelayanan yang diberikan di
rumah dan bukan di panti maupun di rumah sakit. Home care dapat dilakukan
oleh anggota keluarga ataupun masyarakat. Home care pun dapat dilakukan
oleh tenaga profesional atau tenaga sukarela. Akan tetapi meskipun dilakukan
oleh masyarakat, hal ini bukanlah bermaksud untuk mengambil alih fungsi
keluarga.
Home care dapat dilakukan siang ataupun malam hari. Hal ini
memungkinkan lanjut usia untuk tetap tinggal di lingkungannya sendiri selama
mungkin. Fungsi home care (Depsos 2009a) antara lain pencegahan, promosi,
rehabilitasi, dan perlindungan serta pencegahan. Penyelenggaraan home care
ditujukan bukan hanya bagi lansia itu sendiri, akan tetapi juga bagi keluarga
lansia.
Depsos (2009b) menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan home care
antara lain:
1. meningkatkan kemampuan lanjut usia untuk menerima kondisi kemunduran
fisik, fisiologis dan psikis
2. memenuhi kebutuhan dasar lanjut usia secara wajar
3. meningkatkan peran serta keluarga dan masyarakat dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan lanjut usia
4. terciptanya rasa aman, nyaman dan tentram bagi lanjut usia.
Penyelenggara home care adalah lembaga/yayasan/lembaga
sosial/badan sosial/lembaga swadaya masyarakat/organisasi sosial/lembaga
kesejahteraan sosial lainnya berstatus badan hukum maupun tidak berbadan
hukum. Sebagai lembaga swadaya masyarakat, home care lanjut usia
membangun kemitraan lintas disiplin dan lintas sektoral. Kemitraan lintas disiplin
antara lain dengan pekerja sosial, dokter, perawat, ahli gizi, psikolog,
rohaniawan, guru, pemadu kebugaran jasmani. Kemitraan lintas sektor antara
lain pemerintah (dinas sosial, dinas kesehatan, pemerintah provinsi /kabupaten/
kota/ kecamatan/ kelurahan/ desa), perguruan tinggi dan dunia usaha (Depsos
2009a). Till (2001) menambahkan bahwa penyelenggara home care bisa
individu, organisasi sosial, dan pemerintah seperti departemen kesehatan dan
departemen sosial.
Bentuk pelayanan yang perlu disediakan dalam home care berupa
perawatan sosial, pendampingan, dan pemenuhan kebutuhan lanjut usia.
Perawatan sosial adalah bentuk pelayanan sosial kepada lanjut usia yang
membutuhkan perawatan dengan jangka waktu lama. Bentuk perawatan sosial
umumnya secara fisik maupun emosional yang bersifat non medis.
Pendampingan sosial lanjut usia di rumah merupakan upaya membantu lanjut
usia dan keluarga dalam rangka memenuhi kebutuhan lanjut usia yang
bersangkutan (Depsos 2009b).
Till (2001) menyebutkan bahwa secara umum home care dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu pelayanan sosial dan perawatan kesehatan.
Perawatan sosial mncakup dukungan emosional dan praktek. Hal ini termasuk
bantuan merawat rumah, mengantar atau menyiapkan makanan, menemani
lansia ke tempat-tempat penting, beberapa bantuan perawatan pribadi, dan
pertemanan. Pelayanan sosial biasanya diberikan oleh anggota keluarga, teman,
tetangga, sukarelawan dan pekerja sosial baik terlatih ataupun tidak. Perawatan
kesehatan meliputi pemeriksaan kesehatan, pendidikan kesehatan, perawatan,
dan terapi. Perawatan kesehatan biasanya diberikan oleh orang-orang terlatih
dibawah pengawasan pekerja kesehatan profesional seperti dokter, perawat,
terapis, atau pekerja sosial.
Terdapat beberapa jenis model penyelenggaraan home care, yaitu
volunteer-based home help services, paid home help services, home nursing
services, home-based medical services, dan case management services.
Volunteer-based home help services biasanya merupakan bagian dari program
home care dengan keterbatasan dana dan sumerdaya profesional. Sukarelawan
memegang peranan penting dalam mempertahankan kualitas hidup lansia
dengan menyediakan pelayanana sosial dan pertemanan. Paid home help
services biasanya meliputi perawatan pribadi, rumah tangga, mencuci,
pengaturan rumahtangga, berbelanja, menyiapkan atau mengantarkan makanan.
Home nursing services menyediakan perawatan jangka pendek biasanya untuk
tujuan khusus seperti untuk pengobatan luka. Home-based medical services
memegang peran penting untuk menciptakan akses perawatan medis bagi lansia
yang sangat lemah atau miskin. Akan tetapi biaya yang dibutuhkan sangat mahal
dan terbatasnya dokter. Case management services meliputi penilaian
kebutuhan lansia dan pengkoordinasian jaringan pelayanan formal dan informal
untuk menyediakan paket perawatan dan dukungan (Till 2001).
KERANGKA PEMIKIRAN
Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan dan perawatan lanjut
usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lansia lansia yang rentan, sakit,
kesepian, dan tinggal sendiri dengan mengutamakan peran masyarakat berbasis
keluarga. Home care memberikan pelayanan lanjut usia seperti pelayanan sosial,
pelayanan kesehatan, dan pelayanan gizi. Lansia peserta home care
mendapatkan seluruh pelayanan yang disediakan, tetapi bagi lansia bukan
peserta home care hanya mendapatkan pelayanan kesehatan. Diduga, dengan
pemberian berbagai pelayanan tersebut maka kondisi konsumsi pangan, status
kesehatan, tingkat depresi dan status gizi lansia peserta home care akan lebih
baik dibanding lansia bukan peserta home care.
Status gizi pada lansia secara langsung dapat dipengaruhi oleh status
kesehatan. Antara status kesehatan (terutama penyakit infeksi) dan status gizi
terdapat pola interaksi yang bolak-balik. Status kesehatan juga secara langsung
dapat mempengaruhi konsumsi pangan dan tingkat depresi lansia. Seseorang
yang mengalami penyakit, terutama infeksi, akan kehilangan nafsu makan
sehingga menurunkan asupan energi dan zat gizi lainnya. Perasaan depresi
akan muncul jika lansia mengalami suatu gangguan fisik akibat terganggunya
status kesehatan lansia dengan adanya penyakit yang diderita. Perasaan depresi
yang muncul pada lansia memungkinkan timbulnya sikap apatis lansia terhadap
makanan dan lansia cenderung mengurangi konsumsi pangannya. Selain
dipengaruhi oleh status kesehatan, status gizi lansia juga secara langsung
dipengaruhi oleh konsumsi pangannya.
Gambar 4 Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi status gizi pada lansia
Karakteristik responden: - Usia - Jenis kelamin - Tingkat pendidikan - Pekerjaan - Sumber pendapatan - Status pernikahan - Living arrangement
Pelayanan sosial
Pelayanan kesehatan
Pelayanan gizi
peserta
Konsumsi Pangan
Status Gizi (IMT): Berat badan Tinggi lutut
Status Kesehatan: - Keluhan kesehatan - Lama sakit - Frekuensi - Pengobatan
Tingkat Depresi
bukan peserta
Pelayanan kesehatan
Keterangan:
Varaibel yang diteliti :
Variabel yang tidak diteliti :
Hubungan yang diteliti :
Hubungan yang tidak diteliti :
METODE
Desain, Tempat, dan Waktu
Penelitian mengenai keragaan konsumsi pangan, status kesehatan,
kondisi mental dan status gizi pada lansia peserta dan bukan peserta home care
menggunakan disain cross sectional study. Peneliti melakukan observasi pada
lansia tanpa melakukan intervensi. Lokasi penelitian ditentukan secara
purposive. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Tegal Alur untuk lansia peserta
(binaan Yayasan Emong Lansia) dan bukan peserta home care. Penelitian
dilaksanakan pada bulan September sampai November 2010.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Contoh dalam penelitian ini adalah lansia berusia 60 tahun ke atas.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
ke atas. Contoh yang diambil harus memenuhi kriteria lansia berusia 60 tahun
atau lebih, tidak mengidap stroke atau gangguan ingatan (masih dapat
mengingat kejadian lampau dengan cukup baik), dapat berkomunikasi dengan
baik dan bersedia diwawancara sebagai responden.
Lansia peserta dan bukan peserta home care yang telah memenuhi
kriteria inklusi kemudian diambil secara purposive, masing-masing 30 orang
lansia. Penentuan lansia peserta dan bukan peserta home care yang dijadikan
contoh atas bantuan pendamping (caregiver), disesuaikan dengan kriteria inklusi
sama seperti lansia peserta home care. Jumlah seluruh responden adalah 60
orang lansia.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang akan dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer meliputi data karakteristik responden (nama, umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, pekerjaan, sumber pendapatan, status pernikahan, living
arrangement), konsumsi pangan (jumlah, jenis dan frekuensi) satu bulan, data
status gizi (berat badan dan tinggi lutut), status kesehatan (keluhan kesehatan,
lama sakit, frekuensi sakit, dan tindakan pengobatan) sebulan terakhir, dan
tingkat depresi satu minggu terakhir. Data sekunder meliputi data keadaan umum
Yayasan Emong Lansia (YEL) serta pelaksanaan home care di Tegal Alur.
Data karakteristik responden, konsumsi pangan, status kesehatan, dan
tingkat depresi diperoleh melalui wawancara langsung dengan alat bantu
kuesioner. Konsumsi pangan dinilai dengan kuesioner FFQ semikuantitatif berisi
bahan pangan yang telah disusun sebelumnya, lansia ditanyakan mengenai
kebiasaan makan selama satu bulan terakhir sebelum wawancara serta bahan
pangan lainnya yang mungkin dikonsumsi lansia tetapi tidak terdapat di dalam
kuesioner. Hasil jawaban lansia kemudian akan dikonfirmasi ulang kepada
keluarga atau pendamping yang menemani. Data status kesehatan yang terdiri
dari keluhan kesehatan, lama sakit, frekuensi sakit, dan tindakan pengobatan
ditanyakan satu bulan terakhir sebelum wawancara. Data status kesehatan
diperoleh dengan penilaian subjektif berdasarkan hasil wawancara tanpa
melakukan pemeriksaan klinis.
Tingkat depresi diukur dengan menggunakan kuesioner SDG versi
pendek yang berisi 15 pertanyaan bersifat tertutup. Lansia ditanyakan mengenai
kondisi sesuai dengan kuesioner SDG selama satu minggu terakhir sebelum
wawancara. Jawaban diperoleh dengan menyanyakan pertanyaan kuesioner
secara langsung maupun tidak langsung (sesuai dengan cerita yang
disampaikan lansia selama proses wawancara). Pertanyaan terbuka diajukan
untuk mengetahui berbagai alasan yang melatarbelakangi jawaban setiap
pertanyaan sehingga dapat mendukung jawaban yang diberikan lansia.
Penilaian status gizi ditentukan berdasarkan pengukuran berat badan dan
tinggi lutut. Pengukuran berat badan menggunakan timbangan injak Health Scale
yang memiliki ketelitian 1kg. Lansia berdiri di atas timbangan dan pandangan
lurus kedepan tanpa menggenggam atau menyentuh apapun, sepatu, tas,
barang lain dilepas, kemudian angka penunjuk dibaca. Tinggi lutut dipergunakan
sebagai prediktor tinggi badan, diukur dengan menggunakan kaliper pengukur
tinggi lutut (terbuat dari alumunium yang diberi pita meteran) dengan ketelitian
0,1cm. Tinggi lutut diukur dengan posisi berbaring (terlentang) pada kaki kiri,
antara tulang tibia dan tulang paha membentuk 900, kemudian kaliper pengukur
tinggi lutut ditempatkan sejajar tulang tibia, di antara tumit sampai bagia
proksimal dari tulang platela, kemudian skala dibaca. Pengukuran tinggi lutut
dilakukan dua kali pengukuran, kemudian diambil nilai rata-ratanya, untuk
meningkatkan ketelitian pengukuran.
Pengolahan dan Analisis Data
Tahapan pengolahan data dimulai dari editing, coding, entri, cleaning,
selanjutnya dianalisis. Penyusunan coding sebagai panduan entri dan
pengolahan data. Selanjutnya dilakukan entri data sesuai kode yang telah dibuat
dan cleaning data untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukan
data. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2007
dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS version 16.0 for Windows.
Pengolahan data konsumsi pangan menggunakan data yang diperoleh
dari wawancara dengan kuesioner FFQ (food frequency questionnaire) semi
kuantitatif. Data konsumsi dalam ukuran gram per hari kemudian dikonversi
dengan program Microsoft Excel 2007 untuk mendapatkan kandungan energi,
protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan fosfor. Jumlah konsumsi energi dan
zat gizi kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (WNPG 2004)
untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan dapat
dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1990):
𝑇𝐾𝐺𝑖 = 𝐾𝑖
𝐴𝐾𝐺𝑖 𝑥100%
Keterangan: TKGi = tingkat kecukupan zat gizi individu
Ki = konsumsi zat gizi individu
AKGi = angka kecukupan zat gizi individu yang dianjurkan
Status kesehatan responden meliputi keluhan kesehatan, lama sakit,
frekuensi sakit, dan tindakan pengobatan. Keluhan kesehatan dikelompokkan
menjadi penyakit infeksi, non infeksi, dan berbagai keluhan lain. Lama sakit dan
frekuensi sakit dianalisis berdasarkan rata-rata dan standar deviasi. Penyakit
infeksi dikelompokkan menjadi penyakit diare, ISPA, demam, dan infeksi lainnya.
Tingkat depresi diukur dengan menggunakan Skala Depresi Geriatrik
(SDG) versi pendek berisikan 15 pertanyaan. Jawaban dari pertanyaan diberi
skor 1 dan 0 dengan skor maksimal 15. Beberapa pertanyaan ada yang bersifat
invers (kebalikannya). Tingkat depresi dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu
normal (0-4), depresi ringan (5-8), depresi sedang (9-11), depresi berat (12-15)
(McDowell 2006).
Pengolahan data status gizi menggunakan data hasil pengukuran berat
badan dan tinggi lutut. Tinggi lutut digunakan sebagai prediksi tinggi badan.
Fatmah et al.(2008) merekomendasikan model prediksi tinggi badan lansia, yaitu:
Laki-laki : Prediksi TB = 56,343 + 2,102 tinggi lutut
Perempuan : Prediksi TB = 62,682 + 1,889 tinggi lutut
Status gizi ditentukan dengan IMT, perbandingan berat badan dengan kuadrat
tinggi badan dalam meter. Status gizi dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu
kurang (IMT < 18,5 kg/m2), normal (18,5 kg/m2 ≤ IMT ≤ 24,9 kg/m2), overweight
(IMT ≥ 25,0 kg/m2), obesitas (IMT ≥ 30,0 kg/m2) (WHO 2004 diacu dalam PDGKI
2008).
Analisis data yang digunakan adalah deskriptif dan inferensia. Analisis
deskriptif disajikan berupa tabel frekuensi, rata-rata dan standar deviasi pada
variabel penyelenggaraan home care, karakteristik contoh, konsumsi pangan per
golongan pangan, status kesehatan, tingkat depresi, dan status gizi. Uji statistik
yang digunakan yaitu:
1. Uji beda, uji yang digunakan adalah uji T sampel independen
(independent-sampel t test) untuk data rasio dan uji Mann Whitney untuk
data ordinal. Perbedaan konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi serta
status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care dianalisis dengan
uji T, sedangkan perbedaan tingkat depresi dan status kesehatan lansia
peserta dan bukan peserta home care dianalisis dengan uji Mann
Whitney.
2. Uji hubungan, Uji korelasi Pearson untuk menganalisis hubungan tingkat
kecukupan zat gizi dengan status gizi, hubungan lama sakit infeksi
dengan tingkat kecukupan zat gizi, dan hubungan lama sakit infeksi
dengan status gizi. Uji Person digunakan karena data kedua variabel
bersifat rasio. Selain itu, untuk variabel data ordinal digunakan uji korelasi
Spearman untuk menganalisis hubungan keluhan kesehatan dengan
tingkat depresi dan hubungan tingkat depresi dengan tingkat kecukupan
zat gizi.
Pengkategorian variabel disajikan pada tabel di bawah:
Tabel 3 Variabel dan indikator data yang dianalisis No Variabel Kategori variabel
1 Karaktersitik responden
- Umur (WHO) 1. Usia lanjut (60-74 tahun) 2. Usia tua (75-90 tahun)
- Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan
- Tingkat pendidikan 1. Tidak sekolah 2. Tidak tamat SD 3. Tamat SD/sederajat 4. Tamat SMP/sederajat 5. Tamat SMA/sederajat 6. Tamat PT
- Pekerjaan 1. Petani 2. Buruh 3. Wiraswasta 4. Tidak bekerja 5. Lainnya
No Variabel Kategori variabel
- Sumber pendapatan 1. Sosial 2. Anak 3. Cucu 4. Sendiri 5. Pensiunan 6. Lainnya
- Status pernikahan 1. Menikah 2. Tidak menikah 3. Cerai hidup 4. Cerai mati
- Living arrangement 1. Tinggal sendiri 2. Tinggal bersama keluarga
2 Konsumsi pangan
- Tingkat kecukupan Energi dan Protein (Depkes 1996 diacu dalam Sukandar 2007)
1. Defisit tingkat berat (<70% AKG) 2. Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) 3. Defisit tingkat ringan (80-89%AKG) 4. Normal (90-119% AKG) 5. Berlebih (>120% AKG)
- Tingkat kecukupan Kalsium, Fosfor, Vitamin A, dan Vitamin C (Gibson 2005)
1. Kurang (<77% AKG) 2. Cukup (≥77% AKG)
3 Status Gizi (WHO 2004 diacu dalam PDGKI 2008)
1. Kurang (IMT < 18,5 kg/m2)
2. Normal (18,5 kg/m2 ≤
IMT ≤ 25 kg/m
2)
3. Overweight (IMT > 25,0 kg/m2)
4. Obesitas (IIMT ≥ 30,0 kg/m2)
4 Status Kesehatan
- Keluhan kesehatan 1. Tidak ada 2. Terdapat 1 jenis keluhan 3. Terdapat lebih dari 1 jenis keluhan
- Jenis penyakit dan keluhan
1. Infeksi 2. Non infeksi 3. Keluhan
- Lama sakit Dianalisis berdasarkan rata-rata dan standar deviasi
- Frekuensi sakit Dianalisis berdasarkan rata-rata dan standar deviasi
- Tindakan pengobatan 1. Puskesmas 2. Dokter 3. Obat warung 4. Obat tradisional
5 Tingkat depresi (McDowell 2006)
1. Normal (0-4) 2. Depresi ringan (5-8) 3. Depresi sedang (9-11) 4. Depresi berat (12-15)
Definisi Operasional
Lansia adalah orang yang lansia berusia 60 tahun atau lebih, tidak mengidap
stroke atau gangguan ingatan (masih dapat mengingat kejadian lampau
dengan cukup baik), dapat berkomunikasi dengan baik dan bersedia
diwawancara sebagai responden.
Home care adalah bentuk pelayanan sosial bagi lansia, dibawah naungan
Yayasan Emong Lansia (YEL), yang dilakukan oleh pendamping berupa
pelayanan minimal kunjungan satu kali dalam satu minggu, bantuan
sembako perbulan, pelaksanaan kegiatan ramah lansia serta pelayanan
kesehatan.
Peserta home care adalah lansia yang terdaftar sebagai lansia binaan YEL,
mendapatkan pelayanan kunjungan minimal 1kali seminggu dari
pendamping, bantuan sembako perbulan, serta pelayanan kesehatan
berupa pemeriksaan dokter minimal 1kali dalam 1bulan di kegiatan ramah
lansia, serta pelayanan rujukan ke tempat pelayanan kesehatan setempat
jika mengalami sakit diluar pemeriksaan rutin.
Bukan peserta home care adalah lansia yang tidak terdaftar sebagai lansia
binaan YEL, mendapatkan pelayanan kesehatan berupa pemeriksaan
dokter 1kali dalam 1bulan di kegiatan ramah lansia.
Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal terakhir yang dijalani
lansia diukur dengan lamanya tahun pendidikan atau jenjang pendidikan
Sumber pendapatan adalah asal biaya yang diperoleh atau dipergunakan lansia
untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya meliputi sandang, pangan,
dan papan, tidak selalu dalam bentuk uang namun dapat dalam bentuk
lain.
Living arrangement adalah pengaturan tempat tinggal lansia yang menunjukkan
keberadaan tinggal lansia.
Pekerjaan adalah aktifitas yang dilakukan oleh lansia dengan tujuan untuk
mendapatkan uang.
Status penikahan adalah status hubungan lansia dengan lawan jenisnya yang
sah secara hukum (adat, agama, negara, dan sebagainya).
Konsumsi pangan adalah jumlah dan frekuensi pangan per kelompok pangan
yang dikonsumsi lansia, diukur satu bulan terakhir dari waktu wawancara
dengan menggunakan FFQ semi-kuantitatif.
Status kesehatan adalah kondisi lansia yang meliputi keluhan kesehatan, lama
sakit, frekuensi sakit dan tindakan pengobatannya selama 1 bulan
terakhir.
Keluhan kesehatan adalah gangguan terhadap kondisi fisik karena sakit,
kecelakaan atau hal lainnya, termasuk orang yang menderita penyakit
kronis meskipun pada saat pendataan tidak kambuh penyakitnya.
Lama sakit adalah jumlah hari sakit yang dialami lansia sebulan terakhir dari
waktu wawancara
Frekuensi sakit adalah jumlah pengulangan atau kekambuhan penyakit tertentu
yang dialami lansia sebulan terakhir dari waktu wawancara
Status gizi adalah keadaan gizi lansia yang ditentukan dengan pengukuran
berat badan dan tinggi lutut untuk kemudian dihitung IIMT, dikategorikan
menjadi, status gizi kurang (IMT < 18,5 kg/m2), normal (18,5 kg/m2 ≤ IMT
≤ 25 kg/m2), overweight (IMT > 25,0 kg/m2) dan obesitas (IMT ≥ 30,0
kg/m2).
Tingkat depresi adalah keadaan emosi yang dirasakan responden selama 1
minggu terakhir yang diukur menggunakan Skala Depresi Geriatrik (SDG)
versi pendek dengan kategori normal (0-4), depresi ringan (5-8), depresi
sedang (9-11), dan depresi berat (12-15).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Yayasan Emong Lansia
Yayasan Emong Lansia (YEL)- HelpAge Indonesia adalah organisasi
non-profit berbasis masyarakat, didirikan pada tanggal 29 Mei 1996 di Jakarta
oleh Steven King mewakili HelpAge Internasional, Mr. Cho Ki Dong (HelpAge
Korea), Ibu Joyce Sosrohadikusumo dan Dr. Tony Setiabudhi, PhD. Terdaftar
pada kantor Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Dinas Bina
Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial dengan nomor: 06.12160.118/076.6-B.
Tujuan dari YEL untuk meningkatkan kualitas hidup warga usia lanjut yang
memungkinkan mereka hidup secara terhormat. Visi dari YEL adalah lanjut usia
sehat, mandiri, dan sejahtera sedangkan misi YEL adalah meningkatkan kualitas
hidup warga lanjut usia secara berkesinambungan.
Program kerja yang dilakukan yaitu, home care, sponsor a grandparent,
policy advokasi, access to helath services, pelatihan ITCOA, emergency relief
and rehabilitation, dan informasi. Home care merupakan kunjungan ataupun
pendampingan di rumah bagi lanjut usia yang rentan, sakit, kesepian, dan tinggal
sendiri. Pilot project home care dilakukan di Tegal Alur yang kemudian diadopsi
oleh Pemerintah, khususnya Departemen Sosial RI, menjadi Program Nasional
pendampingan dan perawatan lanjut usia di rumah (Home Care) dengan SK
Menteri Sosial RI No. 67/HUK/2006. Alasan diadopsinya program home care ini
dikarenakan beberapa hal seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk
mendirikan sebuah panti jompo (panti werdha), sumber daya manusia yang
terbatas serta budaya Indonesia sendiri yang menganggap bahwa kurang pantas
memasukan orangtua ke panti jompo. Hingga saat ini penyelenggaraan home
care dibawah binaan YEL tidak saja dilakukan di Tegal Alur, tetapi juga dilakukan
di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam (NAD).
Sponsor a grandparent berupa penggalangan dana untuk pelayanan
sosial, terutama bagi lanjut usia yang kurang mampu di bidang pangan, sandang,
kesehatan, spiritual, perbaikan tempat tinggal, olah raga dan rekreasi. Policy
advokasi berupa Lokakarya Nasional yang menghasilkan Rencana Aksi Nasional
(RAN) 2003-2008 dan Komisi Nasional Lanjut Usia dengan Keputusan Presiden
No. 52 tahun 2004.
Yayasan Emong Lansia pun menyelenggarakan access to health
services/ pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang dimaksudkan adalah
YEL sebagai fasilitator untuk membuka jejaring dengan puskesmas atau rumah
sakit setempat sehingga lansia dapat melakukan pengobatan secara gratis.
Pelatihan ITCOA (International Training Center on Aging) ditujukan bagi lanjut
usia dan bagi mereka yang terlibat langsung dalam pelayanan baik lokal maupun
internasional. Emergency relief and rehabilitation berupa bantuan sosial bencana
dan sesudahnya sedangkan dalam bidang informasi, YEL menerbitkan majalah
“Gerbang Lansia” secara berkala untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
dan lanjut usia itu sendiri untuk bersama-sama menanggulangi masalah yang
dihadapi.
Struktur organisasi YEL:
Dewan Penangggung Jawab (Board of Trustees)
1. Ketua : Ibu Y.S. Nasution
2. Anggota : Ibu Soepardjo Roestam
Ibu BRA Mooryati Soedibyo
Dr. Tony Setiabudhi, PhD
Dewan Penasehat (Board of Advisor)
1. Ibu Prof. Dr. Tri Budi W. Rahardjo
2. DR. Dr. Nugroho Abikusno, MSc. PhD
3. Bapak Dick S. Sapi-ie
Dewan Pelaksana
1. Ketua : Ibu Eva Sabdono, MBA
2. Wakil Ketua : Ibu Dida Soerodjo
3. Bendahara : Ibu Elfy B Santoso
4. Humas : Ibu Murniyati Arisandi
Bidang Umum
1. Drs. Sofyan Manurung
2. H. Azhari
Sekertaris
1. Siti Rahmawati
2. Sundari
Home Care di Tegal Alur
Latar Belakang Penyelenggaraan Home Care
Home care adalah bentuk pelayanan pendampingan dan perawatan lanjut
usia di rumah sebagai wujud perhatian terhadap lansia lansia yang rentan, sakit,
kesepian, dan tinggal sendiri dengan mengutamakan peran masyarakat berbasis
keluarga. Latar belakang diadakannya pilot project home care di Indonesia
adalah mengingat kesepakatan antara pemerintahan Korea dan ASEAN
Secretariat untuk mengembangkan home care sebagai pilot project di sepuluh
negara anggota ASEAN melalui HeplAge Korea dan HelpAge Internasional. Pilot
project home care di Indonesia dilaksanakan oleh YEL (HelpAge Indonesia), di
Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat mulai 1 Oktober 2003 hingga Maret 2006
dengan bantuan dana dari HelpAge Korea. Pemilihan tempat di Kelurahan Tegal
Alur merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Nasional tahun 2002 bersama
Komnas Lansia. Lokakarya Nasional yang dihadiri kelompok sosial dan kelompok
kesehatan memilih Tegal Alur sebagai daerah percontohan karena Tegal Alur
merupakan daerah IDT (Inpres Desa Tertinggal). Lansia yang tinggal di daerah
IDT rentan tinggal sendirian karena anak atau keluarga lainnya sibuk dengan
aktivitas perekonomian.
Tahapan Penyelenggaraan Kegiatan Home Care
Proses penyelenggaraan home care di Tegal Alur meliputi sosialisasi,
seleksi calon pendamping, pemantapan pendamping, pendataan lansia calon
penerima layanan, implementasi program, serta monitoring, evaluasi, dan
pelaporan. Penyelenggaraan home care diawali dengan proses sosialisasi.
Sosialisasi dilakukan setelah penentuan lokasi, pada tahun 2004, kepada pihak
pemerintah daerah mulai dari walikota, dinas sosial, kecamatan dan kelurahan
serta organisasi-organisasi sosial yang peduli pada lansia seperti PSM (Pekerja
Sosial Masyarakat), PMI (Palang Merah Indonesia) dan PKK. Tahapan kedua
yang dilakukan adalah seleksi calon pendamping yang berasal dari masyarakat
sekitar dan anggota organisasi-organisasi sosial peduli lansia. Awal pendataan
terdaftar sejumlah 125 orang yang kemudian diseleksi dan diterima sebanyak 40
orang pendamping.
Selanjutnya pendamping yang telah terpilih diberikan pelatihan pertama
oleh ITCOA. Pelatihan yang diberikan kepada pendamping dilakukan dengan
dua cara yaitu berupa pemberian teori dan praktek lapang. Tenaga pendamping
harus mempunyai pengetahuan dasar tentang teknik-teknik pendampingan dan
perawatan lansia (non medis) untuk dapat memberikan pelayanan terhadap
lansia antara lain:
a. permasalahan yang dihadapi lansia baik mental maupun fisik
b. teknik komunikasi
c. pengetahuan dasar tentang konseling
d. pengetahuan dasar tentang asuhan keperawatan (non medis)
e. metode pekerjaan sosial
f. pengetahuan tentang gizi
Praktek lapang dilakukan setelah pemberian teori dilakukan. Praktek lapang ini
ditujukan untuk meningkatkan keterampilan para pendamping. Pendamping
terlebih dahulu magang di tempat-tempat yang menyediakan pelayanan lansia
seperti panti jompo lansia. Pelatihan pendamping tahap kedua selanjutnya
dilakukan bekerjasama dengan BKBI (Balai Keluarga Berencana Indonesia),
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional).
Tahapan kegiatan penyelenggaraan home care selanjutnya adalah
pendataan lansia calon penerima layanan oleh pendamping. Pendataan awal
diperoleh sebanyak 520 orang lansia calon penerima layanan. Jumlah tersebut
kemudian disesuaikan dengan jumlah pendamping dan keterbatasan pelayanan
serta persyaratan lansia peserta, hingga terpilih 60 orang lansia yang terdaftar
sebagai lansia peserta.
Tahapan terpenting dalam penyelenggaraan home care adalah
implementasi program. Penyelenggaraan pelayanan home care perlu didukung
oleh fasilitas dalam bentuk saranan dan prasarana yang memadai. Fasilitas ini
perlu disediakan untuk mempermudah dan mempercepat pelayanan.
Berdasarkan surat Lurah Tegal Alur No. 153/I.864 tanggal 5 Agustus 2004, YEL
mendapatkan izin penggunaan beberapa ruangan yaitu ruang kantor gedung dan
aula kantor kelurahan lama. Tempat tersebut menjadi Pusat Kegiatan Lanjut Usia
(PKLU) Kelurahan Tegal Alur. Sarana penunjang yang dilengkapi yaitu
pembuatan kamar mandi, penyediaan kursi lipat, meja tulis, white board serta
perlengkapan lain yang dibutuhkan sejalan dengan peningkatan pelayanan
kepada lansia. Pemeliharaan kebersihan tempat tersebut dilaksanakan oleh
pendamping dalam bentuk piket harian di PKLU.
Tahapan terakhir dalam penyelenggaraan home care adalah proses
monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Monitoring adalah proses pemantauan yang
dilakukan secara terarah mengenai proses dan kemajuan pelayanan home care
untuk menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi proses pelayanan,
dilakukan secara berkala setiap minggu. Monitoring dilakukan saat pertemuan
rutin seluruh pendamping dengan koordinator lapangan dilakukan secara rutin
setiap minggu. Pertemuan tersebut membahas berbagai kendala yang ditemui
selama proses pendampingan dan kemajuan pelayanan yang ada.
Evaluasi adalah proses menghitung, mengukur dan menilai proses
pelayanan dan hasilnya terhadap pelayanan home care. Tujuannnya adalah
teridentifikasinya proses dan hasil pelayanan (keluaran, pencapaian hasil,
manfaat dan dampaknya). Evaluasi dilakukan secara bersama-sama antara YEL
dengan koordinator lapang serta pendamping. Evaluasi dampak dari pilot project
home care pernah dilaksanakan pada tahun 2006, menilai apakah pelayanan
memenuhi kebutuhan masyarakat. Responden pada evaluasi dampak ini dipilih
secara acak, terdiri dari lansia, keluarga lansia, pendamping, anggota
masyarakat, puskesmas, kepala lurah dan kepala RW/RT. Evaluasi dampak ini
menilai lima aspek khusus, yaitu mengukur:
1. berapa banyak orang tahu tentang adanya program
2. penerimaan layanan dari sudut pandang budaya
3. tingkat kepuasan pelayanan
4. tingkat pentingnya perawatan rumah yang dilakukan bagi lansia miskin
5. dampak program itu sendiri
Hasil evaluasi dampak pilot project home care di Tegal Alur adalah
pelayanan yang dilaksanakan YEL memuaskan bagi lansia dan pihak lain yang
terlibat seperti keluarga, pendamping, masyarakat sekitar serta aparat
pemerintah. Evaluasi ini dengan jelas menunjukkan bahwa seluruh masyarakat
yang terlibat dalam pelayanan ini memiliki minat yang sama dalam kesejahteraan
lansia dan mendukung semua kegiatan yang dilaksanakan. Kegiatan ini adalah
upaya yang diselenggarakan oleh, dari dan untuk masyarakat dengan peran aktif
pemerintah daerah.
Pelaporan merupakan pendokumentasian pelayanan home care secara
teknis maupun administratif yang disusun secara lisan maupun tertulis. Laporan
secara lisan biasanya dilakukan saat pertemuan mingguan pendamping dengan
koordintator lapang. Kemudian, setiap bulannya pendamping melaporkan secara
tertulis kondisi umum lansia peserta kepada koordinator lapang. Koordinator
lapang nantinya akan menyusun laporan hasil kinerja secara tertulis kepada
pimpinan YEL.
Sasaran Pelayanan Home Care
Sasaran pelayanan home care ada yang bersifat langsung dan tidak
langsung. Sasaran langsung adalah lanjut usia (berusia 60 tahun lebih), miskin,
tinggal sendiri, terlantar dan mengalami masalah dengan kesehatan atau
aktivitasnya. Lansia yang akan menjadi peserta tidak hanya memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan, tetapi juga harus mendapatkan surat izin dari
keluarga lansia atau kepala RW/RT setempat bagi lansia yang tinggal sendiri.
Jumlah lansia yang menjadi peserta home care dari tahun ke tahun mengalami
perkembangan. Pada awal pelaksanaan, sebanyak 60 lansia terdaftar sebagai
peserta home care. Kemudian, pada tahun 2009 jumlah peserta berjumlah 80
orang lansia. Hingga saat ini pelayanan home care di Tegal Alur baru dilakukan
di 13 RW dari 16 RW yang ada di kelurahan Tegal Alur dengan jumlah lansia
peserta 75 orang. Perubahan jumlah lansia ini disebabkan oleh berubahnya
jumlah pendamping serta beberapa lansia yang sudah meninggal.
Sasaran tidak langsung pelayanan home care adalah keluarga,
masyarakat serta berbagai kelembagaan baik pemerintah maupun organisasi
sosial yang peduli terhadap lansia. Keluarga dalam hal ini diharapkan menjadi
lebih peduli terhadap lansia. Pendamping memotivasi keluarga lansia untuk
merawat lansia seperti yang dilakukan pendamping.
Kelembagaan pemerintah maupun organisasi sosial menjadi salah satu
pihak penting yang menjadi sasaran pelayanan home care. Hal ini berkaitan
dengan proses kerja sama atau kemitraan yang akan dijalin antara YEL dengan
kelembagaan tersebut untuk mendukung terlaksananya pelayanan home care.
Hingga saat ini berbagai lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah seperti
Departemen Sosial (Depsos), walikota, kecamatan, kelurahan, RW/RT serta
Puskesmas setempat sudah menjalin kerjasama dengan baik. Selain itu,
organisasi-organisasi sosial seperti PSM (Pekerja Sosial Masyarakat), PMI
(Palang Merah Indonesia) dan PKK ikut juga terlibat dalam proses
penyelenggaraan pelayanan home care di Tegal Alur disamping beberapa pihak
lain yang tidak ingin nama atau institusinya disebutkan.
Jenis Pelayanan Home Care
Jenis pelayanan home care yang dilaksanakan di Tegal Alur mengalami
perkembangan dari tahun ke tahun. Pada awal pendirian tahun 2004, pelayanan
dipusatkan pada pelayanan sosial, pendampingan lansia di rumah.
Pendampingan ini berupa kunjungan yang dilakukan pendamping ke rumah
lansia satu kali dalam satu minggu untuk mendengar berbagai cerita atau
keluhan yang dialami lansia. Jika lansia tinggal sendiri atau mengalami
keterbatasan mobilitas, pendamping membantu lansia melakukan aktivitas
keseharian atau kegiatan rumah tangga seperti membersihkan ruangan tempat
tinggal lansia.
Tahun 2009, pelayanan yang diberikan tidak hanya pelayanan sosial,
akan tetapi juga diberikan pelayanan lainnya. Bentuk pelayanan yang
dilaksanakan berupa pelayanan kesehatan. Pendamping bertugas menemani ke
puskesmas atau merujuk ke rumah sakit bila lansia perlu dirawat. Pemberian
bantuan pun diberikan berupa alat bantu bagi lansia yang membutuhkan antara
lain, kursi roda, tongkat, kaca mata. Pelayanan juga ditujukan untuk
meningkatkan gizi lansia peserta meskipun sifatnya terbatas, yaitu dengan
pemberian sembako (beras, susu, biskuit, mie instan) secara berkala setiap satu
bulan satu. Selain itu, diadakan pula kegiatan ramah lansia tingkat RW, senam
lanjut usia serta pemberian pinjaman modal Usaha Ekonomi Produktif (UEP).
Kegiatan ramah lansia tingkat RW dilakukan satu kali dalam satu bulan.
Kegiatan rutin yang dilakukan pada kegiatan ramah lansia adalah pemeriksaan
kesehatan dan penyuluhan oleh dokter yang diutus dari puskesmas, sedangkan
untuk kegiatan tambahan seperti pemberian keterampilan beragam setiap
bulannya tergantung kepada pendamping. Pemeriksaan kesehatan yang
dilakukan adalah pemeriksaan umum seperti tekanan darah dan penimbangan
berat badan. Apabila hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa lansia sakit
atau lansia menyatakan berbagai keluhan yang dialaminya, dokter akan
memberikan obat secara gratis kepada seluruh lansia yang mengikuti
pemeriksaan tersebut. Bahkan jika pemeriksaan dianggap cukup parah, dokter
akan memberikan surat pengantar untuk melakukan pemeriksaan lanjutan ke
puskesmas atau rumah sakit daerah.
Senam lansia dilakukan setiap satu kali dalam satu minggu. Senam lansia
dipimpin oleh seorang instruktur senam yang juga pendamping home care.
Pemberian pinjaman modal UEP diberikan pada lansia yang masih produktif atau
keluarga lansia sejumlah Rp 500.000,00. Pemberian modal UEP kepada
keluarga lansia dengan harapan keuntungan dari usaha yang dijalankan dapat
membantu lansia. Jenis usaha yang dijalankan sebagian besar berada pada
lingkup usaha makanan. Tidak ada mekanisme ketat yang mengatur sistem
pengembalian pinjaman modal UEP. Lansia atau keluarga lansia dapat
mengembalikan pinjaman sesuai kemampuan lansia membayar baik dari segi
besarnya uang yang dibayarkan maupun waktu pengembalian.
Tahun 2010, YEL atas dukungan PT Sido Muncul dalam rangka Hari
Lanjut Usia Nasional (HLUN) telah memberikan bantuan perbaikan kamar lansia
kepada 10 orang lansia peserta home care. Sebanyak 14 orang lansia
mendapatkan bantuan program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) dari Depsos
berupa uang sejumlah Rp 300.000,00 per bulan.
Pendamping Home Care
Pelayanan home care didampingi oleh para pendamping yang ditunjuk
dan memenuhi syarat untuk membantu para lansia. Kriteria para pendamping ini
diantaranya, berbadan sehat, tinggal di wilayah pelayanan, usia 21-55 tahun,
pendidikan minimal SD, telah memiliki pengalaman melayani atau merawat
lansia, dan mempunyai motivasi untuk merawat lansia. Selain itu, kriteria yang
harus dipenuhi adalah telah lolos dalam seleksi baik secara lisan (wawancara)
maupun tulisan yang kemudian bersedia mengikuti pelatihan secara penuh dan
bersedia menjadi pendamping selama satu tahun dengan mengunjungi lansia
minimal satu jam sekali seminggu.
Tugas pendamping adalah melakukan penelaahan serta pengungkapan
masalah dan kebutuhan, menghubungkan lansia dengan sumber pelayanan dan
mendampingi lansia dalam kegiatan lansia yang secara terprogram dibuat oleh
YEL. Informasi yang perlu diketahui oleh pendamping adalah berbagai
permasalahan dan kebutuhan lanjut usia baik fisik, psikososial maupun mental
spriritual yang kemudian dilaporkan dalam bentuk jurnal setiap minggunya.
Dalam rangka perbaikan pelayanan kepada lansia, YEL juga melakukan
perbaikan pelayanan bagi pendamping. Pendamping secara bergantian diberikan
kesempatan memperoleh pelatihan yang diselenggarakan oleh Depsos, Depkes
RI. Studi banding juga dilakukan ke Sukabumi, tempat yang menyelenggarakan
home care. Selain itu, beberapa kegiatan yang ditujukan bagi lansia seperti
kegiatan senam lansia dan pemberian bantuan modal usaha (UEP) juga
diberikan bagi pendamping.
Pekerjaan sebagai pendamping home care merupakan pekerjaan sosial
tanpa bayaran apapun. Pendamping yang sebagian besar berasal dari kader,
PKK atau PSM mendapat kartu berobat gratis dari kelurahan untuk 17 rumah
sakit DKI Jakarta. Selain itu, sebagai penghargaan kepada pendamping, YEL
biasanya memberikan tunjangan hari raya (THR) setiap tahunnya. Tunjangan ini
bukan berupa uang, tetap biasanya berupa makanan, pakaian, rompi, kerudung
atau sajadah yang tiap tahunnya diberikan berbeda.
Jumlah pendamping dari awal pelaksanaan home care sampai sekarang
mengalami perubahan. Pada awal pendirian terdapat 40 orang pendamping yang
berasal dari kader, PKK, PMI, PSM. Kemudian pada tahun berikutnya, beberapa
pendamping dari PMI mengundurkan diri dengan alasan jarak atau transportasi
yang jauh. Pada tahun 2008, jumlah pendamping hanya 22 orang kemudian
bertambah menjadi 30 orang pada tahun 2009. Pada saat penelitian
dilaksanakan, tahun 2010, jumlah pendamping terdaftar sebanyak 35 orang.
Terdapat beberapa alasan yang mendasari pengunduran diri seorang
pendamping, antara lain dengan alasan sakit-sakitan, pindah domisili, meninggal
atau karena alasan transportasi yang dirasa jauh. Satu pendamping bertugas
mendampingi dua orang lansia, tetapi saat ini dikarenakan jumlah pendamping
berkurang maka terdapat beberapa pendamping yang mendampingi lebih dari
dua lansia.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pendamping mengenai
motivasi, kendala pendampingan serta persepsi mengenai kegiatan yang telah
dilakukan YEL, diperoleh pendapat yang hampir serupa. Seluruh pendamping
menyebutkan bahwa motivasi mereka untuk menjadi pendamping adalah untuk
membantu sesama, terutama lansia. Pendamping merasa tergerak hati
nuraninya untuk menolong lansia yang berada di daerahnya karena mereka
merasa senang jika bisa berbagai kebahagiaan dengan para lansia. Selama
proses pendampingan, para pendamping merasa tidak ada hambatan. Respon
yang diterima pendamping baik dari lansia maupun dari keluarga lansia cukup
baik karena mereka merasa senang ada yang memperhatikan dan mendukung
mereka. Persepsi para pendamping terhadap pelayanan yang telah dilaksanakan
oleh YEL cukup bagus. Para pendamping berharap kedepannya kegiatan
pelayanan home care dapat berlangsung secara kontinu dan lebih ditingkatkan
pelayanannya.
Penyelenggaraan home care ini mengalami berbagai kendala. Kendala
yang dihadapi antara lain transportasi pendamping belum ada, jumlah
pendamping yang terbatas sedangkan jumlah lansia yang memerlukan
pendampingan masih banyak, serta hambatan dalam hal dana.
Peserta dan Bukan Peserta Home Care
Selama proses penyelenggraan home care di Tegal Alur, berbagai
pelayanan yang diselenggarakan oleh YEL ternyata tidak hanya menjangkau
lansia peserta tetapi juga menjangkau lansia bukan peserta home care.
Beberapa pelayanan yang diselenggarakan oleh YEL dapat diikuti baik oleh
lansia peserta maupun bukan lansia peserta home care. Tabel di bawah
menunjukkan perbedaan pelayanan yang diperoleh lansia peserta dan bukan
peserta home care:
Tabel 4 Perbedaan pelayanan yang diperoleh lansia peserta dan bukan peserta home care
Jenis Pelayanan Home care
Peserta Bukan peserta
Pelayanan kunjungan dari pendamping 1x/minggu √ − Pemeriksaan kesehatan 1x/bln √ √ Kegiatan ramah lansia (pelatihan kerajinan tangan) √ √ Pengobatan gratis ke puskesmas √ √ Pemberian modal UEP √ − Perbaikan kamar lansia √ − Pemberian JSLU dari Depsos √ √ Pemberian sembako 1x/bulan √ − Senam lansia 1x/minggu √ √
Keterangan: “√”: ya, “−“: tidak
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa pelayanan kesehatan 1x/bulan,
kegiatan ramah lansia, pengobatan gratis ke Puskesmas, pemberian JSLU dari
Depsos dan senam lansia 1x/minggu dapat diperoleh baik oleh lansia peserta
maupun bukan peserta home care. Pengajuan JSLU yang dilakukan oleh
pendamping tidak hanya ditujukan bagi lansia peserta home care. Lansia yang
miskin, sakit-sakitan, sudah tidak berdaya serta mendapatkan makanan dari
pemberian orang lain, menjadi sasaran utama calon penerima bantuan JSLU
meskipun lansia tersebut tidak terdaftar sebagai peserta home care.
Pelayanan kunjungan pendamping 1x/minggu, pemberian modal UEP,
perbaikan kamar lansia, dan pemberian sembako 1x/bulan hanya diperoleh oleh
lansia peserta home care. Hal ini dikarenakan keterbatasan pendamping dan
dana untuk bisa menjangkau seluruh lansia yang ada di Tegal Alur. Meskipun
demikian, hal ini tetap menunjukkan bentuk kepedulian YEL terhadap lansia,
meskipun lansia tersebut tidak terdaftar sebagai peserta home care meningat
kondisi lansia yang secara psikologis mudah merasa iri atau tersinggung jika ada
lansia lain yang mendapatkan perhatian lebih.
Penyelenggaraan Home Care di Negara Lain
Penyelenggaraan home care di Indonesia, seperti sudah dijelaskan
sebelumnya, merupakan bentuk kerja sama antara pemerintah Korea (HelpAge
Korea) dengan negara ASEAN untuk mengembangkan home care sehingga
model pelayanan yang diberikan didisain sesuai dengan yang diselenggarakan di
Korea dan tetap disesuaikan dengan kebutuhan lokal, sumbedaya yang ada, dan
budaya masing-masing negara. Model home care yang berhasil dilakasanakan di
Korea adalah volunteer based home care (Volunteer-based home help services)
sehingga HelpAge Korea diminta untuk mengembangkan model tersebut di
ASEAN.
Penyelenggaraan home care di Korean dimulai pada tahun 1982,
diselenggarakan oleh NGO (non-goverenment organization) HelpAge Korea
dengan bantuan dana dari HelpAge Internasional, ditujukan untuk mendukung
lansia miskin dan membutuhkan dukungan. Pertama kali dilakukan dengan
memperkenalkan pendamping (relawan) untuk mengurus lansia yang mengalami
imobilitas, berpendapatan rendah, dan dapat melakukan beberapa perawatan
pribadi sendiri. Home care ditujukan bagi lansia miskin, rentan, dan terisolasi
agar bisa hidup mandiri di masyarakat. Pelayanan yang diberikan berupa
bantuan untuk pekerjaan rumah tangga, perawatan pribadi, pertemanan dan
menjalankan tugas-tugas lainnya. Pemerintah Korea sendiri baru mengadopsi
home care menjadi kebijakan nasional pada tahun 1989 dan kemudian
dikembangkan secara nasional dengan bantuan NGO.
Penyelenggaraa home care di negara ASEAN adalah NGO yang peduli
dengan lansia, baik didanai ataupun tidak oleh pemerintah. Tujuan utama home
care adalah untuk membantu lansia yang rentan untuk terus bisa hidup di
keluarga dan masyarakat, baik secara mandiri atau bersama dengan keluarga
mereka. Populasi yang menjadi sasaran home care adalah lansia miskin, yang
sering tinggal sendiri, memiliki kesulitan dalam melakukan aktivitas keseharian,
membutuhkan dukungan yang tidak didapat dari keluarga. Pelayanan diberikan
di rumah lansia dengan minimal kunjungan 1 kali dalam 1 minggu. Pendamping
bekerja secara sukarela. Pelayanan mendasar yang diberikan adalah berupa
pertemanan untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan sosial, yang berarti
meluangkan waktu untuk bercerita dengan lansia yang kesepian dan
membutuhkan dukungan emosional. Di luar itu, jenis pelayanan bersifat fleksibel,
biasanya berupa bantuan pekerjaan rumah tangga, perawatan diri, atau
mengantar lansia ke tempat penting (dokter, acara sosial, rumah ibadah).
Model penyelenggraan home care yang dikembangkan adalah volunteer
based home care yang telah disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya,
ekonomi kemudian menghasilkan tiga model utama:
1) Volunteer based home care model, penyelenggara home care
menyediakan pelayanan di rumah secara teratur bagi lansia miskin
dan memiliki kesulitan dalam melakukan aktivitas keseharian,
pendamping dipilih dari masyarakat sekitar. Model ini dikembangkan
di negara Brunei, Indonesia, Myanmar, Malaysia, Thailand, dan
Vietnam.
2) Volunteer & older peoples association (OPA) based home care
model, penyelenggara home care bekerja sama dengan asosiasi
lansia di masyarakat memberikan pelayanan sukarela. Model ini
dikembangkan di negara Kamboja dan Filipina.
3) Family caregiver support model, penyelenggara home care
menyediakan pelatihan bagi anggota keluarga atau orang lain yang
tinggal bersama lansia di masyarakat untuk merawat lansia. Model ini
dikembangkan di negara Laos.
Secara garis besar dampak dari penyelenggaraan home care di negara
ASEAN mencakup berbagai pihak, 1) Lansia menyadari bahwa mereka tidak lagi
terisolasi di masyarakat dan berterima kasih kepada pendamping yang selalu
meluangkan waktu untuk mengunjungi mereka dan memungkinkan mereka untuk
tetap tinggal di rumah selama mungkin, 2) Keluarga menjadi lebih peduli kepada
lansia dan mengapresiasi keberadaan pendamping karena dapat menutupi
kurangnya perhatian dari keluarga, 3) Pendamping merasa puas dengan peran
mereka dan merasa bangga dengan keikutsertaan mereka karena mendapat
tanggapan positif dari keluarga sehingga mereka termotivasi untuk melanjutkan
sebagai pendamping, 4) Masyarakat menjadi sadar bahwa masih banyak lansia
miskin dan terlantar sehingga memotivasi mereka untuk lebih perhatian terhadap
kebutuhan dan perubahan yang terjadi pada lansia, 5) Pemerintah menyadari
bahwa home care telah memenuhi kebutuhan lansia yang ingin tinggal di
masyarakat, terbukti hemat biaya dibandingkan dengan sistem pelayanan
institusi lain serta sesuai dengan tradisi dan budaya masing-masing. Program
home care yang telah diperluas ke provinsi lain oleh NGO dengan bantuan
pemerintah baik secara teknis maupun pendanaan diselenggarakan di 4 negara,
yaitu indonesia, Myanmar, Filipina dan Vietnam.
Karakteristik Lansia
Usia
Contoh pada penelitian ini adalah lanjut usia, pria dan wanita yang
berusia lebih dari atau sama dengan 60 tahun. Jumlah keseluruhan contoh
adalah 60 orang lansia yang diambil dari peserta dan bukan peserta home care
di Kelurahan Tegal Alur masing-masing sebanyak 30 orang.
Tabel 5 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut usia
Karakteristik Lansia
Home care
Peserta Bukan Total
n % n % n %
Lanjut usia (60-74 tahun) Lanjut usia tua (75-90 tahun)
23 7
76,7 23,3
25 5
83,3 16,7
48 12
80 20
Total 30 100 30 100 60 100
Usia peserta home care berkisar antara 63-84 tahun dengan rata-rata
71,03 tahun dan standar deviasi 4,94 tahun, sedangkan usia bukan peserta
home care berkisar antara 62-84 tahun dengan rata-rata 68,9 tahun dan standar
deviasi 5,74 tahun. Lebih dari separuh peserta home care (66,7%) dan bukan
peserta home care (83,3%) berada pada kelompok usia lanjut usia yaitu antara
60-74 tahun (WHO diacu dalam Komnas Lansia 2008).
Jenis Kelamin
Sebagian besar lansia peserta (83,3%) dan bukan peserta home care
(90%) berjenis kelamin wanita. Lebih lanjut Abikusno (2007) menyebutkan bahwa
wanita merupakan mayoritas populasi lansia, di sebagian besar negara, dan
bahkan mayoritas terbesar pada populasi lanjut usia tua. Usia harapan hidup
wanita pada tahun 2010 mencapai 70,5 tahun dibanding pria yang hanya 66,9
tahun. Hal ini diperkirakan akan terus meningkat pada tahun berikutnya. Tabel 7
menunjukkan sebaran lansia menurut jenis kelamin:
Tabel 6 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut jenis kelamin
Jenis kelamin
Home care
Peserta Bukan peserta Total
n % n % n %
Perempuan Laki-laki
25 5
83,3 16,7
27 3
90 10
52 8
86,7 13,3
Total 30 100 30 100 60 100
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan yang pernah ditempuh oleh lansia pada kedua
kelompok cukup bervariasi, mulai dari lansia yang tidak pernah sekolah sampai
dengan lansia yang pernah mengenyam pendidikan hingga Sekolah Menengah
Atas (SMA)/ sederajat (Tabel 7). Berdasarkan hasil penelitian, lansia yang tidak
pernah sekolah memiliki persentase terbesar yaitu 56,7 persen pada peserta
home care dan 40 persen pada lansia bukan peserta home care. Baik pada
peserta maupun bukan peserta home care, lansia tidak menamatkan jenjang
Sekolah Dasarnya (SD) menempati urutan kedua persentase tertinggi yaitu 30
persen peserta home care dan 33,3 persen lansia bukan peserta home care.
Tabel 7 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan
Home Care
Peserta Bukan Total
n % n % n %
Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat
17 9 3 0 1
56,7 30,0 10,0 0,0 3,3
12 10 5 1 2
40,0 33,3 16,7 3,3 6,7
29 19 8 1 3
48,3 31,7 13,3 1,7 5,0
Total 30 100 30 100 60 100
Lansia menyebutkan bahwa alasan mereka tidak pernah bersekolah atau
tidak menamatkan SD karena mereka lahir dan mengalami masa kanak-kanak
pada masa kolonial dan awal kemerdekaan RI. Selain jumlah sekolah yang
masih terbatas, akses untuk menuju sekolah dirasa sulit.
Hal ini sejalan dengan hasil Susenas 2008 yang menunjukkan
persenyase penduduk lansia yang berpendidikan rendah relatif tinggi. Lansia
yang tidak atau belum pernah sekolah mencapai 33,98 persen dan 33,95 persen
lansia tidak menamatkan jenjang pendidikan sekolah dasar (SD). Keterbatasan
fasilitas, sarana dan prasarana akibat sisa-sisa penjajahan pada masa
kemerdekaan menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan lansia (BPS 2008).
Pekerjaan
Baik pada peserta maupun bukan peserta home care, kecenderungan
lansia tidak bekerja cukup besar, lansia peserta home care (90%) lebih banyak
yang tidak bekerja dibandingkan bukan peserta home care (76,7%).
Tabel 8 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut pekerjaan
Pekerjaan
Home care
Peserta Bukan Total
n % n % n %
Petani Buruh Wiraswasta Tidak Bekerja Lainnya
0 1 1
27 1
0,0 3,3 3,3 90,0 3,3
1 5 0 23 1
3,3 16,7 0,0 76,7 3,3
1 6 1 50 2
1,7 10,0 1,7 83,3 3,3
Total 30 100 30 100 60 100
Kondisi ini selain terkait masalah usia, juga diduga dipengaruhi oleh rendahnya
pendidikan lansia. Secara umum lansia akan mengalami penurunan produktivitas
kerja seiring menurunnya kondisi fisik (Komnas Lansia 2008). Persentase lansia
bekerja pada lansia bukan peserta home care (23,3%) lebih tinggi dibandingkan
peserta home care (10%). Lansia peserta home care bekerja sebagai buruh,
wiraswasta dan lainnya, sedangkan lansia bukan peserta home care bekerja
sebagai petani, buruh dan lainnya. Alasan penduduk lansia untuk bekerja antara
lain disebabkan oleh jaminan sosial dan kesehatan yang masih kurang,
disamping desakan ekonomi.
Sumber Pendapatan
Sumber pendapatan merupakan asal biaya utama yang secara rutin
digunakan lansia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti makan,
pakaian dan tempat tinggal, tidak selalu berupa uang.
Tabel 9 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut sumber pendapatan
Sumber Pendapatan
Home care
Peserta Bukan Total
n % n % n %
Sosial Anak Cucu Sendiri Pensiunan Lainnya (saudara lain/ tetangga)
2 17 2 3 3 3
6,7 56,7 6,7 10,0 10,0 10,0
0 18 0 7 3 2
0,0 60,0 0,0 23,3 10,0 6,7
2 35 2
10 6 5
3,3 58,3 3,3 16,7 10,0 8,3
Total 30 100 30 100 60 100
Dilihat dari sumber pendapatan secara total yang diterima baik oleh lansia
peserta maupun bukan peserta home care, bantuan yang berasal dari anak
menduduki persentase paling tinggi yaitu 56,7 persen (peserta home care) dan
60 persen (bukan peserta home care). Berdasarakan hasil wawancara, bantuan
yang diberikan sebagian besar berupa makanan, disamping pakaian, tempat
tinggal serta pengobatan. Makanan untuk lansia sudah disediakan oleh anaknya
baik berupa bahan mentah maupun makanan yang siap saji.
Peringkat kedua sumber pendapatan pada lansia peserta home care
berasal dari sendiri (10%), pensiunan (10%) dan lainnya (10%). Pada lansia
bukan peserta home care peringkat kedua sumber pendapatan adalah sendiri
(23,3%), artinya pada lansia bukan peserta home care lebih banyak yang masih
bekerja untuk menghasilkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Status Pernikahan
Berdasarkan Tabel 10, sebagian besar lansia baik peserta maupun bukan
peserta home care berstatus cerai mati. Persentase lansia berstatus cerai mati
pada peserta home care (80%) lebih tinggi dibandingkan pada lansia bukan
peserta home care (73,3%). Lansia bukan peserta home care (26,7%) lebih
banyak yang masih menikah dibandingkan lansia peserta home care (20%).
Tabel 10 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut status pernikahan
Status pernikahan
Home care
Peserta Bukan Total
n % n % n %
Menikah Cerai Mati
6 24
20 80
8 22
26,7 73,3
14 46
3,3 76,7
Total 30 100 100 100 60 100
Living Arrangement
Living arrangement adalah keberadaan seseorang yang tinggal bersama
lansia dalam satu rumah. McKenzie et al. (2008) menyebutkan bahwa living
arrangement pada populasi lansia merupakan hal yang penting. Hal ini
berhubungan erat dengan pendapatan, status kesehatan, dan keberadaan
pendamping (caregiver). Lansia yang tinggal sendiri lebih banyak yang miskin
dibandingkan mereka yang tinggal bersama. Living arrangement dikelompokkan
menjadi dua, yaitu tinggal sendiri dan tinggal bersama (anak, cucu ataupun
keluarga lain). Pada penelitian ini, lansia yang tinggal sendiri memiliki dua
kemungkinan, pertama lansia memang tidak memiliki kerabat sehingga tinggal
sendiri, kedua lansia yang masih memilki kerabat namun memilih untuk tinggal
sendiri dengan berbagai alasan.
Tabel 11 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut living arrangement
Living arrangement
Home care
Peserta Bukan Total
n % n % n %
Tinggal sendiri Tinggal bersama
3 27
10 90
4 26
13,3 86,7
7 53
11,7 88,3
Total 30 100 30 100 60 100
Sebagian besar peserta home care (90%) dan bukan peserta home care
(86,7%) berstatus tinggal bersama. Berdasarkan hasil wawancara, lansia lebih
banyak tinggal bersama dengan anak beserta cucu dalam satu rumah. Bagi
lansia yang masih berstatus menikah, selain tinggal bersama anak-cucu, juga
tinggal dengan pasangan hidupnya dalam satu rumah.
Sebagian kecil peserta home care (10%) dan bukan peserta home care
(13,3%) berstatus tinggal sendiri. Hasil wawancara mendalam menyebutkan,
kecenderungan lansia tinggal sendiri dikarenakan anak-anak yang sudah
membangun keluarga baru sehingga meninggalkan orang tua. Meskipun anak-
anaknya mengajak untuk tinggal bersama, tetapi lansia menolak karena merasa
akan menjadi beban. Komnas Lansia (2008) menyebutkan lebih lanjut bahwa
terdapat pergeseran struktur keluarga mengarah menjadi keluarga inti. Kondisi ini
sangat berpengaruh terhadap lansia karena perhatian pada lansia berkurang dan
di sisi lain membuat lansia beranggapan kehadirannya tidak berguna dan hanya
menjadi beban anak.
Konsumsi Pangan
Frekuensi, Jumlah, dan Jenis Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang
dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu.
Konsumsi pangan dikelompokkan menjadi pangan sumber karbohidrat, sumber
protein hewani, sumber protein nabati, sayur-mayur, buah-buahan serta pangan
lainnya. Pangan yang disajikan di bawah merupakan pangan yang dikonsumsi
oleh minimal 10 persen lansia (lampiran 1).
Pangan Sumber Karbohidrat. Karbohidrat memegang peranan penting
dalam alam karena merupakan sumber energi utama bagi penduduk di dunia
karena banyak di dapat dari alam dan harganya relatif murah. Satu gram
karbohidrat menghasilkan 4 Kal. Sumber karbohidrat adalah padi-padian atau
serealia, umbi-umbian, kacang-kacang kering dan gula. Hasil olahan seperti
bihun, mie, roti, tepung-tepungan, selai, sirup juga merupakan pangan sumber
karbohidrat (Almatsier 2004).
Tabel 12 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat Peserta dan Bukan Peserta Home Care
Sumber Karbohidrat
Home care
Peserta Bukan
Rata-rata SD Rata-rata SD
Frekuensi Konsumsi (kali/minggu): Nasi 16,33 3,83 17,73 4,77
Biskuit/krakers 2,31 2,06 4,53 4,68 Ubi dan hasil olahan 2,07 3,49 1,12 1,01 Roti 2,02 1,87 3,01 2,73 Singkong dan hasil olahan 1,53 1,81 2,94 3,93 Mie 0,98 0,83 2,42 2,58 Kentang dan hasil olahan 0,00 0,00 2,54 3,09 Total 25,25
34,29
Jumlah konsumsi (g/hari):
Nasi 375,0 105,7 386,7 107,4 Singkong dan hasil olahan 25,4 23,7 56,5 100,6 Ubi dan hasil olahan 17,5 25,2 10,7 10,8 Roti 15,9 11,8 23,0 21,8 Biskuit/krakers 12,7 12,6 22,4 19,2 Mie 12,0 12,2 12,7 15,1 Kentang dan hasil olahan 0,0 0,0 12,9 14,5
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa frekuensi konsumsi nasi pada
lansia peserta dan bukan peserta home care adalah 16,3 dan 17,7 kali per
minggu atau 2,33 dan 2,53 kali per hari. Secara kuantitatif, rata-rata konsumsi
nasi pada lansia bukan peserta home care (386,7 gram/hari) jumlahnya lebih
banyak dibandingkan lansia peserta home care (375 gram/hari). Hal ini
menunjukkan bahwa nasi masih merupakan makanan pokok sebagian besar
lansia yang diteliti. Berat yang dikonsumsi ini sudah cukup memenuhi Pedoman
Umum Gizi Seimbang (PUGS). Menurut PUGS, dalam sehari konsumsi
nasi/pengganti bagi lansia yaitu 1 ½ - 2 piring dalam sehari atau setara 300-400
gram nasi dalam sehari.
Selain nasi, sumber karbohidrat lain seperti kentang, singkong, ubi jalar
serta hasil olahan tepung (mie dan biskuit) dikonsumsi 0,98-4,5 kali per minggu
(Tabel 13). Meskipun pangan-pangan tersebut dapat dijadikan alternatif pangan
sumber karbohidrat, bagi masyarakat Indonesia secara umum, makanan tersebut
tidak dijadikan sebagai sumber energi utama.
Protein hewani. Protein merupakan salah satu zat gizi makro yang
penting dalam makanan sebagai sumber asam amino yang dibutuhkan untuk
sintesis protein tubuh dan senyawa lain yang mengandung protein (Gibson
2005). Protein menurut sumbernya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu
protein hewani (berasal dari hewan) dan protein nabati (berasal dari tumbuhan).
Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah
maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang (Almatsier
2004).
Tabel 13 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani Peserta dan Bukan Peserta Home Care
Protein hewani
Home care
Peserta Bukan
Rata-rata SD Rata-rata SD
Frekuensi konsumsi (kali/minggu): Ikan basah 4,37 5,40 4,72 4,52
Telur 3,52 2,20 3,35 2,27 Susu 2,89 2,29 5,83 2,17 Daging ayam 1,76 1,85 2,63 2,26
Ikan diawetkan 1,20 2,06 2,72 2,21
Daging sapi 0,57 0,49 1,07 2,15
Udang dan hewan air lainnya segar 0,40 0,16 0,95 0,77
Total 14,70
21,26 Jumlah konsumsi (g/hari):
Telur 27,4 15,4 26,7 15,2 Ikan basah 22,2 20,9 26,4 28,3 Susu 17,7 11,0 29,6 11,4 Daging ayam 8,8 8,2 12,8 11,0 Ikan diawetkan 5,7 8,2 7,1 4,2 Daging sapi 4,2 3,5 8,9 15,2 Udang dan hewan air lainnya segar 2,6 1,2 2,7 1,3
Pangan sumber protein yang paling sering dikonsumsi pada lansia
peserta home care secara berurutan adalah ikan basah, telur dan susu dengan
rata-rata frekuensi masing-masing 4,37; 3,52 dan 2,89 kali per minggu,
sedangkan pada lansia bukan peserta home care adalah susu, ikan basah dan
telur dengan rata-rata frekuensi masing-masing 5,83; 4,72 dan 3,35 kali per
minggu. Hal ini menandakan bahwa pada kedua kelompok, protein hewani hanya
dikonsumsi mingguan bahkan untuk daging serta udang dan hewan air lainnya
dikonsumsi kurang dari satu kali seminggu.
Bahan pangan sumber protein hewani yang jumlahnya paling banyak
dikonsumsi lansia peserta home care secara berurutan adalah telur, ikan basah
dan susu dengan jumlah konsumsi masing-masing 27,4; 22,2 dan 17,7 gram per
hari sedangkan pada lansia bukan peserta home care adalah susu, telur dan
ikan basah dengan jumlah konsumsi masing-masing 29,6; 26,7 dan 26,4 gram
per hari. Menurut PUGS, konsumsi protein hewani 2 potong atau setara 100
gram daging sapi perhari. Jika berat pangan dikalikan dengan frekuensi pangan
per minggu, kemudian dikonversikan dalam satuan hari maka akan kurang dari
anjuran PUGS.
Protein nabati. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan
hasilnya, seperti tahu dan tempe serta kacang-kacangan lainnya. Kacang kedelai
merupakan sumber protein nabati yang memiliki mutu atau nilai biologi tertinggi
(Almatsier 2004). Meskipun kacang-kacangan memiliki memiliki kekurangan
dalam beberapa asam amino, akan tetapi campuran makanan nabati jika
dikonsumsi bersamaan maka dapat berfungsi sebagai pengganti protein hewani
(Latham 1997).
Tabel 14 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan Sumber Protein Nabati Peserta dan Bukan Peserta Home Care
Protein nabati
Home care
Peserta Bukan
Rata-rata SD Rata-rata SD
Frekuensi konsumsi (kali/minggu):
Tahu 7,82 4,02 10,65 5,26 Tempe 7,81 4,25 11,57 5,21 Kacang-kacangan lain 2,36 2,47 1,54 2,04 Oncom 0,00 0,00 3,54 6,64 Total 17,99
27,29
Jumlah konsumsi (g/hr): Tahu 69,2 30,0 74,1 33,8
Tempe 39,5 21,2 51,6 29,7 Kacang-kacangan lain 8,4 8,5 7,6 8,1 Oncom 0,0 0,0 3,5 3,6
Berdasarkan Tabel 14, konsumsi pangan sumber protein nabati relatif
sama. Pangan olahan kacang kedelai, tahu dan tempe, merupakan pangan yang
paling sering dikonsumsi. Lansia peserta home care mengonsumsi tahu dan
tempe masing-masing 7,82 dan 7,81 kali per minggu atau 1,12 kali per hari,
sedangkan lansia bukan peserta home care mengonsumsi masing-masing 10,65
dan 11,57 kali per minggu atau 1,52 dan 1,65 kali per hari. Hal ini menunjukkan
bahwa tahu dan tempe merupakan sumber protein utama pada lansia peserta
dan bukan peserta home care.
Secara kuantitatif, lansia bukan peserta home care mengonsumsi tahu
(74,1 g/hr) dan tempe (51,6 g/hr) lebih banyak dibandingkan lansia peserta yaitu
69,2 g/hr (tahu) dan 39,5 g/hr (tempe). Hal ini sejalan dengan penelitian
Kusumaratna (2008) yang menunjukkan bahwa asupan protein utama pada
lansia berasal dari protein nabati, seperti produk olahan kacang kedelai (tahu
dan tempe). Menurut PUGS, konsumsi protein nabati adalah 3 potong sehari
atau setara dengan 150 gram tempe. Hasil menunjukkan bahwa rata-rata jumlah
protein nabati yang dikonsumsi sudah memenuhi anjuran PUGS. Hal ini dikarena
beberapa lansia mengurangi konsumsi protein hewani dan menggantinya
dengan protein nabati dengan berbagai alasan baik karena kurang ekonomi
maupun alasan kesehatan.
Sayur-mayur. Sayur-mayur dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi
tiga yaitu, sayuran berdaun hijau, sayuran buah dan sayuran lain. Sayuran
berdaun hijau yang dikonsumsi oleh lansia yaitu bayam, kangkung, sawi, daun
ketela pohon, daun lompong talas, daun katuk, genjer dan daun kecipir. Sayuran
buah meliputi wortel, mentimun, terong, leunca, jengkol, labu, nangka serta
tomat. Sayuran lain meliputi sayur olahan dan sayuran lain yang tidak termasuk
dalam kedua kelompok sebelumnya.
Tabel 15 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Sayur-mayur Peserta dan Bukan Peserta Home Care
Sayur-mayur
Home care
Peserta Bukan
Rata-rata SD Rata-rata SD
Frekuensi konsumsi (kali/minggu):
Sayur lain 5,33 4,61 4,64 4,87 Sayur daun hijau 5,14 4,66 5,46 3,97 Sayur buah/akar 3,51 3,94 4,47 6,34 Total 13,97
14,57
Jumlah konsumsi (g/hr): Sayur lain 47,8 32,9 37,6 22,8
Sayur daun hijau 43,6 37,4 45,1 41,2 Sayur buah 29,1 28,0 29,6 34,8
Tabel 15 menunjukkan data mengenai konsumsi sayur-mayur, tampak
bahwa lansia peserta home care mengonsumsi sayur lain (5,33 kali/minggu)
lebih sering dibandingkan kelompok sayur berdaun hijau (5,14 kali/minggu) dan
sayur buah (3,51 kali/minggu). Lansia bukan peserta home care mengonsumsi
sayuran berdaun hijau (5,46 kali/minggu) lebih sering dibandingkan sayur buah
(4,47 kali/minggu) dan sayur lain (4,64 kali/minggu). Secara kuantitatif, lansia
peserta home care mengonsumsi sayur lain (47,8 g/hari) lebih banyak
dibandingkan sayur berdaun hijau dan sayur buah, sedangkan lansia bukan
peserta home care mengonsumsi sayur berdaun hijau (45,1 g/hr) lebih banyak
dibandingkan sayur lain dan sayur buah.
Baik secara frekuensi dan kuantitatif, lansia bukan peserta home care
mengonsumsi lebih banyak sayur dibandingkan lansia peserta home care. Jika
berat sayuran yang dimakan dikali dengan frekuensi makan dalam satu minggu
kemudian dikonversikan dalam hari maka sudah memenuhi yang dianjurkan di
dalam PUGS yaitu sekitar 1-2 mangkok sayur atau setara 100-200 gram sayur
per hari.
Buah-buahan. Nilai gizi utama yang terkandung dalam buah adalah
vitamin C dan beberapa karoten (Latham 1997). Konsumsi buah dianjurkan
untuk memenuhi makanan lengkap dan seimbang. Tabel 16 menunjukkan bahwa
konsumsi buah-buahan relatif rendah. Buah yang paling sering dikonsumsi lansia
peserta dan bukan peserta home care adalah salak, masing-masing 1,78 kali per
minggu dan 2,94 kali per minggu.
Jenis buah yang paling banyak dikonsumsi oleh peserta home care
adalah mangga (28,3 g/hari), sedangkan buah yang paling banyak dikonsumsi
oleh lansia bukan peserta home care adalah pepaya (42,7 g/hari). Mangga dan
pepaya memiliki berat per porsi yang lebih besar dibandingkan salak per porsi
sehingga secara kuantitatif mangga dan pepaya dikonsumsi lebih banyak pada
kedua kelompok, sedangkan buah yang paling sering dikonsumsi adalah salak.
Menurut PUGS, konsumsi buah yang dianjurkan adalah 3 porsi atau setara 300
gram pepaya sehari. Rata-rata berat yang dimakan masih sangat rendah
dibawah yang dianjurkan. Jika dilihat dari total rata-rata frekuensi konsumsi buah,
buah dikonsumsi hanya satu kali per hari.
Tabel 16 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Buah-buahan Peserta dan Bukan Peserta Home Care
Buah-buahan
Home care
Peserta Bukan
Rata-rata SD Rata-rata SD
Frekuensi konsumsi (kali/minggu): Salak 1,78 2,94 0,47 0,44
Jeruk 1,71 2,66 1,59 2,20 Semangka 1,67 1,98 1,80 1,36 Melon 1,51 1,62 1,27 1,17 Pepaya 1,33 1,75 2,80 3,66 Pisang ambon 1,29 2,05 1,81 1,93 Pisang lampung 1,13 2,13 1,59 1,13 Mangga 0,91 1,18 0,66 0,72 Apel 0,56 0,39 0,77 0,74 Pir 0,35 0,16 0,00 0,00 Anggur 0,22 0,23 0,00 0,00 Pisang raja 0,00 0,00 0,30 0,16 Jambu air 0,00 0,00 0,89 0,94 Total 12,45
13,96
Jumlah Konsumsi (g/hari): Mangga 28,3 38,7 16,3 15,3
Pisang lampung 24,0 34,8 20,1 16,8 Pisang ambon 21,3 49,4 20,6 28,7 Pepaya 20,4 24,6 42,7 52,0 Salak 14,1 20,4 4,1 2,7 Semangka 13,6 9,7 26,2 19,3 Pir 12,3 8,7 0,0 0,0 Jeruk 12,0 18,0 17,3 22,3 Melon 11,1 9,0 13,0 6,1 Apel 8,9 6,4 14,8 14,1 Anggur 6,6 11,0 0,0 0,0 Pisang raja 0,0 0,0 5,4 3,6 Jambu air 0,0 0,0 11,9 12,0
Selain itu, buah-buahan yang paling banyak dikonsumsi oleh lansia pada
kedua kelompok adalah pisang dan jeruk. Hal ini diduga buah-buahan tersebut
selain mudah diperoleh karena dapat tumbuh sepanjang waktu, juga mudah
dikunyah karena tekstur buah lunak.
Pangan lainnya. Selain konsumsi pangan sebagai menu utama, terdapat
beberapa pangan yang juga dikonsumsi sebagai makanan selingan. Tabel 17
menunjukkan bahwa jenis pangan yang sering dikonsumsi oleh lansia peserta
home care adalah kopi dengan rata-rata konsumsi 10,89 kali per minggu atau
1,56 kali per hari, sedangkan lansia bukan peserta home care lebih sering
mengonsumsi bakwan dengan rata-rata konsumsi 8,79 kali per minggu atau 1,26
kali per hari.
Selain kopi dan bakwan, teh manis dan pisang goreng hampir dikonsumsi
setiap hari oleh lansia pada kedua kelompok (Tabel 17). Kopi memiliki nilai gizi
yang rendah tanpa penambahan susu atau gula, akan tetapi kopi disukai karena
rasa dan efek stimulan yang ditimbulkan. Kafein yang terkandung di dalam kopi
menjadi penyebab utama stimulasi pada sistem syaraf pusat . Sama halnya
dengan kopi, teh mengandung kafein yang cukup tinggi. Meskipun kafein tidak
menyebabkan keracunan, pada beberapa orang, efek kafein dapat
menyebabkan sulit tidur, perasaan gelisah, nadi yang tidak teratur dan tremor
otot (Wiseman 2002).
Tabel 17 Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan Lainnya Peserta dan Bukan Peserta Home Care
Pangan lainnya
Home care
Peserta Bukan
Rata-rata SD Rata-rata SD
Frekuensi konsumsi (kali/minggu): Kopi 10,89 5,09 6,35 1,94
Bakwan 9,80 3,83 8,79 5,18 Teh manis 7,00 0,00 6,70 0,95 Pisang goreng 5,24 4,89 6,06 3,46 Kue-kue tradisional 2,53 3,02 2,61 2,76 Mie bakso 0,60 0,44 0,87 1,00 Jumlah konsumsi (g/hari):
Bakwan 72,0 27,4 67,9 34,1 Pisang goreng 57,7 51,4 64,8 41,4 Kopi 44,3 19,2 25,8 8,9 Teh manis 23,6 3,3 1,3 0,9 Kue-kue tradisional 20,0 24,9 22,6 21,8 Mie bakso 13,0 9,4 19,1 27,7
Keterangan: *)penggunaan gula
Secara kuantitatif, pada lansia peserta dan bukan peserta home care
pangan yang paling banyak dikonsumsi adalah bakwan, dimana jumlah
konsumsi lansia peserta (72 g/hr) lebih banyak dibanding lansia bukan peserta
home care (67,9 g/hari). Bakwan memiliki berat per porsi yang lebih tinggi
dibanding kopi sehingga secara kuantitatif bakwan dikonsumsi lebih banyak,
sedangkan pangan yang dikonsumsi paling sering adalah kopi.
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi
Konsumsi zat gizi diperoleh dari konversi jumlah konsumsi pangan per
hari. Konsumsi zat gizi yang dihitung adalah energi, protein, kalsium, fosfor,
vitamin A dan vitamin C. Rata-rata konsumsi zat gizi ini kemudian akan
dibandingkan dengan AKG yang dianjurkan bagi lansia untuk melihat tingkat
kecukupannya (Lampiran 2).
Tabel 18 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi peserta dan bukan peserta home care
No Zat Gizi
Home care (rata-rata ± sd)
Asupan Zat Gizi Tingkat Kecukupan Gizi (%)
Peserta Bukan Peserta Bukan
1 Energi (Kal) 1478 ± 329,42 1605 ± 306,15 87,5 ± 17,68 95,9 ± 18,83 2 Protein (g) 38,4 ± 10,12 42,8 ± 13,27 80,0 ± 19,04 90,0 ± 27,49 3 Kalsium (mg) 411,2 ± 174,80 473,6 ± 204,61 51,4 ± 21,85 59,2 ± 25,58 4 Fosfor (mg) 623,9 ± 170,23 696,6 ± 203,55 104,0 ± 28,37 116,1 ± 33,92 5 Vitamin A (RE) 590,9 ± 464,74 494,3 ± 339,47 114,1 ± 85,49 97,1 ± 65,44 6 Vitamin C (mg) 56,5 ± 46,79 56,6 ± 40,58 73,1 ± 60,67 74,9 ± 54,57
Energi. Rata-rata konsumsi energi lansia peserta home care (1478 Kal)
lebih kecil dibandingkan lansia bukan peserta home care (1605 Kal) (Tabel 18).
Persentase rata-rata tingkat kecukupan energi lansia bukan peserta home care
(95,9%) lebih tinggi dibandingkan lansia peserta home care (87,5%). Jika
dikategorikan, maka rata-rata tingkat kecukupan energi peserta home care
berada pada kategori defisist tingkat ringan (80-89%), sedangkan pada lansia
bukan peserta home care normal (90-119% AKG). Uji T menunjukkan tidak ada
perbedaan nyata konsumsi energi dan tingkat kecukupan energi pada kedua
kelompok (p>0,05).
Beberapa penelitian mengenai konsumsi pangan pada lansia juga
menunjukkan hal serupa, tidak ada lansia yang memenuhi 100 persen kebutuhan
energinya. Penelitian Nadhira (2006) pada lansia laki-laki di Ciampea, Bogor
menunjukkan tingkat kecukupan energi sebesar 85,9 persen. Depkes (2010)
menyatakan bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi usia 56 tahun keatas
hanya mencapai 86,9 persen.
Menurut Schlenker (2000), konsumsi energi pada manusia usia lanjut
seringkali menjadi masalah karena banyak manusia usia lanjut yang
mengonsumsi energi di bawah kecukupan yang dianjurkan. Hal ini antara lain
disebabkan karena berkurangnya nafsu makan akibat menurunnya indera
pencicip, kesulitan dalam mengolah makanan akibat kondisi fisiologis, serta
rendahnya ketersediaan pangan karena faktor ekonomi dan lingkungan.
Protein. Rata-rata konsumsi protein pada lansia bukan peserta home
care (42,8 gram) lebih tinggi dibandingkan konsumsi peserta home care (38,4
gram). Rata-rata tingkat kecukupan protein peserta home care 80 persen dan 90
persen pada lansia bukan peserta home care. Jika dikategorikan, rata-rata
tingkat kecukupan protein lansia peserta termasuk ke dalam kategori defisit
ringan (80-89%) sedangkan pada lansia bukan peserta termasuk kategori normal
(90-119%). Hal ini diduga karena jumlah konsumsi protein nabati, hasil olahan
kacang kedelai (tahu dan tempe), lebih besar pada lansia bukan peserta home
care. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) baik konsumsi
protein maupun tingkat kecukupan protein pada kedua kelompok.
Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan bahwa rata-
rata tingkat kecukupan protein usia 56 tahun ke atas mencapai 91,7 persen.
Sebanyak 49,2 persen penduduk Indonesia usia 56 tahun ke atas masih
mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal (80%) (Depkes 2010).
Kalsium. Rata-rata konsumsi kalsium lansia peserta home care (411,2
mg) lebih kecil dibandingkan lansia bukan peserta home care (473,6 mg). Hal ini
diduga karena jumlah konsumsi susu pada lansia peserta home care lebih
sedikit. Almatsier (2004) menyebutkan bahwa susu dan produk susu (yoghurt
dan keju) merupakan sumber kalsium utama. Rata-rata tingkat kecukupan
kalsium lansia peserta home care hanya mencapai 51,4 persen sedangkan pada
lansia bukan peserta home care mencapai 59,2. Hal ini berarti, tingkat
kecukupan kalsium pada kedua kelompok berada pada kategori kurang (<77%
AKG). Hal ini diduga karena jumlah konsumsi susu dan hasil olahannya masih
rendah. Selain karena faktor ekonomi, beberapa lansia cenderung tidak
mengonsumsi susu karena bau amis yang ditimbulkan. Uji T menunjukkan tidak
ada perbedaan yang nyata (p>0,05) konsumsi dan tingkat kecukupan kalsium
pada kedua kelompok.
Fosfor. Rata-rata konsumsi fosfor pada peserta home care (623,9 mg)
lebih rendah dibanding bukan peserta home care (696,6 mg). Tingkat kecukupan
fosfor lansia peserta home care hanya mencapai 104 persen, lebih rendah
dibandingkan lansia bukan peserta home care yang mencapai 116,1 persen. Jika
dikategorikan, tingkat kecukupan kalsium dan fosfor lansia peserta dan bukan
peserta home care berada pada kategori cukup (≥ 77%). Uji T menunjukkan tidak
ada perbedaan yang nyata (p>0,05) konsumsi dan tingkat kecukupan fosfor pada
kedua kelompok.
Vitamin A. Rata-rata konsumsi vitamin A pada peserta home care (590,9
RE) lebih tinggi dibandingkan bukan peserta home care (494,3 RE). Hal ini
diduga karena jumlah konsumsi sayuran, sumber karotenoid provitamin A, pada
peserta home care lebih tinggi (Tabel 16). Ahmed & Darnton-Hill (2008)
menyebutkan bahwa lebih dari dua pertiga asupan vitamin A di negara industri
berasal dari sumber makanan hewani yang sudah terbentuk sebelumnya
(performed), sementara di negara berkembang masyarakat bergantung pada
senyawa karotenoid provitamin A yang berasal dari sumber makanan nabati.
Tingkat kecukupan vitamin A peserta home care mencapai 114,1 persen,
sedangkan pada lansia bukan peserta home care tingkat kecukupannya 97,1
persen. Jika dikategorikan, tingkat kecukupan vitamin A pada lansia peserta dan
bukan peserta home care berada pada kategori cukup (≥ 77% AKG). Uji T
menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) konsumsi dan tingkat
kecukupan pada kedua kelompok.
Vitamin C. Rata-rata konsumsi vitamin C pada kedua kelompok tidak
jauh berbeda. Konsumsi pada peserta home care sebesar 56,5 mg dengan
tingkat kecukupan 73,1 persen, sedangkan lansia bukan peserta home care
mengonsumsi sebesar 56,6 mg dengan tingkat kecukupan 74,9 persen. Tingkat
kecukupan vitamin C pada kedua kelompok masih tergolong dalam kategori
kurang (<77% AKG). Rendahnya konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin C
diduga karena jumlah konsumsi buah (jeruk, pepaya) dan beberapa sayur
(sayuran daun-daunan dan jenis kol), sebagai sumber utama vitamin C, masih
sedikit. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (p>0,05) konsumsi dan
tingkat kecukupan vitamin C pada kedua kelompok.
Status Kesehatan
Keluhan Kesehatan
Status kesehatan bagi penduduk lansia tidak boleh terlupakan saat
penilaian status gizi dan sangat penting karena pada umumnya daya tahan tubuh
mereka telah berkurang sehingga mengakibatkan seseorang menjadi rentan atau
mudah terserang penyakit. Indikator kesehatan antara lain angka keluhan
kesehatan, rata-rata lama sakit dan cara berobat penduduk lansia (BPS 2008).
Keluhan kesehatan merupakan berbagai keluhan fisik yang dialami meliputi
berbagai keluhan dan penyakit yang diderita selama satu bulan terakhir,
termasuk penyakit kronis meskipun tidak kambuh.
Tabel 20 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut keberadaan keluhan kesehatan
Keberadaan keluhan kesehatan
Home care
Peserta Bukan Total
n % n % n %
Tidak ada keluhan 3 10,0 5 16,7 8 13,3 Terdapat 1 jenis keluhan 8 26,7 9 30,0 17 28,3 Terdapat lebih dari 1 jenis keluhan 19 63,3 16 53,3 35 58,3
Total 30 100 30 100 60 100
Tabel 20 menunjukkan bahwa secara secara keseluruhan persentase
terbesar (58,3%) lansia mengalami lebih dari satu jenis keluhan dalam satu bulan
terakhir. Lebih dari separuh lansia peserta home care (63,3%) dan bukan peserta
home care (53,3%) mengalami lebih dari satu jenis keluhan dalam satu bulan
terakhir. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil Susenas 2008 yang
menunjukkan bahwa 55,42 persen lansia mengalami keluhan kesehatan dalam
satu bulan terakhir (BPS 2008). Hal ini menggambarkan bahwa secara umum
derajat kesehatan penduduk lansia cenderung masih rendah. Uji Mann Whitney
menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata keluhan kesehatan yang dialami
lansia peserta home care dan bukan peserta home care (p>0,05). Hal ini diduga
karena pelayanan kesehatan yang diperoleh lansia relatif sama.
Kegiatan ramah lansia yang menyertakan pemeriksaan kesehatan rutin
setiap bulan dapat diikuti oleh seluruh lansia yang berada di wilayah pelayanan
sehingga lansia peserta maupun bukan peserta home care bisa mendapatkan
pelayanan pemeriksaan kesehatan yang sama. Apabila lansia mengalami sakit
diluar pemeriksaan, baik lansia peserta home care maupun bukan peserta home
care dapat tetap melakukan pengobatan gratis ke puskesmas setempat. Selain
itu, metode yang digunakan untuk memperoleh data jenis penyakit yang diderita
lansia adalah wawancara langsung, sehingga kecenderungan lebih subjektif dan
memungkinkan terdapat jenis penyakit yang tidak teridentifikasi lansia, terutama
pada jenis penyakit yang memerlukan pemeriksaan klinis.
Jenis Penyakit dan Keluhan Kesehatan
Keberadaan keluhan kesehatan dalam penelitian ini dikelompokkan
menjadi tiga yaitu penyakit infeksi, berbagai keluhan yang dialami satu bulan
terakhir serta penyakit non infeksi meskipun saat wawancara tidak kambuh.
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti
bakteri atau virus di dalam tubuh (Sarafino 1994). Jenis penyakit infeksi yang
paling banyak diderita lansia adalah ISPA (infeksi saluran pernapasan akut),
lansia peserta home care (33,3%) lebih sedikit menderita ISPA dibandingkan
lansia bukan peserta home care (36,7%). Rahardjo et al. (2009) menyatakan
bahwa pada lansia, khususnya lansia di Indonesia, penyakit infeksi akut juga
masih sering terjadi seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Penyakit
diare dialami oleh sebanyak 3,3 persen lansia peserta dan dan 10 persen lansia
bukan peserta home care. Lansia yang terkena demam dalam satu bulan terakhir
sebanyak 10 persen pada lansia peserta dan 16,7 persen pada lansia bukan
peserta home care. Tuberculosis (TBC) hanya diderita oleh lansia bukan peserta
home care dalam jumlah yang sedikit. (Tabel 21).
Tabel 21 Sebaran peserta dan bukan peserta home care menurut jenis penyakit dan keluhan*
Keberadaan keluhan kesehatan
Home care
Peserta Bukan
n % n %
Infeksi Diare 1 3,3 3 10,0 ISPA 10 33,3 11 36,7 Demam 3 10,0 5 16,7 TBC 0 0,0 1 3,3
Non infeksi Astma (sesak napas) 3 10,0 3 10,0 Hipertensi 7 23,3 5 16,7 Katarak 4 13,3 1 3,3 Rematik 4 13,3 2 6,7 Diabetes 2 6,7 2 6,7 Asam urat 2 6,7 5 16,7 Penyakit jantung 1 3,3 1 3,3 Maag 3 10 5 16,7
Keluhan Pusing 4 13,3 5 16,7
Gatal/alergi 2 6,7 1 3,3 Pegal-pegal 7 23,3 5 16,7 Tangan/kaki kesemutan 5 16,7 2 6,7 Bongkok 2 6,7 0 0,0 Jatuh 1 3,3 0 0,0
Keterangan: *)satu orang bisa menderita lebih dari 1 penyakit
Penyakit non infeksi yang paling banyak diderita lansia peserta adalah
hipertensi (23,3 %), katarak (13,3 %) dan rematik (13,3 %), sedangkan pada
lansia bukan peserta yang paling banyak diderita adalah hipertensi, asam urat
dan maag masing-masing 16,7 %. Schlenker (2000) menyatakan bahwa
hipertensi atau penyakit darah tinggi merupakan penyakit kardiovaskular yang
seringkali berhubungan dengan penuaan dan menyerang pria maupun wanita.
Hipertensi menjadi masalah serius bagi rata-rata kaum lansia.
Jenis keluhan yang paling banyak dirasakan lansia peserta adalah pegal-
pegal (23,3 %), sedangkan lansia bukan peserta paling banyak merasakan
pegal-pegal dan pusing masing-masing 16,7 %. Selain itu, keluhan yang dialami
lansia berupa gatal-gatal, tangan/kaki kesemutan, bongkok dan jatuh. Berbagai
keluhan yang dirasakan lansia diduga berhubungan dengan penyakit yang
diderita lansia, misal keluhan pegal-pegal dapat timbul karena penyakit rematik.
Lama dan Frekuensi Sakit
Lama dan frekuensi sakit yang dibahas adalah lama dan frekuensi sakit
penyakit infeksi yang akan digunakan dalam analisis statistik. Tabel 22
menunjukkan rata-rata lama dan frekuensi sakit peserta dan bukan peserta home
care cukup bervariasi.
Tabel 22 Rata-rata lama dan frekuensi sakit selama satu bulan terakhir
Penyakit infeksi
Home care (rata-rata ± sd)
Peserta Bukan
Lama sakit (hari)
Frekuensi (kali/bln)
Lama sakit (hari)
Frekuensi (kali/bln)
Diare 3,0 ± 0,0 1,0 ± 0,0 1,3 ± 0,6 1,0 ± 0,0 ISPA 6,2 ± 1,7 1,1 ± 0,3 4,5 ± 2,3 1,0 ± 0,0 Demam 2,3 ± 1,2 1,3 ± 0,6 2,6 ± 1,1 1,4 ± 0,5 TBC 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 20,0 ± 0,0 1,0 ± 0,0
Rata-rata lama sakit pada lansia peserta home care bervariasi antara 2
hingga 6 hari dan frekuensi berkisar antara 1 hingga 1,3 kali. Pada lansia bukan
peserta home care, lama sakit berkisar antara 1 hingga 20 hari dan frekuensi 1
hingga 1,4 kali dalam satu bulan terakhir. Pada lansia peserta home care, lama
sakit terpanjang adalah penyakit ISPA (6 hari), sedangkan pada lansia bukan
peserta home care lama sakit terpanjang adalah TBC (20 hari). Frekuensi sakit
yang paling sering dideria dalam satu bulan terakhir, baik oleh peserta maupun
bukan peserta home care adalah demam, dimana 1,3 kali pada lansia peserta
home care dan 1,4 kali pada lansia bukan peserta home care.
Tindakan Pengobatan
Seseorang yang mengalami sakit biasanya melakukan berbagai cara
agar kesehatannya cepat pulih kembali, salah satu cara yang dilakukan adalah
berobat (BPS 2008). Tindakan pengobatan yang dilakukan antara lain berobat ke
pelayanan kesehatan formal (puskesmas/dokter/bidan), membeli obat warung
dan pengobatan tradisional.
Tabel 23 Tindakan pengobatan yang dilakukan lansia peserta dan bukan peserta home care
Tindakan pengobatan
Home care
Peserta Bukan
n % n %
Puskesmas 15 50,0 4 13,3 Dokter 6 20,0 8 26,7 Obat Warung 8 26,7 14 46,7 Obat Tradisional 1 3,3 4 13,3
Berdasarkan Tabel 23 terlihat bahwa separuh (50 %) lansia peserta home
care memilih pergi ke puskesmas untuk tempat berobat, sedangkan 46,7 persen
lansia bukan peserta home care memilih untuk menggunakan obat warung dalam
mengatasi gangguan kesehatan yang dialami. Meskipun diberlakukan
pengobatan gratis bagi seluruh lansia yang berada di Tegal Alur, lansia bukan
peserta home care (13,3%) lebih sedikit yang memanfaatkan fasilitas ini
dibandingkan lansia peserta home care. Hal ini diduga karena lansia peserta
home care bisa mengandalkan pendamping untuk mengantar lansia ke
puskesmas saat mengalami gangguan kesehatan, sedangkan lansia bukan
peserta home care tidak bisa sehingga terkadang tidak ada yang bisa menemani
lansia untuk pergi ke puskesmas.
Lansia mengungkapkan berbagai alasan dalam memilih tindakan
pengobatan untuk mengatasi gangguan kesehatan yang dialami seperti karena
merasa sudah cocok, pertimbangan biaya serta persepsi tingkat keparahan
penyakit yang mereka alami. Lansia peserta dan bukan peserta home care
memilih dokter karena merasa penyakit yang dialami sudah cukup parah,
sedangkan sedikit lansia pada kedua kelompok masih memilih obat tradisional
(jamu) dengan alasan tidak biasa minum obat-obatan yang berasal dari bahan
kimia.
Tingkat Depresi
Tingkat depresi diukur dengan menggunakan Skala Depresi Geriatrik-15
(SDG-15). Pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner ini berupa pertanyaan
yang di jawab dengan “ya” atau “tidak”. Pertanyaan ditanyakan kepada lansia,
perasaan yang dialami oleh lansia selama satu minggu terakhir. Pertanyaan
terdiri dari 15 pertanyaan dengan 5 pertanyaan invers (ketika dijawab “tidak”
maka mengindikasikan depresi dan 10 pertanyaan positif (ketika dijawab “ya”
maka mengindikasikan depresi)
Gambar 5 Sebaran jawaban SDG lansia per pertanyaan
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
peserta (%)
bukan peserta(%)
Keterangan: *)pertanyaan invers (pertanyaan 1, 5, 7, 11, 13) 1. Apakah anda puas dengan kehidupan sekarang? 2. Apakah anda mengurangi kegemaran atau aktivitas biasanya? 3. Apakah anda merasa hidup ini hampa? 4. Apakah anda merasa sering bosan? 5. Apakah anda memilki semangat yang cukup baik pada sebagian besar
waktu? 6. Apakah anda takut sesuatu hal buruk akan terjadi? 7. Apakah anda merasa bahagia/ gembira pada sebagian besar waktu? 8. Apakah anda merasa tidak berdaya? 9. Apakah anda memilih tinggal di rumah, dibanding melakukan hal baru? 10. Apakah anda memiliki masalah dengan ingatan dari biasanya? 11. Apakah anda berpikir bahwa bisa hidup sampai saat ini adalah sesuatu yang
menyenangkan? 12. Apakah anda merasa tidak berharga dengan anda sekarang? 13. Apakah anda merasa penuh dengan energi? 14. Apakah anda merasa keadaan saat ini kurang tidak ada harapan? 15. Apakah anda merasa sebagian besar orang lebih baik dari pada anda?
Pada lansia peserta home care, persentase terbesar (43,3%) lansia
menjawab “ya” pada pertanyaan memilih untuk tinggal di rumah dibanding
melakukan hal baru (pertanyaan ke 9). Hal ini diduga diakibatkan karena lansia
peserta home care memiliki keluhan kesehatan yang lebih banyak (Tabel 22).
Terdapat lansia peserta home care yang mengalami jatuh pada 2 minggu
sebelum wawancara, serta sebanyak 3,6 persen lansia mengalami bongkok.
Keadaan ini membuat lansia lebih memilih tinggal di rumah karena jika
beraktivitas dalam intensitas sedang saja mereka akan merasa kelelahan.
Berikut salah satu pernyataan seorang lansia peserta:
“Nenek mengalami bongkong sudah lama, jangankan untuk keluar bersosialisai dengan yang lain, untuk berjalan di rumah saja sudah capek. Gak kuat berdiri lama-lama, paling cuma bisa duduk di depan pintu karena anak nenek kerja setiap harinya.jadi nenek sendirian di rumah”
Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat pada lansia bukan peserta home
care persentase terbesar (53,3%) lansia menjawab “ya” pada pertanyaan
mengalami gangguan pada daya ingat pada satu minggu terakhir (pertanyaan ke
10). Takasihaeng (2000) mengatakan bahwa keadaan lupa berjalan sesuai
dengan makin lanjutnya usia. Selain itu, kedaan ini makin parah dengan adanya
penyakit menahun. Keadaan pelupa tidak dapat diobati, dikurangi atau
dihilangkan, hanya dapat diperlambat. Lansia perlu dibantu keluarga terdekat di
sekelilingnya dengan perhatian. Berikut salah satu pernyataan seorang lansia
peserta:
“Akhir-akhir ini memang nenek sering merasa lupa, misal saat menyimpan barang-barang. Maklum sudah tua, tetapi kadang nenek merasa jadi merepotkan anak karena sering bertanya letak barang-barang nenek”
Jawaban pertanyaan SDG-15 kemudian dikelompokkan menjadi 4
kategori untuk melihat tingkat gejala depresif yang dialami lansia, yaitu normal (0-
4), depresi ringan (5-8), depresi sedang (9-11), dan depresi berat (12-15).
Gambar 6 Sebaran tingkat depresi lansia peserta dan bukan peserta home care
Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa sebagian besar lansia
peserta (73,3 %) dan lansia bukan peserta home care (66,7 %) tergolong
kategori normal. Hanya terdapat 3,3 persen lansia home care yang mengalami
gejala depresif berat. Hal ini diduga karena kondisi keluhan kesehatan yang
dialami lansia.
Hasil uji Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang
nyata (p>0,05) tingkat depresi pada kedua kelompok. Hal ini dikarenakan
berbagai program yang diselenggarakan oleh YEL mencakup seluruh lansia baik
peserta maupun bukan peserta home care. Misal, pada kegiatan ramah lansia,
bukan hanya pemeriksaan kesehatan saja yang dilakukan, dilkukan juga
kegiatan-kegiatan lain yang beragam setiap bulannya seperti kreativitas
menyulam atau mengolah sampah plastik. Baik kegiatan ramah lansia maupun
senam lansia ditujukan untuk mempertahankan kondisi lansia pada kesehatan
seutuhnya.
Komnas Lansia (2008) menyebutkan bahwa lansia akan lebih baik jika
mempunyai kegiatan di luar rumah. Jika mereka hanya tinggal di rumah saja
maka akan menjadi cepat tua dan sakit-sakitan. Jika lansia aktif mengikuti
berbagai kelompok lansia, mereka bisa bisa bertemu dengan teman-teman dan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Normal Depresi ringan Depresi sedang
Depresi berat
p>0,05
peserta (%)
bukan peserta(%)
bisa saling bercerita pengalaman. Diharapkan lansia dapat menua secara aktif
(Active Ageing) sehingga bisa terhindar dari gejala depresi.
Status Gizi
Status gizi pada penelitian ini ditentukan berdasarkan Indeks massa
tubuh (IMT), merupakan metode pengukuran antropometri, yang mudah dan
sering digunakan untuk mengidentifikasi seseorang berisiko gizi lebih atau
kurang. Indeks massa tubuh merupakan perbandingan berat badan terhadap
tinggi badan kuadrat dalam meter.
Gambar 7 Sebaran status gizi menurut IMT
Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa secara keseluruhan
bagian terbesar (51,7%) status gizi lansia berada pada kategori normal
(18,5≤IMT≤25). Hampir separuh (46,7%) peserta home care dan lebih dari
separuh (56,7%) lansia bukan peserta home care berstatus gizi normal.
Persentase terkecil pada kedua kelompok, lansia berada pada status gizi
obesitas masing-masing 6,7 persen. Muis (2006) menyatakan bahwa kelebihan
gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan gaya hidup pada usia sekitar 50
tahun. Kondisi ekonomi yang membaik membuat akses terhadap makanan yang
enak dan tinggi kalori semakin besar. Kelebihan gizi pada usia 50 tahun akan
membawa lansia pada keadaan obesitas dengan berbagia risiko penyakit
degeneratif seperti dislipidemia dan diabetes mellitus.
Persentase lansia yang mengalami gizi kurang pada lansia peserta home
care (30%) lebih tinggi dibandingkan lansia bukan peserta home care (23,3%).
0
10
20
30
40
50
60
<18,5 18,5-25 > 25 ≥ 30
p>0,05
Peserta (%)
Bukan Peserta (%)
Status gizi kurang yang terjadi pada lansia dapat disebabkan karena
berkurangnya nafsu makan serta kemampuan fungsi penyerapan zat gizi dalam
sistem pencernaan yang menurun. Selain itu, status gizi yang rendah akan lebih
buruk lagi apabila lansia menderita penyakit tertentu seperti infeksi (Supriasa et
al. 2002). Hasil uji T menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata
(p>0,05) status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care.
Depkes (2010) dalam laporan Riskesdas menyebutkan bahwa persentase
status gizi penduduk lansia menurut IMT cukup beragam. Lansia laki-laki pada
kelompok usia 60-64 tahun hanya 67,8 persen berstatus gizi normal dan sisanya
17,3 persen berstatus gizi kurang, 7,7 persen berstatus gizi overweight serta 7,1
persen berstatus gizi obesitas. Lansia perempuan pada kelompok usia 60-64
tahun, sebanyak 59,1 persen berstatus gizi normal, 18,5 persen berstatus gizi
kurang, 12,4 persen berstatus gizi obesitas dan 10 persen berstatus gizi
overweight. Persentase lansia bersatus gizi kurang, baik pada perempuan
maupun laki-laki, meningkat dengan semakin bertambahnya usia (65 tahun
keatas), sedangkan persentase lansia berstatus gizi normal, overweight dan
obesitas menurun.
Hubungan Antara Variabel
Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan Tingkat Kecukupan
Zat Gizi
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang nyata
dan negatif antara lama sakit infeksi dengan tingkat kecukupan energi (r= -0,266;
p<0,05), tingkat kecukupan protein (r= -0,283; p<0,05), tingkat kecukupan
kalsium (r=-0,284; p<0,05) dan tingkat kecukupan fosfor (r= -0,338; p<0,05). Hal
ini berarti semakin lama lansia mengalami sakit infeksi, maka tingkat kecukupan
energi, protein, kalsium dan fosfor akan semakin rendah. Suhardjo (1989)
menyebutkan bahwa infeksi akut dapat mengakibatkan kurangnya nafsu makan
dan toleransi terhadap makanan. Tidak terdapat hubungan yang nyata antara
lama sakit infeksi dengan tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C (p>0,05).
Hubungan Status Kesehatan (Keluhan Kesehatan) dengan Tingkat Depresi
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan hasil yang nyata dan positif
antara keluhan kesehatan dengan tingkat depresi (r=0,304; p<0,05). Hal ini
berarti semakin banyak keluhan kesehatan yang dialami lansia, maka tingkat
depresi pun akan semakin tinggi. Smith (2010) menyebutkan bahwa salah satu
faktor yang dapat memicu depresi adalah kondisi kesehatan fisik. Penelitian yang
dilakukan Kim et. al (2009) pada lansia Jepang yang tinggal di masyarakat
menunjukkan bahwa persepsi mengenai status kesehatan secara signifikan dan
kuat mempengaruhi depresi.
Hubungan Tingkat Depresi dengan Tingkat Kecukupan Zat Gizi
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang
nyata antara tingkat depresi dengan tingkat kecukupan energi, protein, kalsium,
fosfor, vitamin A, dan vitamin C (p>0,05). Watson (2003) menyebutkan bahwa
secara tidak langsung, buruknya kondisi kejiwaan seperti depresi akan
menimbulkan sifat apatis lansia terhadap makanan. Sikap negatif ini akan
menurunkan selera dan frekuensi makan. Akan tetapi, pada penelitian ini, tidak
adanya hubungan antara tingkat depresi dengan tingkat kecukupan zat gizi
diduga karena jumlah lansia yang mengalami depresi terlalu kecil. Berdasarkan
hasil penelitian, sebagian besar lansia termasuk dalam kategori normal.
Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Gizi (IMT)
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan
positif sangat nyata antara tingkat kecukupan energi (r= 0,797; p<0,05), tingkat
kecukupan protein (r= 0,598; p<0,05), tingkat kecukupan kalsium (r= 0,334;
p<0,05) serta tingkat kecukupan fosfor (r= 0,401; p<0,05) dengan status gizi (nilai
IMT). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kecukupan gizinya, maka nilai IMT
semakin tinggi. Konsumsi pangan secara langsung mempengaruhi status gizi.
Tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C tidak memiliki hubungan yang nyata
dengan status gizi (p>0,05).
Hubungan Status Kesehatan (Penyakit Infeksi) dengan Status Gizi (IMT)
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
nyata dan negatif antara lama sakit infeksi dengan status gizi (r= -0,289; p<0,05).
Artinya semakin lama lansia mengalami sakit infeksi maka semakin menurun
status gizinya. Azad (2002) menyatakan keberadaan penyakit, penyakit infeksi,
akan meningkatkan kebutuhan tubuh terhadap zat gizi. Seseorang yang
mengalami peyakit akan kehilangan nafsu makan sehingga berdampak pada
menurunnya asupan energi dan zat gizi. Hal ini akan memperburuk kondisi tubuh
dan membawa pada kondisi kurang gizi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Proses penyelenggaraan home care terdiri atas sosialisasi, pendataan
relawan, pendataan lansia, implementasi, monitoring, evaluasi dan pelaporan.
Pelayanan yang diberikan pada lansia yaitu pelayanan sosial berupa kunjungan
setiap minggu, pemberian sembako setiap bulan serta pelayanan kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar lansia peserta dan bukan
peserta berada pada kelompok usia lanjut berjenis kelamin perempuan.
Persentase terbesar tingkat pendidikan lansia peserta dan bukan peserta adalah
tidak pernah sekolah. Sebagian besar lansia peserta dan bukan peserta tidak
bekerja dengan sumber pendapatan utama diperoleh dari anak. Status
pernikahan lansia peserta dan bukan peserta sebagain besar berstatus cerai
mati sehingga lansia lebih banyak yang tinggal bersama keluarga.
Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein lansia peserta temasuk
defisit tingkat ringan dan normal pada lansia bukan peserta. Tingkat kecukupan
kalsium pada kedua kelompok termasuk dalam kategori kurang, sedangkan
tingkat kecukupan fosfor pada kedua kelompok cukup. Tingkat kecukupan
vitamin A pada kedua kelompok cukup, sedangkan tingkat kecukupan vitamin C
termasuk dalam kategori kurang. Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang
nyata (p>0,05) tingkat kecukupan antara kedua kelompok.
Berdasarkan status kesehatan, persentase terbesar kedua kelompok
mengalami lebih dari satu jenis keluhan dengan ISPA sebagai keluhan yang
paling banyak dialami. Lebih dari separuh lansia pada kedua kelompok tidak
mengalami depresi (normal). Uji Mann Whitney menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata (p>0,05) status kesehatan dan tingkat depresi pada kedua
kelompok. Persentase terbesar status gizi pada kedua kelompok adalah normal.
Uji T menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) status gizi kedua
kelompok.
Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan
negatif antara lama sakit infeksi dengan tingkat kecukupan energi, tingkat
kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan fosfor.
Tidak terdapat hubungan yang nyata antara lama sakit infeksi dengan tingkat
kecukupan vitamin A dan vitamin C. Terdapat hubungan yang nyata dan positif
antara keluhan kesehatan dengan tingkat depresi. Tetapi tidak terdapat
hubungan yang nyata antara tingkat depresi dengan tingkat kecukupan zat gizi.
Terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara tingkat kecukupan energi,
tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan
fosfor dengan status gizi. Tetapi tidak terdapat hubungan nyata antara tingkat
kecukupan vitamin A dan vitamin C dengan status gizi. Terdapat hubungan yang
nyata dan negatif antara lama sakit infeksi dengan status gizi.
Saran
Mengingat masih kurangnya asupan pangan secara kuailtas maka
diperlukan adanya upaya peningkatan asupan pangan secara kualitas melalui
peningkatan pengetahuan gizi lansia guna mencapai asupan gizi seimbang.
Status kesehatan dan konsumsi pangan secara langsung berpengaruh terhadap
status gizi lansia. Oleh karena itu, selain pemeriksaan rutin terkait status
kesehatan, status gizi juga penting untuk dilakukan secara berkala pada lansia
sehingga pendamping juga perlu diberikan pengetahuan terkait gizi lansia dan
metode pengukuran status gizi lansia.
Meskipun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan
berbagai kondisi antara lansia peserta dan bukan peserta home care, bukan
berarti pelayanan home care ini tidak bermanfaat. Hal ini justru mengindikasikan
bahwa pelayanan yang diberikan home care di Tegal Alur dapat mencakup
lansia peserta dan bukan peserta home care. Jika akan melakukan penelitian
serupa, diharapkan dilakukan di dua lokasi berbeda untuk bisa memisahkan
secara jelas lansia yang mendapatkan pelayanan home care dengan lansia yang
tidak mendapatkan pelayanan home care.
DAFTAR PUSTAKA
Abikusno N. 2007. Older Population in Indonesia: Trends, Issues, and Police
Responses. Thailand: UNFPA Indonesia. Ahmed F, Darnton-Hill. 2008. Defisiensi Vitamin A. Di dalam: Gibney MJ,
Margetts BM, Kearney JM, Arab L, editor. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC. Astawan M, Wahyuni M. 1988. Gizi dan Kesehatan Manula. Jakarta: Mediyatama
Sarana Perkasa. Azad N. 2002. Nutrition in the elderly. The Canadian Journal of Diagnosis: 83-93 Better Health Channel. 2010. Depression and ageing.
http://www.betterhealth.gov.au [6 Agustus 2010]. [BPS] Badan Pusat Statsitik. 2008. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2008. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
Riskesdas Indonesia-Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2010.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI. [Depsos] Departemen Sosial. 2009a. Pedoman Teknis Home Care Lanjut Usia
Bagi Lembaga Penyelenggara. Jakarta: Departemen Sosial RI. _______________________. 2009b. Buku Saku Home Care: Pendampingan
dan Perawatan Sosial Lanjut Usia Di Rumah. Jakarta: Departemen Sosial RI.
Fatmah, Hardinsyah, Boedhihartono, Rahardjo TWB. 2008. Model prediksi tinggi
badan lansia etnis jawa berdasarkan tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi lutut. Majalah Kedokteran Indonesia 58(12): 509-516.
Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford
University Press. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan perencanaan konsumsi pangan.
[Diktat]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Petanian, IPB.
Harris NG. 2004. Nutrition in Aging. Di dalam: Mahan LK, Escott-Stump S, editor. Krause’s Food, Nutrition & Diet Therapy 11th ed. USA: Elsevier. hlm. 319-396.
Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2010. Usia Lanjut.
http://www.menkokesra.go.id/ [9 Maret 2010]. [Komnas Lansia] Komisi Nasional Lanjut Usia. 2008. Pedoman Rumah
Pelayanan dan Kegiatan Lansia. Jakarta: Komnas Lansia. Kim Jeung-Im, Choe Myoung-Ae, Chae YR. 2009. Prevalence and predictors of
geriatric depression in community-dwelling elderly. Asian Nurs Research 3(3) 121-129.
Kusumaratna RK. 2008. Gender differences in nutritional intake and status in
healthy free-living elderly. Universa Medicana 27(3) 113-124. Latham MC. 1997. Human Nutrition in The Developing World. USA: Food and
Agriculture Organization of United Nation. McDowell I. 2006. Measuring Health: A Guide to Rating Scales and
Questionnaires 3rd ed. Oxford: University Press. McKenzie JF, Pinger PR, Kotecki JE. 2008. An Introduction to Community Health
8th ed. USA: Jones and Bartlett Publisher. Medical Encyclopedia. 2010. Depression elderly. http://www.nlm.nih.gov [10
Desember 2010]. Mezey MD, Rauckhorst LH, Stokes SA. 1993. Health Assessment of The Older
Individula. New York: Springer Publishing Company. Morley et al. 2009. Undernutrition: Diagnosis, Causes, Consequences And
Treatment. Di dalam: Raats M, de Groot L, van Staveren W, editor. Food For the Ageing Population. England: Woodhead Publishing Limited hlm 153-166.
Muis. 2006. Gizi Pada Usia Lanjut. Di dalam: Matrono H. H & Boedhi-Darmojo R,
editor. Buku Ajar Geriatri: Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: Balai Penerbit FK UI hlm. 539-547.
Nadhira. 2006. Keadaan sosial ekonomi, pengetahuan gizi, gaya hidup,
konsumsi pangan, dan status gizi lansia laki-laki di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jabar [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
[PDGKI] Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia. 2008. Pedoman Tatalaksana
Gizi Klinik. Jakarta: PDGKI. Pietinen, Patterson. 2009. Penilaian Konsumsi Pangan. Di dalam: Gibney MJ,
Margetts BM, Kearney JM, Arab L, editor. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rahardjo BW et al. 2009. Panduan Menuju Lanjut Usia Sehat. Jakarta: Lembaga Lanjut Usia Indonesia (LLI).
Sabdono E. 2010. Home care pilot project di Indonesia. Presentasi pada
Lokakarya “Pengembangan Day Care dan Home Care Bagi Lanjut Usia di Indonesia“: Komnas Lansia.
Sarafino EP. 1994. Health Phsychology: Biopsychosocial Interaction 2nd ed.
Canada: John Wiley & Sons Inc. Sari NK. 2006. Deteksi Dini Malnutrisi pada Usia Lanjut. Di dalam: Harjodisastro
D, Syam AF, Sukrisman L, editor. Dukungan Nutrisi pada Kasus Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI Pr. hlm. 51-63.
Schlenker ED. 2000. Nutrition and The Aging Adult. Di dalam: Worthington-
Roberts BS, Williams SR, editor. Nutrition Throughout The Life Cycle 3rd Edition. St Louis: Mosby-Year Book.
Smet B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo. Smith M. 2010. Depression in older adult and elderly. http://helpguide.org [6
Agustus 2010. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan
Kebdayaan Direktorat Jendral Pendikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB.
Suhardjo. 2008. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara
bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Asek Pangan, Gizi, dan Sanitasi:
Petani Sawah Beririgasi di Banjar Jawa Barat. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB.
Supariasa IDN, Bakri B, Hajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Takasihaeng J. 2000. Hidup Sehat di Usia Lanjut. Jakarta: Penerbit Harian
Kompas. Till C. 2001. Ageways: Home care and volunteers. HelpAge International.
http://helpage.org [10 Mei 2011]. Watson R. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta: EGC. Wirakusumah E S. 2001. Menu Sehat untuk Lanjut Usia. Jakarta: Puspa Swara. Wiseman G. 2002. Nutrition & Health. USA: Taylor & Francis Inc. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di
Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI
Lampiran 1 Jenis pangan yang biasa dikonsumsi peserta dan bukan peserta home care
Bakan makanan
Home care
Peserta Bukan Total
n % n % n %
Sumber Karbohidrat Nasi 30,0 100,0 30,0 100,0 60,0 100,0 Singkong dan hasil olahan 17,0 56,7 25,0 83,3 42,0 70,0 Ubi dan hasil olahan 18,0 60,0 14,0 46,7 32,0 53,3 Kentang 0,0 0,0 6,0 20,0 6,0 10,0 Biskuit/krakers 27,0 90,0 15,0 50,0 42,0 70,0 Roti 12,0 40,0 18,0 60,0 30,0 50,0 Mie 16,0 53,3 6,0 20,0 22,0 36,7
Protein Hewani Ikan basah 23,0 76,7 23,0 76,7 46,0 76,7 Udang dan hewan air lainnya segar 3,0 10,0 6,0 20,0 9,0 15,0 Ikan diawetkan 15,0 50,0 11,0 36,7 26,0 43,3 Daging sapi 6,0 20,0 7,0 23,3 13,0 21,7 Daging ayam 21,0 70,0 24,0 80,0 45,0 75,0 Telur 25,0 83,3 23,0 76,7 48,0 80,0 Susu 18,0 60,0 12,0 40,0 30,0 50,0
Protein Nabati Kacang-kacangan lain 12,0 40,0 15,0 50,0 27,0 45,0 Tahu 28,0 93,3 28,0 93,3 56,0 93,3 Tempe 29,0 96,7 26,0 86,7 55,0 91,7 Oncom 0,0 0,0 9,0 30,0 9,0 15,0
Sayur-mayur Sayur daun hijau 25,0 83,3 22,0 73,3 47,0 78,3 Sayur buah 16,0 53,3 19,0 63,3 35,0 58,3 Sayur lain 23,0 76,7 25,0 83,3 48,0 80,0
Buah-buahan Jeruk 16,0 53,3 16,0 53,3 32,0 53,3 Mangga 20,0 66,7 19,0 63,3 39,0 65,0 Apel 8,0 26,7 5,0 16,7 13,0 21,7 Salak 5,0 16,7 3,0 10,0 8,0 13,3 Pisang ambon 11,0 36,7 15,0 50,0 26,0 43,3 Pisang raja 0,0 0,0 3,0 10,0 3,0 5,0 Pisang lampung 10,0 33,3 4,0 13,3 14,0 23,3 Pepaya 17,0 56,7 16,0 53,3 33,0 55,0 Jambu air 0,0 0,0 3,0 10,0 3,0 5,0 Semangka 5,0 16,7 7,0 23,3 12,0 20,0 Melon 7,0 23,3 5,0 16,7 12,0 20,0 Pir 4,0 13,3 0,0 0,0 4,0 6,7
Anggur 5,0 16,7 0,0 0,0 5,0 8,3
Pangan lainnya Pisang goreng 13,0 43,3 11,0 36,7 24,0 40,0 Teh manis 5,0 16,7 10,0 33,3 15,0 25,0 Kopi 9,0 30,0 9,0 30,0 18,0 30,0 Mie bakso 4,0 13,3 7,0 23,3 11,0 18,3 Kue-kue tradisional 5,0 16,7 10,0 33,3 15,0 25,0 Bakwan 5,0 16,7 5,0 16,7 10,0 16,7
Lampiran 2 Rata-rata konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan zat gizi peserta dan bukan peserta home care
Zat Gizi
Home care
Peserta Bukan
mean sd mean sd
Energi
Konsumsi (Kal) 1478 329,4 1605 306,2
AKG (Kal) 1690 169,9 1680 140,6
Tingkat Kecukupan (%) 87,5 17,7 95,9 18,8
Protein
Konsumsi (g) 38,4 10,1 42,8 13,3
AKG (g) 48 5,7 47,7 4,7
Tingkat Kecukupan (%) 80 19 90 27,5
Kalsium
Konsumsi (mg) 411,2 174,8 473,6 204,6
AKG (mg) 800 0 800 0
Tingkat Kecukupan (%) 51,4 21,8 59,2 25,6
Fosfor
Konsumsi (mg) 590,9 464,7 432,5 147,6
AKG (mg) 600 0 600 0
Tingkat Kecukupan (%) 63,6 23,5 72,1 24,6
Vitamin A
Konsumsi (RE) 590,9 464,7 494,3 339,5
AKG (RE) 516,7 37,9 510 30,5
Tingkat Kecukupan (%) 114,1 85,5 97,1 65,4
Vitamin C
Konsumsi (mg) 56,5 46,8 56,6 40,6
AKG (mg) 77,5 5,7 76,5 4,6
Tingkat Kecukupan (%) 73,1 60,7 74,9 54,6
Lampiran 3 Dokumentasi kegiatan
Kegiatan senam lansia
Kegiatan ramah lansia
Pertemuan mingguan relawan
Top Related